Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Isu kemiskinan merupakan hal yang lazim dibicarakan pada negara
berkembang seperti di Indonesia. Kemiskinan di Indonesia ini perlu dituntaskan
secepatnya guna mendorong masyarakat yang maju. Dilaporkan oleh BPS pada
bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per
kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 25,95 juta
orang (9,82 persen), berkurang sebesar 633,2 ribu orang dibandingkan dengan
kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen). Persentase
penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2017 sebesar 7,26 persen,
turun menjadi 7,02 persen pada Maret 2018. Sementara itu, persentase penduduk
miskin di daerah perdesaan pada September 2017 sebesar 13,47 persen, turun
menjadi 13,20 persen pada Maret 2018. Selama periode September 2017–Maret
2018, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 128,2 ribu
orang (dari 10,27 juta orang pada September 2017 menjadi 10,14 juta orang pada
Maret 2018), sementara di daerah perdesaan turun sebanyak 505 ribu orang (dari
16,31 juta orang pada September 2017 menjadi 15,81 juta orang pada Maret
2018).1
Masalah kemiskinan ini merupakan masalah yang multidimensi atau bisa
dibilang sangat kompleks. Guna mengatasi masalah yang multidimensi seperti ini
dibutuhkan peranan semua pihak termasuk masyarakat miskin sendiri dalam
proses pembangunan dan pemanfaatan hasil pembangunan guna menurunkan
angka kemiskinan secara optimal. Dengan adanya rancangan Nawacita dalam
RPJMN 2015-2019 yang di tuangkan dalam dalam visi-misi Presiden Joko
Widodo dan Wakil Jusuf Kalla mengubah Political Will pemerintah terkait
penangulangan kemiskinan. Dalam Nawacita terdapat dua dimensi yang paling
berkaitan dengan kemiskinan yaitu dimensi pembangunan manusia dan dimensi
pemerataan dan kewilayahaan. Program-program yang mendukung terwujudnya
dimensi tersebut adalah Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat, dan

1
Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2018 No. 57/07/Th. XXI, 16 Juli 2018
Program Perumahaan Rakyat.
Proritas dari dimensi pembangunan, pemerataan dan kewilayahaan agar
masyarakat mendapat pemerataan pendapatan, kesenjangan pembangunan dan
pembangunan antarwilayah. Pada dasarnya pengentasan kemiskinan tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi diperlukan juga kesadaran dan
kemauan yang kuat serta tanggung jawab dari masyarakat miskin itu sendiri untuk
berupaya bagaimana meningkatkan pendapatan.
Beralih dari dimensi-dimensi yang diberikan oleh pemerintah, Islam telah
lama meberikan solusi guna mengatasi kemiskinan. kemiskinan merupakan
masalah terbesar dalam Islam karena banyak keburukan di dalamnya. Kemiskinan
akan menyebabkan seorang muslim membahayakan akidah dan mengubah
akhlaknya yang akhirnya terganggu ketenteraman masyarakat. Kemiskinan
menyebabkan lahirnya problematika yang akan menganggu akhlak seorang
muslim seperti, kelaparan, penyakit, kebodohan, lemah kemampuan
mengeksplorasi sumber daya alam yang kemudian membiarkan pihak asing dalam
mengekporasi sumber daya alam di negaranya. yang selanjutnya menurunkan
prasarana dan produksi daerah daerah. Ini akan menyebabkan menurunnya
pemasukan, perawatan kesehatan dan pendidikan hingga menyebabkan
keterbelakangan peradaban. Islam datang dengan menilai kemiskinan ini sebagai
bencana dan musibah yang di tanggulangi dan di mohon kepada Allah dari
keburukanya. Bukan sebaiknya dibiarkan tanpa diberikan jaminan akan kehidupan
yang layak. Islam mengajarkan cara untuk menagulangi kemiskinan salah satunya
dengan himbauan bekerja dan membelanjakan kebutuhan secara sederhana. Selain
itu Islam juga mewajibkan bagi masyarakat yang telah memenuhi kebutuhan
pokoknya untuk berzakat, shadaqoh sunnah, dan lain lain yang termasuk dalam
kategori pembentukan sistem jaminan sosial. Sehingga melalui sistem tersebut
dapat pengembalian distribusi penghasialan dalam ekonomi.
Kemiskinan tidak dapat hanya diatasi dengan perpindahan kepemilikan
semata, namun juga harus melalui solidaritas individu, niat yang tulus, dan rasa
cinta. Sebeb tidak ada satu pun yang benar hanya sekedar penyerahan barang
tetapi hatinya dipenuhi kebencian, ekpolitasi dan perendahan. Islam melarang
mengungkit ungkit pemberian kepada seseorang dan menyakiti hati penerima
shadaqah, kedua hal itu yang menjadikan pahala shadaqah menjadi batal, dan
hanya membuang buang uang.
Jika dikelola dengan baik zakat dapat menjadi salah satu factor bagi
perbaikan kondisi ekonomi masyarakat, karena dengan adanya distribusi zakat
akan terjadi pertumbuhan kesejahteraan pada golongan penerima zakat. 2 Potensi
tersebut tentunya telah disadari oleh pemerintah, hal ini terlihat dengan adanya
dasar hukum / Undang-Undang tentang zakat yang salah satu diantaranya adalah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk
mendorong terlaksananya Undang-Undang tersebut pemerintah juga telah
memfasilitasi dengan dibentuknya BAZNAS yang bertugas untuk mengelola
zakat, infaq dan sedekah di setiap daerah yang berada di wilayah Indonesia.3
Dalam pelaksanaannya Undang-Undang Pengolahan Zakat belum berfungsi
maksimal sebagai penangulangan kemiskinan di Indonesia. Maka dari problem
tersebut makalah ini akan mengangkat judul Kesiapan Politik Hukum Indonesia
Dalam Konsep Zakat Produktif Guna Mengurangi Angka Kesenjangan
Sosial.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut artikel ini akan merumuskan masalah
mengenai bagaimana kesiapan politik hukum Indonesia guna mendorong
terbentuknya perundang-undangan tentang zakat supaya produktif dalam
mengurangi angka kesenjangan sosial.

2
Umrotul Khasanah, (2010). Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat.
Malang: UIN-Maliki Press, Hal. 49
3
Nafiah, L. (2015). Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif Terhadap Kesejahteraan Mustahiq Pada
Program Ternak Bergulir Baznas Kabupaten Gresik. eL-Qist: Journal of Islamic Economic and Business
(JIEB), 5(1), 929-942.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Politik Hukum Penangulangan Kemiskinan di Indonesia


Perjalanan penangulangan kemiskinan di Indonesia dimulai sejak masa
transisi Tahun 2001-2004. Pada periode pertama ini adanya instrumen untuk
pembangunan pasca reformasi dengan melakukan pendekatan program yang
berbeda dengan sebelum reformsi. Penangulangan kemiskinan pada priode ini
lebih cendrung bersifat project oriented dan sektoral berdasarkan intruksi dari
presiden. Contoh dari kebijakan masa ini adalah Inpres Desa Tertinggal, kebijakan
yang seperti ini cendrung sulit untuk mempertahankan keberlanjutannya. Pada
tahun 2001 awal kepemimpinan Presiden Megawati mulai dibentuk lembaga
Komite Penangulangan Kemiskinan (KPK) berdasarkan Kepres 124 Tahun 2001.
tugas KPK ini adalah melakukan kajian yang melibatkan berbagai pihak, seperti
Menteri BAPPENAS. Pada prioses selanjutnya dibentuk Tim Koordinasi
Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penangulangan Kemiskinan yang di
koordinasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejaterahaan Rakyat yang
menghasilkan Dokumen Sementara Strategi Penangulanan Kemiskinan pada
tahun 2003. Dalam dokumen tersebut berisikan Strategi Nasional Penangulangan
Kemiskinan. (SNPK). Dokumen SNPK ini yang menjadi acuan dari upaya
penangulangan kemiskinan.
Priode selanjutnya adalah tahun 2005-2009, pada priode ini SNPK telah
dituangkan dalam Rencana Aksi Penangulangan Kemiskinan 2005-2009 yang di
integrasikan dalam RPJMN 2005-2009. Dalam RPJMN memuat program
penangulangan kemiskinan yang lebih diproritaskan. Ini terlihat dengan adanya
urgensi penangulangan kemiskinan dalam pembangunan nasional.,
kementrian/lembaga pekaksanan, nama program, kegiatan program dan sasaran
program. Serta alokasi anggaran yang dibutuhkan. Pada priode ini kelembagaan
juga memulai diupayakan yaitu pembentukan tim koordinasi penangulangan
kemiskinan melalui Perpres 54 Tahun 2005. Secara bertahap tim tersebut dibentuk
di daerah dengan diakomodir oleh kementrian dalam negeri.
