Anda di halaman 1dari 23

ADVOKASI ISU – ISU PEREMPUAN DAN ANAK

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Advokasi dan Penyuluhan
Hukum

Dosen Pengajar Mustolih, SH.i, MH, CLA

Disusun Oleh Kelompok 8 :

1. Early Eka Rensa Wardani 11190490000114


2. Nadia Widayni Utama 11180490000075
3. Nur Fitriyanti 11180490000079
4. Haykal Firdaus 11180490000057
5. Fahmi Samsul M 11180490000025

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ADVOKASI ISU – ISU
PEREMPUAN DAN ANAK” dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Tidak lupa
kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Mustolih, SH.i, MH, CLA selaku dosen mata kuliah Advokasi
dan Penyuluhan Hukum yang telah memberi kami tugas ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Kami mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan. Karena tiada gading yang tak retak,
begitu pula dengan makalah ini. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang di berikan
kepada kami demi perbaikan makalah di waktu yang datang.

Tangerang Selatan, 10 November 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 1


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... 2
BAB I ...................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 3
Latar Belakang .................................................................................................................................. 3
Rumusan Masalah ............................................................................................................................ 4
Tujuan Penulisan .............................................................................................................................. 4
BAB II .................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 5
A. Gender........................................................................................................................................ 5
B. Perempuan dan Isu Kekerasan................................................................................................ 7
C. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan......................................................................... 9
D. Hak – Hak anak Indonesia menurut UU Perlindungan Anak ............................................ 11
E. Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum ....................................................... 14
F. Prosedur Pemidanaan Terhadap Anak Menurut Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
15
G. Contoh – Contoh Kasus Perempuan dan Anak ............................................................... 17
BAB III................................................................................................................................................. 20
PENUTUP ............................................................................................................................................ 20
KESIMPULAN ............................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 21

2
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak akhir-akhir ini menjadi isu yang menonjol
dalam pemberitaan media massa, bukan saja hal itu disebabkan makin beratnya kasus kekerasan yang
dialami perempuan, namun intensitasnya pun makin mengkhawatirkan mencakup segala bentuk tindak
kekerasan baiktindakan fisik, seksual, maupun emosional yang membuat perempuan dan anak
menderita termasuk didalamnya segala bentuk ancaman, intimidasi, dan pelanggaran hak atau
kemerdekaan.

Data yang diperoleh dari Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga
Berencana yang beralamat di Jl. Prof. Sudarto, SH. No.116 Semarang menyebutkan bahwa tindak
kekerasan yang dialami perempuan dan anak yang sedang dalam penanganan SERUNI untuk tahun
2013 saja sudah mencapai jumlah 96 Kasus antara lain terdapat 76 kasus KDRT, 6 kasus kekerasan
terhadap anak, 4 kasus kekerasan dalam pacaran, 3 kasus perkosaan, 3 kasus penindasan, 2 kasus
pelecehan, 1 kasus traficking, dan 1 kasus anak berhadapan dengan hukum.

Selain jumlah yang tinggi, hal yang paling menyedihkan dari tindak kekerasan terhadap
perempuan menunjukkan pelaku tindakan kekerasan terbanyak adalah orang-orang terdekat korban
seperti ayah, suami, paman atau pacar korban, artinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
merupakan tindak kekerasan yang paling banyak dilaporkan.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus-menerus terjadi di masyarakat khususnya
yang terjadi dalam lingkup rumah tangga tidak membuat hukum menjadi sia-sia dan kehilangan
fungsinya karena hukum berupaya melakukan penanganan dan menghukum para pelaku atau pelanggar
hukum, mencegah segala bentuk kekerasan, serta melindungi korban kekerasan yang diakomodir
melalui Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak terus dilakukan baik oleh
kelembagaan formal (pemerintah) maupun kelembagaan informal seperti LSM maupun Organisasi
Masyarakat lainnya. Namun, hal yang menjadi permasalahan adalah terjadinya kesenjangan antara
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang dengan realitas yang terjadi di masyarakat.
Faktor kendala dalam proses penegakan hukum kekerasan terhadap perempuan dan anak diakibatkan
oleh dua faktor, yaitu tidak adanya laporan masyarakat (unreported) yang akan menghambat efektivitas
proses penegakan hukum serta apabila laporan masyarakat tidak mendapatkan penyelesaian secara
tuntas (unsolved) dari aparat penegak hukum akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
proses penegakan hukum tersebut.

Salah satu contohnya adalah meskipun dalam Pasal 26 Undang-Undang No.23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur bahwa korban berhak melaporkan
secara langsung atau dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan
kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian maupun lembaga sosial, namun masih banyak
korban yang tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya karena ketakutan baik terhadap pelaku
maupun ketakutan menjalani proses peradilan itu sendiri yang masih jauh dari ketentuan pasal 2

3
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Selain itu kasus kekerasan dalam rumah tangga
yang terjadi di lingkup privat seringkali kasus yang dilaporkan atau diadukan tidak semuanya diteruskan
ketingkat penyidikan di karenakan tidak cukup bukti sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP.

Rumusan Masalah

1. Apa definisi gender?


2. Bagaimana isu kekerasan pada perempuan?
3. Perlindungan hukum seperti apa yang diterapkan terhadap perempuan?
4. Apa saja hak – hak anak indonesia menurut uu perlindungan anak?
5. Bagaimana penangan anak yang berhadapan dengan hukum?
6. Bagaimana prosedur pemidanaan terhadap anak menurut sistem peradilan pidana anak (SPPA)
7. Sebutkan contoh – contoh kasus tentang perempuan dan anak!

Tujuan Penulisan

1. Untuk mengenal diskursus tentang gender


2. Untuk mengetahui apa saja isu kekerasan pada perempuan
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diterapkan terhadap perempuan
4. Untuk mengetahui hak – hak dari anak indonesia menurut uu perlindungan anak
5. Untuk mengetahui solusi penangan anak yang berhadapan dengan hukum
6. Untuk mengetahui prosedur pemidanaan terhadap anak menurut sistem peradilan anak (SPPA)
7. Untuk mengetahui contoh – contoh kasus tentang perempuan dan anak

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gender

Istilah dari gender menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda-beda, dimana kata gender dalam
istilah bahasa Indonesia berasal dari bahasa inggris “gender” diartikan sebagai jenis kelamin, dan
mengacu dari pendapat yang diberikan oleh Mansour Faqih, memberikan arti bahwa gender merupakan
suatu sifat yang memang melakta pada diri perempuan dan juga pada diri laki-laki di mana dapat di
lakukan konstruksi baik dalam kultural dan juga dalam sosial. Sebagai contoh dalam diri perempuan
dipandang dan dilihat sangatlah emosional, juga cantik dan juga lemah dan juga sebagainya. Sementara
itu dalam diri pihak laki-laki lebih pandang sangatlah kuat, dan juga rasional, serta jantan dan perkasa,
dan tidak boleh cengeng atau juga menangis. Sifat dan ciri yang dapat dipertukarkan dan adanya
perubahan dari ciri dan sifat dapat terjadinya dari waktu ke waktu dan juga dari tempat ke tempat yang
lain, bahakn tidak menutup kemungkinan dapat terjadi di dalam kelas masyarakat yang berbeda.

Secara harfiah bahwa yang dimaksud dengan Kesetaraan gender merupakan suatu kesamaan akan
kondisi yang ada bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai
manusia, dan juga mampu berperan dan juga berpartisipasi baik dalam dalam segala kegiatan-kegiatan
dalam aspek bidang politik, juga dalam hukum, bidang yang ekonomi, serta sosial dan budaya, juga
dalam pendidikan dan aspek pertahanan dan juga keamanan nasional serta adanya kesamaan dalam
menikmati pembangunan dan hasilnya. Terwujudnya akan adanya kesetaraan dalam gender tentunya
ditandai diskriminasi yang tidak ada, baik di antara kaum perempuan dan laki-laki sehingga akses yang
ada dapat mereka miliki, berpertisipasi teruka lebar dan adanya kesempatan, kontrol dan juga
memperoleh manfaat pembangunan yang setara dan juga adil.

Adapun berbagai indikator dalam gender dan kesetaraannya adalah sebagai berikut :

1. Adanya Akses; peluang atau kesempatan dalam menggunakan sumberdaya tertentu.


Mempertimbangkan dan juga memperhitungkan bagaimana laki-laki dan perempuan
medpaatkan sumberdaya tersebut secara merata dan juga adil, dalam bidang pendidikan adanya
program beasiswa, dimana diberikan secara adil dan merata antara laki-laki dan perempuan
untuk mendapatkannya
2. Partisipasi; Aspek dalam partisipasi merupakan suatu keikutsertaan dalam suatu kelompok atau
orang tertentu dalam pengambilan keputusan. Disini dapat dilihat bahwa perempuan dan juga
laki-laki apakah memang memiliki suatu peran yang sama atau tidak dalam mengambil suatu
keputusan.
3. Kontrol; penguasaan atau juga wewenang atau kekuatan dalam pengambilan suatu keputusan
yang ada. Pemegang jabatan dalam hal tertentu dapat dilihat didominasi oleh gender atau tidak.
4. Manfaat; merupakan manfaat atau kegunaan yang dapat dan juga dirasakan dan dinikmati
secara penuh dan optimal. Di mana dalam keputusan tersebut yang telah di ambil oleh pihak
sekolah dapat memberikan suatau kemanfataan adil dan sebaikbaiknya serta merata bagi laki-
laki dan perempuan.

5
Kesetaraan Gender dalam Sudut Pandang dalam Normatif dan Sosiologis

Jika merujuk pada pandangan yang normatif dimaksudkan bahwa kesetaraan gender didasarkan
pada aturan dan norma yang berlaku, dimana sikap seseorang lebih berpedoman kepada loyalitas,
kesetiaan, serta aturan dan kaidah yang berlaku di lingkungannya. Sudut dalam pandangan yang
normatif memberikan pengertian bahwa adanya aturan yang mengikat seseorang untuk tidak melakukan
penyimpangan atau melanggar suatu kaidah atau norma yang sudah ditetapkan. Ketaatan dan kesetiaan
ditunjukkan dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang ada, dimana prinsip -prinsip tesebut
diadopsi dalam suatu peraturan hukum, yang mendasarkan pada keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum, dan prinsip 10 tersebut tercermin dalam aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh
negara, dan jika dilanggar maka akan dikenakan sanksi bagi mereka yang melanggarnya.

Sedangkan sudut pandang jika ditinjau dari aspek sosiologis yaitu dilihat dari aspek
masyarakat, hukum yang hidup dalam masyarakat, kelembagaan sosial, dan pranata sosial, yaitu
menyikapi bahwa dalam kesetaraan gender memang mendominasi kaum laki-laki lebih kuat
dibandingkan perempuan sehingga kaum dengan kekuatan itu kaum pria menjadi pelindung perempuan,
dimana lahirnya atau adanya kesetaraan gender dalam masyarakat, berasumsi bahwa masyarakat harus
adanya kesetaraan atau persamaan hak, dan keadilan serta kepastian hukum untuk dapat menikmati
bersama hasil atau buah dari suatu pembangunan yang ada, dan setiap orang dapat berpartisipasi dalam
keikut sertaannya dalam pembangunan tanpa adanya tekanan atau intimidasi.

Kendala / Hambatan dalam Kesetaraan Gender Kesetaraan gender selama ini masih terdapat
kendala atau yakni :

a. Kurangnya Akses Pendidikan Laki-laki dan perempuan harus mendapatkan jenjang pendidikan
yang tinggi, namun karena sudah menikah, perempuan diharuskan untuk mengurus rumah
tangganya atau keluarganya, sehingga mengakibatkan tidak dapat lagi melanjutkan sekolahnya
ke jenjang yang lebih tinggi.
b. Pernikahan Usia Dini Pernikahan ini bisa terjadi karena kurangnya pengawasan keluarga,
sebagai orang tua sehingga pergaulan anak yang bebas, terjerat hutang dan menjual anaknya,
bahkan adanya anggapan bahwa dengan menikahkan anaknya maka tanggungjawab orangtua
selesai, belum adanya atau tumbuhnya kesadaran dalam diri, harus adanya perubahan maindset
dalam pemikiran.
c. Ancaman Hukuman Kepada Pelaku Kekerasan Rumah Tangga dianggap Ringan Makin
maraknya kekerasan terhadap perempuan, baik dalam rumah tangga ataupun diluar rumah
tangga, ada yang takut dan tidak berani melaporkan tetapi ada juga lebih memilih perceraian
dibandingkan melapor kepada pihak aparat penegak hukum, disamping itu ancaman hukuman
dianggap ringan oleh korban dan kebanyakan diselesaikan dengan musyawarah atau mediasi.
d. Masih kurangnya akses perempuan dalam pengambilan keputusan serta berpartisipasi penuh di
dalam bidang politik dan pemerintahan di masyarakat, ini bisa dianggap juga sebagai
ketidakadialn dalam gender, karena setiap orang baik laki-laki dan perempuan mempunyai hak
yang sama dalam segala aspek politik dan juga dalam pemerintahan.1

1
Zulfikli Ismail, Melanie Pita Lestari, Panti Rahayu, Fransiska Novita Eleanora. (2019). Kesetaraan Gender
Ditinjau dari Sudut Pandang Normatif dan Sosiologis. SASI, Vol 26, Hal 157 – 158.

6
B. Perempuan dan Isu Kekerasan

WHO mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai "tindakan kekerasan berbasis gender
yang mengakibatkan, atau mungkin mengakibatkan, bahaya seksual dan mental fisik atau penderitaan
perempuan, termasuk ancaman tindakan seperti itu, pemaksaan atau perampasan sewenang-wenang
baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.2” Secara filosofis, fenomena kekerasan
merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan antarpribadi, di mana orang tidak lagi bisa duduk
bersama untuk memecahkan masalah. Hubungan yang ada hanya diwarnai dengan ketertutupan,
kecurigaan, dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan seperti ini, tidak ada dialog, apalagi kasih.
Semangat mematikan lebih besar daripada semangat menghidupkan, semangat mencelakakan lebih
besar daripada semangat melindungi. Memahami tindak-tindak kekerasan di Indonesia yang dilakukan
orang satu sama lain atau golongan satu sama lain dari perspektif ini, terlihat betapa masyarakat kita
sekarang semakin jauh dari menghargai dialog dan keterbukaan. Permasalahan sosial biasa bisa meluas
kepada penganiayaan dan pembunuhan. Toko, rumah ibadah, kendaraan yang tidak ada sangkut pautnya
dengan munculnya masalah, bisa begitu saja menjadi sasaran amuk massa.

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan memang tidak


menyatakan secara eksplisit tentang adanya 2 jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan secara
khusus, namun dalam Pasal 3 memuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa
diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.3 Dengan demikian,
bila dikaitkan dengan kewajiban negara untuk memberikan jaminan atas warga negaranya, negara juga
memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia kelompok perempuan sama
seperti jaminan kepada kelompok lainnya. Karena perempuan sebagai bagian dari kelompok
masyarakat yang juga harus dilindungi hak asasinya, maka pelanggaran terhadap hak asasi perempuan
harus juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM secara umum.

Perempuan harus dinyatakan secara eksplisit dan khusus dijamin hak asasinya, karena perempuan
dalam kajian dan pengaturan beberapa konvensi internasional dimasukan ke dalam kelompok yang
rentan, bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi serta
kelompok yang rentan lainnya. Kelompok perempuan dimasukan ke dalam kelompok yang lemah, tak
terlindungi, dan karenanya selalu dalam keadaan yang penuh resiko serta sangat rentan terhadap bahaya,
yang salah satu diantaranya adalah adanya kekerasan yang dating dari kelompok lain. Kerentanan ini
membuat perempuan sebagai korban kekerasan mengalami fear of crime yang lebih tinggi daripada
laki-laki.4

Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Lebih khusus lagi, jaminan atas hak asasi perempuan dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Pengesahan Konvensi Perempuan.
Didalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tersebut dinyatakan bahwa negara akan melakukan upaya

2
WHO , Global and regional estimates of violence against women: prevalence and health effects of intimate
partner violence and non-partner sexual violence.2013, WHO Library Cataloguing-in-Publication Data
3
Saparinah Sadli, Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, dalam Pemahaman Bentukbentuk Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, KK Convention Watch, Pusat Kajian Wanita
dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta 2000,hlm.1.
4
Harkristuti Harkrisnowati, Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam
Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif
Pemecahannya, UI, Jakarta, 2000.hlm 11.

7
semaksimal mungkin untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk
adanya kekerasan terhadap perempuan, baik yang meliputi kekerasan di wilayah publik maupun di
wilayah domestik. Melalui hukum, hak-hak asasi manusia baik laki-laki.

Maupun perempuan diakui dan dilindungi, karenanya hukum akan selalu dibutuhkan untuk
mengakomodasi adanya komitmen negara untuk melindungi hak asasi manusia warganya, termasuk
perempuan. Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap
perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa
antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam kasus kekerasan
seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki-laki dan
perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap
korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan
masyarakat (status sosial/modalitas sosial).5

Bebrapa definis terhadap perlakuan maupun tindakan yang terjadi terhadap kekerasan pada perempuan;

1. kekerasan pasangan intim


kekerasan pasangan intim mengacu perilaku oleh pasangan intim atau mantan pasangan yang
menyebabkan kerusakan fisik, seksual atau psikologis, termasuk agresi fisik, pemaksaan seksual,
pelecehan psikologis dan dikendalikan oleh perilaku fisiknya.

2. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah "setiap tindakan seksual, mencoba untuk mendapatkan tindakan seksual, atau
tindakan lain yang ditujukan terhadap seksualitas menggunakan paksaan seseorang, oleh setiap orang
tanpa memandang hubungan mereka dengan korban, dalam pengaturan apapun.

3. Pemerkosaan
Pemerkosaan didefinisikan sebagai fisik paksa atau dipaksa penetrasi.

4. kekerasan pasangan intim


kekerasan pasangan intim adalah Sebuah Pengalaman yang dilaporkan sendiri dari satu atau lebih
tindakan kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangan atau mantan pasangan di usia 15 tahun keatas.

5. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik didefinisikan sebagai: ditampar atau sesuatu yang dilemparkan pada Anda yang bisa
menyakiti Anda, didorong atau mendorong, dipukul dengan kepalan tangan atau sesuatu yang lain yang
dapat merugikan, ditendang, diseret atau dipukuli, dicekik atau terbakar atau diancam dengan atau
tanpa senjata yang digunakan kepada anda.

6. kekerasan seksual
kekerasan seksual didefinisikan sebagai upaya secara fisik dipaksa untuk melakukan hubungan seksual
yang tidak anda inginkan guna melakukan hubungan seksual karena Anda takut apa yang mungkin
dilakukan pasangan Anda atau dipaksa untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan seksual

5
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-
Tangani.pdf.

