Anda di halaman 1dari 128

MASALAH BIAS GENDER SEBAGAI FAKTOR PENGHAMBAT

IMPLEMENTASI CONVENTION ON THE RIGHT OF THE CHILD (CRC)

DALAM MENGURANGI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Pada Program Studi Hubungan Internasional

M. RENO ARIAWAN

L1A017066

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MATARAM

2021

1
Daftar Isi

MASALAH...........................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................17
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................18
1.4.1 Tujuan Umum...................................................................................................18
1.4.2 Tujuan Khusus..................................................................................................18
1.4 Manfaat Penelitian...........................................................................................19
1.4.1 Manfaat Teoritis...............................................................................................20
1.4.2 Manfaat Praktis................................................................................................20
KAJIAN PUSTAKA..............................................................................................................22
2.1 Penelitian Terdahulu........................................................................................22
2.2 Kerangka Teori.................................................................................................33
2.1.1 Feminisme........................................................................................................34
METODELOGI PENELITIAN................................................................................................46
3.1 Pendekatan Penelitian......................................................................................46
3.2 Teknik Pengumpulan Data................................................................................48
3.3 Teknik Analisis Data..........................................................................................50
BAB IV 54
MASALAH BIAS GENDER SEBAGAI FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI CONVENTION
ON THE RIGHT OF THE CHILD (CRC) DALAM MENGURANGI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI
INDIA 54
4.1 Diskriminasi Terhadap Perempuan di India......................................................54
4.1.1 Bentuk-bentuk Diskriminasi Perempuan di India.....................................63
4.1.2 Gerakan-gerakan Protes Diskriminasi Perempuan di India.......................74
4.1.3 Fenomena Pernikahan Anak di India........................................................74
4.2 Bias Gender Sebagai Penghambat Implementasi Convention on the Right of the
Child Dalam Mengurangi Kasus Pernikahan Anak di India............................................84
4.2.1 Convention on the Right of the Child.......................................................86
4.2.2 Kesenjangan Dalam PCMA Dan Kegagalan Untuk Menegakkan
Perlindungan Hukum Terhadap Anak.......................................................................94

2
4.2.3 Perkembangan Fluktuasi Pernikahan Anak Setelah Diratifikasinya
Convention on the Right of the Child........................................................................97
4.3 Analisis Faktor Penghambat Implementasi Convention on The Right of The
Child dengan Kajian Feminisme Liberal......................................................................102
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................126

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi saat ini banyak isu-isu seputar politik dan keamanan

mulai beralih ke masalah yang menyangkut lingkungan hidup, permasalahan

ekonomi, hak asasi manusia dan juga buruh. Permasalahan hak asasi manusia

mulai berkembang seperti masalah pernikahan anak di bawah umur seperti halnya

di India yang merupakan negara berkembang di Asia Selatan yang memiliki

tingkat pernikahan anak yang cukup memprihatinkan. Praktik pernikahan anak

merupakan praktik yang melanggar hak asasi manusia, namun hal ini masih sering

terjadi di India dan tetap menjadi sorotan. Pernikahan anak di India sudah lama

terjadi, yaitu sejak abad pertengahan pada masa pemerintahan Sarasenic

pemimpin monarki India yang ganas, banyak aturan yang menjadikanya sebagai

sumber ancaman, sehingga sistem politik di India berangsur-angsur mengubah

gaya hidup dan opini masyarakat dari yang sederhana menjadi bentuk yang lebih

kompleks dan membatasi kebebasan secara signifikan1.Wanita kehilangan haknya

dan harus mematuhi aturan dan menjaga tingkah laku, mereka adalah subjek

untuk kehormatan keluarga, wanita muda yang jatuh cinta dianggap tidak dapat

bertanggung jawab dan irasional, sehingga orang tua menikahkan anak mereka

agar tidak terjerat dalam skandal.

1
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di
Inida, Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, page 1 tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021

4
Laporan dari New York Times menyebutkan bahwa pernikahan anak di

India dilatarbelakangi oleh adanya invansi dari penjajah sejak 10 abad lalu yang

melakukan perampasan termasuk dengan menculik gadis-gadis hindu yang belum

menikah, sehingga banyak masyarakat India kala itu berpedoman dengan teks

budaya dan keagamaan seperti Dharmasastra, Manu smritis, Bhashya Medhatithi

dan Tolkappiyam dipercaya untuk menyelamatkan kesejahteraan keluarga,

termasuk dengan menikahkan anak perempuan mereka, bahkan adapula

masyarakat India waktu itu menikahkan anaknya sejak bayi, dengan tujuan untuk

melindungi keselamatan anaknya. Konstruksi dari norma budaya dan agama yang

telah terjadi di India menimbulkan sebuah ketimpangan antara laki-laki dengan

perempuan, sehingga masalah tersebut dapat diartikan sebagai masalah bias

gender.

Terbentuknya perbedaan gender diakibatkan karena beberapa hal, di

antaranya karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, dan dikonstruksikan secara

sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Hingga perbedaan

tersebut dianggap sebagai ketentuan tuhan, yang seolah-olah bersigat biologis dan

tidak bisa dirubah. Gender kemudian dipergunakan oleh kaum feminis pada

sebuah kenyataan bahwa ketidakadilan struktural dan system yang disebabkan

oleh gender.2 Pada dasarnya pemahaman tentang gender diartikan sebagai sebuah

interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin. Gender

dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-

2
Indah Fatmawati, Pernikahan Anak di India, Indonesia Journal of Gender, Vol. 1 No. 1 Tahun
2020, tersedia di https://jurnal.iainponorogo.ac.id diakses pada tanggal 30 juni 2020

5
laki dan perempuan. Pengertian dari gender dan sex adalah berbeda, sex diartikan

sebagai sebuah pensifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia yang

ditentukan secara biologis. Kemudian yang dimaksud dengan ketidakadilan

gender adalah perilaku marginalisasi, subordinasi, sterotipe atau pelabelan negatif,

kekerasan, dan beban yang berlebihan.

Permasalahan gender di India dan diskriminasi terhadapnya dimulai sejak

anak perempuan telah lahir dan berlanjut samapai masa kanak-kanak, remaja

hingga dewasa. Konstruksi pemikiran dari norma agama dan budaya yang telah

melekat dan dipercayai oleh masyarakat India dan beranggapan bahwa seorang

gadis di India bertanggung jawab atas kesuciannya yang harus di lindungi dan ia

juga menjadi beban karena mahar adat. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu

penyebab anak perempuan melakukan pernikahan dini.3 Pola pikir tersebut

dipengaruhi oleh pemahaman tentang maskulinitas laki-laki dan feminis pada

perempuan. Kemudian anggapan selanjutnya bahwa anak perempuan tidak

mampu menopang ekonomi keluarga dibandingkan dengan anak laki-laki. Sejak

menikah seorang gadis meninggalkan rumah orang tuanya untuk tinggal Bersama

dengan suaminya, disebagian besar masyarakat India membelanjakan uang untuk

Pendidikan dan kesehatannya dipandang sebagai sebuah investasi yang sia-sia,

karena meskipun seberapa besar pengorbanan orang tua terhadap anak

permepuannya ia akan ditinggalkan dan akan hidup Bersama suaminya. Meskipun

3
Herien Puspitawati, Teori Gender Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga (Bogor: Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, 2009), 22.

6
waktu secara bertahap mengubah diskriminasi dan bias gender pada kisah tersebut

masih sangat jelas dan akan tetap ada.

Pasal 1 konvensi Hak Anak secara umum mendefinisikan anak sebagai

orang yang belum mencapai usia 18 tahun, kemudian Pernikahan anak juga

diartikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak menginjak usia 18 tahun,

sebelum matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis agar bisa bertanggung

jawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari hasil pernikahanya

tersebut. Di india pernikahan anak dibawah umur merupakan kasus yang lumrah,

dan hampir seluruh wilayah memiliki anak perempuan yang sudah menikah

sebelum umur 18 tahun.4 Ada beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan

pernikahan anak dibawah umur masih terjadi di India. Kemiskinan dan norma

sosial untuk meningkatkan kehormatan keluarga dan untuk melindungi anak

perempuan merupakan faktor yang signifikan untuk membuat anak-anak

dinikahkan ketika masih kecil.5 Berikut ini merupakan kepercayaan yang

menyebar di india yang menyebabkan pernikahan anak masih terjadi di India.

1. Anak perempuan yang belum menikah dianggap sebagai

rendahnya tingkat kehormatan sebuah keluarga, karena pernikahan dianggap

sebagai cara untuk menjaga kesucian dari mempelai wanita dan pernikahan

dapat menghindari terciptanya aib keluarga.

4
Supriyadi W. Eddyono, S.H., Pengantar Konvensi Hak Anak, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, tahun 2007, Hal. 2, tersedia di www.elsam.or.id diakses pada tanggal 17 juni 2021

5
Jeniffer Birech, Child Marriage: A Cultural Health Phenomenon, International Journal of
Humanity and Social science, Vol. 3 No. 17 September 2017 Pages 98, tersedia di
www.ijhssnet.com , diakses pada tanggal 25 juni 2021

7
2. Mahar yang digunakan untuk menikahkan anak perempuan yang

masih dini akan lebih murah, dibandingkan dengan anak perempuan yang

berpendidikan tinggi akan membayar mahar yang lebih mahal.

3. Anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi keluarga,

karena dianggap tidak bisa bertanggung jawab dan menopang kehidupan

keluarga, sehingga kecendrungan untuk menikahkan anak perempuan lebih

cepat dan akan mengurangi beban.

4. Dengan mengurangi biaya pernikahan, orang tua sering

menikahkan anak mereka dalam satu perayaan, seperti menikahkan tiga

anak dalam satu pesta pernikahan bahkan memasangkannya sekaligus

dengan perayaan lainya seperti pemakaman.6

Di India daerah yang paling banyak mengalami kasus pernikahan anak yaitu

di Bihar (69%), kemudian Rajasthan (65%), Jharkhand (63%), Uttar Pradesh

(59%), Madhya Pradesh ( 57%), Chhattishgarh (55%), Andhra Pradesh (55%),

West Bengal (54%), Arunachal pradesh (42%), Karnataka (42%), Tripura (42%),

Tripura (42%), Haryana (41%), Maharashtra (39%), Gujarat (39%), assam (39%),

Orissa (37%), Sikkim (30%), Meghalaya (25%), Uttaranchal (23%), Delhi (23%),

Tamil Nadu (22%), Nagaland (21%), Mizoram (21%), Punjab (20%), Kerala

(15%), Jammu and Khasmir (14%), Manipur (13%), Himachal pradesh (12%),

dan goa (12%). 7

6
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di Inida,
Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, pages 4, tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021
7
National Commission for Protection of Child Right, India Child Marriage and Teenage
Pregnancy, India Report 4 september 2018, Hal 11, tersedia di www.ncpcr.gov.in diakses pada
tanggal 25 juni 2021

8
Di India , pernikahan diatur dalam dua aturan yaitu; The Hindu Marriage

Act (1955) dan The Special Marriage Act (1954). Untuk secara sah dalam

menikah, umur minimum untuk laki-laki adalah 21 tahun dan untuk perempuan

yaitu 18 tahun, umur ini merupakan hasil saran dari UNICEF untuk India yang

bersumber pada konvensi Internasional. Pernikahan anak telah dideklarasikan

sebagai tindakan ilegal selama 80 tahun di india, kemudian The Child Marriage

Restraint Act, 1929 (CMRA) merupakan aturan pertama yang dibuat dengan

tujuan untuk mencegah kasus pernikahan anak, Prohobition of Child Marriage

Act, 2006 yang baru dibuat sebagai perubahan yang signifikan dalam hukum.8 The

Child Marriage Restraint Act 1929 menjelaskan bahwa siapapun yang melakukan

kegiatan yang mengarah pada pernikahan anak akan beresiko dikenai hukuman.

Peraturan ini berlaku kepada si pemaksa termasuk orang tua dan keluarga bahkan

untuk orang-orang terpelajar, pelaku dapat dikenai hukuman penjara selama tiga

bulan dan denda serta mendapatkan penjelasan untuk tidak melakukan pernikahan

anak lagi.

Pada tahun 2006 peraturan Child Marriage Restraint 1929 mengalami revisi

yaitu menjadi The Prohobition of Child Marriage Act of 2006. Aturan ini dibuat

untuk menghukum siapapun yang melakukan, mengizinkan, dan meningkatkan

pernikahan anak, hingga hukuman yang diberikan kepada pelaku adalah hukuman

penjara selama dua tahun atau denda INR 100.000 atau sekitar 1.800 USD. 9 Sejak

8
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di Inida,
Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, page 4, tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021
9
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di Inida,
Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, page 4, tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021

9
tahun 2006 pernikahan yang terjadi di India harus terdaftar dibawah aturan The

Compulsory Registration of Marriage Act. PCMA yang seharusnya menjadi

undang-undang uatama dalam memberantas praktik pernikahan anak yang

mengalami kontradiksi dengan hukum personal di beberapa negara bagian,

dimana terdapat beberapa negara bagian yang belum dapat merespon PCMA

dengan cepat, sehingga mengakibatkan kurangnya tata kelola administrasi di

negara bagian, termasuk sosialisasi dan penyuluhan untuk menangani kasus

pernikahan anak. Selain itu terdapat pula fakta bahwa PCMA masih cukup untuk

mencegah segala bentuk pernikahan anak. Dalam undang-undang tersebut

seharusnya pernikahan anak dapat dibatalkan, namun hal itu tidak akan mudah

dilakukan pada prosesi pernikahan bersifat sacramental yang berkaitan dengan

upacara keagamaan. PCMA juga seringkali di kritik oleh para peneliti hukum,

karena kurang memberikan efek hukum jera bagi para pelanggar pelaku praktik

pernikahan anak. Selain itu pendaftaran pernikahan tidak diatur sekaligus di dalam

PCMA sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memberikan status pada

kasus pernikahan anak, disamping itu perilaku masyarakat yang sulit

meninggalkan kebiasaan pernikahan anak yang tentu berpengaruh terhadap

eksistensi undang-undang PCMA dalam segi kepatuhan.

India telah melakukan upaya pemberantasan pernikahan anak termasuk

dengan melakukan berbagai ratifikasi sejumlah konvensi internasional seperti

Convention on the Right of thr Chid (CRC) pada tahun 1992, Convention on the

Elimination of All Form of Discrimination Agains Women (CEDAW) pada tahun

1993 dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada

10
tahun 1976, Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

(ICESCR) pada tahun 1976, Supplementary Convention on the Abolition of

Slavery, the Slave Trade, and Institution and Practices Similar to Slavery pada

tahun 1956, serta konvensi pemenuhan HAM anak dan perempuan yang dibuat

oleh South Asian Regional Commitments (SARC). 10


Dari beberapa konvensi

internasional yang telah diratifikasi India tersebut kemudian diadopsinya ke dalam

bentuk hukum nasional tentang pelarangan pernikahan anak seperti The

Prohibition of Child Marriage Act (PCMA). PCMA merupakan undang-undang

utama tentang pemberantasan pernikahan anak yang diadopsi dari CRC dan

CEDAW. Di negara-negara industri pada awal abad ke -20 tidak ada standar

perlindungan bagi anak. Mereka biasa bekerja bersama orang dewasa dalam

kondisi yang tidak sehat dan tidak aman serta meningkatnya pengakuan atas rasa

ketidakadilan atas situasi dan kondisi mereka, didorong oleh pemahaman yang

lebih besar tentang kebutuhan perkembangan anak, mengarah pada gerakan untuk

melindungi mereka dengan lebih baik. Standar internasional tentang hak-hak anak

telah berkembang secara dramatis selama abad terahir, akan tetapi masih ada

kesenjangan dalam memenuhi cita-cita tersebut.

Sebelum terciptanya konvensi anak hingga diratifikasinya oleh seluruh

negara anggota PBB, terdapat beberapa peristiwa yang kemudian secara tidak

langsung dirumuskanya dan terciptanya konvensi tentang hak anak. Diawali pada

tahun 1924 Liga Bangsa-bangsa mengadopsi Deklarasi Jenewa tentang Hak Anak,

10
National Commission for Protection of Child Right, India Child Marriage and Teenage
Pregnancy, India Report 4 september 2018, Hal 11, tersedia di www.ncpcr.gov.in diakses pada
tanggal 25 juni 2021

11
yang dirancang oleh Eglantyne Jebb, yaitu pendiri Save the Children Fund.11

Deklarasi tersebut menyatakan bahwa semua orang berhutang kepada anak-anak

untuk ; sarana bagi perkembangan mereka, bantuan khusus pada saat dibutuhkan,

prioritas bantuan, kebebasan ekonomi, dan perlindungan dari eksploitasi, dan

pendidikan yang menanamkan kesadaran dan kewajiban sosial. Hingga pada

tahun 1946 dilaksanakannya sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

membentuk Dana Darurat Anak Internasional, atau biasa disebut International

Children’s Emergency Fund (UNICEF) dengan penekanan pada anak-anak di

seluruh dunia. Kemudian Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengsahkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 1948,

dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi tentang

hak anak, yang mengakui antara lain tentang hak-hak anak atas pendidikan,

bermain, lingkungan yang mendukung dan perawatan kesehatan. Dengan

terbentuknya Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik dan hak

ekonomi, sosial dan budaya, negara anggota perserikatan Bangsa-bangsa berjanji

untuk menegakkan hal yang sama termasuk pendidikan dan perlindungan untuk

semua anak.

Pada tahun 1974 atas keprihatinan dengan kerentanan perempuan dan anak-

anak dalam situasi darurat dan konflik, Majelis Umum menyerukan kepada

Negara-negara anggota untuk menaati deklarasi perlindungan perempuan dan

anak dalam keadaan darurat dan konflik bersenjata, deklarasi melarang

11
Supriyadi W. Eddyono, S.H., Pengantar Konvensi Hak Anak, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, tahun 2007, Hal. 1, tersedia di www.elsam.or.id diakses pada tanggal 17 juni 2021

12
penyerangan atau pemenjaraan terhadap perempuan, sipil dan anak-anak dan

menjunjung tinggi kesucian hak-hak perempuan dan anak selama konflik

bersenjata. Kemudian pada tahun 1978 Komisi Hak Asasi Manusia mengajukan

rancangan Konvensi Hak anak untuk dipertimbangkan oleh kelompok kerja yang

terdiri dari negara-negara anggota, badan-badan dan organisasi antar pemerintah

dan non pemerintah hingga pada tahun 1989 Convention on The Right of The

Child (CRC) diadopsi oleh majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diakui

secara luas sebagai pencapaian penting bagi hak asasi manusia, mengakui peran

anak sebagai aktor sosial, ekonomi, politik sipil dan budaya. Konvensi tersebut

menjamin dan menetapkan standar minimum untuk melindungi hak-hak anak

dalam semua kapasitas. UNICEF yang membantu menyusun konvensi disebutkan

dalam dokumen sebagai sumber ahli12. Kemudian majelis umum PBB mengadopsi

dua protokol opsional untuk CRC 1989 tentang hak anak yang mewajibkan

negara-negara pihak untuk mengambil tindakan-tindakan penting untuk mencegah

anak-anak mengambil bagian dalam permusuhan selama konflik bersenjata dan

untuk mengakhiri penjualan, eksploitasi seksual dan pelecehan anak, protokol ini

diadopsi pada tahun 2000. Pada tahun 2011 terdapat protokol opsional baru untuk

CRC 1989 tentang hak anak diadopsi. Dibawah protokol opsional tentang

prosedur komunikasi, komite hak anak dapat menangani pengaduan pelanggaran

hak anak dan melakukan penyelidikan. Sejauh ini terdapat 196 negara telah

meratifikasi konvensi ini dan hanya Amerika Serikat yang menolak untuk

meratifikasinya.
12
Jeniffer Birech, Child Marriage: A Cultural Health Phenomenon, International Journal of
Humanity and Social science, Vol. 3 No. 17 September 2017 Pages 98, tersedia di
www.ijhssnet.com , diakses pada tanggal 25 juni 2021

13
Konvensi hak anak ini terdapat 54 pasal, hingga saat ini dikenal sebagai

satu-satunya konvensi di bidang hak asasi manusia yang mencakup hak-hak sipil

dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sekaligus. Berdasarkan

isinya, konvensi ini mengkategorikan empat cara dalam hak anak, yakni ;

Pertama, kategorisasi berdasarkan Konvensi Induk Hak Asasi Manusia, dikatakan

bahwa Konvensi Hak Anak mengandung hak-hak sipil politik dan hak-hak

ekonomi sosial budaya. Kedua, ditinjau dari sisi yang berkewajiban melaksanakan

Konvensi Hak Anak, yaitu negara dan yang bertanggung jawab untuk memenuhi

hak anak, yakni orang dewasa pada umumnya. 13 Ketiga, menurut cara pembagian

yang sudah sangat populer dibuat berdasarkan cakupan hal yang terkandung

dalam Konvensi Hak Anak, yakni : hak atas kelangsungan hidup (survival), hak

untuk berkembang (development), hak atas perlindungan (protection) dan hak

untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat (participation). Keempat,

menurut cara pembagian yang dirumuskan oleh Komite Hak Anak PBB yang

mengelompokan Konvensi Hak Anak menjadi delapan kategori yaitu ; Langkah

Langkah implementasi umum, definisi anak, prinsip-prinsip umum, hak sipil dan

kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, Kesehatan dan

kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya dan langkah-

langkah perlindungan khusus yang berkaitan dengan hak anak demi untuk

mendapatkan perlindungan khusus.

Meskipun dengan diratifikasinya beberapa konvensi internasional oleh

India, namun belum memberikan perubahan yang signifikan dalam mengatasi


13
National Commission for Protection of Child Right, India Child Marriage and Teenage
Pregnancy, India Report 4 september 2018, Hal 9, tersedia di www.ncpcr.gov.in diakses pada
tanggal 25 juni 2021

14
masalah pernikahan anak hingga saat ini, dan tentu terdapat beberapa faktor yang

melatarbelakangi hambatan-hambatan dalam meminimalisir praktek pernikahan

anak tersebut, baik dari faktor budaya dan keagamaan seperti “Mrityu bhoj”

Arkha teej atau Akhsaya Tritiya dan Attasatta, sistem mahar, sistem kasta, selain

itu juga terdapat faktor norma sosial, ekonomi, Pendidikan, hingga pola asuh

kedua orang tua. Dimana faktor tersebut menjadi pendorong terbesar terjadinya

pernikahan anak yang ada di India14

Setelah beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah india dengan

meratifikasi sejumlah konvensi terkait pernikahan anak dan pemenuhan HAM

anak perempuan dan mengadopsinya kedalam kerangka hukum nasional untuk

memberantas pernikahan anak, namun hasil yang dicapai belum menunjukan hasil

yang memuaskan, dimana tren angka pernikahan anak masih tinggi dan tren

penurunan masih terbilang sangat lambat. Pada resolusi PBB tahun 2013 yang

membahas tentang pernikahan anak, dan paksaan pernikahan, India belum

dianggap berhasil untuk mengatasi secara efektif segala jenis praktik pernikahan

anak yang ada didalam negrinya. India juga mendapat kritikan oleh Komite

Konvensi Hak Anak (CRC) pada laporan tahun 2014 bahwa komite sangat

prihatin dengan prevalansi pernikahan anak di India yang masih sangat tinggi.

Komite Konvensi Hak Anak menyayangkan masih banyaknya hambatan pada

implementasi PCMA sebagai undang-undang utama tentang hak anak yang

kinerjanya dalam mengatasi masalah tersebut belum maksimal.

14
Rovi Husnaini & Devi Soraya, Dampak Pernikahan Usia Dini, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam,
Vol. 4, No. 1, 2019 Hal. 72 tersedia di http://journal.uin-aladdin.ac.id diakses pada tanggal 24 juni
2021

15
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan PCMA tidak berjalan dengan

maksimal dalam menangani masalah pernikahan dini antara lain didasari oleh

sistem hukum dan pembuat kebijakan gagal karena kurangnya unsur feminis

dalam pembuatan undang-undang dan pengambilan kebijakan, kemudian di satu

sisi, perkawinan anak telah tumbuh karena tidak adanya wanita yang mencolok

dari proses pembuatan undang-undang. Akibatnya, hukum dan pelaksanaannya

direplikasi dalam gambar laki-laki, kemudian kurangnya implementasi ketentuan

hukum yang ada. Selain itu juga terdapat tantangan dari faktor ekonomi dimana

pada kehidupan masyarakat pedesaan yang hidup dalam keadaan miskin yang

kemudian memiliki anak lebih dari dua orang dengan harapan lebih banyak anak

maka lebih banyak yang akan membantu keluarga, namun realitanya anak

perempuan dianggap tidak mampu menopang kehidupan keluarga dibandingkan

dengan anak laki-laki, anak perempuan di anggap akan meninggalkan rumah

ketika ia menikah. Akibatnya keluarga ini tidak melihat manfaat ekonomi bila

mendidik anak perempuan mereka, mengakibatkan anak-anak perempuan ditarik

keluar dari sekolah, dan prospek pekerjaan yang mempuni dimasa depan akan

sulit untuk didapatkannya. Seorang gadis muda dianggap beban ekonomi

keluarga, oleh sebab itu pernikahannya dengan laki-laki dewasa bahkan dengan

yang jauh lebih tua sekalipun, karena diyakini mampu menguntungkan anak dan

keluarga secara finansial. Hingga masalah seperti ini pernikahan anak dianggap

sebuah transaksi bagi banyak orang dan keluarga yang memiliki anak perempuan,

karena seorang anak perempuan dianggap sebagai satu-satunya komoditas yang

tersedia bagi keluarga yang hidup dalam garis kemiskinan. Disisi lain anak

16
perempuan juga dianggap sebagai sebuah mata uang yang dapat digunakan

sebagai alat untuk membayar hutang.

Dalam meneliti kasus pernikahan anak di India, penulis mengaitkan masalah

bias gender dalam kasus pernikahan anak tersebut terhadap implementasi dari

konvensi internasional yang sejak tahun 1992 diratifikasi oleh India. Untuk itu,

korelasi dari masalah bias gender dan konvensi internasional dalam kasus

pernikahan anak di India penulis akan merumuskan masalah tersebut dan

menganalisisnya dengan beberapa teori dalam perspektif hubungan internasional,

sehingga menjadikan masalah tersebut menjadi relevan untuk dikaji lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, nampak bahwa situasi dan kondisi india

saat ini masih mengalami masalah pernikahan anak yang belum bisa diatasi oleh

pemerintah dalam negri India , berdasarkan data yang didapatkan penulis dapat

menarik sebuah rumusan masaalah sebagai berikut :

1. Bagaimana masalah bias gender dapat menjadi faktor penghambat

pelaksanaan Convention on the Right of the Child untuk menangani kasus

pernikahan anak di India ?

1.3 Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan dari penulisan ini adalah untuk menelaah lebih

dalam terkait masalah pernikahan anak yang terjadi di india, dan melihat

bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam negri india dalam

mengatasi kasus pernikaahan anak hingga meratifikasi beberapa konvensi

17
internasional dan mengadopsinya kedalam undang-undang yang memmbahas

tentang pernikahan anak. Dalam penelitian ini penulis juga menganalisis apa saja

yang kemudian menjadi hambatan pemerintah india dan apa saja faktor

pendukung terjadinya pernikahan anak hingga peraturan tentang pernikahan anak

sulit untuk diimplementasikan. Selain itu dalam penulisan ini terdapat tujuan

umum dan khusus guna lebih memahami kerangka dasar dari penelitian ini,

sebagai arahan yang lebih konverhensif dan mendetail terkait dengan sebuah

tujuan penelitian antara lain sebagai berikut.

1.4.1 Tujuan Umum

1. Untuk menganalisis peran gender sebagai penghambat implementasi

Convention on the Right of the Child untuk menangani kasus pernikahan

anak di India.

2. Untuk memahami lebih terkait implementasi Convention On The Right Of

The Child dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

3. Untuk mengetahui tingkat perkembangan penanganan kasus pernikahan

anak setelah terciptanya undang-undang dalam negri dan diratifikasinya

convention on the right of the child oleh India.

1.4.2 Tujuan Khusus

Selain tujuan umum terdapat pula tujuan khsus penulis selama penelitian ini

berlangsung, antara lain :

1. Untuk mengetahui bagaimana peran negara dalam melindungi hak asasi

manusia dalam kasus pernikahan anak.

18
2. Untuk menganalisis perkembangan pernikahan anak di India setelah

meratifikasi convention on the right of the child.

3. Untuk mengetahui konsekuensi sebuah negara dalam meratifikasi

konvensi apabila tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam

mengimplementasikan konvensi internasional kedalam kasus pernikahan

anak di India.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan mampu unuk mengembangkan

pengetahuan terkait upaya pemerintah india dalam mengatasi permasalahan

pernikahan anak, dan bagaimana implikasi Convention On The Right Of The Child

setelah diratifikasi oleh india. Hal yang menjadi penting dalam penelitian ini

adalah apabila kebijakan pemerintah maupun aturan terkait pernikahan anak harus

ditegaskan dan terdapat sanksi hukum yang jelas, maka terdapat pergeseran

budaya dan kepercayaan masyarakat india yang telah dianut, hingga menimbulkan

sebuah stigma negatif dari masyarakat yang notabenenya masyarakat india

merupakan masyarakat yang fanatik dan simpatik terhadap kehidupan berbudaya

dan beragama, karena disamping kasus pernikahan anak merupakan kasus

pelanggaran hak asasi manusia, namun bagi masyarakat india percaya bahwa hal

tersebut terjadi karena beberapa faktor sosial,budaya,maupun ekonomi. Pada

akhirnya peran pemerintah dalam kasus tersebut sangat berpengaruh dalam

menyeimbangkan permaslahan struktural sosial dengan peraturan yang telah

diterapkan.

1.4.1 Manfaat Teoritis

19
Secara teoritis dan akademis, sebagai sarana untuk melatih dan

mengembangkan kemampuan penulis dalam mengaplikasikan teori-teori maupun

konsep yang telah diperoleh dari perkuliahan, khususnya yang berkaitan dengan

masalah pernikahan anak dan peran rezim internasional maupun dalam negri yang

pada penelitian ini terjadi di India.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

dan bahan refrensi bagi penulis lainnya dalam menulis penelitian selanjutnya pada

bidang kajian global kontemporer, decision maker, dan peran negara dalam

menjaga kesejahteraan serta perlindungan hak asasi manusia, meskipun dalam

skala yang sangat kecil.

1. Manfaat Akademisi

Secara akademisi, penelitian ini disusun untuk menyelesaikan tugas akhir

dalam studi Hubungan Internasional di Universitas Mataram. Dan diharapkan

penelitian ini bisa bermanfaat dalam pengembangan penelitian di bidang

Hubungan Internasional, khususnya bagi pengembangan isu kajian global

kontemporer.

2. Pemangku kebijakan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi dan pertimbangan

khusus bagi para pengambil kebijakan dalam menganalisis dan

menginterpretasikan sebuah kebijakan yang lebih menguntungkan bagi

pertumbuhan negaranya serta mempertimbangkan strategi lebih mendalam dalam

menyelesaikan masalah maupun menciptakan masalah.

20
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Secara khusus dalam jangkaun pengetahuan peneliti, ada beberapa karya

tulis yang secara substansial membahas tentang pernikahan anak yang terjadi di

21
india yang di abadikan dalam bentuk artikel, jurnal maupun review buku. Dari

sekian tulisan yang ada peneliti belum menjumpai karya tulis yang secara khusus

membahas tentang prilaku pemerintah india yang gagal mengatasi masalah

pernikahan anak dan dengan diratifikasinya konvensi hak anak. Topik ini menjadi

menarik karena masih jarang diteliti secara detail, selain itu praktek pernikahan

anak yang dimana pemerintah India meratifikasi konvensi dan menghasilkan

perkembangan yang minim, tentu hal tersebut menjadi sorotan bagi rezim

internasional dikarenakan isi dan perjanjian dari konvensi tidak sepenuhnya

berjalan di India. Tindakan ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi

India dalam mengatasi masalah dalam negri maupun dunia internasional.

Literatur pertama berjudul “Peran UNICEF Dalam Menangani Kasus

Pernikahan Anak Dibawah Umur di India” oleh Asmarita yang di publikasikan

dalam Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2 Oktober 2015. 15Penelitian ini

membahas bagaimana upaya UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di

India, kemudian memberikan dukungan dalam bidang hukum dan Pendidikan,

dengan menggunakan perspektif pluralisme dan teori organisasi internasional.

Dengan demikian kasus tersebut berfokus pada peran aktor non-Negara yang

menurut pluralisme bahwa negara bukan aktor tunggal dalam hubungan

internasional, melainkan aktor non-Negara juga mempunyai peranan penting

dalam aktivitas internasional yang dapat berinteraksi melewati batas-batas

tradisional suatu negara, hingga Organisasi Internasional menjadi aktor mandiri


15
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di Inida,
Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, tersedia di www.jom.unri.ac.id
diakses pada tanggal 8 juli 2021

22
berdasarkan haknya dalam mengatasi permaslahan di suatu negara. Sehingga pada

penelitian ini berfokus pada peran organisasi internasional dalam menangani

permasalahan pernikahan anak di India.

Misi UNICEF dalam penelitian Asmarita ini dijelaskan untuk

mengembangkan kualitas kesehatan, pendidikan anak dan perempuan serta

membebaskannya dari tindakan kekerasan dan kejahatan. Namun misi ini akan

gagal apabila anak di dunia melakukan pernikahan, sehingga fokus utama dari

UNICEF yaitu menghapus pernikahan anak. Dengan begitu UNICEF terus

menerus akan mendukung negara-negara dengan berbagai program untuk

mengimplementasikan dan melaporkan kewajiban berdasarkan konvensi dan

perjanjian hak asasi manusia. Kemudian UNICEF bekerjasama dengan mentri di

suatu negara untuk mendukung strategi pencegahan pernikahan anak, seperti

halnya pada bidang hukum, dengan mendukung penegakan hukum dan kebijakan

yang melarang pernikahan anak, menegaskan sistem pendaftaran dari kelahiran

yang membantu pelaksanaan hukum yang melarang pernikahan anak hingga akan

berjalan efektif. UNICEF juga bekerjasama dengan komunitas sosial yang

memiliki perhatian terhadap kasus pernikahan anak di bawah umur. Kemudian

UNICEF memberikan saran umur minimal dalam melakukan pernikahan yaitu 21

tahun untuk pria dan 18 tahun untuk wanita, yang kemudian Prohibition of Child

Marriage Act 2006 sebagai undang-undang utama tentang pernikahan anak

menetapkan umur yang legal bagi pernikahan pada usia tersebut. Selain itu

UNICEF juga memberikan dukungan di bidang Pendidikan dengan meratifikasi

aturan hak untuk mendapatkan pendidikan hingga bekerjasama dengan

23
pemerintah dan masyarakat sipil untuk mejalankan aturan tersebut. UNICEF

bersama dengan Department of School Education and Literacy mendukung

program pemerintah yaitu Sarva Shiksha Abhiyan (Education for all) demi

meningkatkan akses pendidikan, serta meningkatkan pembelajaran di lingkungan

anak-anak. Program ini fokus pada pendidikan dasar untuk anak usia 6 sampai 10

tahun agar mendapatkan pendidikan hingga kelas 10. Sekolah yang nyaman dan

sistem pengembangan guru dibuat untuk meningkatkan hak anak untuk belajar.

Program ini bertujuan demi memberikan pendidikan sehingga dapat mengurangi

kasus pernikahan anak.

Dari pememuan diatas, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap fokus

penelitian dari Asmarita dengan tulisan ini. Tulisan Asmarita memfokuskan pada

upaya-upaya yang dilakukan oleh UNICEF dalam mengatasi masalah pernikahan

anak di seluruh dunia khusunya di India, dengan menggunakan perspektif

pluralisme dan teori Organisasi Internasional. Namun pada penelitian tersebut

tidak digambarkan dengan jelas perubahan maupun dampak dari upaya UNICEF

dalam upaya mengatasi maslah pernikahan anak di India tersebut, sehingga fokus

utama pada penelitian Asmarita adalah pada Organisasi Iternasional yang

berperan di suatu negara. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan akan

membahas mengapa pernikahan anak yang meskipun telah diratifikasinya

konvensi hak anak (CRC), dan badan hukum tentang pernkahan anak (PCMA)

yang secara khusus membahas tentang pernikahan anak namun belum terjadinya

perubahan yang signifikan dalam penanganan masalah tersebut oleh pemerintah

India.

24
Literatur kedua yang berjudul “Kendala India dalam Upaya Mematuhi

Konvensi Internasional Terkait Pemenuhan HAM Anak Perempuan dalam

Pemberantasan Pernikahan Anak di India melalui Pemberlakuan UU PCMA” oleh

Alfandia Vamyla Azhar Putri, yang di publikasikan dalam Journal of

International Relation, Volume 6, Nomor 3, 2020, hal 453-462.16 Penelitian ini

membahas tentang apa yang menjadi kendala India sebagai negara dengan tingkat

kasus pernikahan anak tertinggi di dunia dan bagaimana kepatuhan terhadap

konvensi internasional dalam memenuhi hak asasi manusia tentang anak

perempuan serta pemberantasan pernikahan anak dengan memberlakukan UU

PCMA sebagai undang-undang domestik yang secara khusus membahas tentang

pernikahan anak dengan menggunakan Teori Ketidakpatuhan, dimana teori

ketidakpatuhan mennjelaskan bahwa terdapat suatu masalah kepatuhan antara

rezim internasional dan prilaku negara, hingga ketidakpatuhan tersebut timbul

karena terdapat tiga alasan kegagalan, diantaranya ; kegagalan kejelasan

kewajiban, kegagalan kejelasan kinerja, dan kegagalan kejelasan respon. Hingga

penelitian ini berfokus pada faktor penyebab ketidakefektifan hukum nasional

India untuk memberantas pernikahan anak, dimana faktor-faktor ini menjadi

kendala bagi India untuk melaksanakan kepatuhannya terhadap konvensi

internasional yang telah diratifikasi sebelumnya.

Pada penelitian Alfandia ini dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor

yang melatarbelakangi ketidakefektifan undang undang PCMA tersebut, salah


16
Alfandia Vamyla Azhar Putri, Kendala India dalam Upaya Mematuhi Konvensi Internasional
Terkait Pemenuhan HAM Anak Perempuan dalam Pemberantasan Pernikahan Anak di India
melaui Pemberlakuan UU PCMA, Journal of International Relations, Volume 6, Nomor 3, 2020,
hal 453-462, tersedia di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi diakses pada tanggal 30 juli
2021.

25
satunya disebabkan oleh faktor norma dan budaya yang mengakar telah

melahirkan adat dan tradisi yang hingga sekarang telah meliputi seluruh bagian

kehidupan masyarakat, kemudian melahirkan praktik sistem perkawinan seperti

pemberlakuan mahar, Arkha teej, Atta Satta, Mrityu bhoj, dan sistem kasta, yang

kemudian norma-norma tersebut seringkali mendorong praktik pernikahan anak di

India. Selain itu praktik pernikahan anak ini dikemudikan oleh jaringan

terorganisir yang bekerjasama dengan oknum pemerintah daerah yang

memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari kasus

tersebut. Hingga pada penelitian Alfandia disimpulkan bahwa India belum mampu

memenuhi kepatuhannya terhadap konvensi internasional meskipun output dari

diratifikasinya konvensi telah menciptakan dan mengembangkan undang-undang

khusus yang membahas tentang pernikahan anak (PCMA), namun pada

kenyataannya praktek tersebut masih menunjukan tingkat penurunan kasus

pernikahan anak yang terbilang sangat rendah.

Dari hasil penemuan penelitian Alfandia dijelaskan bahwa untuk

mengkategorikan sumber ketidakpatuhan menjadi tiga macam yaitu ; non-

compliance as preference, yaitu Ketika negara mau menyepakati suatu perjanjian

dikarenakan hanya memanfaatkan keanggotaan politik, atau karena terdapat

tekanan dari domestic, selain itu juga terkadang mungkin para aktor mau

mematuhi perjanjian namun tidak semua bagian, hanya terdapat beberapa bagian

dari kesepakatan tersebut dan aktor lebih memilih tidak patuh karena keuntungan

yang didapat dari Tindakan kepatuhannya tidak lebih besar dari biaya yang harus

dikeluarkan. Kemudian non-complience due to incapacity, yaitu Ketika aktor

26
menganggap kepatuhan hanyalah sebuah manfaat, tetapi aktor gagal mematuhi

perjanjian akibat ketidakmampuan semuber daya keuangan, administrasi,

teknologi, dan pengetahuan yang dimiliki oleh aktor tersebut, juga terdapat

konteks budaya, sosial dan sejarah juga membuat kepatuhan secara signifikan sulit

diperoleh. dan non-compliance due to inadvertence yaitu dimana negara dapat

mengambil Tindakan dengan niat harapan yang tulus untuk mencapai kepatuhan,

tetapi tetap gagal untuk memenuhi standar perjanjian karena masalah ini tidak

terbatas hanya pada negara berkembang, ketidakpastian yang melekat daru

dampak Sebagian besar strategi kebijakan bahkan memungkinkan upaya bagi

negara maju untuk mengubah perilaku warga dan negara mereka akan gagal untuk

mencapai hasil yang diharapkan. Hingga Alfandita menyimpulkan bahwa faktor

kendala kepatuhan india terhadap konvensi yang disepakati, dianalisis dengan

kategori ketidakpatuhan tersebut, menurut ketidakpatuhan sikap dan prilaku

negara yang akhirnya tidak sejalan dengan perjanjian yang telah disepakati yang

diakibatkan oleh beberapa faktor.

Dari temuan diatas nampak jelas perbedaan dari penelitian Alfandia dengan

penelitian ini, yaitu dari persfektif atau teori yang digunakan yaitu teori

ketidakpatuhan, karena sejalan dengan fokus penelitiannya yaitu pada kendala

India dalam mematuhi konvensi internasional, dan terlihat jelas pada tulisan

tersebut lebih menekankan pada prilaku pemerintah terhadap ketidakmampuannya

untuk mengatasi masalah pernikahan dini yang sesuai dengan isi konvensi yang

telah di ratifikasi adalah substansi utama dalam penulisannya, berbeda dengan

penelitian ini yang berfokus pada masalah yang terjadi di India yaitu kasus

27
pernikahan anak yang di elaborasikan dengan konsep HAM dan Feminisme,

sehingga penulis dapat dengan mudah mengaitkan kasus tersebut kedalam aturan

dan anjuran konvensi untuk melindungi hak-hak anak, karena pada dasarnya

konvensi tentang hak anak tersebut dibentuk untuk melindungi hak-hak yang

dimiliki oleh anak, serta untuk menjelaskan lebih detail dan untuk memastikan

bahwa konvensi tidak di implementasikan dengan sebagaimana mestinya oleh

pemerintah india tentu konsep HAM dan Feminisme adalah pisau analisis yang

tepat guna mencapai tujuan yang akan dicapai berdasarkan dengan kasus

pernikahan anak yang terjadi di India karena Convention on the Right of the Child

tidak terlepas kaitannya dengan HAM.

Literarur ketiga yang berjudul “Pengalaman Pernikahan Dini di Negara

Berkembang” oleh Fitriyani Bahriyah, Sri Handayani dan Andari Wuri Astuti,

yang di publikasikan ke Journal Of Midwifery And Reproduction Vol. 4 No. 2

maret 2021. 17Tulisan ini bertujuan untuk memetakan literatur tentang pengalaman

pernikahan dini pada ibu muda di negara-negara berkembang, yang kemudian

dikembangkan menggunakan kerangka Population, Exposure, Outcome, Dan

Study Design (PEOS). Pada temuannya menunjukan bahwa karena faktor

perasaan kesepian, cinta, rasa hormat, dan kurangnya kemandirian dan peran

keluarga yang mendorong remaja untuk melakukan pernikahan dini. Hingga

akibat dari pernikahan dini yang terjadi di negara-negara berkembang ini

mengakibatkan terbatasnya akses ke layanan Kesehatan, kurangnya otonomi

dalam pengambilan keputusan, keguguran, perceraian, kekerasan dalam rumah


17
Fitriyani Bahriyah, Sri Handayani, Andari Wuri Astuti, Pengalaman Pernikahan Dini di Negara
Berkembang, Jurnal Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Vol 4 No. 2, Maret 2021, tersedia
di https://jurnal.umbjm.ac.id diakses pada 17 mei 2021

28
tangga, kemiskinan, putus sekolah, kemiskinan dan gangguan psikologis, hingga

dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini memiliki konsekuensi Kesehatan,

ekonomi dan psikologis yang negatif bagi remaja di negara-negara berkembang.

Dari hasil penemuan penelitian Fitriani, Andari dan Handayani ini

dijelaskan bahwa terdapat beberapa pola dan variasi dari pernikahan dini, yaitu

pola pertama dalam konteks pengambilan keputusan pernikahan dini, didasari

oleh faktor diri sendiri dan orang lain, dimana anak perempuan menunjukan self-

effficiacy untuk bergerak maju dengan dukungan calon pengantin pria, meskipun

terdapat ketidaksetujuan dari orang tua. Hal ini sering digambarkan sebagai

keinginan menikah berdasarkan cinta. Kemudian dari faktor orang lain, dimana

perencanaan pernikahan seorang gadis hamper tidak pernah dimulai dari gadis itu

sendiri, melainkan pada orang-orang terdekat dan keluarga. Kemudian pola yang

kedua berdasarkan perubahan praktik pernikahan, dimana informasi Kesehatan

reproduksi yang masih minim diketahui dan diajarkan oleh orang tua dan hal

tersebut masih dianggap hal yang tabu di kalangan masyarakat mengakibatkan

kurangnya pengetahuan akan hal tersebut bagi para gadis yang akan menikah.

Persepsi usia menikah, pencatatan pernikahan, harga mahar, masa

pertunangan dan pernikahan keluarga juga mempengaruhi perubahan praktik

pernikahan yang umumnya terjadi di negara berkembang. Kemudian pola yang

ketiga dari faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini di negara

berkembang, yaitu dari faktor ekonomi, rendahnya tingkat Pendidikan,

implementasi program Kesehatan yang tidak memadai, menjaga kehormatan

keluarga, nilai-nilai budaya, kehilangan orang tua, tidak adanya sanksi dari praktik

29
pernikahan dini, berdasarkan keyakinan agama, dan kebutuhan seksual. Adapun

dampak yang diakibatkan dari pernikahan dini yaitu akses ke pelayanan

Kesehatan rendah, otonomi yang rendah dalam mengambil keputusan, abortus,

perceraian, Kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, putus sekolah dan

konsekuensi psikologi. Hingga pada kenyataannya pernikahan yang dilakukan

pada usia dini masih umum terjadi di negara berkembang, dan temuan dari

penelitian ini bahwa hukum yang membatasi usia pernikahan belum ditegakkan

secara maksimal, dan dibutuhkan upaya masyarakat untuk mengubah norma-

norma yang mendukung praktik pernikahan dini, yang tentu diperlukan untuk

mengurangi pelanggaran dari Hak Asasi Manusia terhadap perempuan.

Dari hasil penelitian diatas tampak jelas perbedaan dari penelitian ini,

yaitu dari penelitian Fitriani, Andari, dan Handayani ini menjelaskan pengalaman

pernikahan dini yang terjadi di negara-negara berkembang dan menjelaskan

beberapa pola dan variasi dari pernikahan dini, dibandingkan dengan penelitian

ini, yang secara khusus membahas pernikahan yang terjadi di India dengan

mengedepankan konvensi internasional yang telah diratifikasi di negara tersebut

demi menciptakan tren penurunan praktik pernikahan anak di India. Selain itu

metode penelitian yang digunakan oleh Fitriani, Andari dan Handayani adalah

metode scoping review yang merupakan tinjauan untuk digunakan sebagai

pemetaan konsep yang mendasari area penelitian, sumber bukti, dan jenis bukti

yang tersedia. Langkah yang dilakukan dalam tinjauan tersebut adalah Langkah

mengidentifikasi fokus review, mengembangkan fokus review dan strategi

pencarian menggunakan format PEOS, mengidentifikasi studi yang relevan,

30
memetakan data dan extraction data dengan menyusun, meringkas, dan

melaporkan hasil ataupun pembahasannya.

Literatur ke empat yang berjudul Pernikahan Anak di India : Faktor dan

masalah, oleh B. Sures Lala, di publikasikan dalam Jurnal Sains dan Penelitian

Internasional (IJSR) Vol. 4 Edisi 4, April 2015, penelitian ini membahas tentang

kondisi sosial ekonomi dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi pernikahan anak dan untuk mengkaji implikasi dari pernikahan

anak, serta untuk menganalisis tindakan konstitusional dan hukum terhadap

perkawinan anak dan pelaksanaannya.18 Kemudian penelitian ini dianalisis

berdasarkan data primer dan skunder, yang meliputi berbagai isu seperti

kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, Kesehatan, dan tingkat manajemen

maupun taraf hidup anak perempuan yang sudah menikah. Pernikahan anak ini

menjadi salah satu fokus pemerintah dalam pembangunan dan menjadi masalah

yang cukup serius dikarenakan perempuan berdiri di persimpangan jalan antara

produksi dan reproduksi, antara kegiatan ekonomi dan pemeliharaan manusia,

oleh sebab itu hal ini menjadi penting karena berada dalam situasi antara

pembangunan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia, pada dasarnya

mereka adalah pekerja di kedua bidang.

Pada tulisan ini dijelaskan beberapa faktor yang memotivasi terjadinya

pernikahan anak, di antaranya yaitu ; pertama, untuk menghindari pengeluaran

untuk Pendidikan Wanita, namun hal tersebut menjadi boomerang bagi para

18
B. Sures Lala, Child Marriage in India : Factor and Problem, International Journal of Science
and Research, Vol. 4 Issue 4, April 2015, tersedia di www.ijsr.net diakses pada tanggal 3
September 2021

31
Wanita karena kapasitas seseorang untuk mendapatkan pekerjaan berdasarkan

pada tingkat Pendidikan yang telah dicapai, sehingga hal tersebut akan

menjadikan para wanita akan bergantung pada laki-laki setelah mereka menikah,

yang kemudian hal tersebut membuat status suami lebih tinggi dibandingkan istri.

Faktor Kedua untuk meminimalkan pengeluaran pernikahan, apabila terjadi suatu

pernikahan yang memberikan mahar adalah dari pihak perempuan, dan semakin

tinggi tingkat Pendidikan yang ia tempuh maka semakin tnggi mahar yang

diberikan, faktor selanjutnya adalah untuk menghindari bagian dalam harta

leluhur, karena perempuan yang menikah dibawah umur belum bisa mendapatkan

warisan oleh karenanya, orang tua mereka menganjurkan pernikahan dini bagi

anak perempuannya. Pernikahan anak juga masih sering terjadi ketika

mendekekati hari-hari suci yang telah menjadi tradisi keagamaan di banyak

tempat di India oleh sebab itu hal tersebut cukup sulit untuk diubah.

Dari penemuan diatas, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap fokus

penelitian B. Sures Lala dengan tulisan ini. Tulisan B. Sures Lala fokus pada

masalah yang terjadi pada kasus pernikahan dan faktor apa saja yang mendorong

terjadinya pernikahan dini di India, serta mendeskripsikan pemerintahan

sebelumnya yang mengawali kasus pernikahan dini, karena pada masa tersebut

hukum dan ketertiban belum bersifat universal sehingga pemerintahan pada masa

itu masih bersifat sewenang-wenang di tangan hirarki yang dipimpin oleh

raja.namun Pada tulisan tersebut tidak dijelaskan tentang langkah apa yang akan

dilakukan oleh pemerintah guna mengurangi angka penurunan pernikahan anak di

India, dan konsep ataupun teori tidak dielaborasikan untuk mengkaji masalah

32
penikahan dini di India, sehingga pada pada tulisan tersebut terlihat bahwa hanya

menjelaskan kondisi sosial dan permasalahan pernikahan dini saja dibandingkan

dengan tulisan ini, dimana penulis menjelaskan beberapa aturan seperti aturan-

aturan yang mengatur tentang pernikahan dini, seperti Prohibition of Child

Marriage Act sebagai undang-undang utama India yang mengatur tentang

pernikahan anak, selain itu penulis juga mengaitkan kasus pernikahan tersebut

dengan konsep HAM dan feminsime serta implementasi dari konvensi

internasional yaitu Convention on the Right of the Child, hingga menjadikan

penulisan B. Saras Lala dan tulisan terdapat perbedaan yang signifikan.

2.2 Kerangka Teori

Untuk membantu menganalisis dan memberikan pemahaman lebih terkait

kasus pernikahan anak yang terjadi di India, penulis menggunakan beberapa

konsep dalam menganalisis kasus tersebut diantaranya teori feminisme untuk

mengetahui bagaimana struktur sosial masyarakat yang ada di India sehingga

menjadikan pernikahan anak menjadi sebuah kebiasaan dan melekat pada struktur

sosial dan budaya meskipun hal tersebut adalah sebuah ketimpangan khususnya

pada anak perempuan. Untuk memahami lebih jauh peran negara dalam

menyikapi peristiwa ini hingga meratifikasi beberapa konvensi internasional demi

meminimalisir praktik pernikahan anak penulis menggunakan Feminisme dalam

mengkaji dan menganalisis kasus pernikahan anak di India.

2.1.1 Feminisme

33
Penelitian ini menggunakan teori Feminisme dengan memfokuskan pada

Feminisme Liberal sebagai perspektif dalam mengkaji dan menganalisis kasus

pernikahan anak di India. Feminisme merupakan suatu kesadaran akan penindasan

dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam

keluarga, serta Tindakan sadar perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan

tersebut. Secara teoritis, Feminisme adalah himpunan teori sosial, gerakan politik,

dan filsafat moral yang sebagian besar didorong oleh atau yang berkenaan dengan

pembebasan perempuan terhadap pengetepian oleh kaum laki-laki. Feminisme

dalam hubungan internasional merupakan teori yang menggunakan gender

sebagai kategori utama dalam analisis, yang menganggap gender sebagai bagian

dari pola hubungan tertentu, memiliki dikotomi antara public dan privat, dan

menggunakan isu-isu tentang gender sebagai upaya memberdayakan Lembaga-

lembaga internasional, serta menghimbau agar gender penting dalam tatanan

internasional.19

1. Feminisme Liberal

Femisisme Liberal merupakan aliran feminis yang berkonsentrasi pada

asumsi bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang

kemudian perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki,

feminisme ini lebih berfokus pada perubahan aturan, atau undang-undang yang

dianggap dapat melestarikan sistem patriarki, seperti, kepala keluarga

konvensional yang berlaku secara universal yaitu suami sebagai pemberi nafkah

19
Khattak SG. Feminism in Education: Historical and Contemporary Issues of Gender Inequality
in Higher Education, Occasional Papers in Education & Lifelong Learning: An International
Journal 5(1):67-81.

34
dan pelindung keluarganya. Maka hal ini oleh feminisme liberal tidak sesuai

dengan konsep kebebasan inidividu untuk hidup mandiri dan menentukan sendiri

jalan hidupnya sendiri, hingga konsep keluarga tersebut menurut pandangan

Feminsisme Liberal dapat membuat perempuan menjadi terus bergantung pada

laki-laki. Femminisme Liberal berbicara tentang sebuah ketimpangan kesempatan

di ruang publik antara laki-laki dengan perempuan, Feminisme Liberal

mengutamakan rasionalitas maupun otonomi perempuan atas tubuhnya. 20

Feminisme memiliki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang

tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda. Mereka menyadari

bahwa negara didominasi oleh kaum pria, yang terefleksikan menjadi kepentingan

yang maskulin, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi

kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Jelasnya, bahwa negara

adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang mempunyai kendali

atas negara tersebut. Untuk kaum Feminis Liberal perempuan cenderung berada

dalam negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan.

Hingga pada masalah ini terdapat ketidak setaraan perempuan di dalam berpolitik

dan bernegara.

Feminisme adalah suatu studi yang memandang wanita dan pergerakan

wanita bukan sebagai obyek dari ilmu pengetahuan, melainkan sebagai subjeknya.

Feminisme berargumen bahwa perempuan harus dimasukkan dalam bidang

kehidupan publik yang sebelumnya menolak adanya perempuan. Teori feminisme

20
Khattak SG. Feminism in Education: Historical and Contemporary Issues of Gender Inequality
in Higher Education, Occasional Papers in Education & Lifelong Learning: An International
Journal 5(1):67-81.

35
merupakan teori sebagai upaya atas kritikan terhadap studi laki-laki untuk

mentransformasikan tekanan struktural, dimulai dari pengalaman tekanan sebagai

perempuan. Seperti halnya pada salah satu masalah yang terjadai di India, bahwa

terdapat anggapan status perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat, budaya

dan keagamaan serta anggapan masyarakat bahwa anak wanita hanya akan

menjadi beban bagi keluarganya kelak, maka banyak orang tua yang melakukan

aborsi atau pembunuhan bayi perempuannya, atau jika bayi ini tetap hidup,

mereka banyak yang ditelantarkan oleh keluarganya, sehingga feminisme liberal

muncul untuk mendobrak kesubordinatan wanita dibawah pria yang menuntut

kesamaan dan kesetaraan hak dan keadilan antara pria dan wanita karena kaum

perempuan merasa dirugikan, dimarginalkan dan dinomor duakan dalam segala

bidang kehidupan. 21

Feminisme liberal secara umum ingin menunjukan gejala-gejala opresi

terhadap perempuan, subordinasi, sebab-sebab dan konsekuensinya. Mereka

menyebut sistem patriarki, hukum dan aturan yang diskriminatif, kepemilikan

harta yang tidak seimbang, pelecehan seksual antara suami-istri sebagai cerminan

tidak opresi terhadap perempuan. Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh

gerakan feminisme liberal adalah :

a. Tercapai kesamaan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai

manusia bebas, baik dalam dunia publik maupun privat.

b. Penghapusan segala opresi dan perbedaan gender dalam masyarakat.

21
Muslikhati S. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam.
Jakarta: Gema Insani.

36
c. Kebebasan individu untuk memilih dan memutuskan sesuai keinginan dan

aspirasinya

d. Menghilangkan anggapan perempuan sebagai objek dari peran laki-laki

e. Memiliki kesempatan yang sama dalam ranah ekonomi, politik,

pendidikan dan ranah publik lainnya.

Untuk melihat bagaimana feminisme liberal dapat menjadi pisau analisis

pada tulisan ini perlu diketahui bahwa masalah yang terjadi di India adalah

masalah bias gender yang mengakar sehingga mengakibatkan berbagai bentuk

diskriminasi terhadap perempuan, seperti masalah kejahatan terhadap perempuan,

pemerkosaan, Dowry atau sistem mahar, human trafficking, keterbatasan akses

pendidikan, anggapan rendah terhadap perempuan dalam pandangan keluarga,

sosial, budaya dan agama. sehingga kesempatan perempuan untuk mendapatkan

kesempatan akses dan berpartisipasi di ranah publik, dan mencapai keadilan serta

kebebasannya dalam segala aspek kehidupan dan menyejajarkannya dengan laki-

laki.

Feminisme liberal berupaya untuk memberikan pandangan bahwa

perempuan dapat mencapai kesetaraan dan terhindar dari tindakan diskriminasi

tersebut dengan ; perempuan harus diberikan pendidikan yang layak seperti

halnya dengan laki-laki, sehingga perempuan mampu meandiri tanpa

ketergantungan terhadap laki-laki, kemudian perlu adanya upaya untuk

membentuk kembali pandangan tentang perempuan dan keperempuanan dalam

struktur sosial sehingg hal tersebut akan memudahkan perempuan untuk mencapai

kematangan, identitas diri, keutuhan pribadi, tanpa mengalami konflik dengan

37
pemenuhan kodrat seksual,dan yang terpenting adalah apabila perempuan dapaat

ikut serta dan aktif dalam parlemen pemerintah demi membela dan mewujudkan

keinginan perempuan serta agar dapat merubah suatu aturan yang berbasis

patrilear.

Pernikahan anak di India tidak lepas dari adanya bias gender, dan dampak

dari bentuk ketimpangan gender tersebut mengakibatkan ketimpangan di bidang

Pendidikan dan ketenagakerjaan. Terbentuknya ketimpangan dalam bias gender

tersebut dikarenakan oleh banyak hal, seperti dibentuk dengan sengaja,

disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial kultural, melalui

ajaran keagamaan maupun konstitusi dari negara. Perbedaan jenis kelamin yang

selanjutnya melahirkan peran gender sesungguhnya tidak menimbulkan masalah

sehingga tidak perlu digugat, misalnya secara biologis kaum perempuan dengan

organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui, namun yang

menjadikannya sebagai sebuah permasalahan adalah ketika terjadinya

ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender antara laki-laki dengan

perempuan yang menjadikan perempuan dimarjinalkan dalam sektor publik.

Kemudian gender digunakan sebagai alat analisis oleh kaum feminis pada

ketidakadilan stuktural dan sistem yang disebabkan oleh gender.22

Dalam argumen feminis secara lebih umum mengidentifikasikan dua

untaian berebeda dalam kritik feminis terhadap pernikahan yaitu pernikahan

menindas perempuan efek praktis, dan pernikahan menindas perempuan efek

simbolis. Kerugian dari efek praktis terhadap perempuan yang dihasilkan dari
22
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
90-91

38
pernikahan mencakup fakta-fakta tak terduga bahwa pernikahan cenderung

memperkuat pembagian kerja berdasarkan gender, yang dengan sendirinya berarti

bahwa perempuan berpenghasilan lebih rendah dan kurang mandiri daripada laki-

laki, kemudian mereka memperkuat gagasan bahwa perempuan melakukan

sebagian besar pekerjaan rumah, bahkan jika mereka bekerja di luar rumah, yang

menguras energi dan martabat mereka, dan bahwa kekerasan dalam rumah tangga

dapat diperburuk oleh konsep perkawinan tentang hak dan kepemilikan.

Sedangkan dalam efek simbolis argumentasinya adalah bahwa pernikahan

merugikan posisi perempuan secara keseluruhan, sehinga menjadikan mereka

inferior. Salah satu cara pernikahan dapat membuat perempuan menjadi inferior

adalah dengan membatasi pilihan dan ambisi mereka yang sesuai. 23

Susan Moller Okin berpendapat bahwa pernikahan memiliki dampak lebih

awal dan jauh lebih besar pada kehidupan dan pilihan hidup wanita daripada pria.

Pierre Bourdeu juga menggambarkan bentuk efek simbolik ini sebagai kekerasan

simbolik, kekerasan simbolik mempengaruhi pikiran daripada tubuh, dan

menimpa orang-orang dengan keterlibatan mereka. Dengan kata lain, kekerasan

simbolik terjadi melalui tekanan sosial, seorang individu merasa dirinya inferior

atau tidak berharga. Sejalan dengan apa yang telah terjadi di India bahwa anak

perempuan bertanggung jawab atas dirinya sendiri karena kesuciannya yang harus

dilindungi dan juga menjadi beban karena mahar adat. Selain itu perempuan juga

dianggap tidak mampu menopang ekonomi keluarga, sehingga untuk memberikan

23
Jacqu true, Feminism and Gender Studies in International Relations Theory,
https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190846626.013.46 Published in print: 01 March 2010
Published online: 30 November 2017

39
anak perempuan akses Pendidikan yang tinggi dianggap perilaku yang sia-sia

karena pada akhirnya ia akan hidup bersama suaminya ketika menikah. Hal

tersebut kemudian menjadikan terciptanya diskriminasi gender pada anak

perempuan sehingga menjadikan pernikahan anak rentan terjadi di India.

Janet Gornick juga berpendapat bahwa pernikahan yang benar-benar

feminis harus melibatkan pembagian egaliter rumah tangga dan tenaga kerja yang

peduli, serta menyarankan tindakan negara untuk memungkinkan dan mendorong

kedua pasangan untuk bekerja lebih sedikit diluar rumah dan terdapat kesetaraan

didalamnya, hingga mereka dapat mencurahkan sisa waktu mereka untuk

pekerjaan rumah tangga. Secara umum kritik feminis tentang pernikahan ini

bergantung pada kekuatan dan penerapannya pada hukum pernikahan yang

berlaku di waktu dan tempat tertentu, dan pada norma sosial dan fakta sosiologis

yang menyertainya.24

Berkaitan dengan konsep Feminisme Liberal dengan fakta sosial dalam

masyarakat yang menganggap bahwa perempuan berada dibawah laki-laki, dan

perempuan dianggap tidak dapat menopang ekonomi keluarga serta orang tua

selalu menginginkan anak laki-laki dengan harapan hanya anak laki-laki yang

mampu membantu ekonomi keluarga. Selain itu pada norma sosialnya masyarakat

India yang percaya pada teks budaya dan keagamaan Dharmasastra, Manu

smritis, Bhashya Medhatithi dan Tolkappiyam dipercaya untuk menyelamatkan

kesejahteraan keluarga, termasuk dengan menikahkan anak perempuan mereka,


24
Monroe, Julie A. "A Feminist Vindication of Mary Wollstonecraft." Iowa Journal of Literary
Studies 8 (1987): 143-152. Available at: https://doi.org/10.17077/0743-2747.1247

40
bahkan adapula masyarakat india waktu itu menikahkan anaknya sejak bayi,

dengan tujuan untuk melindungi keselamatan anaknya. Hingga dengan

mengetahui fakta tersebut Feminsime Liberal berperan dalam mengkritik hal

tersebut dengan mengupayakan perubahan konstruksi sosial dan konstitusi

pemerintahan dengan memberikan aturan dan sosialisai terkait kesetaraan gender,

agar kasus pernikahan yang terjadi sebelumnya dapat memberikan angka

penurunan, dan setidaknya memberikan hak dan perlakuan yang sama antara

perempuan dan laki-laki.

Sejalan dengan arah pemikiran Feminisme Liberal yang fokus pada

individu dan berupaya merubah institusi yang mengakibatkan sebuah

ketimpangan terhadap perempuan, karena pada dasarnya pandangan politik

Feminisme Liberal adalah rekonstruksi dan rekonseptualisasi. Karena pemikiran

masyarakat yang telah terkonstruksi oleh norma sosial dan budaya maupun aturan

keagamaan yang melekat mengakibatkan peran perempuan di ruang publik

maupun keluarga menjadi inferior, dan laki-laki sebagai aktor dominan dalam

ruang publik maupun dalam keluarga. Hal tersebut kemudian yang perlu

diperhatikan untuk menciptakan sebuah aturan pernikahan anak di India yang saat

ini adalah PCMA (Prohibition Child Marriage Act) harus mampu mengimbangi

aturan-aturan keagamaan dan norma sosial yang melatarbelakangi ketimpangan

gender dalam kasus pernikahan anak tersebut. Dengan begitu Feminsime Liberal

sangat penting dalam menganalisis permasalahan tersebut karena perempuan

masih mampu mengklaim kesetaraan dengan laki-laki sesuai pada moral esensial

manusia, juga bisa merubah konstruksi sosial sebelumnya, serta aturan atau

41
hukum tentang pernikahan yang belum memberikan efek yang signifikan untuk

mengurangi angka penurunan kasus pernikahan anak di India masih banyak upaya

untuk memperbaiki dan mengatur kembali ke arah yang lebih baik.

2. Gender

Sejalan dengan dengan adanya praktek pernikahan anak di India dimana

kasus pernikahan anak tersebut terjadi tidak lepas dari adanya bias gender yang

mengakar sehingga menyebabkan berbagai ketimpangan antara laki-laku dan

perempuan, mulai dari ekonomi, norma sosial, budaya, hukum dan politik. Untuk

itu perlu diketahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan gender.

a. Pengertian Gender

Gender merupakan suatu konsep kultural yang merujuk pada karakteristik

yang membedakan antara laki-laki dengan perempuan baik secara biologis,

perilaku, mentalitas dan sosial budaya. Gender didefinisikan sebagai aturan atau

norma perilaku yang berhubungan dengan jenis kelamin dalam suatu sistem dalam

masyarakat, hingga gender seringkali di identikan dengan jenis kelamin atau seks,

meskipun pada dasarnya gender dan seks memiliki konsep yang berbeda, laki-laki

dan perempuan secara seksual dibedakan berdasarkan jenis kelamin yang dimiliki,

namun berbeda dengan gender, perbedaan tersebut tidak menjamin perbedaan

gender, yang berarti bahwa gender sebagai pembeda perilaku, hak, tanggung

jawab, sifat antara laki-laki dan perempuan berdasarkan kebiasaan atau

sosiokultural masyarakat dan bukan bersifat kodrati. 25

25
Jacqu true, Feminism and Gender Studies in International Relations Theory,
https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190846626.013.46 Published in print: 01 March 2010
Published online: 30 November 2017

42
b. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender

Terdapat beberapa bentuk ketidakadilan gender diantaranya adalah

subordinasi, marjinalisasi dan beban ganda, sterotipe dan kekerasan.

1. Subordinasi

Subordinasi merupakan suatu penilaian maupun anggapan bahwa peran yang

dilakukan oleh suatu jenis kelamin lebih utama dan lebih penting dari yang lain.

Dengan kata lain adalah sebuah posisi atau peran yang merendahkan posisi atau

peran yang lain. Seperti halnya jenis kelamin yang dianggap lebih penting, utama,

dan tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya, misalnya laki-laki sebagai

pemimpin.

2. Marjinalisasi

Marjinalisasi adalah suatu proses peminggiran atau menggeserkan, seperti

halnya anak perempuan yang diarahkan sekolah guru, sebagai perawat, sekertaris

dan lainnya, ironisnya pekerjaan-pekerjaan tersebut dinilai lebih rendah

dibandingkan dengan pekerjaan lainnya yang bersifat maskulin.

3. Beban Ganda

Beban ganda artinya beban pekerjaan yang diterima oleh salah satu jenis

kelamin lebih banyak dibandingak jenis kelamin lainnya. Masuknya perempuan di

ruang publik tidak senantiasa mengurangi beban mereka di dalam rumah tangga.

Jadi perempuan khususnya memiliki pekerjaan di ruang publik dan dalam rumah

tangga. Akibatnya perempuan memiliki beban kerja ganda, bahkan sering dituduh

43
mengabaikan tanggung jawab di dalam rumah tangga dan juga tidak berprestasi

dalam ruang publik.

4. Sterotipe

Sterotipe merupakan sebuah pemaknaan atau pemberian label yang

dikenakan kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan

yang salah, dan anggapan tersebut bersifat negative dan secara umum melahirkan

ketidak adilan.

5. Kekerasan

Kekerasan artinya bentuk perilaku baik verbal maupun non verbal yang

dilakukan seseorang atau sekelompok orang sehingga menyebabkan efek negatif

secara fisik, emosional dan psikologis terhadap korban kekerasan. 26

c. Peran Gender

Peran gender adalah peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai

dengan status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakat yang di persepsikan

sebagai peran laki-laki dan perempuan, kemudian dibedakan atas peran produktif,

reproduktif dan sosial.

1. Peran Produktif

26
KEMENTRIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK
INDONESIA, Mencapai Kesetaraan Gender Dan Memberdayakan Kaum Perempuan, dipublikasikan pada 09
juni 2017, tersedia di www.kemenpppa.go.id. di akses 21 oktober 2021.

44
Peran produktif merujuk kepada kegiatan yang menghasilkan barang dan

pelayanan untuk konsumsi dan perdagangan. Meskipun laki-laki dan perempuan

ikut di dalam ruang publik melalui aktivitas produktif namun masyarakat masih

menganggap pencari nafkah adalah laki-laki.

2. Peran Reproduktif

Peran reproduktif dapat dibagi menjadi dua yaitu biologis dan sosial.

Reproduksi biologis menunjuk kepada peran seorang yang melahirkan seorang

manusia baru, dimana hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh seorang perempuan.

Reproduksi sosial menunjuk kepada semua aktivitas yang mereproduksi tenaga

kerja manusia.

3. Peran Sosial

Peran sosial menunjuk pada semua aktivitas yang diperlukan untuk

menjalankan dan mengorganisasikan kehidupan masyarakat. Peran sosial bagi

perempuan biasanya adalah menjalankan kegiatan-kegiatan sosial kebudayaan,

pelayanan kesehatan dan hal tersebut biasanya dersifat sukarela. Sedangkan peran

laki-laki biasanya pada tingkatan masyarakat yang di organisasikan seperti kepala

atau pemimpin di suatu daerah yang mengorganisir berbagai kegiatan sosial

tertentu di suatu daerah.

45
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Ada dua metode berfikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yaitu

metode deduktif dan indukti, metode deduktif dikembangkan oleh Aristoteles dan

46
metode induktif dikembangkan oleh Francis Bacon. Metode deduktif adalah

metode berfikir yang berawal dan berpangkal pada hal-hal yang umum menuju

kepada hal-hal yang khusus, sedangkan metode induktif adalah sebaliknya.

Kemudian dalam kegiatan penelitian ini penulis menggunakan metode deduktif

dalam cara pandang melihat objek penelitian. Kegiatan penelitian tentu

memerlukan metode yang jelas, seperti halnya ada dua metode penelitian dalam

ilmu sosial yaitu metode kualitatif dan kuantitatif, dimana penulis menggunakan

metode kualitatif karena pada dasarnya metode kuantitatif dianggap telah

memenuhi syarat sebagai metode yang baik, karena telah menggunakan istrumen

untuk mengukur gejala atau peritiwa tertentu yang diolah secara statistik, akan

tetapi dalam perkembangannya, data-data yang berupa angka dan pengolahan

matematis tidak dapat menjelaskan kebenaran secara meyakinkan. Oleh karena itu

penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang dianggap mampu menjelaskan

gejala dan fenomena sosial secara lengkap dan menyeluruh.

Sedangkan menurut Strauss dan Corbin, yang dimaksud dengan penelitian

kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan yang tidak dapat

diperoleh menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara lain yang dari suatu

pengukuruan (kuantifikasi)27. Kemudian penelitian kualitatif secara umum dapat

digunakan untuk penelitian tentang kehidupan-kehidupan masyarakat, sejarah,

tingkah laku objek penelitian, fungsionalisasi suatu organisasi, aktivitas sosial,

dan lain sebagainya. Demikian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif

27
Pupu saful rahmat, penelitian kualitatif, equilibrium, vol. 5, no. 9, Januari-Juni 2019 1 – 8
diakses pada 20 juni 2021

47
juga dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi

dibalik fenomena yang kemungkinan merupakan sesuatu yang sulit untuk

dipahami secara memuaskan. Selain itu Bogdan dan Biklen menjelaskan bahwa

metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif yang berupa ucapan ataupun tulisan serta perilaku orang-orang yang

diamati. Kenudian pada penelitian lain Judith Preissle dalam Cesswell, J.

menyatakan tentang penelitian kualitatif yaitu sebagai berikut :

Qualitative research is a loosely defined category of research designs or

models, all of wich elicit verbal, visual, tactile, olfactory, and gustatory, data in

the form of descriptive narratives like field notes, recordings, or other

transcription from audio and videtapes and other written records and fictures or

films.

Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan etnometodelogi,

dimana etnometodologi berupaya memahami bagaimana masyarakat memandang,

menjelaskan serta menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Pendekatan

etnometodologi juga berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat,

menguraikan, dan menerangkan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Dalam

pendekatan ini penulis berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial

sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya. Begitupun pendekatan

penelitian ini sejalan dengan makasud penelitian ini, yaitu untuk melihat

peristiwa dari kendala India dalam menangani kasus pernikahan anak dan

implementasi konvensi hak anak. Dimana faktor utama dalam melihat kasus

tersebut dari aspek kehidupan sosial dan gambaran tata hidup mereka dari segi

48
budaya, ekonomi, agama ataupun kepercayaan yang telah mereka anut

sebelumnya yang kemudian menjadi latar belakang terjadinya maslah pernikahan

anak tersebut. Oleh sebab itu penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian

etnometodelogi yang bersifat kualitatif.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah langkah yang paling strategis dalam

melakukan sebuah penelitian, karena pada dasarnya tujuan dari penelitian adalah

untuk mendapatkan data, tanpa menegtahui teknik pengumpulan data, peneliti

tidak akan dapat memenuhi standar data yang ditetapkan. Untuk itu, Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

library research ( penelitian kepustakaan) dan dokumentasi.

Berkaitan dengan teknik pengumpulan data dalam model penelitian

kepustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh data ataupun teori

yang dibutuhkan oleh peneliti untuk melakukan penelitiannya. Kemudian

pengumpulan data juga dapat dilakukan dengan membaca, mempelajari berbagai

jenis bahan bacaan yang ada di perpustakaan, baik itu berupa buku, laporan, serta

bahan-bahan lain yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan, sehingga

bisa membantu penulis untuk mendapatkan data dalam melaksanakan

penelitiannya. Dalam hal ini sumber data rujukan didapatkan dari Gapki

Indonesia, perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Daerah

Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Perputaskaan Universitas Mataram.

Kedua, Teknik Studi Dokumentasi; cara mengumpulkan data yang

dilakukan dengan kategorisasi klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan

49
dengan masalah penelitian, bail dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran,

majalah dan lain sebagainya. Metode dokumentasi ini adalah bagian dari catatan

rekaman peristiwa yang sudah berlalu, dokumennya bisa berbentuk lisan, tulisan,

ataupun karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumen ini adalah

pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara serta liberary

research dalam penelitian kualitatif. dalam hal itu, dengan menggunakan Teknik

ini, penelitian akan lebih kredibel jika terdapat dukungan sejarah pribadi,

pengalaman pekerjaan, autobiografi, foto-foto, lembar peraturan atau kebijakan,

serta tinjauan lain yang mempunyai kaitan erat untuk menopang kredibilitas data

yang diperoleh sebagai sumber rujukan.

Berkaitan dengan penelitian ini, Teknik dokumentasi dapat peneliti

tambahkan berdasarkan sumber rujukan dari lembar peraturan kebijakan dalam

kerangka hukum yang memiliki korelasi dengan peraturan yang membahas

tentang kasus pernikahan anak di India. Selain itu model dokumentasi foto juga

memiliki posisi kusus dalam melihat proyeksi kedepan. Secara singkat, teknik

pengumpulan data dilakukan dengan langkah observasi dan studi dokumentasi

dari berbagai narasumber yang terkait dengan bahan penelitian.

3.3 Teknik Analisis Data

Dalam penulisan penelitian ini penulis akan menggunakan model analisis

data berbasis interactive model dari Miles dan Huberman. Kemudian terdapat

beberapa tahap dalam melakukan analisis data kualitatif, di antaranya data

collection, data reduction, data display, conclusion.

1. Pengumpulan Data (Data Collection)

50
Hal utama dalam setiap penelitian yaitu mengumpulkan data, dimana dalam

penelitian kuantitatif pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan

kuesioner atau tes tertutup, yang kemudian data yang diperoleh adalah data

kuantitatif. Data tersebut kemudian dianalisis dengan statistic. Berbeda halnya

dengan penelitian kualitatif, pengumpulan data yang dilakukan menggunakan cara

observasi data, wawancara mendalam, dan dokumentasi ataupun gabungan dari

ketiganya, yang biasa disebut (triangulasi). Proses pengumpulan data yang

dilakukan biasanya membutuhykan waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan

sehingga data yang diperoleh akan banyak dan sesuai dengan kebutuhan

penelitian. Pada tahapan awal peneliti melakukan penjelajahan secara umum

terhadap situasi sosial atau objek yang diteliti, semua yang dilihat maupun

didengar akan direkam semua. Oleh karenanya peneliti akan memperoleh data

yang sangat banyak dan bervariasi.

2. Data Reduction ( Reduksi Data)

Reduksi data adalah proses pemilihan dan penyederhanaan dalam

mencantumkan data yang diperoleh sebelumnya untuk disajikan dalam penelitian.

Proses ini berlangsung secara terus menerus selama penelitiain berlangsung,

bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana terlihat dari kerangka

konseptual penelitian, permasalahan studi, dan pendekatan pengumpulan data

yang dipilih peneliti. Reduksi data ini adalah bentuk analisis yang memusatkan,

menggolongkan, mengarahkan bahkan membuang data yang tidak perlu, serta

mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir

dapat diambil. Selanjutnya adalah penyajian data yang merupakan kegiatan ketika

51
sekumpulan informasi disusun, sehingga memberikan kemungkinan akan adanya

penarikan kesimpulan dan tindakan. Bentuk penyajian data kualitatif adalah, teks

naratif yaitu berbentuk catatan lapangan, dan matriks, grafik, jaringan serta

berbentuk bagan. Bentuk-bentuk tersebut kemudian menggabungkan informasi

yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah untuk didapatkan,

sehingga memudahkan untuk melihat apa yang sedang terjadi, dan peneliti dapat

menguraikan apakah kesimpulan sudah tepat atau sebaliknya melakukan analisis

kembali.

Dalam mereduksi data, peneliti akan dipandu oleh teori dan tujuan yang

akan dicapai. Sehingga pada tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada

temuan. Oleh karena itu, apabila peneliti dalam melakukan penelitian dan

menemukan segala sesuatu yang dianggap asing, tidak dikenal, belum memiliki

pola, justru itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan

reduksi data.

3. Penyajian Data (Data Display)

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.

Sehingga pada focus tersebut Miles dan Huberman menyatakan bahwa yanga

paling sering digunakan dalam menyajikan data pada penelitian kualitatif yaitu

dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menampilkan data, maka akan

memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan dapat direncanakan pekerjaan

selanjutrnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Kemudian setelah

peneliti dapat mereduksi data kedalam huruf besar maupun huruf kecil dan angka,

52
maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data, dalam menyajikan data huruf

besar, huruf kecil dan angka tersebut disusun kedalam urutan sehingga

strukturnya dapat dipahami, selanjutnya setelah melakukan analisis mendalam,

terdapat hubungan yang interaktif antara tiga kelompok tersebut. Kemudian dalam

fenomena sosial yang bersifat kompleks dan dinamis menyebabkan apa yang

ditemukan pada saat memasuki lapangan dan setelah berlangsnung agak lama di

lapangan, penelitian akan mengalami perkembangan data.

4. Conclusion Drawing/Verification (Kesimpulan)

Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan

Huberman ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang

dilakukan masih bersifat sementara, dan akan berubah apabila tidak ditemukannya

bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun

apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-

bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan untuk

mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan adalah kesimpulan

yang kredibel. Demikian kesimpulan dalam penlitian kualitatif akan menjawab

rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal penelitian, tetapi terdapat

kemungkinan juga tidak, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa

masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat

sementara dan akan berkembang setelah penelitian tersebut berada di lapangan.

Hingga kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang

sebelumnya belum pernah ada. Temuan tersebut bisa berupa deskriptif atau

gambaran suatu objek yang sebelumnya masih tidak jelas dan samar akan

53
kebenarannya sehingga setelah diteliti akan menjadikannya lebih jelas, yang dapat

berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis ataupun teori.

BAB IV

MASALAH BIAS GENDER SEBAGAI FAKTOR PENGHAMBAT

IMPLEMENTASI CONVENTION ON THE RIGHT OF THE CHILD (CRC)

DALAM MENGURANGI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA

54
4.1 Diskriminasi Terhadap Perempuan di India

India merupakan negara dengan kepadatan penduduk terbesar kedua di

dunia, yang muncul sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia internasional pada

tahun 1990-an, juga kekuatan militer yang semakin berkembang serta India dalam

perpolitikan internasional pun menjadai salah satu negara yang berpengaruh.

Namun dibalik kesuksesan India di bidang ekonomi dan politik di dunia

internasional, ternyata India merupakan salah satu negara yang dianggap sebagai

negara paling berbahaya bagi wanita. Hal tersebut terjadi dikarenakan terdapat

banyaknya kasus diskriminasi hingga tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Dalam sebuah studi internasional tahun 2011 yang dilakukan oleh

Thompson Reuters Foundation, India menjadi negara ke empat paling berbahaya

bagi perempuan.28 Studi tersebut dikategorikan berdasarkan ancaman kesehatan,

kekerasan seksual, kekerasan non-sesksual, praktek-praktek berbahaya dalam

budaya, tradisi dan agama, keterbatasan akses terhadap sumber ekonomi serta

perdagangan manusia. Kemudian tingkat female infanticide (pembunuhan bayi

perempuan) dan bentuk eksploitasi terhadap perempuan seperti perdagangan

manusia, kerja paksa maupun pernikahan paksa, dan tindakan diskriminasi lainnya

yang menjadikan posisi perempuan menjadi terancam dan berbahaya di India.

Di India status perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat, budaya

dan keagamaan serta anggapan masyarakat bahwa anak wanita hanya akan

28
India 4th most dangerous place for women: survey, diakses darihttp://ibnlive.in.com/news/india-
4th-most-dangerous-place-for-women-survey/159395-3.html 28 Desember 2021.

55
menjadi beban bagi keluarganya kelak, maka banyak orang tua yang melakukan

aborsi atau pembunuhan bayi perempuannya, atau jika bayi ini tetap hidup,

mereka banyak yang ditelantarkan oleh keluarganya. Saat ini yang menjadi

perhatian adalah kasus-kasus pembunuhan terhadap bayi perempuan di India dan

aborsi selektif terhadap calon bayi berjenis kelamin perempuan.29 Hal tersebut

didasari dengan populasi laki-laki di India lebih besar dibandingkan dengan

perempuan, dimana berdasarkan populasi India yang tercatat pada tahun 2014

terdapat perbedaan jumlah perempuan dan laki-laki, perbedaan tersebut berkisar

155.280.000 lebih banyak laki-laki daripada perempuan. 30 Para orang tua di India

berbondong-bondong memeriksakan kandungan mereka untuk mengetahui jenis

kelamin bayinya, dan jika calon bayi tersebut adalah perempuan, maka mereka

akan melakukan aborsi. Sedangkan bagi keluarga yang tidak mampu untuk

melakukan pemeriksaan jenis kelamin bayinya, mereka dengan segera membunuh

perempuan yang baru lahir apabila bayi yang keluar adalah perempuan atau yang

disebut female infanticide, yaitu pembunuhan bayi dengan sengaja karena

didasarkan pada jenis kelaminnya. Berdasarkan hasil studi mengenai pembunuhan

bayi-bayi perempuan ini di India, tradisi ini telah berlangsung sejak berabad-abad

dan sudah dianggap sebagai hal yang wajar.31

29
Shindi Bestari. Masalah Gender dan Lahirnya Ketidakadilan, ketidakadilandbf9accffd13, diakses
pada 28 Desember 2021.

30
Natarajan, K S and V Jayachandran (2000): Population Growth in 21st Century - India, in K.
Srinivasan and Michat Vlassoff. (eds), "Population-Development Nexus in India - Challenges for
New Millennium" Tata Mcgraw Hill Publication, New Delhi.

31
Female Infanticide, diakses dari http://www.gendercide.org/case_infanticide.html pada 28

Desember 2021.

56
Isu tentang perempuan banyak mengisi wacana di tengah-tengah

masyarakat India, disamping wacana politik dan ekonomi, isu perempuan juga

menjadi semakin menarik ketika kesadaran akan ketidakadilan di antara kedua

jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang sering disebut dengan

ketidakadilan gender yang semakin tinggi di kalangan masyarakat di India.

Perempuan belum banyak mengisi dan menempati sektor publik yang ikut

berpengaruh dalam menentukan kebijakan penting. Meskipun demikian

perempuan memasuki sektor publik posisinya selalu berada dibawah laki-laki,

terutama dalam bidang politik. 32

Secara objektif nasib perempuan di sektor publik memiliki nasib yang

tidak sebanding dengan laki-laki karena pada dasarnya peradaban disusun oleh

laki-laki atau dengan kata lain adalah sistem patriarki. dimana rata-rata seluruh

properti dunia perempuan memiliki 1% properti dunia, kemudian perempuan yang

menempati posisi kepala negara dan mentri dalam kabinet hanya berkisar sekitar

5%, disamping itu dalam dunia kerja rata-rata perempuan menghabiskan 60% dari

seluruh jam kerja dan memperoleh gaji 10% dari seluruh pendapatan 33. Tidak

sampai disitu dalam sektor pendidikan, perempuan mewakili sekitar 60% dari

seluruh buta huruf, yang menunjukan bahwa nasib perempuan dalam menempuh

dunia pendidikan sangat terbatas dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut jelas

menunjukan bahwa posisi perempuan secara menyeluruh di sektor politik dan

32
Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender.
Bandung: Mizan. Cet. I

33
Lips, Hilary M. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield Publishing
Company.

57
pendidikan memiliki posisi yang memprihatinkan. Sehingga beberapa upaya yang

ditempuh untuk mengangkat derajat dan posisi perempuan agar dapat memiliki

peran yang sama dengan laki-laki melalui berbagai institusi, baik formal maupun

nonformal. Dengan tujuan akhir yang ingin ditempuh adalah demi terwujudnya

keadilan berbasis gender ditengah-tengah masyarakat. 34

Namun dalam mewujudkan keadilan gender, pemberian kesempatan yang

sama terhadap perempuan untuk melakukan aktivitas di berbagai bidang

sebagaimana yang dilakukan laki-laki ternyata tidak menjamin terjadinya sebuah

kesetaraan gender. Salah satu penyebab utamanya adalah pada rendahnya kualitas

sumber daya kaum perempuan yang menjadikannya tidak mampu bersaing dengan

kaum laki-laki, oleh karena itu untuk menghilangkan patriarki dalam realitas

kepemimpinan merupakan sebuah tindakan yang sangat sulit untuk diwujudkan

karena pada dasarnya sistem dunia dan berbagai ide-ide politik dan ideologi dunia

tercipta oleh kaum laki-laki, sehingga posisi penting dalam pemerintahan, politik

maupun dunia usaha didominasi oleh kaum laki-laki. Demikian untuk dapat

memahami lebih jauh tentang diskriminasi terhadap perempuan atau bias gender,

perlu diketahui apa yang dimaksud dengan bias gender, dan patriarki, antara lain ;

Pertama masalah Bias gender merupakan sebuah keadaan yang

menunjukkan adanya keberpihakan kepada laki-laki daripada perempuan, dan

suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan serta tanggung jawab laki-

laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan pembangunan.

34
Biswajit Ghosh, (2006): Trafficking in Women & Children, Child Marriage and Dowry: A Study
for Action Plan in West Bengal, Dept of Women & Child Development & Social Welfare, Govt.
of West Bengal & UNICEF.

58
Pemaknaan terhadap istilah bias gender ini khususnya mengenai masalah

ketimpangan antara keadaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki di

masyarakat.35 Masalah tersebut muncul dikarenakan perempuan masih memiliki

kesempatan terbatas dibandingkan dengan laki-laki untuk berperan aktif

dalam berbagai program dan aktivitas lainnya di kehidupan masyarakat, seperti

kegiatan ekonomi, sosial-budaya pendidikan, organisasi dalam kelembagaan, dan

lain sebagainya. Keterbatasan ini berasal dari berbagai nilai dan norma

masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan dibandingkan dengan gerak

laki-laki.36

Bias gender terjadi ketika salah satu dari pihak dirugikan, yang kemudian

mengalami ketidakadilan. Yang dimaksud ketidakadilan disini adalah apabila

salah satu dari jenis gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Bias

gender tersebut bisa saja terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Pada tulisan

ini di India, bias gender tersebut lebih dirasakan oleh kaum perempuan.

Sebenarnya ketimpangan gender yang merugikan perempuan itu, secara tidak

langsung dapat merugikan masyarakat secara menyeluruh. Apabila perempuan

diposisikan tertinggal, maka perempuan tidak akan bisa menjadi mitra sejajar laki-

laki, sehingga hubungan kedua pihak akan menjadi timpang. Akibatnya, terjadilah

ketidakserasian dan ketidakharmonisan dalam kehidupan bersama anatara laki-

laki dan perempuan, baik dalam lingkungan kehidupan berkeluarga maupun

35
Naomi Wolf, Gegar Gender, Pustaka Semesta Press, Yogyakarta, 1997. Diakses pada 26
Desember 2021.

36
Rianingsih Djohani, Dimensi Gender dalam Pengembangan Program Secara Partisipatif, Driya
Media Bandung, 1996. Diakses pada 28 Desember 2021.

59
dalam lingkungan kehidupan masyarakat secara umum. Lebih jauh lagi dengan

semakin tingginya tuntutan, kesadaran, dan kebutuhan perempuan terhadap

pengembangan diri, maka timbulah konflik karena perempuan membutuhkan

kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk meningkatkan kualitas dirinya.37

Kedua patriarki, patriarki merupakan suatu sistem sosial yang meletakkan

laki-laki sebagai pemegang kekuatan penting dan menguasai dalam

kepemimpinan politik, kekuatan akhlak, hak sosial dan kompetensi properti.

Dimana laki-laki lebih mendominasi perempuan sehingga perempuan dipandang

selalu dipandang sebagai orang kedua setelah laki-laki dalam pembagian kerja,

politik, sosial dan sektor publik lainnya.38 Laki-laki memiliki peran sebagai

kontrol utama dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit

pengaruh atau bisadikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum

dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, bahkan

termasuk dalaminstitusi pernikahan. Sistem patriarki yang mendominasi

kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan

gender yang mempengaruhi berbagai aspek kegiatan manusia. Hal ini

menyebabkan perempuan diletakkan pada posisisubordinat atau inferior.

Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat

perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi.39

37
Nan Rahminawati. Isu Ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan (Bias Gender). Mimbar No. 3
Th. XVII Juli – September 2001. Diakses pada 28 Desember 2021.

38
Nurcahyo. A. (2016). Relevansi budaya patriaki dengan partisipasi politik dan keterwakilan
perempuan di parlemen. Jurnal Agastya. Vol. 6 (1). Hal : 25-27. Diakses pada 25 Desember 2021.
39
Siti. Rokhimah, Patriarkhisme dan Ketidakadilan Gender, Muwazzah, Vol. 6, No. 1, 2016,
Hal .140.

60
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai cikal

bakal terbentuknya budaya patriarki. Anggapan masyarakat pada umumnya bahwa

laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan

perempuan. Selanjutnya dalam sudut pandang yang berbeda patriarki seolah

menjadi sistem yang terstruktur dan praktek sosial yang menempatkan laki-laki

pada posisi yang kuat sebagai pihak yang mendominasi, dan mengeksploitasi

kaum perempuan.40 konstruksi budaya yang telah tercipta tersebut seakan disetujui

dan diterima oleh sebagian kalangan masyarakat internasional. 41 Hal tersebut

disebabkan karena proses ataupun pemahaman terkait dengan gender dan budaya

patriarki.

Gender adalah variabel sosial yang digunakan sebagai pembeda peran,

tanggung jawab, kebutuhan, peluang, serta hambatan antara kaum laki-laki

dengan perempuan di dalam kehidupan sosial. Kesetaraan gender merujuk pada

kesamaan hak, tanggung jawab, kesempatan, perlakuan, pelauang maupun

hambatan serta penilaian perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosialnya. Tak

hanya pembedaan berdasarkan jenis kelamin namun penggolongan dalam

masyarakat seperti etnis, warna kulit dan agama yang berakibat pada

penghilangan dan pengurangan kesetaraan kesempatan dan perlakuan disebut juga

sebagai perilaku ketidaksetaraan gender. Kasus-kasus diskriminasi perempuan

40
Ali Imron A.M, Gerakan Perempuan Kontemporer: Dari Konsesi Ke Profesionalisasi Disajikan
Dalam Siaran “Lembar Sastra Dan Budaya” Melalui Rri Surakarta, Warta,Vol 12, No. 11, 2009,
Hal. 99-100.

41
Gisela. Hirschman, Global Governance and Human Rights – A Fruitful Relationship,
Global Policy Journal, 2018, Vol.6, Hal .19.

61
banyak terjadi di negara-negara berkembang, salah satunya di India dengan angka

diskriminasi yang sangat tinggi.42

India merupakan negara yang sebagian besar masih menjalani budaya

patrilineal (pendominasian laki-laki). Faktanya bahwa diskriminasi terhadap

perempuan masih terjadi dalam hal pendidikan, kesehatan, pekerjaan, sosial, nilai-

nilai adat istiadat, serta pelecehan seksual. Hingga dengan adanya diskriminasi

tersebut dapat menciptakan rintangan dalam partisipasi perempuan untuk kegiatan

sosial, politik, dan ekonomi. Bentuk bias gender yang paling mengakar telah

dibangun ke dalam struktur tradisional masyarakat India. Dalam masyarakat

tradisional, ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan ada untuk sebagian

besar perempuan dipandang rendah secara sosial, ekonomi dan politik. Perempuan

menjadi kambing hitam dalam banyak tradisi dan adat. Peran perempuan terbatas

pada kehidupan rumah tangga terutama pekerjaan dapur dan melahirkan dan

mengasuh anak, mereka tidak memiliki tempat dalam kegiatan ekonomi dan

politik.

Rendahnya status perempuan di India khususnya pada status sosial dan

anggapan masyarakat terhadap anak perempuan hanya akan menjadi beban untuk

keluarganya, sehingga membuat kebanyakan orang tua melakukan aborsi bahkan

pembunuhan terhadap bayi perempuannya. Kekejaman orang tua kepada anaknya

tersebut telah menjadi tradisi yang berlangsung sejak lama dan sudah dianggap

sebagai tindakan yang wajar untuk menghindari memiliki anak perempuan.

42
Dr. E.Raju. Gender Discrimination in India, Journal of Economics and Finance. Vol 2 Issue 5.
January 2014. Tersedia di www.iosrjournal.org diakses pada tanggal 14 desember 2021.

62
Kemudia apabila bayi perempuan yang dibiarkan hidup mereka akan ditelantarkan

oleh keluarganya, dan jumlah perempuan di India semakin menurun akibat dari

keinginan keluarga untuk melahirkan anak laki-laki, sehingga hal tersebut yang

mengakibatkan terpuruknya posisi perempuan disana. Disamping itu terdapat

juga praktek berbagi istri, yaitu dimana seorang perempuan yang sudah menikah

dengan seorang laki-laki yang mengalami penderitaan dengan menjadi istri dari

saudara-saudara pria dari suaminya. apabila si perempuan menolak perintah dari

suami dan keluarga suaminya, maka mereka akan mengalami tindak kekerasan

dan penyiksaan. 43

India telah menetapkan undang-undang sejak masa kemerdekannya untuk

mengatasi dan memberikan perlindungan bagi kaum perempuan, seperti The

Hindu Marriage Act pada tahun 1956, Equal Remuneration Act pada tahun 1986,

The Islamic Women pada tahun 1986, The Commission Sati Act pada tahun 1987,

Protection of Women from Domestic Violence Act pada tahun 2005, dan Dowry

Prohibition Act. Namun penegakan hukum di lapangan masih sangat kurang,

Mahkamah Agung India dalam putusan 21 Agustus 2006 menyatakan bahwa

untuk membrantas kejahatan sosial dan diskriminasi gender tersebut harus dengan

langkah-langkah efektif yang diambil dari masyarakat itu sendiri, kemudian harus

diadakannya kampanye nasional yang kuat untuk menciptakan kesadaran sosial

tentang bias gender yang terjadi di India.

43
Bhatt, A. Sen and U. Pradhan (2005) “Child Marriage & the Law in India”, Human Rights Law
Network, New Delhi. p.259

63
4.1.1 Bentuk-bentuk Diskriminasi Perempuan di India

India merupakan Negara dengan kasus diskriminasi terbesar di dunia,

khususnya diskriminasi terhadap perempuan. Tingginya tingkat diskriminasi dan

kesenjangan hak wanita di India ini berakar dari tradisi budaya dan agama di

India, yang mengagungkan laki-laki dan menomor duakan wanita dalam sistem

sosial mereka. Tradisi dan budaya yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan

ini masih saja banyak dilakukan masyarakat India. untuk itu perlu diletahui

beberapa bentuk diskriminasi yang terjadi di India dengan kasus yang masih

sering terjadi, antara lain yaitu :

a. Kejahatan terhadap perempuan

kejahatan terhadap perempuan yang dicatat oleh National Crime Record

Bureau, yaitu sebuah divisi dari kementrian dalam negri India, mengatakan bahwa

kejahatan tersebut naik 43,5% yang disebabkan oleh peningkatan kejahatan atau

karena perempuan lebih percaya diri melaporkan kejahatan terhadap mereka.

Salah satu yang menyebabkan tingginya angka diskriminasi dan kejahatan

terhadap perempuan di India yaitu faktor budaya yang terlalu mengagungkan laki-

laki dan menomorduakan perempuan dalam struktur sosial mereka. Faktanya

bahwa masyarakat di India masih banyak yang menjalankan tradisi dan budaya

yang bersifat diskriminatif bagi perempuan.44

44
Wiwik Sukarni Pertiwi, Alfian Hidayat, Khairur Rizki. Implementasi CEDAW di India: Studi
Kasus Diskriminasi Perempuan dalam Tradisi Pemberian Dowry. Indonesia Journal of Global
Discourse. Vol. 3 Ed. 1. Pages 55-80, January-June 2021, Diakses pada tanggal 14 Desember
2021.

64
kekerasan yang dialami perempuan di India tidak hanya berbentuk

kekerasan fisik namun terdapat beberapai bentuk kekerasan yang dialami

perempuan-perempuan di india antara lain adalah ; pertama, kekerasan fisik,

merupakan bentuk tindakan langsung yang menggunakan kekuatan fisik atau

senjata tajam untuk melukai korban, kedua kekerasan psikis, yaitu tindakan yang

mengisolasi, membatasi, menghina, mendiskreditkan, dan berbagai bentuk

tindakan yang menyerang psikis atau mental korban. Dan kekerasan seksual,

dimana kekerasan seksual ini merupakan tindakan seksual yang dilakukan tanpa

persetujuan, biasanya perempuan adalah korban dalam kekerasan seksual ini,

contoh kekerasan seksual yaitu tindakan pelecehan seksual, pemaksaan

kontrasepsi, pemaksaan pernikahan, perbudakan seksual, pemerkosaan dan lain

sebagainya.45

Berdasarkan data dari National Crime Record Bureu (NCRB) di India

terdapat kasus pernikahan paksa, dimana pada tahun 2016 terdapat sekitar 15,4

juta orang mengalami kasus pernikahan paksa dan terdapat 88% korbannya adalah

perempuan dan 37% diantaranya merupakan anak berusia dibawah 18 tahun.


46
NCRB juga menyebutkan, pada tahun 2012 terdapat 8.233 perempuan muda

meninggal, di antaranya adalah karena pengantin yang baru menikah mendapat

kekerasan dari suaminya, dan tindakan kekerasan seksual yang di alami oleh

perempuan bahkan pembunuhan secara langsung, seperti dengan meracuni

45
Veena, Talwar. (2002). Dowry Murder: The Imperial Origins of a Cultural Crime. Diakses pada
27 Desember 2021.

46
Heise, Lori. (2002). A Global Overview of Gender Based Violance. Diakses pada 28 Desember
2021.

65
korban, menenggelamkannya kedalam sumur, dan yang biasa terjadi di India

adalah dengan cara membakar istrinya hidup-hidup, cara tersebut dilakukan

karena dianggap paling mudah untuk menghilangkan bukti pembunuhan yang

dilakukan oleh suami atau pelaku.47

b. Pemerkosaan Terhadap Perempuan

Pemerkosaan dan kekerasan seksual menjadi masalah besar di India.

Berdasarkan National Crime Record Bureu (NCRB), kejahatan terhadap

perempuan meningkat 7,5 persen sejak 2010. Mayoritas korban pemerkosaan

antara usia 18 sampai 30 tahun. Satu dari tiga korban berusia di bawah 18 tahun,

dan satu dari 10 korban berusia di bawah 14 tahun. Di India, perempuan diperkosa

hampir setiap 20 menit. Rata-rata 93 perempuan diperkosa di India setiap hari.48

kasus tindakan pemerkosaan yang terjadi di India cenderung naik dari

tahun ke tahun, dimana pada tahun 2011 terdapat 24.206 kasus, 2012 terdapat

24.923 kasus, pada 2013 terdapat 33.703 kasus, pada 2014 terdapat 37.000 kasus,

pada 2015 turun ke angka 34.652 kasus dan pada tahun 2016 terdapat 38.957

kasus pemerkosaan di India. Masalah pemerkosaan ini pun menjadi semakin

meningkat sejak banyak kasus pemerkosaan yang tidak dilaporkan, karena adanya

tekanan dari pihak keluarga untuk memilih tutup mulut, sehingga sulit untuk

47
Ernel, Natadia, Nony. (2018). Gerakan Sosial Perempuan Dalam Isu Kekerasan Seksual Yang
Terjadi Di Indonesia Dan India. Diakses pada 28 Desember 2021.
48
Eliminating Child Marriage in India: A Backdoor Approach to Alleviating Human Rights
Violations, Vol. 26, Boston College Third World Law Journal by JacquelineMercier. Di akses
pada 28 Desember 2021.

66
diketahui apakah banyak peningkatan jumlah kasus pemerkosaan yang dutup-

tutupi. 49

Regulasi aturan dalam tindakan kekerasan seksual dan kasus pemerkosaan

dianggap masih tidak berjalan dengan baik karena maraknya angka kekerasan

yang dialami perempuan masih terbilang naik dari tahun ke tahun, dimana angka

kekerasan seksual sebagai suatu permasalahan yang lazim di India. Meskipun

masalah pemerkosaan sangat meresahkan masyarakat, penerapan tentang sebuah

aturan atau undang-undang yang berkaiyan tentang pemerkosaan dianggap belum

efektif. Hal ini menunjukan bahwa perlindungan terhadap kaum perempuan anak-

anak masih sangat lemah. Kebahagian dan kedamaian korban pemerkosaan secara

tidak langsung direnggut dari mereka, dan keadilan atas permaslahan yang

menimpa mereka masih sangat lemah.

Perbuatan pemerkosaan ini terjadi tanpa memandang usia dan latar

belakang korban, seperti kasus pemerkosaan di India yang dilakukan oleh laki-laki

berusia 26 tahun kepada bayi yang masih berusia delapan bulan. 50Tidak jarang

juga kasus pemerkosaan tersebut juga terjadi berujung pada kematian. Salah satu

kasus pemerkosaan yang marak dibicarakan oleh khalayak Internasional adalah

pemerkosaan yang dilaukan secara beramai-ramai diatas kendaraan terhadap

49
Biswajit Ghosh, (2006): Trafficking in Women & Children, Child Marriage and Dowry: A Study
for Action Plan in West Bengal, Dept of Women & Child Development & Social Welfare, Govt.
of West Bengal & UNICEF.
50
Jeffrey gentleman dan hari kumar, angwish in New Delhi of an 8-mount old girl.
http://www.nytimes.com diakses pada 31 Desember 2021.

67
seorang perempuan yang berusia 23 tahun yang kemudian perempuan tersebut

dibunuh hingga tewas. 51

c. Dowry deaths (Kematian Akibat Mahar)

Dowry merupakan pemberian mahar yang dilakukan oleh pihak pengantin

wanita kepada pihak pengantin laki-laki ketika menikahkan anaknya, dowry bisa

berupa uang tunai, barang-barang berharga seperti perhiasan, alat elektronik,

furniture dan lain-lain, tergantung permintaan dari pihak keluarga laki-laki.

semakin tinggi status sosial dan pendidikan dari calon pengantin laki-laki, maka

akan semakin tinggi pula jumlah dowry yang diminta.ketika permintaan tersebut

tidak dapat dipenuhi, maka hal tersebut mengakibatkan perempuan menjadi

tertekan dan membuat suaminya memperlakukannya dengan tindakan-tindakan

diskriminasi bahkan tindakan kekerasan, yang menyebabkan perempuan

merasakan tekanan terhadap fisik maupun mental, bahkan mengakibatkan bnuh

diri karena masalah Dowry tersebut. Hal inilah yang kemudian memunculkan

adanya permasalahan Dowry death yang ada di India.52

Gambar 4.1 Jumlah Kasus Kematian Dowry Deaths di India

51
Mosbergen, delhi bus gang rape victim has intestines removed as socking detail of asauld
emerge, http://www.hufingtonpost.com diakses pada 28 Desember 2021.
52
Sonia Dalmia dan Pareena G. Lawrence. The Institutions of Dowry in India : Why it Continues
to Prevail . The Jounal of Developing Areas . Vol.38 No.2. 2005.

68
Berdasarkan gambar di atas menunjukan kasus dowry death yang terjadi di

India terbilang cukup besar. Dimana pada tahun 2009 terdapat 8.383 kasus,

kemudian tahun 2010 terdapat 8.391 kasus, selanjutnya pada tahun 2011 terdapat

8.618 kasus, kemudian di tahun 2012 terdapat 8.233 kasus, hingga pada tahun

2013 terdapat penurunan dari tahun sebelumnyamenjadi 8.083 kasus, apabila

dijumlahkan keseluruhan kasus-kasus tersebut dari tahun 2009 sampai 2013 maka

terdapat total 41.708 kasus kekerasan pada perempuan yang diakibatkan oleh

masalah dowry. 53

Praktek Dowry ini merupakan salah satu penyebab yang melanggengkan

diskriminasi terhadap perempuan di India hingga saat ini. Seperti halnya yang

dimaksud dengan Dowry yaitu mahar dalam bahasa Arab atau mas kawin dalam

bahasa Indonesia. Dowry yang diberikan keluarga perempuan kepada laki-laki

dianggap oleh orang tua perempuan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak

perempuannya dari kemungkinan kekerasan maupun kejahatan yang dilakukan

53
Soumi Chatterjee. Concept and Evolution of Dowry. International Journal of Humanitties and
Social Science Invention (IJHSSI). Volume 7. Issue 01. Januari 20128. Tersedia di www.ijhssi.org
diakses pada 11 November 2021.

69
oleh calon suami ataupun mertua, adat tersebut berasal dari ajaran dan tradisi

agama hindu, orang tua yang ingin menikahkan anak perempuannya harus

membayar mahar tersebut, dimana keluarga pengantin perempuan akan merasa

malu jika tidak mampu membayar dan menyediakannya. Namun terdapat fakta

yang berbeda dari tujuan praktek Dowry tersebut, yaitu ketika keluarga dari

pengantin laki-laki yang meminta Dowry dengan jumlah yang cukup besar dan

melampaui batas kemampuan dari keluarga perempuan, permintaan terhadap

Dowry tersebut dapat memicu terjadinya kekerasan bahkan pembunuhan, terutama

ketika istri dan keluarga tidak mampu memenuhi keinginan suami dan keluarga

suaminya sehingga menjadikannya sebuah tekanan bagi istri dan keluarganya,

yang menimbulkan kekerasan secara terus menerus mengakibatkan istri untuk

bunuh diri, bahkan istri dibunuh oleh suami dan keluarganya, namun banyak

kasus pembunuhan seperti itu disamarkan sebagai kasus bunuh diri. 54

Praktek mahar tersebut menimbulkan diskriminasi pada perempuan di

India, akibatnya kelahiran anak perempuan tidak diharapkan bagi keluarga di

India karena dianggap sebagai beban keluarga nantinya, seperti halnya anak

perempuan tidak dianjurkan sekolah tinggi karena persepsi orang tua yang

menganggap dengan membiayainya sekolah adalah prilaku sia-sia karean ketika

mereka menikah akan diambil oleh suaminya. Disamping itu meskipun keluarga

tersebut berasal dari golongan keluarga kaya, namun faktanya banyak keluarga

yang melakukan operasi transgender pada anak perempuannya yang berusia

54
Leila Ateffakhr. Dowry System in India. International of Science and Research Publicatio
(ISSN). Volume 7, Issue3, March 2027. Tersedia di www.ijsrp.org diakses pada 24 November
2021.

70
dibawah 14 tahun, dengan tujuan nantinya anak tersebut tidak perlu memberikakn

Dowry. Tren operasi jenis kelamin tersebut dikenal dengan sebutan genitoplasty.

Operasi tersebut membutuhkan biaya setidaknya sekitar 2.000 poundsterling atau

sekitar 27,6 juta rupiah.

d. Human Trafficking

Human Trafficking atau Perdagangan Manusia adalah perekrutan, transfer,

atau penerimaan orang melalui cara kekerasan, atau penipuan, dengan tujuan

untuk mengeksploitasi mereka demi mendapatkan keuntungan. Pria, wanita dan

anak-anak dari segala usia dan dari semua latar belakang dapat menjadi korban

kejahatan ini, yang terjadi di setiap wilayah di dunia. Para pedagang sering

menggunakan kekerasan atau agen tenaga kerja yang curang dan memberikan

janji palsu tentang pendidikan dan kesempatan kerja untuk menipu dan memaksa

korban mereka.55 Hal tersebut terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan para

perempuan India, dan anggapan tentang pendidikan tidak memiliki esensi yang

berarti bagi kelangsungan hidup mereka, dan lebih mengutamakan bekerja karena

dianggap lebih menguntungkan dan dirasakan secara langsung esensi yang

dirasakan saat bekerja, namun faktanya kondisi seperti ini membuat para

kelompok terstruktur memanfaatkan hal tersebut dengan menampung banyak

pekerja dan buruh akibat rendahnya pendidikan yang dimiliki perempuan, dan

tidak menutup kemungkinan untuk membuka peluang bisnis prostitusi yang

55
Anil Kumar Das. Rehabilitation Of Victims Of Human Trafficking: A Study Of Effectiveness,
Efficiency And Sustainability Of Victim Compensation Schemes. Human Development society.
March 2021 tersedia di www.hdsindia.org diakses pada 30 november 2021.

71
semakin marak dengan beberapa data terkait kasus Human Trafficking yang

terjadi di India. 56

Laporan Perdagangan Manusia tahun 2013 Departemen Luar Negeri

Amerika Serikat memperkirakan jumlah orang yang diperdagangkan untuk kerja

paksa di India dalam kisaran 20 hingga 65 juta. Terdapat  sekitar 25.000 anak

perempuan secara paksa terlibat dalam prostitusi. Sesuai laporan kejahatan di

India, di tahun 2015 data yang dirilis oleh National Crime Record Bureau

(NCRB) terdapat 6.877 kasus terkait perdagangan manusia pada tahun 2015 dan

5.466 kasus pada tahun 2014 , dengan jumlah kasus tertinggi dilaporkan di negara

bagian Assam di timur laut diikuti oleh Benggala Barat.57 Data tersebut juga

menunjukkan bahwa ada 19.717 kasus terkait perdagangan manusia yang

menunggu persidangan pada tahun 2015, dimana 15.144 adalah kasus dari tahun

sebelumnya. Temuan yang dirilis oleh NCRB menunjukkan Benggala Barat

sebagai pusat perdagangan manusia di India, diikuti oleh Tamil Nadu, Andhra

Pradesh, Karnataka dan Maharashtra dengan Delhi sebagai titik transit. Jumlah

perempuan yang diperdagangkan meningkat sebesar 22 persen menjadi 10.119

pada tahun 2016. 58

e. Keterlibatan Perempuan Dalam Hak Politik

56
Sadika Hameed Et Al, Human Trafficking in India: Dynamics, Current Efforts and Intervention
Opportunities For The Asia Foundation Vi (2010). Diakses pada 10 Desember 2021.

57
Sadika Hameed Et Al, Human Trafficking in India: Dynamics, Current Efforts and Intervention
Opportunities For The Asia Foundation Vi (2010). Diakses pada 10 Desember 2021.

58
Human Rights Law Network. Center for, Reproductiive Rights. 30 Juni 2013.

72
Perempuan, dibanyak negara di dunia, seringkali dijadikan sebagai warga

kelas dua dan dibatasi perannya hanya seputar urusan domestik. Kaum perempuan

memiliki akses terbatas dan dibatasi aksesnya pada masalah yang lebih besar yang

bahkan menjadi penentuan kehidupan kaum mereka sendiri. Pada dasarnya peran

perempuan di suatu negara juga sangatlah penting, dimana tingkat kemajuan suatu

negara dapat dilihat dari adanya kesetaraan peran dan kesempatan yang dimiliki

oleh perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, perempuan sama berhaknya

dengan laki-laki untuk terjun ke politik dan ikut merumuskan serta menentukan

kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan negara, khususnya kebijakan yang

berkaitan dengan nasib kaum perempuan. Oleh karena itu perempuan berhak

memiliki perwakilan di parlemen dan mengajukan dirinya menjadi parlementer,

serta keterwakilan perempuan ini harus dilindungi oleh konstitusi dan negara.59

India memiliki sebuah konstitusi negara yang menjamin hak perempuan

untuk berpartisipasi dalam berbagai bentuk kegiatan politik. Sistem reservasi atau

kuota untuk perempuan dalam parlemen di India berkembang seiring dengan

berkembangnya gerakan perempuan India yang menuntut jatah kursi bagi

perempuan di lembaga-lembaga lokal, sebab konstitusi India telah menetapkan

bahwa harus ada keterlibatan kaum perempuan di lembaga-lembaga pengambilan

keputusan tingkat lokal desa. Akhirnya tuntutan-tuntutan tersebut membuahkan

hasil dan tercantum dalam Amandemen Konstitusi India yang Ke 73 dan 74

mengenai 33% reservation seats bagi perempuan India dipedesaan (panchayat)

yang kemudaian amandemen ini menjadi Undang-Undang pada tahun 2010 ketika
59
Louise Edwards, Mina Roces. (2000). Women in Asia Tradition, modernity and globalization..
Australia: Allen UnwinPublisher. Hlm. 85. Diakses pada 20 Desember 2021.

73
disetujui baik oleh Majelis Rendah (Lok Sabha) dan juga Majelis Tinggi (Raj

Sabha) parlemen India.60 Tetapi undang-Undang tersebut kurang berjalan dengan

baik karena adanya kesenjangan sosial dan ekonomi. Kesenjangan disebabkan

oleh sistem kasta, perbedaan kelas dalam masyarakat, subordinasi, kemiskinan

dan dominasi orang tua terhadap anak perempuannya, akibatnya mayoritas

perempuan yang duduk di dalam parlemen merupakan perempuan-perempuan

dengan kasta tinggi atau mereka yang memiliki hubungan relatif dengan

pemangku kekuasaan.

Secara struktur, meskipun India terdiri dari berbagai negara bagian,

keterwakilan kaum perempuan dalam politik dan pemerintahan baru sampai

kepada sistem distrik, belum sampai ke tingkat pusat dan Lok Sabha. Selain itu,

kehidupan politik di India sama seperti kehidupan sosialnya dengan menganut

sistem kasta yang sangat kuat. Sehingga mayoritas perwakilan perempuan dalam

parlemen di India adalah perempuan-perempuan kelas elit. Sistem kuota

reservation seat, diharapkan menjadi sebuah solusi atas kesenjangan keterwakilan

perempuan di legislatif India. Sistem reservation seat ini tercantum dalam

Amandemen Konstitusi India yang Ke 73 dan 74 yang berisikan bahwa 33%

reservation seats bagi perempuan India di pedesaan (panchayat) yang kemudaian

amandemen ini menjadi Undang-Undang pada tahun 2010 ketika disetujui baik

oleh Majelis Rendah (Lok Sabha) dan juga Majelis Tinggi (Raj Sabha) parlemen

India. Sebagai hasil dari amandemen ini, ratusan bahkan ribuan perempuan

60
G.C. Malhotra. (2002). Fifty years of Indian Parliament. New Delhi: Lok Sabha Secretariat.
Hlm. 630. Diakses pada 23 Desember 2021.

74
berhasil masuk ke kantor-kantor publik dan menaikan akses ke kehidupan

politik.61

4.1.2 Gerakan-gerakan Protes Diskriminasi Perempuan di India

Seperti yang telah penulis jelaskan pada sub-bab sebelumnya, bias gender

yang terjadi di India sangat beragam seperti masalah kekerasan terhadap

perempuan, pemerkosaan, Dowry death, Human Trafficking, dan diskriminasi

lainnya di bidang pendidikan, sosial dan budaya lainnya. Akibat dari peristiwa

tersebut maka muncul beberapa gerakan protes terhadap diskriminasi perempuan,

diantaranya gerakan #Metoo, gerakan melawan Human Trafficking, dan gerakan

say no to Dowry. Tentu dengan adanya gerakan-gerakan tersebut ditujukan untuk

mengurangi dan membasmi praktek-praktek diskriminasi maupun kejahatan yang

dialami para wanita di India.

a. Gerakan #MeToo

Gerakan #MeToo merupakan gerakan kampanye transnasional yang

melakukan sebuah aksi sosial pada ruang lingkup global melalui media sosial

yang mengacu pada persamaan hak perempuan terkait kebebasannya dari segala

bentuk kekerasan yang di alami. Gerakan ini dipopulerkan oleh aktris Amerika

Alysa Milano di Twiter pada tahun 2017, dan mampu menarik perhatian berbagai

kalangan di India pada tahun 2018. Dengan mengadopsi pola kampanye yang di

inisiasikan oleh publik figur, banyak kaum perempuan di Inida dari berbagai

61
Joni Lovenduski dan Pippa Norris (ed.). (1993). Gender and Party Politics. London, Thousand
Oak, New Delhi: SAGEPublication. Hlm. 12-15. Diakses pada 28 Desember 2021.

75
kalangan melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami. 62Selain untuk

memperjuangkan persamaan hak, para demonstran perempuan ini juga

memperjuangkan pengaplikasian secara jelas terhadap undang-undang mengenai

kekerasan seksual di tempat mereka bekerja, dan implementasi hukuman terhadap

mahar yang mengakibatkan kekerasan domestik di India.

Gerakan #MeToo ini setidaknya dapat memberikan peluang bagi

perempuan di India yang mengalami diskriminasi untuk menyuarakan apa yang

telah mereka alami, karena demi mencapai kesetaraan dan keadilan dalam

penerimaan hak tanpa mengenal batas gender, tentu dibutuhkan sebuah wadah dan

pemberdayaan. Demonstrasi kaum perempuan merupakan hal yang jarang

ditemukan di India karena minimnya kesadaran kaum perempuan terhadap hak

fundamentalnya, oleh karena itu momentum kampanye #MeToo merupakan

sebuah kesempatan untuk mencapai hak dasar untuk perempuan di India.63

b. Gerakan Melawan Human Trafficking

Pemerintah pusat telah melaksanakan sejumlah program besar untuk

melindungi masyarakat yang rentan, terutama perempuan & anak-anak dari

Human Trafficking, dan menyediakan mereka dengan pemberdayaan ekonomi dan

62
Mukul Kesavan. The #Metoo Movemen. Indian Journal of Gender Studies. 26(1&2) 2019.
Tersedia di www.journals.sagepub.com diakses pada 1 Desember 2021

63
Shivangi Misra, One of the #MeToo Movements in India: The
Listhttps://www.theleaflet.in/ . Diakses pada 19 Desember 2021.

76
sosial. Selain itu, pemerintah telah merumuskan berbagai prosedur hukum anti-

trafficking untuk memerangi perdagangan manusia64.

Pada tahun 2009, pemerintah mengalokasikan 832 juta INR atau setara

dengan 12,3 juta US dollar, untuk Kementerian Dalam Negeri yang akan

membentuk 297 unit Anti-Perdagangan Manusia di seluruh negara bagian untuk

melatih dan menyadarkan aparat penegak hukum. Awalnya program ini

dilaksanakan pada tahun 2007, ditugaskan untuk menyediakan pendekatan multi-

disiplin dan tanggapan bersama oleh semua pemangku kepentingan, seperti polisi,

kejaksaan, LSM, masyarakat sipil dan media, kemudian program tersebut

bertujuan untuk mewujudkan kerjasama antar departemen, antara kepolisian dan

semua lembaga dan departemen pemerintah lainnya seperti departemen

perempuan dan perkembangan anak, perburuhan, kesehatan dan kesejahteraan

keluarga dan lain-lain. Selanjutnya untuk memastikan pendekatan yang berpusat

pada korban yang memastikan kepentingan terbaik, yang selamat, dan mencegah

viktimisasi dari para korban, serta memastikan perspektif kejahatan terorganisir

dalam menangani perdagangan manusia.65

c. Say No to Dowry

64
Wiwik Sukarni Pertiwi, Alfian Hidayat, Khairur Rizki. Implementasi CEDAW di India: Studi
Kasus Diskriminasi Perempuan dalam Tradisi Pemberian Dowry. International Journal of Global
Discourse. Vol. 3 Ed. 1 pages 55-80, Januari-june 2021. Diakses pada 10 November 2021.

65
Sadika Hameed Et Al, Human Trafficking in India: Dynamics, Current Efforts and Intervention
Opportunities For The Asia Foundation Vi (2010), diakses pada 27 Desember 2021.

77
Gerakan Say No to Dowry adalah gerakan yang dilakukan oleh

Melbourne’s Indian Community. Dalam komunitas tersebut mereka mengucapkan

“maaf, tidak ada Dowry” dan mereka berdemonstrasi dengan mengenakan baju

pengantin tradisional India. Menyerukakn agar praktek tersebut dilarang dan

diatur oleh hukum tradisi yang telah berabad-abad. Dimana keluarga pengantin

wanita memberikan uang tunai serta barang-barang berharga kepada keluarga

mempelai pria sebagai mahar yang diberikan pengantin wanita kepada pria, telah

illegal di India sejak 1961, namun praktek tersebut tetap tersebar luas di kalangan

masyarakat India. Selain gerakan Say No to Dowry adapula gerakan yang

menyuarakan hal yang sama, yaitu gerakan Anti-Dowr. Dimana gerakan ini dibuat

oleh Progressive Organization of Women di Hyderabad pada tahun 1975 yang

diusung dalam gerakan feminis pasca kemerdekaan.66

4.1.3 Fenomena Pernikahan Anak di India

Pernikahan anak adalah pernikahan yang dilakukan ketika anak yang

berusia kurang dari 18 tahun, dimana batasan usia tersebut di adopsi dari

Konvensi Hak Anak Pasal 1. Dimana secara sederhana pernikahan anak adalah

perkawian seseorang yang berumur sebelum dewasa. Sebagaimana turunan dari

beberapa dokumen internasional, hal tersebut merupakan tindakan pelanggaran

hak asasi manusia.67 Sementara kasus pernikahan anak mempengaruhi kedua jenis

kelamin, namun masalah pada penulisan ini perempuan terpengaruh secra tidak

66
Francis Bloch dan Vijayendra Rao,Terror as a Bargaining Instrument: A Case Study of Dowry
Violence in Rural India. (ProQuest, 2002), Hal 1-2. Diakses pada 23 Desember 2021.

67
Forsythe, David P. (1983). Human Right and World Polotics, Terj. Tom Gunadi, Bandung:
Angkasa. Diakses pada 24 Desember 2021.

78
proporsional karena mereka adalah mayoritas korban. Dimana hal tersebut terjadi

dan berkaitan dengan maslah aturan dalam adat, budaya, masalah ekonomi serta

bias gender yang mengakar akibat konstruksi sosial yang mengakibatkan

permpuan di India menjadi inferior di hadapan laki-laki. Berikut ini merupakan

kepercayaan yang menyebar di india yang menyebabkan pernikahan anak masih

terjadi di India diantaranya ;

a. Anak perempuan yang belum menikah dianggap sebagai rendahnya

tingkat kehormatan sebuah keluarga, karena pernikahan dianggap sebagai

cara untuk menjaga kesucian dari mempelai wanita dan pernikahan dapat

menghindari terciptanya aib keluarga.

b. Mahar yang digunakan untuk menikahkan anak perempuan yang masih

dini akan lebih murah, dibandingkan dengan anak perempuan yang

berpendidikan tinggi akan membayar mahar yang lebih mahal.

c. Anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi keluarga, karena

dianggap tidak bisa bertanggung jawab dan menopang kehidupan

keluarga, sehingga kecendrungan untuk menikahkan anak perempuan

lebih cepat dan akan mengurangi beban.

d. Dengan mengurangi biaya pernikahan, orang tua sering menikahkan anak

mereka dalam satu perayaan, seperti menikahkan tiga anak dalam satu

pesta pernikahan bahkan memasangkannya sekaligus dengan perayaan

lainya seperti pemakaman.68

68
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di
Inida, Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, pages 4, tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021

79
Hingga sampai saat ini praktik pernikahan anak masih berlangsung dengan

berbagai faktor yang melatarbelakanginya baik dari faktor budaya dan keagamaan

seperti, sistem mahar, sistem kasta, selain itu juga terdapat faktor norma sosial,

ekonomi, pendidikan hingga pola asuh kedua orang tua, serta masalah bias gender

yang mengakar. Dimana faktor tersebut menjadi pendorong terbesar pernikahan

anak di India. Tren pernikahan anak di India tersebut berdasarkan data UNICEF

tahun 2014 menunjukan bahwa menempatkan India di posisi tertinggi didunia

dalam hal kuantitas pratik pernikahan anak. Selain itu lebih dari 50% anak-anak di

negara tersebut menjadi korban praktik pernikahan anak.69

Di India daerah yang paling banyak mengalami kasus pernikahan anak

yaitu di Bihar (69%), kemudian Rajasthan (65%), Jharkhand (63%), Uttar

Pradesh (59%), Madhya Pradesh ( 57%), Chhattishgarh (55%), Andhra Pradesh

(55%), West Bengal (54%), Arunachal pradesh (42%), Karnataka (42%), Tripura

(42%), Tripura (42%), Haryana (41%), Maharashtra (39%), Gujarat (39%), assam

(39%), Orissa (37%), Sikkim (30%), Meghalaya (25%), Uttaranchal (23%), Delhi

(23%), Tamil Nadu (22%), Nagaland (21%), Mizoram (21%), Punjab (20%),

Kerala (15%), Jammu and Khasmir (14%), Manipur (13%), Himachal pradesh

(12%), dan goa (12%).70

Pernikahan anak di India terus berkembang pada umumnya di daerah

pedesaan. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya pernikahan tersebut biasanya


69
UNICEF. (2014). United Nations Children’s Fund, Ending Child Marriage: Progress and
prospects. New York: UNICEF.
70
National Commission for Protection of Child Right, India Child Marriage and Teenage
Pregnancy, India Report 4 september 2018, Hal 11, tersedia di www.ncpcr.gov.in diakses pada
tanggal 25 juni 2021

80
merupakan faktor kemiskinan, kurangnya pendidikan, terus berlanjutnya

hubungan patriarki yang mendorong dan memfasilitasi ketidaksetaraan gender,

dan perspektif budaya yang mendorong fenomena pernikahan anak tersebut untuk

terus berkembang. Selain itu terdapat masalah-masalah yang mengakibatkan

terjadinya pernikahan anak di India, antara lain yaitu:

a. Menghindari pengeluaran pendidikan untuk perempuan.

Pada dasarnya kapasitas produkif seseorang tergantung pada pencapaian

tingkat pendidikan seseorang dimana pengeluaran yang terjadi pada pendidikan

seseorang menentukan pengembangan kapasitasnya. Di India perempuan

menerima pendidikan yang lebih rendah, sehingga peluang pengembangan

karirnya lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut terjadi karena

umumnya keluarga membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam investasi

pendidikan. Dalam investasi pendidikan laki-laki diperlakukan sebagai aset masa

depan dan basis ekonomi keluarga, namun anak perempuan diperlakukan sebagai

beban keluarga, dimana basis ekonomi yang di investasikan pada pendidikan anak

perempuan dianggap akan menjadi sia-sia karena pada akhirnya mereka akan

diambil oleh suaminya kelak. Dengan begitu akses pendidikan yang terbatas

mengakibatkan anak perempuan secara pilihan keberlangsungan hidup mereka

mengarah kepada pernikahan. 71

Dengan rendahnya pendidikan yang dialami perempuan menjadikan

permasalahan bias gender yang mengacu pada perlakuan diskriminasi terhadapnya


71
Bhatt, A. Sen and U. Pradhan (2005) “Child Marriage & the Law in India”, Human Rights Law
Network, New Delhi. p.259. Diakses pada 24 Desember 2021.

81
karena dengan begitu perempuan dihadapi dengan dua pilihan, yaitu antara

mencari pekerjaan yang notabenenya sebagai buruh ataupun pekerjaan yang tidak

berkecukupan untuk dapat menunjang kehidupannya atau dengan melakukan

pernikahan. Meskipun demikian perempuan India menganggap hal tersebut adalah

suatu hal yang biasa karena mereka menganggap bahwa melanjutkan pendidikan

tidak memberikan hasil dan manfaat bagi diriniya secara langsung, dengan begitu

mereka lebih memilih untuk bekerja karena dianggap hasil yang didapatkan dari

upaya mereka secara langsung, meskipun dengan gaji dan upah yang minim.

b. Menghindari pembagian harta leluhur

Berbagi harta leluhur juga merupakan salah satu faktor yang bertanggung

jawab untuk mendorong kasus pernikahan anak. Dimana Jika pernikahan anak

perempuan dilakukan pada usia dini maka dia sebagai anak tidak akan menuntut

bagiannya. Oleh karenanya saudara yang dimiliki oleh anak perempuan yang

didominasi oleh laki-laki mengharapkan saudara perempuannya untuk menikah

dini demi untuk mendapatkan warisan yang lebih tinggi.72

Peristiwa tersebut kemudian menjadi salah satu yang mendorong

terjadinya pernikahan, dan bias gender yang sangat mendasar yaitu dalam lingkup

keluarga, menjadikan perempuan terus berada dalam garis kemiskinan, disamping

rendahnya akses pendidikan, dan pembagian harta yang seharusnya menjadi

modal mereka untuk melanjutkan kehidupan mereka meskipun hal tersebut tidak

sebanding dengan apa yang mereka dapatkan ketika mereka mendapatkan

72
UNFPA.Marrying too young end child marriage. Hal.11 Dalam www.unfpa.gov diakses tanggal
29 Desember 2021.

82
pekerjaan yang layak di ranak publik. Nasib perempuan dari perannya dalam

keluarga, masyarakat, maupun di hadapan lak-laki tidak sama sekali menunjukan

bahwa mereka mampu membangun kapasitas dirinnya lebih baik. Sehingga

dengan keterbelakangan perempuan tersebut menjadikanya tetap inferior di

hadapan laki-laki dan memungkinkan terjadinya diskriminasi yang didasari oleh

kapasitas diriniya sendiri. Pernikahan usia dini sebagai bentuk perilaku yang

sudah dapat dikatakan membudaya dalam masyarakat.73

c. Kerawanan sosial

Jaminan sosial juga merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya

pernikahan anak di India. Karena persepsi umum masyarakat India menganggap

bahwa ketika seorang wanita yang sudah menikah akan lebih aman terhadap

beberapa pelanggaran sosial, seperti halnya hamil diluar nikah, pelecehan seksual

terhadap perempuan dan kesucian perempuan merupakan suatu hal yang menjaga

kehormatan keluarga serta pandangan seorang pria terhadap perempuan yang

sudah menikakh berbeda dengan gadis yang belum menikah, pandangan terhadap

gadis yang belum menikah dipandang dengan niat yang salah sehingga hal

tersebut mengarah pada aksi kejahatan terhadap perempuan yang belum

menikah.74

73
Juspin Landung, Ridwan Thaha, A.Zulkifli abdullah. Studi kasus kebiasaan pernikahan usia dini
pada masyarakat kecamatan sanggalangi kabupaten tana toraja. Dalam jurnal MKMI. Oktober
2009, hal 90 diakses pada 29 Desember 2021.
74
Child marriage facts and figures, dalam http://www.icrw.org/child-marriage-facts-and-figures
diakses tanggal 28 Desember 2021.

83
Dengan berbagai faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya

pernikahan, anak-anak perempuan yang dipaksa menikah dengan berbagai alasan

seperti yang dijelaskan pada tulisan di atas mengakibatkan anak perempuan

tersebut mengalami stres secara mental karena belum siap untuk mengalami

kehamilan, karena mereka masih belum memahami hal-hal tentang reproduksi dan

kehamilan di usia dini sangat berbahaya ntuk ibu maupun bayi. Dalam kasus ini

pernikahan anak merupakan bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap hak anak

yang seharusnya masih bisa menikmati masa anak-anak dengan mengenyam

pendidikan dan bermain. Hal ini mengakibatkan anak-anak menjadi tumbuh

dewasa secara tidak natural, karena anak-anak dipaksakan untuk memikul

tanggung jawab dimana anak tersebut belum siap secara mental, fisik dan

emosional.Anak-anak juga merasa tidak nyaman karena harus mengurus keluarga

sehingga terisolasi dari kehidupan sosial dan terpisah dari orang tua dan teman

teman mereka.75

4.2 Implementasi Convention on the Right of the Child Dalam Mengurangi

Kasus Pernikahan Anak di India

India terus mencatat pernikahan anak terbanyak di seluruh dunia sebagai

akibat dari kesenjangan hukum dan implementasinya yang buruk, dengan fakta

bahwa remaja perempuan yang menikah terus menghadapi resiko kematian yang

signifikan yang disebabkan oleh faktor reproduksi mereka yang secara usia belum

75
Auboyer, Jeannine, Daily Life in Ancient India:from 200 BC to 700 AD.London: Phoenix Press,
2002. Google Books hal.8. Diakses pada 27 Desember 2021.

84
matang untuk melahirkan, serta kasus diskriminasi terhadap anak perempuan yang

masih sering terjadi, yang dengan seharusnya atas implementasi convention on the

right of the child yang diaplikasikan ke dalam undang-undang domestik India

tersebut dapat memberikan hak mereka untuk bebas dari diskriminasi dan

kekerasan.76 Dibawah konvensi, Negara-negara pihak berkewajiban menjamin

kebebasan anak perempuan dari pernikahan anak melalui larangan hukum yang

efektif dari praktek dan pemulihan hukum.

Terdapat beberapa hambatan dalam mengimplementasikan CRC untuk

mengurangi kasus pernikahan anak seperti halnya pelanggaran dalam beberapa

pasal dari isi konvensi tersebut yang disebabkan oleh faktor bias gender

diantaranya; kasus perkawinan anak massif terjadi di India yang terjadi karena

beberapa faktor, salah satunya adalah anggapan anak terhadap anak perempuan

sebagai beban ekonomi keluarga dan demi untuk memberikan mahar yang sedikit

apabila menikahkan anak perempuan dan lain sebagainya yang bersifat

diskriminatif terhadap perempuan, hal ini diakui sebagai salah satu bentuk

kekerasan berbasis gender dilarang berdasarkan Pasal 19, kemudian anak

peremuan yang diberikan kesempatan untuk menikah sering memilih untuk

menunda pernikahan namun mereka dinikahkan tanpa pertimbangan prefrensi

mereka, sehingga melanggar hak mereka untuk didengar berdasarkan Pasal 12.77

76
Fred Witteveen, Child, Early and Forced Marriage in India. Children Belive 2021. Diakses pada
12 Desember 2021.
77
Padmavathi Srinivasan, Nizamudin Khan, Ravi Verma. District-Level Study on Child Marriage
in India. International Center for Research on Women. New Delhi October 2015 diakses pada 10
Desember 2021

85
Selanjutnya anak perempuan yang menikah saat masih anak-anak tidak

mendapatkan akses pendidikan, menghadapi hambatan untuk mengembangkan

keterampilan untuk menghasilkan pendapatan, dan terisolasi masyarakat, yang

mengakibatkan ketergantungan penuh pada suami mereka dan melanggengkan

status rendah mereka di masyarakat maupun hadapan laki-laki, sehingga terdapat

kegagalan negara pihak untuk menghilangkan praktek tersebut serta kepentingan

terbaik anak dalam prinsip yang ditetapkan dalam Pasal 3 yaitu dengan

memastikan kesejahteraan anak-anak dari keberadaan, pendidikan, dan kebebasan

dari kekerasan. Disamping itu pernikahan juga dapat mengakibatkan perpisahan

anak dari orang tuanya tanpa mempertimbangkan kepentingan terbaiknya yang

melanggar Pasal 9. 78

4.2.1 Convention on the Right of the Child (CRC)

Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treatu (trakta atau pakta),

yang merupakan sebuah perjanjian diantara beberapa negara, perjanjian tersebut

bersifat mengikat secara yuridis dan politis. Convention on the Right of the child

ini merupakan perjanjian yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan

dengan hak-hak anak yang kemudian India pertama kali meratifikasi konvensi ini

pada tahun 1992 dimana gagasan tentang hak anak tersebut bermula setelah

berakhirnya perang dunia pertama sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul

akibat bencana peperangan, terutama yang dialami oleh kelompok perempuan dan

anak-anak. 79
78
Human Rights Law Network. Center for, Reproductiive Rights. 30 Juni 2013.

79
Implementation Hand Book for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF. Diakses
pada 25 Desember 2021.

86
a. Sejarah dan perkembangan

Awal mula bergeraknya ide tentang hak anak bermula ketika gerakan para

aktivis perempuan yang melakukan aksi protes dan meminta perhatian publik atas

nasib anak dan perempuan yang menjadi korban perang. Seorang aktivis yang

berperan menyuarakan hak anak tersebut adalah Eglantyne Jebb, yaitu seorang

pendiri Save the Children. Dari gagasan yang telah dirancang menghasilkan

sepuluh pernyataan tentang hak anak atau deklarasi hak anak (Declaration of the

Right of the Childree) hinga pada tahun 1923 diadopsi oleh lembaga Save the

Children Fund International Union. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa semua

orang berhutang kepada anak-anak untuk ; sarana bagi perkembangan mereka,

bantuan khusus pada saat dibutuhkan, prioritas bantuan, kebebasan ekonomi, dan

perlindungan dari eksploitasi, dan pendidikan yang menanamkan kesadaran dan

kewajiban sosial.Hingga akhirnya pada tahun 1924 diadopis secara Internasional

oleh Liga Bangsa Bangsa.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, pada tahun 1948, majelis umum

PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10

desember 1948. Kemudian pada tahun 1959 majelis Umum PBB kembali

mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak yang merupakan deklarasi hak anak

kedua yang merupakan deklarasi internasional kedua untuk hak anak dengan

mengakui peran anak sebagai aktor sosial, ekonomi, politik sipil dan budaya.80

80
Derrick, S., Ed. (1992). The United Nations Convention on the Rights of the Child: A Guide to
the "Travaux Préparatoires." Dordrecht, Boston, London: Martinus Nijhoff Publishers.diakses
pada 24 Desember 2021.

87
Selanjutnya pada tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak

Internasional, Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu

dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak

anak dan mengikat secara yuridis. Sehingga hal inilah sebagai awal perumusan

Konvensi Hak Anak. Pada tahun 1989, rancangan Convention on the Right of the

Child diselesaikan dan pada tahun itu juga disahkan dengan suara bulat oleh

majelis umum PBB pada 20 November 1989 dengan mengakui peran anak

sebagai aktor sosial, ekonomi, politik sipil dan budaya.81

kemudian dalam aturan yang ditetapkan dalam Convention on the Right of

The Child terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang hak anak agar terbebas dari

masalah pernikahan anak diantaranya yaitu ;

a. Berdasarkan Konvensi, negara-negara pihak berkewajiban untuk

memastikan kebebasan anak perempuan dari pernikahan anak melalui

larangan hukum yang efektif dari praktik dan upaya hukum.Perkawinan

anak diakui sebagai bentuk Kekerasan berbasis gender dilarang

berdasarkan Pasal 19.

b. Perempuan yang diberikan akses dalam pernikahan sebagai anak-anak dan

pernikahan anak adalah suatu hal yang wajar di India, dimana pernikahan

tersebut diakibatkan oleh tekanan keluarga dan sosial, dengan maksud

anak tersebut untuk menunda pernikahannya, namun mereka dipaksa

81
Implementation Hand Book for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF. Diakses
pada 25 Desember 2021.

88
menikah tanpa mempertimbangkan preferensi mereka. Hingga masalah

tersebut melanggar hak mereka untuk didengar berdasarkan Pasal 12.

c. anak perempuan yang menikah menjadikannya ditolak dalam

mendapatkan kesempatan pendidikan, dan menghadapi hambatan untuk

mengembangkan keterampilannya untuk mencari pendapatan, serta

terisolasi dari masyarakat, sehingga menghasilkan suatu ketergantungan

penuh pada suami mereka dan mengabadikan status rendah mereka di

masyarakat dan di hadapan laki-laki sebagai suaminya. Demikian pula

terdapat kegagalan negara untuk menghilangkan praktik tersebut yang

melanggar kepentingan terbaik untuk anak. Dimana hal tersebut

berdasarkan prinsip yang ditetapkan dalam Pasal 3.

d. Pernikahan anak juga dapat mengakibatkan pemisahan anak. dari orang

tuanya tanpa mempertimbangkan kepentingan terbaiknya, Dimana prilaku

tersebut melanggar konvensi pasal 9 tentang hak atas kehidupan yang

layak.untuk anak. 82

b. Adopsi Convention on the Right of the Child pada Regulasi

Nasional India

Konvensi ini merupakan instrumen internasional di bidang Hak Asasi

Manusia dengan cakupan hak yang paling komprehensif. Konvensi tersebut terdiri

dari 54 pasal, hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang Hak

Asasi Manusia yang mencakup hak-hak sipil, politik, hak-hak ekonomi, sosial dan
82
Convention on the Rights of the Child, adopted Nov. 20, 1989, art. 3, para. 2; art. 19, G.A. Res.
44/25, annex, U.N. GAOR, 44th Sess., Supp. No. 49, U.N. Doc. A/44/49 (1989) (entered into
force Sept. 2, 1990) [hereinafter CRC]; CRC Committee, General Comment No. 12: The right of
the child to be heard, para. 120, U.N. Doc. CRC/C/GC/12 (2009)

89
budaya sekaligus. Berdasarkan strukturnya, Konvensi ini di bagi menjadi 4 bagian

yakni : Preambule (mukadimah) yang berisi konteks Konvensi Hak Anak, Bagian

Satu (Pasal 1-4) yang mengatur hak bagi semua anak, Bagian Dua (Pasal 42-45)

yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi Hak Anak, dan

Bagian Tiga (Pasal 46-54) yang mengatur masalah pemberlakukan Konvensi.83

Suatu Negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak wajib memenuhi

semua ketentuan dalam Konvensi Hak Anak, kecuali bila negara tersebut

melakukan reservasi ketentuan dalam Konvensi Hak Anak. Dalam kondisi

demikian, maka negara tidak terikat untuk melaksanakan ketentuan yang

direservasinya, namun reservasi bisa ditarik kapan saja dengan pemberitahuan

resmi. Kemudian yang berkewajiban untuk mengimplementasikan Konvensi Hak

Anak adalah negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut, dalam hal ini

adalah para penyelenggara negaralah yang mempunyai wewenang untuk

mengimplementasikan konvensi. Walaupun konvensi ini menempatkan peranan

keluarga dan masyarakat pada posisi yang sentral dalam pemenuhan hak anak.84

Terdapat langkah-langkah implementasi umum yang harus di

implementasikan oleh negara peserta untuk menjalankan konvensi antara lain

meliputi:

a. Niat untuk menarik reservasi


83
Cantwell, N. (1992). "The Origins, Development and Significance of the United Nations
Convention on the Rights of the Child," in The United Nations Convention on the Rights of the
Child: A Guide to the "Travaux Préparatoires." Detrick, S., Ed. Dordrecht, Boston, London:
Martinus Nijhoff Publishers. Pp. 19-30. Diakses pada 25 Desember 2021.

84
Eddyono, Supriyadi W. Pengantar Konvensi Hak Anak, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, tahun 2007, Hal. 1, tersedia di www.elsam.or.id diakses pada tanggal 17 juni 2021

90
b. Upaya menyesuaikan legislasi nasional terhadap prinsip dan ketentuan

Convention on the Right of the Child

c. Upaya perumusan strategi nasional untuk anak yang secara

komperhensif mengacu pada kerangka Convention on the Right of the

Child beserta penetapan tujuan-tujuannya.

d. Penerjemahan Convention on the Right of the Child ke dalam bahasa

nasional dan bahasa daerah serta penyebarluasan konvensi .

e. Penyebarluasan laporan yang disiapkan pemerintah beserta kesimpulan

dan rekomendasi yang diberikan oleh komite hak anak terhadap

laporan pemerintah.

f. Dan lain-lain. 85

Dalam mengimplementasikan konvensi ke dalam undang-undang

domestik India, terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang

kasus pernikahan anak, dengan tujuan untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran

yang ditimbulkan oleh kasus pernikahan anak yang pada dasarnya hal tersebut

merupakan kasus pelanggaran HAM untuk anak, dan untuk mencegah serta

mengurangi kasus pernikahan anak. Undang-undang tersebut merupakan wujud

implementasi dan adopsi dari Convention on the right of the Child yang

merupakan salah satu upaya India untuk menjalankan ketentuan yang telah

ditetapkan oleh konvensi.

85
CRC Committee, Concluding Observations: India, para. 32, U.N. Doc. CRC/C/15/Add.115
(2000); India, para. 29, U.N. Doc. CRC/C/15/Add.228 (2004).

91
Prohibition of Child Marriage Act (PCMA) merupakan undang-undang

utama untuk pembrantasan pernikahan anak yang diadopsi dari CRC. Untuk

secara sah dalam menikah, umur minimum untuk laki-laki adalah 21 tahun dan

untuk perempuan yaitu 18 tahun, umur ini merupakan hasil saran dari UNICEF

untuk India yang bersumber dari CRC.Aturan ini dibuat untuk menghukum

siapapun yang melakukan, mengizinkan, dan meningkatkan pernikahan anak,

hingga hukuman yang diberikan kepada pelaku adalah hukuman penjara selama

dua tahun atau denda INR 100.000 atau sekitar 1.800 USD.86

Sejak tahun 2006 pernikahan yang terjadi di India harus terdaftar dibawah

aturan The Compulsory Registration of Marriage Act. Undang-undang Ini

menyatakan bahwa setiap warga negara India harus mendaftarkan pernikahannya

di dalam sepuluh hari pernikahan mereka, tanpa memandang agama. Pendaftaran

wajib seperti itu akan sangat penting untuk mencegah pernikahan anak di India,

khususnya di negara bagian seperti Madhya Pradesh, Uttar Pradesh, Haryana, dan

Bihar, di mana pernikahan anak di negara bagian tersebut begitu merajalela,

namun belum mengambil inisiatif untuk membuat pencatatan perkawinan menjadi

wajib di negara bagian tersebut. Pemerintah Pusat telah mewajibkan semua negara

bagian untuk membuat pendaftaran pernikahan wajib agar berada dalam posisi

yang lebih baik untuk menyadari struktur sosial dan kondisi lokal masing-masing

negara bagian.

Selain itu PCMA juga didukung oleh undang-undang lainnya yang juga

mengadopsi ketentuan dari CRC seperti Dowry Prohibition Act, Juvenile Justice,
86
Asmarita, Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah Umur di Inida,
Jurnal Online Mahasiswa FISIP Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, page 4, tersedia di
www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021

92
the Protection Women from Domestic Violence Act, dan National Police for

Children. 87
Tak hanya itu di negara-negara bagian juga memiliki undang-undang

tentang pernikahan di antaranya yaitu ; The Himachal Pradesh Marriage

Registration Act, 1996, Marriages (Registration and Miscellaneous Provisions)

Act, 1976, Karnataka Rajasthan Compulsory Registration of Marriages Bill, 2002

Maharashtra Regulation of Marriage Bureaus and Registration of Marriages Act,

1998 dan Tripura Recording of Marriage Bill, 200388

Sehubungan karena Convention on the right of the Child mengandung hak-

hak sipil politik dan hakhak ekonomi sosial budaya sekaligus dalam pasal-

pasalnya, maka yang dimaksud sebagai pelanggaran di dalam konteks konvensi

tersebut bisa berarti dua macam. Pertama, Jika negara melakukan tindakan baik

tindakan legislatif, administratif, atau tindakan lainnya yang seharusnya tidak

dilakukan, misalnya melakukan penyiksaan atau mengintersepsi hak anak untuk

memperoleh informasi. Ini merupakan suatu bentuk pelanggaran yang nyata.

Kedua, Non Compliance, yaitu negara tidak melakukan tindakan, baik tindakan

legislatif, administratif atau tindakan lain yang diisyaratkan oleh konvensi bagi

pemenuhan hak anak, khususnya yang berhubungan dengan hak ekonomi, sosial

dan budaya.89
87
Law Commission of India, Report number- 205, Proposal to Amend the Prohibition ofchild
Marriage Act, 2006, February 2008.

88
Eliminating Child Marriage in India: A Backdoor Approach to Alleviating Human Rights
Violations, Vol. 26, Boston College Third World Law Journal by JacquelineMercier. Di akses
pada 28 Desember 2021.

89
Boyden, J. (1990). "Childhood and the Policymakers," in Constructing and Reconstructing
Childhood. James, J., & Prout, A., Eds. London, New York, Philadelphia: Falmer Press. Pp 184-
215.

93
Meskipun Convention on the right of the Child mengikat secara yuridis

namun belum ada mekanisme yuridis untuk pemberian sanksi bagi negara yang

melakukan pelanggaran. Sejauh ini sanksi yang bisa diberikan kepada negara yang

melanggar konvensi berupa sanksi moral dan sanksi politis, bisa dalam bentuk

embargo bantuan ekonomi, pengucilan, mempermalukan di tingkat Internasional,

dan lainnya

Jika pelanggaran dilakukan oleh orang tua atau anggota masyarakat, maka

negara berkewajiban menjamin agar anggota masyarakat tidak melakukan

pelanggaran hak anak atau menjamin agar jika terjadi pelanggaran seperti hal

tersebut, maka pelaku harus mempertanggungjawabkan tindakannya dan korban

dibantu pemulihannya. Hal ini bisa dilakukan dengan menyelaraskan perundangan

dan peraturan nasional sesuai Convention on the right of the Child.

4.2.2 Kesenjangan dalam PCMA dan Kegagalan untuk Menegakkan

Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Terdapat beberapa kekurangan dalam undang-undang nasional

memungkinkan pernikahan anak untuk bertahan dengan impunitas atau

pembebasan dari hukuman, termasuk kurangnya kejelasan tentang status hukuman

perkawinan anak karena inkonsistensi antara hukum status pribadi dan PCMA,

standar usia yang diskriminatif untuk menikah, dan pencatatan kelahiran yang

tidak memadai. Pelaksanaan hukum dan akuntabilitas petugas yang bertanggung

jawab untuk mencegah pernikahan ini tetap sangat lemah, yang mencerminkan

94
kurangnya kemauan politik untuk menghilangkan praktik pernikahan anak

tersebut.90

Terdapat inkonsistensi antara hukum status pribadi dengan PCMA, dimana

pernikahan anak di India dilegalkan melalui undang-undang status pribadi yang

sifatnya diskriminatif dan berbasis agama dimana terdapat penetapan usia

minimum yang saling bertentangan dimana pernikahan anak perempuan dibawah

18 tahun dapat dibatalkan dan menghukum keterlibatan dalam kasus pernikahan

anak, dimana status pribadi hukum di India meliputi hukum pribadi muslim,

undang-undang perkawinan hindu, undang-undang perkawinan Kristen dan

undang-undang perceraian, hukum pribadi tersebut juga menetapkan usia

perkawinan mereka sendiri sehingga PCMA tidak menjelaskan hukum mana yang

harus diikuti. Sehingga hal tersebut menjadi ambiguitas tentang hukum mana

yang akan diterapkan ketika mengatasi kasus pernikahan anak. Seperti kasus

pengadilan yang mencari klarifikasi yudisial tentang hukum mana yang berlaku

untuk komunitas yang berbeda, sementara beberapa keputusan pengadilan tinggi

tingkat Negara bagian menyatakan bahwa PCMA sebagai pengganti undang-

undang pribadi tersebut. Namun mahkamah agung belum memberikan keputusan

tentang masalah ini. 91

90
Gopal A.K, Dinesh Paul. A Study on Child Marriage in India:Situational Analysis in Theree
States. National Institute of Public Cooperation an child Development. Diakses pada 9 Desember
2021.

91
Kalyani Roy. The Prohibition of Child Marriage Act, 2006. International Journal of Science and
Economic Research. Volume 06, issue o6. June 2021 diakses pada 2021.

95
Selanjutnya dalam mengimplementasikan hukum terhadap pernikahan

anak PCMA juga belum memberikan hasil yang maksimal. National Crime

Records Bureau melaporkana bahwa jumlah orang yang ditangkap karena

melanggar PCMA pada tahun 2012 adalah 1.843, hanya 162 persidangan yang

diselesaikan, dan hanya 40 orang yang mendaptkan hukuman. Hal tersebut


92

menunjukan bahwa terdapat hambatan untuk penegakan PCMA. Dalam upaya

untuk mengurangi kasus pernikahan anak India berkomitmen untuk menghapus

pernikahan anak pada tahun 2030. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Anak telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pencegahan Pernikahan Anak

Tahun 2013. Elemen kunci dari rencana tersebut pada penegakan dalam hukum,

perubahan pola pikir dan norma sosial, pemberdayaan remaja dan melanjutkan

pendidikan.

Kemudian dalam pelaksanaan aturan yang ditetapkan PCMA terdapat

penetapan usia yang diskriminatif untuk anak perempuan dengan laki-laki. Untuk

laki-laki usia sah untuk menikah adalah 21 tahun dan perempuan 18 tahun.

Komite telah berulangkali mengkritik perbedaan tersebut dan menekankan

perlunya usia pernikahan yang sama untuk anak perempuan dan laki-laki.

Sehingga perbedaan usia menikah ini mencerminkan dan melanggengkan adanya

sterotipe terhadap perempuan, akibatnya semakin tingginya insiden pernikahan

anak oleh faktor usia tersebut mengakibatkan ketidaksetaraan dalam pendidikan,

92
National Crime Record Bureau, Crime in India Report 2015.

96
otonomi perempuan, dan menghadapkan mereka pada resiko kekerasan yang lebih

tinggi.93

4.2.3 Perkembangan Fluktuasi Pernikahan Anak Setelah Diratifikasinya

Convention on the Right of the Child

Pernikahan anak terjadi dalam skala yang mengejutkan di India, meskipun

terdapat komitmen dalam hukum dan kebijakan untuk menghilangkan praktek

tersebut. Khususnya seperti yang dibahas dalam laporan berkala India, India

berjanji untuk melenyapkan pernikahan anak pada tahun 2010 dalam rencana aksi

nasional untuk anak perempuan dan mengadopsi UU pernikahan anak (PCMA)

dari CRC, CEDAW dan konvensi internasional lainnya. Di India ada perbedaan

yang signifikan dalam kerentanan terhadap pernikahan anak, dimana gadis yang

terkena banyak bentuk diskriminasi termasuk anak perempuan pedesaan, miskin,

dan tidak berpendidikan berada pada resiko terbesar dalam pernikahan anak.

Statistik pemerintahan menunjukan bahwa perempuan pedesaan berusia 15-17

tahun, kemungkinan mengalami pernikahan adalah dua kali lipat dibandingkan

wanita perkotaan. Kerentanan yang berbeda antara gadis desa dengan perkotaan

ini pada dasarnya tidak berubah selama beberapa dekade. 94

Berdasarkan laporan dari United Nation Population Fund (UNFPA) 2015-

2016 bahwa hampir 26 juta wanita di India berusia 20-24 sudah menikah dengan

93
Padmavathi Srinivasan, Nizamudin Khan, Ravi Verma. District-Level Study on Child Marriage
in India. International Center for Research on Women. New Delhi October 2015 diakses pada 10
Desember 2021.

94
The Prohibition of Child Marriage Act, 2006: A Critical Analyses
https://shodhganga.inflibnet.ac.in/ diakses pada 26 Desember 2021.

97
46% dari semua pernikahan tersebut perempuan menikah sebelum usia 18 tahun,

yang berarti pernikahan anak berjumlah sekitar 11,9 juta kasus. Jika tingkat

pernikahan anak saat ini tetap ada maka UNFPA memperkirakan bahwa lebih dari

28 juta anak perempuan akan menikah sebelum usia 18 tahun pada tahun 2030. 95

Menurut National Family Health Survei (NFHS), sekitar 27 persen wanita

di India berusia 20-24 tahun dilaporkan menikah sebelum usia 18. India

memberikan kontribusi yang cukup besar pada total pernikahan global, karena

lebih dari seperempat dari semua pernikahan di India adalah pernikahan anak; 50

persen di antaranya ada di delapan negara bagian utama96. Baru-baru ini, ada

beberapa berita positif ketika laporan UNICEF mengklaim bahwa secara global,

lebih dari 25 juta pernikahan anak dicegah dalam dekade terakhir. Tetap saja,

meskipun memiliki hukum untuk menentang pernikahan anak sejak tahun 1929,

yang digantikan oleh PCMA, proporsi anak perempuan di India secara konsisten

telah menikah sebelum usia legal.97

Diagram 4.1 : Persentase anak perempuan menikah usia 18-20 tahun dan

20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun

95
Gopal A.K, Dinesh Paul. A Study on Child Marriage in India:Situational Analysis in Theree
States. National Institute of Public Cooperation an child Development. Diakses pada 9 Desember
2021.

96
Arushi Raj. Child and Early Marriage in Inida. Social and Political Research Fondation.
November 2021. Diakses pada 20 Desember 2021.

97
United National Population Fund. 15 July 2021. Tersedia di www.unpfa.org/data diakses pada
30 November 2021.

98
(Sumber : National Health Family Survei, India)

Kurangnya data nasional yang diperbarui merupakan penghalang untuk

memantau kemajuan India dalam menghilangkan praktek pernikahan anak.

Karena kurangnya pencatatan kelahiran dan perkawinan yang efektif dan wajib,

banyak anak-anak tidak memiliki dokumen yang membuktikan usia mereka saat

lahir atau menikah yang mengakibatkan hasil dari pernikahan anak tersebut

berdasarkan pada survei usia perempuan yang telah menikah antara 20 sampai 24

tahun yang menikah dibawah 18 tahun hingga menghasilkan presentase dari

pernikahan anak98. Namun studi tingkat Negara bagian, pemerintah baru-baru ini

dengan jelas menunjukan bahwa anak-anak yang tersebar luas praktek pernikahan

terus bertahan di seluruh negri. Di India,pernikahan anak telah menurun perlahan

dari waktu ke waktu, namun jumlah anak perempuan dan laki-laki yang menikah

sebelum usia hukum masing-masing masih tetap cukup tinggi. Berdasarkan Data

Survei National Family Health Survei (NFHS) Bagan 1, prevalensi pernikahan

anak telah mengalami penurunan, dari 57% pada 1992-93 menjadi 27% pada

2015-2016.99
98
Human Rights Law Network. Center for, Reproductiive Rights. 30 Juni 2013.

99
Media Coverage of National Family Health Survey (NFHS-4) 2015-16

99
Diagram 4.2 : Tren pernikahan anak di india dari 8 negara bagian, 1992-
2016

(Sumber : National Family Health Survei, India)

Tren pernikahan anak di india dari 8 negara bagian, 1992-2016 dari segi

negara bagian, variasinya besar dan hampir setiap negara bagian di India

menunjukkan tren penurunan dalam data yang baru-baru ini diambil pada NFHS-4

(2015-16), seperti terlihat pada Diagram 1.2 Delapan negara bagian di India

(Rajasthan, Uttar Pradesh, Haryana, Madhya Pradesh, Bihar, Jharkhand,

Chhattisgarh dan Andhra Pradesh) menunjukkan penurunan sekitar 20 persen poin

dari NFHS-3 (2005-06).100

Gambar 4.2 : Tren penurunan pernikahan anak di India

100
Fred Witteveen, Child, Early and Forced Marriage in India. Children Belive 2021. Diakses pada
12 Desember 2021.

100
Berdasarkan tren pernikahan darihasil survey National Family Health

Survei India yang di paparkan pada gambar diatas terdapat perbandingan

perkembangan tren pernikahan anak di berbagai Negara bagian di India dengan

menunjukan perbandingan survei NFHS-3 dan NFHS-4, yang menunjukan

perbandingan penurunuan 20%.101

4.3 Analisis Faktor Penghambat Implementasi Convention on The Right of

The Child dengan Kajian Feminisme Liberal

Tujuan dibentuknya konvensi tentang hak anak adalah salah satunya untuk

mempertimbangkan perlunya kepentingan anak. Dengan begitu upaya untuk

mengakhiri penderitaan anak-anak, memberikan mereka lingkungan yang sehat,

bahagia dan aman terpelihara secara fisik, mental dan emosional, khususnya pada

kasus pernikahan anak yang terjadi di India ini, convention on the right of the
101
Lesthaeghe, R., ‘The Unfolding Story of the Second Demographic Transition’, Population and
Development Review, vol. 36, no. 2, 2010, pp. 211-251. Diakses pada 20 Desember 2021.

101
child dating sebagai acuan dalam memperhatikan aturan-aturan yang diadopsi

kedalam aturan dalam negri guna memberikan perubahan yang signifikan dalam

mengurangi kasus pernikahan anak yang pada dasarnya hal tersebut merupakan

sebuah pelanggaran HAM.102 India pertamakali meratifikasi Convention on the

Right of the Child pada tahun 1992 yang selanjutnya hak-hak yang dijelaskan

dalam konvensi terdapat 54 pasal diantaranya telah diringkas ke dalam dasar-

dasar aturan konvensi antara lain :

a. Hak dan Identitas (pasal 7 dan 8)

b. Hak atas kesehatan (Pasal 23 dan 24)

c. Hak atas Pendidikan (Pasal 28)

d. Hak atas Kehidupan (Pasal 8, 9, 10, 16, 20, 22 dan 40)

e. Hak untuk dilindungi dari kekerasan (Pasal 19 dan 34)

f. Hak atas Pendapat (Pasal 12 dan 13) .

g. Hak untuk dilindungi dari konflik bersenjata (Pasal 38 dan 39)

h. Hak untuk dilindungi dari eksploitasi (Pasal 19, 32, 34, 36, dan 39)

Berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan di dalam Convention on the

Right of the Child, terdapat beberapa pelanggaran yang masih rentan terjadi di

India diantaranya disebabkan oleh faktor bias gender dalam kasus pada tulisan ini

adalah untuk mengurangi kasus pernikahan anak yang terjadi di India. Dibawah

konvensi, Negara-negara pihak berkewajiban untuk menjamin kebebasan anak

dari pernikahan anak melalui larangan hukum yang efektif dari praktek dan

pemulihan hukum, namun nyatanya masih terdapat pelanggaran dan hambatan

102

102
berjalannya Convention on the Right of the Child akibat dari adanya bias gender

yang mengakar, diantaranya hambatan dalam mengimplementasikan pasal-pasal

yang tertuang didalam CRC, kesenjangan dalam PCMA, inkonsistensi antara

hukum status pribadi dengan PCMA. 103

Berdasarkan kritik utama feminis tentang peran gender yang

mengutamakan keadilan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam

hal ini masih terdapat ketimpangan yang sangat jauh dirasakan oleh perempuan,

dan berkaitan dengan apa yang dimaksud dalam konvensi (Pasal 2) tentang

pemberlakuan terhadap anak tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun termasuk

didalamnya jenis kelamin. namun faktanya bahwa prilaku diskriminasi tersebut

masih sangat sering terjadi bahkan mengarah pada tindakan kekerasan,

subordinasi, sterotipe dan marjinalisasi terhadap perempuan. Hal tersebut

kemudian menjadi salah satu faktor berjalannya konvensi menjadi terhambat di

India. Seperti yang disebutkan Komite secara khusus mengkritik India karena

gagal dalam mematuhi konvensi dan mengatasi pernikahan anak karena lemahnya

penegakan undang-undang yang melarang pernikahan dan pemberlakuan hukum

yang tidak tegas.

Dalam Pasal 19 yang melarang tentang segala bentuk kekerasan terhadap

anak, Komite telah mengakui dan menyatakan bahwa negara pihak harus

menganggap anak perempuan yang menikah berada dalam situasi yang berpotensi

rentan karena kemungkinan mereka akan terkena kekerasan berbasis gender.

berdasarkan pasal 19 tersebut negara pihak harus mengambil semua tindakan


103
Law Commission of India, Report number- 205, Proposal to Amend the Prohibition of child
Marriage Act, 2006, February 2008

103
legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak

dari berbagai bentuk kekerasan fiisik atau mental, pelecehan, eksploitasi dan

pelecehan seksual.

Sejalan dengan gagasan Feminisme Liberal terhadap pernikahan yang

mengemukakan tentang efek simbolis dan efek praktis dari akibat pernikahan

untuk perempuan, dimana efek praktis terhadap perempuan yang dihasilkan dari

pernikahan adalah ketika mereka mendapat perlakuan diskriminatif oleh laki-laki,

berada dibawah laki-laki, mendapatkan beban ganda, bergantung pada laki-laki

dan lain sebagainya, dimana berdasarkan Pasal 19 tersebut merupakan tindakan

yang melanggar aturan dari CRC, karena pada dasarnya praktek pernikahan

tersebut dilakukan oleh anak-anak perempuan dibawah usia 18 tahun. Efek praktis

tersebut pada kasus pernikahan anak di India banyak mengalami tindakan

kekerasan fisik maupun mental.

Selanjutnya efek simbolis yang dialami perempuan akibat dari pernikahan,

yaitu efek yang mempengaruhi pikiran, dimana pada prakteknya anggapan

terhadap perempuan yang inferior dan anggapan terhadap perempuan yang tidak

mampu menopang ekonomi keluarga menyebabkannya terhalang dalam akses

pendidikan karena dengan memberikan anak perempuan pendidikan adalah

prilaku sia-sia karena pada akhirnya ia akan hidup bersama suaminya. Hal

tersebut yang menjadikan perempuan terhalang untuk mendapatkan pekerjaan

yang layak karena pendidikan yang rendah dan menjadikannya tetap bergantung

dan dibawah laki-laki. Dengan begitu pernyataan tersebut sejalan dengan

hambatan yang dialami pada Pasal 18, dimana dalam pasal tersebut menyatakan

104
bahwa Negara peserta akan menjamin pengakuan atas prinsip bahwa para orang

tua mempunyai tanggung jawab bersama untuk membesarkan dan membina anak

dan memberikan kepentingan terbaik bagi anak.

Selanjutnya terdapat hambatan Convention on the Right of the Child dalam

penegakan aturan tentang pernikahan anak adalah dalam pelaksanaan PCMA

masih terdapat adanya ketimpangan dalam mengatur usia minimal untuk menikah,

apabila dikaji dalam persfektif feminis, dimana perempuan pada usia 18 tahun

dan laki-laki 21 tahun sehingga berdasarkan tujuan utama Feminisme Liberal

yaitu untuk merekonstruksi dan rekonseptualisasi sesuatu yang menjadikan

perempuan menjadi inferior dan tidak adanya keadilan dan kesetaraan dengan

peran laki-laki di berbagai bidang104. Pada kasus ini yaitu upaya merekonstruksi

aturan usia minimum tersebut yang menimbulkan dampak yang kompleks

terhadap diskriminasi perempuan, pertama yaitu, dengan penetapan usia tersebut

perempuan menganggap usia matang mereka untuk menikah ketika mereka

menginjak usia 18 tahun namun pada akhirnya dengan anggapan tersebut

menjadikannya memtutuskan untuk menikah daripada melanjutkan pendidikan,

dibandingkan dengan laki-laki yang diberikan usia minimum 21 tahun yang

memunculkan sebuah konstruksi bahwa laki-laki harus lebih tua dibandingkan

perempuan dalam sebuah pernikahan dan melanggengkan inferior perempuan di

hadapa laki-laki, oleh karenanya di India selisih pernikahan antara laki-laki dan

perempuan rata-rata antara 4 sampai 6 tahun. 105

104
Ministry of Health and Family Welfare. National Family Health Survei-4 2015-16 (India Fact
Sheet)

105
Dalam permasalahan yang kompleks terjadi hambatan implementasi CRC

dalam mengurangi kasus pernikahan anak tersebut, berdasarkan feminisme liberal

hal yang paling utama untuk direkonstruksi adalah pada perempuan itu sendiri.

Menurut Betty Friedan dalam tulisannya tentang Feminimistique menyatakan

bahwa, masalah utama perempuan adalah pada anggapan semua orang bahkan

peremppuan itu sendiri ketika perempuan menganggap perilaku terbaik untuk

perempuan adalah ketika ia mampu mengerjakan pekerjaan internal rumah tangga,

yang kemudia hal tersebutlah yang memenjarakan perempuan dalam

mengembangkan dirinya layaknya seorang laki-laki. 106


Menurutnya wanita

modern secara umum mencita-citakan tiga hal yaitu heart, home dan husband,

dengan begitu perempuan itu sendiri melenyapkan hasrat untuk mandiri dan

mencurahkan perhatiannya untuk keluarganya, dan hal tersebut merupakan tujuan

final dari perempuan. Hal tersebut kemudian mengkibatkan kepasifan, ego yang

lemah, penolakan terhadap suatu tujuan, ambisi, ketidak mampuan untuk berfikir

abstrak, menarik diri dari kegiatan sosial. Demikian dengan inferioritas

perempuan yang salah satunya dibentuk oleh perempuan itu sendiri

mengakibatkan posisi dominan laki-laki akan tetap eksis di ranah publik, serta

secara tidak langsung praktek-praktek diskriminasi dan bias gender akan terus

terjadi.

Untuk itu pendidikan sangat penting bagi perempuan dalam membangun

karakter dan kepribadian yang mandiri demi meminimalisir adanya diskriminasi


105
Law Commission of India, Report number- 205, Proposal to Amend the Prohibition of child
Marriage Act, 2006, February 2008
106
Friedan, Betty. The feminine mystique/by Betty Friedan; with a new introduction. p. cm.
Includes bibliographical references.

106
terhadap dirinya. Sehingga dengan begitu apa yang diupayakan Feminisme

Liberal tentang kebebasan individu dan terlepas dari bias gender maupun

diskriminasi terhadap perempuan apabila terdapat adanya kemandirian, organisasi

pendukung, legal efforts, aksi politik dalam menggugat kebijakan tertentu yang

merugikan perempuan dan personal resolve dari perempuan itu sendiri.

4.3.1 Faktor-Faktor Bias Gender Sebagai Penghambat Implementasi

Convention on the Right of the Child

Masalah bias gender di India tidak terlepas dari campur tangan budaya

patriarki, norma dan struktur sosial yang diterapkan di India. India sendiri menjadi

salah satu negara yang menganut dan memegang erat norma sosial yang mengarah

kepada budaya patriarki. Kemudian budaya patriarki tersebut yang menjadi

perempuan India harus dihadapkan pada kesulitan serta tantangan dalam

kehidupan sosial maupun politik. 107


Demikian halnya dalam implementasi

Convention on The Right of The Child faktor bias gender yang telah mengakar di

India merupakan salah satu yang menghambat berjalannya CRC dalam menangani

kasus pernikahan anak di India. Terdapat beberapa faktor bias gender yang

menghambat implementasi Convention on the Right of the Child diantaranya;

aborsi terhadap bayi perempuan, pembunuhan anak perempuan, human trafficking

pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan, kurangnya akses pendidikan,

kurangnya akses kesehatan, pernikahan dini, dowry, perceraian, dan kemiskinan

serta keterbatasan akses perempuan dalam politik. Dimana penyebab terjadinya

bias gender tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah ;


107
Eliminating Child Marriage in India: A Backdoor Approach to Alleviating Human Rights
Violations, Vol. 26, Boston College Third World Law Journal by JacquelineMercie

107
a. Faktor budaya dan keagamaan

Terdapat budaya patriarki yang erat kaitannya dengan norma agama, peran

dan campur tangan ajaran agama hindu India menjadi salah satu faktor yang

mendukung budaya patriarti sehingga terjadinya kekerasan seksusal di India.

Ajaran brahmanisasi merupakan ajaran agama hindu yang diyakini dan berasal

dari salah satu kitab suci Rgveda, yang mengajarkan perempuan berada dibawah

atau dikendalikan oleh laki, dan perempuan harus menuruti laki-laki atau suami.

Berdasarkan ajaran Rgveda tersebut perempuan dianggap memiliki pemikiran

yang bodoh, dan mereka mempunyai hati yang mirip dengan hyena (hewan

pemakan bangkai). Kemudian para orang tua lebih memprioritaskan anak

perempuannya untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa daripada memberikan

hak perkawinan kepada anak-anak mereka, kemudia mereka dipaksa melakukan

hubungan dengan laki-laki layaknya suami istri sebagai persembahan kepada

dewa, yang secara tidak langsung prilaku tersebut merupakan tindakan kekerasan

seksual terhadap perempuan. Sehingga aliran tersebut menjadi akar stigma

negative terhadap perempuan, dan perempuan itu sendiri terkekang secara budaya

dan keagamaan untuk memilih kehidupan mereka yang lebih bebas. Berdasarka

pasal yang ditetapkan dalam CRC yaitu hak untuk dilindungi dari kekerasan

(Pasal 19 dan 34) Yaitu perlindungan dari kekerasan meluas bahkan untuk

anggota keluarga, dan anak-anak tidak boleh menderita dari perlakuan buruk atau

kekerasan seksual maupun fisik. Semua bentuk eksploitasi dan pelecehan seksual

tidak dapat diterima, termasuk mempertimbangkan penjualan anak, prostitusi anak

dan pornografi anak.sehingga kegiatan budaya dan keagamaan tersebut telah

108
melanggar apa yang telah tercantum dalam aturan Convention on the Right of the

Child. 108

Di India status perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat, budaya dan

keagamaan serta anggapan masyarakat bahwa anak wanita hanya akan menjadi

beban bagi keluarganya kelak, maka banyak orang tua yang melakukan aborsi

atau pembunuhan bayi perempuannya, atau jika bayi ini tetap hidup, mereka

banyak yang ditelantarkan oleh keluarganya. Saat ini yang menjadi perhatian

adalah kasus-kasus pembunuhan terhadap bayi perempuan di India dan aborsi

selektif terhadap calon bayi berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan kasus

tersebut menjadikan implementasi CRC dalam Hak atas Kehidupan berdasarkan

(Pasal 8, 9, 10, 16, 20, 22 dan 40) dan masalah tersebut juga berkaitan dengan

aturan yang ditetapkan pada Hak anak untuk dilindungi dari kekerasan (Pasal 19

dan 34). 109

Dalam hal ini feminisme liberal dalam tujuannya untuk mencapai sebuah

kebebasan individu untuk memilih dan memutuskan sesuai keinginannya tidak

dapat diraih oleh perempuan karena faktor budaya dan keagamaan tersebut. hal ini

menjadikan implementasi dari CRC sangat sulit untuk diterapkan karena peristiwa

tersebut menyangkut dogma agama yang sangat dipercaya dan dipatuhi oleh

masyarakat khususnya di daerah pedesaan India, hal tersebut sangat sulit untuk

108
UN Women(2018). TOWARDS AN END TO SEXUAL HARASSMENT: THE URGENCY
AND NATURE OF CHANGE IN THE ERA OF #METOO. New York: UN Women
Headquarters.http://www.unwomen.org//media/headquarters/attachments/sections/library/
publications/20i8/towards-an.end-to-sexual-harassment-en.pdf.

109
Jahan S.(2018). VIOLENCE-AGAINST-WOMEN-A-CAUSE-AND-CONSEQUENCE-
OFINEQUALITY. New York: United Nations Development Programme.

109
diubah karena ketika membicarakan sebuah kepercayaan, aturan-aturan, dan

pemikiran lain yang masuk untuk mempengaruhi hal tersebut sangat sulit utuk di

implementasikan. Demikian pula halnya dengan bagian dari PCMA tidak

menjelaskan hukum mana yang harus diikuti antara hukum nasiaonal dan hukum

agama. Hal ini telah menyebabkan ambiguitas yang signifikan tentang hukum

mana yang berlaku untuk komunitas yang berbeda. Ambiguitas mengenai

hukuman untuk pernikahan anak, dan status hukum anak perempuan yang

menikah di bawah usia 18 tahun tetap ada, dan dapat menjadi penghalang yang

bagi anak perempuan yang mungkin ingin menuntut perlindungan hukum

terhadap pernikahan anak110. Komite telah menyatakan keprihatinan berdasarkan

Pasal 1 di mana adanya berbagai sistem hukum, termasuk hukum berbasis agama,

menyebabkan regulasi anak yang tidak konsisten dalam kasus perkawinan,

termasuk usia minimum perkawinan yang bertentangan dengan aturan dalam

aturan pribadi keagamaan.

b. Sistem kasta

India adalah salah satu negara yang memiliki banyak permasalahan terkait

dengan perempuan dan ketidaksetaraan gender. India sangat kental dengan sistem

budaya, ajaran agama dan struktur sosial. Diskriminasi dalam struktur sosial dari

hal kecil sampai dengan hal besar sangat berdampak terhadap perempuan-

perempuan, demikian pada struktur sosial India terdapat golongan kelas, struktur

sosial yang tetap melanggengkan inferioritas perempuan dan bias gender dimana

terdapat sistem kasta di India yang menjadi faktor penyebab direnggutnya hak-hak
110
Chibber B. (2010). Women and the Indian Political Process. Mainstream Weekly Journal: Vol.
XLVIII. Issue 18.

110
perempuan khususnya dikalangan kasta terendah, dimana kasta tersebut

digolongkan dalam empat golongan kasta yaitu Brahmana, ksatria, waisa, sudra.

Pembagian kelas tersebut telah mengatur struktur sosial masyarakat India dari

bawah sampai atas sejak berabd-abad lamanya, dan masyarakat India seakan

hidup dalam koloni yang terpisah. Dimana banyak hak-hak yang diberikan kepada

kasta teratas seperti brahmana dimana seperti dalam mencapai hak-hak politik dan

kesempatan dalam bangku parlemen perempuan di India hanya dimiliki oleh

kaum-kaum perempuan yang memiliki kasta tinggi, sehingga kesempatan

perempuan yang berada di kasta rendah tidak memiliki akses untuk berpartisipasi

kedalam ranah politik.

Berdasarkan tujuan utama feminisme liberal yaitu menghilangkan

anggapan perempuan sebagai objek dari peran laki-laki atau dari pengaruh

patriarki, kemudian perempuan harus memiliki kebebasan dalam menentukan apa

yang mereka inginkan layaknya ranah laki-laki, serta memiliki peran yang sama

dalam ranah ekonomi, politik, pendidikan dan ranah publik lainnya Hal ini

menunjukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan dan bias gender juga berasal

dari faktor kelas sosial atau sistem kasta tersebut. Kesenjangan disebabkan oleh

sistem kasta, perbedaan kelas dalam masyarakat, subordinasi, kemiskinan dan

dominasi orang tua terhadap anak perempuannya, akibatnya mayoritas perempuan

yang duduk di dalam parlemen merupakan perempuan-perempuan dengan kasta

tinggi atau mereka yang memiliki hubungan relatif dengan pemangku

kekuasaan.111

111
Julie Mullin, 2008, “Gender Discrimination – Why is it still so bad and what can you do about
it?”, Accessed from www.childerninneed.org on 15.08.2008.

111
c. Pendidikan

Pendidikan wanita di India memiliki perhatian utama baik dari pemerintah

maupun masyarakat sipil, perempuan terdidik dapat memainkan peran yang

sangat penting dalam pembangunan negara. Pendidikan adalah tonggak

pemberdayaan wanita karena memungkinkan mereka untuk menanggapi

tantangan, untuk menghadapi peran tradisional dan perubahan hidup mereka.

Sehingga kita tidak bisa mengabaikan pentingnya pendidikan yang mengacu pada

pemberdayaan perempuan. Pendidikan wanita adalah alat paling ampuh untuk

mengubah posisinya dalam masyarakat.112 Berdasarkan konvensi tentang Hak atas

Pendidikan (Pasal 28) dimana anak berhak untuk mendapatkan pendidikan dasar

gratis dan hal tersebut sangat penting untuk membantu anak-anak

mengembangkan disiplin, keterampilan hidup sambil menemukan lingkungan

yang aman dan sehat untuk memelihara perkembangan fisiologis anak.113 Dengan

begitu terdapat kemungkinan bagi mereka dalam mencapai kebebasan dari

kekerasan, pelecehan atau penelantaran.

Pendidikan untuk perempuan di India telah menjadi kebutuhan saat ini,

karena pendidikan adalah pondasi untuk pemberdayaan perempuan, dimana

dengan diberikannya akses pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi

memungkinkanya untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri, mendapatkan

pekerjaan yang layak dan terhindar dari ketergantungan dengan laki-laki dan
112
Oakley, A. ‘‘Gender, Methodology and People’s Ways of Knowing: Some Problemswith
Feminism and the Paradigm Debate” in Social Science’, Sociology, 32(4).1998. Pp.707–32
113
. UN Women(2018).UN Trust Fund to end Violence Against Women. New York: UN Women
Headquarters. http://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2018/6/un-trust-fund-to-
end-violence-againstwomen-annual-report-2017

112
dapat memperjuangkan hak-hak mereka, serta yang terpenting adalah terhindar

dari perlakuan diskriminatif oleh kaum laki-laki.

Setelah 74 tahun kemerdekaan india, perempuan tetap memiliki posisi

sekunder dalam hirarki sosial, dikarenakan kurangnya akses mereka dalam

kesempatan pendidikan, hal tersebut terjadi karena anggapan orang tua terhadap

anak perempuannya yang mengaggap bahwa, dengan memberikan pendidikan

pada anak perempuannya merupakan tindakan sia-sia, karena mereka akan

menikah dan diambil oleh suaminya, kemudia perempuan India dianggap tidak

mampu menopang ekonomi keluarga.114 Selain itu praktik pernikahan dini yang

sering terjadi mengakibatkan kesempatan perempuan dalam menempuh

pendidikan menjadi terhenti. Berdasarkan hal tersebut menjadikan kesempatan

perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan lebih tinggi menjadi terhambat.

Disamping itu, perempuan itu sendiri menganggap dengan melanjutkan

pendidikan adalah prilaku yang sia-sia, dimana mereka beranggapan bahwa

pendidikan tidak memberikan efek secara langsung bagi kehidupan mereka,

sehingga mereka memilih untuk bekerja karena dengan bekerja mereka

menganggap hasil dari pekerjaan mereka dapat dinikmati secara langsung.115

Berdasarkan sensus pendidikan berbasis gender India menunjukan data statistik

pada tahun 2011 116

114
Saadawi N. E. (2011). Perempuan dalam budaya patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

115
Yusilia. H. (2014). Pengarusutamaan gender (PUG) dalam tantangan budaya patriarki. Wardah.
Vol. 28. (15). Hlm: 195-201
116
Lesthaeghe, R., ‘The Unfolding Story of the Second Demographic Transition’, Population and
Development Review, vol. 36, no. 2, 2010, pp. 211-251. Diakses pada 20 Desember 2021.

113
Gambar 4.3 : populasi India 2011 berdasarkan tingkat pendidikan dan

gender

Sumber : statistic data population India 2011

Berdasarkan gambar diatas menunjukan bahwa tingkat pendidikan yang

ditempuh perempuan dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi menunjukan

bahwa perempuan di India lebih sedikit melanjutkan pendidikan dibandingakan

dengan laki-laki. Berdasarkan data tersebut besarnya jumlah perempuan yang

sekolah hanya pada tingkat sekolah dasar setelah itu terdapat penurunan angka

yang sangat drastis, yang berarti bahwa anak-anak perempuan mengalami

hambatan dalam melanjutkan pendidikannya. Hal tersebut menunjukan bahwa

perempuan terus mengalami diskriminasi di bidang pendidikan, yang

114
dilatarbelakangi oleh berbagai macam faktor seperti kasus pernikahan anak, dan

anggapan keluarga terhadap perempuan. 117


Hambatan pendidikan terhadap anak

perempuan tersebut telah melanggar apa yang telah ditetapkan oleh Convention on

the Right of the Child, dalam Hak atas Pendidikan (Pasal 28).

d. Budaya patriarki

Patriarki adalah sistem yang mempromosikan dan memelihara nilai inti

dari kontrol dan dominasi di hampir setiap wilayah keberadaan manusia. Patriarki

sering dikaitkan dengan pembentukan perbedaan perilaku, status dan otoritas laki-

laki pada perempuan yang kemudian menjadi hierarki gender. Perbedaan biologis

antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya budaya

patriarki. Masyarakat yang melihat perbedaan keduanya merupakan status yang

tidak setara, dimana perempuan secara biologis tidak memiliki kekuatan fisik

seperti laki-laki dan dipercayai sebagai alasan masyarakat menempatkan

perempuan pada posisi lemah. Laki-laki dianggap mempunyai kekuatan yang

lebih dari perempuan. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam sudut pandang

yang berbeda patriarki seolah menjadi sistem yang terstruktur dan praktek sosial

yang menempatkan laki-laki pada posisi yang kuat sebagai pihak yang

mendominasi, dan mengeksploitasi kaum perempuan118.

117
Government of India, 2008, “Eleventh Five Year Plan (2007-2012), Vol. II, New Delhi,
Planning Commission.
118
Nurcahyo. A. (2016). Relevansi budaya patriaki dengan partisipasi politik dan keterwakilan
perempuan di parlemen. Jurnal Agastya. Vol. 6 (1). Hlm : 25-27.

115
Konstruksi sosial tentang patriarki yang telah tercipta tersebut seakan

disetujui dan diterima oleh sebagian kalangan masyarakat internasional. Di India

terdapat banyak masalah diskriminasi terhadap perempuan akibat dari konstruksi

patriarki yang melekat dalam pemahaman masyarakat. Hal tersebut kemudian

menciptakan adanya bias gender khususnya dalam kehidupan masyarakat India,

dominasi laki-laki dalam ranah publik, politik, dan struktur sosial mengakibatkan

perempuan menjadi inferior di hadapan laki-laki sehingga peran perempuan dalam

berpartisipasi di ranah publik dan politik menjadikannya terhambat. Dimana peran

perempuan dalam berpartisipasi di bidang politik demi membela kesetaraan

gender dan mencpai keinginan perempuan dihadapi dengan dominasi peran laki-

laki dalam parlemen, sehingga hal tersebut sulit untuk dicapai. Teori feminisme

liberal secara umum ingin menunjukan gejala-gejala opresi terhadap perempuan,

subordinasi, sebab-sebab dan konsekuensinya. feminisme menyebutkan sistem

patriarki, hukum dan undang-undang yang diskriminatif, kepemilikan harta yang

tidak seimbang, pelecehan seksual terhadap perempuan sebagai cerminan tidak

opresi terhadap gender. Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh gerakan

feminisme liberal yaitu :

a. Tercapai kesamaan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai

manusia bebas, baik dalam dunia publik maupun privat.

b. Penghapusan segala opresi dan perbedaan gender dalam masyarakat.

c. Kebebasan individu untuk memilih dan memutuskan sesuai keinginan dan

aspirasinya

116
Dalam pandangan feminis liberal dalam upayanya menghilangkan

konstruksi budaya patriarki tidak akan berguna tanpa ada gerakan poltis dan

partisipasi perempuan dalam parlemen atau institusi negara. Secara demografi,

pada 2019, total penduduk India mencapai 1,35 miliar jiwa.119 Terdiri dari 697 juta

jumlah laki-laki dan 653 juta perempuan. Jumlah perempuan yang hampir

menyamai jumlah laki-laki tidak terepresentasi di dalam politik formal. 120 Pada

pemilu India 2019, dari 545 kursi Lok Sabha, majelis rendah parlemen India,

hanya 78 kursi dimenangkan oleh perempuan. Dengan kata lain, tingkat

persentase perempuan di Lok Sabha hanya 14,3 persen. 121


Angka ini memang

meningkat dari jumlah perempuan terpilih pada pemilihan anggota Lok Sabha

sebelumnya di 2014 dan 2009, yakni 61 dan 59 perempuan. Namun, bukan angka

representasi yang dibutuhkan. “Masih sangat sedikit perempuan yang hadir di

parlemen. Secara total, hanya ada 617 perempuan di parlemen sepanjang Pemilu.

Terdapat sistem kuota. 33 persen dari semua kursi harus untuk perempuan. Partai

dapat menominasikan satu orang dari partainya. Namun pada praktiknya, terjadi

rebutan tiket partai. Apalagi, tidak ada mekanisme untuk menentukan partai yang

seperti apa yang berhak mendapatkan tiket untuk masuk kuota perempuan.122

119
Modleski, Tania. Feminism Without Women: Culture and Criticism in a "postfeminist" Age.
New York:Routledge, 1991
120
KOMAHI. 2011. Sejarah dan Perjuangan Feminisme. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
http://komahi.umy.ac.id/2011/05/sejarah-dan-perjuangan-feminisme.html. Diakses Pada 26
september 2021
121
Chibber B. (2010). Women and the Indian Political Process. Mainstream Weekly Journal: Vol.
XLVIII. Issue 18.

122
K. Mahalinga. (2014). Women’s Empowerment through Panchayat Raj Institutions. Indian
Journal of Research: Vol. 3. Issue 3.
.

117
4.3.2 Bias Gender dalam Pandangan Feminisme Liberal

Feminisme merupakan sebuah studi yang memandang wanita dan

pergerakan wanita bukan sebagai obyek dari ilmu pengetahuan, melainkan

perempuan juga menjadi subjek didalamnya. Feminisme merupakan sebuah

gerakan wanita yang menuntut kesamaan dan kesetaraan hak dan keadilan antara

laki-laki dan perempuan karena pada dasarnya perempuan merasa dirugikan,

dimarginalkan dan dinomor duakan dalam berbagai bidang kehidupan123.

Sehingga feminisme muncul untuk mendobrak peran perempuan yag terbelakang

dan kesubordinatan wanita dibawah laki-laki124.

Asumsi dasar feminisme liberal adalah ; kaum feminis tidak menganggap

Human Nature sebagai hal yang Immutable atau abadi, kemudian feminisme

liberal percaya bahwa manusia adalah mahluk rasional, tetapi juga kapasitas

manusia berkembang melalui proses pendidikan dan menganggap Human Nature

sebagai yang dibedakan atau konstruksi sosial. Lebih lanjut feminisme

berargumen bahwa perempuan harus dimasukan dalam bidang kehidupan publik

yang sebelumnya menolak adanya perempuan. Teori feminisme secara umum

ingin menunjukan gejala-gejala opresi terhadap perempuan, subordinasi, sebab-

sebab dan konsekuensinya.125 Mereka menyebut sistem patriarki, hukum dan

undang-undang yang diskriminatif, kepemilikan harta yang tidak seimbang,

123
Hartini T. Feminisme Liberal. http://www.asppuk.or.id/index.php/artikel/99-feminisme-liberal.
Diakses pada 24 Juni
124
Ismail M A. Gerakan Feminisme, Persamaan Gender dan Pemahaman Agama (Bahagian I).
http://www.muftiwp.gov.my/v1/doc/GERAKAN_FEMINISME_PERSAMAAN_GENDER_DAN
_PEMAHAMAN_AGAMA_BHG1.pdf. Diakses pada 22 oktober 2021.
125
Bakti P D. 2012. Gender and Feminism. Universitas Airlangga. http://bakti-p-d-
fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-48058-Umum-Gender%20and%20feminism.html. Diakses
pada 21 november 2021

118
pelecehan seksual antara suami-istri sebagai cerminan tidak opresi terhadap

perempuan.126 Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh gerakan feminisme :

a. Tercapai kesamaan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai

manusia bebas, baik dalam dunia publik maupun privat.

b. Penghapusan segala opresi dan perbedaan gender dalam masyarakat.

c. Kebebasan individu untuk memilih dan memutuskan sesuai keinginan dan

aspirasinya.

d. Menghilangkan anggapan perempuan sebagai obyek

Feminisme berargumen bahwa variable gender harus diperluas untuk

mencakup aspek-aspek lain dari gender, terutama laki-laki dan maskulinitas.

Menurut Adam Jones, ada dua agenda normatif dari kaum Feminis: Pertama kaum

feminis membuat transformasi global menuju kesetaraan perempuan dan feminin

karena keduanya secara historis kurang mampu, kurang terwakili, dan kurang

diakui.127 Kedua kesetaraan bagi perempuan dan feminin harus dapat mengatasi

penindasan perempuan oleh laki-laki yang dianggap sebagai “kelas penguasa

internasional” atau international ruling class.128Lebih lanjut, menurut Jones

struktur male dan masculine memberikan hak istimewa terhadap laki-laki dan

mengenyampingkan perempuan. Struktur ini harus dilengkapi dengan variabel

126
Weber, Cynthia. 2010. International Relations Theory: A Critical Introduction. New York:
Routledge.
127
Lubis S. 2006. Gerakan Feminisme dalam Era Postmodernisme Abad 21. Vol 5, No 1 (2006):
Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan
128
smail M A. Gerakan Feminisme, Persamaan Gender dan Pemahaman Agama (Bahagian I).
http://www.muftiwp.gov.my/v1/doc/GERAKAN_FEMINISME_PERSAMAAN_GENDER_DAN
_PEMAHAMAN_AGAMA_BHG1.pdf. Diakses pada 21 Juni 2014

119
gender, sehingga menciptakan lebih banyak kesempatan bagi perempuan dan

menolak anggapan bahwa negara sebagai suatu hal yang maskulin.129

Terdapat gagasan feminisme liberal dalam merekonstruksi beberapa

asumsi tentang kesetaraan untuk perempuan diantaranya adalah ; pertama,

perlunya upaya untuk membentuk kembali image tentang perempuan dan

keperempuanan, dimana hal tersebut akan memudahkan perempuan untuk

mencapai kematangan, identitas diri, keutuhan pribadi tanpa mengalami konflik

dengan kodrat seksual. Kedua pernikahan dini harus dihentikan dan harus adanya

usaha dari besar-besaran dari pemerintah, para pendidik, orang tuu dan media.

Ketiga, kaum perempuan hendaknya dihentikan dari keinginannya yang hanya

menjadi ibu rumah tangga atau hanya berperan dalam urusan domestik dengan

jalur pendidikan yang lebih tinggi. 130

Sebagai hasil dari penetapan dan langkah pencegahan pemerintah India

dalam menangani kasus pernikahan dini dan masalah bias gender dimana pada

putaran sebelumnya, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga,

Pemerintah India, menunjuk Institut Internasional untuk Ilmu Kependudukan,

Mumbai, sebagai lembaga nodal untuk melakukan NFHS-5.131 Tujuan dari setiap

putaran NFHS berturut-turut adalah untuk menyediakan data berkualitas tinggi

129
Apriani, Kekerasan Seksual di India: Relasi Kuasa Kasta dan Gender, The Global Review,
2015.
130
Bhat T. (2014) Women Education in India Need of the Ever. Human Rights International
research journal: Vol. 1 p.3. diakses pada 29 Desember 2021.
131
Arvind Panagariya. The Implementatation of Sustainable Devlopment Goals. The High-Level
Political Forum on Sustainable Development, New York/July 2017. Voluntary National Report
India. Diakses pada 29 Desember 2021

120
tentang kesehatan dan keluarga kesejahteraan dan isu-isu pernikahanan yang

terjadi di India. Dimana hasil tersebut disasjikan dalam tabel gambar berikut ;

sumber : National Health Family Survey (2019-2021)

Berdasarkan tabel di atas khususnya pada kasus pernikahan pada NHFS-5

(2019-2021) menunjukan angka penuruan, dimana pada NHFS-4 (2014-206)

menunjukan angka kasus pernikahan anak pada usia 20 sampai 24 tahun yang

menikah sebelum usia 18 tahun menunjukan persentase 26.8%. kemudian data

121
terbaru tahun 2019-2020 NHFS menunjukkan penurunan kasus pernikahan yang

menunjukan persentase sekitar 23.3%. hal tersebut menunjukan terdapat

perkembangan dalam mengatasi dan mengurangi kasus pernikahan anak di

India.132

BAB V

PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Hasil peneilitian ini memberikan gambaran tentang bias gender yang marak

terjadi di india hingga terjadinya prilaku terhadap perempuan bahkan kasus-kasus

kejahatan lainnya. Dengan begitu dari akibat adanya bias gender tersebut penulis

mencoba mengaitkan peran Convention on the Right of the Child dalam mengurangi

kasus pernikahan anak di Inida dengan dalih akibat dari adanya periaku bias gender, yang

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor norma sosial, agama dan budaya budaya

patriarki yang mengakibatkan perempuan berada dibawah kuasa laki-laki di beberapa

bidang, seperti bidang politik, pendidikan dan kahidupan sosial. Dimana akibat dari

kesenjangan dan diskriminasi terhadap perempuan tersebut menyebabkan perempuan

menjadi mengalami hambatan dalam mengekspresikan dirinya untuk berpartisipasi di

ranah publik, mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi, kesempatan kerja

yang layak dan lain sebagainya. Atas dasar bias gender tersebut dalam kaitannya pada

Convention on the right of thr child dalam implementasinya mengurangi kasus

pernikahan anak yang sangat masif terjadi di India menjadi terhambat.

dalam penelitian ini penulis menggunakan teori feminisme liberal untuk

melihat lebih jauh tentang keadilan maupun kesetaraan yang harus dicapai oleh
132
United National Population Fund. 15 July 2021. Tersedia di www.unpfa.org/data diakses
pada 30 November 2021.

122
perempuan, disamping terdapat faktor eksternal yang mengakibatkan

keterbelakangan perempuan, berdasarkan feminisme liberal ini faktor tersebut

juga berada pada diri mereka sendiri yang secara tidak sadar melanggengkan

budaya patriarki dan keinginan ketidaksadaran mereka atas inferioritas mereka

dihadapan laki-laki, dan menurut pandangan feminsme liberal hal yang yang

paling utama untuk dicapai adalah sebuah kesetaraan gender, kebebasan individu

serta rekonstruksi struktur yang mengakibatkan perempuan menjadi tertindas dan

mendapat perlakuan diskriminatif.

Kemudian dalam aksi diskriminasi terhadap perempuan tersebut terdapat

berbagai gerakan-gerakan yang mendukung dan menjunjung hak-hak atas perempuan

agar prilaku diskriminasi terhadapnya dapat disadari dan memungkinkan untuk

pemerintah India untuk meneggakkan aturan tentang masalah diskriminasi terhadap

perempuan seperti kasus pernikahan anak, aturan nasioanl india yang mengatur tentang

pernikahan anak di India adalah PCMA( Prohobotion of Child Marriage Act) dimana

aturan tersebut secara langsung di adopsi dari konvensi tentang hak anak. Namun

sayangnya Berjalannya PCMA terbilang belum efektif, karena beberapa negara bagian

belum secara meluas dapat menerapkan aturan tersebut karena bertentangan dengan

aturan pribadi keagamaan yang ada di India, sehingga menimbulkan sebuah ambiguitas

dalam menegakkan hukum terkait pelanggaran-pelanggaran akibat dari pernikahan anak

tersebut. Meskipun demikian perkembangan tren penurunan angka kasus

pernikahan anak sejak diratifikasinya CRC terbilang telah mengalami perubahan,

berdasarkan National Health Family Survey (NHFS) yang menunjukan data dari

tahun sejak diratifikasinya konvensi yaitu pada tahun 1992 sebagai survey

pertama NFHS dan NFHS-2 (1998-1998) kemudian NHFS-3 (2005-2006) dan

123
NHFS-4 (2015-2016) hingga survey mereka terakhir mereka pada NHFS-5

(2019-2021) yang menunjukan data tren penurunan kasus pernikahan di India

menurun dari tahun ke tahun.

5.2 rekomendasi

a. Rekomendasi untuk Convention on the Right of the Child (rezim

intrnasioanl)

Rekomendasi yang dapat penulis jabarkan pada kesempatan ini adalah ketika

negara pihak menyetujui dan menyepakati konvensi untuk diadopsi kedalam

negaranya namun prilaku negara pihak seperti contohnya dalam penelitian ini

India, tidak menunjukan kepatuhan dalam mengimplementasikan aturan-

aturan yang telah tercantum demi menjunjung hak anak tersebut, dan tidak

memberikan konsekuensi yang tegas terhadap negara yang tidak menerapkan

konvensi tersebut dengn maksimal. Meskipun Hubungan bersifat anarkis,

namun apabila terdapat kesepakatan didalamnya setidaknya dengan

konsekuensi pelanggaran yang jelas negara pihak berupaya dengan maksimal

untuk menjalankan serta mengimplementasikannya dengan memperhatikan

hak-hak anak dengan tegas.

b. Rekomendasi untuk perempuan

Rekomendasi yang dapat penulis jabarkan pada kesempatan ini adalah,

permasalahan-permaslahan yang dihadapi oleh perempuan itu sendiri, dimana

dengan kesadaran diri atas kemampuan perempuan dan kemauannya untuk

mengembangkan diri dengan akses pendidikan meskipun tidak menimbulkan

124
efek yang besar, namun setidaknya memberikan perubahan yang signifikan,

karena dengan akses pendidikan yang tinggi mereka mampu bersaig dalam

bidang politik, ketenaga kerjaan dan menciptakan pemikiran yang luas agar

terhindar dari pernikahan dini.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogayakarta: Pustaka

Pelajar, 2001), 90-91.

JURNAL

Asmarita. Peran Unicef dalam Menangani Kasus Pernikahan Anak di Bawah


Umur di Inida, Jurnal Online Mahasiswa FISIP. Vol. 2 No. 2. Oktober
2015. tersedia di www.jom.unri.ac.id diakses pada tanggal 8 juli 2021

Bahriyah, Fitriyani. Sri Handayani & Andari Wuri Astuti. Pengalaman Pernikahan
Dini di Negara Berkembang. Jurnal Universitas Muhammadiyah
Banjarmasin. Vol 4. No. 2. Maret 2021. tersedia di
https://jurnal.umbjm.ac.id. Diakses pada 17 mei 2021.

Birech, Jeniffer. Child Marriage: A Cultural Health Phenomenon. International


Journal of Humanity and Social science. Vol. 3 No. 17. September 2017.
Pages 98. tersedia di www.ijhssnet.com. Diakses pada tanggal 25 juni 2021

125
Fatmawati, Indah. Pernikahan Anak di India. Indonesia Journal of Gender. Vol. 1
No. 1 Tahun 2020. tersedia di https://jurnal.iainponorogo.ac.id. Diakses
pada tanggal 30 juni 2020

Husnaini, Rovi. & Devi Soraya. Dampak Pernikahan Usia Dini, Jurnal Aqidah
dan Filsafat Islam, Vol. 4. No. 1. 2019 Hal. 72 tersedia di http://journal.uin-
aladdin.ac.id. Diakses pada tanggal 24 juni 2021.

Julie A, Monroe. "A Feminist Vindication of Mary Wollstonecraft." Iowa Journal


of Literary Studies 8 (1987): 143-152. Available at:
https://doi.org/10.17077/0743-2747.1247.

Lala, B. Sures. Child Marriage in India : Factor and Problem, International


Journal of Science and Research, Vol. 4. Issue 4. April 2015. tersedia di
www.ijsr.net. Diakses pada tanggal 3 September 2021

Saeful Rahmat, Pupu. Penelitian kualitatif. Equilibrium. vol. 5. no. 9. Januari-Juni


2019. Hal. 1 – 8 diakses pada 20 juni 2021

Vamyla Azhar Putri, Alfandia. Kendala India dalam Upaya Mematuhi Konvensi
Internasional Terkait Pemenuhan HAM Anak Perempuan dalam
Pemberantasan Pernikahan Anak di India melaui Pemberlakuan UU PCMA.
Journal of International Relations. Volume 6. Nomor 3. 2020. tersedia di
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi. Diakses pada tanggal 30 juli
2021

Padmavathi Srinivasan, Nizamudin Khan, Ravi Verma. District-Level Study on


Child Marriage in India. International Center for Research on Women.New
Delhi October 2015 diakses pada 10 Desember 2021.

Eddyono, Supriyadi W. Pengantar Konvensi Hak Anak, Lembaga Studi dan


Advokasi Masyarakat, tahun 2007, Hal. 1, tersedia di www.elsam.or.id
diakses pada tanggal 17 juni 2021

Wiwik Sukarni Pertiwi, Alfian Hidayat, Khairur Rizki. Implementasi CEDAW di

India: Studi Kasus Diskriminasi Perempuan dalam Tradisi Pemberian


Dowry. International Journal of Global Discourse. Vol. 3 Ed. 1 pages 55-
80, Januari-june 2021. Diakses pada 10 November 2021.

Arushi Raj. Child and Early Marriage in Inida. Social and Political Research
Fondation. November 2021. Diakses pada 20 Desember 2021.

Anil Kumar Das. Rehabilitation Of Victims Of Human Trafficking: A Study Of

126
Effectiveness, Efficiency And Sustainability Of Victim Compensation
Schemes. Human Development society. March 2021 tersedia di
www.hdsindia.org diakses pada 30 november 2021.
ARTIKEL ONLINE

Jacqu true, Feminism and Gender Studies in International Relations Theory,


https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190846626.013.46 Published in print:
01 March 2010 Published online: 30 November 2017

KEMENTRIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN


ANAK REPUBLIK INDONESIA, Mencapai Kesetaraan Gender Dan
Memberdayakan Kaum Perempuan, dipublikasikan pada 09 juni 2017,
tersedia di www.kemenpppa.go.id. di akses 21 oktober 2021.

Khattak SG. Feminism in Education: Historical and Contemporary Issues of


Gender Inequality in Higher Education, Occasional Papers in Education &
Lifelong Learning: An International Journal 5(1):67-81.

National Commission for Protection of Child Right, India Child Marriage and
Teenage Pregnancy, India Report 4 september 2018, Hal 11, tersedia di
www.ncpcr.gov.in diakses pada tanggal 25 juni 2021

Sadika Hameed Et Al, Human Trafficking in India: Dynamics, Current Efforts


And Intervention Opportunities For The Asia Foundation Vi (2010).
Diakses pada 10 Desember 2021.
National Crime Record Bureau, Crime in India Report 2015.

Fred Witteveen, Child, Early and Forced Marriage in India. Children


Belive 2021. Diakses pada 12 Desember 2021.
Human Rights Law Network. Center for, Reproductiive Rights. 30 Juni 2013.
Soumi Chatterjee. Concept and Evolution of Dowry. International Journal
of Humanitties and Social Science Invention (IJHSSI). Volume 7. Issue
01. Januari 20128. Tersedia di www.ijhssi.org diakses pada 11 November
2021.
Leila Ateffakhr. Dowry System in India. International of Science and Research
Publication (ISSN). Volume 7, Issue3, March 2027. Tersedia di
www.ijsrp.org diakses pada 24 November 2021.

Mukul Kesavan. The #Metoo Movemen. Indian Journal of Gender Studies.


26(1&2) 2019. Tersedia di www.journals.sagepub.com diakses pada 1
Desember 2021.
Kalyani Roy. The Prohibition of Child Marriage Act, 2006. International Journal

127
of Scienceand Economic Research. Volume 06, issue o6. June 2021
diakses pada 2021.
Gopal A.K, Dinesh Paul. A Study on Child Marriage in India:Situational Analysis
in Theree States. National Institute of Public Cooperation an child
Development. Diakses pada 9 Desember 2021.
United National Population Fund. 15 July 2021. Tersedia di www.unpfa.org/data
diakses pada 30 November 2021.
Lips, Hilary M. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield
Publishing Company.
Showalter, Elaine (ed.) (1989). Speaking of Gender. New York & London:
Routledge.
Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang
Relasi Gender. Bandung: Mizan. Cet. I
Nurcahyo. A. (2016). Relevansi budaya patriaki dengan partisipasi politik dan
keterwakilanperempuan di parlemen. Jurnal Agastya. Vol. 6 (1). Hal : 25-
27. Diakses pada 25 Desember 2021.
Fredik Lambertus Kollo. Budaya Patriarki dan Partisipasi Perempuan dalam
Bidang Politik.
Forsythe, David P. (1983). Human Right and World Polotics, Terj. Tom Gunadi,
Bandung: Angkasa. Diakses pada 24 Desember 2021.
Mariam Budiharjo. (1985). Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia

Derrick, S., Ed. (1992). The United Nations Convention on the Rights of the
Child: A Guideto the "Travaux Préparatoires." Dordrecht, Boston,
London: Martinus Nijhoff Publishers.diakses pada 24 Desember 2021.
Cantwell, N. (1992). "The Origins, Development and Significance of the United
NationsConvention on the Rights of the Child," in The United Nations
Convention on the Rights of the Child: A Guide to the "Travaux
Préparatoires." Detrick, S., Ed. Dordrecht, Boston, London: Martinus
Nijhoff Publishers. Pp. 19-30

128

Anda mungkin juga menyukai