Anda di halaman 1dari 22

Implementasi dan Evaluasi Program | 1

CONDITIONAL CASH TRANSFER


(PROGRAM KELUARGA HARAPAN)
DI INDONESIA

A. LATAR BELAKANG PROGRAM

Seperti kita ketahui bersama, pembangunan pada hakekatnya adalah upaya


sistematis dan terencana dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang
tersedia secara optimal dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia dan masyarakat secara berkelanjutan. Dinamika pembangunan
seringkali tidak dapat diikuti perkembangannya oleh masyarakat yang tidak
memiliki akses yang cukup di bidng ekonomi, sosial, dan politik. Sehingga
masyarakat yang lemah daya tersebut akan semakin tertinggal dan semakin
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak secara mandiri. Rakyat
yang tidak mampu sering kita sebut sebagai masyarakat yang berada dalam
kemiskinan.

Kemiskinan bukanlah alamiah.Kemiskinan adalah situasi dan keadaan yang


menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat berada dalam kondisi tidak
berdaya.Oleh karena itu Pemerintah berkewajiban melakukan upaya-upaya
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tersebut melalui program
penanggulangan kemiskinan.

Menurut UU No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka


Panjang Tahun 2005-2025, disinggung bahwa permasalahan kemiskinan bersifat
multidimensi karena bukan hanya menyangkut ukuran pada sisi pendapatan
saja, akan tetapi juga karena aspek kerentanan dan kerawanan orang atau
masyarakat untuk menjadi miskin. Secara teoritis, indicator kemiskinan ini sama
atau sangat berhubungan erat dengan index of happiness dimana indicator dari
kebahagiaan seseorang berbeda-beda antar manusia dan antar daerah.
Pendapatan tidak semata-mata menjadi indikator mutlak dalam menentukan
tingkat kemiskinan seperti yang telah ditentukan oleh Bank Dunia. Di Indonesia,
masing-masing kementerian/lembaga (K/L) juga memiliki orientasi penilaian
kemiskinan yang berbeda-beda sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya atau
tupokisnya. Implikasinya adalah perbedaan pengukuran kemiskinan
menyebabkan perbedaan kebijakan dan program meskipun pada esensinya
Implementasi dan Evaluasi Program | 2

memiliki tujuan yang sama yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat atau


mewujudkan welfare state sesuai dengan Alinea 4 Pembukuan Undang-
Undangan Dasar 1945. Sementara itu, pada tataran daerah, karena kearifan
local setiap daerah berbeda-beda maka perlu mengakomodasi terhadap indicator
kemiskinan yang berbasis kelokalan. Dampaknya perlu ada kesepakatan idikator
pada tataran umum bersekala nasional tetapi harus ada yang berskala lokal.

Harmonisasi antar pemangku kepentingan baik melalui kepranatan, strategi,


kebijakan, dan program menjadi kunci sukses dalam mengentaskan
permasalahan kemiskinan. Salah satu strateginya adalah perlu ada agenda
nasional dalam melakukan cross checkdata dengan cara mencermati lintas data
antar K/L sehingga mencapai kesepakatan bersama. Sebagai contoh adanya
ketimbang data yang kurang sinkron dimana data tersebut diambil secara
sampling sehingga ada kecenderungan bahwa terjadi ketidakvalidan data dan
kurang memberikan gambaran akan kebutuhan program bahkan ditingkat
keluarga. Padahal lembaga lainya, memoliki metode yang lebih mendalam
dengan menyasar pada kearifan lokal.Oleh sebab itu, metode pendapatan perlu
dilakukan dengan memperhatikan realitas yang ada di lapangan atau
mencitrakan daerah-daerah tersebut sehingga perumusan kebijakan dan
program sesuai dengan kebutuhan.

Sinergitas antara pemerintahan pusat dengan daerah juga berkontribusi pada


kelancaran implementasi pengurangan angka kemiskinan dimana pada
tatarannya disesuaikan dengan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah. Meskipun dalam implementasi kebijakan penanganan kemiskinan yang
menjadi kunci sukesnya adalah kemandirian daeraqh baik dari sisi sumberdaya,
manusia, lembagaan, maupun anggarannya. Di sisi lain, akan mewujudkan 9
Agenda Prioritas yang termuat dalam Nawacita yaitu nomor 1 dan 5,
menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara dan meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia. Karena pada akhirnya, pemerintah merupakan
pengemban kehadiran state dalam memberikan pelayanan public kepada civil
society.

Kemiskinan telah menjadi masalah yang sejak dahulu didera oleh masyarakat,
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai public service, berupaya
keras melalui formulasi kebijakan-kebijakan pegentasan kemiskinan.Namun
Implementasi dan Evaluasi Program | 3

demikian, angka kemiskinan di Indonesia tidak turun secara signifikan.Kondisi


perekonomian yang tidak kondusif seperti inflasi, anjloknya harga komoditas,
ketidakseimbangan antara upah dengan daya beli masyarakat, merupakan satu
dari sekian banyaknya penyebab semakin terpuruknya masyarakat dalam
jaringan-jaringan kemiskinan. Faktor eksternal lainya yaitu perlambatan
pertumbuhan ekonomi meleset dari target yang tentu akan berpengaruh terhadap
angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.

Isu penanggulangan kemiskinan menjadi point pertama guna mendukung


Nawacita yaitu Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui
peninngkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia
Pintar, Indonesia Kerja, dan Indonesia Sejahtera.

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Di Indonesia


Menurut Daerah, Maret 2016 – Maret 2017

Daerah/Tahun Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk


(Juta Orang) Miskin
(1) (2) (3)
Perkotaan
Maret 2016 10,34 7,79
September 2016 10,49 7,73
Maret 2017 10,67 7,72
Perdesaan
Maret 2016 17,67 14,11
September 2016 1728 13,96
Maret 2017 17,10 19,93
Total
Maret 2016 28,01 10,86
September 2016 27,76 10,70
Maret 2017 27,77 10,64
Sumber: Badan Pusat Statistis, 2017

Pada bulan Maret 2017, Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan


pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia
mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen), bertamab sebesar 6,90 ribu orang
dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang
(10,70 persen).

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2016 sebesar


7,73 persen, turun menjadi 7,72 persen pada Maret 2017. Sementara,
persentase penduduk miskin di daerah pedesaan pada September 2016 sebesar
13,96 persen, turun menjadi 13,93 persen pada Maret 2017. Selama periode
September 2016 – Maret 2017, Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan
Implementasi dan Evaluasi Program | 4

naik sebanyak 188,19 ribu orang ( dari 10,49 juta orang pada September 2016
menjadi 10,67 juta orang pada Maret 2017). Sementara, di daerah pedesaan
turun sebanyak 181,29 ribu orang (dari 17,28 juta orang pada September 2016
menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017)

Conditional cash transfer merupakan salah satu program perlindungan sosial


yang sangat efektif dalam penanggulanan kemiskinan. Sebagai upaya
percepatan penanggulangan kemiskinan, sejak tahun 2007 pemerintah
Indonesia telah melaksanakan Program Bantuan Langsung Tunai Bersyarat
(BLTB) yang dikenal dengan nama Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai
salah satu tahapan menuju sistem perlindungan sosial. Program Perlindungan
Sosial yang juga dikenal di dunia internasional dengan istilah Conditional cash
transfer (CCT) ini terbukti cukup berhasil dalam menanggulangi kemiskinan yang
dihadapi di negara-negara tersebut, terutama masalah kemiskinan kronis.

Gambar 1.1 Perkembangan Bantuan Program Keluarga Harapan 2007-2016.

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan PKH tahun 2015
sebanyak 3,5 juta keluarga miskin dengan anggaran sebesar Rp. 6,4 Triliun
(setelah ditambah APBN-P sebesar 1,3T), sedangkan target pelaksanaan PKH
tahun 2016 sebanyak 6 juta keluarga miskin dengan anggaran kurang lebih Rp.
10 Triliun (kementrian Sosial, 2016).
Implementasi dan Evaluasi Program | 5

Sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) adalah keluarga miskin (KM)


berdasarkan Basis Data terpadu. Peserta PKH harus terdaftar dan hadir pada
fasilitas kesehatan dan pendidikan terdekat. Kewajiban peserta PKH di bidang
kesehatan meliputi pemeriksaan kandungan bagi ibu hamil, pemberian asupan
gizi dan imunisasi serta timbang badan anak balita dan anak prasekolah.
Sedangkan kewajiban di bidang pendidikan adalah mendaftarkan dan
memastikan kehadiran anggota keluarga PKH ke satuan pendidikan sesuai
jenjang sekolah dasar dan menengah. Khususnya anggota keluarga peserta
PKH penyandang disabilitas kewajibannya disesuaikan dengan kondisi
disabilitasnya.

Bank Dunia (1990) dalam laporannya dihadapan anggotan PBB bertitel ―Poverty
and Human Development” mengatakan bahwa : “The case human development
is not only or even primarily an economic one. Less hunger, fewer child death,
and better change of primary education are almost universally accepted as
important ends in themselves” (Program manusia tidak hanya diutamakan pada
aspek ekonomi, tapi yang lebih penting ialah mengutamakan aspek pendidikan
secara universal bagi kepentingan diri orang miskin guna meningkatkan
kehidupan social ekonominya).

B. TUJUAN PROGRAM

Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan bentuk atau perwujudan dari


kebijakan penanggulangan kemiskinan dan salah satu progam pengentasan
kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah. Kemiskinan itu sendiri merupakan
masalah yang menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan hidup termasuk dalam hal pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu
sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup sehari-hari.Kemiskinan itu sendiri dapat
juga didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan
standart hidup minimum.

Program Keluarga Harapan dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos),


dengan pengawasan ketat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Implementasi dan Evaluasi Program | 6

(Bappenas) yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial yang merupakan salah satu
instansi pemerintah yang bergerak di bidang sosial. Program Keluarga Harapan
pertamakali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2007 dan dikatakan sebagai
program unggulan nomor satu dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Program Keluarga Harapan ini dijalankan sebagai pelaksanaan dari UU no 40
Tahun 2014 tentang jaminan sosial, inpres no 3 tahun 2010 tentang program
penanggulangan pembangunan yang berkeadilan dan Perpres no 15 tahun 2010
tentang percepatan penanggulangan kemiskinan. Program Keluaraga Harapan
(PKH) ini merupakan program penanggulangan kemiskinan melalui pemberian
bantuan tunai kepada keluarga sangat miskin berdasarkan kententuan dan
persyaratan yang telah ditentukan.Program Keluarga Harapan hanya diberikan
kepada keluarga sangat miskin yang memenuhi ketentuan.Tujuan dari Program
Keluarga Harapan ini adalah untuk membantu masyarakat sangat miskin dalam
jangka pendek. Selain itu Program Keluarga Harapan merupakan investasi
sumber daya manusia agar generasi berikutnya dapat keluar dari perangkap
kemiskinan.

Tujuan Program Keluarga Harapan adalah untuk mengurangi angka dan


memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta
mengubah prilaku yang kurang mendukung peningkatan kesejahteraan dari
kelompok paling miskin. Tujuan ini berkaitan langsung dengan upaya
mempercepat pencapaian target Melennium Development Goals (MDGs).
Secara khusus, tujuan PKH adalah:
a. Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi
Peserta PKH
b. Meningkatkan taraf pendidikan Peserta PKH
c. Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil (bumil), ibu nifas, bawah
lima tahun (balita) dan anak prasekolah anggota Rumah Tangga Sangat
Miskin (RTSM)/Keluarga Sangat Miskin (KSM).

C. SASARAN UTAMA PROGRAM

Pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia meluncurkan Program Keluarga


Harapan (PKH), program bantuan dana tunai bersyarat pertama di Indonesia.
Program ini bertujuan meningkatkan kualitas manusia dengan memberikan
bantuan dana tunai bersyarat bagi keluarga miskin dalam mengakses layanan
Implementasi dan Evaluasi Program | 7

