MAKALAH KOLOKIUM
Nama Pemrasaran/NIM
Departemen
Pembahas
Dosen Pembimbing/NIP
Judul Rencana Penelitian
:
:
:
:
:
Wulandari/I34100070
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Venny Alawiyah/ I34100005
Dr. Ir Sarwititi Sarwoprasodjo A, MS /19630904 199002 2 001
Pengaruh pernikahan dini terhadap pembentukan identitas
sosial remaja pedesaan
Jumat, 7 Maret 2014 Pukul16.00-17.00 WIB
1. PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kepadatan penduduk tertinggi di
dunia. Bank Dunia menyebutkan, pada tahun 2012 Indonesia menjadi negara terpadat keempat di
dunia dengan jumlah populasi penduduk mencapai 246.864.191 jiwa. Berdasarkan catatan Badan
Pusat Statistik (BPS) Nasional, kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan
mencapai 124 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan tersebut mengindikasikan laju pertumbuhan
penduduk Indonesia yang tinggi. Hasil Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) menunjukkan laju
pertumbuhan penduduk Indonesia selama tahun 2000-2010 sebesar 1,49 persen per tahun.
Laporan kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2012
menunjukan bahwa salah satu akar masalah dari tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia
adalah pernikahan dini.
Pernikahan dini merupakan fenomena yang sudah sejak lama marak terjadi di Indonesia
khususnya pada remaja pedesaan. Analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS) tahun 2005
dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukan bahwa angka
pernikahan untuk kelompok umur 15-19 tahun di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan,
perbedaannya cukup tinggi yakni 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan. Fenomena ini
memberikan banyak dampak negatif khususnya bagi gadis remaja. Penelitian Jannah (2012)
menunjukan bahwa pernikahan yang dilakukan gadis pada usia dini berpotensi pada kerusakan
alat reproduksi yang disebabkan oleh hubungan seks yang terlalu dini. Penting untuk diketahui
bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan resiko komplikasi medis.
Anatomi tubuh gadis remaja yang belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan,
berpotensi pada terjadinya komplikasi berupa obstructed labour dan obstetric fistula (Fadlyana
dkk, 2009). Data United Nations Population Fund (UNPFA) pada tahun 2003, mempertegas bahwa
15-30% persalinan pada usia dini akan disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula1.
Selain resiko obstetric fistula, penelitian Bayisenge (2010) menjelaskan bahwa kehamilan di usia
yang sangat muda juga ternyata berhubungan dengan angka kematian ibu, fertilitas yang tinggi,
kehamilan dengan jarak yang singkat, juga resiko tertular penyakit HIV.
Masalah lain yang ditimbulkan dari pernikahan dini ialah kontribusi fenomena ini pada
tingginya kasus perceraian dini dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kematangan diri
remaja yang belum tercapai mendorong terjadinya percekcokan antara suami-istri yang berujung
pada perceraian dini (Hermawan, 2010). Oleh sebab itu, tidak jarang ditemui gadis remaja yang
sudah menjanda pada usia yang masih muda. Penelitian Landung dkk (2009) menambahkan
bahwa pernikahan dini juga memberikan dampak negatif pada kemampuan gadis remaja dalam
bernegosiasi dan mengambil keputusan dalam hidup. Hal tersebut mendorong pada
1 Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke
dalam vagina.
ketidakmampuan gadis remaja dalam menyampaikan pendapat dan mengambil sikap ketika
menghadapi permasalahan hidup, sehingga terjadi dominasi pasangan (suami) yang lebih dewasa
yang berujung pada banyaknya terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Penanganan pernikahan dini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh pemerintah, salah satu
diantaranya adalah melalui pembatasan usia pernikahan. Batasan usia minimal seseorang untuk
melangsungkan pernikahan telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 bab II
pasal 7 ayat 1. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Selebihnya
perkawinan dilakukan dibawah batas minimal ini disebut pernikahan dini. Namun, fakta di
lapangan menunjukan bahwa kebijakan tersebut tidak memberikan banyak pengaruh pada
penekanan keberlangsungan pernikahan dini. Pernikahan dini masih marak terjadi, Pusat
Penelitian Kependudukan UNPAD bekerja sama dengan BKKBN Jawa Barat melaporkan pada
tahun 2009 menunjukan bahwa umur kawin muda di daerah pantai masih tinggi yaitu 36,7% kawin
pertama antara umur 12-14 tahun, 56,7%, umur 15-19 tahun dan 6,6% umur 20-24 tahun dengan
faktor-faktor yang melatarbelakangi adalah rendahnya tingkat pendidikan dan sosial-budaya.
Jannah (2012) menyebutkan bahwa para orang tua yang hanya bersekolah hingga tamat SD
merasa senang jika anaknya sudah ada yang menyukai, dan orang tua tidak mengetahui adanya
akibat dari pernikahan muda ini. Keberadaan budaya yang ada terkait konsep gadis remaja
semakin mendorong tingginya tingkat pernikahan dini di pedesaan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Bayisenge (2009) dan Landung dkk (2010) menunjukan
bahwa faktor sosial-budaya merupakan salah satu faktor kuat yang mempengaruhi pernikahan
dini. Melalui norma sosial yang ada, sosial-budaya mendorong pembiasaan dan pembentukan
makna bersama mengenai nilai seorang gadis remaja. Pemaknaan negatif pada masyarakat
mengenai gadis remaja yang belum menikah, pemaknaan negatif pada keluarga miskin dan
pelabelan manja pada gadis yang menempuh pendidikan tinggi tersebut mendorong orangtua
akan sesegera mungkin menikahkan anak perempuan mereka walau masih berusia remaja karena
apabila tidak dilakukan maka akan menjadi aib dan beban bagi keluarga. Faktor-faktor yang ada
membentuk tingkah laku menikah dini sebagai hal yang wajar pada masyarakat pedesaan. Hal
tersebut yang disebut Jackson and Smith (1999) sebagai keyakinan yang saling terkait, yakni
norma dan nilai kelompok yang menghasilkan tingkah laku menikah dini. Proses pengkontruksian
makna tersebut didasarkan atas sebab atribut kultural yang ada pada masyarakat, dalam hal ini
adalah kepercayaan, adat istiadat dan norma yang merujuk pada identitas sosial.
Berdasarkan tugas perkembangan, Erikson dalam Santrock (2012) menyebutkan bahwa
remaja berada pada tahap identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity
confusion). Pada masa tersebut remaja harus memutuskan siapa dirinya (keberadaan diri), apa
dan bagaimana dirinya mencapai masa depannya. Oleh sebab itu, pembentukan identitas pada
remaja merupakan hal yang penting. Sebagai individu yang berada pada masa transisi, remaja
akan banyak dipengaruhi oleh lingkungan beserta proses sosial yang ada. Oleh karena itu, akan
terjadi krisis identitas yang timbul akibat dari konflik internal yang berawal dari masa transisi
tersebut. Adapun konflik internal yang dimaksud adalah konflik antara keinginan untuk mengelola
dirinya sendiri secara mandiri, dengan kebutuhannya akan perhatian dan pertolongan dari orang
tua dan orang dewasa lainnya (Steinberg,1993). Masalah ini menjadi perhatian dan perlu segera
mendapat penyelesaian yang baik dengan mengelola ulang (reorganization) atau membentuk
ulang (restucturing) identitas diri remaja. Sebab jika krisis identitas tersebut tidak segera
diselesaikan, maka akibatnya dikhawatirkan akan menampilkan kepribadian remaja yang tidak
jelas dan terombang-ambing. Terlebih terkait keberadaannya sebagai bagian dari suatu
masyarakat, seorang individu remaja diharap memiliki kesamaan identitas dengan identitas yang
dimiliki masyarakat. Hal tersebut penting dimiliki oleh remaja untuk mengukuhkan diri sebagai
bagian dari kelompok masyarakat.
Desa Eretan Kulon yang berada di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu
merupakan salah satu desa dengan tingkat pernikahan dini tertinggi di Provinsi Jawa barat,
dengan rentang usia remaja yang melangsungkan pernikahan dini adalah 14-17 tahun. Salah satu
faktor penyebabnya adalah terdapat faktor budaya yang menyebabkan kebanyakan masyarakat
Desa Eretan Kulon lebih memilih untuk segera melangsungkan pernikahan di usia dini.
Masyarakat Desa Eretan Kulon terutama kaum wanitanya berfikir bahwa dengan segera
melangsungkan pernikahan maka mereka dapat mengurangi beban keluarga. Selain itu, faktor
pengaruh pergaulan bebas dan rendahnya pendidikan tentang pernikahan membuat remaja desa
Eretan Kulon lebih memilih untuk menikah muda agar dapat menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan seperti hamil di luar nikah.2
Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa keberadaan Undang-Undang Perkawinan 1974
yang didalamnya mengandung pembatasan usia untuk melakukan pernikahan secara umum
masih belum berjalan efektif bagi remaja pedesaan. Oleh sebab itu, adanya praktik pernikahan dini
yang masih marak pada remaja Desa Eretan Kulon mengarahkan pada pentingnya pengetahuan
dasar mengenai faktor-faktor pendorong yang mempengaruhi perilaku menikah dini pada remaja
desa Eretan Kulon. Hal tersebut mengarahkan pada pentingnya pengetahuan mengenai faktor
dominan mempengaruhi pernikahan dini dapat diuraikan dan dianalisis berdasarkan fakta di
lapangan. Faktor-faktor pernikahan dini yang ada mempengaruhi pembentukan makna bersama
secara positif terhadap tingkah laku menikah dini, sehingga mempengaruhi dimensi
depersonalisasi dan persepsi antarkelompok merupakan bagian dari identitas sosial. Hal tersebut
mengarahkan pada pentingnya mengetahui pengaruh pernikahan dini terhadap pembentukan
identitas sosial remaja Desa Eretan Kulon.
2. PENDEKATAN TEORITIS
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
Pernikahan dini
Pernikahan menurut Walgito (2002) yaitu suatu aktivitas antara pria dan wanita yang
mengadakan ikatan baik lahir maupun batin untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan batas minimal usia untuk melakukan pernikahan
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Secara Hukum, disebutkan dalam UndangUndang perkawinan No.1 Pasal 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dijelaskan lebih lanjut pada
pasal 7 ayat 1 bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Sejalan
dengan definisi undang-undang perkawinan, Landung dkk (2009) menjelaskan bahwa pernikahan
yang dilaksanakan pada usia yang melanggar aturan undang-undang perkawinan disebut dengan
istilah pernikahan dini.
Pernikahan dini pada umumnya dilakukan oleh gadis remaja (Landung, 2009).
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia terlalu muda, sehingga tidak
ada/kurang ada kesiapan biologis, psikologis maupun sosial. Pernikahan ini diselenggarakan pada
rentang usia dibawah 16 tahun tersebut akan memberikan dampak negatif pada gadis remaja
(menghalangi seorang perempuan dari kebebasan, kesempatan untuk membangun diri, dan hakhak lainnya) karena baik fisik, psikologi, maupun biologis belum mencapai kematangan
sebagaimana keberadaannya pada masa transisi. Maka jika ditarik kesimpulan maka definisi
pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh gadis remaja pada usia yang belum
matang yakni di bawah 16 tahun.
Dari segi psikologi, sosiologi maupun hukum Islam pernikahan dini terbagi menjadi dua
kategori; pertama, pernikahan dini asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar murni
dilaksanakan oleh kedua belah pihak untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud
semata-mata hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua mempelai;
kedua, pernikahan dini palsu yaitu pernikahan di bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan
sebagai kamuflase dari moralitas yang kurang etis dari kedua mempelai. Pernikahan ini dilakukan
hanya untuk menutupi perzinaan yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai dan berakibat
adanya kehamilan. Ketika terjadi fenomena pernikahan seperti ini, tampaknya antara anak dan
kedua orang tua bersama-sama melakukan semacam manipulasi dengan cara melangsungkan
pernikahan yang mulia dengan maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya
(Jannah, 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan dini
Pernikahan dini yang masih marak terjadi pada remaja pedesaan pada umumnya
dipengaruhi oleh empat faktor, yakni: keinginan bebas pada remaja, ekonomi, pendidikan dan
budaya.
1. Keinginan bebas pada remaja.
Adanya dorongan rasa kemandirian gadis remaja dan keinginan bebas dari kekangan
orangtua (Landung dkk, 2009). Hal tersebut berkaitan dengan perubahan psikologi yang terjadi
pada diri remaja sebagaimana yang dijelaskan oleh Neidhart dalam Gunarsah (2008) bahwa
remaja atau adolescentia sedang mengalami masa peralihan dari kedudukan ketergantungannya
terhadap keluarga menuju kehidupan dengan kedudukan mandiri. Jannah (2012) menjelaskan
bahwa salah satu penyebab pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Desa Pandan (Madura)
ialah adanya kesiapan diri pada remaja. Selain orang tua, pendorong terjadinya pernikahan dini di
Desa Pandan disebabkan adanya kemauan diri sendiri dari pasangan. Hal ini disebabkan mereka
sudah merasa bisa mencari uang sendiri dan juga pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau
media-media yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih
terpengaruh untuk melakukan pernikahan di bawah batas minimal usia perkawinan.
2. Faktor Ekonomi
Pernikahan dini yang terjadi disebabkan karena alasan membantu pernenuhan kebutuhan
ekonomi keluarga. Faktor ini berhubungan dengan rendahnya tingkat ekonomi keluarga. Orang tua
tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga orangtua memilih untuk
mempercepat pernikahan anaknya, terlebih bagi anak perempuan sehingga dapat membantu
pemenuhan kebutuhan keluarga (Landung dkk, 2009). Sejalan dengan hal itu, Jannah (2012)
menjelaskan dalam penelitiannya bahwa para orang tua yang menikahkan anaknya pada usia
muda mengganggap bahwa dengan menikahkan anaknya, maka beban ekonomi keluarga akan
berkurang satu. Hal ini disebabkan jika anak sudah menikah, maka akan menjadi tanggung jawab
suaminya. Bahkan para orang tua juga berharap jika anaknya sudah menikah, maka akan dapat
membantu kehidupan orang tuanya.
3. Faktor pendidikan
Dalam konteks pendidikan, penelitian Landung dkk (2009) dan menjelaskan bahwa
rendahnya tingkat pendidikan orang tua, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan
anaknya yang masih di bawah umur. Hal tersebut berkaitan dengan rendahnya tingkat
pemahaman dan pengetahuan orangtua terkait konsep remaja gadis. Pada masyarakat pedesaan
umumnya terdapat suatu nilai dan norma yang menganggap bahwa jika suatu keluarga memiliki
seorang remaja gadis yang sudah dewasa namun belum juga menikah dianggap sebagai aib
keluarga, sehingga orang tua lebih memilih untuk mempercepat pernikahan anak perempuannya.
Jannah (2012) menambahkan bahwa rendahnya pendidikan merupakan salah satu pendorong
terjadinya pernikahan dini. Para orang tua yang hanya bersekolah hingga tamat SD merasa
senang jika anaknya sudah ada yang menyukai, dan orang tua tidak mengetahui adanya akibat
dari pernikahan muda ini.
4. Faktor Budaya
Keberadaan budaya lokal (Parampo Kampung) memberi pengaruh besar terhadap
pelaksanaan pernikahan dini, sehingga masyarakat tidak memberikan pandangan negatif terhadap
pasangan yang melangsungkan pernikahan meskipun pada usia yang masih remaja. Hal ini yang
menyebabkan kaum pemuka adat tidak merniliki kemampuan untuk dapat mengatur sistem
budaya yang mengikat bagi warganya dalam melangsungkan perkawinan karena batasan tentang
seseorang yang dikatakan dewasa masih belum jelas (Landung dkk, 2009).
Sejalan dengan Landung dkk (2009), Syafiq Hasyim dalam Jannah (2012) menyebutkan
bahwa dalam konteks Indonesia pernikahan lebih condong diartikan sebagai kewajiban sosial dari
pada manifestasi kehendak bebas setiap individu. Secara umum, dalam masyarakat yang pola
hubungannya bersifat tradisional, pernikahan dipersepsikan sebagai suatu keharusan sosial yang
merupakan bagian dari warisan tradisi dan dianggap sakral. Sedangkan dalam masyarakat
rasional modern, perkawinan lebih dianggap sebagai kontrak sosial, dan karenanya pernikahan
sering merupakan sebuah pilihan. Cara pandang tradisional terhadap perkawinan sebagai
kewajiban sosial ini, tampaknya memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap fenomena kawin
muda yang terjadi di Indonesia.
Perilaku
Walgito (1999) menyatakan bahwa perilaku atau aktivitas-aktivitas individu
dalam
pengertian yang luas merupakan respon dari stimulus. Sebagaimana diketahui perilaku atau
aktivitas yang ada pada individu atau organisme itu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi
merupakan akibat dari stimulus yang diterimanya baik stimulus eksternal maupun internal.
Hubungan stimulus dan respon tidak berlangsung secara otomatis, tetapi individu memiliki
peranan penting dalam menentukan perilakunya. Skinner dalam Walgito (1978) membedakan
perilaku menjadi (a) perilaku yang alami (innate behavior), (b) perilaku operan (operant behavior).
Perilaku alami yaitu yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu yang berupa refleks-refleks dan
insting-insting, sedangkan perilaku operan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar.
Menurut Skinner dalam Notoadmodjo (2003) menjelaskan bahwa perilaku merupakan
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Perilaku ini terjadi melalui
proses stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespon. Respon yang
muncul dipengaruhi oleh karakteristik atau faktor lain dari individu yang bersangkutan. Hal ini
menunjukan meskipun stimulus yang diberikan sama, namun akan memunculkan respon yang
berbeda pada masing-masing individu. Notoadmojdo (2003), terdapat empat hal-hal pokok yang
mendorong seseorang berperilaku :
1. Pemikiran dan perasaan (thought and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi,
sikap, kepercayaan dan penilaian terhadap objek.
2. Orang penting sebagai referensi, apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia
katakan atau berbuat cenderung dicontoh.
3. Sumber-sumber daya, mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya semua itu
berpengaruh terhadap perilaku seseorang.
4. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu
masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way or life) yang pada umum disebut
kebudayaan.
Karakteristik remaja sebagai Individu
Hall dalam Santrock (1998) menganggap masa remaja merupakan masa topan-badai dan
stres (storm and stress). Hal tersebut disebabkan pada masa tersebut seorang individu sedang
mengalami masa pergolakan yang diwarnai dengan konflik dan perubahan suasana hati. Pada
masa tersebut pula seorang remaja telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri
sendiri. Lebih lanjut Santrock (1998) menjelaskan bahwa pada masa tersebut seorang individu
dipandang sedang melalui masa evaluasi, pengambilan keputusan, komitmen, dan menentukan
statusnya kedepan.
Istilah remaja atau adolescence berasal dari bahasa Latin, yakni adolescentia yang berarti
masa muda. Pada masa muda, seorang individu sedang berada pada masa transisi/peralihan dari
masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik,
psikis dan psikososial. Secara kronlogis yang tergolong remaja ini berkisar antara usia 11-20
tahun. Marcia dalam
Sprinthall dan Collins (2002) menyatakan bahwa pada umumnya
penggolongan remaja dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu remaja awal (11-15 tahun), remaja
menengah (16-18 tahun), dan remaja akhir (19-20 tahun). Seorang remaja mencapai tugas-tugas
perkembangannya dapat dipisahkan menjadi tiga tahap secara berurutan :
a. Masa Remaja Awal
Remaja awal adalah individu dengan usia 11-15 tahun. Pada umumnya individu telah memasuk
pendidikan di bangku sekolah menengah tingkat pertama (SMP). M asa ini remaja mengalami perubahan
fisik yang sangat drastis, misal pertambahan berat badan, tinggi badan, panjang organ tubuh dan
pertumbuhan fisik yang lainnya. Pada masa remaja awal memiliki karakteristik sebagai berikut
lebih dekat dengan teman sebaya, lebih bebas, lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya
dan mulai berpikir abstrak.
b. Masa Remaja Menengah
Pada masa remaja menengah, adalah masa remaja dengan usia sekitar 16-18 tahun. Pada
umumnya, individu pada masa ini sudah duduk di sekolah menengah atas (SMA). Pada masa ini
remaja ingin mencapai kemandirian dan otonomi dari orangtua, terlibat dalam perluasan
pertemanan dan keintiman dalam sebuah hubungan pertemanan. Pada masa remaja menengah
ini memiliki karakteristik sebagai berikut mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan,
mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, dan
berkhayal tentang aktifitas seks. Remaja pada usia ini sangat tergantung pada penerimaan dirinya
di kelompok yang sangat dibutuhkan untuk identitas dirinya dalam membentuk gambaran diri.
c. Masa Remaja Akhir
Masa remaja akhir adalah masa remaja dengan usia 19-20 tahun. Pada fase remaja
kelompok akhir ini, umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMA dan mungkin sudah
bekerja. Individu pada masa ini fokus pada persiapan diri untuk lepas dari orangtua menjadi
kemandirian yang ingin dicapai, membentuk pribadi yang bertanggungjawab, mempersiapkan karir
ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi. Karakteristik dalam kelompok ini adalah sebagai berikut
pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani
dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, dan mampu berpikir abstrak.
Sebagai seorang individu, remaja juga memiliki karakteristik yang sama dengan individu
lainnya. Karakteristik adalah sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada sesuatu (benda, orang atau
makhluk hidup lainnya) yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto
1993). Lebih jauh, Mardikanto (1993) memberikan contoh tentang karakteristik individu, yaitu sifatsifat yang melekat pada diri seseorang yang berhubungan dengan berbagai apek kehidupannya,
antara lain umur, jenis kelamin, pendidikan, jabatan, status sosial dan agama. Menurut Lionberger
dalam Walters et al. (2005) menyatakan bahwa karakteristik individu yang perlu diperhatikan
adalah umur, tingkat pendidikan dan karakteristik psikologi. Pada remaja sendiri, berdasarkan
penjelasan Marcia dalam Sprinthall dan collin (2002) maka karakteristik remaja dapat disimpulkan
terdiri atas usia, tingkat pendidikan, tingkat kemandirian remaja sebagaimana yang dijelaskan
diatas. Kemandirian merupakan salah satu sifat dalam diri individu yang tidak bergantung pada diri
oranglain (Dariyo, 2002).
Identitas sosial
Identitas sosial merupakan sebuah definisi diri yang memandu bagaimana kita
mengkonseptualisasi dan mengevaluasi diri sendiri. Identitas sosial mencakup banyak karakteristik
unik, seperti nama, konsep diri, jenis kelamin, gender, hubungan interpersonal (anak, perempuan,
orangtua, dll), afiliasi politik atau ideologi (feminis, demokrat, dll), atribut khusus (homoseksual,
pintar, keterbelakangan mental, dll) dan identitas etnik atau religius (Katolik, Muslim, orang
minangkabau, dll) (Deaux dkk, 1995). Selain itu, Baron dan bryne (2003) menyebutkan bahwa
identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk atribut personal dan
atribut yang dibaginya dengan oranglain seperti gender dan ras.
Hogg dan Abrams (2001) mendefinisikan identitas sosial sebagai aspek yang ada pada
individu terkait dirinya sendiri yang didapatnya dari kategori sosial tempat ia berada. Hal ini sejalan
dengan penjelasan Brewer & Miller (1996) yang menjelaskan bahwa identitas merupakan
gambaran-diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh individu dalam budaya
dan dalam situasi interaksi tertentu. Castells (2010) berpendapat bahwa semua identitas
dikonstruksikan atau dibentuk sejarah, letak geografis, biologis, institusi-institusi produkif,
collective memory dan fantasi personal serta kekuasaan dari aparatur-aparatur dan syariah
keagamaan (kitab). Oleh karena itu, identitas sosial memiliki sifat majemuk/jamak (plurality of
identites), karena identitas sosial sebagai sumber pemaknaan dan pengalaman serta atribut
kultural diperuntukkan bagi seseorang individu atau kumpulan aktor (collective actor). Menurut
Jackson dan Smith (1999), identitas sosial dapat dikonseptualisasikan paling baik dalam empat
dimensi, yakni
1. Persepsi dalam konteks antarkelompok : Hubungan antara seseorang dengan grup lain yang
menjadi perbandingan bagi diri individu.
2. Daya tarik in-group : Afek yang ditimbulkan dari in-group kepada diri individu
3. Keyakinan yang saling terkait : Norma dan nilai yang menghasilkan tingkahlaku anggota
kelompok ketika mereka berusaha mencapai tujuan dan berbagi keyakinan yang sama.
4. Depersonalisasi : definisi diri individu terhadap dirinya sebagai bagian dari kategori sosial
yang ada di lingkungan sosialnya.
Banyak kategori yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia interpersonal. Kategori
tersebut mengindikasikan sejauhmana individu serupa dan tidak serupa dengan oranglain disekitar
kita. Adapun komponen yang terdapat dalam identitas sosial adalah the self (konsep diri), dan
konsep diri sosial. Konsep diri merupakan kumpulan keyakinan dan persepsi diri terhadap diri
sendiri yang terorganisir. Artinya konsep diri memberikan sebuah kerangka berpikir yang
menentukan bagaimana individu mengolah informasi tentang dirinya sendiri, termasuk didalamnya
motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan dan banyak hal lainnya. Konsep diri sosial
merupakan suatu identitas kolektif yang meliputi hubungan interpersonal dan aspek-aspek
identitas yang datang dari keanggotaannya dalam suatu kelompok, seperti ras, etnis dan budaya
(Baron dan bryne, 2003).
10
11
Karakteristik remaja:
Usia
Tingkat pendidikan
Tingkat kemandirian
Gambar 1. Kerangka pemikiran pengaruh pernikahan dini terhadap pembentukan identitas sosial
remaja pedesaan.
Keterangan :
: mempengaruhi
2. 3 HIPOTESIS PENELITIAN
1. Terdapat hubungan pengaruh antara karakteristik remaja dengan perilaku menikah dini.
2. Terdapat hubungan pengaruh antara faktor-faktor pernikahan dini dengan perilaku menikah
dini.
3. Terdapat hubungan pengaruh antara perilaku menikah dini dengan pembentukan identitas
sosial remaja.
12
Tingkat
kemandirian
sekolah,
Kemampuan responden
- Tinggi
untuk tidak tergantung pada - Rendah
orangtua
(Skor diukur dari total skor
peryataan
terkait
karakteristik
remaja.
Penentuan tinggi rendah
ditentukan
berdasarkan
data emik)
Interval
13
Pendidikan
orangtua
Norma yang
berlaku
Indikator
Tinggi
Rendah
Keanggotaan
kelompok
Tingkat
afek
responden
sebagai bagian dari kategori
sosial masyarakat Desa
Eretan Kulon
Jenis data
Interval
Indikator
Tinggi
Rendah
Jenis data
Interval
Jenis data
Interval
14
Juni
Juli
15
remaja perempuan Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu yang
melakukan pernikahan pertama pada usia dibawah 18 tahun. Adapun jumlah responden yang
diambil berjumlah 50 individu remaja yang menikah dini dengan rentang usia maksimal responden
adalah 20 tahun. Rentang usia maksimal tersebut sengaja dipilih dengan pertimbangan pada
rentang usia tersebut reponden menunjukan karakteristiknya sebagai remaja.
Teknik sampling adalah suatu teknik atau cara dalam mengambil sampel yang representatif
dari populasi (Rianse et al. 2009). Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari
sampel yang diambil secara acak. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode
pengambilan sampel acak sederhana (Simple random sampling). Pengambilan sampel acak
sederhana merupakan suatu metode pengambilan sampel yang diambil demikian rupa sehingga
tiap unit penelitian atau satu elemen-elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama
untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun 1989).
3.3 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan data primer. Data
sekunder didapatkan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan lokasi penelitian, seperti Badan
Pusat Statistika (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Kandanghaur. Data primer diperoleh dari hasil pengambilan data
langsung di lapangan melalui kuesioner dan wawancara mendalam kepada responden dan
informan. Wawancara mendalam digunakan sebagai penambahan informasi yang nantinya
diintegrasikan dengan jawaban yang ada pada kuisioner untuk mendukung dan memperkuat data
kuantitatif yang diperoleh.
3.4 TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Data yang telah dikumpulkan menggunakan kuisioner akan diolah secara kuantitatif
dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan SPSS for Windows versi 20. Pengolahan data
kuantitatif dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang dan uji regresi. Uji regresi digunakan
untuk mengukur besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terpengaruh. Selain analisis
data kuantitatif, dilakukan pula analisis data kualitatif sebagai pendukung data kuantitatif. Data
kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil
analisis antar variabel yang konsisten.
16
DAFTAR PUSTAKA
[Kemenag]. Kementrian agama. [tanpa tahun]. Undang-undang perkawinan no.1. [Dokumen].
[Internet]. [diunduh 20 Desember 2013]. Fomat/Ukuran : PDF/117 Kb. Dapat diunduh dari :
http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf
Afif A. 2009. Identitas Sosial Orang Minangkabau yang keluar dari Islam. Jurnal Psikologi. Vol. 36
(No.2). Hal : 205-214. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 1 Oktober 2013]. Format/Ukuran : PDF/246
Kb.
Dapat
diunduh
dari
:
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:pEg9Zt4P6BkJ:jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/53+&cd=1&hl=id&ct=
clnk&client=firefox-a
Amdan PY. 2012. Konstruksi Identitas Sosial penyandang Obsessive Compulsive Disorder. ejournal Mahasiswa Universitas Padjajaran. Vol. 1 (No.1). Hal : 1-17. [Dokumen]. [Internet].
[diunduh 28 November 2013]. Format/Ukuran : PDF/596 Kb. Dapat diunduh dari :
http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/download/1331/pdf.
Baron R.A, Bryne D. 2003. Psikologi sosial Edisi kesepuluh. (Alih bahasa dari bahasa inggris oleh
Djuwita R, Parman MM, Yasmina D, Lunanta LP). Kristiaji WC dan Meyda R, Editor. Jakarta [ID] :
Erlangga.. [Judul asli : Social Psycology]
Bayisenge, J., 2010. Early marriage as a Barrier to Girls Education: A Developmental Challenge in
Africa. In C. Ikekeonwu, ed. 2010. Girl-Child Education in Africa. Nigeria: Catholic Institute for
Development, Justice& Peace (CIDJAP) Press. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 1 oktober 2013].
Format/Ukuran : PDF/272 Kb. Dapat diunduh dari : http://www.ifuw.org/fuwa/docs/Earlymarriage.pdf
Bic NGO. 2002. Contesting "Culture": The Perspectives of Hmong American Female Students on
Early Marriage. Anlhrolvelogy & Ecathcaion Quarterly. Vol. 33 (No.2). Hal : 163-188. [Dokumen].
[Internet]. [diunduh 5 November 2013]. Format/Ukuran : PDF/448 Kb. Dapat diunduh dari :
http://www.stanford.edu/group/hsu/documents/Hmong%20Early%20Marriage.pdf
Castells M. 2010. The Power of Identity. Second Edition. Volume II. West Sussex (UK). Blackwell
publishing Ltd.
Dariyo A. 2004. Psikologi perkembangan remaja. Bogor [ID]. Ghalia Indonesia
Deaux K. 2001. Social identity. Encyclopedia of women and gender, vol.1. [Dokumen]. [Internet].
[diunduh 1 Desember 2013]. Format/ukuran : PDF/194 Kb. Dapat diunduh dari :
http://www.utexas.edu/courses/stross/ant393b_files/Articles/identity.pdf
Jannah. F. 2012. Pernikahan Dini Dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Keluarga Pada
Masyarakat Madura (Perspektif Hukum Dan Gender). Egalita. Vol.7 (No.1). [Dokument]. [Internet].
[diunduh 1 oktober 2013]. Format/Ukuran : PDF/456 Kb. Dapat diunduh dari : http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/egalita/article/view/2113/pdf
Kumbara A.A. 2008. Konstruksi ientitas orang sasak di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Humaniora. Vol. 20 (No.3). Hal : 315-326. . [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 28 November 2013].
Format/Ukuran
:
PDF/63
Kb.
Dapat
diunduh
dari
:
http://jurnal.ugm.ac.id/index.php/jurnalhumaniora/article/download/947/794
Landung J, Thaha R, Abdullah AZ. 2009. Studi Kasus Kebiasaan pernikahan usia dini pada
masyarakat kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja. Jurnal MKMI. Vol.5 (No.4). Hal: 8994. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 30 September 2013]. Format/Ukuran : PDF/6610 Kb. Dapat
diunduh dari : http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2971/MKMI%20vol
%205%20pernikahan%20usia%20dini.pdf?sequence=2
17
Myers DG. 2012. Psikologi sosial edisi kesepuluh. (Alih bahasa dari bahasa inggris oleh Tusyani A
et al). Mandasari D. Editor. Jakarta [ID]. Salemba Humanika. [Judul asli : Social psychology].
Notoadmodjo. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta [ID]. PT. Rineka Cipta.
Santrock. JW. 2012. Perkembangan Masa Hidup Edisi ketigabelas. (Alih bahasa dari bahasa
Inggris oleh Widyashinta B). Sallama NI. Editor. Jakarta [ID]. Erlangga. [Judul asli : Life-Span
Deveopment]
Singarimbun M. 1989. Metode penelitian Survai. Jakarta [ID]. LP3ES.
Sprinthall, NA, Collins AW. 2002. Adolescent psychology, a development View. USA: Mc Graw
Hill, Inc
Roger EM, Shoemaker FF. 1971. Communication of inovations a cross cultural approach. NEW
YORK [USA] : Free Press
Walgito B. 1999. Psikologi sosial (Suatu pengantar). Yogyakarta (ID). CV Andi Offset.
18
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner
Hari/tanggal wawancara :
KUESIONER
PENGARUH PERNIKAHAN DINI TERHADAP PEMBENTUKAN IDENTITAS SOSIAL REMAJA
PEDESAAN
Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data
dari responden dalam rangka penulisan skripsi program sarjana yang dilakukan oleh :
Nama/NIM
: Wulandari/I34100070
Departemen/Fakultas : Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat/Fakultas
Ekologi Manusia
Universitas
: Institut Pertanian Bogor
A. KARAKTERISTIK RESPONDEN
Karakteristik Umum
1. Nama
: ...
2. Jenis Kelamin
:L/P
: tahun
: ...
6. No. HP/Telp.
: ...
7. Pendidikan terakhir
: 1. Tidak sekolah
2. SD/MI/Sederajat
3. SMP/MTS/Sederajat
4. SMA/SMK/Sederajat
1. Tidak sekolah
2. SD/MI/Sederajat
3. SMP/MTS/Sederajat
4. SMA/SMK/Sederajat
9.
orang
19
B. Tingkat kemandirian
Berilah tanda () pada jawaban yang dianggap sesuai.
No
Pernyataan
2
3
4
5
6
7
8
9
Tidak
pernah
(1)
Jarang
(2)
Sering
(3)
Sangat
sering
(4)
Faktor
pernikahan dini
Tingkat ekonomi
keluarga
Pendidikan
orang tua
Pernyataan
Sebelum
saudara/saudari
menikah
dini,
Orangtua
kurang mampu memenuhi
kebutuhan pokok keluarga
Menikah
di
usia
dini
merupakan
cara
saudara/saudari
untuk
memperoleh kehidupan yang
lebih baik
Menikah
di
usia
dini
merupakan
cara
saudara/saudari membantu
ekonomi keluarga
Menikah
di
usia
dini
merupakan
cara
saudara/saudari
bertahan
hidup
Perceraian bukanlah salah
satu dampak dari pernikahan
Tidak
setuju
(1)
Kurang
setuju
(2)
Setuj
u
(3)
Sanga
t
setuju
(4)
20
Norma
yang
berlaku
dini
Menikah
di
usia
tua
menandakan
sebagai
perempuan yang tidak laku
Menikah di usia dini baik
bagi kesuburan perempuan
Perempuan yang menempuh
sekolah tinggi merupakan
perempuan yang manja
Tidak menikah di usia dini
merupakan aib keluarga
Orangtua
mendukung
saudara/saudari
untuk
menikah di usia dini
Menikah
di
usia
dini
merupakan cara mematuhi
tradisi
Menikah
di
usia
dini
membuat
saudara/saudari
menjadi individu yang lebih
dipandang
dalam
masyarakat
Menikah
di
usia
dini
merupakan
cara
saudara/saudari
menjadi
individu yang dewasa
D. Identitas sosial
Keanggotaan dalam kelompok
Berilah tanda () pada jawaban yang dianggap sesuai.
No
Pernyataan
3
4
5
6
7
8
Tidak
sesuai
Kurang
sesuai
sesuai
Sangat
sesuai
21
Pernyataan
Saudara/saudari tidak menyesal menjadi
orangtua/istri diusia muda
Saudara/saudari merasa hidup lebih
ringan setelah menikah
Saudara/saudari merasa bangga menjadi
remaja yang telah menikah
Saudara/saudari mengetahui peran diri
sebagai istri
Saudara/saudari dapat berkomunikasi baik
dengan mertua
Saudara/saudari dapat menyesuaikan diri
dengan keluarga suami
Saudara/saudari tidak merasa terbebani
dengan tugas sebagai ibu rumah tangga
Saudara/saudari merasa keluarga selalu
memberikan dukungan
Saudara/saudari merupakan individu yang
mengetahui peran diri di dalam
masyarakat
Dalam diri saudara/saudari sering tidak
pernah timbul pertanyaan terkait siapa diri
anda
Tenar dan dikenal dikalangan masyarakat
Eretan kulon dan sekitar merupakan hal
yang penting
Tidak
sesuai
Kurang
sesuai
sesuai
Sangat
sesuai
22
: ............................................................
: ............................................................
: ............................................................
: ......... tahun
23