Anda di halaman 1dari 9

BAB III

VISI, MISI, DAN STRATEGI

3.1. Pengenalan Lokus Pengimplemetasian Program


Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat
Nomor 583/SK-PIK/1989, Jatinangor ditetapkan sebagai kawasan pendidikan tinggi.
Melalui kebijakan tersebut, terdapat empat perguruan tinggi yang semula berlokasi di
Bandung, dipindahkan ke Jatinangor; Institut Manajemen Koperasi Indonesia
(Ikopin), Universitas Padjadjaran (Unpad), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam
Negeri (STPDN), dan Universitas Winaya Mukti (Unwim). Penetapan Jatinangor
sebagai kawasan pendidikan tinggi tak luput dari adanya penetapan Jatinangor
sebagai sub-pusat dalam penataan Kawasan Metropolitan Bandung, daerah Jatinangor
difungsikan sebagai pembangkit pertumbuhan lokal serta pusat pendidikan.
Dengan sejumlah status yang disandang oleh Jatinangor, terdapat perubahan
terbesar yang paling terlihat; segmentasi mata pencaharian masyarakat yang semula
berfokus pada sektor pertanian menjadi sektor jasa dan perdagangan. Pergeseran
tersebut terjadi seiringan dengan berkurangnya lahan pertanian yang berubah menjadi
lahan perkantoran dan perguruan tinggi. Meski begitu, pengurangan angka
pengangguran tidak berbanding lurus dengan pembangunan yang masif tersebut. Hal
ini disebabkan terbukanya lapangan pekerjaan baru di bidang jasa dan perdagangan
tersebut tidak diisi oleh penduduk asli Jatinangor (31,5%) melainkan pendatang
(68,5%), Mardianta (2001). Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis pun
menilai bahwa strategi yang tepat untuk diimplementasikan adalah pengembangan
ekonomi lokal (local economic development) yang memposisikan masyarakat sebagai
subjek pembangunan dan keterlibatannya menjadi fokus utama.

3.2. Visi
Sebagaimana yang telah tertera pada poin ke-1 SDGs (Sustainability
Development Goals): Tanpa Kemiskinan, menjadi cita-cita terbesar penulis untuk
dapat mengentas kemiskinan, setidaknya menyumbang secuil buah pikir yang dapat
direalisasikan oleh pihak yang lebih memiliki kapabilitas. Hingga saat ini, Indonesia
telah berhasil memenuhi sebagian besar target dari MDGs (Millenium Development
Goals) Indonesia yaitu 49 dari 67 indikator MDGs (Millenium Development Goals),
namun demikian masih terdapat sejumlah indikator lain yang perlu dipenuhi dalam
pelaksanaan pemenuhan TPB (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan)/SDGs
(Sustainability Development Goals). Namun, indikator yang diprioritaskan untuk
dilanjutkan adalah mengenai penurunan angka kemiskinan berdasarkan garis
kemiskinan nasional. Pada September 2022, secara rata-rata Indonesia masih
memiliki 4,34 orang anggota rumah tangga yang menyandang status miskin. Dengan
demikian, besaran Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata di
Indonesia adalah sebesar Rp2.324.274,00/rumah tangga miskin per bulan.
Selain itu, berdasarkan data yang dilansir dari laman resmi Badan Pusat
Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada bulan September 2022 adalah
sebesar 9,57%, meningkat sebanyak 0,03% poin terhadap data di bulan Maret 2022
dan menurun 0,14% poin terhadap bulan September 2021. Sedangkan untuk
persebarannya, persentase penduduk miskin perkotaan pada bulan Maret 2022 adalah
berjumlah 7,50%, yang berikutnya naik menjadi 7,53% pada bulan September 2022.
Sementara persentase penduduk miskin pedesaan pada bulan Maret 2022 sebesar
12,29%, naik menjadi 12,36% pada September 2022. Dibandingkan dengan bulan
Maret 2022, jumlah penduduk miskin perkotaan bulan September 2022 meningkat
sebanyak 0,16 juta orang (dari yang semula berjumlah 11,82 juta orang pada bulan
Maret 2022 menjadi 11,98 juta orang pada bulan September 2022). Sementara itu,
pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin pedesaan meningkat sebanyak 0,04
juta orang (semula 14,34 juta orang pada bulan Maret 2022 menjadi 14,38 juta orang
pada September 2022). Dengan persentase jumlah penduduk miskin yang bersifat
stagnan, menandakan bahwa permasalahan kemiskinan di Indonesia dan pemenuhan
poin pertama SDGs (Sustainability Development Goals) perlu lebih diperhatikan dan
menjadi pekerjaan rumah yang harus segera terselesaikan lewat koordinasi setiap
pemangku kepentingan (stakeholders) yang ada.
Selain itu, tertera pula pada alinea keempat pembukaan undang-undang dasar
mengenai tujuan negara yaitu: Memajukan Kesejahteraan Umum, yang mana hal ini
merupakan amanan yang sepatutnya dipenuhi oleh pemerintah Republik Indonesia
kepada rakyatnya. Kesejahteraan umum yang dimaksud adalah pemenuhan kebutuhan
primer (sandang, pangan, dan papan), kesehatan jasmani dan rohani, pendidikan, serta
keseluruhan aspek yang harus dimiliki seorang individu untuk dapat hidup sejahtera.
Namun, sebagaimana yang telah dijabarkan melalui data terkait kemiskinan di
Indonesia, tujuan tersebut masih layaknya angan-angan belaka. Oleh karenanya, guna
menciptakan negara yang dicita-citakan tersebut, perlu diberlakukan sejumlah strategi
pengentasan kemiskinan.

