Anda di halaman 1dari 142

Inovasi

Pendataan Disabilitas
Inovasi dan Praktik Baik Mitra
Program Peduli Disabilitas Fase 1
di Enam Provinsi
Inovasi Pendataan Disabilitas
Kajian dan Praktik Baik Mitra Program Peduli Disabilitas Fase 1 di Enam
Provinsi

Tim Penulis
Rohidin Sudarno
Sad Dian Utomo

Editor
Maya Rostanty
Novita Anggraeni

Kontributor
1. Bejo Untung
2. Diah Mardhotillah
3. Henny Warsilah
4. Nurjanah
5. Rohidin Sudarno
6. Sumyati
7. Wawanudin

Pengulas
1. Ade Siti Barokah
2. Rani Hapsari

Layout:
Agus Wiyono

Penerbit:
PATTIRO
Pusat Telaah dan Informasi Regional
Jl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35
Pasar Minggu Jakarta Selatan
Telp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800
Email: info@pattiro.org
Website: www.pattiro.org

ii
Kata Pengantar
ThE Asia Foundation

S
aat bertanya pada pimpinan masyarakat, tidak jarang kita dengar bahwa di
lingkungan mereka tidak ada anggota masyarakat penyandang disabilitas.
Hal itu dialami mitra The Asia Foundation beberapa tahun lalu, saat mereka
mengumpulkan data awal tentang masyarakat penyandang disabilitas. Pemimpin
masyarakat itu mungkin menyatakan yang sebenarnya – karena dia memang tak
memiliki data. Banyak penyebab mengapa data tak tersedia, namun di antara yang
paling menyedihkan adalah bahwa keluarga tidak melaporkan; mereka malu, takut
distigma dan lain sebagainya. Mereka juga kerap merasa tidak perlu melaporkan.
Lingkaran masalahpun menjadi langgeng: tanpa data, tidak ada layanan; tanpa
layanan, masyarakat tak merasa perlu melaporkan. Data dan layanan publik adalah
dua hal yang saling terkait. Maka, di sinilah langkah kita mulai. Dari pendataan.
Hingga saat ini data yang tersedia belum terintegrasi sehingga tidak mudah
bagi penyedia layanan untuk menjadikannya sebagai rujukan untuk penjangkauan
dan pelayanan. Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS, 2015) menunjukkan 8,56
persen penduduk Indonesia memiliki disabilitas; Survey Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas 2015) menyebut 12.15%, atau setara dengan 30 juta jiwa; dan World
Health Organization (WHO) menyebut 15%.
Lepas dari angka penyandang disabilitas pada umumnya adalah korban dari
miskonsepsi, stereotype, label dan prasangka yang berakibat pada diskriminasi,
eksklusi, treatment yang keliru, serta perampasan terhadap hak untuk mendapatkan
pendidikan, pekerjaan dan layanan yang setara (Azra, 2017). Stigma negatif yang
menganggap penyandang disabilitas tidak produktif juga menyebabkan hak-hak
dasarnya sebagai warga negara belum diprioritaskan pemenuhannya. Stigma lain
ditimpakan pada orang tua: anak terlahir dengan disabilitas karena kesalahan orang
tua. Lahirnya UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ternyata belum
menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pendidikan, kesehatan, informasi, prasarana yang aksesibel dan hak-hak lainnya.
Studi kolaborasi Pemerintah Australia dengan Indonesia menunjukkan bahwa
orang dengan disabilitas di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang lebih
rendah, akses kesehatan yang lebih buruk, akses permodalan/ekonomi yang

Inovasi Pendataan Disabilitas iii


sangat kurang dan keterjangkauan terhadap layanan publik yang lebih terbatas
dibandingkan dengan orang tanpa disabilitas (AIPEG, 2017).
Namun demikian, gerakan persamaan hak untuk menuntut akses yang lebih
baik, fisik maupun nonfisik, untuk penyandang disabilitas mulai bermunculan.
PATTIRO adalah bagian dari gerakan itu, dan The Asia Foundation bangga
mendukung kerja-kerja penting ini. The Asia Foundation juga mendukung
pemerintah mengembangkan model pembangunan inklusif mulai dari advokasi
kebijakan hingga fasilitasi layanan dasar untuk penyandang disabilitas. Program
Peduli melalui upaya kolaboratif multipihak mendorong peningkatan pelayanan
dasar, penerimaan sosial dan perbaikan kebijakan di lokasi program.
Buku “Praktik Baik Pendataan Disabilitas” dan “Praktik Baik Pelayanan Publik bagi
Disabilitas” yang diterbitkan oleh PATTIRO ini adalah hasil dokumentasi berbagai
upaya perbaikan dan praktik-praktik baik yang selama beberapa tahun ini dilakukan
mellaui Program Peduli. Kami berharap dokumentasi ini dapat menjadi inspirasi
dan sumbangan berharga bagi perbaikan pendataan dan pelayanan publik bagi
disabilitas di Indonesia.

Dr Sandra Hamid
Country Representative, The Asia Foundation

iv
Kata Pengantar
Pusat REHABILITASI Yakkum

S
ejak berdiri tahun 1982, Pusat Rehabilitasi YAKKUM bermitra dengan berbagai
pihak, baik badan pemerintah maupun non pemerintah di tingkat global
sampai lokal untuk mewujudkan visi YAKKUM yaitu orang dengan disabilitas
yang mandiri terpenuhi hak dasarnya dalam masyarakat yang inklusif. Berbagai
upaya mulai rehabilitasi fisik, edukasi dan kampanye publik, penguatan organisasi
DPO sampai advokasi kebijakan publik dilakukan dengan memanfaatkan berbagai
peluang yang ada. Lebih dari 15,000 penyandang disabilitas dan keluarganya
dari berbagai wilayah di Indonesia telah difasilitasi dalam upaya mereka meraih
kemandirian dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Salah satu peluang yang sangat
bermakna bagi perjuangan pemenuhan hak disabilitas adalah dikeluarkannya
UU Disabilitas Nomor 8 Tahun 2016 yang menjadi kerangka kerja legal untuk
memastikan komitmen negara dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak dasar
disabilitas tersebut.
Tetapi legal framework saja tidak cukup, apalagi jika kita semua mengharapkan
lebih luas wilayah dan lebih banyak kelompok masyarakat yang terjangkau dan
memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak dalam wujud layanan publik yang
lebih inklusif, yang di dalamnya termaktub prinsip-prinsip peningkatan kesadaran
(awareness), aksesibilitas, yang menyeluruh, partisipasi dan pendekatan khusus
dan umum (twin track approach). Dalam Program Peduli dimana 78 organisasi
masyarakat sipil (baik yang berperan sebagai organisasi mitra payung maupun
mitra pelaksana) di 75 kota/kabupaten dalam 21 provinsi terlibat, YAKKUM
melakukan pelatihan pengarusutamaan pembangunan yang inklusif disabilitas
kepada mereka (khususnya yang tidak spesifik/secara khusus bekerja dalam
untuk isu disabilitas) agar semakin banyak pihak yang mempunyai kesadaran
terhadap isu disabilitas dan sepakat mewujudkan inklusi sosial dalam berbagai
aspek pembangunan. Selain itu dirasakan urgensi penyusunan kajian dan
pendokumentasian praktik baik dalam hal layanan disabilitas dan pendataan agar
tersedia referensi yang dapat diandalkan dan dapat menginspirasi pihak-pihak lain
dalam mengupayakan perlindungan dan pemenuhan hak dasar disabilitas dalam
bentuk layanan publik dan mereplikasikannya ke wilayah-wilayah lain.

