Anda di halaman 1dari 37

OTONOMI PEREMPUAN BALI,

DI DESA PEMARON KECAMATAN BULELENG:


SUATU KAJIAN BUDAYA

OLEH
DRA. KOMANG SRININGSIH, M.Si

UNIT PELAYANAN TEHNIS


PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KAREKTER BANGSA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji sukur dipanjatkan pada Allah Subahanallah, tulisan Penelitian dan bahan materi
kulian Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) bisa diselesaikan. Tulisan ini hasil dari
penelitian yang sederhana dan dimaksud sebagai bahan ajar mata kuliah ISBD.
Otonomi adalah kebebasan untuk bertindak sendiri, bukan disuruh orang lain atau
dipaksa. Sehubungan dengan itu, penelitian dilakukan di desa Pemaron Buleleng,
pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga. Selama ini peran terbatas pada
dunia domestik, yang merupakan konstruksi dari masyarakat. Hasil penelitian, dalam
pengambilan keputusan atas hak reproduksi perempuan, berhubungan dengan kesehatan, dan
keluarga berencana, kesemuanya lebih didominasi laki-laki. Fokus penelitian pada otonomi
perempuan dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya dalam keluarga, makna,
faktor yang mempengaruhinya.
Mahasiswa bisa membaca dan dapatkan bahan ini ditaruh diperpustakaan fakultas
hukum Universitas Udayana. Sekian dan terima kasih.
Denpasar, April 2018

2
DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang .............................................................................................................. 4


1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 8
1.3. Kajian Pustakan ............................................................................................................. 8
1.4. Landaasan Teoritik ....................................................................................................... 16
1.5. Hasil Penelitian ......................................................................................................... 23
1.5.1. Kesehatan Reproduksi ............................................................................................. 23
1.5.2. Kesejahteraan Keluarga ............................................................................................ 26
1.5.3. Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga ................................................................... 28
1.5.4. Kedudukan Perempuan Dalam Masyarakat ............................................................. 30
1.5.5. Refleksi .................................................................................................................... 32
1.6. Kesimpulan ................................................................................................................. 34
1.7. Daftar Pustaka ............................................................................................................ 36

3
1.1 Latar Belakang
Perempuan sebagai mahluk Tuhan maupun sebagai warga Negara dan sumber daya
insani pembangunan mempunyai hak dan kewajiban, kedudukan, peran serta, dan
kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berperan di berbagai bidang kehidupan dalam
segenap kegiatan pembangunan. Di samping itu kedudukan perempuan dalam keluarga dan
masyarakat, peranannya dalam pembangunan perlu dipelihara serta terus ditingkatkan,
sehingga perempuan sebagai kemitrasejajar laki-laki dapat memberikan sumbangan yang
sebesar-besarnya bagi pembangunan dengan memperhatikan hakikat, kodrat, dan martabat
bagi perempuan (Aida Vitayala, 2000).
Peran serta perempuan dalam pembangunan merupakan suatu hak dan kewajiban yang
dijalankan oleh perempuan pada status atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik
pembangunan bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya maupun pembangunan di bidang
pertahanan dan keamanan baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Peranan dan
kedudukan perempuan dalam masyarakat tidak lepas dari sistem sosial budaya, dimana
perubahan sistem sosial budaya akan mempengaruhi kedudukan dan peranan perempuan
(Kartodirjo dan Tukiran, 2001: 135).
Sudah sejak lama kegiatan kaum perempuan terbatas pada dunia domestik, karena
memang demikianlah peran yang dikonstruksi oleh masyarakat umumnya, termasuk
perempuan Bali. Proses sosialisasi peran domestik (mencuci pakaian, memasak, mengasuh
anak, dan peran lain sebagai ibu rumah tangga) pada perempuan yang telah berlangsung sejak
lama. Semua itu adalah bentukan masyarakat manusia itu sendiri yang dapat berubah dari
waktu ke waktu dan berbeda-beda dari masyarakat lainnya (Astiti, 2003: 50). Perbedaan
perlakuan terhadap perempuan di berbagai bidang kehidupan sudah terjadi sejak zaman
dahulu, ketika manusia mulai mengenal kehidupan. Para pemerhati perempuan merasa perlu
memperbaiki kondisi perempuan yang diperlakukan tidak adil, baik dalam masyarakat
maupun dalam keluarga.
Memasuki era transformasi saat ini, kebutuhan hidup manusia tampak semakin
meningkat, baik kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, teknologi dan lain-lain. Untuk bisa
mengikuti gaya hidup modern, setiap individu khususnya perempuan akan berusaha untuk
bisa memenuhi kebutuhan hidup primer maupun sekunder. Didorong oleh kebutuhan hidup,
perempuan berusaha untuk meningkatkan peran produktifnya dengan cara mengisi, peluang
dan kesempatan kerja yang ada diranah publik. Demikian juga perempuan Bali, bekerja
mencari nafkah diluar rumah, bukan merupakan hal yang baru, karena lingkungan sosial

4
budaya Bali, yang bersumber pada ajaran agama Hindu, yang mengajarkan bekerja adalah
dharma atau susila yang dapat diartikan, bekerja itu merupakan suatu kewajiban.
Berkaitan dengan nilai budaya tersebut, kebanyakan perempuan Bali berpandangan
bahwa melakukan pekerjaan apapun yang bersifat halal, lebih baik dari pada tidak melakukan
pekerjaan. Oleh karena itu, tidak jarang perempuan Bali melakukan pekerjaan mencari
nafkah diluar rumah, baik yang tergolong pekerjaan kasar dan berat seperti, buruh tani, buruh
bangunan, penggali batu dan pasir, pengaspalan jalan ataupun pekerjaan yang tergolong halus
dan terhormat, seperti pegawai negeri, pegawai swasta, baik di pramuwisata maupun industri
kerajianan dan garmen. Dalam falsafah agama Hindu dapat dilihat melalui nilai-nilai yang
terdapat dalam ajaran agama Hindu sebagai pedoman bagi perempuan Bali untuk melakukan
pekerjaan, baik kerja yang bersifat kasar maupun halus, sesuai dengan peluang atau
kesempatan yang tersedia sebagai pengejawantahan peran sebagai perempuan Bali.
Dalam kenyataan kehidupan perempuan, khususnya di Bali pada kehidupan sosial
ekonomi masyarakat, masih banyak perempuan, khususnya di pedesaan mengambil pekerjaan
seperti yang telah disebutkan di atas, yakni sebagai buruh tani, penggali batu dan pasir,
penggarap sawah, buruh bangunan, pedagang dan lain-lain. Kenyataan tersebut memberikan
gambaran tentang potret perempuan masa lalu yang masih ada sampai sekarang, walaupun
sudah banyak pekerjaan perempuan seperti sekarang, misalnya sebagai pengusaha,
pramuwisata, pengacara, manajer perusahaan, biro jasa dan sebagainya, mengalami
perubahan ke hal yang lebih baik.
Etos kerja perempuan dalam sistem budaya Bali membuktikan bahwa, perempuan dari
awal peradaban manusia sudah, menghadapi tantangan berat dan hal tersebut merupakan
potensi atau kemampuan untuk dikembangkan sesuai dengan karakter perempuan Bali
adalah: yakin dan percaya, rajin dan kreatif, kerja sama dalam pengabdian dan berorientasi ke
depan ( Suryani, 1992), merupakan budayawi kaum perempuan, khususnya perempuan Bali.
Potensi tersebut dapat diangkat untuk meningkatkan peranan perempuan dalam
pembangunan. Dewasa ini wacana tentang peranan perempuan serta isu gender tampaknya
sedang menjadi pembicaraan cukup hangat di masyarakat, baik di tingkat Nasional maupun
Internasional . Pembicaraan mengenai isu perempuan diberbagai kesempatan pada umumnya
membahas masalah status dan kedudukan perempuan di masyarakat yang masih dianggap
subordinasi, marginal, dan teropresi. Kondisi ini disebabkan oleh adanya konstruksi sosial
budaya yang meletakkan peran laki-laki dan perempuan secara berbeda-beda, yang

5
didasarkan pada pemahaman perbedaan biologis dan fisiologis dari laki-laki dan perempuan
(Arjani, 2003: 1).
Isu gender pada dasarnya bukan sekedar menyangkut permasalahan hubungan laki-laki
dan perempuan, tetapi juga berkaitan erat dengan masalah kependudukan, keluarga
berencana, kesehatan reproduksi dan hak reproduksi. Konferensi Kependudukan dan
Pembangunan Internasional (ICPD) di Kairo 1994, merupakan bukti pentingnya dari
komitmen masyarakat Internasional tentang isu-isu gender, kependudukan, dan pembangunan
dengan sudut pandang atau paradigma yang baru. Tujuan dari kesepakatan yang dicapai pada
ICPD ini adalah untuk meningkatkan upaya pengembangan sumber daya manusia melalui
pengakuan adanya hubungan timbal balik antara penduduk dan kebijakan dan program-
program pembangunan terutama di sektor ekonomi, sosial, dan kesehatan.
Masalah kependudukan tidak hanya dilihat dari sisi demografi, akan tetapi
memperhitungkan aspek-aspek hak asasi serta menampung keperluan dan aspirasi perempuan
dan laki-laki atau aspek gender, dapat dikatakan sebagai inti kebijakan dan pengembangan
program-program kependudukan dimana peran perempuan dan laki-laki harus diupayakan
secara seimbang. Dalam ICPD ditekankan bahwa masalah hak reproduksi dan kesehatan
reproduksi termasuk di dalamnya keluarga berencana (KB) tanpa membedakan laki-laki dan
perempuan di samping aspek-aspek kependudukan lainnya.
Akhir-akhir ini, isu tentang hak reproduksi sedang menjadi fokus pembicaraan para
pemerhati masalah perempuan di dunia. Maka, pada konferensi dunia ke-4, mengenai
perempuan yang berlangsung di Beijing baru-baru ini, isu kesehatan dan hak reproduksi
menjadi salah satu topik yang dibahas cukup serius oleh para delegasi yang hadir pada
konferensi tersebut. Hal ini disebabkan adanya kecendrungan bahwa perempuan di sebagian
besar masyarakat di dunia mengalami perlakuan diskriminatif dan belum memperoleh
kebebasan atas hak reproduksinya.
Menurut hasil konferensi International Confence Population and Development/World
Health Organization, reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial secara
lengkap, yang sejahtera yang bukan hanya terbatas tidak adanya penyakit atau kelemahan,
tetapi meliputi segala hal yang berhubungan dengan reproduksi, fungsi-fungsi serta
prosesnya. Definisi tersebut mengandung arti, pasangan suami istri hendaknya dapat
menjalankan kehidupan seks yang memuaskan dan aman, mempunyai kemampuan untuk
mereproduksi dan mempunyai kebebasan untuk menentukan, apakah ingin berproduksi,
kapan berproduksi, dan berapa frekuensi berproduksi. Dalam pengertian ini, yang termasuk

6
juga hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat untuk perawatan kehamilan,
persalinan, dan kesehatan bayi (Adioetomo, 1995).
Sampai saat ini masih diakui oleh sebagian besar masyarakat bahwa posisi perempuan
dalam kebudayaan, tidaklah sebaik posisi laki-laki. Berbagai studi lintas budaya
menunjukkan bahwa perempuan selalu berada pada posisi subordinasi laki-laki (Moore,
1998; Fauzi Rizal, 1993). Kesubordinasian atau keteroperasian perempuan dalam berbagai
budaya, berakhir dari keterbatasan hukum dan adat (Rosemarie P. Tong, 1989). Sementara
itu Miller (1970), Hoartman (1979), dan Walby (1990), melihat bahwa kesubordinasian
perempuan dalam masyarakat disebabkan karena adanya budaya patriarki atau dominasi laki-
laki. Budaya partiarki sering kali membuat perempuan harus tunduk pada laki-laki, baik laki-
laki yang berada dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan komunitasnya (Arjani,
1998).
Dalam konteks budaya Bali, berlaku ideologi patriarki dengan sistem kekerabatan
patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali khususnya, memberikan corak terdepan terhadap
peranan laki-laki (suami) atau perempuan (isteri) dalam proses pengambilan keputusan.
Sistem kekerabatan patrilineal, yang menempatkan kedudukan suami lebih tinggi dari pada
istri. Kedudukan yang lebih tinggi diikuti dengan kekuasaan yang lebih tinggi pula termasuk
dalam pengambilan keputusan (Sudarta. 2006: 66).
Ideologi ini berintikan pada penempatan laki-laki sebagai titik pusat dalam sistem
sosial, sedangkan perempuan berada dalam posisi pinggiran atau laki-laki dalam posisi
superior, sedangkan perempuan pada posisi inferior (Atmaja, 2000: 10). Kondisi budaya
seperti itu, menjadikan perempuan tidak berdaya, tidak punya otoritas dalam berbagai hal,
termasuk otoritas atas hak reproduksinya. Pada hal kebebasan atas hak reproduksi maupun
hal yang sangat penting bagi perempuan karena hal ini berkaitan erat dengan masalah
kesehatan pribadinya (perempuan).
Dalam sistem kekerabatan yang dianut di Bali, perempuan yang sudah menikah keluar
dari keluarga asal yang bersangkutan tidak menerima warisan, terutama warisan leluhur serta
tidak mempunyai tanggungjawab sebagai mana saudara laki-lakinya, kecuali perempuan yang
berkedudukan sebagai sentane rajeg oleh karena perempuan bukan sebagai ahli waris, maka
perempuan tidak berhak menjadi pemilik tanah ataupun harta kekayaan lainnya yang berasal
dari warisan. Konsekuensinya akses perempuan dalam mengambil keputusan berkenaan
dengan hal-hal tersebut, menjadi terbatas yang dipengaruhi berbagai faktor.

7
Demikian hal dengan perempuan Bali yang berada di Desa Pemaron Kecamatan
Buleleng, Kabupaten Buleleng pada umumnya tidak jauh berbeda dengan perempuan-
perempuan lain, kalau dilihat dari realitas di masyarakat dengan sistem patriarki yang yang
sangat kuat, demikian juga yang berkaitan dengan pengambilan keputusan perempuan, yang
berhubungan dengan kesehatan, hak reproduksi maupun KB, semua lebih didominasi oleh
laki-laki (suami) dan pendominasian tersebut sering diperkuat oleh agama yang dianut oleh
perempuan, dimana penempatan perempuan subordinat laki-laki yang berlaku pada
masyarakat Bali.
Secara umum, sebagai bagian kebudayaan Bali yang lebih luas perempuan di Desa
Pemaron berada dalam sistem kehidupan patriarki dimana kaum laki-laki dikonstruk berada
di ruang publik dan perempuan di ruang domestik. Dalam konteks hirarki patriarki,
perempuan berada di bawah laki-laki . Hal inilah yang banyak mempengaruhi proses
pengambilan keputusan atas hak reproduksi tersebut.
Berdasarkan paparan penelitian di atas yang berjudul Otonomi Perempuan Bali Di
Desa Pemaron Kabupaten Buleleng: Suatu Kajian Budaya, di rancang sebagai sebuah
penelitian, melihat pentingya permasalahan tersebut untuk dibahas. Sisi kajian budaya di
antaranya dapat dilihat dalam proses hegemonik yang menyertai kadar otonomi perempuan di
Desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, ada beberapa temuan masalah yang dikaji,
sehubungan dengan otonomi perempuan Bali di Desa Pemaron Kecamatan Buleleng,
Kabupaten Buleleng dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga.
Adapun masalah yang dikaji dalam penelitian, sebagai berikut
1.21. Bagaimanakah otonomi perempuan Bali di Desa Pemaron dalam pengambilan
keputusan atas hak reproduksinya dalam keluarga ?
1.2.2. Faktor apa yang mempengaruhi otonomi perempuan Bali di Desa Pemaron dalam
pengambilan keputusan atas hak reproduksinya dalam keluarga ?
1.2.3. Bagaimanakah makna dari otonomi perempuan Bali di Desa Pemaron dalam
pengambil keputusan atas hak reproduksinya dalam keluarga ?
1.3. Kajian Pustaka
Penelitian tentang perempuan Bali sudah banyak dilakukan yang sebagian besar
menyoroti peran perempuan yang berkaitan dengan kepariwisataan, pekerjaan perempuan,
dan ekonomi keluarga. Untuk menjaga keabsahan hasil penelitian ini, perlu kiranya

8
dikemukakan beberapa tulisan maupun hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
masalah kesehatan reproduksi, hak reproduksi, KB dan pengambilan keputusan dalam
keluarga di Desa Pemaron Kabupaten Buleleng.
Tulisan-tulisan tersebut sangat bermanfaat bagi peneliti untuk mendapat gambaran serta
ketajaman melihat gejala atau fenomena-fenomena sosial yang berhubungan dengan
kesehatan dan hak reproduksi. Adapun beberapa tulisan yang dipergunakan dalam kajian
pustaka ini antara lain.
Adiwati (1998) dalam penelitiannya yang berjudul “Otonomi Istri Dalam Pemilihan
Alat/Cara Kontrasepsi Di Kecamatan Denpasar Barat, Kotamadya Denpasar, menemukan
bahwa tingkat otonomi istri cenderung sedang dan belum berwawasan gender, karena masih
adanya subordinasi laki-laki yang selalu menganggap bahwa laki-laki adalah kepala rumah
tangga, sedangkan inisiatif pemakaian alat KB lebih banyak dari perempuan dengan
perbandingan pemakaian alat kontrasepsi perempuan dan laki-laki, yakni 97,75 % : 5,25 %.
Yulmardi dkk (2001) dalam tulisan yang berjudul: “Hak Perempuan Memilih Alat
Kontrasepsi”, dalam buku “Menggugat Budaya Partiarki”. Membahas hasil temuan
penelitiannya menunjukkan bahwa sebagaian besar suami menghargai hak perempuan untuk
memilih alat kontrasepsi yang akan dipakai, tetapi dalam pelaksanaannya hak itu, harus
meminta ijin dari suami tentang alat kontrasepsi yang akan digunakan istri.
Mahendra dkk (2001) dalam tulisannya berjudul: “Perlindungan Kesehatan Reproduksi
Wanita Pekerja”, dalam buku “Menggungat Budaya Partiarki, membahas tentang kondisi
lingkungan kerja perusahaan terhadap munculnya gangguan fungsi kesehatan reproduksi
yang perlu mendapat perhatian dan tindakan nyata dalam pemberdayaan pekerja perempuan
perlu mendapat prioritas.
Citrawati (2002) dalam tulisannya yang berjudul: “Pemberdayaan Perempuan Dalam
Kesehatan Reproduksi”, mengatakan bahwa dengan memberi kesempatan pada kaum
perempuan untuk membelajarkan diri, berarti membantu mereka dalam memberdayakan
dirinya untuk kehidupan reproduksi yang sehat, yang berarti mengoptimalkan peranannya
sebagai ibu yang akan melahirkan generasi yang sehat.
Eka Martiningsih dkk (2004) dalam penelitiannya yang berjudul: “Studi Oprasional
Identifikasi Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Pria Dalam Program KB Di
Provinsi Bali”, menemukan dalam hasil penelitiannya bahwa keputusan untuk mengikuti
program KB sebagaian besar dilakukan secara bersama-sama, tetapi dalam pengambilan
keputusan masih tetap ditemukan dominasi laki-laki (suami).

9
Oka Negara (2005) dalam jurnal perempuan dalam tulisannya tentang: “Mengurai
Persoalan Kehidupan Seksual Dan Reproduksi Perempuan”, membahas masalah kesehatan
reproduksi dan seksualnya, agar tahu dan tidak mudah dirampas atau tidak dipenuhi hak-hak
reproduksinya karena kita sedang menuju dunia baru, yakni kehidupan seksual dan
reproduksi perempuan yang lebih nyaman.
Sujiti (2004) dalan thesisnya yang berjudul: “Pemberdayaa,n Perempuan Bali Dalam
Proses Pembuatan dan Penjualan Canang Sari Di Pasar Badung, Denpasar Bali”, yang
memfokuskan penelitiannya pada peranan perempuan pada ranah domestik ke peran publik
yang di dalam salah satu pembahasannya mengkaji pola pengambilan keputusan dalam
keluarga, perempuan Bali pada era globalisasi, kebanyakan kaum suami memberi kesempatan
pada istrinya untuk terlibat dalam pengambilan keputusan keluarga walaupun masih terbatas
pada masalah-masalah tertentu saja.
Dari hasil kajian-kajian pustaka yang telah dijabarkan di atas terlihat bahwa posisi
perempuan dalam pengambilan keputusan selalu dan tetap didominasi oleh laki-laki (suami)
baik yang berhubungan dengan hak-hak perempuan termasuk di dalamnya kesehatan
reproduksi, hak reproduksi dan keluarga berencana (KB) yang berkaitan dengan penggunaan
alat kontrasepsi maupun hak libur (cuti) seperti cuti haid dan melahirkan (fungsi reproduksi).
Di samping itu juga dikaji tentang persoalan kehidupan seksual dan hak reproduksi remaja
sebagai calon penerus bangsa perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif.
Sementara itu masih berhubungan dengan pengambilan keputusan, dalam memasuki
era transformasi saat ini banyak perempuan terjun untuk bekerja di luar rumah atau bekerja
diranah publik untuk membantu ekonomi keluarga, namun dalam pengambilan keputusan
yang berhubungan dengan adat ataupun dinas masih tetap dipegang/dominasi oleh laki-laki
(suami).
Dari seluruh kajian pustaka di atas, yang dirujukkan dalam penelitian ini sangat relevan
digunakan sebagai landasan untuk mengkaji penelitian yang akan dilakukan dan belum ada
satu kajian yang meneliti mengenai hak asasi yang berkaitan dengan otonomi/otoritas atas
hak reproduksi perempuan Bali serta bagaimana otonomi perempuan Bali terutama yang
berkaitan dengan pengambilan keputusan yang berhubungan dengan hak penentuan jumlah
anak, jarak kelahiran dan penentuan waktu mempunyai anak.
Pada masyarakat Bali prinsip kekerabatan yang pada akhirnya nanti mengarah pada
terbentuknya keluarga adalah prinsip patrilineal, prinsip ini menghitung keturunan dari garis
ayah (pihak laki-laki) purusa. Jadi, anak laki-laki sebagai penerus purusa dan keturunan

10
berikutnya dan sebagai ahli waris. Dalam budaya masyarakat yang demikian dan seiring
dengan perkembangan globalisasi. Oleh sebab itu, penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana otoritas perempuan Bali untuk bersedia tetap terus hamil, sebelum memiliki anak
laki-laki sebagai penerus purusa nya.
Untuk memperjelas pembahasan dalam penelitian ini, maka di gunakan beberapa
konsep yang berkaitan dengan judul penelitian. Konsep-konsep tersebut adalah otonomi,
perempuan Bali, otonomi perempuan Bali, pengambilan keputusan, hak reproduksi,
pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga.
Otonomi berarti berdiri sendiri, kelompok sosial yang memiliki hak, dan kekuasaan
menentukan arah tindakan sendiri dan pemerintahan sendiri (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2002). Menurut T.O. Ihromi dalam “Kajian Wanita Dalam Pembangunan”, menyatakan
bahwa otonomi berarti sebagai kemampuan untuk bertindak, melakukan kegiatan
pengambilan keputusan untuk bertindak berdasarkan kemauan sendiri, jadi bukan karena
disuruh oleh orang atau dipaksa oleh orang lain. Jadi, yang dimaksud otonomi dalam konsep
penelitian ini adalah kemampuan perempuan untuk bertindak, melakukan, dalam
pengambilan keputusan atas kemauan sendiri, bukan disuruh orang lain ataupun dipaksa.
Perempuan Bali yang dimaksud dalam konsep penelitian ini adalah perempuan (etnis
Bali) yang beragama Hindu yang bertempat tinggal di desa penelitian (desa Pemaron). Dalam
ajaran Hindu, perempuan mempunyai peran yang beragam dan kompleks. Menurut Raj
Kumari (dalam Rahman, 2000: 48). Perempuan adalah mitra laki-laki, sehingga setara dalam
melakukan kegiatan spriritual, akan tetapi ketika perempuan tidak menjadi pelengkap
kehidupan laki-laki saja, karena perempuan selalu diproyeksikan sebagai sampiran. Potensi
perempuan dipandang kreatif dan penuh kebaikan, hanya apabila potensi ini terjalin secara
harmonis dengan laki-laki. Potensi perempuan sama dengan laki-laki dan laki-laki tidak
lengkap potensinya sebelum bekerjasama dengan perempuan, menurut Thampuran (dalam
Titib tahun, 1998).
Dalam ajaran agama Hindu antara perempuan dan laki-laki, perempuan dijadikan
takaran atau cerminan, pengukur dalam menentukan maju mundurnya suatu masyarakat.
Istilah dewa-dewi, purusa-pradana, lingga-yoni, samara-ratih menunjukkan bahwa laki-laki
dan perempuan suami-istri sebagai kesatuan yang utuh dalam kehidupan keluarga masyarakat
Hindu. Mereka diumpamakan sebagai tangan kanan dan tangan kiri, yang tidak dapat
dipisahkan dalam masyarakat utuh. Mereka mempunyai tugas dan kedudukan yang sama,

11
tetapi fungsi dan tugas serta kewajiban yang berbeda sesuai dengan guna karma (kondrat dan
swadarma) masing-masing.
Otonomi berarti berdiri sendiri, kelompok sosial yang memiliki hak, dan kekuasaan
menentukan arah tindakannya sendiri dan pemerintahan sendiri (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2002). Menurut T.O Ihromi dalam “ Kajian Wanita dan Pembangunan”,
menyatakan bahwa otonomi berarti kemampuan untuk bertindak, melakukan kegiatan
pengambilan keputusan untuk bertindak berdasarkan kemauan sendiri, jadi bukan disuruh
orang atau dipaksa oleh orang lain.
Jadi yang dimaksud otonomi perempuan Bali dalam penelitian ini adalah perempuan
Bali, etnis Bali yang beragama Hindu yang bertempat tinggal di Bali, terutama dilokasi
penelitian (Desa Pemaron), yang dalam bertindak melakukan kegiatan pengambilan
keputusan berdasarkan kemauan sendiri, bukan disuruh orang lain ataupun dipaksa.
Pengambilan keputusan adalah usaha untuk mencapai tujuan tertentu, supaya sesuai
dengan suatu ukuran (asas, norma, dan tujuan). Perihal yang berkaitan dengan keputusan;
segala putusan yang telah ditetapkan (sesudah dipertimbangkan), dipikirkan dan sebagainya
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002). Yang dimaksud pengambilan keputusan dalam
penelitian ini adalah pengambilan keputusan yang berkaitan dengan posisi perempuan
sebagai istri yang mempunyai hak dalam menentukan jumlah anak, jarak kelahiran, dan
penentuan waktu mempunyai anak.
Yang dimaksud dengan pengambilan keputusan dalam penelitian ini adalah konsep
decision making dalam bahasa Inggris. Kata bahasa Inggris tersebut kalau ditranslasikan ke
dalam bahasa Indonesia akan menjadi ”Pembuatan Keputusan”. Pembuatan keputusan ini
dimaksudkan sama dengan pengambilan keputusan. Meskipun demikian, sense (pengertian)
antara pengambilan keputusan dan pembuatan keputusan relatif masih bisa dibedakan.
Pengambilan keputusan sering diartikan bahwa keputusan-keputusan itu sudah (tersedia) dan
tinggal diambil atau dipilih. Dalam pembuatan keputusan, ada proses yang menyertai
tindakan pembuatan keputusan tersebut. Namun istilah pengambilan keputusan digunakan
dalam penelitian ini karena banyaknya pakar di Indonesia yang menggunakannya dari pada
pembuatan keputusan.
Hak berarti milik, kepunyaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 381). Menurut
John F. Echols dan Hasan Sadhely (Kamus Inggris-Indonesia. 1989: 479). Reproduktive
artinya organs alat-alat tubuh yang bersifat membiakkan/menghasilkan keturunan. Jadi, hak

12
reproduksi dalan penelitian ini adalah organ alat-alat tubuh yang bersifat membiakkan atau
menghasilkan keturunan yang dimiliki oleh pasangan dan individu.
Menurut Ensiklopedi Indonesia (1986: 2889) dijelaskan, masa reproduksi artinya
selama masa reproduksi wanita dapat hamil dan masa reproduksi mencakup masa pubertas,
masa maturitas penuh dan berakhir pada permulaan menopause (berakhirnya haid).
Reproduksi adalah suatu istilah yang masih asing di sebagian besar masyarakat, lebih-lebih
perempuan di pedesaan, semua perempuan dewasa telah mengalami sendiri proses reproduksi
itu, mulai menstruasi, hubungan seksual, hamil, melahirkan, dan menopause. Semua insan di
dunia ini adalah hasil proses reproduksi (Roosna Hawati, 2001: 1).
Reproduksi sebagai proses biologis yang mempunyai hasil manusia baru, dengan kata
lain anak-anak. Reproduksi termasuk seksualitas, karena biasanya cara untuk berproduksi
dengan cara berhubungan intim antara laki-laki dan perempuan. Reproduksi merupakan hasil
interaksi manusia, sifatnya tidak hanya biologis melainkan juga sosial. Setiap masyarakat
mempunyai cara-cara untuk menyelenggarakan reproduksi, salah satunya adalah dengan
membentuk satu keluarga melalui suatu pernikahan yang sah (Terry, 1997: 25).
Secara konseptual pengertian reproduksi berkaitan dengan aspek klinis dan non klinis.
Alat dan fungsi reproduksi merupakan unsur anatomi perempuan yang karakteristik kerja
membutuhkan pendekatan atau kompetensi klinis. Alat dan fungsi reproduksi sebagai suatu
sistem kerja dengan tidak hanya melibatkan unsur anatomis dengan pendekatan klinis, tetapi
juga aspek non klinis yang dalam berbagai kasus lebih menentukan kesehatan reprduksi
perempuan (Anna Marie, 1997: 5).
Menurut hasil konferensi kependudukan (ICPD) di Kairo tahun 1994, Pasal 7 yang
intinya mengatakan bahwa hak reproduksi adalah hak bagi pasangan maupun individu, yakni
hak menentukan secara bebas dan bertanggungjawab atas jumlah, penjarakan, dan waktu
kelahiran anak-anak, hak memperoleh informasi dan cara memenuhi hak tersebut di atas, hak
mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi, hak membuat keputusan
mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1984 dan Dokumen Kairo, hak reproduksi yang
berimplikasi pada kesehatan reproduksi selalu menyangkut komponen kebebasan
menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran serta memberi hak entitelemen yang
menyangkut masalah memperoleh informasi serta pelayanan keluarga berencana. Hal ini
merupakan manifestasi dari rasa tanggungjawab masyarakat dan Negara terhadap kehidupan
reproduksi perempuan yang memiliki nilai sosial.

13
Menurut Kartono Muhamad (1994: 5), hak reproduksi adalah hak melakukan hubungan
seks tanpa paksaan, hak ikut serta diperhatikan pendapatnya tentang kapan istri ingin hamil
dan kapan istri tidak ingin hamil dan hak untuk memilih alat kontrasepsi yang didasarkan
oleh informasi yang adil dan memadai dan hak untuk mendapatkan pelayanan dan informasi
tentang kesehatan reproduksi.
Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) hak reproduksi
antara lain: (1) Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi, (2) Hak
mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi, (3) Hak untuk kebebasan
berpikir tentang kesehatan reproduksi, (4) Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak
kelahiran, (5) Hak untuk hidup (Hak untuk melindungi dan kematian karena kehamilan dan
proses melahirkan), (6) Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan
reproduksi, (7) Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk
perlindungan dari perkosaa, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual, (8) Hak
mendapatkan manfaat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan
reproduksi, (9) Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya, (10) Hak
membangun dan merencanakan keluarga, (11) Hak atas kebebasan berkumpul dan
berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, (12) Hak untuk
bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan
reproduksi. Dalam penelitian ini hak ke empat yakni, ”Hak menentukan jumlah anak dan
jarak kelahiran” di pilih untuk diterapkan karena sesuai dengan tuntutan kebutuhan penelitian
ini.
Pengambilan keputusan dalam penelitian ini berkaitan dengan posisi perempuan
sebagai istri yang mempunyai hak dalam menentukan hak reproduksinya. Hak reproduksi
adalah organ alat-alat tubuh yang bersifat membiakkan atau menghasilkan keturunan yang
dimiliki oleh pasangan dan individu. Menurut hasil konferensi kependudukan (ICPD) di
Kairo tahun 1994, Pasal 7 yang intinya mengatakan bahwa, hak reproduksi adalah hak bagi
pasangan maupun individu, yakni hak menentukan secara bebas dan bertanggungjawab atas
jumlah, penjarakan, dan waktu kelahiran anak-anak, hak memperoleh informasi dan cara
memenuhi hak tersebut di atas, hak mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan
reproduksi, hak membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi,
paksaan dan kekerasan.
Terkait dengan kesehatan dan hak reproduksi, pengakuan akan hak asasi semua
pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertangungjawab mengenai jumlah

14
anak, jarak kelahiran dan penentuan waktu mempunyai anak, serta informasi dan cara untuk
memperoleh serta hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi.
Masalah hak dan kesehatan reproduksi secara umum terkait dengan masalah gender. Hak dan
kesehatan reproduksi berakar pada persoalan ketimpangan status dan peran laki-laki dan
perempuan di masyarakat.
Secara alami perempuan memiliki rahim, harus dijaga dalam melindungi janin selama
sembilan bulan, sehingga dapat hidup sehat di dalam kandungan ibunya. Perempuan
mempunyai hak yang harus dilindungi, termasuk alat dan fungsi reproduksinya.
Kenyataannya, cukup banyak perempuan bermasalah dengan alat reproduksinya, karena tidak
mendapat jaminan perlindungan dari pihak pelayanan kesehatan bahkan dari suami, keluarga,
serta kerabatnya.
Bahkan ironisnya, menstruasi, hamil, melahirkan, pemakaian alat kontrasepsi,
gangguan reproduksi atau masalah lain yang terkait dengan masalah isu seksualitas, masih
saja dianggap tidak layak dibicarakan. Berbicara tentang seksualitas dianggap tabu oleh
masyarakat terutama masyarakat pedesaan, apalagi menuntu perlindungan atas hak yang
terkait dengan alat dan fungsi reproduksi. Hal ini disebabkan adanya dikotomi antara laki-laki
dan perempuan, di mana perempuan dikaitkan dengan hal-hal yang karena kedekatan dengan
alam, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh perempuan dianggap sebagai
urusan perempuan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan gender
dalam hak reproduksi perempuan.
Perangkat peraturan yang secara langsung maupun tidak langsung akan menghambat
tercapainya hak reproduksi dan terbentuknya kesehatan reproduksi, misalnya UU
Perkawinan, GBHN, dan UU Kependudukan yang bias gender dan mengakibatkan
ketimpangan gender. Peraturan yang dimaksud melindungi hak reproduksi perempuan dan
perempuan akan mengalami benturan pada tingkat implementasinya, karena adanya bias
gender atau tuntutan sosial ekonomis, misalnya tentang hal UU dan Peraturan
ketenagakerjaan yang mengatur cuti haid dan cuti melahirkan. Upaya untuk mencapai hak
kesehatan dan hak reproduksi membutuhkan penyadaran dan internalisasi, akan pentingnya
hak perempuan melibatkan segala lapisan baik individu suami-istri, keluarga, masyarakat dan
negara.
Berdasarkan pengertian di atas, pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam
keluarga, penelitian ini mengacu pada posisi perempuan sebagai istri yang mempunyai hak

15
reproduksi dalam menentukan jumlah anak, jarak kelahiran dan penentuan waktu mempunyai
anak dalam keluarga.

1.4. Landasan Teorik

Penelitian kajian budaya bersifat interdisipliner atau pasca disipliner yang


mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna (Barker, 2005: 515). Oleh karena itu,
dalam kajian ini dipergunakan beberapa teori sebagai landasan berpikir dalam mengungkap
permasalahan penelitian. Adapun teori yang digunakan, yaitu: teori hegemoni, teori
feminisme, dan teori pengambilan keputusan.
Teori hegemoni ini dipergunakan untuk membedah permasalahan dua yakni, faktor-
faktor yang mempengaruhi perempuan Bali di Desa Pemaron dalam pengambilan keputusan
atas hak reproduksi dalam keluarga. Peletak dasar teori hegemoni yakni Antonio Gramci,
yang gagasannya dipengaruhi oleh filsafat hukum Hegel. Teori-teorinya muncul sebagai
kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya didominasi oleh
determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Antoni Gramci seorang Marxis berasal dari Italia. Teorinya merupakan salah satu teori
yang terpenting pada abad ke XX dan relevan digunakan dalam membedah permasalahan
yang terkait dengan kekuasaan. Dia mengatakan bahwa agar yang terhegemoni patuh
terhadap penghegemoni, maka yang terhegemoni hendaknya mampu menginternalisasikan
nilai-nilai penghegemoni, disamping harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka.
Kelompok yang menghegemoni memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa.
Sebaliknya massa dapat menerima prinsip, ide, dan norma sebagai miliknya. Hegemoni satu
kelompok terhadap kelompok lain bukan berdasarkan paksaan, tetapi melalui konsensus
(Gramci, 2001). Dia juga mengatakan bahwa secara esensial hegemoni bukan hubungan
dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi ideologi (Simon, 1999 ;
Soetomo, 1977). Jadi, dalam teori Hegemoni Gramci tidak ada dominasi satu kelompok
terhadap kelompok lainnya namun lebih ditentukan karena adanya relasi kesepahaman antara
kelompok yang menghegemoni dan yang terhegemoni.
Menurut Gramci, sebagai implikasi dari penggunaan teori hegemoni, kelas buruh tidak
lagi dianggap sebagai pemeran utama dalam gerak perubahan sosial. Kelas buruh dianggap
sebagai salah satu dari banyak entitas dalam masyarakat seperti ekonomi, politik, kultur,
gender, dan lingkungan yang saling tergantung satu sama lainnya. Dengan demikian, Gramci

16
membuka kemungkinan memasukan kelompok-kelompok baru di dalam kategori kelas
buruh, yang saling berinteraksi dan menghasilkan perubahan sosial (Fakih, 1996).
Gramci dalam konsep hegemoninya berargumentasi sebagai berikut: Pertama, tindakan
kekerasan yang sifatnya memaksa atau bernuansa law enforcement. Konsep pertama ini
biasanya dilakukan oleh negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer,
polisi dan bahkan juga penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk
masyarakat beserta pranata-pranatanya untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui
kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, dan bahkan keluarga (Heryanto, 1997).
Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melalui
lembaga-lembaga sosial seperti: LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-
paguyuban, kelompok-kelompok kepentingan (inerest groups).
Pada dasarnya dalam setiap masyarakat senantiasa ada dua kelas, yakni kelas yang
berkuasa dan kelas yang dikuasai. Karena kekuasaan menyangkut seorang pelaku yang
melaksanakan kehendaknya maka kekuasaan berkaitan dengan kepatuhan. Untuk memelihara
kepatuhan digunakanlah hegemoni dan dominasi budaya sehingga mereka mampu
mempertahankan kekuasaannya (Legg, 1983) yang menyatakan bahwa dalam hubungan tuan-
hamba umumnya mengandung tiga hal, yaitu (1) pihak-pihak yang bersangkutan menguasai
sumber daya yang tidak sama, (2) hubungan bersifat mempribadi, dan (3) hubungan
berdasarkan atas saling memberi serta saling menerima.
Dalam perspektif Gramci penciptaan warga negara yang patuh terhadap negara
maupun pemerintah dilakukan dengan cara dominasi atau mempengaruhi secara eksternal.
Dominasi lebih menekankan pada pembentukkan kepatuhan dengan cara memberikan
ganjaran yang bisa berwujud hadiah, sumbangan atau bisa dalam bentuk hukuman maupun
kekerasan (Sugiono, 1999; Fakih, 2001). Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang
didapat melalui konsensus. Karena itulah hegemoni pada hakikatnya adalah upaya untuk
menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam rangka yang
ditentukan. Melalui produk-produk budaya, hegemoni menjadi penentu dari suatu yang
dipandang benar, baik secara moral maupun intelektual (Gramci, 1976: 244 ). Dalam konteks
tersebut, Gramci lebih menekankan pada aspek kultural (ideologis). Melalui produk-
produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar
secara moral maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam relasiantar
negara tetapi juga dapat terjadi dalam hubungan antarberbagai kelas sosial yang ada dalam

17
suatu negara. Hal ini menunjukkan bahwa hegemoni dapat terjadi di dalam suatu negara,
dalam hal ini kelompok yang mewakili negara terhadap kelompok masyarakat lainnya.
Hubungan vertikal terjadi dalam hubungan suami istri. Bagi istri yang
menggantungkan seluruh kehidupan finansialnya pada sang suami dituntut untuk selalu
berperilaku sesuai keinginan suami. Ketaatan dan bhakti pada suami merupakan salah satu
cara yang dilakukan istri untuk mempertahankan pundi ekonominya tetap terisi. Demikian
pula bagi perempuan yang memiliki sumber ekonomi sendiri, tidak terbatas dari relasi yang
bersifat vertikal. Budaya patriakal tidak hanya berwujud ideologi, melainkan terkait pula
dengan struktur sosial, dimana laki-laki memiliki superioritas, bahkan berhak mendominasi
perempuan dengan berbagai cara (Bhasin, 2002; Atmadja, 2004). Kondisi inilah yang sering
memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri
(Ariani, 2003).
Demikian pula dalam pertautan tuan-hamba atau suami-istri, biasanya si hamba (istri)
mendapatkan keuntungan materi atau perlindungan sedangpihak tuan menerima keuntungan
simbolis, kesetiaan, dan keuntungan politik, pihak tuanlah (suami) yang sering menjadi
pemrakasa, pihak hamba (istri) setelah menikmati yang diberikan oleh pihak tuan (suami)
berkewajiban membalasnya. Dalam tukar menukar itu pihak hamba atau istri berkedudukan
sebagai lumbung nilai tempat pihak tuan atau suami menyimpan kredit sosial yang dapat
diambil kembali di waktu yang akan datang demi keuntungan dirinya (Legg, 1983; Atmadja,
1999). Teori hegemoni digunakan untuk membedah permasalahan satu yakni, otonomi
perempuan Bali di Desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam
keluarga yang didukung dengan teori feminisme dan teori pengambilan keputusan.
Feminisme merupakan gerakan sosial yang bertujuan mendapatkan status yang sama
antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan lainnya (Soerjono,
1985). Menurut Mira Diarsi (dalam Bainar, 1998), feminisme merupakan suatu kesadaran
terhadap kondisi ketertindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan di dalam
masyarakat, dunia kerja dan keluarga, serta sebuah gerakan oleh laki-laki dan perempuan
untuk mengubahnya.
Dalam konteks feminisme, teori feminisme Gandhi (2001) mengatakan bahwa
perempuan ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah, yakni dimulai dari hubungan yang
bersifat hegemonik. Hubungan yang bersifat hegemonik, kemudian memunculkan apa yang
disebut dominasi dan subordinasi (dalam Sukeni, 2007: 44 ). Di samping itu muncul
gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan terhadap pihak subordinat/inferior, seperti

18
tidak beradab, bodoh, mistik, dan tidak rasional. Dalam hal ini bukan berarti perempuan tidak
bisa berkomunikasi, tetapi tidak adanya posisi subyek yang memungkinkan kaum perempuan
untuk mengaktualisasikan diri sebagai pribadi. Dari teori ini posisi perempuan adalah
tersubordinat laki-laki. Hal ini akan berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, baik
dalam keluarga maupun dalam masyarakat, termasuk dalam pengambilan keputusan untuk
penentuan jumlah anak, penjarakan kelahiran, dan penentuan waktu mempunyai anak.
Dalam sejarah perkembangan feminisme ada tiga gelombang besar gerakan feminisme
yang masing-masing mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ketiga gelombang tersebut adalah: (1).
Gelombang pertama, mulai tahun 1800-an yang dijadikan landasan adalah teori feminisme
liberal, teori feminisme radikal, dan teori fminisme marxis/sosialis. (2). Gelombang kedua,
mulai tahun 1960-an yang termasuk di dalamnya teori feminisme eksistensialisme. (3).
Gelombang ketiga, teori feminisme postmodern, teori feminisme multikultural, teori
feminisme global, dan teori ekofeminisme (Arivia, 2003: 84-85).
Dalam teori feminisme gelombang ketiga, yang salah satu di dalamnya adalah teori
ekofeminisme, yaitu suatu teori yang menyuarakan bagaimana penindasan atas perempuan.
Menurut Catriona Sandilands dalam Marselina Nope (2005: 94), mengatakan bahwa dalam
bentuk penciptaannya, dualisme seksual bahwa kealamiahan perempuan ditindas oleh
kebudayaan laki-laki secara tidak disadari, terekspresi dalam pernyataan yang berkaitan
dengan alam, yang disimpulkan bahwa penindasan atas perempuan berakar dalam pelabelan
perempuan sebagai alam. Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini beranjak
pertama-tama dari pengertian dari ketidakadilan yang dilakukan manusia terhadap alam.
Karena perempuan selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik, dan
linguistik ada keterkaitan antara isu feminisme dan ekologis ( alam).
Dalam konteks tersebut menurut Karen J. Warren, hal tersebut tidak mengherankan
mengingat bahwa masyarakat dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, dan tingkah laku
yang menggunakan kerangka kerja patriarki, dimana ada justifikasi hubungan dominasi dan
sub-ordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki. Kenyataannya perempuan selalu
di “alam”kan atau di “feminin”kan. Di “alam”kan bila diasosiasikan dengan binatang, seperti
ayam, kucing, dan ular. Sementara itu perempuan di “feminin”kan dikaitkan dengan aktivitas
seperti diperkosa, dikuasai, dipenetrasi, digarap dan lainnya yang sejenis. Perhatikan bahwa
kata-kata tersebut kata-kata yang dipakai menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan
alam, misalnya tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, dan hutan yang diperkosa (Arivia,
2003: 143).

19
Teori Ekofeminisme disini melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai
mahluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya dan melihat adanya pergeseran
paradigma, sosial koflik menuju paradigma struktural fungsional yang memberikan tempat
terhadap adanya saling ketergantungan individu dengan sebuah sistem (Megawangi, 1999:
189).
Sedangkan menurut pandangan teori feminisme liberal (dikenal dengan nama kaum
feminisme hak-hak perempuan). Feminisme ini pertama dirumuskan oleh Mary
Wollstonecraft dkk, termasuk di dalamnya Betty Friedan yang dalam tulisannya berjudul
“The Feminis Mystique”dan “The Second Stage” yang menekankan bahwa subordinasi
perempuan berakar dalam keterbatasan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk
masuk kelingkungan publik. Di mana masyarakat beranggapan bahwa perempuan, karena
kondisi alamiah yang dimilikinya, kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik
dibandingkan laki-laki (Ihromi, 1995: 86-87).
Masih menurut pandangan feminisme liberal, manusia adalah baik, rasional, dan bebas
(termasuk kaum perempuan). Perempuan mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk
mengembangkan kemampuan dan rasionalitas secara optimal. Diskriminasi dianggap sebagai
pelanggaran atas hak asasi manusia dan sumber diskriminasi adalah kecurigaan laki-laki yang
dibentuk dan ditanamkan melalui proses sosialisasi dalam kehidupan.
Terkait dengan permasalahan penelitian, teori-teori feminisme yang telah diuraikan di
atas, yaitu teori feminisme ekofeminisme, teori liberal sangat relevan untuk membedah
permasalahan satu, yaitu bagaimana otonomi (berdasarkan kemauan sendiri) perempuan Bali
di desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya dalam keluarga.
Pengambilan keputusan adalah menunjukkan pada suatu proses yang terjadi sampai
keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan dalam penelitian ini berkaitan dengan posisi
perempuan sebagai istri yang mempunyai hak dalam menentukan jumlah anak, jarak
kelahiran, dan penentuan waktu mempunyai anak.
Keluarga sebagai sebuah sistem akan mempunyai beberapa tugas dan peran penting,
seperti pencapaian tujuan, memelihara integrasi dan solidaritas serta memelihara keluarga
(Goode, 1991: 5). Menurut Parsons, (dalam Megawangi, 1999: 69) institusi keluarga serta
kelompok-kelompok kecil lainnya dibedakan (didifrensiasikan) oleh kekuasaan atau dimensi
khirarki. Dalam keluarga harus ada alokasi kewajiban dan tugas yang harus dilakukan agar
keluarga sebagai sistem dapat tetap bertahan. Wewenang keluarga pada umumnya ditentukan
oleh kebudayaan dan masyarakatnya, seperti misalnya kepala keluarga adalah sang suami dan

20
biasanya kekuasaan suami atau istri dalam keluarga untuk membuat keputusan yang erat
hubungannya dengan wewenang keluarga atau kebudayaan setempat.
Menurut Rogers (dalam Sayogja, 1983) menyatakan bahwa distribusi kekuasaan yang
dipengaruhi oleh sumber daya pribadi yang dapat berupa nilai (value), keterampilan,
pengetahuan, uang, tanah serta pengalaman. Sumber daya pribadi tersebut diperolehnya dari
keluarga orientasi yang kemudian dibawa ke dalam keluarga prokreasinya. Di samping itu
kekuasaan antara suami istri berhubungan erat dengan sumber daya yang paling banyak
disumbangkan oleh masing-masing dalam keluarga. Lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi
kekuasaan dalam keluarga (antara suami istri) ditentukan oleh dua hal, yaitu sumber daya
suami dan istri serta pola kebudayaan masyarakat.
Perubahan dalam distribusi kekuasaan, akan dapat dilihat dari adanya perubahan pola
pengambilan keputusan oleh laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan
keluarga. Dalam sistem kekerabatan patrilineal seperti di Bali, norma yang pada umumnya
telah diterima oleh masyarakat bahwa perempuan punya status yang lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki. Apabila, ternyata potensi perempuan dalam pengambilan
keputusan itu, cukup tinggi, maka dapat diartikan status perempuan dalam hal ini meningkat
(Astiti. 1986). Hal ini sependapat dengan Achari (dikutip Megawangi, 1999) bahwa
perempuan yang tertanggung seratus persen pada suami. Jika, menghadapi hal-hal yang
membutuhkan kesepakatan, posisinya selalu di bawah karena ia tidak memiliki nilai tawar.
Kalau juga istri memiliki kekuatan secara ekonomi posisinya bisa setengah-tengah (sama
besar).
Menurut Sajogya (1983: 58) ada lima pola dalam pengambilan keputusan, yaitu:
1. Pengambilan keputusan oleh istri sendiri.
2. Pengambilan keputusan oleh suami sendiri.
3. Keputusan yang dibuat oleh suami istri bersama dengan pengaruh istri lebih besar.
4. Keputusan antara suami istri dengan pengaruh suami lebih besar.
5. Keputusan suami istri bersama yang setara.
Keputusan suami istri bersama yang setara. Dalam kaitan ini, ada tiga faktor yang
mempengaruhi suami-istri dalam pengambilan keputusan, yaitu:
1. Perkawinan, umumnya pada sebuah perkawinan seorang istri lebih muda dan lebih
rendah pendidikan dari suami. Karena suami dianggap lebih tua secara tidak langsung
mempengaruhi istri dalam pengambilan keputusan (Sajogya, 1983). Selain itu, adanya
adat dalam perkawinan yang menyebabkan istri mengikuti suami atau tinggal dipihak

21
kerabat suami, merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status perempuan termasuk
dalam pengambilan keputusan.
2. Pewarisan, menurut Goode (dalam Sudarta, 2000) dalam masyarakat pedesaan,
perempuan tidak bisa menjadi pemilik tanah dan kekayaan yang lain melalui hak waris,
status perempuan cenderung menjadi lebih lemah dari pada laki-laki.
3. Sumber daya pribadi, Blood dan Wolfe, menyatakan kebudayaan saja tidak cukup untuk
menyoroti dan menjelaskan distribusi dan alokasi kekuasaan suami-istri dalam hubungan
rumah tangga. Dalam hal ini perlu diperhatikan sumber daya pribadi, yang
disumbangkan oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka (Sudarta, 2000: 82).
Pada masyarakat Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilineal membawa
konsekuensi bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang istri lebih rendah dari pada suami.
Menurut sistem ini, selain istri mengikuti suami, istri juga berhak mewarisi harta kekayaan
keluarga orientasinya. Akan tetapi, karena dipihak lain ada pengaruh sumber daya pribadi
yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, dapat memberikan sumbangan untuk
meningkatkan potensi perempuan dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini secara tidak
langsung, akan dapat menimbulkan perubahan dalam pembagian kekuasaan antara laki-laki
dan perempuan di dalam rumah tangga dan keluarga. Perubahan dalam distribusi kekuasaan
dapat dilihat dan adanya perubahan pola pengambilan keputusan oleh laki-laki dan
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan keluarga (Sayogja, 1983; Astiti, 1986).
Untuk mempertahankan sistem kekerabatan, harus melalui proses sosialisasi baru
dalam arti mendidik, memelihara nilai-nilai, sikap dan segala tata cara yang dianut dalam
sistem kekerabatan tersebut, serta cara-cara bagaimana seseorang anggota kerabat
dibenarkan, menyatakan diri sebagai reaksi atas berbagai soal yang berkenaan dengan dirinya
(Astiti, 1986). Hal ini sejalan dengan pandangan (Poerwanto, 2000: 8-89) yang menyatakan
bahwa setiap manusia adalah bagian dari sistem sosial, maka setiap individu harus selalu
belajar mengenai pola-pola tindakan agar ia dapat mengembangkan hubungan dengan
individu lain disekitarnya dan proses belajar tersebut lebih dikenal dengan sosialisasi. Begitu
pula dengan pandangan (Soesanto, 1985: 12), yang menyatakan bahwa sosialisasi merupakan
proses yang membantu individu melalui belajar dan menyusaikan diri, bagaimana cara hidup
dan berfikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya. Jadi,
sosialisasi kebudayaan proses belajar terhadap pola-pola belajar dan penyusaian terhadap
alam pikiran serta sikapnya terhadap adat, sistem norma serta semua peraturan yang terdapat
dalam kebudayaan seseorang (Koentjaraningrat, 1976: 143).

22
Gender sebagai bagian dari kebudayaan, proses sosialisasinya juga berlangsung
dilingkungan keluarga maupun masyarakat. Keluarga sebagai institusi keluarga dan anak
(individu) melakukan transfer nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut diekspresikan
secara konkrit, maupun secara tersembunyi baik melalui aturan-aturan yang berlaku
dikeluarga maupun di dalam perilaku yang mencerminkan nilai dan norma gender yang
berlaku dalam masyarakat. Akibat proses sosialisasi yang panjang, gender dianggap sebagai
Takdir Tuhan, yang selanjutnya menjadi sistem budaya masyarakat dan sulit dihapuskan.
Berdasarkan pola pengambilan keputusan dan faktor-faktor yang mempengaruhi suami-
istri dalam pengambilan keputusan sangat relevan dipakai untuk mengkaji tingkat kekuasaan
serta kedudukan perempuan (istri) dalam keluarga. Adanya perubahan peran perempuan
dalam pengambilan keputusan, perempuan dapat dijadikan petunjuk telah terjadinya
perubahan dalam alokasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan
rumah tangga. Kekuasaan yang dianggap kemampuan untuk mengambil keputusan yang
dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, bisa berpola sama nilainya atau tidak sama nilainya
antara suami dan istri (Sayogja, 1983: 39).
Teori pengambilan keputusan ini digunakan untuk membedah permasalahan tiga yakni,
makna dari otonomi perempuan Bali dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi
dalam keluarga, karena dalam pengambilan keputusan antara suami dan istri ada ketimpangan
terutama atas hak reproduksi perempuan. Teori ini didukung oleh teori hegemoni, teori
feminisme.
1.5. Hasil Penelitian
Makna otonomi perempuan dalam pengambilan keputusan terhadap hak reproduksi
pada bab ini akan ditelusuri seperti; makna terhadap keluarga, kesehatan reproduksi, dan
kesejahteraan keluarga. Makna terhadap status dan kedudukan yang terdiri dari status dan
kedudukan perempuan dalam keluarga, status dam kedudukan perempuan dalam masyarakat,
yang akan dianalisis dengan menggunakan teori pengambilan keputusan. Dasar
pertimbangan, menggunakan teori ini, karena perjuangan perempuan untuk memperoleh hak
reproduksinya.
1.5.1. Kesehatan Reproduksi
Masalah kesehatan merupakan bagian terpenting dalam hidup ini. Wacana kesehatan
reproduksi menjadi bahan pembicaraan yang sangat menarik. Abdullah (2001: 73)
mengatakan bahwa banyak orang menempuh dengan berbagai cara untuk memperpanjang
usia; merawat kesehatan dengan baik, mempertinggi kepekaan terhadap berbagai kelainan

23
yang dirasakan dalam tubuh dan mengatasi dengan cepat gangguan-gangguan yang
dirasakan. Jika seorang menderita penyakit tertentu, betapapun parahnya, ia masih berusaha
menemukan berbagai obat yang dapat menyembuhkannya. Yang tidak percaya pada dokter
dapat ke dukun, yang tidak mau dioperasi bisa mencari tabib yang bisa menyembuhkan
penyakit tanpa harus mengoperasi (bedah medis).
Naluri tentang kesehatan merupakan dambaan manusia. Demikian pula perempuan
terhadap hak reproduksinya merupakan upaya sadar perempuan untuk menjaga keselamatan
dirinya agar terhindari dari gangguan dalam dirinya, yang menyebabkan pada efek yang
diderita oleh tubuhnya. Kesehatan jiwa dan raga adalah sebuah mahkota. Apalagi profil
seorang perempuan dapat dikatakan sebagai sebuah taman dalam keluarga selain mereka
merawat tubuhnya agar tetap sehat dan bugar penuh kasih sayang dan keibuan menjadi suri
tauladan bagi anak-anak. Berger (1990) mengatakan kesadaran terhadap perawatan kesehatan
yang makin baik yang tradisional maupun modern, berkembang dengan pesat. Muncul
praktik-praktik yang dibuka oleh dukun, tabib, “orang pintar” atau apapun nama mereka,
yang semuanya terlibat dalam usaha perawatan dan penyembuhan kesehatan, merupakan
tanda penting tentang permintaan pelayanan yang bergitu besar. Demikian pula usaha
mengatasi kematian. Berbagai fasilitas kedokteran dikembangkan dan diperbaiki agar
perawatan darurat dapat segera diberikan sehingga seseorang tidak terlambat ditolong.
Kematian, menurut Berger, adalah suatu gambaran yang esesial dari kondisi manusia yang
mengharuskan manusia untuk mengembangkan cara pemecahannya sehingga melupakan
kematian, berarti mengingkari satu dari sedikit parameter mengenai tubuh di dalam sistem
sosial.
Hal-hal yang diutarakan di atas sangat menarik, untuk melihat kedudukan perempuan
terhadap hak reproduksi di dalam institusi medis. Berkaitan dengan hak reproduksi
perempuan menjadikan tubuh perempuan sebagai alat legitimasi kekuasaan norma-norma dan
praktik-praktik kesehatan yang perlu dibangun. Facoult (1990) menjelaskan bagaimana
pendidikan kesehatan sesungguhnya melegitimasikan paraktik-praktik ideologis dan sosial
dengan membuat penegasan bagaimana individu harus mengatur tubuhnya, termasuk jenis
makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh tubuh atau sifat atau frekuwensi
kegiatan fisik untuk tubuh. Seperti yang disampaikan Made Sumaryathi mengatakan bahwa,
”Penjarakan kelahiran anak baik sekali saya rasakan. Sekarang saya mempunyai 3 orang
anak. Jarak antara anak yang satu dengan yang lain 3 tahun. Mengenai kesehatan saya
cukup baik, pokoknya tidak mengalami gangguan-gangguan sesudah melahirkan ke tiga

24
anak saya. Anak saya juga sehat-sehat. Pokoknya senang dengan keadaan saya baik-baik.
Suami saya selalu memperhatikan saya.
Demikian kata ibu Made Sumaryati yang berpendidikan tamatan SMA”. Namun
berbeda dengan pengalaman yang disampaikan Komang Iriki yang mengatakan bahwa;
”Saya mempunyai anak 5 orang jarak antara setiap anak dua tahun. Saya sering pusing,
ketika kami berkonsultasi dengan bidan di Puskesmas, katanya karena jarak kelahiran
anak terlalu dekat. Selain pusing juga rasanya badan saya kurang segar maklumlah
sebagai petani harus ke kebun membantu suami, juga mengasuh anak dan selesaikan
pekerjaaan dalam rumah”.
Komang Padmi mengatakan.
”Saya mempunyai anak dua orang anak jarak kelahiran setiap anak cukup jauh. Kondisi
saya baik, walaupun hanya sebagai dagang. Anak-anak saya juga sehat-sehat. Saya dan suami
senang kalau kami dalam keadaan sehat-sehat. Kami sebagai peserta KB. Pokoknya suami
saya sangat mengerti dengan keadaan saya. Kata ibu yang berpendidikan SMA”.
Luh Sutarmi menjelaskan sebagai berikut;
”Anak saya 6 orang pekerjaaan saya dan suami hanya sebagai nelayan. Terus terang
kondisi saya akhir-akhir ini rasanya kurang baik, sering pusing-pusing. Pokoknya capek
mengurusi anak lima orang. Mungkin karena saya punya anak banyak sehingga baru
saya rasakan. sekarang. Lebih lanjut ibu Luh Sutarmi mengatakan ketika sakit atau
merasa badan kurang baik saya ke Puskesmas untuk mendapatkan perawatan. Namun
sampai sekarang belum juga sembuh-sembuh. Maklumlah mau kedokter uang tidak
cukup. Kami hanya sebgai nelayan”.

Selanjutnya Putu Sri Sutiwi mengatakan,


”Saya punya anak 4 orang. Saya nikah muda, jarak antara anak tidak terlalu jauh. Saya
sering merasa kelelahan mungkin karena punya banyak anak dan jarak kelahiran terlalu
dekat. Maklumlah kami orang desa dan makan apa adanya. Saya sudah ke Puskesmas
namun rasa pusing dan kandungan sering peri, masih tetap saja. Demikianlah komentar
ibu yang tingkat pendidikannya tamatan SD”.
Dari ungkapan-ungkapan di atas tergambar makna dari otonomi perempuan dalam
pengambilan keputusan. Informan satu dan dua cukup diberikan angin segar kepada
perempuan dalam pengambilan keputusan walaupun masih dalam tingkat kompromi dengan
suami cukup membawa dampak pada kesehatan perempuan untuk mengatur kesehatan
reproduksinya.
Perempuan Bali dalam keluarga, sebagai ibu yang menjaga dan memelihara kesehatan
keluarga dan lingkungannya, sebagai ibu yang baik, seorang perempuan tidak hanya harus
mampu memberikan keturunan, tetapi mampu menghasilkan anak-anak yang berguna
(Abdullah, 1997: 6). Perempuan Bali dalam keluarga mempunyai beban yang sudah terlalu
banyak dan tantangan untuk hidup sehat mereka memerlukan kebutuhan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1996: 28), seperti: (1) kebutuhan makanan ( pangan), (2)

25
kebutuhan pakian (sandang), (3) kebutuhan perumahan (papan), (4) kebutuhan perhatian dan
kasih sayang, (5) kebutuhan pendidikan, (6) kebutuhan kesehatan, (7) kebutuhan rohani, (8)
kebutuhan hiburan.
Dari paparan yang disampaikan mengatakan bahwa kesehatan reproduksi perempuan
masih mengalami kendala. Dapat diinterpretasikan bahwa tidak terjadi kompromi atau di
dominasi oleh laki-laki. Dapat dikatakan bahwa makna dari otonomi perempuan Bali di desa
Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya terlihat dari tingkat
pendidikan perempuan yang masih rendah. Dari dua responden lainnya menunjukan bahwa
perempuan berada pada posisi terhegemoni karena tingkat pendidikan mereka SD, bahkan
tidak tamat.

1.5.2 Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan berarti “sejahtera” yang diartikan selamat, tak kurang suatu apa, aman,
dan sentosa. Kesejahteraan diartikan hal atau keadaan sejahtera, keselamatan, serta
kemakmuran (Badudu-Zain, 1996: 12-41). Perempuan Bali dalam pengambilan keputusan
terhadap hak reproduksinya berdampak pada kesejahteraan keluarga. Hubungan yang
harmonis dalam keluarga akan membawa dampak pada peningkatan kesejahteraan secara
lahir dan batin. Hal ini merupakan dambaan setiap perempuan Bali. Beban perempuan Bali
terkesan agak berat yang dipikul pada pundaknya. Keberadaan perempuan Bali telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mensejahterakan keluarga. Kesadaran
mereka sebagai ibu rumah tangga dalam tugas pelayanan untuk menyenangkan suami dan
anak-anak. Dalam benak perempuan Bali bagaimana mensejahterkan keluarga sebagai tugas
keibuan seperti yang diungkapkan oleh Komang Suarniti yang menyatakan sebagai berikut;
“Saya sangat senang mendapat perhatian dan pengertian dari suami dalam memahami
keberadaan kodrat saya sebagai perempuan. Terus terang hubungan harmonis yang saya
jalin selama hidup berkeluarga berdampak pada pengambil keputusan yang
berhubungan eksistensi saya sebagai perempuan mendapat sambutan yang
menggembirakan. Artinya suami tidak terlalu menuntut pada saya sebagai istri”.
Penuturan perempuan Bali tersebut di atas bahwa kaum perempuan Bali mendapat
perhatian dan penghargaan dari laki-laki. Hubungan harmonis antara anak-anak dan suami
merupakan modal untuk mengambil tindakan atau keputusan dalam menciptakan keluarga
yang sejahtera aman, damai dan bahagia. (Banua, 2005: 20) mengatakan bahwa keterlibatan
perempuan dalam keluarga, sosok perempuan paling menyentuh hati anak-anak. Berikut
penuturan dari Made Suparmi di bawah ini,

26
”Hidup rukun merupakan cita-cita saya dalam hidup berkelurga. Keadaan ini akan
memberikan peluang bagi saya untuk saling membuka diri untuk memecahkan berbagai
persoalan dalam keluarga. Baik terhadap kesehatan istri dan anak-anak. Suasana saling
pengertian ini akan membuahkan kenyaman dalam hidup berkelurga. Hal ini merupakan
dambaan bagi setiap perempuan”.
Dari ungkapan Made Suparmi di atas bahwa bercita-cita kehidupan keluarganya
rukun-rukun, dan bahagia, cukup sandang, pangan dan papan dengan saling pengertian,
saling terbuka dan saling menghormati antara suami, istri dan anak-anak. Terpenuhinya
segala kebutuhan rumah tangga baik kebutuhan primer, sekunder dan tersier dan juga
meningkatkan pendidikan keluarga terutama anak-anak untuk masa depan mereka.
Meningkatkan sekejahteraan dalam keluarga menjadi dambaan kami bersama. Dalam ajaran
agama Hindu disebutkan bahwa makanan yang memberikan hidup, kegiatan, kekuatan,
kesehatan, kegembiraan, dan menyenangkan hati (Mantra, 1993: 19). Hal ini membuat
perempuan Bali terdorong untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam rumah tangga.
Pengabdian perempuan Bali yang tulus dan iklas dalam tugas pelayanan telah memberikan
kontribusi kepada keluarga. Pengabdian yang tulus dari perempuan perlu mendapat respon
terhadap hak reproduksinya sehingga terciptalah keluarga yang bahagia.
Bagus (2003: 53) mengatakan kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dan
perempuan diartikan sebagai kondisi dinamis di mana laki-laki dan perempuan memiliki
kesamaan hak, kewajiban, kedudukan, peran dan kesempatan yang sama yang dilandasi oleh
adanya sikap dan perilaku saling menghormati, saling menghargai, saling membantu dan
saling mengisi dalam pembangunan diberbagai bidang. Dalam pengertian ini tidak salah
satupun dari laki-laki dan perempuan itu yang berada pada posisi dominant terhadap yang
lain.
Sehubungan dengan kedudukan perempuan Bali dalam teologi Hindu dikenal konsep
Ardanareswari, yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah purusa dan pradana,
kedudukan dan peran purusa disimbolkan dengan dewa siwa, sedangkan pradana
disimbolkan dengan Dewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi
maskulin, sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminis. Menyatukan kekuatan purusa
dan pradana telah diyakini memberikan bayu (sumber kekuatan) bagi terciptanya berbagai
makhuk dan tumbuh-tumbuhan yang ada (Tri Guna, 2001: 13). Berpijak dari teologi Hindu
di atas, perempuan Bali mendapat kedudukan sebagai dewi Kesuburan (Dewi Sri).
Perempuan Bali sebagai simbol kesuburan untuk mensejahterakan kehidupan keluarga.

27
Demikianlah tradisi Bali menempatkan perempuan sebagai pelindung keluarga
sumber rejeki. Ketaatan istri dalam keluarga kasih sayang, keramahtamahan yang diberikan
dari istri untuk anak-anak menjadi medan pembelajaran anak-anak dan suami menjadikan
suasana rumah tangga terkesan ceriah, hal ini mencerminkan kodrat perempuan dalam
pengabdiannya untuk suami dan anak-anak khususnya dan biasanya pada keluarga luas dalam
kehidupan sosio masyarakat. Dalam pengakuannya Ni Luh Meres yang mengatakan,
”Saya senang melihat keluarga Ketut Sudiani hidup mereka sejahtera yaitu mereka
kelihatan rukun dan ramah tamah terhadap suami dan anak-anak. Kehidupan mereka
bahagia karena tidak kelihatan ada percekcokan. Anak-anak mereka juga sopan dan
ramah, walaupun ekonomi rumah tangga hanya sebagai pedagang. Saya sering
diskusikan dengan suami saya, suami juga mengatakan pada saya bahwa perlu kita
mencontoh keluarga mereka, kita bisa seperti keluarga mereka. Keluarga yang sejahtera
bukan hanya sandang, pangan dan papan, tetapi suasana bathin juga harus aman. Bila
dalam ada masalah dalam keluarga kita bicara dengan baik dan terbuka”.

Pernyataan di atas merupakan bentuk pembelajaran keluarga terhadap apa yang


mereka lihat, mendengar dari pengalaman keluarga dan tetangga. Nilai-nilai yang baik dalam
kehidupan keluarga lain atau tetangga dalam kehidupan sosial umumnya merupakan bentuk
pembelajaran bagi keluarga untuk menata kehidupan keluarga menuju keluarga yang
harmonis dan sejahtera.

1.5.3 Kedudukan Perempuan dalam Keluarga

Untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis atau dalam mewujudkan


kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan antara
laki-laki dan perempuan adalah suatu kondisi hubungan kedudukan dan peran yang dinamis
antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai persamaan kedudukan,
hak, kewajiban, dan kesempatan, baik dalam kehidupan berkelurga, bermasyarakat,
berbangsa dan negara maupun dalam kegiatan pembangunan di segala bidang Kantor Menteri
Negara Peranan Wanita, 1998).
Secara normatif baik dalam Undang-Undang ataupun ajaran agama, laki-laki dan
perempuan mempunyai status atau kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban) yang sama,
tetapi dari realitas kenyataan sebenarnya perempuan mengalami ketertinggalan yang lebih
besar dari pada laki-laki. Kondisi tersebut disebabkan oleh norma sosial dan nilai sosial
budaya yang masih berlaku di masyarakat. Semua ini karena masih kuat budaya partiarki
yang ada pada tradisi masyarakat Bali.

28
Pujiwati Sajogyo (1983: 2001) mengatakan bahwa norma yang mengatur hubungan
antara pria dengan wanita dalam keluarga dan rumah tangga pada masyarakat, biasanya
hubungan itu diartikan dalam satu pernyataan sebagai hubungan suami istri dalam
perkawinan (pernikahan). Hal ini disebabkan oleh perkawinan merupakan sesuatu yang
hampir mutlak walaupun bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. Dalam keluarga peran
suami isteri sangat menentukan dalam menciptakan keluarga yang harmonis dan sangat
dipengaruhi serta dibentuk oleh budaya masyarakat, baik terhadap status atau kedudukan dan
peran laki-laki dan perempuan. Selain seperti disebutkan di atas perempuan memiliki tugas
dan pekerjaan utama dalam keluarga sebagai ibu yakni, mengasuh, melayani anak-anak dan
suami dan peran domestik lainnya seperti memasak, menyeterika ataupun mencuci. Seperti
terlihat pada gambar 7.1 di bawah ini, menunjukkan fenomena peran domestik perempuan
tetap di kerjakan.
Status dan kedudukan perempuan dalam tradisi Bali sebagai ibu rumah tangga dan
guru bagi anak-anak. Peran suci ini telah mengakar dalam tradisi Bali. Perempuan dihormati
dan dilindungi dalam lingkungan keluarga. Status dan kedudukan perempuan ini
menempatkan perempuan sebagai mesin pengolah untuk menanamkan nilai-nilai luhur.
Pelayanan yang prima kaum perempuan dalam kehidupan keluarga menjadikan perempuan
Bali sebagai model untuk diteladani. Ada beberapa kendala yang dihadapi perempuan Bali
dalam status dan kedudukannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa biasanya istri lebih
muda usia dari suami. Hal ini menjadi dilema dalam pengambilan keputusan dalam keluarga.
White dan Lestari Hastuti (1980: 8) mengatakan bahwa dalam perkawinan, umumnya
menganggap status dan peranan perempuan yang normal sebagai istri. Biasanya istri lebih
muda usianya dan lebih rendah latar belakang pendidikan formalnya daripada suami. Oleh
sebab itu, biasanya dalam hubungan perkawinan pasangan suami istri menyebut satu
terhadap yang lain dengan sebutan “kakak dan adik”. Dengan demikian, karena suami
dianggap lebih tua secara tidak langsung mempengaruhi istri dalam proses pengambil
keputusan.
Budaya Patriarki masyarakat Bali juga masih berperan dalam kehidupan sosial
masyarakat Bali. Oleh karenanya, adanya adat dalam perkawinan yang biasanya istri
mengikuti suami atau tinggal di kediaman pihak kerabat suami, merupakan faktor yang
secara relatif cenderung mempengaruhi status dan peran perempuan (istri) termasuk dalam
pengambilan keputusan (Sudarta dan Putu, 1999: 146). Kadek Wiriasti yang menuturkan,
sebagai berikut;

29
”Peranan dan kedudukan saya dalam keluarga sebagai ibu rumah tangga. Sebagai ibu
rumah tangga dalam tugas pelayanan untuk anak dan suami. Membereskan pekerjaan
seperti memasak, mencuci dan membereskan pekerjaaan dalam rumah tangga. Selain
melayani suami dan anak-anak juga aktif dalam kegiatan di Banjar dan urusan adat
dalam keluarga”.
Pernyataan Kadek Wiriasti sama dengan yang disampaikan Supartha (1989: 174)
yang mengatakan dalam aktivitas kerjasama terutama dalam menyiapkan upakara/banten
antara pria dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar. Kaum perempuan
tidak merasa canggung memerintahkan kaum pria untuk mencari berbagai keperluan untuk
kelengkapan upacara atau banten. Para perempuan sudah biasa menunjuk kaum pria untuk
mencari reramon (busung, selepahan, ron dan ambu) dan berbagai jenis panca-panca yaitu
berbagai buah-buahan untuk raka-raka. Selanjutnya kaum pria akan ditunjuk pula oleh kaum
wanita untuk membuat asagan, panggungan, surya, dan sanggar tawang sebagai kelengkapan
pelaksanaan upacara. Demikian pula termasuk mempersiapkan berbagai jenis daging (ulam)
untuk keperluan upacara semuanya dipersiapkan oleh laki-laki berdasarkan petunjuk kaum
perempuan.

1.5.4. Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat

Peran perempuan Bali dalam kehidupan sosial kolektif sangat nampak. Realitas ini
secara nyata keterlibatan perempuan dalam berbagai aktivitas gotong royong, upacara adat
menunjukan cukup signifikan. Hal ini menujukkan bahwa peran kaum perempuan bukan
hanya dalam sektor domestik serperti uraian di atas tetapi juga terlibat dalam kegiatan-
kegiatan sosial. Hal ini secara tegas dituturkan oleh beberapa informan mengatakan bahwa
keterlibatan mereka dalam urusan adat dan keluarga luas merupakan suatu keharusan. Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa rasanya kurang baik kalau kami tidak ikut dalam kegiatan-
kegiatan dalam masyarakat. Ketidakhadiran kami akan menjadi buah bibir masyarakat.
Senang mengikuti kegiatan bersama dalam masyarakat kami mempunyai ”banyak teman dan
banyak pengalaman yang kami peroleh dari teman-teman”. Seperti yang disampaikan
Komang Suarniti yang menuturkan.
”Perempuan dalam kegitan sosial merupakan keharusan. Saya selalu dilibatkan untuk
mengambil bagian pada kegiatan-kegiatan sosial. Saling membantu sesama baik urusan
keluarga maupun urusan yang sifatnya umum seperti di Banjar adalah tanggungjawab
saya dan keluarga”.

Fenomenan tersebut menempatkan bahwa sebagai seorang masyarakat yang memiliki


hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan dalam masyarakat. Berbagai kegiatan sosial yang

30
menjadi ikatan bagi masyarakat Bali di lingkungannya. Abdulah (1997) mengatakan bahwa
”keterlibatan kaum perempuan dibidang publik tidak selalu identik dengan
pemberdayaannya”. Dalam kehidupan masyarakat Bali, kaum perempuan tidak hanya
dituntut untuk berhasil dalam kehidupan pribadi dan keluarganya, tetapi mereka diharapkan
juga terlibat aktif dalam urusan adat masyarakatnya. Ungkapan di atas menunjukan bahwa
peran perempuan dalam kehidupan sosial merupakan medan sosialisasi diri. Secara tidak
langsung kaum perempuan ingin mengatakan bahwa sebagai perempuan punya potensi dan
bertanggungjawab terhadap kegiatan sosial sebagai wujud kepatuhan terhadap tradisi yang
sudah diakui bersama. Pada sisi yang lain perempuan mau menunjukan bahwa peran kami
juga tidak berbeda dengan laki-laki.
Perempuan yang mampu mengerjakan pekerjaan diluar pekerjaan domistiknya seperti
yang berhubungan dengan upacara keagamaan/adat istiadat serta ditambah dengan
kemampuan bekerja yang menghasilkan uang (pekerja publik) dianggap sebagai perempuan
baik dan mulia dengan menyandang predikat luh luih. Menjadi luh luih merupakan idaman
bagi setiap perempuan Bali karena luh luih merupakan sosok perempuan yang berguna, baik
untuk diri pribadi keluarga maupun masyarakat. Sejalan dengan dinamika masyarakat,
fenomena luh luih ini telah berkembang sedemikian rupa terhadap mereka yang telah
berkiprah di bidang domestik dan publik. Kaum perempuan ingin menjadi luh luih dengan
berupaya meningkatkan karier dan meningkatkan prestasinya (Murniasih dalam Kembang
Rampai Perempuan Bali, 2006: 36).
Konsep di atas menunjukan bahwa perjuangan perempuan Bali untuk menentukan
haknya yang selama ini di dominasi oleh kaum laki-laki termasuk hak reproduksi perempuan
agar diletakkan pada posisi kesetaraan. Sehingga kiprah gender yang diperjuangkan menjadi
wujud dalam menciptakan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga.
Perempuan Bali merupakan bagian dari masyarakat Bali yang mendukung
kebudayaan Bali sebagai krama Banjar sangat penting dalam kegiatan upacara keagamaan di
Bali. Perempuan Bali mempunyai rasa tanggungjawab terhadap kegiatan sosial dan kegiatan
keagamaan. Dalam ajaran agama Hindu bekerja itu adalah dharma (kewajiban). Perempuan
Bali yang ada di Desa Pemaron, sebagai krama banjar dalam kegiatan agama dan kegiatan
sosial sangat menonjol. Hampir pada setiap kegiatan upacara adat/agama perempuan sangat
diperlukan , yakni dari persiapan membuat sesajen, dalam persiapan upacara tersebut,
unsur-unsur kreativitas dan estestika perempuan, misalnya dalam bentuk mewarnai,
merangkai buah dan jajan untuk sesajen, sampai dengan pelaksanaan upacara selesai.

31
Fenomena tersebut dapat dilihat pada gambar 7.2 dan 7.3, laki-laki dan perempuan
mengambil bagian pada kegiatan sangkep di banjar/desa dalam persiapan upacara adat.
Nilai keterikatan pada desa adat merupakan ciri kehidupan masyarakat Bali, sebagai
modal untuk mengembangkan kebudayaan Bali. Dalam melaksanakan kewajiban dalam
hidup bermasyarakat pada dasarnya merupakan kewajiban sosial yang menginginkan
keserasian serta keselarasan hidup, sebagai landasan dalam mewujudkan ketenteraman,
keadilan, dan kesejahteraan lahir bathin dalam persekutuan hidup bersama yang saling
menguntungkan (Majelis Pembina Lembaga Adat, 1990: 34). Selanjutnya Weber (2002: 30)
mengatakan bahwa kegiatan dalam masyarakat sosial didasarkan pada gaya hidup yang
memberikan interaksi. Perbedaan antara bidang-bidang kehidupan terjadi baik pada jenjang
hubungan sosial keseluruhan maupun pada jenjang individu.
Kebersamaan dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi desa, yang
bertujuan menjaga keseimbangan. Perempuan Bali, sesuai dengan uraian di atas merupakan
identitas perempuan Bali untuk mengambil bagian dalam kegiatan sosial di desa Pemaron
Hal ini sebagai bukti tanggungjawab perempuan dalam membangun desa.

1.5.5. Refleksi

Eksistensi perempuan dan masalah perempuan menjadi topik pembicaraan yang


menarik pada perkembangan dewasa ini. Problematika dan dinamika hidup perempuan
melibatkan banyak pihak untuk mencari pemecahan. Pemahaman hak reproduksi yang
diwacanakan menjadi alasan yang mendasar dalam tulisan ini. Hal inilah sangat diperlukan
untuk melakukan analisis dalam memahami persoalan-persoalan ketidak adilan sosial yang
menimpa kaum perempuan. Hal ini berkaitan erat dengan ketimpangan yang terjadi, tentang
hak reprodukasi perempuan sudah diwacanakan baik dalam regional, nasional, maupun dunia
internasional. Topik ini menggugah setiap komponen untuk melakukan pemikiran cerdas
terhadap fenomena yang dihadapi perempuan terhadap hak reproduksi perempuan yang
berhubungan dengan masalah kesehatan perempuan, khususnya masalah kesejahetraan dalam
hidup berumah tangga.
Masalah ketidakadilan perempuan dalam otonomi terhadap hak reprodukasi
perempuan akhir-akhir ini mendapat sambutan yang hangat dibandingkan dengan masalah
sosial lainnya. Analisis kritis mengenai sistem patriarki yang masih mendominasi dalam alam
budaya masyarakat Bali yang merupakan dilema bagi perempuan dalam otonomi hak
reproduksi perempuan.

32
Pengungkapan masalah kaum perempuan sering mengalami hambatan dan sering
mengalami perlawanan, baik dari kaum laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Untuk
menjawab persoalan ini telah diidentifikasi beberapa penyebab seperti di jelaskan pada bab-
bab terdahulu. Pertama, status kaum perempuan pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem
dan struktur sosial budaya masyarakat Bali yang menganut sistem patriarki yang
mendominasi dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Kedua, banyak terjadi, kurang
pahamnya kaum perempuan terhadap kesehatan dan hak reproduksi perempuan. Ketiga,
perempuan dalam pengambilan keputusan masih cukup rendah dilihat dari distribusi dan
alokasi kekuasaan suami-istri dalam keluarga yang dipengaruhi oleh faktor ideologi patriarki
yang selama ini lebih berpihak pada kaum laki-laki dibandingkan terhadap perempuan.
Sistem patriarki menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam
keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan
lainnya. Demikian halnya yang mempengaruhi otonomi perempuan Bali dalam pengambilan
keputusan atas hak reproduksinya, seperti sumber daya pribadi yang dimiliki perempuan
masih rendah dan kuatnya faktor ideologi patriarki yang telah melekat pada tradisi
masyarakat Bali pada khususnya. Sehingga, kaum perempuan tetap pada posisi tersubordinasi
dalam pengambilan keputusan terhadap haknya.
Nilai-nilai dan adat istiadat dari tatakelakuan yang merupakan bagian dari sistem
budaya atau sistem ide. Seperti pada tradisi masyarakat Bali dengan sistem patriarki yang
begitu kuat sangat sulit dirubah, dan perubahannyapun memerlukan waktu yang cukup
panjang. Setiap sistem budaya apapun bentuk dan darimanapun asalnya selama bersifat
fungsional bagi eksistensi sosialnya akan terus dipertahankan oleh pendukung termasuk
hubungan antara laki-laki dan perempuan serta keberadaan anak dan jenis kelamin anak
dalam keluarga.
Keluarga sebagai wadah dari segala bentuk kebahagiaan dalam perkawinan yang juga
mempunyai arti penting bagi perlindungan pewarisan hak milik dan lebih penting lagi adalah
sebagai penjaga moral dan transmisi nilai-nilai kultural terutama nilai-nilai moral yang
berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi anggota keluarganya, artinya bila dikaitkan
dengan reproduksi perempuan.
Sistem budaya yang berkembang dalam masyarakat sampai sekarang belum mampu
menciptakan hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender sangat
penting artinya karena didasarkan bahwa hubungan suami istri adalah hubungan manusia dan

33
manusia, dan hubungan antar manusia yang sehat yang paling kondusif yang didasari atas
kesetaraan dan kerjasama.
1.6. Kesimpulan

Berdasarkan keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu


mengenai otonomi perempuan Bali dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam
keluarga di Desa Pemaron Kabupaten Buleleng, penulis dapat simpulkan, sebagai berikut.
Pertama, dari hasil analisis data kualitatif terhadap otonomi perempuan Bali di Desa
Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya, terlihat bahwa dalam
penentuan jumlah anak dalam keluarga masih bersifat tidak pasti jumlahnya, karena belum
lengkap kalau hanya ada anak perempuan saja, kehadiran anak laki-laki dalam tradisi
masyarakat Bali merupakan kebanggaan keluarga. Demikian halnya pada penjarakkan
kelahiran anak terlihat kalau ibu/informan masih meminta persetujuan (izin) kepada suami
dan juga dalam penggunaan alat kontrasepsi yang akan dipakai si ibu, yang semua itu akan
berdampak pada kesehatan fisik dan mental perempuan. Sedangkan untuk penentuan waktu
mempunyai anak, kalau dicermati perempuan Bali di Desa Pemaron menunjukkan sikap
pasrah dan menerima (tidak ada protes), apa kata suami atas hak reproduksinya. Semua itu
terlihat dominasi suami, disebabkan oleh sistim kekerabatan patrilineal yang berlaku dalam
tradisi masyarakat Bali yang kuat, anak laki-laki sebagai penerus purusa keluarganya. Juga
dalam pengambilan keputusan, terkait dengan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki laki-
laki (suami).
Kedua, dalam otonomi perempuan Bali di Desa Pemaron dalam pengambilan
keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga, dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal ; sumber daya pribadi seperti pendidikan, pengalaman, pengetahuan
ritual, tenaga kerja, ketrampilan, uang, dan tanah dan faktor psikologi, sedangkan faktor
eksternal ; faktor adat istiadat/agama, keluarga, ekonomi, media massa dan teknologi. Baik
faktor internal dan faktor eksternal di atas, semuanya sangat mempengaruhi perempuan Bali
di Desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga, yang
disebabkan oleh kekuasaan suami dalam keluarga dan sistem kekerabatan patrilineal yang
masih kuat dalam tradisi masyarakat Bali.
Ketiga, makna dari otonomi perempuan Bali di Desa Pemaron dalam pengambilan
keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga, menunjukkan adanya kesejahteraan baik lahir
maupun bathin, yang dilakukan dengan saling terbuka, kebersamaan dan adanya komunikasi
dengan pasangannya dalam pengambilan keputusan dalam penentuan jumlah anak, jarak

34
kelahiran dan penentuan waktu mempunyai anak, dimana perempuan harus tetap
menjalankan kodratnya sebagai perempuan. Pada status dan kedudukan perempuan baik
dalam keluarga maupun sebagai anggota masyarakat, yang untuk tetap turut berperan serta
sebagai krama Banjar, seperti gotong-royong, upacara adat, kegiatan PKK dan sebagainya.
Sedangkan dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya masih meminta persetujuan
dengan pasangannya (suami), karena suami memegang wewenang dan kekuasaan dalam
keluarga dan sistem patriarki yang masih membelenggu perempuan dalam kehidupan tradisi
dan budaya Bali.
Dengan demikian, teori-teori seperti, teori hegemoni, teori feminisme, dan teori
pengambilan keputusan, pengaruhnya semua terlihat dalam fenomena; Otonomi Perempuan
Bali Dalam Pengambilan Keputusan Atas Hak Reproduksi Dalam Keluarga Di Desa Pemaron
Kabupaten Buleleng: Suatu Kajian Budaya.
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan kesimpulan tersebut di atas, ada beberapa
saran yang perlu mendapat perhatian pihak yang terkait, yakni sebagai berikut:
Pertama, otonomi perempuan merupakan upaya memenuhi tuntutan perempuan saat ini
dan otonomi sesungguhnya merupakan kebebasan perempuan untuk bertindak atas tubuhnya,
seperti hamil, melahirkan, dan menyusui. Agar supaya angka kematian ibu (AKI) dan angka
kematian bayi (AKB) dapat menurun dan ditekan maka diharapkan pemerintah dalam hal ini,
lembaga atau dinas terkait seperti dinas kesehatan dan BKKBN, kantor agama, pemerintah
daerah, lembaga bantuan hukum dan HAM dapat memberikan pendidikan berupa pelatihan-
pelatihan, seminar, kursus-kursus tentang masalah kesehatan dan hak reproduksi perempuan,
untuk segera dapat menindak lanjuti dari perubahan UU Kesehatan dalam program-program
pelatihan tersebut. Di samping itu perempuan hendaknya diposisikan sebagai subyek, bukan
obyek dalam program KB dengan demikian hak reproduksinya termasuk hak dalam
pengambilan keputusan untuk menentukan jumlah anak, penjarakan kelahiran dan penentuan
waktu kelahiran, harus dihargai oleh semua pihak.
Kedua, dalam mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis serta kesetaraan dan keadilan
gender dalam berbagai bidang pembangunan antara laki-laki dan perempuan diperlukan
adanya perubahan nilai budaya seperti masih kuatnya ideologi patriarki pada masyarakat Bali
dan sumber daya pribadi yang dimiliki perempuan, belum sepenuhnya memberikan
kesempatan dan akses yang luas kepada kaum perempuan dalam pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan kesehatan dan hak reproduksi perempuan maupun hak bicara dalam
rapat Banjar atau Desa. Untuk itu, kaum perempuan mengharapkan supaya tokoh agama,

35
adat, ataupun mereka yang memegang kekuasaan/wewenang baik di pemerintahan maupun
swasta, hendaknya tidak mempersoalkan jenis kelamin yang berkiatan dengan hak,
kewajiban, dan kesempatan yang sama, asalkan tidak bertentangan dengan keyakinan agama
yang dianut, dengan kata lain ”kita memang berbeda, tetapi jangan dibeda-bedakan”.
Ketiga, masih perlunya sosialisasi dan penyuluhan tentang gender tidak hanya
diperuntukan bagi kaum perempuan tetapi juga pada laki-laki secara berkesinambungan, baik
di daerah perkotaan dan di pedesaan, serta pendidikan seks (seks education) diberikan sedini
mungkin dalam keluarga untuk kesiapan mental anak-anak, perempuan, dan remaja putri
untuk mengetahui hak reproduksi yang dimiliknya.
Akhirnya, keberhasilan saran-saran tersebut di atas sangat ditentukan oleh kerjasama
dan kepedulian dari berbagai pihak, seperti pemerintah, lembaga sosial, maupun masyarakat,
seluruh masyarakat Desa Pemaron pada khususnya, dan masyarakat Bali pada umumnya..

1.7. Daftar Pustaka

Astiti, TIP. 1986. Perubahan Ekonomi Rumah Tangga dan Status Sosial Wanita Dalam
Masyarakat Bali Yang Patrilinial.(Tesis). Bogor: IPB.
Atmadja, Nengah Bawa. 2001. Ketidak Seimbangan Nilai dan sikap Budaya Pradana dan
Prurusa: Sumber Kekerasan dan Solusinya, Pidato Pengukuhan Guru Besar, IKIP
Negeri, Singaraja.
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial Sketsa, Penilaian,Perbandingan Yogjakarta:
Kanisius.
Fakih, Mansyur. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogjakarta: Pustaka
Pelajar.
------------ 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisas. Yogjakarta: Pustaka
Pelajar.
Ihromi, 1995. Kajian wanita Dalam pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jacob, T. 1993. Manusia, Ilmu dan Teknologi:Pergumulan Abadi Dalam Perang dan Damai,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Keesing, Roger. M. 1999. Antropologi Bidaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta:
Airlangga.
Panetja, I Gde. 1981. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. Denpasar: CV. Kayumas.

36
Roger, Susan Carol. 1978. Womans Place: A Critical Review of Antrophological Theory,
Camparative Studies In Society in History Vol. 20 No. 1 Cambrige, University
Press.
Sayogja, Pujiwati. 1983. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta:
Rajawali.
Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.
Sudarta, Wayan. 2006. Pola Pngambilan Keputusan Suami-Istri Rumah Tangga Petani Pada
Berbagai Bidang Kehidupan, dalam Ni Luh Arjani (ed), Kembang Rampai
Perempuan Bali. Denpasar: CV Karya Sastra.
Wahid, Abdurrahman (dkk). 1996. Seksualitas, Kesehatan Reproduksi, dan Ketimpangan
Gende. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Wagner, Lola dan Dani Irawan Jatim. 1997. Susatu Studi Antropologi: Seksualitas di Pulau
Batam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Wiana, Ketut. 2000. Makna Agama Dalam Kehidupan. Denpasar: Penerbit Bali Post.

37

Anda mungkin juga menyukai