Kemiskinan telah menjadi masalah yang sejak dahulu didera oleh masyarakat,
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai public service, berupaya
keras melalui formulasi kebijakan-kebijakan pegentasan kemiskinan.Namun
Implementasi dan Evaluasi Program | 3
naik sebanyak 188,19 ribu orang ( dari 10,49 juta orang pada September 2016
menjadi 10,67 juta orang pada Maret 2017). Sementara, di daerah pedesaan
turun sebanyak 181,29 ribu orang (dari 17,28 juta orang pada September 2016
menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017)
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan PKH tahun 2015
sebanyak 3,5 juta keluarga miskin dengan anggaran sebesar Rp. 6,4 Triliun
(setelah ditambah APBN-P sebesar 1,3T), sedangkan target pelaksanaan PKH
tahun 2016 sebanyak 6 juta keluarga miskin dengan anggaran kurang lebih Rp.
10 Triliun (kementrian Sosial, 2016).
Implementasi dan Evaluasi Program | 5
Bank Dunia (1990) dalam laporannya dihadapan anggotan PBB bertitel ―Poverty
and Human Development” mengatakan bahwa : “The case human development
is not only or even primarily an economic one. Less hunger, fewer child death,
and better change of primary education are almost universally accepted as
important ends in themselves” (Program manusia tidak hanya diutamakan pada
aspek ekonomi, tapi yang lebih penting ialah mengutamakan aspek pendidikan
secara universal bagi kepentingan diri orang miskin guna meningkatkan
kehidupan social ekonominya).
B. TUJUAN PROGRAM
(Bappenas) yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial yang merupakan salah satu
instansi pemerintah yang bergerak di bidang sosial. Program Keluarga Harapan
pertamakali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2007 dan dikatakan sebagai
program unggulan nomor satu dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Program Keluarga Harapan ini dijalankan sebagai pelaksanaan dari UU no 40
Tahun 2014 tentang jaminan sosial, inpres no 3 tahun 2010 tentang program
penanggulangan pembangunan yang berkeadilan dan Perpres no 15 tahun 2010
tentang percepatan penanggulangan kemiskinan. Program Keluaraga Harapan
(PKH) ini merupakan program penanggulangan kemiskinan melalui pemberian
bantuan tunai kepada keluarga sangat miskin berdasarkan kententuan dan
persyaratan yang telah ditentukan.Program Keluarga Harapan hanya diberikan
kepada keluarga sangat miskin yang memenuhi ketentuan.Tujuan dari Program
Keluarga Harapan ini adalah untuk membantu masyarakat sangat miskin dalam
jangka pendek. Selain itu Program Keluarga Harapan merupakan investasi
sumber daya manusia agar generasi berikutnya dapat keluar dari perangkap
kemiskinan.
Selain AKI, Angka Kematian Bayi (AKB) juga masihrendah. Berdasarkan data
SDKI 2012, tingkat AKB hanya 34 per 1000 kelahiran hidup. Sementara target
MDG tahun 2015 adalah 23 per 1000 kelahiran hidup.
Rendahnya kondisi kesehatan keluarga sangat miskin juga berdampak pada
tidak optimalnya proses tumbuh kembang anak, terutama pada usia 0-5 tahun.
Selama kurun waktu 1998-2007, 2 angka kematian bayi pada anak-anak dari ibu
yang tidak berpendidikan adalah 73 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka
kematian bayi pada anak-anak dari ibu yang berpendidikan menengah atau lebih
tinggi adalah 24 per 1.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini disebabkan oleh
prilaku dan pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik diantara perempuan-
perempuan yang berpendidikan.
Masalah Indonesia, bukan hanya kematian ibu dan anak saja, namun juga
masalah gizi buruk. Pada tahun 2012, Indonesia merupakan negara kekurangan
gizi nomor 5 di dunia. Jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia mencapai
8 juta jiwa dengan prevalansi kekurangan gizi balita sebesar 17,9% (SDKI 2012).
Dibanding target MDGs yang 15%, kondisi Indonesia sangatlah buruk. Artinya,
lebih dari 400 anak-anak meninggal setiap hari di Indonesia. Berita baiknya, itu
juga berarti di Indonesia jumlah kematian anak dibawah usia lima tahun telah
berkurang dari 385.000 pada tahun 1990 menjadi 152.000 pada tahun 2012 dan
147.000 pada tahun 2015.