Inovasi Pendataan Disabilitas v


Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berpengalaman dalam kajian
kebijakan dan penelitian secara luas, PATTIRO dipercaya memfasilitasi kebutuhan
strategis tersebut. Buku “Pelayanan Publik Bagi Disabilitas Kajian Praktik Baik dan
Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima
Provinsi pada Sektor Pelayanan Publik” dan “Praktik Baik Pendataan” yang disusun
oleh Tim PATTIRO dengan konsultasi luas dengan berbagai stakeholder termasuk
organisasi penyandang disabilitas (difable people organization) dan Pemerintah
diharapkan mampu menginspirasi sekaligus “memprovokasi” agar semakin banyak
pihak-pihak terdorong mewujudkan penyediaan data disabilitas dan layanan
publik yang berkualitas bagi pemenuhan dan perlindungan hak disabilitas.
Harapan kita bersama, hal ini akan menjadi batu titian dalam perjalanan ke depan
menuju Indonesia yang semakin inklusif.
Terima kasih untuk kerja keras Ibu Maya Rostanty dan Ibu Novita Anggraeni
beserta seluruh tim PATTIRO, hasil tidak akan mencederai proses!

Salam inklusi
Arshinta
Direktur Pusat Rehabilitasi YAKKUM

vi
Pengantar
PATTIRO

P
uji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga PATTIRO bisa
mempersembahkan Buku “Kajian Inovasi Pendataan Disabilitas”. Buku ini
diangkat dari praktik baik yang telah dilakukan oleh Mitra Program Peduli Fase 1
dari Pilar Disabilitas, yaitu YASMIB (Bone), SAPDA (Banjarmasin), SIGAB (Kulon Progo),
KARINAKAS (Sukoharjo), BAHTERA (Sumba Barat) dan PATTIRO (Lombok Barat).
Dalam perjalanannya, Program Peduli Pilar Disabilitas telah banyak menghasilkan
praktik baik yang tentu saja membawa perubahan dan manfaat yang besar untuk
Penyandang Disabilitas.
Pada fase 2 Program Peduli Pilar Disabilitas ini PATTIRO berkesempatan
melakukan kajian dan menyusun pembelajaran dari dokumentasi hasil serta proses
praktik baik pendataan disabilitas yang sudah dilakukan di enam wilayah tersebut.
Hasil analisis ini dituangkan ke dalam sebuah buku yang harapannya bisa menjadi
sumber rujukan atau pembelajaran terkait pendataan disabilitas bagi semua
pihak yang berkepentingan. Harapannya pengalaman dan pembelajaran ini yang
bisa direplikasi oleh Pemerintah Pusat/Daerah di tempat lain. Selain itu, buku ini
diharapkan menjadi sumbangsih PATIRO dalam upaya perbaikan kebijakan terkait
pendataan disabilitas sebagai salah satu langkah penting dalam pemenuhan hak
dasar disabilitas sesuai dengan amanat UU. Dengan demikian, pengalaman berharga
ini dapat menjadi bukti bahwa disabilitas mampu berkarya dan berpartisipasi dalam
kegiatan pemerintah dan sosial kemasyarakatan.
Kami berharap, buku ini menjadi bacaan yang menarik dan dapat dinikmati oleh
para pembaca yang budiman, dapat menginspirasi, dan memberikan manfaat. Pada
akhirnya, kebutuhan terhadap hak-hak disabilitas dapat tersosialisasi kepada seluruh
masyarakat.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan berkontribusi
terhadap penerbitan buku ini, terutama kepada tim pelaksana program di Jakarta, Tim
Peduli Fase 1 Pilar Disabilitas, dan terima kasih sebesar-besarnya kepada tim penulis.

Jakarta, Mei 2018

Direktur PATTIRO
Maya Rostanty

Inovasi Pendataan Disabilitas vii


Daftar Isi

Kata Pengantar The Asia Foundation....................................................................................... iii


Kata Pengantar YAKKUM............................................................................................................... v
Kata Pengantar PATTIRO............................................................................................................... vii
Daftar Isi .......................................................................................................................................... viii
Daftar Singkatan.............................................................................................................................. xi
Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel................................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................ 1
1.1 Konteks..................................................................................................................... 1
1.1.1 Pembangunan Inklusif dan Kepedulian Terhadap Disabilitas. 1
1.1.2 Pembangunan Berkelanjutan............................................................ 3
1.2 Kerangka Konseptual.......................................................................................... 7
1.2.1 Inovasi dan Praktik Baik........................................................................ 7
1.2.2 Konsep Pembangunan Inklusif.......................................................... 11
1.2.3 Partisipasi Disabilitas............................................................................. 13
1.3 Metodologi Kajian................................................................................................ 16
1.4 Profil Program Peduli Pilar Disabilitas........................................................... 17
1.5 Profil Mitra dan Lokasi Pendataan.................................................................. 19
1.5.1 SAPDA di Banjarmasin........................................................................... 19
1.5.2 SIGAB di Kulon Progo............................................................................ 19
1.5.3 KARINAKAS di Sukoharjo...................................................................... 20
1.5.4 YASMIB di Bone........................................................................................ 21
1.5.5 BAHTERA di Sumba Barat..................................................................... 21
1.5.6 PATTIRO di Lombok Barat..................................................................... 22
1.6 Keterbatasan Kajian............................................................................................. 23

BAB II INOVASI PENDATAAN DISABILITAS........................................................................ 24


2.1 Konteks Inovasi dalam Pendataan................................................................. 24
2.2 Praktik Inovasi Pendataan.................................................................................. 25

viii
2.2.1 SAPDA: Mendorong Penguatan DPO dalam Pendataan
Disabilitas di Kota Banjarmasin.......................................................... 25
2.2.2 SIGAB: Integrasi Pendataan Disabilitas dalam Sistem
Informasi Desa di Kulon Progo........................................................... 35
2.2.3 KARINAKAS: Pendataan Kolaboratif dan Efisien di
Sukoharjo................................................................................................... 45
2.2.4 YASMIB: Peran Pemerintah Desa dalam Pendataan Disabilitas
di Bone........................................................................................................ 58
2.2.5 BAHTERA: SAID dan Partisipasi berbagai Pihak dalam
Pendataan Disabilitas di 11 Desa di Kabupaten Sumba
Barat............................................................................................................. 66
2.2.6 PATTIRO: Aksi Kolektif Pendataan Disabilitas di Kabupaten
Lombok Barat........................................................................................... 76

BAB III ANALISIS DAN MODEL INOVASI PENDATAAN DISABILITAS................ 86


3.1 Analisis Proses dan Hasil.................................................................................... 86
3.1.1 Proses Pendataan.................................................................................... 86
3.1.2 Dampak Pendataan di Masyarakat................................................... 87
31.3 Peran Aktor dalam Kohesi Sosial....................................................... 89
3.1.4 Faktor Pendukung Pendataan............................................................ 89
3.1.5 Tantangan Pendataan........................................................................... 90
3.1.6 Perspektif Gender dalam Pendataan............................................... 92
3.2 Model Inovasi Pendataan Disabilitas............................................................. 92
3.2.1 Model Pendataan Antara DPO dengan Pemerintah Daerah
(Model 1).................................................................................................... 94
3.2.2 Model Pendataan Antara DPO dengan Pemerintah Desa
(Model 2).................................................................................................... 96
3.2.3 Model Pendataan Antara DPO dengan NGO (Model 3)............ 97
3.3 Strategi Penguatan Kapasitas Disabilitas..................................................... 98

