Anda di halaman 1dari 4

Nomor 1

jenis bantuan luar negeri dari yang disusun berdasarkan tingkat paling mudah/lunak (Hudiyanto,
2001:108):

1. Hibah (grant) uang senilai $1 juta, tanpa ikatan dalam cara penggunaannya.

2. Hibah beras senilai $1 juta suatu negara, yang hasil penjualannya digunakan untuk membiayai proyek
pembangunan tertentu di negara penerima hibah.

3. Pinjaman (loan) sebesar $1 juta yang penggunaannya terbatas untuk membeli barang dan jasa
konsultasi dari perusahaan negara pemberi pinjaman. Lama pinjaman 20 tahun, masa tenggang
(gestation period) 1 tahun dengan bunga 1 persen.

4. Pinjaman sebesar $1 juta dengan bunga 3 persen untuk membeli barang dari negara pemberi
pinjaman, masa pelunasan (amortisasi) 10 tahun.

5. Pinjaman sebesar $ 1 juta dengan bunga 1 persen di bawah suku bung yang berlaku di pasar
komersial, lama pinjaman 8 tahun.

Nomor 2

Indonesia sebagai negara debitor akan mengalami ketergantungan ke negara kreditor karena ketika
utang telah lunas Indonesia masih harus terus menerus mengimpor barang yang sama untuk
keberlangsungan produksi di Indonesia yang sistemnya tidak dapat diubah dalam waktu singkat.

Nomor 3

Beberapa faktor yang mendorong dan memberi peluang terjadinya praktek korupsi dalam birokrasi
antara lain; kekuasaan mutlak birokrasi untuk mengalokasikan sumberdaya atau pekerjaan pada pelaku
ekonomi lainnya, kekuasaan untuk melakukan perizinan, rendahnya gaji pegawai negeri, lemahnya
pengawasan dan aturan hukum yang ada, lemahnya penegakan hukum, dan sebagainya. Oleh karena itu
agenda reformasi dalam menghapus korupsi tidak cukup hanya mengejar atau mengusut pelaku pelaku
korupsi yang ada, melainkan juga membenahi faktor faktor penyebab dan faktor yang memberi peluang
terjadinya korupsi itu sendiri.

Nomor 4

Ada beberapa indikator yang sering digunakan untuk mengukur kemiskinan, yaitu indikator kemiskinan
relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. Seseorang dapat dikatakan
berada dalam kelompok kemiskinan relatif jika pendapatannya berada di bawah tingkat pendapatan di
sekitarnya, atau dalam kelompok masyarakat tersebut ia berada di lapisan paling bawah. Jadi, walau
pendapatannya bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, namun karena dibandingkan
dengan pendapatan rata-rata masyarakat pendapatannya relatif rendah, maka ia tetap masuk kategori
miskin. Indikator kemiskinan relatif ini digunakan di AS.

Kemiskinan absolut dilihat dari kemampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan minimal untuk
kebutuhan pokok (sandang, pangan, pemukiman, pendidikan dan kesehatan). Jika pendapatan
seseorang berada di bawah pendapatan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut, maka secara
absolut ia hidup di bawah garis kemiskinan. Indikator absolut ini digunakan oleh Indonesia.

Kemiskinan kultural dikaitkan dengan budaya masyarakat yang "menerima" kemiskinan yang terjadi
pada dirinya, bahkan tidak merespon usaha-usaha pihak lain yang membantunya untuk ke luar dari
kemiskinan tersebut. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan struktur dan sistem
ekonomi yang timpang dan tidak berpihak pada si miskin, sehingga memunculkan masalah-masalah
struktural ekonomi yang makin meminggirkan peranan orang miskin.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur batas atau garis kemiskinan (poverty line) di tanah air dengan
pendekatan konsumsi. Pendekatan yang digunakan oleh BPS tersebut sejalan dengan pendekatan yang
dirumuskan oleh Bank Dunia. Garis kemiskinan tersebut dilihat dari kemampuan membeli bahan
makanan ekuivalen dengan 2100 kalori per kapita per hari, dan biaya untuk memperoleh kebutuhan
minimal akan barang/jasa pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, dan pendidikan. Dilihat dari
nilai rupiahnya garis kemiskinan ini berubah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1990 batas kemiskinan di
perkotaan per kapita per bulan adalah Rp20.614,00 dan Rp13.925,00 di pedesaan. Tahun 1999 angka ini
sudah meningkat menjadi Rp93.896.00 untuk perkotaan dan Rp73.898,00 untuk pedesaan. Angka
tersebut pada Maret 2013 menjadi Rp271.626 per kapita per bulan.

Indikator kemiskinan yang lain diungkapkan oleh VV. Bhanoji Rao yang menghitung garis kemiskinan
dengan memperhitungkan kebutuhan kalori per hari minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk
hidup layak sebagai dasar, kemudian ditambah lagi dengan keperluan untuk kebutuhan dasar yang
sifatnya sosial, misalnya untuk pemeliharaan kesehatan, sekolah dan sebagainya. Tingkat kebutuhan
energi di Indonesia, sesuai yang ditetapkan olch Food Agricultural Organization (FAO) untuk anak-anak
dan orang dewasa adalah 2.150 kalori per orang per hari. Kebutuhan beras dan ikan digunakan sebagai
perhitungan dasar dengan alasan beras tersebar di Indonesia, relatif baik dalam pemenuhan protein,
dan harganya relatif murah. Seseorang harus mengkonsumsi beras 17,6 kalori per bulan. Karena
konsumsi kalori dari beras diperhitungkan sebesar 90 persen sedangkan sisanya dari sumber pangan
yang lain maka kebutuhan beras per bulan per orang adalah 16 kg (Hudiyanto, 2001).

Indikator kemiskinan yang lain diungkapkan oleh Profesor Sayoga. Garis kemiskinan yang beliau
tetapkan dengan membedakan daerah perkotaan dan pedesaan. Garis kemiskinan untuk pedesaan
ditetapkan setara dengan 240 kg beras per kapita per tahun. Sedangkan untuk daerah perkotaan setara
dengan 360 kg beras per kapita per tahun. Garis kemiskinan ini ia tetapkan setelah melakukan survei ke
seluruh Indonesia pada tahun 1973 (Hudiyanto, 2001).

Nomor 5

Nomor 6
Untuk mengatasi masalah kemiskinan akibat krisis moneter tersebut, pemerintah mengeluarkan
program Jaring Pengaman Sosial (JPS). JPS adalah program jangka pendek untuk membantu mereka
yang hampir tenggelam karena krisis. Program JPS dibagi dalam 4 kelompok program, yaitu Program JPS
departemen teknis, Program JPS prioritas, Program JPS sektor sektor pembangunan, dan Program JPS
monitoring. Pengalokasian dana program JPS menggunakan tiga jalur seperti yang sudah biasa ditempuh
program terdahulu yakni: 1) kebijakan pembangunan sektoral, 2) kebijakan pembangunan regional; dan
3) kebijakan khusus.

Program-program penanggulangan kemiskinan tersebut dapat dikatakan baik dalam perencanaan,


namun dalam pelaksanaannya ada beberapa kekurangan yang perlu dibenahi seperti:

1. Skema kredit yang dikucurkan oleh pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan memiliki
berbagai ketentuan yang mengatur agar penyalurannya tidak salah sasaran. Sebagai contoh ketentuan
tersebut adalah pembatasan nilai pinjaman bagi kelompok/individu, termasuk bagi kelompok yang
sudah maju/berkembang. Ketentuan ini dinilai baik agar dalam penyaluran tetap sesuai dengan skema
dalam program tersebut (dalam hal ini kasus pada P4K). Namun demikian, bagi kelompok yang sudah
sukses dalam pengembangan usaha dan sudah tidak memenuhi kriteria skema kredit dalam program ini,
kelompok ini akan mengalami kesulitan mendapatkan pinjaman modal kerja untuk pengembangan
usaha lebih lanjut, dikarenakan tidak ada jenjang program lain yang terintegrasi dengan program P4K ini.

2. Sistem pertanggungjawaban yang saling mengikat antarkelompok (tanggung renteng) yang diterapkan
dalam P4K justru menghambat laju perkembangan pada kelompok yang potensial dan berkembang
dengan baik. Namun karena ada kelompok lain yang tidak maju, misalnya gagal dalam pengembalian
kredit, maka kelompok yang sudah berkembang juga akan tertutup akses kredit akibat ketentuan
tanggung renteng dalam pengembalian kredit program. Hal ini justru menciptakan trade off dalam
penanggulangan kemiskinan karena menghambat perkembangan potensi untuk lebih maju bagi
kelompok yang sukses dalam pengembalian kredit.

3. Banyak kelompok yang merasakan bahwa terjadi ketidaktepatan pencairan kredit (timing) di mana
pada saat mereka memerlukan modal kerja dengan segera karena ada peningkatan order usaha. Namun
karena adanya administrasi program dan penyeragaman waktu dalam penurunan dana kredit sehingga
dari sisi usaha banyak kelompok yang kehilangan potensi (potential loss) untuk meningkatkan produksi.
Sebagai contoh, kelompok kerajinan makanan akan berpotensi mendapat keuntungan apabila mampu
memenuhi pesanan pada musim libur dan hari raya (Ramadhan dan Idul Fitri), namun karena pada bulan
tersebut pengajuan kredit untuk modal kerja belum terpenuhi sehingga skala produksi mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan/permintaan pasar. Dengan demikian, banyak kelompok yang mengalami
kehilangan potensi akibat administrasi pencairan kredit yang tidak fleksibel.
4. Kurangnya integrasi program dan koordinasi antar instansi pengelola program menyebabkan
permasalahan ketidaktepatan alokasi (mis alokasi) dana program. Hal ini ditemukan pada beberapa
kasus, di mana satu individu bisa mendapatkan lebih dari dua program pemberdayaan dan
penanggulangan kemiskinan, sementara banyak komunitas yang tidak mendapatkan. Ini lebih
dikarenakan tidak adanya koordinasi intensif antarinstansi pelaksana program, khususnya dalam hal
proses verifikasi kelompok/individu yang terlibat dalam program.

Anda mungkin juga menyukai