8
yang berdampak memalukan pada anda serta merendahkan martabat anda dan kekerasan pasangan intim
yanng berat didefinisikan atas dasar beratnya tindak kekerasan fisik.

7. Komnas Perempuan

Komnas Perempuan mengenali 14 bentuk kekerasan seksual. Keempat belas jenis kekerasan seksual
tersebut adalah

1. perkosaan;
2. pelecehan seksual;
3. eksploitasi seksual;
4. penyiksaan seksual;
5. perbudakan seksual;
6. intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perksoaan;
7. prostitusi paksa;
8. pemaksaan kehamilan;
9. pemaksaan aborsi;
10. pemaksaan perkawinan;
11. perdagangan perempuan untuk tujuan seksual;
12. kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama;
13. penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
14. praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.

C. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan

Secara umum perlindungan hukum diartikan sebagai hukum/peraturan yang berlaku di Indonesia
dan memberikan perlindungan bagi perempuan terutama dari tindak kekerasan, eksploitasi maupun
diskriminasi di berbagai aspek kehidupan, baik sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, sipil, dan politik.
Perlindungan hukum dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan
kompensasi, pelayanan medis, serta bantuan hukum.6

Perlindungan terhadap hak-hak perempuan sudah diatur dalam berbagai instrumen Hak Asasi
Manusia, baik nasional maupun internasional. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, jaminan atas
perlindungan hak-hak perempuan tersebut belum terpenuhi secara maksimal.7 Perempuan berhak
memperoleh perlindungan atas hak-hak asasi manusianya. Kekerasan terhadap perempuan merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang dapat berupa pelanggaran terhadap : hak atas kehidupan,
hak atas persamaan, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas perlindungan yang sama di
muka umum, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik yang sebaik-baiknya, hak atas
pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik, hak untuk pendidikan lanjut dan hak untuk tidak
mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak
manusiawi yang sewenang-wenang.

6
Dikdik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 31
7
Rodliyah. dkk, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Prosiding
SAINTEK LPPM, Vol. 3 No.1, Januari 2021, hlm. 243

9
Dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi perempuan, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) telah mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang memuat
hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak perempuan dengan laki-laki. Berdasarkan deklarasi ini,
komisi PBB tentang Kedudukan Perempuan menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women – CEDAW).

Pada tanggal 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.8 Karena konvensi tersebut tidak bertentangan dengan
Pancasila maupun UUD 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia ikut menanda tangani konvensi
tersebut dan diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Disini jelas terlihat bahwa negara mempunyai komitmen terhadap perlindungan hak-hak perempuan,
ditambah lagi komitmen khusus yakni perlindungan terhadap diskriminasi, dan bahkan penghapusan
terhadap diskriminasi itu sendiri.

Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi perempuan yang ada dalam khasanah Hukum Pidana
Indonesia secara umum diatur dalam KUHP dan secara khusus diantaranya diatur dalam peraturan-
peraturan yang lain yaitu:

1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi


Terhadap Wanita;
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum;
4. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
6. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan;
8. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (Trafficking in Person).

Berbagai instrumen hukum yang memberikan perlindungan terhadap perempuan sebagaimana di


atas, dalam realitasnya masih belum dapat menjalankan fungsinya untuk memberikan perlindungan
hukum bagi perempuan korban dan rasa aman bagi perempuan secara umum di Indonesia.

Perlindungan terhadap perempuan tidak hanya mempersyaratkan atas ketersediaan substansi


hukum yang ramah dan adil bagi perempuan akan tetapi juga meniscayakan adanya dua elemen
hukum yang lain yaitu struktur dan kultur hukum yang berpihak kepada perempuan. Sementara
kekerasan terhadap perempuan berbasis gender menunjukkan kuatnya mindset ketimpangan gender
karena nalar patriarkhi masih menjadi PR besar bagi upaya memberikan perlindungan hukum bagi
perempuan korban kekerasan.9

8
Natanael Christian Henry Gurinda, Peran PBB dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia Menurut Kajian Hukum
Internasional, Lex Et Societatis Vol. VII, No. 9, September 2019, hlm. 59
9
Nur Rochacty, Menegakkan HAM Melalui Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan di
Indonesia, Palastren: Jurnal Studi Gender, Vol. 7, No. 1, Juni 2014, hlm. 22

10
D. Hak – Hak anak Indonesia Menurut UU Perlindungan Anak

Hak-hak Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 . Dalam UU No. 23 Tahun 2002
diatur mengenai hak dan kewajiban anak yang tercantum dalam Pasal 4 s/d pasal 19. Secara lebih
perinci hak-hak anak dalam UU Nomor 23 tahun 2002 adalah sebagai berikut:10

1. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 4). Sejalan dengan KHA, hak hidup bagi anak ini, dalam wacana
instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai
hak yang utama (supreme right). Sedangkan hak atas tumbuh kembang diturunkan ke dalam
hak atas kesehatan, pendidikan, dan hak untuk berekspresi, dan memperoleh informasi. Dalam
UU No. 23/2002, turunan hak atas tumbuh kembang ini diwujudkan dalam penyelenggaraan
perlindungan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, termasuk agama.
2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).
3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6). Hak untuk beribadah menurut
agamanya, berfikir dan berekspresi merupakan wujud dari jaminan dan penghormatan negara
terhadap hak anak untuk berkembang, yang mengacu kepada Pasal 14 KHA.
4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal
7). Dalam pasal ini dijelaskan bahwa jika orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang
anak maka anak tersebut berhak untuk diasuh oleh orang lain sebagai anak asuh atau anak
angkat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 7 ayat 2 dan 3).
5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik,
mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8). Hak memperoleh pelayanan kesehatan ini merupakan
hak terpenting dalam kelompok hak atas tumbuh kembang anak. Setidaknya, hak atas
pelayanan kesehatan bagi anak dirujuk ke dalam Pasal 24 dan 25 KHA. Mengenai bagaimana
pelaksanaan hak-hak kesehatan ini, selanjutnya dirumuskan dalam ketentuan tentang
penyelenggaraan hak anak dalam bidang kesehatan yang diatur dalam Pasal 44 s/d Pasal 47
UU No.23/2002. Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya
kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang
optimal sejak dalam kandungan (pasal 44).
6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9). Hak anak atas pendidikan
meliputi hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan diri
anak sesuai dengan bakat, minat, dan kecerdasannya. Hak ini merupakan turunan dan
pelaksanaaan dari Pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan”. Bahkan, Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 secara eksplisit
memprioritaskan pendidikan dengan alokasi anggaran dalam APBN serta dari APBD sebesar
minimal 20 persen.
7. Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus
(Pasal 9 ayat 2).
8. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).