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.................................................................. 101
4.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 101
4.2 Rekomendasi............................................................................................................... 102
4.2.1 Rekomendasi Umum............................................................................. 102
4.2.2 Rekomendasi Khusus............................................................................. 102
4.2.2.1 Rekomendasi Untuk Kemensos.......................................... 102

Inovasi Pendataan Disabilitas ix


4.2.2.2 Rekomendasi Untuk Bappenas........................................... 102
4.2.2.3 Rekomendasi Untuk Kemendagri...................................... 102
4.2.2.4 Rekomendasi Untuk Kementerian Desa dan PDTT...... 103
4.2.2.5 Rekomendasi Untuk BPS....................................................... 103
4.2.2.6 Rekomendasi Untuk Kominfo.............................................. 103
4.2.2.7 Rekomendasi Untuk Pemda................................................. 103
4.2.2.8 Rekomendasi Untuk Pemerintah Desa............................. 104
4.2.2.9 Rekomendasi Untuk CSO dan DPO................................... 104

Daftar Pustaka.................................................................................................................................. 105


Lampiran:
1. Form Pendataan SAPDA-Kota Banjarmasin............................................................. 108
2. Form Pendataan SIGAB – Kulon Progo...................................................................... 110
3. Form Pendataan YASMIB - BONE.................................................................................. 112
4. Form Pendataan PATTIRO – LOMBOK BARAT.......................................................... 114
5. Form Pendataan BAHTERA – SUMBA BARAT........................................................... 116
6. Formulir Pendataan Difabel Kabupaten Sukoharjo Tahun 2016...................... 118

x
Daftar Singkatan

Adminduk : Administrasi dan Kependudukan


APBDes : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
BAHTERA : Bahtera – Nama Yayasan
Bappeda : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
BDT : Basis Data Terpadu
BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
BPD : Badan Permusyawaratan Desa
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPMDES : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa
BPS : Badan Pusat Statistik
Capil : Catatan Sipil- Dinas
CRPD : Convention on the Rights of Person with Disabilities
CSO : Civil Society Organization
CSR : Corporate Social Responsibility
Dinsos : Dinas Sosial
DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
Dkk : Dan kawan kawan
DPO : Disabled/Disability People’s Organization
FGD : Focus Group Discussion
FKKADK : Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kecacatan
FKPI : Forum Komunikasi Pendidikan Inklusif
GDP : Gross Domestic Product
Gemar Lidi : Gerakan Masyarakat Peduli Disabilitas
Gerkatin : Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia
HAM : Hak Asasi Manusia

Inovasi Pendataan Disabilitas xi


HWDI : Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
ICF : International Classification of Functioning
IDI : Inclusive Development Index
ILO : International Labour Organization
IT : Information Technology
Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah
Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat
Jamkesus : Jaminan Kesehatan Khusus
JKD : Jaminan Kesehatan Difabel
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
KARINAKAS : Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang
Kasi : Kepala Seksi
KDD : Kelompok Disabilitas Daerah
KDLB : Kelompok Disabilitas Lingsar Bergerak
Kemensos : Kementerian Sosial
KIS : Kartu Indonesia Sehat
KK : Kartu Keluarga
Kominfo/Infokom : Komunikasi dan Informasi/ Informasi dan Komunikasi
Komnas : Komisi Nasional
KTP : Kartu Tanda Penduduk
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
LPP Bone : Lembaga Pemberdayaan Perempuan Bone
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MDGs : Millenium Development Goals
Mou : Memorandum of Understanding
MoV : Mean of Verification
Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan
NGO : Non Government Organization
NTT : Nusa Tenggara Timur

xii
ODKB : Orang Dengan Kecacatan Berat
ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa
P3D : Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas
PATTIRO : Pusat Telaah dan Informasi Regional
PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa
PBI : Penerima Bantuan Iuran
PD : Penyandang Disabilitas
Pemda : Pemerintah Daerah
Pemdes : Pemerintah Desa
Pemkab : Pemerintah Kabupaten
Perda : Peraturan Daerah
Permendikbud : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
PHL : Pekerja Harian Lepas
PKH : Program Keluarga Harapan
PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
PMKS : Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
PMM : Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu
PPDI : Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia
PRB : Pengurangan Risiko Bencana
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
PwD : People with Disability
RBM : Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat
RKPDes : Rencana Kerja Pemerintah Desa
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
RT : Rukun Tetangga
SAID : Sistem Administrasi dan Informasi Desa
SAIK : Sistem Administrasi dan Informasi Kelurahan

Inovasi Pendataan Disabilitas xiii


SAPDA : Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak
SDDK : Sistem Data Desa dan Kelurahan
SDGs : Sustainable Development Goals
SDM : Sumber Daya Manusia
SHG : Self Help Group
SID : Sistem Informasi Desa
SIGAB : Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel
SK : Surat Keputusan
SKPD/OPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah/Organisasi Perangkat Daerah
SLB : Sekolah Luar Biasa
TKSK : Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
UKM : Usaha Kecil Menengah
UNDP : United Nations Development Programme
UU : Undang-Undang
UUD : Undang - Undang Dasar
WECD : World Commisson on Environtment and Development
WEF : World Economic Forum
WHO : World Health Organization
YASMIB : Swadaya Mitra Bangsa

xiv
Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel

Bagan 1.1 Pembangunan Sosial Disabilitas....................................................................... 11


Bagan 2.1 Tahapan Pendataan Disabilitas yang dilakukan SAPDA di
Banjarmasin....................................................................................................................... 27
Bagan 2.2 Inovasi Pendataan di Kota Banjarmasin......................................................... 33
Bagan 2.3 Perbandingan pendataan SIGAB dan Pemerintah..................................... 37
Bagan 2.4 Tahapan Inovasi Pendataan oleh SIGAB di Kabupaten Kulon Progo... 39
Bagan 2.5 Partisipasi Disabilitas dalam Tahapan Pendataan....................................... 44
Bagan 2.6 Kegiatan Peran Aktor dalam Pendataan Tahap Pertama KARINAKAS 47
Bagan 2.7 Tahapan Perluasan dan Pengembangan Pendataan di Sukoharjo...... 50
Bagan 2.8 Tahapan Pendataan YASMIB di Kabupaten Bone........................................ 59
Bagan 2.9 Alur Pendataan di Mallari Setelah Melakukan Rapid Assessment.......... 61
Bagan 2.10 Alur Proses Pendataan di Sumba Barat........................................................ 68
Bagan 2.11 Proses Pembentukan Tim Pendataan di Desa........................................... 69
Bagan 2.12 Alur Pemakaian Data oleh Dinas Sosial dalam Penyaluran Bantuan
Sosial.................................................................................................................................... 79
Bagan 2.13 Tahapan Pendataan PATTIRO di Lombok Barat......................................... 80
Bagan 2.14 Partisipasi Disabilitas dalam Pendataan PATTIRO di Lombok Barat 84
Bagan 3.1 Proses, Pendekatan, dan Strategi...................................................................... 87
Bagan 3.2 Dampak Pendataan Disabilitas.......................................................................... 88
Bagan 3.3 Peran Aktor Pendataan Disabilitas................................................................... 89
Bagan 3.4 Faktor Pendukung Inovasi Pendataan Disabilitas....................................... 90
Bagan 3.5 Tantangan Pendataan Disabilitas..................................................................... 91
Bagan 3.6 Model 1...................................................................................................................... 95
Bagan 3.7 Model 2...................................................................................................................... 96
Bagan 3.8 Model 3...................................................................................................................... 98
Bagan 3.9 Strategi Penguatan Kapasitas Disabilitas dalam Pendataan................... 100