kesehatan dan pendidikan tertentu. PKH membantu mengurangi beban


pengeluaran rumah tangga yang sangat miskin (dampak konsumsi langsung),
seraya berinvestasi bagi generasi masa depan melalui peningkatan kesehatan
dan pendidikan (dampak pengembangan modal manusia). Kombinasi bantuan
jangka pendek dan jangka panjang ini merupakan strategi pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan bagi para penerima PKH ini selamanya. PKH dikelola
oleh Kementerian Sosial (Kemensos), dengan pengawasan ketat Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Program ini mulai beroperasi
pada tahun 2007 sebagai program rintisan (pilot) yang disertai unsur penelitian di
dalamnya. Adapun sasaran utama program ini meliputi beberapa aspek sebagai
berikut :
1. Aspek Kesehatan
Rendahnya penghasilan menyebabkan keluarga sangat miskin tidak mampu
memenuhi kebu-tuhan kesehatan dan pendidikan, bahkan untuk tingkat minimal
sekalipun. Pemeliharaan ibu hamil yang tidak memadai berakibatkan pada
buruknya kondisi kesehatan bayi yang dilahirkan dan seringkali menyebabkan
tingginya kemtian bayi.
Secara nasional, kecenderungan Angka kematian Ibu (AKI) dari tahun 1994
sampai dengan tahun 2007 menunjukkan penurunan signifikan. Namun kondisi
ini kemudian memburuk. Berdasarkan data SDKI (Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia) 2012, jumlah angka kematian ibu dan anak tercatat
mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup.
Rata-rata kematian ini meningkat sekitar 57% bila disbanding hasil SDKI 2007
yang mencapai 228 per 100 ribu. Terpaut jauh dari komitmen pemerintah untuk
menekan tingkat AKI hingga 102 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015.
Lebih lanjut, dibanding dengan negara tetangga, angka kematian di Vietnam 159
per 100 ribu kelahiran hidup dan I Malaysia hanya 29 per 100 ribu kelahiran
hidup.
Tingkat angka kematian ibu tersebut pada banyak kasus disebabkan oleh tidak
adanya kehadiran tenaga medis pada kelahiran, fasilitas kesehatan yang tidak
tersedia pada saat membutuhkan tindakan, atau masih banyaknya rumah tangga
miskin yang lebih memilih tenaga kesehatan tradisional daripada tenaga medis
profesional lainnya.
Implementasi dan Evaluasi Program | 8

Selain AKI, Angka Kematian Bayi (AKB) juga masihrendah. Berdasarkan data
SDKI 2012, tingkat AKB hanya 34 per 1000 kelahiran hidup. Sementara target
MDG tahun 2015 adalah 23 per 1000 kelahiran hidup.
Rendahnya kondisi kesehatan keluarga sangat miskin juga berdampak pada
tidak optimalnya proses tumbuh kembang anak, terutama pada usia 0-5 tahun.
Selama kurun waktu 1998-2007, 2 angka kematian bayi pada anak-anak dari ibu
yang tidak berpendidikan adalah 73 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka
kematian bayi pada anak-anak dari ibu yang berpendidikan menengah atau lebih
tinggi adalah 24 per 1.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini disebabkan oleh
prilaku dan pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik diantara perempuan-
perempuan yang berpendidikan.
Masalah Indonesia, bukan hanya kematian ibu dan anak saja, namun juga
masalah gizi buruk. Pada tahun 2012, Indonesia merupakan negara kekurangan
gizi nomor 5 di dunia. Jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia mencapai
8 juta jiwa dengan prevalansi kekurangan gizi balita sebesar 17,9% (SDKI 2012).
Dibanding target MDGs yang 15%, kondisi Indonesia sangatlah buruk. Artinya,
lebih dari 400 anak-anak meninggal setiap hari di Indonesia. Berita baiknya, itu
juga berarti di Indonesia jumlah kematian anak dibawah usia lima tahun telah
berkurang dari 385.000 pada tahun 1990 menjadi 152.000 pada tahun 2012 dan
147.000 pada tahun 2015.

2. Aspek Pendidikan
Berdasarkan laporan Edukation for All Global Monitoring Report yang dirilis
UNESCO 2011, tingginya angaka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks
pembangunan rendah. Karenanya, Mendorong anak untuk tetap bersekolah
pada usia remaja menjadi hal mendasar. Keikutsertaan mereka yang berada di
luar sistem sekolah pun harus menjadi perhatian utama. Hal ini karena
meningkatnya resiko anak putus. Bahkan mereka rentan pula terhadap
pelanggaran hukum dari penyalahgunaan obat terlarang sampai dengan
kriminalitas. Pada usia ini mereka rawan terjangkit HIV/AIDS. Kondisi sosial dan
budaya di Indonesia ikut andil meningkatkan resiko tersebut, terutama terhadap
para remaja putri.
Sampai saat ini tingkat pertisipasi anak dalam bersekolah, baik di satuan
pendidikan formal maupun informal masih rendah. Berdasarkan data dari Badan
Pusat Statistik tahun 2013 menunjukkan rata-rata nasional angka putus sekolah
Implementasi dan Evaluasi Program | 9

usia 7-12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182/73 anak, usia 13-15 tahun
sebnanyak 2,21 persen, atau 209.976 anak, dan usia 16-18 tahun semakin tinggi
hingga 3,14 persen atau 223.676 anak. Tahun ini, UNICEF melaporkan
sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan
yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia
Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Penyebab utama angka putus sekolah menurut data BPS diatas disebebkan
ketiadaan biaya untuk melanjutkan sekolah dan tidak adanya minat anak untuk
bersekolah. Data statistik tingakat provinsi dan kabupaten menujukkan bahwa
terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan
sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu menjutkan
pendidikan ke jenjang selanjutnya. Anak-anak yang berasal dari keluarga kurang
mampu, memiliki kemungkinan putus sekolah empat kali lebih besar daripada
mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan. Untuk data stasistik geografis,
tingkat putus sekolah anak SD di desa 3:1 dibandingkan dengan di daerah
perkotaan. Hal tersebut terjadi antara lain dipicu oleh faktor kekurangan tenaga
pengajar untuk daerah terpencil dan tergolong berpenghasilan rendah. Tingkat
putus sekolah anak di desa dapat mencapai 3% jika dibandingkan dengan anak
diperkotaan.
Implementasi dan Evaluasi Program | 10

3. Aspek Penyandang Disabilitas


Sebagai bagian dari anak Indonesia, anak penyandang disabilitas terutama dari
keluarga miskin perlu mendapat perhatian dan perlindungan dari pemerintah,
masyarakat, dan keluarga. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindunga Anak, Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 8 tentang
Penyandang Disabilitas.
Sebagian besar Penyandang Disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan,
terbelakang, dan/miskin dikarenakan masih adanya pembatasan, hambatan,
kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak Penyandang Disabilitas.
Untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas
menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi diperlukan
bantuan soaial terhadap penyandang disabilitas.
Karenanya, upaya pelayanan kesehatan maupun pendidikan perlu
dikembangkan untuk memberikan akses bagi anak dengan disabilitas demi
kemandirian dan masa depan yang lebih baik. WHO memperkirakan jumlah anak
dengan disabilitas mencapai sekitar 7-10% dari total populasi anak (Kemenkes,
2014). Di Indonesia, gambaran data anak dengan disabilitas sangat bervariasi
dan belum merefleksikan fakta sebenarnya.
Berdasarkan Pendapatan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011,
terdapat 130.572 anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin. Angka
tersebut belum dapat mewakili total jumlah anak penyandang disabilitas secara
komprehensif. Sebagai rujukan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2007, terdapat 8,3 juta anak dengan disabilitas di Indonesia, atau 10% dari total
populasi anak di Indonesia (82.840.600).
Implementasi dan Evaluasi Program | 11

4. Aspek Lanjut Usia


Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia, Lanjut usia merupakan seseorang yang telah berusia 60 tahun ke atas.
Secara fisik, lanjut usia dapat dibedakan menjadi lanjut usia potensial maupun
lanjut usia tidak potensial. Lanjut usia retntan mengalami masalah fisik, mental,
sosial, dan psikologis, sehingga dapat mengakibatkan gangguan dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan sensus penduduk 2010, jumlah
lanjutan usia 18,1 juta jiwa atau 7,6 persen penduduk. Tahun 2014 lalu, jumlah
lansia mencapai 18.78 juta orang lebih. Sementara jumlah lanjutan usia terlantar
berjumlah 2.848.854 jiwa (berdasarkan data Pusdatin Kesos Tahun 2012).
Lanjut usia yang menjadi target bantuan PKH adalah lansia yang berusia 70
tahun ke atas. Lansia dalam keluarga PKH memiliki kebutuhan akan
pemeliharaan kesehatan maupun kebutuhan harian yang dapat menambah
komponen pengeluaran keluarga. Bantuan bersyaratyang diberikan kepada
lansia dalam keluarga PKH ditujukan untuk meringankan beban ekonomi
keluarga, sekaligus memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatannya. Dengan
demikian, perbaikan taraf hidup dalam kesehatan dan pendidikan untuk ibu dan
anak keluarga PKH dapat terjamin dengan mengurangi beban perawatan lansia
dalam keluarga.
Upaya perluasan kepersertaan PKH dengan penambahan komponen disabilitas
berat dan lanjutan usia 70 tahun ke atas akan berdampak signifikan pada
penambahan kuantitas penerimaan PKH. Bantuan PKH untuk lanjutan usia 70
tahun ke atas diberikan kepada lansia yang berada dalam keluarga. Baik
keluarga tersebut memiliki komponen kesehatan dan atau pendidikan, maupun
keluarga yang tidak memiliki komponen kesehatan dan atau pendidikan
Sedangkan lanjut usia 70 tahun ke atas yang diluar keluarga (homeless)
bantuannya diintervensi malalui program panti.

5. Sasaran
Sasaran peserta PKH adalah Keluarga Miskin (KM) dan yang memiliki komponen
kesehatan (ibu hamil, nifas, balita, anak prasekolah) dan komponen (SD
sederajat, SMP sederajat, SMA sederajat) atau anak usia 17-21 tahun yang
belum menyelesaikan pendidikan wajib 12 tahun, penyandang disabilitas berat,
dan lajutan usia diatas 70 tahun. Program Keluarga Harapan terdiri dari tiga
komponen, yaitu komponen pendidikan yang mensyaratkan anak-anak peserta
Implementasi dan Evaluasi Program | 12

PKH terdaftar dan hadir di sekolah minimal kehadirannya 85% dari jumlah efektif
sekolah yang berlaku, komponen kesehatan dengan kewajiban antara lain
peserta mendapatkan layanan prenatal dan postnatal, proses kelahiran ditolong
oleh tenaga kesehatan terlatih, melakukan imunisasi sesuai jadwal, dan
memantau tumbuh kemban anak secara teratur dengan minimal kehadirannya
85% dan komponen kesejahteraan sosial yang terdiri dari penyandang disabilitas
berat dan lanjutan usia 70 tahun atau lebih.
Akses terhadap kesehatan dan pendidikan yang diberikan tersebut diharapkan
mampu mengubah prilaku masyarakat (miskin) agar lebih peduli terhadap
kesehatan dan pendidikan generasi penerusnya, sehingga mampu
menghilangkan kesenjangan sosial, ketidakberdayaan dan keterasingan sosial
yang selama ini melekat pada diri masyarakat miskin. Sejak 2012, penerima
bantuan diperluas dengan menambah kategori rentan seperti keluarga yang
memiliki penyandang disabilitas dan atau manula dalam rumah tangganya.

D. IMPLEMENTASI PROGRAM

Ketika PKH diluncurkan pada tahun 2007, penerima manfaat program yang
dipilih merupakan rumah tangga yang sangat miskin yaitu mereka yang berada di
bawah 80 persen garis kemiskinan resmi saat itu. Karena program ini merupakan
program rintisan; cakupan awalnya pun sangat rendah. Hingga tahun 2012,
program ini hanya menjangkau 1,5 juta keluarga, dibanding total 60 juta keluarga
miskin di Indonesia serta sekitar 6,5 juta keluarga yang berada di bawah garis
kemiskinan. PKH diharapkan mampu menjangkau 3,2 juta rumah tangga di akhir
tahun 2014. Pada tahun 2012 PKH akhirnya beroperasi di seluruh provinsi di
Indonesia, meskipun masih belum menjangkau seluruh kabupaten di tiap
provinsi. Perluasan cakupan PKH merupakan tantangan program jika ingin
memberikan dampak besar bagi penduduk miskin Indonesia.
Penetapan sasaran untuk PKH dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Untuk pertama kalinya, menggunakan data tahun 2005 yang dimiliki
(berdasarkan nama dan alamat), BPS melakukan Survei Pendidikan dan Survei
Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan (SPDKP) guna mengidentifi kasi
rumah tangga sangat miskin serta fasilitas pendidikan dan kesehatan. Daftar
tahun 2005 memuat sekitar 19,1 juta rumah tangga, seharusnya berada pada
sebaran penghasilan terendah, dan digunakan sebagai daftar untuk program
Implementasi dan Evaluasi Program | 13

Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada tahun 2005. SPDKP dilakukan tidak hanya
pada rumah tangga namun juga pada fasilitas, guna menguji kesiapan data
tersebut untuk PKH. SPDKP dilakukan setiap tahun. Pada tahun 2008 Badan
Pusat Statistik (BPS) menyelenggarakan pendaftaran kembali guna
memperbaharui data sebelumnya (PSE 2005). Pendataan Program Perlindungan
Sosial (PPLS) 2008 menggunakan 14 indikator yang mengidentifi kasi apakah
rumah tangga tertentu layak memperoleh bantuan (Nazara, 2013). Daftar baru ini
digunakan sebagai penetapan sasaran PKH antara tahun 2009–2011. Sejak
tahun 2012, penetapan sasaran PKH mulai menggunakan Basis Data Terpadu
(BDT). Basis data ini, yang didasarkan pada data tahun 2011, berisi nama dan
alamat individu rumah tangga yang berada pada 40 persen sebaran
kesejahteraan terendah. BDT, yang dikelola oleh Sekretariat TNP2K, merupakan
cara memadukan sistem penetapan sasaran nasional. Informasi lebih lanjut
tentang BDT dapat ditemukan di TNP2K (2013).
Persyaratan menerima manfaat PKH meliputi ibu hamil yang melakukan
pemeriksaan kehamilan, bayi baru lahir dan batita yang menerima perawatan
paska kelahiran dan pemeriksaan kesehatan, dan anak-anak usia 6 tahun hingga
18 tahun yang mendapatkan pendidikan wajib sembilan tahun. Bantuan ini
dibayarkan setiap tiga bulan. Antara tahun 2007 hingga tahun 2012, jumlah yang
diterima per tahun berkisar Rp600.000 hingga maksimal Rp2,2 juta per tahun,
tergantung pada status rumah tangga (dengan rata-rata Rp1,4 juta per rumah
tangga per tahun). Pada tahun 2013 ada kenaikan jumlah yang diterima, dengan
rata-rata menjadi Rp1,8 juta per rumah tangga per tahun.

Dampak PKH
Ada sangat banyak rujukan yang mencatat dampak program-program bantuan
dana tunai bersyarat seperti PKH. Program-program ini terbukti meningkatkan
capaian pendidikan rumah tangga miskin (Schultz, 2004) dan berdampak luas
pula pada capaian pendidikan rumah tangga tidak miskin (Bobonis dan Finan,
2005); menciptakan dampak multiganda melalui investasi pada diri sendiri
(Gertler, Martinez dan Rubio,2005); meningkatkan status kesehatan ibu dan anak
(Gertler, 2004); menurunkan angka kurang gizi (Hoddinott dan Skoufi as, 2003);
meningkatkan perekonomian setempat (Coady dan Harris, 2001); serta
mengurangi kesenjangan dan kemiskinan (Soares et al., 2006).
Implementasi dan Evaluasi Program | 14

Khusus PKH, ada sejumlah penelitian yang berupaya mengukur dampaknya.


Berbagai uji petik dan survei lapangan telah dilakukan oleh berbagai lembaga,
baik dalam maupun luar negeri. Sebagai tahap awal, Bappenas (2009) mencoba
melakukan uji kuantitatif yang menggunakan intervensi acak berbasis rumah
tangga dengan pengukuran sebelum dan sesudah intervensi, pada kelompok
yang diberi perlakuan khusus maupun yang terkendali. Secara keseluruhan
penelitan ini menunjukkan bahwa PKH memiliki dampak positif. Hasil penelitian
ini juga menunjukkan adanya dampak PKH pada kenaikan rata-rata banyak
indikator di bidang kesehatan (misalnya kunjungan ke Posyandu naik 3 persen,
pemantauan pertumbuhan anak naik 5 persen, dan kegiatan imunisasi naik 0,3
persen) dan indikator pendidikan (misalnya kehadiran di kelas naik 0,2 persen).
PKH juga berhasil meningkatkan pengeluaran rumah tangga per bulan per kapita
untuk pendidikan dan kesehatan.
Analisis dampak lain yang membandingkan PKH dalam perlakuan terkendali
(control treatment) dikeluarkan oleh World Bank (2010). Penelitian ini
menyimpulkan adanya peningkatan akses pada fasilitas kesehatan di lokasi
PKH. Kunjungan perempuan ke fasilitas kesehatan sebelum dan sesudah
melahirkan di lokasi PKH menunjukkan angka 7–9 persen lebih tinggi daripada di
lokasi kendali lainnya. Jumlah anak balita yang ditimbang di fasilitas kesehatan
juga 15–22 persen lebih tinggi di lokasi PKH. Melahirkan di fasilitas kesehatan,
atau yang dibantu oleh petugas kesehatan (bidan atau dokter) pun menunjukkan
sekitar 5–6 persen lebih tinggi di lokasi PKH dibandingkan dengan lokasi non-
PKH. Kajian ini juga menyiratkan dampak PKH lebih kuat di daerah perkotaan,
dimana terdapat lebih banyak fasilitas kesehatan dengan kualitas yang juga lebih
baik ketimbang di perdesaan. Dampak PKH juga terlihat meluas dengan adanya
peningkatan akses kesehatan yang lebih tinggi pada rumah tanggga bukan
peserta PKH di kecamatan lokasi PKH, ketimbang mereka yang berada di lokasi
non-PKH.
Namun begitu dalam hal pendidikan, evaluasi dampak tidak menunjukkan
perbedaan besar dalam status pendidikan antara lokasi PKH dan lokasi non-PKH
pada semua tingkatan wajib belajar sembilan tahun di Indonesia. Salah satu
alasannya adalah tingkat pendaftaran masuk dan partisipasi di SD yang cukup
tinggi, yaitu lebih dari 95 persen. Sedangkan pada tingkat SMP yang tingkat
pendaftaran masuk sekolah sebenarnya tidak terlalu tinggi, PKH seharusnya
menunjukan perbedaan dampak. Namun fakta evaluasi menunjukkan PKH tidak
Implementasi dan Evaluasi Program | 15

memiliki dampak yang berarti sehingga menyiratkan adanya masalah yang perlu
diatasi dalam program PKH. Mengacu pada masalah ini, terdapat kajian lain
yang mengemukakan dua persoalan:
1) Jadwal pembayaran bantuan PKH tidak selalu tepat waktu; oleh karena itu,
rumah tangga yang memiliki siswa yang lulus SD tidak memiliki cukup uang
pada saat pendaftaran ke SMP; dan
2) Bantuan PKH yang tersedia untuk elemen pendidikan tidak cukup untuk
pendaftaran masuk ke SMP.

Tantangan lain yang dihadapi oleh PKH adalah adanya evaluasi yang menjukkan
bahwa PKH tidak memiliki dampak apapun terhadap berkurangnya jumlah
pekerja anak. Hal ini karena mekanisme PKH kurang memadai dalam mengatasi
persoalan ini. Selain itu, jumlah bantuan PKH yang diterima dianggap tidak cukup
memberikan insentif bagi anak-anak tersebut untuk berhenti bekerja dan kembali
bersekolah.
Dilihat dari sisi konsumsi, kajian ini menunjukkan antara tahun 2007-2009 rumah
tangga PKH mengalami kenaikan rata-rata konsumsi bulanan sebesar 10 persen.
Dana yang diterima oleh rumah tangga PKH biasanya digunakan untuk konsumsi
harian dan pengeluaran pendidikan (untuk belanja seragam, transportasi).
Beberapa rumah tangga juga menggunakan bantuan ini untuk memperbaiki
kondisi rumah mereka dan membayar hutang. Berhutang, selain menjual aset
dan mengurangi konsumsi, merupakan salah satu mekanisme bertahan hidup
bagi rumah tangga miskin.

