Anda di halaman 1dari 32

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA DALAM

PERKSPEKTIF FEMINISME

Dosen : M . Adji , M. Hum.\ Abdul Hamid, Drs

Disusun untuk Melengkapi Tugas


Mata Kuliah Kajian Novel Populer

Andhika Budiadi
180110060014

JURUSAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2009
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. Yang telah memberikan rahmad dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dalam rangka
memenuhi tugas akhir mata kuliah Kajian Novel Populer
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu kelancaran dalam
penyusunan makalah ini
1. M.Adji, M.Hum yang telah memberi inspirasi dan berbagai materi
perkuliahan yang berguna untuk menyelesaikan makalah ini.
2. Abdul Hamid, Drs yang telah memberi inspirasi dan berbagai materi
perkuliahan yang berguna untuk menyelesaikan makalah ini.
3. Rekan-rekan yang telah memberi motivasi dan dukungunnya.

Bandung, 15 Juni 2009

2
Penyusun
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG........................................................................4
BAB11 PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF FEMINISME
2.1 ALIRAN FEMINISME....................................................................6
2.2 FEMISME INDONESIA...............................................................10
2.2 PERAN PEREMPUAN DALAM SEJARAN SASTRA
INDONESIA........................................................................................13
2.3 PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM KARYA................26
BABIII KESIMPULAN...................................................................................31
BAB1V DAFTAR PUSTAKA.........................................................................32

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Jika dihitung sejak kemunculan Hamzah Fansuri sebagai tonggak dimulainya
kehidupan sastra Indonesia, sejarah sastra Indonesia modern telah mengalami
berbagai peristiwa dan perkembangan yang sangat dinamis. Hal ini setidaknya
tercatat dalam setiap periode sastra yang telah dibuat oleh para pakar sastra
dengan berbagai versinya.
Dalam setiap periode sastra tersebut kemudian memunculkan pula para
sastrawan yang menjadi ikon dalam setiap zamannya. Kita pun kemudian
mengenal Marah Rusli, Armyn Pane, Sanusi Pane, H.B. Jassin, Sutan Takdir
Alisyahbana, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Taufik
Ismail, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, Ajip Rosidi,
Gunawan Muhamad, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Acep
Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, dan lain-lain sebagai tokoh-tokoh sastra yang
memiliki kredibilitas di dunia sastra karena telah mencatatkan diri sebagai
sastrawan produktif pada masanya sehingga menjadi referensi kreatif untuk
generasi selanjutnya.
Penyebutan angkatan maupun periode sastra oleh para kritikus sastra
didasarkan pada gerakan sastra yang menghasilkan perkembangan estetika baru di
setiap periode sastra. Dalam perkembangan tersebut peranan para sastrawan telah
diakui dan tercatat dalam setiap buku sejarah sastra yang telah ditulis. Dengan
demikian, para pakar pun mengakui peran yang telah dimainkan oleh setiap tokoh.
Sepak terjang mereka dalam kehidupan sastra diyakini telah mengawal sastra ke
dalam perkembangan yang dinamis hingga saat ini.
Namun, jika dilihat dalam setiap periode sastra, peran yang dimainkan para
sastrawan tersebut lebih banyak didominasi oleh laki-laki. Penulis mencatat hanya
sedikit perempuan sastrawan yang hadir di setiap periode sastra yang telah ditulis.
Lantas di mana dan bagaimana peran perempuan sastrawan dalam peta

4
perkembangan sastra Indonesia dari awal lahirnya sastra Indonesia sampai saat
ini? Tulisan ini akan mencoba memotret peran dan posisi perempuan sastrawan
dalam konstelasi sastra Indonesia. Hal ini berkaitan dengan mulai dominannya
peran perempuan sastrawan dewasa ini dalam mengusung perubahan yang
signifikan dalam peta kesusastraan Indonesia, terutama orientasi estetis yang
dilakukan oleh para perempuan pengarang dalam awal abad XXI ini.Dalam
menciptakan karya, adaptasi sering dilakukan oleh para seniman, seperti adaptasi
dari puisi ke dalam musik, cerpen ke dalam komik, dari novel ke dalam film,
ataupun sebaliknya. Bahkan dalam sejarah perfilman[1] dunia, khususnya
Hollywood, 90% karya skenario film dan televisi berasal dari adaptasi.[2] Sebut
saja misalnya, Harry Potter (adaptasi novel), The Shawshank Redemption
(novela), Madison (artikel), Malcom X (autobiografi), dan Siderman (komik).
Proses adaptasi menjadi bagian yang sering dilakukan oleh pekerja film karena hal
ini lebih memudahkan mereka dalam penggarapan.

5
BAB II
PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA DALAM PERKSPEKTIF
FEMINISME

2.1 Aliran Feminisme


Persepsi tentang gerakan feminisme di Indonesia masih terfragmentasi dan
carut-marut. Hal ini dilatarbelakangi kekurangpemahaman serta beraneka
ragamnya aliran-aliran historis feminisme itu sendiri. Feminisme
memproklamirkan diri sebagai konsep pergerakan yang berjuang untuk
mewujudkan emansipasi dan kesejahteraan kaum perempuan. Feminisme sebagai
filsafat dan gerakan dapat dipelajari dari sejarah kelahirannya yang bersamaan
dengan kelahiran Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley
Montague dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk
perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, Belanda pada tahun 1785.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan
perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara
penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal
sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh Charles Fourier pada
tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang
pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pasca
perang dunia kedua, bersamaan dengan munculnya negara-negara baru yang
terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun
1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.
Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan
selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Gelombang kedua ini
dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous dan Julia Kristeva.
Akselerasi feminisme gelombang kedua ini berbarengan dengan kelahiran
dekonstruksi yang dipelopori Jacques Derrida. Di Amerika Serikat, feminisme

6
sedikit menemukan geliatnya diawali dengan dengan buku The Feminine
Mystique tulisan Betty Friedan (1963). Betty Friedan selanjutnya membentuk
organisasi National Organization for Woman (NOW). Pergerakan feminisme
dibawah bendera Betty Friedan mendorong kelahiran Equal Pay Right (1963) dan
Equal Right Act (1964) dalam undang-undang Amerika. Dalam evolusinya,
feminisme mengalami perkembangan dengan memunculkan beberapa aliran, yaitu
feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme post-modern, feminisme
anarkhis, feminisme marxis, feminisme sosialis serta feminisme post-kolonial.
Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang
memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa
kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia
privat dan publik. Setiap manusia memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak
secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan
keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan
perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa
bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan
setara dengan lelaki. Naomi Wolf, tokoh aliran ini, mengemukakan konsepnya
yaitu ‘Feminisme Kekuatan’ yang merupakan solusi akhir bagi perempuan agar
mengejar kekuatan supaya mampu menuntut persamaan hak, bebas berkehendak,
lepas dari hegemoni laki-laki.
Feminisme radikal menawarkan ideologi ‘perjuangan separatisme
perempuan’. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap budaya
seksisme, terutama melawan kekerasan seksual. Aliran ini bertumpu pada
paradigma bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem budaya
patriarkhi, dengan tubuh perempuan sebagi orientasi utama penindasan.
Feminisme radikal fokus pada materi tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas
(termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan
dikotomi privat-publik. ‘The personal is political’ menjadi landasan untuk
menjangkau permasalahan perempuan sampai ke ranah privasi. Masyarakat
Indonesia, secara umum, cenderung sinis dengan aliran feminis ini karena
menyentuh area-area privasi yang tabu untuk diketahui publik, padahal dengan

