Anda di halaman 1dari 24

DEMOKRASI di INDONESIA: ERA PANDEMI COVID-19

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Perbandingan Sistem Politik Program Studi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Medan

Dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah: Windawati Pinem, S.Sos., M.I.P.

Disusun Oleh:
Kelompok 3

1. Chikita Yoppi Sihombing (3173311009)


2. Fatimah Tolu Ronauli Gurning (3173311020)
3. Fivi Sumantri Br Sembiring (3173311021)
4. Ismo Antonius (3172111015)
5. Kartina Manik (3171111006)
6. Natalia Br Sembiring (3173311033)
7. Rizk Rio Perdana Simajuntak (3173111021)
8. Sonya Evalina Siburian (3173311049)
9. Wendni Sagita Damanik (3173311053)

Prodi/Kelas : PPKn/Reguler A 2017

FAKULTAS ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Atas Berkat dan
rahmatnyalah kami bisa menyelesaikan tugas paper ini dengan tepat waktu. Tugas ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Sistem Politik pada jurusan PPKn. Adapun
topik yang dibahas didalam paper ini adalah Demokrasi di Indonesia: Era Pandemi Covid-19.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Windawati Pinem, S.Sos., M.I.P. sebagai
dosen mata kuliah Perbandingan Sistem Politik yang telah membimbing kami didalam menyusun
mengerjakan tugas paper ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi untuk
tersajinya paper ini. Kami menyadari bahwa tugas paper ini masih jauh dari kata sempurna, hal
itu dikarenakan keterbatasan yang ada. Sehingga kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca.

Kiranya paper ini bisa memberikan banyak manfaat bagi kehidupan kita semua. Atas
perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.

Medan, 06 November 2020

Kelompok 3

DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................3

C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................3

BAB II KAJIAN PUSTAKA...........................................................................................................4

A. Landasan Teori........................................................................................................................4

BAB III PEMBNAHASAN.............................................................................................................8

A. Kondisi Demokrasi Indonesia.................................................................................................8

B. Kedaulatan Rakyat Dan Kepemimpinan Di Tengah Wabah Covid 19.................................15

C. Pelaksanaan Pilkada Ditengah Covid....................................................................................16

BAB IV PENUTUP.......................................................................................................................19

A. Kesimpulan...........................................................................................................................19

B. SARAN.................................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................20

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indeks Demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir memang terus menurun, hal ini
terlihat dari Kajian The Economist Intelligence Unit pada 2006-2019. Skor tertinggi Indonesia
tercatat pada 2015 (7,03) dan tahun 2019 turun menjadi 6,48. Dari skor 1-10, makin tinggi
skornya, makin baik kualitasnya.

Turunnya kualitas demokrasi Indonesia beberapa tahun belakangan ini disebabkan oleh
antara lain, pertama, ada indikasi menguatnya oligarki. Oligarki merupakan kekuasaan yang
dijalankan oleh sekelompok kecil elit. Sekelompok elit ini menguasai lembaga eksekutif dan
legislatif. Sehingga tidak ada checks and balances antara pemerintah dan parlemen. Akibat
menguatnya oligarki tentu sangat besar, yakni potensi korupsi dan tidak transparannya proses
pembentukan kebijakan publik semakin tinggi. Terjadinya pengabaian suara publik yang
melakukan kritik dan pengawasan kepada pemerintah.

Kedua, kebebasan berekspresi dan berpendapat makin menurun. Ada kecenderungan


pemegang otoritas pemerintahan makin represif terhadap kritik. Tak hanya oleh negara, hak
kebebasan berpendapat dan berekspresi juga terkadang dihalang-halangi oleh sesama
masyarakat. Begitu juga dengan media yang independensinya menurun karena perkawanan
pemilik modalnya dengan penguasa.

Ketiga, penegakan hukum yang tak kunjung mengalami kemajuan. Dalam negara
demokratis penegakan hukum yang berkeadilan merupakan salah satu prinsip yang harus
dilaksanakan. Dengan hukumlah hak warga negara dilindungi yang merupakan menifestasi
kedaulatan rakyat sebagai unsur penting dalam demokrasi. Namun, penegakan hukum masih
belum sepenuhnya tegak. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang masih tak menemui rasa
keadilan.

Selain problem di atas, adanya pandemi Covid-19, menambah ancaman terhadap


demokrasi. Dengan alasan kedaruratan, ada potensi pemerintah akan mengabaikan suara-suara
dari publik. Tak hanya soal penanganan Covid-19, kebijakan-kebijakan lain juga semestinya
harus tetap mengikuti prosedur demokrasi yang baik.
1
COVID-19 tidak hanya berdampak terhadap sektor kesehatan publik, tetapi juga banyak
sektor lain mulai dari ekonomi, pendidikan, budaya, sosial, politik, hingga pemerintahan. Secara
khusus dalam bidang politik, menurut Kennedy & Suhendarto (2020), pandemi COVID-19 telah
mengakibatkan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 mengalami penundaan. Pemerintah,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyepakati untuk
menunda Pilkada 2020 sampai bulan Desember 2020 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2020.

Keputusan untuk tetap menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi


menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat, terutama di kalangan pakar dan akademisi.
Keputusan untuk melaksanakan pilkada di bulan Desember 2020 dipandang tidak realistis dan
penuh dengan risiko karena jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia terus meningkat secara
nasional. Banyak pihak mengkhawatirkan apabila pilkada tetap diselenggarakan  pada bulan
Desember 2020, justru akan menjadi permasalahan baru karena berpotensi menjadi klaster baru
penyebaran COVID-19.

Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 sangat penting karena merupakan amanat yang
tertuang  dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Pasal 201 Ayat 6. Adanya Pilkada Serentak
merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi yang dianut, yaitu sarana untuk regenerasi
kepemimpinan secara adil, bijaksana, serta sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam
konstitusi. Banyaknya masa kepemimpinan kepala daerah yang akan habis, sementara peran dan
posisi dari kepala daerah sangat dibutuhkan untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan
pemerintah pusat guna mempercepat penanganan COVID-19 serta percepatan proses pemulihan
pasca-COVID-19, nampaknya membuat Pilkada Serentak tetap dilaksanakan pada 2020.1

Pandemi Covid-19 tak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga berpotensi


membahayakan demokrasi. Ini karena ada kebijakan “luar biasa” yang diambil negara dalam
krisis yang berpotensi melanggar norma-norma demokrasi. Pandemokrasi kemudian muncul
sebagai istilah untuk menggambarkan kemunduran demokrasi di tengah wabah virus. Pandemi

1
Kholis, N. (2020, September 16). Pilkada Serentak 2020: Antara Demokrasi dan Kesehatan Publik . Pusat
Penelitiann Politik , pp. http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-sains-kebijakan/1417-pilkada-
serentak-2020-antara-demokrasi-dan-kesehatan-publik.

2
Covid-19 tentu saja menjadi pengalaman pertama Indonesia menghadapi wabah yang sangat
luas, dan mempengaruhi hampir seluruh sektor kehidupan. Namun demikian prinsip-prinsip
demokrasi tidak boleh diabaikan, agar jalannya pemerintahan tetap akuntabel.

Hal ini menimbulkan kedilematisan ditengah-tengah masa pandemi saat ini, sehingga
setiap langkah dan upaya yang dilakukan pemerintah memerlukan perhatian secara khusus
dalam pengambilan keputusan. Dalam situasi seperti ini, peran masyarakat sipil menjadi sangat
penting. Selain dalam hal untuk mengawasi, peran masyarakat juga sangat perlu dalam
memberikan pendapat dalam menyingkapi situasi dan kondisi saat ini, sehingga kebijakan yang
diambil tidak salah langkah.

Namun, masa depan demokrasi kita tampaknya belum akan pulih dalam waktu dekat.
Model post-democracy akan tetap bercokol dalam kehidupan politik kita, yang menunjukkan
berbagai indikasi menjelang dan saat terjadinya pandemi COVID-19. Hal inilah yang
menimbulkan pertanyaan besar mengenai kondisi demokrasi Indonesia pada masa pandemi
covid-19.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah atas, maka yang menjadi rumusan masalah
yaitu: bagaimana kondisi demokrasi di Indonesia pada masa pandemi covid-19?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut: untuk mengetahui bagaimana kondisi demokrasi di Indonesia pada masa
pandemi covid-19.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

3
A. Landasan Teori

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia, hingga saat ini tak dapat
diprediksi keberlangsungannya. Di satu sisi, negara dihadapkan pada kehidupan demokrasi yang
tetap berjalan demi menjaga keberlangsungan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, sikap
optimisme menjalankan demokrasi menjadi pilihan di tengah wabah seperti ini. Hal itu pula yang
ditekankan Plt. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Bahtiar pada Diskusi online yang
digagas Badan Saksi Nasional DPP Partai Golkar, “Bangsa ini memang harus bangkit,
bagaimana menjalankan demokrasi ditengah wabah pandemi Covid-19”. Diakuinya, wabah
Covid-19 yang melanda global memiliki tantangan khusus yang belum pernah dialami
penyelenggara Pemilu di belahan dunia manapun.2

Pada awal pandemi, kemunduran demokrasi tampak dari penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun
2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Covid-19. Perppu yang disetujui jadi UU Nomor 2 Tahun 2020 itu memberi wewenang
sangat besar kepada pemerintah yang mengeksekusi keuangan guna mitigasi pandemi;
pemerintah seolah tak bisa dikontrol, dipersoalkan, dan dituntut secara hukum.

Indikator kemunduran demokrasi lain adalah penetapan RUU menjadi UU oleh DPR tanpa
pembahasan yang melibatkan masyarakat sipil. Preseden bermula sejak penetapan UU Nomor 19
Tahun 2019 yang merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam masa pandemi,
selain menerima Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU Nomor 2 Tahun  2020, DPR juga
mengesahkan UU Nomor  7 Tahun 2020 tentang Minerba yang kontroversial.3

Menurut Shohibul, hal-hal yang sangat krusial dan sangat mendesak pengaturannya saat ini
antara lain adalah bagaimana menghadirkan negara untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan sesuai pasal 27 ayat (2) UUD 1945. “Banyak hal yang berpengaruh
terhadap tidak bertumbuh dan tidak berkembangnya demokrasi di suatu negara, di antaranya

2
https://fin.co.id/2020/05/22/menjalankan-demokrasi-di-tengah-pandemi-covid-19/

3
https://aipi.or.id/frontend/opinion/detail/57544e574f414939
4
masalah pembiayaan partai yang tidak memungkinkannya mandiri dan memeroleh kebebasan
yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya.4

Upaya penanggulangannya pun beraneka bentuk seperti pemeriksaan, pengobatan, perawatan


dan isolasi penderita, termasuk tindakan kekarantinaan. Selain itu, dapat melakukan penyuluhan
kepada masyarakat (Pasal 5 ayat (1). Menariknya, Pasal 6 ayat (1) UU 4/1984 memuat aspek
demokrasi dengan pernyataan “upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif.” Selain itu, yang
menarik lainnya pada Pasal 8 ayat (1) disebutkan, mereka yang mengalami kerugian harta benda
akibat penanggulangan wabah dapat diberikan ganti rugi. Agar regulasi efektif, Pasal 14
mengatur pula siapa saja yang menghalangi penanganan wabah baik sengaja maupun alpa
dipidana (bila dengan sengaja diancam pidana paling lama satu tahun dan/atau denda setinggi-
tingginya satu juta dan apabila alpa, pidana selama lamanya enam bulan dan/atau denda setinggi-
tingginya lima ratus ribu).

Apabila pilihan pemerintah melakukan kekarantinaan kesehatan maka diatur di UU 6/2018.