Tantangan strategi PKH


Ada beberapa tantangan strategis yang dihadapi oleh PKH di masa depan.
Tantangan-tantangan ini dapat dikategorikan menjadi tiga persoalan:
1) Perluasan cakupan dan pendirian kelembagaan;
2) strategi pengakhiran (exit strategy) dan lepas dari program; an
3) masalah saling melengkapi (komplementaritas) dengan program lain.
Perluasan Cakupan dan Pendirian Kelembagaan
Hasil evaluasi dampak PKH yang disebutkan di atas menjadi dasar dalam
melanjutkan perluasan bantuan dana tunai bersyarat di Indonesia. Idealnya,
sebagai program penanggulangan kemiskinan, PKH harus menjangkau semua
rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasar Basis Data
Implementasi dan Evaluasi Program | 16

Terpadu (BDT) terdapat sekitar 7,2 juta rumah tangga yang berada pada posisi
tersebut di tahun 2011. Namun begitu saat ini pemerintah menetapkan 3,2 juta
rumah tangga penerima bantuan hingga akhir tahun 2014 yang artinya hanya
menjangkau kurang dari setengah proyeksi jumlah rumah tangga miskin.
Upaya memperluas cakupan PKH menjadi semakin rumit ketika kita
mempertimbangkan lokasi baru mana saja yang harus dijangkau. Sebagaimana
yang diperlihatkan dalam Tabel 1, walaupun PKH beroperasi di semua provinsi
pada tahun 2012, program ini tidak menjangkau semua kabupaten/kota, dengan
demikian tidak menjangkau semua kecamatan atau desa.
Strategi perluasan PKH perlu menggabungkan dua fitur penting. Pertama,
perlunya menerapkan program ini di tingkat nasional. Jika semua provinsi
tergabung ke dalam program ini, idealnya PKH beroperasi di seluruh 497
kabupaten/kota di Indonesia. Itu direncanakan untuk tahun 2013. Kedua,
perluasan PKH juga perlu mempertimbangkan sudut pandang lain yang mampu
mendukung efesiensi operasionalnya. Artinya, PKH perlu ada hingga ke tingkat
kecamatan di semua lokasi PKH sekarang. Saat ini PKH tidak beroperasi di
semua desa dalam satu kecamatan. Tentunya, penekanan yang terlalu besar
pada prinsip pemenuhan cakupan akan menghambat tujuan cakupan nasional,
dan juga sebaliknya.
Perluasan program juga membutuhkan sumber daya manusia yang memadai.
Pada tahun 2012, PKH mempekerjakan sekitar 6.700 fasilitator. Sekretariat
TNP2K memperkirakan jumlah ideal untuk melayani 3 juta rumah tangga
penerima bantuan setidaknya 12.500 fasilitator. Pusat-pusat teknologi informasi
yang saat ini tersebar di kantor-kantor bupati sebaiknya ditangani di tingkat
provinsi guna meningkatkan efi siensi penyelenggaraan program. Fitur penting
lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah mekanisme pembayarannya.
Pembayaran saat ini dilakukan melalui kantor pos. Jika PKH akan diperluas,
pembayaran harus dilakukan melalui bank. Rumah tangga yang sangat miskin
saat ini memang tidak memiliki rekening bank, tetapi pembayaran melalui bank
akan memberi manfaat kepada mereka, karena mereka dapat belajar menabung,
dan tabungan dapat digunakan di kemudian hari, ketimbang menghabiskannya
untuk konsumsi.
Program bantuan tunai bersyarat biasanya membutuhkan sistem informasi
manajemen yang menyeluruh. Oleh karena itu, penyelenggara PKH harus
memberikan perhatian pada peningkatan sistem informasi manajemennya.
Implementasi dan Evaluasi Program | 17

Strategi Pengakhiran dan Lepas dari Program


PKH memiliki tujuan ganda, yaitu penanggulangan kemiskinan jangka pendek
dan pembangunan modal manusia jangka panjang. Dapat dipahami bahwa PKH
sebaiknya tidak menciptakan ketergantungan jangka panjang; oleh karena itu,
strategi pengakhiran (exit strategy) penting bagi keberhasilan operasi program
ini. Strategi pengakhiran ini juga erat hubungannya dengan keadilan horizontal,
dimana dengan keluarnya mereka dari program akan memberi kesempatan
kepada rumah tangga lain yang belum menerima bantuan. Sebagai program
yang dirancang untuk menanggulangi kemiskinan jangka pendek, PKH
menetapkan berakhirnya kepesertaan penerima manfaat jika:
 mereka tidak lagi memenuhi persyaratan kelayakan;
 mereka tidak miskin lagi; atau
 mereka telah mencapai batas waktu enam tahun sebagai penerima
manfaat.
Keluar dari program dikarenakan alasan pertama merupakan hal yang umum.
Misalnya seorang anak yang menyelesaikan pendidikan sembilan tahun tidak
akan menerima bantuan dari PKH lagi. Namun, alasan kedua agak rumit.
Karena, program ini perlu pengawasan terus-menerus guna mengidentifikasi
rumah tangga yang akan terlepas dari program ini. Kegiatan resertifi kasi
terjadwal dapat menjadi pilihan untuk pengawasan. Namun, ada alasan lain
mengapa keluar dari program berdasarkan alasan ini dapat dianggap agak rumit
yaitu, penghasilan beberapa rumah tangga berfl uktuasi di seputar garis
kemiskinan. Rumah tangga yang berada di seputar garis kemiskinan masih
sangat rentan terhadap goncangan ekonomi. PKH sebaiknya tidak melepaskan
rumah tangga dari program jika ada kemungkinan besar rumah tangga tersebut
akan berada di bawah garis kemiskinan kembali dikarenakan ketidakmampuan
mereka menopang diri mereka sendiri setelah keluar dari program ini. Alasan
ketiga untuk keluar dari program, batas enam tahun, merupakan aturan termudah
untuk ditegakkan tetapi tidak sesuai untuk PKH sebagai program transformasi
sosial. Kemampuan suatu rumah tangga atau individu keluar dari kemiskinan
parah terwujud dalam konteks, dan dengan demikian, dibentuk oleh, dinamika di
dalam rumah tangga dan konteks sosial, ekonomi dan politik yang lebih luas
dimana rumah tangga hidup (misalnya daerah yang memiliki prasarana yang
tidak memadai, atau layanan yang terkena dampak bencana).
Implementasi dan Evaluasi Program | 18

Gelombang pertama penerima bantuan PKH yaitu kelompok tahun 2007


seharusnya tidak lagi menjadi bagian dari program ini sejak tahun 2013, karena
mereka telah berada dalam program ini selama enam tahun. Namun, ada
pertimbangan bahwa penghentian selamanya kelompok pertama tanpa
persiapan bukan keputusan terbaik bagi rumah tangga ataupun bagi program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Strategi harus dikembangkan terlebih
dahulu guna memastikan bahwa PKH merupakan cara terbaik dalam mengatasi
kebutuhan rumah tangga penerima bantuan program ini dan penanggulangan
kemiskinan di Indonesia pada umumnya.
Strategi seperti ini disebut Proses Transformasi. Dalam proses ini, resertifi kasi
tahunan akan dilakukan di tahun kelima partisipasi guna mengkaji status
penghasilan rumah tangga. Resertifi kasi merupakan proses mengkaji status
sosial dan ekonomi penerima bantuan PKH guna menentukan apakah mereka
masih layak ikut dalam program berdasarkan status kemiskinan mereka. Resertifi
kasi untuk PKH juga akan dirancang untuk mengkaji faktor-faktor lain yang
mempengaruhi kapasitas penerima bantuan PKH untuk keluar dari kemiskinan.
Data yang diperoleh dari hasil resertifi kasi kemudian akan digunakan guna
menetapkan kelanjutan partisipasi rumah tangga dalam program ini. Selain itu,
resertifi kasi dapat mengumpulkan informasi tentang akses yang dimiliki oleh
penerima bantuan ke bantuan sosial pelengkap atau program pengentasan
kemiskinan yang akan digunakan dalam mengembangkan strategi pengakhiran.
Resertifikasi di tahun kelima partisipasi dalam PKH akan memberikan cukup
waktu kepada pengelola PKH untuk menyiapkan fase transformasi selanjutnya,
dengan aturan-aturan berikut ini:
 Rumah tangga PKH yang, berdasarkan hasil resertifi kasi, masih miskin
(berada di 10 persen terbawah rumah tangga dalam BDT) dan memenuhi
kriteria kelayakan PKH akan masuk dalam fase transisi. Rumah tangga-
rumah tangga ini akan menerima bantuan dana untuk tiga tahun lagi,
bersama dengan program perlindungan sosial lainnya seperti Jamkesmas
(asuransi kesehatan), BSM (bantuan pendidikan), Raskin (beras bersubsidi
bagi rumah tangga miskin) dan lain-lain. Dalam proses transisi tiga tahun,
penerima bantuan akan menerima jumlah bantuan dana yang sama seperti
yang diterima penerima bantuan PKH lainnya. Setelah tiga tahun dalam fase
transisi, penerima bantuan otomatis akan keluar dari program tanpa proses
resertifikasi.
Implementasi dan Evaluasi Program | 19

 Penerima bantuan PKH yang, berdasarkan resertifi kasi, tidak lagi miskin
(yaitu di atas 10 persen terbawah rumah tangga dalam BDT) dan/atau tidak
lagi memenuhi kriteria kelayakan PKH tidak akan menerima PKH dan akan
masuk dalam fase pelepasan, dimana mereka akan terus menerima program
perlindungan sosial lainnya seperti Jamkesmas, BSM dan Raskin, serta
program peningkatan penghidupan dan pengurangan kemiskinan lainnya
yang tersedia.

Keberhasilan strategi transformasi di atas akan tergantung pada sejumlah faktor


kunci. Pertama, kegiatan resertifi kasi harus rutin dilaksanakan untuk tiap
kelompok — kecuali pertama kalinya, karena kelompok tahun 2007 dan 2008
akan diresertifi kasi bersamaan, karena kelompok pertama telah melewati titik
enam tahun. Kedua, PKH harus memastikan kesiapan program perlindungan
sosial lainnya sehingga dapat membawa rumah tangga yang telah lepas dari
PKH ke dalam program mereka masing-masing. Koordinasi lintas program
merupakan keharusan. Ketiga, sosialisasi intensif – yang dipahami sebagai
proses memberikan informasi kepada penerima bantuan tentang aturan
operasional program – harus dilakukan bagi penerima bantuan.

Masalah Saling Melengkapi (komplementaritas) dengan Program


Kemiskinan Lain
Program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia dibagi menjadi tiga
kelompok (disebut klaster) yang berbeda. PKH adalah salah satu dari beberapa
program dalam Klaster 1 program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Klaster 1 adalah program yang menyasar individu dan rumah tangga. Program
lain dalam Klaster 1 adalah Raskin (beras bersubsidi), Jamkesmas (asuransi
kesehatan) dan BSM (bantuan dana pendidikan). Klaster 2 terdiri dari beberapa
program PNPM, yang merupakan sekumpulan program pembangunan yang
didorong oleh masyarakat (community driven). Klaster 3 adalah pengembangan
usaha mikro dan usaha kecil melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang pada
dasarnya merupakan program jaminan kredit yang diselenggarakan oleh bank-
bank pemerintah dan swasta yang berpartisipasi. Ada dua dugaan tentang
komplementaritas (saling melengkapi), yang akan dibahas di bawah ini. Pertama,
dalam hal cakupan — yaitu penduduk termiskin harus menerima, dengan cara
yang terpadu, semua program Klaster 1; kedua, dalam hal operasi program.
Implementasi dan Evaluasi Program | 20

