Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Konsep gender dan jenis kelamin serta implikasi ketidaksetaraan gender”

Dosen Pengampuh : Ibu. Mariana Ngundju Awang S.Si.T.M.Kes

DISUSUN OLEH
Francina Anakoda Awang
PO530324019465
IIIB

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLTEKKES KEMENKES KUPANG


PRODI D-III KEBIDANAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa Karena atas
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah mengenai Konsep
gender dan jenis kelamin serta implikasi ketidaksetaraan gender
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan dan penulisan tugas ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Saya menyadari bahwa ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk
pengembangan kedepannya.

Kupang, 30 Agustus 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................4
1. Latar Belakang...........................................................................................................4
2. Rumusan Masalah......................................................................................................6
3. Tujuan Masalah.........................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................7
A KONSEP GENDRE DAN JENIS KELAMIN..........................................................7
1. Pengertian Gender.................................................................................................7
2. Sex (Jenis Kelamin Biologis)..................................................................................8
3. Peran Gender..........................................................................................................9
4. Perbedaan Seks dan Gender................................................................................11
B Implikasi Ketidaksetaraan Gender.........................................................................12
1. Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan......................................................12
C Faktor-Faktor Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan.................................15
BAB III PENUTUP.............................................................................................................17
A KESIMPULAN.........................................................................................................17
B SARAN......................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana laki-


laki dan perempuan setempat yang berkaitan dengan peran, sifat, kedudukan, dan
posisi dalam masyarakat tersebut. Seks atau jenis kelamin merupakan perbedaan
antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan ciri biologisnya. Manusia yang
berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang bercirikan memiliki penis, memiliki
jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki alat
reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur,
memiliki vagina, dan memiliki alat menyusui.

Pembedaan laki-laki dengan perempuan berdasarkan sex atau jenis kelamin


merupakan suatu kodrat atau ketentuan dari Tuhan. Ciri-ciri biologis yang melekat
pada masing-masing jenis kelamin tidak dapat dipertukarkan. Alat-alat yang
dimiliki laki-laki maupun perempuan tidak akan pernah berubah atau bersifat
permanen. Dalam konsep gender, pembedaan antara laki-laki dengan perempuan
berdasarkan konstruksi secara sosial maupun budaya.

Perilaku yang menjadi identitas laki-laki maupun perempuan dibentuk


melalui proses sosial dan budaya yang telah diperkenalkan sejak lahir. Ketika
terlahir bayi laki-laki maka orang tua akan mengecat kamar bayi dengan warna
biru, dihiasi dengan gambar mobil-mobilan dan pesawat, serta memberikannya
mainan seperti bola, robot-robotan, dan tamia. Apabila terlahir bayi perempuan
maka orang tua akan mengecat kamar bayinya dengan warna merah jambu,
menghiasinya dengan gambar hello kitty, dan menyiapkan boneka-boneka lucu
untuk putrinya. Watak sosial budaya selalu mengalami perubahan dalam sejarah,
gender juga berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain.

4
Sementara jenis kelamin sebagai kodrat Tuhan tidak mengalami perubahan dengan
konsekuensi-konsekuensi logisnya.

Masyarakat menentukan dan membentuk sifat-sifat individu, yang


mencakup penampilan, pakaian, sikap, dan kepribadian. Jika ia seorang laki-laki
maka ia harus terlihat maskulin dan apabila ia perempuan maka ia harus feminim.
Maskulinitas seorang laki-laki ditunjukkan dengan karakter yang gagah berani,
kuat, tangguh, pantang menyerah, egois, dan berpikir rasional. Apabila sifat-sifat
tersebut banyak ditinggalkan atau bahkan tidak dimiliki oleh seorang laki-laki,
maka ia akan dianggap sebagai laki-laki yang kebancibancian. Feminimitas seorang
perempuan ditunjukkan dengan karakter yang lembut, rendah hati, anggun, suka
mengalah, keibuan, lemah, dan dapat memahami kondisi orang lain. Apabila sifat-
sifat positif ini banyak ditinggalkan oleh seorang wanita, atau bahkan tidak
dimilikinya, maka wanita yang bersangkutan dikatakan sebagai wanita yang tidak
menarik Sesungguhnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama
tidak melahirkan ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-
laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidaksetaraan gender juga
disebabkan oleh adanya sikap bias gender yang didasarkan pengetahuan-
pengetahuan masyarakat yang memiliki kecenderungan bersifat tidak adil gender.
Kultur sosial budaya yang ada menempatkan perempuan pada kelas kedua,
perempuan lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Budaya hegemoni
patriarkhi menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga, organisasi,
maupun politik, sehingga partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan
masih relatif rendah. Kurangnya kesempatan yang dimiliki perempuan untuk ikut
serta dalam pengambilan keputusan atau bahkan menjadi pemimpin dari suatu
organisasi, membuat perempuan lebih memilih bersikap pasif.