Pada priode 2010-2014 berkat adanya pembentukan PNPM Mandiri, KIB dan
cakupanya sudah diperluas pada jilid ke II angka kemiskinan dapat di tekan.
Kemudian Presiden mengeluarkan Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, dengan tujuan utama untuk mempercepat
penurunan angka kemiskinan hingga 8 % sampai 10 % pada akhir tahun 2014.
Kontrak politik yang ditawarkan pada rezim ini adalah empat strategi dasar untuk
percepatan penanggulangan kemiskinan, yaitu menyempurnakan program
perlindungan sosial, peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan
dasar, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan yang inklusif.
Priode trasformasi pada tahun 2015-2019 secara yuridis, landasan hukum
pelaksanaan program penangulangan kemiskinan tidak didasarkan pada dukungan
peraturan perundang-undangan spesifik, misalnya UU, permen, perpres, maupun
inpres PNPM Mandiri. Acuan utama yang digunakan adalah Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 96 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Didalam
RPJMN 2015-2019, pada masa pemerintah Jokowi-JK melakukan perubahan
secara mayoritas dapat dilihat dari pendekatan yang dilakukan:4
a) Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial yang komprehensif
b) Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Dasar bagi Masyarakat
Miskin dan Rentan
c) Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (P2B)
Dengan tiga program ini pemerintah akan merubah paradigma yang baru
dimana sebelumnya memiliki banyak program sehingga susah untuk proses
evaluasi keberhasilan dan kegagalannya.
2. Konsep dan Fungsi Zakat Produktif dalam Mengurangi Kesenjangan
Sosial.
Zakat merupakan prinsip terpenting dalam ekonomi Islam. Selain memiliki
fungsi alat ibadah juga ada fungsi lain dalam memberikan manfaat kolektif bagi
orang orang yang berada di lingkungan yang menjalankan sistem zakat. 5 Peran
zakat dapat dikatakan produktif jika dilihat dengan mampu menambah dan
mengembangkan secara ekonomi para penerima zakat. Peran menambah dan
4
Kemenkumham, (2016) Analisis Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan : Pusat
Analisis Dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham
5
Sakti, A., & Abilawa, M. S. (2007). Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern.
Paradigma: Aqsa. hal. 173
mengembangkan tersebut berlaku baik bagi mustahik, muzakki, dan harta itu
sendiri. Dalam konteks ilmu ekonomi, peran zakat kepada mustahik dan muzakki
dapat kita lihat dalam kacamata ekonomi mikro. Sementara itu, peran zakat dalam
menambah dan mengembangkan harta itu sendiri dapat kita lihat dalam kacamata
ekonomi makro.
a) Fungsi Zakat Secara Mikro
Fungsi zakat secara mikro dapat kita lihat dari peran zakat bagi mustahik dan
muzakki. Menurut Ali Sakti, golongan yang sangat dominan terdampak zakat
adalah golongan mustahik. Di mana angka konsumsi mereka sangat bergantung
pada distribusi zakat. Dengan kata lain bahwa zakat memiliki korelasi positif pada
angka konsumsi.6 Dalam konteks lebih luas fungsi zakat sebagai makanan
memiliki arti zakat berfungsi sebagai bahan tambahan bagi orang miskin dalam
memenuhi konsumsi kebutuhan pokoknya. Dengan adanya zakat, daya beli orang
miskin untuk memenuhi kebutuhan pokoknya meningkat. Dalam konteks
ekonomi mikro, peningkatan daya beli tersebut merupakan peningkatan demand.
Rivai dan Buchari menjelaskan bahwa dalam sistem zakat, proses dari zakat
adalah mengalokasikan harta berdasar pada dua prinsip, yaitu dapat menghasilkan
kesejahteraan dan menghasilkan tingkat pendapatan.7 Naiknya tingkat pendapatan
mustahik ini secara otomatis akan meningkatkan daya beli dari mustahik. Secara
teori, eksistensi zakat akan meningkatkan kurva permintaan melalui agregat
emand yang meningkat akibat daya,beli masyarakat mustahik yang didorong oleh
distribusi zakat.
Peningkatan kurva permintaan seperti telah dijelaskan tentu akan
meningkatkan harga dalam jangka pendek. Namun, seperti disebutkan oleh Ali
Sakti peningkatan harga itu akan berdampak pada peningkatkan ravenue
produsen. Jika diasumsikan bahwa informasi peningkatan harga ini diketahui
semua pelaku pasar (symetric information), tentu akan menarik pelaku baru untuk
masuk ke pasar.
Masuknya pelaku baru tersebut akan menaikkan jumlah penawaran sehingga
akan meningkatkan kurva penawaran. Akibat dari peningkatan kurva penawaran
itu, selanjutnya harga akan terkoreksi. Harga keseimbangan setelah distribusi
6
Ibid 180
7
Rivai dan Buchari (2013), Islamic Economi, Jakarta: Bumi Asara. hal. .420
zakat akan relatif stabil jika dibandingkan dengan sebelum distribusi zakat, tetapi
jumlah barang mengalami peningkatan dibandingkan sebelum distribusi zakat.
Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap barang tersebut akan menstimulasi
produksi barang-barang dan jasa-jasa.
Berbeda dengan zakat, pajak memiliki pengaruh negatif terhadap suplai dan
produktivitas. Adiwarman Karim menyebutkan bahwa pajak penjualan atau pajak
pertambahan nilai akan meningkatkan average total cost dan apabila harga tetap
pada tingkat harga semula, peningkatan biaya ini berarti penurunan profit. Hal ini
dapat terjadi terjadi karena total revenue tetap sedangkan total cost meningkat.
Penurunan profit juga menyebabkan mengecilnya rentang skala produksi, sebagai
akibat dari kenaikan beban yang harus ditanggung oleh pelaku pasar. Penurunan
rentang skala produksi di sini berarti menurunnya jumlah produk yang dihasilkan
yang juga berarti penurunan penawaran. Dengan kata lain, pengenaan pajak
penjualan atau pajak pertambahan nilai dapat menurunkan produktivitas dan
penawaran barang.8
b) Fungsi Zakat Secara Makro
Adapun fungsi zakat secara makro dapat dilihat dari fungsi zakat bagi
investasi dan distribusi kekayaan. Ada beberapa elemen pokok yang harus
dipertimbangkan untuk memahami pengaruh zakat terhadap investasi. Salah
satunya adalah zakat dipungut atas uang atau aset keuangan yang menganggur,
misalkan simpanan emas atau uang yang melebihi jangka waktu setahun dan
mencukupi nisab sehingga mendorong orang untuk berinvestasi atau berproduksi.9
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa zakat mampu mendorong
seseorang untuk mengelola dan memproduktifkan harta yang dia miliki. Secara
agregat, hal tersebut mampu mendorong investasi. Dengan dipungutnya zakat
terhadap kekayaan yang disimpan, kekayaan yang disimpan akan segera
diaktifkan atau diinvestasikan.10 Dengan demikian, zakat memiliki korelasi positif
dengan investasi. Peningkatan investasi tersebut pada akhirnya akan
meningkatkan satuan produksi.
3. Politik Hukum dalam Pengelolaan Zakat di Indonesia
8
Karim, Adiarman A, (2015), Ekonomi Makro Islami, Jakarta: Rajawali Pers hal 132-134
9
P3EI FE UII, (2016) Pengolahan Zakat yang Efektif :Konsiep dan Praktek di Berbagai Negara
Jakarta; Departemen Keuangan dan Ekonomi Syariah Bank Indonesia. hal 23
10
Ibd hal. 25
Dalam sejarahnya pengelolaan zakat di Indonesia berawal dari praktek
pengolahan zakat secara tradisional yang dipercayakan pada pengurus masjid atau
amli zakat ada juga yang memberikan langsung pada penerima zakat (mustahik)
oleh pemberi zakat (muzaki). Meluhat antusiasme muzaki dalam menyalurkan
zakat maka pemerintah perlu mengatur tentang pengolahan zakat ini. Dalam
fenomena yang melatarbelakangi pemerintah adanya amil zakat yang bersifat
temoporer dan tidak terorganisir dengan baik sehingga sulit untuk di awasi guna
memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Pebentukan lembaga amil zakat juga
dibentuk secara adhoc terutama menjelang ramadhan dan hari besar Islam. 11 Atas
dasar ini lah UU No. 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Adanya
kepastian hukum tentang lembaga pengelolaan zakat ini dan secara resmi masuk
dalam hukum positif Indonesia. Lahirnya UU No. 38 tahun 1999 ini menyebabkan
dunia zakat nasional semakin marak lembaga-lembaga zakat yang dibentuk oleh
pemerintah dan lembaga amil zakat (LAZ).12
Sebelas tahun diberlakukan UU 38 Tahun 1999 dianggap banyak tidak cocok
dengan perkembangan zaman. Masalah yang mendasar adalah tidak memberikan
kejelasan terkait tugas dan fungsi dari BAZNAS sebagai lembaga yang didirikan
oleh pemerintah dan LAZ yang didirikan oleh masyarakat. Kedua lembaga
tersebut memiliki kedudukan sejajar dalam mengumpulkan zakat. Keadaan yang
kurang kondusif seperti ini menimbulkan pengelolaan dan pendistribusian tidak
memiliki arah meskipun sama-sama untuk mengatasi kemiskinan.
