Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL PENELITIAN

Dampak Kekerasan Seksual dan Penanganannya Berlandaskan RUU


Kekerasan Seksual di Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Aceh (Analisis
Prosedur Penanganan Pengajuan Tindak Kekerasan Seksual)

SITI ARAH SUNIYAH

210609502004

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

TAHUN AJAR 2022-2023


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 2
BAB I .................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 3
B. Rumusan masalah ................................................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 9
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 9
BAB II .............................................................................................................................. 10
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP .............................................. 10
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................................ 10
B. Kerangka Konsep................................................................................................ 26
BAB III............................................................................................................................. 27
METODE PENELITIAN ............................................................................................... 27
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ....................................................................... 27
B. Lokasi Penelitian ................................................................................................. 27
C. Fokus dan Deskripsi Fokus Penelitian .............................................................. 27
D. Jenis dan Sumber Data ....................................................................................... 28
E. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data ........................................................ 28
F. Teknik Analisis Data........................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 30
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap tahun kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan,
korbannya bukan hanya orang dewasa melainkan terdapat pula anak-anak bahkan
balita yang menjadi sasaran para pelaku kekerasan seksual. Fenomena kekerasan
seksual pada anak semakin sering terjadi bukan hanya terjadi di dalam negeri
tetapi terdapat pula di luar negeri. Dari banyaknya kasus kekerasan seksual pada
anak tragisnya pelaku merupakan kebanyakan dari lingkungan keluarga atau
lingkungan sekitar anak itu berada, seperti di dalam rumahnya sendiri, lingkungan
sosial dan juga sekolah. Hal ini dapat dibuktikan dari maraknya kasus kekerasan
seksual dalam keluarga di media sosial.
Kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan yang dapat terjadi baik di
ruang publik maupun domestik. Subyek hukum pelaku kekerasan seksual
biasanya diderita oleh perempuan dan anak yang seringkali dianggap sebagai
korban yang lemah. Anak dikatakan sebagai subyek yang lemah dalam hal
kekerasan seksual dikarenakan kedudukan anak yang masih memiliki
ketergantungan tinggi dengan orang yang lebih dewasa sehingga anak maenjadi
korban yan rentan terhadap kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku. Salah
satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual
(sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual dilakukan dengan cara-cara
kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran
Islam. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunyay memiliki kekuatan
fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-
usaha jahatnya.
Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku
seksual derivatif atau hubungan yang menimpang, merugikan pihak korban dan
merusak kedamaian di tengah masyarakat. adanya kekerasan seksual yang terjadi,
maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan
perhatian. Seksualitas perempuan dan anak perempuan rentan terhadap perlakuan
diskriminatif dan kekerasan. Oleh karena itu perempuan dewasa dan anak
perempuan juga rentan terhadap adanya tindak kekerasan seksual. Isu mengenai
kekerasan seksual terhadap perempuan didasari oleh tingginya angka kekerasan
terhadap perempuan di Inddonesia yang telah didokumentasikan oleh Komnas
Perempuan dari hasil laporan beberapa lembaga pengada layanan maupun
lembaga peradilan yang bekerja sama dengan Komnas Perempuan. Data tersebut
menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun
2006-2017 di Indonesia sebagai berikut :

No Tahun Jumlah Korban Kekerasan


Terhadap Perempuan
1 2006 22.512
2 2007 25.522
3 2008 54.425
4 2009 143.586
5 2010 105.103
6 2011 119.107
7 2012 215.156
8 2013 279.688
9 2014 293.220
10 2015 321.752
11 2016 259.150
12 2017 348.446
Sumber : Ringkasan Eksekutif Catatan Tahunan 2018 oleh Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terbagi dalam beberapa


jenis kekerasan di antaranya dapat dilihat dari hasil Catatan Tahunan Komnas
Perempuan Tahun 2018 sebagai berikut :
Bentuk Kekerasan Terhadap
Perempuan Di Ranah
Privat/Personal (n=9.609)
CATAHU 2018

15%

41% Fisik
13%
Seksual
Psikis
31% Ekonomi

Sumber : Ringkasan Eksekutif Catatan Tahunan 2018 oleh Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan

Diagram diatas menunjukkan bentuk kekerasan terhadap perempuan.


Bentuk kekerasan terbanyak adalah fisik (41%), dan seksual sebanyak (31%).
Kekerasan seksual menjadi terbanyak kedua yang dilaporkan, dan menunjukkan
rumah dan relasi pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan.
Sedangkan berdasarkan laporan tahunan Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) tahun 2020, sepanjang tahun 2020 Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) menerima permohonan perlindungan sejumlah 1454
permohonan. Hal ini jelas terlihat terjadi penurunan permohonan pada tahun
sebelumnya yakni tahun 2019 sejumlah 1898 permohonan. Jumlah terlindung
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang berstatus sebagai saksi,
korban, saksi pelaku, pelapor dan saksi ahli berjumlah 2.785 orang. Sepanjang
tahun 2020 seluruh terlindung Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
telah mendapatkan sejumlah 4.478 program perlindungan seperti bantuan medis,
bantuan psikologis, rehabilitasi psikososial, restitusi, kompensasi, perlindungan
fisik serta pemenuhan hak prosedural. Perlindungan bagi korban tindak pidana
dan pemenuhan hak bagi korban tindak pidana di Indonesia telah diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan. Peraturan yang terkait dengan
perlindungan korban tindak pidana tertuang dalam Undang-Undang Republik
Indonesia 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan
yang dimaksud adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan
oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya yang
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan. Disamping itu pula
terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan bantuan Kepada Saksi dan Korban oleh sebagai salah
satu peraturan pendukung guna memperkuat upaya perlindungan saksi dan
pemenuhan hak korban. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban sebagai
suatu upaya pemenuhan hak atas korban adalah restitusi. Restitusi adalah ganti
rugi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Salah
satu korban tindak pidana yang patut untuk dilindungi adalah korban tindak
pidana kesusilaan. Kasus kekerasan seksual menjadi isu yang memprihatinkan di
masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan semakin marak dan bervariasinya
tindak kekerasan di Indonesia. Berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK), sebanyak 533 terlindung korban tindak pidana kekerasan
seksual anak dan perempuan. Jumlah permintaan perlindungan tersebut meningkat
dimana sebelumnya pada tahun 2019 sejumlah 507 terlindung dan pada tahun
2018 sejumlah 401 terlindung.
Dalam kasus kekerasan seksual yang marak terjadi, anak menjadi
kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu
diposisikan sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya. Secara umum,
Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End Chlid Prostitution In Asia
Tourism) Internasional merupakan suatu hubungan atau interaksi antar seorang
anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang
dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orangtua dimana anak
tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas untuk kebutuhan seksual si pelaku..
Undang-Undang Perlindungan anak telah memberikan batasan bahwa yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
Oleh karena maraknya kasus kekerasan seksual pada anak yang terdapat
di keluarga dapat menunjukkan bahwa betapa dunia yang aman bagi anak semakin
sempit dan sulit ditemukan. Dunia anak yang seharusnya diisi dengan keceriaan
yang ia dapatkan dari lingkungan sosial dan keluarga justru memberikan
gambaran buram dan potret ketakutan karena pada saat ini anak telah banyak
menjadi subjek pelecehan seksual yang berasal dari keluarganya sendiri. Namun
kekerasan seksual anak yang terjadi di keluarga jarang sekali terekspos
masyarakat. Data yang terdapat pada KPAI hanya data yang didapatkan dari
masyarakat mengenai kekerasan seksual anak di keluarga hanya dari beberapa
korban yang melapor dan masih banyak korban kekerasan seksual terutama anak
yang tidak berani melaporkan dan tidak tau harus melapor kepada siapa. Kasus ini
cenderung dirahasiakan oleh korban dan pelaku. Korban kekerasan seksual pada
keluarga cenderung merasa malu karena menganggap hal tersebut sebagai aib
yang harus disembunyikan rapat-rapat terlebih lagi ia mendapatkan kekerasan
tersebut dari keluarga mereka sendiri, selain itu ancaman juga kerap korban
dapatkan dari pelaku kekerasan seksual.
Berbicara mengenai penyelesaian perkara pidana di Indonesia saat ini,
tentunya tidak bisa dipandang dari satu sisi saja yakni berkaitan dengan nasib
pelaku tindak pidana itu sendiri namun yang perlu diperhatikan juga adalah terkait
dengan korban tindak pidana yang menderita kerugian materiil maupun
immaterial disamping pula perlindungan terhadap korban. Kedudukan korban saat
ini dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dirasa belum optimal
dikarenakan Kitab UndnagUndang Hukum Pidana (KUHP) belum secara tegas
merumuskan ketentuan yang secara langsung dan konkret memberikan
perlindungan hukum terhadap korban. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga
tidak merumuskan jenis-jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya sangat
bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga korban itu sendiri. Peran saksi dan
korban guna mengungkap suatu fakta terjadinya peristiwa pidana sangatlah
penting. Para saksi dan korban inilah yang mengalami, melihat dan mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana. Peran saksi dan korban yang begitu penting
untuk menghasilkan salah satu alat bukti yang sah, faktanya para saksi dan korban
sering mengali tindakan intimidasi, gangguan, ancaman, terror, hingga tindakan
kekerasan dari pihak yang berseberangan yang berusaha menggagalkan atau
menghalang-halangi saksi dan korban tersebut agar tidak memberikan
kesaksiannya dalam suatu proses hukum.
Berdasarkan penjelasan mengenai isu kekerasan seksual di keluarga
yang marak terjadi dan anak sebagai korbannya, dan menyimpulkan bahwa
keluarga sudah tidak bisa lagi berfungsi sebagaimana mestinya yaitu melindungi
dan menjadikan keluarga sebagai panutan untuk anaknya, membuat penulis ingin
meneliti dampak kekerasan seksual anak di keluarga terhadap perkembangan
anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu dampak kekerasan
seksual di keluarga yang menimpa anak sebagai korbannya dan juga upaya
penanganannya. Diharapkan artikel ini dapat memberikan pemahaman mengeni
dampak yang timbul dari kekerasan seksual dan upaya penanganannya.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka
pertanyaan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Dampak dari kekerasan seksual beserta dengan penanganannya
2. Prosedur pelaksanaan pengajuan bagi korban tindak pidana kekerasan
seksual
3. Kendala dan tantangan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK)
dalam memfasilitasi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual untuk
mendapatkan restitusi
4. Pasal-pasal yang berpeluang menangani permasalahan kekerasan terhadap
perempuan di dalam RUU Kekerasan Seksual
C. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis dampak dari kekerasan seksual beserta dengan
penanganannya
2. Mengetahui prosedur pelaksanaan pengajuan bagi korban tindak pidana
kekerasan seksual
3. Menganalisis kendala dan tantangan lembaga perlindungan saksi dan
korban (LPSK) dalam memfasilitasi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual
untuk mendapatkan restitusi
4. Mengetahui pasal-pasal yang berpeluang menangani permasalahan
kekerasan terhadap perempuan di dalam RUU Kekerasan Seksual.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan
dan pemahaman serta sebagai referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan kekerasan seksual
2. Manfaat Praktis
a) Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai analisis dampak dan penanganan dari
kekerasan seksual itu sendiri.
b) Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan
dan informasi masyarakat luas sehingga dapat mengetahui prosedur
pelaksanaan pengajuan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual
c) Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
pertimbangan bagi pemerintah untuk meningkatkan peran dalam
penanganan kekerasan seksual.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
A. Tinjauan Pustaka
Kekerasan kepada anak menurut Richard J.G (Hurairah, 2012)
merupakan perbuatan yang disengaja dan dapat menimbulkan kerugian bagi
korbannya yang merupakan anak-anak baik secara fisik dan juga secara
emosional. Terdapat berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yaitu kekerasan
fisik, psikologi, sosial dan juga kekerasan secara seksual. Kekerasan seksual
terhadap anak yaitu setiap perbuatan yang cenderung memaksakan hubungan
seksual dengan tidak wajar dan tidak disukai. Menurut Mayer (Tower: 2002).
Kekerasan yang dilakukan seperti penganiayaan, pemerkosaan, stimulasi oral
pada penis, stimulasi oral pada klitoris, dan pemekorsaan secara paksa. Sementara
Lyness (Maslihah,2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan
menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan
terhadap anak, melihatkan media/benda porno, menunjukkan alat alat kelamin
pada anak dan sebagainya. Maka dapat ditarik kesimpulan kekerasan seksual anak
merupakan suatu hal atau tindakan yang disengaja dan dapat memberikan dampak
buruk pada kondisi fisik dan psikologis anak. Kekerasan seksual dapat dibedakan
menjadi 2 kategori :
1. Familial Abuse (incest)
Merupakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang masih
memiliki hubungan darah atau merupakan bagian dari keluarga inti seperti
orangtua pengganti atau kekasih. Incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan
kekerasan pada anak yaitu yang pertama ialah penganiayaan yang melibatkan
perbuatan untuk dapat menstimulasi pelaku secara seksual. Yang kedua ialah
pemerkosaan yang berupa oral dan juga hubungan dengan alat kelamin. Yang
terakhir merupakan kekerasan seksual yang paling fatal dikarenakan pemerkosaan
secara paksa meliputi kontak seksual.
2. Extrafamilial Abuse
Merupakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang diluar
lingkungan keluarga. Pelaku dari kategori ini merupakan orang dewasa yang
cukup dekat dan dikenal dengan anak serta telah dibangun relasi antara pelaku dan
sang anak.
1. Teori Ekologi Perkembangan
Teori ekologi perkembangan anak diperkenalkan oleh Uri
Bronfenbrenner, seorang ahli psikologi dari Cornell University di Amerika
Serikat. Teori ekologi memandang bahwa perkembangan manusia dipengaruhi
oleh konteks lingkungan. Hubungan timbal balik antara individu dengan
lingkungan yang akan membentuk tingkah laku individu tersebut. Informasi
lingkungan tempat tinggal anak untuk menggambarkan, mengorganisasikan dan
mengklarifikasi efek dari lingkungan yang bervariasi. Teori ekologi memandang
perkembangan anak dari tiga sistem lingkungan yaitu mikrosistem, ekosistem dan
makrosistem. Ketiga sistem tersebut membantu perkembangan individu dalam
membentuk ciri-ciri fisik dan mental tertentu. Mikrosistem adalah lingkungan
dimana individu tinggal, konteks ini meliputi keluarga individu, teman sebaya,
sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Dalam sistem mikro terjadi banyak
interaksi secara langsung dengan agen sosial, yaitu orang tua, teman dan guru.
Dalam proses interaksi tersebut individu bukan sebagai penerima pasif, tetapi
turut aktif membentuk dan membangun setting mikrosistem. Setiap individu
mendapatkan pengalaman dari setiap aktivitas, dan memiliki peranan dalam
membangun hubungan interpersonal dengan lingkungan mikrosistemnya.
Lingkungan mikrosistem yang dimaksud adalah lingkungan sosial yang terdiri
dari orang tua, adik-kakak, guru, teman-teman dan guru. Lingkungan tersebut
sangat mempengaruhi perkembangan individu terutama pada anak usia dini
sampai remaja. Subsistem keluarga khususnya orangtua dalam mikrosistem
dianggap agen sosialisasi paling penting dalam kehidupan seorang anak sehingga
keluarga berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak-anak. Dampaknya,
setiap masalah yang terjadi dalam sebuah sub sistem mikrosistem akan
berpengaruh pada sub sistem mikrosistem yang lain. Ekosistem adalah sistem
sosial yang lebih besar dimana anak tidak terlibat interaksi secara langsung, tetapi
begitu berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak. Sub sistemnya terdiri
dari lingkungan tempat kerja orang tua, kenalan saudara baik adik, kakak, atau
saudara lainnya,dan peraturan dari pihak sekolah. Sebagai contoh, pengalaman
kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan
anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan
lebih banyak perjalanan yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan
perubahan pola interaksi orang tua dan anak. Sub sistem eksosistem lain yang
tidak langsung menyentuh pribadi anak akan tetapi besar pengaruhnya adalah
koran, televisi, dokter, keluarga besar, dan lain-lain. Makrosistem adalah sistem
lapisan terluar dari lingkungan anak. Sub sistem makrosistem terdiri dari ideologi
negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya, dan lain
sebagainya, dimana semua sub sistem tersebut akan memberikan pengaruh pada
perkembangan karakter anak. Menurut Berk budaya yang dimaksud dalam sub
sistem ini adalah pola tingkah laku, kepercayaan dan semua produk dari
sekelompok manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada awal tahun ini banyak terdapat berita yang sangat membuat
masyarakat yang mendengarnya heran dan tidak percaya dikarenakan terdapat
kasus seorang ayah kandung yang tega melakukan kekerasan seksual kepada anak
kandungnya yang masih duduk di sekolah dasar hingga hamil. Berikut merupakan
kasus yang dilansir dari inews.id :
ACEH TENGGARA, iNews.id - Perilaku bejat seorang ayah di
Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, sudah sangat keterlaluan. Dia tega
memperkosa anak kandungnya yang masih berusia 13 tahun hingga harus
menanggung malu karena hamil 7 bulan. Korban yang masih duduk di sekolah
kelas 6 SD, kini enggan melanjutkan pendidikannya. Dia cuma mau berdiam diri
di rumah karena merasa malu untuk bertemu dengan teman-temannya lagi.
Kapolres Aceh Tenggara, AKBP Rahmad Har Denny Yanto mengatakan,
tersangka berinisial S (35) diamankan polisi di Desa Tanjung Lama, Kecamatan
Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara. "Perbuatannya terungkap ketika ibu
korban curiga dengan kondisi perut anaknya yang semakin buncit," kata Rahmad
di Mapolres Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, Kamis (17/1/2019). Dia mengatakan,
saat ditanya ibunya korban akhirnya mengaku pernah dipaksa berhubungan badan
dengan ayahnya. Dia diperkosa sebanyak 2 kali pada Juli 2018 lalu. Mendapat
pengakuan tersebut, ibu korban melaporkan ke polisi. Dari hasil penyelidikan,
tersangka S yang bekerja sebagai petani ini, menyetubuhi anaknya di rumah nenek
korban saat kondisi sedang sepi. Dia dipaksa melayani nafsu sang ayah dengan
ancaman kekerasan fisik."Perbuatan ini terulang ketika korban mandi di sungai. S
juga menyetubuhinya di kebun pinggir sungai, "ujar dia. Ayah bejat ini sekarang
ditahan di Mapolres Aceh Tenggara. Dia terancam Undang-Undang No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman 15 tahun penjara. Selain itu
anak yang merupakan korban dirawat dengan ibu kandungnya dan dijauhkan
dengan ayah kandungnya untuk mengantisipasi adanya trauma yang terjadi pada
korban, selain itu dan mendapatkan rehabilitasi untuk menghilangkan trauma dari
professional.
Jika dilihat dari kasus kekerasan seksual anak di keluarga yang terjadi
di Aceh Tenggara maka jika dianalisis menggunakan teori ekologi perkembangan
dan difokuskan pada bagian dari mikrosistem yang berisi sub sistem individu, sub
sistem keluarga, teman sebaya dan masyarakat. Dalam kasus ini kekerasan seksual
yang terjadi termasuk dalam familial abuse yaitu kekerasan seksual yang mana
korban dan pelaku masih memiliki hubungan darah dan menjadi bagian dalam
keluarga inti. Hal tersebut sesuai dengan deskripsi kasus bahwa ayah kandung
yang melakukan kekerasan seksual kepada anaknya hingga hamil. Dengan kasus
tersebut maka anak yang merupakan korban dalam masa perkembangannya
mendapatkan perilaku yang tidak seharusnya ia terima jika melihat statusnya yang
merupakan anak dari pelaku dan dapat memberikan dampak negatif bagi masa
perkembangannya. Subsistem keluarga yang merupakan bagian dari mikrosistem
berperan besar dalam pengembangan karakter anak. Apabila keluarga mempunyai
struktur yang kokoh dan menjalankan fungsinya dengan optimal maka akan
menghasilkan outcome yang baik kepada seluruh anggota keluarganya.
Dalam kasus ini peran keluarga dalam melindungi salah satu bagiannya
yaitu anak tidak dipenuhi dalam kasus tersebut, kekerasan seksual yang terjadi
pada anak dikeluarga dapat memberikan dampak negative jangka panjang bagi
korban, seperti yang disampaikan pada kasus tersebut bahwa korban hanya mau
berdiam diri dirumah karena merasa malu untuk dapat bersosialisasi dengan
teman-temannya lagi. Karena teori ekologi ini memandang bahwa perkembangan
manusia dipengaruhi oleh konteks lingkungan, maka hubungan timbal balik antara
individu dengan lingkungan yang akan membentuk tingkah laku individu tersebut,
dengan perlakuan yang korban terima dari orang terdekatnya yaitu ayahnya
sendiri dapat mempengaruhi karakteristik tingkah laku anak tersebut.

2. Dampak Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik
pada anak maupun pada orang dewasa. Finkelhor dan Browne (Tower, 2002)
mengkategorikan 4 jenis dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami
oleh anak-anak, yaitu :
a. Pengkhianatan (Betrayal)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual.
Seorang anak tentunya mempunya kepercayaan yang sangat besar kepada kedua
orangtuanya dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Dengan adanya
kekerasan yang menimpa dirinya dan berasal dari orangtuanya sendiri membuat
seorang anak merasa dikhianati.
b. Trauma secara seksual (Traumatic sexualization)
Russel (Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang mengalami
kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai
konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memiliki pasangan sesama
jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.
c. Merasa tidak berdaya (Powerlessness)
Rasa tidak berdaya muncul dikarenakan adanya rasa takut dikehidupan
korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan
rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah dan
merasa kurang efektif dalam bekerja. Sebaliknya juga terdapat korban yang
terdapat dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere
dalam Tower, 2002).
d. Stigmatization
Kekerasan seksual dapat membuat korban merasa bersalah, malu,
memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat
ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk
mengontrol dirnya. Anak yang merupakan korban kekerasan sering merasa bahwa
mereka berbeda dengan orang lain, terdapat beberapa korban yang marah oada
tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-
obatan dan minuman beralkohol untuk menghukum tubuhnya dan berusaha untuk
berusaha menghindaro memori tentang kejadian kekerasan yang pernah menimpa
dirinya.
Berdasarkan penjelasan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Aceh
Tenggara dan melibatkan anak sebagai korbannya, menyebabkan anak yang
menjadi korban enggan melanjutkan pendidikannya dan dia hanya mau berdiam
diri dirumah karena merasa malu untuk bertemu dengan teman-temannya lagi. Hal
ini sesuai dengan dampak kekerasan seksual menurut Finkelhor dan Browne
(Tower, 2002) mengenai stigmatization yaitu kekerasan seksual dapat membuat
korban merasa bersalah, malu dan memiliki gambaran diri yang buruk dan merasa
bahwa mereka berbeda dengan orang lain. Korban yang masih berusia 13 tahun
dan masih duduk di sekolah dasar kelas 6 sewajarnya masih memiliki hak untuk
melanjutkan sekolahnya dan mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari
orang disekitarnya terutama orangtuanya. Dalam kasus ini korban merasa berbeda
dengan teman sebayanya karena diumur yang masih sangat dini ia sudah
mengandung terlebih lagi kondisi fisik yang menggambarkan bahwa dirinya
sedang hamil 7 bulan yang merupakan perbuatan ayah kandungnya sendiri.
Korban cenderung mengurung diri dirumah dan membatasi hubungan sosial
dengan lingkungan sekitar sehingga mengganggu keberfungsian sosial anak
tersebut.

3. Penanganan Kekerasan Seksual


Bersandar pada Basic Principles and Guidelines on the Right to a
Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human
Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, yang
diadopsi Majelis Umum PBB, menyebutkan bahwa bentuk penanganan pemulihan
dan penanganan kekerasan seksual yaitu meliputi sejumlah hak :
a. Restitusi, menegakkan kembali sejauh mungkin situasi yang ada bagi
korban sebelum terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan
mengharuskan pemulihan.
b. Kompensasi, akan diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis
dapat diperkirakan nilainya yang timbul dari pelanggaran hak asasi manusia,
seperti kerusakan fisik dan mental, kesakitan, penderitaan dan tekanan batin,
kesempatan yang hilang termasuk pendidikan, dan biaya medis dan biaya
rehabilitasi.
c. Rehabilitasi, disediakan pelayanan hukum, psikologi, perawatan medis,
dan pelayanan atau perawatan lainnya seta tindakan untuk memulihkan martabat
dan reputasi sang korban.
d. Jaminan kepuasan dan ketidakberulangan atas pelanggaran yang
menimpanya.
Berdasarkan penjelasan kasus tersebut anak yang merupakan korban
kekerasan mendapatkan penanganan khusus seperti layanan rehabilitasi oleh
professional seperti psikolog dan juga dijauhkan oleh ayah kandungnya, hal
tersebut dapat dilihat saat ini dan seterusnya anak tersebut hanya diperbolehkan
tinggal dengan ibu kandungnya untuk menghindari adanya trauma pada korban.
Penanganan kasus kekerasan tersebut sesuai dengan salah satu poin yang
bersandar pada Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law
and Serious Violations of International Humanitarian Law, yang diadopsi Majelis
Umum PBB yakni penanganan berupa rehabilitasi yang tujuannya untuk
memulihkan martabat dan reputasi sang korban. Rehabilitasi sangat dibutuhkan
bagi korban kekerasan seksual terutama korbannya merupakan korban yang masih
dibawah umur yang dapat memberikan efek negatif bagi perkembangan anak
dalam menuju masa dewasanya. Tetapi akan lebih efektif jika penanganan yang
dilakukan dengan melakukan semua poin yang terdapat pada Basic Principles and
Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross
Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of
International Humanitarian Law yaitu restitusi yang tujuannya untuk
mengembalikan kembali kondisi korban menjadi seperti semula pada saat belum
terjadinya permasalahan. Kompensasi juga bisa dilakukan pada korban yang
banyak menerima kerugian baik fisik dan juga masa depan korban karena harus
putus sekolah karena kondisi fisiknya yang sedang mengandung. Selain itu korban
lebih baik juga mendapatkan jaminan kepuasan dan ketidakberulangan atas
pelanggaran yang menimpanya yaitu kekerasan seksual. Sehingga korban merasa
aman dan tidak takut kejahatan tersebut dapat menimpanya lagi.

4. Prosedur Pelaksanaan Pengajuan Restitusi bagi Korban Tindak


Pidana Kekerasan Seksual
Konsep ganti rugi yang dikenal di Indonesia diantaranya adalah restitusi
dan kompensasi. Ganti kerugian merupakan salah satu bentuk perlindungan bagi
korban secara langsung, namun pada prakteknya baik restitusi maupun
kompensasi sebagai bentuk ganti rugi belum dikenal dan dipahami baik oleh
aparat penegak hukum maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Perbedaan antara restitusi dan kompensasi dapat dilihat dari dua hal. Pertama,
kompensasi merupakan tuntutan pemenuhan ganti rugi yang dilakukan oleh
korban melalui suatu permohonan yang dibayar oleh masyarakat atau negara.
Dalam kompensasi tidak mensyaratkan adanya penghukuman terhadap pelaku
kejahatan. Kedua, pada restitusi tuntutan ganti rugi dilakukan melalui suatu
putusan pengadilan dan dibayar oleh pelaku kejahatan. Pelaksanaan restitusi harus
sesuai dengan prinsip Pemulihan dalam Keadaan Semula (restutio in integrum),
hal tersebut merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan bahwa korban
kejahatan harus dikembalikan pada kondisi semula sebelum kejahatan terjadi.
Meskipun didasari bahwa tidak akan mungkin korban tindak pidana kembali pada
kondisi pada saat sebelum mengalami kerugian yang ia derita. Prinsip ini juga
menegaskan bahwa bentuk pemulihan yang hendak dilakukan pada korban
haruslah mencapai suatu kelengkapan dalam pemulihan dan mencakup berbagai
aspek yang ditimbulkan akibat kejahatan. Melalui pengajuan restitusi, korban
diharapkan dapat dipulihkan kebebasan, hak-hak hukum, status sosial, kehidupan
keluarga dan kewarganegaraan, pemulihan pekerjaannya serta dipulihkan asetnya.
Perlindungan saksi dan korban dalam hukum positif di Indonesia telah mendapat
pengaturan meskipun sifatnya masih sangat sederhana dan parsial. Hal ini dapat
dilihat dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
Terdapat kebingungan bagi korban tentang mekanisme yang akan
digunakan dalam mengajukan tuntutan restitusi, dapat disebabkan karena tidak
ada keselarasan dalam prosedur pengajuan hak atas restitusi itu sendiri. Dalam
kasus tindak pidana kekerasan seksual, para aparat penegak hukum berfokus
bukan hanya menghukum para pelaku kejahatan seksual saja namun perlu diingat
ada hak korban berupa ganti kerugian (restitusi) akibat tindak pidana kekerasan
seksual tersebut. Masyarakat dan seluruh pihak yang berkepentingan perlu juga
memperhatikan hak-hak korban kekerasan seksual. Restitusi yang diberikan pada
korban tindak pidana kekerasan seskual bentuknya beragam mulai dari
penggantian biaya perawatan medis hingga psikologis, hingga pendampingan
terhadap korban kekerasan seksual di persidangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, korban tindak
pidana berhak memperoleh restitusi yang dapat berupa ganti kerugian atas
hilangnya penghasilan atau kekayaan; ganti kerugian yang timbul akibat
penderitaan yang berakibat langsung dari suatu tindak pidana dan/atau
penggantian biaya perawatan baik medis dan/atau psikologis. Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang dimandatkan oleh
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan
dan pemenuhan hak saksi dan korban berperan mendampingi korban tindak
pidana, memberitahukan atau menginformasikan kepada korban tindak pidana
mengenai hak-haknya dalam mendapatkan restitusi. Pengajuan permohonan
restitusi bagi korban tindak pidana berdasarkan pasal 7A ayat (3) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat diajukan
sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau setelah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Jika permohonan restitusi diajukan sebelum keputusan hukum yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dapat mengajukan restitusi kepada pengadilan untuk mendapatkan
penetapan. Jika korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi dapat diberikan
kepada keluarga yang merupakan ahli waris korban sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

5. Konsep ganti rugi yang dikenal di Indonesia diantaranya adalah


restitusi dan kompensasi
Ganti kerugian merupakan salah satu bentuk perlindungan bagi korban
secara langsung, namun pada prakteknya baik restitusi maupun kompensasi
sebagai bentuk ganti rugi belum dikenal dan dipahami baik oleh aparat penegak
hukum maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Perbedaan antara
restitusi dan kompensasi dapat dilihat dari dua hal. Pertama, kompensasi
merupakan tuntutan pemenuhan ganti rugi yang dilakukan oleh korban melalui
suatu permohonan yang dibayar oleh masyarakat atau negara. Dalam kompensasi
tidak mensyaratkan adanya penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Kedua, pada
restitusi tuntutan ganti rugi dilakukan melalui suatu putusan pengadilan dan
dibayar oleh pelaku kejahatan. Pelaksanaan restitusi harus sesuai dengan prinsip
Pemulihan dalam Keadaan Semula (restutio in integrum), hal tersebut merupakan
suatu upaya yang dapat dilakukan bahwa korban kejahatan harus dikembalikan
pada kondisi semula sebelum kejahatan terjadi.
Meskipun didasari bahwa tidak akan mungkin korban tindak pidana
kembali pada kondisi pada saat sebelum mengalami kerugian yang ia derita.
Prinsip ini juga menegaskan bahwa bentuk pemulihan yang hendak dilakukan
pada korban haruslah mencapai suatu kelengkapan dalam pemulihan dan
mencakup berbagai aspek yang ditimbulkan akibat kejahatan. Melalui pengajuan
restitusi, korban diharapkan dapat dipulihkan kebebasan, hak-hak hukum, status
sosial, kehidupan keluarga dan kewarganegaraan, pemulihan pekerjaannya serta
dipulihkan asetnya. Perlindungan saksi dan korban dalam hukum positif di
Indonesia telah mendapat pengaturan meskipun sifatnya masih sangat sederhana
dan parsial. Hal ini dapat dilihat dalam hukum pidana materiil maupun hukum
pidana formil. Terdapat kebingungan bagi korban tentang mekanisme yang akan
digunakan dalam mengajukan tuntutan restitusi, dapat disebabkan karena tidak
ada keselarasan dalam prosedur pengajuan hak atas restitusi itu sendiri. Dalam
kasus tindak pidana kekerasan seksual, para aparat penegak hukum berfokus
bukan hanya menghukum para pelaku kejahatan seksual saja namun perlu diingat
ada hak korban berupa ganti kerugian (restitusi) akibat tindak pidana kekerasan
seksual tersebut. Masyarakat dan seluruh pihak yang berkepentingan perlu juga
memperhatikan hak-hak korban kekerasan seksual. Restitusi yang diberikan pada
korban tindak pidana kekerasan seskual bentuknya beragam mulai dari
penggantian biaya perawatan medis hingga psikologis, hingga pendampingan
terhadap korban kekerasan seksual di persidangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, korban tindak
pidana berhak memperoleh restitusi yang dapat berupa ganti kerugian atas
hilangnya penghasilan atau kekayaan; ganti kerugian yang timbul akibat
penderitaan yang berakibat langsung dari suatu tindak pidana dan/atau
penggantian biaya perawatan baik medis dan/atau psikologis. Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang dimandatkan oleh
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan
dan pemenuhan hak saksi dan korban berperan mendampingi korban tindak
pidana, memberitahukan atau menginformasikan kepada korban tindak pidana
mengenai hak-haknya dalam mendapatkan restitusi. Pengajuan permohonan
restitusi bagi korban tindak pidana berdasarkan pasal 7A ayat (3) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat diajukan
sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau setelah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Jika permohonan restitusi diajukan sebelum keputusan hukum yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dapat mengajukan restitusi kepada pengadilan untuk mendapatkan
penetapan. Jika korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi dapat diberikan
kepada keluarga yang merupakan ahli waris korban sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