5
2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana Konsep Gendre dan Jenis Kelamin?

2) Apa yang dimaksud dengan implikasi kesetaraan gender ?

3) Apa saja faktor-faktor penyebab kesenjangan gender ?

3. Tujuan Masalah

1) Untuk menegetahui konsep gendre dan jenis kelamin.

2) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan implikasi kesetaraan


gender

3) Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kesenjangan gender

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A KONSEP GENDRE DAN JENIS KELAMIN

1. Pengertian Gender

Pengertian gender menurut Muhtar (2002), bahwa gender dapat diartikan


sebagai jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran
sosial berdasarkan jenis kelamin. Sementara Fakih (2008: 8) mendefinisikan gender
sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial dan kultural. Istilah gender dibedakan dari istilah seks.
Oakley, ahli sosiologi Inggris, merupakan orang yang mula-mula memberikan
pembedaan dua istilah itu (Saptari dan Halzner, 1997: 88).

Istilah gender merujuk kepada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan


berdasarkan kontruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat, status, posisi,
dan perannya dalam masyarakat. Istilah Seks merujuk kepada perbedaan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis terutama yang berkaitan dengan
prokreasi dan reproduksi. Laki-laki dicirikan dengan adanya sperma dan penis serta
perempuan dicirikan dengan adanya sel telur, rahim, vagina, dan payudara. Ciri
jenis kelamin secara biologis tersebut bersifat bawaan, permanen, dan tidak dapat
dipertukarkan (Abdullah, 2004 : 11).

Selanjutnya, yang dimaksud dengan gender adalah cara pandang atau


persepsi manusia terhadap perempuan atau laki-laki yang bukan didasarkan pada
perbedaan jenis kelamin secara kodrati biologis. Gender dalam segala aspek
kehidupan manusia 13 mengkreasikan perbedaan antara perempuan dan laki-laki
termasuk kreasi sosial kedudukan perempuan yang lebih rendah dari pada laki-laki.

7
Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional,
atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari
sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-
laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang
kuat, rasional dan perkasa ( Hadiati, 2010 : 15).

Dari berbagai pendapat di atas peneliti menyimpuilkan bahwa istilah


gender merujuk pada nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat berdasarkan jenis
kelamin. Nilai-nilai tersebut dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman
dan dapat dipertukarkan. Itu terjadi karena gender tidak melekat pada jenis
kelamin tetapi pada pelabelan masyarakat

2. Sex (Jenis Kelamin Biologis)

Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara
perempuan dan laki-laki, pada perbedaan tubuh antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Moore dan Sinclair (1995: 117) “ Sex reffers to
biological deferencer between man and woman, the result of differences in the
chromosomes of the embryo”. Definisi konsep seks tersebut menekankan pada
perbedaan yang disebabkan perbedaan kromosom pada janin. Sebagaimana
dikemukakan oleh Keshtan 1995, jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak
lahir sehingga tidak dapat diubah. Sebagai contoh, hanya perempuan yang dapat
14 14 hamil dan hanya laki-laki yang menjadikan perempuan hamil. Seks adalah
karakteristik biologis seseorang yang melekat sejak lahir dan tidak bisa diubah
kecuali dengan operasi. Alat-alat tersebut menjadi dasar seseorang dikenali jenis
kelaminnya sebagai perempuan atau laki-laki.

Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan


atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis,
bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan),
dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan sebagai seorang laki-laki atau

8
seorang perempuan.

Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa
seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun,
kumis, janggut, dan memproduksi sperma. Sementara seseorang disebut berjenis
kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi,
memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses
melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya
dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain

3. Peran Gender

Peran gender adalah peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai
dengan status lingkungan, budaya dan struktur masyarakat. Peran tersebut
diajarkan kepada setiap anggota masyarakat, komunitas dan kelompok sosial
tertentu yang 15 dipersiapkan sebagai peran perempuan dan laki-laki, empat jenis
peran dalam gender, yaitu :

a. Peran Gender

Peran gender adalah peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai
dengan status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Peran tersebut
diajarkan kepada setiap anggota masyarakat, komunitas dan kelompok sosial
tertentu yang dipersepsikan sebagai peran perempuan dan laki-laki. Peran laki-laki
dan perempuan dibedakan atas peran produktif, reproduktif dan sosial.

b. Peran Produktif

Peran Produktif merujuk kepada kegiatan yang menghasilkan barang dan


pelayanan untuk konsumsi dan perdagangan (Kamla Bhasin, 2000). Semua
pekerjaan di pabrik, kantor, pertanian dan lainnya yang kategori aktivitasnya
dipakai untuk menghitung produksi nasional bruto suatu negara. Meskipun
perempuan dan laki-laki keduanya terlibat di dalam ranah publik lewat aktivitas

9
produktif, namun masyarakat tetap menganggap pencari nafkah adalah laki-laki.
Contoh di sebuah kantor, bila terjadi PHK maka seringkali perempuanlah yang
dikorbankan karena dianggap kegiatan laki-laki yang menghasilkan uang. Bila
merujuk pada definisi kerja sebagai aktivitas yang menghasilkan pendapatan baik
dalam bentuk uang maupun barang maka ativitas perempuan dan laki-laki baik di
sektor formal maupun informal, di luar rumah atau di dalam rumah sepanjang
menghasilkan uang atau barang termasuk peran produktif. Contoh peran produktif
perempuan yang dijalankan di dalam rumah misalnya usaha menjahit, catering,
salon dan yang lain. Contoh peran produktif yang dijalankan di luar rumah, sebagai
guru, buruh, pedagang, pengusaha.

c. Peran Reproduktif

Peran reproduktif dapat dibagi mejadi dua jenis, yaitu biologis dan sosial.
Reproduksi biologis merujuk kepada melahirkan seorang manusia baru, sebuah
aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan. Reproduksi sosial merujuk
kepada semua aktivitas merawat dan mengasuh yang diperlukan untuk menjamin
pemeliharaan dan bertahannya hidup (Kamla Bhasin, 2000). Dengan demikian,
aktivitas reproduksi ialah aktivitas yang mereproduksi tenaga kerja manusia.
Merawat anak, memasak, memberi makan, mencuci, membersihkan, mengasuh
dan aktivitas rumah tangga lainnya masuk dalam kategori ini.

Walaupun hal-hal tersebut penting untuk bertahannya hidup manusia,


aktivitas tersebut tidak dianggap sebagai pekerjaan atau aktivitas ekonomi
sehingga tidak terlihat, tidak diakui dan tidak dibayar. Kerja reproduktif biasanya
dilakukan oleh perempuan, baik dewasa maupun anak-anak di kawasan rumah
domestik. Pertanyaannya mengapa peran reproduktif secara alamiah menjadi
tanggung jawab perempuan. Jawaban yang sering muncul adalah karena
perempuan melahirkan maka merawat, memelihara anak menjadi tannggung
jawabnya. Pelabelan tersebut menjadi sirna bila mengerti apa itu seks/jenis

10
kelamin dan apa itu gender. Laki-laki pun melakukan peran reproduktif, baik 17
reproduktif biologis (membuahi) dan reproduktif sosial kerena memelihara anak
dan mengasuh anak tidak menggunakan rahim.

d. Peran Sosial (Kemasyarakatan)

Kegiatan kemasyarakatan merujuk kepada semua aktivitas yang diperlukan


untuk menjalankan dan mengorganisasikan kehidupan masyarakat. Peran
kemasyarakatan yang dijalankan perempuan adalah melakukan aktivitas yang
digunakan bersama, misalnya pelayanan kesehatan di Posyandu, partisispasi dalam
kegiatan-kegiatan sosial dan kebudayaan (kerja bakti, gotong royong, pembuatan
jalan kampung, dll). Semua kegiatan tersebut biasanya dilakukan secara
sukarelawan. Sedangkan peran sosial yang dilakukan laki-laki biasanya pada
tingkatan masyarakat yang diorganisasikan, misalnya menjadi RT, RW, Kepala Desa

4. Perbedaan Seks dan Gender

Menurut kementerian Peranan Wanita dalam Nasution (2015) Istilah sex


(jenis kelamin) konsentrasi pada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan
karakteristik biologi lainnya. Sementara, gender lebih menekankan pada aspek
sosial, budaya, psikologi, dan aspek nonbioloogis lainnya.

Untuk lebih jelasnya, Mufidah (2013) mengidentifikasi perbedaan seks dan


gender sebagaimana berikut.

11
B Implikasi Ketidaksetaraan Gender

1. Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan

Ketidaksetaraan gender secara menyeluruh adalah akibat dari latar


belakang pendidikan yang belum setara. Ada 3 hal permasalahan yakni :
kesempatan, jenjang dan kurikulum (Suryadi & Idris, 2004). Menurut Suleeman
(1995) ketidaksetaraan gender dalam pendidikan adalah perbedaan dalam hak dan
kewajiban antara perempuan dan laki-laki ,Ketidaksetaraan Gender dalam
Pendidikan mengecap pendidikan formal. Ketidaksetaraan gender dalam
pendidikan dapat dilihat dari indikator kuantitatif yakni angka melek huruf, angka
partisipasi sekolah, pilihan bidang studi, dan komposisi staf pengajar dan kepala
sekolah (Van Bemmelen,1995).

Ketidaksetaraan gender bidang pendidikan banyak merugikan perempuan,


hal tersebut dapat dilihat, anak perempuan cenderung putus sekolah ketika
keuangan keluarga tidak mencukupi, perempuan harus bertanggung jawab
terhadap pekerjaan rumah tangga, selain itu pendidikan yang rendah pada
perempuan menyebabkan mereka banyak terkonsentrasi pada pekerjaan informal
dengan upah rendah.

Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh


kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan
pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan.

Sejak tahun 1945 prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan sebenarnya


telah diakui, terbukti dalam ketentuan Undang-undang dasar 1945 tentang
pengakuan warga negara dan penduduk jelas tidak membedakan jenis kelamin.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya

12
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka akses, kesempatan
berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang
setara dan adil dari pembangunan. Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki
dalam segala lapisan masyarakat di sepanjang zaman, dimana perempuan dianggap
lebih rendah daripada laki-laki. Dari sinilah doktrin ketidasetaraan antara laki-laki
dan perempuan. Ketidaksetaraan tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Marginalisasi terhadap Perempuan

Marginalisasi berarti menempatkan atau mengeser perempuan kepinggiran.


Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani
sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin. Akibatnya perempuan selalu
dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Seperti: (1) dalam proses
pembangunan perempuan diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut dalam
mengambil keputusan dan pendapatnya jarang didengarkan, (2) dalam keluarga
perempuan tidak diakui sebagai kepala rumah tangga, perempuan tidak boleh
memimpin dan memerintah suami sekalipun suami tidak dapat memimpin, (c)
dalam diri perempuan sendiri terdapat perasaan tidak mampu, lemah,
menyingkirkan diri sendiri karena tidak percaya diri.

b. Steorotip Masyarakat terhadap Perempuan

Pandangan stereotip masyarakat yakni pembakuan diskriminasi antara


perempuan dan laki-laki Perempuan dan lakilaki sudah mempunyai sifat masing-
masing yang sepantasnya, sehingga tidak dapat dikukur dari qodrat yang telah ada.
Sebagai contoh: (1) urusan rumah tangga diserahkan kepada istri dan anak
perempuan, pendidikan anak menjadi tanggungjawab ibu, dan mengurus suami
diserahkan sepenuhnya kepada istri tanpa adanya upah, (2) kebanyakan
perempuan memilih pekerjaan yang sudah dibagikan sesuai tanpa mempedulikan
kemampuan atau potensi sebenarnya yang dimiliki, (3) jika seorang laki-laki
memperkosa seorang perempuan, maka perempuan yang bertanggung jawab

13
karena tugas perempuan tinggal dirumah

c. Subordinasi terhadap Perempuan

Pandangan ini memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah


dari laki-laki sehingga menyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai
pembantu nomor dua sosok bayangan dan tidak berani memperlihatkan
kemampuannya sebagai pribadi. Laki-laki menganggap bahwa perempuan tidak
mampu berpikir.

d. Beban Ganda terhadap Perempuan

Pekerjaan yang diberikan kepada perempuan lebih lama mengerjakannya


bila diberikan kepada laki-laki karena perempuan bekerja di sektor publik masih
memiliki tanggung jawab pekerjaan rumah tangga yang tidak dapat di serahkan
kepada pembantu rumah tangga sekalipun pembantu rumah tangga sama-sama
perempuan.

e. Kekerasaan terhadap Perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa kekerasan psikis seperti:


pelecehan, permintaan hubungan seks ditempat umum, senda gurau yang
melecehkan perempuan. Dan kekerasaan fisik seperti: pembunuhan, perkosaan,
penganiayaan terhadap perempuan dan lain sebagainya. Sementara itu dalam
pendidikan dasar persamaam pendidikan menghantarkan setiap individu atau
rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Ciri
pendidikan kerakyataan adalah perlakuan dan kesempatan yang sama dalam
pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama
dan lokasi geografi publik.

Kesetaraan dan keadilan gender dapat juga disebut dengan istilah


kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan wanita dalam penddikan, artinya
pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban, kedudukan, peranan dan

14
kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan terlebih dahulu dalam
pendidikan dan pembangunan. Semua itu dilandasi atas dasar saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu, saling mengisi dan sebagainya dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

C Faktor-Faktor Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan

Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses
serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam
lingkungan keluarga. Stereotip gender yang berkembang di masyarakat telah
mengkotak-kotakkan peran apa yang pantas bagi perempuan dan laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh nilai dan sikap yang dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya
masyarakat yang secara melembaga telah memisahkan gender ke dalam peran-
peran sosial yang berlainan. Faktor yang menjadi alasan pokok yang penyebab
ketidaksetaraan gender menurut Suleeman (1995) yaitu:

a) Semakin tinggi tingkat pendidikan formal semakin terbatas jumlah sekolah


yang tersedia

b) Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mahal biaya untuk bersekolah

c) Investasi dalam pendidikan juga seringkali tidak dapat mereka rasakan karena
anak perempuan menjadi anggota keluarga suami setelah mereka menikah.

Sedangkan faktor-faktor penentu ketidaksetaraan gender di bidang


pendidikan menurut Van Bemmelen (2003) meliputi:

1) Akses perempuan dalam pendidikan,

2) Nilai gender yang dianut oleh masyarakat,

3) Nilai dan peran gender yang terdapat dalam buku ajar,

15
4) Nilai gender yang ditanamkan oleh guru

5) Kebijakan yang bias gender

Suryadi dan Idris (2004) mengkategorikan faktor-faktor kesenjangan gender


bidang pendidikan ke dalam 4 aspek yaitu: 1). Akses adalah peluang atau
kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu, 2).
Partisipasi adalah keikutsertaan atau peran seseorang/kelompok dalam suatu
kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan, 3). Kontrol adalah penguasaan
atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan, 4). Manfaat adalah
kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara optimal.

Studi yang dilakukan Suryadi (2001) menemukan bahwa pilihan keluarga


yang kurang beruntung memberikan prioritas bagi anak laki-laki untuk sekolah
dengan alasan biaya, bukan hanya dilandasi oleh pikiran kolot dan tradisional
semata, tetapi juga dilandasi dengan pengalaman empirik bahwa tingkat balikan
(rate of return) terhadap pendidikan perempuan yang lebih rendah. Hal ini sesuai
dengan kenyataan bahwa rata-rata penghasilan pekerja perempuan secara empirik
memang lebih rendah dibandingkan penghasilan pekerja laki-laki. Berdasarkan
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
ketidaksetaraan gender dalam pendidikan antara lain nilai, akses, partisipasi, kontrol
dan manfaat. Nilai yang berkembang dalam masyarakat yang mengkotak-kotakan
peran laki-laki dan perempuan dapat mempengaruhi stereotip gender.

16
BAB III
PENUTUP

A KESIMPULAN

Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan bagi perempuan disebabkan oleh


pengaruh akses, partisipasi, kontrol, manfaat serta nilai Ketidaksetaraan Gender
dalam Pendidikan Sosiokonsepsia terhadap pendidikan. Nilai dan tradisi yang
berkembang dalam masyarakat sejak dulu sampai sekarang telah membentuk
stereotip yang merugikan perempuan, terutama dalam bidang pendidikan. Ini
ditemukan bahwa nilai yang mempengaruhi ketidaksetaraan gender dalam
pendidikan adalah tradisi dan perlakuan orang tua terhadap anak perempuan.
Adanya tradisi menikah di usia muda menyebabkan banyak anak perempuan yang
tidak melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Kebiasaan yang berkembang
di masyarakat perdesaan menempatkan satu jenis kelamin lebih rendah dari jenis
kelamin yang lain yang menimbulkan marjinalisasi dan subordinasi terhadap
perempuan. Kondisi ini terlihat dari partisipasi yang dominan dari laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. . Beban kerja ganda telah disosialisasikan oleh
orang tua kepada anak perempuan dan laki-laki semenjak kecil. Pengenalan pola
pembagian kerja ini, membentuk persepsi yang keliru mengenai peran laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat.
Gender adalah perbedaan peran dan tanggungjawab antara lakilaki dan
perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat. Tataran bias gender
banyak terjadi dalam berbagai bidang terutama bidang pendidikan, misalnya peran
gender terjadi dalam hal mengakses lembaga pendidikan yang menyebabkan
rendahnya partispasi perempuan.
Pendidikan merupakan alat yang sangat penting untuk mencapai kesetaraan
gender hubungan antara laki-laki dengan perempuan, masih banyak dijumpai
kebijakan-kebijakan pembangunan yang bias gender dan terkesan mengabaikan

17
peran perempuan. Itu terlihat dalam kehidupan masyarakat masih terdapat banyak
nilai-nilai dan praktek budaya yang menghambat keadilan serta kesetaraan gender.

B SARAN
Diharapkan bahwa tantangan kedepan adalah membangun kembali
pendidikan sebagai bagian dari gerakan kultur (cultural force). Untuk menjamin
pemenuhan HAM dan implementasi, dimana perempuan dapat maju bersama dan
merasakan perlakuan yang sama dengan warga negara laiinya yakni kaum laki-laki
karena sesungguhnya juga manusia yang memiliki hak asasi manusia yang sama.
Dalam setiap keluarga perlunya diberikan peningkatan kesadaran, melalui
kegiatan sosialisasi dari badan pemberdayaan perempuan yang bekerja sama
dengan tokoh agama dan masyarakat dengan cara diskusi atau pengarahan. Perlu
meningkatkan kuota kesempatan kerja pada perempuan, hal ini diperlukan untuk
menunjang sosialisasi yang sudah disampaikan kepada keluarga sehingga mendapat
respon positif dari masyarakat. Dalam konteks sekolah, perlu memberikan beasiswa
bagi keluarga yang tidak mampu, dengan prioritas untuk anak perempuan, karena
anak perempuan perlu diberikan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki
dalam bidang pendidikan. Penyuluhan melalui dinas pendidikan, dinas sosial dan
badan pemberdayaan perempuan mengenai hak-hak perempuan, selain itu dalam
kegiatan kemasyarakatan, seperti pengajian atau perayaan hari-hari besar
keagamaan, pihak aparat desa dapat memberikan porsi peranan yang lebih banyak
kepada kaum ibu dan anak perempuan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bradley, H. (2007). Gender. Cambridge: Polity Press.


Fakih Mansoer 2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial Yogyakarta: Putaka
Pelajar
Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jakarta: Insist Press
Suleeman, E. (1995). Pendidikan Wanita di Indonesia, Dalam T. O. Ihromi, Kajian
Wanita Dalam Pembangunan (hal. 227- 248). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Suryadi, A. (2001). Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan, Jakarta:
Bappenas & WSPII-CIDA.
Suryadi, A, & Idris, E. (2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, Bandung:
PT. Ganesindo.
Van Bemmelen, S. (1995). Gender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T.
Ihromi, Kajian Wanita Dalam Pembangunan, (hal. 175-226). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Undang-undang Republik Indonesia No 7 Tahun 1994 tentang penghapusan bentuk
diskriminasi terhadap wanita.
Undang-Undang Republik Indonesia No 34 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Van Bemmelen, S. (1995). Gender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T.
Ihromi, Kajian Wanita Dalam Pembangunan, (hal. 175-226). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.

19

Anda mungkin juga menyukai