3.3. Misi
Memiliki visi yang teramat besar, penulis sangat menyadari bahwa perlu terdapat
serangkaian mekanisme yang disusun sedemikian rupa guna mencapainya. Oleh
karena itu, berikut adalah sejumlah buah pikir yang dinilai layak untuk menjadi
kendaraan bagi penulis untuk mencapai visi berupa pemenuhan poin SDGs dan tujuan
negara yang tertuang pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

1. Pemberdayaan masyarakat setempat untuk dapat berdikari dalam


menyelesaikan permasalahan ekonomi melalui penggalakan eksistensi
UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) serta sumber perekonomian lain
yang sejalan dengan karakteristik wilayah dan masyarakat.
2. Penciptaan ruang ekonomi partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku
kepentingan (stakeholders) dengan masyarakat setempat sebagai fokus
sasaran program yang meliputi kegiatan sosialisasi pentingnya pendidikan
sebagai upaya pengentasan kemiskinan, mekanisme pemanfaatan potensi yang
dimiliki oleh wilayah dan individu tersebut, manajerisasi pendanaan, dan
keseluruhan hal yang menunjang kegiatan perekonomian mandiri masyarakat.
3. Pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi secara periodik guna
menganalisis keseluruhan mekanisme program yang berjalan dan
meminimalisir segala bentuk penyelewengan yang mungkin terjadi dan
menghambat proses pencapaian kemandirian finansial masyarakat yang
menjadi tujuan dari program yang dilaksanakan.

Pandangan teoritis mengenai kemiskinan mengalami beragam perubahan sejalan


dengan perubahan zaman, tetapi pada dasarnya berkaitan dengan ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar (Britha Mikelsen, 2003). Kemiskinan menunjukkan
situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh orang miskin
tersebut, melainkan karena tidak bisa dihindari dengan kekuatan yang dimilikinya
(Soegijanto Soegijoko, 1997). Terdapat sejumlah penyebab kemiskinan; kondisi
alamiah dan ekonomi, kondisi struktural dan sosial, serta kondisi kultural (budaya).
Kemiskinan alamiah dan ekonomi diakibatkan oleh keterbatasan sumber daya
alam, manusia, serta sumber daya lainnya yang menghambat peluang produksi
sehingga individu tidak dapat berperan secara optimal dalam pembangunan.
Sedangkan kemiskinan struktural dan sosial timbul dikarenakan adanya ketimpangan
hasil pembangunan, tatanan kelembagaan, serta kebijakan dalam pembangunan. Lalu,
kemiskinan kultural atau budaya ditimbulkan oleh sikap atau kebiasaan hidup yang
menahan seseorang untuk produktif hingga akhirnya menjebak seseorang untuk terus
berada dalam kemiskinan.
Selain dikarakterisasikan melalui penyebab kemiskinannya, kemiskinan juga
terbagi menjadi beberapa jenis yang dapat dibedakan berdasarkan pola waktunya,
antara lain: (1) persistent poverty, merupakan kemiskinan yang kronis serta bersifat
turun-temurun, biasanya terjadi di daerah yang kritis akan sumber daya alam atau
terisolasi; (2) cyclical poverty, merupakan kemiskinan yang terjadi tersebar luas
namun durasinya terbatas dikarenakan suatu fenomena, contohnya seperti perang,
resesi ekonomi. (3) seasonal poverty, merupakan kemiskinan yang bersifat musiman
seperti dapat dijumpai pada kasus-kasus masyarakat berprofesi nelayan dan petani
tanaman pangan. (4) accidental poverty, merupakan kemiskinan yang diakibatkan
oleh bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan.
Tak hanya itu, kemiskinan pun dapat diklasifikasikan lewat perbandingan dengan
suatu indikator tertentu atau dengan anggota/kelompok masyarakat lainnya. Tolak
ukur untuk mengukur kemiskinan absolut adalah dengan menggunakan standar garis
kemiskinan atau kondisi tertentu yang dapat mencerminkan suatu kemiskinan dapat
disebut kemiskinan absolut. Sedangkan ukuran untuk kemiskinan relatif adalah
melalui pembandingan terhadap jumlah keseluruhan kelompok serta digambarkan
melalui Kurva Lorentz dan menggunakan Gini Ratio untuk mengetahui besarnya
celah kesenjangan (poverty gap). Setiap masalah memiliki solusi yang berbeda,
terlebih ketika akar permasalahan, jenis, dan standardisasinya berbeda. Sama halnya
dengan kemiskinan, permasalahan ini teramat kompleks sehingga solusi yang
nantinya ditawarkan tentunya tidak dapat dipukul rata.
Adapun solusi terhadap pengentasan kemiskinan yang dikemukakan oleh Bank
Dunia, bahwa setiap dekade strategi pengentasan kemiskinan mengalami
perkembangan mulai dari penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan,
pengembangan kesehatan dan pendidikan, perlindungan sampai dengan
pemberdayaan kaum miskin. Sedikit berbeda dengan strategi memerangi kemiskinan
yang dikemukakan oleh Gunnar Adler Karlsson yang dikutip Andre Bayo Ala (1981)
meliputi: (1) Solusi pengentasan kemiskinan berjangka pendek adalah dengan
mendistribusikan sumber daya kepada kaum miskin dalam jumlah yang memadai
sebagai upaya pemerataan. Perbaikan keadaan kemiskinan dalam jangka pendek
diantaranya adalah melalui pembukaan peluang kerja, peningkatan pendapatan
harian, serta perbaikan distribusi; (2) Solusi pengentasan kemiskinan berjangka
panjang adalah dengan pemberdayaan swadaya setempat. Perbaikan dalam jangka
panjang dengan memperbaiki dan memenuhi harkat hidup secara individual serta
sosial yang bermartabat dan berkelanjutan.

3.4. Strategi
Adapun pola sasaran, tujuan, dan kebijakan rencana yang secara spesifik akan
dilakukan untuk mengentas kemiskinan secara umum di Indonesia dan secara
khususnya adalah wilayah Jatinangor, penulis menilai bahwa strategi ini dapat
dipertimbangkan untuk diimplementasikan ke depannya:
1. Pengenalan dan pemetaan karakteristik wilayah dan masyarakat setempat
untuk mengetahui potensi yang dimiliki oleh daerah.
2. Melakukan budgeting dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
3. Melakukan penilitian langsung kepada masyarakat untuk mengetahui akar
permasalahan dari kemiskinan yang dihadapi.
4. Menyusun kurikulum program pengentasan kemiskinan yang disesuaikan
dengan karakteristik wilayah serta masyarakat dan berkoordinasi dengan
dengan para pemangku kepentingan (stakeholders); perangkat desa, dinas-
dinas terkait, serta masyarakat.
5. Melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi program bersama dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders); perangkat desa, dinas-dinas terkait,
serta masyarakat.

Secara khusus, strategi pengentasan kemiskinan yang diselenggarakan dan


dilaksanakan oleh Pemerintah dapat dibagi menjadi dua payung besar. Pertama,
melindungi keluarga atau kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan
sementara. Kedua, membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan kronis dengan
memberdayakan dan mencegah lahirnya kemiskinan baru. Strategi tersebut
selanjutnya dituangkan dalam tiga program yang langsung diarahkan pada penduduk
miskin yaitu:
1. Penyediaan kebutuhan pokok (meliputi sandang, pangan, dan papan yang
layak);
2. Pengembangan sistem jaminan sosial (saat ini telah ada KIP-K, BPJS
Kesehatan dan Ketenagakerjaan); dan
3. Pengembangan budaya usaha (sosialisasi dan pengembangan UMKM yang
sejalan dengan potensi wilayah serta masyarakat setempat).

Dalam pengimplementasian konsep kebijakan dalam pengentasan kemiskinan


yang dilakukan oleh pemerintah dapat dikalsifikan berdasarkan landasan tradisi serta
pendekatan perencanaan. Adapun, menurut John Friedmann setidaknya terdapat
empat tipe tradisi pendekatan yang meliputi: (1) perencanaan sebagai reformasi sosial
(social reform), yang memposisikan negara sebagai penyusun dan perencana berbagai
arahan serta pedoman pembangunan yang nantinya akan diikuti dan dilaksanakan
oleh masyarakat; (2) perencanaan sebagai analisis kebijakan (policy analysis), bahwa
para penentu kebijakan (pemerintah serta pihak terkait lainnya) menyusun serta
merencanakan sejumlah arahan atau pedoman pembangunan yang didasarkan kepada
analisis data yang ilmiah sehingga dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat;
(3) perencanaan sebagai pembelajaran sosial (social learning), bahwa pengetahuan
perencanaan diperoleh melalui pengalaman (empiris) lalu disempurnakan melalui
praktik (learning by doing), dalam perencanaan serta pelaksanaan pembangunan
pemerintah melakukannya bersama-sama dengan masyarakat sembari mendapatkan
bimbingan dari ahli; dan yang terakhir adalah (4) perencanaan sebagai mobilisasi
sosial (social mobilization), bahwa perencanaan serta pelaksanaan pembangunan akan
dipraktikan oleh masyarakat melalui beragam konsep/ideologi yang sudah tertanam di
dalam jiwa dan kebudayaan mereka atau yang sering kita kenal sebagai kearifan lokal
(local wisdom).
Setelah perencanaan dan eksekusi pelaksanaan program, perlu diadakan tahapan
evaluasi terhadap program tersebut yang diantaranya dapat dilakukan terhadap
pendekatan perencanaan, model pembangunan yang digunakan dan pelaksanaan
program tersebut. Adapun indikator yang dapat digunakan dalam melakukan evaluasi
adalah meliputi: penentuan sasaran dan data yang digunakan untuk menentukan
sasaran; peranan pemerintah daerah, masyarakat umum dan penerima sasaran
program; dan implementasi program di tingkat pemerintah dan masyarakat.
Namun, seringkali kita jumpai dimana penduduk miskin menggunakan
strateginya sendiri untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan yang dihadapi.
Beragam strategi yang ditempuh yakni meliputi pinjaman dari lembaga informal
(beberapa melalui lembaga pinjaman yang tersertifikasi Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) sedang beberapa lagi melalui lembaga pinjaman tidak tersertifikasi),
menambah jam kerja melalui pencarian mata pencaharian lain (kerja serabutan),
memposisikan anggota keluarga lain untuk ikut menjadi tulang punggung keluarga
(seringkali anggota keluarga tersebut belum atau sudah tidak berada di usia produktif
untuk bekerja), merantau untuk mencari mata pencaharian lain yang lebih
menjanjikan atau bahkan berhemat dengan tidak memenuhi kebutuhan sekunder pun
tersier. Tentunya solusi yang mereka tempuh ini tidak sepenuhnya benar secara moral,
sebagian bahkan berakhir dengan memperparah kondisi keluarga; contoh
ketidakmampuan membayar bunga pinjaman yang mengakibatkan penggadaian harta
benda yang dimiliki, mencari pinjaman lain (gali lubang tutup lubang), hingga
masuknya anggota keluarga pengaju pinjaman ke dalam catatan hitam (blacklist).
Solusi yang dimiliki oleh setiap pemangku kepentingan (stakeholders) tentunya
memiliki plus minusnya tersendiri, terdapat solusi yang terlihat “aman” namun
outcome-nya terlihat lama sehingga dinilai tidak efisien. Di lain sisi, terdapat solusi
yang “riskan” namun outcome-nya lebih cepat terlihat dan nyata dirasakan sehingga
lebih banyak dipilih oleh masyarakat, meski kenyataannya yang cepat belum tentu
tepat. Sehingga, banyak sekali tugas pemerintah untuk benar-benar mengentaskan
kemiskinan hingga ke akarnya dan memastikan bahwa tidak ada kemiskinan baru
yang lahir. Tentunya, Kembali lagi ke poin sebelumnya, hal itu hanya dapat tercapai
ketika koordinasi dengan semua pihak berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2021). Sekilas SDGs. Diambil kembali


dari https://sdgs.bappenas.go.id/sekilas-sdgs/
Badan Pusat Statistik. (2023, Januari 16). Persentase Penduduk Miskin. Diambil
kembali dari https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/01/16/2015/persentase-
penduduk-miskin-september-2022-naik-menjadi-9-57-persen.html
Gatiningsih. (2006, Januari). Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Wilayah
Pengembangan Ekonomi Wilayah di Jatinangor. Diambil kembali dari
http://eprints.ipdn.ac.id/2581/1/Visioner%20Vol.%202%20No.
%201%20.compressed.pdf
Yulianto, T. (t.thn.). Memahami Kembali Strategi Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia. Diambil kembali dari
https://djpb.kemenkeu.go.id/kanwil/sulteng/id/data-publikasi/berita-terbaru/
2830-memahami-kembali-strategi-pengentasan-kemiskinan-di-indonesia-
sebagai-sumber-penerimaan-negara.html

Anda mungkin juga menyukai