Target 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam
pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua
tingkatan pada tahun 2015.
Target untuk 2015 adalah mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di
bawah 5 tahun.
Target untuk 2015 adalah untuk Mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam
proses melahirkan.
Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari jumlah orang yang
tidak memiliki akses air minum yang sehat.
Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang
signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah
kumuh.
Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang
berdasarkan aturan, dapat diterka, dan tidak ada diskriminasi. Termasuk komitmen
terhadap pemerintahan yang baik, pembangungan dan pengurangan tingkat
kemiskinan secara nasional dan internasional.
Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan akses obat penting
yang terjangkau dalam negara berkembang
Dalam kerja sama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan keuntungan
dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.
MDGs telah menjadi referensi penting pembangunan di Indonesia, mulai dari tahap
perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) hingga pelaksanaannya. Walaupun mengalamai kendala, tetapi pemerintah
memiliki komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan ini dan dibutuhkan kerja keras
serta kerja sama dengan seluruh pihak, termasuk masyarakat madani, pihak swasta,
dan lembaga donor. Pencapaian MDGs di Indonesia akan dijadikan dasar untuk
perjanjian kerja sama dan implementasinya pada masa depan. Hal ini termasuk
kampanye untuk perjanjian tukar guling hutang untuk negara berkembang sejalan
dengan Deklarasi Jakarta mengenai MDGs di daerah Asia dan Pasifik.
Upaya Indonesia untuk mencapai target MDGs tentang pendidikan dasar dan melek huruf
sudah menuju pada pencapaian target 2015 (on-track). Bahkan Indonesia menetapkan
pendidikan dasar melebihi target MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama
sebagai sasaran pendidikan dasar universal. Pada tahun 2008/09 angka partisipasi kasar (APK)
SD/MI termasuk Paket A telah mencapai 116,77 persen dan angka partisipasi murni (APM)
sekitar 95,23 persen. Pada tingkat sekolah dasar (SD/MI) secara umum disparitas partisipasi
pendidikan antarprovinsi semakin menyempit dengan APM di hampir semua provinsi telah
mencapai lebih dari 90,0 persen. Tantangan utama dalam percepatan pencapaian sasaran
MDG pendidikan adalah meningkatkan pemerataan akses secara adil bagi semua anak, baik
laki-laki maupun perempuan, untuk mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas di semua
daerah. Berbagai kebijakan dan program pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut
adalah: (i) perluasan akses yang merata pada pendidikan dasar khususnya bagi masyarakat
miskin; (ii) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan; (iii) penguatan tatakelola dan
akuntabilitas pelayanan pendidikan. Kebijakan alokasi dana pemerintah bagi sektor
pendidikan minimal sebesar 20 persen dari jumlah anggaran nasional akan diteruskan untuk
mengakselerasi pencapaian pendidikan dasar universal pada tahun 2015.
Berbagai kemajuan telah dicapai dalam upaya meningkatkan kesetaraan gender di semua
jenjang dan jenis pendidikan. Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-
laki di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berturut-turut sebesar 99,73% dan
101,99% pada tahun 2009, dan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada
kelompok usia 15 sampai 24 tahun telah mencapai 99,85. Oleh sebab itu, Indonesia sudah
secara efektif menuju (on-track) pencapaian kesetaraan gender yang terkait dengan
pendidikan pada tahun 2015. Di bidang ketenagakerjaan, terlihat adanya peningkatan
kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian. Di samping itu,
proporsi kursi yang diduduki oleh perempuan di DPR pada Pemilu terakhir juga mengalami
peningkatan, menjadi 17,9 persen. Prioritas ke depan dalam mewujudkan kesetaraan gender
meliputi: (1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan; (2)
perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan; dan (3) peningkatan kapasitas
kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.
Angka kematian bayi di Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dari 68
pada tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, sehingga target
sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 diperkirakan dapat tercapai. Demikian
pula dengan target kematian anak diperkirakan akan dapat tercapai. Namun demikian, masih
terjadi disparitas regional pencapaian target, yang mencerminkan adanya perbedaan akses
atas pelayanan kesehatan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil. Prioritas kedepan
adalah memperkuat sistem kesehatan dan meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan
terutama bagi masyarakat miskin dan daerah terpencil.
Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah.
Di Indonesia, angka kematian ibu melahirkan (MMR/Maternal Mortality Rate) menurun dari
390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Namun
angka tersebut kembali mengalami kenaikan menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2012. Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000
kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun
pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih cukup tinggi,
beberapa faktor seperti risiko tinggi pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian.
Upaya menurunkan angka kematian ibu didukung pula dengan meningkatkan angka
pemakaian kontrasepsi dan menurunkan unmet need yang dilakukan melalui peningkatan
akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Kedepan, upaya peningkatan
kesehatan ibu diprioritaskan pada perluasan pelayanan kesehatan berkualitas, pelayanan
obstetrik yang komprehensif peningkatan pelayanan keluarga berencana dan penyebarluasan
komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat.
Tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia cukup tinggi, walaupun upaya peningkatan luas
Indonesia merupakan partisipan aktif dalam berbagai forum internasional dan mempunyai
komitmen untuk terus mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dengan berbagai
organisasi mul lateral, mitra bilateral dan sektor swasta untuk mencapai pola pertumbuhan
ekonomi yang berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan (pro-poor). Indonesia telah
mendapat manfaat dari mitra pembangunan internasional. Untuk meningkatkan efektifi tas
kerjasama dan pengelolaan bantuan pembangunan di Indonesia, Jakarta Commitment telah
ditandatangani bersama 26 mitra pembangunan pada tahun 2009. Bersamaan dengan ini,
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan pinjaman luar negeri pemerintah terhadap
PDB. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya rasio pinjaman luar negeri pemerintah
terhadap PDB dari 24,6 persen pada tahun 1996 menjadi 10,9 persen pada tahun 2009.
Sementara itu, Debt Service Ratio Indonesia juga telah menurun dari 51 persen pada tahun
1996 menjadi 22 persen pada tahun 2009. Untuk meningkatkan akses komunikasi dan
informasi, sektor swasta telah membuat investasi besar ke dalam teknologi informasi dan
komunikasi, dan akses pada telepon genggam, jaringan PSTN, dan komunikasi internet telah
meningkat sangat pesat selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2009, sekitar 82,41 persen
dari penduduk Indonesia mempunyai akses pada telepon seluler. (Ariyanto, SKM).
Program MDGs dengan segala keterbatasannya tersebut akhirnya secara resmi dianggap
selesai dalam Sidang Umum PBB di New York pada tanggal 26 September 2015. Tidak
kurang dari 193 negara anggota PBB yang turut dalam sidang tersebut memutuskan MDGs
akan dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk masa lima belas
tahun mendatang (2016-2030). Lantas, apakah yang dimaksud dengan SDGs? Mampukah
SDGs menyempurnakan paradigma pembangunan sebelumnya guna menjawab tantangan
pembangunan yang dihadapi negara-negara di dunia?
SDGs adalah sebuah kesepakatan pembangunan global baru pengganti MDGs yang terdiri
dari lima elemen, yaitu manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian, dan kemitraan, untuk
mencapai tiga tujuan mulia di tahun 2030 berupa mengakhiri kemiskinan, mencapai
kesetaraan dan mengatasi perubahan iklim. SDGs berisikan 17 goals dan 169 sasaran
pembangunan. Ke 17 goals tersebut yakni:
1. Menghapus Kemiskinan
2. Mengakhiri Kelaparan
Menjamin kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan hidup untuk seluruh
masyarakat di segala umur.
4. Pendidikan Berkualitas
5. Kesetaraan Gender
Menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang.
Mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, lapangan kerja yang
produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua orang.
Melestarikan dan menjaga keberlangsungan laut dan kehidupan sumber daya laut untuk
perkembangan yang berkelanjutan.
Banyak kalangan yang optimis menyatakan SDGs akan lebih baik daripada MDGs (Darajati,
The Guardian, Hoelman dkk) hal ini dapat dilihat dari proses perumusannya. Bila MDGs
dibuat di New York oleh negara anggota OECD dan beberapa lembaga internasional seperti
PBB tanpa melalui proses konsultasi atau pertemuan dan survei warga, lain halnya dgn SDGs.
SDGs disusun melalui proses partisipatif dengan pertemuan tatap muka di lebih dari 100
negara dan melalui survei warga. Salah satu survei yang dilaksanakan adalah melalui
Myworld online survey untuk mengumpulkan pandangan masyarakat tentang apa yang
penting bagi mereka dan dunia seperti apa yang mereka inginkan.
SDGs berlaku secara universal, tidak hanya untuk negara maju dan negara berkembang tetapi
juga negara-negara berpenghasilan rendah. SDGs memandang semua negara memiliki
pekerjaan rumah yang wajib diatasi. Setiap negara harus bekerja sama untuk menemukan
sumber pembiayaan dan perubahan kebijakan yang diperlukan, tidak hanya mengandalkan
bantuan dari negara maju tetapi juga melibatkan sektor swasta. Lain halnya dengan MDGs,
dimana negara miskin dan berkembang lah yang mempunyai pekerjaan rumah. Sementara
negara maju memberikan dukungan dengan penyediaan dana.
Salah satu perubahan mendasar yang diusung SDGs adalah prinsip “tidak ada seorang pun
yang ditinggalkan”. Ini tercermin dari indikator-indikatornya yang memberikan kesempatan
bagi keterlibatan masyarakat sipil. SDGs adalah program inklusif yang secara spesifik
menyasar kepada mereka yang cacat dan rentan. SDGs juga menekankan kesetaraan antar
negara dan antar warga negara dengan didukung dasar-dasar dan prinsip-prinsip HAM yang
lebih baik agar diskriminasi tidak terjadi dalam penanggulangan kemiskinan dalam segala
dimensinya. Hal ini berbeda dengan MDGs yang tidak memiliki standar dasar HAM. MDGs
dinilai gagal memberikan prioritas keadilan yang merata sehingga memicu munculnya
diskriminasi dan pelanggaran HAM, yang berujung pada masih banyaknya masyarakat yang
terjebak dalam kemiskinan.
Dalam hal pelaksanaannya, SDGs memang tidak bersifat mengikat secara hukum (legally
binding), akan tetapi karena merupakan hasil kesepakatan bersama para pemimpin negara,
agenda ini menjadi penting adanya dan mengikat secara moral bagi tiap negara untuk
melaksanakannya dengan bertanggungjawab. Untuk memastikan tujuan yang telah
ditetapkan dapat dicapai pada tahun 2030, diperlukan komitmen dan kerja keras semua pihak,
baik pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, sektor swasta, lembaga filantropi, maupun
akademisi.
Keterlibatan pemerintah dan parlemen diperlukan untuk memastikan pencapaian tujuan dan
penyesuaian yang dibutuhkan berjalan sesuai rencana. Komitmen pemerintah ini dapat
ditunjukkan dengan dituangkannya tujuan-tujuan SDGs dalam dokumen-dokumen
perencanaan baik jangka panjang, menengah maupun tahunan, dan memastikan alokasi
anggaran untuk SDGs dalam APBN maupun APBD, serta memastikan pelaksanaannya
benar-benar nyata dilakukan di lapangan. Pemerintah daerah memegang peranan yang sangat
penting mengingat sejak era desentralisasi di Indonesia nasib dan kualitas hidup warga sangat
ditentukan oleh baik buruknya kinerja pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena
pemerintah daerah: (a) berada lebih dekat dengan warganya; (b) memiliki wewenang dan
dana; (c) dapat melakukan berbagai inovasi; serta (d) sebagai ujung tombak penyedia layanan
publik dan berbagai kebijakan serta program pemerintah (Hoelman, M.B. dkk, 2015).
Sebagai aktor penggerak SDGs, pemerintah perlu segera membuka kesempatan yang selebar-
lebarnya bagi masyarakat sipil untuk berpatisipasi secara aktif dalam melaksanakan target-
target SDGs. Keterlibatan masyarakat sipil memerlukan kemitraan yang sejajar dari berbagai
pemangku kepentingan sebagaimana yang diamanatkan oleh SDGs. Kemitraan ini dapat
diwujudkan dengan membentuk panitia bersama yang melibatkan organisasi masyarakat sipil.
Masyarakat sipil dengan pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dapat membantu
pemerintah untuk memetakan situasi, kondisi, potensi, kebutuhan dan masalah di lapangan,
kemudian menggunakan daya nalar dan kreativitas guna memecahkan masalah dan menyusun
perencanaan ke depan untuk diimplementasikan dalam bentuk tindakan atau kegiatan nyata.
Kerjasama dengan sektor swasta dan lembaga filantropi juga perlu mendapat perhatian.
Sektor swasta dan lembaga filantropi dapat menjadi mitra pemerintah dalam menyediakan
sumber pendanaan untuk membiayai program-program dan kegiatan dalam upaya pencapaian
target SDGs. Tidak hanya sebatas pada sumber daya finansial saja, kerjasama ini diharapkan
juga berbentuk program dan kegiatan sosial yang inovatif dan kreatif guna mendukung
pemberdayaan masyarakat.
Pelibatan sektor akademisi juga tak kalah pentingnya untuk mensukseskan pencapaian SDGs.
Perguruan tinggi dan lembaga kajian diperlukan sumbangsihnya untuk melakukan penelitian
dan menyusun alat pemantauan terutama pada sektor-sektor yang masih tertinggal dan belum
tercapai seperti kesetaraan gender, pangan, sumber daya air, sanitasi, kesehatan, angka
kematian ibu, kemiskinan, dan pendidikan.
Upaya percepatan pencapaian SDGs membutuhkan sumber daya baik nasional maupun
subnasional. Peran dan kontribusi para stakeholders diperlukan untuk mengatasi kesenjangan
pembangunan, mengatasi hambatan-hambatan, mendukung mobilisasi sumber daya dan
membangun sinergi untuk perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi yang lebih
baik. Koordinasi yang efektif antar pelaku pembangunan perlu terus dioptimalkan guna
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi pembangunan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan.