Anda di halaman 1dari 27

METODE PENELITIAN HUKUM

“ Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan

( Studi Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga

selama Masa Pandemi Covid-19) .”

Oleh :

Balqis Maulina Dofela Rizki

Nomor Pokok : 19010000183

Universitas Merdeka Malang

Fakultas Hukum

2022
DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................................................... 1

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 4

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 5

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................................. 5

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................................... 5

1.5 Metode Penelitian ............................................................................................................ 6

1.6 Sistematika Penulisan ...................................................................................................... 8

BAB II ..................................................................................................................................... 10

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 10

2.1 Pengertian ...................................................................................................................... 10

A. Pengertian Yuridis ................................................................................................. 10

B. Pengertian Tindak Pidana ...................................................................................... 10

C. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga ....................................................... 13

2.1 Unsur-Unsur Tindak Pidana ...................................................................................... 14

1.3 Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga ............................................................. 15

BAB III .................................................................................................................................... 19

HASIL PENELITIAN ........................................................................................................... 19

3.1 Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis- Viktimologis .................. 19

3.2 Faktor Penyebab terjadinya Kekerasan .......................................................................... 20

3.3 Perlindungan Hukum Terhadap Kekerasan Perempuan ................................................ 21

3.4 Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KUHP ............................................. 22

3.5 Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam UUPKDRT ..................................... 22


3.6 UU Nomor 23 Tahun 2004 dilihat dari perspektif Sosiologi Hukum ............................ 22

BAB IV .................................................................................................................................... 25

PENUTUP ............................................................................................................................... 25

4.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 25

4.2 Saran .............................................................................................................................. 25

Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 27


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perempuan dengan segala dinamikanya menjadi sumber inspirasi yang tak akan pernah habis.
Pada era zaman modern sekarang ini masih ada saja kasus-kasus kekerasan yang sebagian besar
perempuan yang menjadi korbannya bahkan terjadi hampir setiap hari di berbagai belahan
dunia, baik secara individual maupun secara terintegrasi. Di Indonesia sendiri Kasus kekerasan
menjadi salah satu masalah yang krusial dan butuh upaya keras dalam pembenahannya oleh
semua pihak terutama dimasa pandemi covid-19, kasus kekerasan dalam rumah tangga
semakin meningkat akibat kurangnya sumber penghasilan untuk menghidupi kebutuhan sehari-
hari. Sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap meningkatnya kasus kekerasan,
diterbitkanlah UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT). Diharapkan peraturan perundang-undangan tersebut dapat
memberikan perlindungan dan rasa aman bagi korban.

Kasus Kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia berdasarkan Data simfoni PPA (sistem
informasi Online perlindungan perempuan dan anak) menunjukkan bahwa ada penurunan laju
pertumbuhan kekerasan dalam rumah tangga dalam masa tanggap darurat covid-19, dari data
tersebut periode 1 januari - 28 Februari 2020 tercatat ada 577 kasus KDRT, sedangkan pada 29
Februari -27 Mei 2020 tercatat ada 278 kasus KDRT. 1 Sedangkan Data Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), per 1 Januari hingga 6
November 2020 hingga 6 November 2020 menunjukkan dari seluruh kasus kekerasan terhadap
perempuan (5.573 kasus), mayoritas kasusnya adalah KDRT (3.419 kasus atau 60,75%). 2

Salah satu contohnya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga di wilayah turen kabupaten
malang. Sedangkan, dalam aspek sosiologi, perempuan dan laki-laki berada dalam posisi
seimbang. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan memunculkan gerakan feminisme yang
bertujuan untuk merekonstruksi peran dan fungsi perempuan yang ideal. Salah satu kasus yang
sulit terekspos ke ranah publik adalah permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan

1
https:///www.jawapos.com diakses tanggal 15 April 2022
2
https://WWW.suara.com, diakses tanggal 23 April 2022
terhadap perempuan merupakan isu penting, sebab sarat dengan aspek sosiologis. Tindak
Kekerasan pada perempuan merupakan suatu tindak pidana yang banyak mendapat perhatian
dari para ahli ilmu sosial pada tahun-tahun terakhir ini. dari data yang terkumpul belum
diketahui secara pasti berapa banyak wanita (istri) yang menjadi tindak kekerasan mulai dari
keengganan memberi nafkah kepada istri sampai kepada kekerasan seksualitas. Maka dari itu
untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan di lingkungan rumah tangga, perlu
adanya tindakan bersama antar semua pihak, baik dari masyarakat sampai dengan aparat serta
perundang-undangan yang berfungsi dengan baik sehingga masalah kekerasan di Indonesia
seperti masalah kekerasan dapat diatasi dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa factor penyebab kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga ?

2. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap kekerasan pada perempuan di kabupaten

Malang?

