Anda di halaman 1dari 14

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN

PENGANGGURAN MELALUI
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. Latar Belakang

Hakekat pembangunan merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan


kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, menempatkan arah pandang pembangunan
sangat didasarkan pada paradigma yang mendasari para pengambil kebijakan di suatu
negara untuk diimplementasikan. Perkembangan pembangunan di Indonesia lebih
banyak dipengaruhi oleh teori pertumbuhan ekonomi yang memiliki resiko pada
kesenjangan pembangunan baik antar daerah, maupun antara si kaya dan si miskin.
Untuk itu, dalam suatu pembangunan maka dampak negatif baik itu berupa kemiskinan
maupun pengangguran merupakan faktor yang harus diselesaikan melalui skema
pembangunan, bukan menjadi bagian terpisah dari pembangunan itu sendiri.

Jika dilihat dari perkembangan pembangunan di Indonesia pada awal 1970-an dan
1980-an maka fungsi ”negara pembangunan" (developmental state) merupakan pilihan
model pembangunan yang dilaksanakan pada saat itu. Pembangunan dengan
mengedepakna pertumbuhan ekonomi menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan
sosial dan politik yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat itu. Dampak yang muncul
dengan model tersebut semakin tinginnya disparitas hasil pembangunan, karena asumsi
adanya trickle down effect ternyata tidak berjalan dengan sempurna. Pada pertengahan
1980-an hingga 2000-an, ciri-ciri negara pembangunan mulai bergeser menjadi negara
minimalis, peran negara dalam ekonomi ditarik, dikurangi, atau dihapuskan. Kuatnya
liberalisasi di banyak bidang menjadikan pasar bebas dianggap sebagai mekanisme dan
kelembagaan sempurna yang dapat mengoreksi diri sendiri. Privatisasi, deregulasi, dan
liberalisasi menjadi kata-kata kunci dalam melakukan swastanisasi sektor-sektor
pelayanan publik seperti di sektor perbankan, listrik, air, pendidikan, dan kesehatan.
Akibatnya, dampak negatif dari pembangunan yang terjadi pada model sebelumnya
semakin bertambah banyak keluarga Indonesia jatuh miskin, sekolah menjadi mahal,

1
kesehatan sulit dijangkau, dan lapangan kerja lebih kecil ketimbang jumlah pencari
kerja.

Hal ini ditunjukan dengan masih berkutat dengan tingginya angka kemiskinan.
Permasalahan kemiskinan menjadi problem sosial yang hingga saat ini belum dapat
terpecahkan bagaikan lingkaran setan. Hasil data BPS tahun 2006 menunjukkan angka
kemiskinan di Indonesia bahkan cenderung mengalami kenaikan setiap periode, jumlah
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta
jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta jiwa dari angka kemiskinan pada Maret 2005
sebesar 35,1 juta (15,97%). Dengan semakin meningkatnya angka kemiskinan maka
permasalahan sosial lainnya sebagai dampak kemiskinan juga bertambah, seperti:
masalah lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya angka
kriminalitas, berkembangnya konflik-konflik sosial antar masyarakat, dan makin
rendahnya akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup. Di samping angka kemiskinan
yang disampaikan oleh BPS maka dilihat dari Human Development Index (HDI) atau
Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia masih sangat rendah, dibandingkan dengan
kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development
Report 2006 yang menggunakan data tahun 2002, Indonesia hanya menempati urutan
ke-108 dari 177 negara, hal ini berimplikasi pada produktivitas manusia yang rendah
yang pada tahun 2006 berada di peringkat ke-60 dari 61 negara pada tahun 2006 dalam
World Competitiveness Year Book.

Akan tetapi, permasalahan kemiskinan dan pengangguran sebagai dampak


pembangunan merupakan masalah bersama seluruh elemen anak bangsa yang harus
segera ditangani. Oleh karenanya, upaya untuk tidak lagi mengandalkan sumber daya
alam semata, tetapi melalui peningkatan peran manusia dalam pembangunan
menduduki fungsi vital strategis. Apalagi di era otonomi daerah saat ini sebagian
langkah tersebut berada di tangan pemerintah daerah. Peran daerah akan semakin
dominan dan strategis dalam proses pembangunan nasional.

B. Amanat Nasional dan Internasional Dalam Penanggulangan Kemiskinan

Pada Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa untuk membentuk suatu


Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

2
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari Pembukaan UUD 1945
tersebut, menunjukkan bahwa faktor kesejahteraan masyarakat merupakan prioritas
didirikannya Negara Indonesia.

Hal tersebut sejalan dengan upaya bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk ikut berpatisipasi dalam upaya penghapusan
kemiskinan yang merupakan tantangan global terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini.
Hal tersebut telah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York tahun 2000 yang menetapkan upaya
mengurangi separuh dari kemiskinan di dunia sebagai Tujuan Pembangunan Millenium
(Millenium Development Goals) yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan tersebut
dilaksanakan melalui 8 jalur sasaran yang meliputi :

- Memberantas kemiskinan dan kelaparan

- Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua

- Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

- Menurunkan angka kematian anak

- Meningkatkan kesehatan ibu

- Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain

- Menjamin kelestarian lingkungan hidup

- Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan

Komitmen atas sasaran dan target tersebut disepakati juga oleh pemerintah Indoensia
yang ikut menandatangani dokumen Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan
Berkelanjutan, yang juga telah ditanda-tangani oleh Presiden RI, untuk menjadi acuan
dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002.
Dengan demikian, konsensus bangsa Indonesia dan maupun komitmen internasional
untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan. Faktor tersebut membutuhkan peran emerintah dan semua perangkat
negara bersama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama

3
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus pengentasan kemiskinan
paling lambat tahun 2015.

Untuk itu, melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana


pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, yang diharapkan dapat: (a)
mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan nasional,
(b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antardaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah, (c)
menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan
dan pengawasan, (d) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien,
efektif, berkeadilan dan berkelanjutan, dan (e) mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
Disamping Undang-Undang tersebut, kebijakan presiden melalui Peraturan Presiden
Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJM) 2004-2009 mencantumkan tiga agenda pembangunan nasional kita, yaitu
agenda menciptakan Indonesia yang aman dan damai; agenda menciptakan Indonesia
yang adil dan demokratis; dan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat. Agenda
nasional tersebut, yang diharapkan dapat diwujudkan di seluruh daerah, melalui
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Terkait dengan hal tersebut, maka upaya menurunkan kemiskinan telah diluncurkan
oleh pemerintah pusat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
sehingga tumpang tindih kegiatan pemerintah dapat dihindari dan akhirnya dampak
pengeluaran pemerintah terhadap penurunan kemiskinan dapat dimaksimalkan. Dalam
program PNPM seperti yang telah dimulai beberapa tahun terakhir, Pemerintah Pusat
melakukan kemitraan dengan Pemerintah Daerah. Pola yang serupa akan ditingkatkan
lagi dalam tahun 2008. Harapannya disamping memperbaiki proses perencanaan daerah
(bottom up planning), program kemitraan ini akan memberikan saluran yang terarah
bagi pemerintah daerah yang hingga kini masih mengalami kesulitan melakukan
pengeluaran pemerintah secara terarah.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) adalah program


pemerintah untuk pengentasan kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran yang
berbasis pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi bahwa
masih terdapat kesenjangan antara pencapaian dan sasaran dalam meningkatkan

4
kesejahteraan rakyat, yaitu angka kemiskinan dan pengangguran yang masih cukup
besar. Pemerintah menargetkan langkah untuk menurunkan kemiskinan hingga tahun
2009 sebesar 8,2 % dan menurunkan tingkat pengangguran hingga 5,1 %.

Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran


adalah dengan meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri.
Program ini adalah merupakan tindak lanjut dari apa yang telah disampaikan oleh
Presiden Republik Indonesia pada Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 2006 dan telah
diluncurkan secara resmi oleh Presiden pada tanggal 30 April 2007 di Kota Palu Provinsi
Sulawesi Tengah,

PNPM Mandiri merupakan integrasi dan perluasan program-program penanggulangan


kemiskinan yang berbasis masyarakat yang sudah dan sedang berjalan. Integrasi
dilakukan dengan menggabungkan program yang telah terbukti efektif, pada tahun
2007 melalui Program Pengembangan Kecamatan di wilayah perdesaan yang dikelola
oleh Direktorat Jenderal PMD Depdagri dan Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) di wilayah perkotaan yang dikelola oleh Ditjen Cipta Karya
Departemen PU. Selanjutnya, pada tahun-tahun berikutnya akan ditingkatkan ke seluruh
program penanggulangan kemiskinan yang berbasis masyarakat.

C. Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan


Kemiskinan Dan Perluasan Lapangan Kerja

C.1. Konsep Kemiskinan dan Pengangguran


Kemiskinan ditandai oleh kurangnya akses untuk mendapatkan barang, jasa, aset dan
peluang penting yang menjadi hak setiap orang. Setiap orang harus bebas dari rasa
lapar, harus dapat hidup dalam damai, dan harus mempunyai akses untuk mendapatkan
pendidikan dasar dan jasa-jasa layanan kesehatan primer. Keluarga-keluarga miskin
butuh mempertahankan kelangsungan hidup mereka dengan cara bekerja dan
mendapatkan imbalan secara wajar serta seharusnya mendapatkan perlindungan yang
dibutuhkan terhadap guncangan-guncangan dari luar. Sebagai tambahan, perorangan
maupun masyarakat juga miskin dan cenderung terus miskin apabila mereka tidak
diberdayakan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi hidup mereka.

5
Dalam konteks upaya penanggulangan kemiskinan, dibutuhkan perubahan paradigma
pembangunan dari top down menjadi bottom up, dengan memberi peran masyarakat
sebagai aktor utama atau subyek pembangunan sedangkan pemerintah sebagai
fasilitator. Proses bottom up akan memberi ruang bagi masyarakat desa untuk
berpartisipasi dalam merencanakan, menentukan kebutuhan, mengambil keputusan,
melaksanakan, hingga mengevaluasi pembangunan.

Kondisi ini akan terlihat jika menempatkan kaum miskin dalam posisi terhormat,
memberi ruang pada mereka untuk mengembangkan partisipasi dan prakarsa lokal,
sehingga konsep kaum miskin sebagai penerima manfaat proyek tidak terlalu relevan
dibicarakan dalam konsep pembangunan manusia. Ada beberapa dimensi terkait
pengertian kemiskinan, baik yang melihat dari dimensi kesejahteraan material, maupun
kesejateraan sosial. Konsep yang menempatkan kemiskinan dibagi dalam dua jenis,
seperti yang disampaikan Suwondo (1982:2) bahwa kemiskinan terbagai menjadi
kemiskinan mutlak (absolute proverty) yaitu: individu atau kelompok yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan kebutuhan fisik minimumnya, dan kemiskinan
relatif (relative proverty) yaitu menekankan ketidaksamaan kesempatan dan
kemampuan diantara lapisan masyarakat untuk mendapatkan barang-barang dan
pelayanan dalam menikmati kehidupannya. Pengertian kemiskinan yang lebih luas
disampaikan oleh John Friedman (Ala, 1996:4) yang menyatakan bahwa kemiskinan
sebagai ketidaksamaan untuk mengakumulasikan basis kekuasaaan sosial, yaitu
kemampuan untuk menguasai peluang strategis yang bisa mempengaruhi kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik.

Dari pengertian kemiskinan tersebut maka berbagai faktor yang menyebabkan


kemiskinan juga secara umum lebih banyak disebabkan oleh faktor alamiah dimana
kondisi alam dan wilayahnya tidak mampu mendukung kehidupan warganya, serta
faktor struktural dimana kemiskinan yang timbul dari bentukan karena struktur
masyarakatnya yang penuh ketidakadilan. Sementara itu, Arif Budiman (2000: 289)
membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu: kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan
sebagai akibat karakter budaya serta etos kerja yang rendah, dan kemiskinan struktural
yaitu akibat dari struktur yang timpang. Dalam hal ini, faktor penyebab kemiskinan
terutama kemiskinan struktural lebih banyak menjadi bahan kajian dibandingkan faktor
alamiah. Padahal jika dilihat perkembangan teknologi saat ini, kajian terhadap faktor

6
alamiah masih bisa dimungkinan dengan melakukan rekayasa alam untuk menjadi
wilayah yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakatnya. Sementara itu, kajian terkait
kemiskinan struktural oleh Selo Sumardjan (Alfian et.al, 1980: 8) dikemukakan bahwa
kemiskinan struktural tidak hanya terwujud dengan kekurangan pangan tetapi juga
karena kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan,
kekurangan komunikasi dengan dunia luar, bahkan perlindungan hukum.

Dengan banyak pengertian dan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh para ahli
maka untuk mengukur kriteria seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak diperlukan
ukuran yang tepat dan berlaku umum. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan
penilaian tentang batas-batas garis-garis kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan
menjadi sangat normatif. Terkait dengan pelaksanaan PNPM Mandiri, ada beberapa
ukuran yang mendekati seperti yang disampaikan oleh Emil Salim (1984:42-43) bahwa
ada lima ciri kemiskinan yang meliputi: 1) tidak memiliki faktor produksi, 2) tingkat
pendidikan rendah, 3) tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi
dengan kekuatan sendiri, 4) kebanyakan tinggal di desa, dan 5) banyak hidup di kota
berusia muda dan tanpa skill.

Untuk itu, keberpihakan terhadap masyarakat dalam arah kebijakan pembangunan


sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Hal
ini disampaikan Sri Mulyani (Soetrisno ed. 1995:2) menegaskan bahwa kebijakan yang
mampu menjawab masalah kemiskinan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan
adalah dengan membuka kemungkinan golongan miskin untuk berpartisipasi dalam
proses pertumbuhan itu sendiri. Dengan adanya kebijakan tersebut maka upaya untuk
meningkatkan akses penduduk miskin agar dapat memperoleh, memanfaatkan, dan
mengelola sumber daya yang tersedia.

Sebagai salah satu langkah penanggulan kemiskinan maka proses partisipasi masyarakat
paling tidak ada tiga tahapan mulai dari perencanaan, pelaksaanaan, dan pemanfaatan.
Keterlibatan tersebut dapat dilihat dari: keterlibatan mental dan emosi, kesediaan
memberi sumbangan/atau sukarela membantu, dan adanya tanggung jawab. Untuk itu,
Y. Slamet (1993:3) memberi pengertian bahwa sebagai keterlibatan aktif dan bermakna
dari massa penduduk pada tingkatan yang berbeda, a) di dalam proses pembentukan
keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan, b) pelaksanaan program-

7
program atau proyek secara sukarela, dan c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu
program atau suatu proyek.

C.2. Keterkaitan Antara Kemiskinan dan Pengangguran

Dari definisi kemiskinan tersebut maka untuk mengindentikan bahwa masyarakat


dikatakan miskin berarti pengangguran tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan
pengangguran merupakan situasi yang disebabkan oleh faktor orang-orang yang
bekerja di bawah kapasitas optimalnya (pengangguran terselebung), dan faktor orang-
orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapat lapangan
pekerjaan sama sekali (pengangguran penuh). Untuk itu, upaya penanggulangan
kemiskinan dan pengangguran adalah dengan melakukan distribusi pendapatan melalui
pencipataan lapangan kerja berupah memadai bagi kelompok-kelompok masyarakat
yang miskin.

Dengan adanya upaya perluasan lapangan kerja maka perlu mendapat dukungan dari
berbagai tindakan kebijakan dan regulasi baik di bidang ekonomi maupun sosial yang
berjangkauan lebih jauh lagi. Oleh karena itu, masalah ketanaga kerjaan harus
senantiasa diperhitungkan sebagai salah satu unsur utama dalam setiap perumusan
strategi pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi kepada usaha
penanggulangan kemiskinan.

Untuk itu, partisipasi hanya dimungkinkan berjalan dengan baik, bila berangkat dari
kesadaran dan prakarsa aktif masyarakat. Kesadaran dan prakarsa ini akan muncul bila
masyarakat memiliki daya dan posisi tawar yang tinggi dalam mengakses, mengelola,
dan mendayagunakan sumberdaya disekitarnya secara optimal. Partisipasi hanya
mungkin terjadi bila terdapat keseimbangan antara daya /posisi tawar masyarakat yang
diharapkan menjadi aktor utama utama pembanguan dan pemerintah. Dalam konteks
ini, pemberdayaan (empowerment) menjadi kunci keberhasilan dalam meningkatkan
kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi aktif bukan hanya dimobilisasi.

C.3. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan

Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat -khususnya


mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan- didorong
untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pada

8
prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka lalu
mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini
kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama
pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat. Namun
demikian, hal ini tidak berarti menafikan partisipasi dari kelompok-kelompok lain.
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses siklus terus menerus, proses partisipatif
dimana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal
untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama.

Mengembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektifitas


dan efesiensi penggunaan sumber daya pembangunan yang makin langka. Program-
program pemerintah yang berbasis pemberdayaan seperti PPK telah memberi banyak
pengalaman dalam menekan biaya untuk suatu pekerjaan dengan kualitas yang sama
yang dikerjakan program non pemberdayaan. Pendekatan ini akan meningkatkan
relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan
meningkatkan kesinambungannya, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggung
jawab masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki kontribusi dalam
meningkatkan kinerja staf pemerintah dan kepuasan pelanggan atas pelayanan
pemerintah.

Pemberdayaan didefinisikan sebagai membantu masyakat agar mampu membantu diri


mereka sendiri (help people to help themselves ). Pemberdayaan dilakukan dengan
memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak
mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat
serta membangun kemandirian masyarakat. Pemberdayaan dalam arti yang sebenarnya
tidak sebatas memberikan input materi atau bantuan dana namun memberikan
kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat secara luas untuk mengakses
sumberdaya dan mendayagunakannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dalam
konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek pokok, yakni:

a. menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau


daya yang dimiliki masyarakat (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan
bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan

9
mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness)
akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.

b. memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) melalui


pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik
fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan
lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di Daerah, dan pembukaan akses
kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi
makin berdaya.

c. memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan


kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang
oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat, dan bukan berarti
mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Pemberdayaan masyarakat tidak membuat
masyarakat bergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada
dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, yang
hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain.

Pemberdayaan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat dengan


meningkatkan kapasitasnya. Setidaknya ada tiga kapasitas dasar yang dibutuhkan
untuk itu, yakni:

Pertama: suara (voice), akses, dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan
dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Pertama, suara
adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan,
kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun
kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun
menentukan agenda bersama untuk mengelola kehidupan secara kolektif dan mandiri.

Dalam konteks perencanaan pembangunan partisipatif, maka suara dapat disampaikan


oleh masyarakat melalui musyawarah-musyawarah perencanaan pembangunan. Di sini
lah masyarakat dapat mengusulkan ide pembangunan yang berangkat dari kebutuhan
riil mereka, menyusun prioritas, dan mengambil keputusan pembangunan. Namun
demikian sistem pembangunan dengan paradigma top down di masa lalu telah
mereduksi kapasitas tersebut, sehingga masyarakat merasa sungkan atau tidak berani
mengemukakan gagasannya dalam forum resmi meskipun diberi kesempatan. Di sini

10
diperlukan sebuah proses pembelajaran melalui fasilitasi, motivasi, edukasi, dan
advokasi secara terus menurus untuk mengembalikan kepercayaan diri masyarakat dan
meningkatkan kemampuannya dalam menyampaikan aspirasi secara jelas dan sistematis
berbasis kebutuhan.

Kedua, akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena
governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif
mengelola sumberdaya publik termasuk dalam pelayanan publik. Akses akan menjadi
arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses
warga dan memberikan layanan publik pada warga, terutama kelompok-kelompok
marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem,
kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan
pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib merespons gagasan warga
sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan
dan kepercayaan.

Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses


politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan
kontrol eksternal. Artinya, kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat
melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko)
dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara
kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka. Self-control ini sangat
penting karena masyarakat sudah lama berada dalam konteks penindasan berantai:
yang atas menindas yang bawah, sementara yang paling bawah saling menindas ke
samping. Artinya kontrol eksternal digunakan masyarakat untuk melawan eksploitasi
dari atas, sementara self-control dimaksudkan untuk menghindari mata rantai
penindasan sesama masyarakat, seraya hendak membangun tanggungjawab sosial,
komitmen dan kompetensi warga terhadap segala sesuatu yang mempengaruhi
kehidupannya sehari-hari.

D. Pengalaman Pemberdayaan Masyarakat Dalam


Penanggulangan Kemiskinan

Di Indonesia trend pembangunan partisipatif yang berdampak positif terhadap


masyarakat mulai banyak digunakan pada tahun 1994, dimana banyak program atau

11
proyek pemberdayaan masyarakat diluncurkan masing-masing sektor, seperti: IDT, PKT,
P3DT, P4K, dan lain-lain. Hal ini menimbulkan banyak kerancuan maupun kebingungan
karena masing-masing program memiliki nama dan ukuran yang berbeda-beda. Ada
beberapa sebab yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi, yang diantaranya meliputi:
a) setiap program penanggulangan kemiskinan memiliki mekanisme perencanaan,
penganggaran, dan pelaksanaan sendiri-sendiri, b) setiap lembaga donor memiliki nama
program sendiri-sendiri dengan model pendekatan yang juga berbeda, c) setiap
Departemen/LPND memiliki nama program sendiri-sendiri dengan model pendekatan
yang juga berbeda. Kondisi ini menibulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifnya

program-program pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan.


Sebagai contoh: pada Tahun 2005, 42 program penanggulangan Kemiskinan
dilaksanakan oleh 17 lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen.
Hal ini yang dicoba untuk harmonisasikan dan dintegrasikan dalam satu wadah Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Walaupun demikian, atas dasar kenyataan tersebut muncul beberapa model


pembangunan yang menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang
mengedepankan pengelolaan partisipatif. Beberapa model program pemberdayaan
masyarakat tersebut memiliki keunggulan yaitu: 1) Meningkatnya kemampuan
masyarakat dan pemerintah lokal dalam pengelolaan kegiatan pembangunan
desa/kelurahan; 2) Partisipasi dan swadaya masyarakat dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan cukup tinggi; 3) Hasil dan dampaknya, khususnya dalam
penanggulangan kemiskinan cukup nyata; 4) Biaya kegiatan pembangunan relatif lebih
murah dibandingkan jika dilaksanakan oleh pihak lain; 5) Masyarakat terlibat secara
penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian; 6) Keterbukaan dalam
pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangannya cukup kuat.

Di samping keunggulan-keunggulan di atas, pemberdayaan masyarakat dalam


penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah juga memiliki berbagai
kelemahan seperti: 1) Tidak sepenuhnya mengikuti mekanisme dan prosedur yang telah
ada dan masih bersifat ad hoc; 2) Partisipasi masyarakat maupun pelembagaan
masyarakat cenderung bersifat mobilisasi; 3) Keterlibatan pemerintah daerah masih
kurang (ego sektoral) 4) Ketergantungan terhadap bantuan teknis dari konsultan masih

12
besar; 5) Keterpaduan program pembangunan sejenis masih bersifat lemah baik dari
segi dana, waktu, dan mekanisme pengelolaan.

Dari pertimbangan keunggulan dan kelemahan tersebut maka Program Pengembangan


Kecamatan (PPK) sebagai cikal bakal PNPM Mandiri Perdesaan berupaya untuk
menjawab persoalan mendasar dari masyarakat, yaitu menyediakan lapangan kerja bagi
rakyat miskin (mengatasi masalah pengangguran) dan sekaligus menambah penghasilan
bagi kelompok rakyat miskin (penanggulangan kemiskinan). Dari karakteristik program,
kegiatan yang dipilih oleh penduduk di desa atau kecamatan yang terpilih umumnya
adalah pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur diharapkan pula akan
memberikan dampak multiplier yang lebih besar dengan menurunkan biaya transaksi
dan pemasaran sehingga memungkinkan kesempatan berusaha yang lebih luas dan
penurunan biaya hidup.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan secara independen menunjukkan program ini telah
teruji, baik dilihat dari pencapaian tujuannya maupun efisiensinya. Sebagai contoh,
penghematan dari program-program ini mencapai rata-rata 56%. Artinya jika suatu
proyek yang dibangun dengan program ini berhasil menekan biaya sebesar 56%
dibandingkan dengan program serupa yang dibangun oleh pemerintah. Hasil audit
auditor independen menyatakan penyimpangan dana yang ditemukan kurang dari 1%.

Dampak eksternalitas (tambahan) kedua program ini relatif besar. Misalnya dari hasil
evaluasi secara independen, karena program ini bersifat open menu (memiliki
kebebasan memilih) yang benar-benar dipilih dan dilaksanakan oleh masyarakat,
sehingga program ini merupakan salah satu implementasi langsung proses perencanaan
bottom-up. Di beberapa kabupaten, model PPK telah diadopsi dalam pembuatan
perencanaan di tingkat kabupaten. Transparansi dan Pelibatan Masyarakat sejak
perencanaan hingga pelaksanaan juga telah menumbuhkan modal sosial dan sekaligus
mengurangi konflik-konflik yang terjadi di akar rumput dan merupakan modal baru bagi
terciptanya integrasi bangsa. Disamping itu, program ini telah dijadikan salah satu
model penanggulangan kemiskinan. Tidak kurang dari 30 negara termasuk Cina telah
mengunjungi dan mengaplikasikan program serupa dengan menggunakan pola PPK
sebagai model pembangunan partisipatif.

E. Penutup

13
Penyimpangan dan salah sasaran dan masih kuatnya mental KKN membuat program
penanggulangan kemiskinan tidak pernah betul-betul mampu mengentaskan
kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan strategi baru yang lebih mengedepankan
partisipasi masyarakat. Tantangan ini yang harusnya dibenahi dengan melaksanakan
tata pemerintahan yang baik di era otonomi daerah untuk mengurangi kemiskinan. Hal
itu dicirikan oleh adanya transparansi dengan memberi masyarakat akses luas terhadap
informasi publik. Untuk itu, partisipasi masyarakat termasuk dalam penyusunan program
dan pengambilan keputusan, dan ciri berikutnya adalah akuntabilitas yang menjadikan
masyarakat berhak untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah daerah. Hasil dari
seluruh ini disamping itu untuk mensejahterakan masyarakat terutama masyakat miskin
sesuai dengan Amanat Pembukaan UUD 1945 dan komitmen internasional yang telah
disepakati melalui Millenium Development Goals sebagai target yang hendaknya dicapai
di tahun 2015.

Untuk itu, dengan adanya perubahan paradigma yang lebih mengedepankan fungsi
pembangunan berfokus pada manusia diperlukan perubahan-perubahan mendasar,
seperti masalah kebijakan, peraturan, dan akses masyarakat pada proses pengambilan
keputusan. Sementara itu beberapa inisiatif dalam strategi penanggulangan kemiskinan
dengan cara mendorong pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan melalui
perumusan strategi penangulangan kemiskinan di daerah perlu didukung oleh
mekanisme pendampingan yang tangguh dari berbagai pihak yang perhatian pada
pembangunan manusia Indonesia.

Daftar Pustaka

Ala, Andro Bayo, 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan, Yogyakarta,
Liberty.
Arief, Saeful, 2000. Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Sumardjan, Selo, 1980. Kemiskinan Struktural dan Pembangunan Kata Pengantar dalam
Alfian (at. Al), Kemiskinan Struktural, Suatu Bunga Rampai, Jakarta, YIIS.
Suwondo, Kutu, 1998. Struktur Sosial dan Kemiskinan, Slatiga, Yayasan Bina Dharma.
Salim, Emil, 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, Jakarta,
Inti Idayu Press.
Soetrino, R, 2001. Pemberdayaan masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan,
Yogyakarta, Kanisius.

14

Anda mungkin juga menyukai