Ketua:
ISEP AMAS PRIATNA.,STP.,M.SI
NIDN 0427057606
1
ABSTRAK
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
sulit ditentukan dimensi mana yang paling dominan dan berpengaruh di antara
dimensi-dimensi yang menyebabkannya (Alkire et al, 2015). Karakter
multidimensional dan kompleks inilah yang kemudian menjadikan wacana
mengenai kemiskinan beserta cara pengentasannya senantiasa berkembang.
Perbedaan perspektif dalam melihat kemiskinan ini pada akhirnya berimplikasi
pada munculnya perbedaan dalam menentukan indikator, ukuran, dan bagaimana
menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang dihadapi.
Potret kemiskinan di Indonesia relatif sama dengan yang terjadi di sebagian
besar negara-negara berkembang di dunia. Kemiskinan di perdesaan (rural) lebih
tinggi daripada kemiskinan di perkotaan (urban), sedangkan sebagian besar
penduduk tinggal di perdesaan (World Bank, 2015). Itu artinya tingkat
kemiskinan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup
besar. Kondisi ini disebabkan oleh masih tingginya kesenjangan kondisi ekonomi,
sosial, maupun infrastruktur, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan.
Temuan kajian World Bank dari tahun ke tahun relatif tidak berubah.
Persentase penduduk miskin Indonesia di perdesaan selalu lebih tinggi dibanding
di perkotaan. Bahkan, persentase penduduk miskin di perdesaan masih lebih
tinggi dibanding persentase keseluruhan penduduk miskin. Meskipun sampai
September 2019, persentase kemiskinan di perdesaan selalu menurun, namun
tingkat penurunannya selalu paralel dengan penurunan persentase penduduk
miskin perkotaan. Demikian halnya ketika terjadi pandemi wabah Coronavirus
disease (COVID) 19, semenjak terdeteksi mulai masuk ke Indonesia pada awal
Maret 2019. Terlihat bahwa jumlah penduduk miskin di perdesaan maupun di
perkotaan meningkat secara beriringan.
Peningkatan angka kemiskinan akibat adanya pandemi tersebut dipicu oleh
serangkaian kebijakan diterapkan oleh pemerintah untuk membatasi mobilitas
masyarakat dalam rangka memutus rantai penularan COVID-19, mulai dari
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakukan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat (PPKM). Tentu saja berbagai kebijakan pembatasan
mobilitas masyarakat ini berdampak langsung pada perputaran perekonomian.
Terlebih lagi, pandemi COVID-19 juga terjadi di hampir semua negara di dunia
4
yang akhirnya turut memperlambat aktifitas perekonomian. Situasi ini
menyebabkan banyak perusahaan yang harus mengurangi, bahkan menghentikan
operasi perusahaannya. Banyak di antara perusahaan-perusahaan tersebut yang
akhirnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk mengurangi
kerugian.
Di sisi lain, turunnya aktifitas ekonomi juga membawa dampak pada
berkurangnya sumber-sumber mata pencaharian warga. Akibatnya angka
kemiskinan pun mengalami peningkatan yang cukup tajam sejak tahun 2020.
Peningkatan angka kemiskinan terjadi di perkotaan maupun perdesaan.
Menariknya, meskipun sama-sama mengalami lonjakan angka kemiskinan,
peningkatan kemiskinan di perkotaan lebih tinggi daripada peningkatan
kemiskinan yang terjadi di perdesaan.
Penelitian ini akan mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Bogor yang
merupakan salah satu kabupaten yang memiliki perbatasan langsung dengan
Provinsi DKI Jakarta. Bahkan Kabupaten Bogor merupakan kawasan penyangga
dari Provinsi DKI Jakarta. Di sisi lain, Provinsi DKI Jakarta merupakan
episentrum utama penyebaran COVID-19 di Indonesia. Oleh karena itu, cukup
menarik untuk mengetahui bagaimana kemiskinan di Kabupaten Bogor, sebelum
dan sesudah terjadinya pandemi COVID-19.
Sebagaimana terjadi di daerah-daerah lainnya, pandemi COVID-19 telah
memicu peningkatan angka kemiskinan di Provinsi Banten ke level tertingginya
dalam 11 tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat
kemiskinan di Banten sebesar 6,66% pada Maret 2021. Tingkat kemiskinan di
Provinsi Banten sempat mencapai 7,16% pada 2010. Angkanya cenderung
menurun hingga sebesar 4,94% pada September 2019. Secara rinci, persentase
penduduk miskin Banten di daerah perkotaan naik dari 5,85% pada September
2020 menjadi 5,9% pada Maret 2021. Di daerah perdesaan, persentase penduduk
miskin justru turun dari 8,57% pada September 2020 menjadi 8,49% pada Maret
2021. Fenomena ini menunjukkan bahwa kemiskinan di perkotaan lebih rentan
daripada di pedesaan.
5
1.2 Identifikasi Masalah
Beragam program sudah banyak dilakukan dalam upaya menurunkan angka
kemiskinan. Namun sepertinya belum memberikan hasil yang memuaskan. Salah
satu kritik yang sering dikemukakan terhadap penyelenggaraan program
pengentasan kemiskinan adalah adanya kecenderungan program-program tersebut
dirancang seragam untuk semua daerah (Harmes, 2017; Nashwari, 2017;
Hasibuan, 2019). Kecenderungan ini menjadikan program pengentasan
kemiskinan berjalan kurang efektif karena mengabaikan aspek spasial dan
keragaman kondisi yang ada di masing-masing daerah. Kajian yang dilakukan
Zewdie et al (2015) menemukan bahwa masalah kemiskinan dipengaruhi oleh
lokasi (spasial). Adanya pengaruh lokasi pada masalah kemiskinan
mengakibatkan wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi akan memberikan
pengaruh terhadap wilayah sekitarnya. Kondisi ini memungkinkan terbentuknya
kelompok-kelompok atau gerombol wilayah dengan tingkat kemiskinan yang
sama atau mirip.
Berkaca dari itu, pemahaman terhadap persoalan kemiskinan tidak cukup
hanya mengandalkan dari data ekonomi secara agregat tetapi harus didukung
dengan pendekatan kewilayahan atau spasial. Dimensi spasial ini kian penting
diperhatikan karena beberapa kajian yang telah disinggung sebelumnya
menunjukkan adanya kecenderungan bahwa kemiskinan memiliki pola spasial
yang terbukti dari persebaran kantong-kantong kemiskinan yang biasanya
mengelompok di suatu wilayah tertentu. Memperhatikan hal itu, fenomena
peningkatan kemiskinan akibat pandemi COVID-19 ini layak untuk dikaji, tidak
hanya dilihat secara agregat namun penting juga untuk dicermati secara spasial.
Urgensi dari penelitian ini adalah situasi pandemi COVID-19 yang belum
menunjukkan tanda-tanda bakal segera berakhir. Bahkan, saat ini semakin banyak
ditemukan varian baru dari virus COVID-19 yang diperkirakan memberi dampak
yang negatif bagi kelangsungan perekonomian masyarakat. Peningkatan angka
kemiskinan yang terjadi sejak awal pandemi harus dicermati lebih mendalam agar
dapat dicarikan solusi yang tepat.
6
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan identifikasi masalah di atas, rumusan masalah yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana perubahan pola spasial kemiskinan di Kabupaten Bogor,
sebelum dan sesudah pandemi COVID-19?
b. Faktor apa yang mempengaruhi perubahan pola spasial kemiskinan di
masing-masing kabupaten/kota yang ada di Kabupaten Bogor?
c. Apa alternatif kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi
kemiskinan di Kabupaten Bogor?
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
membentuk kemiskinan akibat relasi sosial (gender, tenaga kerja, lahan, dsb.)
yang mencegah masyarakat miskin meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dengan banyaknya sudut pandang dalam memahami kemiskinan, tentu saja
memunculkan beragam definisi kemiskinan yang disampaikan oleh para ahli
maupun lembaga yang memiliki perhatian terhadap problem kemiskinan. Gunnar
Myrdal (dalam Nurjihadi, 2016) memaknai kemiskinan sebagai rendahnya
kualitas gizi yang menyebabkan rendahnya kesehatan yang kemudian
menyebabkan rendahnya produktivitas. Produktivitas yang rendah menyebabkan
pendapatan yang rendah dan pada akhirnya menyebabkan kemiskinan. Sedangkan
Amartya Sen (dalam Budiantoro et al, 2013) berpandangan bahwa kemiskinan
tidak cukup hanya diukur dengan ukuran pendapatan saja, tetapi juga terkait
hilangnya kapabilitas (fakir kapabilitas). Kapabilitas merupakan kebebasan
seseorang untuk menjalankan fungsinya (keberfungsian) sebagai manusia. Hal ini
menentukan apa yang akan dilakukannya terhadap sumber daya yang dimilikinya.
Kapabilitas seseorang untuk menjalankan fungsinya tersebut dapat menentukan
status seseorang apakah termasuk dalam kategori miskin atau tidak.
Bank Dunia memberikan definisi kemiskinan sebagai kondisi kehidupan
manusia yang terdiri berbagai aspek kehidupan mencakup rendahnya pendapatan
dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar atas barang dan jasa
untuk dapat kehidupan yang layak. Mengacu pada definisi tersebut, Bank Dunia
memberikan dua kriteria kemiskinan, yaitu: pertama, US$1 per kapita per hari, ini
merupakan ukuran bagi kemiskinan absolut. Jika dihitung berdasarkan ukuran
Bank Dunia dalam kriteria ini, maka sekitar 50 juta penduduk Indonesia (22
persen) berada di bawah ukuran kemiskinan. Kedua, US$ 2 per kapita per hari,
bila menggunakan ukuran kedua, maka 118 juta penduduk Indonesia atau (52
persen) berada di bawah ukuran kemiskinan.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin, yang dimaksud fakir miskin adalah orang yang sama
sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber
mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya (Pasal 1). Mengacu
9
pada pengertian kemiskinan sesuai Undang-undang di atas, Badan Pusat Statistik
(BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran. Dengan demikian penduduk miskin menurut BPS adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis
kemiskinan. BPS sendiri kemudian membagi garis kemiskinan dalam dua
komponen, yakni: garis kemiskinan berdasarkan makanan (GKM) dan garis
kemiskinan berdasarkan nonmakanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan
adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan
2100 kilokalori per kapita sehari. Sedangkan garis kemiskinan non makanan
adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan
kesehatan.
Nilai garis kemiskinan berbeda antara satu daerah dengan lainnya karena
adanya perbedaan harga komoditas. Setiap provinsi atau kabupaten/kota memiliki
nilai garis kemiskinan masing-masing. Penduduk yang digolongkan sebagai
penduduk miskin adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Persentase penduduk miskin merupakan suatu ukuran kemiskinan yang menunjuk
kepada proporsi dari penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan terhadap
total penduduk.
Kemiskinan dapat dikategorikan dalam berbagai pendekatan. Berdasarkan
bentuknya, kemiskinan dapat dibagi ke dalam 4 kategori (Suryawati, dalam
Islami, 2019), yaitu:
a. Kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak
cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan
pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
b. Kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan
yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan
ketimpangan pada pendapatan.
c. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau
masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha
10
memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada
bantuan dari pihak luar.
d. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya
akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan
sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali
menyebabkan suburnya kemiskinan.
Selain kategori berdasarkan bentuknya, kemiskinan juga dapat dibedakan
menjadi dua jenis (ibid), yaitu:
a. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan
prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus.
b. Kemiskinan buatan (artifisial) lebih banyak diakibatkan oleh sistem
modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat
menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.
Dalam hal penyebab kemiskinan, Myrdal (dalam Nurjihadi, 2016) mencoba
mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Menurutnya
kemiskinan bukan hanya berporos pada masalah lemahnya modal tetapi lebih
karena kekurangan gizi, pendidikan, dan kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan
bermula dari pendapatan yang rendah sehingga kualitas gizi menjadi kurang.
Rendahnya kualitas gizi menyebabkan rendahnya produktivitas. Produktivitas
inilah menyebabkan pendapatan yang rendah, dan pada gilirannya akan
meyebabkan kemiskinan
Rangkaian penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan
kemiskinan (vicious circle of poverty) menurut Nurkse (dalam Nurjihadi, 2016)
adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal
menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan
rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan
berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi
berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya.
Guna memadukan kebijakan maupun strategi penanggulangan kemiskinan,
pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) yang merupakan tim lintas sektoral dan lintas pemangku di tingkat
11
pusat. TNP2K merumuskan instrumen utama program pengentasan kemiskinan
dalam 3 (tiga) klaster. Klaster I berupa kelompok program yang bertujuan untuk
mengurangi beban hidup dan memperbaiki kualitas hidup dalam memenuhi
kebutuhan pangan, kesehatan dan pendidikan. Contoh: pendistribusian Beras
Miskin (raskin), pemberian Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
pemberian bantuan keuangan (BLT atau PKH), dan bantuan pendidikan bagi
siswa miskin (BSM). Klaster II difokuskan pada peningkatan kapabilitas
masyarakat miskin. Hingga saat ini, masih terdapat satu program yaitu Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM). Klaster III merupakan
kelompok program pengurangan kemiskinan berbasis pemberdayaan ekonomi
usaha mikro dan kecil, contohnya pemberian kredit untuk usaha mikro dan kecil
(Kredit Usaha Rakyat/KUR).
12
BAB III
METODE PENELITIAN
13
model ekonometrika yang sering digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS),
sering dinamakan dengan istilah regresi global. Estimasi ini sangat ketat terhadap
beberapa asumsi. Namun pendekatan ini mengabaikan salah satu prinsip inti dari
ilmu wilayah yaitu adanya pengaruh lokasi atau spasial. Dalam ilmu wilayah,
suatu pemodelan diharapkan mampu menjelaskan respon marjinal terhadap
perubahan variabel independent yang berbeda-beda di setiap wilayah. Pada
pemodelan ekonometrika, hal tersebut dinyatakan bahwa baik X dan β akan
bervariasi secara spasial atau tidak diasumsikan sama di semua wilayah seperti
dalam pendekatan OLS. Pada data cross-sectional dan observasi berupa
sekelompok wilayah (kecamatan/kabupaten/provinsi/negara), apabila ada asumsi
yang tidak terpenuhi, maka terdapat indikasi adanya pengaruh spasial.
Dengan demikian apabila model regresi klasik tetap digunakan sebagai alat
analisis pada data spasial, maka dapat menyebabkan kesimpulan yang kurang
tepat karena asumsi error saling bebas dan asumsi homogenitas tidak terpenuhi.
Pengaruh spasial harus dilibatkan dalam model regresi untuk mendapatkan
estimasi parameter yang valid. Pengaruh spasial tersebut meliputi dependensi
spasial (spatial dependence) dan heterogenitas spasial (spatial heterogenity).
Analisis spasial digunakan untuk mengatasi permasalahan heterogenitas spasial
yang selama ini sering ditemui dalam analisis metode global.
Anselin (1988) menyatakan bahwa spatial econometric berhubungan
dengan kasus keregionalan dan ekonomi perdesaan yang didasarkan pada
fenomena biologi dan geologi, serta kasus regional science. Metode spatial
econometric tersebut diaplikasikan untuk mendapatkan spesifikasi model,
estimasi, uji hipotesis dan prediksi untuk pemodelan di regional space. Metode ini
digunakan ketika ditemukan adanya efek spasial, yaitu dependensi dan
heterogenitas spasial. Kedua efek spasial ini ditemukan pada data yang berupa
unit spasial, yaitu berupa lokasi-lokasi. Dependensi spasial merujuk pada adanya
hubungan (ketergantungan) pada suatu karakteristik yang terjadi antara lokasi satu
dengan lainnya. Pada kasus kemiskinan, dependensi memiliki arti bahwa
kemiskinan pada satu lokasi akan mempengaruhi kemiskinan pada lokasi lain,
khususnya pada lokasi yang saling berdekatan. Sedangkan heterogenitas spasial
14
muncul karena adanya perbedaan antara satu lokasi dengan lokasi yang lainnya
yang berimplikasi pada munculnya parameter pemodelan yang berbeda di setiap
lokasi. Pada kasus kemiskinan, heterogenitas spasial memiliki arti bahwa
karakteristik kemiskinan dan keragaman faktor-faktor yang mempengaruhinya
adalah berbeda antar lokasi.
15
BAB IV
PEMBAHASAN
16
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Bogor
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu ukuran
kinerja pembangunan khususnya dibidang ekonomi di suatu daerah pada suatu
periode tertentu. PDRB menggambarkan kemampuan suatu wilayah menciptakan
output atau nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dibagi atas dasar harga
berlaku dan harga konstan. PDRB harga berlaku dapat menggambarkan
pergeseran dan struktur ekonomi suatu daerah. Sedangkan PDRB harga konstan
menggambarkan pertumbuhan ekonomi dari suatu periode terhadap periode
sebelumnya. Pertumbuhan PDRB ADHB dan ADHK Kabupaten Bogor
cenderung positif dari tahun ke tahun walaupun terjadi penurunan di tahun 2020
namun pada tahun 2021 dapat mencetak nilai positif mencapai angka 248.93
triliun rupiah untuk ADHB dan 159.58 triliun rupiah untuk ADHK.
Adanya peningkatan PDRB ADHK sejalan dengan peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi (LPE). Peningkatan LPE ini dipicu oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi PDRB yaitu peningkatan konsumsi rumah tangga. LPE Kabupaten
Bogor seiring dengan LPE Nasional dan Jawa Barat karena kondisi ekonomi
semuanya saling berkaitan. Kegiatan perekonomian menjadi pendorong kemajuan
ekonomi di Kabupaten Bogor. Berkembangnya aktivitas perekonomian menjadi
indikasi bahwa Kabupaten Bogor mampu memaksimalkan potensi sumber daya
alam yang ada di wilayahnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang
terjadi akan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat yang ada di Kabupaten
Bogor. Secara umum, pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor mengalami
kenaikan pada tahun 2021.
Pertumbuhan Ekonomi menjadi salah satu indikator Pembangunan Ekonomi
di suatu wilayah dan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari besarnya angka
pengeluaran yang terjadi di suatu wilayah. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi
yang terjadi di Kabupaten Bogor berada pada kisaran 6 persen sebelum pandemi.
Kondisi pandemi telah menyebabkan adanya penurunan pertumnbuhan ekonomi
selama tahun 2020. Hal ini dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi
menyentuh angka negatif (-1.77 persen). Meskipun demikian pada tahun 2021,
17
Kabupaten Bogor telah mulai bangkit dan mencatatkan pertumbuhan ekonomi
positif (3,55%) begitupun pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor diharapkan semakin membaik
dengan pulihnya aktivitas perekonomian dan bisa kembali ke level sebelum
pandemik.
Kabupaten Bogor mempunyai potensi ekonomi pada beberapa bidang yang
tersebar di beberapa wilayah. Pada tahun 2021, sektor perekonomian atau
lapangan usaha yang menjadi andalan dan berkontribusi besar terhadap PDRB
adalah sektor Industri Pengolahan. Sektor berikutnya adalah sektor perdagangan
besar dan eceran serta sektor konstruksi. Pertumbuhan PDRB tertinggi tahun 2021
di sektor informasi dan komunikasi yang mencapai angka 10,69 persen serta real
estate yang mencapai angka 10,68 persen
Sebagaimana diketahui bahwa peningkatan capaian PDRB tidak terlepas
dari meningkatnya nilai dan kontribusi sektor usaha dalam PDRB, yang terdiri
dari 17 (tujuh belas) sektor usaha dan dikelompokkan menjadi tiga sektor, yaitu
sektor primer, sekunder dan tersier. Adapun nilai dan kontribusi sektor usaha
dalam PDRB di Kabupaten Bogor setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan
yang didominasi oleh kelompok sektor sekunder.
Sebelum pandemi laju pertembuhan di setiap kategori cenderung mengalami
peningkatan yang positif, setelah pandemi rata – rata laju pertumbuhan di setiap
kategori mengalami penurunan kecuali kategori informasi dan komunikasi yang
mengalami pertumbuhan pada tahun 2020 sebesar 32,33 persen. Pada tahun 2021
semua kategori mengalami pertumbuhan yang positif kembali. Efek pandemi
menyebabkan laju pertumbuhan PDRB dibeberapa sektor mengalami penurunan,
dapat dilihat pada tabel di atas bahwa pengeluaran rata – rata berada pada angka
negatif di tahun 2020 yang artinya pada tahun tersebut pertumbuhan PDRB
mengalami penurunan pengeluaran dari tahun sebelumnya diberbagai sektor,
namun semua kembali ke positif di tahun 2021.
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan
standar hidup yang layak bagi penduduknya yang salah satunya diukur dengan
pendapatan per kapita riil masyarakat melalui indikator PDRB per kapita.
18
Disamping itu pertumbuhan PDRB merupakan faktor penting dalam mengukur
kinerja pembangunan ekonomi daerah.
Meningkatnya PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi harus mencerminkan
peningkatan kesejahteraan penduduk. Persoalan mendasar dari pembangunan
ekonomi adalah tingkat kemiskinan yang disebabkan oleh lack of income yaitu
rendahnya pendapatan penduduk. Oleh karena itu, program-program
pembangunan diarahkan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat.
Peningkatan pendapatan tersebut dapat dilihat melalui indikator PDRB per kapita
PDRB per kapita yang semakin tinggi mengindikasikan adanya peningkatan
tingkat kesejahteraan suatu penduduk. Tingkat kesejahteraan tersebut merupakan
salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Pada
Gambar 70 terlihat bahwa pendapatan penduduk menurut indikator PDRB per
Kapita mengalami kecenderungan penurunan selama periode 2014-2020 dan
sempat menurun pada masa pandemi Covid di tahun 2020. Hal ini menunjukkan
bahwa pada tahun 2021 pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Bogor sudah
meningkat kembali seperti saat sebelum pandemi.
19
Gambar 2. Grafik Perkembangan Covid 19 di Kabupaten Bogor
20
4.4 Kemiskinan di Kabupaten Bogor
Kemiskinan dan upaya penanggulangannya telah menjadi prioritas
pembangunan dan menjadi agenda pokok dengan mengerahkan berbagai sumber
daya pembangunan untuk menyelesaikannya. Penurunan kemiskinan menjadi
fokus pembangunan pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Beberapa upaya yang
dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor adalah adanya Jaminan
Kesehatan Masyarakat (JKM), beasiswa siswa miskin tingkat perguruan tinggi,
pemberdayaan ekonomi rumah tangga miskin di lokasi PKH, lisrik pedesaan dan
pembangunan jalan di lingkungan Keluarga Harapan (PKH) dan lainnya
Pada tahun-tahun sebelum pandemi jumlah penduduk miskin cenderung
menurun. Berdasarkan data bahwa pada tahun 2019 Pemerintah Kabupaten Bogor
berhasil menekan angka persentase penduduk di bawah garis kemiskinan hingga
mencapai 6,66 persen. Namun sehubungan dengan terjadinya pandemi Covid-19,
jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2021 kembali
mengalami peningkatan menjadi 8,13 persen, namun pada tahun 2022 jumlah
penduduk miskin menurun menjadi 7,73%.
21
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
a. …
b. …
5.2 Saran
a. …
b. …
22
DAFTAR PUSTAKA
Alkire S, Foster JE, Seth S, Santos ME, Roche JM, Ballon P, 2015,
Multidimensional Poverty Measurement and Analysis, Oxford (US): Oxford
University Press.
Budiantoro S, Fanggidae V, Saputra W, Maftuchan A, Artha DRP, 2013,
Multidimensional Poverty Index (MPI): Konsep dan Pengukurannya di
Indonesia, Artikel diunduh dari http://theprakarsa.org/wp-
content/uploads/2020/01/Multidimensional-Poverty-Index-MPI-Konsep-
dan-Pengukurannya-di-Indonesia-2013.pdf
Dahlquist M, 2014, Does Economic Growth Reduce Poverty? An Empirical
Analysis of The Relationship between Poverty and Economic Growth across
Low- and Middle-income Countries, Illustrated by The Case of Brazil,
Bachelor Thesis, ECTS, Economics, Sodertorn University
Harmes, Juanda B, Rustiadi E, Barus B, 2017, Pemetaan Efek Spasial pada Data
Kemiskinan di Kota Bengkulu, Journal of Regional and Rural Development
and Planning eds. Juni 2017, 1 (2). p. 192-201
Hasibuan SN, Juanda B, Mulatsih S, 2019, Analisis Sebaran dan Faktor
Penyebab Kemiskinan di Kabupaten Bandung, Jurnal Agribisnis Indonesia
2019, 7 (2), p. 79-91
Iqbal LM, 2020, Pandemi dan Peri-Urban: Memahami Virus Corona Baru dalam
Konteks Sistem Perkotaan di Indonesia dan Beberapa Negara Dunia.
Artikel diunduh dari https://luthfi-iqbal.medium.com/pandemi-dan-peri-
urban-c3fb577d310b
Klaus I, 2020, Pandemic Are Also An Urban Planning Problem, artikel diunduh
dari https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-03-06/how-the-
coronavirus-could-change-city-planning
Lan TJ (ed.), 2019, Tinjauan Kritis Ketahanan Sosial Masyarakat Miskin
Perkotaan dan Pedesaan: Ruang Sosial, Kebijakan, dan Pola Kerentanan
Sosial, Jakarta (ID): LIPI Press
Listyaningsih U, 2018, Perspektif Spasial Penanggulangan Kemiskinan di
Yogyakarta, Patrawidya Vol. 19 No. 1, p. 93-112
Mulok D, Kogid M, Asid R, Lily J, 2012, Is Economic Growth Sufficient for
Poverty Allevation? Empirical Evidence from Malaysia, Cuadernos de
Economia, 35, p. 26-32
Nashwari, 2017, Geographical Weighted Regression Model for Poverty Analysis
in Jambi Province, dalam Indonesia Journal of Geography Vol. 49 No. 1, p.
42-50
Nurjihadi M, Dharmawan AH, 2016, Lingkaran Setan Kemiskinan dalam
Masyarakat Pedesaan: Studi Kasus Petani Tembakau di Kawasan Pedesaan
Pulau Lombok, Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Agustus 2016, p. 120-
127
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR, 2011, Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah, Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Obor Indonesia
23
Sumargo B, Simanjuntak NMM, 2019, Deprivasi Utama Kimiskinan
Multidimensi Antarprovinsi di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan Indonesia, Vol. 19 No. 2, p. 160-172
Todaro MP, Smith SC, 2014, Economic Development 12th edition, Boston (US):
Pearson
Umami L, 2013, Cara Pandang dan Upaya Pemerintah dalam Mengurangi
Kemiskinan, Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 9 (4), p. 343-354
Zwedie MA, Aidi MN, Sartono B, 2015, Spatial Econometrics Model of Poverty
in Java Island, Thesis, Statistik, IPB University.
24
25
IDENTITAS TIM PENGUSUL
PENELITIAN DOSEN PEMULA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
26