Pendahuluan
Modul 9 ini merupakan sarana bagi para mahasiswa untuk mempelajari dasar-dasar dari proses
pengambilan serta sejumlah bentuk kebijakan pembangunan ekonomi. Modul ini membahas 3
kegiatan belajar. Kegiatan belajar 1, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP
Nasional) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM Nasional) yang menjadi dasar
proses dan pengambilan kebijakan ekonomi di negara Indonesia. Kiatan Belajar 2, dampak
globalisasi terhadap proses pegambilan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan ekonomi.
Kegiatan Belajar 3, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai konsep yang
saat ini menjadi acuan utama dalam proses pengambilan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi dalam
pembangunan disetiap tingkatan masyarakat, baik komunitas, negara maupun dunia.
Setelah mempelajari modul ini, secara umum anda di harapkan dapat menjelaskan dasar-dasar
pengambilan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi yang harus diperhatikan oleh setiap pengambil
keputusan ekonomi ditingkat masyarakat, negara maupun dunia pada era globalisasi saat ini.
Setelah mempelajari modul ini, secara khusus Anda diharapkan dapat :
1. menjelaskan kebijakan pembangunan nasional Indonesia, khususnya mengenai kebijakan
ekonomi dan efektivitasnya dalam pembangunan Indonesia;
2. menjelaskan proses globalisasi, berbagai bentuk kebijakan perdagangan internasional, dan
dampak globalisasi terhadap pembangunan;
3. menjelaskan konsep indikator pembangunan berkelanjutan
Pembangunan Nasional
Pembangunan Nasional, menurut penjelasan UU Nomor 7 Tahun 2007 tentang rncana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, dalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan, meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk
mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan semain sejahtera dari satu generasi ke genarasi lainnya.
Terdapat berbagai macam strategi dan langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk
mencapai tujuan pembangunannasional. Meskipun demikian, tidak seluruh strategi langkah
tersebut dan membawa masyarakat Indonesia pada kondisi yang lebih sejahtera. Pembahasan
pembangunan nasional dalam kegiatan belajar ini difokuskan pada pembangunan nasional pda
priode pemerintah kabinet Indonesia Bersatu.
Arah pembangunan nasional bangsa Indonsia tercakup dalam misi, visi, sasaran, agenda, dan
prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang(RPJP Nasional) 2004-2005 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM
Nasional). Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, misi pembangunan nasional adalah
mewujudkan Indonesia yangs ejahtera dan visi pembangunan nasional adalah terwujudnya
perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta
memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan (RPJM Nasional 004-
2009). Misi dan visi tersebut hendak dicapai oleh pemerintah dan bangsa Indonesia melalui
strategi pembangunan Indonesia dengan sasaran pokok, yaitu memenuhi hak dasar rakyat dan
penciptaan landasan yang kokoh . Berdasarkan misi, visi, dan strategi tersebut peningkatan
kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu agenda utama dalam pembangunan nasional.
Berikut ini disajikan beberapa sasaran dalam agenda peningkatan kesejahteraan masyarakt
tersebut yaitu sebaga berikut.
1. Menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi 8, % paada tahun 2009, tercptanya lapangan
kerja yang mampu mengurangi pengangguran menjadi 5,% pada tahun 2009 dengan didukung
stabilitas ekonomi yang terjaga. Prioritas dan arah kebijakan untuk mencapai sasaran ini,
meliputi (a) penganggulangan kemiskinan (b) peningkatan dan investasi dan ekspor non
migas, (c) peningkatan daya asing, (d) revitalisasi pertanian , (e) Pemberdayaaan Koperasi
dan Usaha Mikro Kecil, dan Menengah (KUMKM), (f) Peningkatan pengelolaan BUMN, (g)
perbaikan iklim ketenagakerjaan , (h) pemantapan stabilitas ekonomi makro.
2. Berkembangnya kesenjangan antar wilayah yang tercermin dari meningkatnya peran
perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi. Prioritas danarah kebijakan untuk mencapai
sasaran ini adalah pembangunan perdesaan dan pengurangan ketimpangan pembangunan
antarwilayah.
3. Meningkatnya kualitas manusia secara menyeluruh yang tercermin dri membaiknya indeks
pembangunan manusia (IBM). Prioritas dan arah kebijakan untuk mencapai sasaran ini
adalah (a) peningkatan pendidikan yang berkualitas , (b) peningkatan akses masyarakat
terhadap layanan kesehatan , (c) peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial , serta (d)
pembangunan kualitas penduduk.
4. Membiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam dengan berpegang
pada prinsip pembangunan berkelanjutan diseluruh sektor dan bidang pembangunan. Prioritas
dan arah kebijakan untuk mencapai sasaran ini adalah perbaikan pengelolaan sumber daya
alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup.
5. Membaiknya infrastruktur yang ditujukan oleh meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai
sarana pembangunan . Prioritas dan arah kebijakan untuk mencapai sasaran ini adalah
percepatan pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan sasaran dan prioritas pembangunan nasional yng telah ditetapkan oleh pemerntah
tersebut maupunsejumlah perubahan kondisi perekonomian di Indonesia, Pemerintah
Indonesia (khususnya pada masa pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu, periode 2004-
2009) mngeluarkan sejumlah program dan kebijakan pemerintah. Berikut ini adalah beberapa
dari sejumlah program tersebut.
Selama pemerintah kabinet Bersatu, BLT diberikan kepada masyarakat dalam dua periode,
yaitu pada tahun 2005-2006, kemudian berhenti pad thun 2007, dan diadakan lagi pada
tahun 2008 setelah adanya kenaikan harga BBM pada bulan Juni 2008. Pemberian BLT
memicu perdebatan seputar dampak dan proses pemberian BLT. Sejumlah pihak
menyatakan bahwa BLT membantu masyarakat miskin untuk mempertahankan daya beli ,
tingkat konsumsi dan efek pengganda (multipllier effect) yang dapat dihasilkan masyarakat
miskin. Hal ini didukung laporan dari Departemen Sosial yang menyatakan bahwa
sebagian besar proporsi dana BLT digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
beras, minyak tanah, pendidikan , dan kesehatan. Meskipun demikian, program BLT
cukup banyak menuai kritik. Berikut ini adalah sejmlah kritik tersebut yang dirangkum
dari berbagai sumber.
a. Besarnya BLT (Rp100.000,00/bulan/rumah tangga sasaran atau RTS) tidak sebanding
dengan kenaikan harga barang kebutuhan akibat naikanya harga BBM.
b. Lemahnya fungsi pengawasan pemerintah dalam program BLT sehingga terjadi banyak
penyimpangan dalam pelaksanaannya, seperti penggelapan dana BLT , pihak desa
meminta dana BLT dari RTS, pengendapan dana BLT, salah sasaran, penyelewengan
dana BLT, pemalsuan kartu BLT dan kartu BLT tidak diserahkan kepada RTS.
c. Proses yang berbelit-belit, pendataan tidak valid dan tempat pencairan terbatas.
Akibatnya, mekanisme pencairan BLT sering menuai banya korban, baik luka-luka,
meninggal dunia, dan tidak jarang memicu konflik sosial.
d. BLT banyak dianggap sebagai kebijakan yang tidak mendidik rakyat karena hanya
memberikan “ikan ‘daripada ‘kail”. BLT dianggap berpotensi merusak dan
menghambat pengembangan modal sosial masyarakat( kemandirian, empati,
kepercayaan diri, dan solidaritas masyarakat). Sebagai contoh, ,unculnya
ketergantungan terhadap dana BLT yang diberikan pemerintah dapat membuat rakyat
tidask terdorong untuk bekerja secara produktif.
e. Program BLT memerlukan biaya yang cukup besar. Pada priode 2005-2009, program
BLT menghabiskan dana sebesar 43,6 juta rupiah. Pada tahun 2008 sendiri, besarnya
dana untuk membiayai BLT adalah 2% dari APBN Perubahan 2008.
Program Rasin adalah program nasional yang bertujuan untuk membantu rumah tangga
miskin dalam memenuhi kecukupan kebutuhan pangan dan mengurangi beban finansial
mellui penyediaan beras bersubsidi (SMERU, 2008). Program Rasin merupakan
kelanjutan Program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang diluncurkan pada Juli 1998.
Seperti BLT, Program Raskin juga merupakan program penanggulangan kemiskinan bagi
masyarakat miskin yang bersifat jangka pendek dan cenderung “memberi ikan daripada
kail”. Dalam program ini, setiap rumah tangga menerima 10 kg beras setiap bulan dengan
harga Rp 1.000,00 per kilogram dititik distribusi. Penyaluran beras hingga titik distribusi
daerah merupakan tanggung jawab Badan Urusan Logistik (Bulog). Sementara itu, dari
titik distribusi daerah hingga rumah tangga sasaran merupakan tanggung jawab pemerintah
daerah.
