Anda di halaman 1dari 30

30

HASIL
ANALISIS ISU GENDER DAN ANAK
(ISU, ANALISIS, DAN REKOMENDASI PERBIDANG)
TAHUN 2017

DAFTAR ISI
BAGIAN Halaman
Pendahuluan 1
Isu Bidang Kependudukan dan Kemiskinan 3
Isu Bidang Kesehatan 6
Isu Bidang Pendidikan 10
Isu Bidang Sosial 14
Isu Bidang Ekonomi, Ketenagakerjaan, dan UMKM 17
Isu Bidang Partisipasi Perempuan dalam kebijakan Publik 20
Isu Bidang Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak 23
Isu Bidang Pengarusutamaan Gender di DIY 27
Penutup 29
1

BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Upaya peningkatan kesejahteraan, kemakmuran & produktivitas tidak boleh menciptakan
ketimpangan yang semakin melebar. Butir nomor 2 dari norma pembangunan tersebut
menguatkan peran gender sebagai salah satu mainstreaming pembangunan sebagaimana tata
kelola pemerintahan yang baik dan pembangunan keberlanjutan. Tingginya capaian kinerja
pembangunan dari tahun ke tahun ternyata masih memperlihatkan margin kesenjangan yang
relatif tetap sebagaimana ditunjukkan oleh perbandingan Indeks Pembangunan Gender (IPG)
dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mempersempit kesenjangan. Salah satunya adalah
penyusunan kebijakan yang fokus dan menyentuh peningkatan kualitas perempuan sampai
ketingkat yang paling bawah melalui langkah mewajibkan setiap kegiatan dilingkungan
pemerintah provinsi DIY untuk menyertakan analisis gender sebagai syarat kelengkapan untuk
dapat dibahas dalam rapat penganggaran. Namun dalam prakteknya langkah ini sering terbentur
pada kendala tidak tersedianya data terpilah yang akurat di tingkat kabupaten/kota sebagai bahan
analisis serta tidak siapnya SDM dalam pengelenggaraan data gender yang terpilah dan up to
date.
Menyadari bahwa Informasi yang menggambarkan kondisi perempuan dan laki-laki serta
kelompok rentan dalam penyelenggaraaan pembangunan dari berbagai sudut pandang secara
konprehensif dalam bentuk data terpilah mutlak diperlukan baik oleh pemerintah Provinsi maupun
Kabupaten/Kota, maka Pemerintah Daerah DIY telah mengambil langkah-langkah strategis
dalam membangun sistem penyelenggaraan data gender dan anak di DIY. Menindak lanjuti
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 06 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Data Gender dan Anak, Pemerintah Daerah DIY melakukan langkah antara
lain:
1. Menyusun Kompilasi Data Terpilah Gender dan Anak yang update setiap tahunnya. Dan
membangun Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) yang dapat diakses melalui media
web site.
2. Pada tahun 2012 melalui SK Gubernur DIY Nomor 23/KEP/2012 tentang Pembentukan
Forum Penyelenggara Data Gender dan Anak dibentuk Forum Penyelenggara Data Gender
dan Anak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum ini difungsikan sebagai wadah koordinasi
penyelenggara data terpilah gender dan anak di DIY.
3. Untuk memperkuat posisi penyelenggaraan data gender dan anak di DIY, dikeluarkanlah
Peraturan Gubernur DIY Nomor 53 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Data
Gender dan Anak. Yang memberikan pedoman penyelenggaraan data dan format data.
Dengan Peraturan Gubernur ini diharapkan perhatian lebih besar akan diberikan kepada
Penyelenggaraan Data Gender dan Anak di SKPD maupun Kabupaten/Kota oleh para
pengampu kebijakan. Hal ini akan berdampak pada tersedianya data terpilah gender dan
anak yang lebih lengkap di SKPD maupun Kab/Kota.
Sebagai langkah pengembangan dari data terpilah gender dan anak yang sudah di
kompilasi, juga dilakukan analisis isu-isu gender dari masing-masing bidang untuk menemukenali
isu-isu gender apa saja yang ada di masing-masing bidang, mencakup bidang kesehatan,
pendidikan, sosial, ekonomi, ketenagakerjaan serta perlindungan perempuan dan anak.

2. Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan isu gender per bidang tahun 2017 ini adalah untuk
mendokumentasikan isu isu gender yang ditemukan dan penting untuk menjadi perhatian para
pengambil kebijakan dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Dokumen ini juga
memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan bagi para pihak dalam perencanaan
kebijakan/program/kegiatan yang lebih responsif gender sehinga tujuan pembangunan yang
berkeadilan dapat semakin cepat terwujud.
2

3. Metode Pengumpulan Data dan Analisa


Penyusunan dokumen isu gender per bidang ini dilakukan dengan mengumpukan data dan
informasi dari berbagai sumber melalui :
1. Desk study
2. Pengumpulan data umum dari BPS, data sektoral OPD DIY dan Kabupten/kota serta
dari organisasi non pemerintah yang terkait,
3. Diskusi terfokus (FGD) per bidang yaitu bidang Pendidikan & Kesehatan, bidang
ekonomi dan ketegakerjaan, bidang sosial budaya, Kelembagaan PUG, Bidang
perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan untuk mendapat keterangan
lebih detail tentang data sektoral yang telah terkumpul dan mendapatkan informasi
tentang kondisi gender sektoral.
Analisa data dilakukan dengan methode deskriptif kuantitatif serta deskriptif kualitatif.
Analisa data juga dilakukan dengan membandingkan data wilayah dan jenis kelamin untuk dapat
melihat dengan lebih jelas kondisi laki laki dan perempuan untuk tiap jenis data. Hasil analisa
data tersebut selanjutnya disusun menjadi kesimpulan dan rekomendasi bagi kebijakan/program
yang lebih responsif gender.

4. Sumber Data
Sumber data dalam penyusunan isu gender di DIY tahun 2017 ini bersumber dari data
sekunder dari OPD Kabupaten/Kota dan Pemda DIY, Kementerian Agama, Pengadilan Agama,
Polda/Polres, serta data yang diolah dari BPS dan Sumber data lain seperti Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Selain data sekunder dari instansi dan
LSM, hasil penelitian dan kajian gender juga menjadi bahan yang memperkaya analisa
disamping data primer yang diperoleh dari hasil FGD yang dilaksanakan pada bulan Juni 2017

5. Limitasi
Keterbatasan informasi, sumber data yang tidak menggambarkan relasi gender juga
menjadikan data gender yang disajikan ini tidak mencakup semua bidang dan sektor.Tidak
dilaksanakannya Sakernas juga menjadikan beberapa data, utamanya di bidang pendidikan dan
ekonomi tidak bisa terupdate.

6. Sistematika Penulisan
Sistematika laporan isu Gender dan Anak Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2017 ini
terdiri dari 2 bab.
 BAB I menjelaskan latar belakang masalah, tujuan penulisan,penggalian dan analisa
data, sumber data, limitasi dan sistematika penulisan.
 BAB II berisi tentang gambaran umum pembangunan berbasis gender di DIY dan
paparan isu gender di DIY yang disusun per bidang yaitu
1. Bidang Kependudukan dan Kemiskinan
2. Bidang Kesehatan
3. Bidang Pendidikan
4. Bidang Sosial
5. Bidang Ekonomi,Ketenagakerjaan & UMKM
6. Bidang Partisipasi Perempuan dalam Kebijakan Publik
7. Bidang Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
8. Pengarusutamaan Gender di DIY
3

BAB II. Isu Gender per Bidang di DIY tahun 2017

1. Kepedudukan dan Kemiskinan


Penduduk adalah sumberdaya sekaligus penerima manfaat pembangunan. Jumlah
penduduk yang besar dan berkualitas menjadi modal dalam pembangunan, sebaliknya bila
sumberdaya manusia tidak berkualitas maka akan menjadi beban pembangunan. Jumlah
Penduduk DIY tahun 2016 sebanyak 3.720.912 jiwa dimana 50,55% nya adalah perempuan.
Artinya jumlah perempuan lebih banyak dibanding dengan penduduk laki laki, di semua
kabupaten/kota kecuali kabupaten Sleman dimana Jumlah perempuan lebih sedikit dibanding laki
laki. Komposisi ini cenderung tidak berubah sejak tahun 2014. Jumlah penduduk DIY menurut
kelompok usia dan jenis kelamin tahun 2016 nampak dalam grafik berikut
Grafik 2.1

Komposisi penduduk DIY menurut jenis


kelamin dan kelompok umur tahun 2016

51 Tahun keatas -419484 482,961


Kelompok usia

18 sd 50 Tahun -925440 926,111


13 sd 17 Tahun -134097 128,416
6 sd 12 Tahun -191722 181,471
0 sd 5 Tahun -169208 162,002
-1,500,000 -1,000,000 -500,000 0 500,000 1,000,000 1,500,000
Jumlah
P L
Sumber ; BPS

Sumber Data: BPS, Proyeksi Penduduk 2010-2020

Kompoisis penduduk DIY dimana 24,25 % ( penduduk diatasa 51 tahun ), 25,99 % anak
dan 49,76% penuduk usia produktif. Tingginya jumlah penduduk usia lanjut disatu sisi
menunjukkan keberhasilan pembangunan. Namun disisi lain, lansia yang tidak produktif,
cenderung miskin akan menjadi beban pembangunan.Dinamika kependudukan ini harus menjadi
perhatian dalam menyusun rancangan kebijakan dan program pembangunan. Beberapa catatan
penting bidang kependudukan antara lain:

 Komposisi penduduk usia balita, remaja dan lansia yang besar1. Jumlah balita,
remaja dan pemuda usia 19-24 tahun yang besar ini tentu berkorelasi dengan
ketersediaan sarana prasarana kesehatan, pendidikan juga ketersediaan lapangan
pekerjaan yang besar. Komposisi penduduk usia muda ini lebih banyak laki laki dibanding
perempuan. Kodisi ini berbeda untuk kelompok penduduk usia tua, baik pre lansia, lansia
maupun post lansia dimana perempuan jauh lebih banyak dibanding laki laki. Hal ini tentu
saja berkorelasi dengan ketersediaan jaminan sosial dan layanan kesehatan yang
memadai.

1 catatan, bahwa data kependudukan menyajikan data penduduk usia >51 tahun. Menurut
pengkategorian usia diatas 51 th sampai 59 tahun masih tergorong kategori pre lansia,
sememtara lansia adalah penduduk berusia >60 tahun. Data kependudukan ini masih sangat
munkin untuk diolah sehingga kebutuhan data untuk perencanaan kebijakan bagi lansia bisa
merunut pada data BPS.
4

Grafik 2.2
PERSENTASE PENDUDUK MENURUT
KELOM POK USIA DAN JENIS KELAMIN DI DIY

24.87%
24.89%
TAHUN 2016

12.98%
11.27%
5.15%
4.88%
4.55%
4.35%

3.60%
3.45%
0 S D 5 T A H U 6N S D 1 2 T A H U
1 3N S D 1 7 T A H1U8NS D 5 0 T A5H1UTNA H U N K E A T A S

Sumber ; BPS Laki laki Perempuan

 Kesenjangan tingkat kesejahteraan penduduk antar wilayah memperlihatkan gap


yang cukup lebar. Gunungkidul memperlihatkan tingkat kesejahteraan yang paling
rendah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu indikator kualitas hidup
manusia memperlihatkan bahwa Gunungkidul merupakan satu satunya wilayah di DIY
yang IPM dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dibawah rata rata nasional dimana
IPM Indonesia adalah 69,55 (peringkat 113 dunia), sementara IPG Indonesia 91,03
Grafik 2.3

IPM-IPG MENURUT KAB/KOTA DI DIY


TAHUN 2015
150.00

94.73 94.42 96.08 98.78 94.41


100.00 77.99 83.10 81.20 84.56 77.59
71.52 67.41
50.00

0.00
Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta DI.
Sumber ; BPS IPM IPG Yogyakarta

Kesenjangan kualitas hidup juga terjadi antara laki laki dan perempuan,
sebagaimana terlihat dalam data Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang merupakan
perbandingan IPM perempuan dengan IPM Laki laki. Data 5 tahun terakhir
memperlihatkan terjadi peningkatan IPG, namun kesenjangan IPM perempuan & IPM laki
laki masih relatif tinggi diatas 5%. Kota Yogyakarta merupakan daerah dengan
kesenjangan kualitas hidup laki laki laki dan perempuan terendah, sementara
Gunungkidul adalah daerah dengan kesenjangan tertinggi. Dimana disparitas antar yg
tertinggi dan terendah mencapai 15,78 poin.
Kesenjangan ini juga bisa dilihat dari data Gini rasio, terlihat bahwa terjadi
peningkatan gini rasio baik di perkotaan maupun perdesaan. Peningkatan gini rasio juga
menunjukkan bahwa manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati oleh warga yang lebih
sejahtera, sementara yang miskin semakin terpuruk. Sementara bila dilihat dari tempat
tinggal, gini rasio perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan menunjukan bahwa
kesenjangan di perkotaan lebih lebar dibanding kesenjangan di perdesaan. Hal ini
memperlihatkan bahwa distribusi sumberdaya pembangunan belum cukup memberikan
hasil yang mengarah pada penurunan kesenjangan antar wilayah maupun kesenjangan
kesejahteraan antar jenis kelamin.
5

Grafik 2.4
Perkembangan Gini rasio menurut daerah tempat tinggal

Sumber ;

 Meningkatnya jumlah penduduk miskin perkotaan.


o Persentase penduduk miskin di D.I. Yogyakarta pada September 2016 sebesar
13,10 persen. Apabila dibandingkan dengan keadaan September 2015 yang
mencapai 13,16 persen, berarti ada penurunan 0,06 poin dalam periode satu
tahun.
o Pada September 2016, jumlah penduduk miskin di D.I. Yogyakarta 488,83 ribu.
Jika dibandingkan dengan keadaan September 2015 yang mencapai 485,56 ribu
orang, jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 3,27 ribu orang.
o Perumahan dan bensin menyumbang kemiskinan terbesar dalam sektor non
makanan, sementara sektor makanan, beras menyumbang angka kemiskinan
makanan terbesar baik perkotaan maupun perdesaan dan rokok berada di posisi
ke 2 untuk wilayah perkotaan dan peringkat ke 3 untuk perdesaan.
o Persentase kemiskinan perdesaan 16,27% jauh diatas kemiskinan perkotaan
11,68% ( gap sebesar 4,59 point )
 Pengendalian laju pertumbuhan penduduk cenderung mengalami kemunduran. Makin
banyak keluarga kalangan terpelajar yang memilih memiliki anak lebih dari 3, bahkan
sampai 6-7 orang2.

Rekomendasi
 Ketersediaan data penduduk menurut rentang usia yang lebih spesifik, seperti misalnya
penduduk usia bayi, usia 1-4 tahun (balita), dan 5-17 tahun ( anak) , 18-50 tahun, 51-59
tahun ( pre lansia) , 60-69 tahun ( lansia) dan diatas 70 tahun (post lansia), sehingga data
kependudukan ini bisa dimafaatkan secara optimal dalam penyusunan perencanaan
pembangunan, sesuai kebutuhan OPD.
 Ketersediaan data kemiskinan terpilah jenis kelamin dan jenis kemiskinan sehingga
rumusan kebijakan/program/kegiatan relevan dengan data kemiskinan yang
sesungguhnya.
 Penting untuk memasukkan komoditi pulsa/paket data dalam kebutuhan komoditi dasar,
mengingat semakin masifnya penggunaan gadget, juga trend komunikasi dan bisnis
melalui internet.
 Kebijakan dan program untuk mereduksi besarnya pengeluaran untuk perumahan, bensin
dan pendidikan, yang berkontribusi besar pada kemiskinan. Kebijakan kepemilikan rumah
bersubsidi, sewa rusun murah yang tepat sasaran, beasiswa pendidikan (meski ada BOS,
namun ada komponen biaya pendidikan yang cukup besar seperti transportasi, seragam,
buku LKS), ketersediaan sarana tranportasi umum yang murah dan menjangkau seluruh
kawasan, dengan pertimbangan waktu tempuh (sekaligus mengurai kepadatan lalulintas

2 Terjadi kasus kematian ibu pada kehamilan ke 7, dimana perempuan tersebut mendapatkan
pendidikan S2
6

dan pengurangan emisi gas buang). Kebijakan ini juga ditunjang dengan edukasi untuk
mereduksi pengeluaran untuk rokok serta diversifikasi makanan pokok non beras.
 Review Rencana Aksi penanggulangan kemiskinan yang menjadi acuan para pihak,
baik OPD, desa maupun masyarakat sipil. Evaluasi program penanggulangan kemiskinan
untuk mengukur bukan hanya output, namun capaian outcome dan dampak kebijakan
penanggulangan kemiskinan bagi laki laki, perempuan & kelompok rentan miskin.
Evaluasi ini sekaligus untuk mendapatkan input bagi perbaikan kebijakan, sasaran,
pendekatan, dan mekanime yang lebih efisien dan efektif, mengingat masih tingginya
angka kemiskinan (utamanya perdesaan), namun data peningkatan jumlah penduduk
miskin perkotaan juga harus mendapatkan perhatian dan intervensi yang tepat.
 Membangun basis literasi terkait pengendalian jumlah penduduk dan kemiskinan
terutama dari aspek agama dan budaya. Basis literasi ini sekaligus mendokumentasikan
praktek baik tentang kebijakan/program/pendekatan yang telah dilakukan dalam
mendorong pengurangan kemiskinan dan pengendalian penduduk. Misalnya
mengumpulkan dalil agama yang mendukung pengaturan kelahiran, sehingga
meminimalkan penolakan
 Kampanye pengendalian penduduk & kampanye keluarga berencana melalui media
mainstream, media sosial maupun non mainstream yang menyasar baik laki laki,
perempuan dan remaja.
 Menguatkan koordinasi para pihak, untuk membangun sinergitas, meningkatkan
efisiensi dan efektifitas program.

2. Bidang Kesehatan
Banyak capaian pembangunan kesehatan yang telah dicapai, seperti tingginya usia
harapan hidup DIY, turunnya angka kematian bayi, juga terobosan dalam deteksi dini HIV-AIDs
yang memunculkan banyaknya kasus HIV-AIDs di Sleman. Upaya membangun basis literasi
terkait vaksin dari aspek tekhnologi dan tafsir agama juga menjadi catatan keberhasilan
penanganan kasus penolakan vaksinasi yang pernah terjadi di DIY. Aksesibilitas layanan
kesehatan bagi kelompok rentan termasuk layanan kesehatan jiwa di Puskesmas patut mendapat
apresiasi. Meski banyak capaian yang telah diraih, namun beberapa data menujukkan masih
ditemukannya isu bidang kesehatan yang penting mendapat perhatian antara lain:
 Kematian ibu, meningkat dari 29 kasus di tahun 2015 menjadi 39 kasus di tahun 2016.
Bantul merupakan penyumbang terbanyak untuk kasus kematian ibu disusul Sleman.
Sementara data per April 2017 telah terjadi 11 Kematian ibu dimana 4 disumbang oleh
Gunungkidul.

Persentase kematian ibu menurut kabupaten/ kota di DIY


tahun 2016

Yogyakarta Kulonprogo
18% 18%

Kulonprogo
Sleman Bantul
20% Bantul Gunungkidul
31%
Gunungkidul Sleman
13%
Yogyakarta

Sumber Dinkes DIY Jumlah kematian ibu th 2016

Trend kematian ibu yang fluktuatif mengindikasikan bahwa persoalan kematian ibu
bukan hanya soal kesehatan semata, namun penting untuk melihat bagaimana
7

dukungan bidang lain seperti ketersediaan sarana prasarana transportasi, tingkat


ekonomi keluarga, pengetahuan, cara hidup juga relasi kuasa berpengaruh pada
kematian ibu. Berikut adalah data & layanan yang terkait dengan kesehatan ibu.
o Meski 100% bumil mendapatkan layanan K1, namun 7,42% bumil tidak
mendapatkan pelayanan K4, dimana Gunungkidul merupakan wilayah dengan
layanan K4 paling rendah. Sementara 14,7% bumil juga tidak mendapat layanan
imunisasi TT dimana kota Yogyakarta menyumbang 20,8% sedangkan sisanya
dibagi rata 4 kabupaten lain di DIY..
o Kematian ibu terbanyak terjadi pada perempuan diatas 30 tahun, dan bukan
merupakan kehamilan pertama.
o Penyebab kematian ibu disumbang oleh penyebab lain diluar kehamilan seperti
emboli, jantung dan TB sebanyak 40% dan perdarahan menjadi penyebab
kematian ibu kedua sebanyak 23 %.
o Persentase Bumil KEK (kekurangan energi kronis) meningkat dari 9,11%
menjadi 9,94% di tahun 2016 dan Bumil risti meningkat dari 20,11% di tahun
2015 menjadi 25,3%.
o Perubahan cara pandang tentang hak/kesehatan reproduksi pada perempuan
dan laki laki serta relasi kuasa yang timpang antar suami –istri maupun dengan
keluarga besar, yang diindikasikan dari jumlah kehamilan, kurangnya perhatian
suami pada kehamilan istri juga meningkatnya unmet need.
 Jumlah pernikahan usia anak secara umum menurun di DIY, namun Bantul dan
Kulonprogo memperlihatkan peningkatan jumlah pernikahan anak baik
perempuan maupun laki laki. Pernikahan usia muda pada perempuan (usia 17-21
tahun) meningkat di semua daerah kecuali Gunungkidul. Pernikahan usia anak pada
perempuan meningkatkan kerentanan anak perempuan baik untuk pendidikan,
kesehatan maupun ekonomi. Mereka potensial tidak mendapatkan hak pendidikan yang
lebih baik, kesehatan jiwa bisa terganggu (malu,depresi), gangguan kesehatan organ
reproduksi karena hubungan seksual pada saat organ seksual reproduksi belum cukup
matang, juga bisa berdampak pada kesehatan bayi yang dilahirkan dari seorang anak
perampuan. Tingkat pendidkan yang rendah juga berdampak pada keterbatasan akses
mendapat pekerjaan. Tumbuh kembang mental spiritual dan relasi sosial potensial
mengalami hambatan. Sementara pada anak laki, meskipun kadang pendidikan bisa
terus didapatkan, namun lompatan perkembangan mental spirital bisa jadi menimbulkan
gangguan kejiwaan yang berdampak pada relasi sosial.
 Kesehatan bayi/ balita. Kematian bayi/balita, BLBR mengalami penurunan di tahun
2016, namun data balita dizi kurang dan balita gizi buruk mengalami kenaikan yang
signifikan di semua kabupaten/kota. Penting untuk melihat penyebab banyaknya
balita gizi buruk/kurang dan mencari kebijakan yang tepat untuk penanganan gizi buruk.
Gizi kurang / buruk berpotensi meningkatkan jumlah ABK baik yang tumbuh
kembangnya lambat, lambat belajar, penyandang disabilitas fisik, cebol dll.
o Gaya hidup, promosi produk dengan informasi yang kurang tepat mempengaruhi
ibu yang berpandangan bahwa produk yang diiklankan, yang mahal selalu lebih
baik.
o Asupan gizi yang kurang, karena kemiskinan atau karena orang tua tidak
menemukan cara memberi makan yang baik dan benar pada anak.
o Orang tua sibuk bekerja
o Karena penyakit yang diderita anak.
o Kehamilan yang tidak sehat sebagai contoh, ibu hail yang mengalami KEK
 Kesehatan lansia
Meningkatnya Usia Harapan Hidup adalah salah satu capaian penting pembangunan
namun belum diikuti dengan meningkatnya usia harapan hidup sehat. Meningkatnya
kasus penyakit degeneratif, seksual reproduksi maupun ganguan kejiwaan pada lansia
baik laki laki maupun perempuan, memperlihatkan bahwa peningkatkan usia harapan
hidup sehat masih harus terus diupayakan. Data PKBI menunjukkan peningkatan
8

konsultasi lansia pada upaya pemenuhan kebutuhan seksual lansia, utamanya pada
lansia laki laki. Perbedaan cara pandang tentang seksualitas pada laki laki dan
perempuan lansia menjadi salah satu penyebab gangguan kejiwaan, disamping fungsi
organ reproduktif yang menurun. Data ini menjadi informasi awal yang penting untuk
pembangunan kesehatan bagi lansia. Hal ini bisa jadi menjadi salah satu alasan/temuan
awal dibalik kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh laki laki lansia pada anak
anak, meskipun masih harus digali informasi lebih dalam. (Data kekerasan tahun 2016
memperlihatan 10 kasus kekerasan yang dilakukan oleh lansia laki laki).
 Penggunaan alat kontrasepsi sebagai perlindungan pada laki laki masih rendah, baik
untuk pengaturan kelahiran (KB) maupun penularan PMS dan HIV-AIDs
o Meningkatnya jumlah penderita HIV-AIDs. Data per Maret 2016 jumlah kumulatif
penderita HIV-AIDs meningkat menjadi 3.334 (HIV) dan 1.314 penderita AIDs,
dimana umur 20-29 menjadi kelompok umur yang paling banyak menderita HIV
maupun AIDs. Jumlah ODHA laki laki 2 x lebih banyak dibanding ODHA perempuan,
begitupun peningkatan jumlah ODHA laki laki pada tahun 2015-2016 berjumalh 181
(44 AIDs & 137 HIV) dan peningkatan jumlah ODHA perempuan tahun 2015-2016
sebanyak 72 kasus.(21 AIDs & 51 HIV). ODHA tersebar di 5 kabupaten /kota di dIY,
dimana Sleman, Kota Yogyakarta dan Bantul adalah wilayah dengan jumlah ODHA
terbanyak dan Kulonprogo merupakan wilayah dengan ODHA terendah. ODHA
perempuan adalah akseptor tetap KB. Hal ini untuk mengurangi risiko kelahiran bayi
dengan ODHA, namun tidak bisa mencegah penularan HIV-AIDS melalui hubungan
seksual jika laki laki tidak menggunakan kondom sebagai upaya pencegahan.
Kampanye penggunaan kondom sebagai perlindungan, disisi lain bersentuhan
dengan “rasa-etika” saru yang berlaku dimasyarakat.
o Rendahnya kepesertaan KB laki laki. Meskipun akseptor KB laki laki tahun 2016
meningkat 1,5% terutama untuk MOP karena penggunaan kondom menurun.
Namun Peningkatan partisipasi laki laki dalam ber KB masih belum memadai.
Penambahan jumlah akseptor laki laki 1 (satu) berbanding 20 akseptor baru
perempuan . Secara keseluruhan partisipasi laki laki hanya 7,6% dari total akseptor
KB di DIY. Terbatasnya pilihan alat KB bagi laki laki, juga pandangan bahwa KB
sejalan dengan kehamilan dan pengasuhan anak adalah urusan perempuan,
ketakutan organ seksual tidak mampu berfungsi baik jika ber KB dan meski kondom
tersedia bebas di pasaran, namun rasa “risi” membeli kondom menjadi beberapa
alasan rendahnya partisipasi KB laki laki.
 Tingginya angka ganguan jiwa di DIY (termasuk meningkatnya kasus bunuh diri)
dimana DIY menduduki peringkat 1 di Indonesia. Gunungkidul adalah daerah dengan
gangguan jiwa tertinggi dan gangguan jiwa lebih banyak dialami oleh laki laki. Depresi
karena tuntutan gaya hidup, kemiskinan, capaian kesuksesan ( persepsi kesuksessan
identik dengan prestasi, jabatan/kedudukan, harta, dll) yang tidak sesuai dengan
ekspektasi, menderita sakit dalam kurun waktu yang lama, menjadi beberapa penyebab
terjadi gangguan jiwa. Adanya keyakinan “pulung gantung” sebagai pembenaran atas
kasus bunuh diri,bisa jadi berkontribusi pada keputusan pelaku untuk melakukan bunuh
diri. Media juga berperan banyak dalam membangun imaji tentang gaya hidup/ budaya
dan tentu saja konstruksi gender yang potensial menimbukan gangguan kejiwaan dan
perilaku kriminal pada seseorang yang tidak sanggup mengikuti gaya hidup karena
kondisi tertentu, seperti ekonomi misalnya.
 Puskesmas belum dipandang sebagai pusat layanan kesehatan yang memiliki
kredibilitas tinggi, sehingga sebagian masyarakat lebih memilih untuk memeriksakan
kesehatan dan berkonsultasi (termasuk kehamilan) kepada dokter praktek. Layanan
Puskesmas sperti ANC misalnya masih belum cukup optimal dimanfaatkan oleh ibu
hamil. Ibu hamil dari kelas sosial menengah keatas lebih memilih untuk periksa
kehamilan di dokker, dimana ditengarai tidak semuanya menyarankan melakukan tes
ANC terpadu di puskesmas.
9

 DIY masuk 10 besar penyalahgunaan narkoba. Anak usia sekolah dan orang muda
termasuk mahasiswa menjadi sasaran penyalahgunaan narkoba. Meski jumlah pemakai
cenderung menurun di tahun 2014 namun trend yang fluktuatif perlu menjadi perhatian.
Sementara jumlah pengedar meningkat tajam sejak tahun 2012.

Rekomendasi
 Perbaikan sistem data, terpilah, terpadu dan terupdate.
 Perbaikan sistem/mekanisme rujukan (terintegrasi/ terkoneksi dan on line antara
faskes 1-2-dst) untuk mengurangi hambatan jarak, prosedure, administratif wilayah,
sehingga pasien dapat ditangani dengan lebih cepat dan tepat. Perbaikan sistem rujukan
juga harus dibarengi dengan kesetaraan mutu RS rujukan.
 Review dan revisi Cakupan layanan BPJS. Meningkatnya iuran BPJS, mestinya
dibarengi dengan peningkatan cakupan layanan dan reduksi masa tunggu untuk
mendapat layanan kesehatan (layanan kemoterapi misalnya).
 Peningkatan kualitas layanan Puskemas maupun Rumah Sakit, baik kecepatan &
ketepatan penanganan pasien, aksesibilitas informasi dan sarana prasarana. Audit
Puskesmas dan Rumah Sakit untuk penyetaraan mutu Puskesmas dan RS .
Peningkatan kompetensi petugas dilakukan secara simultan dan menjadi bagian tidak
terpisahkan dari pesetaraan mutu puskesmas dan RS.
 Kebijakan ANC terpadu untuk semua ibu hamil
 Peningkatan cakupan layanan kesehatan lansia seperti cakupan layanan kesehatan
untuk penyakit degeneratif, kesehatan jiwa dan seksual reproduksi.
 Revitalisasi/penguatan fungsi posyandu, baik posyandu balita maupun lansia dan
mengembangkan posyandu penyandang disabilitas.
o Mengembangkan posyandu penyandang disabilitas menjadi langkah penting
untuk memberikan layanan dan pengetahuan tentang bagaimana hidup dengan
atau sebagai penyandang disaabilitas..
o dukungan operasional posyandu, peningkatan ketrampilan dan penghargaan bagi
kader
 Pengembangan Home visite, home care bagi pasien yang tidak mampu berobat ke
pusat layanan kesehatan, baik karena kondisi fisik maupun mobilitas.
 Promosi (1) PHBS; (2) Perlindungan perempuan & anak; (3) pencegahan
penyalahgunaan narkoba;(4) kesehatan seksual &reproduksi; (5) gerakan lansia
Sehat;(6) gerakan suami siaga; penguatan fungsi keluarga yang menyasar baik laki laki,
perempuan,anak dan lansia baik off line melalui posyandu, pertemuan komunitas,
menempelkan media KIE di tempat umum maupun kampanye melalui media mainstream
& medsos
10

 Membangun knowledge management dan basis literasi yang mendukung kebijakan


& program sekaligus mendokumentasikan praktek baik dan pembelajaran
pembangunan bidang kesehatan.
 Koordinasi & Sinergi dengan OPD/institusi lain untuk meningkatkan kemampuan
ekonomi keluarga baik ketrampilan, peningkatan akses pasar dan perbankan,
peningkatan kualitas dan kuantitas sarpras pendukung seperti transportasi & sarpras
jalan.
 Menguatkan kerjasama dengan stakeholder (BNN, media, sekolah, masyarakat sipil,
OPD terkait) & mengembangan kampanye bahaya narkoba kepada sekolah, masyarakat
dengan inovasi kegiatan yang menarik bagi anak muda melalui kegiatan off air maupun
melalui media mainstream dan media sosial.
 Mengembangkan konsultasi on line Bidang Kesehatan melalui media sosial untuk
memberikan informasi yang benar tentang kesehatan maupun layanan yang diberikan
oleh Puskesmas.

3. Bidang Pendidikan

Isu gender
Persamaan memperoleh kesempatan pendidikan adalah hak asasi yang melekat pada
anak sebagai warga negara agar dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kecakapan dan
keahlian, sehingga ke depan mereka dapat memberikan kontribusi untuk memacu pembangunan
di segala bidang. Untuk memenuhi hak warga tentang pendidikan pemerintah secara terus
menerus berupaya membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengenyam pendidikan terutama pada tingkat dasar serta meningkatkan kualitas dan kuantitas
sarana maupun prasarana pendidikan .Pemerintah telah mencanangkan gerakan wajib belajar 9
tahun (1994) dan DIY telah menginisiasi wajib belajar 12 tahun, dengan semboyan tidak boleh
ada anak yang tidak bersekolah karena masalah ekonomi. Pemerintah juga telah menetapkan
kebijakan dasar dan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) tahun 2015, yaitu
mewujudkan anak yang cerdas/ ceria dan berakhlak mulia melalui upaya perluasan aksesibilitas,
peningkatan kualitas dan efisiensi pendidikan, serta partisipasi masyarakat.

Pendidikan sebagai satu dari 3 pilar utama pembangunan DIY disamping kebudayaan dan
pariwisata. Keberhasilan pendidikan ditunjukkan oleh antara lain indikator harapan lama sekolah
dan rata rata lama sekolah. Keberhasilan pembangunan bidang pendidikan juga diukur dari
Angka partisipasi Kasar (APK), Angka Pertisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM).
Harapan lama sekolah dan rata rata lama sekolah DIY pada tahun 2015 sudah diatas Indonesia.
Meski begitu keberhasilan bidang pendidikan bukan tanpa catatan. Berikut beberapa isu gender
bidang pendidikan.

 Kesenjangan antar kabupaten/kota.


o Terkait harapan lama sekolah (HLS) dan rata rata lama sekolah (RLS), disparitas
bukan saja terjadi antar kabupaten/kota namun terjadi juga antar jenis kelamin.
Terlihat kesenjangan yang cukup tajam antara wilayah perkotaan (kota Yogyakarta
dan Sleman) dengan wilayah perdesaan. Meski HLS dan RLS DIY baik laki laki
maupun perempuan ditas rata rata nasional, namun kabupaten Gunungkidul masih
dibawah rata rata Indonesia baik harapan lama sekolah maupun rata rata lama
sekolah pada laki laki maupun perempuan
11

HLS & RLS MENURUT KAB/KOTA D I DIY TH 2015


harapan Lama Sekolah L harapan Lama Sekolah P

16.66
16.29
16.04

15.22
15.08

14.88
14.59

14.09
13.46

15.5

12.68
12.42
11.76
10.96

10.89
13.1
12.7

9.78
9.67

9.64
8.97

8.67

8.35
7.88

7.35
7.27

8.4
5.73
Sumber BPS

o Angka Partisipasi Murni (APM) laki laki di tingkat SD dan SLTP lebih tingggi
dibanding perempuan, namun di tingkat SLTA, APM perempuan lebih tinggi
dibanding laki laki. Kota Yogyakarta merupakan wilayah dengan APM tertinggi di
semua jenjang pendidikan, namun kota Sleman memperlihatkan pola yang berbeda
dimana APM laki laki lebih rendah dibanding perempuan bahkan sejak SLTP.
APM menurut kab/kota dan jenis kelamin di DIY th
2015
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
L P L P L P
SD SLTP SLTA

Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Kota Yogyakarta DIY

Sumber Dispora DIY


o Angka Partisipasi Kasar
APK DIY memperlihatkan masih adanya kesenjangan antar kabupaten kota di
setiap jenjang pendidikan. Bila dilihat dari jenis kelamin, APK perempuan lebih tinggi
dibadning APK laki laki mulai jenjang SLTP. Namun di jenjang SLTA, Kulonprogo
dan Gunungkidul memperlihatkan pola yang berbeda, dimana APK laki laki lebih
tinggi dibanding perempuan.
APK menurut Kab/Kota & jenis kelamin di DIY th 2015

160.00
SLTP L, 114.87
140.00 SD L, 112.34 SLTP P, 116.67
SD P, 106.31 SLTA P, 90.65
120.00
SLTA L, 90.26
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
L P L P L P
SD SLTP SLTA

Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Kota Yogyakarta DIY

Sumber Dispora DIY


o Angka Partisipasi Sekolah
Jika dilihat dari jenis kelamin, APS laki laki DIY lebih tinggi dibading APS perempuan
kecuali di usia 13-15 tahun. Berbeda dengan DIY, kota Yogyakarta dan Gunungkidul
memperlihatkan APS laki laki lebih tinggi dibanding APS perempuan di usia 13-15
12

tahun, sementara di rentang usia 16-18 th kota Yogyakarta dan Sleman


memperlihatkan bahwa APS perempuan lebih tingg dibanding laki laki.

APS MENURUT KAB/KOTA DAN JENIS KELAMIN DI DIY TH 2015


Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Kota Yogyakarta DIY

169.46

165.25
138.44

137.66

116.87

116.12
115.76
115.43
115.01

112.96

112.42
109.00

107.76
106.32

106.09
105.81

105.75
104.84
103.11
100.58

100.70
100.24
93.86

92.79
86.37
86.12

76.67
71.89

69.89

69.27

68.49
66.52

63.40
61.43
60.93

54.07
L P L P L P
7-12 TH 13-15 TH 16-18 TH

Sumber Dispora DIY


 Penurunan rata rata lama sekolah penduduk laki laki DIY dari 10,11 tahun di tahun 2015
menjadi 10,03 tahun di tahun 2016. Perurunan ini terjadi di Bantul, Gunungkidul dan
Kota Yogyakarta. Sementara perempuan DIY mengalami peningkatan rata rata lama
sekolah 0,13 point dari 9,10 menjadi 9,23 tahun. Namun begitu, perempuan Bantul dan
kota Yogyakarta mengalami penurunan rata rata lama sekolah sekitar 0,3 point.
Beberapa faktor yang diindikasi berkontribusi pada penurunan rata rata lama sekolah
antara lain:
o Kehamilan anak (Meski dispensasi kawin menurun, namun Bantul dan Kulonprogo
terjadi peningkatan pernikahan usia anak),
o perilaku (etika yang menyebabkan anak putus sekolah3 seperti
kenakalan/tawuran), juga perlaku kriminal yang menyebabkan anak berhadapan
dengan hukum (ABH). Data tahun 2015 terdapat 397 anak putus sekolah (286
laki laki dan 111 perempuan) di DIY. Kota Yogyakarta mengalami peningkatan
angka putus sekolah yang sangat luar biasa terutama jumlah anak laki laki putus
sekolah, dari 3 anak tahun 2014 menjadi 139 orang di tahun 2015.
o Konstruksi gender, tahapan tumbuh kembang yang tidak berjalan baik pada masa
pencarian jati diri, serta tidak mendapatkan cukup pendampingan, penghargaan
dan pengakuandari orang tua maupun lingkungan.
 Tahun 2016 Angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun laki laki (99,93%) lebih
rendah dibanding perempuan.(100%). Data ini disumbang oleh kabupaten Gunungkidul
dimana 99,49% laki laki belum melek huruf. Tuntutan ekonomi/kemiskinan, pandangan
bahwa laki laki harus bertanggungjawab dalam pemenuhan ekonomi keluarga, bisa jadi
berkontribusi pada kondisi ini.
 Meski Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)4 semakin menjadi perhatian dimana DIY
mengembangkan autis center, juga berkembangnya sekolah yang menggunakan
pendekatan berbasis kebutuhan individu siswa namun pendidikan inklusi masih
terkendala ketersediaan guru pendamping khusus, juga kemampuan guru reguler
dalam menghadapi Anak Berkebutuhan khusus di kelas. Pada tahun 2015 di Daerah
Istimewa Yogyakarta ada 489 buah sekolah inklusi dengan rincian 431 buah sekolah
inklusi tingkat SD, 35 buah sekolah inklusi tingkat SLTP dan 23 buah sekolah inklusi
tingkat SLTA. Kabupaten Gunung Kidul adalah daerah yang paling banyak memiliki
sekolah inklusi. Sementara jumlah siswa pada sekolah inklusi tingkat SD di Daerah
Istimewa Yogyakarta sebesar 4.040 anak 63,63% adalah siswa laki-laki, dan 36,37 %

3
Sayangnya data putus sekolah dan pemberian beasiswa tahun 2016 belum bisa ditampilakan. Dengan
data ini bisa dilakukan analisa lebih lanjut, terkait penyebab dan kontribusi kebijakan dalam menekan
angka putus sekolah.
4
Belum tersedia data ABK tahun 2016
13

adalah siswa perempuan. Jumlah siswa sekolah inklusi tingkat SLTP sebanyak 300
anak, dimana 62,33% adalah siswa laki-laki dan 37,67% adalah siswa perempuan.
Sedangkan jumlah siswa sekolah inklusi tingkat SLTA sebanyak 766 siswa, dengan
55,09% adalah siswa laki-laki dan 44,91% adalah perempuan.
 Transisi pengelolaan pendidikan menengah (atas) dari kabupaten kota kepada provinsi,
menyiisakan PR disparitas kualitas dan kompetensi sekolah, juga perbedaan kebijakan
antar kabupaten/kota (biaya pendidikan yang ditanggung oleh siswa misalnya).
 Sekolah sebagai salah satu lokus terjadinya tindak kekerasan di sekolah, baik yang
dilakukan oleh siswa maupun oleh guru. Banyak materi ajar yang telah dikembangkan
seperti modul pendidikan karakter, pendidikan kespro, juga modul tentang bagaimana
mengajari anak sesuai dengan umur, namun implebmantasi masih menyisakan
persoalan, termasuk soal keteladanan.
 Sekolah berfokus pada penilaian/kredit pendidikan karakter, sehingga kasus perilaku
anak berujung pada dikeluarkan dari sekolah, dimana kenakala akan bergeser pada
sekolah baru. Opsi ini tidak cukup memberi efek jera , sementara solusi pendidikan non
formal tidak selalu sesuai dengan jalur pendidikan yang ditekuni
 Mismatch Pemenuhan hak pendidikan Anak yang mengalami harus keluar dari sekolah
karena persoalan etika (KTD misalnya) dan haarus melanjutkan pendidikan melalui
PKBM, dimana belum cukup ketersedian PKBM-SMK untuk semua jurusan
 Kesepahaman materi dan metodologi pendidikan kespro masih belum terwujud antara
sekolah, dindik, LSM dan ortu siswa. Begitupun pendidikan kespro pada anak
penyandang disabilitas, meski guru paham dan telah tersedia APE namun terdapat
persoalan dalam mendeliver pesan kepada anak

Rekomendasi
 Menyediakan PKBM yang memadai untuk anak yang harus keluar dari SMK, pendidikan
keaksaraan fungsional, khususnya Kejar Paket A menyasar kelompok laki laki, dengan
mempertimbangkan waktu yang fleksibel bagi laki laki untuk mengikuti PKBM.
 BOS diberikan bukan hanya kepada siswa yang sekolah reguler, namun diberikan juga
kepada anak yang mengikuti PKBM.
 Bantuan transportasi kepada siswa miskin (misalnya pinjaman sepeda atau
menyediakan angkutan sekolah). Kampaye bersepeda dan penggunaan moda
trasportasi umum yang murah dengan memastikan waktu tempuh yang rasional.
 Evaluasi implementasi kebijakan dan review regulasi (juklak, juknis, SOP, SE) sistem
dan mekanisme pendidikan karakter yang sudah berjalan untuk melihat capaian,
perbaikan aturan, sistem dan metodologi yang lebih efektif mencapai sasaran
pendidikan karakter. ( SE jam mengaji, jam belajar masyarakat, modul pendidikan
karakter, dll)
 Pendidikan karakter dan etika yang simultan dan berkelanjutan baik di keluarga, sekolah
( PAUD sampai SLTA) dan lingkungan.
 Memperkecil kesenjangan infrastruktur dan sarana prasarana pendidikan antar
wilayah. Guungkidul sebagai wilayah dengan tingkat pendidikan paling rendah mestinya
mendapat posi khusus untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Koordinasi antar
wilayah dan pembagian beban pembiayaan tanpa menabrak rambu kewenangan antar
tingkat pemerintahan untuk mempercepat kesetaraan aksesibilitas dan kualitas
pendidikan antar daerah.
 Membangun sistem pendidikan yang komprehensif, yang memungkinkan siswa
dapat mengembangkan potensi, minat, bakat dan kecerdasan jamak maupun individu
secara maksimal. Berapa langkah yang bisa dilakukan antara lain (1) Mengembangkan
pendidkan yang memberikan kecakapan dan ketrampilan yang relevan dengan
kebutuhan dunia kerja/pasar dimasa depan; (2)mengembangkan metodologi
penyampaian pengetahuan yang menyenangkan dan merangsang kreativitas siswa; (3)
mengembangkan metodologi pendidikan kesehatan reproduksi, pendidikan karakter dan
etika dalam kurikulum, baik intrakrikuler, co kurikuler maupun ekstra kurikuluer yang
14

sesuai dengan umur dan tingkat tumbuh kembang anak (sebagai langkah proteksi untuk
mengurangi potensi kekerasan dan pernikahan usia anak, serta proteksi terhadap
serbuan pornografi); (4) serta sarana prasarana dan infrastruktur yang aksesibel dan
memberikan rasa aman
 Menguatkan kapasitas guru sekolah inklusi dan meningkatkan kuantitas & kualitas
guru pendamping khusus.sehingga guru dapat memberikan pendidikan dan pengajaran
bagi siswa ABK secara setara di sekolah inklusi.
 Menguatkan mekanisme komunikasi antara sekolah, komite dan orang tua, seperti
adanya pertemuan berkala, virtual group, media sosial dan konsultasi on line. Pertemuan
para pihak (sekolah-komite sekolah-orang tua) tidak hanya membahas tentang
pembangunan sarana prasarana fisik sekolah ataupun akademis anak semata, namun
mencakup perkembangan perilaku anak dengan mengedepankan prinsip pendidikan
yang terbaik bagi anak di sekolah, di rumah maupun di lingkungan
 Koordinasi dan kerjasama dengan stakeholder untuk upaya promosi dan pencegaan
tindak kekerasan & penyalahgunaan narkoba di sekolah.

4. Bidang Sosial

Isu gender
UUD 45 mengamanatkan “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hak Azasi
manusia juga mewajibkan negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak azasi
manusia. Pembangunan yang dilaksanakan masih menyisakan kelompok kelompok marginal
yang belum mencapai standar minimal kesejahteraan yang ditetapkan. Kelompok masyarakat
penyandang masalah kesejahteraan ini harus mendapatkan perlindungan sosial untuk mencapai
derajat kesejahteraan minimal yang memenuhi harkat dan martabat kemanusiaan. Beberapa isu
yang ditemukan terkait manfaat pembangunan di bidang sosial antara lain

 Meningkatnya jumlah KK perempuan


Persentase KK menurut jenis kelamin & kab/kota di DIY th
2015-2016
85.60
85.15
84.40

83.87
83.15
82.55

81.76

81.77
80.77
79.88

70.67
70.50
29.33
29.50

100.00
20.12

19.23
18.24

18.23
17.45

16.85
16.13
15.60

14.85
14.40

50.00
0.00

Laki laki 2015 Laki laki 2016 Laki laki 2016 perempuan 2015 perempuan 2016
sumber Dinsos DIY

o Persentase KK perempuan DIY 19,23 %, dimana Gunungkidul adalah wilayah


dengan persentase KK perempuan terendah 14,4 % dan Kota Yogyakarta
merupakan wilayah dengan KK perempuan tertinggi mencapai 29, 50%.
Peningkatan KK perempuan bisa disebabkan karena gap Angka Harapan Hidup
(AHH) laki laki dan perempuan, dimana AHH laki laki 3,6 tahun lebih rendah
dibanding AHH perempuan, juga karena meningkatnya angka perceraian.
Sayangnya informasi KK perempuan ini belum dibareng dengan informasi KK
terpilah usia, KK miskin terpilah, ataupun persentasi KK perempuan yang masuk
dalam kategori Keluarga sejaktera (KS), pra KS, atau miskin. Data pilah ini akan
memberikan informasi yang tepat tentang kebijakan yang bisa mendukung KK
perempuan unuk dapat hidup layak dan sehat.
o Meningkatnya perceraian, terutama yang diajukan perempuan yang jumlahnya lebih
dari 2 kali lipat perceraian yang diajukan laki laki. Tahun 2016 terdapat 5.492 kasus
perceraian di DIY yang diputus oleh Pengadialan Agama dan 181 kasus yang
diputus oleh Pengadilan Negeri. 4 besar penyebab perceraia adalah (1)
pertengkaran terus menerus, (2) meninggalkan salah satu pihak, (3) ekonomi dan
(4) KDRT. Trend ini perlu dikaji lebih lanjut, apakah meningkatnya perempuan yang
15

mengajukan cerai karena kemauannya sendiri (menguatnya kesadaran hak


perempuan) atau karena lemahnya kontrol perempuan (perempuan yang diminta
untuk mengajukan gugatan untuk menghindari tanggungjawab suami terkait
pemberian nafkah pasca cerai, dll). Perceraian berpotensi meningkatkan
kerentanan perempuan, seperti kemiskinan bila perempuan tidak memiliki
kemampuan ekonomi untuk menghidupi dirinya, juga kekerasan sepeti stigma
“janda” yang melekat, bulliying, dll.
 Meningkatnya jumlah lansia terlantar, baik laki laki maupun perempuan. peningkayan
jumlah lansia terlantar ini terjadi disemua kabupaten kota, namun Gunungkidul dan
Bantul adalah dua kabupaten dengan jumlah dan persentase lansia terlantar terbanyak.
Data ini sejalan dengan peningkatan AHH juga jumlah KK perempuan dan meningkatnya
jumlah penduduk miskin. Bila dilihat dari jenis kelamin, jumlah lansia terlantar
perempuan 2,3 kali lipat jumlah lansia terlantar laki laki (23.711 perempuan : 10.041 laki
laki)
PERSENTASE LANSIA TERLANTAR DI DIY TH 2016

Yogyakarta
Sleman Kulonprogo
4%
16% 19%

Bantul
22%
Gunungkidul
39%

sumber Dinsos DIY

 Meningkatnya jumlah anak yang hidup di jalan, dimana anak perempuan yang hidup
dijalan meningkat menjadi 81% sementara anak laki laki meningkat 32%. Pilihan untuk
hidup dijalan, dikontribusi oleh lemahnya fungsi keluarga, seperti anak memang memilih
hidup dijalan karena konflik internal keluarga, pengaruh kawan sebaya, faktor ekonomi ,
penelantaran, tidak punya keluarga . Keberadaan anak hidup dijalan juga menjadi
petunjuk awal kemungkinan terjadinya trafficking. Media sosial ditengarai menjadi
modus baru trafficking , baik yang dilakukan oleh oleh anak maupun orang dewasa. Hal
ini perlu penelitan lebih lanjut dan penyikapan yang lebih arif tentang penggunaan media
sosial. Fungsi keluarga yang melemah sekali lagi ditengarai berkontribusi pada
meningkatnya PMKS anak.
 Masih ditemukan anak terlantar meskipun jumlahnya mengami penurunan baik anak laki
maupun anak perempuan.jumlah anak terlantar di DIY sebanyak 14.422 (7.893 L : 6.529
P) sementara balita terlantar sebanyak 1.821 (918 L : 903 P) Anak terlantar potensial
dihasilkan dari perceraian (di Gunungkidul dan Sleman ada kecenderungan pernikahan
usia anak berakhir dengan percerai pada 2 th pertama perkawinan. Anak terlantar bisa
juga karena faktor ekonomi, dimana orang tua harus mencari nafkah diluar daerah dan
anak harus tinggal bersama kerabat.
JUMLAH ANAK & BALITA TERLANTAR MENURUT
KAB/KOTA & JENIS KELAMIN DI DIY TAHUN 2016
2,327
2,093

Kulonprogo Bantul Gunungkidul


2,023

1,871
1,777

1,632
1,286

1,106

318

265
254

237

200
182
166
164

154
143

26

19

L P L P

ANAK TERLANTAR BALITA TERLANTAR


sumber Dinsos DIY, updating
 Masih ditemukan anak perempuan dan laki laki yang tidak memilki akta kelahiran.tahun
2016 terdapat 2,7 % anak di DIY yang tidak memiliki Akta Kelahiran dimana anak laki
laki 2,9 % lebih banyak dibanding anak permepuan yang tidak memiliki akta yang
persentasenya mencapai 2,43 %. Kabupaten Sleman adalah daerah dengan persentase
16

anak yang tidak memiliki akta kelahiran terbesar sementara Kulonprogo adalah
kabupaten dengan anak yang tidak memiliki akte kelahiran terendah. Hal ini bisa
disebabkan karena (1) sosialisasi dan prosedur pengurusan akta yang tidak dipahami
oleh masyarakat, (2) bidan atau rumah sakit yang membantu kelahiran tidak
memberikan layanan akta kelahiran, (3) orang tua tidak memiliki kelengkapan dokumen
(4)orang tua sengaja tidak mau mengurus akta kelahiran. Anak yang tidak memiliki akta
kelahiran sebagai hak identitas, rentan tidak mendapatkan hak dasar yang lain, karena
akta diperlukan ketika anak akan bersekolah, atau KIP/KIS dll.
 Perempuan dan anak Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH)
o Banyaknya ABH baik sebagai korban, saksi maupun pelaku. Begitu juga jumlah
tahanan dan napi perempuan, juga anak laki laki yang menjadi tahanan dan napi
meningkat di tahun 2016. Berikut adalah grafik ABH yang ditangani oleh PSBR
ABH menurut kab/kota & jenis kelamin di DIY Meningkatnya
Th 2016 jumlah tahanan dan
DIY 9
175
Yogyakarta 1
16 lapas baik laki laki
Sleman 3
1
76 maupun perempuan
Gunungkidul 20
Bantul 4
39 bisa disebabkan
Kulonprogo 0
24 karena
0 50 100 150 200 meningkatnya
sumber DInsos DIY, updating PMKS P L
kebutuhan ekonomi,
JUMLAH PENGHUNI LAPAS DAN gaya hidup biaya
RUTAN MENURUT JENIS KELAMIN DI
tinggi, penggunaan
847

DIY TH 2016
narkoba.
428

Keterpaparan
81
33

12

14

0
budaya hedonis dan

1
L P L P berbiaya tinggi
DEWASA ANAK melalui Media baik
tahanan napi
Sumber Kemenkumham DIY mainstream maupun
o Konseling yang terbatas pada korban, sementara pelaku belum mendapatkan
layanan konseling yang membantunya untuk tidak mengulang tindakan hukum yang
pernah dilakukan.
Keterbatasan sumberdaya baik manusia maupun sarana prasarana dalam
penanganan ABH seperti LPAS,LPKS, juga kapasitas penyidik & JPU yang
belum semua berperspektif hak anak.
Koordinasi antar petugas belum berjalan baik.
 Bertambahnya penyandang disabilitas laki laki 3,5 kali lebih banyak dibanding
penyandang disabilitas perempuan. Jumlah penyandang disabilitas laki laki meningkat
sebanyak 864 orang dan penyandang disabilitas perempuan bertambah 244 orang.
Sedangkan penyandang disabilitas anak perempuan dan laki laki menurun jumlahnya.
Penurunan jumlah penyandang disabilitas anak bisa dikarenakan mereka sudah dewasa
atau karena meninggal. Bila diasumsikan penurunan penyandang disabilitas anak
karena mereka beranjak dewasa, peningkatan jumlah penyandang disabilitas dewasa,
bukan hanya karena pendewasaan penyandang disabilitas anak semata, namun juga
karena sebab lain seperti kecelakaan atau penyakit (amputasi, stroke dll). Kondisi ini
berkaitan dengan perilaku, gaya gidup, meski perlu juga melihat tentang layanan
kesehatan, baik informasi tentang kesehatan maupun ketepatan dan kecepatan
penanganan kasus yang potensial mengakibatkan seseorang menjadi penyandang
disabilitas.
 Meningkatnya beban perempuan dalam keluarga dengan penyandang disabilitas, anak
terlantar, ABH, ABK maupun lansia, karena konstruksi gender yang berlaku di
masyarakat bahwa pengasuhan dan urusan domestik menjadi tanggungjawab
perempuan.
17

Rekomendasi
 Proteksi sosial kepada lansia miskin, terlantar yang sudah tidak produktif, dan
penyandang disabilitas miskin yang tidak produktif baik melalui pemberian bantuan
jatah hidup (pangan, non pangan), jaminan kesehatan maupun memberdayakan
ekonomi keluarga yang bertanggung jawab atas lansia miskin terlantar-tidak produktif
dan penyandang disabilitas tidak produktif tersebut.
 Pemberdayaan ekonomi dan penyertaan modal kepada KK perempuan miskin, KK
miskin dengan penyandang disabilitas, penyandang disabilitas dan lansia produktif untuk
meningkatkan kemampuan ekonomi dengan mempertimbangkan potensi
individu/lingkungan dan pasar. Pemberdayaan bukan hanya dengan memberikan
pelatihan ketrampilan dan modal kerja atau peralatan, namun juga mendukung
pemasaran dan memastikan kemandirian baik melalui wirausaha atau bisa bekerja
dan terangkat dari kemiskinan.
 Menguatkan fungsi keluarga. Anak terlantar, anak yang hidup di jalan, anak yang
berhadapan dengan hukum, lansia terlantar dikembalikan kepada keluarga dengan
memberikan bantuan sesuai dengan sebab keterlantaran dan atau terlibat dalam kasus
hukum. (sebagai contoh bila karena kemiskinan, maka peningkatan ketrampilan dan
akses ekonomi kepada keluarga menjadi penting. Jika karena interaksi dalam keluarga,
maka konseling, membangun relasi sosial melalui keterlibatan dalam kelompok untuk
horisontal learning & mendorong adanya peer conselor bisa diterapkan). Penguatan
fungsi keluarga didorong untuk membangun relasi yang setara baik laki laki dan
perempuan dalam keluarga, untuk bisa berbagi peran dengan adil. Penguatan fngsi
keluarga dibarengi dengan pendidikan kesetaraan gender bagi keluarga baik ayah, ibu,
baik melalui kelembagaan yang sudah ada seperti BKB, BKL, BKR, keluarga sadar
gender, Dasa wisma, PKK, desa prima, P2WKSS, dll.
 Menguatkan kerjasama para pihak baik OPD, masyarakat sipil, desa, private sektor,
media dan instansi yang terkait dengan penanganan dan proteksi sosial penyandang
masalah kesejahteraan sosial (PMKS), untuk mendorong sinergitas penanganan PMKS
dan menghindari overlaping kewenangan dan tanggungjawab.
 Kampanye melalui media mainstream maupun media sosial dan mendorong Lembaga
Penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia melakukan pengawasan. Begitupun Komisi
Penyiaran Publik melakukan pengawasan dan mendorong aksesibilitas regulasi,
kebijakan dan program OPD yang relevan.
 LKS (Lembaga Kesejahteraan Sosial) dan PSBR mendorong penghuni untuk mandiri
dan bertanggungjawab (dalam perspektif perlindungan).
 Optimalisasi peran pendamping untuk memastikan data terupdate & valid, program tepat
sasaran dan mendorong percepatan pengentasan PMKS.

5. Ekonomi, Ketegakerjaan dan UMKM


Kemiskinan berwajah perempuan, salah satunya adalah terkait dengan bidang ekonomi,
dimana akses dan kontrol sumber daya perempuan bisa ditemukan di berbagai level. Begitu juga
berbagai bentuk kesenjangan gender yang lain seperti ketimpangan upah, akses kepada
pekerjaan dan pengembangan karir, hingga kepemimpinan perempuan dalam dunia bisnis.
Namun walaupun sedekat itu, di sini pulalah salah satu wilayah yang paling menunjukkan betapa
upaya mengurangi kesenjangan berbasis gender tidaklah mudah untuk dilakukan Sektor ekonomi
menjadi faktor penyumbang kesenjangan terbesar dalam IPG maupun IDG. Meskipun terjadi
peningkatan sumbangan pendapatan perempuan, dan secara umum DY diatas rata rata nasional.
Berikut adalah beberapa isu yang masih ditemukan di DIY.
 Beban ganda perempuan pekerja. Sumbangan pedapatan perempuan DIY tahun 20155
sebesar 40,46 % diatas rata rata nasional kecuali kabupaten Kulonprogo. Artinya
perempuan bukan lagi sebagai pencari nafkah tambahan, namun sebagai co partner laki
laki. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi laki laki dan perempuan di bidang ekonomi

5
Belum dilansir data IPM, IPG dan IDG tahun 2016.
18

semakin setara, Namun dalam urusan domestik dan penentuan kebijakan, masih
terdapat kesenjangan kontribusi laki laki dan perempuan. hal ini berdampak, perempuan
mengalami beban ganda ketika partisipasi laki laki dalam ranah domestik tidak
mengalami peningkatan.

Provinsi/ Sumbangan Pendapatan Perempuan (%)


Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 2015
D I YOGYAKARTA 38,41 39,18 39,55 39,87 40,19 40,46
Kulon Progo 31,67 31,97 32,07 32,32 32,58 33,17
Bantul 37,35 37,94 38,87 38,97 39,07 38,65
Gunung Kidul 37,87 38,4 37,64 38,05 38,46 39,06
Sleman 36,43 37,79 36,72 37,16 37,59 38,47
Kota Yogyakarta 40,7 42,08 42,97 43,34 43,71 43,44
INDONESIA 33,5 34,16 34,7 35,17 35,64 36,03

Sumber BPS,
 Tingginya persentase perempuan bekerja tidak dibayar di tahun 20156 mencapai diatas
80%. Pandangan bahwa perempuan adalah pencari nafkah tambahan melekat kuat dan
berdampak pada banyaknya jumlah dan persentase pekerja perempuan yang tidak
dibayar. Pekerja tidak dibayar ini biasanya masih memilki hubungan keluarga dan
seringkali dikerangkai sebagai latihan bekerja bagi anak ataupun sebagai balas jasa (
misalnya ngenger). Hal ini menunjukkan timpangnya relasi kuasa, juga berdampak pada
rendahnya kesejahteraan perempuan. disisi lain, terjadi peningkatan permpuan yang
menjadi pengusaha baik yang dibantu buruh tetap ataupun dibantu buruh tidak tetap.
Hal baik ini menunjukkan perempuan semakin mandiri secara ekonomi, juga
menunjukkan makin banyak perempuan sebagai pencari nafkah utama keluarga. Bila
hal ini tidak diikuti dengan membaiknya relasi kuasa dalam budaya patriarkhi, maka
semakin banyak perempuan yang mengalami beban ganda.

persentase pekerja menurut status pekerjaan dan jenis


kelamin th 2014-2015
86.10%
2014 L 2014 P 2015 L 2015 P

80.96%

80.39%
83.33%
67.71%
64.71%

71.78%

62.54%
62.06%
69.44%

61.58%
53.16%

59.47%
50.63%
49.37%

40.53%
46.84%

38.42%
37.94%

37.46%
35.29%

32.29%
30.56%

28.22%

19.61%
16.67%

13.90%

19.04%
Pekerja tak
Buruh/karya
(buruh tidak

(Buruh tetap)

pertanian

bebas non
Berusaha

bebas di

pertanian
Pekerja
Berusaha
Sendiri

Pekerja
Berusaha

dibayar
Dibantu

dibantu
tetap)

wan

sumber BPS Sakernas


 Di sektor formal, jumlah laki-laki yang terserap lebih banyak dibandingkan perempuan.
Ini terjadi secara merata di kelima kabupaten/ kota di DIY, baik pada tahun 2014 maupun
tahun 20157. Data ini menguatkan bahwa laki laki adalah pencari nafkah utama, dan
perempuan masih menjadi warga klas 2 di sektor ekonomi sehingga di sektor formal
partispasi laki laki lebih tinggi dibanding perempuan. lebih lanjut, penting untuk melihat
bagaimana akses juga prasyarat pendidikan dan kapabilitas yang dibutuhkan bekerja di
sektor formal berkontribusi pada ketimpangan partisipasi kerja di sektor formal.

6 Belum tersedia data tahun 2016. Beberapa data yng ekonomi yang didapat ari BPS, tidak terupdate
karena tidak dilakukan.
7
Belum tersedia data tahun 2016
19

 Sementara di sektor informal, jumlah laki-laki di beberapa wilayah yang terserap di sektor
ini, juga lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, namun dengan selisih yang
lebih tipis dibandingkan dengan perbedaan di sektor formal

Jumlah pekerja di Sektor Formal dan Informal menurut


kabupaten kota dan jenis kelamin di DIY tahun 2014-2015
700,000
600,000
500,000
400,000
300,000
200,000
100,000
0
2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015

Laki laki Perempuan Laki laki Perempuan


Kulonprogo
Pekerja di Sektor Formal Bantul Gunungkidul
Pekerja di Sektor In Formal

sumber, BPS Sakernas

 Meningkatnya jumlah perempuan Tenaga Kerja Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) , dan
penurunan jumlah laki laki AKAD, meski bila dilihat di tiap daerah sesungguhnya terjadi
peningkatan AKAD laki laki maupun perempuan kecuali Sleman. dan AKAD laki laki
Gunungkidul. Sementara untuk Tenaga Kerja Antar Negara (AKAN) memperlihatkan data
yang sebaliknya. Bantul menunjukkan peningkatan AKAN laki dan perempuan yang cukup
besar.
o Ketersediaan lapangan kerja dan kesesuaian kompetensi tenaga kerja di daerah,
juga aksesibilitas dan peluang kerja di daerah atau negara lain
o Meningkatnya partisipasi perempuan dalam sektor produktif. Kebutuhan ekonomi
menjadi salah satu alasan perempuan mengambil risiko menjadi pencari nafkah
dengan meninggalkan keluarga.
o Kebijakan perusahaan yang menerapkan batasan jenis kelamin bagi calon
pekerja.Hal bisa karena Kebijakan upah perempuan yang lebih rendah yang
menguatkan adanya subordinasi dan relasi kuasa yang tidak setara antara laki laki
dan perempuan.
o Meskipun tersedia lapangan kerja di daerah, namun tidak bisa menyerap tenaga
kerja lokal. Pertimbangan (1) upah, oportunity jenjang karir, fasilitas yang
disedikan perusahaan yang tidak sesuai ekspektasi naker dan (2) cara pandang
baik tenaga kerja maupun orang tua, bahwa menjadi buruh tidak kredible, tidak
keren, sehingga memilih bekerja sebagai buruh di luar daerah dari pada menjadi
buruh di daerah sendiri.

AKAD & AKAN MENURUT KAB/KOTA & JENIS


K E L A M I N D Bantul
Kulonprogo
I D I Y T H 2 Gunungkidul
016
1268
1043
631

569

537
349

256
245
235

209

145
130
129

99
76
65
47

48

33
24

21

16
10
1

L P L P

Sumber DIsnakertransADIY
KAD AKAN

 Stagnasi UMK (Usaha Mikro Kecil) dan UKM (Usaha Kecil Menengah), juga pelatihan
UMK. Tidak terjadi peningkatan jumlah maupun peningkatan kapasitas dalam
pengembangan UMK dan UKM, padahal UMK dan UKM DIY banyak bekerja pada sektor
industri keatif yang menjadi salah sau fokus pengembangan industri DIY. Data 2016
20

memperlihatkan bahwa lebih banyak perempuan pengelola UMK & UKM. Namun data
ini masih perlu ditelusuri lebih jauh karena masih dilakukan input dan keserasian data
juga kesepahaman tentang batasan operasional UKM-UMK.
 Pekerja anak tidak terdata secara formal. Koordinasi dan pembagian kewenangan masih
menjadi PR para pihak terkait ( Dinas Sosial, Institusi perlindungan anak)
 Relasi kuasa antara pekerja dengan bos/mandor menjadikan pekerja perempuan di
sektor formal dan informal rentan mengalami kekerasan. Data kekerasan menunjukkan
bahwa tempat bekerja menjdai salah satu lokus terjadinya kasus kekerasan yang
terlapor. Perlu penelusuran lebih jauh untuk mendapatkan data riil kasus kekerasan &
trafficking di tempat kerja

Rekomendasi
 Keserasian data antara data di kabupaten/ kota dan provinsi .
 Pendidikan dan pelatihan ketrampilan yang relevan & selaras dengan kebutuhan
lapangan kerja baik kepada perempuan maupun laki laki
 Membuka kesempatan kerja bagi generasi muda baik laki laki, perempuan maupun
penyandang disabilitas dengan meningkatkan kesempatan berwirausaha yang didukung
ketrampilan dan pendampingan kemandirian.
 Akses informasi ketegakerjaan dan lowongan pekerjaan yang semakin terbuka dan
terdistribusi dengan baik termasuk bagi penyandang disabilitas.
 Menguatkan hubungan antara OPD dengan pengusaha dan sekolah untuk membuka
wawasan tentang oportunity dunia kerja pasca sekolah.
 Mendorong investasi dengan prodedur perijinan yang cepat, peningkatan standarisasi
upah dan fasilitas yang disediakan perusahaan.
 Mengembangkan pariwisata berbasis komunitas, industri pariwisata terpadu dan
ketersedian sarpras pariwisata seperti pemandu wisata, homestay, kuliner dan
souvenir/cendera mata yang khas dan mengedepankan potensi lokal, berwawasan
lingkungan dan meminimalkan potensi terjadinya trafficking, pekerja anak dan
meluasnya penyakit menular seksual (PMS). Pengembangan pariwisata juga dikuatkan
dengan pembangunan sarana prasarana trasportasi dan jalan raya yang sesui dengan
SOP.
 Pengembangan pertanian, perikanan yang memberikan peningkatan pendapatan &
penyetaraan upah kerja utamanya bagi pekerja perempuan di sektor pertanian.
Pengambangan sektor pertanian perikanan juga didukung dengan dukungan pada
akses pasar dan pengembangan inovasi produk.
 Kerjasama dengan pemerintah daerah dan negara lain untuk memastikan AKAD dan
AKAN mendapatkan perlindungann, jaminan keselamatan dan pemenuhan hak pekerja.
 Koordinasi dengan stakeholder ketenagakerjaan (OPD terkait, masyarakat sipil, PT,
perusahaan, media) untuk memastikan perlindungan pekerja baik terkait hak pekerja
(upah, hak cuti) juga perlindungan pekerja dari kekerasan bebasis gender (misalnya
akses peningkatan karir dan mereduksi relasi kuasa yang tidak setara)
 Peningkatan fungsi keluarga, untuk memastikan perlindungan dan meminimalkan
kekerasan gender dalam keluarga.(kesetaraan peran dan kontrol laki laki & perempuan)
 Edukasi kepada masyarakat baik melalui sosialisasi, kampanye melalui media
mainstream dan media sosial terkait cara pandang gender dan imaji buruh
 Forum UKM-UMK sebagai ruang horisontal learning, membangun link/jaringan,
kemitraan, maupun promosi produk
 Akses modal & dukungan pengelolaan bisnis bagi pelaku UMK, utamanya pelaku usaha
mikro

6. Partisipasi Perempuan dalam Kebijakan Publik


Politik perlu dimaknai bukan hanya terkait dengan proses elektoral seperti Pemilu yang
berujung pada profil kepemimpinan politik formal di suatu wilayah, namun juga bisa bagaimana
21

dengan proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai ruang dan kelembagaan. Isu
keterlibatan perempuan dalam kelembagaan politik menjadi salah satu catatan penting yang
menggambarkan keberhasilan ataupun kegagalan strategi pengarusutamaan gender. Dalam hal
ini, keterlibatan dalam kelembagaan seperti lembaga daerah, adalah capaian penting yang bisa
menjadi salah satu penanda dan prasyarat untuk mendorong pemenuhan hak dasar perempuan
yang lebih baik. Di luar itu, kepemimpinan dalam organisasi sosial politik juga menjadi bagian
dalam mendorong lebih banyak keputusan yang berpihak kepada perempuan yang dihasilkan.
Terkait dengan partisipasi perempuan dalam kebijakan publik berikut adalah isu yang ditemukan
:

 Melemahnya partisipasi dan kontrol perempuan dalam pengambilan kebijakan publik.


Quota 30% Perempuan yang menduduki jabatan publik baik di lembaga eksekutif,
legislatif maupun yudikatif secara umum masih belum terpenuhi. kecuali jaksa dan
pejabat eselon 3, 4 dan 5,
o Lembaga Eksekutif
Perempuan yang menduduki jabatan kepala daerah mengalami penurunan
dari 40% menjadi 20% di tahun 2016, sementara persentase perempuan wakil
kepala daerah masih tetap 20%.
Jumlah camat perempuan, tetap pada posisi 9% dari 78 camat di DIY.
Gunungkidul tidak ada satupun perempuan yang menduduki jabatan camat di
tahun 2016
Sementara perempuan yang menduduki jabatan lurah atau kepala desa pada
tahun 2016 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya dari 10,3% menjadi
9,6%,, namun Bantul bertambah satu orang perempuan kepala desa.
Perempuan di DIY yang menduduki jabatan eselon 2 dan eselon 3 meningkat
jumlahnya, terutama di pemda DIY. Sementara eselon 4, jumlahnya menurun
sangat banyak, terutama karena restrukturisasi kelembagaan OPD, namun
DIY justru mengalami peningkatan jumlah laki laki dan perempuan yang
menduduki jabatan eselon 4. Data menunjukkan bahwa semakin tinggi
jabatan struktural, Persentase perempuan justru semakin rendah, meskipun
persentase pegawai golongan 3 dan 4 lebih banyak perempuan dibanding
laki laki.
Komposisi perempuan dalam baperjakat daerah masih rendah, hanya Sleman
dan pemda DIY yang memenuhi quota 30%. Rendahnya persentase
perempuan dalam baperjakat ini bisa jadi berpengaruh pada dukungan pada
perempuan untuk menduduki jabatan pengambila kebijakan., meski hal ini
masih bisa dipertanyakan berkaitan dengan pandangan perempuan dan laki
dalam mendorong kepemimpinan perempuan.
o Lembaga Legislatif
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Beberapa isu yang masih
ditemukan antara lain (1) Quota 30 % perempuan belum terpenuhi, (2) kualitas
partisipasi & kontrol perempuan di parlemen dan (3) kepercayaan masyarakat
kepada dewan
Kepengurusan partai politik . Beberapa isu gendernya antara lain, partisipasi
perempuan dalam kepengurusan partai masih dibawah 20% kecuali kota yang
menapai 27%. Beberapa disebabkan karena perempuan tidak tertarik berkarir
di dunia politik, dukungan partai terhadap kepemimpinan perempuan masih
setengah hati.
Komposisi BPD. Meski mengalami peningkatan jumlah BPD perempuan,
namun persentasenya baru mencapai 5%.
o Lembaga Yudikatif.
Meski sudah diatas quota 30%, namun persentase jaksa perempuan yang
menduduki jabatan struktural dan fungsional mengalami penurunan dari
22

51.37% di tahun 2015 menjadi 45,76% di tahun 2016. Penurunan persentase


ini terutama pada terjadi pada jabatan struktural.
Perempuan yang menjabat sebagai hakim dan pejabat struktural di jajaran
pengadilan di DIY mengalami penurunan yang signifikan dari 28,57% di tahun
2015 menjadi 9,09% di tahun 2016
Perempuan yang menduduki jabatan di kepolisian mengalami penurunan dari
8,8 % di tahun 2015 menjadi 6,25% di tahun 2016.
o Penyebab rendahnya persentase perempuan yang menduduki jabatan publik
antara lain karena :
Pandangan masyarakat (termasuk pegawai) bahwa laki laki adalah pencari
nafkah utama, sehingga karir suami menjadi lebih penting dibandig karir istri.
Pandangan masyarakat (termasuk pegawai) bahwa perempuan kurang berani
mengambil keputusan strategis dibanding laki laki, sehingga laki laki lebih tepat
untuk menduduki jabatan strategis.
Menguatnya fundamentalisme tekstualis yang juga menempatkan posisi
perempuan identik dengan urusan domestik .
Pendidikan politik di keluarga tidak cukup mengajarkan anak berpartisipasi
(termasuk berdialog dan bernegosiasi) dalam pengambilan keputusan
keluarga,
Keteladanan yang jumlahnya semakin sedikit
 Beban ganda perempuan pekerja dan belum setaranya proses pengambilan keputusan
dalam keluarga. Perempuan memiilih berkarir dengan “sakmadyo” dengan
pertimbangan peran sebagai penangungjawab urusan domestik, terutama dalam
pemenuhan kebutuhan harian keluarga dan pengasuhan anak.
 Dukungan bagi kepemimpinan perempuan masih terbatas, termasuk dari perempuan
maupun dari keluarga.
Tingginya jumlah caleg perempuan yang tidak sebanding dengan jumlah anggota
legislatif perempuan memperlihatkan bahwa disatu sisi, perempuan masih menjadi
pelengkap prasyarat quota 30%, kurangnya modal ( baik kapasitas internal, modal dan
pengalaman) yang dimiliki perempuan menjadi peluang bagi lawan politk baik yang
berasal dari partai yang sama ataupun lain partai. Hal ini juga mengambarkan
bagaimana pendidikan politik dalam keluarga tidak cukup mendorong perempuan untuk
menjadi pemimpin dan memilih karir profesional maupun politik.

Rekomendasi
 Menguatkan ketahanan dan fungsi keluarga, sebagai pendidikan politik sejak dini,
dimana anak laki laki maupun perempuan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan
keluarga sebagai basis dalam partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik (baik
dalam keseharian di masyarakat maupun berkarir).
 Membangun basis literasi yang mendukung peran perempuan dalam pengambilan
kebijakan publik, termasuk contoh empirik, baik berbasis budaya maupun keagamaaan.
 Pendidikan politik kepada perempuan dan laki laki. Pendidikan politik kepada
perempuan dilakukan simultan dengan membangun kemandirian ekonomi perempuan.
 Gender sebagai materi wajib dalam modul diklat yang diimplementasikan oleh Badan
Diklat.
 Pemda bekerjasama dengan organisasi sosial politik untuk pendidikan politik yang
berperspektif gender, misalnya pemda dan KPU menginisiasi pelatihan politik yang
berpespektif gender bagi kader parpol bekerjasama dengan partai politk,Memasukkan
materi pendidikan politik dan gender dalam materi diklat kewirausahaan bagi pelaku
usaha UKM,UMK, pengusaha muda bekerjsama dengan IWAPI atau KADIN, HIPMI dll
. Dukungan untuk peningkatan kompetensi politik perempuan bukan hanya berhenti di
pelatihan, namun harus ada monitoring dan dukungan bagi perempuan untuk menduduki
jabatan politik.
23

 Evaluasi pelaksanaan pendidikan politik perempuan untuk menemukenali relenvansi,


efesiensi , efektifitas dan dampak dari pendidikan politik perempuan yang telah
dilaksanakan. evaluasi ini sekaligus untuk mendokumentasikan praktek baik dan
tantangan dalam mendorong paritisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam
pengambilan kebijakan publik.
 Mendorong peran media dalam pemberitaan kepemimpinan dan partisipasi perempuan
dalam pengembilan kebijakan publik

7. Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak


Kekerasan merupakan persoalan pelanggaran hak, termasuk juga didalamnya adalah kekerasan
berbasis gender. Yang khas dari kekerasan berbasis gender adalah argumen dan nalar dibalik
tindakan kekerasan ini, yang menggambarkan bekerjanya kerangka relasi kuasa berbasis
gender. Kekerasan berbasis gender, kerapkali dipakai sebagai pembenaran atas tindakan-
tindakan pendisplinan, namun sebetulnya sangat berpotensi menyembunyikan persoalan
sesungguhnya tentang ketidaksetaraan dan ketidakdilan relasi. Dalam tata nilai yang patriarkhis,
kekerasan berbasis gender telah menjadikan perempuan dan anak-anak menjadi korban dan
paling terpapar dari berbagai bentuk kekerasan. Berikut adalah isu gender terkait kekerasan
terhadap perempuan dan anak di DIY.

 Meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus kekerasan pada perempuan dan anak
jumlah korban kekerasan menurut jenis kelamin & kelompok umur di
DIY tahun 2016

jumlah 1280
247
25 Tahun ke atas 713
45
18<25 Tahun 247
13
0<18 Tahun 320
189

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

Sumber BPPM Perempuan Laki-laki

Kota Yogyakarta dan Sleman merupakan wilayah dengan jumlah kasus kekerasan
paling tinggi. Kasus kekerasan terjadi pada perempuan dewasa didominasi oleh KDRT
seperti kekerasan fisik dan psikis, sementara kekerasan pada anak terlihat bervariasi
seperti penelantaran, pencabulan, pelecehan seksual,perkosaan, kekerasan fisik dan
psikis. Perempuan korban lebih banyak yang tidak bekerja, dengan pendidikan berfariasi
mulai tidak berpendikan , sampai yang berpendidan S3, namun mayoritas berpendidikan
tamat SLTP. Hubungan pelaku dengan perempuan dan anak korban kekerasan nampak
dalam grafik berikut dimana pelaku kebanyakan adalah suami/istri dan orang tua.
hubungan korban pelaku dengan korban

suami/istri
5%
28% Orang Tua
45%
Keluarga
Pacar
10% 3%
Lainnya
9%
data blm lengkap

Sumber BPPM

Data diatas memperlihatkan bahwa fungsi keluarga tidak berjalan baik, begitupun
ketimpangan relasi kuasa pelaku dengan korban. Beberapa isu terkait dengan
meningkatnya korban kekerasan antara lain
24

o Konstruksi budaya kekerasan yang dilakukan secara masif


Paparan informasi melalui media mainstream yang justru mempertontonkan
perilaku kekerasan, keculasan, ketidak harmonisan keluarga, termasuk
bagaimana negara mempertontonkan kekerasan ( penggusuran, razia
misalnya)
Perusakan anak secara sistematis oleh orang tua dimana
 Kelekatan amak dan orang tua yang rendah karena (1) Pola
pengasuhan yang salah, kasar dan oraang tua tidak mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapi anak; (2) Pengabaian dan
kurangnya penghargaan orang tua pada anak, sehngga anak mencari
pengargaan dan pengalaman di luar keluarga; (3) Orangtua
cenderung memberi perintah, bukan memberi contoh, keteladanan
orang tua menjadi panutan anak dalam berperilaku; (4)orang tua
memberi fasilitas seperti gadget, motor, dengan pengawasan yang
minim karena orang tua sibuk dengan urusan pekerjaan, dan
keasyikannya sendiri), juga
 Gaya hidup, dimana orang tua bangga bisa memberi fasilitas gadget
yang canggih untuk anak. Orang tua juga bangga terhadap anaknya
yang cepat pintar mneggunakan gadget tanpa pengawasan
penggunaan.
 Gap kemampuan menggunakan teknologi ( gadget, komputer) antara
anak dan orang tua dimana anak memiliki daya serap terhadap
informasi dan teknologi yang cepat, menjadikan orang tua tidak bisa
mengontrol penggunaan teknologi.
Belum cukup kuatnya kesadaran masyarakat dan pengambil kebijakan terkait
konstruksi budaya baru melalui media dan pasar (kepentingan ekonomi,
penetrasi pasar untuk produk tertentu ) yang lebih dikenal sebagai perang
generasi ke 4
Keteladanan berperilaku yang makin sulit ditemukan di masyarakat.
o Penanganan perempuan dan anak korban kekerasan yang belum berperspektif
perlindungan .
Mindset petugas belum berperspektif perlindungan hak anak ( baik kepada
anak korban kekerasan maupun anak pelaku kekerasan)
Keterbatasan sumber daya baik SDM maupun sarana prasarana penanganan
korban kekerasan
Kesepahaman antara orang tua dan petugas belum pada satu tujuan yang
sama. Orang tua yang cenderung melindungi secara berlebihan bukan pada
perspektif memberikan yang terbaik bagi anak (welas tanpa alis)
Pembiaran dan penanganan korban kekerasan yang lambat
Masih lemahnya deteksi dini dan pelayanan cenderung bersifat respon kasus.
Kekerasan berefek domino, dimana ditemukan beberapa pelaku kekerasan
yang sebelumnya adalah korban. Perlu penelitian lebih lanjut, apakah luka
traumatis korban kekerasan memunculkan dendam dan dorongan untuk
melakukan kekerasan yang sama sehingga bisa diupayakan penanganan
yang tepat bagi korban untuk tidak berkembang menjadi pelaku.
o Peran sekolah yang fokus pada pengembangan akademis siswa dan akreditasi
sekolah.
Menumpukan kesalahan anak bermasah sosial sebagai kesalahan anak
semata. Upaya solutif dengan mempertimbangkan latar belakang belum
cukup dikembangkan sebagai pendidikan moral dan etika kepada anak yang
bermasalah sosial.
o Kekerasan melalui media sosial. Bulliying, kekerasan psikis banyak dilakukan
melalui media sosial baik oleh teman sebaya ataupun karena relasi kuasa yang
25

tidak seimbang. Trafficking juga ditengarai marak dilakukan melalui media sosial
dan mekanisme on line,
 Meningkatnya persentase perempuan yang menikah pertama kali pada usia anak.
peresentase perempuan yang menikah pada usia anak tahun 2016 meningkat 12,76 %
dari 8,85% di tahun 2015 menjadi 21,61%. Pada tahun 2016, Bantul mengalami
kenaikan jumlah pernikahan anak yang signifikan, dimana pada perempuan usia <16
terjadi peningkatan dari 8 menjadi 31 anak dan pada anak laki laki <19 tahun dari 31
menjadi 81. Pernikahan anak perempuan usia 17-21 tahun meningkat lebih 100% dan
laki laki 19-21 th meningkat lebih dari 2 kali lipat jumlah tahun 2015. Kenaikan jumlah
usia pernikahan anak juga terjadi di Kulonprogo. Gunungkidul justru mengalami
penurunan pernikahan usia anak dan pernikahan usia muda. Keberadaan Peraturan
Bupati tentang peningkatan usia perkawinan memberikan hasil yang signifikan pada
pendewasaan usia menikah.
 Relasi kuasa & ketergantungan secara ekonomi perempuan korban kekerasan
kepada pelaku kekerasan menjadikan beberapa kasus kekerasan berhenti pada
penyelesaian kasus secara kekeluargaan.
26

Rekomendasi
 Mengembangkan sistem data kekerasan perempuan dan anak menjadi lebih
komprehensif
 Penyadaran, parenting, konseling yang melibatkan orangtua dan anak sehingga ada
trianggulasi informasi dan terbangun kesepahaman semua pihak dalam memberikan
pendidikan terutama untuk pendidikan karakter, etika dan spiritual.
 Penguatan fungsi keluarga (baik versi BKKBN maupun Kemenag), sebagai pendidikan
dini bagi tentang perlindungan, pengenalan hak dan pengetahuan seksual
reproduksi,etika, spiritualitas dan pendidikan politik . Penguatan fungsi keluarga juga
menempatkan orang tua sebagai teladan bagi anak anak dalam berperilaku.
 Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dengan melibatkan
posyandu, dasa wisma, kelompok siskamling, karang taruna untuk deteksi dini dan
pengawasan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak dan perempuan. Untuk itu
penting dibangun kesepahaman dan pengetahuan tentang “kekerasan” kepada seluruh
masyarakat, utamanya para kader PATBM dan kelompok masyarakat seperti tersebut
diatas.
 Kebijakan bukan hanya pada aspek kuratif dan penanganan untuk merepson kasus
kekerasan yang terjadi, namun dilakukan serara simultan dan terpadu baik repons
kasus yang bersifat kuratif, deteksi dini, preventif, promotif serta penanganan pasca
kasus.
 Mengembangkan sanksi sosial bagi pelaku dengan pengawasan (seperti kerja sosial
melayani korban, di panti rehabilitasi sosial, panti asuhan, sekolah bagi kasus kekerasan
di sekolah, dll) sehingga diharapkan dapat muncul efek jera karena rasa malu,
menumbuhkan empati dan memahami posisi dan perasaan menjadi korban. (perlu
kajian lebih jauh, namun bukan tidak bisa dilakukan, bisa dimulai untuk kasus kekerasan
yang ringan misalnya, dan perlu payung hukum untuk pelaksanaannya)
 Memanfaatkan aset daerah untuk LPKA, LPAS, LPKS, dll meski hal ini perlu dikaji lebih
jauh dengan mempertimbangkan aspek prosedural legal formal dan pertimbangan yang
lebih jauh untuk pembiayaan dll.
 Menguatkan peran sekolah dalam implementasi sekolah yang aman, baik dalam
metodologi, sarana prasarana maupun infratruktur sekolah yang aksesibel dan aman.
Sekolah juga bisa menerapkan “hukuman” berupa sanksi sosial untuk memberi efek jera
kepada anak yang melakukan pelanggaran, seperti kerjabakti membersihkan lingkungan
sekolah/MCK sekolah atau menyiapkan keperluan bahan ajar di kelas misalnya)
 Mengembangkan kerjasama dengan universitas, institusi keagamanan dan/atau
lembaga yang kompeten dalam tumbuh kembang anak, untuk mengembangkan
metodologi yang tepat dalam membentuk karakter manusia yang ber akhlak baik,
sebagaimana karakter manusia jogja yang dikembangkan oleh pemda DIY.
 Memperluas aksesibilitas informasi dan layanan kepada keluarga dan masyarakat
penting dibangun untuk meningkatkan partisipasi keluarga dalam upaya perlindungan.
Informasi bisa didistribusikan baik dalam khotbah jumat, pertemuan pertemuan di
kampung ataupun kampanye melalui poster, videotron maupun media mainstream &
media sosial. Aksesibilitas ini harus dibarengi dengan meminimalkan asimetri
informasi pada laki laki dan perempuan
 Menindak tegas media yang menyebarkan / menyuburkan budaya kekerasan melalui
KPI, PWI, Dewan pers, kepolisian) .
 Intervensi ekonomi membangun kemandirian perempuan, sebagai salah satu langkah
strategis perlindungan perempuan dan anak.
 Memastikan regulasi terkait perlindungan korban kekerasan dapat dilaksanakan dan
ditegakkan dengan (1) memastikan regulasi dan peraturan turunannya sudah
berperpektif perlindungan, implemetatif dan mendapatkan dukungan anggaran yang
memadai. (2)) stakeholder memiliki kesamaan & kesepahaman persepsi dan tafsir
aturan yang berlaku, (3) meningkatkan kapasitas petugas dan relawan perlindungan
perempuan & anak.
27

 Konseling bukan hanya diberikan kepada korban namun juga kepada pelaku kekerasan
dan saksi.
 Membangun knowledge manajement, mendokumentasikan praktek baik,
mengembangkan horisontal learning dan literasi berbasi agama dan budaya
 Promosi perlindungan permpuan dan anak melalui kegiatan kebudayaan dan media
seni.
 Review rencana aksi perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
 Mendorong layanan berbasis media sosial untuk konsultasi dan promosi perlindungan
perempuan dan anak.

8. Pengarusutamaan Gender di DIY


Pengarusutamaan gender yang telah cukup lama dilakukan, menunjukkan banyaknya
capaian pembangunan gender, namun tidak berarti tidak lagi ditemukan kesenjangan
gender. Data pembangunan memperlihatkan capaian yang menggembirakan seperti
membaiknya IPG, namun capaian yang fluktuatif memperlihatkan pembangunan gender
yang dilakukan belum melembaga dan menghasilkan perubahan relasi gender yang
signifikan. Berikut adalah temuan isu gender terkait implementasi PUG di DIY
 Capaian IDG yang fluktuatif, memperlihatkan pembangunan gender belum melembaga.
Partisipasi keterlibatan perempuan di parlemen yang rendah berkontribusi besar dalam
capaian IDG. Persentase perempuan sebagai tenaga profesional DIY (45,3) masih
dibawah nasional (46,03), kecuali Kota Yogyakarta (58,17) dan Bantul (46,31). Dan
meski sumbangan pendapatan perempuan membaik dan berada di atas rata rata
nasional ( kecuali Kulonprogo), namun belum cukup untuk mendorong peningkatan IDG.
Tahun 2015 IDG DIY, dan IDG beberapa kabupaten masih dibawah IDG Indonesia
(70,83) kecuali Sleman dan Kota Yogyakarta.

IDG menurut Kab/Kota di DIY tahun • Capaian IDG di DIY fluktuatif


selama 3 tahun terakhir
2013-2015 • Meski mengalami penurunan
85
80
75 IDG, Kota dan Sleman
70
65
60
55
50
2013 2014 2015
memperlihatkan capaian IDG
yang diatas kab yang lain
Kulonprogo 59.26 63.68 67.26 • Bantul meski memperlihatkan
Bantul 68.88 61.18 61.77 peningkatan di tahun 2015
Gunungkidul 66.01 68.27 64.48
namun masih dibawah IPG
DIY
Sleman 72.3 79.37 77.61 • Gunungkidul mengalami
Yogyakarta 71.75 79.44 79.33 penurunan IDG yang cukup
DI.
besar dan masih tetap di
76.36 66.9 68.75 bawah IDG DIY
Yogyakarta
• Kulonprogo memerlihatkan

 Implementasi strategi PUG yang masih menunjukkan beberapa persoalan sebagaimana


grafik berikut
28

•Tools masih dirasa rumit


• Banyak regulasi yg sudah disusun.
Perda, Pergub, SE •Data pilah updated ?
• vagaimana implementasi dan •Kapasitas analisa nasih perlu
penegakan aturan? ditingkatkan
• Analisa masih dilakukan untuk menilai
Regulasi PPRG kegiatan yang s sudah dirancang,
bagaimana dengan analisa ke
kebijakan/program? Apakah isu gender
menjadi
• pertimbangan
Pemberdaya •Peran masyarakat sipil dalam
• Pemberdayaan ekonomi perempuan Kelembagaa •Banyak lembaga yang sudah
an dukungan kebijakan dan
sudah banyak dilakukan, ada n dibentuk, namun belum cukup
Perempuan anggaran
peningkatan kontribusi pendapatan mewarnai kebijakan
perempuan, kontrol aset dalam • sebagain mati suri, sebagian belum
keluarga, dan relasi kuasa yg timpang cukup kuat mempengaruhi kebijakan
masih berlangsung ( misal Fokal point gender)
• Dilakukan Pendidikan politik bagi •Kaukus perempuan parlemen, belum
perempuan , namun partisipasi dalam mampu mendorong terpenuhinya quota 30%
kebijakan pulbik relatif rendah (quota
•Peran serta masyarakat belum terkeleola
30% belum terpenuhi)
dengan baik.
• Tinginya angka kekeraasan pada
perempuan.

 Menguatnya fundamentalisme menguatkan patriarkhi yang masih kuat di masyarakat &


menghambat upaya terwujudnya kesetaraan gender .
 Kesepahaman strategi PUG daerah sebagai rujukan belum cukup terbangun, baik pada
OPD, masyarakat sipil, peguruan tinggi dan institusi bisnis, sehingga masing masing
lembaga bekerja sendiri sendiri dengan mengacu pada target masing masing lembaga.

Rekomendasi
 Penegakan regulasi
 Integrasi gender dalam sistem perencanaan penganggaran daerah dengan
menerapkan analisa gender menjadi prasyarat wajib dalam perencanaan
pembangunan yang menentukan rancangan program/kegiatan ditetapkan sebagai
program/kegiatan yang dilaksanakan. OPD (.)
 Peningkatan kapasitas SDM terus menerus & pegembangan tools
 Koordinasi & Monitoring berkala untuk memastikan strategi PUG daerah berjalan baik
yang ditandai membaiknya capaian 7 prasyarat PUG serta membaiknya indikator gender
(IPG-IDG dan indeks komponen pendukungnya) & relasi gender ( makin sempitnya
kesenjangan laki laki – perempuan maupun kesenjangan antar daerah).
 Penguatkan kerjasama dan peran serta stakeholder yang berfokus gender baik
media, perguruan tinggi, masyarakat sipil, dunia usaha dan ormas keagamaan dalam
mendorong percepatan PUG
 Membangun manajemen pengetahuan dan basis literasi yang mendukung
percepatan PUG baik berbasis budaya maupun keagamaaan. (misalnya: peer learning,
drop box pengetahuan gender, dokumentasi praktek baik maupun tantangan
implementasi PUG )
 Evaluasi PUG sebagai baseline data penyusunan Rencana aksi daerah ataupun
roadmap PUG dan Menyusun rencana aksi daerah dan roadmap PUG untuk
memastikan target dan capaian PUG yang jelas dan terukur.
 Evaluasi pelaksanaan PPRG untuk memetakan relevansi, efisiensi dan efektifitas
implementasi PPRG yang telah berjalan & dampaknya terhadap kesetaraan gender .
 Penyusunan Roadmap/peta jalan data gender dan anak untuk memastikan target
dan strategi ketersediaan baseline data yang valid dan terupdate sebagai basis
penyusunan kebijakan daerah maupun OPD.
 Optimalisasi kelembagaan PUG untuk mendorong menguatnya fungsi keluarga
sebagai strategi pembangunan manusia yang sadar gender.
29

Penutup

Secara umum, melemahnya fungsi keluarga ditengarai berkontrbusi dalam munculnya isu gender
di berbagai bidang. Rekomendasi untuk penguatan fungsi keluarga menjadi rekomendasi utama
yang bisa dijabarkan sesuai bidang dan tupoksi masing masing OPD.

Membangun/menata knowledge management dan basis literasi yang mendukung kebijakan


& program sekaligus mendokumentasikan praktek baik dan pembelajaran pembangunan. Baik
dari aspek agama maupun budaya

DIY sebagai daerah istimewa yang menempatkan pendidikan, kebudayaan dan pariwisata
sebagai pilar utama pembangunan, memiliki sumber daya manusia yang kompeten, dan dana
kesitimewaan yang bila disepakati (termasuk tentang terminologi budaya), maka dana
keistimewaan tersebut merupakan modal untuk membangun budaya adil gender di berbagai
bidang. Pengunaan media budaya sebagai promosi kesetaraan gender di berbagai bidang
menjadi pilihan yang strategis.

Gender senyatanya bisa diletakan sebagai salah satu komponen penilaian kinerja baik proses
maupun hasil. Gender juga diharapkan menjadi tambahan kriteria dalam lomba lomba yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah daerah maupun OPD di setiap bidang.

Dokumen isu gender DIY merupakan dokumen yang diharapkan membantu OPD untuk
merumuskan kebijakan sesuai dengan tupoksi dan bidang yang menjadi mandatnya. Harapannya
pembangunan yang dilaksanakan dapat menurunkan kesenjangan yang masih ditemukan baik
antara laki laki-perempuan maupun kesenjangan antar daerah , dan kemanfaatannya dapat
dirasakan oleh para pihak dengan setara.

Dokumen ini juga merupakan dokumen terbuka yang sangat mungkin untuk mendapatkan kritik
dan masukan.

Anda mungkin juga menyukai