Anda di halaman 1dari 32

FENOMENA PERNIKAHAN DINI DI DESA KARANGSARI KECAMATAN BANTUR

KABUPATEN MALANG

Proposal Penelitian

Disusun oleh:

Rofiatul Nurhasanah

(2201000430081)

UNIVERSITAS INSAN BUDI UTOMO MALANG

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH DAN SOSIOLOGI

2023
BAB I
PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan ikatan lahir batin yang kuat dan kekal antara dua insan, rasa cinta
kasih, kewajiban, dan untuk meneruskan keturunan bagi umat Islam (Sar, 2016: 1). Dalam suatu
pernikahan itu diharapkan terciptanya hubungan yang saling menyayangi dan mengasihi, dalam
rangka membentuk keluarga yang harmonis. Menurut Fuaddudin pernikahan merupakan sebuah
upacara dalam menyatukan ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang sah di mata
agama dan diakui oleh Undang-undang dan diterima sebagai bagian dari budaya dalam
masyarakat (Lestari, 2018: 44). Oleh sebab itu, pernikahan yang dilakukan oleh setiap seseorang
atau masyarakat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah dan tidak boleh menyalahi ketetapan hukum negara maupun hukum agama.

Pernikahan umumnya dapat dilakukan apabila kedua pihak baik laki-laki maupun
perempuan telah dewasa atau sudah mencapai batas usia yang ditentukan oleh pemerintah. Di
Indonesia pernikahan merupakan suatu hal yang penting diperhatikan saat akan melakukannya.
Hal tersebut tercantum dalam peraturan hukum khusus yang dibuat mengenai pernikahan atau
perkawinan yang tercantum. Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat 1
disebutkan bahwa Perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria dan wanita mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun. Artinya setiap masyarakat yang hendak menikah harus benar-benar siap
baik kesiapan lahir maupun batin dikarenakan dalam menjalani kehidupan berumah tangga yang
baik dan mutlak sangat diperlukan semangat dalam bekerja keras, selain itu juga dibutuhkan
sikap saling memahami dan pengertian antar pasangan suami-istri demi mewujudkan kehidupan
yang harmonis dalam membina suatu rumah tangga tentram, rukun dan damai.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak sekali permasalahan tentang
sosial, salah satu diantaranya adalah pernikahan dini (Junaidi dkk, 2019: 35). Pernikahan dini
merupakan pernikahan pada remaja di bawah usia 20 tahun yang seharusnya belum siap untuk
melaksanakan pernikahan (Anwar dkk, 2017: 2). Artinya pernikahan yang dilangsungkan di
bawah usia 20 tahun baik laki-laki maupun perempuan sangat tidak dianjurkan dikarenakan
kondisi fisik ataupun mentalnya belum siap dalam meghadapi kehidupan rumah tangga.
Pernikahan dini merupakan fenomena yang sering terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang seperti di Indonesia yang menunjukkan bahwa pernikahan sebelum usia 19 tahun
sering terjadi pada wanita di Indonesia terutama di kawasan pedesaan. Dengan faktor utama
yaitu karena tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah serta faktor akses informasi yang tidak
memadai.

Berdasarkan data dari Pengadilan Agama kasus perkawinan anak di Indonesia sudah
sangat mengkhawatirkan, dengan data tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus dan tahun 2022 tercatat
55 ribu pengajuan (Kemen PPPA, 2023). Pengajuan permohonan menikah pada usia anak lebih
banyak disebabkan oleh faktor pemohon perempuan sudah hamil terlebih dahulu dan juga faktor
dorongan dari orang tua yang menginginkan anak mereka segera menikah. Sedangkan
berdasarkan data Pengadilan Agama Kabupaten Malang, mencatat jumlah pernikahan dini atau
dispensasi nikah di wilayah kabupaten setempat mencapai 1.434 perkara pada 2022 dan
sebanyak 1.393 perkara pengajuan dispensasi nikah telah diputus. Dengan demikian, Kabupaten
Malang menempati jumlah dispensasi nikah paling tinggi di Jawa Timur, tingginya jumlah
dispensasi perkawinan tersebut menjadi indikator bahwa tingkat pernikahan dini yang tinggi
pula.

Menikah di usia muda menurut sebagian masyarakat di Desa Karangsari merupakan hal
yang wajar, bahkan sudah menjadi budaya dan tradisi yang harus dilestarikan. Masyarakat di
Desa Karangsari yang didominasi suku Madura Pendalungan beranggapan bahwa anak dapat
menjadi penyelamat keuangan keluarga saat menikah karena anak yang belum menikah akan
menjadi beban keluarga. Selain itu, ada pula yang beranggapan bahwa anak yang menikah di
usia muda akan memiliki kehidupan yang lebih baik setelah menikah. Padahal, pernikahan di
usia muda dengan keadaan ekonomi belum stabil akan memperpanjang rantai kemiskinan.

Menurut Al-Ghifar pada umumnya anak yang sudah dianggap dewasa dan siap untuk
menikah adalah anak yang berusia 20 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan (Sari,
2016: 2). Sedangkan menurut Undang-undang perkawinan yang berlaku yakni anak laki-laki 19
tahun dan untuk perempuan 16 tahun. Jika seorang anak belum mencapai usia yang telah
ditentukan Undang-undang maka harus memperoleh izin dari orang tua ataupun wali sebagai
salah satu syarat untuk melangsungkan pernikahan yang diwujudkan dalam bentuk surat izin.
Bagi masyarakat di Desa Karangsari usia memang tidak terlalu dihiraukan, jika memang
sudah mempunyai pasangan dan sudah memiliki kecocokan diantara dua keluarga tersebut, maka
pernikahan tidak boleh ditunda lagi. Masyarakat Desa Karangsari juga memiliki kekhawatiran
yang besar dalam hal pernikahan, jika anaknya tidak kunjung menikah akan menjadi perawan
atau perjaka tua. Selain itu, budaya pernikahan dini memang sudah dilakukan sejak para
terdahulu kami, sehingga tidak dapat dipungkiri jika praktek pernikahan dini banyak dilakukan
di Desa Karangsari, Kecamatan Bantur Kabupaten Malang.

Bagi masyarakat di Desa Karangsari, keadaan ekonomi dan status pekerjaan bukan
menjadi syarat utama untuk menikah. Mereka meyakini bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah
SWT. Hal ini dapat dilihat dari pepatah orang Madura yaitu “Dunyah Iso Isareh” (Uang Bisa
Dicari). Artinya anak yang hendak menikah tidak perlu mengkhawatirkan harta karena seiring
berjalannya waktu uang dan kekuasaan bisa dicari. Faktor utama yang menjadi penyebab
terjadinya pernikahan dini di desa ini adalah cara pandang atau tradisi di masyarakat, berikutnya
adalah faktor ekonomi serta akses pendidikan yang masih minim yang akan memperngaruhi
orang tua dan anak untuk tidak melanjutkan sekolah. Selain itu, faktor sosial juga menjadi
pendorong terjadinya pernikahan ini, perempuan yang belum menikah justru akan menjadi bahan
gunjingan di masyarakat sehingga akan menciptakan rasa malu bagi keluarga.

Berangkat dari latarbelakang diatas, penulis merasa ada yang menarik dan layak untuk
dibahas. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
pernikahan dini yang terjadi di Desa Karangsari Kecamatan Bantur Kabupaten Malang dengan
mengangkat judul: “Fenomena Pernikahan Dini di Desa Karangsari Kecamatan Bantur
Kabupaten Malang”.

1.2 Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah


Dalam penelitian ini permasalahan akan difokuskan dan dibatasi hanya mengenai
fenomena pernikahan usia muda yang terjadi di Desa Karangsari. Pernikahan usia muda yang
dimaksud adalah pernkahan yang dilakukan tidak sesuai ketentuan UU.
1.2.2 Rumusan Masalah
Dari latarbelakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis
mengidentifikasi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pernikahan dini, yaitu sebagai
berikut:

1) Faktor apa saja yang mendorong masyarakat di Desa Karangsari melakukan


pernikahan dini?
2) Apa tipe tindakan sosial remaja yang melakukan pernikahan dini di Desa Karangsari?
3) Apa dampak pernikahan dini yang dirasakan masyarakat Desa Karangsari?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui faktor apa saja yang mendorong masyarakat di Desa Karangsari
melakukan pernikahan dini.
2) Untuk mengetahui tipe tindakan sosial remaja yang melakukan pernikahan dini di
Desa Karangsari.
3) Untuk mengetahui apa dampak pernikahan dini yang dirasakan masyarakat Desa
Karangsari.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis, yaitu;

1) Manfaat Teoritis
Secara Teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan
informasi di Fakultas pendidikan Illmu Sosial dan Humaniora dan diharapkan dapat
menjadi sumbangan pemikiran yang positif serta dapat memberikan suatu konstribusi
ilmu pengetahuan, agar ilmu pengetahuan tersebut dapat berkembang dan bermanfaat
bagi pembacanya.
2) Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
memberikan pemahaman kepada remaja dan masyarakat khususnya masyarakat di Desa
Karangsari Kecamatan Bantur Kabupaten Malang mengenai pernikahan dini.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Fenomena


Fenomena berasal dari kata Yunani “phaenesthai” yang artinya memunculkan,
meninggikan, dan menunjukkan dirinya sendiri (Hamid, 2015: 166). Fenomenologi juga berasal
dari bahasa Yunani, pahainomenon, yang secara harfiah berarti “gejala” atau apa yang telah
menampakkan diri sehingga nyata bagi si pengamat (Hamid, 2015: 166). Fenomenologi sebagai
salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum
Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin
Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide
dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Menurut Kuswarno fokus
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan kehidupan subjek-
subjek sadar (Adawiah, 2016: 5).

Sementara Brouwer menganggap fenomena bukan sebagai benda maupun objek di luar
diri tetapi merupakan sebuah aktifitas (Hamid, 2015: 163). Fenomena menjadi suatu objek yang
dikaji dalam fenomenologi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia fenomena adalah sebuah
hal yang bisa dapat ditinjau secara ilmiah dan bisa dinikmati oleh panca indra (KBBI, 2023).
Fenomena memanfaatkan pengalaman intuitif untuk mendapatkanhakekat dari pengalaman dan
hakekat dari apa yang dialami sebagai refleksi fenomenologi.

Fenomena berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian individu yang


memberikan pengalamannya satu sama lain (Suyanto, 2019: 27). Pada dasarnya, fenomena
merupakan tradisi untuk mengeksplor pengalaman manusia, yang dalam konteksnya manusia
aktif memahami dunia sekelilingnya sebagai suatu pengalaman dan menginterpretasikan
pengalamannya dengan memberi makna terhadap sesuatu yang dialami dengan istilah lain yaitu
tindakan yang menuju pemaknaan atau pemahaman merupakan suatu tindakan.

Berdasarkan paparan di atas, fenomena adalah suatu aktivitas yang menyangkut perilaku
kelompok entitas individu tertentu, biasanya organisme dan terutama orang. Fenomena sosial
berlaku terutama pada orang dalam keadaan subjektif yang tersirat dalam istilah tersebut. Sikap
dan peristiwa dalam suatu kelompok tersebut mempunyai efek di luar kelompok dan dapat
disesuaikan oleh masyarakat yang lebih besar atau dilihat sebagai penyimpangan dari kebiasaan.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa fenomena adalah sesuatu yang kita sadari, objek
dan kejadian di sekitar kita, orang lain atau diri kita sendiri sebagai refleksi dari pengalaman
sadar kita. Fenomena yang terjadi di Desa Karangsari Kecamatan Bantur Kabupaten Malang
adalah pernikahan dini.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Pernikahan

2.2.1 Pengertian Pernikahan


Pernikahan berasal dari kata An-nikah yang berarti meggabungkan atau mempersatukan.
Makna an-nikah secara hakiki adalah bersetubuh. Menurut Dr Ahmad Ghandur pernikahan
adalah akad nikah yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dengan perempuan
dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk kedua pihak secara
timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban (Haerudin, 2018: 13). Yang berarti nikah
merupakan akad yang menghalalkan pergaulan sebagai pasangan suami istri antara laki- laki dan
perempuan dengan tujuan membangun keluarga yang sehat secara lahir dan batin serta
menetapkan hak dan kewajiban masing-masing.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, memberikan


pengertian Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir dn batin antara laki-laki dengan perempuan
sebagai pasangan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang artinya perkawinan mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya sebatas unsur
lahir/jasmani saja, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan harmonis.

KHI (Kompilasi Hukum Islam) memberikan pengertian perkawinan dengan pernikahan


yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya termasuk ibadah (Hafas, 2021: 25). Jadi dalam hukum Islam perkawinan
selain untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan dengan tujuan membentuk keluarga yang
sakinah juga termasuk mentaati perintah Allah SWT dan dalam melaksanakannya merupakan
ibadah.
Menurut Hadikusuma dalam hukum adat, perkawinan merupakan suatu proses
menyatukan dua manusia, keluarga dengan tujuan memperbanyak atau memperluas ikatan
kekerabatan (Sembiring, 2014: 76). Yang artinya suatu perkawinan dianggap bukan hanya
menyatukan dua insan saja akan tetapi menyatukan banyak individu agar ikatan kekerabatan
semakin luas dan erat. Dalam hukum adat pernikahan dianggap sangat penting karena peristiwa
pernikahan itu bukan saja untuk mereka yang masih hidup akan tetapi juga sepenuhnya
mendapat perhatian dan diikuti arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa arti pernikahan atau
perkawinan adalah upacara atau akad perikatan untuk memperbolehkan atau menghalalkan
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan mewujudkan kebahagiaan
hidup rumah tangga yang harmonis diliputi rasa ketentraman.

2.2.2 Pengertian Pernikahan dini


Yang dimaksud pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan sebelum calon
mempelai baik calon laki-laki maupun perempuan mencapai usia yang telah ditetapkan oleh
Undang-undang , yaitu bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun (Husein dkk, 2014: 73).
Pernikahan tersebut dilakukan dengan tidak mengikuti aturan batasan usia dari pemerintah yang
dilakukan dengan meminta dispensasi ke Kantor Pengadilan Agama atau dicatatkan ke KUA
namun dengan memanipulasi usia calon pengantin.

Pernikahan dini juga dapat diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami istri pada usia yang masih muda/remaja (Khairunnisa, 2021: 50) Yang
artinya pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu dari pasangannya masih
dikategorikan remaja yang berusia dibawah 19 tahun.

Menikah diusia dini terutama di bawah usia 20 tahun ternyata memiliki risiko yang cukup
mengkhawatirkan. Secara mental belum siap menghadapi perubahan yang terjadi saat kehamilan,
belum siap menjalankan peran sebagai seorang ibu dan belum siap menghadapi masalah-masalah
berumah tangga yang sering kali melanda kalangan keluarga yang baru melangsungkan
perkawinan, karena masih dalam proses penyesuaian (Anwar, 2017: 3). Dengan demikian
pernikahan yang dilakukan dengan usia, mental dan pola pikir yang belum matang dapat
berakibat tidak terpenuhinya tanggung jawab dan kewajiban dalam rumah tangga serta tidak
akan terwujudnya keluarga yang sejahtera.

Dari segi kesehatan, pernikahan yang ideal adalah untuk perempuan diatas 20 tahun sudah
boleh menikah, sebab perempuan yang menikah di bawah umur berisiko terkena kanker rahim,
keguguran dan penyakit yang lainnya (Tukiman, 2015: 38). Dengan demikian, dapat diketahui
bahwasannya pernikahan dini sangat berdampak besar dalam kesehatan terutama bagi
perempuan.

Usia pernikahan yang terlalu muda dapat berakibat meningkatnya kasus perceraian juga
dikarenakan kurangnya pemahaman dan kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan
berumahtangga.

2.2.3 Pernikahan Usia Muda Perspektif Sosiologi


Dari sisi Sosiologi, pernikahan usia muda merupakan upaya untuk mempersatukan dua
keluarga besar dari pasangan yang akan menikah (Maulana dkk, 2023: 58). Dari bersatunya dua
keluarga itu maka akan terbentuk pranata sosial yang mempersatukan banyak individu dari dua
keluarga yang berbeda dalam satu ikatan hubungan. Dengan adanya pernikahan maka status
sosial dalam kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami istri dan sah secara
agama. Dengan demikian, pernikahan di usia muda memang bukanlah penghalang untuk
menciptakan suatu tatanan sosial dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan harmonis.

Pernikahan usia muda bukanlah hal yang mudah dilakukan tanpa syarat apapun,
pernikahan usia muda akan dianggap sah apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai
berikut:

1) Wali akan bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan dan pengurusan nikah.
2) Pernikahan dilakukan dengan tujuan niat baik dan adil.
3) Bilamana pernikahan dilakukan atas dasar perjodohan, anak yang dijodohkan
menyatakan persetujuannya. Jika anak yang menikah usia muda tidak akan kehilangan
haknya untuk menolak, yang mana berarti kedudukan sebagai subjek poko dalam
pernikahan tetap dijamin sesuai dengan ajaran agama Islam (Tayib, 1992: 39).
Jika dalam pernikahan telah memenuhi syarat diatas, maka pernikahan boleh dilakukan.
Namun, jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka pernikahan tidak boleh dilakukan. Hal ini
dikarenakan akan berdampak pada keberlangsungan kehidupan rumah tangga pasangan.

2.2.4 Batas Usia Ideal untuk Menikah


Keberagaman batas usia dewasa seseorang masih diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
kasus yang terjadi di lingkungan masyarakat. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan
sesuai dengan yang ditentukan juga secara berbeda-beda mengenai batas usia dewasa seseorang.
Hal ini secara tidak langsung menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, mengenai mana
peraturan yang harus dipenuhi. Ada beberapa jenis hukum yang berlaku di Indonesia mengenai
batasan-batasan usia dewasa dalam berbagai peraturan perundangundangan, yaitu hukum
perdata, hukum pidana, serta hukum adat sebagai norma-norma hukum yang berlaku di
Indonesia.

Berdasarkan putusan Kementrian Sekretariat Negara RI dalam konsep hukum perdata,


pendewasaan terbagi menjadi 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk
beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang telah
ditetapkan oleh undang-undang. Untuk pendewasaan penuh, syaratnya adalah telah sampai usia
20 tahun penuh, dan untuk pendewasaan terbatas, syaratnya adalah telah berusia 18 tahun penuh.
Dalam hukum perdata juga dikenal dengan usia dewasa dan belum dewasa. Usia dewasa adalah
apabila telah berumur 21 tahun, atau belum berusia 21 tahun akan tetapi sudah/sudah pernah
menikah. Sedangkan usia belum cukup umur adalah yang belum mencapai usia 21 tahun da
belum kawin sebelumnya. Bila sebelum usia 21 tahun perkawinannya diputus, maka ia tidak
kembali menjadi orang yang belum cukup umur.

Dalam hukum adat sebagai norma hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak mengenal
adanya batas usia dewasa karena hukum adat lebih kepada isidental saja, apakah seseorang
tersebut patut dianggap cakap atau tidak dalam melakukan hukum perbuatan hukum tertentu
(Mursidah, 2022). Dengan demikian, dalam hal pernikahan hukum adat tidak memberikan
batasan usia terhadap calon pasangan, asalkan tidak melanggar hukum atau aturan tertentu maka
pernikahan usia muda boleh dilakukan.
Dalam ketentuan Undang-undang jabatan Notaris menyatakan bahwa batas usia minimal
adalah 18 tahun atau sudah menikah. Menurut Akbar dalam agama Islam tidak dijelaskan
mengenai batasan usia dewasa, tetapi hal ini dapat dilihat ketika seseorang telah mencapai usia
akil baligh (Rohmah, 2021: 35). Hal ini ditandai dengan dengan haid pertama bagi perempuan.
Di Indonesia, perempuan rata-rata haid pada usia 13 tahun sedangkan untuk laki-laki telah
bermimpi basah (ejakulasi) untuk boleh dinikahkan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam bab XIV tentang Pemeliharaan Anak,
Pasal 98 ayat (1) dijelaskan bawasanya “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan”. Yang artinya seseorang dapat melangsungkan pernikahan ketika
usia anak sudah benar-benar matang baik secara fisik maupun mental tidak ada kecacatan.

2.3 Pengertian Masyarakat


Salah satu definisi dari masyarakat pada awalnya adalah a union of families atau
masyarakat merupakan gabungan atau kumpulan dari keluarga-keluarga (Mangambe dkk., 2023:
39). Awal dari masyarakat pun dapat kita katakan berasal dari hubungan antar individu,
kemudian kelompok yang lebih membesar lagi menjadi suatu kelompok besar orang-orang yang
disebut dengan masyarakat

Masyarakat adalah suatu kesatuan yang selalu berubah yang hidup karena proses
masyarakat. Masyarakat terbentuk melalui hasil interaksi yang kontinyu antar individu. Dalam
kehidupan bermasyarakat selalu dijumpai saling pengaruh mempengaruhi antar kehidupan
individu dengan kehidupan bermasyarakat (Mangambe dkk, 2023: 39). Istilah Masyarakat
(Society) artinya tidak diberikan ciri-ciri atau ruang lingkup tertentu yang dapat dijadikan
pegangan, untuk mengadakan suatu analisa secara ilmiah. Istilah masyarakat mencakup
masyarakat sederhana yang buta huruf, sampai pada masyarakat-masyarakat industrial moderen
yang merupakan suatu negara. Istilah masyarakat juga digunakan untuk menggambar kelompok
manusia yang besar, sampai pada kelompok-kelompok kecil yang terorganisasi

Definisi Masyarakat adalah golongan besar atau kecil yang terdiri dari beberapa manusia
yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu
sama lain. Menurut Soekanto istilah Masyarakat kadang-kadang digunakan dalam artian
"gesellaachafi" atau sebagai asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
terbatas isinya, sehingga direncanakan pembentukan organisasi- organisasi tertentu (Hutapea and
Marlina, 2022: 234). Masyarakat adalah kelompok manusia yang sengaja dibentuk secara
rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Suatu totalitas dari orang-orang yang
saling tergantung dan yang mengembangkan suatu kebudayaan tersendiri juga disebut
masyarakat. Walaupun penggunaan istilah-istilah masyarakat masih sangat samar-samar dan
umum, akan tetapi hal itu dapat dianggap indikasi dari hakikat manusia yang senantiasa ingin
hidup bersama dengan orang-orang lain.

Berdasarkan pengertian menurut pendapat diatas maka dapat disimpulkan masyarakat


adalah hubungan satu orang/sekelompok orang- orang yang hidup secara mengelompok maupun
individu dan berinteraksi satu sama lain saling pengaruh dan mempengaruhi menimbulkan
perubahan sosial dalam kehidupan.

Hubungan masyarakat dan fenomena saling berkesinambungan, fenomena sosial tidak


akan lepas dari kehidupan yang ada di berbagai lapisan masyarakat. Fenomena yang terjadi
biasanya akan memiliki pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian fenomena tersebut
akan melebur dengan masyarakat, baik yang bersifat positif ataupun negatif. Seperti fenomena
yang akan peneliti bahas tentang pernikahan dini.

2.4 Teori Tindakan Sosial Max Weber


Max Weber mengatakan, individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang
kreatif dan realitas yang statis daripada paksaan fakta sosial (Purwanti, 2022: 2). Artinya,
tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma, kebiasaan, nilai dan sebagainya yang
tercakup didalam konsep fakta sosial. Walaupun pada akhirnya Weber mengakui bahwa dalam
masyarakat terdapat struktur sosial dan pranata sosial. Dikatakan bahwa struktur sosial dan
pranata sosial merupakan konsep yang saling berkaitan dalam membentuk tindakan sosial.

Konsep Weber tentang fakta sosial bebeda sekali dari konsep Durkheim. Weber tidak
memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dengan pranata sosial. Struktur sosial dan
pranata sosial keduanya membantu untuk membentuk tindakan manusia yang penuh dengan
makna atau penuh arti. Mempelajari perkembangan suatu pranata khusus dari luar tanpa
memperhatikan tindakan manusianya sendiri, menurut Weber berarti mengabaikan segi-segi
yang prinsipil dari kehidupan sosial. Perkembangan dari suatu hubungan sosial dapat pula
diterangkan melalui tujuan-tujuan dari manusia yang melakukan hubungan sosial itu ketika ia
mengambil manfaat dari tindakanya, memberikan perbedaan makna kepada tindakan itu sendiri
dalam perjalanan waktu. Weber sebagai pengemuka exemplar dari paradigma ini mengartikan
sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Kedua hal itulah yang
menurutnya menjadi pokok persoalan sosiologi. Inti tesisnya adalah “tindakan yang penuh
arti”dari individu. Yang dimaksudkan dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu
sepanjang tindakanya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati
atau objek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan tindakan sosial.
Tindakan seorang melemparkan batu ke dalam sungai bukan merupakan tindakan sosial. Tapi
tindakan tersebut dimaksudkan untuk menimbulkan reaksi dari orang lain seperti menganggu
orang yang sedang memancing misalnya, itu merupakan tindakan sosial karena adanya reaksi
dari seseorang. Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan
memahami tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kapada penjelasan kausal.
Dalam definisi ini terkandung dua konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Konsep terakhir
ini menyangkut metode untuk menerangkan yang pertama.

Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata
diarahkan kepada orang lain, juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersiafat
subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu (Ritzer, 2014: 37).
Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang
serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu.

Tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang
diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu atau waktu yang akan datang. Dilihat dari segi
sasaranya, maka “pihak sana” yang menjadi sasaran tindakan sosial aktor dapat berupa seorang
individu atau sekumpulan orang. Dengan membatasi suatu perbuatan lainya tidak termasuk
kedalam obyek penyelidikan sosiologi (Ritzer, 2014: 39). Contohnya disinggung di atas,
tindakan nyata tidak termasuk sebagai tindakan sosial kalau secara khusus diarahakan kepada
obyek mati. Karena itu pula maka Weber mengeluarkan beberapa jenis interaksi sosial dari teori
aksinya. Dua pengendara sepeda yang bertabrakan karena kurang hati-hati bukan termasuk
tindakan sosial. Begitu pula orang yang sama-sama membuka payungnya pada waktu hujan
bukan tindakan sosial karena tindakanya itu diarahkan kepada hujan bukan kepada orang lain.
Masa atau kerumunan yang histeris serta peniruan murni juga dikeluarkan dari obyek sosiologi.
Sebabnya ialah karena reaksi yang timbul itu tanpa sesuatu yang diarahkan kepada orang lain.
Apabila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja dia tidak akan yakin bahwa
perbuatan ini mempunyai arti subyektif dan diarahkan kepada orang lain. Peneliti sosiologi harus
mencoba menginterpretasikan tindakan aktor. Dalam artian yang mendasar, sosiolog harus
memahami motif dari tindakan aktor.

Teori tindakan sosial Max Weber berorientasi pada motif dan tujuan pelaku. Dengan
menggunakan teori ini kita dapat memahami perilaku setiap individu maupun kelompok bahwa
masing-masing memiliki motif dan tujuan yang berbeda-beda terhadap sebuah tindakan yang
dilakukan. Teori ini bisa memahami tipe-tipe perilaku tindakan setiap individu maupun
kelompok, dengan memahami perilaku setiap individu ataupun kelompok, sama halnya kita telah
menghargai dan memahami alasan-alasan mereka dalam melakukan tindakan.

Weber melakukan klaksifikasi dari empat tipe tindakan yang dibedakan dalam konteks
dan motif para pelaku yaitu: pertama, Tindakan Tradisional yaitu tindakan yang ditentukan oleh
kebiasan-kebiasan yang sudah mengakar secara turun-temurun. Kedua, Tindakan Afektif,
merupakan tindakan yang ditentukan oleh kondisi-kondisi dan orientasiorientasi emosional aktor.
Ketiga, Rasional Instrumental, adalah tindakan yang ditunjukan pada pencapaian tujuan-tujuan
yang secara rasional diperhitungkan dan diupayakan sendiri oleh aktor yang bersangkutan.
Keempat, rasional nilai, yaitu tindakan berdasarkan nilai yang dilakukan untuk alasan-alasan dan
tujuan yang ada kaitanya dengan nilai-nilai yang diyakini secara personal aktor tanpa
meperhitungkan prospek-prospek yang ada kaitannya dengan behasil atau gagalnya tindakan
tersebut (Norkholis dkk, 2016: 242).

2.5 Pergaulan Bebas


Menurut KBBI Pergaulan artinya proses bergaul, sedangkan bebas yaitu lepas sama
sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga boleh bergerak, berbicara, berbuat,
dsb, dengan leluasa), tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan (Tari, 2019: 203). Yang
artinya pergaulan bebas adalah perilaku yang menyimpang dan melewati batas serta melanggar
nilai dan norma agama maupun kesusilaan.
Menurut Siti Suhaida, mengatakan pergaulan bebas identik dengan pergaulan remaja
yang menyimpang dan yang biasanya mengarah terhadap perbuatan seks (Tari, 2019: 2003).
Berdasarkan penjelasan itu, maka penulis menguraikan beberapa bentuk pergaulan bebas remaja
yang sering terjadi di kalangan masyaraka, yaitu: (1) mengkonsumsi narkoba (obat-obatan
terlarang) (2) kehamilan di luar nikah (3) tawuran antar kelompok (4) menonton pornografi dll.

Pergaulan bebas dikalangan remaja saat ini sangat memprihatinkan, bahkan pergaulan
bebas bukan merupakan hal baru yang ada dimasyarakat. Perilaku yang tidak terpuji ini telah
menjadi kebiasaan di masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda, makanya tidak heran
jika banyak remaja putri hamil di luar nikah. Menurut Fajri Kasim terjadinya disebabkan
minimnya perhatian orang tua yang kemudian membuat anak muda mencari kesenangan di luar
rumah (Tari, 2019: 203). Umumnya remajaakan bergaul dengan siapa saja dan memungkinkan
terpengaruh dengan hal-hal baru baik positif maupun negatif. Sedangkan menurut Yushak
Susielo, perilaku seks bebas juga dapat disebabkan oleh tidak adanya pendidikan seks yang
memadai dalam keluarga terhadap remaja (Tari, 2019: 204). Oleh karena itu, keluarga memiliki
peran yang sangat penting dalam membentuk perkembangan dan kepribadian anak, selain itu
keluargai juga sebagai pengontrol bagi anak remajanya untuk dapat memberikan batasan-batasan
dalam menjalani kehidupan sosial.

2.6 Stratifikasi Sosial


Dalam kehidupan masyarakat terdapat suatu istilah yang kita kenal dengan stratifikasi
sosial, yakni pengelompokan masyarakat kedalam tingkatan-tingkatan berdasar sesuatu yang
dimiliki baik itu berupa uang atau benda-benda bernilai ekonomis, kekuasaan, ilmu pengetahuan,
kesalehan dalam agama ataupun keturunan keluarga yang terhormat. Menurut Elly dkk tingkat
kemampuan memiliki sesuatu yang dihargai inilah yang kemudian melahirkan sistem pelapisan
sosial (stratifikasi sosial) yang lebih merujuk kepada pengelompokkan orang ke dalam tingkatan
atau strata dalam hierarki secara vertikal (Aguayo, 2021: 20).

Menurut Pitirim A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai sebuah


pengelompokan penduduk atau masyarakat ke dalam sebuah kelas-kelas yang mempunyai
tingkatan tertentu (Aguayo, 2021: 20). Perwujudannya adalah dalam bentuk posisi dan
kedudukan antar individu atau antar kelompok dalam keadaan yang tidak sederajat, artinya
terdapat kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dengan demikian, stratifikasi sosial sering kali
dikaitkan dengan persoalan ketidak seimbangan, kesenjangan atau polarisasi sosial. Sedangkan
dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam
pembagian hak dan kewajiban, yakni kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan
pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.

Elly menyatakan Sifat dari sistem pelapisan sosial yang terdapat dalam masyarakat ada
bersifat tertutup dan terbuka (Aguayo , 2021: 21). Pada sistem pelapisan tertutup tidak
memungkinkan seseorang berpindah dari tingkatan satu ketingkatan yang lain. Masyarakat pada
sistem pelapisan tertutup memperoleh posisi atau kedudukannya melalui kelahiran. Misalnya,
masyarakat berkasta, masyarakat feodal, atau masyarakat yang sistem pelapisannya ditentukan
oleh perbedaan rasial (etnik). Lain halnya pada sistem pelapisan terbuka, pada sistem ini setiap
anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama utuk berusaha naik pada pelapisan sosial
yang lebih tinggi.

Berdasarkan beberapa pemahaman tentang stratifikasi sosial di atas, maka dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa stratifikasi sosial merupakan pengelompokan atau pembedaan orang-
orang yang memiliki posisi/kedudukan yang sama dalam sebuah rangkaian kesatuan status
sosial. Pengelompokkan dapat berdasarkan beberapa aspek di antaranya kekayaan, kekuasaan,
ilmu pengetahuan, agama ataupun keturunan.

2.7 Penelitian Terdahulu


Dalam skripsi yang berjudul “Fenomena Pernikahan Dini di Desa Karangsari Kecamatan
Bantur Kabupaten Malang” memang bukan satu-satunya dan pertama kali dilakukan. Karena dari
literatur ilmiah maupun buku-buku yang telah peneliti telaah, ada beberapa yang membahas
tentang masalah yang sama meskipun dalam porsi dan spesifikasi yang berbeda. Oleh sebab itu
untuk mengetahui keaslian penelitian ini, peneliti akan mengemukakan beberapa penelitian
terdahulu, antara lain:

1. Penelitian Jurnal yang berjudul “Dampak Pernikahan Usia Dini (Analisis Feminis Pada
Pernikahan Anak Perempuan Di Desa Cibunar Kecamatan Cibatu Kabupaten Garut) yang
ditulis oleh Rovi Husnaini, Devi Soraya (Husnani and Soraya, 2020) (2020). Dalam jurnal
penelitian ini membahas tentang dampak pernikahan dini berdasarkan analisis feminisme
liberal yang mengkategorikan perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan dan
pendidikan yang sama, penelitian ini menghasilkan bahwa perempuan Perempuan Di Desa
Cibunar masih banyak yang mengalami pernikahan dini dan tidak memiliki kesempatan atau
hak dalam mengenyam pendidikan, namun mayoritas mengalami pernikahan usia dini.

2. Penelitian Skripsi dengan Judul “Fenomena Pernikahan Usia Muda di Masyarakat


Madura (Studi Kasus di Desa Serabi Barat Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan) yang
ditulis oleh Titi Nur Indah Sari (Sari, 2016) (2016). Penelitian ini meghasilkan beberapa
temuan diantaranya ialah kebiasaan masyarakat Desa Serabi Barat yang banyak melakukan
pernikahan usia muda yang dilakukan secara sirri (tidak di daftarkan ke KUA) dengan alasan
proses yang harus dilalui terlalu berbelit-belit dan biaya yang harus dikeluarkan dianggap
teralu mahal. Sehingga penelitian ini memfokuskan untuk mencari solusi untuk mengurangi
peningkatan kasus pernikahan dini.

3. Skripsi yang ditulis oleh Nadya Ozora, mahasiswa jurusan Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2020 dengan judul “Analisis Hukum Batas Umur
Untuk Melangsungkan Perkawinan Dalam Perspektif UU No.16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Fokus
penelitian pada skripsi ini untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi batas umur 19 tahun
untuk melangsungkan perkawinan, serta untuk mengetahui mengapa batasan usia untuk
melangsungkan perkawinan disamakan 19 tahun dalam perspektif Undang-Undang No.16
tahun 2019.

4. Penelitian Skripsi dengan Judul “Fenomena Pernikahan Dini dan Perceraian


Masyarakat Desa Bantur (Studi di Desa Bantur Kecamatan Bantur Kabupaten Malang)”
ditulis oleh Alma Waddatur Rohmah (Rohmah, 2021) (2021). Penelitian ini menghasilkan
bahwa angka perceraian di Desa Bantur terjadi dengan faktor utama pernikahan dini serta
didorong dengan faktor-faktor lain seperti faktor fasilitas disebabkan karena minimnya
sarana yang disediakan untuk penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan faktor
masyarakat yang disebabkan minimnya pengetahuan mengenai pendidikan dan hakikat
pernikahan, serta faktor budaya yang menjadikan masyarakat tersebut awam terhadap
hukum.
Dari ke-empat penelitian di atas memiliki kesamaan yaitu sama-sama membahas tentang
kasus pernikahan dini. Dan untuk perbedaan sangatlah berbeda dengan skripsi yang penulis
susun, perbedaan yang paling mendasar adalah pokok masalah yang dibahas dengan sudut
pandang yang jauh berbeda walaupun fokus penelitian sama halnya pada kasus pernikahan dini.
Penulis akan lebih menonjolkan faktor penyebab terjadinya kenaikan. Penelitian terdahulu ini
menjadi salah satu acuan peneliti dalam melakukan penelitian sehingga peneliti dapat
memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan.
2.8 Kerangka Pemikiran

Fenomena Pernikahan Dini

Perlu ada analisis faktor, pandangan


dan dampak pada permasalahan
pernikahan dini di Desa Karangsari

Faktor Penyebab Dampak


Pandangan
Masyarakat

Internal Eksternal

Kepala KUA Sosial-


Bantur Ekonomi

Penghulu Desa Ketua PKK


Karangsari Desa Karangsari
Psikologis

Kesehatan
BAB III
METODE PENELITIAN

Dalam sebuah penelitian sudah pasti didasari dengan metode penelitian, metode
penelitian adalah satuan sistem yang harus dicantumkan serta dilaksanakan selam proses
penelitian berlangsung. Metode penelitian ini sangat penting karena menentukan proses suatu
penelitian untuk mencapai tujuan akhir penelitian. Selain itu, metode penelitian juga merupakan
cara untuk melakukan penyelidikan dengan menggunakan cara-cara tertentu yang sudah
ditetapkan untuk mendapatkan kebenaran secara ilmiah. Dengan demikian, peneliti
menggunakan metode purposive sampling dengan cara peneliti menentukan narasumber yang
sesuai dengan tujuan penelitian agar hasil penelitian yang dilakukan lebih representatif.

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan yaitu Yuridis Empiris atau disebut juga penelitian hukum
sosiologis (penelitian lapangan), Penelitian Yuridis Empiris adalah suatu penelitian yang
dilakukan terhadap keadaan yang sebenarnya yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk
mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan (Benuf, 2020: 27). Dengan
demikian tujuan utama dalam penelitian ini mengkaji ketentuan hukum serta apa yang terjadi
dalam kenyataan masyarakat. Penelitian empiris ini menggunakan sumber data utama yang
didapat dari hasil wawancara, observasi serta dokumentasi. Dengan demikian penelitian ini
berkaitan langsung dengan fakta/kenyataan yang ada di Desa Karangsari Kecamatan Bantur
Kabupaten Malang dalam permasalahan pernikahan dini.

3.2 Informan Penelitian


Informan dalam penelitian ini akan dipilih secara Porposive adalah penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu, teknik ini dilakukan dengan pengambilan sampel dan menentukan
terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian pemilihan sampel dilakukan
dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan tidak menyimpang dari ciri-ciri sampel yang
ditetapkan.
3.2.1 Informan Kunci (Key Informan)
Informan Kunci (Key Informan) pada penelitian ini adalah orang yang melakukan
pernikahan dini. Hal ini dikarenakan orang tersebut mengetahui dan memahami pernikahan dini
sebagai pelaku utama.

3.2.2 Informan Tambahan


Yaitu siapa saja yang ditemukan di wilayah penelitian atau orang-orang yang relevan dan
terlibat dalam pernikahan dini yang diduga dapat memberikan infromasi tentang masalah yang
diteliti. Informan tambahan dalam penelitian ini adalah penghulu Desa Karangsari, kepala KUA
Bantur, dan ketua PKK Desa Karangsari.

3.3 Sumber Data


Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data primer dan data
sekunder.

3.3.1 Data Primer


Data primer merupakan data utama yang diperoleh langsung dari sumber pertama melalui
wawancara atau dengan melakukan pengamatan secara langsung pada masyarakat untuk
mengetahui perilaku hidupnya (Setiawati, 2021: 32). Dalam hal ini, sumber data diperoleh dari
wawancara langsung kepada :

1. Pelaku Pernikahan Dini


2. Penghulu Desa Karangsari
3. Kepala KUA Bantur
4. Ketua PKK Desa Karangsari

3.3.2 Data Sekunder


Data Sekunder adalah data pendukung serta memperkuat data-data primer yang sudah
diperoleh. Data sekunder dapat diambil dari dokumen resmi, buku, hasil penelitain yang
berhubungan dengan objek kajian (Setiawati, 2021: 32). Dalam penelitain ini peneliti
menggunakan undang-undang, buku, skripsi, jurnal yang berhubungan objek kajian.
3.4 Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini permasalahan akan difokuskan hanya mengenai pernikahan dini
yang terjadi di Desa Karangsari Kecamatan Bantur dan pernikahan usia dini yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah pernikahan yang dilakukan tidak sesuai ketentuan Undang-undang.

3.5 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Karangsari Kecamatan Bantur Kabupaten Malang
yang berfokus pada permasalahan pernikahan dini. Alasan penelitian fokus pada lokasi ini yakni
berdasarkan pada fenomena yang berkorelasi dengan pernikahan dini.

3.6 Metode Pengumpulan Data


Pada bagian ini peneliti mendapatkan data yang akurat dan otentik karena dilakukan
dengan mengumpulkan sumber data baik primer maupun sekunder, yang disesuaikan dengan
pendekatan penelitian. Teknik pengumpulan data primer dan data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:

3.6.1 Wawancara
Wawancara merupakan proses tanya jawab yang dilakukan oleh penanya dengan
penjawab atau narasumber untuk memperolah keterangan atau informasi terkait permasalahan
yang diambil oleh penanya dengan menggunakan interview guide (paduan wawancara)
(Setiawati, 2021: 33). Wawancara digunakan untuk memperoleh suatu informasi yang benar dan
akurat dari keterangan-keterangan yang ada. Wawancara langsung sebagai pengumpulan fakta
sosial untuk bahan kajian analisa yuridis sosiologis pada kebijakan tersebut. Pada penelitian ini
penulis menggunakan jenis wawancara bebas terpimpin, yaitu pewawancara bebas menanyakan
apa saja kepada narasumber namun harus sesuai dengan pedoman tentang pertanyaan secara
garis besar.

3.6.2 Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data melalui pengamatan (Setiawati, 2021: 33).
Dengan melakukan observasi peneliti dapat mengamati objek penelitian dengan lebih cermat
dan detail, misalnya peneliti dapat mengamati kegiatan objek yang diteliti. Pengamatan itu
selanjutnya dapat dituangkan ke dalam bahasa verbal.
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa,
perilaku, tempat atau lokasi, dan benda serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan baik
secara langsung maupun tidak langsung (Sutopo, 2006: 75). Dalam hal penelitian ini dilakukan
secara langsung dan tidak langsung, observasi langsung didapatkan pengalaman dari orang-orang
yang terlibat dalam pernikahan dini tersebut.

3.6.3 Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang berwujud sumber data tertulis atau
gambar (Setiawati, 2021: 34). Sumber tertulis atau gambar berbentuk dokumen resmi, buku,
majalah, arsip, dokumen pribadi, dan foto yang terkait dengan permasalahan penelitian yang
dilakukan sebagai bukti adanya fenomena yang sudah dilakukan dengan berupa arsip maupun
peraturan yang ada. Dalam hal ini dokumentasi diambil dalam proses wawancara kepada
narasumber, selain itu juga akan dicantumkan dokumentasi pernikahan dini yang peneliti
dapatkan dari narasumber.

3.7 Metode Analisis Data


Setelah data-data yang berkaitan dengan konsep berkeluarga pasangan pelaku pernikahan
dini, maka tahapan selanjutnya adalah pengolahan data. Dan agar tidak terjadi kesalahan maka
yang dilakukan adalah:

3.7.1 Edit
Menurut Abu Achmadi edit adalah kegiatan yang dilakukan setelah menghimpun data di
lapangan memeriksa kembali data-data yang telah diperoleh dari narasumber terkait
permasalahan yang kita teliti (Setiawati, 2021: 34). Proses ini menjadi penting karena
kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadangkala belum memenuhi harapan peneliti, ada
diantaranya yang kurang bahkan terlewatkan. Oleh karena itu, dalam melengkapi penelitian ini,
maka proses Edit sangat diperlukan dalam penelitian untuk mengurangi hal-hal yang dianggap
tidak perlu dicantumkan.

3.7.2 Klasifikasi
Klasifikasi merupakan proses pengelompokkan data yang telah diperoleh dari hasil
wawancara dan observasi (Setiawati, 2021: 35). Agar penelitian ini lebih sistematis, maka data
hasil wawancara diklasifikasikan berdasarkan kategori tertentu, yaitu berdasarkan pertanyaan-
pertanyaan yang sesuai dengan rumusan masalah. Sehingga data yang diperoleh benar-benar
memuat informasi yang dibutuhkan. Karena ada kalanya mewawancarai narasumber kemudian
narasumber bercerita terlalu panjang dan bagi peneliti hal tersebut harus didengar, sehingga
klasifikasi sangat diperlukan dalam penelitian ini.

3.7.3 Verifikasi
Verifikasi adalah mengecek kembali data-data yang sudah terkumpul untuk mengetahui
keabsahan datanya apakah benar-benar sudah valid dan sesuai dengan yang diharapkan
(Setiawati, 2021: 35). Tahap Verifikasi ini merupakan tahap pembuktian kebenaran dengan
mengkroscek rekaman hasil wawancara apakah cocok/valid dengan hasil yang dituliskan.

3.7.4 Analisis
Analisis Data Kualitatif yaitu mengolah semua data yang telah terkumpul dari berbagai
sumber sehingga memunculkan gagasaan baru (Setiawati, 2021: 36). Proses mengurutkan data
ke dalam pola, kategori serta satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja. Analisis data kualitatif dilakukan dengan jalan bekerja dengan data
mengorganisasikan data dan memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan menemukan apa
yang diceritakan oleh orang lain. Analisis Data Kualitatif yaitu mengolah semua data yang telah
terkumpul dari berbagai sumber sehingga memunculkan gagasaan baru

3.7.5 Kesimpulan
Kesimpulan merupakan langkah terakhir dalam pengolahan teknik data. Yaitu
menyimpulkan dari analisis data untuk menyempurnakan penelitian ini, sehingga mendapatkan
keluasan ilmu khususnya bagi peneliti serta bagi pembacanya. Pada tahap ini peneliti membuat
kesimpulan dari keseluruhan data-data yang telah diperoleh dari kegiatan penelitian yang sudah
dirangkum dalam bab kesimpulan. Menurut Arikunto dalam kesimpulan ini nantinya rumusan
masalah yang digunakan dalam suatu penelitian akan terjawab (Setiawati, 2021: 37).

3.8 Uji Keabsahan Data


Validitas atau keabsahan data adalah data yang tidak berbeda antara data yang diperoleh
oleh peneliti dengan data yang terjadi sesungguhnya pada objek penelitian sehingga keabsahan
data yang telah disajikan dapat dipertanggungjawabkan.
Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada dasarnya, selain digunakan untuk
menyanggah balik yang dituduhkan kepada penelitian kualitatif yang mengatakan tidak ilmiah,
juga merupakan sebagai unsur yang tidak terpisahkan dari tubuh pengetahuan penelitian
kualitatif (Moelong, 2002:105).

Menurut Sugiyono teknik pemeriksaan keabsahan data pada penelitian kualitatif


diantaranya meliputi uji, credibility, transferability, dependability, dan confirmability
(Mekarisce, 2020: 147).

3.8.1 Credibility
kredibilitas disebut validitas internal. Dalam penelitian kualitatif, data dapat dinyatakan
kredibel apabila adanya persamaan antara apa yang dilaporkan peneliti dengan apa yang
sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (Mekarisce, 2020: 147). Uji credibility
(kredibilitas) atau uji kepercayaan terhadap data hasil penelitian yang disajikan oleh peneliti agar
hasil penelitian yang dilakukan tidak meragukan sebagai sebuah karya ilmiah dilakukan.

a. Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan pengamatan dapat meningkatkan kredibilitas/ kepercayaan data. Dengan


perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan,
wawancara lagi dengan sumber data yang ditemui maupun sumber data yang lebih baru.
Perpanjangan pengamatan berarti hubungan antara peneliti dengan sumber akan semakin terjalin,
semakin akrab, semakin terbuka, saling timbul kepercayaan, sehingga informasi yang diperoleh
semakin banyak dan lengkap.

Perpanjangan pengamatan untuk menguji kredibilitas data penelitian difokuskan pada


pengujian terhadap data yang telah diperoleh. Data yang diperoleh setelah dicek kembali ke
lapangan benar atau tidak, ada perubahan atau masih tetap. Setelah dicek kembali ke lapangan
data yang telah diperoleh sudah dapat dipertanggungjawabkan/benar berarti kredibel, maka
perpanjangan pengamatan perlu diakhiri (Mekarisce, 2020: 148).

b. Meningkatkan kecermatan dalam penelitian

Meningkatkan kecermatan atau ketekunan secara berkelanjutan maka kepastian data dan
urutan kronologis peristiwa dapat dicatat atau direkam dengan baik, sistematis. Meningkatkan
kecermatan merupakan salah satu cara mengontrol/mengecek pekerjaan apakah data yang telah
dikumpulkan, dibuat, dan disajikan sudah benar atau belum.

Untuk meningkatkan ketekunan peneliti dapat dilakukan dengan cara membaca berbagai
referensi, buku, hasil penelitian terdahulu, dan dokumen-dokumen terkait dengan
membandingkan hasil penelitian yang telah diperoleh (Mekarisce, 2020: 148). Dengan cara
demikian, maka peneliti akan semakin cermat dalam membuat laporan yang pada akhirnya
laporan yang dibuat akan smakin berkualitas.

c. Triangulasi

Menurut Sugiyono Triangulasi diartikan sebagai kegiatan pengecekan data melalui


beragam sumber, teknik, dan waktu (Mekarisce, 2020: 148). Tujuan triangulasi adalah untuk
meningkatkan kekuatan teoritis, metodologis, maupun interpretatif dari penelitian kualitatif.

1) Triangulasi Sumber

Menurut Sugiyono ntuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data
yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang diperoleh dianalisis oleh peneliti
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check)
dengan tiga sumber data (Mekarisce, 2020: 148)

2) Triangulasi Teknik

Menurut Sugiyono Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data
kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda (Mekarisce, 2020: 148). Misalnya untuk
mengecek data bisa melalui wawancara, observasi, dokumentasi. Bila dengan teknik pengujian
kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang berbeda, maka peneliti melakukan diskusi
lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan untuk memastikan data mana yang dianggap
benar.

3) Triangulasi Waktu

Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber
masih segar, akan memberikan data lebih valid sehingga lebih kredibel. Selanjutnya dapat
dilakukan dengan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau
situasi yang berbeda. Menurut Sugiyono bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka
dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya (Mekarisce,
2020: 149).

d. Analisis Kasus Negatif

Menurut Sugiyono analisis kasus negatif merupakan suatu kondisi data/kasus yang
berbeda dengan hasil penelitian (Mekarisce, 2020: 149). Melakukan analisis kasus negatif berarti
peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan.
Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan, berarti masih
mendapatkan data-data yang bertentangan dengan data yang ditemukan, maka peneliti mungkin
akan mengubah temuannya.

e. Menggunakan Bahan Referensi

Yang dimaksud referensi adalah pendukung untuk membuktikan data yang telah
ditemukan oleh peneliti (Mekarisce, 2020: 150). Dalam laporan penelitian, sebaiknya data-data
yang dikemukakan perlu dilengkapi dengan foto atau rekaman audio-visual saat dilakukannya
wawancara mendalam.

f. Mengadakan Membercheck

Menurut Sugiyono Member check merupakan suatu proses pengecekan data kepada
sumber data (Mekarisce, 2020: 150). Adapaun Tujuan membercheck adalah untuk mengetahui
seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Jadi
tujuan membercheck adalah agar informasi yang diperoleh dan akan digunakan dalam penulisan
laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau informan

3.8.2 Transferability
Menurut Sugiyono Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian
kualitatif. Validitas eksternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil
penelitian ke populasi di mana sampel tersebut diambil (Mekarisce, 2020: 150).

Pertanyaan yang berkaitan dengan nilai transfer sampai saat ini masih dapat
diterapkan/dipakai dalam situasi lain. Bagi peneliti nilai transfer sangat bergantung pada si
pemakai, sehingga ketika penelitian dapat digunakan dalam konteks yang berbeda di situasi
sosial yang berbeda validitas nilai transfer masih dapat dipertanggungjawabkan.

3.8.3 Dependability
Reliabilitas atau penelitian yang dapat dipercaya, dengan kata lain beberapa percobaan
yang dilakukan selalu mendapatkan hasil yang sama. Penelitian yang dependability atau
reliabilitas adalah penelitian apabila penelitian yang dilakukan oleh orang lain dengan proses
penelitian yang sama akan memperoleh hasil yang sama pula (Mekarisce, 2020: 150).

Pengujian dependability dilakukan dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan


proses penelitian. Dengan cara auditor yang independen atau pembimbing yang independen
mengaudit keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian.
Misalnya bisa dimulai ketika bagaimana peneliti mulai menentukan masalah, terjun ke lapangan,
memilih sumber data, melaksanakan analisis data, melakukan uji keabsahan data, sampai pada
pembuatan laporan hasil pengamatan.

3.8.4 Confirmability
Objektivitas pengujian kualitatif disebut juga dengan uji confirmability penelitian.
Konfirmabilitas dalam penelitian kualitatif lebih diartikan sebagai konsep intersubjektivitas
(konsep transparansi), yang merupakan bentuk ketersediaan peneliti dalam mengungkapkan
kepada publik mengenai bagaimana proses dan elemen-elemen dalam penelitiannya, yang
selanjunya memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan assessment/penilaian
hasil temuannya sekaligus memperoleh persetujuan diantara pihak tersebut (Mekarisce, 2020:
150).

Penelitian bisa dikatakan objektif apabila hasil penelitian telah disepakati oleh lebih
banyak orang. Penelitian kualitatif uji confirmability berarti menguji hasil penelitian yang
dikaitkan dengan proses yang telah dilakukan. Apabila hasil penelitian merupakan fungsi dari
proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar
confirmability.
DAFTAR PUSTAKA

Adawiah, R. (2016) ‘Aliran Eksistensialisme Dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam’, Al-
Banjari : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman, 14(1). Available at:
https://doi.org/10.18592/al-banjari.v14i1.639.

Anwar, Z. and Rahmah, M. (2017) ‘Psikoedukasi Tentang Risiko Perkawinan Usia Muda untuk
Menurunkan Intensi Pernikahan Dini pada Remaja’, Psikologia : Jurnal Psikologi, 1(1),
p. 1. Available at: https://doi.org/10.21070/psikologia.v1i1.749.

Benuf, K. and Azhar, M. (2020) ‘Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mengurai
Permasalahan Hukum Kontemporer’, Gema Keadilan, 7(1), pp. 20–33. Available at:
https://doi.org/10.14710/gk.2020.7504.

Fajrul Falah (2021) Pernikahan dengan tujuan meningkatkan status sosial perspektif Fatwa
Yusuf Qardhawi dan Muhammad Zuhaili tentang Nikah Misyar. Program Magister Al-
Ahwal Al-Syakhsiyyah Pascasarjana Univrsitas Islam Negeri Mulana Malik Ibrahim
Malang.

Haerudin (2018) ‘Fenomena Akad Nikah Via Telephon’, Buana Ilmu, 3(1), pp. 11–32. Available
at: https://doi.org/10.36805/bi.v3i1.453.

Hafas, I. (2021) ‘Dampak Kawin Paksa Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga Dalam
Perspektif Hukum Islam (Analisis Desa Panaan Kecamatan Palengaan Kabupaten
Pamekasan)’, Mitsaqan Ghalizan, 1(1), pp. 21–40. Available at:
https://doi.org/10.33084/jmg.v1i1.2810.

Hamid, F. (2015) ‘Pendekatan Fenomenologi’, Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidika Islam, 6, pp.


17–33.

Husnani, R. and Soraya, D. (2020) ‘Dampak Pernikahan Usia Dini (Analisis Feminis Pada
Pernikahan Anak Perempuan Di Desa Cibunar Kecamatan Cibatu Kabupaten Garut)’,
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, 4(1), pp. 63–77. Available at:
https://doi.org/10.15575/jaqfi.v4i1.9347.
Hutapea, E. and Marlina, Y. (2022) ‘Komunikasi Budaya K-Pop Masyarakat di Kampung Bali ,
Harapan Jaya , Bekasi Di Era New Normal’, Communicology: Jurnal Ilmu Komunikasi,
10(2), pp. 228–248.

Junaidi, M. and Syahida, N.P. (2019) ‘Fenomena Pernikahan Dini Di Desa Loloan Kecamatan
Bayan Kabupaten Lombok Utara’, Jurnal Ilmu Administrasi Publik, 7(1), pp. 34–43.

KBBI (no date) ‘KBBI’.

Kemen PPPA, B.H. dan H. (2023) KEMEN PPPA : Perkawinan Anak di Indonesia, Siaran Pers
Nomor: B- 031/SETMEN/HM.02.04/01/2023. Available at:
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4357/kemen-pppa-perkawinan-
anak-di-indonesia-sudah-mengkhawatirkan.

Khairunnisa, S. and Nurwati, N. (2021) ‘Pengaruh Pernikahan Pada Usia Dini Terhadap Peluang
Bonus Demografi Tahun 2030’, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial HUMANITAS, 3(I),
pp. 45–69. Available at: https://doi.org/10.23969/humanitas.v3ii.2821.

Lestari, N. (2018) ‘Problematika Hukum Perkawinan Di Indonesia’, Jurnal Ilmiah Mizani:


Wacana Hukum, Ekonomi Dan Keagamaan, 4(1). Available at:
https://doi.org/10.29300/mzn.v4i1.1009.

Mangambe, P. et al. (2023) ‘Upaya pemerintah kampung dalam meningkatkan kesejahteraan


masyarakat di kampung Bogobaida Dostrik Bogobaida kabupaten Pantai’, Jurnal Sketsa,
16(1), pp. 35–49.

Maulana, Stevary Afrizal, M.D.N. (2023) ‘Fenomena Tren Nikah Muda Di Kalangan Remaja’,
Edusociata Jurnal Pendidikan Sosiologi, 6(1), pp. 56–66.

Mekarisce, A.A. (2020) ‘Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data pada Penelitian Kualitatif di
Bidang Kesehatan Masyarakat’, JURNAL ILMIAH KESEHATAN MASYARAKAT : Media
Komunikasi Komunitas Kesehatan Masyarakat, 12(3), pp. 145–151. Available at:
https://doi.org/10.52022/jikm.v12i3.102.

Moelong, L.J. (2002) Metode Penelitian Kualitatif. jakarta: Remaja Rosdakarya.


Muhammad husein, S. (2014) PERNIKAHAN DINI.

Muhlis, A. and Norkholis, N. (2016) ‘Analisis Tindakan Sosial Max Weber Dalam Tradisi
Pembacaan Kitab Mukhtasar Al-Bukhari (Studi Living Hadis)’, Jurnal Living Hadis,
1(2), p. 242. Available at: https://doi.org/10.14421/livinghadis.2016.1121.

Mursidah (2022) Screenmasts.wordpress.com.

Purwanti, E. (2022) ‘Tindakan Sosial Anak Jalanan Yang Berdampak Pada Ketertiban Di
Kawasan Simpang Lima Kota Semarang’, NALAR: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
1(April), pp. 1–6. Available at: https://doi.org/10.31004/aulad.vxix.xx.

Ritzer, G. (2014a) Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Rajawali


Press.

Ritzer, G. (2014b) Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Rajawali


Press.

Rohmah, A.W. (2021) Fenomena Pernikahan Dini dan Perceraian di Desa Bantur ( Studi di
Desa Bantur Kecamatan Bantur Kabupaten Malang ). UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang.

Sari, T.N.I. (2016a) Fenomena Pernikahan Usia Muda di Masyarakat Madura (Studi Kasus di
Desa Serabi Barat Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan), Skripsi. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Sari, T.N.I. (2016b) Fenomena Pernikahan Usia Muda di Masyarakat Madura (Studi Kasus di
Desa Serabi Barat Kecamatan Modung Kabupaten Bangkalan). UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Sembiring, E. (2014) ‘Kedudukan Hukum Perkawinan Adat di Dalam Sistem Hukum


Perkawinan Nasional Menurut UU No. 1 Tahun 1974’, JOLSIC: Journal Of Law,
Society, and Islamic Civilization, (1), pp. 72–94.

Setiawati, H. (2021) Fenomena Banyaknya Putusan Verstek Pada Perkara Perceraian (Studi
Kasus Pengadilan Agama Kabupaten Malang). Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang.

Sutopo (2006) Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret.

Suyanto (2019) ‘Fenomenologi sebagai metode dalam penelitian pertunjukan teater musikal’,
Lakon: Jurnal Pengkajian & Penciptaan Wayang, XVI(1), pp. 26–32.

Tari, E. and Tafonao, T. (2019) ‘Tinjauan Teologis-Sosiologis terhadap Pergaulan Bebas


Remaja’, DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, 3(2), p. 199. Available at:
https://doi.org/10.30648/dun.v3i2.181.

Tayib, A. (1992) Struktur Rumah Tangga Muslim. surabaya: Risalah Gusti.

Tukiman, Y.H. dan (2006) ‘Dampak Pernikahan Dini Terhadap Kesehatan Alat Reproduksi
Wanita’, Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera, 13, pp. 36–43.

Anda mungkin juga menyukai