Tidak jauh berbeda dengan BLT, program Raskin juga banyak menimbulkan perdebatan ,
terutama terkait dengan efektivitas program Raskin yang rendah maupun dampak yang
ditimbulkan bagi masyrakat miskin (SMERU, 2008). Berdasarkan studi yang dilakukan
SMERU (2008), permasalahn utama yang membuat program Raskin menjadi tidak efektif
adalah proses pendistribusian beras dari titik distribusi daerah hingga rumah tangga sasaran
(RTS) atau rumah tangga miskin (RTM). Berikut ini rangkuman sejumlah masalah yang
timbul selama pelaksanaan program Raskin (SMERU,2002) .
a. Sosialisasi dan transparasi yang kurang memadai.
b. Penargetan yang tidak akurat. Sebagai contoh pada tahun 2007 jumlah RTM mencapai
19,1 juta, namun pemerintah pusat hanya menganggarkan untuk 15,8 juta RTM
sehingga terdapat 3,3 juta RTM yang tidak memperoleh jatah beras Raskin.
c. Harga, kuantitas, dan frekuensi penerimaan Raskin tidak selalu tepat. Sebagai contoh,
ketika alokasi beras ditetapkan 10 kg per bulan (tahun 2007), di Jawa timur penerimaan
beras hanya 4-7 kg, sedangkan di Sulawesi Tenggara 4-10 kg.
d. Biaya pengelolaan program yang tinggi. Anggaran untuk program Raskin pada 2007
mencapai Rp 6,28 triliun (0,8 % APBN-P 2007) ditambah dengan biaya yang
dikeluarkan oleh pemerintrah daerah yang rata-rata sebesar Rp 173,00 (besarnya
bervariasi sesuai dengan kharakteristik daerah ).
e. Pelaksanaan pemantauan yang belum optimal
f. Mekanisme pengaduan yang kurang berfungsi.
PNPM adalah gerakan nasional dalam wujud pembangunan berbasis masyarkat yang
menjadi kerangka kebijakan serta acuan dan pedoman bagi pelaksanaan berbagai program
pemberdayaan mamsyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan (www.pnpm-
mandiri.org) . Dalam hal ini, pemerintah membiarkan masyarakat untuk menentukan
pembangunan disuatu wilayah etrsebut, dan memberikan fasilitas pendanaan maupun
asistensi dalam pembangunan di wilayah tersebut. Program ini dikeluarkan oleh
pemerintah pada tahun 2007. Tujuan PNPM adalah untuk mewujudkan percepatan
pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan.
PNPM yang melibatkan penyediaan barang dan jasa skala kecil, tidak kompleks,
dikerjakan melalui kerjsama lokal (common pool, public, and civil goods) juga akan
membantu pemerintah dalam merumuskan program pembangunanyang efisien dan efektif
(bahkan menghemat 30-40 % jika dibandingkan dengan menggunakan kontraktor ) di
masing-masing daerah. Disamping itu, pendektan pemberdayaan masyarakat dalam
PNPM cenderung mendorong keberlanjutan program yang relatif lebih tinggi jika
dibandingkan dengan proyek sektoral yang dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta.,
khususnya karena adanya unsur pemilikan (ownership) dalam masyarakat terhadap
program (hasil program). Dalam upaya mencapai tujuan PNPM, strategi yang diterapkan
adalah melalui pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan mendayagunakan
seluruh potensi dan sumber daya lokal termasuk sumber daya manusia, alam , teknologi,
sosial, budaya, dan ekonomi yang difasilitasi oleh pemerintah.
Terkait dengan pelaksanaan program PNPM Mandiri, sejumlah pihak menyatakan respon
positif terhadap rpogram PNPM. J . Victor Bottini, Senior Social Development Specialist
World Bank, menyatakan bahwa PNPM Mnadiri perlu dipermanenkan atas pertimbangan
efektivitas penggunaan anggaran maupun sasaran pemberdayaannya (Koran Sindo, 2008).
Efektivitas penggunaan anggaran terlihat dari minimnya tingkat kebocoran dan ketika
disalurkan ke masyarakat sasaran, yaitu kurng dari 1 % (berdasarkan audit Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan lembaga audit independen Moores Rowland)
dari total bantuan yang disalurkan sebesar 3,8 triliun rupiah. Disamping itu, tingkat
penyerapan tenaga kerja baru pada kawasan yang memiliki PNPM Mandiri juga relatif
tinggi. Dalam ruang lingkup lokal, program PNPM Mandiri satu desa bisa menciptakan
rata-rata 60 hari kerja. Meskipun memiliki prospek yang baik, daya serap program PNPM
di berbagai wilayah Indonesia belum maksimal, yaitu 79% pada Desember 2008. Daya
serap yang belum maksimal ini disebabkan oleh adanya penolakan dari sejumlah daerah
dari pelaksanaan program PNPM Mandiri di daerahnya karena keengganan daerah untuk
menyediakan dana pendamping dari daerahnya untuk PNPM Mandiri dengan alasan karena
dasar hukum penyediaan dana daerah untuk program ini tidak jelas maupun faktor lain dan
adanya kecurigaan beberapa Bupati dan Walikota serta kalangan di DPRD bahwa program
PNPM Mandiri merupakan program kampanye terselubung pemerintah dalam Pemilu 2009
yang lalu.
Paket kebijakan perbaikan iklim investasi tahap I yang dituangan dalam Intruksi Presiden
(Inpres) No 3 Tahun 2006 berisi tentang serangkaian program dan tindakan untuk
meningkatan iklim instasi di Indonesia. Paket kebijakan ini terdiri dari paket kebijakan
infrastruktur, paket kebijkan investasi, dan paket kebijakan sektor keuangan ( adiningsih,
et. Al, 2008). Paket kebijakan infrastruk tersebut memuat upaya-upaya untuk
meningkatkan aliran masuk investasi dengan cara meningkatkan daya tarik inestasi dari
sisi infrastruktur, terutama melalui pembangunan sarana transportasi, penyediaan energi
dan telekomunikasi. Sementara itu, paket kebijakan investasi dan sinkronisasi pemerintah
pusat dan daerah, program- program dibidang kepabeanan dan cukai, pemberlakuan
insentif pajak untuk investasi dan revisi pajak petambahan nilai (PPN) untuk
mempromosikan ekspor, kebijkan mengenai hubungn industrial dsan penciptaan pasar
tenaga kerja yang fleksibel dan produktif, serta kebijakan dukungan bagi usaha kecil,
menengah dan koperasi.
Paket kebijakan perbaikan iklim investasi tahap II dikeluarkan pada tahaun 2007. Paket
kebijkaan ini difokuskan pada percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Paket kebijakan yang dituangkan dalam
Inpres Nomor 6 tahun 2007 meliputi perbaikan iklim investasi, reformasi sektor keuangan,
percepatan pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan UMKM. Paket ini merupakan
kelanjutan dari Inpres Nomor 3 Tahun 2006. Paket pertama dalm Inpres No 6/2007
bertujuan untuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dengan program
penyusunan peraturan perundangan yang terkait dengan penanaman modal. Program ini
merupakan respon dari tidak adanya sinkronisasi antara peraturan pusat dan peraturan
pemerintah daerah yang potensial untuk menghambat pertumbuhan investasi. Paket ini
juga mencakup program kelancaran arus barang, kepabeanaan dan perpajakan. Paket
kedua mencakup kebijakan untuk memperkuat mekanisme koordinasi serta keuangan
dengan program penyusunan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan ( JPSK), kerangka
kerja yang melandasi pengaturan mengenai skim asuransi simpanan, mekanisme
pemberian fasilitas pembiayaan darurat oleh bank sentral, kebijakan penyelesaian krisis
serta perincian tugas dan tanggung jawab lembaga terkait, yakni Departemen Keuangan,
BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemain dalam jaring pengaman
keuangan. Paket ketiga memuat kebijakan penyempurnaan peraturan perundang-undangan
dengan memperkuat kelembagaan dan meningkatkan manajemen infrastruktur. Program
ini akan menaungi peningkatan akses kelistrikan di pedesaan, percepatan penyediaan
rumah, dan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Selanjutnya, paket yang keempat
berisi tentang upaya peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan. Kebijakan ini
akan mengoptimalkan penggunaan dan non-perbankan untuk pemberdayaan UMKM,
mendorong tumbuhnya kewirausahaan yang berbasis teknologi, serta mendorong
berkembangnya institusi dan kreasi produk UMKM. Inpres No 6/2007 memuat 141 aksi di
19 instansi dengan tujuan untuk meningkatkan iklim investasi. Setiap kebijakan yang ada
dalam lampiran Inpres itu dirinci dalam bentuk program, tindakan, keluaran, dan sasaran
yang terukur disertai dengan Menteri/ Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen
(LPND) yang bertanggung jawab untuk pengemplementasiannya.
Efektivitas paket kebijakan iklim investasiperlu dilihat dari dampak kebijakan tersebut
terhadap sektor riil dan UMKM. Dilihat dari kinerja ekonomi (dibandingkan dengan
negara- negara ASEAN lainnya), Indonesia belum bisa dikatakan termasuk best performer.
Hal ini terlihat dari besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita Indonesia
(US$1.925) yang hanya menduduki peringkat 4 dari 8 negara ASEAN pada tahun 2007.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru didominasi oleh sektor pertanian
yang sedang mengalami peningkatan karena adanya musim panen , sedangkan industri
hanya menyumbang pertumbuhan ekonomi sekitar 6%. Meskipun demikian, pencapaian
ranking Indonesia yang semakin meningkat menurut doing business 2009 (salah satu
produk World Bank ), menunjukan bahwa iklim investasi di Indonesia cenderung semakin
membaik (Tabel 9.1).
Terkait dengan UMKM , menurut Kuncoro (2008) reformasi UMKM Masih “jalan
ditempat” karena sektor ini menghdapi msalah menurunnya jumlah perusahaan dan
penciptaan lapangan kerja, serta menghadapi banyak tantangan yang tidak banyak disentuh
oleh paket kebijakan perbaikan ilim investasi, seperti tidak adanya pembagian kerja,
keterbatasan link dengan lembaga kredit formal , keterbatasan status badan hukum,
pengadaan bahan baku dan kebutuhan tenaga kerja terampil. Salah satu kegagalan utama
lainnya dalam pelaksanaan paket kebijkana perbaikan iklim investasi adalah proses
percepatan pembangunan infrastruktur yang berjkalan lambat karena adanya Tiga kendala
utama, yaitu keterbatasan input dan target yang terlalu ambisius, kendala dalam pengadaan
tanah untuk proyek infrastruktur , serta proyek infrastruktur yang minim dengan persiapan
(sebagai contoh , belum ada satupun proyek pembangunan jalan tol di Indonesia yang
memiliki dokumen spesifikasi proyek persyaratan utama dalam pembangunan jalan tol)
(Kuncoro , 2009)
Tabel 9.1
Indikator Iklim Infestasi menurut Doing Business Ranking 2007 dan 2008
Kemudahan Melakukan Peringkat 2006 Peringkat 2008
Melakukan bisnis 135 129
Memulai bisnis 161 171
Pengurusan dokumen 131 80
Mempekerjakan pegawai 140 157
Mengakses kepemilikan 120 107
Memperoleh kredit 83 109
Melindungi investor 60 53
Membayar pajak 133 116
Perdagangan anternegara 60 37
Penegakan kontrak 145 140
Menutup bisnis 136 139
Sumber : www.doingbusiness.org
Terkait dengan efektivitas program KUR, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah, secara keseluruhan menunjukkan bahwa peminjam maupun nilai pinjaman
KUR cenderung terus bertambah dari waktu ke waktu (Gambar 9.1, 9.2, dan 9.3). Hal ini
mengindikasikan bahwa KUR yang dapat diakses masyarakat semakin tinggi.
Pertumbuhan secara terus-menerus tersebut juga menunjukkan bahwa produk serta
mekanisme pelaynan KUR diterima dan memberi manfaat bagi masyarakat . Meskipun
demikian , percepatan penyaluran KUR , secara keseluruhan diakhir tahun 2008 dan awal
tahun 2009 cenderung semakin melambat. Menurut Munthe (2009), hal ini terjadi karena
penyaluran KUR untuk koperasi dan UMKM hanya dapat diakses melalui enam bank
pelaksana . Akibatnya , wilayah penyaluran KUR juga terbatas pada wilayah operasi
keenam bank pelaksana tersebut.
Gambar 9.3 menunjukkan bahwa sekitar 70 % total KUR disalurkan oleh BRI. Meskipun
demikian, rata-rata pinjaman per debitur yang disalurkan BRI jauh lebih rendah daripada
bank pelaksana lain. Hal ini dapat terjadi karena sekitar 96% debitur KUR merupakan
debitur BRI, salah satu bank tertua di Indonesia yang unit-unitnya tersebar di berbagai
wilayah Indonesia dan sudah dikenal oleh rakyat. BRI yang luas dan BRI rata-rata
pinjaman BRI yang jauh lebih rendah daripada bank pelaksana lain mengindikasikan
bahwa, dibandingkan dengan bank pelaksana lain, BRI lebih banyak melayani pengaju
pinjaman berskala kecl ( dimana kelompok masyrakat yang mengakses pinjaman berskala
kecil biasanya adalah masyarakat berpendapatan rendah ). Nilai kredit dan jumlah debitur
KUR BRI yang lebih tinggi dan rata-rata pinjaman KUR BRI daripada bank pelaksana
lainnya menunjukkan bahwa BRI merupakan bank pelaksana KUR yang paling efektif
dalam menjangkau masyarakat, baik dari sisi jumlah nasabah (kuantitas) maupun sisi
tingkat kemiskinan (kualitas) nasabah yang dilayani.
Gambar 9.1
Nilai KUR yang Disalurkan Berdasarkan Bank Pelaksana
Gambar 9.2
Jumlah Debitur KUR Berdasarkan Bank Pelaksana
Gambar 9.3
Rata-rata Pinjaman KUR Berdasarkan Bank Pelaksana
LATIHAN
RANGKUMAN
Globalisasi merupakan sebuah proses menuju ke arah globalisasi, suatu kondisi dimana terdapat
institusi ekonomi, politik, budaya, dan lingungan global yang menghubungkan sistem-sistem
kemasyarakatan dalam kehidupan umat manusia sehingga membuat perbedaan dan batasan yang
ada di dunia menjadi tidak relevan (Steger, 2003). Gambaran yang lengkap tentang fenomena
yang menyertai globalisasi dinyatakan oleh Carnoy (1999) sebagai berikut :
Globalization means more competition, not just with other companies in the same city or the
same region. Globalization also means that nation’s invesment, production and innovation
are not limited by national borders. Everythings including relation among family and
friends, is space and time. Companies in Europe, United States of America and Japan can
produce chips in Singapore, keypunch data in India or the people;’s Republic of China,
outsource clerical work to Ireland or Mexico, and sell worldwide, barely concern about the
long distance or teh variety of cultures inolved. Even children watching televisions or
listening to radio are re-conceptualizing their ‘world’ in terms of the meaning that they
attach to music, the environment, sports, or race and ethnicity (Carnoy, 1999 :13)
Globalisasi terjadi seiring dengan semakin banyaknya bentuk penemuan metode, penciptaan
produk baru, dan penggandaan praktik ataupun produk yang sebelumnya ada. Sebagai
contoh, penemuan mesin uap dan alat telekomunikasi yang selanjutnya diaplikasikan di
berbagai penjuru dunia atau produk McDonald dan Coca Cola yang saat ini tersedia diseluruh
belahan bumi dan bisa dinikmati oleh hampir semua orang diseluruh dunia.
Globalisasi juga ditandai dengan perluasan dan pemekaran dalam konteks ruang dan waktu.
Semua aktivitas , hubungan dan proses berlangsung pada saat yang bersamaan (real time)
dalam skala global dan berlangsung selama 24 jam . Bentuk perluasan dan pemekaran dalam
konteks ruang dan waktu ini etrlihat, misalnya dengan operasi pasar finansial global, jasa
komunikasi inetrnasional, transaksi perdagangan on-lime. Hal ini dimungkinkan adanya
teknologi yang mampu mengatasi kendala ruang maupun waktu . Perluasan dan pemekaran
ini, selanjutnya mendorong hubungan saling ketergantungan antara umat manusia yang
tinggal di berbagai wilayah.
3. Perubahan Atribut dalam Sistem Ekonomi
Tabel 9.2
Perbandingan Atribut Sistem Ekonomi Pra Globalisasi dan Era Globalisasi
Pertama, adanya sejumlah revolusi dalam kehidupan manusia yang terus berlangsung sejak 3
abad lalu. Revolusi ini dimulai dengan revolusi industri (1750), revolusi transportasi (1850),
revolusi teknologi informasi (1950), dan revolusi teknologi komunikasi (2000). Tahapan-
tahapan revolusi tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.3
Sejumlah revolusi etrsebut terjadi karena adanya sejumlah penemuan dan penerapan
perkembangan teknologi dalam aktivitas kehidupan manusia
Tabel 9.3
Skema Revolusi Baru dalam Masyarakat
Revolusi
Revolusi Revolusi Revolusi
Teknologi
Industri Transportasi Komunikasi
Informasi
(1750) (1850) (2000)
(1950)
Globalisasi merupakan suatu fenomena yang akan terus berjalan dan tidak dapat dicegah oleh
siapapun dan negara manapun. Globalisasi dapat menimbulkan sejumlah dampak positif
maupun negatif bagi pembangunan di setiap negara. Oleh karena itu, setiap individu maupun
pemerintah suatu negara perlu memiliki kemampuan untuk mengantisipasi dan mengolah
berbagai dampak tersebut menjadi kesempatan untuk meningkatkan pembangunan di negaranya.
Untuk mencapai tujuan tersebut , terlebih dahulu diperlukan suatu pemahaman yang cukup
mengenai dampak globalisasi terhadap pembangunan. Dalam hal ini, pembangunan
didefinisikan sebagai proses naiknya pendapatan perkapita secara terus menerus yang disertai
perubahan –perubahan besar di dalam struktur sosial , perilaku masyarakat, perbaikan sisterm
kelembagaan, kemerataan distribusi pendapaatn, dan pengentasan kemiskinan ( Arsyad,2000).
Tabel 9.2
Indikator Utama Globalisasi, 1990-2004
Perdagangan Aliran Investasi Portofolio
Barang
FDI (Juta US$) Modal Swasta ( Juta
Klasifikasi Negara internasional Obligasi (Juta US$)
(%GDP) US$)
1990 2004 1990 2004 1990 2004 1990 2004
624,79
World 32.4 44.9 201,413 n.a n.a n.a n.a
7
Low Income 24 38 2,233 17,031 116 3,99 7 8,899
Lower-Middle 111,02
32 58 10,307 388 9,711 545 13,653
income 3
Upper-Middle
38 67 10,216 83,331 577 29,297 2,838 15,007
income
High Income 32 42 178,657 413,41 n.a n.a n.a n.a
2
Sumber : World Development Indicators , (2006)
Tabel 9.2 menunjukkan sejumlah indikator yang biasa digunakan untuk menunjukkan tingkat
globalisasi suatu perekonomian. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa, dalam kurun
waktu 14 tahun, peran perdagangan internasional semakin berperan dalam perekonomian setiap
kelompok negara maupun dalam perekonomian dunia. Hal ini diindikasi oleh data yang
menunjukkan bahwa proporsi ekspor dan impor barang (perdagangan barang internasional)
meningkat secara signifikan diberbagai kelompok negara maupun dunia, bahkan hampir dua kali
lipat untuk kelompok negara berpendapatan menengah (middle income countries ). Sementara
itu, untuk kelompok negara berpendapatan rendah dan tinggi ( low and high income countries),
perkembangannya cenderung lambat dibandingkan kelompok negara berpendapatan menengah.
