Anda di halaman 1dari 47

MASALAH BIAS GENDER SEBAGAI FAKTOR PENGHAMBAT

IMPLEMENTASI CONVENTION ON THE RIGHT OF THE CHILD (CRC)

DALAM MENGURANGI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Pada Program Studi Hubungan Internasional

M. RENO ARIAWAN

L1A017066

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MATARAM

2021
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................14
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................14
1.4.1 Tujuan Umum................................................................................................15
1.4.2 Tujuan Khusus...............................................................................................15
1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................16
1.4.1 Manfaat Teoritis.............................................................................................17
1.4.2 Manfaat Praktis..............................................................................................17
KAJIAN PUSTAKA......................................................................................................18
2.1 Penelitian Terdahulu......................................................................................18
2.2 Kerangka Teori..............................................................................................30
2.1.1 Feminisme.......................................................................................................30
METODELOGI PENELITIAN....................................................................................38
3.1 Pendekatan Penelitian....................................................................................38
3.2 Teknik Pengumpulan Data............................................................................40
3.3 Teknik Analisis Data......................................................................................42
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi saat ini banyak isu-isu seputar politik dan keamanan

mulai beralih ke masalah yang menyangkut lingkungan hidup, permasalahan

ekonomi, hak asasi manusia dan juga buruh. Permasalahan hak asasi manusia

mulai berkembang seperti masalah pernikahan anak di bawah umur seperti halnya

di India yang merupakan negara berkembang di Asia Selatan yang memiliki

tingkat pernikahan anak yang cukup memprihatinkan. Praktik pernikahan anak

merupakan praktik yang melanggar hak asasi manusia, namun hal ini masih sering

terjadi di India dan tetap menjadi sorotan. Pernikahan anak di India sudah lama

terjadi, yaitu sejak abad pertengahan pada masa pemerintahan Sarasenic

pemimpin monarki India yang ganas, banyak aturan yang menjadikanya sebagai

sumber ancaman, sehingga sistem politik di India berangsur-angsur mengubah

gaya hidup dan opini masyarakat dari yang sederhana menjadi bentuk yang lebih

kompleks dan membatasi kebebasan secara signifikan1. Wanita kehilangan haknya

dan harus mematuhi aturan dan menjaga tingkah laku, mereka adalah subjek

untuk kehormatan keluarga, wanita muda yang jatuh cinta dianggap tidak dapat

bertanggung jawab dan irasional, sehingga orang tua menikahkan anak mereka

agar tidak terjerat dalam skandal.

1
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di
Inida, Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, page 1 tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021

1
Laporan dari New York Times menyebutkan bahwa pernikahan anak di

India dilatarbelakangi oleh adanya invansi dari penjajah sejak 10 abad lalu yang

melakukan perampasan termasuk dengan menculik gadis-gadis hindu yang belum

menikah, sehingga banyak masyarakat India kala itu berpedoman dengan teks

budaya dan keagamaan seperti Dharmasastra, Manu smritis, Bhashya Medhatithi

dan Tolkappiyam dipercaya untuk menyelamatkan kesejahteraan keluarga,

termasuk dengan menikahkan anak perempuan mereka, bahkan adapula

masyarakat India waktu itu menikahkan anaknya sejak bayi, dengan tujuan untuk

melindungi keselamatan anaknya. Konstruksi dari norma budaya dan agama yang

telah terjadi di India menimbulkan sebuah ketimpangan antara laki-laki dengan

perempuan, sehingga masalah tersebut dapat diartikan sebagai masalah bias

gender.

Terbentuknya perbedaan gender diakibatkan karena beberapa hal, di

antaranya karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, dan dikonstruksikan secara

sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Hingga perbedaan

tersebut dianggap sebagai ketentuan tuhan, yang seolah-olah bersigat biologis dan

tidak bisa dirubah. Gender kemudian dipergunakan oleh kaum feminis pada

sebuah kenyataan bahwa ketidakadilan struktural dan system yang disebabkan

oleh gender. 2Pada dasarnya pemahaman tentang gender diartikan sebagai sebuah

interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin. Gender

dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-

2
Indah Fatmawati, Pernikahan Anak di India, Indonesia Journal of Gender, Vol. 1 No. 1 Tahun
2020, tersedia di https://jurnal.iainponorogo.ac.id diakses pada tanggal 30 juni 2020

2
laki dan perempuan. Pengertian dari gender dan sex adalah berbeda, sex diartikan

sebagai sebuah pensifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia yang

ditentukan secara biologis. Kemudian yang dimaksud dengan ketidakadilan

gender adalah perilaku marginalisasi, subordinasi, sterotipe atau pelabelan negatif,

kekerasan, dan beban yang berlebihan.

Permasalahan gender di India dan diskriminasi terhadapnya dimulai sejak

anak perempuan telah lahir dan berlanjut samapai masa kanak-kanak, remaja

hingga dewasa. Konstruksi pemikiran dari norma agama dan budaya yang telah

melekat dan dipercayai oleh masyarakat India dan beranggapan bahwa seorang

gadis di India bertanggung jawab atas kesuciannya yang harus di lindungi dan ia

juga menjadi beban karena mahar adat. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu

penyebab anak perempuan melakukan pernikahan dini.3 Pola pikir tersebut

dipengaruhi oleh pemahaman tentang maskulinitas laki-laki dan feminis pada

perempuan. Kemudian anggapan selanjutnya bahwa anak perempuan tidak

mampu menopang ekonomi keluarga dibandingkan dengan anak laki-laki. Sejak

menikah seorang gadis meninggalkan rumah orang tuanya untuk tinggal Bersama

dengan suaminya, disebagian besar masyarakat India membelanjakan uang untuk

Pendidikan dan kesehatannya dipandang sebagai sebuah investasi yang sia-sia,

karena meskipun seberapa besar pengorbanan orang tua terhadap anak

permepuannya ia akan ditinggalkan dan akan hidup Bersama suaminya. Meskipun

3
Herien Puspitawati, Teori Gender Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga (Bogor: Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, 2009), 22.

3
waktu secara bertahap mengubah diskriminasi dan bias gender pada kisah tersebut

masih sangat jelas dan akan tetap ada.

Pasal 1 konvensi Hak Anak secara umum mendefinisikan anak sebagai

orang yang belum mencapai usia 18 tahun, kemudian Pernikahan anak juga

diartikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak menginjak usia 18 tahun,

sebelum matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis agar bisa bertanggung

jawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari hasil pernikahanya

tersebut. Di india pernikahan anak dibawah umur merupakan kasus yang lumrah,

dan hampir seluruh wilayah memiliki anak perempuan yang sudah menikah

sebelum umur 18 tahun.4 Ada beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan

pernikahan anak dibawah umur masih terjadi di India. Kemiskinan dan norma

sosial untuk meningkatkan kehormatan keluarga dan untuk melindungi anak

perempuan merupakan faktor yang signifikan untuk membuat anak-anak

dinikahkan ketika masih kecil.5 Berikut ini merupakan kepercayaan yang

menyebar di india yang menyebabkan pernikahan anak masih terjadi di India.

1. Anak perempuan yang belum menikah dianggap sebagai

rendahnya tingkat kehormatan sebuah keluarga, karena pernikahan dianggap

sebagai cara untuk menjaga kesucian dari mempelai wanita dan pernikahan

dapat menghindari terciptanya aib keluarga.

4
Supriyadi W. Eddyono, S.H., Pengantar Konvensi Hak Anak, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, tahun 2007, Hal. 2, tersedia di www.elsam.or.id diakses pada tanggal 17
juni 2021

5
Jeniffer Birech, Child Marriage: A Cultural Health Phenomenon, International Journal of
Humanity and Social science, Vol. 3 No. 17 September 2017 Pages 98, tersedia di
www.ijhssnet.com , diakses pada tanggal 25 juni 2021

4
2. Mahar yang digunakan untuk menikahkan anak perempuan yang

masih dini akan lebih murah, dibandingkan dengan anak perempuan yang

berpendidikan tinggi akan membayar mahar yang lebih mahal.

3. Anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi keluarga,

karena dianggap tidak bisa bertanggung jawab dan menopang kehidupan

keluarga, sehingga kecendrungan untuk menikahkan anak perempuan lebih

cepat dan akan mengurangi beban.

4. Dengan mengurangi biaya pernikahan, orang tua sering

menikahkan anak mereka dalam satu perayaan, seperti menikahkan tiga

anak dalam satu pesta pernikahan bahkan memasangkannya sekaligus

dengan perayaan lainya seperti pemakaman.6

Di India daerah yang paling banyak mengalami kasus pernikahan anak yaitu

di Bihar (69%), kemudian Rajasthan (65%), Jharkhand (63%), Uttar Pradesh

(59%), Madhya Pradesh ( 57%), Chhattishgarh (55%), Andhra Pradesh (55%),

West Bengal (54%), Arunachal pradesh (42%), Karnataka (42%), Tripura (42%),

Tripura (42%), Haryana (41%), Maharashtra (39%), Gujarat (39%), assam (39%),

Orissa (37%), Sikkim (30%), Meghalaya (25%), Uttaranchal (23%), Delhi (23%),

Tamil Nadu (22%), Nagaland (21%), Mizoram (21%), Punjab (20%), Kerala

(15%), Jammu and Khasmir (14%), Manipur (13%), Himachal pradesh (12%),

dan goa (12%). 7

6
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di
Inida, Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, pages 4, tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021
7
National Commission for Protection of Child Right, India Child Marriage and Teenage
Pregnancy, India Report 4 september 2018, Hal 11, tersedia di www.ncpcr.gov.in diakses pada
tanggal 25 juni 2021

5
Di India , pernikahan diatur dalam dua aturan yaitu; The Hindu Marriage

Act (1955) dan The Special Marriage Act (1954). Untuk secara sah dalam

menikah, umur minimum untuk laki-laki adalah 21 tahun dan untuk perempuan

yaitu 18 tahun, umur ini merupakan hasil saran dari UNICEF untuk India yang

bersumber pada konvensi Internasional. Pernikahan anak telah dideklarasikan

sebagai tindakan ilegal selama 80 tahun di india, kemudian The Child Marriage

Restraint Act, 1929 (CMRA) merupakan aturan pertama yang dibuat dengan

tujuan untuk mencegah kasus pernikahan anak, Prohobition of Child Marriage

Act, 2006 yang baru dibuat sebagai perubahan yang signifikan dalam hukum.8 The

Child Marriage Restraint Act 1929 menjelaskan bahwa siapapun yang melakukan

kegiatan yang mengarah pada pernikahan anak akan beresiko dikenai hukuman.

Peraturan ini berlaku kepada si pemaksa termasuk orang tua dan keluarga bahkan

untuk orang-orang terpelajar, pelaku dapat dikenai hukuman penjara selama tiga

bulan dan denda serta mendapatkan penjelasan untuk tidak melakukan pernikahan

anak lagi.

Pada tahun 2006 peraturan Child Marriage Restraint 1929 mengalami revisi

yaitu menjadi The Prohobition of Child Marriage Act of 2006. Aturan ini dibuat

untuk menghukum siapapun yang melakukan, mengizinkan, dan meningkatkan

pernikahan anak, hingga hukuman yang diberikan kepada pelaku adalah hukuman

penjara selama dua tahun atau denda INR 100.000 atau sekitar 1.800 USD. 9 Sejak

8
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di
Inida, Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, page 4, tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021
9
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di
Inida, Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, page 4, tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021

6
tahun 2006 pernikahan yang terjadi di India harus terdaftar dibawah aturan The

Compulsory Registration of Marriage Act. PCMA yang seharusnya menjadi

undang-undang uatama dalam memberantas praktik pernikahan anak yang

mengalami kontradiksi dengan hukum personal di beberapa negara bagian,

dimana terdapat beberapa negara bagian yang belum dapat merespon PCMA

dengan cepat, sehingga mengakibatkan kurangnya tata kelola administrasi di

negara bagian, termasuk sosialisasi dan penyuluhan untuk menangani kasus

pernikahan anak. Selain itu terdapat pula fakta bahwa PCMA masih cukup untuk

mencegah segala bentuk pernikahan anak. Dalam undang-undang tersebut

seharusnya pernikahan anak dapat dibatalkan, namun hal itu tidak akan mudah

dilakukan pada prosesi pernikahan bersifat sacramental yang berkaitan dengan

upacara keagamaan. PCMA juga seringkali di kritik oleh para peneliti hukum,

karena kurang memberikan efek hukum jera bagi para pelanggar pelaku praktik

pernikahan anak. Selain itu pendaftaran pernikahan tidak diatur sekaligus di dalam

PCMA sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memberikan status pada

kasus pernikahan anak, disamping itu perilaku masyarakat yang sulit

meninggalkan kebiasaan pernikahan anak yang tentu berpengaruh terhadap

eksistensi undang-undang PCMA dalam segi kepatuhan.

India telah melakukan upaya pemberantasan pernikahan anak termasuk

dengan melakukan berbagai ratifikasi sejumlah konvensi internasional seperti

Convention on the Right of thr Chid (CRC) pada tahun 1992, Convention on the

Elimination of All Form of Discrimination Agains Women (CEDAW) pada tahun

1993 dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada

7
tahun 1976, Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

(ICESCR) pada tahun 1976, Supplementary Convention on the Abolition of

Slavery, the Slave Trade, and Institution and Practices Similar to Slavery pada

tahun 1956, serta konvensi pemenuhan HAM anak dan perempuan yang dibuat
10
oleh South Asian Regional Commitments (SARC). Dari beberapa konvensi

internasional yang telah diratifikasi India tersebut kemudian diadopsinya ke dalam

bentuk hukum nasional tentang pelarangan pernikahan anak seperti The

Prohibition of Child Marriage Act (PCMA). PCMA merupakan undang-undang

utama tentang pemberantasan pernikahan anak yang diadopsi dari CRC dan

CEDAW. Di negara-negara industri pada awal abad ke -20 tidak ada standar

perlindungan bagi anak. Mereka biasa bekerja bersama orang dewasa dalam

kondisi yang tidak sehat dan tidak aman serta meningkatnya pengakuan atas rasa

ketidakadilan atas situasi dan kondisi mereka, didorong oleh pemahaman yang

lebih besar tentang kebutuhan perkembangan anak, mengarah pada gerakan untuk

melindungi mereka dengan lebih baik. Standar internasional tentang hak-hak anak

telah berkembang secara dramatis selama abad terahir, akan tetapi masih ada

kesenjangan dalam memenuhi cita-cita tersebut.

Sebelum terciptanya konvensi anak hingga diratifikasinya oleh seluruh

negara anggota PBB, terdapat beberapa peristiwa yang kemudian secara tidak

langsung dirumuskanya dan terciptanya konvensi tentang hak anak. Diawali pada

10
National Commission for Protection of Child Right, India Child Marriage and Teenage
Pregnancy, India Report 4 september 2018, Hal 11, tersedia di www.ncpcr.gov.in diakses pada
tanggal 25 juni 2021

8
tahun 1924 Liga Bangsa-bangsa mengadopsi Deklarasi Jenewa tentang Hak Anak,

yang dirancang oleh Eglantyne Jebb, yaitu pendiri Save the Children Fund.11

Deklarasi tersebut menyatakan bahwa semua orang berhutang kepada anak-anak

untuk ; sarana bagi perkembangan mereka, bantuan khusus pada saat dibutuhkan,

prioritas bantuan, kebebasan ekonomi, dan perlindungan dari eksploitasi, dan

pendidikan yang menanamkan kesadaran dan kewajiban sosial. Hingga pada

tahun 1946 dilaksanakannya sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

membentuk Dana Darurat Anak Internasional, atau biasa disebut International

Children’s Emergency Fund (UNICEF) dengan penekanan pada anak-anak di

seluruh dunia. Kemudian Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengsahkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 1948,

dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi tentang

hak anak, yang mengakui antara lain tentang hak-hak anak atas pendidikan,

bermain, lingkungan yang mendukung dan perawatan kesehatan. Dengan

terbentuknya Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik dan hak

ekonomi, sosial dan budaya, negara anggota perserikatan Bangsa-bangsa berjanji

untuk menegakkan hal yang sama termasuk pendidikan dan perlindungan untuk

semua anak.

Pada tahun 1974 atas keprihatinan dengan kerentanan perempuan dan anak-

anak dalam situasi darurat dan konflik, Majelis Umum menyerukan kepada

Negara-negara anggota untuk menaati deklarasi perlindungan perempuan dan

11
Supriyadi W. Eddyono, S.H., Pengantar Konvensi Hak Anak, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, tahun 2007, Hal. 1, tersedia di www.elsam.or.id diakses pada tanggal 17
juni 2021

9
anak dalam keadaan darurat dan konflik bersenjata, deklarasi melarang

penyerangan atau pemenjaraan terhadap perempuan, sipil dan anak-anak dan

menjunjung tinggi kesucian hak-hak perempuan dan anak selama konflik

bersenjata. Kemudian pada tahun 1978 Komisi Hak Asasi Manusia mengajukan

rancangan Konvensi Hak anak untuk dipertimbangkan oleh kelompok kerja yang

terdiri dari negara-negara anggota, badan-badan dan organisasi antar pemerintah

dan non pemerintah hingga pada tahun 1989 Convention on The Right of The

Child (CRC) diadopsi oleh majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diakui

secara luas sebagai pencapaian penting bagi hak asasi manusia, mengakui peran

anak sebagai aktor sosial, ekonomi, politik sipil dan budaya. Konvensi tersebut

menjamin dan menetapkan standar minimum untuk melindungi hak-hak anak

dalam semua kapasitas. UNICEF yang membantu menyusun konvensi disebutkan

dalam dokumen sebagai sumber ahli12. Kemudian majelis umum PBB mengadopsi

dua protokol opsional untuk CRC 1989 tentang hak anak yang mewajibkan

negara-negara pihak untuk mengambil tindakan-tindakan penting untuk mencegah

anak-anak mengambil bagian dalam permusuhan selama konflik bersenjata dan

untuk mengakhiri penjualan, eksploitasi seksual dan pelecehan anak, protokol ini

diadopsi pada tahun 2000. Pada tahun 2011 terdapat protokol opsional baru untuk

CRC 1989 tentang hak anak diadopsi. Dibawah protokol opsional tentang

prosedur komunikasi, komite hak anak dapat menangani pengaduan pelanggaran

hak anak dan melakukan penyelidikan. Sejauh ini terdapat 196 negara telah
12
Jeniffer Birech, Child Marriage: A Cultural Health Phenomenon, International Journal of
Humanity and Social science, Vol. 3 No. 17 September 2017 Pages 98, tersedia di
www.ijhssnet.com , diakses pada tanggal 25 juni 2021

10
meratifikasi konvensi ini dan hanya Amerika Serikat yang menolak untuk

meratifikasinya.

Konvensi hak anak ini terdapat 54 pasal, hingga saat ini dikenal sebagai

satu-satunya konvensi di bidang hak asasi manusia yang mencakup hak-hak sipil

dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sekaligus. Berdasarkan

isinya, konvensi ini mengkategorikan empat cara dalam hak anak, yakni ;

Pertama, kategorisasi berdasarkan Konvensi Induk Hak Asasi Manusia, dikatakan

bahwa Konvensi Hak Anak mengandung hak-hak sipil politik dan hak-hak

ekonomi sosial budaya. Kedua, ditinjau dari sisi yang berkewajiban melaksanakan

Konvensi Hak Anak, yaitu negara dan yang bertanggung jawab untuk memenuhi

hak anak, yakni orang dewasa pada umumnya. 13 Ketiga, menurut cara pembagian

yang sudah sangat populer dibuat berdasarkan cakupan hal yang terkandung

dalam Konvensi Hak Anak, yakni : hak atas kelangsungan hidup (survival), hak

untuk berkembang (development), hak atas perlindungan (protection) dan hak

untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat (participation). Keempat,

menurut cara pembagian yang dirumuskan oleh Komite Hak Anak PBB yang

mengelompokan Konvensi Hak Anak menjadi delapan kategori yaitu ; Langkah

Langkah implementasi umum, definisi anak, prinsip-prinsip umum, hak sipil dan

kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, Kesehatan dan

kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya dan langkah-

13
National Commission for Protection of Child Right, India Child Marriage and Teenage
Pregnancy, India Report 4 september 2018, Hal 9, tersedia di www.ncpcr.gov.in diakses pada
tanggal 25 juni 2021

11
langkah perlindungan khusus yang berkaitan dengan hak anak demi untuk

mendapatkan perlindungan khusus.

Meskipun dengan diratifikasinya beberapa konvensi internasional oleh

India, namun belum memberikan perubahan yang signifikan dalam mengatasi

masalah pernikahan anak hingga saat ini, dan tentu terdapat beberapa faktor yang

melatarbelakangi hambatan-hambatan dalam meminimalisir praktek pernikahan

anak tersebut, baik dari faktor budaya dan keagamaan seperti “Mrityu bhoj”

Arkha teej atau Akhsaya Tritiya dan Attasatta, sistem mahar, sistem kasta, selain

itu juga terdapat faktor norma sosial, ekonomi, Pendidikan, hingga pola asuh

kedua orang tua. Dimana faktor tersebut menjadi pendorong terbesar terjadinya

pernikahan anak yang ada di India. Inida hanya mengalami penurunan dalam

kasus pernikahan anak hanya sebesar 1% setiap tahunnya, yaitu sejak tahun 1990

hingga 2005, dan pada tahun 2005 sampai 2012 mengalami penurunan hanya

2%.14

Setelah beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah india dengan

meratifikasi sejumlah konvensi terkait pernikahan anak dan pemenuhan HAM

anak perempuan dan mengadopsinya kedalam kerangka hukum nasional untuk

memberantas pernikahan anak, namun hasil yang dicapai belum menunjukan hasil

yang memuaskan, dimana tren angka pernikahan anak masih tinggi dan tren

penurunan masih terbilang sangat lambat. Pada resolusi PBB tahun 2013 yang

membahas tentang pernikahan anak, dan paksaan pernikahan, India belum


14
Rovi Husnaini & Devi Soraya, Dampak Pernikahan Usia Dini, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam,
Vol. 4, No. 1, 2019 Hal. 72 tersedia di http://journal.uin-aladdin.ac.id diakses pada tanggal 24 juni
2021

12
dianggap berhasil untuk mengatasi secara efektif segala jenis praktik pernikahan

anak yang ada didalam negrinya. India juga mendapat kritikan oleh Komite

Konvensi Hak Anak (CRC) pada laporan tahun 2014 bahwa komite sangat

prihatin dengan prevalansi pernikahan anak di India yang masih sangat tinggi.

Komite Konvensi Hak Anak menyayangkan masih banyaknya hambatan pada

implementasi PCMA sebagai undang-undang utama tentang hak anak yang

kinerjanya dalam mengatasi masalah tersebut belum maksimal.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan PCMA tidak berjalan dengan

maksimal dalam menangani masalah pernikahan dini antara lain didasari oleh

sistem hukum dan pembuat kebijakan gagal karena kurangnya unsur feminis

dalam pembuatan undang-undang dan pengambilan kebijakan, kemudian di satu

sisi, perkawinan anak telah tumbuh karena tidak adanya wanita yang mencolok

dari proses pembuatan undang-undang. Akibatnya, hukum dan pelaksanaannya

direplikasi dalam gambar laki-laki, kemudian kurangnya implementasi ketentuan

hukum yang ada. Selain itu juga terdapat tantangan dari faktor ekonomi dimana

pada kehidupan masyarakat pedesaan yang hidup dalam keadaan miskin yang

kemudian memiliki anak lebih dari dua orang dengan harapan lebih banyak anak

maka lebih banyak yang akan membantu keluarga, namun realitanya anak

perempuan dianggap tidak mampu menopang kehidupan keluarga dibandingkan

dengan anak laki-laki, anak perempuan di anggap akan meninggalkan rumah

ketika ia menikah. Akibatnya keluarga ini tidak melihat manfaat ekonomi bila

mendidik anak perempuan mereka, mengakibatkan anak-anak perempuan ditarik

keluar dari sekolah, dan prospek pekerjaan yang mempuni dimasa depan akan

13
sulit untuk didapatkannya. Seorang gadis muda dianggap beban ekonomi

keluarga, oleh sebab itu pernikahannya dengan laki-laki dewasa bahkan dengan

yang jauh lebih tua sekalipun, karena diyakini mampu menguntungkan anak dan

keluarga secara finansial. Hingga masalah seperti ini pernikahan anak dianggap

sebuah transaksi bagi banyak orang dan keluarga yang memiliki anak perempuan,

karena seorang anak perempuan dianggap sebagai satu-satunya komoditas yang

tersedia bagi keluarga yang hidup dalam garis kemiskinan. Disisi lain anak

perempuan juga dianggap sebagai sebuah mata uang yang dapat digunakan

sebagai alat untuk membayar hutang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, nampak bahwa situasi dan kondisi india

saat ini masih mengalami masalah pernikahan anak yang belum bisa diatasi oleh

pemerintah dalam negri India , berdasarkan data yang didapatkan penulis dapat

menarik sebuah rumusan masaalah sebagai berikut :

1. Bagaimana permasalahan pernikahan anak di India ?

2. Mengapa bias gender menjadi faktor penghambat implementasi

Convention on the Right of the Child dalam penanganan kasus pernikahan

anak di India ?

1.3 Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan dari penulisan ini adalah untuk menelaah lebih

dalam terkait masalah pernikahan anak yang terjadi di india, dan melihat

bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam negri india dalam

mengatasi kasus pernikaahan anak hingga meratifikasi beberapa konvensi

14
internasional dan mengadopsinya kedalam undang-undang yang memmbahas

tentang pernikahan anak. Dalam penelitian ini penulis juga menganalisis apa saja

yang kemudian menjadi hambatan pemerintah india dan apa saja faktor

pendukung terjadinya pernikahan anak hingga peraturan tentang pernikahan anak

sulit untuk diimplementasikan. Selain itu dalam penulisan ini terdapat tujuan

umum dan khusus guna lebih memahami kerangka dasar dari penelitian ini,

sebagai arahan yang lebih konverhensif dan mendetail terkait dengan sebuah

tujuan penelitian antara lain sebagai berikut.

1.4.1 Tujuan Umum

1. Untuk menganalisis upaya pemerintah india dalam menangani kasus

pernikahan anak.

2. Untuk memahami lebih terkait implementasi convention on the right of the

child dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

3. Untuk mengetahui tingkat perkembangan penanganan kasus pernikahan

anak setelah terciptanya undang-undang dalam negri dan diratifikasinya

convention on the right of the child oleh India.

1.4.2 Tujuan Khusus

Selain tujuan umum terdapat pula tujuan khsus penulis selama penelitian ini

berlangsung, antara lain :

1. Untuk mengetahui bagaimana peran negara dalam melindungi hak asasi

manusia dalam kasus pernikahan anak.

2. Untuk menganalisis kepentingan india dalam meratifikasi convention on

the right of the child.

15
3. Untuk mengetahui konsekuensi sebuah negara dalam meratifikasi

konvensi apabila tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam

mengimplementasikan konvensi internasional kedalam kasus pernikahan

anak di India.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan mampu unuk mengembangkan

pengetahuan terkait upaya pemerintah india dalam mengatasi permasalahan

pernikahan anak, dan bagaimana implikasi convention on the right of the child

setelah diratifikasi oleh india. Hal yang menjadi penting dalam penelitian ini

adalah apabila kebijakan pemerintah maupun aturan terkait pernikahan anak harus

ditegaskan dan terdapat sanksi hukum yang jelas, maka terdapat pergeseran

budaya dan kepercayaan masyarakat india yang telah dianut, hingga menimbulkan

sebuah stigma negatif dari masyarakat yang notabenenya masyarakat india

merupakan masyarakat yang fanatik dan simpatik terhadap kehidupan berbudaya

dan beragama, karena disamping kasus pernikahan anak merupakan kasus

pelanggaran hak asasi manusia, namun bagi masyarakat india percaya bahwa hal

tersebut terjadi karena beberapa faktor sosial,budaya,maupun ekonomi. Pada

akhirnya peran pemerintah dalam kasus tersebut sangat berpengaruh dalam

menyeimbangkan permaslahan struktural sosial dengan peraturan yang telah

diterapkan.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis dan akademis, sebagai sarana untuk melatih dan

mengembangkan kemampuan penilis dalam mengaplikasikan teori-teori maupun

16
konsep yang telah diperoleh dari perkuliahan, khususnya yang berkaitan dengan

masalah pernikahan anak dan peran rezim internasional maupun dalam negri yang

pada penelitian ini terjadi di India.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

dan bahan refrensi bagi penulis lainnya dalam menulis penelitian selanjutnya pada

bidang kajian global kontemporer, decision maker, dan peran negara dalam

menjaga kesejahteraan serta perlindungan hak asasi manusia, meskipun dalam

skala yang sangat kecil.

1. Manfaat Akademisi

Secara akademisi, penelitian ini disusun untuk menyelesaikan tugas akhir

dalam studi Hubungan Internasional di Universitas Mataram. Dan diharapkan

penelitian ini bisa bermanfaat dalam pengembangan penelitian di bidang

Hubungan Internasional, khususnya bagi pengembangan isu kajian global

kontemporer.

2. Pemangku kebijakan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi dan pertimbangan

khusus bagi para pengambil kebijakan dalam menganalisis dan

menginterpretasikan sebuah kebijakan yang lebih menguntungkan bagi

pertumbuhan negaranya serta mempertimbangkan strategi lebih mendalam dalam

menyelesaikan masalah maupun menciptakan masalah.

BAB II

17
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Secara khusus dalam jangkaun pengetahuan peneliti, ada beberapa karya

tulis yang secara substansial membahas tentang pernikahan anak yang terjadi di

india yang di abadikan dalam bentuk artikel, jurnal maupun buku. Dari sekian

tulisan yang ada peneliti belum menjumpai karya tulis yang secara khusus

membahas tentang prilaku pemerintah india yang gagal mengatasi masalah

pernikahan anak dan dengan diratifikasinya konvensi hak anak. Topik ini menjadi

menarik karena masih jarang diteliti secara detail, selain itu praktek pernikahan

anak yang dimana pemerintah india meratifikasi konvensi dan menghasilkan

perkembangan yang minim, tentu hal tersebut menjadi sorotan bagi rezim

internasional dikarenakan isi dan perjanjian dari konvensi tidak sepenuhnya

berjalan di India. Tindakan ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi

India dalam mengatasi masalah dalam negri maupun dunia internasional.

Literatur pertama berjudul “Peran UNICEF Dalam Menangani Kasus

Pernikahan Anak Dibawah Umur di India” oleh Asmarita yang di publis dalam
15
Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2 Oktober 2015. Penelitian ini

membahas bagaimana upaya UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di

india, kemudian memberikan dukungan dalam bidang hukum dan Pendidikan,

dengan menggunakan perspektif pluralisme dan teori organisasi internasional.

15
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di Inida,
Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, tersedia di www.jom.unri.ac.id
diakses pada tanggal 8 juli 2021

18
Dengan demikian kasus tersebut berfokus pada peran aktor non-Negara yang

menurut pluralisme bahwa negara bukan aktor tunggal dalam hubungan

internasional, melainkan aktor non-Negara juga mempunyai peranan penting

dalam aktivitas internasional yang dapat berinteraksi melewati batas-batas

tradisional suatu negara, hingga Organisasi Internasional menjadi aktor mandiri

berdasarkan haknya dalam mengatasi permaslahan di suatu negara. Sehingga pada

penelitian ini berfokus pada peran organisasi internasional dalam menangani

permasalahan pernikahan anak di India.

Misi UNICEF dalam penelitian Asmarita ini dijelaskan untuk

mengembangkan kualitas kesehatan, pendidikan anak dan perempuan serta

membebaskannya dari tindakan kekerasan dan kejahatan. Namun misi ini akan

gagal apabila anak di dunia melakukan pernikahan, sehingga fokus utama dari

UNICEF yaitu menghapus pernikahan anak. Dengan begitu UNICEF terus

menerus akan mendukung negara-negara dengan berbagai program untuk

mengimplementasikan dan melaporkan kewajiban berdasarkan konvensi dan

perjanjian hak asasi manusia. Kemudian UNICEF bekerjasama dengan mentri di

suatu negara untuk mendukung strategi pencegahan pernikahan anak, seperti

halnya pada bidang hukum, dengan mendukung penegakan hukum dan kebijakan

yang melarang pernikahan anak, menegaskan sistem pendaftaran dari kelahiran

yang membantu pelaksanaan hukum yang melarang pernikahan anak hingga akan

berjalan efektif. UNICEF juga bekerjasama dengan komunitas sosial yang

memiliki perhatian terhadap kasus pernikahan anak di bawah umur. Kemudian

UNICEF memberikan saran umur minimal dalam melakukan pernikahan yaitu 21

19
tahun untuk pria dan 18 tahun untuk wanita, yang kemudian Prohibition of Child

Marriage Act 2006 sebagai undang-undang utama tentang pernikahan anak

menetapkan umur yang legal bagi pernikahan pada usia tersebut. Selain itu

UNICEF juga memberikan dukungan di bidang Pendidikan dengan meratifikasi

aturan hak untuk mendapatkan pendidikan hingga bekerjasama dengan

pemerintah dan masyarakat sipil untuk mejalankan aturan tersebut. UNICEF

bersama dengan Department of School Education and Literacy mendukung

program pemerintah yaitu Sarva Shiksha Abhiyan (Education for all) demi

meningkatkan akses pendidikan, serta meningkatkan pembelajaran di lingkungan

anak-anak. Program ini fokus pada pendidikan dasar untuk anak usia 6 sampai 10

tahun agar mendapatkan pendidikan hingga kelas 10. Sekolah yang nyaman dan

sistem pengembangan guru dibuat untuk meningkatkan hak anak untuk belajar.

Program ini bertujuan demi memberikan pendidikan sehingga dapat mengurangi

kasus pernikahan anak.

Dari pememuan diatas, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap fokus

penelitian dari Asmarita dengan tulisan ini. Tulisan Asmarita memfokuskan pada

upaya-upaya yang dilakukan oleh UNICEF dalam mengatasi masalah pernikahan

anak di seluruh dunia khusunya di India, dengan menggunakan perspektif

pluralisme dan teori Organisasi Internasional. Namun pada penelitian tersebut

tidak digambarkan dengan jelas perubahan maupun dampak dari upaya UNICEF

dalam upaya mengatasi maslah pernikahan anak di India tersebut, sehingga fokus

utama pada penelitian Asmarita adalah pada Organisasi Iternasional yang

berperan di suatu negara. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan akan

20
membahas mengapa pernikahan anak yang meskipun telah diratifikasinya

konvensi hak anak (CRC), dan badan hukum tentang pernkahan anak (PCMA)

yang secara khusus membahas tentang pernikahan anak namun belum terjadinya

perubahan yang signifikan dalam penanganan masalah tersebut oleh pemerintah

India.

Literatur kedua yang berjudul “Kendala India dalam Upaya Mematuhi

Konvensi Internasional Terkait Pemenuhan HAM Anak Perempuan dalam

Pemberantasan Pernikahan Anak di India melalui Pemberlakuan UU PCMA” oleh

Alfandia Vamyla Azhar Putri, yang di publis dalam Journal of International

Relation, Volume 6, Nomor 3, 2020, hal 453-462.16 Penelitian ini membahas

tentang apa yang menjadi kendala India sebagai negara dengan tingkat kasus

pernikahan anak tertinggi di dunia dan bagaimana kepatuhan terhadap konvensi

internasional dalam memenuhi hak asasi manusia tentang anak perempuan serta

pemberantasan pernikahan anak dengan memberlakukan UU PCMA sebagai

undang-undang domestik yang secara khusus membahas tentang pernikahan anak

dengan menggunakan Teori Ketidakpatuhan, dimana teori ketidakpatuhan

mennjelaskan bahwa terdapat suatu masalah kepatuhan antara rezim internasional

dan prilaku negara, hingga ketidakpatuhan tersebut timbul karena terdapat tiga

alasan kegagalan, diantaranya ; kegagalan kejelasan kewajiban, kegagalan

16
Alfandia Vamyla Azhar Putri, Kendala India dalam Upaya Mematuhi Konvensi Internasional
Terkait Pemenuhan HAM Anak Perempuan dalam Pemberantasan Pernikahan Anak di India
melaui Pemberlakuan UU PCMA, Journal of International Relations, Volume 6, Nomor 3, 2020,
hal 453-462, tersedia di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi diakses pada tanggal 30 juli
2021

21
kejelasan kinerja, dan kegagalan kejelasan respon. Hingga penelitian ini berfokus

pada faktor penyebab ketidakefektifan hukum nasional India untuk memberantas

pernikahan anak, dimana faktor-faktor ini menjadi kendala bagi India untuk

melaksanakan kepatuhannya terhadap konvensi internasional yang telah

diratifikasi sebelumnya.

Pada penelitian Alfandia ini dijelaskan babhwa terdapat beberapa faktor

yang melatarbelakangi ketidakefektifan undang undang PCMA tersebut, salah

satunya disebabkan oleh faktor norma dan budaya yang mengakar telah

melahirkan adat dan tradisi yang hingga sekarang telah meliputi seluruh bagian

kehidupan masyarakat, kemudian melahirkan praktik sistem perkawinan seperti

pemberlakuan mahar, Arkha teej, Atta Satta, Mrityu bhoj, dan sistem kasta, yang

kemudian norma-norma tersebut seringkali mendorong praktik pernikahan anak di

India. Selain itu praktik pernikahan anak ini dikemudikan oleh jaringan

terorganisir yang bekerjasama dengan oknum pemerintah daerah yang

memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari kasus

tersebut. Hingga pada penelitian Alfandia disimpulkan bahwa India belum mampu

memenuhi kepatuhannya terhadap konvensi internasional meskipun output dari

diratifikasinya konvensi telah menciptakan dan mengembangkan undang-undang

khusus yang membahas tentang pernikahan anak (PCMA), namun pada

kenyataannya praktek tersebut masih menunjukan tingkat penurunan kasus

pernikahan anak yang terbilang sangat rendah.

Dari hasil penemuan penelitian Alfandia dijelaskan bahwa untuk

mengkategorikan sumber ketidakpatuhan menjadi tiga macam yaitu ; non-

22
compliance as preference, yaitu Ketika negara mau menyepakati suatu perjanjian

dikarenakan hanya memanfaatkan keanggotaan politik, atau karena terdapat

tekanan dari domestic, selain itu juga terkadang mungkin para aktor mau

mematuhi perjanjian namun tidak semua bagian, hanya terdapat beberapa bagian

dari kesepakatan tersebut dan aktor lebih memilih tidak patuh karena keuntungan

yang didapat dari Tindakan kepatuhannya tidak lebih besar dari biaya yang harus

dikeluarkan. Kemudian non-complience due to incapacity, yaitu Ketika aktor

menganggap kepatuhan hanyalah sebuah manfaat, tetapi aktor gagal mematuhi

perjanjian akibat ketidakmampuan semuber daya keuangan, administrasi,

teknologi, dan pengetahuan yang dimiliki oleh aktor tersebut, juga terdapat

konteks budaya, sosial dan sejarah juga membuat kepatuhan secara signifikan sulit

diperoleh. dan non-compliance due to inadvertence yaitu dimana negara dapat

mengambil Tindakan dengan niat harapan yang tulus untuk mencapai kepatuhan,

tetapi tetap gagal untuk memenuhi standar perjanjian karena masalah ini tidak

terbatas hanya pada negara berkembang, ketidakpastian yang melekat daru

dampak Sebagian besar strategi kebijakan bahkan memungkinkan upaya bagi

negara maju untuk mengubah perilalku warga dan negara mereka akan gagal

untuk mencapai hasil yang diharapkan. Hingga Alfandita menyimpulkan bahwa

faktor kendala kepatuhan india terhadap konvensi yang disepakati, dianalisis

dengan kategori ketidakpatuhan tersebut, menurut ketidakpatuhan sikap dan

prilaku negara yang akhirnya tidak sejalan dengan perjanjian yang telah disepakati

yang diakibatkan oleh beberapa faktor.

23
Dari temuan diatas nampak jelas perbedaan dari penelitian Alfandia dengan

penelitian ini, yaitu dari persfektif atau teori yang digunakan yaitu teori

ketidakpatuhan, karena sejalan dengan fokus penelitiannya yaitu pada kendala

India dalam mematuhi konvensi internasional, dan terlihat jelas pada tulisan

tersebut lebih menekankan pada prilaku pemerintah terhadap ketidakmampuannya

untuk mengatasi masalah pernikahan dini yang sesuai dengan isi konvensi yang

telah di ratifikasi adalah substansi utama dalam penulisannya, berbeda dengan

penelitian ini yang berfokus pada masalah yang terjadi di India yaitu kasus

pernikahan anak yang di elaborasikan dengan konsep HAM dan Feminisme,

sehingga penulis dapat dengan mudah mengaitkan kasus tersebut kedalam aturan

dan anjuran konvensi untuk melindungi hak-hak anak, karena pada dasarnya

konvensi tentang hak anak tersebut dibentuk untuk melindungi hak-hak yang

dimiliki oleh anak, serta untuk menjelaskan lebih detail dan untuk memastikan

bahwa konvensi tidak di implementasikan dengan sebagaimana mestinya oleh

pemerintah india tentu konsep HAM dan Feminisme adalah pisau analisis yang

tepat guna mencapai tujuan yang akan dicapai berdasarkan dengan kasus

pernikahan anak yang terjadi di India karena Convention on the Right of the Child

tidak terlepas kaitannya dengan HAM.

Literarur ketiga yang berjudul “Pengalaman Pernikahan Dini di Negara

Berkembang” oleh Fitriyani Bahriyah, Sri Handayani dan Andari Wuri Astuti,

yang di publis ke Journal Of Midwifery And Reproduction Vol. 4 No. 2 maret


17
2021. Tulisan ini bertujuan untuk memetakan literatur tentang pengalaman
17
Fitriyani Bahriyah, Sri Handayani, Andari Wuri Astuti, Pengalaman Pernikahan Dini di Negara
Berkembang, Jurnal Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Vol 4 No. 2, Maret 2021, tersedia
di https://jurnal.umbjm.ac.id diakses pada 17 mei 2021

24
pernikahan dini pada ibu muda di negara-negara berkembang, yang kemudian

dikembangkan menggunakan kerangka Population, Exposure, Outcome, Dan

Study Design (PEOS). Pada temuannya menunjukan bahwa karena faktor

perasaan kesepian, cinta, rasa hormat, dan kurangnya kemandirian dan peran

keluarga yang mendorong remaja untuk melakukan pernikahan dini. Hingga

akibat dari pernikahan dini yang terjadi di negara-negara berkembang ini

mengakibatkan terbatasnya akses ke layanan Kesehatan, kurangnya otonomi

dalam pengambilan keputusan, keguguran, perceraian, kekerasan dalam rumah

tangga, kemiskinan, putus sekolah, kemiskinan dan gangguan psikologis, hingga

dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini memiliki konsekuensi Kesehatan,

ekonomi dan psikologis yang negatif bagi remaja di negara-negara berkembang.

Dari hasil penemuan penelitian Fitriani, Andari dan Handayani ini

dijelaskan bahwa terdapat beberapa pola dan variasi dari pernikahan dini, yaitu

pola pertama dalam konteks pengambilan keputusan pernikahan dini, didasari

oleh faktor diri sendiri dan orang lain, dimana anak perempuan menunjukan self-

effficiacy untuk bergerak maju dengan dukungan calon pengantin pria, meskipun

terdapat ketidaksetujuan dari orang tua. Hal ini sering digambarkan sebagai

keinginan menikah berdasarkan cinta. Kemudian dari faktor orang lain, dimana

perencanaan pernikahan seorang gadis hamper tidak pernah dimulai dari gadis itu

sendiri, melainkan pada orang-orang terdekat dan keluarga. Kemudian pola yang

kedua berdasarkan perubahan praktik pernikahan, dimana informasi Kesehatan

reproduksi yang masih minim diketahui dan diajarkan oleh orang tua dan hal

25
tersebut masih dianggap hal yang tabu di kalangan masyarakat mengakibatkan

kurangnya pengetahuan akan hal tersebut bagi para gadis yang akan menikah.

Persepsi usia menikah, pencatatan pernikahan, harga mahar, masa

pertunangan dan pernikahan keluarga juga mempengaruhi perubahan praktik

pernikahan yang umumnya terjadi di negara berkembang. Kemudian pola yang

ketiga dari faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini di negara

berkembang, yaitu dari faktor ekonomi, rendahnya tingkat Pendidikan,

implementasi program Kesehatan yang tidak memadai, menjaga kehormatan

keluarga, nilai-nilai budaya, kehilangan orang tua, tidak adanya sanksi dari praktik

pernikahan dini, berdasarkan keyakinan agama, dan kebutuhan seksual. Adapun

dampak yang diakibatkan dari pernikahan dini yaitu akses ke pelayanan

Kesehatan rendah, otonomi yang rendah dalam mengambil keputusan, abortus,

perceraian, Kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, putus sekolah dan

konsekuensi psikologi. Hingga pada kenyataannya pernikahan yang dilakukan

pada usia dini masih umum terjadi di negara berkembang, dan temuan dari

penelitian ini bahwa hukum yang membatasi usia pernikahan belum ditegakkan

secara maksimal, dan dibutuhkan upaya masyarakat untuk mengubah norma-

norma yang mendukung praktik pernikahan dini, yang tentu diperlukan untuk

mengurangi pelanggaran dari Hak Asasi Manusia terhadap perempuan.

Dari hasil penelitian diatas tampak jelas perbedaan dari penelitian ini,

yaitu dari penelitian Fitriani, Andari, dan Handayani ini menjelaskan pengalaman

pernikahan dini yang terjadi di negara-negara berkembang dan menjelaskan

beberapa pola dan variasi dari pernikahan dini, dibandingkan dengan penelitian

26
ini, yang secara khusus membahas pernikahan yang terjadi di India dengan

mengedepankan konvensi internasional yang telah diratifikasi di negara tersebut

demi menciptakan tren penurunan praktik pernikahan anak di India. Selain itu

metode penelitian yang digunakan oleh Fitriani, Andari dan Handayani adalah

metode scoping review yang merupakan tinjauan untuk digunakan sebagai

pemetaan konsep yang mendasari area penelitian, sumber bukti, dan jenis bukti

yang tersedia. Langkah yang dilakukan dalam tinjauan tersebut adalah Langkah

mengidentifikasi fokus review, mengembangkan fokus review dan strategi

pencarian menggunakan format PEOS, mengidentifikasi studi yang relevan,

memetakan data dan extraction data dengan menyusun, meringkas, dan

melaporkan hasil ataupun pembahasannya.

Literatur ke empat yang berjudul Pernikahan Anak di India : Faktor dan

masalah, oleh B. Sures Lala, di publis dalam Jurnal Sains dan Penelitian

Internasional (IJSR) Vol. 4 Edisi 4, April 2015, penelitian ini membahas tentang

kondisi sosial ekonomi dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi pernikahan anak dan untuk mengkaji implikasi dari pernikahan

anak, serta untuk menganalisis tindakan konstitusional dan hukum terhadap

perkawinan anak dan pelaksanaannya.18 Kemudian penelitian ini dianalisis

berdasarkan data primer dan skunder, yang meliputi berbagai isu seperti

kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, Kesehatan, dan tingkat manajemen

maupun taraf hidup anak perempuan yang sudah menikah. Pernikahan anak ini
18
B. Sures Lala, Child Marriage in India : Factor and Problem, International Journal of Science
and Research, Vol. 4 Issue 4, April 2015, tersedia di www.ijsr.net diakses pada tanggal 3
September 2021

27
menjadi salah satu fokus pemerintah dalam pembangunan dan menjadi masalah

yang cukup serius dikarenakan perempuan berdiri di persimpangan jalan antara

produksi dan reproduksi, antara kegiatan ekonomi dan pemeliharaan manusia,

oleh sebab itu hal ini menjadi penting karena berada dalam situasi antara

pembangunan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia, pada dasarnya

mereka adalah pekerja di kedua bidang.

Pada tulisan ini dijelaskan beberapa faktor yang memotivasi terjadinya

pernikahan anak, di antaranya yaitu ; pertama, untuk menghindari pengeluaran

untuk Pendidikan Wanita, namun hal tersebut menjadi boomerang bagi para

Wanita karena kapasitas seseorang untuk mendapatkan pekerjaan berdasarkan

pada tingkat Pendidikan yang telah dicapai, sehingga hal tersebut akan

menjadikan para wanita akan bergantung pada laki-laki setelah mereka menikah,

yang kemudian hal tersebut membuat status suami lebih tinggi dibandingkan istri.

Faktor Kedua untuk meminimalkan pengeluaran pernikahan, apabila terjadi suatu

pernikahan yang memberikan mahar adalah dari pihak perempuan, dan semakin

tinggi tingkat Pendidikan yang ia tempuh maka semakin tnggi mahar yang

diberikan, faktor selanjutnya adalah untuk menghindari bagian dalam harta

leluhur, karena perempuan yang menikah dibawah umur belum bisa mendapatkan

warisan oleh karenanya, orang tua mereka menganjurkan pernikahan dini bagi

anak perempuannya. Pernikahan anak juga masih sering terjadi ketika

mendekekati hari-hari suci yang telah menjadi tradisi keagamaan di banyak

tempat di India oleh sebab itu hal tersebut cukup sulit untuk diubah.

28
Dari penemuan diatas, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap fokus

penelitian B. Sures Lala dengan tulisan ini. Tulisan B. Sures Lala fokus pada

masalah yang terjadi pada kasus pernikahan dan faktor apa saja yang mendorong

terjadinya pernikahan dini di India, serta mendeskripsikan pemerintahan

sebelumnya yang mengawali kasus pernikahan dini, karena pada masa tersebut

hukum dan ketertiban belum bersifat universal sehingga pemerintahan pada masa

itu masih bersifat sewenang-wenang di tangan hirarki yang dipimpin oleh

raja.namun Pada tulisan tersebut tidak dijelaskan tentang langkah apa yang akan

dilakukan oleh pemerintah guna mengurangi angka penurunan pernikahan anak di

India, dan konsep ataupun teori tidak dielaborasikan untuk mengkaji masalah

penikahan dini di India, sehingga pada pada tulisan tersebut terlihat bahwa hanya

menjelaskan kondisi sosial dan permasalahan pernikahan dini saja dibandingkan

dengan tulisan ini, dimana penulis menjelaskan beberapa aturan seperti aturan-

aturan yang mengatur tentang pernikahan dini, seperti Prohibition of Child

Marriage Act sebagai undang-undang utama India yang mengatur tentang

pernikahan anak, selain itu penulis juga mengaitkan kasus pernikahan tersebut

dengan konsep HAM dan feminsime serta implementasi dari konvensi

internasional yaitu Convention on the Right of the Child, hingga menjadikan

penulisan B. Saras Lala dan tulisan terdapat perbedaan yang signifikan.

2.2 Kerangka Teori

Untuk membantu menganalisis dan memberikan pemahaman lebih terkait

kasus pernikahan anak yang terjadi di india, penulis menggunakan beberapa

konsep dalam menganalisis kasus tersebut diantaranya teori konstruktivis untuk

29
mengetahui bagaimana struktur sosial masyarakat yang ada di india sehingga

terjadi kebiasaan dan budaya menikah di usia dini. Untuk memehami lebih jauh

peran negara dalam menyikapi peristiwa ini hingga meratifikasi beberapa

konvensi internasional demi meminimalisir praktik pernikahan anak penulis

menggunakan feminisme dalam melihat kasus pernikahan anak di India.

2.1.1 Feminisme

Pernikahan anak di India tidak lepas dari adanya bias gender, dan dampak

dari bentuk ketimpangan gender tersebut mengakibatkan ketimpangan di bidang

Pendidikan dan ketenagakerjaan. Terbentuknya ketimpangan dalam bias gender

tersebut dikarenakan oleh banyak hal, seperti dibentuk dengan sengaja,

disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial kultural, melalui

ajaran keagamaan maupun konstitusi dari negara. Perbedaan jenis kelamin yang

selanjutnya melahirkan peran gender sesungguhnya tidak menimbulkan masalah

sehingga tidak perlu digugat, misalnya secara biologis kaum perempuan dengan

organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui, namun yang

menjadikannya sebagai sebuah permasalahan adalah ketika terjadinya

ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender antara laki-laki dengan

perempuan yang menjadikan perempuan dimarjinalkan dalam sektor publik.

Kemudian gender digunakan sebagai alat analisis oleh kaum feminis pada

ketidakadilan stuktural dan system yang disebabkan oleh gender.19

19
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
90-91

30
Sesuai dengan tulisan ini penulis menggunakan konsep feminis liberal

dalam menganalisis bias gender sebagai penghambat implmentasi Convention on

the Right of the Child dalam mengurangi kasus pernikahan anak di India. Hukum

pernikahan yang secara khusus untuk anak dan wujud dari implementasi CRC di

bidang hukum saat ini adalah PCMA (Prohobition Chid Marriage Act) dimana

undang-undang tersebut tercipta dengan mengadopsi beberapa aturan dari

Convention on the Right of the Child. Namun aturan tersebut belum menunjukan

kepatuhan dan tindakan hukum yang jelas terhadap pelanggaran akibat pernikahan

anak, Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan PCMA tidak berjalan dengan

maksimal dalam menangani masalah pernikahan salah satunya yaitu didasari oleh

sistem hukum dan pembuat kebijakan gagal karena kurangnya unsur feminis

dalam pembuatan undang-undang dan pengambilan kebijakan, kemudian di satu

sisi, perkawinan anak telah tumbuh karena tidak adanya wanita yang mencolok

dari proses pembuatan undang-undang. Akibatnya, hukum dan pelaksanaannya

direplikasi dalam gambar laki-laki, kemudian kurangnya implementasi ketentuan

hukum yang ada. Hal tersebut menggambarkan bahwa bias gender merupakan

faktor penghambat implementasi CRC dalam pengurangan kasus pernikahan anak.

Secara teoritis feminisme merupakan himpunan teori sosial, gerakan

politik, dan filsafat moral yang sebagian besar didorong oleh atau yang berkenaan

dengan pembebasan perempuan terhadap pengetepian oleh kaum laki-laki.

Meskipun para feminis memiliki kesadaran yang sama terhadap ketidakadilan

pada kaum perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, akan tetapi mereka

berbeda pendapat dalam menganalisis apa yang menjadi sebab-sebab terjadinya

31
ketidakadilan serta target dan bentuk perjuangan mereka, pada akhirnya

perbedaan itulah yang melahirkan beberapa ideologi atau aliran dalam pemikiran

di kalangan feminis, hingga melahirkan aliran-aliran di dalam feminis, seperti

feminis liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, feminisme postmodern,

femisisme sosialis, black feminism, dan feminisme islam. Untuk mengkaji

masalah lebih spesifik dalam tulisan ini penulis memilih untuk menggunakan

feminisme liberal untuk meneliti kasus pernikahan anak yang terjadi di India.20

Femisisme liberal berasumsi bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki

dan perempuan, yang kemudian perempuan harus mempunyai hak yang sama

dengan laki-laki, feminisme ini lebih berfokus pada perubahan aturan, atau

undang-undang yang dianggap dapat melestarikan sistem patriarki, seperti, kepala

keluarga konvensional yang berlaku secara universal yaitu suami sebagai pemberi

nafkah dan pelindung keluarganya. Maka hal ini oleh feminisme liberal tidak

sesuai dengan konsep kebebasan inidividu untuk hidup mandiri dan menentukan

sendiri jalan hidupnya sendiri, hingga konsep keluarga tersebut menurut

pandangan feminsisme liberal dapat membuat perempuan menjadi terus

bergantung pada laki-laki. Femminisme liberal berbicara tentang sebuah

ketimpangan kesempatan di ruang publik antara laki-laki dengan perempuan,

feminisme liberal mengutamakan rasionalitas maupun otonomi perempuan atas

tubuhnya. 21
20
B. Sures Lala, Child Marriage in India : Factor and Problem, International Journal of Science
and Research, Vol. 4 Issue 4, April 2015, tersedia di www.ijsr.net diakses pada tanggal 3
September 2021

21
Khattak SG. Feminism in Education: Historical and Contemporary Issues of Gender Inequality
in Higher Education, Occasional Papers in Education & Lifelong Learning: An International

32
Menurut pandangan feminisme liberal perempuan dapat memperjuangkan

hak dalam menentukan nasibnya sendiri. Kemudian yang menjadi sebuah

permasalahan bahwa hal tersebut biasanya dibatasi oleh anggapan yang

menyatakan bahwa perempuan secara alamiah dan secara mutlak lebih lemah dan

bodoh, jika dibandingkan laki-laki. Anggapan tersebut kemudian menjadikan

sebuah ketimpangan kesempatan antara laki-laki dengan perempuan, dimana laki-

laki diasosiasikan dengan peran di ruang publik, sedangkan perempuan berada

pada ruang privat, bahkan tidak diasosiasikan di ruang manapun. Upaya dari

feminisme liberal tersebut tentu harus di dukung oleh kebijakan yang menjamin,

seperti equal opportunity for women. 22Jaminan ini harus menyasar poin penting

seperti kesetaraan akses untuk pendidikan, pekerjaan, dan hak untuk mendapatkan

layanan sosial bagi perempuan miskin, serta hak katas kontrol atas sistem

reproduksi perempuan.

Dalam argument feminis secara lebih umum mengidentifikasikan dua

untaian berebeda dalam kritik feminis terhadap pernikahan yaitu pernikahan

menindas perempuan efek praktis, dan pernikahan menindas perempuan efek

simbolis. Kerugian dari efek praktis terhadap perempuan yang dihasilkan dari

pernikahan mencakup fakta-fakta tak terduga bahwa pernikahan cenderung

memperkuat pembagian kerja berdasarkan gender, yang dengan sendirinya berarti

bahwa perempuan berpenghasilan lebih rendah dan kurang mandiri daripada laki-

Journal 5(1):67-81.

22
R. Valentina dan Ellin Rozana, Pergulatan Feminisme dan HAM, HAM untuk Perempuan,
HAM untuk Keadilan Sosial (Bandung: Institut Perempuan, 2007), 52.

33
laki, kemudian mereka memperkuat gagasan bahwa perempuan melakukan

sebagian besar pekerjaan rumah, bahkan jika mereka bekerja di luar rumah, yang

menguras energi dan martabat mereka, dan bahwa kekerasan dalam rumah tangga

dapat diperburuk oleh konsep perkawinan tentang hak dan kepemilikan.

Sedangkan dalam efek simbolis argumentasinya adalah bahwa pernikahan

merugikan posisi perempuan secara keseluruhan, sehinga menjadikan mereka

inferior. Salah satu cara pernikahan dapat membuat perempuan menjadi inferior

adalah dengan membatasi pilihan dan ambisi mereka yang sesuai. 23

Susan Moller Okin berpendapat bahwa pernikahan memiliki dampak lebih

awal dan jauh lebih besar pada kehidupan dan pilihan hidup wanita daripada pria.

Pierre Bourdeu juga menggambarkan bentuk efek simbolik ini sebagai kekerasan

simbolik, kekerasan simbolik mempengaruhi pikiran daripada tubuh, dan

menimpa orang-orang dengan keterlibatan mereka. Dengan kata lain, kekerasan

simbolik terjadi melalui tekanan sosial, seorang individu merasa dirinya inferior

atau tidak berharga. Sejalan dengan apa yang telah terjadi di India bahwa anak

perempuan bertanggung jawab atas dirinya sendiri karena kesuciannya yang harus

dilindungi dan juga menjadi beban karena mahar adat. Selain itu perempuan juga

dianggap tidak mampu menopang ekonomi keluarga, sehingga untuk memberikan

anak perempuan akses Pendidikan yang tinggi dianggap perilaku yang sia-sia

karena pada akhirnya ia akan hidup bersama suaminya ketika menikah. Hal

23
Jacqu true, Feminism and Gender Studies in International Relations Theory,
https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190846626.013.46 Published in print: 01 March 2010
Published online: 30 November 2017

34
tersebut kemudian menjadikan terciptanya diskriminasi gender pada anak

perempuan sehingga menjadikan pernikahan anak rentan terjadi di India.

Janet Gornick juga berpendapat bahwa pernikahan yang benar-benar

feminis harus melibatkan pembagian egaliter rumah tangga dan tenaga kerja yang

peduli, serta menyarankan tindakan negara untuk memungkinkan dan mendorong

kedua pasangan untuk bekerja lebih sedikit diluar rumah dan terdapat kesetaraan

didalamnya, hingga mereka dapat mencurahkan sisa waktu mereka untuk

pekerjaan rumah tangga. Secara umum kritik feminis tentang pernikahan ini

bergantung pada kekuatan dan penerapannya pada hukum pernikahan yang

berlaku di waktu dan tempat tertentu, dan pada norma sosial dan fakta sosiologis

yang menyertainya.24

erkait dengan konsep feminisme liberal dengan fakta sosial dalam

masyarakat yang menganggap bahwa perempuan berada dibawah laki-laki, dan

perempuan dianggap tidak dapat menopang ekonomi keluarga serta orang tua

selalu menginginkan anak laki-laki dengan harapan hanya anak laki-laki yang

mampu membantu ekonomi keluarga. Selain itu pada norma sosialnya masyarakat

india yang percaya pada teks budaya dan keagamaan Dharmasastra, Manu

smritis, Bhashya Medhatithi dan Tolkappiyam dipercaya untuk menyelamatkan

kesejahteraan keluarga, termasuk dengan menikahkan anak perempuan mereka,

bahkan adapula masyarakat india waktu itu menikahkan anaknya sejak bayi,

dengan tujuan untuk melindungi keselamatan anaknya. Hingga dengan


24
Monroe, Julie A. "A Feminist Vindication of Mary Wollstonecraft." Iowa Journal of Literary
Studies 8 (1987): 143-152. Available at: https://doi.org/10.17077/0743-2747.1247

35
mengetahui fakta tersebut feminsime liberal berperan dalam mengkritik hal

tersebut dengan mengupayakan perubahan konstruksi sosial dan konstitusi

pemerintahan dengan memberikan aturan dan sosialisai terkait kesetaraan gender,

agar kasus pernikahan yang terjadi sebelumnya dapat memberikan angka

penurunan, dan setidaknya memberikan hak dan perlakuan yang sama antara

perempuan dan laki-laki.

Sejalan dengan arah pemikiran feminisme liberal yang fokus pada individu

dan berupaya merubah institusi yang mengakibatkan sebuah ketimpangan

terhadap perempuan, karena pada dasarnya pandangan politik feminisme liberal

adalah rekonstruksi dan rekonseptualisasi. Karena pemikiran masyarakat yang

telah terkonstruksi oleh norma sosial dan budaya maupun aturan keagamaan yang

melekat mengakibatkan peran perempuan di ruang publik maupun keluarga

menjadi inferior, dan laki-laki sebagai aktor dominan dalam ruang publik maupun

dalam keluarga. Hal tersebut kemudian yang perlu diperhatikan untuk

menciptakan sebuah aturan pernikahan anak di India yang saat ini adalah PCMA

(Prohibition Child Marriage Act) harus mampu mengimbangi aturan-aturan

keagamaan dan norma sosial yang melatarbelakangi ketimpangan gender dalam

kasus pernikahan anak tersebut. Dengan begitu feminsime liberal sangat penting

dalam menganalisis permasalahan tersebut karena perempuan masih mampu

mengklaim kesetaraan dengan laki-laki sesuai pada moral esensial manusia, juga

bisa merubah konstruksi sosial sebelumnya, serta aturan atau hukum tentang

pernikahan yang belum memberikan efek yang signifikan untuk mengurangi

36
angka penurunan kasus pernikahan anak di India masih banyak upaya untuk

memperbaiki dan mengatur kembali ke arah yang lebih baik.

BAB III

37
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Ada dua metode berfikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yaitu

metode deduktif dan indukti, metode deduktif dikembangkan oleh Aristoteles dan

metode induktif dikembangkan oleh Francis Bacon. Metode deduktif adalah

metode berfikir yang berawal dan berpangkal pada hal-hal yang umum menuju

kepada hal-hal yang khusus, sedangkan metode induktif adalah sebaliknya.

Kemudian dalam kegiatan penelitian ini penulis menggunakan metode deduktif

dalam cara pandang melihat objek penelitian. Kegiatan penelitian tentu

memerlukan metode yang jelas, seperti halnya ada dua metode penelitian dalam

ilmu sosial yaitu metode kualitatif dan kuantitatif, dimana penulis menggunakan

metode kualitatif karena pada dasarnya metode kuantitatif dianggap telah

memenuhi syarat sebagai metode yang baik, karena telah menggunakan istrumen

untuk mengukur gejala atau peritiwa tertentu yang diolah secara statistik, akan

tetapi dalam perkembangannya, data-data yang berupa angka dan pengolahan

matematis tidak dapat menjelaskan kebenaran secara meyakinkan. Oleh karena itu

penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang dianggap mampu menjelaskan

gejala dan fenomena sosial secara lengkap dan menyeluruh.

Sedangkan menurut Strauss dan Corbin, yang dimaksud dengan penelitian

kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan yang tidak dapat

diperoleh menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara lain yang dari suatu

pengukuruan (kuantifikasi)25. Kemudian penelitian kualitatif secara umum dapat


25
Pupu saful rahmat, penelitian kualitatif, equilibrium, vol. 5, no. 9, Januari-Juni 2019 1 – 8
diakses pada 20 juni 2021

38
digunakan untuk penelitian tentang kehidupan-kehidupan masyarakat, sejarah,

tingkah laku objek penelitian, fungsionalisasi suatu organisasi, aktivitas sosial,

dan lain sebagainya. Demikian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif

juga dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi

dibalik fenomena yang kemungkinan merupakan sesuatu yang sulit untuk

dipahami secara memuaskan. Selain itu Bogdan dan Biklen menjelaskan bahwa

metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif yang berupa ucapan ataupun tulisan serta perilaku orang-orang yang

diamati. Kenudian pada penelitian lain Judith Preissle dalam Cesswell, J.

menyatakan tentang penelitian kualitatif yaitu sebagai berikut :

Qualitative research is a loosely defined category of research designs or

models, all of wich elicit verbal, visual, tactile, olfactory, and gustatory, data in

the form of descriptive narratives like field notes, recordings, or other

transcription from audio and videtapes and other written records and fictures or

films.

Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan etnometodelogi,

dimana etnometodologi berupaya memahami bagaimana masyarakat memandang,

menjelaskan serta menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Pendekatan

etnometodologi juga berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat,

menguraikan, dan menerangkan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Dalam

pendekatan ini penulis berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial

sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya. Begitupun pendekatan

penelitian ini sejalan dengan makasud penelitian ini,yaitu untuk melihat peristiwa

39
dari kendala India dalam menangani kasus pernikahan anak dan implementasi

konvensi hak anak. Dimana faktor utama dalam melihat kasus tersebut dari aspek

kehidupan sosial dan gambaran tata hidup mereka dari segi budaya, ekonomi,

agama ataupun kepercayaan yang telah mereka anut sebelumnya yang kemudian

menjadi latar belakang terjadinya maslah pernikahan anak tersebut. Oleh sebab itu

penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian etnometodelogi yang bersifat

kualitatif.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah Langkah yang paling strategis dalam

melakukan sebuah penelitian, karena pada dasarnya tujuan dari penelitian adalah

untuk mendapatkan data, tanpa menegtahui Teknik pengumpulan data, peneliti

tidak akan dapat memenuhi standar data yang ditetapkan. Untuk itu, Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

library research ( penelitian kepustakaan) dan dokumentasi.

Berkaitan dengan Teknik pengumpulan data dalam model penelitian

kepustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh data ataupun teori

yang dibutuhkan oleh peneliti untuk melakukan penelitiannya. Kemudian

pengumpulan data juga dapat dilakukan dengan membaca, mempelajari berbagai

jenis bahan bacaan yang ada di perpustakaan, baik itu berupa buku, laporan, serta

bahan-bahan lain yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan, sehingga

bisa membantu penulis untuk mendapatkan data dalam melaksanakan

penelitiannya. Dalam hal ini sumber data rujukan didapatkan dari Gapki

40
Indonesia, perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Daerah

Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Perputaskaan Universitas Mataram.

Kedua, Teknik Studi Dokumentasi; cara mengumpulkan data yang

dilakukan dengan kategorisasi klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan

dengan masalah penelitian, bail dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran,

majalah dan lain sebagainya. Metode dokumentasi ini adalah bagian dari catatan

rekaman peristiwa yang sudah berlalu, dokumennya bisa berbentuk lisan, tulisan,

ataupun karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumen ini adalah

pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara serta liberary

research dalam penelitian kualitatif. dalam hal itu, dengan menggunakan Teknik

ini, penelitian akan lebih kredibel jika terdapat dukungan sejarah pribadi,

pengalaman pekerjaan, autobiografi, foto-foto, lembar peraturan atau kebijakan,

serta tinjauan lain yang mempunyai kaitan erat untuk menopang kredibilitas data

yang diperoleh sebagai sumber rujukan.

Berkaitan dengan penelitian ini, Teknik dokumentasi dapat peneliti

tambahkan berdasarkan sumber rujukan dari lembar peraturan kebijakan dalam

kerangka hukum yang memiliki korelasi dengan peraturan yang membahas

tentang kasus pernikahan anak di India. Selain itu model dokumentasi foto juga

memiliki posisi kusus dalam melihat proyeksi kedepan. Secara singkat, Teknik

pengumpulan data dilakukan dengan Langkah observasu dan studi dokumentasi

dari berbagai narasumber yang terkait dengan bahan penelitian.

41
3.3 Teknik Analisis Data

Dalam penulisan penelitian ini penulis akan menggunakan model analisis

data berbasis interactive model dari Miles dan Huberman. Kemudian terdapat

beberapa tahap dalam melakukan analisis data kualitatif, di antaranya data

collection, data reduction, data display, conclusion.

1. Pengumpulan Data (Data Collection)

Hal utama dalam setiao penelitian yaitu mengumpulkan data, dimana dalam

penelitian kuantitatif pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan

kuesioner atau tes tertutup, yang kemudian data yang diperoleh adalah data

kuantitatif. Data tersebut kemudian dianalisis dengan statistic. Berbeda halnya

dengan penelitian kualitatif, pengumpulan data yang dilakukan menggunakan cara

observasi data, wawancara mendalam, dan dokumentasi ataupun gabungan dari

ketiganya, yang biasa disebut (triangulasi). Proses pengumpulan data yang

dilakukan biasanya membutuhykan waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan

sehingga data yang diperoleh akan banyak dan sesuai dengan kebutuhan

penelitian. Pada tahapan awal peneliti melakukan penjelajahan secara umum

terhadap situasi sosial atau objek yang diteliti, semua yang dilihat maupun

didengar akan direkam semua. Oleh karenanya peneliti akan memperoleh data

yang sangat banyak dan bervariasi.

2. Data Reduction ( Reduksi Data)

Reduksi data adalah proses pemilihan dan penyederhanaan dalam

mencantumkan data yang diperoleh sebelumnya untuk disajikan dalam penelitian.

Proses ini berlangsung secara terus menerus selama penelitiain berlangsung,

42
bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana terlihat dari kerangka

konseptual penelitian, permasalahan studi, dan pendekatan pengumpulan data

yang dipilih peneliti. Reduksi data ini adalah bentuk analisis yang memusatkan,

menggolongkan, mengarahkan bahkan membuang data yang tidak perlu, serta

mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir

dapat diambil. Selanjutnya adalah penyajian data yang merupakan kegiatan ketika

sekumpulan informasi disusun, sehingga memberikan kemungkinan akan adanya

penarikan kesimpulan dan tindakan. Bentuk penyajian data kualitatif adalah, teks

naratif yaitu berbentuk catatan lapangan, dan matriks, grafik, jaringan serta

berbentuk bagan. Bentuk-bentuk tersebut kemudian menggabungkan informasi

yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah untuk didapatkan,

sehingga memudahkan untuk melihat apa yang sedang terjadi, dan peneliti dapat

menguraikan apakah kesimpulan sudah tepat atau sebaliknya melakukan analisis

kembali.

Dalam mereduksi data, peneliti akan dipandu oleh teori dan tujuan yang

akan dicapai. Sehingga pada tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada

temuan. Oleh karena itu, apabila peneliti dalam melakukan penelitian dan

menemukan segala sesuatu yang dianggap asing, tidak dikenal, belum memiliki

pola, justru itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan

reduksi data.

3. Penyajian Data (Data Display)

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.

43
Sehingga pada focus tersebut Miles dan Huberman menyatakan bahwa yanga

paling sering digunakan dalam menyajikan data pada penelitian kualitatif yaitu

dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menampilkan data, maka akan

memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan dapat direncanakan pekerjaan

selanjutrnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Kemudian setelah

peneliti dapat mereduksi data kedalam huruf besar maupun huruf kecil dan angka,

maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data, dalam menyajikan data huruf

besar, huruf kecil dan angka tersebut disusun kedalam urutan sehingga

strukturnya dapat dipahami, selanjutnya setelah melakukan analisis mendalam,

terdapat hubungan yang interaktif antara tiga kelompok tersebut. Kemudian dalam

fenomena sosial yang bersifat kompleks dan dinamis menyebabkan apa yang

ditemukan pada saat memasuki lapangan dan setelah berlangsnung agak lama di

lapangan, penelitian akan mengalami perkembangan data.

4. Conclusion Drawing/Verification (Kesimpulan)

Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan

Huberman ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang

dilakukan masih bersifat sementara, dan akan berubah apabila tidak ditemukannya

bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun

apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-

bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan untuk

mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan adalah kesimpulan

yang kredibel. Dengan demikian kesimpulan dalam penlitian kualitatif akan

menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal penelitian, tetapi

44
terdapat kemungkinan juga tidak, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat

sementara dan akan berkembang setelah penelitian tersebut berada di lapangan.

Hingga kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang

sebelumnya belum pernah ada. Temuan tersebut bisa berupa deskriptif atau

gambaran suatu objek yang sebelumnya masih tidak jelas dan samar akan

kebenarannya sehingga setelah diteliti akan menjadikannya lebih jelas, yang dapat

berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis ataupun teori.

45

Anda mungkin juga menyukai