PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
(Mengidentifikasi Permasalahan : I.A.1 = 0,1)
Kemiskinan merupakan permasalahan yang terjadi pada seluruh negara khususnya negara
berkembang seperti Indonesia. World Bank (2009) mendefinisikan kemiskinan sebagai
“deprivation of well being” atau memiliki kekurangan kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan
sendiri diukur dari kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pangan, tempat
tinggal, pakaian, akses pada pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan serta
kebebasan dalam politik. Badan Pusat Statistik mengukur kemiskinan dengan menggunakan
konsep basic needs approach. Pendekatan tersebut memandang kemiskinan sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan
makanan yang diukur dengan besarnya pengeluaran per kapita per bulan.
Penanganan kemiskinan sudah menjadi perhatian pemerintahan dunia dan menjadi tujuan
pertama dari 17 indikator pembangunan berkelanjutan (SDGs) yaitu mengakhiri kemiskinan
dalam segala bentuk di manapun. Hal tersebut didukung oleh pemerintah Indonesia dengan
diterbitkannya Undang-Undang nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
serta dengan menuangkan penurunan kemiskinan menjadi sasaran pokok dalam dokumen
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Penanganan
kemiskinan juga menjadi prioritas pada pembangunan di Kabupaten Bandung. Hal tersebut
ditunjukkan melalui penetapan indikator persentase penduduk miskin sebagai salah satu
indikator kinerja utama Bupati Bandung. Pencapaian target penurunan kemiskinan yang ada
di Kabupaten Bandung dilakukan secara terintegrasi dan multisektor.
Pada tahun 2022, diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 4 tahun 2022
tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Target penurunan kemiskinan
ekstrem sendiri direncanakan dapat diselesaikan di tahun 2024. Menteri Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia menjadi kementerian yang
ditunjuk untuk menetapkan sumber dan jenis data yang digunakan dalam implementasi
program penghapusan kemiskinan ekstrem. Melalui Keputusan Menko PMK nomor 30
tahun 2022, ditetapkanlah data Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE)
sebagai sumber data untuk program dan kegiatan pengentasan kemiskinan ekstrem yang ada
pada setiap Daerah. Data tersebut tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai data sasaran
intervensi program penghapusan kemiskinan ekstrem secara spesifik, namun dapat pula
dimanfaatkan sebagai basis data penyusunan kebijakan penghapusan kemiskinan di Daerah.
Oleh karenanya, diperlukan analisis data P3KE tersebut untuk mengetahui kondisi
kemiskinan yang ada di Kabupaten Bandung sesuai dengan indikator sosial yang ada sebagai
bahan perumusan kebijakan penghapusan kemiskinan di Kabupaten Bandung.
2. Rumusan Permasalahan
(Merumuskan Permasalahan : I.A.2 = 0,1)
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebegai berikut :
a. Bagaimana kondisi kemiskinan di Kabupaten Bandung berdasarkan data P3KE sesuai
dengan indikator sosial yang ada;
b. Bagaimana strategi dan kebijakan yang sesuai dengan kondisi kemiskinan di Kabupaten
Bandung berdasarkan data P3KE.
3. Tujuan Penyusunan Laporan
Laporan ini disusun dengan tujuan sebagai berikut :
a. Menggambarkan kondisi kemiskinan di Kabupaten Bandung berdasarkan data P3KE
sesuai dengan indikator sosial yang ada;
b. Menyusun strategi dan kebijakan yang sesuai dengan kondisi kemiskinan di Kabupaten
Bandung dengan menggunakan basis data P3KE.
KERANGKA PEMIKIRAN
Indikator Kemiskinan
GAMBAR 1
KERANGKA PEMIKIRAN ANALISIS KEMISKINAN KABUPATEN BANDUNG
GAMBAR 2
GRAFIK PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TINGKAT KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT TAHUN 2021
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tren kemiskinan baik dari presentase maupun
jumlah penduduk miskin mengalami fluktuasi. Kenaikan yang besar terjadi di tahun 2020
dimana terdapat peningkatan jumlah penduduk miskin lebih dari 40 ribu jiwa. Peningkatan
tersebut diakibatkan oleh adanya pandemic Covid-19 yang menyebabkan banyak masyarakat
kehilangan pekerjaan maupun menurun penghasilannya akibat melemahnya pertumbuhan
perekonomian di Kabupaten Bandung. Di tahun 2021, meskipun masih mengalami kenaikan,
namun tidak terlalu signifikan. Hal tersebut terjadi karena adanya program pemulihan ekonomi
pasca pandemi serta program perlindungan sosial yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Bandung.
(Menyajikan Data dan Informasi : I.A.8 = 0,1)
GAMBAR 3
GRAFIK PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT
DAN NASIONAL TAHUN 2017-2021
GAMBAR 4
GRAFIK JUMLAH PENDUDUK MISKIN KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2021 BERDASARKAN 40
PERSEN STATUS KESEJAHTERAAN TERENDAH
GAMBAR 5
GRAFIK JUMLAH KELUARGA MISKIN (KIRI) DAN INDIVIDU MISKIN (KANAN) TINGKAT
KECAMATAN DI KABUPATEN BANDUNG
Data proporsi jumlah penduduk miskin yang berbeda pada masing-masing kecamatan
tersebut menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan juga idealnya berbeda. Intervensi
dilakukan sesuai dengan kondisi pada masing-masing kecamatan sehingga diperlukan
analisis lebih jauh khususnya tentang determinan kemiskinan pada setiap kecamatan yang
ada di Kabupaten Bandung serta jenis intervensi yang tepat sesuai dengan status
kesejahteraan yang dimiliki.
b. Aspek Pendidikan
(Menganalisis Data dan Informasi : I.A.7 = 0,25)
Pendidikan merupakan faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya
manusia. Pendidikan tidak hanya menambah pengetahuan, namun juga meningkatkan
kemampuan dan keterampilan bekerja dari individu. Karakteristik penduduk miskin
dilihat dari aspek Pendidikan digambarkan melalui tingkat Pendidikan kepala keluarga
dan persentase anak pada usia pendidikan dasar dan menengah pertama yang tidak
bersekolah. Kedua indikator tersebut menunjukkan potensi kepala keluarga untuk
mendapatkan pekerjaan serta kemampuan masyarakat miskin untuk mendapatkan akses
pendidikan dasar dan menengah pertama bagi anak-anak mereka. Berikut adalah
persentase jenjang Pendidikan terakhir yang telah ditempuh oleh kepala keluarga pada
keluarga miskin di desil 1, desil 2, dan desil 3.
Sebagian besar kepala keluarga pada keluarga miskin hanya lulusan sekolah dasar
dan sekolah menengah tingkat pertama. Pada desil 1, persentase kepala keluarga yang
lulusan SD/sederajat mencapai 61,80% sedangkan lulusan SMP sebesar 23,83%.
Kondisi serupa juga dialami oleh keluarga di desil 2 yaitu sebesar 52,16% kepala
keluarga adalah lulusan SD/sederajat dan 26,36% adalah lulusan SMP/sederajat. Di
desil 3, kepala keluarga yang lulus atau menamatkan Pendidikan SD/sederajat sebesar
48,60% dan yang menamatkan Pendidikan SMP/sederajat sebesar 25,65%. Berdasarkan
hasil tersebut, dapat diketahui bahwa di desil 1 lebih banyak kepala keluarga dengan
pendidikan terakhir pada jenjang SD/sederajat dibandingkan dengan kedua desil
lainnya. Proporsi kepala keluarga yang menamatkan Pendidikan hingga jenjang SMP
mengalami peningkatan di desil kedua dan ketiga. Artinya, potensi kepala keluarga pada
desil 2 dan 3 untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sesuai dengan jenjang
Pendidikan terakhirnya lebih besar dibandingkan dengan kepala keluarga yang ada pada
desil 1.
GAMBAR 7
PERSENTASE ANAK USIA 7-15 TAHUN YANG TIDAK BERSEKOLAH PADA KELUARGA
MISKIN
Gambar 7 menunjukkan persentase anak usia 7-15 tahun pada keluarga miskin
yang tidak bersekolah. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa anak usia 7-12 tahun yang
tidak bersekolah di desil 1 mencapai 31,55% atau sebesar 15.910 anak. Pada desil 2
meskipun persentase anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah lebih besar yaitu
32,17%, namun secara jumlah lebih sedikit dibandingkan dengan anak usia 7-12 tahun
yang tidak bersekolah di desil 1 yaitu sebesar 10.794 anak. Hal yang sama juga terjadi
di desil 3 dimana jumlah anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah lebih sedikit
apabila dibandingkan dengan desil 1 yaitu sebesar 13.572 anak. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak di baik di desil 1, desil 2 dan desil 3 yang
tidak menempuh Pendidikan dasar. Kemudian, untuk anak usia 13-15 tahun yang tidak
bersekolah di desil 1, desil 2 dan desil 3 sebanyak 986 anak, 549 anak dan 660 anak.
Sehingga dapat disimpulkan anak-anak usia 7-15 tahun pada keluarga dengan status
kesejahteraan di 10% terbawah memiliki peluang lebih besar untuk tidak menempuh
pendidikan dasar dan menengah pertama.
c. Aspek Kesehatan
(Menganalisis Data dan Informasi : I.A.7 = 0,25)
Aspek kesehatan yang ditinjau pada laporan ini adalah sumber air minum dan
fasilitas buang air besar yang dimiliki oleh keluarga miskin. Kedua indikator berikut
dipilih karena dengan adanya sumber air minum yang baik serta terpenuhinya fasilitas
buang air besar yang layak diharapkan dapat meningkatkan risiko masyarakat miskin
untuk terkena penyakit serta meningkatkan derajat kesehatannya. Berdasarkan data
P3KE, sebagian besar penduduk di desil 1 hingga desil 3 memiliki sumber air minum
dari sumur terlindungi, sumur bor serta sumber air minum lainnya. Namun, dapat dilihat
pula bahwa masih terdapat keluarga miskin yang memiliki sumber air minum dari air
hujan dan sumur yang tidak terlindungi. Jumlah keluarga yang sumber air minumnya
berasal dari sumur yang tidak terlindungi sebanyak 2.771 keluarga di desil 1, 1.800
keluarga di desil 2 dan 2.064 keluarga di desil 3.
GAMBAR 8
SUMBER AIR MINUM PADA KELUARGA MISKIN
GAMBAR 9
KEPEMILIKAN FASILITAS BUANG AIR BESAR PADA KELUARGA MISKIN
d. Aspek Ketenagakerjaan
(Menganalisis Data dan Informasi : I.A.7 = 0,25)
GAMBAR 10
JENIS PEKERJAAN KEPALA KELUARGA PADA KELUARGA MISKIN
Berdasarkan data P3KE, masih terdapat kepala keluarga pada keluarga miskin
yang belum/tidak bekerja yaitu sebesar 6,9% atau 4.670 KK di desil 1, 8,35% atau
4.968 KK di desil 2, dan 9,92% atau 8.331 KK di desil 3. Adanya kepala keluarga yang
belum/tidak bekerja menunjukkan bahwa pada keluarga tersebut tidak ada penghasilan
yang didapatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hal tersebut dapat
dikarenakan kepala keluarga merupakan lansia, perempuan khususnya yang menikah
dini, serta kepala keluarga dengan Pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Jenis
pekerjaan terbesar yang dilakukan oleh kepala keluarga di desil 1 hingga desil 3 adalah
pekerja lepas. Pekerja lepas sendiri merupakan pekerjaan tanpa ikatan kerja dan
biasanya tidak dalam jangka panjang sehingga pendapatan yang diperoleh juga tidak
pasti. Sebanyak 81,14% kepala keluarga pada desil 1 bekerja sebagai pekerja lepas.
Jenis pekerjaan lain yang memiliki proporsi terbesar pada desil 1 adalah wiraswasta
yaitu sebesar 3,47% dan pegawai swasta sebesar 3,18%. Sedangkan di desil 2, jenis
pekerjaan yang mendominasi adalah pegawai swasta sebesar 5,65% dan wiraswasta
sebesar 5,39%. Di desil 3, jenis pekerjaan yang banyak ditemukan adalah pegawai
swasta sebesar 7,60% dan wiraswasta sebesar 6,64%.
Kondisi tempat tinggal juga menentukan karakteristik dari keluarga miskin yang
dapat dilihat dari kepemilikan rumah serta bagaimana kondisi rumah yang sedang
ditempati. Apabila ditinjau dari hasil olahan data P3KE pada gambar 11, dapat diketahui
bahwa kurang lebih 66% keluarga pada desil 1 sudah memiliki rumah sendiri.
Presentase yang lebih besar di desil 2 yaitu sebesar 68,26% dan di desil 3 sebesar
69,5%. Apabila dilihat dari jumlahnya, keluarga yang telah memiliki tempat tinggal
sendiri paling besar ditemukan pada desil 3 dan paling sedikit pada desil 2.
GAMBAR 11
JUMLAH DAN PERSENTASE STATUS KEPEMILIKAN RUMAH KELUARGA MISKIN
Kondisi kepemilikan rumah pada 3 (tiga) desil tersebut sangat beragam. Namun
dapat diperhatikan bahwa keluarga yang berada pada desil 1 memiliki kecenderungan
untuk menumpang, kontrak, maupun menyewa rumah apabila dibandingkan dengan desil
yang lainnya. Tidak adanya tempat tinggal milik sendiri menunjukkan adanya biaya
tambahan yang harus dikeluarkan oleh keluarga miskin secara berkala sehingga beban
pengeluaran menjadi lebih besar.
(Menyajikan Data dan Informasi : I.A.8 = 0,1
TABEL 4
JUMLAH RUMAH TIDAK LAYAK HUNI PADA KELUARGA MISKIN
Indikator Desil 1 Desil 2 Desil 3 Jumlah
Rumah Tidak Layak Huni 1.367 750 746 2.863
Persentase 3,04% 1,85% 1,28%
Intervensi program dan kegiatan pada Tabel 4 dilengkapi dengan prioritas sasaran dari
program dan kegiatan yang dimaksud. Keluarga dengan klasifikasi desil 1 diprioritaskan
untuk diintervensi melalui program dan kegiatan antara lain : (1) Pelaksanaan Advokasi,
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Pengendalian Penduduk dan KB Sesuai Kearifan
Budaya Lokal; (2) Pengendalian dan Pendistribusian Kebutuhan Alat dan Obat Kontrasepsi
serta Pelaksanaan Pelayanan KB di Daerah Kabupaten/Kota; (3) Peningkatan Kesertaan
Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP); (4) Subsidi kontrasepsi jangka
Panjang bagi masyarakat miskin; (5) Penyediaan Permakanan (untuk lansia yang sudah tidak
produktif) ; (6) Penyelenggaraan Proses Belajar Non Formal /Kesetaraan (Program kejar
paket A); (7) Penyelenggaraan Proses Belajar Non Formal/Kesetaraan (Program kejar paket
B); (8) Penyediaan Biaya Personil Peserta Didik Sekolah Dasar (Beasiswa SD bagi anak tidak
mampu); (9) Penyediaan Biaya Personil Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama (Beasiswa
SMP bagi anak tidak mampu); (10) Pembangunan SPAM Jaringan Perpipaan di Kawasan
Perdesaan; (11) Pengembangan Pendidikan advokasi; (12) Pemberian Bimbingan Fisik,
Mental, Spiritual dan Sosial (stimulant bagi masyarakat miskin produktif); (13) Fasilitasi
Bantuan Sosial Kesejahteraan Keluarga (KUBE); dan (14) Perbaikan Rumah Tidak Layak
Huni.
Keluarga pada desil 2, diprioritaskan untuk diintervensi melalui program/kegiatan
Penyelenggaraan Proses Belajar Non Formal/Kesetaraan (Program kejar paket C). Sedangkan
keluarga pada desil 3 diprioritaskan untuk mendapatkan intervensi program/kegiatan : (1)
Sosialisasi Peningkatan Partisipasi Perempuan di Bidang Politik, Hukum, Sosial dan
Ekonomi; (2) Penyelenggaraan Proses Belajar Non Formal/Kesetaraan (Program kejar paket
C); (3) Proses Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan bagi Pencari Kerja
berdasarkan Klaster Kompetensi; (4) Perluasan Kesempatan Kerja; (5) Pendataan dan
pembuatan kartu K1 bagi penduduk miskin; dan (6) Penyertaan modal bagi UMKM.
KESIMPULAN
1. Kesimpulan
Kemiskinan di Kabupaten Bandung selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir cukup
fluktiatif dimana pada tahun 2021 presentase penduduk miskin mencapai 7,15%. Jumlah
penduduk miskin dan persentase penduduk miskin terbesar ada di Kecamatan Pangalengan.
Berdasarkan Analisa dari beberapa aspek yaitu aspek kondisi keluarga, Pendidikan,
kesehatan, ketenagakerjaan dan kondisi tempat tinggal, disimpulkan beberapa kriteria
penduduk miskin di Kabupaten Bandung yaitu :
1. 6-9 persen kepala keluarganya adalah perempuan
2. Memiliki anggota keluarga 4 hingga 5 orang
3. Sebagian besar kepala keluarga hanya tamat SD
4. Lebih dari 30% anak usia 7-12 tahun tidak bersekolah
5. 3% anak usia 13-15 tahun tidak bersekolah
6. 20% keluarga masih menggunakan jamban tanpa septic tank dan 20% menggunakan
jamban Bersama atau lainnya
7. Sebagian besar kepala keluarga bekerja sebagai pekerja lepas
8. 30% keluarga belum memiliki tempat tinggal sendiri
Dari kriteria tersebut dirumuskan rekomendasi program dan kegiatan yang dapat
mengintervensi keluarga miskin di Kabupaten Bandung. Program dan kegiatan tersebut
dianalisa kembali untuk mengetahui sasaran prioritas berdasarkan tingkat kesejahteraan pada
keluarga miskin yang menunjukkan bahwa terdapat 14 program/kegiatan yang diprioritaskan
untuk desil 1, 1 program/kegiatan untuk desil 2, dan 6 program/kegiatan untuk desil 3.
2. Saran
Laporan ini merupakan laporan awal kondisi kemiskinan di Kabupaten Bandung sebagai
bahan pertimbangan penyusunan kebijakan. Namun, untuk penyusunan kebijakan
penghapusan kemiskinan diperlukan penelitian lanjutan terkait faktor determinan kemiskinan
berdasarkan pada kondisi masing-masing kecamatan maupun desa. Disarankan pula untuk
melakukan kaji lapang untuk mengetahui kondisi kemiskinan secara kualitatif.