Seperti perdaganagan internasioanl barang , pertumbuhan aliran investasi langsung (FDI) juga
berkembang sangat pesat, bahkan hampir 10 kali lipat untuk negara berpendapatan menengah
kebawah ( lower-middle income countries ). Meskipun demikian, perkembangan FDI didunia
didominasi oleh pertumbuhan FDI negara berpendapatan tinggi yang besarnya 66% dari FDI
dunia. Semenatra itu, data menunjukkan bahwa aliran investasi portofolio berbagai kelompok
negara meningkat jauh lebih pesat dibandingkan perdaganagn barang internasional maupun FDI ,
khususnya untuk kelompok negara berpendapatan rendah dan menengah kebawah . Pencapaian
indikator tersebut di berbagai klasifikasi negara mengindikasikan bahwa tingkat integrasi
dengan perekonomian global dan perkembangan globalisasi negara- negara yang termasuk
kelompok negara berpendapatan rendah dan menengah bawah low, meningkat dngan sangat
cepat selama periode 1990-2004. Meskipun demikian, perkeonomian global cenderung dikuasai
olh negara-negara yang termasuk negara berpendapatan tinggi, melalui perusahaan-perusahaan
transnasional dan multinasional (TNCs dan MNCs) yang mereka miliki (Hartono, 2006,
International Forum on Globalization , 2003).
Proses globalisasi yang begitu cepat dengan pola yang cenderung memusat pada sebagian kecil
pelaku pasar tersebut memiliki sejumlah dampak bagi pembangunan setiap negara Dampak
globalisasi bagi setiap negara cenderung berbeda-beda . Hal ini terutama terjadi karena
perbedanan akses setiap negara terhadap faktor pendukung globlisasi terutama akses terhadap
informasi, komunikasi, dan teknologi, baik karena perbedaan kharakteristik sumber daya
manusia, lingkungan , sistem sosial maupun institusi-institusi lainnya dalam suatu negara.
Meskipun demikian, Worldbank menyediakan perkembangan indikator pembangunan
lingkungan, ekonomi, dan sosial maupun data perkembangan globalisasi yang diagregasikan
pada tingkat dunia maupun kelompok negara. Oleh karena itu, ketersediaan dua jenis indikator
tersebut pada periode yang relatif sama dapat menjadi sarana untuk memperkirakan dampak
globalisasi terhadap pembangunan di dunia maupun berbagai kelompok negara.
Tabel 9.4
Indikator Pembangunan Lingkungan 1990- 2005
Data pada tabel 9.3 menunjukkan bahwa pada periode 1990-2005, alih fungsi hutan alami menjadi
lahan pertanian, pemukiman , dan pembangunan infrstruktur semakin tinggi dunia, kecuali di
negara yang termasuk kelomppok negara berpendapatan tinggi. Sementara itu, ketergantungan
input produksi listrik terhadap sumber daya yang tidak dapat diperbaharui masih sangat tinggi,
bahkan cenderung terus meningkat, untuk seluruh kelompok negara, kecuali kelompok negara
berpendapatan menengah ke atas dan tinggi. Selanjutnya, tingkat kemcetan di dunia cenderung
tersu meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di seluruh kelompok
negara. Meskipun demikian, konsentrasi partikel dan emisi karbon dioksida dikelompok negara
cenderung menurun. Sejumlah indikator pembangunan lingkungan tersebut mengindikasikan
bahwa kualitas dan kenyamanan lingkungan , pada periode 1990-2005, cenderung semakin
menurun sebagai akibat proses eksploitasi lingkungan dan penggunaan kendaraan bermotor yang
cenderung semakin meningkat . Meskipun demikian, terdapat kecenderungan bahwa setiap negara
melakukan upaya penanganan polusi lingkungan dan berhasil mengurangi laju polusi lingkungan.
Tabel 9.4
Indikator Pembangunan Lingkungan 1990- 2005
Pengeluaran Pertumbuhan
Rata-rata Tingkat Tingkat Kematian
Pendapatan per Pemerintah per Murid Tingkat
Pertumbuhan Pengangguran Balita (per 1000
Klasifikasi Negara Kapita (US$) Tingkat Pendidikan Kesamaan
Ekonomi (%) (%) kelahiran)
tersir (% dari GDP) Gender (%)
Dampak globalisasi terhadap pembangunan di berbagai negara maupun kelompok negara dapat
diketahui dari berbagai studi empiris terkait yang pernah dilaukan sebelumnya. Banyak studi yang
menganalisis dampak globalisasi terhadap aspek pembangunan . aspek yang menjadi fokus
pembahasan dalam berbagai studi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu ( 10
lingkungan, (2) manajemen dan bisnis, (3) sosial-budaya, (4) ekonomi. Tabel 5.5 menunjukkan
hasil temuan dari studi yang dilakukan oleh pakar mengenai dampak globalisasi terhadap
pembangunan yang dikelompokkan berdasarkan empat aspek tersebut.
Tabel 5.5
Studi tentang Dampak Globalisasi terhadap Pembangunan
Aspek Dampak Positif Dampak Negatif
Adopsi produk (teknologi) yang mampu Perubahan iklim, pemanasan global dan
Lingkungan mengurangi tingkat kerusakan dan penyakit yang ditimbulkannya,
penurunan kualitas lingkungan peningkatan potensi bencana.
Mendorong adanya sejumlah perubahan
Mendorong adopsi sistem perdagangan
kebijakan yang mungkin tidak dapat
berbasis inetrnet (e-commerce) dan
diterima secara penuh oleh pegawai
meningkatkan kinerja perusahaan, dalam
sehingga mengganggu pikiran dan mindset
hal efisiensi, koordinasi, proses transaksi
pegawai dan selanjutnya dapat mengurangi
Manajemen perdagangan dan penjualan
kompetensi dan kinerja pegawai
dan Bisnis
Meningkatkan aktivitas benchmarking , Mengurangi motivasi pegawai untuk
operasi yang lebih transparan dan melakukan inovasi berdasarkan kondisi
memperluas kesempatan untuk meniru penduduk dan instutusi di wilayah
(mengaplikasikan) best practices operasinya
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara
dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional
dipercaya mampunyai sejumlah dampak positif bagi pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Pertama, perdagangan internasional dapat meningkatkan akses terhadap pasar produk yang lebih
luas dan memiliki daya beli tinggi sehingga selanjytnya dapat mendorong penjualan dan
keuntungan dari perdagngan. Kedua, perdaganagan internasional dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi yang selanjutnya dapat mendukung upaya penghimpunan cadangan devisa, peningkatan
lapangan kerja dan diversivikasi usaha. Ketiga , perdagangan internasional dapat meningkatkan
akses terhadap teknologi baru sehingga dapat meningkatkan produktvitas dan daya saing industri
dalam negri . eempat, perdagangan internasional dapat meningkatkan akses terhadap barang-
barang konsumsi yan lebih murah sehingga dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan dan
meningkatkan daya beli masyarakat , termasuk masyarakat miskin. Di samping dampak positif
tersebut, perdagangan internasional juga dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif bagi
pihak-pihak yang terlibat didalamnya , terutama negara berkembang . Beberapa diantaranya dua
faktor berikut . Pertama, perdagangan internasional dapat menaikkan tingkat ketimpangan
karena keuntungan dari perdagangan internasional cenderung leebih banyak dinikmati oleh
sebagian kecil masyarakat, yaitu pelaku usaha skala besar dan negara maju. Kedua, perdagangan
internasional juga menyebabkan kehancuran usaha produsen domestik , khususnya yang
memiliki skala usaha kecil dan teknologi sederhana karena tidak mampu menyaingi serbuan
produk impor yang lebih murah.
Adanya dampak positif maupun negatif dari perdagangan internasional maupun adanya tekanan
dari berbagai pihak mendorong setiap negara menerapkan berbagai kebijakan perdagangan yang
dianggap mampu memaksimalkan kesejahteraan negaranya, baik yang bersifat mendukung
maupun menghambat terjadinya perdagangan internasional. Kebijakan perdagangan tersebut
meliputi kebijakan nontarif serta sejumlah strategi perdagangan , seperti proteksi industri balita
subsitusi impor , promosi ekspor. Meskipun demikian, sering kali penentuan kebijakan
perdagangan internasional di banyak negara berkembang terjadi karena adanya pengaruh atau
tekanan dari berbagai pihak , seperti lembaga keuangan dan perdagangan internasional dan
negara maju.
1. Tarif
Tarif adalah pungutan sejenis pajak yang dikenakan oleh suatu negara atas barang-barang
yang diimpor. Jenis tarif , meliputi tarik spesifik (Specific tariffs) dan tarif ad valorem ( ad
valorem tariffs). Tarif spesifik merupakan pungutan sejenis pajak yang dikenakan sebagai
beban tetap atas unit barang yang diimpor. Dalam hal ini, penentuan besarnya nilai tarif tidak
memperhatikan harga suatu barang yang diimpor. Sebagai contoh,tarif yang dikenakan oleh
negara Amerika Serikat adalah US $10 untuk setiap barel minyak yang diimpor oleh negara
tersebut. Tarif ad valorem adalah pungutan sejenis pajak yang nilainya ditentukan
berdasarkan presentase tertentu dari nilai (harga) barang yang diimpor. Sebagai contoh,
pemerintah Indonesia menerapkan tarif sebesar 25% atas mobil yang diimpor. Penetapan tarif
ini disuatu negara akan menjadi hambatan masuknya produk impor ke negara tersebut karena
akan meningkatkan biaya pengiriman barang ke suatu negara. Meskipun demikian, tarif dapat
menjadi alat proteksi untuk melindungi produsen dalam negeri dari persaingan dengan produk
impor dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang menetapkan kebijakan tarif.