3. Bagaimanakah berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2004 dilihat dari perspektif

Sosiologi Hukum ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
di Kabupaten Malang
2. Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan
dalam rumah tangga di Kabupaten Malang

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan tugas dari mata
kuliah Metode Penelitian Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi
ilmu pengetahuan tentang Perlindungan Hukum terhadap perempuan sebagai korban
kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Malang.
3. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan dan kontribusi pemikiran
tentang Perlindungan Hukum terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam
rumah tangga di Kabupaten Malang.
1.5 Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kumpulan beberapa pendekatan-pendekatan


sehingga membantu menguraikan bagaimana suatu cara memecahkan isu yang sedang
dicari jawabannya dalam penelitian ini.[ Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
Edisi Revisi, Kencana Prenada Media, 2016, Jakarta, hlm. 133.].
Oleh karena itu, metode penelitian hukum ialah suatu cara untuk menemukan
penemuan hukum dengan penyelidikan atau penelitian secara langsung berdasarkan isu
hukum yang ada. Isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini yakni kedudukan uang
pengganti dalam tindak pidana korupsi. Sehubungan dengan uraian di atas, tindakan
yang diperlukan untuk mendapatkan data serta informasi yang diperlukan dalam
penelitian ini, diuraikan secara metodologis, sistematis, dan konsisten sebagai berikut:
1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris
(field research) yakni penelitian yang dilakukan dengan cara penulis langsung menemui para
informan yang di tetapkan sebagai subjek penelitian guna meneliti dan menggali data.
Penelitian hukum empiris merupakan salah satu jenis penelitian hukum yang menganalisis dan
mengkaji bekerjanya didalam masyarakat.3

Pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data
yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan, ini merupakan analisis data yang tidak
menggunakan angka, melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-
kata atas temuan-temuan, dan karenanya ia lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data, dan
bukan kuantitas.

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif (deskriptif dan study
kasus), dengan dasar pertimbangan:

a. Masalah yang diteliti mengarah kepada keadaan-keadaan dari individu secara holistik (utuh).
Jadi, pokok kajiannya tidak akan disederhanakan kepada variabel yang telah ditata atau sebuah
hipotesis yang telah direncanakan sebelumnya, namun akan dilihat sebagai bagian dari sesuatu
yang utuh.

3
H. Salim HS, Erlies Septiana, and Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 20
b. Penelitian yang bertujuan untuk memahami masyarakat secara personal dan memandang
mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya.

c. Karena permasalahan yang diteliti bersifat kompleks, holistik, dan penuh makna sehingga
tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dan dikumpulkan dengan metode
penelitian lainnya.

2. Lokasi Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian tentulah mutlak bila dibutuhkan adanya lokasi penelitian,
karena lokasi penelitian inilah yang pada nantinya tempat untuk menggali semua informasi dan
mendapatkan datadata yang berkaitan dengan masalah penelitian. Lokasi penelitian sendiri
dapat diartikan sebagai tempat dimana penelitian itu dilakukan, yang di dalamnya terdapat
data-data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut. Lokasi penelitian
ini dilakukan khususnya pada masyarakat di Turen Kabupaten Malang.

3. Sumber Data

Menurut sumbernya, pengumpulan data dapat menggunakan 2 sumber data, yaitu:

a) Sumber primer adalah sumber data yang memberi informasi langsung kepada pengumpul
data.

b) Sumber sekunder adalah sumber data yang tidak bisa memberi informasi langsung kepada
pengumpul data seperti lewat dokumen, orang lain, dan sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dipakai untuk mengumpulkan informasi atau fakta-
fakta di lapangan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian berupa
kata-kata (narasi), gambaran, pemahaman, dari hasil penglihatan dan bukan dari data-data yang
berupa angkaangka” (Moleong, 1988:6).

Data adalah fakta empiris yang dikumpulkan oleh penulis untuk kepentingan memecahkan
masalah atau menjawab pertanyaan penelitian. Dalam pengumpulan data teknik yang
digunakan yaitu dengan observasi dan wawancara mendalam (depth interview) dengan para
informan.4

4
hlm. 26.
Observasi digunakan penulis agar dapat melihat secara langsung keadaan para informan di
lokasi penelitian. Dalam observasi ini penulis mengamati keadaan sekitar dan dalam rumah
tangga informan.

Wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data, pencarian informasi dengan
bertanya langsung kepada informan. Wawancara dimaksudkan melakukan tanya jawab secara
langsung peneliti dengan informan. Secara umum metode wawancara ada dua terstruktur dan
tidak terstruktur. Wawancara terstruktur yaitu pewawancara mengunakan daftar pertanyaan
yang sudah dirumuskan dengan jelas, sedangkan tidak terstruktur pewawancara tidak
menyediakan daftar pertanyaan terlebih dahulu. Dan dalam penelitian ini peneliti
menggunakan wawancara terstruktur.

Teknik yang penulis gunakan setelah data ditemukan dalam menganalisis data tersebut adalah
secara deskriptif kualitatif dari semua hasil wawancara terhadap informan, yaitu digambarkan
dengan kata-kata atau kalimat untuk memperoleh kesimpulan.

5. Teknik Analisis Data


Setelah selesai menyusun teknik pengumpulan data, langkah selanjutnya dalam
penyusunan rancangan penelitian kualitatif adalah menentukan dan mengemukakan
teknik analisis datanya. Analisis data dalam penelitian kualitatif lebih bersifat proses.
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori, dan satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

1.6 Sistematika Penulisan

Sesuai dengan Pedoman Penyusunan Proposal Metode Penelitian Hukum Fakultas


Hukum Universitas Merdeka Malang dimana berisikan standar penulisan dan kualitas
proposal penelitian yang digunakan untuk Fakultas Hukum Universitas Merdeka
Malang. Sistematika dalam penelitian ini sebagai berikut:
Tahap-tahap Penelitian
1. Tahap sebelum ke lapangan meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian
paradigma dengan teori, penjajakan alat peneliti, mencakup obesrvasi lapangan dan
permohonan izin kepada subyek yang diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan
usulan penelitian.
2. Tahap pekerjaan lapangan, meliputi mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan
dengan sikap perempuan korban KDRT, dan data tersebut diperoleh dari observasi,
wawancara dan dokumentasi dengan wawancara dan dokumentasi dengan cara melihat
laporan dan lainlain.
3. Tahap analisis data, meliputi analisis data baik yang diperoleh melalui observasi,
dokumentasi maupun wawancara mendalam dengan masyarakat (istri) yang menjadi
korban KDRT. Kemudian melakukan penafsiran data sesuai dengan konteks
permasalahan yang diteliti selanjutnya melakukan pengecekan sumber data yang
didapat dan metode perolehan data sehingga data benar-benar valid sebagai dasar dan
bahan untuk memberikan makna data yang merupakan proses penentuan dalam
memahami konteks penelitian yang sedang diteliti.
4. Tahap penulisan laporan, meliputi kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua
rangkaian kegiatan dari semua rangkaian kegiatan pengumpulan data sampai
pemberian makna data. Setelah itu melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing
untuk mendapatkan perbaikan saran-saran demi kesempurnaan skripsi yang kemudian
ditindak lanjuti hasil bimbingan tersebut oleh peneliti yang sempurna Langkah terakhir
melakukan pengurusan kelengkapan persyaratan untuk ujian skripsi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

A. Pengertian Yuridis

Tinjauan yuridis yang dimaksud adalah tinjauan yang berupa hukum, sedangkan hukum yang
penulis kaji disini adalah hukum menurut ketentuan pidana. Dan khusus dalam tulisan ini
pengertian tinjauan yuridis yaitu suatu kajian yang membahas mengenai penerapan hukum
pada pelaku tindak pidana dan apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan
putusan tersebut

B. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan penamaan atau bagian dari yang sering ditemui dalam hukum
pidana,sebab mengemukakan atau membicarakan tentang materi ilmu hukum pidana dan tidak
akan terlepas dari tindak pidana. Oleh karena itulah, untuk memahami pengertian tindak pidana
ini, maka perlu dikaji dan diperhatikan beberapa pendapat dari pakar ilmu hukum yang telah
memberikan pengertian mengenai istilah tindak pidana. Dikalangan para ahli pidana istilah
indak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam Hukum pidana Belanda yaitu
“strafbaarfeit” yang diartikan dalam berbagai ragam kata dalam bahasa Indonesia yang dalam
abahasa latin disebut delictium atau delicta Istilah strafbaarfeit mempersoalkan mengenai suatu
perbuatan atau tindakan manusia yang mempunyai hak dan kewajiban sebagai suatu perbuatan
atau tindakan yang melawan hukum atau melanggar hukum kepentingan orang lain. Perbuatan
mana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Simons merumuskan :5

“strafbaarfeit” atau tindak pidana sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah di
lakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja oleh orang yang dapat dipertanggung
jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum”. Prof Dr. A. Zainal Abidin Farid, lebih sering menerjemahkan
istilah Strafbaarfeit dengan istilah berikut dengan alasan :6

5
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 185.
6
Prof Dr. A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I Politik dan Hukum, (Jakarta: SINAR Grafika, 1995), hlm.
170.
1. Bersifat universal semua orang di dunia mengenalnya:

2. Bersifat ekonomis karena sangat singkat

3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti berbuatan pidana bukan peristiwa. Tindak pidana
merupakan unsur yang paling pokok dalam hukum pidana karena tindak pidana memberikan
suatu ciri tertentu pada suatu peristiwa tertentu pada suatu peristiwa pidana. Adanya ciri
tertentu, maka dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan mana yang termaksud tindak
pidana dan mana yang tidak termaksud tindak pidana. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai
tindak pidana apabila memenuhi syarat formil maupun syarat materil. Syarat formil terdapat
pada ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yakni: “tiada suatu perbuatan
yang boleh dihukum, melainkan atas ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang, yang
ada terdahulu daripada perbuatan itu”. Disamping syarat formil, tindak pidana tersebut harus
dianggap sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, dimana hal tersebut
merupakan syarat materil. Mengenai syarat materil tidak hanya hukum tertulis atau undang-
undang saja. Tetapi juga hukum yang tidak tertulis, antara lain norma-norma yang hidup dalam
masyarakat. Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa jenis tindak pidana yakni :

1. Tindak Pidana Formil Tindak pidana formil adalah tindakan yang perumusannya dititk
beratkan pada perbuatan yang dilarang jika tindak pidana tersebut telah selesai dengan
dilakukannya perbuatan yang dilarang sebagaimana yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan.

2. Tindak Pidana Materil Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya dititk
beratkan pada akibat yang dilarang jika tindak pidana tersebut baru selesai apabila akibat yang
dilarang itu telah terjadi.

3. Dolus dan Culpa Dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja sedangkan
Culpa tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian atau kealpaan.

4. Tindak Pidana Aduan Tindak pidana tersebut baru dilakukan penuntutan apabila ada
pengaduan, oleh karena itu apabila tidak ada pengaduan maka tindak pidana tersebut tidak
dapat dituntut.

5. Tindak Pidana Omisionis Tindak pidana omisionis adalah tindak pidana yang berupa
pelanggaran terhadap perintah yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
6. Tindak Pidana Comisionis Tindak pidana comisionis adalah tindak pidana yang berupa
pelanggaran terhadap aturan yang diterapkan oleh Undang-Undang. Ada beberapa ketentuan
mengenai tindak pidananya, seperti yang terdapat dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang
Hukum pidana (mengenai orang yang melakukan tindak pidana karena daya paksa). Hal
tersebut merupakan wujud dari asas tidak dapat dipidananya seseorang apabila tidak terbukti
melakukan kesalahan. Mengenai perbuatan mana yang disebut sebagai tindak pidana, maka
dalam hukum pidana dianut asas legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap tindak
pidana harus ditentukan sedemikian rupa oleh suatu aturan perundang-undangan, atau
setidaknya untuk suatu aturan hukum yang ada berlaku bagi terdakwa. Sebelum dapat dituntut
untuk dipidana karena perbuatannya.7

Pengertian tindak pidana mempunyai unsur–unsur sebagai berikut menurut E.Y Kanter dan
S.R. Sianturi adalah:8

1. Subyek,

2. Kesalahan,

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan),

4. Suatu tindakan yang dilarang / diharuskan untuk Undang- Undang dan terhadap larangannya
diancam dengan pidana,

5. Waktu tempat dan keadaan.

Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau orang pribadi oleh
karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal orang dan sekelompok orang sebagai
subyek hukum.

Subyek hukum berdasarkan Pasal 55 KUHP, maka yang dimaksud dengan pelaku tindak
pidana adalah :

1. Orang yang melakukan (pleger) Dalam hal ini orang yang menyuruh melakukan adalah
seseorang yang secara sendiri melakukan semua unsur- unsur dari suatu tindak pidana.

7
E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 211.
8
E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Op.cit
2. Yang menyuruh melakukan/memberih perintah (doen plegen) dalam hal ini paling sedikit
harus ada 2 (dua) orang, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan orang disuruh melakukan.
Orang yang menyuruh melakukan tindak pidana tidak melakukan unsur unsur dari suatu
tindak pidana, akan tetapi orang yang disuruhlah melakukan suatu tindak pidana. Orang yang
disuruh dalam hal ini adalah orang-orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan orang
yang dikecualikan dari hukuman yang hanya dianggap sebagai alat semata. Dengan demikian
meskipun orang yang menyuruh tidak melakukan sendiri tindak pidana, akan tetapi dialah yang
dianggap sebagai pelaku dan yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan orang yang
disuruhnya tersebut.

3. Orang yang turut serta melakukan (medepleger) Dalam hal ini paling sedikit harus dua (2)
orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, mereka secara sadar
bersama- sama melakukan suatu tindak pidana tertentu. Dengan demikian mereka juga secara
bersama- sama dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya itu.

4. Orang yang membujuk melakukan (uitloker) Dalam hal ini harus ada dua (2) orang, yaitu
orang yang membujuk, yang menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana dan
kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan. Perbuatan atau pelaku tindak pidana hanya dapat
dipidana jika ia mempunyai kesalahan dan melakukan tindak pidana.seseorang dikatakan
mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana,dilihat dari segi
kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya tersebut.

C. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga sebagai fenomena sosial adalah masalah serius.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat menghancurkan keselarasan dalam serta keutuhan rumah
tangga. Rumah Tangga bukan lagi tempat berlindung (sanctum; sanctuary) atau berteduh yang
aman dari dunia luar, namun justru menjadi neraka bagi anggota keluarga. Pada tataran pribadi,
kekerasan menimbulkan dampak psikologis permanen pada korban. Korban ketika membentuk
keluarga sendiri, karena telah menginternalisasi nilai kekerasan sebagai hal yang biasa,
cenderung melakukan hal serupa. Bahkan sekalipun ia memiliki pengetahuan dan mengerti
perbuatan itu tercelah. Selain itu, akibat kekerasan yang dialami, korban bisa terpicu
melakukan kejahatan lain di dalam masyarakat, dengan kecenderungan satu kekerasan akan
melestarikan dan memicu kekerasan lainnya. Kekerasan dalam rumah tangga adalah fenomena
lintas budaya universal dan bukan merupakan hal baru dalam masyarakat dimana pun. Bentuk
kekerasan ini, bukan suatu bentuk penyimpangan perilaku yang dapat dikaitkan dengan nilai
budaya masyarakat yang berlaku di tempat atau waktu tertentu.Oleh karna itu kekerasan dalam
rumah tangga tidak layak dibenarkan sebagai bagian lumrah dari budaya masyarakat, sehingga
dipandang wajar. disamping itu, dengan penyimpangan perilaku ini, harus diatur sejauh mana
Negara dan masyarakat mesti campur tangan terkait urusan bagimana anggota keluarga harus
bersikap dalam membangun hubungan di dalamnya. Keduanya sudah selayaknya menjadi
perhatian baik dari masyarakat (society) maupun Negara (state). Pengertian kekerasan secara
yuridis dapat dilihat pada pasal 89 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu Yang
disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi
(lemah). Pingsan diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian, tidak
berdaya dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak
mampu mengadakan perlawanan sama sekali, tetapi seseorang tiada berdaya masih dapat
mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Pengertian kekerasan tersebut di atas dapat dikatakan
penganiayaan.

