Anda di halaman 1dari 93

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan salah satu persoalan yang telah lama terjadi di

Indonesia serta menjadi permasalahan yang mendasar sehingga menjadi pusat

perhatian pemerintah. Pada dasarnya isu tentang kemiskinan dan kesenjangan

ekonomi baik antara golongan maupun antar wilayah menjadi persoalan mendasar

bagi masyarakat Indonesia. Sebagai negara berkembang, fenomena kemiskinan

dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia menjadi salah satu permasalahan

yang selalu dibahas dan harus diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Kemiskinan juga menjadi masalah politik yang kompleks dan bersifat

multidimensi yaitu meliputi aspek ekonomi, antropologis, Kebijakan, teknologi,

kesehatan, pendidikan dan partisipasi politik (Randy, 2002). Berbagai program

dalam pembangunan telah dilaksanakan baik ditingkat pusat, regional, maupun

daerah, akan tetapi hasil dari penurunan tingkat kemiskinan masih jauh dari

harapan.

Pemerintah telah melakukan berbagai program dalam pengentasan

kemisninan. Esensi dari sebuah program pengentasan kemiskinan adalah

membantu masyarakat miskin agar memiliki kemampuan berusaha dan mandiri

dari segi ekonomi, sehingga program kemiskinan seharusnya bersifat langsung ke

akar permasalahan dari kemiskinan itu sendiri. Ada beberapa program dari

pemerintah pusat yang telah dijalankan guna mengurangi kemiskinan seperti

Program Indonesia Pintar (PIP), Program Indonesia Sehat (PIS). Program

1
2

Keluarga Harapan (PKH), Beras Sejahtera (Rastra), Bantuan Pangan Non Tunai

(BPNT) dan Program Dana Desa.

Laju kemiskinan Indonesia setiap tahunnya terus mengalami penurunan,

hal ini disebabkan oleh program pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh

pemerintah memberikan dampak yang positif, walaupun persentase kemiskinan

masih dianggap tinggi oleh pemerintah. Berikut jumlah penduduk miskin di

Indonesia yang dihitung dari tahun 2007-2018.

Tabel 1.1
Persentase Penduduk Miskin Indonesia

Persentase
No Tahun Penduduk Miskin
(Persentase)
1 2007 16,58
2 2008 15,42
3 2009 14,15
4 2010 13,33
5 2011 12,49
6 2012 11,81
7 2013 11,41
8 2014 11,11
9 2015 11,18
10 2016 10,78
11 2017 10,38
12 2018 9,74
Sumber: (BPS, 2019)

Berdasarkan dari tabel di atas, rata-rata penurunan kemiskinan di

Indonesia selama tahun 2007-2018 hanya 9,30% saja. Jika dilihat dari persentase

tahunannya, terjadi sedikit kenaikan angka kemiskinan pada tahun 2015 jika

dibandingkan pada tahun sebelumnya, kenaikan angka kemiskinan sebesar

10,06%, semakin menurunnya jumlah kemiskinan di Indonesia tidak serta merta

menjadikan Indonesia terbebas dari kemiskinan.


3

Selain itu kemiskinan juga berkaitan erat dengan tingkat pendidikan

masyarakat. Pendidikan merupakan pionir dalam pembangunan masa depan suatu

bangsa, karena pendidikan yang berkualitas dapat menentukan kualitas dari

pembangunan. Melalui pendidikan, maka generasi manusia yang berkualitas dapat

terlahir dan juga dengan lahirnya manusia yang berkualitas maka dapat

menghasilkan pembangunan yang maksimal. Oleh karena itu setiap manusia

haruslah selalu memperbaiki kualitas dirinya melalui pendidikan yang dilakukan

dengan professional agar tujuan untuk pembangunan yang berkualitas akan

tercapai dan berhasil dengan baik.

Tingkat pendidikan dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk

melihat tingkat kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang, semakin baik pula kualitas sumber daya manusianya. Pendidikan

sebagai factor terpenting yang dapat membuat seseorang keluar dari kemiskinan.

Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan

memberikan kemampuan untuk berkembang lebwat penguasaan ilmu dan

keterampillan (Suryawati, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2017) pengaruh pendidikan,

pengangguran dan ketimpangan gender terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera

Utara, dari hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa tingkat pendidikan,

pengangguran ketimpangan gender bersama-sama mempengaruhi kemiskinan di

Sumatera Utara. Dan variable pendidikan dan ketidaksetaraan gender berpengaruh

signifikan dan negatif terhadap kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa

pendidikan memiliki potensi berpengaruhnya tingkat kemiskinan.


4

Faktor lain yang juga menentukan kemiskinan adalah rendahnya

penyerapan tenaga kerja sehingga meningkatkan pengangguran. Salah satu faktor

pentung yang menentukan kemakmuran suatu masyarakat adalah tingkat

pendapatannya. Penyerapan tenaga kerja serta pendapatan masyarakat mencapai

maksmimum dapat mengurangi kemiskinan pada suatu daerah. Pengangguran

dapat mengurai pendapatan masyarakat dan ini mengurangi tingkat kemakmuran

yang meraka capai. Hauser (2017) menganggap kemiskinan tercipta dari tidak

optimalnya tenaga kerja dalam bekerja dikarenakan adanya ketidakcocokan antara

pendidikan dan pekerjaan yang ditekuni. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah

penduduk yang masuk ke pasar kerja sehingga memaksa pencari kerja untuk

mendapatkan pekerjaan secepat-cepatnya walaupun tidak sesuai dengan latar

belakang pendidikan.

Penelitian mengenai tenaga kerja yang mempengaruhi kemiskinan telah

dilakukan oleh Sanusi et al., (2014) dalam penelitiannya yang berjudul analisis

pengaruh jumlah tenaga kerja, tingkat pendidikan, pengeluaran pemerintah pada

pertumbuhan ekonomi dan dampaknya terhadap kemiskinan di Sulawesi Utara

Tahun 2001-2010, dari hasil kajian tersebut didapatkan bahwa tenaga kerja

berpengaruh secara langsung terhadap kemiskinan, dimana semakin banyak

tenaga kerja maka tingkat kemiskinan di Provinsi Sulawesi Utara akan semakin

menurun.
5

Berdasarkan dari uraian singkat latar belakang permasalahan di atas, maka

penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul "Kinerja

Pengentasan Kemiskinan Secara Regional di Indonesia".

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan dapat dirumuskan adalah seberapa besar nilai efesiensi kinerja

pengentasan kemiskinan secara regional di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui seberapa besarkah nilai efesiensi kinerja pengentasan kemiskinan

secara regional di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebagai bahan untuk menambah

wacana kepustakaan baik di tingkat fakultas maupun tingkat nasional.

2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebagai salah satu sumber rujukan

untuk penelitian selanjutnya.

3) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris mengenai

kinerja pengentasan kemiskinan secara regional di Indonesia.


6

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah

dalam mengetahui faktor-faktor penentu tingkat kemiskinan.

2) Bagi penulis, bias menjadikan pengalaman dalam membuat karya ilmiah

dan bisa memberikan wawasan dan kesabaran dalam mencari data yang

dibutuhkan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Kemiskinan

2.1.1.1 Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk

memenuhi standar hidup rata-rata masyarakat di suatu daerah. Kondisi

ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya kemampuan pendapatan untuk

memenuhi kebutuhan pokok baik berupa pangan, sandang, maupun papan.

Kemampuan pendapatan yang rendah ini juga akan berdampak berkurangnya

kemampuan untuk memenuhi standar hidup rata-rata seperti standar kesehatan

masyarakat dan standar pendidikan.

Kondisi masyarakat yang disebut miskin dapat diketahui berdasarkan

kemampuan pendapatan dalam memenuhi standar hidup (Nugroho, 2010). Pada

prinsipnya, standar hidup di suatu masyarakat tidak sekedar tercukupinya

kebutuhan akan pangan, akan tetapi juga tercukupinya kebutuhan akan kesehatan

maupun pendidikan. Tempat tinggal ataupun pemukiman yang layak merupakan

salah satu dari standar hidup atau standar kesejahteraan masyarakat di suatu

daerah. Berdasarkan kondisi ini, suatu masyarakat disebut miskin apabila

memiliki pendapatan jauh lebih rendah dari rata-rata pendapatan sehingga tidak

banyak memiliki kesempatan untuk mensejahterakan dirinya (Suryawati, 2005).

Pengertian kemiskinan yang saat ini populer dijadikan studi pembangunan

adalah kemiskinan yang seringkali dijumpai di negara-negara berkembang dan

7
8

negara-negara dunia ketiga. Persoalan kemiskinan masyarakat di negara-negara

ini tidak hanya sekedar bentuk ketidakmampuan pendapatan, akan tetapi telah

meluas pada bentuk ketidakberdayaan secara sosial maupun politik (Suryawati,

2005).

Kemiskinan juga dianggap sebagai bentuk permasalahan pembangunan

yang diakibatkan adanya dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi yang tidak

seimbang sehingga memperlebar kesenjangan pendapatan antar masyarakat

maupun kesenjangan pendapatan antar daerah (inter region income gap)

(Harahap, 2010). Studi pembangunan saat ini tidak hanya memfokuskan

kajiannya pada faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan, akan tetapi juga

mulai mengindintifikasikan segala aspek yang dapat menjadikan miskin.

Jadi dari penjelasan di atas, maka peneliti menarik kesimpulan tentang

kemiskinan adalah sebagai standar hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat

kekurangan materi dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku

dalam masyarakat yang bersangkutan. Secara ekonomis, kemiskinan juga dapat

diartikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan memberi gambaran

situasi serba kekurangan seperti terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya

pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan,

lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan

berperan serta dalam pembangunan.


9

2.1.1.2 Indikator-Indikator Mengenai Kemiskinan

Pengukuran mengenai kemiskinan yang selama ini banyak dipergunakan

didasarkan pada ukuran atas rata-rata pendapatan dan rata-rata pengeluaran

masyarakat dalam suatu daerah. Perluasan pengukuran dengan menyertakan

pandangan mengenai dimensi permasalahan dalam kemiskinan mengukur

banyaknya individu dalam sekelompok masyarakat yang mendapatkan pelayanan

atau fasilitas untuk kesehatan dan pendidikan. Beberapa perluasan pengukuran

lainnya adalah menyertakan dimensi sosial politik sebagai referensi untuk

menerangkan terbentuknya kemiskinan. Keseluruhan hasil pengukuran ini

selanjutnya dikatakan sebagai indikator-indikator kemiskinan yang digolongkan

sebagai indikator-indikator sosial dalam pembangunan. Adapun mengenai

beberapa indikator-indikator kemiskinan akan berikut ini.

1. Indikator Kemiskinan Berdasarkan Dimensi Ekonomi

Berdasarkan sudut pandang ekonomi, kemiskinan adalah bentuk

ketidakmampuan dari pendapatan seseorang maupun sekelompok orang untuk

mencukupi kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar. Dimensi ekonomi dari

kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan atau

dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan seseorang baik secara

finansial maupun jenis kekayaan lainnya yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Suryawati, 2005). Dari pengertian ini,

dimensi ekonomi untuk kemiskinan memiliki dua aspek, yaitu aspek pendapatan

dan aspek konsumsi atau pengeluaran. Aspek pendapatan yang dapat dijadikan

sebagai indikator kemiskinan adalah pendapatan per kapita, sedangkan untuk


10

aspek konsumsi yang dapat digunakan sebagai indikator kemiskinan adalah garis

kemiskinan.

1) Pendapatan Per Kapita

Pendapatan per kapita menyatakan besarnya rata-rata pendapatan

masyarakat di suatu daerah selama kurun waktu 1 tahun. Besarnya pendapatan per

kapita (income per capita) dihitung dari besarnya output dibagi oleh jumlah

penduduk di suatu daerah untuk kurun waktu 1 tahun (Todaro, 2010). Indikator

pendapatan per kapita menerangkan terbentuknya pemerataan pendapatan yang

merupakan salah satu indikasi terbentuknya kondisi yang disebut miskin.

Pendapatan per kapita dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut

(Todaro, 2010):

Y1
Y per kapita=
Pop 1

Keterangan:

Y Per Kapita = Pendapatan Per kapita

Y1 = Pendapatan pada tahun t

Variabel pendapatan dapat dinyatakan sebagai Produk Domestik Bruto

(PDB), Pendapatan Nasional, atau Produk Domestik Regional Bruto, sedangkan

jumlah penduduk menyatakan banyaknya penduduk pada periode t di suatu daerah

yang diukur pendapatan per kapitanya.

2) Garis Kemiskinan

Garis kemiskinan merupakan salah satu indikator kemiskinan yang

menyatakan rata-rata pengeluaran makanan dan non-makanan per kapita pada

kelompok referensi (reference population) yang telah ditetapkan (BPS, 2010).


11

Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu

mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas garis kemiskinan.

Berdasarkan definisi dari BPS, garis kemiskinan dapat diartikan sebagai batas

konsumsi minimum dari kelompok masyarakat marjinal yang berada pada

referensi pendapatan sedikit lebih besar daripada pendapatan terendah. Pada

prinsipnya, indikator garis kemiskinan mengukur kemampuan pendapatan dalam

memenuhi kebutuhan pokok/dasar atau mengukur daya beli minimum masyarakat

di suatu daerah. Konsumsi yang dimaksudkan dalam garis kemiskinan ini meliputi

konsumsi untuk sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan

(Suryawati, 2005).

2. Indikator Kemiskinan Berdasarkan Dimensi Peran Pemerintah

Pemerintah sebagai regulator sekaligus dinamisator dalam suatu

perekonomian merupakan salah satu pihak yang memiliki peran sentral dalam

upaya untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan. Di Indonesia, pelaksanaan

penanggulangan permasalahan kemiskinan dikoordinasikan oleh Kementerian

Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia yang

bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan

Kementerian Sosial Republik Indonesia. Program penanggulangan masalah

kemiskinan ini dibiayai melalui Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional

(APBN) melalui pos pengeluaran untuk Program Pembangunan. Prinsip yang

digunakan untuk program ini bahwa penanggulangan kemiskinan dilakukan

melalui upaya untuk meningkatkan pembangunan di bidang sumber daya manusia

dan pemenuhan sarana maupun pra sarana fisik. Kedua bentuk pelaksanaan dalam
12

APBN ini disebut juga investasi pemerintah untuk sumber daya manusia dan

investasi pemerintah di bidang fisik.

3. Indikator Kemiskinan Berdasarkan Dimensi Kesehatan

Dari berbagai data kemiskinan yang dihimpun menyebutkan adanya

keterkaitan antara kemiskinan dan kualitas kesehatan masyarakat. Rendahnya

kemampuan pendapatan dalam mencukupi/memenuhi kebutuhan pokok

menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk menjangkau atau memperoleh

standar kesehatan yang ideal/layak baik dalam bentuk gizi maupun pelayanan

kesehatan yang memadai. Dampak dari kondisi seperti ini adalah tingginya resiko

terhadap kondisi kekurangan gizi dan kerentanan atau resiko terserang penyakit

menular. Kelompok masyarakat yang disebut miskin juga memiliki keterbatasan

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan/pengobatan yang memadai sehingga

akan menyebabkan resiko kematian yang tinggi. Indikator pelayanan air bersih

atau air minum merupakan salah satu persyaratan terpenuhinya standar hidup

yang ideal di suatu daerah. Ketersediaan air bersih akan mendukung masyarakat

untuk mewujudkan standar hidup sehat yang layak.

Berdasarkan paparan di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa indikator

kemiskinan berupa (1) Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi berupa dominasi

negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang; (2) Kemiskinan yang

berkaitan dengan pembangunan berupa rendahnya partisipasi dalam pembangunan

dan peminggiran proses pembangunan; (3) Kemiskinan sosial yang dialami oleh

perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas karena ketidakberdayaan mereka;


13

dan (4) Kemiskinan karena faktor-faktor eksternal seperti konflik, bencana alam,

kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.

2.1.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin

Pemikiran sosial saat ini lebih banyak memfokuskan penyebab kemiskinan

pada faktor-faktor yang dianggap dapat mempengaruhi jumlah penduduk miskin

yang terdapat di suatu daerah. Menurut Suharto (2006) dimensi kemiskinan

menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Dalam penelitian ini,

faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin di suatu daerah

diterangkan sebagai berikut.

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita

2. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan

3. Angka Melek Huruf (AMH)

4. Jumlah penduduk yang tidak mendapatkan akses air bersih

5. Jumlah penduduk yang tidak mendapatkan akses fasilitas kesehatan.

Menurut (Suryawati, 2005) dimensi ekonomi untuk kemiskinan memiliki

dua aspek, yaitu aspek pendapatan dan aspek konsumsi atau pengeluaran. Aspek

pendapatan yang dapat dijadikan sebagai indikator bertambahnya penduduk

miskin adalah pendapatan per kapita, sedangkan untuk aspek konsumsi yang dapat

digunakan sebagai indikator pertumbuhan pendudukan miskin adalah garis

kemiskinan.

Definisi kemiskinan yang dikemukakan oleh Chambers adalah definisi

yang saat ini mendapatkan perhatian dalam setiap program pengentasan

kemiskinan di berbagai negara-negara berkembang dan dunia ketiga. Pandangan


14

yang dikemukakan dalam definisi kemiskinan dari Chambers dalam (Jhingan,

2012) menerangkan bahwa kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep (integrated

concept) yang memiliki lima dimensi yaitu:

1. Kemiskinan (Proper).

2. Ketidakberdayaan (Powerless)

3. Kerentanan menghadapi situasi darurat (State of emergency)

4. Ketergantungan (Dependency)

5. Keterasingan (Isolation)

Sedangkan menurut Suwandi dalam (Effendy, 2017) bertambahnya jumlah

penduduk miskin terkait dampak dari pemekaran wilayah baru.

1. Perubahan Struktur Kependudukan

Pemekeran wilayah baru akan menyebabkan terjadinya perubahan pada

jumlah penduduk yang menempati di masing-masing wilayah tingkat

kecamatan. Perubahan pada jumlah penduduk akan berdampak pula pada

komposisi jumlah penduduk berdasarkan indikator sosialnya, seperti jumlah

penduduk miskin, jumlah penduduk usia sekolah, jumlah penduduk yang

tidak mendapatkan akses air bersih, dan jumlah penduduk yang tidak

mendapatkan fasilitas kesehatan.

2. Perubahan Pada Kebijakan Kesejahteraan

Setiap daerah pemekaran di tingkat kabupaten/kota akan mendapatkan

fasilitas dan kewenangan yang sama dengan daerah lainnya di tingkat


15

kabupaten/kota. Salah satu kewenangan adalah pelimpahan wewenang untuk

mengelola kebijakan, terutama kebijakan yang berorientasi untuk

meningkatkan taraf kesejahteraan. Pelimpahan wewenang ini termasuk salah

satunya adalah adanya tambahan alokasi dana dari pemerintah pusat yang

berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan pengentasan kemiskinan. Daerah

pemekaran baru memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menjalankan

program pengentasan kemiskinan, dibandingkan dengan daerah lain yang

tidak mengalami pemekaran.

Jadi dari paparan penjelasan di atas maka peneliti dapat menyimpulkan

berupa (1) tidak memiliki faktor produksi sendiri (2) tingkat pendidikan yang

relatif rendah (3) bekerja dalam lingkup kecil dan modal kecil (4) berada di

kawasan pedesaan atau di kawasan yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan

regional (5) memiliki kesempatan yang relatif rendah.

2.1.2 Pendidikan

2.1.2.1 Pengertian Pendidikan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujutkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuan

pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia


16

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat berilmu,

cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.

Dalam upaya mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan

(sustainable development), sektor pendidikan memainkan peranan sangat strategis

yang dapat mendukung proses produksi dan aktivitas ekonomi lainnya. Dalam

konteks ini, pendidikan dianggap sebagai alat untuk mencapai target yang

berkelanjutan, karena dengan pendidikan aktivitas pembangunan dapat tercapai,

sehingga peluang untuk meningkatkan kualitas hidup di masa depan akan lebih

baik.

Analisis atas investasi dalam bidang pendidikan menyatu dalam

pendekatan modal manusia. Modal manusia (human capital) adalah istilah yang

sering digunakan oleh para ekonom untuk pendidikan, kesehatan, dan kapasitas

manusia yang lain yang dapat meningkatkan produktivitas jika hal-hal tersebut

ditingkatkan.

Keadaan pendidikan penduduk secara umum dapat diketahui dari beberapa

indikator seperti angka partisipasi sekolah, tingkat pendidikan yang ditamatkan,

angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.

1) Angka Partisipasi Sekolah Angka partisipasi sekolah merupakan indikator

penting dalam pendidikan yang menunjukkan persentase penduduk usia 7-

12 tahun yang masih terlibat dalam sistem persekolahan. Adakalanya

penduduk usia 7-12 tahun belum sama sekali menikmati pendidikan, tetapi
17

ada sebagian kecil dari kelompok mereka yang sudah menyelesaikan

jenjang pendidikan setingkat sekolah dasar.

2) Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Rendahnya tingkat

pendidikan dapat dirasakan sebagai penghambat dalam pembangunan.

Dengan demikian, tingkat pendidikan sangat diperlukan untuk

meningkatkan kesejahteraan penduduk. Keadaan seperti ini sesuai dengan

hakikat pendidikan itu sendiri yakni merupakan usaha sadar untuk

mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah

yang berlangsung seumur hidup.

3) Angka Melek Huruf Salah satu variabel yang dapat dijadikan ukuran

kesejahteraan sosial yang merata adalah dengan melihat tinggi rendahnya

persentase penduduk yang melek huruf. Tingkat melek huruf atau

sebaliknya tingkat buta huruf dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu

bangsa. Adapun kemampuan membaca dan menulis yang dimiliki akan

dapat mendorong penduduk untuk berperan lebih aktif dalam proses

pembangunan.

4) Rata-rata Lama Sekolah Rata-rata lama sekolah mengindikasikan makin

tinggi pendidikan yang dicapai oleh masyarakat disuatu daerah. Semakin

tinggi rata-rata lama sekolah berarti semakin tinggi jenjang pendidikan

yang dijalani. Rata-rata lama sekolah merupakan rata-rata penduduk usia

15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan di seluruh jenjang

pendidikan formal yang pernah diikuti.


18

2.1.2.2 Hubungan Pendidikan dan Kemiskinan

Pendidikan (formal dan non formal) bisa berperan penting dalam

menggurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara tidak langsung

melalui perbaikan produktivitas dan efesiensi secara umum, maupun secara

langsung melalui pelatihan golongan miskin dengan ketrampilan yang dibutuhkan

untuk meningkatkan produktivitas mereka dan pada gilirannya akan

meningkatkan pendapatan mereka (Arsyad, 2016).

Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah

terutama dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) dan

mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produktivitas

manusia. Kenyataannya dapat dilihat dengan melakukan investasi pendidikan

akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diperlihatkan

dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan

meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas kerjanya.

Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan oleh rendahnya akses

mereka untuk memperoleh pendidikan (Sitepu & Sinaga, 2004).

Menurut Kuznets dalam (Todaro, 2011) pendidikan merupakan cara untuk

menyelamatkan diri dari kemiskinan. Todaro menyatakan bahwa pendidikan

merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Yang mana pendidikan

memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam

menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta

pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan.


19

2.1.3 Penyerapan Tenaga Kerja

2.1.3.1 Pengertian Penyerapan Tenaga Kerja

Penyediaan lapangan kerja merupakan salah satu tujuan pembangunan

ekonomi, terutama di Indonesia, dimana pertumbuhan angkatan kerja lebih besar

dibandingkan pertumbuhan kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi yang

semakin meningkat dan membaik akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja

sehingga mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja disuatu daerah. Ada dua faktor

yang mempengaruhi keadaan ketenaga kerjaan yaitu faktor permintaan

(dipengaruhi oleh dinamika pembangunan ekonomi) dan faktor penawaran (di

tentukan oleh perusahaan struktur penduduk).

Menurut Todaro (2011), penyerapan tenaga kerja merupakan penerimaan

tenaga kerja untuk melakukan tugas (pekerjaan) atau suatu keadaan yang

mengggambarkan tersedianya lapangan pekerjaan untuk siap diisi oleh para

pencari pekerjaan. Secara umum, penyerapan tenaga kerja tersebut menunjukkan

seberapa besar suatu perusahaan dalam menyerap tenaga kerja untuk

menghasilkan suatu produk. Kemampuan untuk menyerap tenaga kerja berbeda

dari satu sektor dengan sektor lainnya (Sumarsono, 2013).

Penyerapan tenaga kerja adalah banyaknya lapangan kerja yang suda terisi

yang tercermin dari banyaknya jumlah penduduk bekerja. Penduduk yang bekerja

terserap dan tersebar di berbagai sektor perekonomian. Terserapnya penduduk

bekerja disebabkan oleh adanya permintaan akan tenaga kerja. Oleh karena itu,
20

penyerapan tenaga kerja dapat dikatakan sebagai permintaan tenaga kerja

(Kuncoro, 2013).

Penduduk yang berkerja terserap dan tersebar diberbagai sektor, namun

tiap sektor mengalami pertumbuhan yang berbeda demikian juga tiap sektor

berbeda dalam menyerap tenaga kerja. Perbedaan laju pertumbuhan tersebut

mengakibatkan dua hal, yaitu :

1. Terdapat perbedaan laju peningkatan produktifitas kerja masingmasing

sektor.

2. Secara berangsur-angsur terjadi perubahan sektoral, baik dalam penyerapan

tenaga kerja maupun dalam kontribusinya terhadap pendapatan nasional

(Kuncoro, 2013).

Penyerapan tenaga kerja didefinisikan sebagai jumlah tenaga kerja yang

terserap pada suatu sektor dalam waktu tertentu. Penyerapan tenaga kerja

diturunkan dari fungsi produksi suatu aktivitas ekonomi. Produksi merupakan

transformasi dari input atau masukan (faktor produksi) ke dalam output atau

keluaran. Hukum permintaan tenaga kerja pada hakekatnya adalah semakin

rendah upah tenaga kerja maka semakin banyak permintaan tenaga kerja tersebut.

Apabila upah yang diminta besar, maka pengusaha akan mencari tenaga kerja lain

yang upahnya lebih rendah dari yang pertama. Hal ini karena dipengaruhi oleh

banyak faktor, yang di antaranya adalah besarnya jumlah angkatan kerja yang

masuk ke dalam pasar tenaga kerja, upah dan skill yang dimiliki oleh tenaga kerja

tersebut.
21

2.1.3.2 Indikator Penyerapan Tenaga Kerja

Indikator penyerapan tenaga kerja menurut Tambunan (2013) terbagi

menjadi tiga, Adapun indikator dari penyerapan tenaga kerja adalah sebagai

berikut:

1. Perubahan Upah Minimum

Upah minimum yang berubah-ubah setiap tahunnya dapat mempengaruhi

terhadap penyerapan tenaga kerja. Karena apabila tingkat upah naik maka

perusahaan akan lebih memilih untuk tidak menambah jumlah tenaga kerja

lalu menaikkan upah kepada pekerja yang sudah ada.

2. Laju Peningkatan Produk Domestik Regional Bruto

Banyaknya peluang atau penyerapan tenaga kerja diantara dapat dilihat dari

pertumbuhan PDRB di suatu provinsi. Apabila tingkat PDRB meningkat

maka semakin banyak juga tenaga kerja yang terserap. Karena kesejahteraan

penduduk dapat dilihat dari seberapa besar pertumbuhan perekonomian di

suatu daerah atau provinsi.

3. Laju Pertumbuhan Investasi

Menurut investasi merupakan suatu faktor krusial bagi kelangsungan proses

pembangunan ekonomi, atau pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Karena

adanya kegiatan produksi maka terjadi penyerapan tenaga kerja yang cukup

meningkat dan pendapatan masyarakat pun dapat meningkat yang selanjutnya

dapat menciptakan serta meningkatkan permintaan pasar. Pendapat tersebut

menjelaskan tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh investasi, dimana


22

munculnya investasi akan mendorong penyerapan tenaga kerja dan

peningkaqtan terhadap pendapatan.

Permintaan tenaga kerja berkaitan dengan jumlah tenaga yang dibutuhkan

oleh perusahaan atau instansi tertentu. Biasanya permintaan akan tenaga kerja ini

dipengaruhi oleh perubahan tingkat upah dan faktor-faktor lain yang

mempengaruhi permintaan hasil (Sumarsono, 2013).

1. Perubahan Tingkat Upah

Perubahan tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi

perusahaan. Apabila digunakan asumsi bahwa tingkat upah naik maka akan

terjadi hal-hal sebagai berikut :

a. Naiknya tingkat upah akan menaikan biaya produksi perusahaan,

selanjutnya akan meningkatkan pula harga per unit yang diproduksi.

Biasanya para konsumen akan memberikan respon yang cepat apabila

terjadi kenaikan harga barang yaitu dengan mengurangi konsumsi atau

bahkan tidak membeli sama sekali. Akibatnya banyak hasil produksi

yang tidak terjual dan terpaksa produsen mengurangi jumlah

produksinya. Turunnya target produksi akan mengakibatkan

berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan karena turunnya pengaruh

skala produksi yang disebut dengan efek skala produksi atau Scale Efect

Product.

b. Apabila upah naik (asumsi harga dari barang-barang modal lainnya tidak

berubah), maka pengusaha akan lebih suka dengan menggunakan

teknologi padat modal untuk proses produksinya dan menggantikan


23

kebutuhan akan tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang-barang

modal sepeti mesin dan lain-lain. Penurunan jumlah tenaga kerja yang

dibutuhkan karena adanya penggantian atau penambahan penggunaan

mesin-mesin ini disebut efek subsitusi atau substitution effect. Baik efek

skala atau efek subsitusi akan menghasilkan suatu bentuk kurva

permintaan tenaga kerja yang mempunyai slope negatif.

2. Faktor-Faktor Lain Yang Mempengaruhi Permintaan Tenaga Kerja.

a. Naik turunnya permintaan pasar akan hasil produksi dari perusahaan

yang bersangkutan. Apabila permintaan akan hasil produksi perusahaan

meningkat, produsen cenderung untuk menambah kapasitas produksinya.

Untuk maksud tersebut produsen akan menambah penggunaan tenaga

kerjanya. Keadaan ini mengakibatkan kurva permintaan tenaga kerja

bergeser ke kanan.

b. Apabila harga barang-barang modal turun, maka biaya produksi turun

dan tentunya mengakibatkan pula harga jual per unit barang akan turun.

Pada keadaan ini produsen cenderung akan meningkatkan produksinya

barangnya karena permintaan bertambah besar. Disamping itu

permintaan tenaga kerja akan bertambah besar karena peningkatan

kegiatan produksi. Keadan ini akan mengakibatkan bergesernya kurva

permintaan tenaga kerja kearah kanan karena pengaruh skala efek atau

subsitusi efek.
24

2.1.4 Pengukuran Efisiensi

Menurut Repková (2013), pembahasan tentang batas efisien dimulai oleh

Farrel yang menetapkan pengukuran sederhana efisiensi sebuah perusahaan yang

dapat memperhitungkan banyak input. Farrel menyatakan bahwa efisiensi

perusahaan terdiri dari dua komponen yaitu efisiensi teknis (technical efficiency)

dan efisiensi alokatif (allocative efficiency). Efisiensi teknis adalah kemampuan

sebuah perusahaan untuk memaksimalkan output dari sejumlah input yang

diberikan. Efisiensi alokatif adalah kemampuan perusahaan untuk menggunakan

input dengan proporsi optimal pada tingkat harga input tertentu. Gabungan dari

dua pengukuran ini menghasilkan pengukuran efisiensi produktif.

Pengukuran efisiensi relatif dapat dilakukan dengan pendekatan

parametrik dan non parametrik. Pengertian pendekatan parametrik adalah

pendekatan yang menyertakan beberapa asumsi teoritis dalam melakukan

pengukuran efisiensi relatif dan mengasumsikan adanya hubungan fungsional

antara input dan output, walaupun dalam kenyataannya tidak ada fungsi yang

benar-benar pasti. Sedangkan pengertian pendekatan nonparametrik adalah

diasumsikan tidak adanya hubungan antara input dan output secara fungsional.

Pendekatan parametric membandingkan secara tidak langsung kombinasi output

yang dihasilkan dengan kombinasi input yang digunakan, sebaliknya bagi

pendekatan nonparametrik yang membandingkan secara langsung kombinasi

input dengan kombinasi output.

Data Envelopment Analysis (DEA) adalah metode nonparametrik yang

mengukur efisiensi relatif sebuah DMU terhadap DMU laindengan pembatas


25

sedehana yaitu semua DMU yang berada pada atau di bawah batas efisiensi. DEA

mengukur efisiensi relatif dari DMU homogen dalam penerapannya yaitu multiple

input untuk menghasilkan multiple output. DEA juga mengidentifikasi, untuk

DMU yang tidak efisien, sumber dan level ketidakefisienan untuk setiap input dan

output. Analisis ini berkenaan dengan pemahaman bagaimana tiap DMU

menunjukkan hubungan dengan yang DMU lainnya, penyebab ketidakefisienan,

dan bagaimana sebuah DMU dapat memperbaiki hasilnya untuk menjadi efisien.

DEA memulai dengan formulasi program pecahan sederhana.Misalkan

terdapat n DMU untuk dievaluasi. Masing-masing menggunakan jumlah yang

berbeda baik input i dan menghasilkan output r. Contoh :DMUj menggunakan

sejumlah xji input untuk menghasilkan sejumlah yji output. Diasumsikan bahwa

input xji dan output yji adalah non-negatif, dan tiap DMU memiliki setidaknya

satu input positif dan nilai output. Produktifitas DMU dapat dituliskan sebagai

berikut:
δ

∑ ur y rj
h j= r =1
m

∑ v i xij
i=1

Dalam persamaan ini, u dan v adalah bobot untuk masing-masing input

dan output. Dengan menggunakan teknik program matematika, DEA secara

optimal menetapkan bobot pada kendala berikut. Bobot untuk setiap DMU

ditetapkan subyek pada kendala dimana tidak ada DMU yang memiliki efisiensi

lebih besar dari 1 jika DMU menggunakan bobot yang sama dan efisiensi DMU
26

akan memiliki nilai rasio 1. Fungsi objektif DMU k adalah rasio dari total output

terbobot dibagi dengan total input terbobot:


δ

∑ ur y r 0
max h 0 (u , v )= r=1
m

∑ vi xi 0
i =1

Keterangan
δ

∑ ur y r 0
r =1
m ≤ 1, j =1,2,…….,n
∑ v i xi 0
i=1

ur ≥ 0, r = 1, 2, . . . , s,

vi ≥ 0, i = 1, 2, . . . , m,

Dimana ho adalah efisiensi teknis dari DMUo, ur dan vi adalah bobot untuk

dioptimalkan, yrj adalah jumlah dari output ke r untuk DMU ke j, xij adalah

jumlah dari input ke i untuk DMU ke j, r menunjukkan s output berbeda, i

menunjukkan m input berbeda dan j menunjukkan n DMU berbeda.

2.2 Penelitian Terdahulu

Asfi dan Wijaya (2015), judul penelitian "Efektivitas Pemberdayaan

Masyarakat Dalam Pengentasan Kemiskinan Pada Program Gerdu Kempling Di

Kelurahan Kemijen Kota Semarang". Hasil dalam penelitian ini merupakan kajian

efektivitas pemberdayaan masyarakat dalam pengentasan kemiskinan pada

Program Gerdu Kempling. Secara umum pemberdayaan masyarakat pada

program Gerdu Kempling dalam upaya pengentasan kemiskinan kurang efektif

dalam meningkatkan kemandirian masyarakat untuk dapat terlepas dari lingkaran


27

kemiskinan. Proses pemberdayaan masyarakat dalam Gerdu Kempling yang

kurang efektif tersebut terutama disebabkan oleh kapasitas masyarakat yang

belum mampu mengambil peran yaitu dalam membuat keputusan atau pilihan

yang masyarakat inginkan. Secara umum pemberdayaan masyarakat dalam Gerdu

Kempling di Kelurahan Kemijen cukup efektif yaitu 63% dari masyarakat miskin

yang mendapatkan bantuan program Gerdu Kempling mengalami peningkatan

kondisi kualitas hidupnya setelah mendapatkan program bantuan Gerdu

Kempling.

Sari (2013), judul penelitian "Analisis Kinerja Program Penanggulangan

Kemiskinan Melalui KJKS BMT (Studi Pada Kota Padang)". Berdasarkan hasil

analisis menunjukkan kinerja program penanggulangan kemiskinan melalui KJKS

BMT yang berupa dampak dari program sangat baik. Pertama Perkembangan

Usaha dan Peningkatan Pendapatan Keluarga Miskin dengan persentase penilaian

sebesar 93,02%. Kedua, Peningkatan Kualitas hidup Keluarga Miskin dengan

Tersedianya Kebutuhan Dasar di Bidang Pendidikan dan Kesehatan dengan

persentase penilaian 93,02%. Ketiga, Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia,

Baik dari Segi Pengetahuan, Sikap maupun Keterampilan dengan persentase

penilaian sebesar 80.62%. Keempat, Peningkatan Sarana/Prasarana

Nagari/Kelurahan dengan persentase penilaian sebesar 95,35%. Kelima,

Pengembangan Usaha Masyarakat Nagari/Kelurahan dengan persentase penilaian

sebesar 100%.

Azwardi dan Sukanto (2014), judul penelitian "Efektifitas Alokasi Dana

Desa (ADD) dan Kemiskinan Di Provinsi Sumatera Selatan". Hasil kajian

menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian

ini yaitu: penyaluran dana ADD belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
28

Bila dilihat dari jumlah yang disalurkan hingga tahun 2012 belum satu pun yang

memenuhi ketentuan yang berlaku (minimal 10% dari dana bagi hasil ditambah

pajak dikurangi belanja pegawai). Namun, daerah yang telah melakukan

penyaluran ADD menunjukkan peningkatkan, bila tahun 2006 sebesar 35,71%,

meningkat menjadi 90% ditahun 2012.

Gunantoro (2016), judul penelitian "Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat

Dalam Penanggulangan Kemiskinan (Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) di Kelurahan Sragen Wetan

Kecamatan Sragen dan Desa Karangudi Kecamatan Ngrampal Kabupaten

Sragen). Hasil penelitian didapatkan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam

pengelolaan PNPM-MP di Kabupaten Sragen secara umum cukup efektif dalam

meningkatkan kondisi pemberdayaan masyarakat di daerah tersebut. Hal ini dapat

dilihat dari nilai skor yang menunjukkan angka perubahan kondisi pemberdayaan

masyarakat di Kabupaten Sragen sebanyak 1,28 dari 2,63 menjadi 3,91 dan

persentase jumlah responden yang menyatakan ada hubungan dengan PNPM-MP

sebesar 93,31%. Dari nilai ini dapat disimpulkan bahwa untuk Pemberdayaan

masyarakat di Kabupaten Sragen cukup efektif.

Sutikno, dll (2010), judul penelitian "Pemilihan Program Pengentasan

Kemiskinan Melalui Pengembangan Model Pemberdayaan Masyarakat dengan

Pendekatan Sistem". Penelitian ini bertujuan menyusun program-program

pengentasan kemiskinan melalui model pemberdayaan masyarakat dan mengkaji

kembali proses penentuan program sebagai evaluasi efektivitas program

pengentasan kemiskinan yang dinilai masih belum dapat berjalan dengan baik.

Tahapan dalam penyusunan program pemberdayaan masyarakat untuk

pengentasan kemiskinan adalah memetakan kondisi sosial ekonomi masyarakat


29

miskin, kondisi infrastruktur dasar, persoalan sosial-budaya, dan potensi yang

dimiliki; mengidentifikasi keinginan, harapan, dan memprediksi peluang

pengembangan ekonomi; membuat perencanaan program pengentasan kemiskinan

melalui analisis SWOT dan perencanaan program pendampingannya;

pembentukan KPD, konfirmasi dan rencana implementasi program bersama KPD.

2.3 Kerangka Konseptual

Untuk lebih jelas tentang kerangka pikir sehingga dapat memberikan

jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti, maka disajikan diagram

alur kerangka pemikiran operasional pada gambar 2.1.

Variabel Output Variabel Input

Pendidikan
Tingkat
Kemiskinan
Tenaga Kerja

Pengukuran efisiensi metode Data Envelopment Analysis (DEA)


Model varieble return to scale (VRS) - Output Oriented

Tingkat Efisiensi Kinerja Pengentasan Kemiskinan


Secara Regional Di Indonesia

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis

Hipotesis merupakan pandapatan sementara dan pedoman serta arah dalam

penelitian yang disusun berdasarkan pada teori yang terkait, dimana suatu
30

hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menghubungkan dua

variabel atau lebih (Supranto, 2011).

H0 : Diduga Kinerja Pengentasan Kemiskinan secara Regional Di Indonesia tidak

efisiensi.

H1 : Diduga Kinerja Pengentasan Kemiskinan secara Regional Di Indonesia

sudah efisiensi.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Objek dan Lokasi Penelitian

Objek penelitian ini antara lain, output: tingkat pendidikan dan penyerapan

tenaga kerja, sedangkan input: tingkat kemiskinan. Lokasi penelitian dilakukan di

Indonesia dengan mengakses data dari BPS Indonesia hal ini disebabkan luasnya

lingkup penelitian sehingga peneliti.

3.2 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, data sekunder yang

digunakan berupa data tingkat pendidikan, penyerapan tenaga kerja dan tingkat

kemiskinan tahun 2018 yang bersumber dari BPS. Dalam penelitian ini jumlah

pengamatan sebanyak 34 provinsi di Indonesia.

3.3 Operasional Variabel Penelitian

Bentuk Operasionalisasi dari variabel-variabel yang digunakan dalam

penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:

1. Variabel Input

 Tingkat kemiskinan

Suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar

hidup rata-rata masyarakat di suatu daerah. Satuan yang digunakan dalam

tingkat kemiskinan adalah persen.

31
32

2. Variabel Output

1) Tingkat Pendidikan

Suatu kondisi jenjang pedidikan yang dimiliki oleh seseorang melalui

pendidikan formal yang dipakai oleh pemerintah serta disahkan oleh

departemen pendidikan. Satuan yang digunakan dalam tingkat

pendidikan adalah persen.

2) Penyerapan Tenaga Kerja

Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan

barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk

masyarakat. Satuan yang digunakan dalam penyerapan tenaga kerja

adalah persen.

3.4 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan untuk tingkat

efisiensi penggunaan input terhadap output di hasilkan. Data DEA (Data

Envilopment Analysis) sangat tepat untuk digunakan dengan tujuan untuk melihat

bagaimana tingkat efiesiensi dimasing-masing penguasaha (DMU).

Dalam pengukuran efisiensi dengan menggunakan DEA terdapat dua

model yang sering digunakan, yaitu Constant Return to Scale (CRS) dan Variable

Return to Scale (VRS) Model DEA ini berorientasi pada input berdasarkan asumsi

constant return to scale sehingga dikenal dengan model CCR. Dalam model

constant return to scale setiap Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) atau Decision

Making Unit (DMU) akan dibandingkan dengan seluruh DMU yang ada di sampel

dengan asumsi bahwa kondisi internal dan eksternal DMU adalah sama. Kritik

terhadap asumsi ini adalah bahwa asumsi constant return to scale hanya sesuai

untuk kondisi dimana seluruh DMU beroperasi pada skala optimal. Namun, dalam
33

kenyataannya meskipun DMU tersebut beroperasi dengan sumber daya (input)

yang sama dan menghasilkan output yang sama pula tetapi kondisi internal dan

eksternalnya mungkin berbeda sehingga dapat mengakibatkan sebuah DMU tidak

beroperasi pada skala optimal. Menurut Charnes, Cooper, dan Rhodes model ini

dapat menunjukkan technical efficiency secara keseluruhan atau nilai dari profit

efficiency untuk setiap DMU. Untuk itu penentuan DMU dalam penelitian ini

adalah setiap provinsi yang ada di indoneusa yang berjumlah 34 unit DMU.

3.4.1 Data Envelopment Analysis (DEA)

Data Envelopment Analysis (DEA) adalah suatu metodologi yang

digunakan untuk mengevaluasi efisiensi dari suatu unit pengambilan keputusan

(unit kerja) yang bertanggung jawab menggunakan sejumah input untuk

memperoleh suatu output yang ditargetkan. DEA merupakan model pemrograman

fraksional yang bisa mencakup banyak output dan input tanpa perlu menentukan

bobot untuk tiap variabel sebelumnya, tanpa perlu penjelasan eksplisit mengenai

hubungan fungsional antara input dan output (tidak seperti regresi). DEA

menghitung ukuran efisiensi secara skalar dan menentukan level input dan output

yang efisien untuk unit yang dievaluasi.

Proses pengolahan data dengan DEA merumuskan indikator pengukuran

efisiensi berupa: jumlah produksi, pendapatan, bahan baku, upah dan modal, bisa

berupa ke dalam model matematis. Tahap ini merupakan penyederhanaan

penggambaran masalah yang kompleks ke dalam bentuk kuantitatif untuk dicari

solusi (pemecahan) permasalahan.


34

Metode DEA ini diciptakan sebagai alat evaluasi kinerja suatu aktivitas di

sebuah unit entitas (organisasi) yang selanjutnya disebut DMU (Decision Making

Unit) atau Unit Pembuat Keputusan (UPK). Secara sederhana pengukuran

dinyatakan dengan rasio: output/input yang merupakan satuan pengukuran

efisiensi atau produktivitas yang bisa dinyatakan secara parsial (misalnya: output

perjam kerja ataupun output perpekerja, dengan output adalah penjualan, profit

dsb) ataupun secara total (melibatkan semua output dan input suatu entitas ke

dalam pengukuran) yang dapat membantu menunjukkan faktor input (output) apa

yang paling berpengaruh dalam menghasilkan suatu output (penggunaan suatu

input). Hanya saja perluasan pengukuran produktivitas dari parsial ke total akan

membawa kesulitan dalam memilih input dan output apa yang harus disertakan

dan bagaimana pembobotannya.

DEA merupakan pendekatan non parametrik dengan menggunakan teknik

linear programming sebagai dasar. Langkah kerja penelitian dengan metode DEA

ini meliputi:

1. Identifikasi DMU atau unit yang akan diobservasi beserta input dan output

pembentuknya.

2. Menghitung efisiensi tiap DMU untuk mendapakan target input dan output

yang diperlukan untuk mencapai kinerja optimal.

3.4.2 Model Constant Return to Scale (CRS)

Model CRS dikembangkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes pada tahun

1978, dikenal juga dengan nama model CCR, yang mengukur efisiensi

menggunakan pendekatan input. Model ini berasumsi bahwa rasio antara


35

penambahan input atau output adalah sama (constant return to scale), dimana jika

input ditambah sebesar n kali, maka output juga akan bertambah sebesar n kali.

Asumsi tambahan dari model ini adalah bahwa setiap DMU telah beroperasi pada

skala yang optimal (Armezano Yulianto, 2005). Rumus dari constant return to

scale dapat dituliskan sebagai berikut:


p
max ∑ μ k y ko
k=1

m
s . t ∑ V i X io =1
i=1

p m

∑ μ k y kj −¿ ∑ V i X ij ≤ 0 j=1, … . , n ¿
k =1 i=1

μk ≥ ε ,V i ≥ ε k =1 , … ., p

i=1 , … . ,m

Keterangan :

m = input (tingkat kemiskinan)

p = output (tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja)

xij = tingkat kemiskinan yang dikonsumsi oleh DMU ke-j

ykj = tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja yang diproduksi oleh

DMU ke-j

µk = bobot tertimbang dari tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja

yang dihasilkan oleh setiap DMU

vi = bobot tertimbang dari tingkat kemiskinan yang dihasilkan oleh setiap

DMU

3.4.3 Model Variable Return to Scale (VRS)


36

Model CRS hanya berlaku jika seluruh perusahaan beroperasi pada skala

yang optimal. Pada tahun 1984, Banker, Charnes, dan Rhodes mengembangkan

model lanjutan dari model CRS DEA, yaitu variable return to scale (VRS).

Asumsi dari model ini adalah rasio antara penambahan input atau output tidak

sama (variable return to scale), artinya adalah penambahan input sebesar n kali

tidak akan menyebabkan output meningkat sama sebesar n kali, bisa lebih kecil

atau lebih besar dari n kali. Rumus dari variabel return to scale dapat dituliskan

sebagai berikut :
p
max ∑ μ k y ko −uo
k=1

m
s . t ∑ V i X io =1
i=1

p m

∑ μ k y kj −¿ ∑ V i X ij−uo ≤ 0 j=1 , … . , n ¿
k =1 i=1

μk ≥ ε ,V i ≥ ε k =1 , … ., p

i=1 , … . ,m

Keterangan :

m = input (tingkat kemiskinan)

p = output (tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja)

xij = tingkat kemiskinan yang dikonsumsi oleh DMU ke-j

ykj = tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja yang diproduksi oleh

DMU ke-j

µk = bobot tertimbang dari tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja

yang dihasilkan oleh setiap DMU


37

vi = bobot tertimbang dari tingkat kemiskinan yang dihasilkan oleh setiap

DMU

Menurut Anggraita (2012), dalam analisis DEA, terdapat tiga tabel yang

merupakan hasil pengolahan data. Ketiga tabel ini dapat mempermudah dalam

melakukan analisis terhadap hasil keseluruhan dari penelitian yang dilakukan.

Tiga tabel tersebut meliputi:

1. Table of Efficiencies (Radial)

Tabel ini menjelaskan mengenai tingkat efisiensi yang telah dicapai oleh

suatu DMU. Suatu DMU dikatakan telah mencapai efisiensi sempurna jika

DMU tersebut telah mencapai nilai 100 (100%). Dan sebaliknya, suatu DMU

dikatakan belum mencapai efisiensi sempurna jika belum mencapai nilai 100.

2. Table of Peer Units

Pada tabel ini dijelaskan mengenai nilai acuan yang dapat digunakan oleh

DMU yang belum efisien untuk meningkatkan tingkat efisiensinya dengan

berdasarkan pada DMU yang telah mencapai tingkat efisiensi sempurna.

3. Table of Target Values

Tabel ini menunjukkan nilai yang telah dicapai (nilai aktual) dan nilai yang

harus dicapai (nilai target) dari setiap input yang digunakan maupun output

yang dihasilkan oleh suatu DMU. Jika suatu DMU memiliki nilai actual yang

sama besar dengan nilai target, maka DMU tersebut telah mencapai tingkat

efisiensi maksimal untuk setiap input dan outputnya. Sebaliknya, jika nilai

aktual besarnya tidak sama dengan nilai target, maka efisiensi belum tercapai.
38

Dalam penelitian ini, model yang digunakan adalah CRS (constant return

to scale) dan VRS (variable return to scale). Alasan pemilihan skala efisiensi

model CRS dan VRS ini adalah studi ini ingin mengetahui tingkat efisiensi skala

relatif.

3.4.4 Input Oriented

Perspektif yang melihat efisiensi sebagai pengurangan penggunaan input

meski memproduksi output dalam jumlah yang tetap. Cocok untuk industri

dimana manager memiliki kontrol yang besar terhadap biaya operasional.

Gambar 3.2
Proyeksi Frontier Orientasi Input Model CCR

Berdasarkan gambar diatas kurva model input adalah kurva isoquant yang

merupakan himpunan titik-titik perusahaan yang paling efesien dalam fully

efficient firm atau titik potensial yang paling efisien secara teknis (fully technically

efficient). Data yang berada pada titik P1 adalah data yang tergolong kurang

efisien.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6° 08’ Lintang Utara dan 11°

15’ Lintang Selatan dan antara 94° 45’ – 141° 05’ Bujur Timur dan dilalui oleh

garis ekuator atau garis khatulistiwa yang terletak pada garis lintang 0°.

Berdasarkan letak geografisnya, kepulauan Indonesia berada di antara Benua Asia

dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Gambar 4.1
Peta Provinsi di Indonesia

Berdasarkan posisi geografisnya, Negara Indonesia memiliki batas-batas

wilayah sebagai berikut:

- Utara : Negara Malaysia, Singapura, Filipina, dan Laut Cina Selatan

- Selatan : Negara Australia dan Samudra Hindia

- Barat : Samudra Hindia

- Timur : Negara Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudera Pasifik

Indonesia memiliki luas daerah sebesar 1.910.931,32 km2 dengan total

jumlah pulau sebanyak 17.504. Batas ujung barat Nusantara adalah Sabang, batas

39
40

ujung timur adalah Merauke, batas ujung utara adalah Miangas, dan batas ujung

selatan adalah Pulau Rote. Indonesia terletak di kawasan yang beriklim tropis dan

berada di belahan timur bumi. Merupakan sebuah Negara yang memiliki 3 daerah

waktu, yaitu WIB, WITA dan WIT. Indonesia terdiri dari 81.626 desa, 7.024

kecamatan, 98 kota, serta 34 provinsi yang terletak di 5 pulau besar dan 4

kepulauan.

4.1.1 Jumlah Penduduk Miskin Secara Regional di Indonesia

Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidak mampuan untuk

memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan

dan kesehatan. jumlah peduduk miskin turut berpengaruh terhadap pencapaian

indeks pembangunan manusia. Tinggi jumlah penduduki miskin akan

menghambat peningkatan kualitas sumber daya manusia di suatu negara atau

daerah.

Jumlah Penduduk miskin di Indonesia masih berada di angka 10% secara

keseluruhan pada tahun 2018. Wilayah dengan jumlah penduduk miskin terbesar

yaitu Papua sebesar 27,59% Papua Barat sebesar 22,84% dan Nusa Tenggara

Timur sebesar 21,19% ke tiga wilayah tersebut memiliki penduduk miskin diatas

20%. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa tingkat kesejahteraan di wilayah

tersebut masih belum sejahtera. Bahkan memiliki tingkat kemiskinan yang sangat

tinggi jika dibandingkan dengan wilayah yang lain di Indonesia. Untuk lebih jelas

dapat dilihat pada grafik 4.1 dibawah ini.


41

Grafik 4.1
Jumlah Penduduk Miskin Secara Regional di Indonesia Tahun 2018

Papua 27.59
Papua Barat 22.84
Maluku Utara 6.63
Maluku 17.99
Sulawesi Barat 11.24
Gorontalo 16.32
Sulawesi Tenggara 11.48
Sulawesi Selatan 8.97
Sulawesi Tengah 13.85
Sulawesi Utara 7.69
Kalimantan Utara 6.98
Kalimantan Timur 6.05
Kalimantan Selatan 4.60
Kalimantan Tengah 5.13
Kalimantan Barat 7.57
Nusa Tenggara Timur 21.19

Perse
Nusa Tenggara Barat 14.69

n
Bali 3.96
Banten 5.25
Jawa Timur 10.92
DI Yogyakarta 11.97
Jawa Tengah 11.26
Jawa Barat 7.35
DKI Jakarta 3.56
Kep. Riau 6.02
Kep. Bangka Belitung 5.01
Lampung 13.08
Bengkulu 15.42
Sumatera Selatan 12.81
Jambi 7.88
Riau 7.30
Sumatera Barat 6.60
Sumatera Utara 9.08
Aceh 15.83
Persen 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00

Sumber: BPS Indonesia (2019)

Dari grafik tersebut diatas menjelaskan bahwa pada tahun 2018 Indonesia

masih belum mampu menekan kemiskinan di bawah angka 10%. Untuk Provinsi

Aceh tingkat kemiskinan masih tinggi yaitu sebesar 15,83% diatas tingkat
42

kemiskinan Indonesia. Disusul oleh Provinsi Maluku sebesar 17,99% Gorontalo

sebesar 16,32%.

Sedangkan untuk wilayah yang jumlah penduduk miskinnya dibawah 10%

yaitu DKI Jakarta sebesar 3,56% dan Bali sebesar 3,96%. Kedua wilayah tersebut

merupakan provinsi dengan jumlah masyarakat miskinnya terendah di Indonesia.

Penyebab rendahnya tingkat kemiskinan di dua wilayah tersebut dikarenakan DKI

Jakarta merupakan ibukota serta pusat ekonomi Indonesia. Gambaran penduduk

miskin yang ada di Jakarta merupakan bukan penduduk asli Jakarta atau tidak

memiliki identitas Jakarta, sedangkan Provinsi Bali merupakan daerah yang

menjadi kunjungan wisata terpadat di Indonesia baik wisatawan dari dalam negeri

maupun wisatawan dari luar negeri sehingga menambah pemasukan bagi

masyarakat setempat.

4.1.2 Tingkat Pendidikan

Pendidikan bertujuan guna mengembangkan dan memantapkan

kemampuan intelektual, kematangan psikologis dan pembentukan watak

seseorang. Pendidikan adalah salah satu investasi pengembangan terbaik.

Pendidikan merupakan hal penting untuk pencapaian semua Millenium

Development Goals (MDGs) dan hasil pembangunan lainnya. Pendidikan

memungkinkan orang untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat, meningkatkan

akses ke pekerjaan dan sumber pendapatan lain dan membuka peluang Pendidikan

juga memberikan manfaat dalam kesehatan, pemerintahan, produktivitas,

kesetaraan gender dan pembangunan bangsa.


43

Grafik 4.2
Tingkat Pendidikan Secara Regional di Indonesia Tahun 2018

Papua 82.45
Papua Barat 97.05
Maluku Utara 97.63
Maluku 98.33
Sulawesi Barat 91.80
Gorontalo 92.12
Sulawesi Tenggara 93.62
Sulawesi Selatan 93.00
Sulawesi Tengah 93.90
Sulawesi Utara 93.25
Kalimantan Utara 98.16
Kalimantan Timur 98.89
Kalimantan Selatan 90.69
Kalimantan Tengah 93.55
Kalimantan Barat 93.09
Nusa Tenggara Timur 94.30
Nusa Tenggara Barat 97.43
Bali 95.63
Banten 90.97
Jawa Timur 93.58

rs
DI Yogyakarta 96.75

e
Jawa Tengah 94.76
Jawa Barat 90.84
DKI Jakarta 91.39
Kep. Riau 96.91
Kep. Bangka Belitung 93.10
Lampung 95.28
Bengkulu 97.06
Sumatera Selatan 92.68
Jambi 92.82
Riau 94.99
Sumatera Barat 95.29
Sumatera Utara 97.55
Aceh 99.32
Persen 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

Sumber: BPS Indonesia (2019)

Berdasarkan dari grafik 4.2 menjelaskan bahwa tingkat pendidikan di

Indonesia secara keseluruhan sebesar 94.36%, secara nasional tingkat pendidikan

sudah sangat baik. Tidak ada tingkat pendidikan dibawah 80%, walaupun Provinsi

Papua memiliki tingkat pendidikan sebesar 82,45% merupakan tingkat pendidikan


44

terendah di Indonesia. Sedangkan untuk wilayah yang paling tinggi tingkat

pendidikanya yaitu Provinsi Aceh.

4.1.3 Angkatan Kerja

Dalam sejarah ketenagakerjaan, para ahli menyebutkan bahwa globalisasi

merupakan alasan terjadinya proses kerjasama ketenagakerjaan. Hal tersebut

tentunya didasari apabila ada hubungan regional, bilateral, atau bahkan

multilateral. Negara-negara di dunia tentunya memiliki kualitas dan kuantitas

sumber daya manusia yang berbeda sehingga adanya hubungan kerjasama akan

membuka peluang antar negara untuk menutupi kekurangan yang dimiliki. Hal

tersebutlah yang mendasari terjadinya pengiriman tenaga kerja sebagai salah satu

proses dalam perdagangan internasional.

Penyerapan tenaga di seluruh provinsi yang ada di Indonesia sudah

termasuk tinggi rata-rata penyerapan di Indonesia sebesar 95,14%, dengan

wilayah yang penyerapan paling tinggi ada di wilayah Bali sebesar 98,28%.

Penyerapan tenaga kerja terbesar ada di pariwisata karena Provinsi Bali

merupakan provinsi dengan jumlah kunjungan wisata terbanyak di Indonesia.

Untuk wilayah dengan penyerapan terendah yaitu Provinsi Banten sebesar

91,48% Jawa Barat sebesar 91,83% Sulawesi Barat sebesar 92,84% dan

Kepulauan Riau Sebesar 92,88%, rendahnya penyerapan tenaga kerja di Provinsi

Jawa Barat disebabkan tingginya jumlah penduduk yaitu sebanyak 48.037.600

jiwa jika dibandingkan dengan kemampuan daerah untuk menyerap tenaga kerja,

sedangkan untuk wilayah lain dalam hal ini merupakan wilayah yang jarang

dilirik oleh investor untuk membuka lapangan pekerjaan. Untuk lebih jelas tingkat
45

penyerapan tenaga kerja yang ada di Indonesia menurut provinsi dapat dilihat

pada grafik dibawah ini.

Grafik 4.3
Penyerapan Tenaga Kerja Secara Regional di Indonesia Tahun 2018

Papua 96.80
Papua Barat 93.70
Maluku Utara 95.23
Maluku 92.73
Sulawesi Barat 96.84
Gorontalo 95.97
Sulawesi Tenggara 96.74
Sulawesi Selatan 94.66
Sulawesi Tengah 96.57
Sulawesi Utara 93.14
Kalimantan Utara 94.78
Kalimantan Timur 93.40
Kalimantan Selatan 95.50
Kalimantan Tengah 95.99

rs
P

e
Kalimantan Barat 95.74
Nusa Tenggara Timur 96.99
Nusa Tenggara Barat 96.28
Bali 98.63
Banten 91.48
Jawa Timur 96.01
DI Yogyakarta 96.65
Jawa Tengah 95.49
Jawa Barat 91.83
DKI Jakarta 93.76
Kep. Riau 92.88
Kep. Bangka Belitung 96.35
Lampung 95.94
Bengkulu 96.49
Sumatera Selatan 95.77
Jambi 96.14
Riau 93.80
Sumatera Barat 94.45
Sumatera Utara 94.44
Aceh 93.64
Persen 86.00 88.00 90.00 92.00 94.00 96.00 98.00 100.00

Sumber: BPS Indonesia (2019)


46

4.2 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan metode DEA

model VRS yang berorientasikan pada input dalam software DEAP versi 2.1

untuk menganalisis nilai efisiensi kinerja pemerintah Indonesia dalam pengetasan

kemiskinan secara regional diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 4.1
Hasil Perhitungan Technical Efficiency DEA Pada Kinerja Pengetasan
Kemiskinan Secara Regional di Indonesia dengan Pendekatan VRS dengan
Orientasi Output

Nilai Efisiensi
No DMU
VRS Keterangan
1 Aceh 1.000 Efisien
2 Sumatera Utara 0.994 Inefisien
3 Sumatera Barat 0.980 Inefisien
4 Riau 0.976 Inefisien
5 Jambi 0.975 Inefisien
6 Sumatera Selatan 0.971 Inefisien
7 Bengkulu 0.999 Inefisien
8 Lampung 0.986 Inefisien
9 Kep. Bangka Belitung 0.977 Inefisien
10 Kep. Riau 0.985 Inefisien
11 DKI Jakarta 1.000 Efisien
12 Jawa Barat 0.942 Inefisien
13 Jawa Tengah 0.981 Inefisien
14 DI Yogyakarta 0.998 Inefisien
15 Jawa Timur 0.976 Inefisien
16 Banten 0.942 Inefisien
17 Bali 1.000 Efisien
18 Nusa Tenggara Barat 1.000 Efisien
19 Nusa Tenggara Timur 0.985 Inefisien
20 Kalimantan Barat 0.972 Inefisien
21 Kalimantan Tengah 0.976 Inefisien
22 Kalimantan Selatan 0.968 Inefisien
23 Kalimantan Timur 1.000 Efisien
24 Kalimantan Utara 1.000 Efisien
25 Sulawesi Utara 0.962 Inefisien
26 Sulawesi Tengah 0.981 Inefisien
27 Sulawesi Selatan 0.967 Inefisien
47

28 Sulawesi Tenggara 0.981 Inefisien


29 Gorontalo 0.973 Inefisien
30 Sulawesi Barat 0.982 Inefisien
31 Maluku 0.990 Inefisien
32 Maluku Utara 0.999 Inefisien
33 Papua Barat 0.987 Inefisien
34 Papua 0.981 Inefisien
mean 0.982 Inefisien
Sumber: Hasil olah data, 2019

Berdasarkan dari hasil pengujian dengan menggunakan aplikasi DEAP

versi 2.1 pada tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa pengujian dengan model VRS

yang berorientasi pada input hanya 6 DMU (Provinsi Aceh, DKI Jakarta, Bali,

Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara) yang kinerja

pengetasan kemiskinan dinilai efisien. Secara keseluruan menurut pengujian VRS

perihal kinerja pengetasan kemiskinan di seluruh provinsi di Indonesia yang

dilakukan oleh pemerintah pusat masih belum efisien dengan nilai rata-rata

(mean) sebesar 0,982.

Maka dapat disimpulkan bahwa dari dua model pengukuran tersebut

diketahui bahwa baik pengujian VRS masih belum adanya efisiensi dalam kinerja

pengetasan kemiskinan secara regional di Indonesia, pengujian dengan output

oriented model VRS mendapatkan nilai yang jauh dari nilai 1 yaitu sebesar 0,982.

4.3 Pembahasan

Pada bagian ini memuat pembahasan mengenai tingkat efisiensi dan

inefisiensi yang dilihat dari penggunaan input dan output pada kinerja pengetasan

kemiskinan secara regional di Indonesia pada 2018, berdasarkan hasil perhitungan


48

efisiensi DEA pendekatan VRS yang berorientasi pada output dalam kinerja

pengetasan kemiskinan secara regional di Indonesia.

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan diketahui bahwa tingkat

efisiensi dari tiap kinerja pengetasan kemiskinan secara regional di Indonesia

dengan menggunakan pendekatan VRS Output Oriented yang berada di bawah

angka satu (<1) atau belum meengefisienkan output kemiskinan yang dihasilkan

34 provinsi di Indonesia. Berikut ini adalah pembahasan mengenai input output

yang dihasilkan atau dihasilkan secara maksimal pada kinerja pemerintah dalam

pengetasan kemiskinan selama tahun 2018 yang belum efisien guna memperoleh

nilai efisiensi yang lebih maksimal.

1. Provinsi Sumatera Utara

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.2 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.2
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Sumatera Utara Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Sumater movemen movemen
0,994 value Value
a Utara t t
Outpu Tingkat Pendidikan 97.550 98.131 0.581 0.000
t Penyerapan Tenaga 94.440 95.003 0.563 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 9.080 9.080 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di


49

Provinsi Sumatera Utara memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,994 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,994 = 0,006. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

97,550 yang seharusnya pada posisi 98,131 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 0,581 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

94,440 yang seharusnya pada posisi 95,003 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 0,563 (radial movement).

2. Provinsi Sumatera Barat

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.3 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.


50

Tabel 4.3
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Sumatera Barat Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Sumater movemen movemen
0,980 value Value
a Barat t t
Outpu Tingkat Pendidikan 95.290 97.185 1.895 0.000
t Penyerapan Tenaga 94.450 96.329 1.879 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 6.600 6.600 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Sumatera Barat memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,980 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,980 = 0,02. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Sumatera Barat mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

95,290 yang seharusnya pada posisi 97,185 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sumatera Barat akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 1,895 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

94,450 yang seharusnya pada posisi 96,329 (target value) tingkat pengetasan
51

kemiskinan di Provinsi Sumatera Barat akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 1,879 (radial movement).

3. Provinsi Riau

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.4 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.4
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Riau Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
movemen movemen
Riau 0,976 value Value
t t
Outpu Tingkat Pendidikan 94.990 97.346 2.356 0.000
t Penyerapan Tenaga 93.800 96.127 2.327 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 7.300 7.300 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Riau memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,976 yang berarti bahwa

mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien menjadi satu

(1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,976 = 0,024. Kinerja pengentasan kemiskinan

di Provinsi Riau mengalami inefisiensi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah sebagai berikut.
52

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

94,990 yang seharusnya pada posisi 97,346 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Riau akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

2,356 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

93,800 yang seharusnya pada posisi 96,127 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Riau akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 2,327 (radial movement).

4. Provinsi Jambi

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.5 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.5
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Jambi Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
movemen movemen
Jambi 0,975 value Value
t t
Outpu Tingkat Pendidikan 92.820 95.630 2.404 0.000
t Penyerapan Tenaga 96.140 98.630 2.490 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 7.885 3.960 0.000 -3.925
Sumber: Hasil Olah Data (2019)
53

Pada tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Jambi memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,975 yang berarti bahwa

mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien menjadi satu

(1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,975 = 0,025. Kinerja pengentasan kemiskinan

di Provinsi Jambi mengalami inefisiensi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

92,820 yang seharusnya pada posisi 95,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Jambi akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

2,404 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,140 yang seharusnya pada posisi 98,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Jambi akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 2,490 (radial movement).

Dengan nilai target volue 95,630 untuk tingkat pendidikan dan 98,630

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 7,885
54

dapat ditekan sebesar 3,925 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 3,960 (target volue).

5. Provinsi Sumatera Selatan

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.6 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.6
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Sumatera Selatan Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Sumater movemen movemen
0,971 value Value
a Selatan t t
Outpu Tingkat Pendidikan 92.680 95.630 2.768 0.182
t Penyerapan Tenaga 95.770 98.630 2.860 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 12.810 3.960 0.000 -8.850
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.6 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Sumatera Selatan memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,971 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,971 = 0,029. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan mengalami inefisiensi pada output

tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

92,680 yang seharusnya pada posisi 95,630 (target value) tingkat pengetasan
55

kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 2,768 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

95,770 yang seharusnya pada posisi 98,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 2,860 (radial movement).

Dengan nilai target volue 95,630 untuk tingkat pendidikan dan 98,630

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 12,810

dapat ditekan sebesar 8,850 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 3,960 (target volue).

6. Provinsi Bengkulu

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.7 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.7
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Bengkulu Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
movemen movemen
Bengkulu 0,999 value Value
t t
Outpu Tingkat Pendidikan 97.060 97.179 0.119 0.000
t Penyerapan Tenaga 96.490 96.608 0.118 0.000
Kerja
56

Input Kemiskinan 15.420 13.192 0.000 -2.228


Pada tabel 4.7 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Bengkulu memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,999 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,999 = 0,001. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Bengkulu mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

97,060 yang seharusnya pada posisi 97,179 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Bengkulu akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

0,119 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,490 yang seharusnya pada posisi 96,608 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Bengkulu akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 0,118 (radial movement).

Dengan nilai target volue 97,179 untuk tingkat pendidikan dan 96,608

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 15,420
57

dapat ditekan sebesar 2,228 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 13,192 (target volue).

7. Provinsi Lampung

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.8 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.8
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Lampung Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Lampun movemen movemen
0,986 value Value
g t t
Outpu Tingkat Pendidikan 95.280 96.641 1.361 0.000
t Penyerapan Tenaga 95.940 97.310 1.370 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 13.075 9.986 0.000 -3.089
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.8 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Lampung memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,986 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,986 = 0,014. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Lampung mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

95,280 yang seharusnya pada posisi 96,310 (target value) tingkat pengetasan
58

kemiskinan di Provinsi Lampung akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

1,361 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

95,940 yang seharusnya pada posisi 97,910 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Lampung akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 1,370 (radial movement).

Dengan nilai target volue 96,641 untuk tingkat pendidikan dan 97,310

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 13,075

dapat ditekan sebesar 3,089 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 9,986 (target volue).

8. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.9 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.9
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Kep. Bangka Belitung Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi


Radial Slack
Kep. Original Target
movemen movemen
Bangka 0,977 value Value
t t
Belitung
Outpu Tingkat Pendidikan 93.100 95.630 2.203 0.327
t Penyerapan Tenaga 96.350 98.630 2.280 0.000
59

Kerja
Input Kemiskinan 5.010 3.960 0.000 -1.050
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.9 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Kep. Bangka Belitung memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,977

yang berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala

efisien menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,977=0,023. Kinerja

pengentasan kemiskinan di Provinsi Kep. Bangka Belitung mengalami inefisiensi

pada output tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang

harus adalah sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

93,100 yang seharusnya pada posisi 95,360 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Kep. Bangka Belitung akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 2,203 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,350 yang seharusnya pada posisi 98,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Kep. Bangka Belitung akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 2,280 (radial movement).


60

Dengan nilai target volue 95,630 untuk tingkat pendidikan dan 98,630

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 5,010

dapat ditekan sebesar 1,050 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 3,960 (target volue).

9. Provinsi Kepulauan Riau

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.10 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.10
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Kep. Riau Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Kep. movemen movemen
0,985 value Value
Riau t t
Outpu Tingkat Pendidikan 96.910 98.370 1.460 0.000
t Penyerapan Tenaga 92.880 94.279 1.399 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 6.015 6.015 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.10 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Kep. Riau memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,985 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,985=0,015. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Kep. Riau mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.
61

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

96,910 yang seharusnya pada posisi 98,370 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Kep. Riau akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

1,460 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

92,880 yang seharusnya pada posisi 94,279 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Kep. Riau akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 1,399 (radial movement).

10. Provinsi Jawa Barat

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.11 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.11
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Jawa movemen movemen
0,942 value Value
Barat t t
Outpu Tingkat Pendidikan 90.840 96.464 5.624 0.000
t Penyerapan Tenaga 91.830 97.515 5.685 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 7.350 7.350 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)
62

Pada tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Jawa Barat memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,942 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,985=0,058. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Jawa Barat mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

90,840 yang seharusnya pada posisi 96,464 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Jawa Barat akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

5,624 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

91,830 yang seharusnya pada posisi 97,515 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Jawa Barat akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 5,685 (radial movement).


63

11. Provinsi Jawa Tengah

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.12 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.12
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Jawa movemen movemen
0,981 value Value
Tengah t t
Outpu Tingkat Pendidikan 94.760 96.608 1.848 0.000
t Penyerapan Tenaga 95.490 97.353 1.863 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 11.255 9.792 0.000 -1.463
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.12 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Jawa Tengah memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,981 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,981=0,019. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

94,760 yang seharusnya pada posisi 96,608 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi


64

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

1,848 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

95,490 yang seharusnya pada posisi 97,353 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 1,863 (radial movement).

Dengan nilai target volue 96,608 untuk tingkat pendidikan dan 97,353

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 11,255

dapat ditekan sebesar 1,463 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 9,792 (target volue).

12. Provinsi DI Yogyakarta

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.13 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.13
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di DI YogyakartaTahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi


Radial Slack
DI Original Target
movemen movemen
Yogyakart 0,998 value Value
t t
a
Output Tingkat Pendidikan 96.750 96.975 0.225 0.000
Penyerapan Tenaga 96.650 96.874 0.224 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 11.970 11.970 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)
65

Pada tabel 4.13 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi DI Yogyakarta memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,998 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,998=0,002. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi DI Yogyakarta mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

96,750 yang seharusnya pada posisi 96,608 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Di Yogyakarta akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

0,225 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,650 yang seharusnya pada posisi 96,874 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi DI Yogyakarta akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 0,224 (radial movement).


66

13. Provinsi Jawa Timur

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.14 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.14
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Jawa Timur Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Jawa movemen movemen
0,976 value Value
Timur t t
Outpu Tingkat Pendidikan 93.580 95.852 2.272 0.000
t Penyerapan Tenaga 96.010 98.341 2.331 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 10.915 5.281 0.000 -5.634
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.14 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Jawa Timur memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0976 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,976=0,024. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Jawa Timur mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

93,580 yang seharusnya pada posisi 95,852 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Jawa Timur akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi


67

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

2,272 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,010 yang seharusnya pada posisi 98,341 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Jawa Timur akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 2,331 (radial movement).

Dengan nilai target volue 95,852 untuk tingkat pendidikan dan 98,341

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 10,915

dapat ditekan sebesar 5,634 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 5,281 (target volue).

14. Provinsi Banten

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.15 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.15
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Banten Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
movemen movemen
Banten 0,942 value Value
t t
Outpu Tingkat Pendidikan 90.970 96.609 5.639 0.000
t Penyerapan Tenaga 91.480 97.150 5.670 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 5.245 5.245 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)
68

Pada tabel 4.15 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Banten memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,942 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,942=0,058. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Banten mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

90,970 yang seharusnya pada posisi 96,609 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Banten akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

5,639 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

91,480 yang seharusnya pada posisi 97,150 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Banten akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 5,670 (radial movement).


69

15. Provinsi Nusa Tenggara Timur

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.16 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.16
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi


Radial Slack
Nusa Original Target
movemen movemen
Tenggara 0,985 value Value
t t
Timur
Outpu Tingkat Pendidikan 94.300 95.747 1.447 0.000
t Penyerapan Tenaga 96.990 98.478 1.488 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 21.190 4.655 0.000 -16.535
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.16 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Nusa Tenggara Timur memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,985

yang berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala

efisien menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,985=0,015. Kinerja

pengentasan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami inefisiensi

pada output tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang

harus adalah sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

94,300 yang seharusnya pada posisi 95,747 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur akan efisien, sehingga kekurangan


70

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 1,447 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,990 yang seharusnya pada posisi 98,478 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 1,488 (radial movement).

Dengan nilai target volue 95,747 untuk tingkat pendidikan dan 98,478

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 21,190

dapat ditekan sebesar 16,535 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 4,655 (target volue).

16. Provinsi Kalimantan Barat

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.17 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.17
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Kalimantan Barat Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Kalimanta movemen movemen
0,972 value Value
n Barat t t
Output Tingkat Pendidikan 93.090 95.749 2.659 0.000
Penyerapan Tenaga 95.740 98.475 2.735 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 7.570 4.669 0.000 -2.901
Sumber: Hasil Olah Data (2019)
71

Pada tabel 4.17 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Kalimantan Barat memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,972 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,972=0,028. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat mengalami inefisiensi pada output

tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

93,090 yang seharusnya pada posisi 95,749 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 2,659 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

95,740 yang seharusnya pada posisi 98,475 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 2,735 (radial movement).

Dengan nilai target volue 94,749 untuk tingkat pendidikan dan 98,475

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 7,570
72

dapat ditekan sebesar 2,901 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 4,669 (target volue).

17. Provinsi Kalimantan Tengah

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.18 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.18
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Kalimantan Tengah Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Kalimanta movemen movemen
0,976 value Value
n Tengah t t
Output Tingkat Pendidikan 93.550 95.846 2.296 0.000
Penyerapan Tenaga 95.990 98.346 2.356 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 5.135 5.135 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.18 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Kalimantan Tengah memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,976 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,976=0,024. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami inefisiensi pada output

tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

93,550 yang seharusnya pada posisi 95,846 (target value) tingkat pengetasan
73

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 2,296 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

95,990 yang seharusnya pada posisi 98,346 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 2,356 (radial movement).

18. Provinsi Kalimantan Selatan

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.19 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.19
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Kalimantan Selatan Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Kalimanta movemen movemen
0,968 value Value
n Selatan t t
Output Tingkat Pendidikan 90.690 95.630 2.972 1.968
Penyerapan Tenaga 95.500 98.630 3.130 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 4.595 3.960 0.000 -0.635
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.19 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di


74

Provinsi Kalimantan Selatan memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,968 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,968=0,032. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan mengalami inefisiensi pada output

tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

90,690 yang seharusnya pada posisi 95,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 2,972 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

95,500 yang seharusnya pada posisi 98,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 3,130 (radial movement).

Dengan nilai target volue 95,630 untuk tingkat pendidikan dan 98,360

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 4,595

dapat ditekan sebesar 0,635 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 3,960 (target volue).


75

19. Provinsi Sulawesi Utara

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.20 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.20
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Sulawesi Utara Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Sulawesi movemen movemen
0,962 value Value
Utara t t
Outpu Tingkat Pendidikan 93.250 96.937 3.687 0.000
t Penyerapan Tenaga 93.140 96.823 3.683 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 7.695 7.695 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.20 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Sulawesi Utara memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,962 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,962=0,038. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Utara mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

93,250 yang seharusnya pada posisi 96,937 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Utara akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi


76

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

3,687 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

93,140 yang seharusnya pada posisi 96,823 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Utara akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 3,683 (radial movement).

20. Provinsi Sulawesi Tengah

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.21 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.21
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Sulawesi Tengah Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Sulawesi movemen movemen
0,981 value Value
Tengah t t
Outpu Tingkat Pendidikan 93.900 95.750 1.850 0.000
t Penyerapan Tenaga 96.570 98.473 1.903 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 13.850 4.677 0.000 -9.173
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.21 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Sulawesi Tengah memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,981 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien
77

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,981=0,019. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tengah mengalami inefisiensi pada output

tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

93,900 yang seharusnya pada posisi 95,750 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tengah akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 1,850 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,570 yang seharusnya pada posisi 98,473 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tengah akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 1,903 (radial movement).

Dengan nilai target volue 95,750 untuk tingkat pendidikan dan 98,473

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 13,850

dapat ditekan sebesar 9,173 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 4,677 (target volue).


78

21. Provinsi Sulawesi Selatan

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.22 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.22
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Sulawesi Selatan Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Sulawesi movemen movemen
0,967 value Value
Selatan t t
Outpu Tingkat Pendidikan 93.000 96.187 3.187 0.000
t Penyerapan Tenaga 94.660 97.903 3.243 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 8.965 7.278 0.000 -1.687
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.22 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Sulawesi Selatan memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,967 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,981=0,033. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami inefisiensi pada output

tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

93,000 yang seharusnya pada posisi 96,187 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk


79

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 3,187 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

94,660 yang seharusnya pada posisi 97,903 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 3,243 (radial movement).

Dengan nilai target volue 96,187 untuk tingkat pendidikan dan 97,903

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 8,965

dapat ditekan sebesar 1,687 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 7,278 (target volue).

22. Provinsi Sulawesi Tenggara

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.23 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.23
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Sulawesi Tenggara Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Sulawesi movemen movemen
0,981 value Value
Tenggara t t
Outpu Tingkat Pendidikan 93.620 95.630 1.829 0.181
t Penyerapan Tenaga 96.740 98.630 1.890 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 11.475 3.960 0.000 -7.515
Sumber: Hasil Olah Data (2019)
80

Pada tabel 4.23 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Sulawesi Tenggara memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,981 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,981=0,019. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tenggara mengalami inefisiensi pada output

tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

93,620 yang seharusnya pada posisi 95,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tenggara akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

pendidikan sebesar 1,829 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,740 yang seharusnya pada posisi 98,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tenggara akan efisien, sehingga kekurangan

tersebut tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk

mengatasi hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat

penyerapan tenaga kerja sebesar 1,890 (radial movement).

Dengan nilai target volue 95,630 untuk tingkat pendidikan dan 98,630

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 11,475
81

dapat ditekan sebesar 7,515 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 3,960 (target volue).

23. Provinsi Gorontalo

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.24 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.24
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Gorontalo Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Gorontal movemen movemen
0,973 value Value
o t t
Output Tingkat Pendidikan 92.120 95.630 2.553 0.957
Penyerapan Tenaga 95.970 98.630 2.660 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 16.320 3.960 0.000 -12.360
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.24 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Gorontalo memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,973 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,973=0,027. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Gorontalo mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

92,120 yang seharusnya pada posisi 95,630 (target value) tingkat pengetasan
82

kemiskinan di Provinsi Gorontalo akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

2,553 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

95,970 yang seharusnya pada posisi 98,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Gorontalo akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 2,660 (radial movement).

Dengan nilai target volue 95,630 untuk tingkat pendidikan dan 98,630

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 16,320

dapat ditekan sebesar 12,360 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 3,960 (target volue).

24. Provinsi Sulawesi Barat

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.25 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.25
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Sulawesi Barat Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Sulawesi movemen movemen
0,982 value Value
Barat t t
Outpu Tingkat Pendidikan 91.800 95.630 1.697 2.133
t Penyerapan Tenaga 96.840 98.630 1.790 0.000
Kerja
83

Input Kemiskinan 11.235 3.960 0.000 -7.275


Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.25 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Sulawesi Barat memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,982 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,982=0,018. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Barat mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

91,800 yang seharusnya pada posisi 95,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Barat akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

1,697 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,840 yang seharusnya pada posisi 98,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Barat akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 1,790 (radial movement).


84

Dengan nilai target volue 95,630 untuk tingkat pendidikan dan 98,630

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 11,235

dapat ditekan sebesar 7,275 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 3,960 (target volue).

25. Provinsi Maluku

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.26 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.26
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Maluku Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
movemen movemen
Maluku 0,990 value Value
t t
Outpu Tingkat Pendidikan 98.330 99.310 0.980 0.000
t Penyerapan Tenaga 92.730 93.654 0.924 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 17.985 15.819 0.000 -2.166
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.26 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Maluku memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,990 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,990=0,010. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Maluku mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.
85

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

98,330 yang seharusnya pada posisi 99,310 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Maluku akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

0,980 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

92,730 yang seharusnya pada posisi 93,654 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Maluku akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 0,924 (radial movement).

Dengan nilai target volue 99,310 untuk tingkat pendidikan dan 93,654

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 17,985

dapat ditekan sebesar 2,166 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 15,819 (target volue).

26. Provinsi Maluku Utara

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.27 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.


86

Tabel 4.27
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Maluku Utara Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Maluku movemen movemen
0,999 value Value
Utara t t
Outpu Tingkat Pendidikan 97.630 97.777 0.147 0.000
t Penyerapan Tenaga 95.230 95.373 0.143 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 6.630 6.630 0.000 0.000
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.27 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Maluku Utara memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,999 yang

berarti bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,999=0,001. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Maluku Utara mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

97,630 yang seharusnya pada posisi 97,777 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Maluku Utara akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

0,147 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

95,230 yang seharusnya pada posisi 95,373 (target value) tingkat pengetasan
87

kemiskinan di Provinsi Maluku Utara akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 0,143 (radial movement).

27. Provinsi Papua Barat

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.28 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.

Tabel 4.28
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Papua Barat Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
Papua movemen movemen
0,987 value Value
Barat t t
Outpu Tingkat Pendidikan 97.050 98.367 1.317 0.000
t Penyerapan Tenaga 93.700 94.971 1.271 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 22.835 15.253 0.000 -7.582
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.28 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Papua Barat memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,987 yang berarti

bahwa mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien

menjadi satu (1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,987=0,013. Kinerja pengentasan

kemiskinan di Provinsi Papua Barat mengalami inefisiensi pada output tingkat

pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah

sebagai berikut.
88

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

97,050 yang seharusnya pada posisi 97,367 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Papua Barat akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

1,317 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

93,700 yang seharusnya pada posisi 94,971 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Papua Barat akan efisien, sehingga kekurangan tersebut

tidak mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi

hal tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 1,271 (radial movement).

Dengan nilai target volue 98,367 untuk tingkat pendidikan dan 94,971

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 22,835

dapat ditekan sebesar 7,582 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 15,253 (target volue).

28. Provinsi Papua

Berikut dapat dilihat pada tabel 4.29 tingkat inefesiensi pada tahun 2018,

berdasarkan masing-masing variabel input dan output yang dihasilkan dalam

kinerja pengetasan kemiskinan menurut regional.


89

Tabel 4.29
Nilai Original, Target, Radial Movement dan Slack Movement Input Output
Kinerja Pengetasan Kemiskinan di Papua Tahun 2018

Variabel Nilai Efisiensi Radial Slack


Original Target
movemen movemen
Papua 0,981 value Value
t t
Outpu Tingkat Pendidikan 82.450 95.630 1.559 11.621
t Penyerapan Tenaga 96.800 98.630 1.830 0.000
Kerja
Input Kemiskinan 27.585 3.960 0.000 -23.625
Sumber: Hasil Olah Data (2019)

Pada tabel 4.29 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan pengukuran

efisiensi model VRS yang berorientasi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja dalam kinerja pengetasan kemiskinan tahun 2018 di

Provinsi Papua memperoleh nilai skala efisiensi sebesar 0,987 yang berarti bahwa

mengalami inefisiensi. Maka untuk meningkatkan nilai skala efisien menjadi satu

(1) harus ditingkatkan sebesar 1-0,981=0,019. Kinerja pengentasan kemiskinan di

Provinsi Papua mengalami inefisiensi pada output tingkat pendidikan dan

penyerapan tenaga kerja. Adapun upaya yang harus adalah sebagai berikut.

Pada output tingkat pendidikan terlihat bahwa original value sebesar

82,450 yang seharusnya pada posisi 95,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Papua akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat pendidikan sebesar

1,559 (radial movement).

Pada output penyerapan tenaga kerja terlihat bahwa original value sebesar

96,800 yang seharusnya pada posisi 98,630 (target value) tingkat pengetasan

kemiskinan di Provinsi Papua akan efisien, sehingga kekurangan tersebut tidak


90

mampu memberikan efisiensi yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi hal

tersebut maka pemerintah harus meningkatkan nilai tingkat penyerapan tenaga

kerja sebesar 1,830 (radial movement).

Dengan nilai target volue 95,630 untuk tingkat pendidikan dan 98,630

untuk penyerapan tenaga kerja maka kemiskinan yang sekarang sebesar 27,585

dapat ditekan sebesar 23,625 (slack movement) atau nilai idealnya untuk

kemiskinan sebesar 3,960 (target volue).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian tersebut mengenai efesiensi dalam Kinerja

Pengetasan Kemiskinan Secara Regional di Indonesia maka dapat disimpulkan

bahwa dari hasil pengujian VRS - Output Oriented, hanya 6 DMU (Provinsi

Aceh, DKI Jakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan

Utara) yang efesien dan secara keseluruhan Negara Indonesia masih belum

efesien dalam pengetasan kemiskinan.

5.2 Saran

1. Diharapkan kepada Pemerintah Republik Indonesia agar mampu

mengurangi angka kemiskinan di Indonesia dengan menyeimbangankan

penyerapan tenaga kerja dan tingkat pendidikan secara menyeluruh di

Indonesia.

2. Diharapkan kepada pemerintah agar dapat meningkatkan serta membuka

lapangan usaha baru yang mampu menyerap tenaga kerja secara optimal

serta peningkatan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan

perkembangan kebutuhan nasional dan internasional.

91
92

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, L. (2017). Ekonomi Internasional. Graha Ilmu.

Anggraita, V. (2012). Dampak Penerakan PSAK 50/55 (revisi 2006) Terhadap


Manajemen Laba Diperbankan: Peran Mekanisme Corporate Governance,
Struktur Kepemilikan, dan Kualitas Audit. Simposium Nasional Akuntansi
(SNA) XV Banjarmasin, 1–31.

Arsyad, L. (2016). Ekonomi Pembangunan (Edisi Keli). UPP STIM YKPM.

BPS. (2019). Statistik Indonesia 2018 (S. P. dan K. Statistik (ed.)). Badan Pusat
Statistik.

Effendy, R. S. (2017). Peranan Pendidikan dan Produktivitas Sektor Pertanian


Terhadap Penurunan Tingkat Kemiskinan di Jawa Tengah. Jurnal Media
Ekonomi Dan Manajemen, 32(2), 108–118.

Harahap, S. S. (2010). Analisis Kritis atas Laporan Keuangan (Cetakan 11). Raja
Grafindo Persada.

Hauser. (2017). Harrison’s Principles of Internal Medicine (17th Editi). Mcgraw-


hil.

Jhingan, M. . (2012). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers.

Kuncoro, M. (2013). Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi (Edisi 4). Erlangga.

Randy, R. W. (2002). Manajemen Pemberdayaan. Elex Media Komputindo.

Repková, I. (2013). ESTIMATION OF BANKING EFFICIENCY IN THE


CZECH REPUBLIC: DYNAMIC DATA ENVELOPMENT ANALYSIS.
Danube, 4(4), 261–275. https://doi.org/10.2478/danb-2013-0014

Sanusi, D. K., Kumenaung, A., & Rotinsulu, D. (2014). Analisis Pengaruh Jumlah
Tenaga Kerja, Tingkat Pendidikan, Pengeluaran Pemerintah Pada
Pertumbuhan Ekonomi Dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan Di Sulawesi
Utara Tahun 2001-2010. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, 14(2), 120–137.

Sitepu, R. K., & Sinaga, B. M. (2004). Dampak Investasi Sumberdaya Manusia


Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Di Indonesia: Pendekatan
Model Computable General Equilibrium. Jurnal Ekonomi, 7(2).

Suharto, E. (2006). Pembangaunan Kebijaksanaan dan Pekerja Sosial Spectrum


Pemikiran. SP-STKS.
93

Sumarsono. (2013). Sosiolinguistik. SABDA.

Supranto, J. (2011). Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan


Pangsa Pasar (Cetakan ke). Rineka Cipta.

Suryawati, C. (2005). Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Jurnal


Manajemen Pelayanan Kesehatan, 8(3), 121–129.

Tambunan. (2013). Tenaga Kerja. BPFE.

Todaro, M. P. (2010). Economic Development (Eleventh E). Addison Wesley.

Todaro, M. P. (2011). Economic Development (Eleventh E). Addison Wesley.

Anda mungkin juga menyukai