Anda di halaman 1dari 6

Algavuason Ahmad Fasel Yemix - 2106734120

Bronson Vander Anugrah Limbong - 2106734221


Danadhyaksa Zulu Savano - 2106734101
John Anderson Batara Aryasena – 2106734190 (Koordinator)
Ramadhani Syahri Saragih - 2106734171
Wanda Cahya - 2106734322

Tugas Diskusi Kelompok 5 Hukum dan Masyarakat

1. Bagaimanakah persoalan perkawinan anak, seperti contoh dalam video yang telah
disampaikan, dilihat dari optik budaya? Jelaskan dengan menggunakan konsep-
konsep antropologi yang sudah diajarkan.
Membahas perkawinan anak, tentu timbul pertanyaan “Selamat menempuh
hidup baru atau penderitaan baru?” Sejak dahulu, hal ini telah menjadi masalah dan
kontroversi di masyarakat, tidak hanya di Indonesia namun telah menjadi isu
internasional. Indonesia saat ini berstatus sebagai negara dengan salah satu tingkat
perkawinan anak yang tinggi, dengan data terbaru menunjukkan angka sebanyak
11,21%1. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lima provinsi yang
memiliki angka perkawinan bawah umur tertinggi, yaitu Jawa Timur (28%), Jawa
Barat (27,2%), Kalimantan Selatan (27%), Jambi (23%), Sulawesi Tengah (20,8%).2
Fakta yang terjadi, perkawinan dilakukan karena sejumlah alasan dan persepsi
yang diyakini baik secara agama, hukum, dan khususnya tradisi dan budaya di
masyarakat. UNICEF menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan perkawinan
di bawah umur. Menurutnya, perkawinan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya.
Dalam perspektif tradisi dan budaya di Indonesia, sering kali terjadi karena dorongan
yang memposisikan perempuan pada posisi kelas rendah, yang sering kali menjadi
objek paksaan oleh keluarga, terkhusus orangtuanya. Ketika anak menjadi objek
paksaan, sering kali disebabkan ketidakmampuannya dalam membesarkan anak,
khususnya faktor ekonomi.3 Selain itu, yang menjadi dorongan perkawinan anak
yakni adanya stigma salah dari masyarakat, misalnya “Perawan Tua” yang telah lama
berkembang di masyarakat, dan tentu saja hal ini menjadi pemicu perkawinan usia
dini karena masyarakat menghindari pemberian stigma tersebut. Permasalahan ini
menjadi sangat penting diperhatikan, bahkan ada desa di Indonesia yang sangat

1
Pradnya Wicaksana, “Interseksionalitas dalam Perkawinan Anak menurut Kacamata Pakar
Antropologi Gender UNAIR.” http://news.unair.ac.id/2021/04/27/interseksionalitas-dalam-perkawinan-anak-
menurut-kacamata-pakar-antropologi-gender-unair/ diakses 11 Oktober 2021.
2
Inna Noor Inayanti, “Perkawinan Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum, HAM, dan
Kesehatan,” Jurnal Bidan “Midwife Journal”, volume 1, no. 1 (Januari 2015), hlm. 47
3
Inna Noor Inayanti, “Perkawinan Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum, HAM, dan
Kesehatan,” hlm. 47.
merespon positif terhadap pernikahan dini ini.4 Yakni Kecamatan Seberang Ulu I
Kota Palembang.5 Intinya, hukum adat/tradisi yang berlaku di masyarakat dipengaruhi
kebiasaan masyarakatnya.
2. Bagaimanakah hukum (baik hukum negara maupun hukum yang hidup di masyarakat)
mengatur atau memberikan legitimasi bagi perkawinan anak? Berikan penjelasan
disertai dengan contoh.
Hukum Nasional Indonesia yakni UU No. 1 Tahun 1974 dianggap memiliki
celah untuk melangsungkan perkawinan pada anak karena tercantum batas usia
perkawinan adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.6 Sebagaimana
diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai
seseorang yang berusia dibawah 18 tahun.7 Undang-Undang Perkawinan tersebut
kemudian menimbulkan kontroversi karena melegitimasi perkawinan pada anak
melalui hukum yang mengatur secara sah, sedangkan ia berkontradiksi dengan
pemenuhan hak anak yang juga diatur di dalam konstitusi. Hal inilah yang mendasari
terbitnya UU No. 16 Tahun 2019.
Di dalam masyarakat sendiri, terdapat fenomena yang melegitimasi
perkawinan anak melalui konsep pemikiran yang salah pada aspek nilai norma agama
dan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat nilai kebudayaan terdiri dari konsepsi-
konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-
hal yang harus mereka anggap bernilai dan berfungsi sebagai pedoman.8 Salah
satunya pemahaman agama adalah untuk menghindari berzina. Hal inilah yang sering
kali menjadi legitimasi perkawinan pada anak dikarenakan masyarakat berpikir
perkawinan merupakan pedoman yang dapat dilakukan untuk menghindari zina untuk
menjaga kesucian diri yang merupakan hal yang amat bernilai di dalam kehidupan.
Faktor lainnya juga terlihat pada pandangan masyarakat yang menilai
perempuan sebagai golongan kelas dua di dalam masyarakat. Mansour Fakih dalam
bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menjelaskan bahwa pandangan
gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. 9 Salah satu
contohnya, jika didalam sebuah keluarga dengan ekonomi terbatas harus mengambil
4
Ana Latifatul Muntamah, Dian Latifiani, dan Ridwan Arifin, “Pernikahan Dini Di Indonesia: Faktor
dan Peran Pemerintah (Perspektif Penegakan dan Perlindungan Hukum Bagi Anak),” Widya Yuridika Jurnal
Hukum, volume 2, nomor 1 (Juni 2019), hlm. 3.
5
Ibid.
6
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, Ps. 7 Ayat (1).
7
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, Ps. 1 Ayat (1).
8
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, cet. 21 (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2015), hlm. 27.
keputusan melanjutkan pendidikan anak-anaknya, maka anak laki-laki yang akan
mendapat prioritas utama karena kedudukan perempuan yang dianggap lebih rendah
dari laki-laki. Kejadian-kejadian yang terus berulang tersebut akhirnya menimbulkan
anggapan di Jawa bahwa ‘perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya
akan ke dapur juga’.10 Belakangan nampak bahwa anggapan-anggapan tersebut
sejatinya berlaku di seluruh Indonesia karena budaya patriarki yang masih melekat
kuat dalam keseharian. Inilah yang menyebabkan maraknya kasus perkawinan pada
anak, khususnya anak perempuan karena masyarakat membolehkannya dan menerima
hal tersebut sebagai suatu hal yang wajar.11
3. Apakah budaya hukum berpengaruh pada upaya pencegahan perkawinan anak?
Jelaskan disertai dengan contoh.
Menurut Hadikusuma, budaya hukum merupakan tanggapan umum yang
sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Budaya hukum
menunjukan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang
menggambarkan pandangan yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati
masyarakat yang bersangkutan.12 Menurut Lawrence M. Friedman, budaya hukum
merupakan keseluruhan dari sikap-sikap warga masyarakat yang bersifat umum dan
nilai-nilai dalam masyarakat yang akan menentukan pendapat tentang hukum. 13 Maka
dari itu budaya hukum ini menentukan pilihan untuk berperilaku dalam menerima
hukum atau menolak hukum tertentu.
Budaya hukum ini berkaitan erat dengan bagian-bagian dari budaya umum,
yaitu kebiasaan, opini, dan pola pikir terhadap penerimaan atau penolakan sebuah
hukum.14 Dengan begitu budaya hukum dapat berpengaruh dalam pencegahan
perkawinan dini. Dengan adanya sikap masyarakat umum yang menolak, perkawinan
dini dapat dicegah bahkan ditiadakan.
Contohnya dalam kasus perkawinan dini yang baru baru ini terjadi di
Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku. Seorang siswi berumur 15 tahun
9
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet. 15 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), hlm. 15.
10
Ibid., hlm. 16.
11
Sarah Apriliandra, “Perilaku Diskriminatif Pada Perempuan Akibat Kuatnya Budaya Patriarki di
Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Konflik,” Kolaborasi Resolusi Konflik, volume 3, nomor 1, (2021). hlm. 4
12
Amrizal, Wiwit Kurniawan, Nilasari,. “Budaya Hukum Pernikahan Dini di Masyarakat”( Jawa
Tengah: Pena Persada, 2005) Hlm. 31.
13
Any Ismawati, “Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia” Pranata
Hukum volume 6 (2011), hlm 55.
14
Amrizal, Wiwit Kurniawan, Nilasari, “Budaya Hukum Pernikahan Dini di Masyarakat”( Jawa
Tengah: Pena Persada, 2005) Hlm. 29.
dinikahkan secara paksa oleh orang tuanya dengan seorang tokoh agama yang berasal
dari Tangerang, Banten. Hal ini mendapat penolakan dari para murid dan juga guru di
sekolah siswi tersebut. Murid dan guru dari sekolah siswi tersebut mengadakan demo
didepan Gedung DPRD dan Kantor Wilayah Kementerian Agama Buru Selatan. 15
Dengan adanya penolakan tersebut, siswi lainya pada sekolah tersebut mendapatkan
edukasi tentang pernikahan dini. Mereka mengerti bahwa pernikahan dini temannya
tersebut tidak patut dilakukan sehingga mereka melakukan unjuk rasa. Dengan adanya
edukasi tersebut siswa-siswi yang bersangkutan secara tidak langsung membantu
mencegah perkawinan dini tidak terjadi pada diri mereka. Secara perlahan perkawinan
dini berkurang dengan adanya edukasi yang menggiring opini para pelajar terhadap
pernikahan dini.
4. Bagaimana hukum dapat berperan sebagai tool of social engineering?
Hukum dapat berperan sebagai tool of social engineering. Ahli hukum Amerika,
Roscou Pound berpendapat bahwa ketertiban hukum dicapai dengan mengakui
berbagai kepentingan yang digolongkannya menjadi kepentingan umum, kepentingan
masyarakat, dan kepentingan pribadi. Hukum sebagai alat social engineering dapat
diibaratkan sebagai insyinur dalam menciptakan perubahan dalam masyarakat dan
mengarahkan kemana perubahan yang akan terjadi dalam masyarakat. 16 Mochtar
Kusuma Atmaja berpendapat bahwa hukum berperan sebagai bagian dari sarana
pembangunan masyarakat di Indonesia.17
Pendapatnya dibantah oleh Syakmin. Menurutnya, hukum juga memiliki
kekurangannya jika digunakan sebagai alat rekayasa sosial.18 Pratiknya, hukum
sebagai alat rekayasa sosial gagal di Indonesia. Salah satu contohnya, terdapat
tuntutan perubahan terhadap TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Peraturan ini muncul atas kegagalan
penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial.
5. Bagaimana pendapat Saudara sebagai seorang mahasiswa FH ketika berhadapan
dengan nilai budaya yang mendukung pernikahan anak atau nilai budaya lainnya yang
merugikan anak? Sebagai mahasiswa hukum tentu tidak setuju dengan penerapan
15
Maya Citra Rosa, Saat Siswi SMP Dinikahkan Orangtuanya, Guru dan Temannya Demo Tolak
Pernikahan Dini, https://www.kompas.com/wiken/read/2021/10/10/222900981/saat-siswi-smp-dinikahkan-
orangtuanya-guru-dan-temannya-demo-tolak?page=all Diakses pada 11 Oktober 2021.
16
Nazaruddin Lathif,. "Teori Hukum Sebagai Sarana Alat Untuk Memperbaharui Atau Merekayasa
Masyarakat." Pakuan Law Review 3, no. 1 (2017), hlm. 79.
17
H. Yacob Djasmani, "Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial dalam Praktek Berhukum di Indonesia,"
Masalah-Masalah Hukum 40, no. 3 (2011), hlm. 368.
18
Ibid., hlm. 369.
perkawinan anak yang mana jelas menimbulkan banyak kerugian. Ubi Societas Ibi
Ius, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Menilik dasar hukum yang berlaku
saat ini, seyogyanya pemerintah segera merevisinya agar disesuaikan dengan
kenyataan budaya yang ada. Yang mana, seharusnya pemerintah membuat landasan
hukum yang sepenuhnya tidak mendukung pernikahan dini. Saat ini pemerintah
seakan-akan memberikan ruang luas atau toleransi besar terhadap perkawinan anak di
bawah umur. Keanehan yang utama terjadi pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan diizinkan jika pria
sudah mencapai 19 tahun dan perempuan 16 tahun, padahal usia 19 tahun pun masih
dinilai belum siap/matang secara. psikologis (kedewasaan), dan secara khusus belum
siapnya faktor ekonomi (finansial) untuk membesarkan anaknya. Selanjutnya,
masalahnya ada pada Pasal 6 ayat (1) yang mana bagi yang dibawah usia 21 tahun
dapat melangsungkan pernikahan jika ada izin kedua orangtua. Tentu ini menjadi
polemik, karena Undang-undang ini belum membatasi adanya perkawinan usia dini,
karena faktanya justru seringkali orang tua yang menjadi subjek pemaksaan terhadap
anak untuk melakukan pernikahan usia dini.
6. Menurut Saudara, kerugian apa saja yang timbul dari perkawinan anak?
Menurut temuan Plan, sebanyak 44% anak perempuan yang melakukan perkawinan
dini, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi
tinggi. Sisanya, 56% anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah.
Selain tingginya angka KDRT, perkawinan anak berdampak juga pada kesehatan
reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki
kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, di masa kehamilan atau melahirkan,
dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Dari data di atas terlihat bahwa
pernikahan anak memposisikan perempuan dalam kelompok rentan terkait dengan
kesehatan reproduksi dan seksualitasnya. 19
Daftar Pustaka
Amrizal, Wiwit Kurniawan, Nilasari. “Budaya Hukum Pernikahan Dini di Masyarakat”
Jawa Tengah: Pena Persada, 2005) halaman 29-31.
Apriliandra, Sarah. “Perilaku Diskriminatif Pada Perempuan Akibat Kuatnya Budaya
Patriarki di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Konflik.” Kolaborasi Resolusi Konflik 3
No 1. (2021). Hlm. 1-13.
19
Djamilah, Reni Kartikawati, Dampak Perkawinan Anak di Indonesia jurnal studi pemuda volume 3,
no.1 (Mei 2014)
Djamilah dan Reni Kartikawati. “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia.” Jurnal Studi
Pemuda 3 (Mei 2014).
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Cet. 15. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013.
H. Yacob Djasmani, "Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial dalam Praktek Berhukum di
Indonesia." Masalah-Masalah Hukum 40 No. 3 (2011). Hlm. 365—374.
Inayanti, Inna Noor. “Perkawinan Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum, HAM, dan
Kesehatan.Jurnal Bidan “Midwife Journal 1 No. 1 (Januari 2015). Hlm. 46—53.
Indonesia. Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974.
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Anak. UU No. 35 Tahun 2014.
Ismawati, Any. “Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia.”
Pranata Hukum 6 (2011). Hlm. 55.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cet. 21. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2015.
Lathif, Nazaruddin. "Teori Hukum Sebagai Sarana Alat Untuk Memperbaharui Atau
Merekayasa Masyarakat." Pakuan Law Review 3 No. 1 (2017). Hlm. 79.
Muntamah, Ana Latifatul, Dian Latifiani, dan Ridwan Arifin. “Pernikahan Dini Di Indonesia:
Faktor dan Peran Pemerintah (Perspektif Penegakan dan Perlindungan Hukum Bagi
Anak).” Widya Yuridika Jurnal Hukum 2 No. 1 (Juni 2019). Hlm. 1—12.
Rosa, Maya Citra. “Saat Siswi SMP Dinikahkan Orangtuanya, Guru dan Temannya Demo
Tolak Pernikahan Dini.”
https://www.kompas.com/wiken/read/2021/10/10/222900981/saat-siswi-smp-
dinikahkan-orangtuanya-guru-dan-temannya-demo-tolak?page=all. Diakses 11
Oktober 2021.
Wicaksana, Pradnya. “Interseksionalitas dalam Perkawinan Anak menurut Kacamata Pakar
Antropologi Gender UNAIR.” http://news.unair.ac.id/2021/04/27/interseksionalitas-
dalam-perkawinan-anak-menurut-kacamata-pakar-antropologi-gender-unair. Diakses
11 Oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai