Anda di halaman 1dari 22

KESETARAAN GENDER

IMPLEMENTASI KESETARAAN GENDER DI INDONESIA DAN


MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT AKAN PENTINGNYA
KESETARAAN GENDER

Disusun oleh
Kelompok 4

1. Nama : Fanny Dwi Maulidya


NPM : 120310200026
Program Studi : Manajemen

2. Nama : Hanif Musyaffa


NPM : 170210200076
Program Studi : Hubungan Internasional

3. Nama : Muhammad Ammar Khadafi Gumay


NPM : 110110200311
Program Studi : Hukum

4. Nama : Raden Faqih Hilmiy Ghifari


NPM : 150510200117
Program Studi : Agroteknologi

5. Nama : Ririn Ariana


NPM : 210610200034
Program Studi : Jurnalistik

UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020

i
DAFTAR ISI

SAMPUL.................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................. 4
2.1 Gerakan Feminisme di Timur Tengah ...................................................... 4
2.2 Kesetaraan Gender di Amerika ................................................................ 6
BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................... 8
3.1 Kesenjangan Gender ................................................................................. 8
3.2 Solusi Kesenjangan Gender .................................................................... 11
3.3 Program untuk Kesetaraan Gender ......................................................... 11
3.4 Data Statistik Kesetaraan dan Keadilan Gender di Indonesia ................ 12
3.5 Kondisi ketimpangan Gender Indonesia ................................................ 16
BAB IV KESIMPULAN....................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Aspek Ketimpangan Gender ............................................................. 13

Gambar 3.2 GII UNDP Tahun 2000-2017 ............................................................ 14

Gambar 3.3 GII Negara Asean Tahun 2017.......................................................... 14

Gambar 3.4 Komponen GII di Negara ASEAN Tahun 2017 ............................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skor kesenjangan gender di Indonesia menurut laporan
World Economic Forum (WEF) tahun 2020 tergolong rendah yaitu berada di
angka 68,6 persen. Skor ini menempatkan Indonesia di peringkat 85 dari seluruh
negara (Novita, 2020). Adapun indikator penilaian kesenjangan gender ini terdiri
dari pemberdayaan politik, partisipasi ekonomi, kesehatan, dan kesempatan
memperoleh pendidikan.
Meskipun pada indikator kesehatan dan kesempatan memperoleh pendidikan
Indonesia mendapat angka yang cukup besar yaitu 96% dan 97%, skor di dua
indikator lainnya masih sangat rendah. Skor partisipasi ekonomi perempuan di
Indonesia berada di angka 58% dan pemberdayaan politik sebesar 25% (Wahyuni,
2019).
Selain itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa di dunia
kerja masih terdapat kesenjangan upah yang cukup besar antara pekerja laki-laki
dan perempuan. Terhitung sejak tahun 2015 sampai 2019, selisih upah antara
pekerja laki-laki dan perempuan adalah sebesar Rp492.200,00 dengan pekerja
laki-laki yang mendapatkan upah lebih besar (Jayani & Yudhistira, 2019).
Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk memperbaiki
kesenjangan gender ini terutama dalam bidang politik. Pemilu legislatif di
Indonesia tahun 2019 menunjukkan partisipasi perempuan hanya sejumlah
20,87%. Pada kabinet Indonesia Maju hanya ada lima menteri perempuan dari 34
menteri yang ada. Angka tersebut menunjukkan bahwa jumlah menteri perempuan
hanya 14,7% saja (Wahyuni, 2019).
Hal-hal ini dapat terjadi karena pola pikir masyarakat yang tertuang dalam
norma gender. Laki-laki dianggap lebih kuat, lebih mampu, dan lebih rasional
dalam menyelesaikan masalah sedangkan perempuan dianggap lemah dan
emosional. Beban kerja yang diberikan untuk laki-laki dan perempuan saat ini
sudah seimbang, tetapi perusahaan masih menolak untuk memberikan upah yang

1
setara dan jenjang karir yang sama dengan alasan bahwa perempuan setelah
menikah akan hamil dan mempunyai anak.
Diskriminasi gender tersebut menyulitkan perempuan karena akses untuk
mendapatkan pekerjaan banyak dibatasi untuk laki-laki saja. Selain itu, pekerjaan
rumah tangga dianggap hanya menjadi tugas perempuan. Perempuan sering
dibungkam ketika berpendapat karena dianggap tidak mampu mengambil
keputusan yang rasional. Bahkan di atas semua itu, perempuan masih menjadi
korban kekerasan fisik dan seksual.
Pada bulan Maret 2020, komnas perempuan melaporkan kasus kekerasan
terhadap perempuan di Indonesia mencapai 431.471 kasus. Data ini menunjukkan
dalam 12 tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus sebesar 792% atau sebesar
delapan kali lipat. Selain itu, kasus kekerasan terhadap anak perempuan mencapai
2.341 kasus yang meningkat sebesar 65% dibanding tahun sebelumnya. Di antara
kasus tersebut, 571 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual dan perilaku
inses. Bahkan kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas meningkat 47%
dari tahun sebelumnya (KomnasPerempuan, 2020).
Meskipun mengalami diskriminasi yang demikian besar, perempuan tetap
disalahkan dalam setiap kasus kekerasan terutama kekerasan seksual. Perempuan
yang menjadi penyintas kasus kekerasan seksual dianggap kotor dan tidak mampu
menjaga diri sendiri. Masyarakat kerap kali menyalahkan pakaian korban,
menanyakan waktu kejadian untuk memastikan bahwa perempuan tersebut bukan
perempuan baik-baik yang keluar di malam hari, bahkan menyalahkan perempuan
karena tidak mampu melawan. Sedangkan pelaku kekerasan seksual mendapatkan
kecaman yang lebih sedikit dan dianggap wajar melakukan hal tersebut karena
laki-laki memiliki nafsu birahi yang lebih besar dari wanita. Pola pikir seperti ini
memperparah keadaan kesetaraan gender di Indonesia.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengubah pola pikir masyarakat tentang norma gender?

2. Bagaimana cara meningkatkan indeks kesetaraan gender di Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender.

2. Meningkatkan indeks kesetaraan gender di Indonesia.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Jika berbicara mengenai persamaan hak. Maka hal ini tidak akan jauh dari isu
mengenai persamaan atau kesetaraan gender. Kesetaraan gender antara perempuan
dan laki-laki merupakan isu global yang ramai dikaji serta dibahas dalam era
kontemporer. Munculnya isu ini dipengaruhi pergeseran paham konservatif dalam
masyarakat sosial dan munculnya tindakan yang mempertanyakan sistem
hegemoni maskulinitas, sehingga terjadilah suatu era progresif yang mendorong
adanya keinginan masyarakat sosial untuk memunculkan istilah kesetaraan
gender.1
Isu global ini akan terus berkembang seiring perkembangan zaman, karena
sejatinya substansi dari pengangkatan kesetaraan gender adalah bagaimana kita
mengubah sudut pandang terhadap suatu fenomena, oleh karena itu akan selalu
menarik jika kita mengkaji hal ini, ditambah lagi isu kesetaraan gender memiliki
perspektif yang sangat luas. Beberapa fenomena di dunia internasional menarik
untuk dibahas, dan dengan melihat fenomena ini dari dunia internasional akan
membuat kita memiliki lebih banyak pemahaman terhadap apa yang terjadi di
lapangan.
2.1 Gerakan Feminisme di Timur Tengah
Budaya patriarki yang sudah mengakar di masyarakat timur tengah menjadi
alasan pergerakan kaum wanita disana untuk memiliki kesamaan hak dengan
kaum laki-laki, berbeda dengan gerakan feminisme kaum barat yang memiliki
keinginan kuat untuk dipandang sama dalam segala aspek seperti politik,
ekonomi, jabatan dan posisi penting laiinya. Pergerakan kaum feminis di ditimur
tengah lebih mejurus kepada keinginan wanita untuk bisa hidup secara lebih
mandiri dan mendapat kesempatan agar memiliki mobiitas dalam kehidupan
sehari-hari, seprti akses pendidikan yang sama dengan kaum peria, izin
mengemudi, dan aktivitas bermasyaraakat lainya.

1
Rebecca Walker, Becoming the Third Wave, 1992, hal 39-41.

4
Seiring perkembangan zaman pengaruh barat secara politik maupun
kehidupan bersosial mulai mempengaruhi negara-negara di timur tengah, hal ini
pun cukup berdampak kepada pergerakan wanita modern tanpa bermaksud untuk
menyampingkan akidah keagamaan yang menjadi landasan dasar negara mereka.
Wacana tentang wanita mulai menguak ke permukaan setelah munculnya
keberanian kalangan terpelajar Muslim dalam memberikan komentar melalui
berbagai macam tulisan dan artikel yang mereka lontarkan dalam berbagai media
massa. Sejak semula, wacana tentang status kaum wanita dan perlakuan terhadap
mereka berjalin berkelindan dengan isu-isu politik, ekonomi, budaya, dan
pendidikan. Diskursus tentang wanita yang terkait erat dengan reformasi sosial
senantiasa dibayang-bayangi oleh kemajuan Eropa dan Barat pada umumnya,
serta gagasan mengenai pentingnya bagi komunitas Muslim ikut dalam persaingan
untuk meraih kemajuan seperti mereka.
2
Perjuangan untuk menghilangkan hambatan kesetaraan hak-hak perempuan,
maka para aktivis perempuan memanifestasikan dirinya dalam berbagai kampanye
untuk mengubah hukum yang ada agar mencerminkan dan memperjuangkan
kesetaraan gender. Pendekatan hak-hak perempuan merupakan bentuk utama dari
aktivis perempuan Timur Tengah kontemporer.
Pembahasan tentang feminisme mulai berkembang sejak Hifni Malak Nassef
menerbitkan tulisan di Al-Jarîda, sebuah majalah yang cukup kritis dalam
menganalisi persoalan wanita. Kematian Nassef yang begitu cepat dan
keberhasilan politik dan organisasi Hudâ Sya’rawî dalam Egyptian Feminist
Union (EFU) boleh jadi menjadi faktor bagi gencarnya isu feminisme Barat yang
tak terbendung dalam konteks feminisme Muslim pada awal abad dua puluh.
Hudâ Sya’râwî melalui EFU-nya terus berupaya mendesak pemerintah Mesir
agar kaum wanita sebanyak mungkin dapat meneruskan belajar di perguruan
tinggi. Pada saat isu Palestina memuncak di tahun 1930-an, Hudâ Sya’râwî
mengundang sejumlah wanita Arab untuk menghadiri sebuah konferensi yang ia
sebut sebagai Eastern Feminist Conference yang bertujuan membela kepentingan
Palestina. Konferensi ini diselenggarakan di Kairo dengan dihadiri oleh para

2
Sugeng Sugiyono, “Feminisme Di Dunia Muslim: Menguak Akar Perdebatan Antara Paham
Konservatif Dan Reformis”, 2013, hlm 105

5
utusan dari tujuh negara Arab. Mereka berhasihl mengeluarkan sebuah revolusi
untuk mendukung gerakan dan perjuangan orang-orang Palestina, disamping
gerakan pengumpulan dana untuk mereka. Pada tahun 1944, konferensi wanita
Arab yang kedua diselenggarakan dan berhasil mendirikan Arab Feminist Union
dengan Huda Sya’rawi sebagai ketuanya.
Pergerakan wanita di berbagai negara di timur tengah terheterogen untuk
berbagai kepentingan kelompok dan organisasi yang berbeda masalah. Namun
pada saat - saat tertentu masalah spsifik tampaknya muncul lebih banyak dari
yang lain, dan mungkin merupakan titik fokus di mana perempuan berkumpul dan
beraktivitas. Berbagai kelompok ini juga mendukung para kandidat wanita dalam
kampanye pemilu mereka dan berupaya meningkatkan jumlah suara selama
pemilu. Isu-isu lain yang telah berada di garis depan kelompok-kelompok wanita
disebut adalah kejahatan kehormatan yang menjadi berita utama di media
internasional dan semakin banyak dimuat dalam forum oleh para aktivis hak asasi
manusia dan wanita, selain itu organisasi perempuan juga terlibat dalam
pengentasan kemiskinan dan buta huruf, serta peningkatan kesadaran terkait
beberapa isu seperti kesehatan, pendidikan, masalah hukum, ekonomi dan politik.
2.2 Kesetaraan Gender di Amerika
Serupa dengan negara-negara lainnya, Amerika pun tidak luput dari
kesenjangan gender. Ketimpangan posisi antara perempuan dan laki-laki di negara
tersebut menyebabkan lahirnya gerakan feminisme. Gerakan feminisme sejatinya
adalah usaha untuk memperbaiki kedudukan perempuan agar setara dengan laki-
laki. Di Amerika terdapat beberapa jenis gerakan feminisme seperti feminisme
liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, feminisme sosialis, ekofeminisme,
dan feminis pascastukturalisme (Meiliana, 2019). Gerakan-gerakan tersebut dibagi
menurut penyebab kesenjangan gender yang terjadi, seperti tidak ada kesempatan
kerja yang sama, perempuan sebagai pengurus rumah tangga, eksploitasi kelas,
perempuan sebagai hak milik laki-laki, dominasi laki-laki dalam setiap bidang
kehidupan, dan kesenjangan pendidikan.
Diskriminasi gender terdapat di seluruh dunia dan terjadi dalam semua aspek
kehidupan. Di seluruh negara, kesenjangan gender terjadi dengan sifat dan
tingkatan diskriminasi yang berbeda-beda. kesenjangan gender tidak hanya

6
merugikan perempuan, tetapi juga merugikan seluruh orang karena sumber daya
yang dikelola di suatu negara menjadi tidak maksimal (Bappenas, Tujuan 5:
Kesetaraan Gender, 2020). Kesetaraan gender dapat memperkuat ekonomi negara,
kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan
memaksimalkan potensi pemerintah. Hal ini dapat terjadi karena potensi
perempuan digunakan seluruhnya untuk membangun negara. Oleh karena itu,
kesetaraan gender menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan atau yang dikenal
dengan Sustainable Development Goals (SDGs).

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kesenjangan Gender


Gender adalah segala sesuatu terkait laki-laki dan perempuan yang merujuk
pada sifat maskulin dan feminim tanpa sesuatu yang sepenuhnya bersifat biologis.
Perbedaan gender seringkali dianggap sebagai kodrat yang pada akhirnya
menjadikan seorang perempuan dianggap lebih rendah dibandingkan dengan laki-
laki. Pandangan ini menyebabkan adanya diskriminasi di masyarakat yang
menganut sistem patriarki.
Di Indonesia, penduduk perempuan memiliki jumlah yang lebih banyak
dibandingkan dengan penduduk laki-laki, namun sebagian perempuan ini seolah
tidak terlihat. Jumlah perempuan yang menduduki jabatan baik di pemerintah
maupun swasta tak sebanding dengan jumlah laki-laki yang menjabat. Perbedaan
jumlah itu terlihat jelas meskipun sudah ada perempuan yang menjadi presiden,
menteri, ataupun duta besar. Masih banyak anggapan bahwa seorang perempuan
harus terus berada di belakang laki-laki, dalam keluarga misalnya, perempuan
yang harus menuruti semua perintah suami, yang harus bisa segala hal untuk
melayani suami, seolah perempuan itu memiliki citra sebagai sosok yang penurut,
lemah lembut, tidak membantah, dan tidak boleh melebihi laki-laki. Tak sedikit
bahkan seorang perempuan yang sukses akan sulit mendapatkan pasangan karena
laki-laki merasa kalau perempuan itu telah melebihi batasnya, padahal setiap
perempuan memiliki hak untuk mengembangkan dirinya sendiri.
1. Pendidikan
Diskriminasi perempuan dalam hal pendidikan di era modern ini rupanya
masih banyak dilakukan oleh masyarakat, khususnya oleh masyarakat yang
kurang mampu. Masih banyak kasus dimana anak perempuan usia sekolah yang
tidak mendapat pendidikan layak dan dianggap menjadi lulusan menengah atas
saja sudah cukup lantas anak perempuan ini dinikahkan. Sedangkan, kebanyakan
orang akan memperjuangkan pendidikan untuk anak laki-lakinya dengan
anggapan bahwa seorang lelaki harus berpendidikan tinggi dan memiliki
pekerjaan yang bagus untuk kehidupannya kelak. Padahal, setiap anak, baik laki-

8
laki ataupun perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang layak sebagaimana tertera dalam UU pasal 60 ayat (10) yang menyatakan
bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya.
Dalam buku-buku pelajaran, seringkali terdapat pembahasan yang
menyatakan profesi seperti pilot, pemimpin perusahaan, atau yang berperan dalam
hal kenegaraan digambarkan dengan seorang laki-laki karena dianggap hal-hal itu
merupakan sesuatu yang mengutamakan maskulinitas dan profesi guru yang
digambarkan dengan sosok perempuan sebagai ciri dari sifat mengasuh ataupun
mendidik.
Seorang perempuan yang memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan
pendidikan setinggi mungkin seringkali mendapat komentar bahwa seharusnya
tidak usah sekolah tinggi-tinggi karena nantinya hanya akan diam di rumah atau
nanti akan sulit mendapat pasangan. Padahal, seorang perempuan membutuhkan
pendidikan yang tinggi untuk memberikan pengajaran kepada anaknya kelak pun
juga sangat penting ketika nantinya ekonomi melemah dan perempuan diharuskan
bekerja. Tanpa pendidikan, seorang perempuan akan sulit mendapat pekerjaan.
2. Pekerjaan
Rendahnya tingkat pendidikan perempuan menjadikan kesenjangan upah
dalam pekerjaan pun semakin jelas. Selain dalam hal upah, sebenarnya masih
terdapat penggolongan pekerjaan sesuai gender di dalam masyarakat yang dalam
peranannya, seorang perempuan seharusnya mengurus segala hal rumah tangga
dan masalah pekerjaan biar menjadi tanggung jawab pihak laki-laki. Namun,
masih ditemukan kasus bahwa seorang perempuan mendapatkan upah yang lebih
rendah dibandingkan laki-laki padahal memiliki tingkat pendidikan yang sama.
3. Status sosial
Banyak orang masih menganggap remeh tentang kesetaraan gender di
lingkungan sosial, seperti lingkungan rumah tangga. Saat ini, banyak orang
beranggapan bahwa jika wanita sudah menikah, mereka tidak perlu bekerja, dan
justru dijadikan “alat” untuk mengurus beberapa urusan dalam rumah tangga,
seperti mengasuh anak, mencuci baju, memasak, menyetrika, membersihkan

9
rumah, dan masih banyak lagi. Padahal, seluruh pekerjaan tersebut bukan hanya
tanggung jawab istri, tetapi tanggung jawab pasangan rumah tangga tersebut.
Banyak orang masih menganggap remeh ketidaksetaraan di rumah tangga ini,
padahal seorang ibu rumah tangga masih memiliki hak yang mereka ingin lakukan
dan tidak melaksanakan pekerjaan rumah dengan terpaksa. Banyak wanita
mengeluhkan karena tidak boleh bekerja, padahal mereka bisa didukung oleh
suami untuk melakukan bisnis di rumah. Anak pun butuh kedekatan dan juga
kasih sayang dari seorang ayah. Oleh karena itu, ayah pun harus mengambil peran
yang besar dalam mengasuh anak. Kondisi mental maupun fisik dari ibu rumah
tangga juga patut diperhatikan, Jika istri ditekan untuk diam di rumah dan
melakukan pekerjaan yang sama dan berat secara terus menerus, fisik mereka
akan melemah, kondisi mental tidak stabil yang bisa memicu depresi bahkan
bunuh diri ataupun perceraian.
Contoh lain dari ketidak setaraan gender di lingkungan sosial adalah
sedikitnya wanita yang menjadi ketua suatu organisasi, rukun tetangga ataupun
warga, dan lingkup terkecil adalah ketua kelompok. Masih banyak orang
beranggapan bahwa wanita tidak bisa memegang kendali atas suatu kelompok,
dan dianggap tidak berkompeten, dan tidak tegas. Ini bisa disebabkan oleh
stereotipe yang berkata bahwa wanita identik dengan lemah lembut dan kasih
sayang. Padahal, banyak wanita yang berkompeten dan juga bertanggung jawab
untuk memimpin ataupun mengelola suatu kelompok. Tetapi banyaknya
penolakan dan respon juga pandangan negatif, membuat hanya sedikit wanita
yang tetap berani mengambil jabatan ataupun tanggung jawab tersebut.

10
3.2 Solusi Kesenjangan Gender
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2018)
dalam situs resminya menyatakan solusi-solusi untuk mendapatkan kesetaraan
gender di Indonesia yaitu sebagai berikut.
1. Perlibatan laki-laki dalam perempuan (He for She)
Gerakan ini adalah usaha untuk mengubah paradigma dan pola pikir
masyarakat secara masif terhadap kedudukan perempuan. Dalam kampanye ini,
laki-laki diminta melakukan partisipasi aktif sebagai orang yang mendukung
kesetaraan gender. Fokus dalam He for She adalah meningkatkan partisipasi
perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan, penurunan angka kematian
ibu saat melahirkan, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
2. Sinergi seluruh unsur masyarakat
Karena cakupan kesetaraan gender sangat luas, masyarakat harus bahu-
membahu untuk mewujudkan keadaan ini. Selain kebijakan dari pemerintah dan
kesadaran masyarakat, akademisi juga sangat dibutuhkan untuk penunjang
kesetaraan gender. Mulai dari guru sampai dengan dosen dapat menanamkan nilai,
norma, ideologi, dan karakter bangsa yang mendukung kesetaraan gender
terhadap peserta didiknya (Kemenpppa, 2018). Dengan adanya penanaman nilai
ini, diharapkan peserta didik akan terbiasa membawa pengetahuan, sikap, dan
perilaku yang diajarkan semasa belajar sehingga mendukung terjadinya kesetaraan
gender.
3.3 Program untuk Kesetaraan Gender
1. Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan
Kemiskinan)
Program ini merupakan kemitraan Indonesia-Australia yang berdiri sejak
tahun 2013. MAMPU ditujukan pada perempuan miskin di Indonesia. Tujuan
program ini adalah meningkatkan akses terhadap program perlindungan sosial
Pemerintah Indonesia, meningkatkan kondisi pekerjaan dan penghapusan
diskriminasi di tempat kerja, meningkatkan kondisi buruh perempuan untuk
migrasi ke luar negeri, meningkatkan status kesehatan dan gizi perempuan, dan
mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Program ini telah berhasil
meningkatkan partisipasi anggotanya dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat

11
pemerintah. Sebagai contohnya, di Jawa Tengah, pemerintah menandatangani
nota kesepahaman (MoU) untuk implementasi gabungan penanganan kekerasan
terhadap perempuan dengan memperhitungkan masukan dari mitra MAMPU
(Bappenas, 2017).
2. WAVES - Weaving Leadership for Gender Equality Program (Merajut
Kepemimpinan untuk Program Kesetaraan Gender)
Program ini akan berlangsung selama tiga tahun (2019-2022) di tujuh negara
yaitu Thailand, Myanmar, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Indonesia. Tujuan dari
program ini adalah melengkapi pemimpin di Asia Pasifik dengan pengetahuan dan
kapasitas dalam memahami, merancang, dan mengimplementasikan nilai-nilai
kesetaraan gender, membangun keterampilan kepemimpinan perempuan dan laki-
laki sebagai sekutu untuk mendukung kesetaraan gender, dan mengintegrasi
kesetaraan gender kedalam kebijakan, investasi, dan aksi. Oleh karena itu, dipilih
perwakilan negara untuk melaksanakan pelatihan dan membuat program kerja
selama tiga tahun ke depan untuk meningkatkan angka kesetaraan gender di
negara masing-masing.
3.4 Data Statistik Kesetaraan dan Keadilan Gender di Indonesia
Dalam pengimplementasian konsep kesetaraan gender di Indonesia, Badan
Pusat Statistik (BPS) mengumpulkan dan menghitung data-data mengenai Indeks
Ketimpangan Gender (IKG) yang ada di Indonesia. penghitungan Indeks
Ketimpangan Gender ini menggunakan rumus yang sedemikian rupa dengan
memperhatikan aspek seperti berikut.

12
Gambar 3.1 Aspek Ketimpangan Gender

UNDP menghitung Gender Inequality Index (GII) pada tataran global. Dalam
bukunya yang berjudul Human Development Report 2018 Statistical Update,
negara dengan ketimpangan gender terendah di dunia tahun 2017 adalah Swiss
dengan GII sebesar 0,039. Sementara itu, Indonesia memiliki GII sebesar 0,453.
Dengan pencapaian ini, pada tahun 2017 Indonesia berada di peringkat 104 dunia
(160 negara).
Tingkat ketimpangan gender Indonesia selama periode 2000-2017 terus
mengalami penurunan (Gambar 3.1). Hal tersebut mengindikasikan bahwa
kesetaraan gender di Indonesia semakin membaik. Pada tahun 2000 indeks
ketimpangan gender Indonesia sebesar 0,563 semakin mengecil hingga menjadi
0,453 di tahun 2017.

13
Gambar 3.2 GII UNDP Tahun 2000-2017

Gambar 3.3 GII Negara ASEAN Tahun 2017

Jika dibandingakan dengan negara-negara ASEAN, posisi Indonesia termasuk


tinggi dan masih di atas rata-rata dunia. (Gambar 3.2). Perlu adanya usaha ekstra
yang harus dilakukan pemerintah melalui berbagai kebijakan dari sisi kesehatan,
pemberdayaan, dan akses dalam pasar tenaga kerja untuk mengejar ketertinggalan
tersebut. Dapat juga dibantu dengan adanya penanaman karakter mengenai
kesetaraan gender agar angka itu dapat semakin menurun.
Dilihat dari gambar di atas, negara maju cenderung memiliki angka
ketimpangan gender yang lebih rendah. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi penentu
tingkat ketimpangan gender, karena hal ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti

14
karakter individu dan kebijakan pemerintah yang adil bagi perempuan maupun
laki-laki.
Untuk melihat perbandingan pencapaian ketimpangan gender secara lebih
mendalam, dapat dilihat dari masing-masing komponen penyusun GII yaitu
kesehatan reproduksi yang digambarkan indikator Angka Kematian Ibu/ Maternal
Mortality Rate (MMR) dan Tingkat Fertilitas Remaja/Adolescence Birth Rate
(ABR); pemberdayaan yang digambarkan indikator persentase penduduk yang
duduk di parlemen dan persentase penduduk 25 tahun ke atas dengan pendidikan
minimal SMP menurut jenis kelamin; serta partisipasi ekonomi yang digambarkan
TPAK menurut jenis kelamin.
Pencapaian masing-masing komponen yang setara antargender akan
berdampak pada angka GII yang semakin kecil. Pada tingkat ASEAN di tahun
2017, Singapura merupakan negara dengan pencapaian kesehatan reproduksi yang
bagus, ditunjukkan dengan rendahnya MMR (10) dan ABR (3,7). Indikator
keterwakilan perempuan di parlemen tertinggi di Filipina (29,1 persen) dan
persentase penduduk 25 tahun ke atas dengan pendidikan minimal SMP tertinggi
di Malaysia (perempuan 78,9 persen dan laki-laki 81,3 persen). Sementara,
indikator TPAK tertinggi berada di Kamboja (perempuan 80,9 persen dan laki-
laki 88,7 persen).

Gambar 3.4 Komponen GII di Negara ASEAN Tahun 2017

15
3.5 Kondisi ketimpangan Gender Indonesia
Kesetaraan gender dimaknai sebagai keadaan dimana perempuan dan laki-
laki memiliki kondisi yang setara untuk dapat meralisasikan haknya secara penuh
sebagai manusia dan untuk dapat memberikan kontribusi, serta memperoleh
manfaat dari pembangunan. Oleh sebab itulah kesetaraan gender menjadi bagian
dari target pembangunan bagi negara-negara yang mengalami disparitas
pembangunan yang tinggi seperti Indonesia. Ketimpangan pembangunan
antarkelompok jenis kelamin mengakibatkan pembangunan tidak dapat mencapai
potensinya yang optimal. Kondisi yang ideal dalam pembangunan manusia yang
diharapkan adalah kelompok penduduk laki-laki dan perempuan memiliki akses
yang sama untuk berperan dalam pembangunan, memegang kendali atas sumber
daya pembangunan yang ada, serta menerima manfaat dari pembangunan yang
setara dan adil.
Dengan adanya kesetaraan gender, perempuan dan laki-laki dapat bersaing
secara adil dan diharapkan dapat menghapuskan stereotip mengenai masing-
masing gender. Hal ini juga dapat mempermudah laju ekonomi dan dapat
membawa Indonesia menjadi negara maju, karena semua sumber daya manusia
baik perempuan maupun laki-laki mampu mengemban pekerjaan karena sudah
diberikan pelatihan.

16
BAB IV
KESIMPULAN

Kesetaraan gender masih perlu diperjuangkan bahkan menjadi tujuan 13 pada


pembangunan berkelanjutan atau yang dikenal dengan Sustainable Development
Goals (SDGs). Hal ini disebabkan diskriminasi gender masih dirasakan dalam
setiap bidang kehidupan di seluruh dunia. Meskipun angka kesetaraan gender di
Indonesia sudah membaik, realita yang terjadi di lapangan sangat berbeda. Hal ini
terbukti dengan tekanan dan kekerasan yang dialami oleh perempuan baik dalam
lingkungan kerja maupun di dalam rumah. Selain membutuhkan kebijakan dari
pemerintah, peran dan sinergi seluruh anggota masyarakat sangat dibutuhkan
untuk tercapainya kesetaraan gender terutama dalam mengubah pola pikir
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan oleh tenaga pendidik dengan cara
menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender kepada seluruh peserta didiknya.
Kesetaraan gender perlu dilakukan karena perempuan memilki hak asasi yang
sama dengan laki-laki. Selain itu, gender tidak menentukan kompetensi seseorang
sehingga partisipasi perempuan dalam setiap aspek kehidupan dapat bermanfaat
untuk kemajuan negara tersebut juga.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. (2017, June). Program MAMPU. Retrieved from Program MAMPU:


https://www.mampu.or.id/program-mampu/
Bappenas. (2020). Tujuan 5: Kesetaraan Gender. Retrieved from Sustainable
Development Goals (SDGs): http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-5/
Effendy, R. (2014). Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan. Jurnal Al-Maiyyah,
7(2), 142-165.
Hermawati, T. (2007). Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender. Jurnal Komunikasi
Massa, 1(1), 18-24.
Howell, J., & Mulligan, D. (2005). Gender and Civil Society: Transcending
Boundaries. London and New York: Routledge.
Ismail, Z., Lestari, M. P., Rahayu, P., & Eleanora, F. N. (2020). Kesetaraan
Gender Ditinjau dari Sudut Pandang Normatif dan Sosiologis. Jurnal
SASI, 26(2), 154-161.
Jayani, D. H., & Yudhistira, A. W. (2019, October 11). Perempuan Indonesia
Digaji Lebih Rendah dari Pekerja Laki-laki. Retrieved from Databoks:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/11/kesenjangan-upah-
antar-gender-semakin-melebar
Kemenpppa. (2018, February 23). Kesetaraan Gender: Perlu Sinergi Antara
Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat. Retrieved
from kemenpppa.go.id:
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1667/kesetaraan-
gender-perlu-sinergi-antar-kementerian-lembaga-pemerintah-daerah-dan-
masyarakat
KomnasPerempuan. (2020, March 6). Siaran Pers dan Lembar Fakta Komnas
Perempuan: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2020.
Retrieved from Komnas Perempuan:
https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-dan-lembar-
fakta-komnas-perempuan-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-
perempuan-2020
Meiliana, S. (2019). Perdebatan Mengenai Perempuan di Amerika Serikat. Jurnal
Sawo Manila, 245-262.
Novita, M. (2020, March 8). International Women's Day, Kesenjangan Gender
Indonesia Peringkat 85. Retrieved from tempo.co:
https://cantik.tempo.co/read/1317073/international-womens-day-
kesenjangan-gender-indonesia-urutan-85
Rokhimah, S. (2014). Patriarkhisme Dan Ketidakadilan Gender. Jurnal Muwazah,
6(1), 132-145.

18
Sherly, N., Yudistin, H., & Radhini, M. A. (2020). Upaya Peningkatan Pola Pikir
Masyarakat Terhadap Kesetaraan Pendidikan di Indonesia. Jurnal
Prosiding Samasta, 1-6.
Sugiyono, S. (2013). Feminisme Di Dunia Muslim: Menguak Akar Perdebatan
Antara Paham Konservatif Dan Reformis. Jurnal Thaqafiyyat, 14(1), 105-
126.
Sumar, W. W. (2015). Implementasi Kesetaraan Gender Dalam Bidang
Pendidikan. Jurnal Musawa IAIN Palu, 7(1), 158-182.
Susanty, S. (2020). Dimensi Global Pariwisata: Implementasi Sustainable
Development Goals (SDGs) Tentang Kesetaraan Gender Dalam Industri
Wisata. Junal Media Bina Ilmiah, 14(7), 2919-2926.
Tashandra, N. (2015, December 22). Komnas Perempuan: Kesetaraan Gender
Dimulai Dari Lingkungan Rumah Tangga. Retrieved from Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2015/12/22/16401581/Komnas.Perempu
an.Kesetaraan.Gender.Dimulai.Dari.Lingkungan.Rumah.Tangga
Wahyuni, N. (2019, December 30). Indonesia Dalam Gender Gap Index 2020
Report: Beberapa Catatan. Retrieved from The Indonesian Institute,
Center for Public Policy Research:
https://www.theindonesianinstitute.com/indonesia-dalam-gender-gap-
index-2020-report-beberapa-catatan/
Wibowo, D. E. (2011). Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender. Jurnal
Muwazah, 3(1), 356-364.

19

Anda mungkin juga menyukai