7
sedokit tekanan kelompok ini maka Indonesia memiliki Undang Undang RI No.
23 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Feminisme post-modern berlandaskan pada paham post-modernisme
dengan ide dasar yakni anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan
pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada
penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa
gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang
mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriarkhi
terlalu mendominasi sistem. Lelaki adalah sumber permasalahan yang harus
dihancurkan.
Feminisme marxis berpijak pada perspektif bahwa problematika
perempuan berasal dari hegemoni kapitalisme; penindasan perempuan berasal dari
eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan
menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep
private property. Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran. Laki-laki mengontrol
produksi untuk pertukaran ini dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi
hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property.
Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya
kelas-kelas dalam masyarakat. Penghancuran kapitalisme akan melahirkan
struktur masyarakat tanpa penindasan perempuan.
Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan.
Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan
suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat
tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. ‘Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan
Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme’. Feminisme
sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Feminisme sosialis
menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan.
Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber
penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan

8
feminisme radikal yang menganggap patriarkhilah sumber penindasan itu.
Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti
dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh
laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan
pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh
anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah
menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarkhi. Dalam konteks Indonesia,
analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi
beban perempuan. Perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas
koloni) berbeda dengan perempuan yang hidup di Negara maju. Perempuan dunia
ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami
pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa,
suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme
poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan,
nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam
bukunya ‘Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of
Race, Sex, and Class’ menyatakan, ‘hubungan ketergantungan yang didasarkan
atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi
ekonomi, sosial, dan pendidikan.’ Walaupun sudah ada aliran dalam gerakan
feminisme, istilah “feminisme” sendiri masih bersifat sangat subyektif dan sering
digunakan secara sembarangan. Akibatnya, sering muncul kebingungan dan
berbagai definisi tentang feminisme. Di antara berbagai definisi feminisme yang
berkembang pada saat ini adalah: (1) Kelompok-kelompok yang berjuang untuk
mengubah kedudukan kaum perempuan atau berbagai pemikiran tentang kaum
perempuan, mendapatkan julukan kaum feminis. (2) Sebuah doktrin yang
menyerukan kesetaraan hak-hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum
laki-laki. (3) Feminisme juga bermakna, segala upaya untuk membuat kaum
perempuan mempunyai kesempatan dan hak-hak istimewa sebagaimana yang
diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau penegasan tentang adanya nilai-
nilai keperempuanan yang spesifik, yang berbeda dengan anggapan negatif kaum
laki-laki selama ini. Sekalipun tidak berarti bahwa kedudukan perempuan harus

9
bersifat eksklusif, ada kecenderungan kuat untuk membuat demikian.
Persoalannya adalah: apakah kaum perempuan seperti laki-laki atau tidak. (4)
Kaum feminis tidak berjuang hanya untuk menghapuskan hak-hak istimewa kaum
laki-laki, tetapi juga menghilangkan perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis
kelamin di antara manusia semestinya tidak menjadi permasalahan lagi. Konsep
keluarga biologis yang tidak adil harus dipatahkan, demikian pula konsep
kekuatan psikologis yang selama ini menjadi dalih superioritas kaum laki-laki.

2.2 Feminisme Indonesia


Indonesia, sebagaimana telah kita sepakati bersama, adalah negara dengan
tata kultural yang dikuasai oleh budaya patriarkhi. Dalam tradisi Jawa, istri dalam
perspektif suami (laki-laki) adalah ’garwa’ (sigaraning nyawa) yang terikat
dengan aturan mendasar ’swarga nunut neraka katut’. Perspektif ini memposisikan
perempuan sebagai objek, sub-ordinatif, dan tidak memiliki kuasa untuk
menentukan nasibnya sendiri, apalagi menentukan nasib bersama. R.A Kartini
mungkin bisa disebut sebagai salah satu tokoh pergerakan feminisme di
Indonesia, berpijak pada kiprah dan usahanya untuk mengangkat harkat dan
martabat kaum perempuan Indonesia pada masanya. Meski secara pribadi dalam
kenyataannya, beliau sama sekali tidak pernah bersentuhan secara langsung
dengan konsep-konsep feminisme. Kegelisahan perempuan Indonesia yang
tertindas dan terpinggirkan oleh budaya patriarkhi mendorong mereka untuk
menggeliat mengupayakan sebuah peri-keadilan setara dengan laki-laki. Dunia
sastra Indonesia dikejutkan dengan Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Oka
Rusmini, Dee, Fira Basuki, dll yang mengusung feminisme dalam karya-karya
mereka. Menurut perspektif kritik sastra feminis, hanya perempuan yang bisa
menulis tentang perempuan. Meski ditasbihkan sebagai genre sastra biru dengan
tema dan bahasa ’tabu’ eksistensi mereka menjadi penanda kegelisahan
perempuan di Indonesia. Dalam ranah politik, perempuan juga cenderung tidak
memiliki tempat yang nyaman, dan terikat dalam kedudukan pemilih bukan
dipilih. Banyak yang sepakat bahwa gerakan perempuan untuk memulihkan hak-
hak politiknya ini erat kaitannya dengan proses tranformasi sosial dan budaya..

10
Politik, terlepas dari segala kontroversi di dalamnya, adalah alat sosial yang
paling memungkinkan bagi terciptanya kesempatan dan wewenang, serta
memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui berbagai aksi bersama,
diskusi, sharing, dalam prinsip kesetaraan dan keadilan. Politik adalah salah satu
sarana yang dapat mendorong perempuan untuk mencurahkan semua kegelisahan.
Budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan, masih menjadi
penghalang partisipasi politik perempuan. Upaya-upaya perubahan untuk
merobohkan penghalang memunculkan varian-varian kebijakan alternatif yang
menguntungkan perempuan. Salah satunya adalah perempuan masuk dalam
tataran kekuasaan dan legislatif. Karena kekuasaan dan legislatif adalah bagian
yang sangat vital dalam mewarnai ideologi masyarakat dan manajemen sosial-
budaya. Apabila kesetaraan kesempatan politis merupakan impian bersama maka
salah satu jawabannya adalah partisipasi langsung dalam setiap langkah.

2.2 Perempuan dalam Dominasi Laki-Laki


Hadirnya studi mengenai feminisme di tahun 70-an telah menyadarkan
sejumlah kalangan mengenai pentingnya memosisikan perempuan pada tempatnya
semula. Jauh sebelum paham ini lahir, posisi perempuan di setiap segi kehidupan
terkesan lemah dan seolah menjadi warga kelas dua. Mereka selama itu berada di
dalam bayang-bayang keperkasaan lelaki. Jika dirunut ke masa silam, posisi
perempuan memang demikian adanya. Kita bisa melihat misalnya di tanah Arab
sebelum Agama Islam mengubah paradigma masyarakat Arab pada waktu itu
dimana sistem perbudakan masih adat kebiasaan. Pada saat itu perempuan
diposisikan seperti binatang piaraan yang bisa diperjualbelikan. Kedudukan
mereka pun sangat rendah dalam tatanan masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka
sudah terbiasa dijadikan budak nafsu, alat jual-beli, hadiah persembahan, dan
sebagainya.
Di dunia Barat masa lampau pun kedudukan perempuan masih rendah. Pada
abad XVIII dan XIX dikenal adanya pembagian wilayah antara laki-laki dan
perempuan. Pada masa itu laki-laki berada pada wilayah umum (public sector)
sedangkan perempuan berada dalam wilayah khusus (privat sector). Ideologi

11
Pembagian peran tersebut setidaknya dapat kita temukan pada buku-buku
sastranya. Menurut ideologi ini wilayah perempuan hanya berada di rumah,
memainkan piano, dan menari. Adapun wilayah laki-laki berada di luar rumah,
mengurusi pabrik, pasar, dan sebagai gentleman. Ideologi ini semakin menguat
sejak era Victoria di Inggris dan di awal terbentuknya masyarakat modern.
Di Indonesia sendiri kedudukan perempuan di masa lampau hampir sama
dengan keadaan di dunia pada saat itu. Budaya patriarki di zaman kerajaan yang
kemudian masih diwariskan hingga saat ini telah menjadikan perempuan sebagai
warga kelas dua.
Akibat adanya ketimpangan yang dialami oleh perempuan tersebut, timbul
perlawanan yang berujung pada perlunya kehadiran sebuah studi mengenai hal ini
yang kemudian melambungkan studi kesetaraan gender atau feminisme yang
mulai marak dijadikan referensi. Menurut Moeliono (1993:241) feminisme adalah
gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
perempuan dan laki-laki. Persamaan hak itu meliputi semua aspek kehidupan baik
dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dengan kata lain,
feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau
menentukan kebebasan menentukan dirinya sendiri.
Gerakan ini kemudian merambah pula ke dunia sastra yang menghadirkan
sebuah pendekatan alternatif dalam menganalisis karya sastra yaitu kritik sastra
feminis. Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang
lahir sebagai respons atas semakin berkembangnya gerakan feminisme di berbagai
penjuru dunia.
Menurut Sholwater dalam Sugihastuti (1991:29), kritik sastra feminis
mencoba menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan
harapan ke dalam pengalaman sastranya. Kehadirannya adalah berupaya untuk
menepis anggapan selama ini yang menyatakan bahwa dalam dunia sastra,
yang mewakili penciptaan dan pembacaan karya sastra adalah kaum laki-laki.
Sementara itu telah dianggap biasa pula bahwa yang mewakili pembaca dan
pencipta dalam karya sastra Barat adalah kaum pria.
Untuk itu, kritik sastra feminis berupaya menghadirkan alternatif yang lain

12
dengan menunjuk gejala bahwa wanita pun sebenarnya membawa persepsi dan
harapan ke dalam pengalaman sastranya. Di sisi lain, Culler (1983:43)
menyatakan bahwa kritik sastra feminisme adalah suatu usaha sadar para women
scholar untuk mengubah tirani kritik andosentris yang sangat male oriented dan
cenderung memengaruhi pembaca wanita untuk mengidentifikasikan diri dengan
tokoh pria.
Dalam usahanya mengukuhkan kedudukan sastra wanita pada tempat yang
selayaknya, feminist criticism merangkum berbagai pendekatan yang ada seperti
sosiologi sastra, resepsi strukturalisme, tekstual, semiotik, juga psikologi,
sosiologi, antropologi dsb (Winata dalam Tome, 2002:6).

2.3 Peran Perempuan dalam Sejarah Sastra Indonesia


Sebenarnya jika ditanyakan bagaimana peran perempuan pengarang dalam
sejarah sastra masih sukar dipetakan, terutama jika kita melihat peran perempuan
di periode-periode awal sejarah sastra Indonesia. Namun begitu penulis mencoba
menguraikannya meski dengan data yang terbatas mengenai sepak terjang
perempuan pengarang pada masa lampau.
Satu nama yang berhasil ditemukan penulis dalam sejarah awal penulisan
sastra Indonesia tertuju pada Selasih atau Sariamin. Dalam buku-buku sejarah
sastra yang ditulis oleh para pakar sastra, nama ini selalu hadir dan tercatat
sebagai satu-satunya perempuan sastrawan yang dapat bersaing dengan para
sastrawan lainnya dari golongan laki-laki.
Selasih adalah salah satu novelis Indonesia modern yang pertama. Nama
sebenarnya Sariamin, tetapi sejak awal sudah terkenal dengan samaran Selasih,
diambil dari nama sejenis tumbuhan kecil, obat penawar panas, minuman
penyegar. Ia lahir di Talu, Sumatera Barat, 31 Juli 1909 dengan nama Basariah.
Namun, karena ia sering sakit ketika masih bayi, namanya lalu diganti dengan Sri
Amin. Setelah dewasa berubah menjadi Sariamin. Selasih menerbitkan dua novel
yang telah tercatat dalam sejarah sastra Indonesia. Kedua buah roman itu ialah
Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak
dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka.

13
Menurut Ajip Rosidi (1969), kehidupan yang penuh penderitaan dan
kemelaratan agaknya menjadi minat Selasih. Salah satu novelnya, Kalau Tak
Untung melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak masih kecil,
sama-sama sekolah dan sama-sama pula hidup serba kekurangan. Namun ternyata,
cinta Masrul dan Rusmani yang sudah tertanam dan tumbuh sejak masih kanak-
kanak itu tidak sesuai dengan harapan mereka. Dalam Pengaruh Keadaan
dikisahkannya kesengsaraan dan kemalangan seorang gadis bernama Jusnani yang
hidup dalam tekanan ibu tirinya, sehingga ia kehilangan kepercayaan akan diri
sendiri. Tapi sekali ini kemalangan dan kesengsaraan si gadis berakhir dengan
kebahagiaan, yaitu setelah diambil oleh saudaranya dan ditolong oleh sahabat
saudaranya bernama Sjahruddin yang kemudian mengambilnya sebagai istri
(dalam Rosidi, 1982:61).
Dalam periodisasi sastra yang dibuat Ajip Rosidi, Selasih dimasukkan
sebagai sastrawan yang aktif berkarya pada periode 1933—1942. pada waktu itu
yang menjadi ikon sastranya adalah lahirnya majalah Poejangga Baroe yang
kemudian pada masa tersebut lebih dikenal sebagai Angkatan Poedjangga Baroe.
Selain Selasih, perempuan pengarang yang pernah berkarya pada masa ini
adalah Hamidah atau Fatimah H. Delais (1914—1953). Pada masa itu Hamidah
bekerja sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Dalam
catatan Rosidi, roman yang ditulisnya hanya satu berjudul Kehilangan Mestika
(1935). Hampir sama dengan Selasih, dalam pandangan Rosidi, pengarang ini
juga lebih banyak menceritakan kisah-kisah sedih. Yang diceritakannya dalam
roman itu adalah kemalangan dan penderitaan pelakunya, seorang gadis yang
mula-mula kehilangan ayah dan kemudian kehilangan kekasih berturut-turut.
Karena putus asa akhirnya ia menyetujui dikawinkan dengan seorang yang tak dia
cintai. Perkawinan itupun malang, karena bertahun-tahun tak juga kunjung
mempunyai anak sehingga terpaksa akhirnya ia memberikan izin kepada
suaminya untuk mengambil istri yang lain (dalam Rosidi, 1982:61).
Nama lain yang tercatat dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia karya
Ajip Rosidi adalah Adlin Affandi dan Sa’adah Alim (1898~1968) masing-masing
menulis sebuah sandiwara yang berjudul Gadis Modern (1941) dan

14
Pembalasannja (1941). Sa’adah Alim di samping itu menulis pula sejumlah
cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941).
Iapun menterjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita
berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, yaitu Pearl S.
Buck (1892). Di samping itu ia pun banyak menerjemahkan buku-buku lain.
Pada saat-saat menjelang Jepang datang, muncul pula Maria Amin (dilahirkan
di Bengkulu tahun 1921) yang menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga
Baroe. Meskipun mulai berkarya pada periode ini, namun sebenarnya Maria Amin
lebih aktif berkarya di periode selanjutnya yaitu pada periode 1942-1945,
terutama ketika ia menulis dan mengumumkan beberapa karya berupa prosa lirik
yang bersifat simbolis.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia, sebagai bagian dari bangsa, Maria Amin
merasa kecewa melihat kehidupan sosial politik pada waktu itu. Ia akhirnya
memilih menyampaikan gagasan-gagasannya dalam dunia simbolik. Ia
menggambarkan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia sebagai ikan dalam
akuarium seperti yang dilukiskannya dalam prosa liriknya “Tengoklah Dunia
Sana”.
Pada masa ini, selain Maria Amin, perempuan pengarang yang tercatat dalam
sejarah adalah Nursjamsu (lahir di Lintau, Sumatera Barat, tanggal 6 Oktober
1921). Karya yang ditulisnya berupa puisi dan cerpen. Sejumlah sajaknya banyak
melukiskan suasana hati yang diamuk remaja. Pada masa sesudah perang ia
menulis cerpen antara lain yang berjudul “Terawang” dimuat dalam majalah
Gema Suasana (1948).
Pada masa setelah kemerdekaan, dunia sastra masih didominasi oleh kaum
laki-laki. Hanya sedikit saja para pengarang dari jenis kelamin perempuan yang
menghasilkan karya. Pada tahun lima puluhan, nama-nama perempuan pengarang
memang lebih banyak. Pada masa ini tercatat nama Ida Nasution, Walujati
(Supangat), S. Rukiah (Kertapati), St. Nuraini (Sani), dan Suwarsih Djojopuspito.
Walujati dan St. Nuraini lebih dikenal sebagai penyair, meskipun sebenarnya
mereka pun pernah menulis prosa, baik cerpen, esai, maupun novel. Suwarsih
Djojopuspito hanya menulis cerpen. Hanya S. Rukiah yang dikenal baik sebagai

15
penyair maupun penulis prosa.
Menurut Rosidi (1982), Ida Nasution adalah seorang pengarang esai yang
berbakat. Ia menulis beberapa buah esai yang dimuat dalam majalah-majalah.
Namun Ida kemudian menjadi korban revolusi. Ia hilang ketika dalam perjalanan
Jakarta—Bogor (1948).
Adapun Walujati (lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1924) mulai
menulis sajak pada masa-masa pertama revolusi. Sajaknya “Berpisah” mendapat
pujian dari Chairil Anwar sebagai sajak romantik yang menjadi. Sejak itu ia
banyak menulis sajak.
Selain menulis sajak ia pernah pula menulis novel. Novelnya yang berjudul
Pudjani diterbitkan pada tahun 1950.
Dalam catatan Rosidi (1982:125), St. Nuraini yang lahir di Padang tanggal 6
Juli 1930 menulis sajak, cerpen, esai, dan terutama menerjemahkan hasil sastra
asing. Ia beberapa lamanya bekerja sebagai sekretaris redaksi Gelanggang/Siasat
bersama antara lain dengan Asrul Sani yang kemudian untuk beberapa lamanya
pernah menjadi suaminya.
Dalam pandangan Rosidi, sajak-sajak Nuraini terasa sekali kewanitaannya.
Salah satu sajaknya halus dan lembut sekali melukiskan perasaannya sebagai ibu
yang meratapi anaknya yang keguguran.
Perempuan pengarang lainnya pada masa ini adalah S. Rukiah. S.Rukiah yang
lahir di Purwakarta tanggal 25 April 1927 juga menulis sajak. Bahkan sajak-
sajaknya yang dimuat dalam bukunya Tandus (1952) mendapat hadiah sastra
nasional B.M.K.N. tahun 1952 untuk puisi. Meskipun demikian, S. Rukiah
sebenarnya lebih berhasil sebagai pengarang prosa. Kecuali cerpen-cerpen yang
juga dimuatkan dalam Tandus, ia juga menulis sebuah roman yang berjudul
Kejatuhan dan Hati (1950). Dalam kisah itu dilukiskannya perasaan seorang
wanita yang jatuh cinta kepada seorang politikus tetapi kemudian terpaksa kawin
dengan pedagang pilihan ibunya.
Pengarang lainnya yang tercatat hadir dalam periode ini adalah Suwarsih
Djojopuspito. Ia lebih dikenal sebagai pengarang prosa.Suwarsih Djojopuspito
lahir di Bogor tanggal 20 April 1912. Pada masa sebelum perang, menjelang

16
Jepang datang, ia menerbitkan roman yang ditulisnya dalam bahasa Belanda,
berjudul Buiten het Gareel (Di Luar Garis) yang terbit tahun 1941.
Roman ini melukiskan kehidupan kaum pergerakan nasional Indonesia,
terutama di lingkungan perguruan partikelir (Taman Siswa) pada masa tahun
tigapuluhan. Sebelum menulis roman dalam bahasa Belanda itu sebenarnya pada
tahun 1937 ia telah terlebih dahulu menulis roman dalam bahasa bundanya,
bahasa Sunda. Namun sayangnya roman ini ditolak oleh Balai Pustaka dan hal
itulah yang menyebabkan ia merasa lebih baik menulis dalam bahasa Belanda.
Baru pada tahun 1959 roman berbahasa Sunda yang berjudul Marjanah itu dapat
diterbitkan. Baru pada masa sehabis revolusi, Suwarsih yang menurut usianya
lebih dekat kepada lingkungan para pengarang pujangga baru itu menulis dalam
bahasa Indonesia. Buku kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Tudjuh
Tjerita Pendek (1951) yang sebenarnya lebih tepat digolongkan sebagai bacaan
kanak-kanak. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Empat Serangkai (1954)
mulai memperlihatkan bakat dan kemampuannya dalam menulis prosa. Kumpulan
cerpen ini merupakan salah satu karangan terpenting yang ditulis oleh pengarang
ini. Sesudah itu ia masih banyak menulis cerpen yang belum dibukukan.
Kebanyakan dimuat dalam majalah kebudayaan Konfrontasi.
Setelah generasi Ida Nasution dkk, nama lain yang dicatat dalam peta
perkembangan sastra Indonesia adalah N.H. Dini. Dalam Rosidi (1982), N.H. Dini
dimasukkan ke dalam pengarang yang aktif berkarya pada periode 1953—1961.
N.H. Dini yang nama lengkapnya Nurhajati Srihardini (lahir di Semarang
tanggal 29 Februari 1936) mulai menulis cerpen-cerpen yang dimuat dalam
majalah Kisah dan lain-lain. Menurut Rosidi, Cerpen-cerpen yang ditulis N.H.
Dini tidak ada lagi berisi protes-protes yang berkisar soal-soal kewanitaan yang
dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini adalah manusia-
manusia yang kalaupun berontak adalah berontak karena hendak memperjuangkan
harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen “Dua Dunia” dikisahkan N.H. Dini
tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tifus yang diceraikan suaminya
karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian
bersama dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua

17
Dunia (1956).
Dalam cerpen-cerpen itu N.H. Dini menunjukkan perhatiannya yang besar
terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat terjadi di sekelilingnya.
Misalnya dalam cerpennya “Kelahiran” dan “Perempuan Warung”.
Setelah terbit dengan kumpulan cerpen itu, N.H. Dini kemudian menerbitkan
sebuah roman pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Ceritanya tentang
seorang istri penerbang yang ketika suaminya mendapat kecelakaan lalu terlibat
dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia menemukan kedamaian pada keluasan
hati suaminya. Kisah ini sangat mengharukan dan ditulis dengan sangat
menyentuh hati wanita.
N.H. Dini kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. Sebagai
seorang istri diplomat, Dini berkesempatan menetap di berbagai negara.
Berdasarkan pengalamannya tersebut ia menulis sejumlah novel yang mengambil
setting di beberapa tempat yang pernah dikunjunginya. Pada periode ini hadirlah
novel-novel N.H. Dini yang berjudul Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka
(1975), Keberangkatan (1977), dan Namaku Hiroko (1977). Adapun novel-novel
seperti Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah
(1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979) merupakan novel yang mengambil
latar di tempat kelahirannya di Semarang. Selain novel-novel tersebut, N.H. Dini
pun menulis Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981),
Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang
Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Liar (1989;
perubahan judul kumpulan cerita pendek Dua Dunia), Istri Konsul (1989), Tirai
Menurun (1995), Panggilan Dharma Seorang Bhikku Riwayat Hidup Saddhamma
Kovida Vicitta Bhanaka Girirakkhitto Mahathera (1996), dan Kemayoran (2000).
Selain N.H.. Dini pada periode ini tercatat oleh Rosidi beberapa perempuan
pengarang wanita lain, yaitu Surtiningsing, Nj. Dyiantinah B Supeno, dan Hartini.
Mereka adalah para penulis cerpen yang dimuat di sejumlah majalah.
Pada periode 1961 sampai dengan tahun 70-an, sepak terjang perempuan
pengarang sudah mulai memperlihatkan perkembangan. Hal ini setidaknya terlihat
dari mulai banyaknya nama-nama yang sering menampilkan tulisannya. Nama-

18
nama seperti Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswadi, Erni
Siswati Hutomo, Enny Sumargo dan lain-lain hadir sebagai pengarang prosa.
Nama-nama seperti Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy
Soenharjo, Toeti Heeraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain lebih dikenal
sebagai penyair.
Titie Said atau yang nama lengkapnya Ny. Titie Raja Said Sadikun adalah
seorang pengarang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di
Bojonegoro tanggal 11 Juli 1935. beberapa lamanya Titie Said pernah menjadi
anggota redaksi majalah Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan
dalam sebuah buku berjudul Perdjuangan dan Hati Perempuan (1962). Sebagian
besar dari cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan
dan perasaan hati perempuan. Cerpennya “Maria” dan “Kalimutu” merupakan
cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.
S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya Dua Kerinduan
(1963). Menurut Rosidi, cerpen-cerpennya masih kurang meyakinkan dan belum
menampilkan kematangannya.
Sugiarti Siswadi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-
lembaran penerbitan Lekra. Kumpulan cerpennya Sorga Dibumi terbit tahun
1960. Di samping itu masih banyak lagi cerpen-cerpennya belum dibukukan. Hal
ini sama halnya dengan Ernisiswati Hutomo yang banyak menulis cerpen di
majalah. Salah satu majalah yang memuat cerpen-cerpennya adalah majalah
Sastra.
Perempuan pengarang yang sangat produktif pada periode ini adalah Titis
Basino. Cerpen-cerpennya banyak melukiskan tentang sifat dan perilaku yang
kadang-kadang tak terduga, merupakan misteri.
Titis Basino dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 17 Januari 1939. Karya-
karya novelis yang cukup produktif ini antara lain: Pelabuhan Hati (1978),
Dataran Terjal, Di Bumi Kita Bertemu, di Langit Kita Bersua (1983), Bukan
Rumahku (1986), Dari Lembah ke Coolibah (1997), Welas Asih Merengkuh
Tajali (1997), Menyucikan Perselingkuhan (1998), Tersenyum Pun Tidak
Untukku Lagi (1998), Rumah K. Seribu (1998), Aku Kendalikan Air, Api, Angin,

19
dan Tanah (1998), Mawar Hitam Milik Laras (1999), Garis Lurus, Garis
Lengkung (2000).
Pengarang lainnya pada periode ini adalah Enny Sumargo yang lahir di Blitar
tanggal 21 Nopember 1943. Ia banyak mengumumkan buah tangannya berupa
cerpen di daerah (Yogyakarta dan Semarang). Karya romannya berjudul Sekeping
Hati Perempuan (1969).
Selain Enny, nama Susy Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939)
tercatat dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia karangan Ajip Rosidi.
Pengarang ini telah berhasil menerbitkan sejumlah sajaknya dalam kumpulan
berjudul Seraut Wadjahku (1961). Namun dalam pengamatan Rosidi, sajak-
sajaknya tak lebih dari hanya menjanjikan kemungkinan saja. Seperti juga dengan
sajak-sajak Dwiarti Mardjono yang dimuat dalam majalah Sastra.
Menurut Rosidi, yang menulis sajak lebih dewasa dan lebih baik adalah Isma
Sawitri dan Toeti Heraty Noerhadi.
Isma Sawitri dilahirkan di Langsa, Aceh, tanggal 21 November 1940. Sajak-
sajaknya banyak dimuat dalam Sastra, Indonesia, dan majalah-majalah lain pada
awal tahun enampuluhan. Kumpulan kwatrinnya berjudul Kwatrin terdiri atas
lebih seratus buah. Ketika mengikuti kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Indonesia Jakarta, ia lama menjadi anggota redaksi surat kabar
Angkatan Bersendjata kemudian pindah ke Pedoman.
Toeti Heraty dilahirkan di Bandung 27 November 1933. Ia baru mulai
mengumumkan sajak-sajaknya tahun 1967 dalam Horison. Sarjana Filsafat dari
Rijk Universiteit Leiden ini meraih doktor filsafatnya di Univeristas Indonesia.
Karya-karyanya: Sajak-sajak 33 (1973), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979;
[ed.]), Mimpi dan Pretensi (1982), Aku dan Budaya (1984), Manifestasi Puisi
Indonesia-Belanda (1986; dengan Teeuw [ed.]), Wanita Multidimensional (1990),
Nostalgi = Transendensi (1995). Puisi-puisinya dimuat pula dalam Antologi Puisi
Indonesia 1997 dan Sembilan Kilap Cermin (2000).
Pada perkembangan selanjutnya kemudian hadir nama-nama perempuan
pengarang yang meramaikan blantika sastra Indonesia. Nama-nama seperti M.
Poppy Donggo Hutagalung, Marianne Katoppo, Upita Agustine, Ike Supomo,

20
Leila S. Chudori, Ratna Indraswari Ibrahim, Oka Rusmini, Medi Lukito, dan
Rayani Sriwidodo mulai berkarya di penghujung tahun 70-an dan di awal-awal
tahun 80-an. Bahkan mereka pun masih berkarya hingga sekarang.
M. Poppy Donggo Hutagalung lahir 10 Oktober 1940 di Jakarta. Pernah
bekerja sebagai redaktur ruang anak-anak dan ruang remaja harian Sinar Harapan.
Berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi Publisistik, Jakarta. Sajaknya “Pada
Suatu Bulan yang Cerah” dan “Kereta Tua” memperoleh hadiah ketiga majalah
Sastra tahun 1962. Kumpulan sajaknya Hari-hari yang Cerah (1970). Sajak-
sajaknya yang lain dimuat dalam Toeti Heraty (ed.), Seserpih Pinang Sebucuk
Sirih (1979). Ia juga banyak menulis cerita anak-anak.
Henriette Marianne Katoppo lahir di Tomohon, Sulawesi Utara, 9 Juni 1943
dan meninggal di Bogor pada tanggal 12 Oktober 2007. Sejak kecil ia sudah aktif
menulis. Pada usia 8 tahun karyanya yang pertama diterbitkan di rubrik anak-anak
harian berbahasa Belanda Nieuwsgier di Jakarta.
Pada tahun 1960-an ia menulis beberapa cerpen yang dimuatkan di harian
Sinar Harapan dan majalah bulanan Ragi Buana. Novelnya, Raumanen, mendapat
penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (1975), Yayasan Buku Utama (1978),
dan South East Asian Writer Award (1982) sebagai pemenang pertama. Novel ini
diterbitkan kembali pada tahun 2006.
Novelnya yang lain adalah Dunia Tak Bermusim (1974), Anggrek Tak
Pernah Berdusta (1977), Terbangnya Punai (1978), dan Rumah di Atas Jembatan
(1981).
Upita Agustine dilahirkan di Pagaruyung, Sumatera Barat, 31 Agustus 1947.
Puisi-pusinya dipublikasikan antara lain di Horison. Karya-karyanya: Bianglala
(1973), Dua Warna (1975; bersama Hamid Jabbar), Terlupa dari Mimpi (1980),
Sunting (1995; bersama Yvonne de Fretes), selain terdapat pula dalam antologi
Laut Biru Langit Biru (1977; Ajip Rosidi [ed.]), Tonggak 3 (1987; Linus Suryadi
[ed.]), dan Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun
Rampan [ed.]).
Ike Soepomo dilahirkan di Serang, Banten, 28 Agustus 1946. Menulis sejak
duduk di Sekolah Menengah Pertama. Hampir seluruh novelnya telah difilmkan.

