PENGANGGURAN MELALUI
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. Latar Belakang
Jika dilihat dari perkembangan pembangunan di Indonesia pada awal 1970-an dan
1980-an maka fungsi ”negara pembangunan" (developmental state) merupakan pilihan
model pembangunan yang dilaksanakan pada saat itu. Pembangunan dengan
mengedepakna pertumbuhan ekonomi menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan
sosial dan politik yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat itu. Dampak yang muncul
dengan model tersebut semakin tinginnya disparitas hasil pembangunan, karena asumsi
adanya trickle down effect ternyata tidak berjalan dengan sempurna. Pada pertengahan
1980-an hingga 2000-an, ciri-ciri negara pembangunan mulai bergeser menjadi negara
minimalis, peran negara dalam ekonomi ditarik, dikurangi, atau dihapuskan. Kuatnya
liberalisasi di banyak bidang menjadikan pasar bebas dianggap sebagai mekanisme dan
kelembagaan sempurna yang dapat mengoreksi diri sendiri. Privatisasi, deregulasi, dan
liberalisasi menjadi kata-kata kunci dalam melakukan swastanisasi sektor-sektor
pelayanan publik seperti di sektor perbankan, listrik, air, pendidikan, dan kesehatan.
Akibatnya, dampak negatif dari pembangunan yang terjadi pada model sebelumnya
semakin bertambah banyak keluarga Indonesia jatuh miskin, sekolah menjadi mahal,
1
kesehatan sulit dijangkau, dan lapangan kerja lebih kecil ketimbang jumlah pencari
kerja.
Hal ini ditunjukan dengan masih berkutat dengan tingginya angka kemiskinan.
Permasalahan kemiskinan menjadi problem sosial yang hingga saat ini belum dapat
terpecahkan bagaikan lingkaran setan. Hasil data BPS tahun 2006 menunjukkan angka
kemiskinan di Indonesia bahkan cenderung mengalami kenaikan setiap periode, jumlah
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta
jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta jiwa dari angka kemiskinan pada Maret 2005
sebesar 35,1 juta (15,97%). Dengan semakin meningkatnya angka kemiskinan maka
permasalahan sosial lainnya sebagai dampak kemiskinan juga bertambah, seperti:
masalah lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya angka
kriminalitas, berkembangnya konflik-konflik sosial antar masyarakat, dan makin
rendahnya akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup. Di samping angka kemiskinan
yang disampaikan oleh BPS maka dilihat dari Human Development Index (HDI) atau
Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia masih sangat rendah, dibandingkan dengan
kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development
Report 2006 yang menggunakan data tahun 2002, Indonesia hanya menempati urutan
ke-108 dari 177 negara, hal ini berimplikasi pada produktivitas manusia yang rendah
yang pada tahun 2006 berada di peringkat ke-60 dari 61 negara pada tahun 2006 dalam
World Competitiveness Year Book.
2
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari Pembukaan UUD 1945
tersebut, menunjukkan bahwa faktor kesejahteraan masyarakat merupakan prioritas
didirikannya Negara Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan upaya bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk ikut berpatisipasi dalam upaya penghapusan
kemiskinan yang merupakan tantangan global terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini.
Hal tersebut telah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York tahun 2000 yang menetapkan upaya
mengurangi separuh dari kemiskinan di dunia sebagai Tujuan Pembangunan Millenium
(Millenium Development Goals) yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan tersebut
dilaksanakan melalui 8 jalur sasaran yang meliputi :
Komitmen atas sasaran dan target tersebut disepakati juga oleh pemerintah Indoensia
yang ikut menandatangani dokumen Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan
Berkelanjutan, yang juga telah ditanda-tangani oleh Presiden RI, untuk menjadi acuan
dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002.
Dengan demikian, konsensus bangsa Indonesia dan maupun komitmen internasional
untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan. Faktor tersebut membutuhkan peran emerintah dan semua perangkat
negara bersama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama
3
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus pengentasan kemiskinan
paling lambat tahun 2015.
Terkait dengan hal tersebut, maka upaya menurunkan kemiskinan telah diluncurkan
oleh pemerintah pusat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
sehingga tumpang tindih kegiatan pemerintah dapat dihindari dan akhirnya dampak
pengeluaran pemerintah terhadap penurunan kemiskinan dapat dimaksimalkan. Dalam
program PNPM seperti yang telah dimulai beberapa tahun terakhir, Pemerintah Pusat
melakukan kemitraan dengan Pemerintah Daerah. Pola yang serupa akan ditingkatkan
lagi dalam tahun 2008. Harapannya disamping memperbaiki proses perencanaan daerah
(bottom up planning), program kemitraan ini akan memberikan saluran yang terarah
bagi pemerintah daerah yang hingga kini masih mengalami kesulitan melakukan
pengeluaran pemerintah secara terarah.
4
kesejahteraan rakyat, yaitu angka kemiskinan dan pengangguran yang masih cukup
besar. Pemerintah menargetkan langkah untuk menurunkan kemiskinan hingga tahun
2009 sebesar 8,2 % dan menurunkan tingkat pengangguran hingga 5,1 %.
5
Dalam konteks upaya penanggulangan kemiskinan, dibutuhkan perubahan paradigma
pembangunan dari top down menjadi bottom up, dengan memberi peran masyarakat
sebagai aktor utama atau subyek pembangunan sedangkan pemerintah sebagai
fasilitator. Proses bottom up akan memberi ruang bagi masyarakat desa untuk
berpartisipasi dalam merencanakan, menentukan kebutuhan, mengambil keputusan,
melaksanakan, hingga mengevaluasi pembangunan.
Kondisi ini akan terlihat jika menempatkan kaum miskin dalam posisi terhormat,
memberi ruang pada mereka untuk mengembangkan partisipasi dan prakarsa lokal,
sehingga konsep kaum miskin sebagai penerima manfaat proyek tidak terlalu relevan
dibicarakan dalam konsep pembangunan manusia. Ada beberapa dimensi terkait
pengertian kemiskinan, baik yang melihat dari dimensi kesejahteraan material, maupun
kesejateraan sosial. Konsep yang menempatkan kemiskinan dibagi dalam dua jenis,
seperti yang disampaikan Suwondo (1982:2) bahwa kemiskinan terbagai menjadi
kemiskinan mutlak (absolute proverty) yaitu: individu atau kelompok yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan kebutuhan fisik minimumnya, dan kemiskinan
relatif (relative proverty) yaitu menekankan ketidaksamaan kesempatan dan
kemampuan diantara lapisan masyarakat untuk mendapatkan barang-barang dan
pelayanan dalam menikmati kehidupannya. Pengertian kemiskinan yang lebih luas
disampaikan oleh John Friedman (Ala, 1996:4) yang menyatakan bahwa kemiskinan
sebagai ketidaksamaan untuk mengakumulasikan basis kekuasaaan sosial, yaitu
kemampuan untuk menguasai peluang strategis yang bisa mempengaruhi kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik.
6
alamiah masih bisa dimungkinan dengan melakukan rekayasa alam untuk menjadi
wilayah yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakatnya. Sementara itu, kajian terkait
kemiskinan struktural oleh Selo Sumardjan (Alfian et.al, 1980: 8) dikemukakan bahwa
kemiskinan struktural tidak hanya terwujud dengan kekurangan pangan tetapi juga
karena kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan,
kekurangan komunikasi dengan dunia luar, bahkan perlindungan hukum.
Dengan banyak pengertian dan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh para ahli
maka untuk mengukur kriteria seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak diperlukan
ukuran yang tepat dan berlaku umum. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan
penilaian tentang batas-batas garis-garis kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan
menjadi sangat normatif. Terkait dengan pelaksanaan PNPM Mandiri, ada beberapa
ukuran yang mendekati seperti yang disampaikan oleh Emil Salim (1984:42-43) bahwa
ada lima ciri kemiskinan yang meliputi: 1) tidak memiliki faktor produksi, 2) tingkat
pendidikan rendah, 3) tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi
dengan kekuatan sendiri, 4) kebanyakan tinggal di desa, dan 5) banyak hidup di kota
berusia muda dan tanpa skill.
Sebagai salah satu langkah penanggulan kemiskinan maka proses partisipasi masyarakat
paling tidak ada tiga tahapan mulai dari perencanaan, pelaksaanaan, dan pemanfaatan.
Keterlibatan tersebut dapat dilihat dari: keterlibatan mental dan emosi, kesediaan
memberi sumbangan/atau sukarela membantu, dan adanya tanggung jawab. Untuk itu,
Y. Slamet (1993:3) memberi pengertian bahwa sebagai keterlibatan aktif dan bermakna
dari massa penduduk pada tingkatan yang berbeda, a) di dalam proses pembentukan
keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan, b) pelaksanaan program-
7
program atau proyek secara sukarela, dan c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu
program atau suatu proyek.
Dengan adanya upaya perluasan lapangan kerja maka perlu mendapat dukungan dari
berbagai tindakan kebijakan dan regulasi baik di bidang ekonomi maupun sosial yang
berjangkauan lebih jauh lagi. Oleh karena itu, masalah ketanaga kerjaan harus
senantiasa diperhitungkan sebagai salah satu unsur utama dalam setiap perumusan
strategi pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi kepada usaha
penanggulangan kemiskinan.
Untuk itu, partisipasi hanya dimungkinkan berjalan dengan baik, bila berangkat dari
kesadaran dan prakarsa aktif masyarakat. Kesadaran dan prakarsa ini akan muncul bila
masyarakat memiliki daya dan posisi tawar yang tinggi dalam mengakses, mengelola,
dan mendayagunakan sumberdaya disekitarnya secara optimal. Partisipasi hanya
mungkin terjadi bila terdapat keseimbangan antara daya /posisi tawar masyarakat yang
diharapkan menjadi aktor utama utama pembanguan dan pemerintah. Dalam konteks
ini, pemberdayaan (empowerment) menjadi kunci keberhasilan dalam meningkatkan
kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi aktif bukan hanya dimobilisasi.
8
prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka lalu
mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini
kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama
pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat. Namun
demikian, hal ini tidak berarti menafikan partisipasi dari kelompok-kelompok lain.
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses siklus terus menerus, proses partisipatif
dimana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal
untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama.
9
mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness)
akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
Pertama: suara (voice), akses, dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan
dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Pertama, suara
adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan,
kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun
kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun
menentukan agenda bersama untuk mengelola kehidupan secara kolektif dan mandiri.
10
diperlukan sebuah proses pembelajaran melalui fasilitasi, motivasi, edukasi, dan
advokasi secara terus menurus untuk mengembalikan kepercayaan diri masyarakat dan
meningkatkan kemampuannya dalam menyampaikan aspirasi secara jelas dan sistematis
berbasis kebutuhan.
Kedua, akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena
governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif
mengelola sumberdaya publik termasuk dalam pelayanan publik. Akses akan menjadi
arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses
warga dan memberikan layanan publik pada warga, terutama kelompok-kelompok
marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem,
kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan
pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib merespons gagasan warga
sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan
dan kepercayaan.
11
proyek pemberdayaan masyarakat diluncurkan masing-masing sektor, seperti: IDT, PKT,
P3DT, P4K, dan lain-lain. Hal ini menimbulkan banyak kerancuan maupun kebingungan
karena masing-masing program memiliki nama dan ukuran yang berbeda-beda. Ada
beberapa sebab yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi, yang diantaranya meliputi:
a) setiap program penanggulangan kemiskinan memiliki mekanisme perencanaan,
penganggaran, dan pelaksanaan sendiri-sendiri, b) setiap lembaga donor memiliki nama
program sendiri-sendiri dengan model pendekatan yang juga berbeda, c) setiap
Departemen/LPND memiliki nama program sendiri-sendiri dengan model pendekatan
yang juga berbeda. Kondisi ini menibulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifnya
12
besar; 5) Keterpaduan program pembangunan sejenis masih bersifat lemah baik dari
segi dana, waktu, dan mekanisme pengelolaan.
Dari hasil evaluasi yang dilakukan secara independen menunjukkan program ini telah
teruji, baik dilihat dari pencapaian tujuannya maupun efisiensinya. Sebagai contoh,
penghematan dari program-program ini mencapai rata-rata 56%. Artinya jika suatu
proyek yang dibangun dengan program ini berhasil menekan biaya sebesar 56%
dibandingkan dengan program serupa yang dibangun oleh pemerintah. Hasil audit
auditor independen menyatakan penyimpangan dana yang ditemukan kurang dari 1%.
Dampak eksternalitas (tambahan) kedua program ini relatif besar. Misalnya dari hasil
evaluasi secara independen, karena program ini bersifat open menu (memiliki
kebebasan memilih) yang benar-benar dipilih dan dilaksanakan oleh masyarakat,
sehingga program ini merupakan salah satu implementasi langsung proses perencanaan
bottom-up. Di beberapa kabupaten, model PPK telah diadopsi dalam pembuatan
perencanaan di tingkat kabupaten. Transparansi dan Pelibatan Masyarakat sejak
perencanaan hingga pelaksanaan juga telah menumbuhkan modal sosial dan sekaligus
mengurangi konflik-konflik yang terjadi di akar rumput dan merupakan modal baru bagi
terciptanya integrasi bangsa. Disamping itu, program ini telah dijadikan salah satu
model penanggulangan kemiskinan. Tidak kurang dari 30 negara termasuk Cina telah
mengunjungi dan mengaplikasikan program serupa dengan menggunakan pola PPK
sebagai model pembangunan partisipatif.
E. Penutup
13
Penyimpangan dan salah sasaran dan masih kuatnya mental KKN membuat program
penanggulangan kemiskinan tidak pernah betul-betul mampu mengentaskan
kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan strategi baru yang lebih mengedepankan
partisipasi masyarakat. Tantangan ini yang harusnya dibenahi dengan melaksanakan
tata pemerintahan yang baik di era otonomi daerah untuk mengurangi kemiskinan. Hal
itu dicirikan oleh adanya transparansi dengan memberi masyarakat akses luas terhadap
informasi publik. Untuk itu, partisipasi masyarakat termasuk dalam penyusunan program
dan pengambilan keputusan, dan ciri berikutnya adalah akuntabilitas yang menjadikan
masyarakat berhak untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah daerah. Hasil dari
seluruh ini disamping itu untuk mensejahterakan masyarakat terutama masyakat miskin
sesuai dengan Amanat Pembukaan UUD 1945 dan komitmen internasional yang telah
disepakati melalui Millenium Development Goals sebagai target yang hendaknya dicapai
di tahun 2015.
Untuk itu, dengan adanya perubahan paradigma yang lebih mengedepankan fungsi
pembangunan berfokus pada manusia diperlukan perubahan-perubahan mendasar,
seperti masalah kebijakan, peraturan, dan akses masyarakat pada proses pengambilan
keputusan. Sementara itu beberapa inisiatif dalam strategi penanggulangan kemiskinan
dengan cara mendorong pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan melalui
perumusan strategi penangulangan kemiskinan di daerah perlu didukung oleh
mekanisme pendampingan yang tangguh dari berbagai pihak yang perhatian pada
pembangunan manusia Indonesia.
Daftar Pustaka
Ala, Andro Bayo, 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan, Yogyakarta,
Liberty.
Arief, Saeful, 2000. Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Sumardjan, Selo, 1980. Kemiskinan Struktural dan Pembangunan Kata Pengantar dalam
Alfian (at. Al), Kemiskinan Struktural, Suatu Bunga Rampai, Jakarta, YIIS.
Suwondo, Kutu, 1998. Struktur Sosial dan Kemiskinan, Slatiga, Yayasan Bina Dharma.
Salim, Emil, 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, Jakarta,
Inti Idayu Press.
Soetrino, R, 2001. Pemberdayaan masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan,
Yogyakarta, Kanisius.
14