10
http://digilib.uinsby.ac.id/2936/5/Bab 2.pdf Hal. 23-30 , diakses pada 22 Oktober 2021, pukul 14:17

11
9. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-
nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).
10. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri (Pasal 11).
11. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan yang
menyimpang (Pasal 13), perlakuan- perlakuan yang menyimpang itu adalah:
a. Diskriminasi.
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
c. Penelantaran.
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.
e. Ketidakadilan.
f. Perlakuan salah lainnya.
12. Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum
yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14). Pada prinsipnya, negara melakukan upaya agar
anak berada dalam pengasuhan orangtuanya sendiri, dan tidak dipisahkan dari orangtua secara
bertentangan dengan keinginan anak. Pada pasal ini ditegaskan bahwa anak berhak untuk tidak
dipisahkan dari orangtuanya secara bertentangan dengan kehendak anak, kecuali apabila
pemisahan dimaksud mempunyai alasan hukum yang sah, dan dilakukan demi kepentingan
terbaik anak.
13. Hak untuk memperoleh perlindungan dari pelibatan dalam situasi darurat atau kerusuhan (pasal
15), hal itu adalah:
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata.
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial.
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
e. Pelibatan dalam peperangan.
14. Hak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi, hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum dan
perlindungan dari penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir
(Pasal 16).
15. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang
dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan
upaya hukum yang berlaku.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan
tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 ayat 1).
16. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan
hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat 2).
17. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18). Dengan adanya berbagai peristiwa pada belakangan ini
maka pemerintah melakukan beberapa perubahan pada undang-undang nomor 23 tahun 2002
dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 35 tahun 2014 yang merubah dan menambahi

12
beberapa poin di dalam pasal-pasal undang- undang nomor 23 tahun 2002, perubahan-
perubahan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban anak tersebut adalah:
1) Pada pasal 6 dirubah sehingga berbunyi “Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut
agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya
dalam bimbingan Orang Tua atau Wali”.
2) Pada pasal 9 ayat 1 ditambah dengan ayat 1 (a) yang berbunyi “Setiap Anak berhak
mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan
yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau
pihak lain”.
3) Pada pasal 9 ayat 2 dan pasal 12 terdapat perubahan kalimat “anak yang menyandang
cacat” diganti dengan “anak peyandang disabilitas”.
4) Pada pasal 14 ditambah dengan ayat 2 yang berbunyi Dalam hal terjadi pemisahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang
Tuanya;
b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk
proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya;
c. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan
d. Memperoleh Hak Anak lainnya.

5) Pada pasal 15 terkait dengan hak anak mendapat perlindungan ditambah dengan poin
f yaitu “kejahatan seksual”. Setiap hak yang didapatkan berimbang dengan kewajiban
yang harus dijalankan, selain memiliki beberapa hak, seorang anak juga memiliki
beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan dalam kehidupannya. Dalam pasal 19
UU NO. 23 Tahun 2002 diuraikan bahwa setiap anak memiliki kewajiaban untuk:
1. Menghormati orang tua, wali, dan guru.
2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
3. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Secara garis besar hak-hak anak yang dapat dikategorikan menjadi empat kategori yaitu sebagai
berikut:

1. Hak kelangsungan hidup yang mencakup hak dan memperoleh pelayanan kesehatan yang
memadai (survival rights).
2. Hak tumbuh kembang anak yang mencakup semua jenis pendidikan formal maupun formal
dan hak menikmati standart kehidupan yang layak bagi tumbuh kembang fisik, mental, spritual,
moral non moral dan sosial (development rights)
3. Hak perlindungan yang mencakup perlindungan diskriminasi, penyalahgunaan dan pelalalaian,
perlindungan anak-anak tanpa keluarga dan perlindungan bagi anak anak pengungsi
(protection rights).
4. Hak partisipasi yang meliputi hak-hak anak untuk menyampaikan pendapat/pandangannya
dalam semua hal yang menyangkut nasib anak itu (participation rights).

13
E. Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang
menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.11 Mereka adalah anak yang
telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana. Jadi anak yang berumur di bawah 12 tahun, walaupun melakukan tindak
pidana, belum dikategorikan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Begitu juga, orang yang
telah berumur di atas 18 tahun tidak lagi digolongkan kepada anak, namun sudah dianggap dewasa, dan
berlaku ketentuan umum hukum pidana.

Indonesia konsisten dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, diwujudkan dengan
diberlakukannya beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak dengan mencabut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Terdapat perbedaan perlindungan terhadap anak yang diberikan oleh UU No. 11 tahun 2012 dengan
yang diatur dalam UU No. 3 tahun 1997. Dalam UU No. 3 Tahun 1997 setiap anak yang melakukan
perbuatan pidana dikenakan proses hukum yang sama dengan proses hukum orang dewasa.12 Namun
saat ini di Indonesia, perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum merujuk ke dalam
UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dimana Anak yang berkonflik dengan
hukum, mendapat perlakuan berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa dengan penerapan
kebijakan atau diversi.

Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dapat melalui 2 cara, yaitu:

1. Litigasi

Demi perlindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berkonflik dengan hukum wajib
disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan
perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus
yang memahami masalah Anak. Penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan
di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Namun, sebelum masuk para penegak hukum, keluarga,
dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui
Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4 tahun 2014,
yang isinya mengatur tentang pelaksanaan Diversi di Pengadilan. Dalam PERMA tentang Diversi
tersebut terkandung kewajiban pelaksanaan diversi bagi setiap perkara anak yang masuk ke pengadilan.
Diversi tersebut harus di upayakan oleh hakim anak sebagai fasilitator diversi yang di tunjuk melalui
Penetapan Ketua Pengadilan. Pelaksanaan Diversi wajib di hadiri anak yang berkonflik dengan hukum
dan orang tua, korban dan orang tua, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional dan

11
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
12
Dony Pribadi, Perlindungan Terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum, Jurnal Hukum Volgeist, Vol. 3 No.
1, Desember 2018, hlm. 16

14
perwakilan masyarakat. Hasil dari kesepakatan diversi tersebut merupakan kesepakatan bersama dan
harus di taati pelaksanaannya.13

2. Non Litigasi Melalui Diversi

Salah satu wujud perlindungan terhadap anak adalah dengan pelaksanaan diversi. Dalam pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak),
menyatakan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana
ke proses di luar peradilan pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum tidak harus diselesaikan di
sidang pengadilan, melainkan sedapat mungkin diproses di luar persidangan. Diversi tidak hanya
berlaku bagi anak pelaku tindak pidana atau disebut juga anak berkonflik dengan hukum, tetapi juga
melibatkan anak korban tindak pidana dan anak sebagai saksi tindak pidana.14

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga lebih
mengedepankan penyelesaian anak yang berkonflik dengan hukum penanganan penyelesaian secara
keadilan restoratif, merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat
segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari
solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk
menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi
terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar.15

Diversi dapat ditempuh sejak tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di
pengadilan negeri. Artinya proses penyelesaian perkara tindak pidana anak dapat dilakukan sejak
kasusnya ditangani oleh kepolisian atau bahkan sebelum disidik oleh aparat kepolisian. Apabila perkara
tersebut telah dilimpahkan kepada kejaksaan selaku penuntut, diversi masih tetap dapat dilaksanakan.
Bahkan diversi masih tetap diupayakan meskipun perkara tersebut sudah mulai disidangkan di
pengadilan. Dengan demikian diversi dianggap penyelesaian yang paling baik bagi pihak-pihak yang
berhadapan dengan hukum. Namun diversi tidak berlaku bagi anak yang melakukan tindak pidana yang
diancam dengan ancaman hukum lebih dari tujuh (7) tahun penjara dan juga tidak berlaku bagi
pengulangan tindak pidana (residivis).16

F. Prosedur Pemidanaan Terhadap Anak Menurut Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)

Pada dasarnya, ketentuan beracara peradilan pidana anak mengikuti hukum acara pidana
sebagaimana diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali ditentukan lain

13
Emy Rosna Wati, Penanganan Anak Yang Berkonflik dengan Hukum, Justitia Jurnal Hukum, Vol. 1 No.2,
Oktober 2017, hlm. 287
14
Emy Rosna Wati, Penanganan Anak Yang Berkonflik dengan Hukum, Justitia Jurnal Hukum, Vol. 1 No.2,
Oktober 2017, hlm. 286
15
Penjelasan Umum, UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
16
Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (Studi
Terhadap Undang-Undang Peradilan Anak Indonesia dan Peradilan Adat Aceh), Gender Equality: Internasional
Journal of Child and Gender Studies, Vol. 1, No. 1, Maret 2015, hlm. 58

15
dalam UU SPPA. Adapun prosedur atau tahapan pada proses Peradilan Pidana Anak diantaranya
sebagai berikut:17

a. Penyidikan

Setelah penyelidikan dimulai, Penyidik wajib mengupayakan diversi maksimal 7 hari. Adapun jika
diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum
dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

b. Penangkapan dan penahanan

Sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) UU SPPA Penangkapan anak dilakukan guna kepentingan
penyidikan maksimal 24 jam. Setelah itu Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang
pelayanan khusus anak. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 30 ayat (2) UU SPPA. Sedangkan ketentuan
penahanan anak ialah:

i. Atas permintaan penyidik: maksimal 7 hari dan dapat diperpanjang penunutut umum maksimal
8 hari.
ii. Atas permintaan penuntut umum: maksimal 5 hari dan dapat diperpanjang hakim pengadilan
negeri maksimal 5 hari.
iii. Atas permintaan hakim: maksimal 10 hari dan dapat diperpanjang oleh kepala pengadilan
negeri maksimal 15 hari.

Patut diperhatikan, penahanan tidak boleh dilakukan jika anak memperoleh jaminan dari orang
tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau
merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.

c. Penuntutan

Penuntut umum wajib mengupayakan diversi maksimal 7 hari setelah menerima berkas perkara
penyidik. Jika diversi gagal, penuntut umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan
melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.

d. Pemeriksaan Hakim
1. Ketua pengadilan menetapkan hakim tunggal atau hakim majelis untuk menangani perkara
anak maksimal 3 hari setelah menerima berkas perkara dari penuntut umum, dengan ketentuan:
a) pada setiap tingkat peradilan, dilakukan oleh hakim tunggal.
b) jika tindak pidana diancam pidana penjara 7 tahun atau sulit pembuktiannya, dapat
ditetapkan pemeriksaan dengan hakim majelis.
2. Hakim wajib mengupayakan diversi maksimal 7 hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan
negeri sebagai hakim yang dilakukan maksimal 30 hari. Jika diversi tidak berhasil, perkara
dilanjutkan ke tahap persidangan.
3. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali
pembacaan putusan.

17
Erizka Permatasari,”Upayakan Diversi, Begini Prosedur Peradilan Pidana Anak”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4775/upayakan-diversi--begini-prosedur-peradilan-pidana-
anak/,(Juni 2021),diakses pada pukul 12.17 tanggal 23 Oktober 2021.

16
4. Setelah hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, anak
dipanggil masuk beserta orang tua/wali, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan
pembimbing kemasyarakatan.
5. Setelah surat dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan pembimbing kemasyarakatan
membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan tanpa
kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain.
6. Pada saat memeriksa anak korban dan/atau anak saksi, hakim dapat memerintahkan agar anak
dibawa ke luar ruang sidang dengan ketentuan orang tua/wali, advokat atau pemberi bantuan
hukum, dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir.
7. Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat
tidak dihadiri oleh anak, dengan catatan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi harus
dirahasiakan oleh media massa dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar.18

Jadi berdasarkan ketentuan di atas, pada dasarnya SPPA diterapkan pada anak berusia 12 sampai
dengan di bawah umur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kemudian peradilan pidana
anak mengutamakan keadilan restoratif, di mana pidana penjara hanya diberikan sebagai upaya terakhir
dan jika diberikan, masa pemidanaannya diupayakan dalam waktu paling singkat.

