Anda di halaman 1dari 37

PROPOSAL PENELITIAN

RELASI GENDER DALAM HUBUNGAN BERPACARAN KAUM MUDA

PEREMPUAN DAN LAKI LAKI DI KECAMATAN NGAMPILAN KOTA

YOGYAKARTA

Disusun Oleh :

NUR SAIDAH DAING

NIM. 201322836

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS WIDYA MATARAM

YOGYAKARTA

2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii


BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. i
A. Latar Belakang Penelitan .........................................................................................i
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. vii
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................... vii
D. Manfaat Penelitian................................................................................................ viii
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................................... ix
F. Kerangka Teori ......................................................................................................... xiv
1. Hubungan Pacaran ........................................................................................................... xiv
2. Gender Defferences ............................................................................................................ xv

G. Definisi Konsepsional ........................................................................................... xxi


H. Definisi Operasional ............................................................................................ xxii
I. Metodelogi Penelitian ............................................................................................. xxiii
1. Metode Penelitian ........................................................................................................... xxiii
2. Lokasi penelitian ............................................................................................................. xxiv
3. Teknik pemilihan informan ............................................................................................. xxv
4. Teknik pengumpulan data .............................................................................................xxviii
5. Teknik analisis data ......................................................................................................... xxx
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... xxxi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitan


Kehidupan kaum muda sering menjadi perbincangan yang menarik

karena pada fase ini kaum muda mengalami perubahan kognitif dan sosial

emosional. Pada fase ini biasanya peran gender telah di kenalkan sejak kecil

sehingga, peran gender akan terkontruksi ketika pacaran. Peran gender yang

mereka pilih akan menentukan perannya dalam menjalin hubungan sosial

dengan orang lain. Pada fase ini juga perempuan dan laki laki biasanya

sudah mampu berfikir dan berperilaku sesuai denga napa yang menjadi

konstruksi sosial tentang identitas gendernya. Faktor lingkungan dan

pergaulan dapat menjadi pengaruh cara pikir dan berperilaku berdasarkan

gender pada kaum muda, karena Sebagian dari mereka cenderung

menganggap lingkungan dimana mereka berada adalah contoh untuk

bagaimana berpikir dan berperilaku.

Kaum muda menurut definisi PBB merupakan kelompok usia 15-24

tahun. Pada usia itu pula biasanya kaum muda baik laki laki maupun

perempuan mulai menjalin hubungan percintaan, karena karena kaum muda

merupakan kelompok usia yang cenderung erat kaitannya dengan hubungan

percintaan atau yang biasa disebut dengan pacarana. Hubungan atau relasi

berpacaran merupakan realisasi dan rasa suka, rasa nyaman dan rasa saling

sayang, yang kemudian ditindaklanjuti menjadi sebuah komitmen, yaitu

berpacaran. Untuk mengungkapkan rasa sayang dalam relasi berpacaran


tiap pasangan akan mengucapkan kata sayang ata melakukan hal hal yang

membuat pasangannya menjadi senang (Ferlita, 2008) dalam (Azmani dan

Supradewi). Biasanya dalam hubungan pacaran ini pasangan memiliki

kesepakatan dan kebiasaan yang akan mereka jalani tersebut ada pasangan

yang dalam menjalani hubungan pacarannya menjunjung tinggi kesetaraan

gender, namun ada juga pasangan yang memposisikan salah satu pihak baik

perempuan atau laki-laki lebih diistimewakan. Pandangan terhadap

kesetaraan gender dalam menjali hubungan percintaan yang disebut dengan

pacarana ini biasanya di pengaruhi oleh beberapa factor yang berbeda-beda

pada setiap individu.

Pandangan mengenai gender ini tidak lepas dari kuatnya ideologi

gender yang mensosialisasikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki

perbedaan dalam hal kepribadian dan pola pikirnya (Astri dan Fauziah,

2014). Dalam hubungan percintaan antara kaum muda perempuan dan laki-

laki, biasanya laki laki dilabeli memiliki sifat yang tegas dan kuat sementara

perempuan biasanya dianggap memiliki sifat yang lembut, pemalu dan

mudah takut. Perbedaan sifat antara perempuan dan laki-laki biasanya

menyebabkan terdapat perlakuan yang berbeda pula antara laki laki dan

perempuan dalam berpacaran. Perbedaan pemaknaan dalam gender ini

biasanya akan mempengaruhi pembagian peran dan pola interaksi antara

laki-laki dan perempuan dalam menjalin relasi berpacaran. Menurut Herlina

(2018) budaya patriarki memang tidak jarang masih di temui dalam

hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan. Selain kentalnya


budaya patriarki yang berkembang secara turun temurun dalam kehidupan

masyarakat, pemaknaan gender kaum muda juga dapat dipengaruhi oleh

konsep maskulin dan feminim yang sering dijadikan standar dalam bersikap

sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Seperti yang kita ketahui bahwa

masyarakat sering kali mengidentikan maskulin dengan laki laki dan

feminism dengan perempuan (Azmiani dan Supradewi, 2015)

Sikap kaum muda perempuan dan laki-laki seolah-olah harus

disesuaikan dengan standar yang sebenarnya dapat dibuat oleh masyarakat

itu sendiri, di mana dalam berpacaran laki-laki harus bersikap maskulin atau

menunjukkan sifat kelaki-lakian dan perempuan harus bersikap feminim

atau menunjukkan sikap keperempuannya. Misalnya saja saat terjadi

pertengkaran, perempuan cenderung lebih sering mengalah dan meminta

maaf lebih dulu dibanding laki-laki karena anggapan bahwa perempuan

memiliki sifat yang lebih emosional dan sensitive dari laki-laki. Saat

pengambilan keputusan laki-laki cenderung lebih mendominasi

dibandingkan perempuan karena dianggap memiliki pikiran yang lebih

logis dari perempuan. Saat pergi Bersama pun biasanya perempuan

mendapat perlakuan special dengan diantar dan dijemput oleh laki-laki, hal

ini dikarenakan laki-laki dianggap memiliki sifat yang lebih kuat sementara

perempuan dianggap memiliki sifat yang lebih mudah takut (Fadilah

Kurniasari, dan Quraisyin, 2011). Bila laki-laki menunjukkan feminitasnya

dan tidak bersikap maskulin akan dianggap tidak sesuai dengan standar sifat

laki-laki yang telah dikontruksikan oleh masyarakat,sama halnya dengan


perempuan seolah-olah berada dalam posisi lemah dan mudah diperdaya

oleh laki-laki dan cenderung lebih mudah menuruti apa yang menjadi

keinginan laki-laki.

Selain berhubungan dengan perlakuan spesial terhadap salah satu

pasangan pada relasi berpacaran, persepsi kaum muda terhadap kesetaraan

gender dalam hubungan pacarana ini juga berkaitan dengan fenomens

kekerasan baik fisik maupun verbal dalam hubungan pacarana. Menurut

data yang tercatat dalam KOMNAS perempuan pada tahun 2023 angka

kekerasan dalam pacaran cukup tinggi yaitu mencapai 3528, ini mengalami

kenaikan dibandingkan dengan tahun 2020 yang berjumlah 1815 kasus

(Komnas perempuan, 2023). Hal ini berkaitan dengan persepsi masing-

masing orang dalam memaknai kesetaraan gender, anggapan bahwa

perempuan memiliki derajat yang lebih rendah dari laki-laki dapat menjadi

pendorong kasus kekerasan dalam hubungan pacaran. Dalam hubungan

pacaran perempuan yang lebih sering mendapatkan perlakuan istimewa dari

laki-laki, namun kadang perlakuan istimewa yang didapatkan oleh

perempuan karena anggapan bahwa perempuan merupakan kaum yang

lemah. Anggapan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki ini mungkin

saja dapat mendorong kekerasan dalam hubungan pacarana. Persepsi

individu dapat menjadi pendorong untuk bersikap, sehingga pemaknaan

kaum muda terhadap kesetaraan gender dapat berhubungan dengan sikap

kaum muda dalam hubungan pacaran.


Pemaknaan gender dalam setiap individu ini juga dapat dipengaruhi

oleh budaya yang telah berkembang secara turun menurun di dalam

masyarakat di mana individu tersebut berada, tak terkecuali di dalam

budaya jawa. Dalam budaya jawa laki laki memiliki kedudukan yang lebih

tinggi di bandingkan perempuan, sehingga perempuan, sehingga dalam

budaya jawa terdapat istilah-istilah yang menempatkan kedudukan

perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki dan istilah-istilah tersebut

telah tertanam dalam hati masyarakat. Salah satu istilah mengatakan bahwa

perempuan adalah konco wingking yang artinya teman belakang. Istilah ini

seolah-olah menempatkan perempuan hanya sebagai pendukung di

belakang laki-laki atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan

perempuan hanya sebagai teman untuk mengurus urusan domestik (rumah

tangga). (Faqih abdul kodir, 2023). Citra dan peran sebagai perempuan telah

diciptakan dan diidealkan oleh budaya, dimana perempuan harus lemah

lembut, penurut dan tidak boleh melebihi laki laki. Pemahaman dari budaya

jawa tersebut mungkin saja terbawa Ketika kaum muda baik laki-laki

maupun perempuan di jawa mulai menjalani relasi berpacaran. Namun bisa

dikatakan bahwa budaya tersebut sudah tidak sekental dulu. Meskipun

belum semuanya, saat ini telah banyak perempuan muda yang menyuarakan

tentang kesetaraan gender dan otonomi dalam menjalani kehidupan

sosialnya. (Nicholas D.kristof dan Sheryl wudunn, 2009). Meskipun hal

tersebut masih menjadi perdebatan namun, setidaknya menunjukkan bahwa


pandangan kaum muda, terlebih kaum muda perempuan telah mengalami

pergeseran budaya.

Dalam proposal ini peneliti akan berfokus untuk meneliti terkait

relasi gender yang diperankan oleh kaum muda laki-laki dan perempuan

dalam relasi berpacaran serta pemaknaan kesetaraan gender bagi kaum

muda laki-laki dan perempuan dalam hubungan pacaran. Peneliti juga akan

menjelaskan terkait factor apa saja yang dapat mempengaruhi kaum muda

laki-laki dan perempuan memahami dan menjalankan peran gendernya

dalam menjalani hubungan pacaran. Selain itu, peneliti akan menelisik

bagaimana sikap kaum muda laki-laki dan perempuan terhadap pasangan

terkait dengan peran gendernya dalam hubungan pacaran.

Penelitian tentang relasi gender dalam pacaran ini sangat penting

karena membantu memahami dinamika hubungan antara pria dan wanita

dalam konteks romantis dan sosial yang kompleks. Melalui penelitian ini,

kita dapat mengidentifikasi pola-pola perilaku, ekspektasi, dan peran gender

yang mungkin memengaruhi kualitas hubungan, kesetaraan, dan keadilan

dalam pacaran. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang aspek-aspek

ini, peneliti dapat mengembangkan intervensi dan pendekatan yang lebih

efektif dalam mempromosikan hubungan yang sehat, adil, dan bermakna

antara individu dari berbagai gender. Selain itu, penelitian ini juga dapat

memberikan wawasan tentang bagaimana norma-norma gender dan

stereotip dapat mempengaruhi hubungan interpersonal, yang pada

gilirannya dapat membantu dalam membangun masyarakat yang lebih


inklusif dan setara bagi semua individu. Selain itu relasi peran gender dan

bias gender dalam masyarakat kita dominan terjadi dalam lembaga

perkawinan. Menarik untuk mengetahui bagaimana pembentukannya dalam

relasi pacaran. Hal ini bisa memberikan referensi agar relasi pasangan

suami istri, tidak lagi didominasi relasi bias gender.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka

beberapa permasalahan penelitian yang dapat dirumuskan adalah sebagai

berikut :

1. Seperti apa praktek peran gender dalam hubungan pacaran?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan diatas maka dapat disimpulkanTujuan dari penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana laki-laki dan perempuan melakukan peran berdasar

kontruksi gender dalam hubungan pacaran.

2. Mengetahui faktor lingkungan dan pengalaman yang mempengaruhi peran

gedner tersebut.

3. Mengetahui makna peran gender dalam hubungan pacaran dalam hal apa

saja peran gender itu dipraktekkan.


Hal-hal diatas penting untuk dipahami lebih lanjut karena

mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana persepsi kaum muda

tentang kesetaraan gender.

D. Manfaat Penelitian

Berdasar dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi pengetahuan di bidang gender dan kepemudaan. Dengan

pengetahuan yang cukup tentang gender dan kepemudaan akan mampu

membuat kaum muda yang menjalin relasi berpacaran memahami tentang

kesetaraan gender. Pemahaman tentang kesetaraan gender dapat membuat

posisi perempuan tidak terus-menerus dianggap sebagai kelompok lemah.

Seringnya ditempatkan pada posisi lemah dan rentan dapat menyebabkan

perempuan mudah diperdaya, bahkan menjadi korban kasus kekerasan baik

verbal maupun fisik dalam relasi berpacaran akan memberikan gambaran

apakah pemaknaan terhadap kesetaraan gender dalam pacarana ada

hubungannya dengan dominasi dan kekerasan fisik maupun verbal dalam

pacarana atau tidak. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi

bagi peneliti selanjutnya yang akan menggunakan konsep dan dasar yang

serupa, yaitu mengenai pemaknaan kesetaraan gender dalam relasi

berpacaran heteroseksual pada kaum muda.


E. Tinjauan Pustaka

Hefner (2005) dalam penelitiannya menggaris bawahi adanya

perubahan cara pergaulan kaum muda jawa dulu dan sekarang. Sebelum

terjadinya perubahan (tahun 1950-an) antropolog Hildred Geertz

menggambarkan bahwa pernikahan jawa sebagai momen penting dalam

siklus kehidupan individu, yang menandai perjalanan menuju kedewasaan,

sehingga pernikahan akan disiapkan sebaik mungkin sesuai keinginan orang

tua mempelai pengantin. Pada masa pernikahan dan pacaran orang tua,

sekitar tiga puluh tahun lalu nashi umum bagi Sebagian Wanita menikah

dengan seorang pria yang usianya jauh lebih tua (tidak jarang perbedaan

usia yang signifikan). Calon suami dipilih oleh orang tuanya dan calon

mempelai Wanita hanya mengenal calon suaminya secara dangkal atau

bahkan belum mengenal sama sekali, tidak jarang juga perempuan di

nikahkan sebelum menyelesaikan sekolah menengah. Bisa dikatakan

meskipun sudah terjadi perkembangan zaman yang menyebabkan

perubahan pola perilaku berpacaran anak muda,

Berbeda pola berpacaran kaum muda saat ini, mereka memiliki lebih

banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan lawan jenis dan menjalin

relasi berpacaran. Kebanyakan kaum muda perempuan saat ini mulai

memiliki pacar di pertengahan sekolah menegah, mereka bertemu lawan

jenis dalam berbagai kegiatan sekolah. Meskipun menjalin hubungan

berpacaran sudah merupakan hal yang biasa, namun beberapa kaum muda

perempuan memilih untuk menjalani hubungan berpacaran secara diam-


diam . Hal ini dilakukan karena kebanyakan orang tua jawa melarang anak

perempuan mereka berpacaran dengan alasan takut berdampak buruk bagi

prestasi sekolah anaknya. Sementara anak jarang dilarang berpacaran, anak

laki-laki diharapkan dapat menjaga diri mereka dan di izinkan untuk

membuat lebih banyak keputusan sendiri sejak usia dini.

Dalam penelitiannya, Anis Rosa Damayanti (2022) mengungkapkan

bahwa saat ini Sebagian besar kaum muda menjalin hubungan percintaan

yang disebut dengan pacaran, dan dalam hubungan pacaran tersebut

terdapat relasi gender antara laki-laki dan perempuan. Relasi gender

tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor pergaulan dan lingkungan yang

dialami pada saat usia muda. Pergaulan dan lingkungan dapat menjadi

faktor yang kuat dalam pembentukan relasi gender pada kaum muda karena

proses menjadi dewasa biasanya kaum muda lebih mudah terpengaruh

dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Pergaulan dan lingkungan

tersebut juga dapat memberikan pengaruh terkait bagaimana kaum muda

menjalin relasi terhadap lawan jenis dalam hubungan pacaran. Sifat kaum

muda yang masih labil dan mudah terpengaruh cenderung akan menjadikan

pergaulan dan lingkungannya sebagai contoh dalam bersikap.

Riset yang pernah di lakukan di Sleman pada tahun 2022 tersebut

juga menemukan bahwa relasi gender dalam hubungan pacaran yang

dijalani oleh kaum muda terdapat perbedaan sikap dan peran antara laki-laki

dan perempuan. Laki-laki biasanya lebih terbuka mengenai perasaannya

dibandingkan dengan perempuan, misalnya saja saat memulai hubungan


berpacaran biasanya laki-laki lebih yang lebih dulu mengungkapkan

perasaanya terhadap perempuan karena perempuan cenderung lebih pemalu

bila lebih pemalu jika harus lebih dulu mengungkapkan perasaanya.

Sementara dalam pembagian peran perempuan juga cenderung lebih sering

mengalah dibandingkan laki-laki, bila terjadi konflik biasanya perempuan

lebih sering meminta maaf lebih dulu dibandingkan laki-laki.

Menurut Nurhaeni (2012) dalam tulisannya mengatakan bahwa laki-

laki dan perempuan memiliki perbedaan peran,fungsi, dan tanggung jawab.

Perilaku dan sikap yang dihasilkan dari kontruksi sosial dan budaya. Hal ini

biasanya disebut dengan istilah gender, perbedaan tersebut menjadi

kebiasaan yang diulang secara terus-menerus dan terinternalisasi pada diri

seseorang, keluarga dan masyarakat. Proses sosialisasi dilakukan melalui

keluarga, masyarakat, sekolah (Pendidikan), dan interpretasi agama.

Keluarga seringkali melakukan pembagian peran antara laki-laki dan

perempuan secara tradisional, di mana laki-laki dibiasakan untuk

melakukan peran di ranah publik dan perempuan di biasakan untuk

melakukan peran domestic (rumah tangga). Masyarakat biasanya

menetapkan biasanya menetapkan pembagian peran antara laki-laki dan

perempuan sebagaimana yang dilakukan pada institusi keluarga. Hal ini

menyebabkan munculnya anggapan aneh dan ketidaksesuain bila orang atau

kelompok melakukan peran tidak seperti biasanya. Sekolah juga seringkali

menjadi institusi yang mentrasformasi nilai-nilai bias gender , baik melalui

contoh-contoh bahan ajaran maupun proses pembelajaran di sekolah. Selain


keluarga, masyarakat dan sekolah (Pendidikan), interpretasi agama

menempatkan perempuan dan laki-laki sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai manusia, dengan kewajiban-kewajiban yang bersifat

dogmatis bagi pengikutnya. Misalnya dalam islam, karena imam shalat

adalah laki-laki, dalam kehidupan seharu-hari pun pemimpin harus laki-

laki. Padahal imam shalat itu sifatnya dogmatis, sedangkan pemimpin

dalam masyarakat harusnya di dasarkan pada kompetensi yang dimiliki,

bukan dari jenis kelaminnya.

Parker (2008) menyoroti sifat khusus seksualitas remaja di

Indonesia. Pacaran erat kaitannya dengan kehidupan remaja dan kaum

muda. Sebagai masa atau periode untuk mempersiapkan peran dan status

sosial yang diambil saat memasuki masa dewasa (pernikahan). Remaja

memiliki karakter khusus dengan kelompok usia yang lain , remaja suka

mencoba hal baru dan meniru role model mereka. Kuatnya ideologi gender

di Indonesia memunculkan pemisahan gender ketidakstabilan seputar

gender dan gairah atau Hasrat seksual (laki-laki dianggap memiliki Hasrat

seksual lebih kuat). Anggapan tersebut dikhawatirkan menyebabkan Wanita

Indonesia melakukan aktivitas seksual, namun tidak mengakuinya.

Ditambaha lagi dengan gagasan yang terdapat di Indonesia yang

mengatakan bahwa praktek seksual hanya boleh terjadi Ketika sudah

menikah. Padaha; jika melihat realitanya banyak kaum muda yang sudah

melakukan praktek seksual sebelum mereka menikah atau saat mereka

berpacaran.
Seksualitas di Indonesia cenderung heteronormatif yang

dipengaruhi oleh budaya Indonesia yang menganggap bahwa orientasi

kaum muda menjalani hubungan berpacaran adalah bertujuan untuk

menikah dan bereproduksi. Di Indonesia seksualitas juga tidak bisa dilihat

sebgai hal yang otonom dari Batasan jenis kelamin dan gender. Seks dan

gender hamper tidak dapat dipisahkan dalam konteks Indonesia. Perbedaan

antara maskulinitas dan feminitas telah di naturalisasi, sehingga orang

umumnya berpikir bahwa pria dan Wanita dilahirkan seperti itu, berperan

sebagai laki-laki dan perempuan merupakan sebuah kodrat mutlak.

Kekuatan gabungan dari ideologi gender dan larangan seks pranikah,

terutama bagi perempuan. Bagi remaja Indonesia, khususnya remaja

Indonesia, khususnya remaja perempuan, seksualitas hamper selalu terikat

dan moralitas. Segitiga suci heteroseksual, perkawinan dan reproduksi

dijunjung tinggi sebagai cita-cita dan norma yang harus dicita-citakan

remaja Indonesia.

Muria indah sokowati (2018) mengungkapkan bahwa pemaknaan

kaum muda terkait kesetaraan gender akan mempengaruhi relasi gender

antara laki-laki dan perempuan. Dalam hubungan pacaran biasanya laki-laki

mendominasi pada pembagian peran hubungan pacarana. Laki-laki juga

biasanya juga lebih sering melakukan kekerasan dalam hubungan pacaran

bila dibandingakan dengan perempuan. Laki-laki tidak memandang gender

merupakan sebuah kesetaraan cenderung akan menganggap perempuan

adalah kelompok yeng lebih lemah dari laki-laki dan lebih berpotensi
melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal terhadap perempuan dalam

hubungan pacaran. Jika laki-laki memiliki sifat yang positif terhadap

kesetaraan gender, di mana laki-laki menganggap adanya persamaan hak

antara laki-laki dan perempuan maka kecil kemungkinan laki-laki

melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan pacaran.

Penelitian yang akan dilakukan ini ingin mengembangkan studi

tentang gender pada kelompok kaum muda. Riset dengan tema yang serupa

yang pernah dilakukan oleh (Hefner, 2005; Anis Rosa Damayanti, 2022;

Nurhaeni, 2012; Parker, 2008; Muria indah sokowati, 2018). Namun

penelitian yang akan dilakukan memiliki perbedaan dengan studi-studi

sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan studi-studi sebelumnya,

karena penelitian yang akan dilakukan ingin berfokus pada pembagian

peran gender dan pengalaman terkait seksualitas kaum muda serta

bagaimana mereka memaknai kesetaraan gender dalam relasi berpacaran.

F. Kerangka Teori

1. Hubungan Pacaran

Menurut Degenova & Rice (2005: 112), pacaran adalah suatu bentuk

hubungan di mana dua individu saling berinteraksi dan melibatkan diri

dalam berbagai kegiatan bersama dengan tujuan untuk saling memahami.

Sementara itu, Stenberg (1996) mengartikan pacaran sebagai keterlibatan

emosional antara dua individu yang tidak memiliki hubungan saudara,


namun melibatkan cinta yang dipenuhi oleh keintiman, nafsu, dan

komitmen.

Hubungan pacaran, menurut pandangan ini, tidak hanya didasarkan

pada aspek romantisme semata, melainkan juga memiliki tujuan yang

bervariasi. Lips (1988) mencatat bahwa motivasi remaja dalam berpacaran

melibatkan aspek kesenangan, pemenuhan kebutuhan akan kebersamaan,

eksplorasi lebih lanjut terhadap pasangan, serta pengujian dalam hal cinta

dan seks.

Secara umum, kesimpulan dari berbagai pendapat para ahli adalah

bahwa pacaran merupakan serangkaian kegiatan bersama yang dipenuhi

oleh keintiman, termasuk rasa memiliki dan keterbukaan diri. Selain itu,

terdapat ketertarikan emosional antara pria dan wanita yang belum menikah,

dengan tujuan utama untuk saling mengenal dan mengevaluasi kesesuaian

satu sama lain sebagai pertimbangan sebelum memutuskan untuk menikah.

2. Gender Defferences

Miskonsepsi makna makna antara gender dan jenis kelamin yang sering

disama artikan kemudian menimbulkan kebingungan mengenai perbedaan

gender dan jenis kelamin (West & Zimmerman, 1987). Gender dan jenis

kelamin merupakan dua hal yang berbeda, dimana jenis kelamin merupakan

hal mutlak dan tidak dapat dipertukarkan , sedangkan seperti yang sudah

dijelaskan diatas bahwa gender merupakan kontruksi sosial dan kultural


sosial dan kultural mengenai sifat atau karakteristik yang dilekatkan pada

laki-laki dan perempuan. Meskipun gender bukanlah hal yang mutlak,

dimana gender dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, namun

perbedaan sifat atau karakteristik yang terdapat dalam diri laki-laki dan

perempuan tetap menentukan perannya dalam menjalani kehidupan sehari-

hari. Laki-laki dan perempuan memang memiliki beberapa perbedaan yang

mendasar baik fisik, verbal, misalnya rata-rata laki-laki lebih agresif

dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut telah melewati penelitian

yang panjang, dimana rata-rata laki-laki memang lebih agresif dibandingkan

perempuan. Namun bila dilihat lagi tidak semua laki-laki lebih agresif,

karena realitanya ada beberapa perempuan yang lebih agresif baik secara

fisik maupun verbal bila dibandingkan dengan laki-laki.

Perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis merupakan

perbedaan yang tidak dapat diubah dari waktu ke waktu dan tidak dapat

dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut juga

bersifat permanen dan kodrati, karena perbedaan biologis ini berupa

perbedaan fisik dan fungsi reproduksi. Misalnya laki-laki membuahi

(spermatozoa) dan perempuan menstruasi, hamil, melahirkan dan

menyusui. Perbedaan yang diciptakan oleh Tuhan tersebut tentunya

merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan hasil

konstruksi sosial dan budaya biasa disebut dengan perbedaan gender.

Perbedaan gender merupakan perbedaan yang tidak bersifat kodrati atau

permanen. Perbedaan gender terbentuk karena proses pembiasaan secara


terus menerus sehingga terinternalisasi pada diri setiap orang. Perbedaan

yang dihasilkan oleh konstruksi sosial budaya ini merupakan perbedaan

seputar peran, tanggung jawab, fungsi dan sikap antara laki-laki dan

perempuan. Perbedaan terkait hal-hal tersebut merupakan perbedaan yang

dapat diubah dan dipertukarkan tergantung waktu dan budaya berlaku,

karena tidak bersifat kodrati dan permanen. Namun masyarakat seringkali

menganggap bahwa perbedaan biologis dan gender antara laki-laki dan

perempuan merupakan dua konsep yang sama (Nurhaeni, 2012).

Konsep perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan yang telah

mengakar dalam pemahaman masyarakat ini seringkali diartikan sebagai

perbedaan peran, identitas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh

seorang individu baik laki-laki maupun perempuan secara mutlak. Hal

tersebut terjadi karena laki-laki dan perempuan memang memiliki

perbedaan yang mendasar. Namun perbedaan gender (gender differences)

tidak muncul hanya karena perbedaan gender tercipta juga dikarenakan

pemahaman masyarakat secara turun-temurun yang terlalu menotakan

perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Padahal sebenarnya

gender bukanlah hal yang berkaitan dengan seperangkat sifat, Tindakan atau

peran manusia yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Namun

gender merupaka seperangkat ideologis yang kuat, dimana di dalamnya

terdapat proses memproduksi, mereproduksi, dan melegitimasi pilihan dan

Batasan didasarkan pada kategori seks atau jenis kelamin (West &

Zimmerman, 1987). Melalui proses-proses tersebut lalu terciptalah struktur


dan kontrol sosial yang mengklarifikasikan sifat, Tindakan dan peran

sebagai laki-laki dan perempuan. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan

gender merupakan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Konsep

yang membedakan antara laki-laki dan perempuan secara konstruksi sosial

dapat dijelaskan dam konsep doing gender oleh Candace West dan Don H.

Zimmerman.

Perbedaan yang didasarkan pada jenis kelamin tersebut menciptakan

standar tentang bagaimana menjalankan peran sebagai laki-laki dan

perempuan di berbagai institusi. Misalnya pembagian peran gender dalam

ranah privasi seperti di dalam rumah pada hubungan pernikahan, di mana

pekerjaan-pekerjaan yang bersifat domestic seperti mengurus rumah dan

merawat lebih banyak dikerjakan oleh perempuan atau istri dan laki laki

atau suami mengambil peran dalam pekerjaan-pekerjaan di luar ranah

domestic seperti mencari nafkah. Begitu pula dengan anak perempuan dan

anak laki-laki, dimana anak laki-laki lebih banyak diberikan kesempatan

untuk menunjukkan pengalaman dan kekuatannya sementara anak

perempuan hanya menyaksikan. Meskipun begitu istri maupun suami

cenderung menganggap bahwa pembagian peran tersebut sudah diatur

secara adil (West & Zimmerman, 1987).

Konstruksi sosial mengenai perbedaan peran sebagai laki-laki dan

perempuan layaknya perbedaan secara biologis disosialisasikan melalui

berbagai ranah dan institusi seperti keluarga, masyarakat, sekolah

(Pendidikan) dan agama. Kemudian konsep yang terbentuk karena


kontruksi sosial tersebut sejak dulu dan diadopsi secara turun temurun dari

generasi ke generasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa mewujudkan

kesetaraan gender yang benar-benar setara merupakan sebuah khayalan,

karena perbedaan gender sudah melekat di dalam masyarakat sebagai

sebuah konstruksi tentang gender dapat diubah secara keseluruhan. Bahkan

meskipun pada era modern perempuan mulai mengadopsi nilai-nilai

maskulin, namun tidak bisa dipungkirin bahwa perempuan yang menikmati

hak istimewa yang mereka dapatkan sebagai kelompok yang dianggap lebih

rendah dan laki-laki. Menurut Beauvoir (1961) ketidaksetaraan gender

antara laki-laki dan perempuan ini juga menimbulkan perbedaan peran

dalam hubungan percintaan.

Saat menjalin hubungan percintaan yang digambarkan Beauvoir

dalam hubungan pernikahan, namun tidak menutup kemungkinan terjadi

dalam relasi berpacaran, laki-laki biasanya memiliki agresivitas dan

dominasi yang lebih tinggi dari perempuan, dan akan dianggap terjadi hal

sebaliknya. Dalam hal konflik laki- laki dan perempuan juga saling

menganggap tidak setara, sehingga sering saling melemparkan tanggung

jawab dan kesalahan. Selain dalam hal agresivitas dan dominasi serta

konflik, terdapat pula perbedaan pada ekspektasi, di mana perempuan lebih

banyak menuntut perihal waktu dari pasangannya. Sedangkan laki-laki

cenderung lebih menuntut pada hal seksualitas. Waktu yang dihabiskan

berdua memiliki makna yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Waktu

yang dihabiskan berdua bagi perempuan merupakan sebuah keuntungan,


sementara bagi laki-laki merupakan beban. Sehingga laki-laki menuntut

seksualitas, karena hal tersebut merupakan keuntungan bagi mereka dalam

menjalin hubungan percintaan Beauvoir (1961).

Seperti halnya hubungan perkawinan, dalam hubungan berpacaran

juga terdapat perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Saat

menjalani hubungan berpacaran laki-laki cenderung berperan sebagai pihak

dominan dengan banyak melakukan hal-hal yang bersifat memimpin dan

melindungi. Misalnya saja laki-laki biasanya mengontrol dimulainya

sebuah hubungan berpacaran, lebih banyak menanggung biaya kencan serta

sering mengantar dan menjemput pasangan. Sementara perempuan

biasanya berperan sebagai pihak yang lebih pasif dan bergantung pada

pasangan. Perempuan cenderung lebih banyak menunggu laki-laki dalam

memulai hubungan berpacaran, lebih banyak menjadi objek pasif perihal

pendanaan kencan dan menjadi pihak yang bergantung pada perlindungan

laki-laki yang sering mengantar dan menjemput ketika akan pergi Bersama.

Teori tersebut penting digunakan dalam penelitian ini karena masih

kuatnya pemahaman mengenai konsep gender di kalangan kaum muda.

Masih banyak pula pemahaman yang membedakan sikap, karakter serta

peran sosial laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin mereka.

Bisa dilihat dari konstruksi tentang maskulinitas dalam relasi berpacaran

yang masih mendominasi, di mana laki-laki masih dipahami sebagai subjek

yang harus selalu aktif dan perempuan sebagai subjek yang pasif. Sehingga

teori ini dapat digunakan untuk menggambarkan pemikiran kaum muda


laki-laki di Yogyakarta mengenai apa yang disebut sebagai kesetaraan

gender dalam hubungan berpacaran yang dapat dilihat dari bagaimana

mereka berbagi peran dalam menjalin hubungan berpacaran.

G. Definisi Konsepsional

Definisi Menurut Degenova & Rice (2005: 112), dan stanberg (1996),

pacaran adalah adalah suatu bentuk hubungan di mana dua individu saling

berinteraksi dan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan bersama dengan

tujuan untuk saling memahami dan melibatkan emosional antara dua individu

yang tidak memiliki hubungan saudara, namun melibatkan cinta yang dipenuhi

oleh keintiman, nafsu, dan komitmen. Definisi Pacaran digambarkan sebagai

serangkaian kegiatan bersama yang dipenuhi oleh keintiman, termasuk rasa

memiliki dan keterbukaan diri.

Analisi teori Gender Defferens oleh West & Zimmerman, 1987membantu

kita memahami bahwa gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang

berbeda, dimana jenis kelamin merupakan hal mutlak dan tidak dapat

dipertukarkan , sedangkan seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa gender

merupakan kontruksi sosial dan kultural sosial dan kultural mengenai sifat atau

karakteristik yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan. Meskipun gender

bukanlah hal yang mutlak, dimana gender dipertukarkan antara laki-laki dan

perempuan, namun perbedaan sifat atau karakteristik yang terdapat dalam diri
laki-laki dan perempuan tetap menentukan perannya dalam menjalani

kehidupan sehari-hari.

H. Definisi Operasional

1. Definisi pacaran Degenova & Rice membantu kita bahwa pacaran adalah

a) Hubungan Intim/emosional/romantis

b) Saling mempengaruhi

c) Komitmen

d) Saling berinteraksi

e) Keterbukaan diri

f) Saling memahami

2. Teori Gender Defferences West & Zimmerman membantu kita untuk

menganalisis bagaimana relasi gender dalam hubungan pacaran

a) Aspek Agresivitas

b) Ekspetasi

c) Dominasi

d) Perbedaan peran

e) Sikap Maskulin dan feminim

f) Tindakan kekerasan

g) karakteristik

h) Mengayomi dan mengambil inisiatif


I. Metodelogi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut

Bogdan dan Taylor (1955) dalam Suwendra (2018) metode penelitian

kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data bersifat

deskriptif, data tersebut dapat berupa tulisan atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati oleh peneliti. Metode penelitian kualitatif

dipilih oleh peneliti sebagai alat bedah dalam menganalisis fenomena yang

akan diteliti agar dapat memperoleh data sebanyak-banyaknya serta peneliti

ingin memahami bagaimana kaum muda memaknai kesetaraan gender

dalam hubungan berpacaran (W. J. Creswell & Creswell, 2018). Melalui

metode penelitian ini peneliti akan mengungkap lebih dalam bagaimana

pengalaman dan pemaknaan kaum muda laki-laki dan perempuan tentang

kesetaraan gender serta bagaimana mereka menjalankan peran gendernya

dalam relasi berpacaran.


Untuk menganalisis fenomena yang akan diteliti, peneliti menggunakan

pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi dipilih oleh peneliti

agar peneliti lebih mampu untuk memahami secara mendalam bagaimana

subjek memaknai kesetaraan gender melalui pengalaman mereka dalam

menjalin relasi berpacaran (Streubert & Carpenter, 1999) dalam (J. W.

Creswell, 2013). Pendekatan fenomenologi merupakan pendekatan yang

sesungguhnya sering kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari, di mana

kita mengamati fenomena, kita membuka diri dan membiarkan fenomena

tersebut tampak pada diri kita lalu memahaminya (Hasbiansyah, 2008)

Dengan menggunakan metode tersebut maka peneliti dapat membuka diri

terhadap berbagai informasi yang berasal dari mana pun, tanpa cepat-cepat

menilai atau menyimpulkan berdasar perspektif peneliti sendiri.

2. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di kecamatan Ngampilan kota

Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan dengan

mempertimbangkan bahwa peneliti yang relative dekat dengan lokasi

penelitian. Selain itu di sekitar kecamatan ngampilan juga banyak kaum

muda laki-laki dan perempuan. Dengan dekatnya jarak peneliti dengan

lokasi penelitian dan banyaknya jumlah kaum muda, peneliti akan mudah

mendapatkan data dari informan. Subjek yang akan dijadikan informan

dalam penelitian ini adalah kaum muda laki-laki dan perempuan yang

tinggal Kecamatan Ngampilan serta sedang menjalin hubungan pacaran.


3. Teknik pemilihan informan

Dalam pengumpulan data peneliti akan memilih subjek atau informan

yang terkait dengan topik atau fenomena yang akan diteliti. Peneliti memilih

kaum muda laki-laki dan perempuan yang menjalin relasi berpacaran

dengan kisaran usia 15-24 tahun. Kisaran usia tersebut karena berdasarkan

data SDKI Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2023 median usia menikah

pertama pada perempuan pada usia 20-49 tahun, sedangkan pada laki-laki

pada usia 25- 54 tahun (SDKI, 2023). Pemilihan kisaran usia juga dilihat

berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Remaja Indonesia 2023

(SDKI Remaja, 2023) yang mengatakan bahwa usia pertama kaum muda

menjalin hubungan berpacaran adalah 15-17 tahun. Dengan melihat data

tersebut peneliti berasumsi bahwa bila kebanyakan kaum muda perempuan

menikah untuk pertama kali pada usia 20 tahun dan laki-laki 25 tahun, serta

mulai memiliki hubungan pacaran pada usia 15-17, maka kaum muda laki-

laki dan perempuan kisaran 15- 24 dianggap ideal untuk menjelaskan

pengalaman dan pemaknaan hubungan pacaran yang dijalani. Selain Itu

penentuan usia informan juga berdasar pada definisi PBB yang menyatakan

bahwa kaum muda merupakan kelompok usia antara 15-24 tahun.


Dalam penelitian ini tingkat pendidikan informan yang akan dipilih oleh

peneliti adalah kaum muda laki-laki dan perempuan pada jenjang

pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi (Mahasiswa) serta akan dipilih juga

kaum muda laki-laki dan perempuan yang berada pada fase awal masuk ke

dalam dunia kerja. Siswa SMA, Mahasiswa, dan kaum muda yang sedang

berada pada fase awal masuk dunia kerja dipilih karena pada jenjang

tersebut biasanya kaum muda mulai menjalin hubungan berpacaran yang

cukup serius. Terkait dengan lokasi geografis, informan yang dipilih oleh

peneliti merupakan kaum muda yang berada di kota Yogyakarta dan

berdomisili di kota Yogyakarta serta menjalin hubungan berpacaran.

Kecamatan Ngampilan merupakan wilayah yang memiliki karakteristik sub

urban, karena berada pada wilayah perbatasan antara perkotaan dan

pedesaan. Sehingga di wilayah Kecamatan Ngampilan terdapat dua bagian

wilayah, yaitu rural dan urban.

kaum muda juga terbagi ke dalam dua kelompok wilayah, ada kaum

muda yang berada di wilayah rural (desa) dan ada juga yang berada di

wilayah urban (Kota). Informan yang dipilih oleh peneliti merupakan kaum

muda yang berada di wilayah rural. Terkait dengan latar belakang ekonomi

atau kelas sosial informan, dalam penelitian ini peneliti memilih informan

dari kelas sosial menengah. Dalam penelitian ini kaum muda laki-laki dan

perempuan yang akan dipilih oleh peneliti adalah individu (bukan

pasangan), Informan diharapkan akan menceritakan pengalamannya dan

pemaknaannya tentang kesetaraan gender.


Kaum muda perempuan dan laki-laki yang menjalin hubungan pacaran

dan memenuhi kriteria lain yang telah ditentukan oleh peneliti dipilih

menggunakan snowball sampling. Teknik snowball sampling merupakan

teknik pengumpulan informan untuk mendapatkan sumber data melalui

proses bergulir dari satu informan ke informan yang lain. Teknik snowball

sampling ini dipilih juga karena teknik sampling ini memiliki kelebihan

untuk menemukan informan yang tersembunyi atau sulit ditemukan, serta

mampu mengungkapkan hal-hal yang spesifik atau yang masih dianggap

tabu dalam kehidupan sosial (Nurdiani, 2014). Dengan kelebihan dari

teknik sampling tersebut peneliti berharap mampu memperoleh data yang

dibutuhkan dari informan vang ditemukan. Teknik snowball sampling yang

digunakan dalam penelitian ini akan dimulai dari lingkup pertemanan

peneliti dengan pertimbangan bahwa peneliti juga merupakan bagian dari

kelompok kaum muda itu sendiri. Dengan lingkup pertemanan yang

didominasi oleh kaum erat kaitannya dengan hubungan pacaran, diharapkan

akan mendapat banyak data dari proses bergulirnya informan satu ke

informan yang lain.


Informan yang telah dipilih oleh peneliti menggunakan teknik sampling

dan kriteria di atas akan ditulis menggunakan nama samaran. Penggunaan

nama samara dalam penelitian bertujuan untuk menjaga dan menghormati

privası masing-masing informan. Penggunaan nama samaran ini juga sesuai

dengan permintaan informan yang tidak ingin dituliskan menggunakan

nama asli mereka, maka identitas dari para informan khususnya terkait

nama mereka akan disamarkan dan akan diganti menggunakan nama

samaran.

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara

mendalam dengan informan. Informan dari penelitian ini merupakan kaum

muda laki-laki dan perempuan yang menjalin hubungan pacaran yang

dipilih dengan teknik snowball sampling. Informan yang akan diwawancara

adalah yang secara individu, informan diharapkan akan menceritakan

pengalaman dan pemaknaannya tentang kesetaraan gender dalam hubungan

berpacaran yang dijalaninya. Dokumentasi lokasi tempat di mana kaum

muda laki-laki dan perempuan yang menjalani hubungan pacaran biasa

menghabiskan waktu bersama diabadikan sebagai analisis setting wilayah.

Wawancara secara mendalam yang dibantu dengan interview guide yang

telah dirancang dilakukan pada informan untuk mendapatkan data yang

akurat dan mendalam dari informan. Selain itu wawancara mendalam

dengan informan juga dilakukan untuk memahami pandangan informan


penelitian terkait pemaknaan kesetaraan gender dalam hubungan pacaran

yang dijalin. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data primer dan

sekunder untuk menjawab rumusan masalah yang akan diteliti.

Data primer atau yang biasa disebut dengan data utama merupakan

data yang didapatkan melalui wawancara secara mendalam dengan

informan, observasi dan dokumentasi lapangan. Dalam penelitian ini data

merupakan data utama yang akan dianalisis oleh peneliti. Data primer

didapatkan oleh peneliti dari wawancara secara mendalam dengan pasangan

kaum muda laki-laki dan perempuan yang menjalin hubungan pacaran.

Wawancara dilakukan dengan menggabungkan wawancara terstruktur dan

tidak terstruktur. Teknik wawancara ini dipilih oleh peneliti agar informan

merasa nyaman ketika proses wawancara, sehingga data yang diperoleh

akurat dan mampu menjawab permasalahan yang sedang diteliti.

Sedangkan data sekunder merupakan data pendukung dari data

primer atau data utama. Data sekunder didapatkan darı dokumen atau

literatur terkait dengan penelitian yang sedang diteliti yang tersedia dan

dapat diakses oleh peneliti. Data tersebut juga digunakan untuk membantu

peneliti menganalisis data primer yang didapatkan. Literatur yang

digunakan merupakan penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya yang

terkait atau memiliki kemiripan yang dilakukan peneliti sebelumnya yang

terkait atau memiliki kemiripan dengan fenomena yang sedang dilakukan

oleh peneliti saat ini.


5. Teknik analisis data

Terdapat tiga tahap analisis data dalam penelitian kualitatif, yaitu

pertama reduksi data, kedua penyajian data dan ketiga penarikan

kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992) dalam (Rijali, 2019). Reduksi data

merupakan proses pemusatan perhatian dan penyederhanaan data. Reduksi

data juga merupakan proses analisis data yang menajamkan,

menggolongkan dan mengorganisasi data untuk memudahkan penarikan

kesimpulan akhir. Selanjutnya penyajian data adalah proses penyusunan

kesimpulan informasi, melalui penyusunan kesimpulan informasi tersebut

memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

keputusan. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan, yaitu proses yang

dilakukan oleh peneliti selama terus-menerus selama berada di lapangan

Penarikan kesimpulan juga dipikirkan secara berulang-ulang oleh peneliti

saat penulisan data serta dilakukan peninjauan ulang catatan lapangan.

Selain itu dalam penarikan kesimpulan peneliti juga melakukan tukar

pikiran antar teman serta melakukan upaya-upaya yang luas agar dapat

menarik kesimpulan yang tidak berdasar pada subjektivitas peneliti.


DAFTAR PUSTAKA

Acitelli, L.K. (1992). Gender Differences in Relationship Awareness and


Marital Satisfaction Among Young Married Couples. Journal of
Personality and Social Psychology Bulletin, 18(1), 102-110.

Ariyati, R. A., & Nuqu, F. L. (2016). Gaya Cinta (Love Style) Mahasiswa.
Jurnal Psi Koislamika, 13, 29–38.

Astri, M., Fauziah, N., Psikologi, F., Diponegoro, U., Gender, P., &
Penanggungjawab, P. (2014). Hubungan Antara Peran Gender Dengan
Intensi Melakukan Kekerasan Dalam Pacaran Pada Mahasiswa
Strata-1 Fakultas Teknik Di the Relation Between Gender Roles With
Intention of Dating Violence in a Student Bachelor Degree Faculty of
Engineering. 035.

Azmiani, R. S. (2015). Hubungan Sikap Laki-Laki Terhadap Kesetaraan


Gender dengan Kekerasan dalam Pacaran. Proyeksi, 10(1), 49–60.

Beauvoir, S. de. (1961). The Second Sex. In Yale French Studies (Issue 27,
p. 22).

Bennett, L. R. (2005). Women, Islam and Modernity. In Women, Islam and


Modernity.

Blair, S. L., & Madigan, T. J. (2016). Dating attitudes and expectations


among young Chinese adults: an examination of gender differences.
Journal of Chinese Sociology, 3(1), 1–19.

BPS. (2023). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2023 Kesehatan


Reproduksi Remaja. Survei Demografi DanKesehatan Indonesia 2023.

Boediarsih, B., Shaluhiyah, Z., & Mustofa, S. B. (2016). Persepsi Remaja


tentang Peran Gender dan Gender Seksualitas di Kota Semarang. In
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia (Vol. 11, Issue 1, p. 28).
https://doi.org/10.14710/jpki.11.1.28-37
Brown, S. L. (2004). Moving from cohabitation to marriage: Effects on relationship
quality. In Social Science Research (Vol. 33, Issue 1, pp. 1–19).

Budiastuti, A., & Wulan, N. (2014). Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui


Konsumsi Budaya Populer oleh Remaja Perkotaan (The Construction of Ideal
Masculinity Through the Consumption of Popular Culture by Urban
Teenagers). 14(1), 1–14.

Cahyani, K. O. A., Fathurohma, A., & Paramitha, N. (2020). Remaja Gen Z Cerdas
Merencanakan Masa Depan Mulai dari Hubungan Lawan Jenis , Antisipasi
Seks Bebas dan Persiapan Pra Nikah. 3, 1–6.

Chafetz, J. S. (2006). Sociology of gender. In The other sociologist.

Chung, D. (2005). Violence, control, romance and gender equality: Young women
and heterosexual relationships. Women’s Studies International Forum, 28(6),
445–455.

Creswell, J. W. (2013). Quantitative Inquiry & Research Design. In London.

Creswell, W. J., & Creswell, J. D. (2018). Research Design: Qualitative,


Quantitative adn Mixed Methods Approaches. In Journal of Chemical
Information and Modeling (Vol. 53, Issue 9, pp. 1–388).

DeLucia, J. L. (1987). Gender role identity and dating behavior: What is the
relationship? In Sex Roles (Vol. 17, Issues 3–4, pp. 153–161).

Fadilah, A. N., Kuniasari, N. D., & Quraisyin, D. (2011). Relasi Gender dalam
Hubungan Pacaran. Komunikasi, 5(2), 79–164.

Furman, W., & Winkles, J. K. (2014). Transformations in Heterosexual Romantic


Relationships across the Transition into Adulthood: “Meet Me at the Bleachers
… I Mean the Bar.” In Relationship Pathways: From Adolescence to Young
Adulthood (pp. 191–214).

Gayle, N. T., & Nugraheni, Y. (2013). Komunikasi Antar-Pribadi: Strategi


Manajemen Konflik Pacaran Jarak Jauh. In Komunikatif (Vol. 1, Issue 1).

Giddens, A. (1992). The Transformation of Intimacy: Sexuality, Love and


Eroticism in Modern Societies. [La transformación de la intimidad:
sexualidad, amor y erotismo en las sociedades modernas].

Grauerholz, E. (1987). Balancing the power in dating relationships. Sex Roles,


17(9–10), 563–571.

Hefner, N. J, Smith. (2005). The new Muslim romance: Changing patterns of


courtship and marriage among educated Javanese youth. Journal of Southeast
Asian Studies, 36(3), 441–459.

Herlina, E. (2018). Representasi Ideologi Gender di Korea Selatan dalam Drama


Korea “ Because This Is My First Life .” Universitas Andalas, 3(1), 13–27.

Hermawati, T. (2007). Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender. Jurnal Komunikasi


Massa, 1(1), 18–24.

amieson, L. (2017). Intimacy transformed? A critical look at the ‘pure


relationships.’ In Marriage and Cohabitation: Regulating Intimacy, Affection
and Care (pp. 3–20). https://doi.org/10.4324/9781315249643-10

Kango, U. (2009). Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuano. In Jurnal


Legalitas (Vol. 2, Issue I, pp. 13–20).

Karnaen, S. M. N., & Amanah, S. (2021). Peranan Gender dalam Rumah Tangga
Pernikahan di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten
Tangerang. In Komunika (Vol. 8, Issue 1, pp. 25–43).

Kazaura, M. R., & Masatu, M. C. (2009). Sexual practices among unmarried


adolescents in Tanzania. BMC Public Health, 9, 1–6.

Kementrian Kesehatan RI. (2023). Hasil Riskesdas 2023.pdf. In Laporan Nasional


2023 (pp. 100–104).
Khaninah, A. N., & Widjanarko, M. (2017). Perilaku Agresif Yang Dialami Korban
Kekerasan Dalam Pacaran. In Jurnal Psikologi Undip (Vol. 15, Issue 2, p.
151).

Komnas Perempuan. (2022). Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2021.


In Ekp (Vol. 13, Issue 3, pp. 1576–1580)

Komnas Perempuan. (2023). Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2022

Komnas Perempuan. (2023). Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan


Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan
Anak Perempuan. Catahu: Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap
Perempuan Tahun 2019, 1–109.

Komnas Perempuan. (2021). Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan


Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah
Covid-19, Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020. In
Catatan Tahunan Tentnag Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (Vol. 1,
Issue 3, p. 4).

Komnas Perempuan. (2022). Bayang – Bayang Stagnansi : Daya Pencegahan dan


Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas
Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan, Catatan Tahunan
Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2021. In ‫( הארץ‬Issue 8.5.2017, pp.
2003–2005).

ouritzin, S. G. (2000). Bringing Life to Research: Life History Research and ESL.
TESL Canada Journal, 17(2), 01.

Lichter. E. L. and McCloskey L. A,. (2004). The effects of childhood exposure to


marital violence on adolescent gender-role beliefs and dating violence.
Psychology of Women Quarterly, 28(4), 344–357.

Lestari. H, Sugiharti. (2023). Perilaku Beresiko Remaja di Indonesia Menurut


Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia ( SKRRI ) Tahun 2023
Young Adults Risk Behavior by Indonesia Young Adult Reproductive Health
Survey. Jurnal Kesihatan Reproduksi, 1(3), 136–144.

Anda mungkin juga menyukai