6. Pasal-Pasal yang Berpeluang Menangani Permasalahan Kekerasan


terhadap Perempuan di dalam RUU Kekerasan Seksual
Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual berupaya untuk
menyelesaikan berbagai persolan kasus kekerasan seksual yang ada dengan
mengidentifikasi beberapa bentuk dan jenisnya. Pasal yang dihadirkan di dalam
RUU Kekerasan Seksual yang belum diatur pada undang-undang lain di antaranya
mengenai penyelenggaraan pencegaahan kekerasan seksual yang termuat dalam
Pasal 5 RUU Kekerasan Seksual sebagai berikut :
a. Pasal 5
1) Lembaga Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah wajib
menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual.
2) Pencegahan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi namun tidak terbatas pada bidang: a. pendidikan; b.
infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang; c. pemerintahan dan
tata kelola kelembagaan; d. ekonomi; dan e. sosial dan budaya.
3) Pencegahan kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) dan (2) dilakukan dengan memerhatikan situasi konflik,
bencana alam, letak geografis wilayah, dan situasi khusus lainnya.
4) Pencegahan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a sampai dengan huruf e dikoordinasikan oleh kementerian
yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak.
5) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia menyiapkan materi dan pedoman
dalam pelaksanaan pencegahan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Selain itu bentuk dan jenis kekerasan seksual secara terperinci juga
diatur melalui Pasal 11 RUU Kekerasan Seksual yang menjelaskan sebagai
berikut :
b. Pasal 11
1) Kekerasan seksual terdiri dari :
a. Pelecehan seksual;
b. Eksploitasi seksual;
c. Pemaksaan kontrasepsi;
d. Pemaksaan aborsi;
e. Perkosaan;
f. Pemaksaan perkawinan;
g. Pemaksaan pelacuran;
h. Perbudakan seksual; dan
i. Penyiksaan seksual.
2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah
tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi
konflik, bencana alam, dan situasi khusus lainnya.
Dengan diakomodirnya jenis kekerasan seksual di dalam RUU
Kekerasan Seksual diharapkan mampu mengatasi kasus kekerasan seksual yang
ada sehingga pelaku dapat memperoleh sanksi yang sesuai dengan perbuatan
mereka. Hak korban kekerasan seksual juga diatur di dalam RUU Kekerasan
Seksual sebagaimana dijelaskan Pasal 22, 24, 25, 27, 28, 29 sebagai berikut :
c. Pasal 22
1) Hak korban meliputi :
a. Hak atas penanganan;
b. Hak atas perlindungan;
c. Hak atas pemulihan.
2) Pemenuhan hak korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan korban.
3) Pemenuhan hak korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan mencegah keberulangan kekerasan seksual dan dampak
yang berkelanjutan terhadap korban.
4) Kewajiban negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
dengan :
a. menetapkan kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk
penanganan, perlindungan dan pemulihan korban dan keluarga,
yang diintegrasikan ke dalam pengelolaan internal lembaga-
lembaga Negara terkait;
b. Mengalokasikan biaya untuk pemenuhan hak-hak korban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kedalam anggaran
pendapatan dan belanja Negara dan anggaran pendapatan dan
belanja daerah;
c. Menguatkan peran dan tanggungjawab keluarga, komunitas,
masyarakat dan korporasi dalam penyelenggaraan pemenuhan
hak korban.
d. Pasal 24
1) Hak korban atas penanganan sebagaimana disebut dalam Pasal 22
ayat (1) huruf a meliputi :
a. hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil
penanganan, perlindungan, dan pemulihan;
b. hak mendapatkan dokumen penanganan;
c. hak atas pendampingan dan bantuan hukum;
d. hak atas penguatan psikologis;
e. hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan
dan perawatan medis; dan
f. hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus
korban.
2) Penanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti dengan
penyelenggaraan visum et repertum, surat keterangan pemeriksaan
psikologis dan atau surat keterangan psikiater.
3) Penanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan
dengan proses pemantauan secara berkala terhadap kondisi korban.
e. Pasal 25
Ruang lingkup hak korban atas perlindungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b meliputi :
a. Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas perlindungan;
b. Penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan perlindungan
yang ia peroleh;
c. Perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain dan
berulangnya kekerasan, termasuk Perintah Perlindungan Sementara;
d. Perlindungan atas kerahasiaan identitas;
e. Perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang
merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap korban;
f. Perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan,
pendidikan, atau akses politik; dan
g. Perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau
gugatan perdata atas peristiwa kekerasan seksual yang ia laporkan.
f. Pasal 27
Hak korban atas pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) huruf c meliputi pemulihan :
a. Fisik;
b. Psikologis;
c. Ekonomi;
d. Sosial dan budaya; dan
e. Restitusi.
g. Pasal 29
Pemulihan sebelum dan selama proses peradilan meliputi :
a. Penyediaan layanan kesehatan untuk pemulihan fisik;
b. Penguatan psikologis kepada korban secara berkala;
c. Pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan;
d. Pemberian informasi tentang layanan pemulihan bagi korban;
e. Pendampingan hukum;
f. Pemberian bantuan transportasi, biaya hidup atau biaya lainnya yang
diperlukan;
g. Penyediaan tempat tinggal yang layak dan aman;
h. Penyediaan bimbingan rohani dan spiritual untuk korban dan
keluarganya;
i. Penyediaan fasilitas pendidikan bagi korban atau anak korban;
j. Penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung
lainnya yang dibutuhkan oleh korban;
k. Pelaksanaan penguatan psikologis kepada keluarga korban dan/atau
komunitas terdekat korban; dan
l. Penguatan dukungan masyarakat untuk pemulihan korban.
Pengaturan secara spesifik terhadap perlindungan hak korban
diharapkan mampu memberikan upaya penanganan korban kekerasan seksual
secara optimal. Sehingga mental dan kesehatan psikis korban secara perlahan
dapat kembali seperti semula dan trauma yang diderita dapat terobati dengan baik.
B. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual adalah model konseptual tentang bagaimana teori
saling berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai
masalah yang penting yang digunakan sebagai pedoman dalam menyusun
sistematis penelitian. Kerangka konseptual menjadi pedoman peneliti untuk
menjelaskan secara sistematis teori yang digunakan dalam penelitian. Berikut ini
merupakan bagan dari kerangka konsep untuk menjelaskan yang telah dipaparkan
sebelumnya.

Dampak Kekerasan Seksual

Penanganan Kekerasan Seksual

Prosedur pelaksanaan Kendala dan RUU Kekerasan


pengajuan tantangan (LPSK) Seksual
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Menurut (Sugiyono
2015: 16) penelitian kualitatif adalah metode peneltian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan
data secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari generalisasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yaitu suatu
penelitian yang menggambarkan dan menjelaskan suatu masalah. Peneliti
berupaya untuk menjelaskan dan menggambarkan tentang Dampak Kekerasan
Seksual dan Penanganannya Berlandaskan RUU Kekerasan Seksual di Kabupaten
Aceh Tenggara Provinsi Aceh (Analisis Prosedur Penanganan Pengajuan Tindak
Kekerasan Seksual). Jenis Penelitian ini merupakan penelitian kasus (case study).
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat yang digunakan untuk melakukan
sebuah penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi
Aceh.
C. Fokus dan Deskripsi Fokus Penelitian
Fokus penelitian dimaksudkan agar peneliti dapat membatasi studi
kualitatif yang didasarkan pada tingkat kepentingan dari masalah yang akan
dihadapi. Sehingga peneliti dapat menggali data dan mengungkapkan sesuai
dengan tema yang telah diambil. Menurut Sugiyono (2015: 274) batasan masalah
dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi pokok masalah yang
masih bersifat umum. Adapun fokus dan deskripsi fokus penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Dampak dan penanganan kasus kekerasan seksual yang dimaksud adalah
proses pelaksanaan kebijakan berlandaskan RUU Kekerasan Seksual untuk
pengentasan kekerasan seksual di Kabupaten Aceh Tenggara.
2. Prosedur Pelaksanaan Pengajuan Restitusi bagi Korban Tindak Pidana
Kekerasan Seksual yang dimaksud adalah Konsep ganti rugi yang dikenal di
Indonesia diantaranya adalah restitusi dan kompensasi. Yang dimana Pertama,
kompensasi merupakan tuntutan pemenuhan ganti rugi yang dilakukan oleh
korban melalui suatu permohonan yang dibayar oleh masyarakat atau negara.
Kedua, pada restitusi tuntutan ganti rugi dilakukan melalui suatu putusan
pengadilan dan dibayar oleh pelaku kejahatan.
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, sumber
datanya diperoleh dari hasil analisa pada data yang diperoleh yaitu dari Komnas
Perempuan dan LPSK lalu di tarik kesimpulan dari hasil pengamatan tersebut.
Adapun tujuannya yaitu untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum
terhadap kenyataan sosial dari perspektif analisis.
E. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Dalam penelitian
kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang
alamiah) dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi, dan
dokumentasi:
1. Observasi
Observasi adalah kegiatan pengumpulan data dengan melakukan
penelitian langsung terhadap kondisi lingkungan objek penelitian yang
mendukung kegiatan penelitian sehingga di dapat gambaran yang jelas tentang
kondisi objek penelitian tersebut.
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah ditujukkan untuk memperoleh data langsung dari
tempat penelitian meliputi : buku-buku yang relevan, peraturan-peraturan, ataupun
sumber data yang relevan. Dengan teknik dokumentasi ini, peneliti dapat
memperoleh informasi bukan dari narasumber, tetapi mereka memperoleh
informasi dari macam-macam sumber tertulis lainnya.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini dengan
menggunakan tiga tenik yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi.
1. Data Reduction (reduksi data)
Reduksi data merupakan teknis analisis data yang merangkum,
mengambil data yang pokok dan penting. Dalam tahap reduksi data, penelitian
mengambil kesimpulan yang diperlukan dan membuang data yang tidak
diperlukan, menajamkan, dan mengarahkan dengan sedemikian rupa. Dengan
demikian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
2. Data Display (penyajian data)
Setelah melakukan tahap reduksi data langkah selanjutnya adalah tahap
penyajian data. Penyajian data merupakan kumpulan dari data atau informasi yang
diperoleh sehingga dapat ditarik kesimpulan. Bentuk penyajian data dapat berupa
gambar, bagan, bahkan teks narasi. Dengan penyajian data dapat memudahkan
untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan
apa yang dipahami tersebut.
3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan/verifikasi, pada
tahap ini merupakan hasil dari analisis data yang dapat diambil tindakan.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah
bila tidak ditemukan bukti-bukti yang valid dan konsisten, namun apabila
kesimpulan yang diambil didasarkan pada konsistensi dan bukti-bukti yang valid
maka dapat dikemukakan kesimpulan yang kredibel.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyani, M. N. (2021). Implementasi Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana
Kekerasan Seksual. Risalah Hukum, 1-10.

Gosita, A. (1989). Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo.

Luhulima, A. S. (2000). Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap


Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: Alumni.

Marlina, A. Z. (2015). Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan


Orang. Bandung: PT Reflika Aditama.

Maslihah, S. (2006). "Kekerasan Terhadap Anak: Model Transisional dan Dampak


Jangka Panjang". Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 25-33.

Nainggolan, L. H. (2008). "Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak di


Bawah Umur". Jurnal Equality, Vol. 13(No. 1).

Purwanti, A., & Hardiyanti, M. (2018). STRATEGI PENYELESAIAN TINDAK


KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK MELALUI RUU
KEKERASAN SEKSUAL. Masalah-Masalah Hukum, 138-148.

Wahid, A., & Irfan, M. (2001). Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi atas Hak Asasi Manusia . Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai