Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENGABDIAN MASYARAKAT

PENGUATAN PEMAHAMAN DAMPAK PERNIKAHAN DINI PADA


REMAJA DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK “GENERASI HARAPAN”

OLEH :
FIRDAUS MUBAYYINA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS


NAHDLATUL WATHAN MATARAM
2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENGABDIAN MASYARAKAT

Judul :
1. Ketua Pelaksana :
a. Nama lengkap : Firdaus Mubayyina, S.Tr.Keb., M.Keb
b. NIDN : 0813019801
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Jabatan :-
e. Fakultas : FIK UNW Mataram
f. Alamat : Mataram
g. Telepon : 081917032515
2. Anggota
1. Bq. Safinatunnaja, S.Si.T, M.Keb
2. Nurul Aulia Kamila, SST, M.Keb
3. Asri daniyati, SST, M.Tr.Keb
3. Waktu Pelaksanaan : 14 April 2023
4. Lokasi kegiatan : Panti sosial

Mataram, April 2023

Mengetahui,

Dekan Ketua Pelaksana

Bdn. Firdaus Mubayyina, S.Tr.Keb., M.Keb


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karuniaNya, sehingga laporan kegiatan pengabdian pada masyarakat ini sebagai salah
satu bagian dari tridarma perguruan tinggi di jurusan Kebidanan (SI) Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram dapat terselesaikan.
Adapun tujuan dilakukannya kegiatan pengabdian ini yaitu meningkatkan
pengetahuan terkait Perawatan Payudara pada ibu nifas di kelas Ibu hamil Polindes
Batu Kuta Wilayah kerja Puskesmas Narmada Kabupaten Lombok Barat.
Kegiatan pengabdian ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar atas
dukungan dan fasilitas dari berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, kami selaku tim
pengabdi mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Yth :
1. Dekan FIK UNW Mataram
2. Ketua LPPM UNW Mataram
3. Kepala Panti Sosial
4. Berbagai pihak yang berpartisipasi dalam kegiatan ini yang tidak bisa kami
sebutkan satu persatu.
Kegiatan pengabdian ini masih jauh dar kesempurnaan, namun demikian besar
harapan kami semoga pelaksanaan kegiatan ini dapat bermanfaat bagi para wanita
dalam perawatan payudara.

Ketua Pelaksana,

Firdaus Mubayyina, S.Tr.Keb., M.Keb


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara ke-37 dengan jumlah pernikahan dini terbanyak

di dunia dalam level Associal Of South East Asian Nation (ASEAN), Indonesia

berada diurutan ke dua untuk kejadian pernikahan dini terbanyak setelah

Kamboja (Susanto, 2013). Fenomena menikah muda di Indonesia bukan lagi

hal yang baru, pernikahan dini banyak terjadi terutama di daerah pedesaan dan

akhir-akhir ini meningkat di daerah perkotaan hal ini terlihat dari data Badan

Kordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tahun 2012 resiko

pernikahan dini di perkotaan adalah 26 dari 1.000 pernikahan sedangkan pada

tahun 2013 resiko pernikahan dini meningkat menjadi 32 dari 1.000

pernikahan (Sutriyanto dan Gunadha, 2014).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, angka perkawinan

usia dini (15-19 tahun) masih tinggi, yakni 46,7 persen. Di kelompok usia 10-

14 tahun pun angka pernikahan mencapai 5 persen.

Pada tahun 2015, Nusa Tenggara Barat menduduki peringkat ke 19 dengan

kasus pernikahan dini terbanyak di Indonesia dengan persentase 23,2 %.

Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebagian

besar kasus kematian ibu (32 %) disebabkan secara langsung oleh perdarahan

dan kasus kematian neonatal sebagian besar (43 %) karena kasus BBLR.

Penyebab yang lebih mendasar adalah masih tingginya angka pernikahan dini.

sebanyak 41,6 % perempuan di NTB menikah pertama kali di usia 15-19

tahun.
Banyaknya dampak negatif dari terjadinya pernikahan anak usia < 21 tahun,

seperti tingginya AKI, Bayi Stunting, Perceraian, dan lain sebagainya. Dari

sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik

bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun

memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau

melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara

itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali

lebih besar. Sebanyak 42,8 % prevalensi stunting di Indonesia berasal dari ibu

yang menikah 15-19 tahun.

Batasan usia pernikahan adalah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun untuk

pria. Sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, dikarenakan usia

kurang dari 18 tahun masih tergolong anak-anak. (BKKBN, 2014)

Dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Buyung Wijaya dan Ainun (2012),

menunjukkan remaja dengan nilai pengetahuan remaja yang baik dengan sikap

yang muncul terhadap pengetahuan remaja putri tentang pernikahan dini yang

mendukung sebanyak (41,30%) dan tidak mendukung (23,91%), pengetahuan

cukup dengan sikap yang mendukung sebanyak (8,70%) dan tidak mendukung

(21,75%), sedangkan pengetahuan kurang sikap mendukung sebanyak (0%)

dan sikap yang tidak mendukung (4,35%). Hal ini dikarenakan untuk

memperoleh sikap yang tidak mendukung bukan hanya diperlukan

pengetahuan saja, tetapi pengalaman pribadi, media massa,

Menurut data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat, jumlah remaja

pada tahun 2014 dengan usia 15-19 tahun sebanyak 63.313, kemudian jumlah

\remaja usia 20-24 tahun sebanyak 57.885. (Dikes Lobar, 2014)


Jumlah remaja perempuan usia 15-19 tahun sebanyak 28.808 jiwa, dan remaja

laki-laki pada usia 15-9 sebanyak 29.757 jiwa, kemudian jumlah remaja

perempuan usia 20-24 tahun sebanyak 33.344 jiwa, dan remaja laki-laki pada

usia 20-24 tahun sebanyak 33.892 jiwa (BKKBN, 2014).

Remaja perempuan kurang dari 21 tahun yang melakukan pernikahan dini

sebanyak 73.426 kasus (57,5%) dan yang remaja laki-laki kurang dari 25

tahun yang melakukan pernikahan dini sebanyak 30.411 kasus (23,8%).

(BKKBN, 2017)

B. Tujuan Kegiatan Pengabdian

1. Meningkatkan pemahaman pada remaja mengenai dampak pernikahan dini


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pernikahan Dini Pada Remaja

1. Remaja

a. Pengertian Remaja

Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada

tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja

menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. WHO (World Health

Organization) mendefinisikan remaja secara konseptual, dibagi menjadi tiga

kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi (Sarwono, 2012).

Masa remaja, menurut Mappiare berlangsung antara umur 12 tahun

sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun

bagi pria. Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal

dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai

kematangan”. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya

memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial,

dan fisik.

Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) mengatakan bahwa secara psikologis,

remaja adalah suatu usia ketika individu menjadi terintegrasi ke dalam

masyarakat dewasa, suatu usia saat anak tidak merasa bahwa dirinya berada

di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling

tidak sejajar.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa remaja adalah suatu usia ketika individu mulai menunjukkan tanda-
tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual,

mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak

menjadi dewasa, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi

menuju keadaan yang relative lebih mandiri, menjadi terintegrasi ke dalam

masyarakat dewasa, serta individu tidak merasa bahwa dirinya berada di

bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling

tidak sejajar (WHO, dalam Sarwono, 2012; Piaget, dalam Ali & Asrori,

2012).

Remaja (Adolescence) yang berarti tumbuh kearah kematangan.

Kematangan yang dimaksud adalah bukan hanya kematangan fisik, tetapi

juga kematangan sosial dan psikologis. Masa remaja adalah masa transisi

yang ditandai oleh adanya perubahan fisik emosi dan psikis. Masa remaja

yakni antara usia 10-19 tahun adalah suatu periode masa pematangan organ

reproduksi manusia dan sering disebut masa pubertas (Widyastuti dkk,

2013).

Masa remaja merupakan masa yang begitu penting dalam hidup manusia,

karena pada masa tersebut terjadi proses awal kematangan oragna

reproduksi manusia yang disebut masa pubertas. Pubertas berasal dari kata

Pubercere yang berarti menjadi matang, sedangkan remaja atau Dolescence

berasal dari kata Adolescere yang berarti dewasa (Depkes RI, 2015).

b. Pembagian Usia Remaja

Sa’id (2015), membagi usia remaja menjadi tiga fase sesuai tingkatan

umur yang dilalui oleh remaja. Menurut Sa’id, setiap fase memiliki
keistimewaannya tersendiri. Ketiga fase tingkatan umur remaja tersebut

antara lain:

1. Remaja Awal (early adolescence)

Tingkatan usia remaja yang pertama adalah remaja awal. Pada tahap

ini, remaja berada pada rentang usia 12 hingga 15 tahun. Umumnya

remaja tengah berada di masa sekolah menengah pertama (SMP).

Keistimewaan yang terjadi pada fase ini adalah remaja tengah berubah

fisiknya dalam kurun waktu yang singkat. Remaja juga mulai tertarik

kepada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis.

2. Remaja Pertengahan (middle adolescence)

Tingkatan usia remaja selanjutnya yaitu remaja pertengahan, atau ada

pula yang menyebutnya dengan remaja madya. Pada tahap ini, remaja

berada pada rentang usia 15 hingga 18 tahun. Umumnya remaja tengah

berada pada masa sekolah menengah atas (SMA).

Keistimewaan dari fase ini adalah mulai sempurnanya perubahan fisik

remaja, sehingga fisiknya sudah menyerupai orang dewasa. Remaja yang

masuk pada tahap ini sangat mementingkan kehadiran teman dan remaja

akan senang jika banyak teman yang menyukainya.

3. Remaja Akhir (late adolescence)

Tingkatan usia terakhir pada remaja adalah remaja akhir. Pada tahap

ini, remaja telah berusia sekitar 18 hingga 21 tahun. Remaja pada usia ini

umumnya tengah berada pada usia pendidikan di perguruan tinggi, atau

bagi remaja yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka bekerja

dan mulai membantu menafkahi anggota keluarga. Keistimewaan pada


fase ini adalah seorang remaja selain dari segi fisik sudah menjadi orang

dewasa, dalam bersikap remaja juga sudah menganut nilai-nilai orang

dewasa.

c. Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja

Pertumbuhan dan perkembangan remaja ditandai dengan beberapa ciri

khas yaitu :

a. Perubahan adalah ciri utama dari proses biologis pubertas. Perubahan

hormonal secara kualitatif dan kuantitatif terjadi antara masa pubertas

dan dewasa. Akibatnya terjadi pertumbuhan yang cepat dan berat dan

panjang berat badan, perubahan dalam komposisi tubuh dan jaringan

tubuh dan timbulnya cirri-ciri seks primer dan sekunder yang

menghasilkan perkembangan “boy into a man” dan “girl into a

women”.

b. Perubahan somatik sangat bervariasi dalam umur saat mulai dan

berakhir, kecepatannya dan sifatnya, tergantung dari masing-masing

individu. Karena itu umur yang normal saat tercapainya suatu

perubahan dalam pertumbuhan dan perkembangan tidak dapat

ditentukan dengan pasti melainkan hanya dapat dikatakan pada umur

rata-rata anak.

c. Walaupun terdapat variasi dalam umur saat timbulnya perubahan-

perubahan selama pubertas, tetapi setiap remaja mengikuti urutan-

urutan yang sama dalam pertumbuhan dan perkembangan somatic.

d. Timbulnya ciri-ciri seks sekunder merupakan manifesttasi somatik dari

aktifitas gonad yang pakai oleh Tanner untuk menentukan Sex Maturity
Ratting (SMR) atau Stadium Maturitas Seks (SMS) dan dikenak

sebagai “Stadium Tanner”: penilaian SMS ini mencakup pemeriksaan

perkembangan payudara dan rambut pubis pada anak perembpuan dan

testis, penis dan rambut pubis pada anak laki-laki.

Tabel 2.1. Tabel Klasifikasi Stadium Maturitas Seks pada Anak Laki-Laki
Stadium Rambut Pubis Penis Testis
1. Tidak ada Pra-pubertas Pra-pubertas
2. Sedikit panjang, Pembesaran Skrotum membesar
sedikit ringan
berpigmen
3. Lebih hitam, Lebih panjang, Tekstur merah muda
mulai keriting lebih besar
4. Sedikit Ukuran glans Lebih besar
menyerupai dan besar
dewasa, jumlah penis
sedikit bertambah
5. Dewasa, kasar, Ukuran Lebih besar,
keriting, dewasa skrotum hitam
distribusi ukuran dewasa
dewasa,
menyebar ke
permukaan
medial paha
Tabel 2.2. Tabel Klasifikasi Stadium Maturasi Seks pada Anak Perempuan
Stadium Rambut Pubis Payudara
1. Pra-pubertas Pra-pubertas
2. Jarang, sedikit Payudara dan papilla
berpigmen, lurus batas menonjol sebagai bukti kecil,
medial labia diameter areola bertambah
3. Lebih hitam, mulai Payudara dan areola
keriting, jumlah membesar, tidak ada
bertambah pemisahan garis bentuk
4. Kasar, keriting, banyak Areola dan papilla membentuk
tetapi lebih sedikit bukit kedua
daripada orang dewasa
5. Segitiga wanita Bentuk dewasa, papilla
dewasa, menyebar ke menonjol, areola merupakan
permukaan medial paha bagian dari garis bentuk
umum payudara
e. Pertumbuhan somatik masa remaja adalah perubahan yang telah terjadi

mengenai ukuran dan umur individu-individu yang mengalami masa

pubertas. Pada umumnya karena perbaikan dan upaya-upaya kesehatan


masyararakat maka “secular trend” yang mengarah kepada

pertumbuhan yang lebih besar dari dini. Pengaruh etnik dan lingkungan

terhadap umur terjadinya pubertas seperti penambahan massa tulang,

otot dan lemak, pertambahan berat badan dan perubahan biokimia yang

terjadi pada anak perempuan maupun anak laki-laki walaupun

perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut wajah adalah relatif

spesifik untuk jenis kelamin tertentu “sex-spesifik”.

d. Perubahan Fisik pada Remaja

Bila pubertas terjadi sebelum usia 9 tahun, atau belum juga terjadi sampai

usia 13-14 tahun, harus dikonsultasikan ke dokter untuk memastikan ada

tidaknya kelainan (Manuaba, 2012).

Pada saat pubertas terjadi perubahan fisik yang bermakna sampai

pubertas terakhir dan berhenti pada saat dewasa, keadaan ini terjadi pada

semua remaja normal. Yang berbeda adalah awal mulainya. Mungkin ada

remaja laki-laki yang sudah tumbuuh kumis tipis, sementara yang lainnya

belum. Seringkali perkembangan yang berbeda dengan sebayanya membuat

remaja risau, akan tetapi bila tidak terlalu jauh dengan temannya masih bisa

dianggap normal dan akan mengejar ketinggalan pertumbuhan tersebut.

Harus diingat bahwa seorang anak berkembang pada saat yang berbeda

dan dengan kecepatan yang berbeda pula.

Pada tabel di bawah ini dapat dilihat perbedaan perubahan fisik pada

remaja perempuan.

Tabel 2.3. Perubahan Fisik Remaja Putri


No Perubahan Fisik Remaja
1. Pinggul melebar
2. Pertumbuhan rahim dan vagina
3. Menstruasi awal
4. Pertumbuhan rambut kelamin dan ketiak
5. Payudara membesar
6. Pertumbuhan lemak dan keringat (jerawat)
7. Pertambahan berat badan dan tinggi badan
Sumber : (Depkes RI, 2015)

Pada pertumbuhan fisik remaja baik laki-laki maupun perempuan adalah

kecepatan tumbuhnya (growth spurt). Pada saat ini pertumbuhan tinggi

badan (linier) terjadi amat cepat. Perbedaan pertumbuhan fisik laki-laki dan

perembuan adalah pada pertumbuhhan organ reproduksinya, dimana akan

diproduksi hormon yang berbeda, penampilan yang berbeda, serta bentuk

tubuh yang berbeda akibat berkembangnya tanda seks sekunder.

Anak perempuan mulai tumbuh pesat fisiknya pada usia 10 tahun dan

paling cepat terjadi pada usia 12 tahun. Sedangkan pada laki-laki, 2 tahun

lebih lambat mulainya, namun setelah itu bertambah tinggi 12-15 cm dalam

tempo 1 tahun pada usia 13 tahun sampai menjelang 14 tahun. Pertumbuhan

fisik perempuan dan laki-laki tidak sejalan dengan perkembangan

emosionalnya.

Seorang remaja yang badannya tinggi besar belum tentu mempunyai

emosi yang matang, sebaliknya yang bertubuh biasa saja mempunyai emosi

yang lebih matang.

Pertumbuhan tinggi remaja dipengaruhi tiga faktor yaitu genetic (faktor

keturunan), gizi dan variasi individu. Secara genetic orang tua yang

tubuhnya tinggi, punya anak remaja yang juga tinggi. Faktor gizi juga

sangat berpengaruh, remaja dengan status gizi yang baik akan tumbuh lebih

tinggi dibanding remaja dengan status gizi kurang. (Depkes RI, 2015)
Pertumbuhan pesat umumnya pada usia 10-11 tahun. Perkembangan

payudara merupakan tanda awal dari pubertas, dimana daerah putting susu

dan sekitarnya mulai membesar, kemudian rambut pubis muncul. Pada

sepertiga anak remaja, pertumbuhan pubis terjadi sebelum tumbuhnya

payudara rambut ketiak dan badan mulai tumbuh pada usia (12-13) tahun.

Tumbuhnya rambut badan bervariasi luas. Pengeluaran secret vagina terjadi

pada usia 10-13 tahun. Keringat ketiak mulai diproduksi pada usia 12-13

tahun, karena berkembangnya kelenjar apokrin yang juga menyebabkan

kerungat ketiak mempunyai bau yang khas. Menstruasi bterjadi pada usia

11-14 tahun. Pematangan seksual penuh remaja perempuan terjadi pada usia

16 tahun, sedang laki-laki pematangan seksual penuh terjadi pada usia 17-18

tahun (manuaba, 2012).

2. Pernikahan

a. Pengertian Pernikahan

Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita

yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemuan, persahabatan, kasih

sayang, pemenuhan hasrat seksual dan menjadi lebih matang. Pernikahan

merupakan awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu

yang berlainan jenis serta lahirnya anak-anak.

Dalam Wikipedia, pernikahan adalah ikatan sosial atau ikatan

perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan

merupakan suatu yang pranata dalam budaya setempat yang meresmikan

hubungan pribadi yang biasanya intim dan seksual (Wikipedia, 2017).


Pernikahan atau perkawinan menurut undang-undang perkawinan No.1

tahun 1974 adalah Ikatan lahir batin antara sesorang pria dan wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentu keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Bachtiar (2014) defenisi pernikahan adalah pintu bagi

bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung

dalam jangka waktu yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk

mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat

keturunan. Pernikahan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh

perasaan cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk

hidup bergaul guna memelihara kelangsungan manusia di bumi.

3. Pernikahan Dini

a. Pengertian

Menurut Suparyanto (2014), pernikahan dini adalah insitusi agung yang

mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan,

dilihat dari batasan usia pada undang-undang perkawinan menunjukan

bahwa pasangan remaja (usia 16-19 tahun) telah dinyatakan sah untuk

melakukan pernikahan dan dilindungi dimata hukum.

Menurut undang-undang perkawinan, usia minimal untuk suatu

perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (pasal 7

UU RI no. 1/1974 tentang perkawinan). Melihat dari pasca tersebut dapat

kita simpulkan bahwa usia di atas 16 tahun tersebut bukanlah anak-anak

lagi sehingga sudah di perbolehkan untuk menikah. Namun walaupun


demikian bagi seseorang yang usianya belum mencapai 21 tahun masih

memerlukan izin dari orang tua(pasal 6 ayat 2 UU RI No. 1/1974).

Tampaklah disini, bahwa walaupun undang-undang perkawinan tidak

menganggap mereka yang diatas, tetapi belum dianggap dewasa penuh

sehingga masih perlu izin untuk mengawinkan mereka.

Menurut BKKBN, pernikahan dini adalah pernikahan dibawah umur

yang disebabkan oleh faktor sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, faktor

orang tua, faktor diri sendiri dan tempat tinggal.

Menurut BKKBN, batasan usia pernikahan 21 tahun bagi perempuan

dan 25 tahun untuk pria. Sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan

Anak, dikarenakan usia kurang dari 18 tahun masih tergolong anak-anak.

Berdasarkan ilmu kesehatan, umur ideal yang matang secara biologis

dan psikologis adalah 20-25 tahun bagi wanita, kemudian umur 25-30

tahun bagi pria. Usia tersebut dianggap masa yang paling baik untuk

berumah tangga, karena sudah matang dan bisa berpikir dewasa secara

rata-rata.

Rekomendasi ini ditujukan demi untuk kebaikan masyarakat, agar

pasangan yang baru menikah memiliki kesiapan matang dalam

mengarungi rumah tangga, sehingga dalam keluarga juga tercipta

hubungan yang berkualitas. Ia menuturkan dalam berumah tangga

sekaligus menjaga keharmonisannya bukan suatu pekerjaan yang mudah,

karena memerlukan kedewasaan berpikir dan bertindak setiap adanya

guncangan yang muncul, baik guncangan akibat ekonomi, masalah internal

maupun eksternal.
Di Indonesia ternyata masih banyak terjadi pernikahan di usia yang

terlalu muda. Itu semua terjadi karena pengaruh lingkungan atau karena

didikan orang tua sejak kecil yang di tanamkan pada anak-anak mereka

hingga masa dewasa. Para pisikolog mengkhawatirkan pernikahan yang

terjadi diusia yang muda akan menemui batu sandungan karena sangat

bergantung pada keadaan jiwa seseorang. Hal itu senada yang

diungkapkan oleh para dokter, bahwa sebelum melangsungkan pernikahan

hendaknya calon suami istri benar-benar berpikir secara jernih dan matang

terutama kesiapan jasmaninya. Karena itu sudah menjadi kewajiban orang

tua untuk mempersiapkan anak-anak mereka sebaik mungkin dengan

memberikan pendidikan yang memadai. Kepada mereka hendaknya

ditekankan bahwa alangkah baiknya melangsungkan pernikahan setelah

mencapai usia kedewasaan. Sebab cara berpikir seseorang sangat

dipengaruhi oleh tingkatan umur, semakin matang umurnya semakin

matang pula cara berpikirnya.

Secara hukum pernikahan diusia 19 dan 16 tahun sah, sebab semua

rukun dan syarat telah terpenuhi. Tetapi dalam pernikahan, usia dan

kedewasaan memang menjadi hal yang harus diperhatikan bagi para pria

dan wanita yang ingin melangsungkan pernikahan. Dari segi mental,

terkadang emosi remaja belum stabil.

Kestabilan emosi umumnya terjadi antara usia 24 tahun karena pada

saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Usia 20-40 tahun dikatakan

sebagai usia dewasa muda. Pada masa ini biasanya mulai timbul transisi

dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka kalau
pernikahan dilakukan dibawa 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin

berpetualang menemukan jati dirinya. Bila kita melihat fenomena yang ada

pada orang dewasa ketika berumah tangga dipandang akan dapat

mengendalikan emosi dan kemarahan yang sewaktu-waktu akan muncul

dalam keluarga. Ini dimungkinkan karena kualitas akal dan mentalnya

sudah relatif stabil sehingga dapat mengontrol diri sendiri maupun dengan

pasangan dan lingkungan sekitar.

Kedewasaan dalam bidang fisik-biologis, sosial ekonomi, emosi dan

tanggung jawab serta keyakinan agama, ini merupakan modal yang sangat

besar dan berarti dalam upaya meraih kebahagiaan.

b. Penyebab Pernikahan Dini

Pernikahan dini merupakan suatu perilaku negative yang selama ini

seakan menjadi lumrah di masyarakat dan perlu dirubah. Menurut L.

Green suatu perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yakni :

a. Faktor predisposisi yang mencakup tingkat pendidikan,

pengetahuan, ekonomi dan budaya atau adat istiadat.

b. Faktor pemungkin yang menyangkut ketersediaan sumber/fasilitas.

c. Faktor penguat yang meliputi sikap, perilaku petugas, peraturan

undang-undang dll.

Menurut Surbakti (2015) faktor-faktor resiko pernikahan dini biasanya

disebabkan oleh pendidikan, pengetahuan yang rendah, tekanan ekonom

dan peraturan budaya.

a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil

penggunaan panca inderanya. Pengetahuan sangat berbeda dengan

kepercayaan (beliefs), takhayul (superstition) dan penerangan-

penerangan yang keliru (misinformation). Pengetahuan adalah segala

apa yang diketahui berdasarkan pengalaman yang didapatkan oleh

setiap manusia (Mubarak, 2014).

Menurut Bakhtiar (2013) pengetahuan berkembang dari rasa ingin

tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu

satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-

sungguh.

Ada dua teori yang mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu :

1) Realisme

Teori ini mempunyai pandangan realitis terhadap alam. Pengetahuan

menurut relisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari

apa yang ada didalam alam nyata (dari fakta atau hakikat).

2) Idealisme

Menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar–

benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan atau

koqnitif merupaakn faktor penting yang membentuk suatu tindakan

seseorang (overt behviour). Tindakan perkawinan yang dilakukan

pada usia muda kemungkinan besar terjadi karena kurangnya

pemahaman remaja ataupun orang tua remaja tentang pernikahani

dan dampak yang dapat terjadi dari pernikahan yang dilakukan


diusia dini seperti perceraiaan atau ketidak langgengan rumah

tangga.

b. Pendidikan

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang dilakukan

untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau

masyarakat. Sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan

pelaku pendidikan. Pendidikan adalah interaksi individu dengan

anggota masyarakat, yang berkaitan dengan perubahan dan

perkembangan yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap,

kepercayaan, dan keterampilan.

Bagi seorang individu, pendidikan adalah suatu hal yang penting

untuk dimiliki karena dengan pendidikan individu akan semakin

berkembang. Salah satu lingkumgan pendidikan yang dipilih orang tua

adalah sekolah atau pendidikan formal. Pendidikan sekolah atau formal

memberikan peranan penting terhadap sosialisasi individu dalam

masyarakat sehingga dapat menjadi individu yang sesuai dengan

harapan masyarakat.

Dalam artian pendidikan formal khususnya sekolah dapat menjadi

motor penggerak terbentuknya individu yang memiliki karakter yang

sesuai dengan nilai yang tertanam dalam masyarakat. Selain itu

pendidikan formal dapat menjadi mobilitas bagi individu untuk dapat

berinteraksi dengan nilai-nilai yang terbentuk dalam masyarakat.

Jenjang pendidikan formal ini bisa ditempuh mulai dari pendidikan SD

sampai perguruan tinggi.


Pendidikan nonformal disini merupakan pendidikan diluar sekolah.

Pendidikan yang didapatkan individu diluar jam sekolah, pendidikan

nonformal ini tidak terbatas waktu. Pendidikan nonformal

dilaksanaakan diluar ruang lingkup lingkungan sekolah. Biasanya

pendidikan ini berbentuk pendidikan pelatihan, lembaga kursus,

penyuluhan, kelompok belajar dan lain sebagainya. Berbicara mengenai

pendidikan nonformal bukan hanya memandang pendidikan ini sebagai

pendidikan alternatif bagi masyarakat, namun lebih kepada konsep,

kaidah, teori yang berkaitan utuh dengan kondisi masyarakat.

Karena pendidikan nonformal disini merupakan sebuah pelayanan

pendidikan yang tidak dibatasi dengan waktu, usia, jenis kelamin, ras

(suku, keturunan), kondisi sosio-kultural, ekonomi, agama dan lain-lain.

Pendidikan informal merupakan pendidikan yang diterima individu di

dalam keluarga inti. Berkaitan dengan pendidikan penanaman nilai-

nilai, norma serta pendidikan yang berkaitan dengan pengenalan nilai

sosio-kultural di dalam keluarga individu. Pendidikan informal sangat

berpengatuh terhadap pembentukan nilai dalam diri individu berkaitan

dengan pengenalan nilai agama, nilai dalam masyarakat tentan

bagaimana berintegrasi dalam masyarakat dengan baik dan bisa

menyesuaikan diri dengan masyarakat dilingkungannya.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan Pendidikan merupakan

usaha sadar yang dilakukan seluruh aspek yang ada dikehidupan kita,

baik orang terdekat, masyarakat maupun lembaga yang ada, baik yang

terjadi secara formal, nonformal atau informal dengan mengubah


kebiasaan-kebiasaan tidak baik menjadi kebiasaan yang baik yang

terjadi sepanjang hidup kita untuk memperbaiki kualitas diri menjadi

lebih baik dan mampu menjawab tantangan masa depan yang bertalian

dengan sosio-kultural, kepercayaan, pengetahuan, sikap, dan kebiasaan

yang berkembang dalam masyarakat.

Berdasarkan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan

informal. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar,

menengah, dan tinggi. Dalam konteks pendidikan, penelitian Landung

dkk (2009) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat pendidikan orang tua,

menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang

masih di bawah umur. Jannah (2012) menambahkan bahwa rendahnya

pendidikan merupakan salah satu pendorong terjadinya pernikahan usia

muda. Para orang tua yang hanya bersekolah hingga tamat SD merasa

senang jika anaknya sudah ada yang menyukai, dan orang tua tidak

mengetahui adanya akibat dari pernikahan muda ini.

c. Ekomoni

Ekonomi adalah pendapatan atau penghasilan keluarga perhari atau

perbulan. Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk

gaya hidup keluarga. Hampir semua aktifitas manusia terkait dengan

ekonomi, karena pada umumnya semua aktifitas manusia berkaitan

dengan keinginan (wants), dan pemenuhan kebutuhan (needs) dala

kehidupannya.
Pernikahan usia muda yang banyak terjadi disebabkan karena alasan

mengurangi kebutuhan ekonomi keluarga. Faktor ini berhubungan

dengan rendahnya tingkat ekonomi keluarga. Orang tua tidak memiliki

kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga orangtua

memilih untuk mempercepat pernikahan anaknya, terlebih bagi anak

perempuan sehingga dapat mengurangi pemenuhan kebutuhan keluarga.

Menurut Alfiyah (2010), pernikahan usia dini terjadi karena

keadaaan keluarga yang hidup digaris kemiskinan, untuk meringankan

beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang

yang dianggap mampu. Selain itu keadaan ekonomi seseorang

berpengaruh besar pada banyak aspek seperti pendidikan misalnya

seorang perempuan atau laki-laki yang berada pada kondisi ekonomi

yang diananggap tidak mampu maka kemungkinan mereka akan putus

sekolah atau tidak bisa melanjutkan pendidikan ketinggkat yang lebih

tinggi dengan demikian bagi remaja perempuan mutuskan menikah

untuk mengurangi beban ekonomi keluarga apa lagi yang meminang

merupakan orang yang sudah mapan dan mampu secara financial

sedangkan bagi laki-laki mau tidak mau mereka akan mebantu

perekonomian kleuarga dengan bekerja lalu remaja yang telah

mendapat pekerjaan dan mengangap diri mereka mampu menghidupi

keluarga secara finansial akan memutuskan untuk menikah tentu juga

untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.

d. Budaya atau Adat Istiadat


Budaya adalah suatu cara hidup berkembang dan dimiliki oleh

sebuah kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ayah

remaja kemungkinan besar merupakan anak dari orang tua yang juga

menjadi orang tua pada usia remaja. Hal tersebut tampak seperti suatu

budaya yang telah diwariskan orang tua epada anaknya.

Peraturan budaya yang dikaitkan dengan keyakinan atau agama

menajadi suatu faktor pemicu terjadinya pernikahan dini. Usia layak

menikah menurut budaya seringkali dikaitkan dengan datangnya haid

pertama bagi wanita, jika wanita sudah mendapatkan akil baligh

ditandai dengan haid maka untuk menghindarkan diri dari perbuatan

dosa (aib) maka mereka sudah layak untuk dinikahkan dengan demikian

banya terjadi pernikahan diusia yang dikatakan dini (remaja) karena

desakan budaya. Selain ada pemahaman yang berkembang

dimasyarakat tentang perjodohan, dimana anak gadisnya sejak kecil

telah dijodohkan sehingga dianggap mencapai akil baligh anak segera

dinikahkan dengan jodoh pilihan keluarga. Adajuga anggapan

didasarkan pada keyainan (agama) yakni jika anak menjalani hubungan

dengan lawan jenis maka itu merupakan sebuah pelanggaran agama dan

orang tua wajib melindungi dan mencegahnya sehingga anak akan cepat

di nikahkan (Suparyanto, 2014).

c. Dampak Pernikahan Dini

Setiap pilihan memiliki konsekuensi tersendiri bagi yang memutuskan

pilihan baik individu ataupun keluarga, termasuk pilihan untuk menikah

diusia remaja mendatangkan sebuah dampak. Pernikahan ini tampak


memaksakan anak muda (remaja) memasuki peran orang dewasa yakni

menjadi orang tua sebelum menyelasaikan masa remajanya, kehamilan

yang terjadi pada masa remaja sebagai akibat dari pernikahan yang

dilakukan diusia remaja (10-19 tahun) membuat remaja mengambil tugas

dan peran orang dewasa menjadi seorang ayah dan ibu, tulang punggung

keluarga ataupun kepla keluarga.

Faktor risiko usia menikah pada usia dini berhubungan dengan

kejadian kanker leher rahim. Semakin dini seorang perempuan melakukan

hubungan seksual semakin tinggi risiko terjadinya lesi prakanker pada

leher rahim. Sehingga dengan demikian semakin besar pula kemungkinan

ditemukannya kanker leher rahim. Hal ini disebabkan pada usia tersebut

terjadi perubahan lokasi sambungan skuamo-kolumner sehingga relatif

lebih peka terhadap stimulasi onkogen.

Wanita menikah di bawah usia 16 tahun biasanya 10-12 kali lebih

besar kemungkinan terjadi kanker leher rahim dibandingkan dengan

mereka yang menikah di atas usia 20 tahun. Pada usia tersebut rahim

seorang remaja putri sangat sensitif. Serviks remaja lebih rentan terhadap

stimulus karsinogenik karena terdapat proses metaplasia yang aktif, yang

terjadi dalam zona transformasi selama periode perkembangan. Metaplasia

epitel skuamosa biasanya merupakan proses fisiologis. Tetapi di bawah

pengaruh karsinogen, perubahan sel dapat terjadi sehingga mengakibatkan

suatu zona transformasi yang patologik. Perubahan yang tidak khas ini

menginisiasi suatu proses yang disebut neoplasma intraepitil serviks

(Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) yang merupakan fase prainvasif


dari kanker leher rahim. Di bawah usia 18 tahun, alat-alat reproduksi

seorang perempuan masih sangat lemah. Jika dia hamil, maka akibatnya

akan mudah keguguran karena rahimnya belum begitu kuat, sehingga sulit

untuk terjadi perlekatan janin di dinding rahim. Selain itu, kemungkinan

mengalami kelainan kehamilan dan kelainan waktu persalinan (Nafsiah,

2012).

Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia

dengan berbagai latar belakang. Telah menjadi perhatian komunitas

internasional mengingat resiko yang timbul akibat pernikahan yang

dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda,

dan infeksi penyakit menular seksual. Kemiskinan bukanlah satu-satunya

faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini. Hal lain yang

perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan

dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan

angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat

menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan

anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan

keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini merupakan kegagalan

dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak

termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam

menghentikan praktek pernikahan usia dini.

Menurut Rosaliadevi (2012) dampak perkawinan usia muda antara

lain:

a. Dampak Biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses

menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan

seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian

melahirkan karna pada usia 21-35 tahun resiko gangguan pada ibu

hamil paling rendah yaitu sekitar 15%. Jika dipaksakan justru akan

terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan

membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa

anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas

dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau

adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap

seorang anak.

b. Dampak Psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang

hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis

berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan

murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang

dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan

perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh

pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu

luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

c. Dampak Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam

masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan

pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki
saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun

termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan. Kondisi

ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang

akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

d. Dampak Perilaku Seksual Menyimpang

Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang

gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan

istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal

(menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan

seakan-akan menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81,

ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun

dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah.

Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang

menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak

ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.

e. Dampak Terhadap Suami

Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istri yang telah

melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau

tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal

tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental

mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang

tinggi.

f. Dampak Terhadap Anak-anaknya


Masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda

atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain berdampak pada

pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda,

perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena

bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah umur 20

tahun, bila hamil akan mengalami gangguan pada kandungannya dan

banyak juga dari mereka yang melahirkan anak yang prematur.

g. Dampak Terhadap Masing-Masing Keluarga

Selain berdampak pada pasagan suami-istri dan anak-anaknya

perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap

masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan di antara anak-anak

mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya

masing masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga

mereka tidak bahagia dan akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini

akan mengkibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang

paling parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua

belah pihak.
BAB III
BIAYA DAN PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Biaya Kegiatan

Dalam pelaksanaan program pengabdian masyarakat ini biaya keseluruhan

yang diusulkan ke Fakultas Ilmu Kesehatan UNW Mataram adalah

Rp. 5.000.000, dengan rincian sebagai berikut :

No. Jenis Pengeluaran Biaya


1. Alat Peraga dan bahan habis pakai perawatan 1.500.000
payudara
2. Media Leaflet 500,000
3. Konsumsi 2.000.000
4 Transport Pelaksana 500,000
5 Lain-lain 500.000
Total Rp. 5.000.000

B. Pelaksanaan Kegiatan

Penyuluhan Penguatan Pemahaman Dampak Pernikahan Dini Pada Remaja Di Panti


Sosial Asuhan Anak “Generasi Harapan” dilaksanakan dengan tahapan pencarian data
terlebih dahulu. Adapun pencarian data menggunakan cara sebagai berikut :
1. Survei lokasi dan pendataan jumlah remaja

2. Pengajuan usulan kunjungan ke kepala Panti Asuhan

3. Kegiatan meliputi teori dan praktik sebagai berikut:

No. Materi Pokok bahasan


1. Teori Menjelaskan
2. Praktik Demonstrasi
Susunan acara pengabdian masyarakat di Panti Asuhan :

1. Pembukaan

2. Sambutan Kepala Panti

3. Pemberian materi tentang dampak pernikahan dini


4. Praktek/ demo dampak pernikahan dini

Penyuluhan dan demonstrasi di Panti Asuhan ini dilakukan langsung oleh

ketua dan anggota pengabdian.


DAFTAR PUSTAKA

Baroroh, I., Kebidanan, A., & Ibu, H. (2021). Efektivitas Konsumsi Sule Honey
Terhadap Peningkatan Produksi Asi Bagi Ibu Pekerja Yang Menggunakan
Metode Pompa Asi ( MPA ) The Effectiveness of Sule Honey Consumption in
Increasing Milk Production for Working Mothers Using Breastfeeding Pump
Methods. Jurnal Kebidanan-ISSN, 7(1). https://doi.org/10.21070/midwiferia.v
Ningsih, E. S., Muthoharoh, H., & Erindah, U. (2021). Pengetahuan Ibu Nifas Tentang
Perawatan Payudara Pada Masa Laktasi. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 16(2), 4–13.
Ardhiyani, dkk. 2020. Pengaruh Pemberian Kombinasi Perawatan Payudara Dan Pijat
Oksitosin Terhadap Produksi Asi Pada Ibu Postpartum. Jurnal Mahasiwa
Kesehatan. Vol, 1. No, 2
Asih Yusari dan Risneni. 2016. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas dan. Menyusui.
Jakarta: CV. Trans Info Media
Anasiru Mohamad, dkk. 2017. Gambaran pengetahuan asi eksklusif pada ibu
menyusui di desa tabongo timur kabupaten bone bolango. Health and
Nutritions Journal. Vol, 3. No, 2.
Heni Nurakilah, dkk. 2019. Perbandingan Pengaruh Penggunaan Warm Bra Care dan
Kompres Hangat Terhadap Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu 3–4 Hari
Pospartum di Puskesmas Tomo Kabupaten Sumedang. JSK. Vol, 5. No, 1
Lilis Fatmawat, dkk. 2019. Pengaruh Perawatan Payudara Terhadap Pengeluaran Asi
Ibu Post Partum. Journals Of Ners Community. Vol, 10. No, 2
Lampiran

GAMBAR SAAT PEROSES KEGIATAN BERLANGSUNG

Anda mungkin juga menyukai