Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

FINANCIAL INCLUSION DAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

Disusun oleh :

Kelas : Manajemen 2018 B

Kelompok :3

1. Anisa Aprilianingsih (18080574011)

2. Chusnul Izha Rahmatus S (18080574016)

3. Mia Adistia (18080574017)

4. Anita Antoniawati (18080574018)

5. Nur Aini (18080574063)

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Perhatian pemimpin dunia terkait pentingnya inklusi keuangan mulai mencuat setelah
krisis ekonomi 2008 yang menyebabkan lapisan penduduk terbawah, yaitu penduduk
berpendapatan rendah , penduduk daerah terjauh, penyandang disabilitas, masyarakat yang tidak
memiliki identitas legal, buruh, dan masyarakat tertinggal menerima dampak terburuk dari krisis
tersebut. Peran iklusi keuangan pada masyarakat resmi dibahas oleh pemimpin dunia pada G20’s
Meeting di Pitttsburg pada tanggal 24-25 September 2009.

Keberhasilan pembangunan ditandai dengan terciptanya suatu sistem keuangan yang stabil
dan member manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, institusi keuangan
memainkan peran penting melalui fungsi intermediasinya untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi, pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta pencapaian stabilitas sistem
keuangan. Hanya saja industri keuangan yang berkembang pesat belum tentu disertai dengan akses
keuangan yang memadai. Padahal, akses layanan jasa keuangan merupakan syarat penting
keterlibatan masyarakat luas dalam sistem perekonomian.

Survey Bank Dunia (2010) menunjukkan hanya 49% rumah tangga Indonesia yang
memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Hal serupa ditemukan Bank Indonesia dalam
Survei Neraca Rumah Tangga (2011) yang menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang
menabung di lembaga keuangan formal dan non formal keuangan sebesar 48%. Dengan demikian
masyarakat yang tidak memiliki tabungan sama sekali baik di bank maupun di lembaga keuangan
non bank masih relatif sangat tinggi yaitu 52%. Kedua survey tersebut saling menguatkan dan
mendukung bahwa akses keuangan masyarakat Indonesia ke lembaga keuangan formal dan non
formal masih relative rendah sehingga penduduk Indonesia yang memiliki akses yang terbatas
terhadap sistem jasa keuangan masih perlu ditingkatkan.

Keuangan inklusif merupakan strategi pembangunan nasional untuk mendorong


pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta stabilitas
sistem keuangan. Melalui strategi nasional keuangan inklusif diharapkan kolaborasi antar lembaga
pemerintah dan pemangku kepentingan tercipta secara baik dan terstruktur

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apakah definisi dan tujuan dari financial inclusion?


2. Bagaimana Strategi Nasional Keuangan Inklusi?
3. Apa saja indikator perkembangan program Keuangan Inklusi?
4. Bagaimanakah program edukasi Keuangan Inklusi?
5. Bagaimanakah koordinasi dan kerjasama Keuangan Inklusi?
6. Apakah definisi dan bagaimana konsep dasar kebijakan Makroprudensial?
7. Bagaimanakah kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial?
8. Apa saja indikator Makroprudensial?

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui definisi dan tujuan dari financial inclusion


2. Untuk mengetahui Strategi Nasional Keuangan Inklusi
3. Untuk mengetahui indikator perkembangan program Keuangan Inklusi
4. Untuk mengetahui program edukasi Keuangan Inklusi
5. Untuk mengetahui koordinasi dan kerjasama Keuangan Inklusi
6. Untuk mengetahui definisi dan bagaimana konsep dasar kebijakan Makroprudensial
7. Untuk mengetahui kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial
8. Untuk mengetahui indikator Makroprudensial
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Tujuan Financial Inclusion

Dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif, keuangan inklusif didefinisikan sebagai hak
setiap orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu,
nyaman, informative, dan terjangkau biayanya, dengan penghormatan penuh kepada harkat dan
martabatnya. Layanan keuangan tersedia bagi seluruh segmen masyarakat, dengan perhatian
khusus kepada orang miskin, orang miskin produktif, pekerja migrant, dan penduduk di daerah
terpencil.