21
Selain novel, ia menulis cerita pendek, novelet, artikel, skenario film. Karya-
karyanya antara lain: Untaian yang Terberai, Anyelir Merah Jambu, Putihnya
Harapan, Permata, Lembah Hijau, Malam Hening Kasih Bening, Mawar Jingga,
Kembang Padang Kelabu, dan Kabut Sutra Ungu. Film yang didasarkan pada
karyanya yang paling populer, Kabut Sutra Ungu, meraih beberapa piala “Citra”
serta penghargaan Festival Film Asia di Bali. Sedangkan beberapa skenario film
yang ditulisnya adalah Hati Selembut Salju, Mawar Jingga, dan Hilangnya Sebuah
Mahkota.
Leila S. Chudori dilahirkan di Jakarta, 12 Desember 1962. Karyanya dimuat
antara lain di Horison, Matra, Media Indonesia. Kumpulan cerita pendeknya
Malam Terakhir terbit pada 1989.
Ratna Indraswari Ibrahim dilahirkan di Malang, Jawa Timur, 24 April 1949.
Cerpen-cerpennya dimuat antara lain di Kompas, Jawa Pos, Basis, Horison, dan
Republika. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan adalah Menjelang Pagi
(1994). Selain itu, karya-karyanya dimuat pula dalam antologi cerpen terbaik
Kompas: Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), dan Dua Tengkorak
Kepala (2000), serta dalam Dunia Ibu: Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis
Indonesia dan Ungu: Antologi Puisi wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun
Rampan [ed.]).
Oka Rusmini dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1967. Kumpulan puisinya
Monolog Pohon terbit pada 1997 dan novelnya Tarian Bumi diluncurkan tiga
tahun kemudian. Selain itu karya-karyanya dimuat dalam sejumlah antologi,
antara lain Rindu Anak Mendulang Kasih (1987), Antologi Puisi Wanita Penyair
Indonesia dan Dunia Ibu: Antologi Cerpen Wanita Cerpenis Indonesia (keduanya
dieditori Korrie Layun Rampan), Negeri Bayang-bayang (1996) dan Mimbar
Penyair Abad 21. Cerpennya, “Putu Menolong Tuhan”, memenangi Sayembara
Mengarang Cerita Pendek Majalah Femina 1994.
Medy Lukito dilahirkan di Surabaya, 21 Juli 1962. Puisi, cerpen serta artikel-
artikelnya tersiar di berbagai surat kabar sejak 1978. Selain dalam antologi
Festival Puisi XIV (1994); Trotoar (1996); dan Jakarta, Jangan Lagi (1997), puisi-
puisinya dikumpulkan dalam In Solitude (1993) dan Jakarta, Senja Hari). Medy

22
Loekito termasuk penyair yang berkembang secara pelan, tetapi stabil. Mulai
dikenal sejak kumpulan puisinya In Solitude (1993) ia kemudian muncul dalam
Jakarta, Senja Hari (1998) yang memperlihatkan corak sajak-sajak impresionis.
Dalam sejumlah sajaknya, ia membangun imaji kanak-kanak yang dihubungkan
dengan realitas orang dewasa. Dalam berbagai pengucapannya kadang muncul
model aforisme Cina, haiku atau tanka dari Jepang, terutama dalam permainan
bunyi dan suara yang membawa bayangan angan ke dalam situasi yang liris.
Rayani Sriwidodo dilahirkan di Kotanopan, Sumatera Utara 6 November
1946. Cerpennya “Balada Satu Kuntum” memperoleh penghargaan Nemis Prize
dari Pemerintah Chile (1987). Karya-karya alumni Iowa Writing Program, Iowa
University, Amerika Serikat ini antara lain Pada Sebuah Lorong (1968; bersama
Todung Mulya Lubis), Kereta Pun Terus Berlalu, Percakapan Rumput,
Percakapan Hawa dan Maria (1989), Balada Satu Kuntum (1994), dan Sembilan
Kerlip Cermin (2000).
Selain nama-nama tersebut perlu dicatat pula kehadiran beberapa pengarang
yang lebih banyak berkarya di tataran sastra populer yang begitu mendominasi
dalam pemasaran buku-buku novel. Mereka adalah Mira W, Marga T, dan La
Rose. Tiga orang perempuan pengarang ini menghadirkan fiksi romantis yang
menjadi ciri novel-novel yang ditulisnya. Pada umumnya tokoh utama dalam
novel-novel mereka adalah perempuan. Berbeda dengan novel-novel Balai
Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Barat abad 19 yang mematikan tokoh-
tokoh utamanya untuk menonjolkan romantisme dan idealisme, karya-karya pada
periode 80-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Pada periode tahun 1990-an sampai sekarang, jumlah perempuan pengarang
semakin banyak. Hal ini menandakan semakin terbukanya ruang perempuan bila
dibandingkan dengan masa-masa awal kelahiran sastra Indonesia modern.
Para perempuan pengarang yang mulai menampilkan karyanya di periode ini
adalah Dorothea Rosa Herliany, Nenden Lilis Aisyah, Ayu Utami, Helvy Tiana
Rosa, dan Dewi Lestari.
Dorothea Rosa Herliany dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober
1963. Sejak 1985 menulis di berbagai media massa, antara lain di Horison,

23
Kompas, Jawa Pos, Basis, dan Dewan Sastra (Malaysia). Karya-karya puisinya
dibukukan dalam Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990),
Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Nikah Ilalang (1995),
Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999; terpilih sebagai pemenang kedua Sayembara
Mengarang Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2000). Karya lainnya adalah Kill The
Radio dan Santa Rosa (2008)
Nenden Lilis A. dilahirkan di Garut, Jawa Barat, 26 September 1971.
Tulisannya antara lain dimuat di Kompas, Pikiran Rakyat, Republika, Media
Indonesia. Kumpulan puisi tunggalnya, Negeri Sihir, diluncurkan pada 1999.
Selain itu dimuat pula dalam sejumlah antologi, di antaranya: Mimbar Penyair
Abad 21 (1996) dan Dua Tengkorak Kepala: Kumpulan Cerita Pendek Terbaik
Kompas 2000.
Ayu Utami dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. S-1 Sastra
Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pernah bekerja sebagai
wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R. Sepanjang 1991 menulis kolom
mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Esai-esainya kerap dipublikasikan di
jurnal Kalam. Novelnya, Saman, memenangkan Sayembara Mengarang Roman
Dewan Kesenian Jakarta 1998. Kini bekerja sebagai redaktur jurnal Kalam.
Helvy Tiana Rosa dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 2 April 1970. S-1
Sastra Arab dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Menulis puisi, drama,
cerita pendek, dan novel. Sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Arab, Perancis, dan Jepang. Karya-karyanya antara lain: Aminah dan Palestina
(1991), Negeri Para Pesulap (1993), Maut di Kamp (1997; bersama M. Syahidah),
Luka Bumi (1998; bersama Rahmadianti), Ketika Mas Gagah Pergi (1997), Mc.
Alliester (1996), Lentera (1999; ditulis bersama Nadia), Sebab Sastra yang
Merenggutku dari Pasrah (1999), Nyanyian Perjalanan (2000; bersama Gola
Gong). Pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi Annida dan Forum Lingkar
Pena, sebuah wadah penggemar sastra dan perempuan pengarang pemula dengan
2000 anggota se-Indonesia.
Dewi Lestari, dilahirkan di Bandung, 20 Januari 1976. S-1 Ilmu Politik dari
Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung. Ia lebih dulu dikenal

24
sebagai pencipta lagu dan penyanyi dari trio vokal “Rida, Sita, Dewi”. Tercatat
sebagai dewan redaksi CIMM (Circle of Information for Mass Media), dan
kontributor majalah Trolley. Supernova episode Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh
(2001) adalah novelnya pertama yang direncanakan sebagai suatu novel serial
dengan spirit penelusuran terhadap spiritualitas dan sains. Episode kedua
Supernova berjudul Akar (2002) dan episode ketiganya berjudul Petir diterbitkan
tahun 2005.
Selain itu hadir pula nama-nama lain yang meramaikan dunia sastra Indonesia
seperti Asma Nadia, Abidah El-Khalieqi, Fira Basuki, Djenar Maesa Ayu, Dinar
Rahayu, Eliza Fitri Handayani, Rukmi Wisnu Wardhani, Nukila Amal, Anggie D.
Widowati, Naning Pranoto, Ana Maryam, Weka Gunawan, Agnes Jesicca, Ani
Sekarningsih, Ratih Kumala, dan Dewi Sartika.
Hingga saat ini para perempuan pengarang baru mulai bermunculan
menghadirkan karya sastra serius maupun populer yang disadari atau tidak justru
sedang mengubah peta perjalanan sastra Indonesia yang sebelumnya didominasi
oleh kaum laki-laki.

2.4 Perkembangan Pemikiran dalam Karya


Pendapat sebagian kalangan (Wilson Nadeak misalnya) yang mengatakan
karya sastra adalah cermin pada zamannya merupakan salah satu segi yang dapat
dijadikan unsur penilaian terhadap sebuah karya sastra. Gagasan yang dihadirkan
dalam karya sastra tidak terlepas dari gagasan yang secara umum dibangun dalam
zaman ketika karya sastra tersebut lahir.
Hubungan antara gagasan dalam karya sastra dengan gagasan utama pada
zamannya menyebabkan beberapa pakar membuat semacam periodisasi sastra.
Istilahnya bermacam-macam. Di antara pakar sastra tersebut ada yang
mengistilahkannya periode (Ajip Rosidi) atau angkatan (H.B. Jassin).
Dalam setiap periode tersebut karya-karya sastra yang dihasilkan oleh
perempuan pengarang belum berhasil mengangkat kedudukan perempuan sebagai
bagian sejarah sastra yang diperhitungkan. Gagasan-gagasan yang hadir dalam
karya-karya mereka belum mampu mendominasi peranan yang dimainkan oleh

25
para sastrawan laki-laki.
Para pengarang perempuan ini lebih banyak asyik menghadirkan tema-tema
yang berhubungan dengan kodratnya sebagai perempuan. Tema-tema sedih dan
kerinduan kerap menjadi tema-tema favorit yang sering hadir dalam karya-karya
mereka. Pengalaman pribadi menjadi sumber ilham bagi mereka dalam
menghasilkan karya-karyanya. Perspektif perempuan dalam menghadapi masalah
dan memandang dunia begitu kental terasa dalam karya-karya novel yang terbit
pada masa tersebut. Persoalan-persoalan yang dihadirkan pun masih sekitar
persoalan yang dihadapi perempuan dalam ranah domestik.
Namun demikian, perubahan cara pandang dari para perempuan pengarang
tersebut mulai terlihat memasuki tahun 60-an hingga tahun 2000-an sekarang ini.
Hal ini tidak terlepas dari pengaruh hadirnya aliran feminisme dari Barat yang
mulai memperoleh tempat di kalangan sastrawan.
Pada era tahun 70-an dan tahun 80-an estetika yang diusung oleh para
perempuan pengarang mulai bergerak ke arah pasar. Dalam periode ini novel-
novel yang bergenre populer banyak ditulis oleh mereka. Hadirnya sejumlah
majalah perempuan yang memberi keleluasaan tempat bagi para pengarang untuk
memajangkan karyanya berupa cerpen maupun cerber menyebabkan karya-karya
mereka kemudian membanjiri pasar. Hal ini disebabkan pula oleh dukungan yang
kuat dari sejumlah penerbit dalam menerbitkan karya-karya jenis ini atas dasar
pertimbangan kuatnya daya serap pasar. Memang, pasar pun merespon novel-
novel populer ini karena cerita yang disajikan mudah dicerna dan ceritanya pun
lekat dengan keseharian. Dari genre ini kemudian melambungkan sejumlah nama
perempuan pengarang sebagai pengarang yang banyak digemari. Nama-nama
besar seperti NH Dini, Titiek WS, Mira W, Titi Said, dan La Rose untuk
menyebut sebagian saja mencatatkan diri sebagai pengarang favorit pembaca.
Meskipun begitu, kemunculan mereka tidak semenghentak Ayu Utami, Jenar
Maesa Ayu, Dinar Rahayu maupun Fira Basuki yang muncul pada periode 90-an.
Perubahan estetika yang sangat jelas dihadirkan oleh mereka. Situasi ini terutama
sejak hadirnya novel Saman karya Ayu Utami yang sedikit banyak telah
mengubah wajah estetika sastra yang selama ini dianut oleh para perempuan

26
pengarang maupun para sastrawan Indonesia pada umumnya.
Keberanian Ayu dalam mengeksploitasi tubuh dengan diksi-diksi yang
menjurus seks telah menyentak dunia sastra. Apalagi kehadiran Saman pun
didukung oleh berbagai pujian yang mengalir tak henti-henti. Wilayah yang
selama ini tabu dibicarakan dan diungkapkan karena bersinggungan dengan nilai-
nilai budaya ketimuran yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia dengan
leluasa dihadirkan oleh Ayu.
Saman dianggap sebagai pembuka jalan yang benar-benar mewakili suara
zamannya karena di dalamnya penuh kritik, pemberontakan terhadap nilai yang
mapan dan mencari tawaran dunia yang mungkin, dunia baru yang lebih
melegakan karena terbebas dari belenggu nilai-nilai tradisional. Nada yang sama
mengisi karya-karya Dee dan Jenar Mahesa Ayu. Hal ini diikuti pula oleh para
pengarang perempuan seperti Dinar Rahayu dan Fira Basuki. Berbagai tudingan
memang kemudian mengalir kepada mereka, bahkan ada yang menyebut karya-
karya Dinar dan Fira sebagai masokis sarat kekerasan seksual.
Di tengah maraknya estetika berwajah seks dan pemberontakan terhadap
nilai-nilai tradisional tersebut secara perlahan namun pasti Helvy Tiana Rosa,
Asma Nadia, dan sejumlah pengarang perempuan lain yang tergabung dalam
Forum Lingkar Pena kemudian menghadirkan estetika baru pula yang mengusung
nilai-nilai estetika Islam dalam karya-karyanya.
Berbeda dengan Ayu Utami, karya-karya pengarang islami seperti Asma
Nadia lebih banyak mengacu kepada pengukuhan nilai-nilai, kepercayaan
keagamaan, karya yang islami, dengan ketaatan pada ketentuan hukum agama.
Yang menarik sebenarnya adalah ada sisi lain yang menjadi kesamaan dari
karya-karya mereka. Sejumlah karya yang ditulis para perempuan pengarang ini
adalah usahanya untuk tidak lagi terikat oleh problem domestik. Karya-karya
mereka tidak lagi berbicara tentang persoalan rumah tangga –suami-istri,
melainkan persoalan seorang perempuan dalam berhubungan dengan masyarakat
kosmopolitan. Maka, di sana, tokoh-tokoh wanita yang menjadi pelaku utamanya,
seenaknya bergentayangan ke mancanegara atau berhubungan dengan masyarakat
dunia.

27
Kehadiran novel Dadaisme (Mahatari, Yogyakarta, 2004) dan Geni Jora
(Mahatari, Yogyakarta, 2004) di tengah masih maraknya fiksi-fiksi kaum
perempuan yang mengusung seks maupun yang berlabel ‘Islami’ sangat menarik
pula. Sebagai karya yang memenangi suatu sayembara bergengsi, kehadiran dua
novel ini membuat perhatian dan pandangan para pengamat sastra menjadi
beragam. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagai karya yang banyak
dipuji oleh para juri sayembara yang notabene adalah para sastrawan kawakan,
kedua novel ini justru tidak masuk ke dalam dua mainstreams tersebut. Meskipun,
sebagai ‘refleksi kehidupan’ di sekitar pengarangnya seperti yang diistilahkan
Umar Kayam, kedua novel tersebut tidak terbebas dari persoalan seks.
Dalam pandangan para pengamat sastra, karya fiksi yang ditulis kedua
pengarang perempuan ini mampu membakar kebekuan gerilya sastra sekaligus
meruntuhkan tembok pembatas antara sastra pop dan sastra serius. Keduanya
mampu menjadi trend dan dibaca oleh kalangan yang kompleks, mulai dari
mereka yang gemar berburu buku-buku porno stensilan hingga doktor-doktor ilmu
sastra yang mejanya penuh dengan naskah-naskah seminar.
Sejak itu estetika sastra Indonesia benar-benar seperti dikuasai oleh
perempuan pengarang. Mengenai hal ini, Sapardi Djoko Damono dengan nada
bercanda mengatakan bahwa masa depan sastra Indonesia berada di tangan
perempuan pengarang. Sebuah pernyataan dari seorang sastrawan dan pakar sastra
terkemuka yang telah mengubah paradigma selama ini dan mungkin sebuah
keberhasilan dari upaya yang dilakukan oleh para perempuan pengarang yang
tidak mungkin terjadi di masa lalu.
Kini perempuan pengarang bisa menepuk dada bahwa mereka bisa mengubah
wajah sastra Indonesia menjadi begitu feminin. Mereka pun benar-benar telah
menjadi bintang dalam hiruk-pikuk dunia sastra Indonesia modern hari ini.
E.Penutup
Sejak zaman Selasih, Maria Amin, N.H. Dini, Hingga Ayu Utami dan Dewi
Sartika, peta perkembangan estetika sastra yang diusung oleh perempuan
pengarang telah mengalami perubahan yang berarti. Seiring dengan
perkembangan pandangan terhadap dunia perempuan, pola pikir dan pola ucap

28
mereka pun telah mengalami perubahan pula. Keberanian mereka dalam
mengeksploitasi berbagai hal yang selama ini hanya dipendam di wilayah tertutup
telah memberikan wacana baru dalam dunia sastra Indonesia bahwa
menyepelekan perempuan pengarang atas karya-karyanya adalah sebuah
kesalahan besar.
Ketika seorang perempuan telah keluar dari wilayah domestik yang
mengungkungnya, mereka akan lebih mempunyai daya daripada yang dimiliki
laki-laki dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah lingkungannya. Hal ini
setidaknya dialami oleh para perempuan pengarang perempuan seperti Ayu Utami
dan Jenar Maesa Ayu.
Di sisi lain, ada pula yang dengan sadar menyadari bahwa kedudukannya
sebagai perempuan tentu dibatasi oleh norma-norma yang selama ini diyakininya
telah mampu menjadi benteng pertahanan.
Yang perlu dicatat dalam fenomena sastra dewasa ini, ketika perempuan
pengarang mendominasi penciptaan karya sastra, adalah menghilangkan sikap dan
pandangan yang salah bahwa kehadiran mereka dalam pentas sastra sejak enam
tahun terakhir hanya sebatas kepentingan gaul. Patut dicatat pula bahwa
sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bayang-bayang keangkeran dunia sastra.
Kehadiran para perempuan pengarang ini niscaya telah mengguratkan garis
berbeda dengan para pengarang sebelumnya, termasuk ketika Selasih menulis
novel Kalau tak Untung, pada tahun 1933, yang dianggap sebagai tonggak
kemunculan perempuan pengarang dalam khazanah sastra Indonesia.

29
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah posisi dan kedudukan perempuan pengarang dalam
perkembangan sastra Indonesia. Posisi dan kedudukan perempuan pengarang
yang pada awal perkembangan sastra Indonesia belum begitu mengemuka karena
keterbatasan pengarang mulai menempati posisi yang penting, disejajarkan
dengan laki-laki pengarang, bahkan mulai melebihi peranan yang dimainkan oleh
laki-laki pengarang—meski premis ini tentu harus dikaji lebih lanjut. Tidak dapat

30
disangkal memang peranan wanita dalam perkembangan sastra di negeri ini.
Memang benarlah apa yang disabdakan Nabi Muhammad, "Wanita itu tiang
negara. Jika baik wanita, maka baik pula negara. Akan tetapi jika buruk wanita,
maka buruk pula suatu negara."
Semoga, sastra wanita Indonesia bisa makin eksis. Eksis, bukan untuk
menyaingi karya sastra (atau sastrawan) kaum laki-laki. Tetapi untuk melengkapi
dan makin memperkaya kesusastraan Indonesia. Sehingga, apa yang dikesankan
oleh Maman S. Mahayana bahwa penilaian karya sastra Indonesia bukan pada
kualitas namun lebih pada masalah gender, hanyalah sebuah kekhawatiran semata.
Dan jejak-jejak Kartini dahulu, bekasnya tidak terkikis oleh laju zaman.

BAB IV
Daftar Pustaka

A. Buku
Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra
Kuntowijoyo. 1987. Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis
Permasalahan Wanita. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moeliono, Anton M. (Penyunting), 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

31
Jakarta. Balai Pustaka.
Rosidi, Ajip. 1982. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Sugihastuti. 1991. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tome, Sariyati N. 2000. “Permasalahan Wanita dalam Novel N.H Dini:
Analisis Kritik sastra Feminis”. Jakarta. Makalah Seminar. (tidak dipublikasikan)
B. Surat Kabar
Adjikoesoemo, BSW. 2006. “Potret Buram Nasib Perempuan dalam Sastra).
Republika edisi Minggu, 06 Januari 2008.
Aminuddin, Mariana. 2005. “Sosok Perempuan dalam ‘Sastra Lelaki’”.
Republika edisi Minggu, 23 Januari 2005.
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2006. “Kegairahan Perempuan dan Problem
Estetika Sastra”. H.U. Republika edisi Minggu, 07 Mei 2006.
Kurniawan, Aris. “Sastra dan Pemberontakan Kaum Perempuan”. Republika
edisi 14 Agustus 2005.

32

Anda mungkin juga menyukai