Kekarantinaan kesehatan ini di pintu masuk dan wilayah terpadu merupakan kewenangan
pemerintah pusat. namun dapat melibatkan pemerintah daerah (Pasal 5 ayat (1) dan (2)).
Penyiapan sumber dayanya tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah (Pasal 6). Pada Pasal 9
ayat (1) setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Jika tidak
mematuhi atau menghalang-halangi diancam pidana paling lama satu tahun dan atau denda
paling banyak seratus juta rupiah (Pasal 93). Pada Pasal 15 diatur kekarantinaan kesehatan di
pintu masuk dan wilayah serta tindakan kekarantinaan kesehatan dapat berupa isolasi,
pembatasan sosial skala besar, pemberian vaksinasi dan sebagainya. Sedangkan di Pasal 49
dalam rangka mitigasi dibagi jenis karantina, ada karantina rumah, karantina wilayah, karantina
rumah sakit atau pembatasan sosial berskala besar.5

Karena Pelaksana tugas tidak akan bisa melaksanakan tugasnya secara maksimal karena
menurut undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pelaksana

4
https://www.rmoljatim.id/2020/10/15/pandemi-covid-19-dan-kegagalan-sistem-demokrasi

5
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/30/11163581/covid-19-di-lorong-hukum-dan-demokrasi?page=all
5
tugas dibatasi wewenang dan tindakannya. Misal, pada pasal 14 ayat 7 undang-undang tersebut
mengatur bahwa badan dan atau pejabat pemerintah yang memperoleh wewenang melalui
mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan atau tindakan yang bersifat strategis yang
berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian dan alokasi
anggaran.

Artinya, pelaksana tugas tidak punya wewenang dan tindakan pada perubahan rencana kerja
pemerintah baik pada alokasi anggaran, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian
pegawai. Semua hal tersebut berpengaruh pada dinamika pemerintahan daerah.

Merujuk pada alasan di atas Pilkada tahun 2020 penting untuk dilaksanakan, karena
demokrasi tak boleh berhenti karena pandemi. Maka pelaksanaan Pilkada harus memperhatikan
sejumlah protokol kesehatan. Demi menjaga stabilitas demokrasi. Karena Pelaksana tugas tidak
akan bisa melaksanakan tugasnya secara maksimal karena menurut undang-undang nomor 30
tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pelaksana tugas dibatasi wewenang dan
tindakannya. Misal, pada pasal 14 ayat 7 undang-undang tersebut mengatur bahwa badan dan
atau pejabat pemerintah yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang
mengambil keputusan dan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan
status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian dan alokasi anggaran.

Artinya, pelaksana tugas tidak punya wewenang dan tindakan pada perubahan rencana kerja
pemerintah baik pada alokasi anggaran, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian
pegawai. Semua hal tersebut berpengaruh pada dinamika pemerintahan daerah. Merujuk pada
alasan di atas Pilkada tahun 2020 penting untuk dilaksanakan, karena demokrasi tak boleh
berhenti karena pandemi. Maka pelaksanaan Pilkada harus memperhatikan sejumlah protokol
kesehatan. Demi menjaga stabilitas demokrasi.

DPR, KPU, dan Pemerintah terkait telah mengambil sebuah keputusan politik, bahwa Pilkada
serentak akan dihelat tanggal 9 Desember 2020. Menyambut keputusan politik tersebut, KPU &
Bawaslu mengaktifkan kembali seluruh jajaran penyelenggara Pemilu Adhoc(PPK, PPS,
Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan) yang sempat dibekukan karena Covid-19.

6
Pelaksanaan Pilkada yang berbeda dari sebelumnya membuat penyelenggara, baik dari
penyelenggara teknis (KPU) maupun penyelenggara pengawasan (Bawaslu) harus bekerja ekstra.

Pada Pilkada tahun 2020 ini, ada beberapa perubahan yang wajib diketahui secara bersama
oleh masyarakat. Pada saat tahapan Pilkada berlangsung, KPU dan Bawaslu harus
memperhatikan protokol kesehatan selama menjalankan tugasnya. Membatasi giat yang
menghadirkan banyak massa, wajib menggunakan masker, dan harus mencuci tangan jika
bersentuhan dengan aktifitas luar. Bahkan saat melaksanakan kegiatan Rapat Koordinasi (Rakor)
yang biasanya secara langsung (tatap muka), sekarang harus menggunakan
metode daring (online) guna membatasi penyebaran Covid-19.

Namun tidak semua kegiatan bisa dilaksanakan dengan metode daring, contohnya adalah
verifikasi faktual (Verfak) Bakal Pasangan Calon (Bapaslon) Perseorangan. Verfak tidak
mungkin dilakukan dengan metode daring. Karena verfak modelnya adalah tatap muka langsung.
Ada komunikasi langsung di situ guna mendapatkan keterangan dukungan pada pendukung
Bapaslon yang bersangkutan. Semua hal tersebut merupakan upaya penyelenggara pemilu (KPU
& Bawaslu) membatasi terjadinya penyebaran Covid-19. Karena kita tidak mau
ada klaster Pilkada, setelah banyaknya istilah klaster yang terjadi pada penyebaran Covid-19 di
Indonesia.6

BAB III
PEMBNAHASAN

A. Kondisi Demokrasi Indonesia

Membicarakan masa depan demokrasi pada umumnya akan mengarah setidaknya pada
dua hal, yakni penguatan demokrasi atau pelemahan demokrasi. Dalam hal pelemahan
demokrasi, ada dua model atau varian. Pertama, mengarah kembali pada kondisi otoriter
(authoritarian resurgence) dan kedua, mengalami kondisi yang disebut oleh Colin Crouch
(2004) sebagai “post-democracy”.
6
https://lombokpost.jawapos.com/opini/26/06/2020/pilkada-di-tengah-pandemi-demokrasi-tak-boleh-mati/
7
Di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi demokrasi memang tidak banyak
perubahan. Kita pada dasarnya masih akan menghadap problematika demokrasi yang sama.
Beberapa fenomena terakhir cenderung mengkonfirmasi hal ini. Pertama, masih terus lemahnya
checks and balances dari DPR. Kondisi semacam ini tampak telah menjadi natur DPR era
Jokowi yang pada umumnya kurang kritis dan sekadar menjadi pendukung penguasa. Ini
terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan kelambanan
respon pemerintah pusat sejak virus mula merebak. Begitupula saat munculnya beberapa kali
inkonsistensi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Bahkan hingga ketika tidak lancarnya
pemberian bantuan sosial dan munculnya pencitraan bagi-bagi sembako, DPR tampak tak
bergeming. Meski mulai ada suara-suara kritis, secara umum nuansa over-protective parlemen
kepada pemerintah masih terasa7.

Ekosistem politik saat pandemi ditandai dengan peran pemerintahan yang diperkuat
guna menangani krisis. Dalam setiap krisis ada tendens penguatan peran penguasa, baik dengan
alasan yang terkait kebencanaan, peperangan, ataupun krisis lainnya. Atas nama memulihkan
krisis pemerintah dapat melakukan segala sesuatu yang dianggap penting. Dalam kondisi seperti
ini pemerintah kemudian menjadi cenderung memiliki banyak hak bahkan privilege, termasuk
membuat berbagai aturan yang bersifat restriksi atau diskresi. Aturan khusus negara dapat
memasuki ranah-ranah privat sekalipun. Pemerintah dapat menerapkan itu secara sepihak. Di
banyak negara, aturan lockdown ataupun karantina tidak memerlukan persetujuan dari
masyarakat. Sehingga pada masa krisis dikenal kondisi “More State, Less Private”8.

Selain itu, pemerintah juga memiliki hak untuk menggunakan segenap sumber daya
yang ada untuk dapat membawa negara keluar dari kondis krisis. Ini memungkinkan negara
mengeluarkan pengaturan yang bersifat khas demi pemanfaatan sumber daya semaksimal
mungkin. Di negara kita bahkan dimungkinkan adanya sebuah pelaksanaan kebijakan terkait
pandemi tanpa perlu adanya pengawasan, sejauh itu didasarkan pada “itikad baik” untuk
penyelesaian masalah COVID-199.

7
Firman, Noor. Mei 2020. “Demokrasi Indonesia dan Arah Perkembangannya di Masa Pandemi COVID-
19”. Pusat Penelitian Politik , pp. http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1394-
demokrasi-indonesia-dan-arah-perkembangannya-di-masa-pandemi-covid-19. hal 3.
8
Ibid. hal 2
8
Dimungkinkan pula bagi pemerintah untuk mengeluarkan lebih banyak uang dengan
skema yang ditujukan pada upaya-upaya mengatasi dan antisipasi dampak pandemi ini. Di
Indonesia misalnya, pemerintah telah menganggarkan dana sekitar Rp 405 triliun, dari berbagai
sumbe keuangan yang tersedia, diperuntukkan untuk tiga persoalan besar, yakni kesehatan,
sosial, dan ekonomi. Adanya nuansa kedaruratan juga dapat menuntut masyarakat untuk lebih
taat. Di beberapa negara, misalnya, sudah digunakan terminologi “We are at war!” Begitu juga
akhirnya di Indonesia, pemerintah terutama melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan
COVID-19 sudah menggunakan istilah perang. Vietnam telah menggunakan istilah ini tak lama
setelah adanya penyebaran virus COVID-19.10.

Di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi demokrasi memang tidak banyak
perubahan. Kita pada dasarnya masih akan menghadap problematika demokrasi yang sama.
Beberapa fenomena terakhir cenderung mengkonfirmasi hal ini. Pertama, masih terus lemahnya
checks and balances dari DPR. Kondisi semacam ini tampak telah menjadi natur DPR era
Jokowi yang pada umumnya kurang kritis dan sekadar menjad pendukung penguasa.
Ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan
kelambanan respon pemerintah pusat sejak virus mula merebak. Begitupula saat munculnya
beberapa kali inkonsistensi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Bahkan hingga ketika
tidak lancarnya pemberian bantuan sosial dan munculnya pencitraan bagi-bagi sembako, DPR
tampak tak bergeming. Meski mulai ada suara-suara kritis, secara umum nuansa over-protective
parlemen kepada pemerintah masih terasa11.

Keresahan tersebut tentunya sangat manusiawi. Karena jika pandemi covid-19 tidak
ditangani dengan cepat dan tepat, akan berdampak fatal terhadap kematian manusia, dan
perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, wacana publik pun dibanjiri diskursus tentang isu-isu.
Sementara itu, apa peljaran yang dapat dipetik dari musibah covid-19 terkait praktik demokrasi
di Indonesia, pada khususnya, dan tata kelola negara bangsa, pada umumnya, relatif belum
mendapat perhatian secara seimbang dari para akademisi.
9
Firman, Noor. Mei 2020. “Demokrasi Indonesia dan Arah Perkembangannya di Masa Pandemi COVID-
19”. Pusat Penelitian Politik , pp. http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1394-
demokrasi-indonesia-dan-arah-perkembangannya-di-masa-pandemi-covid-19. hal 2.
10
Ibid.

11
Ibid. hal 3
9
Terdapat tantangan demokrasi di Indonesia terkait dengan pandemi covid-19 ini, bila
dikategorikan, enam tantangan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga ujian dan tiga
bahaya demokrasi12.

Pertama, Ujian bagi eksistensi dan komitmen terhadap prinsio-prinsip negara kesatuan.
Adanya pandemi covid-19 secara tidak langsung telah menguji apakah prinsip-prinsip NKRI.
Utamanya, terkait dengan relasi pusat-daerah, memang betul teraktualisasi dan dipatuhi dalam
implementasi kebijakan penanggulangan wabah virus corona atau ahanya imajinasi. Bila betul
ditaati, seharusnya tidak perlu terjadi perbedaan sikap antara pemerintah pusat dan daerah dalam
implementasi kebijakan mengatasi pandemi covid-19

Kedua¸ ujian bagi kapabilitas dan kualitas kepemimpinan pemerintah pusat daerah.
Dalam mengikuti logika tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehaditan wabah covid-19 secara
nyata menyodorkan ujin bagi kapabilitas dan kualitas para pemimpin hasil pemilu langsung
tersebut.

Ketiga, ujian kohesi sosial dan “kepatuhan” terhadap state authority. satu di antara
indikator penting dari eksistensinya legitimasi otoritas negara adalah adaya dukungan dna
kepatuhan waraga negara yerhadap berbgai kebijakan yang telah diambil pemerintah. Dengan
demikian, cukup beralasan jika dukungan dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam
mengatasi wabah covid-19 juga dapat diartikulasi sebagai bagian dari ujian nyata terhadap
eksistensi otoritas negara.

Keempat, bahaya politisasi covid-19 untuk pencitraan politik jelang Pilpres 2024.
Tantangan demokrasi yang keempat ini terkesan berlebihan, dan cenderung prematur. Namun
sebagai upaya antisipasi, ia layak dipertimbangkan.

Kelima¸ bahaya politisasi kebijakan pembatasan sosial (ssial distancing) untuk menekan
hak menyampaikan aspirasi diruang publik. Seperti diketahui, kebijakan ini, antara lain,
melarang warga masyarakat untuk berkumpul di ruang publik dengan tujuan mencegah
penularan covid-19.

12
Syarif Hidayat. Covid-19 dan Tantangan Demokrasi di Indonesia.
(https://m.mediaindonesia.com/read/detail/305874-covid-19-dan-tantangan-demokrasi-di-indonesia, diakses
8 November 2020, pukul 15.00)
10
Keenam, bahaya politisasi program bantuan sosial covid-19 untuk mobilitas dukungan
jelang kontestasi Pilkada serentak 2020. Kekhawatiran ini cukup beralasan, mengingat praktik
politik uang dalam menyelenggarakan pilkada sudah menjadi rahasia umum13.

Pandemi tidak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga berpotensi membahayakan


demokrasi. Ini dikarenakan ada kebijakan “luar biasa” yang diambil negara dalam krisis yang
berpotensi melanggar norma-norma demokrasi. Pandemokrasi kemudia muncul sebgaai istilah
untuk menggambarkan kemunduran demokrasi ditengah wabah virus.

kita sedang menghadapi wabah virus dengan respons awal yang buruk. Tatkala dua warga
Depok positif terinfeksi pandemi ternyata pemerintah juga tidak mampu memberikan jaminan
keamanan untuk masyarakat. Pemerintah bahkan berkelar bahwa tidak perlu ada karantina besar-
besaran untuk kota Depok dan sekitarnya. Ketika wabah virus mulai merenggut ratusan korban
di Jakarta dan sekitarnya, semua mulai panik. Para tenaga media seperti dokter dan perawat
justru kekurangan alat pelindung diri. Sangkin tak ada alat, sebgain dari tenaga medis justru
menggunakan jas hujan dan baju bedah karena minimnya peralatan dan perlengkapan media.
Alhasil, ratusan tenaga media kini merenggang nyawa akibat terpapar pandemi.

Pemerintah tak mampu mengantisipasi permasalahan tersebut. Gagap mendiagnosis


kejadian-kejadian tak terduga akibat penyebaran virus yang tiba-tiba hingga berujung
malapetaka. Kegagapan terus berlanjut. Tampak pada penerapan kebijakan pembatasan sosial
berskala besar yang justru menimbulkan kebingungan ditengah masyarakat. Pada Selasa, 31
Maret 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberlakukan PSBB melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020.  Pada Selasa, 21 April 2020, Presiden Jokowi mengeluarkan
larangan mudik yang kemudian dilanjutkan dengan pemberlakuan larangan mudik oleh
pemerintah daerah pada 3 Mei 2020. Belum selesai dengan simpang siur pelonggaran PSBB,
Presiden Jokowi kemudian menggaungkan era normal baru. Kondisi di mana masyarakat bisa
kembali beraktivitas, tetapi tetap memperhatikan protokol kesehatan. Kebijakan ini berujung
pada pembukaan kembali aktivitas-aktivitas perekonomian pada Senin, 15 Juni 2020.

13
Syarif Hidayat. Covid-19 dan Tantangan Demokrasi di Indonesia.
(https://m.mediaindonesia.com/read/detail/305874-covid-19-dan-tantangan-demokrasi-di-indonesia, diakses
8 November 2020, pukul 15.00)
11
Masyarakat dibuat terombang-ambing dengan kebijakan mitigasi yang berubah-ubah.
Berbagai peraturan, surat edaran, dan dokumen kerja yang beredar leluasa di tengah masyarakat
justru menunjukkan bahwa pemerintah gagal berkoordinasi. Implikasinya kendati semua
peraturan tersebut berorientasi meningkatkan protokol kesehatan, tetapi yang terjadi justru
sebaliknya, yaitu prosedur pelonggaran yang tak beraturan. Kapabilitas pemerintah sedang diuji
dari cara mereka membendung pandemi. Kita dapat melihat bahwa kualitas kepemimpinan tak
hanya menjadi kunci hadapi pandemi, tapi juga menjadi aspek penting untuk menyelamatkan
demokrasi dari ancaman resesi. Jangan sampai demokrasi mati ditangan pemimpin terpilih14.

Indeks Demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir memang terus menurun, hal ini
terlihat dari Kajian The Economist Intelligence Unit pada 2006-2019. Skor tertinggi Indonesia
tercatat pada 2015 (7,03) dan tahun 2019 turun menjadi 6,48. Dari skor 1-10, makin tinggi
skornya, makin baik kualitasnya.

Turunnya kualitas demokrasi Indonesia beberapa tahun belakangan ini disebabkan oleh
antara lain, pertama, ada indikasi menguatnya oligarki. Oligarki merupakan kekuasaan yang
dijalankan oleh sekelompok kecil elite. Sekelompok elit ini menguasai lembaga eksekutif dan
legislatif. Sehingga tidak ada checks and balances antara pemerintah dan parlemen. Akibat
menguatnya oligarki tentu sangat besar, yakni potensi korupsi dan tidak transparannya proses
pembentukan kebijakan publik semakin tinggi. Terjadinya pengabaian suara publik yang
melakukan kritik dan pengawasan kepada pemerintah. Kedua, kebebasan berekspresi dan
berpendapat makin menurun. Ada kecenderungan pemegang otoritas pemerintahan makin
represif terhadap kritik. Tak hanya oleh negara, hak kebebasan berpendapat dan berekspresi juga
terkadang dihalang-halangi oleh sesama masyarakat. Begitu juga dengan media yang
independensinya menurun karena perkawanan pemilik modalnya dengan penguasa.
Ketiga, penegakan hukum yang tak kunjung mengalami kemajuan. Dalam negara demokratis
penegakan hukum yang berkeadilan merupakan salah satu prinsip yang harus dilaksanakan.
Dengan hukumlah hak warga negara dilindungi yang merupakan menifestasi kedaulatan rakyat
sebagai unsur penting dalam demokrasi. Namun, penegakan hukum masih belum sepenuhnya
tegak. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang masih tak menemui rasa keadilan.

14
Yayan Hidayat. Demokrasi dalam Badai Pandemi. (https://pinterpolitik.com/demokrasi-dalam-badai-
pandemi , diakses pada 8 November 2020, pukul 15.30)
12
Selain problem di atas, adanya pandemi Covid-19, menambah ancaman terhadap
demokrasi. Dengan alasan kedaruratan, ada potensi pemerintah akan mengabaikan suara-suara
dari publik. Tak hanya soal penanganan Covid-19, kebijakan-kebijakan lain juga semestinya
harus tetap mengikuti prosedur demokrasi yang baik. Pengesahan RUU Mineral dan Batu Bara
(Minerba) oleh DPR beberapa waktu lalu menimbulkan kritik dari kalangan masyaraat sipil.
Rancangan UU tersebut dianggap tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Selain itu,
pengesahan RUU dimasa pandemi Covid-19 juga dianggap memanfaatkan situasi dimana
masyarakat sedang fokus pada penyelesaian pandemi Covid-19 dan mengikuti arahan pemerintah
untuk tinggal di rumah.

Pandemi Covid-19 tentu saja menjadi pengalaman pertama Indonesia menghadapi wabah
yang sangat luas, dan mempengaruhi hampir seluruh sektor kehidupan. Namun demikian prinsip-
prinsip demokrasi tidak boleh diabaikan, agar jalannya pemerintahan tetap akuntabel.

Dalam situasi seperti ini, peran masyarakat sipil menjadi sangat penting. Pengawasan
terhadap jalannya kekuasaan pemerintahan perlu dilakukan dengan lebih optimal. Perlu
dirumuskan suatu mekanisme baru dalam melakukan pengawasan publik terhadap pemerintah
saat situasi pandemi Covid-19 ini. Protes secara konvensional, melalui aksi turun kejalan tentu
saja tidak dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Diskursus di dunia maya yang
selama ini dilakukan, harus dioptimalkan sehingga dapat menggerakkan banyak pihak, sehingga
pemerintah dapat dipaksa untuk mendengar dan mengikuti kepentingan publik15.

Pandemi Covid 19 telah membawa perubahan yang cukup signifikan bagi seluruh dunia
saat ini, tak terkecuali pada bidang politik, dan hal ini tentunya mempengaruhi berbagai aspek
penrting termasuk diantaranya adalah demokrasi yang ada di Indonesia. Belum selesai masalah
kesehatan yang menjadi poin penting pondasi bangsa dan masalah ekonomi yang juga semakin
mempersulit keadaan masyarakat saat ini. Masalah di bidang politik juga memuntut perhatian
yang tidak kalah penting. Hal ini tidak terlepas dari adanya rencana Pilkada langsung yang akan
diselenggarakan pada bulan Desember 2020 nanti.

15
AT. Erik Triadi. Ancaman Terhadap Demokrasi di Masa Pandemi Covid-19.
13
Banyak kalangan berpandangan pesimis dengan keadaan saat ini mengingat banyak yang
beranggapan bahwa kesehatan masyarakat dan masalah ekonomi jauh lebih penting bila
dibandingkan dengan acara pesta demokrasi yang diselenggarakan selama lima tahun sekali ini.
Namun disisi lain perlu dipahami bersama bahwa Pilkada 2020 yang akan diadakan pada bulan
desember mendatang juga merupakan amanat penting dari Undang-undang yang harus
dilaksanakan.

Makalah ini akan mencoba mengangkat seberapa penting sebenarnya penyelenggaraan


pemilu menghadapi Pilkada serentak 2020 di tengah Covid 19 dan New Normal, mengingat di
saat sekarang ini pemerintah sedang menghadapi gelombang besar yang sedang melanda seluruh
dunia yakni wabah Covid 19. Hal ini tentunya akan menjadi suatu hambatan besar bagi
keberlangsungan demokrasi kita kedepan nya, dengan tanpa menutup mata bahwa masalah
kesehatan yang menyangkut nyawa manusia juga merupakan hal yang menjadi prioritas utama di
masa pandemi saat ini.

B. Kedaulatan Rakyat Dan Kepemimpinan Di Tengah Wabah Covid 19

Ide dasar teori kedaulatan rakyat sangat sederhana, bahwa rakyatlah yang harus menjadi
sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Rakyat berkuasa independen atas dirinya
sendiri. Ini merupakan hak paling dasar apa bila kita bicara mengenai kedaulatan rakyat dengan
cara yang paling sederhana untuk menerjemahkan betapa kompleks nya bila kita berbicara
kedaulatan secara umum. Namun ditengah wabah Covid 19 di saat ini maka pemikiran mengenai
kedaulatan rakyat tersebut mungkin akan tidak tepat dikarenakan hak mereka terhadap diri
sendiri maka sedikit banyak nya akan mempengaruhi keadaan yang terjadi di sekitar mereka.

Maka dari itu pemikiran mengenai kedaulatan rakyat sesungguhnya mesti dipahami dari
berbagai sudut pandang, dengan adanya wabah Covid 19 menjadi sebuah ancaman besar
ditengah masyarakat, angka korban yang tidak kunjung menurun dan cenderung fluktuatif dari
hari kehari membuktikan bahwa, peran pemerintah dan kesadaran masyarakat masih sangat
kurang, untuk itu diperlukan peran serta dari semua pihak untuk menyadari betapa pentingnya
sebenarnya mematuhi protokol kesahatan yang telah dibuat oleh pemerintah, yang tertuang
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 9/2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka
Percepatan Penanganan Covid 19, PSBB meliputi pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam

14
suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid 19 termasuk pembatasan terhadap pergerakan orang
dan/atau barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu untuk mencegah penyebaran
Covid 19.

Seperti kita ketahui bahwa peran serta pemerintah belum maksimal dalam menangani
kesehatan rakyat namun disisi lain amanat Undang-undang juga perlu dijalankan seperti
melaksanakan Pemilu. UUD 1945 juga memberikan jaminan bahwa kekuasaan negara harus
dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak melanggar hak asasi manusia. Bahkan UUD 1945
membebankan kepada negara, terutama pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan
dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negara.

Dilaksanakan atau tidak nya Pilkada merupakan pilihan yang cukup sulit untuk
dilaksanakan dalam keadaaan seperti sekarang ini, karena keputusan yang harus diambil untuk
melaksanakan nya haruslah bijak dan benar. Terkait mekanisme pengambilan keputusan yang
melibatkan rakyat secara luas dan langsung, UUD 1945 telah memuat ketentuan tentang
pemilihan umum secara khusus. Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan rumusan
kedaulatan rakyat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dengan adanya perubahan
rumusan tentang kedaulatan, aliran mandat kedaulatan yang dimiliki rakyat dapat mengalir
langsung secara periodik kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan kepala pemerintahan
(presiden) melalui proses pemilihan umum yang langsung, umum bebas, dan rahasia.

Maka sebenarnya dalam hal ini pelaksanaan Pilkada sesungguhnya bukanlah sesuatu yang
mengancam kedaulatan rakyat, karena dari segi undang-undang pelaksananya sah dan secara
legal. Namun memang untuk itu perlu kehati-hatian dan waktu yang tepat untuk melaksanakan
nya karena ditakutkan bahwa mastyarakat tidak memahami bagaimana sesungguhnya
pengambilan keputusan yang mesti dijalankan, dan agar tidak terjadi salahnya pemahaman (miss
perception) ditengah masyarakat dan berakibat mencederai mental dan kondisi psikologis sosial
ditengah masyarakat sekarang ini.

Yang diperlukan saat ini adalah bagaimana kepemimpinan yang baik dari pemerintah
dengan tujuan agar kedaulatan rakyat tetap terjaga dan disisi lain kepentingan demokrasi kita
tetap bisa berjalan dengan baik. Karena dengan kepemimpinan yang baik maka keputusan yang
dihasilkan juga akan lebih mengedepankan kepentingan rakyat.

15
C. Pelaksanaan Pilkada Ditengah Covid

Menyambut pesta demokrasi Pilkada Serentak Tahun 2020, seyogyanya Pilkada serentak
dapat menjadi pintu masuk membangun demokrasi yang berkualitas. Pilkada yang demokratis
senantiasa diupayakan agar pelaksanaannya efektif, efisien dan menghasilkan pemimpin-
pemimpin di daerah yang representatif bagi kepentingan rakyat di daerah yang dipimpinnya.
Maka dari itu pelaksanaan Pilkada adalah suatu kepastian yang nantinya akan dilaksanakan.
Karena memang telah menjadi rencana pemerintah dan KPU dan lembaga lainya sejak lama.

Muncul pertanyaan lainya mengenai bagaimana pelaksanaan Pilkada ditengah Covid 19


dan New Normal, yaitu mengenai masalah pengawasan, jikalaupun Pilkada serentak memang
betul-betul terlaksana maka pertanyaan ini merupakan fase selanjutnya yang harus dijawab
pemerintah, bagaimanakah mengenai sistem pengawasan nya atau pun tata cara Apa yang
dipakai dilapangan ketika Pilkada nanti nya betul-betul dilaksanakan.

Dalam hal ini pemerintah sepertinya telah meyiapkan skema tersendiri apabila Pilkada tersebut
memang betul dilaksanakan ditengah wabah Covid 19 saat ini

PKPU PILKADA DI TENGAH PANDEMI (LANJUTAN)

 Mengatur protokol kesehatan di setiap tahapan (bukan hanya pungut & hitung suara).
 Mengatur protokol kesehatan bagi setiap stakeholder: penyelenggara, pemilih & peserta.
 Dilakukan beberapa penyesuaian, sepanjang tidak melanggar UU, misalnya:
 Jumlah pemilih TPS dikurangi dari ≥ 800 menjadi ≥ 500.
 Pengaturan ulang metode dan jumlah peserta kampanye

KESIAPAN SDM

 PPK dan PPS siap diaktifkan kembali pada 15 Juni 2020.


 Proses bimtek (terkait pelaksanaan tahapan maupun protokol kesehatan) akan dilaksanakan
sesuai dengan protokol kesehatan.
 Proses dan syarat-syarat rekrutmen KPPS akan disesuaikan dengan rekomendasi Gugus Tugas
& lembaga lain: persyaratan kesehatan, penyakit penyerta, usia maksimal, dsb.

KESIAPAN ANGGARAN
16
 Anggaran yang dimiliki KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota belum ada alokasi untuk
memenuhi protokol kesehatan.
 KPU mengajukan usulan anggaran tambahan. Terutama untuk KPU Provinsi dan KPU
Kab/Kota yang menyelenggarakan Pilkada.
 Alokasi: pembelian APD dan akibat berbagai penyesuaian (mengurangi jumlah pemilih per
TPS = jumlah TPS bertambah = biaya naik).
 Sumber anggaran tambahan: APBD dan APBN.13

Dari hal tersebut bisa kita lihat meskipun mungkin nantinya akan terjadi banyak kendala
namun sebenarnya pemerintah telah bersiap sedia dengan berbagai perrsiapan yang diharapkan
menjadi jalan bagi sukses nya Pilkada yang akan dilksankan nanti. Mungkin hal ini belum dapat
menjadi patokan, namun bisa kita lihat betapa serius nya pemerintah mempersiapkan aturan dan
juga mekanisme dilapangan yang nanti nya akan diterapkan.

Jika memang Pilkada tersebut diaksanakan maka memang haruslah ditinjau ulang baik
secara politis ataupun hukum apakah pelaksanaanya sesuai dan sama selkali tidak melanngar
undang-undang ataupun hukum, karena apabila kebijakan tersebut melanggar ketentuan undang
–undang ataupun hukum maka pelaksanaan Pilkada nantinya bisa dibatalkan dan bisa dituntut
secara hukum karena pastinya akan membahayakan bagi kepentingan rakyat banyak.

Pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 harus menjamin keselamatan pemilih,


peserta pemilihan, dan petugas-penyeleggara; jaminan konstitusionalitas terhadap hak pilih (hak
memilih maupun hak dipilih), kerangka hukum yang baik dan terukur; sarana/prasarana cukup
dan tepat waktu; dan atmosfir politik yang kondusif, sehingga pelaksaanan pemilu dapat
memenuhi tujuan hukum berupa berkepastian hukum, berkeadilan, dan berkemanfaatan. 16

16
Wahyu wiji utomo m.pem.i 2020. Kebijakan penyelenggaran pilkada (menghadapi pilkada 2020 ditengah covid
19 dan new normal)

17
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pandemi Covid-19 tidak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga berpotensi
membahayakan demokrasi. Ini dikarenakan ada kebijakan “luar biasa” yang diambil negara
dalam krisis yang berpotensi melanggar norma-norma demokrasi. Pandemokrasi kemudia
muncul sebgaai istilah untuk menggambarkan kemunduran demokrasi ditengah wabah virus.
Pemerintah telah memiliki skema sendiri mengenai bagaimana sistem pengawasan nya
atau pun tata cara Apa yang dipakai dilapangan ketika Pilkada nanti nya betul-betul
dilaksanakan, yaitu:
 Mengatur protokol kesehatan di setiap tahapan (bukan hanya pungut & hitung suara).
 Mengatur protokol kesehatan bagi setiap stakeholder: penyelenggara, pemilih & peserta.
 Dilakukan beberapa penyesuaian, sepanjang tidak melanggar UU, misalnya:
 Jumlah pemilih TPS dikurangi dari ≥ 800 menjadi ≥ 500.
 Pengaturan ulang metode dan jumlah peserta kampanye
 PPK dan PPS siap diaktifkan kembali pada 15 Juni 2020.
 Proses bimtek (terkait pelaksanaan tahapan maupun protokol kesehatan) akan
dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan.
 Proses dan syarat-syarat rekrutmen KPPS akan disesuaikan dengan rekomendasi Gugus
Tugas & lembaga lain: persyaratan kesehatan, penyakit penyerta, usia maksimal, dsb.
 Anggaran yang dimiliki KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota belum ada alokasi untuk
memenuhi protokol kesehatan.
 KPU mengajukan usulan anggaran tambahan. Terutama untuk KPU Provinsi dan KPU
Kab/Kota yang menyelenggarakan Pilkada.
 Alokasi: pembelian APD dan akibat berbagai penyesuaian (mengurangi jumlah pemilih
per TPS = jumlah TPS bertambah = biaya naik).
18
 Sumber anggaran tambahan: APBD dan APBN.13

B. SARAN
Adapun saran yang diberikan yaitu pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi Covid-19
harus menjamin keselamatan pemilih, peserta pemilihan, dan petugas-penyeleggara; jaminan
konstitusionalitas terhadap hak pilih (hak memilih maupun hak dipilih), kerangka hukum yang
baik dan terukur; sarana/prasarana cukup dan tepat waktu; dan atmosfir politik yang kondusif.

DAFTAR PUSTAKA

AT. Erik Triadi. Ancaman Terhadap Demokrasi di Masa Pandemi Covid-19.

Kholis, N. (2020, September 16). Pilkada Serentak 2020: Antara Demokrasi dan Kesehatan
Publik . Pusat Penelitiann Politik , pp. http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-
2/politik-sains-kebijakan/1417-pilkada-serentak-2020-antara-demokrasi-dan-kesehatan-
publik.

Noor, F. (2020, Mei 12). Demokrasi Indonesia dan Arah Perkembangannya di Masa Pandemi
COVID-19 . Pusat Penelitian Politik , pp. http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-
2/politik-nasional/1394-demokrasi-indonesia-dan-arah-perkembangannya-di-masa-
pandemi-covid-19.

Syarif Hidayat. Covid-19 dan Tantangan Demokrasi di Indonesia.


(https://m.mediaindonesia.com/read/detail/305874-covid-19-dan-tantangan-demokrasi-di-
indonesia, diakses 8 November 2020, pukul 15.00)

Wahyu wiji utomo m.pem.i 2020. Kebijakan penyelenggaran pilkada (menghadapi pilkada 2020
ditengah covid 19 dan new normal)

Yayan Hidayat. Demokrasi dalam Badai Pandemi. (https://pinterpolitik.com/demokrasi-dalam-


badai-pandemi , diakses pada 8 November 2020, pukul 15.30)

Situs
https://fin.co.id/2020/05/22/menjalankan-demokrasi-di-tengah-pandemi-covid-19/

19
https://aipi.or.id/frontend/opinion/detail/57544e574f414939

https://www.rmoljatim.id/2020/10/15/pandemi-covid-19-dan-kegagalan-sistem-demokrasi

https://nasional.kompas.com/read/2020/03/30/11163581/covid-19-di-lorong-hukum-dan-
demokrasi?page=all

https://lombokpost.jawapos.com/opini/26/06/2020/pilkada-di-tengah-pandemi-demokrasi-tak-
boleh-mati

20

Anda mungkin juga menyukai