net/publication/326438949
CITATIONS READS
0 11,855
3 authors
:
Rifka Annisa
19PUBLICATIO130CITATIO 7 PUBLICATIONS
5 CITATIONS
NS NS
16 PUBLICATIONS 1 CITATION
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
I. Pendahuluan............................................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................................3
1.2. Tujuan Penelitian....................................................................................................................4
1.3. Definisi dan Konsep Kunci.......................................................................................................4
II. Metodologi................................................................................................................................. 6
2.1. Latar Belakang Penelitian.......................................................................................................6
2.2. Peserta Penelitian..................................................................................................................6
2.3. Pengumpulan Data.................................................................................................................7
2.4. Analisis Data............................................................................................................................8
III. Hasil Penelitian.......................................................................................................................... 9
3.1. Norma-norma penentu perilaku kekerasan – pandangan perempuan dan laki-laki terhadap
maskulinitas, femininitas dan hubungan intim...............................................................................9
3.2. Pandangan perempuan dan laki-laki tentang kesetaraan dan kekerasan terhadap
perempuan (termasuk kekerasan oleh pasangan intim)..............................................................25
3.3 Intervensi sensitif-kebudayaan yang memungkinkan untuk mencegah kekerasan ..................
pasangan intim di Papua...............................................................................................................31
IV. Diskusi...................................................................................................................................... 36
V. Kesimpulan dan Rekomendasi.................................................................................................. 42
Referensi......................................................................................................................................45
2
I. Pendahuluan
Penelitian di seluruh dunia telah member kontribusi untuk pemahaman bahwa kekerasan
terhadap perempuan adalah fenomena yang kompleks dengan marka resiko berlapis. Oleh
sebab itu, diperlukan kontribusi dari berbagai pemangku kepentingan untuk menangani isu
kekerasan terhadap perempuan. Beberapa kendala terbesar yang menghalangi perempuan
Indonesia untuk membuka mulut masalah kekerasan pasangan intim adalah hambatan budaya
(Hayati et. al, 2011). Sebagai negara dengan penduduk yang kaya akan keragaman budaya,
diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pandangan perempuan serta pengalaman mereka
dalam menghadapi kekerasan, dari berbagai daerah di Indonesia. Kita juga perlu mendengarkan
3
pendapat laki-laki agar dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai
pandangan mereka terhadap maskulinitas dan kekerasan terhadap perempuan. Pemahaman
akan pandangan perempuan dan laki-laki tentang kekerasan terhadap perempuan akan
menunjang pengembangan intervensi kedepannya.
Rifka Annisa, bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) dan didukung oleh
Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) dan USAID, melakukan
proyek penelitian berjudul ‘Survei Kekerasan terhadap perempuan di Tanah Papua’. BPS
bertanggungjawab terhadap studi kuantitatif, sementara Rifka Annisa memberikan dukungan
teknis untuk studi kuantitatif dan memimpin komponen kualitatif dari penelitian tersebut.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa
Papua adalah provinsi dengan angka pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi
di Indonesia. Selain survey kuntitatif pengalaman hidup laki-laki dan perempuan, kami juga
melakukan studi kualitatif yang melibatkan perempuan dan laki-laki muda dan dewasa di Papua
untuk mendapatkan pemahaman yang tidak hanya terbatas pada angka dan untuk
mendapatkan pemahaman mendalam mengenai kekerasan terhadap perempuan. Melalui studi
kualitatif ini, kami mengkaji fenomena kekerasan berbasis gender (GBV) dari sudut pandang laki-
laki dan perempuan, mencoba mendapatkan gambaran dan pemahaman yang komprehensif
mengenai GBV beroperasi dalam konteks kebudayaan Tanah Papua.
Diharapkan data dari studi yang komprehensif ini dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan program intervensi yang sesuai untuk mengatasi kekerasan berbasis gender di
Tanah Papua kedepannya.
• Menggali sistem norma yang mengatur perilaku kekerasan, difokuskan pada pandangan
perempuan dan laki-laki terhadap maskulinitas, feminitas dan hubungan intim (Intimate
relationships).
• Memahami pandangan perempuan dan laki-laki tentang kesetaraan gender dan kekerasan
terhadap perempuan (termasuk kekerasan oleh pasangan intim).
Dalam studi ini kami menggunakan beberapa istilah terkait isu kekerasan terhadap perempuan,
dan berikut definisi untuk masing-masing istilah tersebut:
a. Kekerasan Berbasis Gender adalah semua tindakan kekerasan yang dialami oleh
perempuan, laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki diluar kehendaknya, didasarkan
atas perbedaan yang ditentukan secara sosial antara laki-laki dan perempuan, di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi (Heise, Ellsberg & Gottemoeller, 1999).
4
b. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis
kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi
di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Heise, Ellsberg & Gottemoeller, 1999).
c. Kekerasan oleh pasangan intim adalah suatu perilaku dalam sebuah hubungan intim
(intimate relationship) yang menimbulkan penderitaan fisik, seksual atau psikologis,
termasuk tindakan penyerangan fisik, pemaksaan seksual, penganiayaan psikologis dan
sikap mengontrol (WHO & LSHTM, 2010).
e. Kekerasan fisik didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan fisik secara sengaja dengan
potensi untuk menyebabkan kematian, kecacatan, cedera atau bahaya. Kekerasan fisik
mencakup, namun tidak terbatas pada: mencakar, menekan, mendorong, melempar,
menyambar, menggigit, mencekik, mengguncang, menarik rambut, menampar, meninju,
memukul, membakar, penggunaan senjata (senapan, pisau, atau benda lain), dan
penggunaan pengekangan atau ukuran atau kekuatan badan seseorang terhadap badan
orang lain. Kekerasan fisik juga termasuk memaksa orang lain untuk melakukan
tindakantindakan di atas (Breiding dkk., 2015).
h. Maskulinitas adalah perilaku, bahasa dan praktek-praktek yang terjadi di lokasi budaya
dan organisasi tertentu, yang umumnya terkait dengan laki-laki dan dengan demikian
secara budaya didefinisikan sebagai bukan feminin (Whitehead & Barret, 2001)
1 http://www.healthyplace.com/abuse/emotional-psychological-abuse/emotional-abuse-definitions-
signssymptoms-examples/#ref
5
i. Patriarki adalah sistem dimana laki-laki membuat peraturan dan perempuan diletakkan
pada posisi subordinasi melalui berbagai cara, dan yang mana menciptakan dinamika
hubungan kekuasaan antara kedua jenis kelamin tersebut (Bhasin, 2006).
II. Metodologi
Dari keempat Kabupaten tersebut, hanya Wamena yang terletak di dataran tinggi, tiga
kabupaten lainnya berada di wilayah pesisir.
Tiga wawancara mendalam dilakukan dengan Ketua Adat di Suku Meakh, Doreri dan Serui; dan
satu wawancara dengan seorang tokoh masyarakat perempuan dari Wamena. Sebanyak 32 FGD
dilakukan di empat Kabupaten, dengan total 163 peserta berusia 15 hingga 55 tahun. Berikut
profil peserta FGD di masing-masing Kabupaten:
6
Tabel 2. Profil Peserta di Masing-Masing Wilayah Penelitian
Manokwari Sorong Jayapura Jayawijaya
FGD Perkotaan
Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan
(Manokwari
(Prafi) (Aimas) (Mayamuk) (Sentani) (Waibu) (Wamena) (Asalogaima)
Barat)
Laki-Laki
5 5 5 4 4 5 5 5
Dewasa
Perempuan
5 5 5 6 5 5 5 5
Dewasa
Laki-laki
5 5 6 5 5 7 5 5
Muda
Perempuan
5 5 5 5 5 7 6 5
Muda
Total
responden/ 20 20 21 18 19 24 21 20
Kabupaten
Total
163
responden
Untuk memfasilitasi interaksi dan diskusi, moderator FGD (terdiri dari anggota-anggota tim
penelitian) dibantu oleh masyarakat setempat yang berperan sebagai penerjemah. Asisten
penelitian turut mengambil bagian dalam FGD dengan membuat catatan dan bertindak sebagai
pengamat. Semua anggota tim peneliti diberikan pelatihan tentang Gender, Maskulinitas dan
kekerasan Berbasis gender, serta Metode Penelitian Lapangan sebelum penelitian lapangan
dilakukan. Tiap FGD dan wawancara mendalam berlangsung sekitar 1-2 jam. Data dikumpulkan
pada bulan Maret 2016. Panduan FGD dan wawancara mencakup pertanyaan tentang
pandangan peserta mengenai norma-norma seputar feminitas, maskulinitas, kesetaraan gender,
penyebab kekerasan terhadap perempuan, dan intervensi yang memungkinkan untuk mencegah
kekerasan terhadap perempuan.
7
Semua FGD dan wawancara mendalam direkam dengan ijin dari peserta. Semua peserta
menandatangani perjanjian Informed consent (pernyataan persetujuan) sebelum pelaksanaan
FGD dan wawancara mendalam. Untuk peserta anak muda (siswa), perjanjian Informed consent
dibuat untuk siswa dan guru yang bertanggungjawab. Setelah penjelasan tentang sifat dan
tujuan dari penelitian ini, peserta menandatangani perjanjian informed Consent dan mencatat
informasi pribadi mereka di dafatr hadir seperti: usia, pendidikan, kelas, dan pekerjaan saat ini.
Semua FGD dipimpin oleh peneliti dengan jenis kelamin yang sama dengan peserta, dengan satu
asisten penelitian yang berfungsi sebagai notulen dan pengamat.
Data dari FGD dianalisis menggunakan analisis tematik deskriptif, seperti yang dijelaskan oleh
Braun dan Clarke (2006). Pertama dibuat transkrip semua data, kemudian diberi kode
menggunakan Perangkat lunak (software) Open Code. Semua transkrip tang telah diberi kode
disortir kedalam tema potensial. Sebuah tema mewakili elemen penting dari data dalam
kaitannya dengan pertanyaan penelitian, dan tingkat pola respon atau makna dalam rangkaian
data (Braun dan Clarke, 2006).
Meskipun FGD merupakan metode utama dalam pengumpulan data, penelitian ini juga
menggunakan wawancara mendalam dan kajian dokumen dalam upaya meningkatkan
keandalan data melalui triangulasi – menggunakan bebagai metode pengumpulan data dan
berbagai sumber data.
8
Dari analisis data, beberapa tema dan sub-tema muncul yang mencerminkan nilai feminitas,
maskulinitas dan norma-norma penentu kekerasan terhadap perhadap perempuan. Secara
keseluruhan, 13 tema utama muncul dari transkrip, yang meliputi Menjadi Perempuan; Menjadi
laki-laki; Sebagai Perempuan; Sebagai laki-laki; Sebagai perempuan dalam hubungan intim
(Intimate relationships); Sebagai laki-laki dalam hubungan intim (intimate relationships);
Persepsi maskulinitas di kalangan perempuan; Persepsi feminitas di kalangan laki-laki;
Kesetaraan: Aspirasi perempuan dan harapan laki-laki; Maskawin adalah lisensi untuk
memukul; Di mana ada alkohol di situ ada pemukulan; Kekerasan sebagai sarana untuk
mengungkapkan emosi dan menerapkan kontrol; Persepsi kekerasan dalam rumah tangga di
kalangan perempuan dan lakilaki.
3.1.1. Feminitas
Menjadi seorang perempuan
Semua perempuan dewasa dan perempuan muda, baik dari daerah pesisir maupun dataran
tinggi, menyatakan bahwa gagasan keperempuanan (womanhood) berasal dari Berbagai
pengaruh yang berbeda, dimulai dari orang-orang dalam lingkungan keluarga (orangtua, ibu,
nenek, paman, bibi, dll), jaringan sosial (teman dan tetangga), adat setempat dan institusi lokal
(seperti gereja dan sekolah).
Kami belajar dari orangtua kami, dalam keluarga kami, gereja dan lainnya. Kami juga
mempelajarinya di sekolah, dari pendidikan, dari guru-guru kami. Jadi...di rumah...di
sekolah...Sampai kami punya anak sendiri, dan kemudian giliran kami yang
mengajarkan mereka tentang apa artinya menjadi seorang perempuan. (FGD dengan
perempuan dewasa di Wamena)
Saat kami tumbuh dewasa, kami diajarkan bagaimana menjadi perempuan sejati, oleh
orangtua kami...di sekolah, guru kami mengingatkan kami bagaimana menjadi dan
berperilaku seperti seorang perempuan yang baik. Di gereja, penginjil juga mengajarkan
kami...kami diajarkan tentang peran perempuan di rumah, di sekolah dan di gereja (FGD
dengan perempuan dewasa di Waibu, Jayapura)
Dari teman kami..... kadang mereka menceritakan masalah yang mereka hadapi kepada
kami, dan kami mendiskusikan apa yang bisa dilakukan oleh perempuan, pelajaran apa
yang bisa kami ambil dari permasalahan ini, dan kemudian kami praktekkan dan kami
laksanakan dalam hidup kami. (FGD dengan perempuan muda di Aimas, Sorong)
9
Berbagai instansi dan pihak yang mengajarkan anak perempuan tentang bagaimana menjadi
seorang perempuan mencerminkan pentingnya konstruksi sosial terhadap identitas perempuan,
yang dipraktekkan dalam keluarga, melalui interaksi sosial (dengan kelompok sebaya dan dalam
kelompok etnis), dan kemudian diperkuat melalui sekolah dan gereja. Identitas feminin
dibangun secara luas untuk memastikan bahwa perempuan tumbuh untuk mengambil peranan
yang diharapkan dalam masyarakat Papua (yang akan didiskusikan secara lebih rinci pada tema-
tema di bawah).
Perempuan memiliki kepribadian yang anggun, ramah dan bersahabat... … (FGD dengan
perempuan muda di Waibu)
Perempuan yang baik adalah perempuan yang sadar, dan percaya pada penciptaan
perempuan sesuai dengan Alkitab: Tuhan berkata, perempuan diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki, agar dapat mengakomodasi dan menolong orang lain. Jadi, seorang
perempuan memiliki sifat yang peduli...dia diciptakan untuk menolong, menjaga,
mengakomodir keluarganya, suaminya, anak-anaknya... itulah artinya menjadi seorang
perempuan yang baik... (FGD dengan perempuan dewasa di Sentani, Jayapura)
Perempuan yang baik tahu bagaimana berpakaian yang baik... berpakaian yang layak di
luar rumah, seperti lengan panjang, celana panjang; hindari memakai celana yang
pendek, bebas dari narkoba dan alkohol, dan hal-hal buruk lainnya (FGD dengan
perempuan muda di Wamena, jayawijaya)
Kepercayaan pada konsep ‘perempuan ideal’ tidak mengarah pada emansipasi, namun
subordinasi, dengan banyaknya batasan-batasan sosial dan harapan-harapan yang ‘terlalu
menuntut’.
Dalam kelompok perempuan muda dan dewasa, kami menemukan bahwa mayoritas peserta
mengemukakan ide yang kurang lebih sama tentang apa artinya menjadi seorang perempuan
dalam konteks Papua:
Mau protes? Sia-sia...tidak ada gunanya.... kamu hanya seorang perempuan... tidak
peduli apa yang kamu katakan, seberapa keras suaramu, kamu hanya seorang
perempuan... (wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat perempuan di
wamena)
…..seperti orang Papua di rumah adat kami, laki-laki boleh berbicara, perempuan tidak
boleh. Kebanyakan perempuan diatur untuk bekerja di dapur, melakukan peran
tradisional mereka. Perempuan tidak diperbolehkan untuk duduk di Rumah Pendopo,
10
umumnya laki-laki yang mengambil keputusan. Perempuan menyiapkan makanan di
dapur. (FGD dengan perempuan dewasa di Sentani)
• Batasan-Batasan Sosial
Banyak peserta perempuan yang berbicara tentang batasan-batasan sosial yang ketat, dalam hal
dimana cara mereka diharapkan berperilaku dan berpakaian, dan kapan mereka boleh atau tidak
boleh meninggalkan rumah:
Laki-laki bebas untuk pulang ke rumah pada jam 10, setelah main futsal. Mereka
beruntung. Tapi perempuan, hampir tidak pernah diperbolehkan main futsal (FGD
dengan perempuan muda di wamena)
Jika kami keluar dan pulang terlambat, sudah pasti kami akan dipukuli oleh orangtua
kami (FGD dengan perempuan muda di Waibu)
Jangan kenakan pakaian yang terbuka seperti tank top, atau celana pendek. Tidak
pantas untuk anak perempuan, kamu akan kelihatan seperti ‘wanita nakal’ (pelacur).
(FGD dengan perempuan muda di wamena, Jayawijaya)
Berbeda dari diskusi dengan laki-laki muda dan dewasa, perempuan sering menyebut tentang
halhal yang terkaitan dengan agama seperti gereja, penginjil, doa dan Tuhan. Perempuan
sepertinya memiliki hubungan yang lebih intens dengan agama, mencerminkan fakta bahwa
agama memainkan peranan yang penting dalam kehidupan perempuan Papua.
11
Sebagai perempuan dalam suatu hubungan intim
Semua masalah di atas (subordinasi, batasan sosial dan harapan yang terlalu menuntut),
diperkuat setelah perempuan masuk dalam hubungan intim dengan laki-laki, memperberat
tantangan yang diberikan oleh masyarakat pada mereka.
• Beban ganda
Dalam konteks rumah tangga, perempuan ditugaskan untuk memegang tanggung jawab
mengurus urusan rumah tangga, melayani suami, memberi makan dan merawat anak-anak,
serta memelihara babi dan mengurus pertanian. Tugas-tugas harian ini masih tetap harus
dipenuhi oleh perempuan, meskipun mereka punya pekerjaan di luar rumah, sehingga
menciptakan beban ganda bagi perempuan.
Biarpun perempuan punya pekerjaan di luar, dia tetap berkewajiban untuk mengatur
pekerjaan rumah tangganya, mengurus anak-anak dan melayani suami...termasuk
kebutuhan seksualnya. Cape sekali, tetapi perempuan harus memenuhi kewajibannya.
(FGD dengan perempuan dewasa di Manokwari Barat)
...merupakan tugas perempuan untuk membahagiakan keluarganya, memastikan
anakanak dijaga, suami terurus jika dia membutuhkan sesuatu dari istrinya, rumah
terawat...meskipun dia kerja di luar, dia tetap harus menjalankan tugasnya. (FGD
dengan perempuan dewasa di sentani)
...Perempuan di Papua memikul beban yang berat...perempuan wajib mencuci baju,
memasak dan menyiapkan makanan, membersihkan rumah...semua dilakukan tanpa
bantuan dari laki-laki...sejujurnya, semua ini melelahkan buat kami, dan kadang
menimbulkan emosi negatif...kemarahan...oleh sebab itu, perempuan harus ‘berbesar
hati’ dan melakukan tugas mereka dengan kerelaan. (FGD dengan perempuan dewasa
di Aimas, Sorong)
Perempuan yang hadir di FGD berbicara tentang konsekuensi jika gagal mengurus semua
pekerjaan rumah tangga – jika mereka terlambat menyiapkan makan malam, jika anak-anak
mereka nakal, dll.
Kami harus menyiapkan semua kebutuhan kerja buat suami, kemudian mencuci dan
masak. Pada jam makan siang, kami menunggu suami dan anak-anak kami pulang
untuk makan siang. Jika makanan belum siap saat mereka pulang, jika rumah masih
berantakan, saya akan dipukuli...dimarahi. Jadi, perempuan harus mengerjakan
tugasnya dengan baik; memasak, mencuci, segala sesuatu harus tersedia dengan baik di
rumah, barulah kami bisa istirahat. (FGD dengan perempuan dewasa di Waibu,
Jayapura)
Menjadi perempuan Papua itu susah. Kami diminta untuk mengerjakan banyak hal...
terlalu banyak tanpa ada bantuan, terutama dari laki-laki. Perempuan harus
menyelesaikan semua tugasnya sendiri, menjaga anak-anak, mengurus rumah, namun
tetap saja....kami tidak dihargai siapapun. (FGD dengan perempuan dewasa di Sentani)
12
• Perempuan sebagai objek seksual
Perempuan percaya bahwa tugas dan kewajiban utama mereka adalah menyenangkan suami
mereka dan menolak melakukannya bisa membuat suami mereka marah. Namun demikian,
perempuan seringkali merasa lelah setelah mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga
seharihari dan merasa tidak ingin berhubungan seks. Untuk alasan ini, perempuan hanya
berhubungan seks untuk menyenangkan suami mereka, bukan karena hasrat seksual atau
kesenangan mereka sendiri.
Seorang istri tidak berhak untuk menolak ajakan hubungan seks suaminya...istri wajib
menyenangkan suaminya, meskipun dia tidak berhasrat untuk melakukannya...terlalu
lelah mengerjakan banyak hal, mereka tidak berhasrat untuk berhubungan seks. Tapi,
daripada ditinggal demi perempuan lain atau dimarahi....lebih baik melakukan apa yang
diinginkan oleh suami. (FGD dengan perempuan dewasa di Prafi)
Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, jadi perempuan harus melayani laki-
laki, dimanapun dan kapanpun dia ingin berhubungan seks...bahkan pada saat dia
sedang mabuk...Laki-laki sudah membayar kami dengan maskawin...kami takut jika
kami menolak permintaan hubungan seks mereka, mereka akan memukul kami. (FGD
dengan perempuan dewasa di wamena)
Seorang istri meminta hubungan seks...? Yah, secara budaya itu tabu...perempuan malu
untuk meminta berhubungan seks... atau mereka tidak punya hasrat seks....lebih umum
buat istri menawarkan untuk melayani suaminya secara seksual sebelum dia tidur.
Pertanyaannya selalu disampaikan dengan hati-hati, dengan cara yang baik sehingga
suami tidak marah. Jadi...pada dasarnya, istri melayani hasrat seksual suaminya... (FGD
dengan perempuan dewasa di Aimas).
Perempuan hampir tidak pernah memikirkan tentang seks, sangat jarang mereka minta
berhubungan seks...perempuan hanya berhubungan seks untuk menyenangkan
suaminya...jika suami sakit, istri tidak diharapkan untuk melayani...begitulah
kondisinya...” (FGD dengan perempuan dewasa di Manokwari Barat)
Sentimen seperti ini sangat umum di kalangan kelompok perempuan dewasa, namun gagasan
yang diungkapkan oleh kelompok perempuan muda lebih progresif – mengeluhkan tentang
pacar yang kasar dan melaporkan mereka ke pihak yang berwenang.
Sangat biasa buat laki-laki untuk meminta berhubungan seks saat baru mulai pacaran
dengan perempuan, dan mereka akan memukul perempuan jika menolak. Kalau sudah
seperti itu, lebih baik cari pacar lain...perempuan harus menolak jika mereka tidak ingin
berhubungan seks, dan jika pacarnya memukulnya, mereka harus melawan” (FGD
dengan perempuan muda di Asologaima)
“Tidak hanya laki-laki – perempuan juga boleh minta untuk mencium laki-laki...dan jika
ada masalah dalam hubungan dan pacar memukul perempuan, perempuan harus balas
memukulnya atau memutuskan hubungan...” (FGD dengan perempuan muda di Sentani)
Dari penuturan di atas, kita dapat melihat bahwa perempuan diharapkan untuk memenuhi
kebutuhan seksual laki-laki dan dibesarkan dengan keyakinan bahwa itu adalah peran mereka.
Apakah menikah atau tidak, posisi tawar perempuan dalam sebuah hubungan sangat lemah.
13
• Penyangkalan terhadap kebutuhan seksual
Perempuan percaya bahwa, dalam konteks hubungan intim, peran utama mereka adalah
memenuhi tuntutan seksual laki-laki. Sementara, perempuan hampir tidak pernah
membicarakan atau memenuhi kebutuhan seksual mereka sendiri, bahkan seringkali
menyangkalnya.
Sangat jarang, hampir tidak pernah, perempuan membicarakan tentang kebutuhan seksual
mereka sendiri. Perempuan juga percaya bahwa perempuan yang memulai hubungan seks
itu tidak tahu malu. (FGD dengan perempuan dewasa di Wamena)
...dalam perkawinan, perempuan jarang meminta berhubungan seks dengan suaminya,
mereka terlalu malu untuk mengungkapkan hasrat seks mereka, takut dicap sebagai
perempuan yang tidak baik. Mungkin perempuan memang tidak perlu seks. (FGD
dengan perempuan dewasa di Manokwari Barat)
Di Papua, perempuan tidak pernah meminta berhungan seks dengan pasangan atau
suami mereka. Perempuan yang melakukannya dicap sebagai ‘perempuan nakal’ dan
memalukan buat perempuan disamakan seperti itu. (FGD dengan perempuan dewasa di
Prafi)
Pernyataan-pernyataan tersebut menyoroti bagaimana seksualitas perempuan dibentuk dan
ditekan secara kultural. Tidak ada ruang yang memungkinkan perempuan untuk dapat
mengekspresikan hak mereka atas hubungan seks, atau gagasan bahwa mereka juga memiliki
hasrat dan kebutuhan seksual, bahkan dalam suatu hubungan intim dengan pasangan mereka.
...meskipun mungkin kita benar, lebih baik setuju dengan pendapat suami kita daripada
beresiko dipukuli olehnya karena dia berpikir kita membantah atau
menentangnya...seorang istri harus mengalah... (FGD dengan perempuan dewasa di
Sentani)
14
• Menjaga kehormatan dan harta benda suami
Perempuan diharapkan mampu mengelola harta benda suaminya dengan berbagai cara yang
berbeda – termasuk kemampuan untuk mengelola pendapatan dan asset lainnya, meskipun
diharapkan untuk bermurah hati terhadap keluarga besar suaminya.
Seorang istri harus bisa mengelola uang yang diberikan oleh suaminya – sebagian
digunakan untuk keperluan rumah dan sebagian ditabung saat kita tidak punya apa-apa
di rumah. Merupakan tanggung jawab istri...itu sebabnya mengapa kami terus berdoa
kepada Tuhan dan memintaNya melindungi keluarga dari penderitaan... kadang suami
lupa, dan dia tidak membawa pulang uang...istri yang bijak harus berdoa...dan
membuat kerajinan tangan, dan jika semua sudah selesai, dia bisa keluar mencari
sesuatu (menjual kerajinanya) untuk keluarganya. (FGD dengan perempuan dewasa di
Waibu, Jayapura)
Di sini, martabat seorang laki-laki ditentukan dari kekayaannya. Babi adalah bagian dari
kekayaan seorang laki-laki, dan seorang laki-laki dengan seorang istri yang baik yang
bisa mengurus babi-babi mereka dengan baik, bisa merasa bangga. Laki-laki bangga
dengan harta bendanya dan bahwa hartanya dikelola dengan baik oleh istrinya. Dan
seorang istri yang baik juga mampu menyenangkan keluarga besar suaminya,
menghidangkan makanan dan minuman yang enak bagi mereka. (FGD dengan
perempuan dewasa di Wamena)
Perempuan juga diharapkan untuk menjaga kehormatan suaminya dengan tetap setia.
Ketidakmampuan untuk memenuhi standar ini akan berakibat pada kemarahan dan pemukulan
yang parah.
Hamil dan kemudian melahirkan, dan menyususi bayinya adalah masa paling
membahagiakan bagi perempuan. Dianggil “mama” oleh anak-anak kami membuat
kami merasa sangat bangga sebagai seorang perempuan. (FGD dengan perempuan
dewasa di Sentani, Jayapura)
Menjadi seorang ibu sangatlah penting bagi identitas perempuan Papua – mereka merasa
sangat nyaman dengan kemampuan mereka untuk melahirkan sebuah kehidupan baru dan
membesarkan seorang bayi baru lahir.
15
Persepsi maskulinitas di kalangan perempuan
Kami meminta pendapat perempuan muda dan dewasa mengenai teman sebaya laki-laki atau
laki-laki dewasa di sekitar mereka dalam kehidupan sehari-harinya. Respon mereka membantu
kami memahami persepsi mereka tentang maskulinitas. Berikut temuan-temuan utama kami:
Laki-laki egonya besar dan suka mengontrol segala sesuatu dalam hubungan, dan jika
perempuan membantah atau tidak mendengarkan perkataan mereka, laki-laki
mengeluarkan kata-kata yang kasar: “Tidak tahu malu!”... (FGD dengan perempuan
muda di Aimas)
Perempuan harus membicarakan dengan suaminya terlebih dahulu jika dia ingin
menggunakan kontrasepsi. Perempuan tidak bisa memutuskannya sendiri...laki-laki
yang mengambil keputusan...juga dalam hal berapa anak yang harus mereka punyai...
(FGD dengan perempuan dewasa di Manokwari Barat)
Jika suami ingin seks, perempuan tidak boleh bilang “sabar, saya akan melayanimu
nanti”... ini bisa membuatnya marah. Perempuan harus menjawab seperti , “OK saya
akan melayanimu dalam satu atau dua jam dari sekarang”. (FGD dengan perempuan
dewasa di Wamena)
Seorang suami akan merasa tersinggung jika istrinya tidak mendengarkannya... dia akan
memukul istrinya. Dan jika istri menolak untuk memenuhi permintaan seksualnya, dia
akan marah dan memukulinya. (FGD dengan perempuan dewasa di Sentani)
16
Narasi diatas mencerminkan gagasan bahwa kekerasan pasangan intim sangat erat kaitannya
dengan tuntutan seksual laki-laki: jika perempuan menolak tuntutan mereka, perempuan akan
dipukuli.
Selalu suami yang meminta hubungan seks, dan perempuan wajib memenuhi
permintaan mereka, dimanapun mereka mau... bagaimanapun mereka mau... (FGD
dengan perempuan dewasa di Waibu)
Mabuk atau tidak, laki-laki menuntut perempuan harus selalu siap untuk berhubungan
seks dengannya... (FGD dengan perempuan dewasa di Prafi)
Kebanyakan anak laki-laki sudah berhubungan seks. Anak laki-laki suka memegang dan
melecehkan anak perempuan dan perempuan dewasa... mereka licik... mereka punya
banyak akal untuk perangkap perempuan agar mau berhungan seks dengan mereka.
(FGD dengan perempuan muda di Aimas)
Namun demikian, perempuan pada kelompok muda memiliki pandangan yang lebih progresif
dan mengungkapkan pendapat bahwa perempuan juga bisa memulai hubungan seks.
Perempuan muda memiliki pandangan yang lebih terbuka untuk melaporkan laki-laki yang jahat
kepada pihak yang berwenang.
Kamu bisa menghindari laki-laki yang agresif, dan jika mereka terus melecehkan atau
mencoba memperkosamu, atau memperkosamu...kamu bisa mendatangi pemimpin
adat dan membuat pengaduan resmi sehingga dia dikenakan denda. (FGD dengan
perempuan muda di Wamena).
Kebanyakan laki-laki, mereka tidak pandai menyampaikan apa yang mereka pikirkan
atau rasakan...dan kesulitan mengekspresikan diri...jadi mereka mabuk-mabukan agar
dapat mengungkapkan perasaan mereka... (FGD dengan perempuan dewasa di
Manokwari Barat)
Saya dengar laki-laki menganggap alkohol “sangat berguna” dan sering
menggunakannya untuk berbagai alasan... minum dapat membantu mereka melupakan
masalah yang dihadapi, dan membuktikan bahwa mereka adalah laki-laki sejati. (FGD
dengan perempuan muda di Aimas)
Mereka juga mengamati bahwa pada saat laki-laki minum, mereka menjadi lebih impulsif,
mudah marah dan menjadi kasar. Banyak perempuan yang melaporkan bahwa pada saat suami
17
mereka pulang dalam keadaan mabuk mereka sementara keluar dari rumah untuk menghindari
tindakan kekerasan.
Nah, jika dia pulang dalam keadaan mabuk...lebih baik keluar dari rumah... mungkin ke
rumah tetangga, untuk sementara, demi keamanan diri... tundukkan kepala dan hindari
gelas atau benda berat yang dilempar kearahmu...”. (FGD dengan perempuan dewasa di
Manokwari Barat)
Kadang saudara laki-laki kami mabuk di luar, meskipun dia sebenarnya orang yang baik,
dia mabuk karena terpengaruh oleh teman sebayanya... jadi pada saat dia pulang ke
rumah dia jadi kasar, dia memukuli adik perempuannya yang tidak bersalah. (FGD
dengan perempuan muda di Waibu)
Secara keseluruhan, pandangan perempuan mengenai maskulinitas mencerminkan pengalaman
mereka hidup dalam kondisi yang tidak aman. Perempuan menganggap laki-laki sebagai sosok
yang gelisah dan sulit ditebak, yang menimbulkan perasaan rentan, terutama dalam pengertian
bahwa orang yang tinggal bersama mereka, orang yang ditunjuk sebagai pemimpin mereka,
tidak sanggup memberikan lingkungan tinggal yang tenteram, aman dan tenang.
3.1.2. Maskulinitas:
Menjadi laki-laki
Konsep bagaiman anak laki-laki belajar menjadi laki-laki dewasa dalam masyarakat Papua agak
berbeda dari apa yang disampaikan oleh kelompok perempuan. Anak laki-laki terutama belajar
dari keluarganya, terutama melalui interaksi dengan ayahnya. Ayah-ayah Papua seringkali
memakai gaya pengasuhan yang bersifat menghukum terhadap anak laki-laki mereka, dengan
tujuan untuk mengajarkan mereka menjadi lebih mandiri, kuat secara fisik maupun mental, dan
mampu menghasilkan uang untuk kebutuhan keluarga. Seorang laki-laki muda di Papua diajari
ayahnya untuk menghadapi tuntutan fisik pekerjaan di lapangan dan mengelola lahan pertanian.
Sebagai seorang laki-laki muda di Papua, terutama di Wamena, saat pulang dari
sekolah, kami diharapkan untuk bekerja di ladang dan membantu orangtua kami
bercocok tanam. (FGD dengan laki-laki muda, Asologaima)
Orangtua kami mengajarkan kami bagaimana cara membuat pagar kayu untuk kebun.
Pagarnya harus tajam di ujungnya dan memiliki bentuk tertentu di bagian atas dan
bawahnya. Kami juga belajar cara membangun ‘Honai’ (rumah tradisional Papua) untuk
laki-laki dan perempuan. Setiap Honai, untuk laki-laki atau untuk perempuan, punya
bentuk yang berbeda. Kami harus paham di mana letak dapur dan sekat ruangan.(FGD
dengan laki-laki muda, Asologaima)
Saat seorang perempuan menikahi seorang laki-laki, dia meninggalkan rumah keluarganya
dan menjadi milik suaminya. Tapi untuk laki-laki seperti kami,itu berbeda. Kami tinggal
dengan keluarga dan menjaga orangtua kami. Kami melindungi suku kami dan menjadi
tulang punggung keluarga. (FGD dengan laki-laki muda di Asologaima)
Orangtua kami lebih senang punya lebih banyak anak laki-laki daripada anak
perempuan, untuk membantu mengangkat barang-barang berat di rumah. Itu sebabnya
orangtua memilih kami (FGD dengan laki-laki muda di Waibu)
18
Saat mereka tumbuh menjadi remaja, anak laki-laki diharapkan untuk bisa menyesuaikan diri
dengan norma-norma teman sebayanya – mulai merokok dan minum minuman beralkohol, tato
tubuh mereka, merayu perempuan dan mulai berhubungan seks.
Teman laki-laki kami mengundang kami untuk bergabung dengan mereka. Mereka
menantang kami dengan pertanyaan seperti “kamu ini perempuan atau laki-laki? Kalau
kamu mau jadi laki-laki, kamu harus minum, jadi ayo kita minum”. (FGD dengan laki-laki
muda di Sentani)
Teman kami selalu bilang bahwa laki-laki yang pemberani minum minuman beralkohol –
kalau kamu tidak minum, kamu kayak perempuan. (FGD dengan laki-laki muda di
Sentani)
Laki-laki di kota ini dianggap ‘jantan’ kalau mereka merokok, minum minuman
beralkohol, tidak kenal takut saat berkelahi dan bisa membunuh, dan sebagainya. (FGD
dengan lakilaki muda di Wamena)
Mengapa kami merokok dan minum? Karena persahabatan. Alkohol dan rokok
membantu kami cari kawan. Sulit untuk menolak ajakan ini meskipun kami sadar
tindakan ini merugikan. (FGD dengan laki-laki muda di Aimas)
Menjadi seorang laki-laki dalam konteks ini, berarti sesuai dengan dan mengukuhkan kembali
tradisi dan norma-norma sosial maskulinitas di Papua. Akibatnya, bagi mereka yang ingin
dianggap sebagai laki-laki sejati, maskulinitas adalah standar moral untuk bersosialisasi. Dimulai
sejak lahir, dan dipengaruhi melalui agen sosialisasi utama seperti keluarga, teman sebaya dan
kelompok etnis.
Sebagai laki-laki
Dari FGD kami belajar tentang bagaimana sikap dan perilaku laki-laki – yang terbentuk oleh
norma budaya maskulinitas – berdampak pada kehidupan baik laki-laki maupun perempuan
dalam masyarakat Papua. Pandangan laki-laki mengenai peran mereka dalam masyarakat, dan
cara di mana mereka dikondisikan untuk mengambil peranan tersebut, sangatlah berbeda dari
perempuan.
Orang Papua percaya bahwa laki-laki akan berperan sebagai kepala rumah tangga, prajurit yang
akan menjaga dan melindungi klannya. Oleh sebab itu, laki-laki merasa memiliki hak yang harus
dipenuhi, berhak untuk tidak dibatasi dalam pergaulan, dan harus diayani oleh perempuan.
Suatu hari saya pergi ke kota, saya bertemu dengan seorang perempuan, saya sangat
suka sama dia dan ingin mengejarnya. Astaga! Sepertinya saya suka sama dia. Kadang,
kalau kita suka sama seorang perempuan, kita menyapanya dengan spontan. Saya
bilang “Hi, saya suka kamu”. Saya meraih tangannya dan menghentikan dia. Saya bilang
sama dia saya suka sama dia. ini terjadi saat kami ketemu di jalan. Saya meminta dia
untuk tidur dengan saya di rumah saya malam itu. (FGD dengan laki-laki muda di
Asologaima)
19
Laki-laki berhak untuk dilayani... laki-laki harus dilayani oleh perempuan. Perempuan
harus menyapa suaminya saat dia pulang dari tempat kerja dan menyajikannya
makanan dan minuman... ini normal di Papua. (FGD dengan laki-laki dewasa di Sentani)
• Posisi istimewa
Laki-laki diberi tingkat tanggung jawab yang tinggi, ditunjuk oleh suku atau masyarakat mereka,
dan harus berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka anggap sebagai hak mereka. Laki-laki
harus bekerja keras untuk mendapatkan kekayaan, pengakuan publik dan reputasi yang baik,
memiliki akses ke agen atau pihak yang berbeda yang memungkinkan untuk pembentukan
kejantanannya.
Akibatnya, laki-laki diberikan hak istimewa tertentu oleh suku atau masyarakatnya yang
melambangkan kehormatan dan prestisenya. Seorang kepala suku bisa punya hingga sepuluh
atau dua puluh orang istri, dan dia berhak untuk meminta mereka memenuhi tuntutannya. Dia
bisa mendapatkan banyak uang dan properti.
Anak laki-laki mendapat hukuman yang lebih berat daripada anak perempuan karena
anak laki-laki diharapkan untuk meneruskan peran kepala keluarga, diharapkan menjadi
mencari nafkah keluarga... tapi anak laki-laki posisinya lebih istimewa dalam keluarga,
punya lebih banyak kebebasan untuk bermain di luar... (FGD dengan laki-laki muda di
Waibu)
Dalam keluarga yang sama, anak laki-laki dilatih secara fisik dan dihukum lebih keras
daripada anak perempuan. Sulit menjadi laki-laki di sini karena laki-laki adalah penjaga
sukunya. Meskipun demikian, saat mereka dewasa, mereka punya lebih banyak waktu
luang dan bisa kumpul dengan teman-temannya untuk minum-minum, diurus oleh
pasangannya, dan bisa punya banyak istri (poligami). (FGD dengan laki-laki muda di
Asologaima)
Seorang kepala suku harus punya lebih dari dua orang istri. Pak D, kepala suku kami
yang sebelumnya dan juga kepala Kabupaten Manokwari, punya 15 orang istri. Hal ini
karena dia harus mengelola dan mengatur warganya dan kekayaannya. Dengan
memiliki banyak istri, membuat pekerjaannya sebagai kepala suku lebih mudah. Istri-
istrinya membantu dia mengerjakan pekerjaannya. (wawancara mendalam dengan
Ketua Adat dari Meakh Arfak)
Kisah yang diungkapkan oleh laki-laki dalam studi ini mencerminkan gagasan bahwa laki-laki
Papua dilatih sejak kecil dan tumbuh dengan kesadaran bahwa mereka istimewa – bahwa
mereka memiliki hak prerogatif tertentu (dibandingkan dengan perempuan) yang melekat pada
status mereka sebagai penjaga suku.
Poligami sebagai alat politik untuk memperluas daerah teritorial dan kekayaan
Memiliki lebih dari satu istri bagi seorang pemimpin klan Papua bukan hanya masalah hak
istimewa, tapi juga masalah politik. Dengan menikahi lebih banyak perempuan, klan tersebut
bisa memperluas daerah teritorialnya. Dalam hal ini, bagi beberapa klan, perempuan dilihat
20
sebagai asset yang berharga karena perempuan memungkin mereka untuk mengakses
sumber kekuasaan dan kekayaan yang lebih luas dan lebih besar.
“Mengapa punya banyak anak merupakan keuntungan? ...karena hak waris saya terjamin.
Laki-laki Papua lebih suka punya banyak anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Kedua, saya bisa memperluas kampung saya dan di sini di Papua masih banyak lahan dan
hutan. Dengan memiliki banyak anak, saya bisa menugaskan mereka untuk mengurus
kampung baru, yang kenyatannya, pemilik sebenarnya adalah saya, ya kan? Jadi, itu
keuntungannya. Sama seperti pak X, dia adalah kepala kabupaten, sekarang dia sedang
mempersiapkan diri untuk kampanye jadi Gubernur. Ayahnya adalah seorang kepala suku
yang punya banyak istri... 15 istri, dan banyak anak... jika kamu berperang, istri dari kampung
lain akan membantumu dengan mengirim orang-orangnya ikut perang sukumu. Kamu juga
bisa menyatukan orang-orang dari suku atau wilayah yang berbeda untuk bergabung dengan
masyarakat atau keluargamu dengan cara menikahi perempuan dari suku atau wilayah
tersebut. Itulah salah satu keuntungan punya banyak istri...”
Memiliki banyak anak laki-laki berarti kedepannya, suku akan punya banyak penjaga yang
akan melindunginya dan mempertahankan kekuasaan serta teritorinya. Sementara punya
banyak anak perempuan berarti bahwa kedepannya sukunya bisa meningkatkan
kekayaannya karena mendapatkan uang dan properti dari maskawin yang dibayarkan oleh
keluarga penganten lakilaki saat mereka melamar untuk menikahi anak perempuannya.
(Wawancara mendalam dengan Ketua Adat Klan Meakh)
Saat kami minum dan pakai obat-obatan, kami tidak berpikir jauh, tentang kesehatan
kami, tentang bagaiman alkohol dan obat-obatan mempengaruhi tubuh dan
kesejahteraan kami...kami tidak memikirkannya. Kami hanya mau ikut teman saja. (FGD
dengan laki-laki muda si Asologaima)
Apa yang kamu lakukan sebagai laki-laki sejati? Seorang laki-laki akan sering meminta
uang dari orang-orang di jalan. Jika tidak diberi, dia akan marah dan menonjok mereka.
(FGD dengan laki-laki muda di Sentani).
Jelas bahwa laki-laki diharapkan untuk bertindak sesuai dengan norma-norma maskulitas dan
punya kualitas tertentu untuk menguatkan posisinya dalam ranah publik. Dia juga diposisikan
menjadi jembatan antara keluarganya dengan masyarakat. Dalam sebuah kelompok suku,
seorang ‘laki-laki sejati’ digambarkan sebagai seorang pemimpin atau sosok yang penting dalam
masyarakat, seseorang yang menjadi seorang pejuang dan memegang kekuasaan. Dia memiliki
21
akses ke semua sumber alam dan memegang kewajiban penuh untuk perlindungan kelompok
sukunya. Inilah harapan bagi laki-laki Papua.
Kalau menyangkut masalah pacaran, saya rasa laki-laki selalu yang duluan meminta
hubungan seks. (FGD dengan laki-laki muda di Waibu)
Ketika laki-laki bertemu (dengan pacarnya) dia akan meminta berhubungan seks...jika
pacarnya menolak, tidak peduli, maka jelas hubungan ini tidak akan langgeng. Jika
perempuan mencintai laki-laki dan ingin agar hubungannya berjalan baik, maka mereka
harus memenuhi tuntutan kami...” (FGD dengan laki-laki dewasa di Manokwari Barat)
Pada kelompok yang lebih muda, sebagian anak laki-laki berbicara tentang kemungkinan anak
perempuan yang memulai seks, namun sebagian besar dari mereka masih memegang
pandangan tradisional bahwa laki-lakilah yang seharusnya meminta berhubungan seks.
22
Penuturan yang disampaikan oleh laki-laki dalam penelitian ini mencerminkan kesadaran yang
penting akan tanggung jawab mereka terhadap keluarganya.
• Pemimpim
Mayoritas laki-laki yang hadir di FGD percaya bahwa masyarakat Papua, suku-sukunya, klan dan
keluarga harus dipimpin oleh laki-laki. Laki-laki memegang kekuasaan dan membuat peraturan,
sebagai penjaga dan pelindung masyarakat.
Laki-laki ada di nomor satu, yang paling penting... mereka adalah pelindung keluarga
dan desa... mereka punya hak untuk memerintah dan membuat keputusan. (FGD
dengan lakilaki dewasa di Wamena)
Dalam hubungan intim, seks adalah keputusan laki-laki. Tentu saja perempuan juga bisa
memulai seks, tapi laki-laki yang memutuskan. Laki-laki akan memutuskan mau
melakukannya atau tidak, atau mungkin berjanji untuk melakukannya keesokan harinya
atau pada hari lainnya... itu adalah keputusan laki-laki. (FGD dengan laki-laki dewasa di
Manokwari Barat)
Laki-laki adalah kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Dia wajib mengawasi istrinya,
memutuskan apa yang harus dilakukan istrinya untuk keluarga... bukan sebaliknya...
dan oleh sebab itu perempuan tidak boleh menghentikan suaminya jika dia ingin
menikahi perempuan lain... (FGD dengan laki-laki dewasa di Mayamuk)
Gambaran di atas mencerminkan kenyataan bahwa laki-laki Papua sadar akan kekuasaan dan
tanggung jawab mereka untuk memimpin dan melindungi sukunya, seperti yang diamanatkan
oleh masyarakat suku. Status istimewa mereka juga memberikan laki-laki hak untuk
menggunakan kekuasaan mereka dalam rumah tangga dan dalam interaksi mereka dengan
keluarganya.
Secara umum, kami belajar dari orangtua kami... kebanyakan anak-anak melakukan apa
yang dilakukan oleh orangtua mereka... di daerah terpencil, ayah pergi berburu, dan
meminta anak laki-lakinya untuk ikut dengannya... supaya anak laki-lakinya belajar
berburu. (FGD dengan laki-laki dewasa di Manokwari Barat)
Ayah membimbing anak laki-lakinya supaya kedepannya mereka dapat mengerjakan
pekerjaan laki-laki. Sementara, anak perempuan dibimbing oleh ibunya... (FGD dengan
laki-laki dewasa di Manokwari Barat)
Ayah adalah panutan bagi anak laki-lakinya yang berarti ayah bertanggung jawab untuk
mendidik anak laki-laki dalam keluarga. Anak laki-laki, pada kenyataannya, menderita
penganiayaan yang berat dari ayah mereka karena mayoritas ayah Papua mempraktekkan gaya
pengasuhan besifat hukuman terhadap anak laki-laki mereka.
23
Di dalam keluarga, anak laki-laki dihukum lebih berat daripada anak perempuan karena
anak laki-laki diharapkan mewarisi peran kepala keluarga, diharapkan untuk melindungi
kekayaan keluarga... (FGD dengan laki-laki muda di Waibu)
Dalam keluarga yang sama, anak laki-laki dilatih secara fisik dan dihukum lebih keras
daripada anak perempuan. Sulit menjadi laki-laki di sini karena laki-laki adalah penjaga
sukunya. (FGD dengan laki-laki dewasa di Asologaima)
Gaya pengasuhan yang keras yang diterapkan oleh ayah Papua mungkin memiliki hasil yang
positif di mata orangtua Papua. Namun demikian, mungkin ada konsekuensi negatif bagi laki-laki
dikemudian hari karena mereka ‘telah dilatih untuk berperilaku keras’ sejak usia muda.
• Kepatuhan
Perempuan Papua diharapkan untuk bekerja keras mengurus rumah tangga dan anak-anaknya.
Apapun yang diminta oleh suaminya, mulai dari masalah rumah tangga sehari-hari hingga
permintaan seksual, perempuan diharapkan untuk memenuhinya.
Seorang istri harus siap berhubungan seks, kapanpun suaminya memintanya... dia harus
memenuhinya, mendengarkan suaminya, dan tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang
kasar... (FGD dengan laki-laki dewasa di Prafi)
Hal yang paling penting bagi perempuan adalah membuat suaminya bahagia. Laki-laki
akan merasa bahagia jika mereka punya kehidupan seks yang baik. Ya, perempuan
sudah mengurus masalah rumah tangga, tapi mereka tidak boleh lupa memperhatikan
kebutuhan terpenting laki-laki. (FGD dengan laki-laki dewasa di Manokwari Barat)
Saya setuju...perempuan harus melayani laki-laki. Saat laki-laki lelah melakukan
pekerjaannya di siang hari, istri harus memijatnya, ini normal... (FGD dengan laki-laki
dewasa di Sentani)
Gagasan yang disampaikan di FGD mencerminkan fakta bahwa masyarakat Papua bersifat
patriarki dan perempuan dipandang sebagai subordinasi dan harus patuh dan tunduk pada
lakilaki. Hal ini jelas menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan dalam
masyarakat.
24
mencuci baju kami, memuaskan atau melayani kebutuhan kami... bagi laki-laki, hal yang
terpenting adalah kepuasan seks. (FGD dengan laki-laki dewasa di Manokwari Barat)
Tentu saja perempuan juga bisa bekerja di luar rumah seperti laki-laki, tapi mereka juga
harus memahami bahwa semua masalah rumah tangga masih menjadi tanggung
jawabnya. (FGD dengan laki-laki dewasa di Sentani)
Sentimen tersebut mencerminkan fakta bahwa laki-laki Papua mengharapkan perempuan
mendedikasikan diri mereka bagi rumah tangga, keluarga dan suaminya.
• Budak seks
Hail temuan dari kelompok laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa seks sangat penting
bagi laki-laki Papua. Hal ini terlihat jelas dari respon yang diberikan laki-laki.
Saat saya bertemu dengan perempuan yang saya suka, saya harus tidur dengannya.
Buat saya, saat saya mencari pacar, tujuan saya adalah agar punya anak. Jika dia hamil
saya akan menikahinya. Jadi saya harus menghamilinya. Jika saya mendapat hukuman
dari keluarganya karena hal ini, saya cukup bayar denda saja. (FGD dengan laki-laki
muda di Asologaima)
Hal terpenting bagi perempuan adalah membuat suaminya bahagia. Seorang laki-laki
akan merasa bahagia saat kebutuhan seksualnya terpuaskan oleh istrinya. Jadi istri akan
mengurus segala sesuatu di rumah, dia mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga,
tapi yang paling penting adalah melayani kebutuhan seksual suaminya. (FGD dengan
lakilaki dewasa di Manokwari Barat)
Jika istri menolak berhubungan seks, bagaimana laki-laki bisa memuaskan kebutuhan
seksualnya? Yah... dapatkan dari luar! Istri meninggalkan kami, atau kami
meninggalkan istri... kami, laki-laki meninggalkan mereka. Ini hal yang sangat umum di
sini... kami meninggalkan istri kami untuk mencari perempuan lain yang bisa
memuaskan kebutuhan kami. (FGD dengan laki-laki dewasa di Mayamuk)
Respon-respon tersebut menunjukkan sikap laki-laki terhadap perilaku seksual dan tuntutan
seksual terhadap perempuan. Perempuan Papua sangat rentan, tidak hanya dalam suatu
hubungan intim, namun juga dalam masyarakat, karena posisi tawar mereka yang lemah.
25
Kesetaraan adalah ketika seorang perempuan menikahi seorang laki-laki berdasarkan
perasaan saling mencintai...bukan cinta sepihak, atau dijodohkan antar keluarga... (FGD
dengan perempuan dewasa di Waibu)
Kesetaraan adalah saat laki-laki dan perempuan mengurus rumah tangga mereka
bersama-sama, laki-laki membantu perempuan membesarkan anak-anak, saling
membantu menyiapkan kayu bakar, keduanya mencari uang untuk keluarga... (FGD
dengan perempuan dewasa di Prafi)
Kesetaraan adalah... laki-laki dan perempuan saling membantu dan saling melengkapi,
mengurus masalah rumah tangga secara berdampingan... (FGD dengan perempuan
dewasa di Sentani)
Sementara, kelompok perempuan muda memandang kesetaraan tidak hanya terbatas pada
masalah berbagi tanggung jawab rumah tangga, namun juga juga akses yang sama terbadap
berbagai kesempatan, seperti pendidikan dan pekerjaan.
Kesetaraan adalah ketika kamu tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan
dalam dunia kerja. Perempuan bisa berpartisipasi di tempat kerja seperti halnya laki-
laki; mereka berhak atas itu (FGD dengan laki-laki dewasa di Prafi)
Jaman sekarang, laki-laki dan perempuan berbagi tanggung jawab untuk mencari
nafkah, keduanya bisa bekerja di luar... itulah makna dari kesetaraan. Kesetaraan juga
berarti mendiskusikan keputusan yang perlu diambil dengan istrimu... jadi kesetaraan
berarti saling membantu satu sama lainnya. (FGD dengan laki-laki dewasa di Mayamuk)
Pada dasarnya laki-laki dan perempuan saling melengkapi satu sama lainnya; tidak ada
yang lebih sempurna daripada yang lainnya. Namun, jika suami tidak puas dengan
kehidupan seksnya, dia akan mencari perempuan lain... Karena wajar saja, laki-laki
harus dilayani secara seksual oleh perempuan... (FGD dengan laki-laki dewasa di
Manokwari Barat)
26
Gambaran di atas menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan menterjemahkan kesetaraan
secara berbeda. Laki-laki Papua bisa menerima gagasan tentang kesetaraan kesempatan bagi
lakilaki dan perempuan dalam kehidupan publik, namun masih menganggap ranah domestik
hanya untuk kaum perempuan.
Yah, jika (laki-laki) telah melunasi maskawinnya kepada keluarga perempuan, dia bisa
melakukan apa saja yang dia mau terhadap istrinya... (FGD dengan laki-laki dewasa di
Manokwari Barat)
Begitu maskawin lunas, perempuan wajib bekerja keras dan melahirkan anak. Dia tidak
lagi memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan tentang kehidupannya... dia harus
bertanya pada suaminya, bahkan ketika dia ingin berkunjung ke rumah orantuanya
sendiri. (FGD dengan perempuan dewasa di Prafi)
Jika ada kekerasan terhadap istri, selama maskawin belum lunas dibayar oleh suami,
istri bisa kembali ke rumah orangtuanya dan mencari perlindungan dan menjatuhkan
denda pada suami. Tapi begitu lunas dibayar... istri tidak bisa berbuat apa-apa. (FGD
dengan perempuan dewasa di Waibu)
Perempuan dalam FGD menjelaskan bahwa jika maskawin dibayar melalui cicilan, suami mereka
tidak punya hak ‘kepemilikan’ penuh atas istrinya sampai maskawinnya lunas dibayarkan.
Dengan kata lain, mereka tidak memiliki ‘lisensi penuh’ untuk memperlakukan istri mereka
dengan cara yang mereka inginkan, yang artinya untuk sementara istri aman dari penganiayaan
suaminya.
Awalnya, maskawin dimaksudkan sebagai tanda penghargaan dari pengantin laki-laki dan
keluarganya kepada keluarga perempuan karena telah menjaganya selama ini. Makna ini
perlahan semakin terkikis, dan sekarang menandakan ‘pembelian’ istri yang akan melayani sang
pembeli (suami). Di Papua, terutama diantara suku-suku di dataran tinggi, praktek membayar
maskawin masih dipegang teguh.
Begitu mas kawin lunas dibayar, laki-laki punya hak penuh atas istrinya. (Wawancara
mendalam dengan ketua adat dari Meakh)
Buat laki-laki, maskawin adalah simbol kepemilikan mereka atas seorang perempuan;
bagi perempuan, maskawin merupakan tanda kepatuhannya kepada seorang laki-laki.
(FGD dengan laki-laki dewasa di Wamena)
27
Maskawin – sebuah ‘pedang bermata dua’ bagi perempuan
Alasan tradisional membayar maskawin perlahan mulai kehilangan makna aslinya dan
sekarang menjadi masalah yang serius bagi perempuan dan keluarga besarnya. Semakin
besar maskawinnya, semakin besar prestise dan kehormatan yang akan dimiliki oleh kedua
keluarga (pengantin laki-laki dan perempuan) di dalam masyarakatnya. Karena alasan inilah,
maka punya anak perempuan berarti memiliki asset yang berharga, karena di masa yang akan
datang, anak perempuan ini akan membawa maskawin yang akan menambah kekayaan
keluarganya. Untuk keluarga laki-laki, gagal melunasi maskawin menjadi hal yang memalukan
secara sosial bagi kedua keluarga (keluarga pengantin perempuan dan laki-laki).
Sayangnya, meskipun membayar maskawin bisa meningkatkan prestise dan kehormatan
keluarga pengantin perempuan, pada kenyataannya, perempuan akan menjadi lebih rentan
terhadap kekerasan yang dilakukan oleh suami mereka (karena maskawin dianggap sebagai
suatu bayaran, sama halnya dengan transaksi keuangan).
Kegagalan suami melunasi maskawin juga menempatkan perempuan pada situasi yang
rentan dan harus menghadapi murka suaminya. Keluarga perempuan akan menekannya
untuk terus mengingatkan suaminya melunasi maskawinnya supaya keluarga besar
perempuan tidak dipermalukan oleh masyarakat. Memiliki maskawin yang belum lunas
dibayar dianggap memalukan bagi keluarga perempuan. hal ini menambah ketegangan
antara suami dengan istri dan dapat menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga
yang lebih lanjut.
Oleh sebab itu, apakah maskawin telah dibayar lunas ataupun tidak, perempuan rentan
terhadap kekerasan dalam hubungan intim. Selain itu, meskipun maskawin terdiri dari asset
berharga dan uang yang dibayarkan kepada keluarga pengantin perempuan, pengantinnya
sendiri tidak memperoleh keuntungan apapun, yang mana semuanya diberikan ke
keluarganya yang laki-laki. Oleh sebab itu, mas kawin meningkatkan prestise dan kehormatan
laki-laki dalam masyarakat, namun memperburuk posisi tawar perempuan dalam hubungan
intim, serta dalam masyarakat secara keseluruhan.
(Wawancara mendalam dengan ketua adat suku Meakh).
...pergilah keluar dan cari minuman keras... bisa membantu laki-laki merasa lebih
percaya diri, berpikir jernih jadi dia bisa berbicara dengan mudah... dengan minum-
minum, lakilaki memiliki keberanian ekstra... (FGD dengan laki-laki dewasa di Mayamuk)
Kadang, saat laki-laki punya masalah... masalah dengan keluarganya... maka dia ingin
berkelahi tetapi tidak bisa... mungkin karena sebenarnya dia adalah orang yang tenang
dan pendiam... maka dia harus keluar cari minuman beralkohol dulu sebelum memulai
perkelahian. Minum minuman beralkohol akan membuatnya menjadi benar-benar
28
jantan... kalau tidak minum dia tidak akan bisa melakukannya... (FGD dengan laki-laki
dewasa di Manokwari Barat)
Namun, laki-laki dan perempuan memandang minuman beralkohol sebagai pengaruh buruk,
karena laki-laki menjadi lebih aggresif, emosinya tidak stabil dan impulsif begitu mereka mabuk.
Jika seorang laki-laki mabuk, dia akan memaksa perempuan untuk berhubungan seks.
(FGD dengan laki-laki dewasa di Manokwari Barat)
Kadang saudara laki-laki kami mabuk di luar, meskipun dia sebenarnya orang yang baik,
dia mabuk karena terpengaruh oleh teman sebayanya... jadi pada saat dia pulang ke
rumah dia jadi kasar, dia memukuli adik perempuannya yang tidak bersalah. (FGD
dengan perempuan muda di Waibu)
Alkohol hanya akan menimbulkan insiden berdarah... baik di dalam maupun di luar
rumah... alkohol merusak laki-laki... (wawancara mendalam dengan seorang tokoh
masyarakat perempuan di Wamena)
Namun demikian, laki-laki menganggap minum minuman beralkohol sebagai sebuah bentuk
rekreasi, terutama saat pertemuan adat atau pertemuan sosial laki-laki.
Mengapa kami mulai merokok dan minum? Karena persahabatan. Alkohol dan rokok
membantu mengikat persaudaraan. Sulit untuk menolak ajakan ini meskipun kami sadar
tindakan ini merugikan. (FGD dengan laki-laki muda di Aimas)
Seorang laki-laki tanpa alkohol itu sangat aneh, seperti masakan tanpa garam. Kami
lakilaki dan kami minum minuman beralkohol, tanpa alkohol, kamu tidak jantan. (FGD
dengan laki-laki muda di Wamena)
29
relaks dan ngantuk. Efeknya bisa bertahan sampai keesokan harinya, sementara minuman
enau hanya mempengaruhi tubuh selama sekitar setengah hari.
Alkohol disuguhkan sebagai bagian dari pertemuan sosial dan digunakan sebagai suatu
bentuk ujian – untuk menentukan apakah kamu seorang laki-laki sejati atau bukan. Efek
memabukkan dari alkohol menjadi masalah yang serius dalam masyarakat karena laki-laki
yang mabuk cenderung menjadi agresif, merugikan orang lain dan menghancurkan properti.
Buat sebagian laki-laki, alkohol juga digunakan saat mereka merasa resah, gelisah, kecewa
atau emosi negatif lainnya agar bisa menjadi lebih relaks.
Jenis alkohol modern tersedia di mana-mana di Papua, dan pada saat yang bersamaan orang
telah berhenti minum minuman enau tradisional. Tradisi minum-minum saat pertemuan
lakilaki menjadi lebih popular, dan semakin banyak laki-laki Papua (baik penduduk asli
maupun pendatang dari daerah lain) menghabiskan waktu dan uang mereka minum
minuman beralkohol. Banyak laki-laki yang meninggalkan rumah saat mereka punya uang,
menghabiskan waktu ‘bersenang-senang’, dan pulang hanya pada saat uangnya sudah habis.
Perubahan gaya hidup ini berarti bahwa alkohol tidak lagi memiliki dampak positif bagi
masyarakat Papua, karena tradisi lama telah terkikis dan berubah menjadi kebiasaan yang
kurang positif.
(Dari wawancara mendalam dengan Ketua Adat Suku Doreri dan Suku Meakh)
Saat dihadapkan dengan konflik keluarga, sangat umum bahwa laki-laki merusak
barang... meneriaki dan memukul perempuan di rumah. Kadang cara laki-laki meneriaki
perempuan seperti teriakan seekor binatang... (FGD dengan laki-laki dewasa di Prafi)
Saya menhadiri kuliah hukum, jadi saya tahu menyakiti orang ada hukumannya. Jadi,
saat saya marah, saya melampiaskannya ke gorden, rak piring...menariknya saja...
melampiaskan emosi saya. Setelah itu, saya akan menjadi tenang. Gedor
saja...banting...bahkan TV... buang saja...(FGD dengan laki-laki dewasa di Manokwari
Barat)
Laki-laki Papua diperlakukan dengan kasar oleh ayah mereka pada masa kecilnya. Jadi,
saat mereka dewasa mereka juga akan berperilaku kasar... seberapa kasar mereka
tergantung pada seberapa kasar ayah mereka... Perang suku tradisional kami
mengubah laki-laki menjadi sosok berkarakter keras...
(FGD dengan laki-laki dewasa di Wamena)
Gambaran di atas menunjukkan bahwa perilaku kekerasan merupakan cara yang umum untuk
mengekspresikan emosi negatif bagi laki-laki di Papua. Mungki ini merupakan efek jangka
panjang pengasuhan yang bersifat menghukum dalam konteks suku yang masih berpegang
30
teguh pada tradisi perang. Pada kenyataannya perilaku kekerasan laki-laki bukan saja
merupakan suatu kegagalan dalam mengungkapkan emosi dengan cara yang lebih positif,
namun juga merupakan sebuah cara untuk memaksakan aturan-aturan dalam hubungan intim.
Jika laki-laki marah di rumah, sebagian mulai berteriak-teriak, atau melempar barang
dan memecahkan barang... (FGD dengan laki-laki dewasa di Sentani)
Kadang perempuan terlalu lama di pasar, dan itu membuat laki-laki curiga… apa sih
yang bikin dia begitu lama? Dan sebenarnya dia ada di tempat lain… pada saat itu laki-
laki bisa jadi marah… istri merusak kepercayaan kami… begitu anak perempuan
menikah, dia berada di bawah kontrol kami kan?”… (FGD dengan laki-laki dewasa di
Manokwari Barat)
Laki-laki hampir tidak pernah mengontrol emosi mereka. Saat saya masih muda dan
berpacaran dengan seorang perempuan, saya memukulnya karena dia berbuat
kesalahan, dan terlebih lagi dia terus menyulut emosi saya... jadi akhirnya ‘boom’... saya
mendaratkan tinju ke mukanya..begitulah yang terjadi... perempuan bisa
mempengaruhi emosimu saat mereka melakukan kesalahan... dan laki-laki tidak boleh
menyerah... lakilaki kan punya harga diri yang lebih tinggi, ya kan?” (FGD dengan laki-
laki dewasa di Manokwari Barat)
Hasil temuan ini serupa dengan apa yang kami temukan pada kelompok perempuan – laki-laki
dianggap sebagai pemegang kendali dan perempuan wajib mentaati peraturan-peraturan
mereka. Pengalaman hukuman fisik yang mereka terima dari ayah mereka di masa lampau telah
mengajarkan laki-laki untuk menggunakan kekerasan fisik sebagai bagian dari komunikasi
interpersonal intim mereka.
Kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena istri keras kepala terhadap suaminya...
dia tidak mengikuti apa yang dikatakan oleh suaminya. Menyiapkan makanan untuk
suami dengan cara yang salah bisa mengakibatkan dia dipukul...
(FGD dengan perempuan dewasa di Prafi)
Kekerasan dalam rumah tangga terjadi jika istri tidak mampu memberikan keturunan
bagi suaminya. Punya anak adalah hak laki-laki. Dalam hal ini, laki-laki boleh punya istri
yang lain. (FGD dengan laki-laki dewasa di Mayamuk)
31
Penuturan baik dari kelompok laki-laki maupun perempuan keduanya menunjukkan bahwa
kekerasan dalam hubungan intim adalah hal yang sangat biasa dalam kehidupan banyak orang
Papua. Hal ini berakar dari keyakinan orang Papua pada norma-normal patriarki dan tradisi
kebudayaan yang mendorong laki-laki untuk tumbuh dengan perasaan berhak dan perasaan
istimewa; ditambah dengan penggunaan alkohol di kalangan laki-laki, kekerasan terhadap
perempuan menjadi masalah yang serius yang memerlukan penanganan segera dalam waktu
dekat ini.
Kami akan pergi ke rumah tetangga dan melerai pertengkaran jika suami melakukan
kekerasan terhadap istrinya... istrinya pasti membutuhkan bantuan dari tetangga.
Namun jika kekerasan yang dilakukan sangat buruk, maka lebih baik dilaporkan ke
polisi... (FGD dengan perempuan dewasa di Sentani)
Tetangga, keluarga besar, ketua RT atau RW harus turun tangan dan mendiskusikan
bagaimana melerai pertikaian dan rekonsiliasi pasangan tersebut. (FGD dengan
perempuan dewasa di Mayamuk)
Sebaliknya, laki-laki juga memberikan saran, namun mereka cenderung untuk melibatkan
korban untuk melaporkan pelaku ke polisi atau ketua adat supaya pelaku bisa didenda
menggunakan cara adat.
...pelaku (kekerasan dalam rumah tangga) bisa didenda...atau bisa juga dihukum. (FGD
dengan laki-laki muda di Prafi)
Laki-laki bisa dihukum kalau mereka memukul istrinya, tapi dendanya hanya
menguntungkan paman dari perempuan atau keluarga laki-lakinya yang lain... (FGD
dengan laki-laki dewasa di Wamena)
Kelompok anak-anak perempuan tidak terlalu yakin dengan mekanisme adat – cara ini tidak
dapat diandalkan karena denda tidak membuat jera. Banyak orang Papua yang sadar dengan
adanya uang malu, denda karena menghamili seorang anak perempuan, dan ada uang darah,
denda karena menyebabkan cedera yang berakibat pada pertumpahan darah. Denda-denda
semacam ini bisa digunakan untuk menghukum laki-laki pelaku kekerasan terhadap perempuan.
32
Bagaimana cara kerja denda adat dalam kasus-kasus KTP
Dalam kasus dimana perempuan dipukuli hingga sangat parah, keluarga korban dapat
melaporkannya ke Ketua Adat, dan Ketua Adat akan membicarakannya kepada keluarga
pelaku untuk menuntut kompensasi. Tidak ada aturan pasti tentang jumlah, bentuk atau
proses kompensasinya, karena semuanya tergantung pada hasil kesepakatan dari kedua
belah pihak (keluarga korban dan pelaku). Misalnya, jika kekerasan tersebut menyebabkan
cedera seperti luka terbuka, maka kompensasi harus mencakup ‘uang darah’. Jika kekerasan
mempengaruhi pencapaian pendidikan korban, maka dendanya harus meliputi ‘uang
pendidikan’, dan sebagainya. Semua hal akan diperhitungkan dan harus diberikan kepada
keluarga korban melalui mekanisme yang telah disepakati oleh kedua keluarga.
Semua kompensasi (uang dan asset) jatuh ke tangan keluarga korban, BUKAN ke tangan
perempuan (korban) itu sendiri. Jika keluarga korban menganggap dendanya (atau
kompensasinya) cukup untuk mengembalikan kehormatan keluarga, maka penyelesaian
kasus bisa disepakati, yang artinya korban harus kembali kepada suaminya (yang adalah
pelaku kekerasan). Dalam kasus perkosaan, begitu kompensasi dibayarkan, maka kemudian
kasus perkosaan ditutup dan kedua keluarga berdamai kembali.
(Dari FGDs dengan laki-laki dewasa)
Seiring dengan bertambahnya jumlah pemimpin agama di Papua, Ustadz telah menjadi mediator
alternatif bagi penyelesaian pertikaian interpersonal, misalnya untuk kasus kekerasan dalam
rumah tangga atau perkosaan. Jadi, kasus kekerasan terhadap perempuan juga bisa diselesaikan
melalui arbitrase lembaga keagamaan seperti pendeta (untuk yang beragama Kristen) atau
ustadz (untuk Muslim).
Harus saya akui bahwa pendidikan formal dan agama memiliki dampak positif terhadap
orang Papua... banyak yang telah berubah dari cara pikir dan perilaku orang. Lihat apa
akibat dari maskawin terhadap martabat perempuan...namun sekarang orangtua sudah
lebih fleksibel dalam mempertimbangkan harga maskawin. (wawancara mendalam
dengan pemimpin perempuan dari Wamena)
Kelompok perempuan menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi
kekerasan di lingkungan sekitarnya:
a. Masalah ini pertama-tama harus diatasi di dalam keluarga besar terlebih dahulu, dengan
diskusi internal dan solusi yang memungkinkan.
b. Jika masalahnya tidak dapat diselesaikan secara internal, perempuan bisa meminta
bantuan dari luar misalnya dari ketua RT/RW, Ketua Paguyuban Adat atau Ketua Adat.
Kelompok-kelompok itu dipercaya oleh masyarakat setempat, dan punya kedudukan
yang baik dalam membantu menyelesaikan masalah apa saja yang berkaitan dengan
kekerasan terhadap perempuan.
c. Jika masalah tetap tidak dapat diselesaikan melalui institusi masyarakat tersebut, maka
perempuan bisa membuat pengaduan formal ke polisi untuk memulai proses litigasi.
33
Pembangunan di Papua dan dampaknya terhadap perempuan dan laki-laki Papua
Provinsi Papua diberi status Otonomi Khusus / Otsus pada tahun 2001 melalui Undang-
Undang nomor 21 tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan
Lembaran Negara No. 4151),
Yang kemudian dimodifikasi menlalui Perpu No. 1 Tahun 2008 (LNT 2008 No. 57 dan LNT No.
4843). UU No 21 tahun 2001 terdiri dari 79 pasal yang mengatur kewenangan pemerintah
Provinsi Papua dalam melaksanakan status otonomi khususnya. UU ini memberikan hak
dasar kepada pemerintah provinsi untuk mengatur masyarakat Papua sesuai dengan aspirasi
mereka sendiri dan hak dasar sebagai warga Negara Republik Indonesia.
Otonomi khusus telah menciptakan suasana yang lebih ramah di Papua dan mendorong
masuknya pendatang dan peningkatan investasi, terutama di kota-kota di sepanjang pesisir.
Hal ini memiliki dampak yang signifikan terhadap gaya hidup traditional orang Papua:
“Menurut saya orang-orang menjalani gaya hidup ‘copy-paste’… kita meniru (copy) perilaku
dan gaya hidup orang lain. Jadi, begitu para migrant masuk ke Papua, mereka membawa
cara hidup, keahlian dan tradisi mereka yang lainnya; dan kami memperhatikan mereka…
dan kami meniru sebagian. Perekonomian juga tumbuh… lebih banyak kendaraan yang
dibawa masuk, dan kami juga membeli kendaraan sendiri… sekolah-sekolah baru dididirikan,
dan lebih banyak warga perpendidikan. Kami melihat perkembangan di sekitar kami,
meskipun teman-teman dan keluarga kami yang tinggal di daerah pedalaman mungkin
belum tersentuh oleh apa yang kami miliki di sini…” (FGD dengan laki-laki dewasa di Prafi)
“Saya perhatikan bahwa ponsel pintar (smart phones) sekarang hampir ada di mana-mana,
dan anak-anak remaja terbiasa menggunakannya, dan mereka bisa akses apa saja yang
mereka mau, termasuk pornografi. Hal ini berbahaya dan berpotensi untuk menciptakan
masalah yang lebih besar seperti mendorong pemerkosaan… waktu saya masih muda, saya
bahkan tidak punya TV… tapi sekarang, anak muda kami bahkan punya kameranya sendiri di
handphone mereka… sangat berbahaya… saya pribadi, saya lebih suka hidup di masa seperti
tahun 60an atau 70an daripada di tahun 2000an”. (wawancara dengan kepala suku Meakh)
“Para pendatang yang datang ke Papua tidak punya kebiasaan minum-minum, tapi banyak
yang terpengaruh sama warga lokal dan mulai minum..” (FGD dengan perempuan dewasa di
Mayamuk dan Manokwari Barat)
Otonomi khusus dan pembangunan baru di Papua juga berdampak pada kehidupan
perempuan:
“Sekarang kami punya akses yang lebih luas terhadap informasi, dan hal ini membuat
perempuan terpapar ke berbagai isu dan mereka semakin sadar, dan mereka mulai
mengeluarkan suara mereka dengan bergabung di perkumpulan perempuan”. (FGD dengan
laki-laki dewasa di Prafi).
“Kami perhatikan melalui media elektronik bahwa sekarang kita ada di era globalisasi
dimana kebidupan orang bisa dengan mudah dipengaruhi oleh orang lain dari Negara dan
kebudayaan yang berbeda… kami khawatir bahwa anak-anak kami akan terpengaruh oleh
gaya hidup negatif seperti obat-obatan dan alkohol… dan bagaimana kami mengatur biaya
pendidikan mereka kedepannya karena biaya pendidikan sangat mahal. Selain itu, informasi
telah membuka mata kami terhadap pentingnya keluarga berencana”. (FGD dengan
perempuan dewasa di Prafi).
34
“Kedatangan para pendatang baru berarti lebih banyak perkawinan antarras, dan para
pendatang memiliki sistem maskawin yang berbeda dari tradisi kami. Jadi sekarang, semakin
sedikit orang Papua yang memberikan maskawin sebagai prasyarat untuk menikahi
perempuan Papua. Sebagian melihat tradisi ini sebagai tindakan diskriminasi… semakin
banyak orangtua Papua yang menganggap bahwa memperlakukan anak perempuan mereka
dengan baik lebih penting daripada kewajiban pengantin laki-laki untuk membayar
maskawin… tapi mungkin hal ini hanya berlaku untuk orang-orang yang tinggal di daerah
perkotaan pesisiran. Untuk mereka yang tinggal di dataran tinggi, tidak mungkin untuk
menghilangkan tradisi maskawin…” (FGD dengan perempuan dewasa di Manokwari Barat).
Gambaran di atas mencerminkan pro dan kontra terhadap pembangunan di Papua dan
dampak yang mereka rasakan terhadap hubungan dan interaksi antara laki-laki dan
perempuan. Pembangunan memiliki dampak positif dalam hal perbaikan infrastruktur,
pendidikan, akses terhadap informasi dan ekonomi, serta membantu mengikis tradisi
maskawin, tapi juga memiliki dampak negatif seperti meningkatnya masalah dengan
pornografi dan alkohol.
Oleh sebab itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh pemahaman yang lebih
baik tentang dampak dari status otonomi khusus terhadap kehidupan laki-laki dan
perempuan Papua.
• Advokasi untuk pengembangan kebijakan publik yang membatasi atau bahkan melarang
distribusi alkohol di Papua.
• Advokasi untuk pengembangan kebijakan yang mengatur alokasi dana untuk pencegahan
kekerasan terhadap perempuan.
• Berbagai jenis kegiatan yang positif, program di sekolah atau kegiatan ekstra kurikuler, yang
melibatkan anak muda, membantu menyalurkan energi mereka dengan cara yang positif.
• Program-program sosialisasi bersama ketua adat, pemimpin agama dan tokoh masyarakat
untuk mendiskusikan masalah seputar kesetaraan.
35
• Salah satu tokoh masyarakat perempuan pada saat wawancara mendalam menyarankan
bahwa perempuan harus duduk bersama dalam Lembaga Adat untuk merumuskan sebuah
program yang terstruktur untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan.
• Ketua Adat Meakh, melalui wawancara mendalam menyarankan bahwa pendidikan adalah
strategi terbaik untuk memutuskan siklus kekerasan.
Secara keseluruhan, gagasan untuk mengatasi masalah KTP di Papua jatuh ke dalam beberapa
kategori: pencegahan awal, dengan sasaran masyarakat umum dan strategi-strategi untuk
meningkatkan gaya hidup yang sehat.
IV. Diskusi
36
istilah ini untuk mengacu pada dominasi laki-laki, pada hubungan kekuasaan dimana laki-laki
mendominasi perempuan, dan menandai sebuah sistem di mana perempuan tetap menjadi
subordinasi (Bhasin 2006).
Perempuan di Papua terkonstruksi secara sosial oleh serangkaian pengaruh dan agen yang lebih
luas daripada laki-laki. Perempuan Papua diajarkan tentang bagaimana harus bersikap,
bertindak, merasakan dan berpikir oleh keluarganya sendiri, teman sebaya dan tetangganya,
dan juga melalui sekolah dan pengajaran di gereja. Suatu penelitian kualitatif Puerto Riko
tentang konstruksi sosial perempuan dan seksualitas mereka, menghasilkan temuan yang sama
– sejumlah besar agen terlibat dalam pembentukan perempuan: mulai dari keluarga, norma-
norma budaya, agama, hingga lembaga-lembaga pendidikan (Villanueva, 1997). Sebagai
perbandingan, laki-laki tidak dipengaruhi oleh agen sebanyak itu. Anak laki-laki belajar menjadi
laki-laki dewasa umumnya dari anggota keluarga, teman sebaya dan tetangga. Anak laki-laki
mendapat perhatian khusus dari ayah mereka, yang melibatkan penggunaan kekerasan dalam
mendidik mereka – dengan cara yang sama seperti cara mereka diperlakukan oleh ayah mereka.
Dalam konstruksi gender, laki-laki diharapkan untuk mendominasi, sehingga karakter mereka
dibentuk dengan keberanian, sikap kasar dan agresif. Sementara perempuan diajarkan oleh
berbagai pihak bahwa mereka diharapkan untuk bisa mentoleransi dominasi laki-laki, dengan
mengembangkan sifat kelembutan, rasa malu dan kesabaran (Sultana, 2011). Dalam masyarakat
patriarki seperti Papua, gender diinternalisasikan oleh kedua jenis kelamin melalui sifat-sifat
feminin dan maskulinnya (Sutradhar, 2015). Itulah sebabnya mengapa perempuan tetap patuh
sepanjang hidupnya, menoleransi kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa mereka oleh
suami atau ipar-iparnya, dan tetap diam meskipun setelah diperkosa atau dilecehkan secara
seksual; perempuan dengan diam menerima posisi subordinasi mereka di dalam negara,
masyarakat dan budaya mereka (Sultana, 2011).
Dalam konteks Papua, keberanian, kekuatan dan keengganan untuk mengekspresikan emosi
dianggap sebagai karakteristik yang umumnya dianggap berharga oleh laki-laki. Karakteristik ini
konsisten dengan apa yang oleh Pleck dkk. (1993) didefinisikan sebagai 'maskulinitas' – hal ini
mengacu pada standar yang dibangun secara sosial dan kultural, dan keyakinan bersama
tentang apa artinya menjadi seorang laki-laki, seiring dengan perilaku, sikap dan nilai-nilai yang
diharapkan. Selain itu, Pleck dkk. (1993) berpendapat bahwa laki-laki didefinisikan oleh
masyarakat sebagai sosok yang harus menampilkan karakteristik maskulin seperti kekuatan,
daya saing, kemandirian dan keras kepala. karakteristik tersebut juga mencakup anti-feminitas
dan Pembatasan emosional, ketangguhan dan keagresifan (Wade & Donis, 2007). Dalam studi
ini, kami menemukan bahwa alkohol, perkelahian dan perang adalah simbol maskulinitas dan
identitas laki-laki di Papua. Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa alkohol adalah
penanda risiko yang konsisten untuk perbuatan kekerasan dalam rumah tangga (Abramsky dkk.,
2011), dan juga memainkan peranan penting dalam memperkuat konflik anak muda dan
perselisihan kehormatan (Nilan, 2011).
Laki-laki secara sosial terkonstruksi untuk menjadi pemimpin – tulang punggung keluarga,
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya – dan posisi yang
terkonstruksi secara sosial ini memberikan mereka hak istimewa tertentu. Hak istimewa laki-laki
adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan keuntungan sosial dan politik atau hak
37
eksklusif yang bisa diperoleh laki-laki hanya atas dasar jenis kelamin mereka (Kaufman, 1999;
Coston & Kimmel, 2012). Hak istimewa ini adalah hak untuk menjadi pemimpin keluarga dan
pewaris keluarga, menjadi pembuat keputusan dalam keluarga, dan menjadi seorang prajurit
dalam kelompok etnis mereka; itulah sebabnya mengapa masyarakat memberikan laki-laki
kebebasan untuk pergi ke manapun kapanpun, dan untuk menjalin persahabatan dan hubungan
dengan hampir tidak ada batasan budaya atau hambatan. Penggambaran budaya sang suami
sebagai pencari nafkah memberikan mereka hak istimewa ini dan gambaran yang dibangun
tentang apa artinya menjadi seorang laki-laki ini terus menerus diperkuat dan ditaati oleh
sebagian besar orang - apa yang Connell sebut sebagai 'maskulinitas hegemonik', suatu
konstruksi tentang bagaimana laki-laki “seharusnya/idealnya” dalam hubungannya dengan
lawan jenis (perempuan).
Konstruksi ini mendefinisikan laki-laki sebagai sosok superior dalam lingkup negara, tempat kerja
dan keluarga (Connell, 1993). Nilai hegemonik ini memainkan peran yang sangat efektif dalam
mepertahankan posisi subordinasi perempuan (Connell, 1993).
Subordinasi perempuan
FGD dengan perempuan dan laki-laki secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan
dipandang sebagai objek seks oleh laki-laki. Perempuan diharapkan untuk melayani kebutuhan
seksual pasangan mereka, tetapi tidak boleh mengekspresikan hasrat seksual mereka sendiri.
Mayoritas perempuan menyatakan bahwa mereka tidak bisa mengungkapkan kebutuhan
mereka untuk mendapatkan keintiman seksual dengan pasangannya karena perasaan malu di
dicap sebagai 'perempuan nakal' atau pelacur. Perempuan yang memulai hubungan seks akan
dicap negatif oleh pasangan laki-laki mereka. Hanya laki-laki yang secara budaya dapat diterima
untuk memulai hubungan seks, bukan perempuan. Dalam masyarakat patriarki,
ketidakseimbangan kekuasaan memiliki dampak langsung terhadap seksualitas: semakin besar
kekuasaan laki-laki, seksualitas perempuan akan semakin tertekan (Baumeister & Twenge,
2002).
Posisi subordinasi perempuan juga terwujud dalam bentuk dimana perempuan disalahkan
karena memicu kekerasan dalam rumah tangga. Gambaran dari kedua kelompok mencerminkan
gagasan bahwa perempuan selalu membutuhkan koreksi, termasuk teguran, pelecehan verbal
dan pemukulan, agar mereka berperilaku 'layak' sebagai istri atau pacar. Hasil temuan serupa
disorot dalam sebuah studi oleh Nilan dkk. (2014) mengenai persepsi laki-laki tentang kekerasan
terhadap perempuan di Nusa Tenggara Barat. Studi di belahan dunia yang lain membuahkan
hasil yang sama, bahkan di negara-negara maju seperti Inggris - kekerasan dipandang sebagai
hal yang bisa diterima jika perempuan dianggap 'keluar batas' dari gagasan laki-laki mengenai
perilaku yang pantas untuk istri, ibu, atau pembantu rumah tangga (Dobash & Dobash, 2011).
Subordinasi perempuan juga meliputi tuntutan pada perempuan untuk mengemban tanggung
jawab pekerjaan rumah tangga, meskipun saat mereka mendapat ijin dari suami mereka untuk
bekerja di luar rumah. Praktek ini juga sangat umum terjadi di bagian dunia lainnya, di mana
perempuan yang bekerja masih diharapkan untuk menjaga anak-anak dan mengurus rumah
tangga. Hal ini menciptakan 'beban ganda' (atau bahkan beban tiga kali lipat – mengurus
pekerjaan, anak, dan rumah tangga) yang menyebabkan kelelahan dan penderitaan fisik karena
38
kurang tidur atau istirahat, serta 'menguras emosi' (Hochschild & Machung, 2012). Dalam
masyarakat yang didominasi oleh laki-laki, perempuan tidak memegang banyak kontrol
terhadap apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan, yang pada akhirnya menimbulkan
konsekuensi kesehatan yang negatif serta keterbatasan dalam mengembangkan karir mereka
(Hochschild & Machung, 2012).
Hal ini juga berlaku untuk kasus pacaran. Laki-laki muda dalam penelitian ini juga percaya bahwa
perempuan yang memasuki hubungan intim harus patuh pada pacarnya. Termasuk bagaimana
dia ingin pacarnya berpakaian dan dengan siapa dia boleh berteman. Peserta laki-laki muda juga
mengakui bahwa banyak dari teman sebaya laki-laki mereka yang menjalin hubungan intim
merasa berhak atas tubuh pacar mereka – berhak untuk menyentuh dan mencium pacarnya dan
meminta hubungan seks. Jika perempuan menolak, laki-laki berhak untuk meninggalkan
hubungan dan mencari perempuan lain; dalam beberapa kasus, menolak berhubungan seks bisa
berakhir dengan perkosaan atau hukuman fisik. Jenkins (1997) menyatakan bahwa gagasan dan
prakter dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki membuat laki-laki lebih mudah untuk
menerapkan kontrol dan lebih bisa diterima jika berlaku kasar. Dengan kata lain, dalam sebuah
masyarakat patriarki, hak tersebut meluas ke pandangan superioritas dan dominasi laki-laki atas
perempuan (Bouffard, 2010). Hak laki-laki merupakan hasil yang ‘normal’ dari suatu masyarakat
patriarki di mana seks dianggap sebagai hak dan keistimewaan laki-laki. Lagipula, hak seksual
mengacu pada pandangan bahwa laki-laki memiliki kebutuhan seksual yang kuat, dan sering kali
tidak dapat dikontrol, yang harus dipenuhi dan bahwa perempuan harus memenuhi tujuan
tersebut (Hill & Fischer, 2001). Laki-laki dengan tingkat hak yang lebih tinggi merasa mereka
berhak untuk dilayani secara seksual. Jika hak/kebebasan tersebut diingkari, orang yang merasa
berhak ini akan menjadi marah dan cemas karena mereka menerjemahkan penolakan ini
sebagai penghinaan (Baumeister dkk., 2002). Saat perempuan menolak permintaan seksual laki-
laki, hal ini mungkin bisa dilihat oleh laki-laki sebagai ancaman terhadap kontrol maskulin dan
patriarki, dan dalam hal ini, kekerasan mungkin dianggap sebagai respon yang sah terhadap
39
ancaman tersebut (DeKeseredy dkk., 2004). Misalnya, jika perempuan turut dan
memperbolehkan rayuan dan godaan pada tahap tertentu dan kemudian menolak untuk
berhubungan badan, laki-laki yang telah menginternalisasi pandangan patriarki hak sesual
mungkin akan merasa bahwa menggunakan paksaan atau taktik memaksa bisa diterima sebagai
respon terhadap apa yang dilihat sebagai penolakan sebagai upaya untuk mencoba ‘merayu’
pasangannya (Baumeister dkk., 2002; Polaschek & Gannon, 2004).
Sebuah analisis hubungan ayah-anak juga paling mudah dipahami melalui sebuah perspektif
ekologi (Bronfenbrenner, 1986) yang mengkonseptualisasikan keluarga sebagai konteks
pembangunan manusia dalam tiga kondisi dinamis – yaitu sistem-mikro (hubungan
orangtuaanak), sistem-meso (pekerjaan dan keluarga) dan sistem-makro (prinsip-prinsip budaya
dan lokasi geografis). Seorang laki-laki, saat menjadi ayah, dipengaruhi oleh cara ayahnya
berhubungan dengan anak-anaknya, serta lingkungan kerjanya dan latar belakang budaya yang
mana dia merupakan bagiannya (Buriel, 1993). Dia kemudian mempengaruhi anak-anaknya,
lingkungan pekerjaannya dan budayanya (Buriel, 1993; Taylor & Behnke, 2005). Studi ini
menemukan bahwa ayah di Papua digambarkan sebagai pencari nafkah keluarga dan
dipengaruhi oleh kondisi keuangan keluarga dan lingkungan kerja mereka. Orang-orang yang
40
tinggal di daerah perkotaan bekerja sebagai buruh kasar di tempat konstruksi, pekerja pabrik
dengan upah rendah atau petani di ladang kecil milik keluarga; sebagian masih berburu di hutan.
Jenis pekerjaan seperti ini, yang berisiko dan menuntut ketahanan fisik, berlangsung dalam
lingkungan maskulin yang membutuhkan keberanian, ketabahan, keuletan, ketangguhan, dan
pengambilan risiko (Connell, 1995). Jenis pekerjaan yang stereotip laki-laki juga terkenal dengan
jam kerja yang panjang dan shift yang tidak tetap, yang membuat interaksi ayah-anak yang lebih
pendek (Guzman & McConnell, 2002).
Apa yang digambarkan oleh Taylor dan Behnke (2005) sebagai 'pengaruh antar generasi' juga
memainkan peranan kunci dalam pengasuhan anak. Cara ayah berhubungan dengan anak-anak
mereka dan harapan mereka tentang bagaimana anak-anak mereka harus bertindak dan
berperilaku, dipengaruhi oleh harapan ayah mereka sendiri dan sikap pengasuhannya. Karena
banyak ayah di Papua yang bekerja di lingkungan maskulin, mereka mengambil gaya
pengasuhan yang sangat bersifat hukuman untuk mengembangkan karakteristik dalam anak
laki-laki mereka yang cocok untuk lingkungan kerja stereotip laki-laki tersebut. Selain itu, gaya
pengasuhan bersifat hukuman ini bertujuan untuk mempersiapkan anak-anak mereka untuk
mengambil alih sebagai kepala keluarga. Taylor dan Behnke (2005) juga menemukan bahwa
maskulinitas dibangun melalui perilaku pengasuhan bersifat hukuman terhadap anak laki-laki
dalam rangka melestarikan "Kemachoan" - dalam konteks Papua, ini digambarkan sebagai
'jantan' (kejantanan). Istilah-istilah ini sering digunakan untuk menekankan pentingnya peran
mereka sebagai kepala keluarga, daripada peran mereka sebagai ayah dan suami. Penggunaan
gaya pengasuhan bersifat hukuman oleh ayah di Papua juga berhubungan dengan ide Jenkins
(2009) tentang norma-norma budaya dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Budaya ini
menganggap kontrol sebagai alat penting dalam hidup manusia yang mempengaruhi cara
mereka berhubungan dengan orang lain, terutama anak-anak. Perel dan Peled (2008)
mengidentifikasi gaya pengasuhan ini (pengasuhan ayah berbasis kontrol) sebagai salah satu
pengasuhan yang mungkin menggunakan kekerasan.
41
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga di negara yang berbeda (Wolfe dan Jaffe, 1999;
Appelit dan Kaselitz; 2000, Godenzi, 2001).
Pencegahan primer mencakup upaya untuk mengurangi timbulnya masalah dalam suatu
populasi sebelum terjadi (Caplan dan Caplan, 2000), ditargetkan pada masyarakat melalui
perubahan kebijakan diberi label sebagai "pendekatan promosi" (Godenzi & De Puy, 2001).
Pendekatan ini termasuk memperkenalkan nilai-nilai, proses berpikir, dan keterampilan
berhubungan yang baru kepada kelompok-kelompok populasi tertentu yang tidak kompatibel
dengan kekerasan dan dapat mempromosikan hubungan yang sehat dan tanpa kekerasan.
Inisiatif pencegahan primer dipraktekkan di beberapa negara berkembang seperti Pakistan,
India, Nigeria, Ghana dan Afrika Selatan, terutama difokuskan pada perubahan budaya norma
gender (Heise, 2011). mengubah norma gender sangat umum di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, di mana perempuan dan laki-laki menjaga norma-norma gender tradisional
yang mentolerir hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, yang melestarikan
ketimpangan kekuasaan gender. Untuk menantang norma budaya gender, inisiatif pencegahan
primer di bagian dunia lain memasukkan kampanye untuk meningkatkan kesadaran; lokakarya
kelompok kecil, yang dapat disertai dengan kegiatan pelibatan masyarakat (festival musik,
poster, dll); perubahan perilaku dan strategi komunikasi; dan pemasaran norma-norma sosial
termasuk program 'edutainment' (Heise, 2011). Dua contoh program edutainment (pendidikan
yang menyenangkan) yang sukses sebagai media untuk berubahan sikap gender adalah “Soul
City”, yang dikembangkan di Afrika Selatan, dan “Sexto Sentindo” di Nikaragua. Keduanya
terbukti memberikan dampak dalam peningkatan kesadaran akan gender dan kekerasan
berbasis gender (House of Commons, 2004; Howe, 2007).
Intervensi mobilisasi masyarakat (Harvey dkk, 2007;. Heise, 2011) merupakan sarana lain untuk
mengubah sikap, norma dan perilaku masyarakat yang berkaitan dengan praktek-praktek
gender yang mendasari ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Intervensi
mobilisasi masyarakat telah digunakan di negara-negara berkembang seperti Uganda (Francisco
et al., 2013), India (Verma et al., 2006) dan Afrika Selatan (Jewkes et al., 2008). Harus ada upaya
untuk mengidentifikasi tokoh laki-laki atau kelompok laki-laki dengan pandangan yang progresif
tentang kesetaraan untuk bertindak sebagai teladan/role model positif dalam mengubah norma-
norma gender. Mengingat peran kuat agama di Papua, tokoh agama berpotensi dipilih untuk
tujuan ini.
Secara keseluruhan, saran dari kelompok FDG dalam penelitian ini lebih berhubungan dengan
pengembangan upaya pencegahan primer seperti advokasi untuk perubahan kebijakan,
42
meningkatkan kesadaran melalui kampanye publik dan kompetisi untuk anak muda, dan
program pendidikan masyarakat untuk anak muda, tokoh masyarakat, tokoh adat dan pemimpin
agama.
Penelitian kualitatif tentang kekerasan berbasis gender di Papua ini mengungkapkan pandangan
setempat tentang kekerasan terhadap perempuan dengan fokus pada norma-norma budaya
yang mengatur perilaku kekerasan - khususnya, kekerasan terhadap perempuan - pandangan
tentang kesetaraan gender, dan menjajaki intervensi yang memungkinkan untuk mencegah
kekerasan terhadap perempuan di Papua.
Secara keseluruhan, kekerasan terhadap perempuan di papua berakar pada pandangan yang
dipegang teguh dalam budaya patriarki yang memberikan kekuasaan dan pengaruh yang lebih
besar kepada laki-laki dalam masyarakat. Perempuan dan laki-laki dibesarkan untuk memenuhi
harapan sosial sesuai dengan jenis kelamin mereka. Perempuan dilatih untuk memiliki sifat-sifat
yang patuh dan toleran (terutama, dalam menoleransi perilaku dominasi laki-laki), dan belajar
keterampilan yang diperlukan untuk mengurus kekayaan dan kehormatan suaminya. Sifat-sifat
ini memungkinkan perempuan untuk melaksanakan tugas-tugas rumah tangga mereka:
mengurus rumah, menjaga anak-anak dan mengurus suami mereka. Sebaliknya, laki-laki dilatih
oleh ayah mereka melalui gaya pengasuhan bersifat hukuman untuk meningkatkan keberanian,
kekuatan dan ketangguhan mereka – sifa-sifat yang dianggap perlu untuk memenuhi peran
mereka sebagai penjaga dan pelindung keluarga dan sukunya. Perilaku ceroboh seperti minum
minuman beralkohol, berkelahi, mencuri dan menganiaya anak perempuan dan perempuan
dewasa bisa ditoleransi dalam masyarakat Papua karena hal ini diterima sebagai bagian dari
karakter maskulin yang diharapkan dari laki-laki Papua. Pembagian peran yang ketat
berdasarkan garis gender telah menjaga tetap berlakunya ketimpangan hubungan kekuasaan
antara laki-laki dan perempuan, baik di ranah publik maupun domestik. Akibatnya, subordinasi
perempuan dan anak perempuan adalah hal yang umum di Papua.
Baik laki-laki maupun perempuan di FGD memberikan saran langkah-langkah pencegahan dini.
Langkah ini termasuk: mengembangkan kebijakan untuk mengatur distribusi dan penggunaan
43
alkohol, dan alokasi dana untuk layanan dukungan bagi korban kekerasan. Langkah-langkah
pencegahan lain yang disarankan termasuk meningkatkan kesadaran melalui kampanye publik
dan program pendidikan masyarakat, dan menggunakan kompetisi olahraga dan musik sebagai
entry point (pintu masuk) untuk mempromosikan kesetaraan gender di kalangan anak muda.
Status Otonomi Khusus yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Provinsi Papua telah
membuka peluang investasi bagi orang-orang dari luar Papua, banyak diantara mereka yang
memutuskan untuk menetap di provinsi tersebut. Akibatnya, ekonomi bertumbuh membawa
banyak perkembangan yang dibutuhkan oleh Papua. Namun demikian, pertumbuhan ini juga
menciptakan tantangan baru bagi orang Papua, karena gaya hidup dan tradisi mereka secara
bertahap terkikis oleh pengaruh budaya baru yang dibawa oleh pendatang baru dan perbaikan
di bidang pendidikan.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan dari penelitian kualitatif ini, beberapa rekomendasi untuk intervensi
program pembangunan lebih lanjut dirumuskan dibawah ini:
44
- Mempromosikan strategi penyelesaian konflik non-
kekerasan serta bentuk maskulinitas yang penuh rasa peduli
selama masa rehabilitasi dan konseling alkohol dan narkoba.
45
Memberikan dukungan - Memberikan pendampingan psikososial dan hukum bagi
psikososial bagi perempuan perempuan dan anak korban kekerasan
dan anak korban kekerasan
- Menciptakan lingkungan yang sehat dan aman dengan
menyediakan program intervensi bagi pelaku kekerasan
Referensi
1. ABRAMSKY, T., WATTS, C.H., GARCIA-MORENO, C., DEVRIES, K., KISS, L., ELLSBERG, M.,
JANSEN, H.A.F.M., HEISE, L. (2011). What factors are associated with recent intimate partner
violence? Findings from the WHO multi-country study on women's health and domestic
violence. BMC Public Health, 11(1), 109-125.
2. ANDERSON, B. (2015). Papua’s insecurity: state failure in The Indonesia Periphery. East West
Center, Honolulu.
3. APPELIT, B., KASELITZ, V (2000) Prevention of Domestic Violence Against Women: European
Survey, Good Practice Models, WAVE Training Programs, Vienna, WAVE Office/Austrian
Women's Shelter Network.
4. BAUMEISTER, R.F., TWENGE, J.M. (2002). Cultural suppression of female sexuality. Review of
General Psychology, 6(2), 166-203.
8. BREIDING, M. J., BASILE K. C., SMITH S.G., BLACK, M. C., MAHENDRA R.R. (2015). Intimate
Partner Violence Surveillance Uniform Definitions and Recommended Data Elements,
Atlanta, Georgia, Centres for Disease Control and Prevention National Centre for Injury
Prevention and Control.
10. BURIEL, R. (1993). Childrearing orientations in Mexican American families: The influence of
generation and sociocultural factors. Journal of Marriage and the Family, 55, 987-1000.
11. JEWKES R., SIKWEYIYA Y., MORRELL R., DUNKLE K. (2011) Gender Inequitable Masculinity
and Sexual Entitlement in Rape Perpetration South Africa: Findings of a Cross-Sectional
Study. PLoS ONE 6(12).
46
12. CAPLAN, G. (1964). Principles of Preventive Psychiatry, New York, Basic Books.
13. CAPLAN, G., CAPLAN, R.B (2000). The Future of Primary Prevention. Journal of Primary
Prevention, 21, 131-136.
14. COSTON, B.M., KIMMEL, M. (2012). Seeing Privilege Where It Isn’t: Marginalized
Masculinities and the Intersectionality of Privilege. Journal of Social Issues, 63(1), 67-111.
15. CONSTANTINO, R., KIM, Y., CRANE, P.A. (2005). Effect of a social support intervention on
health outcomes in residents of a domestic violence shelter: a pilot study. Issues in Mental
Health Nursing, 26, 575-590.
17. DAHLGREN, L., EMMELIN, M., WINKVIST, A. (2003). Qualitative methodology for
International Public Health. Umea International School of Public Health, Ume University.
18. DEKESEREDY, W.S., ROGNESS, M., SCWARTZ, M.D. (2004). Separation/divorce sexual assault:
The current state of social scientific knowledge. Aggression and Violent Behavior, 9 (6), 675–
691.
19. DOBASH, RE., DOBASH, R.P. (2011). What Were They Thinking? Men Who Murder an
Intimate Partner. Violence Against Women, 17(1), 111-134.
20. FRANCISCO, L., ABRAMSKY, T., KISS, L., MICHAU, L., MUSUYA, T., KERRIGAN, D., KAYE, D.,
WATTS, C. (2013). Violence Against Women and HIV Risk Behaviors in Kampala, Uganda:
Baseline Findings from the SASA! Study. Violence Against Women, 19, 814-832.
21. GARCIA-MORENO, C., JANSEN, H.A.F.M., ELLSBERG, M., HEISE, L., WATTS, C.H. (2006).
Prevalence of intimate partner violence: findings from the WHO multi-country study on
women’s health and domestic violence. The Lancet, 368, 1260-1269.
22. GARCÍA-MORENO, C., JANSEN, H.F.M., ELLSBERG, M., HEISE, L., WATTS, C. (2005). WHO
Multicountry Study on Women’s Health and Domestic Violence against Women, Initial
results on prevalence, health outcomes and women’s responses, Geneva, WHO.
24. GUZMAN, B., & McCONNELL, E. D. (2002). The Hispanic population: 1990-2000 growth and
change. Population Research and Policy Review, 21, 109-128.
25. HAKIMI, M., HAYATI, E.N., UTARI, V.M., WINKVIST, A., ELLSBERG, M.C (2011). Silence for the
Sake of Harmony ( 2nd edition), Yogyakarta, CHN-RL-GMU; Yogyakarta, Rifka Annisa
Women’s Crisis Center; Umeå, Umea University; Women’s Health Exchange & Program for
Appropriate Technology, USA.
47
26. HARVEY, A., GARCIA-MORENO, C., BUTCHART, A. (2007). Primary prevention of
intimatepartner violence and sexual violence. Background paper for WHO expert meeting
May 2-3, 2007, Geneva, WHO.
27. HAYATI, E.N., HAKIMI, M., ELLSBERG, M.C., EMMELIN, M. (2011). Behind the Silence of
Harmony: Risk Factor for Physical and Sexual Violence among Women in Rural Indonesia.
BMC Women's Health, 11, 52.
28. HAYATI, E.N., ERIKSSON, M., HAKIMI, M., HOGBERG, U., EMMELIN, M. (2013). ‘Elastic band
strategy’: women’s lived experiences of coping with domestic violence in rural Indonesia.
Global Health Action, 6: 18894.
29. HEISE, L., ELLSBERG, M.C. AND GOTTEMOELLER, M. (1999). Ending Violence Against Women,
Baltimore: Johns Hopkins University School of Public Health - Population Information
Program.
30. HEISE, L. (2011). What Works to Prevent Partner Violence: An Evidence Overview, STRIVE
Research Consortium, London School of Hygiene and Tropical Medicine, London, UK.
31. HILL, M., FISCHER, ANN R. (2001). Does entitlement mediate the link between masculinity
and rape-related variables?, Journal of Counseling Psychology, 48(1), 39-50.
32. HUMPHREYS, C. (2008). Problems in the system of mandatory reporting of children living
with domestic violence. Journal of Family Studies, 14, 228 - 239.
33. HOCHSCHILD, A., AND MACHUNG, A. (1990). The Second Shift, New York, Avon Book
35. HOWE, C. (2007). Nicaragua's changing erotiscapes: hot bed of cold war takes on sexual
rights IN HERDT, G., AND HOWE, C. (Ed.) Contemporary Issues in Health, Education and
Rights. Oxon, Routledge.
36. JENKINS. (2009). Becoming Ethical: A parallel, political journey with men who have abused.
Dorset: UK: Russell House Publishing.
37. JOHNSON, MP. (1995). Patriarchal Terrorism and Common Couple Violence: Two Forms of
Violence against WomenAuthor(s): Journal of Marriage and Family, Vol. 57, No. 2, pp.
283294.
38. JEWKES, R., NDUNA, M., LEVIN, J., JAMA, N., DUNKLE, K., PUREN, A., DUVVURY, N. (2008).
Impact of Stepping Stones on incidence of HIV and HSV-2 and sexual behaviour in rural
South Africa: cluster randomised controlled trial. British Medical Journal (BMJ), 337,a506.
48
39. MBURIA-MWALILI, A., CLEMENTS-NOLLE, K., LEE, W., SHADLEY, M., YANG, W. (2010).
Intimate Partner Violence and Depression in a Population-Based Sample of Women: Can
Social Support Help? Journal of Interpersonal Violence, 25(12), 2258-2278.
40. MORGAN, D.L. (1997). Focus Group as Qualitative Research. 2nd edition. California, Sage.
41. NILAN, P., DEMARTOTO. A., WIBOWO, A. (2011). Young Men and Peer Fighting in Solo,
Indonesia. Men and Masculinities, 14(4), 470-490.
42. NILAN, P., DEMARTOTO, A., BROOM, A., GERMOV, J. (2014). Indonesian men’s perception of
violence against women. Violence Against Women, 20(7), 869-888.
43. PLECK, J.H., SONENSTEIN, F.L(1993). Masculinity Ideology: Its Impact on Adolescent Males'
Heterosexual Relationships. Journal of Social Issues. Vol. 49, pp. 11-29.
44. KAUFMAN, M. (1999). The seven P’s of men’s violence. Paper presented at the workshop in
Kathmandu, organized by Save the Children (UK).
http://www.feminish.com/wpcontent/uploads/2012/08/kaufman-7-ps-of-mens-
violence.pdf
45. PEREL, G., & PELED, E. (2008). The Fathering of Violent Men: Constriction and Yearning.
Violence Against Women, 14(4), 457-482.
46. SULTANA, A. (2011). Patriarchy and Women’s Subordination: A Theoretical Analysis. The
Arts Faculty Journal, July 2010-June 2011.
47. SUTRADHAR, R. One Is Not Born A Woman, But Becomes One: Gendered Patterns of Women
Subordination in India. International Journal of Science and Research (IJSR), 4(11), 1268-
1272.
48. TAYLOR, B. A., & BEHNKE, A. (2005). Fathering Across the Border: Latino Fathers in Mexico
and the U.S. Fathering, 3(2), 99-120.
49. Komnas-Perempuan, 2016: Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016, Kekerasan
terhadap Perempuan Meluas: Mendesak Negara Hadir Hentikan Kekerasan terhadap
Perempuan di Ranah Domestik, Komunitas dan Negara, Jakarta: Komnas-Perempuan.
50. PEREL, G and PELED, E. (2008). The Fathering of Violent Men Constriction and Yearning
Violence Against Women, 14(4), 457-482.
51. POLASCHEK, D.L.L., GANNON, T.A. (2004). The Implicit Theories of Rapists: What Convicted
Offenders Tell Us. Sexual Abuse: A Journal of Research and Treatment, 16(4), 299-314.
52. ROY F. BAUMEISTER & JEAN M. TWENGE. (2002). Cultural Suppression of Female Sexuality.
Review of General Psychology, 6 (2), 166–203.
53. KRUG, E. G., MERCY, J.A., DAHLBERG, L.L., ZWI, A.B. (2002). The world report on violence and
health. Lancet, 360, 1083-1088.
49
54. VERMA, R. K., PULERWITZ, J., MAHENDRA, V., KHANDEKARD, S., BARKER, G., FULPAGARE, P.,
SINGH, S.K. (2006). Challenging and Changing Gender Attitudes among Young Men in
Mumbai, India. Reproductive Health Matters, 14, 135-143.
55. VILLANUEVA, M.I.M. (1997). The Social Construction of Sexuality: Personal Meanings,
Perceptions of Sexual Experience, and Females' Sexuality in Puerto Rico. Dissertation in
Family and Child Development, Virginia Polytechnic Institute and State University.
56. WADE, JC., DONIS, E. (2007). Masculinity Ideology, Male Identity, and Romantic Relationship
Quality Among Heterosexual and Gay Men. Sex Roles, 57:775–786.
57. WADE, J. (1998). Male Reference Group Identity Dependence: A Theory of Male Identity.
Counseling Psychologist, 26: 349.
58. WHITEHEAD, S.M., BARRET, F.J. (2001). The Sociology of Masculinity. The Masculinities
Reader, S. M. Whitehead, and F. J. barret, Eds., Malden: ' Blackwell Publisher Ltd.
59. WOLFE, D. A., JAFFE, P.G. (1999) Emerging Strategies in the Prevention of Domestic
Violence. The Future of Children, 9(3), 133-144.
60. WHO and LSHTM, (2010). Preventing Intimate Partner and Sexual Violence Againts Women:
Taking Action and Generating Evidence, Geneva, World Health Organization.
50