Anda di halaman 1dari 8

PERAN KANTOR URUSAN AGAMA DALAM MENGURANGI TERJADINYA

PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR ATAU DISPENSASI NIKAH

ABSTRAK
Pernikahan dini, yang juga dikenal sebagai perkawinan di bawah batas usia, adalah praktik
perkawinan yang melibatkan calon suami istri, baik pria maupun wanita, yang belum mencapai usia
yang diatur oleh hukum. Di Indonesia, Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan
menetapkan bahwa pernikahan hanya diperbolehkan jika pria telah mencapai usia 19 tahun dan wanita
telah mencapai usia 19 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai bentuk
penyuluhan yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia dalam usaha untuk
mengurangi pernikahan dini. Studi ini juga menginvestigasi peran penyuluhan agama Islam yang
dilakukan oleh KUA dalam mengurangi pernikahan dini di Indonesia. Metode penelitian yang
diterapkan adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Penulis
menggunakan metode analisis deskriptif untuk menganalisis data penelitian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peran penyuluhan agama Islam oleh KUA dalam mengurangi pernikahan dini di
Indonesia telah berjalan efektif. Pendekatan ini melibatkan pembinaan terhadap orang tua dan
masyarakat serta pendekatan terhadap calon pengantin. KUA juga mengadakan kegiatan sosialisasi
dan memberikan penyuluhan kepada remaja dan masyarakat umum tentang batas usia perkawinan
yang diatur oleh Undang-Undang No.16 Tahun 2019. Data penelitian menunjukkan bahwa langkah-
langkah pencegahan yang diambil oleh KUA berhasil menekan angka pernikahan dini. Studi ini
memberikan gambaran tentang efektivitas peran KUA dalam mengurangi pernikahan di bawah umur
atau dispensasi nikah di Indonesia. Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam upaya
pencegahan pernikahan dini, melalui kegiatan pembinaan, sosialisasi, dan penyuluhan yang bersifat
proaktif dalam memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai batas usia perkawinan yang
ditetapkan oleh hukum di Indonesia.
Kata Kunci: Dispensasi Pernikahan, Kantor Urusan Agama, Peran, Pernikahan di Bawah Umur

ABSTRACT
Early marriage, also known as underage marriage, is a marital practice involving prospective spouses,
both male and female, who have not yet reached the age specified by law. In Indonesia, Law No.16 of
2019 concerning Marriage stipulates that marriage is only permitted if the man has reached the age of
19 and the woman has reached the age of 19. This research aims to explore various forms of
counseling conducted by the Office of Religious Affairs (KUA) in Indonesia in an effort to reduce
early marriages. The study also investigates the role of Islamic religious counseling conducted by
KUA in mitigating early marriages in Indonesia. The research method employed is field research with
a qualitative approach. The author used descriptive analysis method to analyze the research data. The
research findings indicate that the role of Islamic religious counseling by KUA in reducing early
marriages in Indonesia has been effective. This approach involves guidance for parents and
communities as well as guidance for prospective brides and grooms. KUA also organizes socialization
activities and provides counseling to adolescents and the general public about the legal age of
marriage as regulated by Law No.16 of 2019. The research data shows that the preventive measures
taken by KUA have successfully reduced the rate of early marriages. This study provides an overview
of the effectiveness of KUA's role in reducing marriages below the legal age or marriage dispensations
in Indonesia. This research makes a significant contribution to the prevention of early marriages
through proactive counseling, socialization, and education activities that enhance public understanding
of the legal age of marriage established by the law in Indonesia.
Keyword: Marriage Dispensation, Office of Religious Affairs, Role, Underage Marriages
PENDAHULUAN
Indonesia, sebagai negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, memiliki tujuan untuk mencapai ketertiban, keadilan, dan
kesejahteraan bagi seluruh warga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu,
semua orang, termasuk warga negara, penegak hukum, dan penguasa negara, diharapkan
patuh dan menghormati hukum yang ada. Setiap tindakan yang diambil harus sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku (Hidayatullah & Burhanuddin, 2020).
Pernikahan memiliki makna yang mendalam dalam budaya dan agama, termasuk
dalam Islam, di mana pernikahan dianggap sebagai akad yang melegalkan hubungan seksual
antara pria dan wanita (Arofik, 2020). Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan kerangka hukum yang mengatur pernikahan.
Namun, walaupun undang-undang tersebut telah mengatur batasan usia pernikahan, masih ada
fenomena pernikahan anak di bawah umur yang terjadi di masyarakat. Meskipun Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 mengubah ketentuan usia minimal pernikahan, masih banyak
kasus pernikahan anak di bawah usia 19 tahun, yang seharusnya telah dihapuskan.
Salah satu faktor yang mempertahankan praktik pernikahan di bawah umur adalah
budaya dan tradisi lokal. Beberapa komunitas, terutama di wilayah pedesaan, masih
memegang teguh nilai-nilai tradisional yang mendorong pernikahan dini. Pandangan bahwa
anak-anak harus menikah pada usia muda untuk mempertahankan tradisi keluarga atau
keberlangsungan adat istiadat seringkali mendominasi pemikiran masyarakat. Hal ini
menciptakan ketegangan antara nilai-nilai tradisional dan konsep hak asasi manusia yang
mengakui hak anak untuk hidup, berkembang, dan berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat.
Pernikahan di bawah umur memiliki dampak serius terhadap kesehatan fisik dan
mental anak-anak yang terlibat. Anak-anak yang menikah pada usia muda cenderung
mengalami masalah kesehatan reproduksi, termasuk risiko tinggi komplikasi saat melahirkan
dan kematian ibu muda. Selain itu, pernikahan dini juga berdampak negatif pada pendidikan
anak-anak. Anak perempuan yang menikah pada usia muda sering kali terpaksa berhenti
sekolah, menghambat akses mereka terhadap pendidikan yang layak dan berkelanjutan.
Pernikahan adalah aspek penting dalam kehidupan manusia, yang dianggap sebagai
bentuk kohabitasi yang ideal dan mulia. Pernikahan bukan hanya sekadar hubungan seksual,
tetapi juga melibatkan aspek spiritual dan sosial. Namun, realitas di lapangan menunjukkan
adanya tantangan dalam menjalankan undang-undang pernikahan ini. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya tentang Hukum Perdata Islam di Indonesia,
masih ada praktek pernikahan di bawah umur yang terjadi, meskipun pemerintah telah
menetapkan peraturan yang jelas (Rofiq, 2017). Hal ini terutama terlihat dari meningkatnya
jumlah permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama di Kecamatan Cikalong Wetan
pada 2023.
Meskipun undang-undang yang mengatur batasan usia pernikahan telah ada di
Indonesia, implementasinya masih jauh dari memadai. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yang telah mengalami revisi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019, menetapkan batasan usia minimal untuk menikah. Namun, rendahnya kesadaran
masyarakat dan kurangnya penegakan hukum membuat regulasi ini sering diabaikan.
Sejalan dengan hukum pernikahan di Indonesia, hukum Islam juga memberikan
pedoman yang tegas mengenai pernikahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi'i,
Hanafi, dan Hanbali, terdapat rukun nikah yang harus dipenuhi, termasuk persetujuan orang
tua dan kehadiran saksi (Slamet, 2020). Namun, perubahan regulasi dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 menyiratkan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara hukum Islam dan
hukum positif Indonesia terkait batasan usia pernikahan.
Selain faktor budaya, aspek sosial dan ekonomi juga memainkan peran penting dalam
pernikahan di bawah umur. Keluarga yang mengalami kemiskinan sering kali melihat
pernikahan anak sebagai solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Selain itu,
tekanan sosial dari masyarakat yang memandang pernikahan sebagai tanda kedewasaan atau
status sosial juga mempengaruhi keputusan orang tua untuk menikahkan anak-anak mereka
pada usia muda. Pernikahan di bawah umur bukan hanya masalah sosial, tetapi juga
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk menanggulangi masalah ini, pendekatan yang
holistik dan terintegrasi diperlukan. Pendidikan dan kesadaran masyarakat harus ditingkatkan
untuk mengubah norma budaya dan nilai-nilai yang mempertahankan pernikahan di bawah
umur. Sistem pendidikan formal dan non-formal harus memberikan penekanan pada
pentingnya pendidikan yang inklusif dan kesetaraan gender.
Selain itu, penegakan hukum harus diperkuat dengan memastikan bahwa regulasi yang
ada dijalankan dengan ketat. Diperlukan kerjasama antara pemerintah, lembaga sosial, dan
organisasi non-pemerintah untuk memberikan dukungan kepada keluarga dan anak-anak yang
terkena dampak pernikahan di bawah umur. Dengan mendekatkan diri kepada masyarakat,
memberikan pendidikan yang tepat, dan menegakkan hukum, Indonesia dapat membuat
langkah nyata menuju penghapusan praktik pernikahan di bawah umur, memberikan masa
depan yang lebih cerah bagi anak-anak negara ini. Terdapat argumen yang mengatakan bahwa
batasan usia pernikahan seharusnya bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan
kematangan biologis, psikologis, dan sosial budaya individu. Namun, pendapat ini
menimbulkan perdebatan dan tantangan dalam implementasi hukum pernikahan di Indonesia.
Pentingnya memahami konflik antara hukum positif dan hukum Islam mengenai batasan usia
pernikahan di Indonesia, terutama setelah adanya perubahan dalam regulasi, menjadi latar
belakang utama penelitian ini. Dalam konteks ini, penelitian ini akan menggali lebih dalam
mengenai implementasi hukum pernikahan di Indonesia, dengan fokus pada fenomena
pernikahan anak di bawah umur dan tantangan yang dihadapi dalam menjalankan regulasi
yang ada.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Bogdan Taylor yang
dijelaskan oleh Moleong, penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan yang berasal dari perilaku
orang-orang yang dapat diamati. Kehadiran peneliti dalam penelitian kualitatif sangat penting,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Moleong, karena peneliti sendiri atau dengan bantuan
orang lain berperan sebagai alat utama dalam pengumpulan data (Moleong, 2000). Analisis
ini berfokus pada upaya-upaya inisiatif yang menunjukkan peran KUA dalam mengurangi
angka pernikahan di bawah usia yang terjadi di Indonesia (Arikunto, 2006). Data
dikumpulkan melalui kajian literatur dan dokumentasi penelitian yang sudah ada. Tujuannya
adalah untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dan mendalam mengenai strategi serta
langkah-langkah yang diambil oleh KUA dalam menanggulangi praktik pernikahan di bawah
umur di komunitas tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Pengertian dan Faktor Pernikahan di Bawah Umur (Dini)
Istilah pernikahan dini atau di bawah umur merupakan frasa yang muncul dalam
konteks zaman sekarang. Kata "dini" di sini merujuk pada usia yang sangat muda, yakni pada
tahap awal dari periode waktu tertentu. Sebagai kontras, pada zaman awal abad ke-20 atau
sebelumnya, menikahkan seorang wanita pada usia 13-14 tahun atau seorang lelaki pada usia
17-18 tahun dianggap biasa dan tidak spesial. Namun, dalam masyarakat modern, praktik
tersebut dianggap aneh. Wanita yang menikah sebelum mencapai usia 20 tahun atau lelaki
yang menikah sebelum mencapai usia 25 tahun dianggap tidak wajar dan dianggap sebagai
pernikahan yang terlalu dini. (Ridwan, 2020: 18)
Definisi usia dewasa bervariasi bergantung pada konteksnya. Menurut hukum Islam,
seorang anak dianggap dewasa ketika anak laki-laki mengalami mimpi basah dan anak
perempuan mengalami menstruasi. Namun, dalam hukum KUHP Indonesia, anak di bawah
umur adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah, baik laki-laki
maupun perempuan. Istilah "anak di bawah umur" menunjukkan bahwa mereka belum
mencapai batas yang disyaratkan, tergantung sudut pandang hukum yang digunakan.Terjadi
ketidaksepakatan antara pandangan agama dan negara tentang pernikahan dini. Pernikahan
yang dilakukan di bawah batas usia yang ditetapkan oleh undang-undang tidak dianggap sah
secara hukum. Namun, dalam perspektif agama, pernikahan dini mengacu pada pernikahan
yang melibatkan individu yang belum dewasa menurut agama. Namun demikian, dalam
hukum Islam, terdapat prinsip-prinsip perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta,
dan akal. Salah satu nilai ini adalah menjaga kelangsungan keturunan. (Ridwan, 2020: 18)
Oleh karena itu, dalam pandangan agama, hubungan seksual yang diakui oleh agama harus
dilakukan melalui pernikahan. Tanpa pernikahan, jalur keturunan menjadi tidak jelas menurut
pandangan agama. Namun, pernikahan dini adalah isu kompleks yang sebelumnya tidak
banyak dibicarakan. Saat ini, isu ini kembali muncul dan menimbulkan perdebatan di
kalangan para sarjana Islam yang mencoba meresponsnya.
Pernikahan dini di Indonesia merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi pernikahan muda, sebagian di antaranya berakar pada faktor individu.
Perkembangan fisik, mental, dan sosial individu memainkan peran penting dalam menentukan
kapan seseorang menikah. Setiap individu mencapai tahapan perkembangan ini pada waktu
yang berbeda, dan semakin cepat tahapan ini tercapai, semakin besar kemungkinan untuk
menikah pada usia muda(Adenan, 2023). Selain itu, faktor pendidikan juga memegang
peranan kunci. Tingkat pendidikan yang rendah sering kali berhubungan dengan pernikahan
dini. Kurangnya pendidikan membuat remaja lebih rentan terhadap pernikahan pada usia
muda. Selain itu, dinamika dalam hubungan antara orang tua dan anak remaja turut
mempengaruhi keputusan untuk menikah pada usia dini. Ketidakpatuhan atau permusuhan
remaja terhadap orang tua mereka dapat memaksa mereka untuk menikah muda. Bahkan, ada
kasus di mana remaja menikah untuk menghindari tekanan dari keluarga mereka (Adenan,
2023).
Faktor eksternal juga turut berperan. Pernikahan dini seringkali dianggap sebagai
solusi untuk melarikan diri dari masalah, termasuk masalah keuangan. Menikah di usia muda
dapat dilihat sebagai jalan cepat untuk mencapai status sosial dan ekonomi yang lebih baik.
Faktor keluarga juga mempengaruhi apakah anak akan menikah pada usia muda atau tidak.
Status sosial ekonomi keluarga dan pemahaman keluarga tentang kehidupan keluarga
berkaitan erat dengan pernikahan dini. Beberapa keluarga menikahkan anak-anak mereka
ketika mereka masih sangat muda untuk meningkatkan status sosial keluarga, mempercepat
hubungan antar keluarga, dan/atau mempertahankan garis keturunan keluarga. Faktor
lingkungan dan masyarakat juga memainkan peran besar. Adat dan kepercayaan masyarakat
terhadap pernikahan memainkan peran signifikan. Sebagai contoh, ada keyakinan bahwa
seorang gadis yang telah mencapai usia dewasa tapi belum menikah akan dipandang sebagai
"aib" bagi keluarganya. Oleh karena itu, orang tua mencoba menikahkan anak perempuan
mereka dengan cepat untuk mengurangi tekanan sosial ini. Pandangan dan keyakinan
masyarakat juga mempengaruhi pernikahan dini. Beberapa kepercayaan masyarakat, seperti
anggapan bahwa status kejantanan seseorang ditentukan oleh status perkawinannya,
mendorong terjadinya pernikahan dini (Adenan, 2023).
Selain itu, legislasi juga memainkan peran penting dalam pernikahan dini. Meskipun
undang-undang telah ada, implementasinya tidak selalu ketat, memungkinkan pernikahan dini
tetap terjadi. Oleh karena itu, meskipun ada regulasi yang melarang pernikahan dini, faktor-
faktor sosial, ekonomi, dan budaya masih mempengaruhi praktik ini di masyarakat.
Selain faktor-faktor tersebut, pernikahan dini juga sering kali terjadi sebagai hasil dari tekanan
sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Misalnya, di daerah dengan status ekonomi
rendah, pernikahan sering dianggap sebagai solusi dari masalah keuangan keluarga. Dalam
situasi ekonomi yang sulit, orang tua cenderung menikahkan anak-anak mereka pada usia
yang lebih muda untuk mengurangi beban ekonomi keluarga dan mendapatkan bantuan
finansial dari pihak suami atau keluarganya (Adenan, 2023).
Tingkat pendidikan masyarakat juga memiliki dampak signifikan. Di komunitas
dengan tingkat pendidikan rendah, pernikahan dini lebih sering terjadi. Kurangnya
pemahaman tentang hak-hak individu, terutama hak-hak perempuan, serta kurangnya
kesadaran akan pentingnya pendidikan menyebabkan pernikahan pada usia muda masih
sering ditemui. Selain itu, faktor-faktor budaya dan tradisi juga berperan. Beberapa komunitas
masih mempertahankan tradisi pernikahan pada usia muda karena dianggap sebagai norma
budaya. Pernikahan muda sering kali dianggap sebagai cara untuk mempertahankan nilai-nilai
tradisional dan memastikan kelangsungan garis keturunan.
Pergeseran nilai-nilai sosial juga mempengaruhi pola pernikahan. Modernisasi
membawa perubahan dalam norma-norma sosial, tetapi sering kali ada gesekan antara nilai-
nilai tradisional yang masih dipegang teguh dan nilai-nilai modern yang masuk ke
masyarakat. Dalam beberapa kasus, pernikahan muda dipandang sebagai cara untuk menjaga
kestabilan sosial dan mematuhi nilai-nilai tradisional di tengah perubahan yang cepat .
Dalam konteks ini, peran pemerintah, lembaga sosial, dan pendidikan sangat penting.
Pemerintah harus mengambil langkah-langkah tegas untuk menegakkan undang-undang yang
melarang pernikahan dini. Pendidikan formal dan informal juga harus memainkan peran
dalam mengubah pola pikir masyarakat tentang pernikahan pada usia muda. Kesadaran akan
hak-hak individu, pendidikan yang berkualitas, dan peluang ekonomi yang adil dapat
membantu mengurangi insiden pernikahan dini. Dalam menghadapi kompleksitas masalah
pernikahan dini, pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan lembaga
pendidikan dapat membantu menciptakan perubahan positif. Edukasi yang menyeluruh,
dukungan sosial, dan kebijakan yang bijaksana dapat membantu merubah paradigma dan
memastikan bahwa setiap individu, terutama perempuan, memiliki kesempatan untuk
mengambil kendali atas hidup dan masa depan mereka, tanpa harus terjebak dalam pernikahan
pada usia yang tidak tepat (Adenan, 2023)..
2. Dispensasi Pernikahan
Dispensasi pernikahan, menurut definisi dalam kamus besar bahasa Indonesia,
merujuk pada izin pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Dalam konteks
pernikahan, dispensasi mengacu pada kelonggaran terhadap batasan umur yang sebenarnya
tidak diperbolehkan untuk dilanggar. Dispensasi pernikahan diartikan sebagai izin untuk
melampaui batasan usia (batasan umur) dalam ikatan perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan
ajaran agama dan kepercayaan pada Yang Maha Esa. (Haris, 2020)
Menurut Ketua Pengadilan Agama Jombang, dispensasi pernikahan adalah
permohonan keringanan yang memungkinkan laki-laki yang belum mencapai usia 19 tahun
atau perempuan yang belum mencapai usia 16 tahun untuk menikah, baik itu salah satu dari
pasangan tersebut atau keduanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam Islam, tidak ada batasan umur yang spesifik untuk
menikah, namun agama hanya menunjukkan tanda-tandanya. Baligh, dalam konteks ini,
mengacu pada anak-anak yang telah mencapai usia tertentu di mana mereka telah memiliki
kemampuan untuk memahami urusan dan masalah yang dihadapi, serta mampu
mempertimbangkan mana yang baik dan buruk. Tanda baligh bagi wanita adalah ketika
mengalami menstruasi, sementara bagi laki-laki adalah ketika mengeluarkan air mani. (Haris,
2020) Dispensasi pernikahan merupakan izin atau kelonggaran yang diberikan oleh
Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum mencapai usia yang cukup untuk
melangsungkan perkawinan. Dalam hal ini, pria yang belum berusia 19 tahun dan wanita
yang belum berusia 16 tahun dapat memohon dispensasi untuk menikah.
3. Peran Kantor Urusan Agama di Indonesia dalam Mengurangi Pernikahan di Bawah
Umur
Penyuluhan
Penyuluhan adalah suatu bentuk interaksi sosial yang melibatkan penggunaan
komunikasi dengan tujuan memberikan informasi kepada masyarakat sehingga mereka dapat
membentuk pandangan dan membuat keputusan yang lebih baik. Proses penyuluhan ini juga
dapat diartikan sebagai upaya untuk merubah aspek-aspek sosial dan ekonomi dengan tujuan
memberdayakan masyarakat.
Kantor Urusan Agama (KUA) menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan
peraturan pemerintah, termasuk Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 517
Tahun 2001 Pasal 3. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa KUA Kecamatan memiliki
beberapa fungsi, seperti menyelenggarakan statistik, dokumentasi, surat-menyurat,
pengetikan, dan administrasi. Selain itu, KUA juga bertanggung jawab atas pencatatan nikah
dan rujuk, pengurusan dan pembinaan masjid, zakat, wakaf, baitul mal, ibadah sosial,
kependudukan, serta pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam dan penyelenggara haji berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melalui upaya pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga penyuluh,
KUA dapat mengurangi jumlah pernikahan dini dalam masyarakatnya. Penyuluhan ini
berperan penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat terkait pelanggaran
terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam, serta perbedaan antara ajaran agama dan adat istiadat.
Kegiatan penyuluhan ini biasanya dilakukan melalui majelis taklim, pengajian, ceramah, dan
kutbah Jumat.
Masalah yang sering dihadapi dalam masyarakat mencakup aspek aqidah, prioritas
terhadap adat istiadat daripada ajaran agama, dan masalah seputar ibadah seperti bilal mayit,
fardu kifayah, dan fiqih. Oleh karena itu, peran penyuluhan Agama Islam yang dilakukan oleh
Kantor Urusan Agama sangatlah penting dalam mengedukasi masyarakat tentang ajaran
agama dan mempromosikan pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai agama.
Bimbingan Pernikahan
Kantor Urusan Agama telah mengambil tindakan untuk mencegah pernikahan di
bawah usia yang sah dengan memberikan pendampingan dan penyuluhan kepada pasangan
calon pengantin selama tahap pra-nikah. Sebelum melangsungkan pernikahan, penghulu
madya memberikan nasihat kepada kedua calon pengantin mengenai pernikahan. Nasihat ini
bertujuan untuk membantu kedua calon pengantin mempersiapkan diri secara mental sebelum
memasuki tahap pernikahan. Kedua mempelai juga mendapatkan nasihat tentang pernikahan
dan hal-hal terkait sesaat sebelum akad nikah.
Saat pasangan yang sudah bertunangan datang ke Kantor Urusan Agama untuk
melangsungkan pernikahan, mereka mencari nasihat mengenai bagaimana membangun
persatuan yang sukses. Biasanya, pertemuan ini terjadi ketika pasangan sudah melakukan
pertunangan dan datang ke Kantor Urusan Agama. Penghulu madya di Kantor Urusan Agama
dapat memberikan nasihat dan materi mengenai pernikahan, terutama menekankan
pentingnya kematangan fisik dan mental bagi pasangan suami istri, yang sangat
mempengaruhi keberlangsungan rumah tangga mereka.
SIMPULAN
Pernikahan di bawah umur, atau pernikahan dini, merupakan fenomena kompleks
yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perkembangan fisik, mental, dan sosial
individu, pendidikan rendah, tekanan sosial dan ekonomi, serta faktor budaya dan tradisi.
Perbedaan pandangan antara agama dan negara terkait batasan usia pernikahan menambah
kompleksitas isu ini. Meskipun undang-undang telah ada, implementasinya tidak selalu ketat,
memungkinkan praktik pernikahan dini tetap berlanjut. Faktor-faktor sosial, ekonomi,
budaya, dan legislasi yang masih memungkinkan pernikahan dini menjadi tantangan yang
harus diatasi. Pentingnya pendidikan formal dan informal dalam mengubah pola pikir
masyarakat tentang pernikahan dini sangat ditekankan. Kesadaran akan hak-hak individu,
pendidikan yang berkualitas, dan peluang ekonomi yang adil dapat membantu mengurangi
insiden pernikahan dini. Selain itu, peran pemerintah, lembaga sosial, dan pendidikan sangat
penting dalam menghadapi kompleksitas masalah pernikahan dini. Pendekatan holistik yang
melibatkan pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan dapat membantu menciptakan
perubahan positif. Edukasi yang menyeluruh, dukungan sosial, dan kebijakan yang bijaksana
dapat membantu merubah paradigma dan memastikan bahwa setiap individu, terutama
perempuan, memiliki kesempatan untuk mengambil kendali atas hidup dan masa depan
mereka tanpa harus terjebak dalam pernikahan pada usia yang tidak tepat. Dalam konteks ini,
peran Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia sangat penting. KUA menjalankan tugas
dan fungsinya dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai nilai-nilai
agama Islam, perbedaan antara ajaran agama dan adat istiadat, serta pentingnya persiapan
mental dan emosional sebelum menikah. Bimbingan pernikahan yang diberikan oleh KUA
juga memainkan peran penting dalam membimbing pasangan calon pengantin,
mengutamakan kematangan fisik dan mental, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
keberhasilan rumah tangga mereka.
Dengan memahami akar masalah pernikahan dini dan melibatkan berbagai pihak
dalam solusi, masyarakat Indonesia dapat mengatasi tantangan ini dan memberikan peluang
yang lebih baik bagi generasi muda untuk membangun masa depan yang lebih stabil dan
berkelanjutan.

REFERENSI

Adenan, dkk, “Peranan Kantor Urusan Agama dalam Meminimalisir terjadinya Perkawinan
Dibawah Umur di Kecamatan Medan Barat,” Mimbar Kampus: Jurnal Pendidikan dan
Agama Islam Volume 22 Nomor 2 (2023) 451-458
Arofik, Slamet dan Alvian Riski Yustomi, “Analisis Ushul dan Kaidah Fikih Terhadap
Implementasi Dispensasi Perkawinan di Bawah Umur di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Perak Kabupaten Jombang,” USRATUNÂ Vol. 4, No. 1, Desember 2020 |
111-137
Hidayatulloh, Haris dan Miftakhul Janah, “Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dalam Hukum
Islam,” Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 5, Nomor 1, April 2020; ISSN: 2541-
1489 (cetak)/2541-1497 (online); 34-61
Jaffisa, Tomi, M.AP., & Huwanji, Mirja. (2021). Peran Penyuluhan Agama Islam Kantor
Urusan Agama dalam Program Meminimalisasi Pernikahan Dini di Kecamatan Medan
Barat. Jurnal Publik Reform UNDHAR MEDAN, Edisi 8, Januari-Juni.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Ridwan, Muhammad Saleh. “Perkawinan Di Bawah Umur (Dini)”. Jurnal Al-Qadau:
Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 2, no. 1 (June 2, 2015): 15-30.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Depok : Rajawali press, 2017.
Wafiq, Ahmad., & Santoso, F. Setiawan. (2017). Upaya Yuridis dan Sosiologis Kantor
Urusan Agama dalam Pencegahan Pernikahan Usia Dini. Jurnal Ulumuddin, Volume
7(1), Juni.
Hopipah, E. N., Mumtaz, H., Supriatna, E., & Syarif, N. (2023). Kajian Yuridis Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Efektivitasnya di
Pengadilan Agama Garut. Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga dan
Peradilan Islam, 4(2), 117-140. DOI: 10.15575/as.v2i2.14327’
Hidayatullah dan Burhanuddin, “Judex Facti Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh Dalam
Menangani Perkara Cerai Talak: Analisis Putusan Nomor 45/Pdt.G/2017/MS.Aceh,”
Jurnal AL-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam,
Volume(X), Nomor(X), Halaman-Halaman.

Anda mungkin juga menyukai