Anda di halaman 1dari 52

TINJAUAN VIKTIMOLOGI TERHADAP

PEREMPUAN SEBAGAI KORBAN PENGANIAYAAN


DALAM HUBUNGAN PACARAN DI KOTA
GORONTALO
(Studi Kasus Di Wilayah Hukum Polres Gorontalo Kota)

SKRIPSI

(Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum)

Oleh:

NUR FAJRI FAUZIAH PANTU


1011419009

S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................8
1.3. Tujuan Penelitian.......................................................................................8
1.4. Manfaat Penelitian.....................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................11
2.1. Teori Perlindungan Hukum.....................................................................11
2.2. Tinjauan Umum Viktimologi..................................................................12
2.3. Pengertian Korban...................................................................................15
2.4. Pengertian Perempuan.............................................................................17
2.5. Tinjauan Umum Penganiayaan...............................................................18
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................22
3.1. Jenis Penelitian........................................................................................22
3.2. Metode Pendekatan Penelitian................................................................22
3.3. Lokasi Penelitian.....................................................................................22
3.4. Jenis Data................................................................................................23
3.5. Teknik Pengumpulan Data......................................................................23
3.6. Populasi dan Sampel...............................................................................24
3.7. Analisis Data...........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah Kasus Kekerasan Dalam Pacaran di Kota Gorontalo 3 Tahun
Terakhir...................................................................................................................................................

Tabel 1.2 Jumlah Kasus Penganiayaan Dalam Hubungan Pacaran di Kota


Gorontalo.................................................................................................................................................

Tabel 1.3 Jumlah Data Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan........................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak manusia dilahirkan, manusia telah bergaul dengan manusia

lainnya dalam wadah yang dikenal sebagai masyarakat. Mula-mula manusia

berhubungan dengan orang tuanya dan setelah usianya bertambah dewasa,

manusia hidup bermasyarakat, dalam masyarakat tersebut manusia saling

berhubungan dengan manusia lainnya.1 Hubungan antara manusia dengan

manusia dan masyarakat diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-

kaidah. Hubungan antara manusia satu dengan yang lain setiap manusia

mempunyai sifat, watak, dan kehendak masing-masing yang seringkali

terjadi ketidakharmonisan, pertentangan dan perbedaan pendapat yang

sering berujung pada kekerasan.

Suatu tindakan yang dapat dikatakan sebagai tindakan kekerasan

yaitu apabila tindakan tersebut telah melampaui atau bertentangan dengan

batas – batas Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana yang tertuang dalam

ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya Pasal

28G ayat (1) yang berbunyi “setiap orang berhak atas perlindungan pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak

1
asasi”.2 Selain itu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga

mengatur tentang tindakan kekerasan, sehingga korban dari tindakan

kekerasan mendapatkan perlindungan hukum.

Tindakan kekerasan kepada pihak lain merupakan aktivitas

manusia yang mempunyai indikasi melawan hukum atau bertentangan

dengan undang-undang yang berlaku, dapat berupa ucapan maupun

perbuatan fisik yang bersifat nyata, dan berakibat kerusakan pada harta

benda (property), fisik, hingga kematian korban.3 Kekerasan dapat berupa

pemerkosaan, pembunuhan, penganiayaan, penyiksaan, penculikan,

pengancaman, dan lain sebagainya.

Kekerasan sering saja terjadi dimanapun dan tanpa kita ketahui

kapan kekerasan itu akan menimpa pada diri sendiri. Kekerasan terjadi tanpa

memandang status, gender, bahkan usia. Kekerasan sering kali menimpa

perempuan dimanapun perempuan itu berada, selalu saja perempuan

mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan

seksual.

Kekerasan seperti yang dikatakan oleh Galtung, “.... .merupakan

suatu tindakan yang dilakukan seseorang atau lebih yang menimbulkan luka,

baik secara fisik maupun non fisik terhadap orang lain, dan lebih jauh

merupakan suatu tindakan yang menyebabkan seseorang tidak dapat

3
mengaktualisasikan dirinya, disebabkan oleh bentuk-bentuk opresi dan

penindasan yang ditunjukan kepadanya”.4

Kekerasan terhadap perempuan saat ini tidak hanya merupakan

masalah individu atau masalah nasional, tetapi sudah menjadi masalah

global bahkan internasional. Hal ini terjadi karena dalam kekerasan terhadap

perempuan terkait dengan masalah Hak Asasi Manusia yang merupakan

hak-hak yang melekat secara alamiah sejak manusia dilahirkan. 5 Hal ini

menjadi masalah karena akan membuat perempuan kehilangan kepercayaan

diri sehingga mempengaruhi masalah sosial perempuan bahkan kesehatan

perempuan.

Berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh calon peneliti di

Polres Kota Gorontalo Kota dimana terdapat tindak pidana kekerasan dalam

hubungan pacaran, rinciannya sebagai berikut:6

Tabel 1.1
Jumlah Kasus Kekerasan Dalam Pacaran di Kota Gorontalo

(Sumber Data: Polres Gorontalo Kota 3 Tahun Terakhir)

Berdasarkan data diatas bisa dikatakan bahwa pada tahun 2020-

2022 terdapat 11 kasus kekerasan dalam hubungan pacaran, dimana diantara

kasus tersebut terdapat beberapa kasus yang merupakan kekerasan fisik atau

penganiayaan yang dilakukan oleh pacar.

6
“Kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi

manusia yang paling luas namun tidak dikenal dunia. Ini merupakan

masalah kesehatan yang mendalam, melemahkan energy wanita,

membahayakan kesehatan fisik mereka, dan mengikis harga diri mereka.” 7

Selain menyebabkan cedera, kekerasan meningkatkan resiko jangka panjang

perempuan dari sejumlah masalah kesehatan lainnya, termasuk nyeri kronis,

cacat fisik, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan alkohol, serta depresi.

Pada dasarnya tidak ada definisi kekerasan terhadap perempuan

yang dapat diterima secara universal. Sejumlah aktivis hak asasi manusia

menggunakan konsep yang luas dengan memasukan kekerasan struktural

seperti kemiskinan, ketimpangan akses terhadap pendidikan dan kesehatan

sebagai bentuk kekerasan.8 Kekerasan terhadap perempuan terbagi atas

beberapa diantaranya kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual.

Perempuan sering mengalami kekerasan yang terjadi dalam dirinya, salah

satunya yaitu kekerasan fisik yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki

hubungan dengan perempuan tersebut namun belum terikat dalam suatu janji

pernikahan atau sering disebut pacar.

Pada saat melakukan obesrvasi awal di Polres Kota Gorontalo

Kota, calon peneliti juga mendapatkan data spesifik mengenai penganiayaan

dalam hubungan pacaran, rinciannya sebagai berikut:9


7

9
Tabel 1.2
Jumlah Kasus Penganiayaan Dalam Hubungan Pacaran di Kota
Gorontalo
NO TAHUN JENIS KEKERASAN JUMLAH KASUS

1 2020 Penganiayaan 1

2 2021 Penganiayaan 2

3 2022 Penganiayaan 2

TOTAL 5

(Data Spesifik. Sumber Data: Polres Gorontalo Kota)

Penganiayaan terjadi kepada perempuan sebagai korban karena

pelaku tidak ingin di putuskan oleh korban, dan ada juga pelaku yang

mengalami cemburu buta sehingga para pelaku melakukan penganiayaan

terhadap korban dan menyebabkan para korban mengalami luka dibagian

tubuh bahkan menyebabkan para korban tidak bisa melakukan kegiatan

sehari-hari mereka akibat tindakan yang dilakukan oleh pelaku.

Relasi pacaran antara laki-laki dan perempuan sudah sepantasnya

juga terjalin suatu adanya hubungan yang saling menghargai, dan juga saling

mengasihi, serta adanya saling menerima serta mendukung satu sama lain,

namun faktanya tidak seideal atau serasi yang sudah seharusnya. 10

Banyaknya perempuan yang mengalami kekerasan khusunya penganiayaan

yang dilakukan oleh pacarnya sendiri menjadikan tubuh perempuan sebagai

sasarannya, misalnya memukul, menusuk, menjambak, meninju, menampar,

menendang.11 Hal ini sesuai dengan penjelasan mengenai teori viktimisasi


10

11
struktural, dimana teori ini menekankan faktor kedekatan fisik korban,

paparan lingkungan yang beresiko tinggi terjadinya viktimisasi kriminal,

serta daya tarik sasaran kejahatan.

Banyak perempuan yang mengalami kekerasan fisik dari pacar

cenderung menganggap bahwa perilaku tersebut merupakan bentuk kasih

sayang yang mereka berikan kepada pasangan mereka. Sebagai hasilnya,

perempuan yang menjadi korban penganiayaan tersebut terpaksa menerima

perilaku semena-mena yang dilakukan oleh pelaku, yang pada akhirnya

memicu terjadinya kekerasan dalam hubungan percintaan. Penganiayaan

oleh pacar terhadap pasangannya dapat dianggap sebagai kejahatan yang

dapat dikenakan sanksi pidana, seperti hukuman penjara atau denda yang

sesuai dengan tindakan kejahatan yang dilakukan.

Tabel 1.3
Jumlah Data Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan

Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)


2500
2000
1500
1000
500
0
KDP 2019 KDP 2020 KDP 2021

CATAHU 2019 CATAHU 2020 CATAHU 2021

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komnas

Perempuan, tahun 2019 tercatat kasus kekerasan dalam pacaran (KDP)

mencapai 2.073 kasus, tahun 2020 kekerasan dalam pacaran (KDP)

mencapai 1.309 kasus, dan tahun 2021 kekerasan dalam pacaran (KDP)

mencapai 1.685 kasus. Selama 4 tahun terakhir, tahun 2019 merupakan


angka tertinggi kasus kekerasan dalam pacaran. Data CATAHU mencatat

bahwa bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam hubungan

pacaran adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual .12

Teori viktimisasi kirminal adalah suatu teori yang mempelajari

proses dimana individu menjadi korban kejahatan. Teori ini mengakui

bahwa korban memiliki peran yang signifikan dalam terjadinya kejahatan

dan fokus pada faktor-faktor yang berkontribusi terhadap individu menjadi

korban. Dalam konteks hubungan pacaran, teoori viktimisasi kriminal dapat

membantu memahami mengapa perempuan seringkali menjadi korban

kekerasan dalam hubungan romantis serta dampaknya terhadap korban

sendiri.

Dalam konteks hubungan pacaran, beberapa faktor yang terkait

dengan teori viktimisasi kriminal dalam kasus penganiayaan terhadap

perempuan dalam hubungan pacaran meliputi faktor sosial, faktor

psikologis, dan faktor budaya. Dengan memahami teori viktimisasi, dapat

membantu mengidentifikasi faktor-fakor yang terlibat, menyediakan

dukungan kepada korban, dan mengembangkan strategi untuk mencegah

terjadinya kekerasan dalam hubungan pacaran.

Oleh karena itu, kasus penganiayaan dalam hubungan pacaran

mendorong keinginan penulis untuk meneliti dan mencari tahu lebih dalam

faktor apa yang menyebabkan perempuan menjadi korban penganiayaan

dalam hubungan pacaran, serta bagaimana perlindungan hukum terhadap

korban, mengingat bahwa viktimologi adalah ilmu pengetahuan yang


12
melihat suatu kejadian dari perspektif korban. Dengan ini maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Viktimologi

Terhadap Perempuan Sebagai Korban Penganiayaan Dalam Hubungan

Pacaran Di Kota Gorontalo (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Polres

Kota Gorontalo Kota)”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat

dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Faktor apa yang menyebabkan perempuan menjadi korban

penganiayaan dalam hubungan pacaran di Kota Gorontalo?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai

korban penganiayaan dalam hubungan pacaran di Polres Kota

Gorontalo Kota?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah diruaikan diatas, maka dapat

dirumuskan tujuan dalam penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan perempuan

menjadi korban penganiayaan dalam hubungan pacaran di

Kota Gorontalo

2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap

perempuan sebagai korban penganiayaan dalam hubungan

pacaran oleh Polres Kota Gorontalo Kota

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis


Secara teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat

memberikan manfaat untuk:

1. Secara teoritis diharapkan penelitian ini dimasa yang akan

datang akan dapat digunakan sebagai bahan kajian dikalangan

praktisi dan akademisi hukum yang berguna dalam

pengembangan dan perluasan ilmu pengetahuan dibidang ilmu

viktimologis terkhusus kepada perempuan sebagai korban dari

tindak penganiayaan dalam hubungan pacaran, juga

perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban

penganiayaan dalam hubungan pacaran.

2. Dan pada khususnya dapat menjadi bahan masukan bagi

apparat hukum, baik bagi pemerintah, maupun bagi

masyarakat dengan tujuan memberikan perlindungan hukum

terhadap perempuan sebagai korban penganiayaan dalam

hubungan pacaran.

1.4.1. Manfaat Praktis

Sementara dari sisi praktis, peneliti juga berharap dapat bermanfaat

untuk:

1. Bagi Penulis

Memperluas wawasan penulis tentang bagaimana tinjauan

viktimologi terdapat tindak pidana penganiayaan terhadap

perempuan dalam hubungan pacaran.

2. Bagi Masyarakat
Penulisan ini diharapkan mampu meningkatkan

pemahaman masyarakat mengenai viktimologi, baik dari

hubungan hukum yang lahir, akibat hukum, serta upaya hukum

yang dapat dilakukan agar mendapatkan keadilan.

3. Bagi Pemerintah

Penulisan ini diharapkan menjadi bahan masukan,

pedoman, dan saran bagi pihak-pihak terkait terutama bagi

apparat penegak hukum dalam menindak lanjuti maupun

melindungi perempuan sebagai korban penganiayaan dalam

hubungan pacaran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum merupakan perkembangan dari konsep

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

Menurut Satjipto Raharjo, “perlindungan hukum adalah upaya untuk

mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak


terjadi tubrukan antar kepentingan dan dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh hukum”.13

Pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga

negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh diabaikan oleh setiap warga

negara, sebagaimana tertuang dalam KUHAP yang mengatur tentang hukum

acara pidana nasional yang mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi

manusia serta kewajiban warga negara, dengan mengacu pada asas, yaitu

perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak

mengadakan perbedaan perlakuan.14

Melaksanakan dan memberikan perlindungan hukum membutuhkan

suatu media dalam pelaksanaannya yang disebut dengan sarana perlindungan

hukum. Menurut Philips M. Hadjon, perlindungan hukum terbagi atas 2 (dua)

yaitu :15

a) Sarana perlindungan hukum preventif

Perlindungan hukum preventif memberikan subjek hukum kesempatan

untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan

hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya

permasalahan atau sengketa.

b) Sarana perlindungan hukum represif


13

14

15
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan

permasalahan atau sengketa yang timbul. Perlindungan hukum

terhadap tindakan pemerintah yang bertumpu dan bersumber dari

konsep tentang penegakan hak-hak asasi manusia.

Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah

dijelaskan bahwa “negara bertujuan untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.16 Artinya tujuan Negara

Republik Indonesia termasuk di dalamnya adanya perlindungan bagi

masyarakat dan ada hak-hak masyarakat yang dijamin dalam setiap aspek

kehidupannya.

2.2. Tinjauan Umum Viktimologi

2.2.1. Pengertian Viktimologi

Istilah viktimologi berasal dari bahasa latin yaitu dari kata victim

yang berarti korban dan logos berarti ilmu. Viktimologi berarti suatu ilmu

yang menyelidiki tentang korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat-

akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu

kenyataan sosial.17 Viktimologi adalah kajian ilmiah tentang viktimisasi,

termasuk hubungan antara para korban dengan pelanggarnya, interaksi antara

korban dengan sistem peradilan pidana, dan keterkaitan korban dengan

16

17
kelompok-kelompok sosial lain seperti media, pebisnis, dan gerakan-gerakan

sosial. Viktimologi mencakup kajian yang sangat luas.18

Menurut J.E Sahetapy, viktimologi adalah sebuah ilmu disiplin yang

membahas permasalahan korban dalam segala aspek, sedangkan menurut Arif

Gosita viktimologi adalah suatu bidang ilmu pengetahuan mengkaji semua

aspek yang berkaitan dengan korban dalam berbagai bidang kehidupan dan

penghidupannya. Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang

korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan

penderitaan mental, fisik, dan sosial.19

Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan mengenai peran

yang sesungguhnya para korban dan hubungan mereka dengan para korban

serta memberikan keyakinan dan kesadaran bahwa setiap orang mempunyai

hak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungannya,

pekerjaannya, profesinya dan lain-lain. Viktimologi juga merupakan

pelengkap atau penyempurnaan dari teori-teori etimologi criminal yang ada,

berusaha menjelaskan mengenai masalah terjadinya berbagai kejahatan atau

penimbulan korban kejahatan menurut proporsi yang sebenanrnya secara

dimensional dan bertujuan memberikan dasar pemikiran guna mengurangi dan

mencegah penderitaan dan kepedihan.

Korban dalam lingkup viktimologi, memiliki arti yang luas, tidak

hanya terbatas pada pengertian perseorangan yang secara nyata mengalami

18

19
penderitaan, tetapi juga sekelompok orang, korporasi, swasta maupun

pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan penimbulan korban adalah

sikap atau tindakan pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak

terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.20 Viktimologi merupakan suatu

pengetahuan ilmiah yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai

suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.21

2.2.2. Ruang Lingkup Viktimologi

Menurut J.E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi

bagaimana seseorang dapat menjadi korban yang ditentukan oleh suatu

victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk

pula korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.22 Viktimologi dengan

berbagai macam pandangannya memperluas teori-teori etiologi kriminal yang

diperlukan untuk memahami eksistensi kriminalitas sebagai suatu viktimisasi

yang struktural maupun non-struktural secara lebih baik.23

Ruang lingkup atau objek studi viktimologi dan kriminologi dapat

dikatakan sama, yang berbeda adalah titik tolak pangkal pengamatannya

dalam memahami suatu viktimisasi kriminal, yaitu viktimologi dari sudut

pihak korban sedangkan kriminologi dari sudut pihak pelaku. Masing-masing

20

21

22

23
merupakan komponen-komponen suatu interaksi (mutlak) yang hasil

interaksinya adalah suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas.24

J.E. Sahetapy seperti yang dikutip oleh Rena Yulia bahwa ruang

lingkup viktimologi “meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban

yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah

kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan dan bencana alam selain dari

korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan”.25

2.2.3. Teori-Teori Viktimologi

Perkembangan viktimologi dikenal dengan istilah viktimisasi, yaitu

proses dimana menjadi korban. Terdapat beberapa teori viktimisasi kriminal,

yaitu:26

1. Teori terapan gaya hidup, yang dirumuskan oleh Hindelang,

Gotfredson dan Garofalo. Menyatakan bahwa perbedaan resiko

orang dalam menghadapi viktimisasi kejahatan dipengaruhi oleh

adanya perbedaan gaya hidup dari orang tersebut.

2. Teori aktivitas rutin yang diungkapkan oleh Cohen dan Felson.

Menurut Cohen dan Felson hal yang mempengaruhi tingkat

kejahatan melalui pemusatan tiga unsur langsung kejahatan jalanan,

yaitu adanya calon pelaku, adanya sasaran yang cocok, dan

24

25

26
ketidakcukupan pengawasan terhadap pelanggaran pada waktu dan

tempat tertentu.

3. Teori model viktimisasi struktural, yang dikemukakan oleh Meirer

dan Miethe. Teori ini merupakan gabungan dari teori terapan gaya

hidup dan teori aktivitas rutin, teori ini menekankan pada pentingnya

faktor kedekatan fisik korban (calon korban), paparan dengan

lingkungan resiko tinggi viktimisasi kriminal, daya Tarik sasaran

kejahatan, serta ketiadaan pengawasan.

Dalam teori viktimisasi struktural mengemukakan bahwa viktimisasi

bukanlah semata-mata akibat dari faktor individu atau keputusan pribadi,

tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural atau sosial yang ada

dalam masyarakat. Teori ini menekankan bahwa viktimisasi terjadi karena

adanya ketidakadilan struktural, ketimpangan kekuasaan, dan pola dominasi

yang ada pada sistem sosial.

Dalam konteks teori viktimisasi structural, korban kejahatan dilihat

sebagai individu atau kelompok yang rentan terhadap viktimisasi karena posisi

mereka yang tidak menguntungkan. Beberapa faktor struktural yang dapat

mempengaruhi tingkat viktimisasi meliputi:

1. Ketimpangan sosial dan ekonomi: Ketimpangan pendapatan, status

sosial, dan akses terhadap sumber daya ekonomi dapat meningkatkan

resiko seseroang menjadi korban kejahatan. Kelompok-kelompok

dengan status sosial rendah atau minoritas sering kali menghadapi

ketimpangan sosial dan ekonomi yang dapat membuat mereka lebih

rentan terhadap viktimisasi.


2. Diskriminasi dan ketidaksetaraan gender: Fakotr-faktor seperti

seksisme, misogini, atau gender biasa dapat menyebabkan

perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga,

pelecehan seksual, atau eksploitasi seksual. Diskriminasi gender juga

dapat mempengaruhi respon hukum terhadap korban dan pelaku

kejahatan.

3. Sistem keadilan yang tidak adil: Kelemahan dalam sistem keadilan

pidana, seperti diskriminasi rasial atau kelas sosial, dapat

menyebabkan korban dari kelompok-kelompok tetentu tidak

mendaptakan perlindungan dan keadilan yang sama. Hal ini dapat

memperburuk viktimisasi dan merugikan korban yang sudah rentan.

4. Konflik sosial dan kekerasan struktural: Konflik sosial, perang, atau

kekerasan politik juga dapat memperburuk tingkat viktimisasi.

Kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik atau kekerasan

struktural seringkali menjadi korban kejahatan atau pelanggaran hak

asasi manusia.

2.3. Pengertian Korban

Korban memiliki arti yang bervariasi serta terus berkembang serta

dapat pula mengakibatkan berbagai macam penafsiran. Berbagai macam

pengertian terhadap kata “korban” diantaranya:

1. Arief Gosita mengartikan korban adalah mereka yang menderita

jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang

mencari pemenuhan kepentingan dan hak asasi yang menderita.


2. Iswanto dan Angkasa memberikan pengertian bahwa korban

adalah seseorang yang dibunuh atau di aniaya denda atau oleh

orang lain, seseorang yang mengalami penindasan, kerugian atau

penderitaan, dan seseorang yang mengalami kematian atau luka-

luka dalam berusaha menyelamatkan diri.27

3. Muladi mengartikan korban sebagai orang-orang yang baik secara

individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk

kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan

substansional terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui

perbuatan yang melanggar hukum pidana di masing-masing

negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.28

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan

Saksi dan Korban menjelaskan bahwa korban adalah orang yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi

yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.29

Jika kita melihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana,

Stephen Schafer mengemukakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban,

yaitu:30
27

28

29

30
1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap

menjadi korban.

2. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu

yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan untuk

tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam

terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku

dan korban.

3. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi

korban anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau

mental, orang miskin golongan minoritas dan sebagainya

merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban

dalam hal ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang

harus bertanggung jawab.

4. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku yang dikatakan

sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina,

merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa

korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga

sebagai pelaku.

2.4. Pengertian Perempuan

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan perempuan sebagai orang

yang dapat mensturasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. 31 Artinya

perempuan merupakan seorang makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.

31
yang memiliki keindahan dan diberikan hati yang kuat untuk menjalani segala

sesuatu yang sudah Allah SWT. takdirkan untuk jalan hidupnya.

Perempuan dalam agama islam adalah makhluk yang dimuliakan,

sebagai makhluk yang dimuliakan maka islam sangat menjaga hak-hak

perempuan, baik hak untuk memperoleh pendidikan maupun hak untuk

bekerja atau berkarir.32 Dengan kata lain islam tidak memberikan batasan-

batasan ruang untuk perempuan untuk bisa bekerja dimanapun diluar rumah

dan dalam semua bidang yang baik untuk dibutuhkan sebagai kelangsungan

hidupnya.

Secara umum sifat perempuan yaitu keindahan, kelembutan, serta

rendah hati dan memelihara. Perbedaan secara anatomis dan fisiologis

menyebabkan pula perbedaan pada tingkah lakunya, dan timbul juga

perbedaan dalam hal kemampuan yang terarah dengan kodrat perempuan. 33

Perempuan bisa dimaknai sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan atau

kemampuan, perempuan memiliki organ sistem reproduksi wanita atau

ovarium, uterus, dan vagina, serta mampu menghasilkan sel telur.34

Soetrisno mengatakan, “perempuan dituntut untuk memiliki sikap

mandiri, disamping memiliki kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai

dengan bakat yang dimilikinya, perempuan juga dituntut berperan sebagai

32

33

34
aktor, dan perempuan dituntut untuk tidak melupakan kodratnya sebagai

perempuan.”35

2.5. Tinjauan Umum Penganiayaan

2.5.1. Pengertian Penganiayaan

Penganiayaan adalah istilah yang digunakan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP tidak

memuat arti penganiayaan tersebut.36 Penganiayaan yang dimaksud dalam

hukum pidana adalah menyangkut tubuh manusia.

Penganiayaan adalah suatu perbuatan dilakukan oleh pelaku yang

disebabkan oleh beberapa faktor-faktor pendukung mulai dari dendam,

ketidaksenangan dengan orang lain, dan unsur kesengajaan. Tindakan

penganiayaan adalah tindakan yang paling mudah terjadi di lingkungan

bermasyarakat.37 Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP

disebut “Penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap

tubuh manusia ditunjukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh

dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari

anggota tubuh yang menyebabkan rasa sakit atau luka, bahkan menyebabkan

kematian.38

35

36

37

38
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan penganiayaan sebagai

perlakuan sewenang-wenang (penyiksaan, penindasan, dan sebagainya),

dimana perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja dengan menggunakan

kekerasan sehingga mengakibatkan cacat badan atau kematian.39

Menurut para ahli atau sarjana hukum, terdapat beberapa pengertian

tentang penganiayaan, yaitu:40

1) Hooge raad

Penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan

sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain

dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu. Perbuatan tersebut

tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan

yang diperkenankan.

2) M.H. Tirtaamidjaja

Menganiaya adalah denga sengaja menyebabkan sakit atau luka

pada orang lain, akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan

sakit atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebagai

penganiayaan kalua perbuatan itu dilakukan untuk menambah

keselamatan badan.

3) Doctrine

39

40
Penganiayaan, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan

sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.

2.5.2. Dasar Hukum Penganiayaan

Tindak pidana penganiayaan sebagai salah satu bagian dari

kekerasan telah diatur dalam buku II (dua) Bab XX (dua puluh) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana penganiayaan diatur dalam pasal 351, 352, dan 354 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana.

Dimana dalam pasal 351 KUHP berbunyi tentang penganiayaan biasa

berbunyi:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)


tahun 8 (delapan) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.
4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(3) Jika mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tindak pidana.

Pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan berbunyi:

(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam
sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,- (empat
ribu lima ratus rupiah).
(2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi
bawahannya.
(3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tindak pidana.

Pasal 354 KUHP tentang penganiayaan berat berbunyi:

(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.41

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum

empiris. Menurut Abdul Kadir Muhammad, “penelitian hukum empiris tidak

bertolak dari hukum positif tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai

data sekunder, tetapi dari perilaku nyata sebagai data primer yang diperoleh

dari lokasi penelitian lapangan (field research)”.42 Penelitian hukum empiris

41

42
ini diambil dari fakta-fakta yang ada dalam suatu masyarakat, badan hukum

atau lembaga pemerintah.43

3.2. Metode Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dimana

penelitian ini ditunjukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena,

peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, serta pemikiran orang

secara individual maupun kelompok.

3.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Gorontalo khususnya di Polres Kota

Gorontalo Kota. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah dilokasi ini

terdapat kasus yang sesuai dengan topik yang diangkat oleh peneliti yakni

mengenai penganiayaan terhadap perempuan dalam hubungan pacaran.

3.4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder yaitu sebagai berikut:

1. Data primer, merupakan data empiris yang berasal dari penelitian

langsung dalam lapangan.44 Data dari sumbernya langsung baik

dari observasi maupun wawancara secara langsung dengan

responden.

43

44
2. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaah

kepustakaan atau penelaah terhadap berbagai literature atau bahan

pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian

yang sering disebut sebagai bahan hukum.45

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data dari penelitian ini, peneliti

mengambil beberapa teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara,

dan dokumentasi.

1. Observasi

Dengan metode ini peneliti akan mengamati secara langsung

objek yang menjadi kajian dalam penelitian.

2. Wawancara

Wawancara (interview) adalah pengumpulan data primer yang

bersumber langsung dari responden penelitian di lapangan

(lokasi). Wawancara dapat dilakukan secara informal, dapat pula

secara formal sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi

peneliti.46

3. Dokumentasi

Teknik ini digunakan sebagai alat atau pelengkap sebagai bukti

akurat untuk menyusun data-data yang berkaitan dengan

kebutuhan penelitian yang didapat dari sumber informasi.

45

46
3.6. Populasi dan Sampel

3.5.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan unit atau objek penelitian yang dapat

berupa manusia, gejala, atau peristiwa yang mempunyai iri-iri yang

sama, seperti semua jaksa, hakim, atau polisi.47

3.5.2. Sampel

Sampel adalah salah satu bagian dari populasi atau sub-populasi yang

cukup besar jumlahnya dan sampel harus dapat mewakili populasi

yang jumlahnya terkadang tidak memungkinkan karena adanya

keterbatasan-keterbatasan tertentu.48

Dalam penelitian ini yang menjadi sampel yaitu:

1. Korban penganiayaan dalam hubungan pacaran

2. Penyidik yang menangani kasus penganiayaan dalam hubungan

pacaran.

3.7. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif

dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif. Analisis deskriptif yaitu

menjelaskan dan memaparkan data yang ditemukan di lapangan.

47

48
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Yang Menyebabkan Perempuan Menjadi Korban

Penganiayaan Dalam Hubungan Pacaran Di Kota Gorontalo


Kehidupan bermasyarakat memiliki aturan-aturan dengan tujuan

untuk menjamin keamanan dan mengatur perilaku serta memberikan keadilan

bagi seluruh masyarakat. Namun, dalam aturan hukum tersebut tidak selalu

dipatuhi bahkan dilanggar oleh sebagian masyarakat sehingga dapat

mengancam kerukunan dan keutuhan hidup bermasyarakat. Perilaku-perilaku

yang melanggar norma sosial atau melanggar hukum yang berlaku dapat

diartikan sebagai kejahatan, dan melanggar aturan hukum pidana.