Guna mengikuti perkembangan keadaan yang ada di Indonesia maka
dilakukanlah perubahan dalam pengelolaan zakat. Pada tanggal 25 November
2011 diundangkanlah UU No. 23 Tahun 2011. Apakah dengan lahirnya undang-
undang pengelolaan zakat yang baru ini mampu menyelesaikan permasalahan
yang ada di Indonesia. Undang-undang ini segera berhadapan dengan berbagai
masalah dalam penerapannya, akibat dari kekosongan hukum atau celah hukum
yang terbuka, rumusan yang terlapau luas, dan kekeliruan dalam perumusan dan
pendefenisian. Dengan perubahan masyarakat yang begitu cepat besar
kemungkinan undang-undang ini tidak akan bertahan lama.
11
Forum Zakat,(2012), Cetak Biru Pengembangan Zakat 2011-2025 Paduan Masa Depan Zakat
Indonesia, Jakarta: FOZ. hal 4
12
Said, H. A. (2014). Jalan panjang legislasi syariat zakat di Indonesia: Studi terhadap Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.
Perkembangan zaman saat ini menjawab permasalahan dari UU No. 23 tahun
2011. LAZ dan masyarakat yang tidak sejalan dengan UU Pengelolaan Zakat
melakukan uji materi terhadap UU Pengelolaan Zakat. Dalam permohonannya
meminta Pasal 5, 6 dan 7 telah memusatkan pengelolaan zakat nasional di tangan
pemerintah melalui BAZNAS sehingga mematikan 300 lebih LAZ yang ada di
Indonesia, Pasal 17, 18 dan 19 mensubordinasikan kedudukan LAZ yang dibentuk
oleh masyarakat menjadi dibawah BAZNAS, Pasal 18 yang mengatur
pembentikan LAZ harus mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk
menteri kemudian harus mendapat rekomendasi dari BAZNAS yang bertindak
sebagai operator zakat, Pasal 38 dan 41 yang mengatur tentang pemidanaan amil
zakat. Akhirnya Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan Pasal 18 ayat 2 poin
(a), (b) dan (c) yang menyatakan syarat Lembaga Amil Zakat dan Pasal 38 dan 41
tentang pemidanaan amil zakat. Putusan ini tertuang dalam PMK No. 86/PUU-
X/2012.13
Akibat dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pemerintah mengeluarkan
PP No. 14 tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Zakat.
Dengan adanya PP tersebut diharapkan menjadi dampak positif daru Pengelolaan
zakat di Indonesia. Dalam PP tersebut diantaranya mengatur amil zakat yang
berupa perorangan. Serta pelaksanaan tentang izin resmi dalam pengumpulan
zakat oleh badan hukum, ormas dan yayasan. Selanjutnya setelah PP No. 14
Tahun 2014, Kemenag hendaknya membuat peraturan turunan dari PP tersebut,
peraturan tersebut guna mendorong BAZNAS untuk menyusun pedoman
pengelolaan zakat yang menjadi acuan pengelolaan zakat untuk BAZNAS,
BAZNAS Provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ yang dibentuk oleh
masyarakat. Pedoman pengelolaan zakat tersebut membuat norma, standar,
prosedur dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengkoordinasian, pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat di tanah air.
Koordinasi dalam penangulangan kemiskinan mutlak diperlukan agar sinergi
kebijakan dan peran para pemangku kepentingan tetap berkesinambungan.
Adanya regulasi yang menunjang koordinasi BAZNAS Pusat dan BAZNAS
daerah dapat menjadi salah salah satu yang mendorong zakat dapat mengatasi
13
Moh. Mahfud MD,(2010), Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jakarta: PT
Rajagraindo Persada
kemiskinan yang berada di ibukota dan yang ada di daerah.