G. Contoh – Contoh Kasus Perempuan dan Anak

Kasus Dugaan Ayah Perkosa Tiga Anak di Luwu Timur

Kasus dugaan pemerkosaan tiga anak oleh ayahnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, marak
dibicarakan warganet di media sosial. Tagar #PercumaLaporPolisi pun jadi trending topic di Twitter
hingga Jumat pagi (8/10/2021). Kasus yang dilaporkan ibu korban pada tahun 2019 itu ramai dibahas
usai dimuat ndones oleh Project Multatuli. Project Multatuli diketahui sebagai ndones jurnalisme
nonprofit yang menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data. Usai laporan itu diangkat, situs
mereka diretas sehingga berbagai media memuat ulang laporannya sebagai bentuk solidaritas. IDN
Times pernah mengikuti perjalanan kasus ini yang akhirnya dihentikan penyelidikannya di kepolisian.
Berikut ini kronologinya.

1. Ibu korban curiga dengan perilaku anak-anaknya

RA, 41 tahun, seorang ibu di Kecamatan Malili, Luwu Timur, melapor ke kantor polres setempat
pada 10 Oktober 2019. Dia melaporkan mantan suaminya, SA (43), soal dugaan pencabulan terhadap
tiga anak kandungnya. RA mengungkapkan, awalnya dia menaruh curiga pada anak-anaknya yang
menunjukkan perubahan perilaku. Putri sulungnya, AL, disebut menjadi pendiam dan lebih tertutup.
“Dia (AL) tiba-tiba kadang langsung masuk kamar. Dia jarang lagi main-main sama adiknya yang dua
orang ini. Saya lihat juga di bawah matanya (selaput) hitam. Kan tidak mungkin ndon dia kurang tidur
karena dia masih sekolah,” kata RA saat ditemui IDN Times di Kantor Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Makassar, Sabtu (21/12/2019). RA menjelaskan,
perbuatan bejat pelaku terbongkar pada 7 Oktober 2019. Kala itu, anak bungsunya, AZ, mengeluhkan
alat vital dan duburnya yang sakit. Penasaran dengan kondisi itu, RA lalu memeriksa fisik anaknya dan
menemukan luka. Anak-anak pun menceritakan soal pencabulan oleh sang ayah sendiri. “Hari itu saya
langsung kumpul semua ini anak tiga orang. Saya suruh cerita tapi mereka diam-diam. Akhirnya anak

18
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

17
kedua saya yang laki-laki ini MR (6) cerita ndon pernah lihat kakaknya dikasih begitu sama ayahnya,”
terangnya. Atas pengakuan anak-anaknya, RA melapor ke polisi.

2. Pelapor tidak mendapatkan pendampingan dari P2TP2A

Sebelum ke polisi, RA mengatakan sempat mendatangi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan


Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lutim untuk meminta pendampingan. Tapi dia merasa tidak
mendapatkan kejelasan di sana. RA menyebut petugas P2TP2A Lutim malah sempat menghubungi
mantan suaminya saat dia datang melapor. Mantan suaminya merupakan seorang yang punya pengaruh
di Pemkab Lutim. RA mengaku diancam mantan suami akan melapor balik dengan tuduhan pencemaran
nama baik. “Tapi tetap saya memberanikan diri apalagi sudah masuk saya punya laporan. Ini untuk
anak-anakku, untuk kebenaran kenapa saya harus takut. Saya diancam itu, bahkan sampai dia (pelaku)
mengancam juga untuk cabut semua hak untuk biayai semua anak-anakku,” ucap RA.

3. Polisi hentikan kasus dua bulan setelah laporan masuk

Penyidik Polres Lutim sempat menyelidiki kasus ini. Namun belakangan terbit surat perintah
penghentian penyidikan (SP3) pada 10 Desember 2019, atau berselang dua bulan setelah laporan
masuk. Kapolres Lutim saat itu AKBP Leonardo Panji Wahyudi berdalih penyidik menerbitkan SP3
karena tidak menemukan bukti fisik atau tanda-tanda kekerasan seksual yang dialami kepada anak-anak
pelapor. “Setelah kita lakukan visum tidak ada tanda-tanda, selaput darah robek atau semacamnya,”
kata Leonardo. RA juga membenarkan soal alasan polisi menghentikan penyelidikan. “Katanya
penyidik karena tidak ada hasil visum yang membuktikan ndon anak ndonesi alami kekerasan seksual.
Tidak ada bukti ndon dari pemeriksaan visumnya mereka,” ujarnya.

4. Ibu korban tempuh visum pembanding dan upaya pendampingan

Setelah menerima ndones resmi SP3 dari pihak Polres Lutim, perjuangan RA untuk mencari
keadilan tak berhenti. Dia akhirnya melaporkan kasus ini ke pihak P2TPA Makassar. Bersama ketiga
anaknya, dia melaporkan secara resmi kasus ini pada Sabtu (21/12/2019. P2TP2A Makassar melalui
Tim Reaksi Cepat (TRC) langsung bergerak. Dua dari ketiga anaknya yang menjadi korban langsung
diberikan pendampingan khusus. Mulai dari konseling hingga pemulihan kondisi fisik sebagai
rangkaian pemulihan pasca-trauma atau trauma healing. Ketua TRC P2TP2A Makassar Makmur
mengatakan, selain memberikan pendampingan, kedua anak yang diduga menjadi korban juga divisum,
untuk jadi pembanding visum pihak Polres Lutim. Ibu korban juga mendapatkan pendampingan hukum
dari LBH Makassar. Mereka berkali-kali bersurat kepada kepolisian untuk meminta kasus dibuka
ndones.

5. Polda Sulsel bersikukuh hentikan kasus

Pada awal 2020, Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan bersikukuh menghentikan kasus pencabulan
dua bocah yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya, di Kabupaten Luwu Timur. “Dari hasil gelar
perkara internal tersebut didapatkan kesimpulan bahwa prosedur yang dilaksanakan oleh penyidik
(Polres) Luwu Timur sudah sesuai dengan mekanisme dan SP3,” kata Kabid Humas Polda Sulsel saat
itu Kombes Pol Ibrahim Tompo, pada Rabu (19/2/2020). Ibrahim menyatakan jajaran Polda Sulsel telah
melaksanakan gelar perkara untuk memastikan kesesuaian laporan dengan bukti visum. Hasilnya
kemudian disimpulkan bahwa tidak ada kekeliruan dalam perjalanan kasus hingga diterbitkannya SP3.
Penyidik, kata Ibrahim telah bekerja sesuai dengan prosedur penanganan laporan hingga penyelidikan.
“Kita melakukan penelitian berkas-berkasnya juga, dan petunjuknya semua termasuk keterangan ahli,

18
dari hasil gelar perkara internal tersebut didapatkan kesimpulan bahwa prosedur yang dilaksanakan
sudah sesuai. SP3 tersebut dianggap sah juga oleh Polda,” ungkap Ibrahim.

Tolak Dimadu, FJ Dipukuli Suaminya Hingga Luka dan Trauma

Seorang suami tega menganiaya istrinya sendiri lantaran tidak diizinkan menikah lagi.
Perbuatan Teguh Susetyo (46), Warga Kelurahan Pergantian Kecamatan Banyuwangi mengakibatkan
istrinya FJ (36) alami trauma. Kasus tersebut diketahui berawal saat Teguh minta izin kepada FJ untuk
menikah lagi. Mendengar permintaan Teguh, FJ terkejut dan menolak dimadu. Namun tak disangka FJ,
Teguh langsung meluapkan emosinya dengan memukuli FJ saat berada di rumahnya yang berada di
Kawasan Lingkungan Gesari. “Memang benar ada kejadian ini. Pelaku minta izin ke istri untuk menikah
lagi tidak diizinkan. Karena emosi kemudian pelaku menganiaya istrinya,” ujar Kapolsek Kota
Banyuwangi AKP Ali Masduki seperti dilansir Solopos.com-jaringan Suara.com pada Rabu
(16/10/2019). Pemukulan tersebut mengakibatkan FJ alami luka memar di bagian belakang kepala dan
mengalami ketakutan serta trauma. Tak lama kemudian, FJ melaporkan peristiwa yang dialaminya ke
polisi. Saat laporan diterima, polisi langsung melakukan penyelidikan hingga akhirnya menangkap
pelaku di rumahnya. Setelah diinterograsi petugas, pelaku mengakui semua perbuatannya yang telah
memukuli istrinya,” kata Ali. Tak lama, polisi berhasil menangkap pelaku dan membawanya ke Markas
Polsekta Banyuwangi untuk pemeriksaan lanjutan. Untuk menguatkan laporan FJ, kepolisian juga
meminta visum luka luka korban. Meski begitu, Ali mengatakan pihaknya sedang mengupayakan jalur
mediasi korban dengan pelaku karena keduanya adalah pasangan suami istri. “Tapi rupanya, pihak istri
meminta kasus yang menimpanya ini tetap berlanjut (diproses hukum),” katanya. Saat ini, pelaku harus
mendekam di dalam sel tahanan Mapolsekta Banyuwangi untuk mempertangung jawabkan semua
perbuatannya. Pelaku saat ini dijerat Pasal 5 juncto Pasal 44 ayat 1 UU RI nomor 23 Tahun 2004 tentang
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.

19
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Kesetaraan gender dalam sudut pandang nomratif dengan mendasarkan pada aturan dan norma
yang berlaku dalam masyarakat serta dilaksanakan dengan penuh konsisten sedangkan dalam sosiologis
didasarkan pada cara pandang msyarakat yang menganggap bahwa kesetaraan gender dapat terlaksana
jika adanya persamaan akan hak, keadilan dapat terpenuhi dan terlaksana.

Kendala dalam hambatan dalam pelaksanaan kesetaraan gender yaitu kurangnya akses
pendidikan, pernikahan usia yang dini (usia muda), ancaman hukuman bagi Pelaku kekerasan dalam
rumah tangga dinilai masih ringan dan masih terbatasnya akses perempuan dalam berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan dalam bidang politik dan pemerintahan

kebijakan advokasi terhadap perempuan dan anak berbasis perlindungan korban kekerasan di
wujudkan pemerintah melalui perumusan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga serta
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga.
Menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender melalui kerjasama dengan berbagai
pihak seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Zulfikli Ismail, Melanie Pita Lestari, Panti Rahayu, Fransiska Novita Eleanora. (2019). Kesetaraan
Gender Ditinjau dari Sudut Pandang Normatif dan Sosiologis. SASI, Vol 26, Hal 157 – 158.

Kronologi Kasus Dugaan Ayah Perkosa Tiga Anak di Luwu Timur (idntimes.com)

Tolak Dimadu, FJ Dipukuli Suaminya Hingga Luka dan Trauma - Suara Jatim

http://digilib.uinsby.ac.id/2936/5/Bab 2.pdf Hal. 23-30 , diakses pada 22 Oktober 2021, pukul 14:17

WHO , Global and regional estimates of violence against women: prevalence and health effects of
intimate partner violence and non-partner sexual violence.2013, WHO Library Cataloguing-in-
Publication Data

Saparinah Sadli, Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, dalam Pemahaman Bentukbentuk
Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, KK Convention Watch, Pusat
Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta 2000,hlm.1.

Harkristuti Harkrisnowati, Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Pemahaman
Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, UI, Jakarta,
2000.hlm 11.

http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan Tangani.pdf.

Dikdik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 31

Rodliyah. dkk, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,
Prosiding SAINTEK LPPM, Vol. 3 No.1, Januari 2021, hlm. 243

Natanael Christian Henry Gurinda, Peran PBB dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia Menurut Kajian
Hukum Internasional, Lex Et Societatis Vol. VII, No. 9, September 2019, hlm. 59

Nur Rochacty, Menegakkan HAM Melalui Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan
di Indonesia, Palastren: Jurnal Studi Gender, Vol. 7, No. 1, Juni 2014, hlm. 22

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Dony Pribadi, Perlindungan Terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum, Jurnal Hukum Volgeist, Vol.
3 No. 1, Desember 2018, hlm. 16

Emy Rosna Wati, Penanganan Anak Yang Berkonflik dengan Hukum, Justitia Jurnal Hukum, Vol. 1
No.2, Oktober 2017, hlm. 287

Emy Rosna Wati, Penanganan Anak Yang Berkonflik dengan Hukum, Justitia Jurnal Hukum, Vol. 1
No.2, Oktober 2017, hlm. 286

Penjelasan Umum, UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

21
Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum
(Studi Terhadap Undang-Undang Peradilan Anak Indonesia dan Peradilan Adat Aceh), Gender
Equality: Internasional Journal of Child and Gender Studies, Vol. 1, No. 1, Maret 2015, hlm. 58

Erizka Permatasari,”Upayakan Diversi, Begini Prosedur Peradilan Pidana Anak”,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4775/upayakan-diversi--begini-prosedur-
peradilan-pidana-anak/,(Juni 2021),diakses pada pukul 12.17 tanggal 23 Oktober 2021.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

22

Anda mungkin juga menyukai