Peristiwa perkara pidana tidak terjadi begitu saja, dimana perkara

pidana merujuk pada kasus pelanggaran hukum yang melibatkan tindakan

kejahatan. Kejahatan dapat mencangkup berbagai jenis tindakan yang

melanggar hukum pidana, seperti pembunuhan, pencurian, penganiayaan,

pemerkosaan, dan masih banyak lagi sehingga menyebabkan timbulnya

banyak korban dari peristiwa tersebut. Korban pada peristiwa perkara pidana

akan diminta memberikan kesaksian, bukti-bukti akan dikumpulkan, dan

penyelidikan akan dilakukan untuk membuktikan kesalahan dari pelaku.

Sebab terjadinya suatu peristiwa pidana bisa saja terjadi bukan

karena kesalahan pelaku saja, dalam situasi dan kondisi tertentu korban bisa

menjadi pelaku karena suatu tindakan ataupun sikap korban yang memicu

pelaku melakukan kejahatan pada diri korban. Beberapa faktor yang

menyebabkan timbulnya kejahatan seperti peranan korban secara langsung

maupun tidak langsung ataupun kesalahan dari korban itu sendiri. Selain itu,

kondisi lingkungan, fisik, dan mental korban maupun pelaku juga dapat

memicu terjadinya suatu peristiwa tindak pidana.


Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban

kejahatan, termasuk peranan korban saat terjadinya kejahatan, penyebab

timbulnya korban dan akibat-akibat adanya penimbulan korban yang

merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Peranan korban

dalam suatu tindak kejahatan sangat penting untuk mengidentifikasi korban

dan pelaku kejahatan. Oleh karena itu, dalam suatu kejahatan tidak hanya

melihat pada kesalahan pelaku, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa korban

juga berperan dalam hal tersebut sehingga menyebabkan terjadinya suatu

tindak pidana.

Saat ini tindak kejahatan semakin meningkat, dimana dalam hal ini

kejahatan selalu terjadi kapanpun dan dimanapun tanpa memandang usia,

status, maupun gender. Berbagai kejahatan yang bisa saja menimpa

perempuan mengakibatkan diri mereka terancam ketika berada di lingkungan

tertentu, hal ini dikarenakan kejahatan yang mengancam perempuan bisa

berasal dari keluarga, bahkan seseorang yang memiliki hubungan khusus atau

disebut pacar. Bentuk kejahatan tersebut bisa berupa kekerasan seksual,

kekerasan psikis, maupun kekerasan fisik.

Kekerasan fisik atau penganiayaan merupakan salah satu kejahatan

pidana yang dilakukan dengan cara menyiksa atau menindas orang lain.

Penganiayaan yang dimaksud berupa tindakan yang dilakukan dengan cara

menendang, memukul, menampar, menyerang dengan sundutan rokok dan

lain-lain yang menyebabkan korban mengalami luka fisik pada tubuh bahkan

bisa mengakibatkan korban cacat hingga meninggal dunia.


Kekerasan fisik atau penganiayaan dapat menyerang siapa saja, dan

di dalam hubungan pacaran, penganiayaan seringkali menyerang perempuan.

Hal ini dikarenakan adanya budaya patriarki yang mengatakan bahwa

perempuan itu terbelakang sedangkan laki-laki yang terdepan. Penganiayaan

juga sering terjadi karena seseorang tidak dapat mengontrol dirinya dalam hal

mencintai seseorang. Berlebihan dalam mencintai seseorang adalah bentuk

dari hubungan pacaran yang tidak sehat, seperti tidak dapat mengontrol diri

dalam menghadapi suatu masalah sehingga munculnya ego dalam diri yang

kemudian menimbulkan kekerasan.

Penganiayaan terhadap perempuan dalam hubungan pacaran sering

terjadi karena adanya suatu hubungan yang tidak sesuai dengan ekspetasi,

sehingga dapat mengakibatkan banyaknya konflik yang terjadi dalam

hubungan. Semakin lama durasi suatu hubungan, dapat mempengaruhi

meningkatnya tindakan penganiayaan dalam hubungan pacaran tersebut. Hal

ini dikarenakan pelaku menganggap bahwa korban adalah miliknya saja dan

tidak ada orang lain yang bisa mendekati korban. Sebab itu, jika pelaku

melihat korban berdekatan dengan teman lawan jenis, maka akan

menimbulkan kecemburuan yang bisa memicu terjadinya pertengkaran

bahkan bisa merujuk pada terjadinya penganiayaan.

Peran korban saat terjadinya suatu tindak pidana dapat dijadikan

acuan untuk mendefinisikan suatu kejahatan dengan melihat proses

perkembangan dalam masyarakat terkait hal-hal apa saja yang bisa

menimbulkan kejahatan dan dapat menimbulkan korban. Korban dapat

berperan aktif maupun pasif dalam suatu tindak kejahatan, dimana peran aktif
mengacu pada tindakan korban yang aktif dalam mengambil langkah-langkah

untuk melindungi diri, atau berpartisipasi dalam proses hukum. Sedangkan

korban pasif mengacu pada kurangnya keterlibatan aktif atau tindakan yang

lebih terbatas dari korban dalam menghadapi kejahatan.

Maka dapat dilihat bahwa peran korban dalam terjadinya tindak

pidana termasuk tindak penganiayaan dalam hubungan pacaran secara aktif

yang dimaksud adalah, dimana korban sendirilah yang secara aktif memicu

terjadinya tindak kejahatan kepada dirinya sehingga pelaku terdorong untuk

melakukan hal tersebut, sedangkan dalam peran pasif, korban tidak

melakukan hal apapun. Korban pasif juga merupakan orang yang mengalami

dampak negatif akibat suatu kejadian atau tindakan yang dilakukan oleh

pihak lain tanpa adanya keterlibatan atau keinginan dari korban. Dalam

konteks ini, korban pasif adalah mereka yang menjadi objek atau sasaran dari

tindakan tersebut.

Salah satu kasus penganiayaan dalam hubungan pacaran pernah

ditangani oleh pihak Kepolisian Resor Gorontalo Kota, dimana berdasarkan

keterangan bapak Bripka Faizal Karim, S.H, yakni sebagai berikut:

“Salah satu kasus tindak penganiayaan dalam hubungan pacaran


terjadi di Kota Gorontalo, tepatnya pada pertengahan 2022, dimana
kasus ini menimpa korban berinisal NS yang berusia 21 tahun, dan
pelaku merupakan pacar korban berinisial IL yang berusia 20 tahun.
Kasus ini berawal dari pelaku yang melihat beberapa chat dari
lawan jenis di handphone korban sehingga menimbulkan
kecemburuan yang membuat pelaku dan korban terlibat dalam
sebuah cekcok yang berujung pada pelaku melakukan tindak
kekerasan penganiayaan terhadap korban.”49

49
Dalam penelitian lebih lanjut, peneliti melakukan wawancara

bersama korban tindak pidana penganiayaan dalam hubungan pacaran,

dimana berdasarkan keterangan korban (NS) ia mengaku bahwa ketika

sedang bersama dengan pelaku, handphone korban terus bergetar dimana itu

berasal dari notifikasi sosial media korban, hal tersebut membuat pelaku

merasa terganggu sehingga pelaku mengambil handphone korban untuk

melihat isi notifikasi tersebut. Saat handphone korban dibuka, pelaku melihat

beberapa chat dari lawan jenis yang mengomentari foto dan meminta nomor

whatsapp korban, serta menanyakan kabar korban, sehingga membuat pelaku

merasa marah. Korban tidak berpikir bahwa kedepannya pelaku akan

melakukan kekerasan berupa penganiayaan. Hal ini sebagaimana penjelesan

korban sebagai berikut:

“Saat sedang bersama dengan dia (pelaku), hp saya terus bergetar


karena ada notifikasi yang masuk, kemudian dia mengambil hp saya
dan melihat isi notifikasi tersebut. Dia merasa isi chat dari beberapa
lawan jenis itu terlalu berlebihan, disisi lain saya sudah berusaha
memberi tahu pacar saya kalau chat itu tidak saya tanggapi dan saya
tidak merespon chat mereka, tapi dia tetap menyalahkan saya dan
bilang bahwa saya mencari perhatian dari lawan jenis. Karena hal
itu saya dan dia terlibat cekcok yang kemudian dia merasa sangat
marah dan menampar saya dengan cukup keras, sehingga itu
membuat saya tergeser dari tempat duduk saya, karena saya tidak
melakukan perlawanan, dia semakin kasar dalam menganiaya
saya.”50

Dari hasil wawancara diatas, maka menurut peneliti peran korban NS

dalam terjadinya tindak pidana penganiayaan dalam hubungan pacaran yang

dialaminya menunjukan sifat pasif korban, dimana korban pasif merupakan

orang yang mengalami dampak negatif akibat suatu kejadian yang dilakukan

50
oleh pihak lain tanpa adanya keinginan dari korban. Hal ini disebabkan

korban NS yakni sebagai perempuan, dimana perempuan seringkali dianggap

lemah oleh masyarakat dan tidak bisa melawan apabila berhadapan dengan

laki-laki, sehingga menyebabkan perempuan menjadi korban dan mudah

dikuasai oleh laki-laki, terutama dalam hubungan pacaran.

Tindakan penganiayaan kekerasan dalam hubungan pacaran tidak

terlepas dari adanya faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kasus

tersebut. Dalam konteks ini, peran korban juga memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap kasus tersebut. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi

kekerasan dalam hubungan pacaran antara lain ketidakseimbangan

kekuasaan, konflik yang tidak terselesaikan, ketidakmampuan mengelola

emosi dengan baik, serta adanya pola perilaku yang tidak sehat. Selain itu,

peran korban dalam kasus kekerasan pacaran tidak boleh diabaikan. Ada

situasi di mana korban menjadi tidak mampu untuk melawan atau melarikan

diri, terjebak dalam siklus kekerasan yang sulit untuk diputuskan, atau

bahkan merasa takut untuk melaporkan kejadian tersebut. Berikut ini

beberapa faktor internal dan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hal

tersebut terjadi.

1. Faktor Internal atau faktor pemicu yang berasal dari dalam diri

korban.

a. Tingkat ketergantungan emosional yang tinggi

Korban yang memiliki tingkat ketergantungan emosional yang

tinggi terhadap pasangannya cenderung lebih rentan terhadap

penganiayaan. Mereka mungkin merasa sulit untuk mengakhiri


hubungan yang beracun karena takut kehilangan pasangan atau

merasa bahwa mereka tidak mampu hidup tanpanya. Hal ini

membuat mereka tetap bertahan dalam hubungan yang

berbahaya.

Korban dengan tingkat ketergantungan emosional yang tinggi

sering kali merasa sulit untuk menghadapi kenyataan bahwa

hubungan mereka beracun atau tidak sehat. Mereka khawatir

tentang kehilangan pasangan mereka dan merasa bahwa hidup

tanpanya tidak akan tidak berarti. Korban merasa terjebak dalam

pola yang tidak sehat dan merasa tidak ada jalan keluar. Rasa takut,

rasa malu, dan perasaan rendah diri dapat mempengaruhi kemampuan

mereka untuk mencari bantuan atau berbicara tentang situasi yang

mereka hadapi. Akibatnya, mereka tetap bertahan dalam hubungan

yang berbahaya meskipun merasa tidak bahagia atau terluka.

b. Rendahnya tingkat percaya diri

Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek penting dalam

kesehatan mental dan emosional seseorang dan pengalaman

penganiayaan dapat menghancurkan rasa percaya diri seseorang.

Penganiayaan dalam hubungan pacaran dapat mencakup berbagai

bentuk kekerasan fisik, psikologis, seksual, atau moneter yang

dilakukan oleh pasangan terhadap orang yang lebih lemah secara

fisik atau emosional. Korban sering kali mengalami penurunan

kepercayaan diri yang signifikan dalam keadaan seperti ini.

Sehingga terjadilah siklus kekerasan yang berulang, yang terdiri

dari periode ketegangan, serangan, penyesalan, dan tahap


permohonan maaf. Selama tahap permohonan maaf, pelaku

sering menunjukkan penyesalan, berjanji untuk berubah, dan

mencoba membuat korban merasa bahwa kekerasan itu hanyalah

satu kali dan tidak akan terjadi lagi. Kemudian membuat korban

merasa tidak berharga dan menganggap kekerasan tersebut

adalah kesalahannya.

c. Kecenderungan untuk membenarkan perilaku agresif dari

pasangan mereka.

Siklus kekerasan dalam hubungan sering kali menyebabkan

korban cenderung membenarkan perilaku agresif pasangannya.

Setelah insiden kekerasan, pelaku kerap menunjukkan

penyesalan dan berjanji untuk berubah, menghadirkan perilaku

manis dan perhatian yang menciptakan harapan bagi korban

bahwa kekerasan itu tak akan berulang. Dalam pikiran korban,

kesabaran dan cinta yang lebih baik akan bisa mengubah

pasangan dan menghilangkan perilaku agresifnya. Namun, siklus

kekerasan ini berulang dan justru memperkuat perilaku agresif

pasangannya. Selain itu, korban sering kali membenarkan

perilaku agresif pasangannya dengan merasa bersalah atau

menyalahkan diri sendiri atas kemarahan pasangannya.

Sehinggah pelaku akan lebih sering menggunakan manipulasi

emosional untuk menyalahkan korban atas perilaku agresif

mereka, berpendapat bahwa korban memicu kemarahan atau

membenarkan tindakan mereka sebagai tanggapan atas tingkah


laku korban. Akibatnya, korban merasa bertanggung jawab atas

tindakan pasangannya dan merasa perlu untuk "memperbaiki"

diri agar kekerasan tidak terjadi lagi.

2. Faktor eksternal atau faktor dari luar

1. pengaruh lingkungan

Lingkungan seseorang dapat berdampak besar pada cara mereka

berinteraksi dalam hubungan pacaran. Keluarga, teman, dan

masyarakat di sekitar seseorang dapat mempengaruhi cara berpikir

dan bersikapnya terhadap kekerasan dalam hubungan pacaran. Jika

seorang korban dibesarkan di lingkungan yang pernah mengalami

kekerasan atau memiliki sikap meremehkan kekerasan, hal itu dapat

berdampak signifikan pada cara mereka memandang dan menanggapi

hubungan yang sehat.

Keluarga memainkan peran sentral dalam membentuk sikap dan

norma sosial dalam kehidupan. Jika korban dibesarkan dalam

keluarga di mana kekerasan biasa terjadi, perilaku agresif dalam

hubungan pacaran mungkin merupakan bentuk cinta yang normal atau

bahkan legal. Ketika kasus kekerasan dalam hubungan pacaran sering

diabaikan atau bahkan diterima, korban cenderung mentolerir atau

bahkan membenarkan perilaku serupa dalam hubungan mereka

sendiri. Ini menciptakan siklus berbahaya di mana pola kekerasan

terus berlanjut dari generasi ke generasi.


Selain keluarga, lingkungan sosial juga berperan penting dalam

membentuk persepsi seseorang terhadap kekerasan pasangan intim.

Teman dan lingkungan dapat mempengaruhi norma sosial yang dianut

oleh korban. Ketika terjadi kekerasan dalam pacaran tingkat tinggi di

lingkungan yang dianggap normal, korban akan lebih mudah

mengalami dan menerima perilaku agresif pasangannya tanpa

menyadari bahwa hal itu sebenarnya tidak pantas dan tidak sehat.

Faktor lingkungan bersama juga dapat memperkuat sikap yang

meremehkan kekerasan dalam hubungan pacaran. Ketika kekerasan

dalam masyarakat sering dilihat sebagai masalah pribadi yang tidak

boleh dibicarakan secara terbuka, korban akan merasa terisolasi dan

sulit mencari dukungan dalam hubungan mereka. Hal ini dapat

membuat mereka terjebak dalam siklus kekerasan yang semakin sulit

untuk diputus.

Perilaku agresif dalam hubungan pacaran tidak hanya merugikan

korban, tetapi juga berdampak negatif pada pasangan yang melakukan

kekerasan. Mungkin pasangan itu tumbuh di lingkungan yang sama

dan tidak menyadari bahwa perilaku mereka sebenarnya berbahaya

dan tidak pantas. Dengan demikian, lingkungan mereka, yang

mendukung atau tidak menghukum perilaku tersebut, menghalangi

pasangan yang agresif untuk menyadari kesalahannya dan memiliki


perasaan bersalah atas hal yang dilakukannya sehingga perilakunya

yang agresif tersebut perlu untuk diubah.

2.norma dan budaya

Norma budaya dan sosial beberapa masyarakat dapat sangat

memengaruhi pandangan tentang perlakuan pasangan yang agresif.

Terkadang masyarakat tertentu mengajarkan bahwa perilaku agresif

dalam hubungan adalah hal yang wajar atau bahkan dipandang

sebagai tanda "cinta sejati". Dalam beberapa budaya, gagasan

dominasi dan kontrol pasangan sering dilihat sebagai ungkapan cinta

yang kuat, dan ketundukan korban sebagai tanda kesetiaan.

Pandangan seperti itu dapat membuat korban enggan untuk

melaporkan atau mengakhiri hubungan yang tidak sehat karena

merasa itu adalah bagian dari norma dan dapat diterima sebagai

bagian dari hubungan yang berkomitmen.

Faktor budaya ini berakar pada cara berpikir dan tradisi yang telah

ada di masyarakat selama berabad-abad. Masyarakat yang menganut

nilai-nilai patriarki cenderung mendorong hubungan kekuasaan yang

timpang antara pasangan, dengan dominasi laki-laki atas perempuan

dianggap sebagai norma. Hal ini dapat mengarah pada sikap

merendahkan dan mengabaikan kehendak perempuan, sedangkan

perilaku agresif laki-laki dapat dilihat sebagai hal yang wajar dan

bahkan dihargai.
Selain itu, faktor sosial berperan penting dalam persepsi hubungan

pacaran yang agresif. Tekanan dari lingkungan sosial, misalnya dari

teman sebaya, juga dapat mempengaruhi persepsi korban terhadap

situasinya. Misalnya, jika lingkungan sosial korban cenderung

mengabaikan atau bahkan membenarkan perilaku agresif dalam suatu

hubungan pacaran, korban mungkin merasa didukung dan tidak

berdaya untuk mengubah situasi. Perasaan malu dan takut dijauhi

masyarakat juga bisa membuat korban enggan untuk menjangkau atau

mencari pertolongan.

Ada juga kekhawatiran bahwa melaporkan perilaku agresif dapat

menimbulkan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap korban.

Masyarakat yang tidak memberikan dukungan atau memandang

rendah peristiwa penganiayaan hanya akan memperumit masalah

korban. Akibatnya, para korban merasa terjebak dan berada dalam

konflik internal antara perlindungan diri dan menghindari reaksi

negatif dari masyarakat.

Selain itu, jika tanda-tanda penganiayaan dalam suatu hubungan tidak

dikenali, korban tidak akan menyadari bahwa mereka berada dalam

hubungan yang tidak sehat. Perasaan cinta dan keterikatan emosional

dengan pasangan dapat membuat korban mengabaikan perilaku

agresif sebagai "marah" atau "cemburu" dari pasangannya, tanpa

menyadari bahwa itu adalah bentuk penganiayaan.


3. Kedudukan dan kekuasaan

Beberapa korban dari hubungan tidak sehat mengalami perasaan

tidak berdaya dan korban tidak memiliki dukungan yang cukup untuk

melawan pasangan mereka. Situasi ini sering terjadi ketika pasangan

memiliki kendali atau kekuasaan yang kuat atas korban. Dalam

hubungan yang manipulatif, korban cenderung merasa terjebak dalam

siklus penganiayaan dan tidak tahu bagaimana keluar dari situasi yang

menyedihkan tersebut.

Ketika pasangan memiliki kendali yang dominan atas hubungan

tersebut, mereka sering menggunakan taktik manipulatif untuk

mempertahankan kekuasaan atas korban. Mereka mungkin

mengasingkan korban dari keluarga dan teman-teman, membuat

korban merasa terisolasi dan bergantung sepenuhnya pada

pasangannya. Hal ini menimbulkan rasa tidak aman dan

ketergantungan yang membuat korban merasa tidak punya pilihan

selain melanjutkan hubungan yang tidak sehat tersebut.

Selain itu, pasangan yang agresif juga dapat menggunakan ancaman

dan kekerasan fisik untuk mempertahankan kendali atas korban.

Perilaku ini menciptakan ketakutan yang ekstrim di benak korban

yang mencegah mereka membela diri atau mengungkapkan apapun

yang membuat marah pasangannya. Mereka takut bahwa melawan


atau melaporkan kekerasan hanya akan memperburuk situasi dan

menghadapi konsekuensi yang lebih buruk.

Dalam situasi di mana pasangan memiliki kekuatan ekonomi yang

dominan, korban mungkin merasa terjebak secara finansial dan tidak

dapat keluar dari hubungan yang tidak sehat tersebut. Mereka tidak

memiliki akses ke sumber daya atau dukungan finansial untuk

memulai hidup baru, terutama jika mereka sepenuhnya bergantung

pada pasangannya untuk kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, korban

merasa terjebak dalam siklus penganiayaan yang terus menerus

karena tidak punya pilihan lain.

Selain tantangan ekonomi, pasangan yang memegangkendali lebih

kuat dapat memanipulasi dan merusak harga diri korban, sehingga

membuat korban merasa tidak berharga dan tidak layak mendapatkan

cinta yang sehat. Perasaan rendah diri ini membuat korban sulit

mengembangkan rasa percaya diri yang dibutuhkan untuk mengakhiri

hubungan yang tidak sehat tersebut.


4.2 Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebagai Korban

Penganiayaan Dalam Hubungan Pacaran Di Polres Gorontalo

Kota

Indonesia merupakan negara hukum yang menjamin keadilan dan

perlindungan setiap warga negaranya. Hal ini tertera dalam pasal 28 I ayat (4)

yang berbunyi: “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” 51 Dalam

hal ini juga dijelaskan dalam pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar

dimana menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak

asasi.”52

4.3 bs

51

52
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Fajar, Mukti. 2013. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan, Hamzah. 2022. Nilai-Nilai Viktimologi Dalam Hukum Pidana Islam.
Jakarta: Sejahtera Kita.
Ishaq. 2017. Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta
Disertasi. Bandung: Alfabeta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Kenedi, John. 2020. Perlindungan Saksi Dan Korban (Studi Perlindungan
Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di
Indonesia). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lestari, Ria. dkk. (tth.) Buku Panduan Pendampingan Dasar Kasus
Kekerasan Terhadap Perempuan. Bandung: Lembaga Bantuan Hukum.

Muhaimin. 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University


Pers.
Purwanti, Ani. 2020. Kekerasan Berbasis Gender. Yogyakarta: Bildung
Nusantara.

Siregar, Gomgom T.P., Silaban, Rudolf. 2019. Hak-Hak Korban Dalam


Penegakan Hukum Pidana. Medan: CV. Manhaji.

Statistik Gender Tematik. 2017. Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan


Dan Anak Di Indonesia. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.

B. Jurnal
Abdullah, Rahmat Hi. “Tinjauan Viktimologis Terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Human Trafficking).” Jurnal Yustika 22, no. 1
(2019).
https://www.neliti.com/id/publications/323577/tinjauan-viktimologis-
terhadap-tindak-pidana-perdagangan-orang-human-trafficking (diakses 8
Februari, 2023).

Abdullah, Zainuddin. “Peran Perempuan Dalam Dunia Pendidikan Perspektif


Hamka.” Jurnal Kajian Ilmu Dan Budaya Islam 4, no. 1 (2021).
https://jurnal.stitalamin.ac.id/index.php/alamin/article/view/87 (diakses
10 Februari, 2023).

Aeni, Nurul. "Peran Perempuan Dalam Pendidikan Anak Dimasa Pandemi


Covid-19.” Qawwam 15, no. 2 (2021).
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/qawwam/article/view/3582
(diakses 15 Februari, 2023).

Almaida, Zennia, dan Moch. Najib Imanullah. “Perlindungan Hukum


Preventif Dan Represif Bagi Pengguna Uang Elektronik Dalam
Melakukan Transaksi Tol Non Tunai.” Privat Law 9, no. 1 (2021)
https://jurnal.uns.ac.id/repertorium/article/view/41812
(diakses 3 Februari, 2023).

Anjari, Warih. “Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan (Violence).”


E-Journal WIDYA Yustisia 1, no. 1 (2014).
https://www.neliti.com/id/publications/246968/fenomena-kekerasan-
sebagai-bentuk-kejahatan-violence (diakses 30 Januari, 2023).

Ariyanti, Vivi. “Konsep Perlindungan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana


Nasional Dan Sistem Hukum Pidana Islam.” Jurnal Kajian Hukum Islam
XIII, no. 1 (2019).
https://ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/almanahij/article/view/2224
(diakses 9 Februari, 2023).

Jannah, Raohdahtul. "Hakikat Pendidikan Dan Karir Perempuan Dalam


Perspektif Hukum Islam." Jurnal An-Nisa' 12, no. 2 (2019).
https://jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/annisa/article/view/668 (diakses
30 Januari, 2023).

Lubis, Mhd. Teguh Syuhuda. “Penyidikan Tindak Pidana Penganiayaan Berat


Terhadap Anak.” Jurnal Edu Tech 3, no. 1 (2017).
https://www.neliti.com/id/publications/58804/penyidikan-tindak-pidana-
penganiayaan-berat-terhadap-anak (diakses 2 Februari, 2023).

Martono. “Perlindungan Hukum Terhadap Penangkapan Dan Penahanan


Tersangka Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.” Al-Ishlah 23, no. 1
(2020). https://jurnal.fh.umi.ac.id/index.php//ishlah/article/view/v23n1-5
(diakses 5 Februari, 2023).

Nola, Luthvi Febryka. "Upaya Perlindungan Hukum Secara Terpadu Bagi


Tenaga Kerja Indonesia (TKI)," Negara Hukum 7, no. 1 (2016).
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/949
(diakses 3 Februari, 2023).

Novita Eleanora, Fransiska. dkk. "Perlindungan Hukum Korban Tindak


Kekerasan Dalam Pacaran Ditinjau Dari Perspektif Viktimologi Dan
Psikososial." Jurnal Kajian Ilmiah 23, no. 1 (2023).
https://ejurnal.ubharajaya.ac.id/index.php/JKI/article/view/1584 (diakses
14 Februari, 2023).

Puluhulawa, Moh. Rusdiyanto U. dkk. “Kebijakan Kriminal Dalam


Penanggulangan Tindak Pidana Penganiayaan Menggunakan Panah
Wayer Oleh Anak Di Kota Gorontalo." Jurnal Yuridis 6, no. 2 (2019).
https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/view/1048 (diakses
11 Februari, 2023).

Prita, Dyah dan Yossy Setynawati. "Tinjauan Viktimologi Dan Perlindungan


Hukum Korban Kekerasan Dalam Pacaran." Jurnal Serambu Hukum 8,
no. 2 (2014). https://www.neliti.com/id/publications/23094/tinjauan-
viktimologi-dan-perlindungan-hukum-korban-kekerasan-dalam-pacaran
(diakses 6 Februari, 2023).

Rimporok, Rivero Christian. "Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Penganiayaan


Yang Menyebabkan Kematian Menurut Pasal 351 Ayat (3) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana." Lex Crimen 10, no. 9 (2021).
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/36551
(diakses 2 Februari, 2023).

Tompodung, Hiro. R.R. "Kajian Yuridis Tindak Pidana Penganiayaan Yang


Menyebabkan Kematian." Lex Crimen 10, no. 4 (2021).
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/33400
(diakses 29 Januari, 2023).

Widiastuti, Tri Wahyu. "Perlindungan Bagi Wanita Terhadap Tindak


Kekerasan." Wacana Hukum 11, no. 1 (2016).
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&uri=https://medi
a.neliti.com/publications/23554-ID-perlindungan-bagi-wanita-terhadap-
tindak-
kekerasan.pdf&ved=2ahUKEwijnv2Nwp_9AhU82nMBHa1zCFsQFnoE
CBYQAQ&=usg=AOvVaw1u3A7tFtnExpj6s2_rDauv
(diakses 2 Februari, 2023

Wiguno, Ario Ponco. "Kajian Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban


Tindak Pidana Kesusilaan." Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 1, no. 1
(2013).
https://www.neliti.com/id/publications/149884/kajian-viktimologi-
terhadap-anak-sebagai-korban-tindak-pidana-kesusilaan (diakses 18
Februari, 2023)

C. Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban

Pasal 351, Pasal 352, Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

D. Skripsi

Harynova, Alra. "Skripsi Penganiayaan Dilihat Dari Perspektif Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana Dan Hukum Pidana Islam." Skripsi Fakultas
Syari'ah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin, (2018).
http://repository.uinjambi.ac.id/290/ (diakses 13 Februari, 2023).

Kesaulia, Anissa Martha. "Skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan


Korban Kekerasan Dalam Masa Pacaran." Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, (2020).
http://e-journal.uajy.ac.id/24161/1/JURNAL.pdf (diakses 5 Februari,
2023).

Putra, Donny Aditya. "Skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan


Korban Kekerasan Dalam Pacaran (Studi Kasus Di SPEK-HAM)."
Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2016).
https://123dok.com/document/q5m6rwry-skripsi-perlindungan-hukum-
perempuan-korban-kekerasan-pacaran-studi.html (diakses 10 Februari,
2023).

Rianda, Kinan Rifky. "Skripsi Peran Viktimologi Dalam Melindungi Korban


Tindak Pidana Pencurian." Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Magelang, (2017). http://eprintslib.ummgl.ac.id/1054/
(diakses 6 Februari, 2023).

E. Website
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, “Pelucuran CATAHU
Komnas Perempuan 2022” Komnas Perempuan, 2022.
https://komnasperempuan.go.id/kabar-perempuan-detail/peluncuran-
catahu-komnas-perempuan-2022. (diakses 9 Februari, 2022).
Viktimologi, “Penjelasan Viktimologi”
http://langit11.blogspot.com/2015/04/penjelasan-viktimologi.html?m=1.
(diakses 22 Februari, 2023)
Wikipedia. “Pengertian Perempuan”
https://commons.m.wikipedia.org/wiki/Commons:WikiKaleidoskopp_2.0
(diakses 7 Februari, 2023)

Anda mungkin juga menyukai