2. Kuota Impor
Kuota Impor merupakan kebijakan dari suatu negara yang mengatur , secara langsung jumlah
barang maksimun yang boleh diimpor dalam periode waktu ke waktu tertentu. Pembatasan
ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu
atau perusahaan . Misalnya, Amerika Serikat membatasi jumlah impor daging kambing.
Hanya perusahaan- perusahaan dagang tertentu yang diberi lisensi saja yang diizinkan
mengimpor daging kambing. Kepada setiap perusahaan tersebut, diberikan jatah untuk
mengimpor mengimpor sejumlah tertentu daging setiap tahunnya. Oleh karena itu, impor
daging oleh setiap perusahaan yang diberikan lisensi tersebut tidak boleh melebihi jumlah
maksimal yang telah ditetapkan . Dampak dari kebijakan kuota impor tidak berbeda dengan
tarif. Dari penerapan kuota impor, pemerintah memperoleh penerimaan atas pemberian
lisensi impor berupa quota rent.
Pengekangan ekspor sukarela atau juga dikenal dengan istilah kesepakatan pengendalian
sukarela (voluntary restraint agreement) adalah suatu pembatasan atas perdagangan yang
diterapkan oleh pihak negara pengekspor, bukan pihak negara pengimpor. Pengekangan
ekspor sukarela , pada umumnya dilaksanakan atas permintaan negara pengimpor dan
disepakati oleh negara pengekspor untuk membatasi ekspor ke negara pengimpor.
Pengekangan ekspor sukarela mempunyai keuntungan – keuntungan politis dan legal yang
membuat kebijakan ini menjadi perangkat kebijakan perdagangan yang banyak digunakan
oleh berbagai negara.
5. Pengendalian Pemerintah
6. Hambatan-hambatan Legal
Hambatan-hambatan legal (red tape barriers) merupakan kebijakan yang diterapkan oleh suatu
Negara terkait dengan kesesuaian jenis produk yang diperdagangkan dengan standar kesehatan,
keamanan, dan prosedur kepabeanan tertentu. Dalam hal ini, ketika suatu produk tidak memenuhi
berbagai standar tersebut maka produk tersebut tidak dapat masuk ke negara yang menerapkan
hambatan-hambatan legal tersebut. contoh dari hambatan legal adalah ISO atau persyaratan eco-
labelling. Standar ISO atau eco-labelling menekankan pada proteksi terhadap lingkungan dan
kesehatan manusia. Sebagai contoh, dari hambatan-hambatan legal adalah kebijakan Negara
Eropa yang mensyaratkan bahwa sayur dan buah-buahan yang diimpor dari negara asing, termasuk
Indonesia, harus sesuai dengan kriteria negara pengimpor di Eropa. Contoh lainnya, Surat
Keputusan Pemerintah Perancis 1982 yang mengharuskan seluruh alat perekam kaset video harus
melalui jawatan pabean di Poltiers.
7. Embargo
Embargo adalah kebijakan suatu negara yang mengatur larangan bagi warga negaranya untuk
melakukan perdagangan sejumlah jenis barang dengan pelaku usaha dari negara lain. Embargo
biasanya dilatarbelakangi oleh alasan-alasan politis atau motif nonekonomi lainnya. Sebagai
contoh, Amerika Serikat melakukan embargo terhadap produk dari sejumlah negara yang dianggap
melanggar hak asasi manusia. Indonesia menjadi salah satu negara yang pernah menjadi objek
embargo atas penjualan senjata Amerika. Meskipun demikian, embargo ini sudah dicabut pada
tahun 2005.
Subsidi ekspor adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan melakukan pembayaran
sejumlah nilai tertentu kepada perusahaan atau perseorangan yang mengekspor barang ke luar
negeri. Penentuan nilai subsidi ekspor dapat berbentuk spesifik (nilai tertentu per unit barang) atau
ad valorem (persentase dari nilai yang diekspor). Subsidi kredit ekspor semacam dengan subsidi
ekspor. Akan tetapi, subsidi tidak diberikan atas barang yang dieskpor, namun atas kredit yang
dilakukan untuk melakukan kegiatan ekspor (bentuknya dapat berupa bunga kredit ekspor yang
rendah atau kemudahan prosedur kredit). Tujuan kedua kebijakan ini adalah meningkatkan ekspor.
Jika pemerintah memberikan subsidi ekspor, eksportir akan mengekspor barang sampai batas di
mana selisih harga domestik dan harga luar negeri sama dengan nilai subsidi. Dampak dari subsidi
ekspor ini adalah meningkatnya harga barang ekspor di negara pengekspor karena kuantitas barang
yang dijual menurun dan menurunnya harga barang di negara pengimpor karena kuantitas barang
yang dijual meningkat.
9. Dumping
Dumping merupakan upaya untuk menjual barang ke luar negeri dengan harga yang lebih
murah daripada harga domestic. Menurut Kreinin (2002), ada tiga skema dumping. Pertama,
sporadic dumping yang terjadi karena adanya kelebihan stok di dalam negeri. Kedua, predatory
dumping yang terjadi karena adanya keinginan pelaku pasar untuk menyingkirkan competitor
dengan menerapkan harga yang lebih murah dan, selanjutnya, menguasai pasar. Kebijakan ini
bersifat merusak dan akan menimbulkan persaingan tidak sehat di pasar. Ketiga, persistent
dumping yang terjadi karena adanya perilaku monopolis domestik yang ingin memaksimalkan
keuntungan yang maksimal. Dalam hal ini, terdapat fenomena bahwa suatu monopolis yang
terhindar dari persaingan impor (misalnya karena adanya pembatasan yang dilakukan pemerintah
terhadap impor) tidak mampu menjual seluruh barangnya di pasar domestik karena adanya sebagian
konsumen dari produk monopolis yang tidak mau atau tidak mampu membeli barang pada harga
yang ditetapkan monopolis (lebih memilih produk sejenis dari luar negeri dengan harga yang lebih
murah). Untuk mempertahankan penjualan produknya dan memaksimalkan keuntungannya,
monopolis tersebut menjual produknya di luar negeri dengan harga yang lebih murah. Kebijakan
ini berakibat buruk pada produsen, namun menguntungkan konsumen, di Negara yang menerima
produk dumping.
Pada bagian sebelumnya, telah dibahas sejumlah kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah
untuk membatasi perdagangan internasional (ekspor dan impor). Ada tiga strategi utama yang
sering digunakan oleh berbagai negara dalam perdagangan internasional, yaitu proteksi industry
balita (infant industry protection), industry substitusi impor (ISI) dan industri promosi ekspor (IPE).
Dalam debat ekonomi, sering kali adanya kesalahan pemahaman bahwa strategi proteksi industry
balita dan strategi substitusi impor merupakan lawan dari strategi promosi ekspor. Padahal
sebenarnya, menurut sejumlah penggagas berbagai strategi tersebut (Frederick List dan Raul
Prebisch), ketiga strategi tersebut merupakan tahapan-tahapan menuju kedewasaan perekonomian
dan terwujudnya perdagangan bebas yang mampu menyejahterakan pelaku-pelakunya, dengan
syarat dilakukan secara terpadu.2
Strategi proteksi industry balita dikemukakan pertama kali oleh Alexander Hamilton (1791) dan
selanjutnya diformulasikan dan dibangun oleh Federick List. Strategi proteksi industry balita
menyatakan bahwa industry baru yang kurang efisien harus dilindungi dari pesaing luar negeri yang
lebih efisien. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa industry baru memerlukan proses untuk
menjalani beberapa tahapan berikut, yaitu (a) proses pembelajaran produksi, pemasaran dan
distribusi; (b) pembangunan citra (image), merek (brand) dan reputasi; serta (c) adaptasi dan
pembangunan teknologi (Shafaeddin, 2000). Dalam hal ini, apabila industry baru mendapat
proteksi maka industry tersebut mempunyai waktu untuk mengembangkan teknologi, sumber daya
manusia dan teknik pemasaran, akhirnya mencapai skala ekonomi (Hartono, 2006). Meskipun di
sejumlah negara, seperti Korea Selatan dan Taiwan, kebijakan ini mencapai keberhasilan, sejarah di
NSB menunjukkan bahwa terdapat keengganan industry balita untuk menerapkan teknologi baru
dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya sehingga tidak pernah menjadi dewasa dan
tergantung pada bantuan pihak luar, terutama pemerintah.
Strategi substitusi impor adalah strategi yang menyatakan bahwa pembangunan harus dimulai
dengan penggantian berbagai macam produk yang sebelumnya diimpor dengan produk bauatan
dalam negeri. Proses penggantian ini diawali dengan penggantian produk-produk konsumen yang
sederhana, selanjutnya diikuti dengan penggantian produk-produk manufaktur mengandung
teknologi cukup tinggi. Selama proses ini berlangsung, pemerintah harus melindungi berjalannya
proses penggantian ini dengan mencegah persaingan dari produk impor, baik melalui penerapan
kebijakan tarif, kuota ataupun kebijakan lainnya terhadap produk impor yang dapat menyaingi
produk dalam negeri. Pada tahap selanjutnya, pemerintah mulai mendorong diversifikasi industry
di dalam negeri dan melakukan upaya peningkatan kemampuan industri domestik dalam melakukan
ekspor sambil mengurangi sejumlah proteksi yang diberikan secara bertahap seiring dengan
meningkatnya skala ekonomi, keahlian, teknologi, dan kemampuan menghasilkan barang dengan
output yang harganya bersaing.
Strategi promosi ekspor adalah strategi yang menyatakan bahwa pembangunan harus
dilaksanakan dengan mamacu ekspor produk domestik, baik komoditas primer maupun manufaktur.
Prinsip yang mendasari strategi promosi ekspor ini adalah prinsip efisiensi dan keuntungan yang
terkandung dalam kompetisi dan perdagangan bebas antarnegara. Dalam hal ini, terlibatnya suatu
negara dalam perdagangan bebas (melalui produk ekspornya) akan meningkatkan upaya industry di
negaranya untuk meningkatkan efisiensi produksi dan memperbesar peluang untuk memperoleh
pasar produk yang lebih luas, selanjutnya mendorong perkembangan industry domestik. Strategi
promosi ekspor ini dilakukan dengan melakukan penghapusan hambatan perdagangan dan berbagai
macam proteksi yang dianggap menghambat terjadinya perdagangan antarnegara serta
menimbulkan distorsi harga dan biaya.
Perdagangan bebas adalah mekanisme perdagangan yang mensyaratkan tidak adanya hambatan
dalam melakukan transaksi perdagangan. Dalam hal ini, perdagangan bebas berkeyakinan bahwa
hambatan-hambatan perdagangan antarnegara harus dihilangkan melalui upaya liberalisasi
perdagangan, seperti penerapan penghapusan tarif dan bentuk proteksi lainnya maupun pengikisan
distorsi harga akibat adanya konstelasi kekuatan permintaan atau penawaran di pasar. Sementara
itu, proteksi adalah segala upaya dan tindakan yang dilakukan oleh suatu negara untuk melindungi
produk local negara tersebut dari kompetisi produk impor melalui penerapan sejumlah kebijakan
perdagangan yang pada umumnya menghambat terjadinya perdagangan bebas. Praktik yang
bertolak belakang antara perdagangan bebas dan perdagangan dengan proteksi menimbulkan debat
antara kelompok yang mendukung perdagangan bebas dan kelompok yang mendukung perlunya
perdagangan dengan proteksi. Perdebatan antardua kelompok ini didasari oleh berbagai argument
yang dirangkum pada Tabel 9.6.
Tabel 9.6.
Argument Pendukung Perdagangan Bebas dan Pendukung Perdagangan dengan Proteksi
1. Penghapusan hambatan perdagangan (baik tarif maupun nontarif) Perlunya perlindungan terhadap
dapat menciptakan peluang pasar baru bagi berbagai Negara untuk industry balita (infant industry
mengekspor produknya argument)
2. Daya beli masyarakat akan meningkat karena tanpa hambatan Mempertahankan keamanan
perdagangan konsumen akan memperoleh barang dengan harga nasional (national security
yang lebih murah. argument). Dalam hal ini, industry
yang menunjang produksi alat-alat
militer (baja, karet dan besi) dalam
negeri dilindungi sebagai antisipasi
adanya hambatan dari produsen
alat-alat militer di luar negeri
sekaligus sebagai upaya
pengurangan ketergantungan
system pertahanan dan keamanan
terhadap luar negeri.
4. Penurunan atau penghapusan perdagangan dapat menurunkan Adanya ketakutan terhadap tenaga
biaya produksi yang ditanggung oleh produsen yang kerja yang lebih murah (cheap
menggunakan bahan baku dan alat produksi yang diimpor. labour cost argument). Adanya
proteksi dianggap dapat
mempertahankan upah kaum buruh
di negara maju agar tetap tinggi.
Sebaliknya, tidak adanya proteksi
dikhawatirkan akan mendorong
kenaikan tingkat penggunaan buruh
di negara berkembang yang
upahnya lebih murah daripada
Negara maju. Hal ini berpotensi
untuk menurunkan penggunaan
buruh di Negara maju dan
selanjutnya menurunkan upah
buruh di negara maju.
5. Kompetisi dalam perdagangan bebas mendorong industry dalam Ketidaksiapan aktivitas ekonomi di
negeri untuk berproduksi secara efisien dan berinovasi sehingga negara berkembang karena
dapat mendorong peningkatan daya saing produk dalam negeri. banyaknya aktivitas ekonomi yang
menggunakan teknologi sederhana
dan berskala kecil di negara
berkembang.
Kebijakan Washington yang terbukti gagal tersebut direspons U.N. Millennium Project
dengan menyarankan pemberian bantuan (foreign aid) untuk keperluan pembangunan NSB.
Meskipun demikian, pemikiran tersebut terlalu ambisius dan kurang memperhatikan potensi
biaya yang harus ditanggung ketika dana bantuan dikorupsi oleh pemerintah negara yang
diberikan bantuan.
Meskipun banyak pihak sudah menyadari kelemahan rekomendasi kebijakan Washington
Consensus, terdapat sejumlah pihak (seperti IMF dan Anne Krueger) yang menyatakan bahwa
kegagalan penerapan rekomendasi kebijakan Washington Consensus di NSB terjadi karena
upaya stabilisasi, privatisasi dan liberalisasi belum cukup dan masih harus dilanjutkan untuk
mendapatkan hasil yang baik dalam jangka panjang dan belum terciptanya kondisi pasar yang
efisien di NSB, khususnya masih lemahnya sejumlah institusi (terutama institusi perekonomian
dan institusi pemerintahan). Berangkat dari dua argument tersebut, sejumlah pihak yang belum
mau mengakui kegagalan Washington Consensus mengusulkan adanya tambahan sederetan
rekomendasi kebijakan, yang pada intinya menuntut reformasi institusi di berbagai bidang,
untuk melengkapi sejumlah rekomendasi kebijakan Washington Consensus. Penambahan inilah
yang selanjutnya memunculkan wajah baru Washington Consensus atau biasa disebut
Augmented Washington Consensus. Efektivitas Augmented Washington Consensus juga penuh
dengan pertanyaan. Hal ini didasari dua argument. Pertama, terbatasnya jumlah literatur yang
menunjukkan bahwa suatu rancangan institusi tertentu memiliki korelasi dengan pertumbuhan
ekonomi. Kedua, reformasi institusi (apalagi jika harus dilakukan di berbagai bidang)
memerlukan biaya yang mahal bagi NSB yang pertumbuhan ekonominya masih relatif tidak
stabil. Oleh karena itu, reformasi institusi di NSB lebih baik jika dilakukan setelah
perekonomian sudah tumbuh dengan stabil sehingga biayanya dapat dibagi seiring dengan
berjalannya waktu. Ketiga, reformasi institusi di berbagai bidang menunjukkan suatu upaya
yang tidak terfokus dan berpotensi menimbulkan kesalahan sasaran dan pemborosan biaya.
Terkait solusi yang tepat untuk menggantikan sejumlah rekomendasi kebijakan Washington
Consensus, Rodrik (2006) menekankan bahwa tidak ada suatu set rekomendasi yang sama
efeftifnya untuk diterapkan di semua negara. Oleh karena itu, Rodrik mengusulkan perlunya
strategi pertumbuhan (pembangunan) yang terformulasi. Dalam strategi ini, ada tiga tahapan
yang perlu dilakukan. Pertama, analisis diagnosis (diagnostic analysis) untuk menentukan
hambatan utama pertumbuhan (pembangunan) ekonomi pada periode dan wilayah tertentu.
Kedua, pembuatan desain kebijakan (policy sign) untuk menentukan respons dan upaya
pengatasan atas hambatan yang diketahui melalui tahap diagnosis analisis. Ketiga,
melembagakan perubahan (institutionalizing reform) untuk mempertahankan keberlanjutan
pembangunan ekonomi. Tahapan ini dilakukian dengan mengamati perubahan terhadap
hambatan utama pembangunan yang mungkin berubah dari waktu ke waktu.
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!
1. Jelaskan pemahamanmu tentang globalisasi?
2. Jelaskan dampak globalisasi terhadap penanggulangan kemiskinan dan pemerataan
pendapatan terhadap Negara berkembang?
3. Apa sajakah perbedaan antara strategi substitusi impor dan promosi ekspor?
KEGIATAN BELAJAR 3
Pembangunan Berkelanjutan
Beberapa tahun terakhir ini, isu tentang pemanasan global, pencairan es di kutub dunia, fenomena
kerusakan hutan, krisis energi, peningkatan tindak kriminal, degradasi sistem sosial-
kemasyarakatan, tingginya kandungan bahan kimia dalam makanan dan hilangnya kearifan lokal
menjadi isu yang semakin diperhatikan oleh masyarakat.3 Menurut Bossel (1999), berbagai
fenomena yang mengancam keberlanjutan kehidupan alam semesta dan kehidupan di dalamnya
tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem dalam kehidupan masyarakat untuk merespons
berbagai perubahan yang muncul sebagai akibat cepatnya pertumbuhan teknologi, ekonomi, dan
populasi penduduk di dunia. Berbagai fenomena tersebut terjadi karena pembangunan yang sangat
cepat dan kurang berwawasan lingkungan (alam semesta dan kehidupan di dalamnya). Berangkat
dari fenomena dan respons masyarakat tersebut, konsep pembangunan yang berkelanjutan semakin
menjadi perhatian utama masyarakat di dunia (Bossel, 2000).