2.1 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap perbuatan harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak


pidana terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif.
1. Unsur objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar diri pelaku yang dapat berupa: a.
Ada perbuatan (mencocoki rumusan delik) Van Hamel menunjukkan tiga pengertian
perbuatan, yakni: 9
1. Perbuatan terjadinya kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam
suatu kejahatan beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan
dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan perbuatan itu dikemudian dari
yang lain.
2. Perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Contoh seseorang dituntut
melakukan perbuatan penganiayaan yang menyebabkan kematian, kemudian ternyata
ia sengaja melakukan pembunuhan, maka berarti masih dapat dilakukan penuntutan
atas dasar “sengaja melakukan pembunuhan” karena ini lain dari pada “penganiayaan
yang menyababkan kematian”. Van tidak menerima pengertian perbuatan dalam arti
yang kedua ini.

9
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia (Yogyakarta: Mahakarya rangkang, 2012), hlm. 49
3. Perbuatan material, jadi perbuatan itu tidak terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas
dari akibat. Dengan pengertian ini, maka ketidakpantasan yang ada pada kedua
pengertian terdahulu dapat dihindari.
b. Ada sifat melawan hukum
Amir Ilyas menyatakan bahwa setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana oleh peraturan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum. Adapun sifat
perbuatan melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:
1. Sifat melawan hukum formil Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan
perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan
undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualiaan-pengecualian yang telah
ditentukan dalam undang-undang, bagi pendapat ini melawan hukum berarti
melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
2. Sifat melawan hukum materil Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan
yang memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat melawan hukum. Bagi
pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang saja
(hukum yang tertulis) tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni
kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat.

2. Unsur pembuat (unsur subyektif), adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak
pidana, yaitu:

a. Dapat dipertanggungjawabkan

Dapat dipertanggungjawabkan yang dimaksud disini adalah si terdakwa dapat


mempertanggungjawabkan secara hukum akan kesalahannya, yaitu umur si pelaku antara 12
tahun sampai 18 tahun sebagaimana yang ditetapkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 1/PUU-VIII/2010. Selain dari pada batasan umur si pelaku tersebut juga harus dalam
keadaan sehat secara akal (tidak idiot, gila, dan sebagainya).

b. Ada kesalahan

Adanya kesalahan disini dimaksud adalah memang dari si pelaku tindak pidana tidak ada alasan
pembenar seperti halnya perintah jabatan, keadaan meksa dan lain sebagainya.

1.3 Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga


Dari beberapa definisi diatas dan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
kekerasan dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi empat, yaitu kekerasan fisik, kekerasan
psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan penelantaran rumah tangga.

1. Kekerasan dalam rumah tangga yang berbentuk kekerasan fisik, kekerasan ini memiliki arti
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka berat,seperti : memukul,menampar,
mencekik dan sebagainya.

2. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan,hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan ini mencakup
penyiksaan secara emosional dan verbal terhadap korban, sehingga melukai kesehatan mental
dan konsep diri perempuan, kekerasan ini dapat berupa hinaan pada istri,celaan, makian,
ancaman akan melukai atau membunuh istri dan anank-anak,melarang istri mengunjungi
keluarga atau teman, rasa cemburuh atau memiliki yang berlebihan,termaksud barang-barang
milik pribadi,mengancam untuk bunuh diri,melakukan pengawasan dan menipulasi perempuan
dari kebutuhan dasarnya (nafkah lahir dan batin) dan menanamkan rasa takut sedemikian rupa
terhadap istri.

3. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan seksual, meliputi :

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut.

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seseorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, sebagai contoh melakukan
tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual, seperti menyentuh, mencium, memaksa
berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain sebagainya.

4. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan finalsial atau penelantaran-penelantaran.


Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karna persetujuan atau perjanjian yang wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.pengertian tersebut juga
berlaku bagi setia orang yang mengakibatkan ketergantunan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban
Selanjutnya menurut Dedy Fauzi Elhakim, kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan sebab
terjadinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu sebagai berikut :10

1. Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan emosional bertahap.
Kekerasan jenis ini pertama. Berawal dari kekerasan nonfisik, mulai dari sikap dan perilaku
yang tidak dikehendaki, maupun lontaran-lontaran ucapan yang menyakitkan dan ditujukan
pada anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain. Proses yang terjadi berlanjut dari
waktu ke waktu, sehingga terjadi penimbunan kekecewaan, kekesalan dan kemarahan yang
pada akhirnya menjurus pada kekerasan fisik. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat ledakan
timbunan emosional yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Perwujudan tindakan kekerasan
tersebut bisa berupa penganiayaan ringan, penganiayaan berat dan pembunuhan. 2. Kekerasan
dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan emosional spontan adalah bentuk
kekerasan yang dilakukan tanpa ada perencanaan terlebih dahulu, terjadi secara seketika
(spontan) tanpa didukung oleh latar belakang peristiwa yang lengkap. Namun fakta di depan
mata dirasa menyinggung harga diri dan martabat si pelaku, berupa suatu situasi yang tidak
diinginkan oleh pelaku. Ledakan emosi yang timbul begitu cepat, sehingga kekuatan akal
pikiran untuk mengendalikan diri dikalahkan oleh nafsu/emosi yang memuncak. Kemudian
yang bersangkutan memberikan reaksi keras dengan melakukan perbuatan dalam bentuk tindak
pidana lain berupa penganiayaan atau pembunuhan terhadap anggota keluarga lainnya.

10
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga: Dalam Perspektif Yuridis Viktimologis (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hlm. 76-77.
BAB III

HASIL PENELITIAN

3.1 Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis- Viktimologis

Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik,
seksual atau psikologis, termasuk ancaman tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.11
Menurut para ahli kriminologi, “kekerasan” yang mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik
adalah kekerasan yang bertentangan dengan Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 25 No. 02
September 2011 403 5 Hasan Shadily, Kamus Inggris¬Indonesia, Cet. XII, Gramedia, Jakarta,
1983, hlm. 630. hukum. Oleh karena itu, kekerasan merupakan kejahatan. Berdasarkan
pengertian inilah sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
dijaring dengan pasal-pasal KUHP tentang kejahatan.

Kekerasan dalam keluarga sudah ada sejak jaman dulu, hanya saja dulu tidak ada UU yang
dengan jelas mengatur bahwa melakukan kekerasan terhadap seseorang dalam suatu hubungan
keluarga dapat mengakibatkan seseorang atau rumah tangga dan juga dalam area sosial.
Kekerasan dalam lingkup rumah tangga itu sendiri tidak terbatas pada golongan, ras, tingkat
pendidikan, suku, agama maupun etnik.

Dimasa pandemi covid-19, semakin marak tindak kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah
tangga dengan korban perempuan dan anak. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yaitu keengganan
seorang istri yang menjadi korban kekerasan untuk melaporkan kepada pihak berwajib,
misalnya polisi, karena akan berdampak pada perceraian, kehilangan nafkah hidup karena
suami masuk penjara, bahkan masa depan anak-anaknya terancam. Sehingga apabila dilihat
dari kacamata sosiologi hukum, tingkat keberhasilan penegakan hukum menggunakan dasar
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, sangat rendah. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan yang berakibat
pada penderitaan secara fisik, psikis, seksual maupun ancaman tindakan tertentu. Imbas dari
penerapan kebijakan oleh pemerintah dalam upaya memerangi penyebaran virus covid-19,

11
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis- Viktimologis (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), 60.
seperti kebijakan WFH (Work From Home) dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)
berdampak besar terhadap keberlangsung diseluruh bidang.

Mulai dari bidang kesehatan, perekonomian, pendidikan, pariwisata, dan masih banyak
lainnya. Seperti contohnya pada kasus kekerasan rumah tangga yang di alami oleh warga desa
Turen Kabupaten Malang. terdapat keluarga yang mengalami KDRT namun baik pelaku
maupun korban tidak mengerti bahwa apa yang dilakukan dan apa yang diterima adalah sebagai
salah satu bagian dari KDRT. Pemahaman tentang konsep KDRT menurut keluarga di
Kelurahan Turen, Kecamatan Turen hanya sebatas penganiayaan fisik saja, pada kenyatannya
kekerasan psikologis berdampak lebih buruk. Bagi pelaku kekerasan dalam hal ini adalah
suami merasa bahwa apa yang dilakukannya terhadap istri bukanlah bagian dari KDRT karena
bagi mereka KDRT wajar terjadi. Dari hasil penelitian bahwa yang sering terjadi dalam
keluarga tersebut adalah kekerasan bentuk fisik misalnya pemukulan, tamparan dan tendangan.
Sedangkan kekerasan psikis berupa ucapan kasar dan memaki-maki dengan kata-kata kasar.
Faktor penyebab KDRT dari hasil penelitian ini antara lain, suami menganggap bahwa istri
harus selalu dibawah kendali dan kontrol suami, masalah ekonomi juga menjadi penyebab
karena istri tidak bekerja atau juga karena penghasilan istri lebih besar sehingga menimbulkan
pertengkaran, pengalaman masa lalu karena mengalami kekerasan waktu kecil, pemahaman
yang salah tentang pengertian kekerasan dilihat dari segi agama, pengaruh dari lingkungan
yang sering terjadi kekerasan sehingga menjadi imitasi untuk mengikuti tradisi lingkungan
melakukan kekerasan, dan juga adanya tekanan psikis yang tidak dapat disalurkan atau
diungkapkan secara baik oleh pelaku, sehingga untuk melampiaskannya mereka menggunakan
kekerasan dan menuruti emosi. Dampak KDRT dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa
Istri dan anak-anak sebagai korban sangat sulit untuk disembuhkan karena sudah melekat pada
jiwa. Dampak itu sendiri dalam penelitian ini dapat berbentuk dampak fisik, yaitu bentuk luka
yang ada ditubuh maupun dampak psikis, yaitu rasa trauma dan ketakutan yang berlebihan
bahkan kehilangan rasa percaya diri.

3.2 Faktor Penyebab terjadinya Kekerasan

Menurut kriminolog, pada umumnya terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah:

1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang
menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
2. Gaya hidup dan pergaulan di antara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, tidak atau
kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang
dalam hubungannya dengan kaidah akhlak mengenai hubungan lakilaki dengan perempuan
sehingga sering terjadi seduktif rape.

3. Rendahnya pengamalan dan penghayatan terhadap normanorma keagamaan yang terjadi di


tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi
horisontal yang cenderung semakin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk
mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain

4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku diduga
sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang m e n d a p a t k a n
r e s p o n d a n pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.

5. Putusan hakim yang cenderung tidak adil, misalnya putusan yang cukup ringan dijatuhkan
pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota masyarakat lainnya untuk
berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi
dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.

6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu


seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.

7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan
dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan sehingga menimbulkan Anga
Rape.

3.3 Perlindungan Hukum Terhadap Kekerasan Perempuan

UUPKDRT terlahir untuk menyelamatkan para korban kejahatan dalam rumah tangga.
Dikeluarkannya berbagai konvensi atau undangundang berperspektif gender untuk melindungi
perempuan dari pelanggaran HAM belum dapat sepenuhnya menjamin perempuan dari
pelanggaran HAM. Ancaman kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga yang sering
dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri sulit dapat dilihat oleh orang luar seperti KDRT
yang dialami oleh istri, ibu, anak perempuan, pembantu rumah tangga perempuan. Korban
seperti ini sering tidak berani melapor, antara lain karena ikatan-ikatan kekeluargaan, nilainilai
sosial tertentu, nama baik (prestise) keluarga maupun dirinya atau korban merasa khawatir
apabila pelaku melakukan balas dendam. Kesulitan-kesulitan seperti inilah yang diperkirakan
akan muncul apabila korban melapor. Para pelaku dan korban dari suatu viktimisasi kerap kaii
pernah berhubungan atau saling mengenal satu sama lainnya terlebih dahulu.12

3.4 Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KUHP

Beberapa ancaman pidana bagi pelaku kekerasan dalam KUHP yang sebelum berlakunya UU
KDRT sebagai acuan aparat penegak hukum sebagai instrumen hukum untuk meiindungi kaum
perempuan dari kejahatan kekerasan.

3.5 Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam UUPKDRT

Pasal-pasal yang terkait dengan ketentuan perundang-undangan terhadap KDRT sudah


memungkinkan sebagai sarana atau upaya bagi aparat penegak hukum untuk dijadikan sebagi
acuan tindakan bagi aparat penegak hukum bagi pelaku KDRT. Dalam Undang-undang KDRT
terdapat beberapa perbuatan kekerasan yang merupakan bagian dari kekerasan terhadap
perempuan, seperti rumusan Pasal 5 UUPKDRT tentang pengertian kekerasan dalam rumah
tangga yang meliputi, kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penalantaran keluarga. Beberapa
pasal tersebut sudah sangat jelas arah yang ingin dicapai oleh UUPKDRT. Salah satu tujuan
yang ingin dicapai adalah memberikan perlindungan hukum bagi korban KDRT.

3.6 UU Nomor 23 Tahun 2004 dilihat dari perspektif Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum menyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat yang bertujuan


untuk memahami kekuatan dasar yang berada dibelakang tata kelakuan sosial, dan
memecahkan persoalan yang dihadapi. Fakta meningkatnya perceraian, datang dari inisiatif
pihak isteri dengan alasan tidak diberi nafkah atau alasan ekonomi dan mengalami kekerasan
fisik.

Kekerasan terhadap perempuan dilihat dari perspektif sosiologi terjadi karena adanya proses
interaksi yang menghasilkan ketidakseimbangan posisi tawar menawar dalam status peran atau
kedudukan. Sehingga sumber munculnya kekerasan tersebut berkaitan dengan aspek kultural
yang patriarki, aspek struktural yang dominatif, eksploitatif akibat posisi tawar-menawar laki-
laki dan perempuan tidak seimbang, sehingga realisasi jasmani dan mental-psikologis
aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.

12
Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Pressindo. 1993. Hal 23
Kebijakan pemerintah dalam menangani permasalahan yang berkaitan dengan
kekerasan dalam rumah tangga dibuktikan dengan diterbitkannya beberapa peraturan
hukum, seperti:
• Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 G;
• Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesah-an Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita;
• Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM);
• Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
• Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Dengan diberlakukannya UU PDKRT oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,
menunjukkan sikap proaktif pemerintah dalam menyikapi kasus yang berbasis gender.

Dilihat dari perspektif sosiologi, ada dua asumsi dari diterbitkannya UU PKDRT yaitu: 1) telah
muncul kesadaran dan keberanian kaum perempuan untuk mengadukan permasalahan mereka
kepada pihak yang berwenang;

2) peraturan perundang-undangan ini dibentuk sebagai dampak dari kondisi ekonomi yang
tidak menentu, dimana harga semua bahan pokok semakin melambung, biaya pendidikan dan
kesehatan juga meningkat serta peluang kerja semakin sempit, mempengaruhi ketenangan
pikiran kepala keluarga/rumah tangga. Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PDKRT), para
korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Potret budaya
patriarkhis sangat tidak menguntungkan posisi perempuan sebagai korban kekerasan. Stigma
bahwa korban kekerasan cenderung tidak menaati kepada suami sehingga terjadilah tindak
kejahatan terhadap istrinya.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga (UU PDKRT) dapat dikategorikan sebagai undang-undang yang relatif baru yang
belum banyak diketahui oleh masyarakat awam. Sehingga dibutuhkan sosialisasi kepada
masyarakat supaya mengerti tentang isi dan dampak hukum dari diberlakuannya undang-
undang tersebut. Dengan adanya peraturan perundang-undangan tersebut, kini segala bentuk
kekerasan dalam rumah tangga menjadi tindakan kriminal sebagai salah satu dampak dari
penerapan kekerasan tersebut adalah terjadinya kesadaran publik atas kekerasan dalam rumah
tangga. Disamping itu, timbul pula berbagai persoalan dalam menyelesaikan proses hukum
KDRT.

Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


merupakan implementasi Undang-Undang No 7 Tahun 1984 tentang Penegasan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kekerasan
terhadap perempuan dan anak-anak serta bentuk diskriminasi merupakan suatu isu global
sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang wajib diselesaikan oleh negara dan masyarakat
luas.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang terdapat pada bab sebelumnya dan hasil penelitian yang telah
diperoleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan anatara lain:

1. Kekerasan terhadap perempuan dilihat dari perspektif sosiologi terjadi karena adanya
proses interaksi yang menghasilkan ketidakseimbangan posisi tawar menawar dalam
status peran atau kedudukan. Sehingga sumber munculnya kekerasan tersebut berkaitan
dengan aspek kultural yang patriarki, aspek struktural yang dominatif, eksploitatif
akibat posisi tawar-menawar laki-laki dan perempuan tidak seimbang, sehingga
realisasi jasmani dan mental-psikologis aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnya.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PDKRT) dapat dikategorikan sebagai undang-undang yang relatif
baru yang belum banyak diketahui oleh masyarakat awam. Sehingga dibutuhkan
sosialisasi kepada masyarakat supaya mengerti tentang isi dan dampak hukum dari
diberlakuannya undang-undang tersebut. Dengan adanya peraturan perundang-
undangan tersebut, kini segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga menjadi tindakan
kriminal sebagai salah satu dampak dari penerapan kekerasan tersebut adalah terjadinya
kesadaran publik atas kekerasan dalam rumah tangga. Disamping itu, timbul pula
berbagai persoalan dalam menyelesaikan proses hukum KDRT.

4.2 Saran

Agar perempuan tidak menjadi mayoritas korban kekerasan dalam rumah tangga, maka mereka
diharapka bisa mengetahui tentang hak dan kewajiban sebagai istri. Selain itu, korban
kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besar perempuan juga harus lebih berani
menceritakan dan melaporkan tentang tindak pidana 69 kekerasan yang menimpahnya, serta
tidak lagi memandang kekerasan dalam rumah tangga merupakan aib bagi keluarga yang harus
ditutupi. Selain itu, untuk masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta dalam menangani
dan mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga dengan cara ikut berpartisipasi
dan mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam rumah Tangga kepada masyarakat lainnya yang belum tau megenai Undang-
Undang tersebut.
Daftar Pustaka

Andi Zainal Abidin Farid. 1995. Hukum Pidana I Politik dan Hukum. SINAR Grafika, Jakarta.

Dwi, Putri, Ika, 2009. Kajian Viktimologis Terhadap Kejahatan Kekerasan dalam Rumah

Tangga, Makassar : Fak. Hukum. Universitas Hasanuddin

Dwi Ratnawati, Made, 2001, Latar Belakang dan Jenis Tindak Pidana Kejahatan Narapidana

Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kota Malang, Skripsi tidak


diterbitkan, Malang : Universitas Negeri Malang.

E.Y Kanter dan S.R. Sianturi,2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Storia,

Grafika, Jakarta.

Luhulima, Achie Sudiarti, 2000, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan terhadap

Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta : Alumni.

Moerti H.S. 2010. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis

-Viktimologis. Sinar Grafika, Jakarta.

Mulkan. Munir. Membongkar Praktek Kekerasan. Malang: PSIF Universitas

Muhammadiyah Malang, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Sosiologis. Jakarta: Rajawali Press, 1998

Undang-Undang Nomor 1 (satu) Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)

Undang-Undang Nomor 1 (satu) Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga.

Dhita Koesno, “Update Corona Dunia 25 Desember: 79,7 juta Kasus & Data WHO Terbaru”,
25 Desember 2020, Diakses dari https://tirto.id/update-corona-dunia-25-desember-797-juta-
kasus-data-who-terbaru-f8wU pada 15 Juni 2022

Anda mungkin juga menyukai