Selain koordinasi antara BAZNAS diperlukan juga koordinasi antara
BAZNAS dengan LAZ yang didirikan oleh masyarakat atau badan hukum
berbentuk swasta. Koordinasi ini bertujuan untuk memeratakan pendistribusian
zakat kepada pihak pihak yang membutuhkan. Sehingga tidak terjadi
pendistribusian hanya terfokus pada suatu daerah dan daerah lain yang
membutuhkan mendapatkan pendistribusiaan zakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Persoalan kemiskinan di Indonesia sudah menjadi isu sering menjadi pokok
kajian para ahli-ahli sosial. Cara mengatasi kemiskinan sendiri membutuhkan
peranan semua pihak termasuk masyarakat miskin sendiri dalam proses
pembangunan dan pemanfaatan hasil pembangunan guna menurunkan angka
kemiskinan secara optimal. Sejak pasca revormasi dalam politik hukumnya
Pemrintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan dan program-program dalam
mengatasi kemiskinan tersebut. Kebijakan tersebut telah memberikan dampak
terhadap kurangnya angka kemiskinan sehingga dapat mengurangi angka
kemiskinan. Sayangnya Pemerintah Indonesia belum menjadikan Zakat sebagai
salah satu program utama dalam mengatasi kemiskinan. Mengingat banyaknya
masyarakat yang beragama Islam di Indonesia akan berdampak pada penurunan
angka kemiskinan jika pengelolaan zakat dapat diorganisir. Zakat produktif akan
sangat berpengaruh pada keadaan perekonomian Indonesia dengan mendorong
perekonomian dari segi makro ataupum mikro. Lembaga pengelola zakat yang
terpadu dan bersifat universal akan mempermudah pendistribusian zakat kepada
pihak yang membutuhkan. Akibat dalam politik hukum dalam pembentukan UU
Pengelolaan Zakat banyak terbentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) di samping
adanya BAZNAS sebagai pengelola zakat secara nasional. Banyak LAZ
menyebabkan pendistribusian zakat mengalami permasalahan dalam pengelolaan
dan pendistribusian tidak memiliki arah meskipun sama-sama untuk mengatasi
kemiskinan.
Rekomendasi
Koordinasi dalam penangulangan kemiskinan mutlak diperlukan agar sinergi
kebijakan dan peran para pemangku kepentingan tetap berkesinambungan.
Adanya regulasi yang menunjang koordinasi BAZNAS Pusat dan BAZNAS
daerah. Dalam pendistribusian zakat diperlukan kooordinasi antara BAZNAS dan
LAZ guna meratakan distribusi zakat. Kemiskinan akan dapat jika penerapan
zakat produktif mendapat payung hukum yang kuat dan tidak terjadi dual lembaga
dalam menarik zakat.
DAFTAR PUSTAKA
Forum Zakat,(2012), Cetak Biru Pengembangan Zakat. Paduan Masa Depan
Zakat Indonesia, Jakarta: FOZ.
Karim, Adiarman A, (2015), Ekonomi Makro Islami, Jakarta: Rajawali Pers.
Kemenkumham, (2016) Analisis Evaluasi Hukum Dalam Rangka
Penanggulangan Kemiskinan: Pusat Analisis Dan Evaluasi Hukum
Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan
Ham
Moh. Mahfud MD,(2010), Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi,
Jakarta: PT Rajagraindo Persada
Nafiah, L. (2015). “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif Terhadap
Kesejahteraan Mustahiq Pada Program Ternak Bergulir Baznas Kabupaten”
Gresik. eL-Qist: Journal of Islamic Economic and Business (JIEB), 5(1).
P3EI FE UII, (2016) Pengolahan Zakat yang Efektif :Konsiep dan Praktek di
Berbagai Negara. Jakarta; Departemen Keuangan dan Ekonomi Syariah
Bank Indonesia.
Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2018 No. 57/07/Th. XXI, 16 Juli 2018
Rivai dan Buchari (2013), Islamic Economy, Jakarta: Bumi Asara. hal. .420
Said, H. A. (2014). “Jalan panjang legislasi syariat zakat di Indonesia: Studi
terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat”.
Sakti, A., & Abilawa, M. S. (2007). Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan
Ekonomi Modern. Paradigma: Aqsa.
Umrotul Khasanah, (2010). Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan
Ekonomi Umat. Malang: UIN-Maliki Press.

Anda mungkin juga menyukai