Hingga tahun 2011, komplementaritas program merupakan hal yang sangat


menantang di Indonesia, terlihat dari fakta bahwa tiap program memiliki basis
data penerima bantuan masingmasing. Berbicara tentang konsep, karena PKH
menjangkau rumah tangga yang sangat miskin dalam sebarannya, dan
cakupannya merupakan yang terendah di antara programprogram Klaster 1
lainnya, maka semua penerima bantuan PKH seharusnya juga menerima Raskin,
Jamkesmas dan BSM. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Meski begitu, ada
upaya untuk memastikan bahwa program-program ini saling melengkapi.
Misalnya, pada tahun 2009 Menteri Kesehatan mengeluarkan instruksi bagi
semua fasilitas kesehatan bahwa semua anggota rumah tangga PKH juga harus
dicakup dalam Jamkesmas; oleh karena itu, kartu PKH cukup bagi anggota
rumah tangga PKH untuk mendapatkan layanan kesehatan bebas biaya di
fasilitas kesehatan manapun.
Contoh lain tentang komplementaritas adalah antara PKH dengan BSM. Untuk
tahun 2010 dan tahun 2011, penyelenggara PKH menarik daftar nama dan
alamat anak-anak PKH di sekolah, yang difasilitasi oleh Sekretariat TNP2K,
kemudian daftar tersebut diberikan kepada Kementerian Pendidikan dan Budaya
untuk dimasukkan dalam daftar penerima bantuan BSM. Komplementaritas
program seperti ini bersifat ad hoc, dan tidak menjamin pelaksanaan jangka
panjang yang sistematis. Dalam contoh koordinasi antara PKH dengan
Jamkesmas, cakupan PKH diperluas setiap tahun, dengan begitu terdapat lokasi-
lokasi baru, yang tidak terdata di program Jamkesmas. Akibatnya, masih banyak
keluhan mengenai ditolaknya pemegang kartu PKH dalam memperoleh layanan
kesehatan.
Dasar bagi cakupan yang saling melengkapi dimulai ketika Indonesia
mempersiapkan pendaftaran tunggal nasional, BDT, pada tahun 2011.
Pendaftaran ini seharusnya memastikan cakupan yang saling melengkapi agar
dapat dipertahankan. Sejak tahun 2012 semua nama dan alamat yang diajukan
ke PKH untuk perluasan program ini juga telah dimasukkan dalam penetapan
sasaran untuk Jamkesmas, Raskin dan BSM.
Berbagai kementerian yang berbeda masih menyelenggarakan program-program
ini secara terpisah, tetapi sasaran individu dan/atau rumah tangga untuk tiap
program berasal dari BDT nasional yang sama. Sudut pandang lain tentang
komplementaritas adalah dalam hal tujuan program. PKH dimaksudkan untuk
memberikan tambahan dana mengurangi beban pengeluaran rumah tangga.
Implementasi dan Evaluasi Program | 21

Namun, program ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas modal


manusia melalui, antara lain, akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan. Untuk
itu, PKH beroperasi dengan fasilitator dalam membantu rumah tangga miskin.
Peran fasilitator seharusnya lebih dari sekedar melayani rumah tangga miskin
berkenaan dengan layanan PKH. Fasilitator diharapkan mampu membantu
peserta PKH dalam mengakses berbagai layanan publik dan kegiatan
pembangunan.
Selayaknya fasilitator PKH merupakan agen yang tepat untuk memastikan
bahwa rumah tangga PKH berhak membeli jatah beras Raskin dengan harga
yang sesungguhnya. Mereka juga harus berhubungan erat dengan fasilitator
PNPM yang memungkinkan rumah tangga PKH aktif berpartisipasi serta
suaranya lebih didengarkan selama pertemuan perencanaan desa. Fasilitator
juga dapat berperan penting dalam hubungan antara PKH dengan BSM. Peran
penting ini merupakan tambahan bagi pernyataan resmi dalam Pedoman BSM
yang memasukkan secara otomatis anak-anak rumah tangga PKH dalam
program BSM. Intinya, fasilitasi sebaiknya tidak berfokus semata-mata pada
operasi internal program saja. PKH juga dapat berfungsi sebagai focal point yang
dapat digunakan oleh rumah tangga miskin dalam mengakses semua layanan
publik di lokasi mereka. Bukan hanya pelayanan kesehatan dan pendidikan saja,
namun juga layanan seperti partisipasi masyarakat, pendaftaran untuk tujuan
identifi kasi dan dokumen sipil lainnya, akses pekerjaan padat karya untuk
pemeliharaan prasarana setempat dan lain-lain. Jika PKH ingin bertransformasi
menjadi focal point, koordinasi erat dengan badan pemerintah lain, di tingkat
pusat dan daerah, sangat dibutuhkan.
Persoalan penting lain dalam komplementaritas program berasal dari fakta
bahwa PKH sangat mengandalkan keberadaan prasarana seperti sekolah dan
fasilitas kesehatan. Di lokasi-lokasi yang tidak cukup memiliki prasarana yang
demikian, PKH tidak akan berhasil menjadi program bantuan dana tunai
bersyarat. Oleh karena itu, perluasan PKH juga harus memperhatikan
ketersediaan prasarana di lokasi tersebut. Namun, tantangannya adalah bahwa
ketersediaan prasarana di suatu lokasi tertentu tidak tergantung hanya pada
pemerintah pusat. Dalam banyak kasus, prasarana juga merupakan tanggung
jawab pemerintah daerah; karenanya, kerja sama dengan pemerintah daerah
merupakan langkah yang sangat penting.
Implementasi dan Evaluasi Program | 22

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI PROGRAM KELUARGA HARAPAN

KEBIJAKAN PROGRAM TUJUAN INDIKATOR CAPAIAN

PERLINDUNG PROGRAM a. Meningkatkan akses • Jumlah Anak Putus Sekolah


AN SOSIAL KELUARGA dan kualitas Berkurang.
DAN HARAPAN pelayanan • Jumlah Kematian Ibu dan
PENANGGULA (CC – PKH) pendidikan dan Anak Berkurang
NGAN kesehatan bagi • Terpenuhinya kebutuhan
KEMISKINAN Peserta PKH dasar anak bersekolah
b. Meningkatkan taraf • Terpenuhinya Gizi ibu dan
pendidikan Peserta anak dalam kandungan
PKH • Peningkatan Konsumsi
c. Meningkatkan status Keluarga Peserta PKH
kesehatan dan gizi • Meningkatnya rasio
ibu hamil (bumil), ibu kepedulian kesehat an,
nifas, bawah lima pemeriksanaan kesehatan
tahun (balita) dan secara rutin bgi KSM
anak prasekolah • Pemenuhan kesehatan
anggota Rumah lansia
Tangga Sangat
Miskin
(RTSM)/Keluarga
Sangat Miskin (KSM).

E. PENUTUP
Walaupun telah berjalan selama tujuh tahun, PKH Indonesia masih menghadapi
sejumlah tantangan. Program ini masih perlu diperluas sehingga mampu
mencakup sebagian besar rumah tangga miskin di Indonesia; program ini
memerlukan banyak peningkatan efi siensi; harapan-harapan yang ada pun
harus mempertimbangkan proses pelepasan dan transisi bagi penerima manfaat
PKH; dan yang terakhir, PKH perlu meningkatkan koordinasinya dengan
program-program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial lainnya.
Disamping tantangan-tantangan tersebut, PKH tetap menjadi program yang
sangat penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Bagaimanapun
reformasi program yang efesien dan efektif masih dibutuhkan secara terus
menerus.

Anda mungkin juga menyukai