3
Kearifan dan Kebijaksanaan lokal mencakup teknik-teknik usaha dan warisan budaya yang berkembang dalam
kelompok masyarakat serta peduli terhadap sesama manusia dan alam semesta (Wahono, 2004). Contoh kearifan dan
kebijaksanaa lokal adalah pengelolaan pertanian yang disesuaikan dengan kondisi dan adat daerah, sistem pertanian
organik, pengembangan varietas padi lokal, pengobatan tradisional berbasis alam dan pengelolaan pascapanen melalui
lumbung desa di berbagai wilayah Indonesia, serta pemanfaatan hukum adat untuk mencegah pengambilan sumber alam
pada masa tertentu (sasi) di Maluku.
hal ini, pembangunan (penggunaan sumber daya) pada saat ini akan mempengaruhi pembangunan
(pengunaan sumber daya) pada waktu selanjutnya. Dalam analisis ekonomi dinamis, dalam kasus
pengunaan sumber daya antarwaktu ini, akan dipilih tingkat penggunaan sumber daya yang mampu
mencapai efisiensi dinamis. Dalam hal ini, akan dipilih penggunaan sumber daya untuk masa
selanjutnya yang memberikan nilai tertinggi.
Pencapaian efisiensi dinamis dalam analisis ekonomi, pada umumnya, dilakukan dengan
memberikan pertimbangan utama pada tingkat bunga. Dengan tingkat bunga yang rendah maka
sumber daya yang ada akan cenderung digunakan untuk memenuhi kebutuhan saat ini. Sebaliknya,
dengan tingkat bunga yang tinggi, sumber daya yang ada akan cenderung digunakan untuk
memenuhi kebutuhan masa depan dengan konsekuensi harus mengurangi penggunaan sumber daya
pada masa sekarang. Dalam konsep pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pendekatan
efisiensi dinamis berdasarkan tingkat bunga tersebut menjadi tidak cukup relevan (meskipun masih
tetap dipertimbangkan). Hal ini karena pembangunan ekonomi yang berkelanjutan memberikan
penekanan bahwa generasi mendatang harus dapat mengaksessumber daya yang cukup untuk
memenuhi kebutuhannya (melakukan pembangunan). Oleh karena itu, pembangunan yang
berkelanjutan perlu memperhatikan ketersediaan si masa depan. Menurut Sawitri, et al (2008),
pembangunan berkelanjutan memerlukan sejumlah kondisi berikut.
Adanya kemauan untuk menjaga produktivitas sumber daya yang dapat diperbaharui dalam
jangka panjang dan secara berkelanjutan.
Keuntungan dari penggunaan sumber yang tidak diperbaharui harus diinvestasikan pada sumber
daya manusia, kapital, dan kemajuan teknologi.
Limbah yang dibuang ke alam sebagai hasil kegiatan ekonomi dijaga agar tidak melampaui
kemampuan alam dalam memprosesnya sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan.
Keberhasilan dalam mewujudkan ketiga kondisi tersebut tergantung pada kemampuan sistem
yang ada di dalam masyarakat pada setiap generasi untuk mengelola (mengendalikan, mengatur,
mengatasi dampak negatif, dan mencari alternatif) penggunaan sumber daya yang ada dari waktu ke
waktu.
Keenam subsistem tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Dalam kasus ini, kondisi
subsistem dapat dipengaruhi oleh subsistem lain dan mungkin juga memiliki hubungan saling
memengaruhi dalam suatu sistem. Gambar 9.5 menunjukkan bahwa subsistem lingkungan
dipengaruhi oleh subsistem ekonomi dan infrastruktur. Sementara itu, sistem ekonomi dipengaruhi
oleh subsistem lingkungan, individual, sosial, ekonomi maupun infrastruktur. Subsistem
pemerintahan sendiri dipengaruhi oleh subsistem individual, sosial, ekonomi maupun infrastruktur.
Demikian pula, dengan subsistem individual, sosial dan infrastruktur yang dipengaruhi sejumlah
subsistem lain dalam societal system. Enam subsistem tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga
klasifikasi sistem, yaitu sistem manusia (individual, sosial dan pemerintah), sistem pendukng
(ekonomi dan infrastruktur), serta sistem alam (sumber daya alam dan lingkungan).
Pembangunan berkelanjutan, pada dasarnya pengintegrasian antara faktor ekonomi, sosial dan
ekologi dalam pengambilan keputusan (Sawitri, et al., 2008), terwujudnya pembangunan yang
berkelanjutan sangat ditentukan oleh pemenuhan prinsip berikut.
Perhatian terhadap masa depan (generasi yang akan datang)
Hal ini terkait dengan sumber daya alam dan buatan (infrastruktur dan bangunan) yang
diterima oleh generasi yang akan datang. Dalam hal ini, pembangunan pada masa sekarang
harus mampu menjamin bahwa sumber daya alam dan buatan yang tersisa dapat membuat
generasi yang akan datang memperoleh manfaat yang paling tidak sama dengan manfaat
yang diperoleh generasi sekarang.
Kondisi lingkungan yang mampu dipertahankan
Hal ini terkait dengan kualitas dan daya dukung ekosistem. Dalam hal ini, pembangunan
sebaiknya tidak dilakukan dengan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan sehingga
generasi berikutnya dapat memenuhi kebutuhan dengan kualitas pemenuhan kebutuhan
tersebut tidak semakin menurun. Di samping itu, pembangunan tidak boleh menimbulkan
kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan (seperti kerusakan hutan, meningkatnya
polusi dan pemanasan global). Pembangunan harus diikuti dengan upaya untuk mencari
alternatif dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, upaya pencegahan polusi
dan pengolahan limbah pencemar serta memperhatikan daya dukung dan regenerasi
lingkungan. Di samping itu, pembangunan juga harus mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan secara global, bukan hanya lingkungan lokal, nasional atau regional.
Keadilan sosial
Hal ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan generasi saat ini secara merata dan adil. Dalam
hali ini, pembangunan harus memperhatikan kebutuhan masyarakat pada setiap lapisan
masyarakat dan proses redistribusi sumber daya kepada masyarakat.
Partisipasi publik
Hal ini terkait dengan perlunya keterlibatan masyarakat di suatu wilayah dalam setiap proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan di wilayahnya. Dalam hal ini, kerja
sama antar penduduk lokal, perusahaan, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat
menjadi suatu keharusan dalam setiap proyek pembangunan untuk menjamin tingginya
partisipasi publik dalam pembangunan. Kebijakan yang bersifat top-down dan kurang
memperhatikan karakteristik dari lingkungan lokal sebaiknya tidak digunakan.
Indikator adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menunjukkan sesuatu yang kita butuhkan
untuk mengambil keputusan (Muller & Leupelt, 1998). Terkait dengan pembangunan
berkelanjutan, untuk mengambil keputusan mengenai apakah pembangunan saat ini berada pada
jalur untuk menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan atau menentukan berbagai aspek yang
perlu diperbaiki untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, diperlukan sejumlah
indikator yang tepat. Menurut Muller & Leupelt (1998), dalam menentukan indikator
pembangunan berkelanjutan, konsep dan kriteria yang diperlukan untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan harus menjadi pertimbangan utama dalam penentuan indikator pembangunan
berkelanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang berbeda dengan pembangunan ekonomi. Oleh karena
itu, indikator pembangunan tidak dapat disamakan dengan indikator pembangunan, pada umumnya.
Bossel (1999) membahas tentang proses penentuan indikator pembangunan berkelanjutan. Bossel
menyatakan bahwa berbagai indikator pembangunan menghilangkan sejumlah informasi penting
dalam pembangunan. Sebagai contoh, penggunaan indikator yang hanya mengandalkan indikator
pendapatan penggunaan indikator yang hanya mengandalkan indikator pendapatan domestik bruto
(PDB) dan berbasis PDB saja terlalu melebih-lebihkan dan sering kali bias. Hal ini karena PDB
hanya menggambarkan seberapa besar sumber daya yang digunakan dalam proses produksi barang
(jasa) riil dan dikonversi ke dalam aliran uang tanpa memperhatikan dampaknya terhadap
kesejahteraan masyarakat. PDB tidak menghitung kekayaan (kepemilikan aset finansial, tanah, dan
sumber daya lain) dan tidak memperhatikan kontribusi pembangunan nasional terhadap pendidikan,
tingkat pengangguran, polusi, kesehatan, kerusakan lingkungan, kriminalitas, dan kecelakaan.
Untuk mengatasi kelemahan indikator PDB, sejumlah institusi dunia mengeluarkan indeks
agregat, seperti Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW), selanjutnya berubah menjadi
Genuine Progres Indicator (GPI) yang mengurangkan keburukan sosial (seperti cost
penanggulangan polusi dan kecelakaan) dan menambahkan nilai jasa pelayanan rumah tangga atau
komunitas yang tidak terbayar. Di samping itu, terdapat Human Development Index (HDI) yang
memasukkan tingkat melek huruf dan harapan hidup atau Sustainable Progres Index (SPI) yang
mencoba melihat dampak pembangunan terhadap lingkungan dengan memasukkan indikator area
yang diperlukan untuk mempertahankan kebutuhan pangan, air, energi, dan pembuangan sampah
untuk setiap orang atau koya (Bossel, 1999). Meskipun demikian, menurut Bossel (1999), indikator
yang merupakan hasil agregasi mengakibatkan adanya sejumlah sektor yang tidak tercakup, padahal
kemungkinan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan suatu sistem total
(kehidupan umat manusia).
Menurut Adiningsih (2008), ketercapaian 8 tujuan (goals) dalam millenium development goals
(MDG) menjadi sarana untuk mengukur apakah pembangunan yang berkelanjutan sedang terjadi di
suatu negara. Delapan kriteria tersebut, meliputi pengurangan kemiskinan dan kelaparan,
kesempatan memperoleh pendidikan, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,
berkurangnya kematian anak, peningkatan kesehatan, penanggulangan terhadap penyakit, kepekaan
lingkungan dan pengembangan kemitraan global. Meskipun demikian, apabila pembangunan
berkelanjutan dilihat dalam konsep sistem (Bossel, 1999), sejumlah kriteria MDG kurang
memperhatikan interaksi antara subsistem sebagai faktor utama yang menentukan terjadi atau
tidaknya pembangunan yang berkelanjutan.
Bossel (1999) mengusulkan perlunya sekumpulan indikator yang digunakan untuk menentukan
apakah suatu sistem total (keluarga, komunitas, kota, negara atau global/dunia) mencapai
pembangunan berkelanjutan. Indikator yang digunakan bebas dipilih, namun harus didasarkan pada
sejumlah kriteria yang menunjukkan kemampuan dari subsistem dalam societal system untuk
berinteraksi sama lain dan kontribusi subsistem tersebut terhadap kesehatan societal system
(manusia, pendukung dan alam), di mana kesehatan societal system menjadi penetu utama
kemampuan societal system untuk menyesuaikan diri dengan environmental system dalam rangka
mewujudkan kontribusi positif bagi sistem total (kehidupan umat manusia). Beikut ini adalah
kriteria penentuan indikator dan contoh indikator dalam penentuan keberhasilan pembangunan
berkelanjutan (Tabel 9.7) (Bossel, 1999).
Tabel 9.7.
Kriteria Penentuan Indikator Pembangunan Berkelanjutan Pendekatan Bossel
Kriteria Indikator Kinerja Subsistem dalam Indikator Kontribusi Societal
Societial System System terhadap Sistem Total
Eksistensi Apakah subsistem sesuai dan mampu Apakah societal system
bertahan dalam lingkungannya? berkontribusi terhadap
Contoh: anak-anak yang hidup miskin eksistensi sistem total?
Contoh: tingkat kriminalitas
Efisiensi dan Apakah subsistem berjalan secara efisien Apakah societal system
efektivitas dan efektif? berkontribusi terhadap
Contoh: keterlibatan masyarakat dalam evektivitas sistem total?
aktivitas sosial Contoh: penurunan tingkat
kemiskinan
Kebebasan bertindak Apakah subsistem bebas untuk merespon Apakah societal system
dan bereaksi terhadap fenomena yang berkontribusi terhadap
terjadi di masyarakat? kebebasan beraksi dari sistem
Contoh: penggunaan BBM total?
Contoh: cadangan sumber daya
alam
Keamanan Apakah subsistem dalam kondisi aman Apakah societal system
dan stabil? berkontribusi terhadap
Contoh: upaya pemerintah dalam keamanan dan kestabilan sistem
penyehatan industri dan usaha pertanian total?
Contoh: peningkatan penduduk
yang mampu mengakses
kebutuhan dasar
Adaptabilitas Apakah subsistem mampu menyesuaikan Apakah societal system
diri dengan tantangan baru? berkontribusi terhadap
Contoh: diversifikasi industri kemampuan menyesuaikan diri
sitem total?
Contoh: peningkatan usaha kecil
Coexistence Apakah subsistem mampu berinteraksi Apakah societal system
dengan sistem lain? berkontribusi terhadap
Contoh: perkembangan organisasi kemampuan sistem total
kemasyarakatan berinteraksi dengan sistem total
lain?
Contoh: variasi etnis dalam
masyarakat
Kebutuhan psikologis Apakah subsistem mampu menyesuaikan Apakah societal system
diri dengan kebutuhan psikologi dan berkontribusi terhadap
budaya? pemenuhan kebutuhan
Contoh: konsumsi alkohol psikologis sistem total?
Contoh: tingkat kematian
pemuda
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi diatas, kerjakanlah latihan berikut!
1) Mengapa konsep pembangunan yang berkelanjutan semakin berkembang?
2) Sebutkan komponen-komponen dalam sistem total (kehidupan manusia) dan jelaskan
hubungannya satu sama lain!
3) Jelaskan maksud dari prinsip perhatian terhadap masa depan dalam pembangunan berkelanjutan!
TES FORMATIF 3
1.) Dalam konsep pembangunan ekonomi yang berkelanjutan pendekatan efisiensi dinamis
berdasarkan dinamis berdasarkan tingkat bunga adalah ....
A. Relawan
B. Tidak relevan
C. Sangat relevan
D. Tidak cukup relevan
2.) Dalam konsep kehidupan umat manusia sebagai suatu sistem, dari berbagai ini, manakah yang
tidak memengaruhi keberhasilan pembangunan berkelanjutan ....
A. Interaksi antara sistem subsistem dalam kehidupan manusia
B. Kemampuan societal system dalam menyesuaikan diri dengan kondisi dan lingkungannya
C. Banyaknya subsistem yang menyusun societal system
D. Societal sistem cenderung mampu menyesuaikan diri dengan environmental systems
4.) Berikut ini merupakan prinsip-prinsip utama dalam pembangunan berkelanjutan, kecuali ...
A. Perhatian terhadap masa depan
B. Penggunaan teknologi yang efisien
C. Adanya partisipasi publik
D. Keadilan sosial
5.) PDB tidak sesuai jika digunakan sebagai indikator pembangunan berkelanjutan karena ....
A. Menggambarkan dampak kesejahteraan masyarakat
B. Memperhatikan interaksi antara sistem dalam kehidupan masyarakat
C. Tidak mencakup seluruh aspek kehidupan yang mungkin memengaruhi kehidupan masnusia
D. Memperhatikan kontribusi pembangunan nasional
Cocokkanlah jawaban Anda dangan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian
akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk
mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat mengikuti Ujian Akhir
Smester (UAS). Selamat! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan
Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.
Kunci Jawaban Tes Formatif
Arsyad, Lincolin. (1999). Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. Yogjakarta: STIE YKPN
Bae, Johngseok & Chris Rowley. (2001). The Impact of Globalization on HRM: The Case of South
Korea. Journal of World Business Vol. 36 (4), pp. 402-428
Bossel, Hartmut (1999). Indicators for Sustainable Development: Theory, Method, Applications, a
report to the Balaton Grup. Canada: Internasional Institue for Sustainable Development.
Carnoy, Martin. (1999). Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Knot.
United Nations Sducational adn Cultural Organization (UNESCO).
Hartono, Tony. (2006). Mekanisme Ekonomi: Dalam Konteks Ekonomi Indonesia. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Hastuti, et al. (2008). Efektivitas Pelaksanaan Raskin. Laporan penelitian. SMERU Research
Institute.
Kreinen, Mordechai E. (2002). Interantional Economics: A Policy Approach. 9th Edition. Thompson
Learning, Inc.
Kraemer, Kenneth L., et al. (2002). Impacts of Globalization on E-Commerce Adoption and Firm
Performance: A Cross-Country Investigation, Center for Researach on Information
Technology and Organizations University of California.
Kose, M. Ayhan, et al. (2003). How Does Globalization Affect the Synchronization of Business
Cycles? IZA Discusssion Paper No. 702 January 2003.
Kuncoro, Mudradjad. (2009). Akselerasi Infrastruktur. Koran Seputar Indonesia (Sindo). Rabu, 18
Februari 2009.
Lee, Eddy & Marco Vivarelli. (2006). The Social Imapct of Globalization in the Developing
Countries. IZA Discussion Paper No. 1925 January 2006.
Lechair, Mark S. (2002). Fighting the Tide: Alternative Trade Organizations in the Era Global Free
Trade, World Development. Vol. 30 (6), pp. 949-958.
Madelay, John. (2005). Loba, Keranjingan Berdagang: Kaum Miskin Tumbal Perdagangan Bebas.
Yogjakarta: Cinderelas Pustaka Rakyat Cerdas.
Menteri Sosial Republik Indonesia. (2008). Efektivitas Bantuan Langsung Tunai. Departemen
Sosial Republik Indonesia.
Munthe, Mulia Ginting. (2009). Kredit Usaha Rakyat untuk LKM Jangan Dibatasi. Bisnis
Indonesia, Jumat, 3 April.
Muller, F. & M. Leupelt (eds.). (1998) Eco Targets, God Functions, and Orientors. New York:
Springer.
O’Briens, Karen L. & Robin M. Leichenko. (2000). Double Exposures: Assessing the Impact of
Climate Change within the Context of Economic Globalization. Global Environmental
Change 10, pp. 221-232
Rodrik, Dani. (2005) Goodbye Washington Consensus, Hello Wahshington Confusion? A Review
of
the World Bank’s Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of Reform,
Journal of Economic Literature, Vol. XLIV, pp. 973-987.
Shafaeddin, Mehdi. (2000). Free Trade or Fair Trade: An Enquiry in to the Causes of Failure in
Recent Trade Negotitation. UNCTAD Discussion Paper, No. 153.
Steger, Manfred B. (2003). Globalization: a Very Short Introduction. Oxford: Oxford University
Press.
Stulz, Rene M. (2005) The Limits of Financial Globalization. The Journal of Finance, Vol. LX (4).
Todaro, Michael P. & Stephen C. Smith. (2003). Economic Development. Eight Edition. England:
Pearson Education Limited.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025.