2. Aspek Pendidikan
Berdasarkan laporan Edukation for All Global Monitoring Report yang dirilis
UNESCO 2011, tingginya angaka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks
pembangunan rendah. Karenanya, Mendorong anak untuk tetap bersekolah
pada usia remaja menjadi hal mendasar. Keikutsertaan mereka yang berada di
luar sistem sekolah pun harus menjadi perhatian utama. Hal ini karena
meningkatnya resiko anak putus. Bahkan mereka rentan pula terhadap
pelanggaran hukum dari penyalahgunaan obat terlarang sampai dengan
kriminalitas. Pada usia ini mereka rawan terjangkit HIV/AIDS. Kondisi sosial dan
budaya di Indonesia ikut andil meningkatkan resiko tersebut, terutama terhadap
para remaja putri.
Sampai saat ini tingkat pertisipasi anak dalam bersekolah, baik di satuan
pendidikan formal maupun informal masih rendah. Berdasarkan data dari Badan
Pusat Statistik tahun 2013 menunjukkan rata-rata nasional angka putus sekolah
Implementasi dan Evaluasi Program | 9
usia 7-12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182/73 anak, usia 13-15 tahun
sebnanyak 2,21 persen, atau 209.976 anak, dan usia 16-18 tahun semakin tinggi
hingga 3,14 persen atau 223.676 anak. Tahun ini, UNICEF melaporkan
sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan
yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia
Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Penyebab utama angka putus sekolah menurut data BPS diatas disebebkan
ketiadaan biaya untuk melanjutkan sekolah dan tidak adanya minat anak untuk
bersekolah. Data statistik tingakat provinsi dan kabupaten menujukkan bahwa
terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan
sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu menjutkan
pendidikan ke jenjang selanjutnya. Anak-anak yang berasal dari keluarga kurang
mampu, memiliki kemungkinan putus sekolah empat kali lebih besar daripada
mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan. Untuk data stasistik geografis,
tingkat putus sekolah anak SD di desa 3:1 dibandingkan dengan di daerah
perkotaan. Hal tersebut terjadi antara lain dipicu oleh faktor kekurangan tenaga
pengajar untuk daerah terpencil dan tergolong berpenghasilan rendah. Tingkat
putus sekolah anak di desa dapat mencapai 3% jika dibandingkan dengan anak
diperkotaan.
Implementasi dan Evaluasi Program | 10
5. Sasaran
Sasaran peserta PKH adalah Keluarga Miskin (KM) dan yang memiliki komponen
kesehatan (ibu hamil, nifas, balita, anak prasekolah) dan komponen (SD
sederajat, SMP sederajat, SMA sederajat) atau anak usia 17-21 tahun yang
belum menyelesaikan pendidikan wajib 12 tahun, penyandang disabilitas berat,
dan lajutan usia diatas 70 tahun. Program Keluarga Harapan terdiri dari tiga
komponen, yaitu komponen pendidikan yang mensyaratkan anak-anak peserta
Implementasi dan Evaluasi Program | 12
PKH terdaftar dan hadir di sekolah minimal kehadirannya 85% dari jumlah efektif
sekolah yang berlaku, komponen kesehatan dengan kewajiban antara lain
peserta mendapatkan layanan prenatal dan postnatal, proses kelahiran ditolong
oleh tenaga kesehatan terlatih, melakukan imunisasi sesuai jadwal, dan
memantau tumbuh kemban anak secara teratur dengan minimal kehadirannya
85% dan komponen kesejahteraan sosial yang terdiri dari penyandang disabilitas
berat dan lanjutan usia 70 tahun atau lebih.
Akses terhadap kesehatan dan pendidikan yang diberikan tersebut diharapkan
mampu mengubah prilaku masyarakat (miskin) agar lebih peduli terhadap
kesehatan dan pendidikan generasi penerusnya, sehingga mampu
menghilangkan kesenjangan sosial, ketidakberdayaan dan keterasingan sosial
yang selama ini melekat pada diri masyarakat miskin. Sejak 2012, penerima
bantuan diperluas dengan menambah kategori rentan seperti keluarga yang
memiliki penyandang disabilitas dan atau manula dalam rumah tangganya.
D. IMPLEMENTASI PROGRAM
Ketika PKH diluncurkan pada tahun 2007, penerima manfaat program yang
dipilih merupakan rumah tangga yang sangat miskin yaitu mereka yang berada di
bawah 80 persen garis kemiskinan resmi saat itu. Karena program ini merupakan
program rintisan; cakupan awalnya pun sangat rendah. Hingga tahun 2012,
program ini hanya menjangkau 1,5 juta keluarga, dibanding total 60 juta keluarga
miskin di Indonesia serta sekitar 6,5 juta keluarga yang berada di bawah garis
kemiskinan. PKH diharapkan mampu menjangkau 3,2 juta rumah tangga di akhir
tahun 2014. Pada tahun 2012 PKH akhirnya beroperasi di seluruh provinsi di
Indonesia, meskipun masih belum menjangkau seluruh kabupaten di tiap
provinsi. Perluasan cakupan PKH merupakan tantangan program jika ingin
memberikan dampak besar bagi penduduk miskin Indonesia.
Penetapan sasaran untuk PKH dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Untuk pertama kalinya, menggunakan data tahun 2005 yang dimiliki
(berdasarkan nama dan alamat), BPS melakukan Survei Pendidikan dan Survei
Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan (SPDKP) guna mengidentifi kasi
rumah tangga sangat miskin serta fasilitas pendidikan dan kesehatan. Daftar
tahun 2005 memuat sekitar 19,1 juta rumah tangga, seharusnya berada pada
sebaran penghasilan terendah, dan digunakan sebagai daftar untuk program
Implementasi dan Evaluasi Program | 13
Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada tahun 2005. SPDKP dilakukan tidak hanya
pada rumah tangga namun juga pada fasilitas, guna menguji kesiapan data
tersebut untuk PKH. SPDKP dilakukan setiap tahun. Pada tahun 2008 Badan
Pusat Statistik (BPS) menyelenggarakan pendaftaran kembali guna
memperbaharui data sebelumnya (PSE 2005). Pendataan Program Perlindungan
Sosial (PPLS) 2008 menggunakan 14 indikator yang mengidentifi kasi apakah
rumah tangga tertentu layak memperoleh bantuan (Nazara, 2013). Daftar baru ini
digunakan sebagai penetapan sasaran PKH antara tahun 2009–2011. Sejak
tahun 2012, penetapan sasaran PKH mulai menggunakan Basis Data Terpadu
(BDT). Basis data ini, yang didasarkan pada data tahun 2011, berisi nama dan
alamat individu rumah tangga yang berada pada 40 persen sebaran
kesejahteraan terendah. BDT, yang dikelola oleh Sekretariat TNP2K, merupakan
cara memadukan sistem penetapan sasaran nasional. Informasi lebih lanjut
tentang BDT dapat ditemukan di TNP2K (2013).
Persyaratan menerima manfaat PKH meliputi ibu hamil yang melakukan
pemeriksaan kehamilan, bayi baru lahir dan batita yang menerima perawatan
paska kelahiran dan pemeriksaan kesehatan, dan anak-anak usia 6 tahun hingga
18 tahun yang mendapatkan pendidikan wajib sembilan tahun. Bantuan ini
dibayarkan setiap tiga bulan. Antara tahun 2007 hingga tahun 2012, jumlah yang
diterima per tahun berkisar Rp600.000 hingga maksimal Rp2,2 juta per tahun,
tergantung pada status rumah tangga (dengan rata-rata Rp1,4 juta per rumah
tangga per tahun). Pada tahun 2013 ada kenaikan jumlah yang diterima, dengan
rata-rata menjadi Rp1,8 juta per rumah tangga per tahun.
Dampak PKH
Ada sangat banyak rujukan yang mencatat dampak program-program bantuan
dana tunai bersyarat seperti PKH. Program-program ini terbukti meningkatkan
capaian pendidikan rumah tangga miskin (Schultz, 2004) dan berdampak luas
pula pada capaian pendidikan rumah tangga tidak miskin (Bobonis dan Finan,
2005); menciptakan dampak multiganda melalui investasi pada diri sendiri
(Gertler, Martinez dan Rubio,2005); meningkatkan status kesehatan ibu dan anak
(Gertler, 2004); menurunkan angka kurang gizi (Hoddinott dan Skoufi as, 2003);
meningkatkan perekonomian setempat (Coady dan Harris, 2001); serta
mengurangi kesenjangan dan kemiskinan (Soares et al., 2006).
Implementasi dan Evaluasi Program | 14
memiliki dampak yang berarti sehingga menyiratkan adanya masalah yang perlu
diatasi dalam program PKH. Mengacu pada masalah ini, terdapat kajian lain
yang mengemukakan dua persoalan:
1) Jadwal pembayaran bantuan PKH tidak selalu tepat waktu; oleh karena itu,
rumah tangga yang memiliki siswa yang lulus SD tidak memiliki cukup uang
pada saat pendaftaran ke SMP; dan
2) Bantuan PKH yang tersedia untuk elemen pendidikan tidak cukup untuk
pendaftaran masuk ke SMP.
Tantangan lain yang dihadapi oleh PKH adalah adanya evaluasi yang menjukkan
bahwa PKH tidak memiliki dampak apapun terhadap berkurangnya jumlah
pekerja anak. Hal ini karena mekanisme PKH kurang memadai dalam mengatasi
persoalan ini. Selain itu, jumlah bantuan PKH yang diterima dianggap tidak cukup
memberikan insentif bagi anak-anak tersebut untuk berhenti bekerja dan kembali
bersekolah.
Dilihat dari sisi konsumsi, kajian ini menunjukkan antara tahun 2007-2009 rumah
tangga PKH mengalami kenaikan rata-rata konsumsi bulanan sebesar 10 persen.
Dana yang diterima oleh rumah tangga PKH biasanya digunakan untuk konsumsi
harian dan pengeluaran pendidikan (untuk belanja seragam, transportasi).
Beberapa rumah tangga juga menggunakan bantuan ini untuk memperbaiki
kondisi rumah mereka dan membayar hutang. Berhutang, selain menjual aset
dan mengurangi konsumsi, merupakan salah satu mekanisme bertahan hidup
bagi rumah tangga miskin.
Terpadu (BDT) terdapat sekitar 7,2 juta rumah tangga yang berada pada posisi
tersebut di tahun 2011. Namun begitu saat ini pemerintah menetapkan 3,2 juta
rumah tangga penerima bantuan hingga akhir tahun 2014 yang artinya hanya
menjangkau kurang dari setengah proyeksi jumlah rumah tangga miskin.
Upaya memperluas cakupan PKH menjadi semakin rumit ketika kita
mempertimbangkan lokasi baru mana saja yang harus dijangkau. Sebagaimana
yang diperlihatkan dalam Tabel 1, walaupun PKH beroperasi di semua provinsi
pada tahun 2012, program ini tidak menjangkau semua kabupaten/kota, dengan
demikian tidak menjangkau semua kecamatan atau desa.
Strategi perluasan PKH perlu menggabungkan dua fitur penting. Pertama,
perlunya menerapkan program ini di tingkat nasional. Jika semua provinsi
tergabung ke dalam program ini, idealnya PKH beroperasi di seluruh 497
kabupaten/kota di Indonesia. Itu direncanakan untuk tahun 2013. Kedua,
perluasan PKH juga perlu mempertimbangkan sudut pandang lain yang mampu
mendukung efesiensi operasionalnya. Artinya, PKH perlu ada hingga ke tingkat
kecamatan di semua lokasi PKH sekarang. Saat ini PKH tidak beroperasi di
semua desa dalam satu kecamatan. Tentunya, penekanan yang terlalu besar
pada prinsip pemenuhan cakupan akan menghambat tujuan cakupan nasional,
dan juga sebaliknya.
Perluasan program juga membutuhkan sumber daya manusia yang memadai.
Pada tahun 2012, PKH mempekerjakan sekitar 6.700 fasilitator. Sekretariat
TNP2K memperkirakan jumlah ideal untuk melayani 3 juta rumah tangga
penerima bantuan setidaknya 12.500 fasilitator. Pusat-pusat teknologi informasi
yang saat ini tersebar di kantor-kantor bupati sebaiknya ditangani di tingkat
provinsi guna meningkatkan efi siensi penyelenggaraan program. Fitur penting
lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah mekanisme pembayarannya.
Pembayaran saat ini dilakukan melalui kantor pos. Jika PKH akan diperluas,
pembayaran harus dilakukan melalui bank. Rumah tangga yang sangat miskin
saat ini memang tidak memiliki rekening bank, tetapi pembayaran melalui bank
akan memberi manfaat kepada mereka, karena mereka dapat belajar menabung,
dan tabungan dapat digunakan di kemudian hari, ketimbang menghabiskannya
untuk konsumsi.
Program bantuan tunai bersyarat biasanya membutuhkan sistem informasi
manajemen yang menyeluruh. Oleh karena itu, penyelenggara PKH harus
memberikan perhatian pada peningkatan sistem informasi manajemennya.
Implementasi dan Evaluasi Program | 17
Penerima bantuan PKH yang, berdasarkan resertifi kasi, tidak lagi miskin
(yaitu di atas 10 persen terbawah rumah tangga dalam BDT) dan/atau tidak
lagi memenuhi kriteria kelayakan PKH tidak akan menerima PKH dan akan
masuk dalam fase pelepasan, dimana mereka akan terus menerima program
perlindungan sosial lainnya seperti Jamkesmas, BSM dan Raskin, serta
program peningkatan penghidupan dan pengurangan kemiskinan lainnya
yang tersedia.
E. PENUTUP
Walaupun telah berjalan selama tujuh tahun, PKH Indonesia masih menghadapi
sejumlah tantangan. Program ini masih perlu diperluas sehingga mampu
mencakup sebagian besar rumah tangga miskin di Indonesia; program ini
memerlukan banyak peningkatan efi siensi; harapan-harapan yang ada pun
harus mempertimbangkan proses pelepasan dan transisi bagi penerima manfaat
PKH; dan yang terakhir, PKH perlu meningkatkan koordinasinya dengan
program-program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial lainnya.
Disamping tantangan-tantangan tersebut, PKH tetap menjadi program yang
sangat penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Bagaimanapun
reformasi program yang efesien dan efektif masih dibutuhkan secara terus
menerus.