Tujuan dari keuangan inklusif adalah :

a) Menjadikan strategi keuangan inklusif sebagai bagian dari strategi besar pembangunan
ekonomi, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas sistem
keuangan. Tujuan keuangan inklusif adalah memberikan akses ke jasa keuangan yang lebih
luas bagi setiap penduduk, namun terdapat kebutuhan untuk memberikan fokus lebih besar
kepada penduduk miskin.
b) Menyediakan jasa dan produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Konsep keuangan inklusif harus dapat memenuhi semua kebutuhan yang berbeda dari
segmen penduduk yang berbeda melalui serangkaian layanan holistik yang menyeluruh.
c) Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai layanan keuangan. Hambatan utama
dalam keuangan inklusif adalah tingkat pengetahuan keuangan yang rendah. Pengetahuan
ini penting agar masyarakat merasa lebih aman berinteraksi dengan lembaga keuangan.
d) Meningkatkan akses masyarakat ke layanan keuangan. Hambatan bagi orang miskin untuk
mengakses layanan keuangan umumnya berupa masalah geografis dan kendala
administrasi. Menyelesaikan permasalahan tersebut akan menjadi terobosan mendasar
dalam menyederhanakan akses ke jasa keuangan.
e) Memperkuat sinergi antar bank, lembaga keuangan mikro, dan lembaga keuangan non
bank. Pemerintah harus menjamin tidak hanya pemberdayaan kantor cabang, tetapi juga
peraturan yang memungkinkan perluasan layanan keuangan formal. Oleh karena itu,
sinergi antara Bank, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dan Lembaga Keuangan Bukan
Bank menjadi penting khususnya dalam mendukung pencapaian stabilitas sistem
keuangan.
f) Mengoptimalkan peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk memperluas
cakupan layanan keuangan. Teknologi dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas
sistem keuangan formal melampaui sekedar layanan tabungan dan kredit. Namun,
pedoman dan peraturan yang jelas perlu ditetapkan untuk menyeimbangkan perluasan
jangkauan dan resikonya.

2.2 Strategi Nasional Keuangan Inklusi


Dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan
Inklusif, Strategi Nasional Keuangan Inklusif adalah “strategi nasional yang dituangkan dalam
dokumen yang memuat visi, misi, sasaran, dan kebijakan keuangan inklusif dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan penangguangan kemiskinan, pengurangan
kesenjangan antarindividu dan antardaerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia.”

Dalam Peraturan Presiden itu juga, SNKI dimaksudkan memiliki dua fungsi berikut:

a. Sebagai “pedoman bagi menteri dan pimpinan lembaga dalam menetapkan kebijakan
sektoral yang terkait dengan SNKI, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis di
bidang tugas masing-masing sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN)”;
b. Sebagai “pedoman bagi gubernur dan bupati/walikota dalam menetapkan kebijakan daerah
yang terkait dengan SNKI pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota”.

Kerangka kerja umum keuangan inklusif dibangun di atas enam pilar sebagai berikut:

a. Edukasi Keuangan. Bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat luas


tentang produk-produk dan jasa-jasa keuangan yang ada dalam pasar keuangan formal,
aspek perlindungan konsumen dan pemahaman manajemen risiko.
b. Fasilitas Keuangan Publik. Strategi pada pilar ini mengacu pada kemampuan dan peran
pemerintah dalam penyediaan pembiayaan keuangan public baik secara langsung maupun
bersyarat guna mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat.
c. Pemetaan Informasi Keuangan. Bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
terutama yang sebenarnya dikategorikan tidak layak untuk menjadi layak atau unbankable
menjadi bankable oleh institusi keuangan normal, terutama kaum miskin produktif serta
usaha mikro kecil.
d. Kebijakan/Peraturan yang Mendukung. Pelaksanaan program keuangan inklusif
membutuhkan dukungan kebijakan guna meningkatkan akses akan layanan jasa keuangan.
e. Fasilitas Intermediasi dan Saluran Distribusi. Bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
lembaga keuangan akan keberadaan segmen potensial di masyarakat dan memperluas
jangkauan layanan jasa keuangan.
f. Perlindungan Konsumen. Bertujuan agar masyarakat memiliki jaminan rasa aman dalam
berinteraksi dengan institusi keuangan dalam memanfaatkan produk dan layanan jasa
keuangan yang ditawarkan.

2.3 Indikator Perkembangan Program Keuangan Inklusi

Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kegiatan keuangan inklusif, diperlukan


suatu ukuran kerja. Indikator yang dapat dijadikan ukuran sebuah negara dalam mengembangkan
keuangan inklusif adalah :
a) Ketersediaan / akses : mengukur kemampuan penggunaan jasa keuangan formal dalam hal
keterjangkauan fisik dan harga
b) Penggunaan : mengukur kemampuan penggunaan aktual produk dan jasa keuangan
(keteraturan, frekuensi dan lama penggunaan)
c) Kualitas : mengukur apakah atribut produk dan jasa keuangan telah memenuhi kebutuhan
pelanggan
d) Kesejahteraan : mengukur dampak layanan keuangan terhadap tingkat kehidupan
pengguna jasa

2.4 Program Edukasi Keuangan

Program Edukasi Keuangan merupakan strategi kebijakan untuk meningkatkan kapabilitas


dalam mengelola keuangan yang dimulai dengan peningkatan pemahaman (pengetahuan) dan
kesadaran masyarakat mengenai produk dan jasa keuangan. Ruang lingkup edukasi keuangan
ini meliputi:

a) pengetahuan dan kesadaran tentang ragam produk dan jasa keuangan,

b) pengetahuan dan kesadaran tentang risiko terkait dengan produk keuangan,

c) perlindungan nasabah, dan

d) keterampilan mengelola keuangan.

2.5 Koordinasi dan Kerjasama Keuangan Inklusi

Strategi keuangan inklusif bukanlah sebuah inisiatif yang terisolasi, sehingga keterlibatan
dalam keuangan inklusif tidak hanya terkait dengan tugas Bank Indonesia, namun juga regulator,
kementerian dan lembaga lainnya dalam upaya pelayanan keuangan kepada masyarakat luas.
Melalui strategi nasional keuangan inklusif diharapkan kolaborasi antar lembaga pemerintah dan
pemangku kepentingan tercipta secara baik dan terstruktur.
2.6 Definisi dan Konsep Dasar Kebijakan Mikroprudensial

kebijakan mikroprudensial adalah suatu kebijakan yang mengatur institusi keuangan


secara individu, dimana kebijakan tersebut meliputi perkembangan dari masing-masing
institusi keuangan secara individu.

kebijakan mikroprudensial hanya mengatur institusi keuangannya saja. Kebijakan ini


mengukur resiko yang dihadapi dari tingkat kesehatan setiap institusi keuangan, selain itu
juga mengukur tingkat risiko dari hasil kinerja setiap institusi secara individu. Kebijakan
mikroprudensial sendiri mengalami banyak kegagalan, hal tersebut kemudian yang
mendorong Bank Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan makroprudensial sebagai
penyempurnaan dari kebijakan mikroprudensial yang dikeluarkan sebelumnya.

2.7 Kebijakan Makroprudensial

A. Pengertian
Menurut European Systemic Risk Board (ESRB), yaitu badan yang memiliki misi
mengawasi sistem keuangan Eropa, serta mencegah dan membatasi terjadinya risiko sistemik di
sistem keuangan Eropa, mendefinisikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang
ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan
memperkuat ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik, sehingga
memastikan keberlanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi (ESRB,
2013). Penjelasan serupa disampaikan oleh IMF, yang mendefinisikan makroprudensial sebagai
kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan
melalui pembatasan risiko sistemik (IMF, 2011).

Merujuk pada beberapa definisi diatas, setidaknya terdapat 3 kalimat kunci untuk
menggambarkan kebijakan makroprudensial, yakni diterapkan dengan tujuan menjagastabilitas
sistem keuangan, diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan
(system-wide perspectives), dan diterapkan melalui upaya membatasi terbangunnya (build-up)
risiko sistemik. Secara sederhana kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-
hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan
mikroekonomi.

B. Pentingnya Kebijakan Makroprudensial

Upaya menjaga stabilitas sistem keuangan tidaklah cukup bila hanya difokuskan pada
tingkat kesehatan dan kinerja individu bank atau institusi keuangan lainnya. Hal ini karena dalam
sistem keuangan, antara institusi satu dengan yang lainnya saling terkait dalam berbagai transaksi
keuangan yang ada. Sebagai contoh, pada transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), di mana
antara bank satu dengan bank lainnya dapat melakukan kegiatan pinjam meminjam dana. Adanya
gagal bayar di satu bank dapat berdampak pada bank lain atau bahkan beberapa bank sekaligus
yang memiliki transaksi keuangan dengan bank tersebut. Sifat keterkaitan dan interdependensi
antarindividu dalam sistem keuangan ini dikenal dengan istilah interconnectedness. Selain itu,
penyebaran risiko dari satu institusi ke institusi lain menjadi lebih tinggi apabila permasalahan
terjadi pada institusi keuangan yang besar atau dominan. Hal ini dikenal dengan konsep too-big-
too-fail. Potensi termaterialisasinya suatu risiko juga dapat muncul apabila beberapa institusi
keuangan yang sehat secara bersama-sama memiliki eksposur risiko yang sama (common risk
factor).

Dengan karakteristik sistem keuangan sebagaimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan


bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, diperlukan suatu pendekatan pengaturan
dan pengawasan yang lebih bersifat agregat, berorientasi pada sistem, dan memandang semua
elemen dalam sistem keuangan sebagai satu kesatuan yang saling terkait satu dengan yang lain,
serta mengerti dan waspada akan adanya potensi risiko sistemik. Pendekatan ini dapat diakomodasi
oleh kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial yang terfokus pada keseluruhan
sistem keuangan diharapkan mampu menangkap sumber-sumber risiko secara agregat. Dengan
demikian, kestabilan sistem keuangan akan dapat dicapai, karena fokus pengawasan tidak hanya
terbatas pada kesehatan individu institusi keuangan.

2.8 Indikator Makroprudensial

Sementara itu, lima indikator terpenting dari aspek makroprudensial adalah balance of
payment, diikuti general macro indicators, contagion effect, debt, dan labor aspect.

Balance of Payment

Defisit neraca berjalan menjadi indikator utama pada aspek Balance of Payment, kemudian
diikuti kecukupan cadangan devisa, komposisi komposisi dan jangka waktu aliran modal, nilai
ekspor-impor, dan term of trade (ToT).

Neraca berjalan merupakan bentuk neraca yang mencatat transaksi barang, jasa, hibah,
pendapatan faktor produksi (dari aset dan tenaga kerja) baik dari individu dan pemerintah serta
kegiatan transfer uang pada aktifitas perdagangan internasional pada jangka waktu satu tahun.

General Macro Indicators

General macro indicators mencerminkan kondisi ekonomi secara keseluruhan dalam skala
makro. Tiga variabel dari aspek makro tersebut yang mendapatkan nilai tertinggi adalah volatilitas
nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan volatilitas suku bunga.

Empat variabel yang menempati posisi di bawahnya yaitu suku bunga the Fed, volatilitas
inflasi, Household CPI, dan terakhir adalah suku bunga domestik.

Contagion Effect

Contagion effect merupakan suatu fenomena ketika krisis keuangan yang terjadi pada suatu
negara akan memicu terjadinya krisis keuangan pada negara lain. Contagion effect pada stabilitas
sistem keuangan biasanya berkaitan pada aktivitas sistem pembayaran dan lintas batas aliran
keuangan sebagai akibat dari globalisasi keuangan.

Tiga indikator contagion effect yang mendapatkan bobot terbesar adalah korelasi pasar
keuangan, kemudian sektor ekonomi yang jatuh, serta trade spilover.

Debt

Pengelolaan atas hutang (debt) merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam
upaya menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Tiga indikator Debt yang mendapatkan
bobot terbesar adalah utang jatuh tempo, rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB), serta pinjaman luar negeri.
Labor Aspects

Tiga indikator dengan hasil bobot terbesar adalah employment rate, pasar tenaga kerja,
serta average annual wages. Aspek tenaga kerja memiliki pengaruh penting dalam pegelolaan dana
investasi dan keuangan.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dalam Pasal 3 UU PPKSK juga dijelaskan kegiatan pencegahan dan penanganan krisis,
akan dilalui dengan koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas serta penanganan krisis.
Satu hal menarik dari pasal tersebut ialah kata “koordinasi”, yang berarti mewajibkan beberapa
instansi yang terkait dengan sistem keuangan untuk berkolaborasi penuh dalam kegiatan
makroprudensial. Pihak-pihak ini tergabung dalam Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(FKSSK) yang beranggotakan menteri Keuangan, gubernur Bank Indonesia, ketua Dewan
Komisioner OJK, serta ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Harmonisasi kebijakan keempat instansi itu menjadi sebuah tantangan dalam menyusun
kebijakan makroprudensial. Ini mengingat adanya perbedaan informasi yang dikelola pada
masing–masing lembaga, yang mengarah pada tumpang tindih kebijakan ataupun pemikiran yang
bisa saling berlawanan. Untuk itu, perlu ada mekanisme yang mengatur proses penyusunan
kebijakan yang dihasilkan bisa saling melengkapi.

DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia. 2016. Mengupas Kebijakan Makroprudensial

https://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/Indonesia/Contents/Defaults.aspx

https://id.m.wikipedia.org/wiki/inklusi_keuangan

https://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/Indonesia/Contents/Default.aspx

https://katadata.co.id/berita/2018/10/08/manakah-indikator-terpenting-stabilitas-keuangan

Anda mungkin juga menyukai