Inovasi Pendataan Disabilitas xv


Gambar 1.1 Model Kerangka Kerja Koalisi Perubahan Kebijakan.............................. 10
Gambar 2.1 Ilustrasi Pelaksanaan Pendataan Disabilitas di Banjarmasin............... 30
Gambar 2.2 Form Pendataan yang sudah Terisi............................................................... 34
Gambar 2.3 Proses Pendataan Anak Disabilitas............................................................... 34
Gambar 2.4 Keputusan Bupati Sukoharjo tentang Penerima Kartu Disabilitas... 46
Gambar 2.5 Pemeriksaan Disabilitas.................................................................................... 54
Gambar 2.6 Penyerahan Kartu DISABILITAS oleh Bupati Sukoharjo kepada
Perwakilan Disabilitas yang Sudah Didata............................................................. 55
Gambar 2.7 Surat Pemberitahuan kepada Tim RBM Kabupaten Sukoharjo
terkait Pendatan Disabilitas......................................................................................... 55
Gambar 2.8 Pembekalan Pendataan disabilitas di Kabupaten Sukoharjo............. 57
Gambar 2.9 Salah Satu Bantuan bagi Disabilitas yang Berasal dari Desa Sebagai
Hasil dari Pendataan Disabilitas di Desa Ngreco, Sukoharjo........................... 57
Gambar 2.10 Alat Bantu Dengar............................................................................................ 62
Gambar 2.11 Bedah Rumah Disabilitas Netra di Desa Mallari (Sebelum)............... 63
Gambar 2.12 Bedah Rumah Disabilitas Netra di Desa Mallari (Sesudah)................ 63
Gambar 2.13 Kartu BPJS Untuk disabilitas yang baru terdata di Lombok Barat... 77
Gambar 2.14 Daftar Penerima Kartu BPJS PBI untuk disabilitas yang baru
terdata................................................................................................................................. 78
Gambar 2.15.1Pertemuan Koordinasi Komunitas Disabilitas di Kecamatan
Lingsar dan Labuapi, Lombok Barat.........................................................................

Tabel 1.1 Indeks Pembangunan Inklusif............................................................................. 2


Tabel 2.1 Peran Aktor di Banjarmasin................................................................................... 28
Tabel 2.2 Peran Aktor di Kabupaten Kulon Progo........................................................... 40
Tabel 2.3 Peran Aktor di Kabupaten Sukoharjo................................................................ 51
Tabel 2.4 Daftar dan Peran Stakeholder pada Inovasi Pendataan.............................. 61
Tabel 2.5 Desa Dampingan Pendataan Disabilitas.......................................................... 70
Tabel 2.6 Jumlah Penyandang Disabilitas Hasil Pendataan......................................... 70
Tabel 2.7 Peran Para Aktor dalam Pendataan di Lombok Barat.................................. 80

xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks
1.1.1 Pembangunan Inklusif dan Kepedulian Terhadap Disabilitas
Pembangunan di Indonesia yang selama ini bertumpu pada paradigma
pertumbuhan memang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
tetapi membawa berbagai akibat negatif, antara lain eksklusivitas, kerusakan
lingkungan, penyusutan sumber daya alam, dan kesenjangan sosial. Pembangunan
lebih banyak didedikasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, dengan
Produk Domestik Bruto (GDP) sebagai ukuran utama, sementara kesejahteraan dan
keadilan sosial belum menjadi prioritas utama. Eksklusif dalam arti pertumbuhan
ekonomi di tangan sebagian kecil pihak, yaitu pengusaha besar/konglomerat dan
birokrat. Menurut Badan Pusat Statistik (2018) tingkat ketimpangan pengeluaran
penduduk Indonesia pada September 2017 yang diukur oleh Gini Ratio adalah
sebesar 0,391. Angka ini menurun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan
Gini Ratio Maret 2017 yaitu 0,393.
Paradigma pertumbuhan juga ternyata menciptakan eksklusi sosial, relatif
sulit bagi kelompok rentan untuk terlibat di dalam proses pembangunan. Oleh
karena itu, Indonesia memerlukan perubahan paradigma dari pembangunan
yang berorientasi pada ekonomi dengan output mengejar pertumbuhan ekonomi
(pembangunan eksklusif ), kepada paradigma pembangunan inklusif yang
bertujuan untuk menyejahterakan semua lapisan masyarakat. Pembangunan
inklusif ini merupakan konsep pembangunan yang mengupayakan pemberian
hak bagi kelompok yang terpinggirkan (disabilitas, miskin, dan minoritas) di dalam
proses pembangunan.
Pembangunan inklusif sendiri dapat diartikan sebagai proses untuk memastikan
bahwa semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan bisa terlibat sepenuhnya di
dalam proses pembangunan (International Disability and Development Consortium).
Pengertian lain adalah pembangunan yang merujuk pada pertumbuhan ekonomi
yang dibarengi dengan kesempatan ekonomi yang sama bagi semua orang
(Rauniyar & Kanbur, 2009), atau pembangunan untuk semua orang, tidak peduli
latar belakang dan perbedaan-perbedaannya (Prasetyantoko dkk, 2009). Bila

Inovasi Pendataan Disabilitas 1


dikaitkan dengan kepentingan penyandang disabilitas maka pembangunan
inklusif dapat didefinisikan sebagai pembangunan yang melibatkan peran serta
seluruh lapisan masyarakat, segala golongan: kaya-miskin, laki-laki - perempuan,
masyarakat rentan, indigenous people, dan penyandang disabilitas.
Bagi Indonesia, pembangunan inklusif tampaknya masih jauh dari yang
diharapkan. Hal ini setidaknya terlihat dari peringkat Indonesia pada Laporan
Pembangunan dan Pertumbuhan Inklusif 2017 (The Inclusive Growth and
Development Index 2017) yang dirilis oleh World Economic Forum pada awal tahun
2017. Negara kita berada pada peringkat 22 dari 79 negara berkembang dengan
nilai 4,29. Peringkat ini masih di bawah Thailand (12), Tiongkok (15), dan Malaysia
(16). Indeks Pembangunan Inklusif (Inclusive Development Index/IDI) adalah
sebuah indikator ekonomi yang berusaha memberikan gambaran lebih luas
tentang pemerataan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di suatu negara.
Indeks ini menggunakan tiga kelompok indikator yaitu growth and development
(pertumbuhan dan pembangunan), inclusion (inklusi) dan intergenerational
equity and sustainability (keadilan antargenerasi dan keberlanjutan). Skor IDI
menggunakan skala 1 sampai 7, dengan nilai 1 berarti terburuk dan nilai terbaik
adalah 7. Dari ketiga kelompok indikator IDI itu, indikator di kelompok “inclusion”
relatif sangat buruk, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 Indeks Pembangunan Inklusif

Value Rank Trend


Inclusion 1-7 (best) 3.57 43/79 - 1.6%
Net Income Inequality Gini 42.3 54/79 + 3.7
Poverty Rate % 36.4 49/79 - 9.9
Wealth inequality Gini 84 68/79 + 1.7
Median income $/day (PPP) per capita N/A - -
Sumber: World Economic Forum, The Inclusive Growth and Development Report 2017

Indikator di atas memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki masalah


ketimpangan yang serius. Dengan kata lain, pembangunan di Indonesia masih
jauh untuk dikatakan sebagai pembangunan yang inklusif. Padahal pembangunan
nasional sendiri bertujuan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
dan inklusif, yaitu pertumbuhan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang, terdistribusi di berbagai
wilayah, dan dapat mengurangi ketidaksetaraan pendapatan.

2
Konsep pembangunan inklusif ini dipandang tepat bagi Indonesia karena
sejalan dengan konsep keadilan sosial yang tercakup dalam sila Kelima
Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebagai negara yang
berkeadilan sosial maka negara berkewajiban melindungi hak asasi warganya
termasuk hak penyandang disabilitas, yang dapat dikatakan sebagai “kelompok
yang tidak diuntungkan” karena keterbatasan yang dimilikinya, dan memastikan
pembangunan yang dijalankan dapat dinikmati hasilnya oleh seluruh masyarakat,
termasuk penyandang disabilitas.
Pembangunan inklusif ini juga kerapkali dikaitkan dengan pembangunan
berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan
dalam laporan World Commission on Environment and Development (WECD) atau
dikenal dengan Laporan Komisi Brundtland yang dibentuk PBB pada tahun 1987
yang mendeskripsikan “Sustainable development is development that meets the
needs of present generations without compromising the ability of future generations
to meet their own needs“ (Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan
yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya). Dalam konsep
pembangunan berkelanjutan, menurut WECD ini, pencapaian tujuan ekonomi
harus selaras dengan tujuan sosial maupun kepentingan lingkungan. Selain
itu, kepentingan antarkelompok masyarakat dan antargenerasi juga mendapat
perhatian besar. Menurut Heal (1998), konsep keberlanjutan ini mengandung
dua dimensi, yaitu dimensi waktu karena menyangkut apa yang akan terjadi di
masa yang akan datang, dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem
sumber daya alam dan lingkungan. Definisi tentang pembangunan berkelanjutan
lainnya disampaikan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (1980) yang menyatakan bahwa untuk menjadi sebuah pembangunan
berkelanjutan, pelaksanaan pembangunan harus mempertimbangkan faktor
lingkungan, sosial maupun ekonomi yang berbasis pada sumberdaya kehidupan
dan mempertimbangkan keuntungan ataupun kerugian jangka panjang maupun
jangka pendek dari tindakan-tindakan yang dilakukan.

1.1.2 Pembangunan Berkelanjutan


Memperhatikan pengertian pembangunan berkelanjutan yang telah

Inovasi Pendataan Disabilitas 3


disampaikan maka setidaknya ada tiga dimensi dari pembangunan berkelanjutan,
yaitu dimensi sosial, yang mencakup keadilan sosial, kesetaraan gender atau
pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua, termasuk di dalamnya penyandang
disabilitas; dimensi ekonomi, yang dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi
untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau ekonomi kesejahteraan; dan dimensi
lingkungan, yang mencakup keseimbangan lingkungan dan lingkungan untuk
generasi sekarang dan yang akan datang (Gondokusumo dalam Budhy, 2005).
Pentingnya pembangunan berkelanjutan ini direspon secara global dengan
dideklarasikannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDGs) yang akan dilaksanakan hingga tahun 2030. SDGs sendiri merupakan
kelanjutan dari Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/
MDGs) yang telah dilaksanakan selama 15 tahun (2000-2015).
Terdapat 17 tujuan (goals) dalam SDGs. Beberapa di antaranya terkait erat
dengan penyandang disabilitas, yaitu: a) Goal 3 yaitu “Menjamin Kehidupan
yang Sehat dan Meningkatkan Kesejahteraan Seluruh Penduduk Semua Usia”;
b) Goal 4 yaitu “Menjamin Kualitas Pendidikan yang Inklusif dan Merata Serta
Meningkatkan Kesempatan Belajar Sepanjang Hayat Untuk Semua”; c) Goal 5 yaitu
“Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Kaum Perempuan”; d) Goal
8 yaitu “Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan,
Kesempatan Kerja yang Produktif dan Menyeluruh, serta Pekerjaan yang Layak
untuk Semua”; e) Goal 9 yaitu “Membangun Infrastruktur yang Tangguh,
Meningkatkan Industri Inklusif dan Berkelanjutan, serta Mendorong Inovasi”; f )
Goal 10 yaitu “Mengurangi Kesenjangan di dalam Negara dan antarnegara”; g)
Goal 11 yaitu “Menjadikan Kota dan Permukiman Inklusif, Aman, Tangguh, dan
Berkelanjutan”; h) Goal 16 yaitu “Menguatkan Masyarakat yang Inklusif dan Damai
untuk Pembangunan Berkelanjutan, Menyediakan Akses Keadilan untuk Semua,
dan Membangun Kelembagaan yang Efektif, Akuntabel, dan Inklusif di semua
Tingkatan”.
Berbeda dengan MDGs yang tidak menyebutkan secara eksplisit tentang
penyandang disabilitas maka SDGs justru memberi perhatian yang relatif besar
kepada penyandang disabilitas, seperti tercantum pada beberapa goals yang
disebutkan di atas. Oleh karena itu, implementasi SDGs harus menjadi momentum
untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam pembangunan.
Partisipasi penyandang disabilitas dalam implementasi SDGs sangat menentukan
dan menjadi alat uji apakah SDGs akan mengalami hal yang sama dengan MDGs
bagi penyandang disabilitas. Partisipasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk bekerja
sama dengan pemerintah dalam berbagai aktivitas terkait implementasi SDGs

4
sekaligus melakukan monitoring atas pencapaian SDGs. Partisipasi akan lebih kuat
dan bermakna besar, bila Organisasi Penyandang Disabilitas dapat bekerja sama
dengan pemangku kepentingan lainnya sehingga dapat memperkuat pesan yang
disampaikan dan memperkuat dukungan bagi penyandang disabilitas.
Memperhatikan pemaparan di atas maka pembangunan inklusif dan
pembangunan berkelanjutan merupakan pendekatan pembangunan yang
tepat bagi Indonesia dalam rangka memastikan proses dan hasil pembangunan
dapat dirasakan oleh semua, termasuk penyandang disabilitas, baik di generasi
sekarang maupun yang akan datang. Perhatian kepada penyandang disabilitas ini
menjadi sangat penting karena jumlahnya relatif besar dan menghadapi sejumlah
tantangan. Secara global, penyandang disabilitas berjumlah sekitar 15% dari
jumlah penduduk di dunia atau lebih dari satu miliar jiwa. Dari jumlah penyandang
disabilitas dunia tersebut, 82% hidup di negara-negara berkembang dan berada
di bawah garis kemiskinan dan kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas
kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak. Sementara di Indonesia,
berdasarkan data dari WHO, diperkirakan 10% dari jumlah penduduk Indonesia
adalah penyandang disabilitas atau lebih dari 24 juta jiwa. Para penyandang
disabilitas ini merupakan masyarakat yang termarjinalkan dan rentan. Penyandang
disabilitas juga kerapkali terisolir secara sosial dan menghadapi diskriminasi dalam
akses atas kesehatan, pendidikan dan pekerjaan (ILO, tanpa tahun).
Masalah dan kebutuhan khusus yang dihadapi oleh penyandang disabilitas
ini memerlukan perhatian dari berbagai pihak melalui upaya-upaya inovatif
untuk mengatasinya. Mengapa diperlukan upaya inovatif? Karena permasalahan
yang dihadapi oleh penyandang disabilitas selama ini relatif kurang mendapat
perhatian yang memadai, terutama terkait akses pelayanan publik dan akses
mereka pada hasil pembangunan lain. Jumlah dan kondisi disabilitas yang belum
masuk dalam target spesifik pembangunan menyebabkan berbagai hambatan
tambahan pada aspek mendasar kehidupan mereka. Pelayanan yang diberikan
sebagian besar penyelenggara pelayanan publik belum ramah disabilitas, dalam
arti tidak memperhatikan keterbatasan yang dimiliki penyandang disabilitas
dalam berinteraksi dengan penyedia pelayanan. Misalnya, tidak tersedia petugas
pelayanan yang memahami bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan
penyandang disabilitas rungu dan wicara.
Dalam konteks besar pembangunan inklusif dan berkelanjutan, terutama dalam
proses dan hasil pembangunan, dipandang penting adanya upaya inovasi untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi penyandang disabilitas dan memastikan
penyandang disabilitas dapat terlibat secara aktif dalam proses pembangunan dan

Inovasi Pendataan Disabilitas 5


menikmati hasil-hasil pembangunan secara optimal. Salah satu aspek yang harus
dipenuhi jika ingin memastikan masuknya kebutuhan khusus disabilitas dalam
proes dan hasil pembangunan adalah tersedianya data disabilitas yang menyeluruh
dan terus diperbaharui maka memunculkan satu inovasi yang diperlukan yaitu
pendataan disabilitas yang bisa menjangkau seluruh penyandang disabilitas di
suatu wilayah. Mengapa pendataan? Karena data memiliki peran dan manfaat yang
signifikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan
yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud bila data penerima manfaat
pembangunan juga tersusun dengan baik dan terbangun melalui mekanisme
pemutakhiran secara teratur. Bagi kelompok rentan, termasuk masyarakat miskin
dan penyandang disabilitas, tidak tersedianya data yang akurat akan menambah
kerentanan dan berpotensi menghambat terpenuhinya hak dan pelayanan dasar.
Saat ini, masih terdapat berbagai hal yang menyebabkan belum tersedianya
satu data disabilitas yang komprehensif dan bisa digunakan oleh semua sektor
dalam pembangunan. Masalah pendataan disabilitas ini meliputi tiga hal utama,
yaitu instrumen pendataan, mekanisme pendataan, dan pemanfaatan data.
Dari sisi instrumen misalnya, beberapa sektor di pemerintahan menggunakan
instrumen pendataan yang berbeda dan belum sepenuhnya menggunakan
pendekatan berdasar hambatan. Dalam hal mekanisme, belum bisa menjangkau
semua disabilitas dari semua wilayah, kondisi kedisabilitasan, usia, dan lainnya.
Mekanisme yang ada saat ini, antara lain sistem pencatatan dengan menunggu
disabilitas atau keluarganya melapor, kelemahannya adalah banyak keluarga
disabilitas atau disabilitas enggan mendaftarkan dirinya sebagai disabilitas
karena masalah akses atau stigma negatif. Mekanisme kedua adalah sensus atau
pendataan langsung, tetapi mekanisme sensus yang ada masih berupa sampling
dan belum menyeluruh serta proses pemutakhirannya lama sehingga belum bisa
memastikan semua disabilitas didata menyeluruh dan tidak diperbaharui secara
cepat.
Perbedaan mekanisme dan instrumen ini tentu saja menghasilkan data
yang berbeda-beda. Misalnya, Dinas Sosial hanya mendata disabilitas berat
yang mendapat bantuan, Dinas Pendidikan memiliki data disabilitas anak
yang bersekolah di SLB, dan sebagainya. Ketiadaan satu data disabilitas yang
menyeluruh di berbagai tingkat pemerintah ini menyebabkan banyak disabilitas
terus tereksklusi. Beberapa masalah yang memberi dampak langsung pada
disabilitas terkait pendataan penyandang disabilitas ini, di antaranya banyaknya
penyandang disabilitas yang tidak terdata melalui mekanisme konvensional
yang selama ini dilakukan pemerintah menyebabkan perbedaan dan kebutuhan

6
mereka tidak masuk dalam rencana pembangunan, tidak memiliki KTP, tidak bisa
mengakses pelayanan dasar karena bangunan fasilitas publik seperti puskesmas
dan sekolah yang tidak bisa bisa diakses disabilitas, anak berkebutuhan khusus
kesulitan mendapat pengobatan gratis, dan sebagainya. Salah satu hal yang
menyebabkan berbagai masalah pendataan ini antara lain terkait keterlibatan
masyarakat, khususnya penyandang disabilitas dalam proses pendataan.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini berusaha memotret upaya-upaya
inovasi dan praktik baik yang telah dilakukan untuk memastikan masalah
pendataan yang dihadapi penyandang disabilitas dapat diatasi. Buku ini mengkaji
dan menganalisa berbagai praktik dan temuan terkait pendataan disabilitas di
berbagai daerah. Hal yang dikaji meliputi instrumen pendataan, pihak-pihak yang
terlibat dan sumberdaya dalam pendataan, termasuk keterlibatan masyarakat,
keluarga dan penyandang disabilitas itu sendiri, tantangan dan faktor pendukung
pendataan disabilitas, serta penerimaan pemerintah dan rencana pengembangan
atas inovasi pendataan disabilitas ini. Berbagai inovasi yang dipaparkan di
dalamnya merupakan hasil dari pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase
1 yang dilaksanakan pada tahun 2014 sampai dengan 2016 (selanjutnya disebut
Program Peduli).
Inovasi-inovasi pendataan penyandang disabilitas yang dikupas dalam buku
ini relevan dengan pembangunan inklusif dan berkelanjutan karena di dalamnya
memaparkan permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas; upaya-upaya
inovasi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, meliputi proses
inovasi yang melibatkan penyandang disabilitas sendiri dan para pemangku
kepentingan; hasil dari proses inovasi dimaksud, termasuk dampaknya bagi
penyandang disabilitas; serta peluang atau kemungkinan inovasi tersebut untuk
direplikasi atau ditingkatkan (scale-up) ke tingkat yang lebih luas.
Penyusunan Kajian Inovasi Pendataan Disabilitas ini merupakan bagian dari
pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang diharapkan memberikan
manfaat yang lebih banyak bagi penyandang disabilitas di tanah air. Hasil kajian ini
diharapkan menjadi bahan advokasi dalam upaya perbaikan kebijakan pendataan
disabilitas di tingkat nasional sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih
besar dan signifikan bagi penyandang disabilitas di seluruh tanah air.

1.2 Kerangka Konseptual


1.2.1 Inovasi dan Praktik Baik
Menurut Suryani (2008:304), inovasi dapat berupa ide, cara-cara ataupun obyek
yang dipersepsikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru. Inovasi juga sering

Inovasi Pendataan Disabilitas 7


digunakan untuk merujuk pada perubahan yang dirasakan sebagai hal yang baru
oleh masyarakat yang mengalami. Kata inovasi dapat diartikan sebagai “proses”
atau “hasil” pengembangan dan atau pemanfaatan atau mobilisasi pengetahuan,
keterampilan (termasuk keterampilan teknologi) dan pengalaman untuk
menciptakan atau memperbaiki produk, proses yang dapat memberikan nilai
yang lebih berarti. Menurut Rosenfeld dalam Sutarno (2012:132), inovasi adalah
transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa baru, atau tindakan
menggunakan sesuatu yang baru.
Rogers (1983) inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dipahami
sebagai sesuatu yang baru oleh masing-masing atau unit pengguna lainnya. Rogers
juga menyatakan bahwa inovasi mempunyai atribut tertentu, yaitu 1) Keuntungan
Relatif. Sebuah inovasi harus mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan
dengan inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam
inovasi yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain; 2) Kesesuaian.
Inovasi juga sebaiknya mempunyai sifat kompatibel atau kesesuaian dengan
inovasi yang digantinya. Hal ini dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak dibuang
begitu saja, selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, juga karena inovasi
yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi yang baru. Selain itu, juga
dapat memudahkan proses adaptasi dan proses pembelajaran terhadap inovasi
itu secara lebih cepat; 3) Kerumitan. Dengan sifatnya yang baru maka inovasi
mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi dibandingkan dengan
inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena sebuah inovasi menawarkan cara
yang lebih baru dan lebih baik maka tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak
menjadi masalah penting; 4) Kemungkinan dicoba. Inovasi hanya bisa diterima
apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai dibandingkan
dengan inovasi yang lama. Sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji publik”,
dimana setiap orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk menguji kualitas
dari sebuah inovasi; dan 5) Kemudahan diamati. Sebuah inovasi harus juga dapat
diamati, dari segi bagaimana sebuah inovasi bekerja dan menghasilkan sesuatu
yang lebih baik.
Agar inovasi ini bermanfaat bagi lebih banyak orang atau pihak maka perlu
disebarluaskan. Diharapkan melalui penyebarluasan inovasi ini, inovasi dapat
ditiru atau direplikasi pihak lain. Dalam konteks penyebarluasan ini, Rogers
(1983) mengemukakan konsep difusi inovasi. Menurutnya, difusi adalah proses
dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka
waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial. Di samping itu, difusi
juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses

8
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Jadi, difusi inovasi
menurut Rogers (1983) adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal
yang baru dalam upaya untuk mengubah suatu masyarakat yang terjadi secara
terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu
ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya
kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Tujuan utama dari difusi inovasi
adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang
pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial
dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi sampai kepada masyarakat.
Secara terminologi, praktik baik sendiri sebenarnya masih terkait dengan aspek
dalam definisi inovasi, yaitu adanya proses implementasi dari suatu gagasan dengan
menggunakan cara yang lebih dari biasanya. Misalnya, dilakukan dengan lebih
efektif, adanya tambahan nilai dalam praktik baik tersebut, serta berbagai aspek
yang menjadikan implementasi tersebut lebih baik dibandingkan pelaksanaan
pada umunya. Carusso (2014) menjelaskan bahwa:
“Aktualisasi praktik baik dapat mencakup elaborasi lebih lanjut tentang nilainya,
kulaitas penerapan, keefektifan, hasil, dan kemampuan pengaktual. Meskipun
penting untuk memperjelas perbedaan-perbedaan ini untuk menghindari
kebingungan dalam penyebutan, pelaksanaan, atau mengevaluasi “praktk baik”
adalah hanya beberapa orang yang akan melakukannya”.
Meskipun yang dilakukan bukan hal baru, dalam hal ini pendataan adalah
sesuatu yang dilakukan oleh berbagai pihak dan agak umum. Namun, berbagai
praktik baik pendataan yang akan dibahas dalam buku ini memiliki berbagai aspek
khusus dan nilai tambah daripada praktik pendataan yang umum dilakukan yang
mencakup pada efektifitas, peningkatan kualitas hasil, serta penambahan nilai
yaitu integrasi nilai-nilai inklusivitas dalam proses dan mekanisme pendataan.
Kajian ini akan memotret praktik baik pendataan disabilitas yang dilaksanakan
oleh mitra Program Peduli di enam lokasi studi dan menganalisis model pendataan
disabilitas ,terutama dengan mengaitkannya kepada pembangunan inklusif,
berupa model di tingkat lokal yang dapat direplikasi, dikembangkan dan nantinya
dapat diadvokasikan pada tingkat nasional. Analisis model ini akan menggunakan
kerangka pikir yang dikemukakan oleh Grindle (dalam Najam A, 1995) seperti
dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Inovasi Pendataan Disabilitas 9


Gambar 1.1. Model Kerangka Kerja Koalisi Perubahan Kebijakan

Sumber : Grindle’s dalam Najam A (1995)

Bila dilihat dari gambar di atas, tampak bahwa ada tiga parameter yang relatif
stabil dalam model kerangka kerja Koalisi Advokasi pada Perubahan Kebijakan
yang dikemukakan Grindle, yaitu: 1) aksesibilitas sumber daya ekonomi, politik,
sosial dan alam; 2) struktur sosial inklusif dan nilai sosial budaya fundamental;
dan 3) struktur konstitusi dasar (UU, peraturan, kebijakan) inklusif. Dari ketiga
parameter yang relatif stabil tersebut, inovasi dan kajian ini lebih terfokus pada
aspek kedua yaitu struktur sosial inklusif dan nilai sosial budaya fundamental. Hal
ini terjadi karena sebagian besar intervensi dan inovasi yang dipotret dalam kajian
ini terfokus pada aspek struktur sosial yang terbentuk selama ini, yaitu stigma
disabilitas, keluarga dan masyarakat serta struktur konstitusi seperti kebijakan/
peraturan terkait hak disabilitas di level desa hingga unit layanan. Parameter
spesifik dari struktur sosial inklusif dan nilai sosial budayaa adalah pada perubahan
paradigma tentang disabilitas pada masyarakat, keluarga, dan disabilitas
sendiri. Sementara pada aspek kebijakan, upaya perubahan dilakukan dengan
mempengaruhi atau melakukan advokasi terhadap peraturan dan atau kebijakan
di tingkat kabupaten, termasuk kebijakan inklusif di tingkat desa sebagai strategi
keberlanjutan. Hasil kajian ini diharapkan mampu memberi kontribusi pada upaya

10
mendorong perubahan kebijakan di tingkat daerah (kabupaten dan provinsi)
hingga pada kebijakan di tingkat nasional.

1.2.2 Konsep Pembangunan Inklusif


Praktik baik pendataan disabilitas pada dasarnya merupakan bagian dari upaya
pembangunan inklusif. Salah satu konsep pembangunan inklusif yang berkaitan
dengan kebijakan dikemukakan oleh guru besar sosiologi Universitas Indonesia,
Prof. Paulus Wirutomo melalui Model Pembangunan Sosial Disabilitas 1980)
yang melihat setidaknya ada tiga variabel penting yang dapat dijadikan rujukan,
yaitu: variabel struktural, proses sosial (interaksi sosial), dan budaya. Model ini
menekankan pada variabel struktur, seperti kebijakan, sistem pengelolaan, sistem
anggaran, dan regulasi. Sedangkan variabel proses sosial menghadirkan interaksi
sosial dalam bentuk sosialisasi program dan kegiatan, advokasi serta monitoring
dan evaluasi. Sementara itu variabel budaya menekankan pada program dan
kegiatan yang terkait pendataan disabilitas dapat dimaksimalkan serta mendapat
dukungan masyarakat dan dijadikan budaya dalam kehidupan sehari-hari. Budaya
dukungan terhadap perorangan atau kelompok disabilitas ini harus melekat dan
menjadi nilai keseharian dalam kehidupan masyarakat, sehingga keberadaan
disabilitas bukan dikucilkan tetapi eksistensinya dihargai sebagai bagian setara
dengan kelompok masyarakat lainnya (masyarakat inklusif ). Secara ringkas model
pembangunan inklusif dapat dilihat pada bagan berikut.

Bagan 1.1 Pembangunan Sosial Disabilitas

Struktur

Proses Sosial

Budaya Masyarakat

Sumber: Paulus Wirutomo (1980)

Inovasi Pendataan Disabilitas 11


Model pembangunan sosial disabilitas ini analisisnya dimulai dari konsep
eksklusi sosial yang dialami penyandang disabilitas, yang secara sengaja maupun
tidak telah termarjinalkan dari proses pembangunan dan kehidupan sosial. Oleh
karena itu, Rene Lenoir (1980) melalui paradigma inklusi sosial mengajak semua
orang dari berbagai latar belakang etnis, ras, agama, status sosial, pendidikan,
kesehatan, gender, lingkungan yang berbeda untuk masuk dan terlibat dalam
pembangunan berbagai bidang kehidupan. Model ini tidak menyangkal bahwa
perbedaan-perbedaan individual tertentu mengakibatkan keterbatasan individual,
tetapi hal ini tidak boleh menjadi penyebab terjadinya sebuah eksklusi sosial atau
marjinalisasi sosial.
Pendekatan pembangunan sosial melalui paradigma inklusif ini mulai
dikenalkan tahun 1960-an melalui gerakan hak sipil penyandang disabilitas
yang merupakan bagian dari gerakan hak asasi manusia (HAM). Istilah model
sosial (social model) itu sendiri muncul di Inggris pada tahun 1980-an. Pada 1976,
organisasi Union of the Physically Impaired Against Segregation (UPIAS), Inggris
menyatakan bahwa disabilitas merupakan ketidakberuntungan atau keterbatasan
kegiatan yang diakibatkan oleh masyarakat yang kurang atau tidak peduli terhadap
orang yang menyandang ketunaan fisik dan karena itu mengeksklusikan mereka
untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat umum (Wikipedia, 2009
b). Pada 1983, akademisi penyandang disabilitas Mike Oliver menggunakan
istilah ‘social model of disability’ untuk mengacu pada perkembangan ideologi
ini. International Classification of Functioning, Health and Disabilities (ICF-WHO,
2001) juga mendefinisikan disabilitas dengan dijiwai oleh model sosial ini. ICF
mendefinisikan disabilitas sebagai konsep multi-dimensional, terkait dengan tiga
komponen, yaitu struktur dan fungsi tubuh seseorang, bidang kegiatannya dalam
kehidupan sehari-hari, dan faktor-faktor dalam lingkungan yang mempengaruhi
pengalaman hidupnya, termasuk faktor sikap.
Model sosial memandang penyandang disabilitas sebagai bagian dari ekonomi,
lingkungan dan budaya masyarakat. Jika seorang penyandang disabilitas tidak
dapat ambil bagian dalam kegiatan di masyarakat, yang menjadi masalah adalah
tantangan-tantangan yang mencegah individu itu memainkan peran di dalam
masyarakat yang bersangkutan, bukan karena individu itu sendiri. Tantangan
itu meliputi di bidang pendidikan, informasi dan sistem komunikasi, lingkungan
kerja, layanan kesehatan dan sosial, transportasi, perumahan, bangunan umum,
dan fasilitas layanan umum. Perendahan martabat penyandang disabilitas melalui
pencitraan negatif di berbagai media seperti film, televisi dan surat kabar juga
merupakan hambatan bagi disabilitas.

12
Berbagai tantangan masih ada dalam berbagai bidang, seperti pendidikan,
informasi dan sistem komunikasi, lingkungan kerja, layanan kesehatan dan sosial,
transportasi, perumahan, bangunan umum, fasilitas layanan umum, dan lain-lain.
Perendahan martabat penyandang disabilitas melalui pencitraan negatif di media
– films, televisi, dan surat kabar juga merupakan tantangan.
Model sosial dalam pelayanan disabilitas ini dikembangkan dengan tujuan
menghilangkan berbagai hambatan agar para penyandang disabilitas memiliki
kesempatan yang sama seperti semua orang untuk menentukan gaya hidup atau
jati dirinya atau mengekspresikan diri melalui gaya hidupnya sendiri. Model sosial
ini mensyaratkan terjadinya perubahan-perubahan yang dapat berupa:
1. Sikap, misalnya sikap yang lebih positif terhadap karakteristik mental
atau perilaku tertentu, atau tidak meremehkan potensi kualitas hidup
seseoranga yang berpotensi menjadi disabilitas.
2. Dukungan sosial, misalnya bantuan untuk mengatasi hambatan yang
diakibatkan oleh disabilitas, penyediaan sumber-sumber yang dibutuhkan,
penyediaan alat bantu atau melakukan “diskriminasi positif” untuk
mengatasi hambatan tersebut.
3. Informasi, misalnya menggunakan format yang cocok, misalnya huruf
Braille bagi disabilitas netra atau bahasa isyarat bagi disabilitas rungu atau
bahasa yang lebih sederhana bagi disabilitas grahita.
4. Struktur fisik, misalnya bangunan dengan jalan masuk yang landai atau lift
untuk pengguna kursi roda.

1.2.3 Partisipasi Disabilitas


Pemahaman mengenai partisipasi setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yaitu
apa makna dari partisipasi dan siapa yang berpartisipasi. Paul (1987:14) menyatakan
partisipasi masyarakat sebagai suatu proses aktif, dimana masyarakat dapat
mempengaruhi arah serta pelaksanaan dari pembangunan dengan maksud untuk
meningkatkan kesejahteraannya dalam arti penghasilan, perkembangan pribadi,
kemandirian, serta berbagai nilai yang diyakini. Bank Dunia menyatakan partisipasi
adalah suatu proses dimana berbagai pelaku (stakeholders) dapat mempengaruhi
serta membagi wewenang dalam menentukan inisiatif-inisiatif pembangunan dan
keputusan serta pengalokasian berbagai sumber (Bank Dunia, 1994).
Hal senada diungkap oleh Soetrisno (1995) yang menyatakan makna
partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan,
melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunannya.
Mikkelsen (2001:64) bahkan mengumpulkan berbagai tafsiran mengenai

Inovasi Pendataan Disabilitas 13


partisipasi. Pertama, partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada
proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi adalah
”pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan
menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan.
Ketiga, partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa
orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan
kebebasan untuk melakukan hal itu. Keempat, partisipasi adalah pemantapan
dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan,
pelaksanaan, monitoring proyek agar memperoleh informasi mengenai konteks
lokal, dan dampak-dampak sosial. Kelima, partisipasi adalah keterlibatan
sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. Keenam,
partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan
dan lingkungannya.
Berbagai pendapat mengenai pengertian partisipasi itu lebih ditujukan
pada keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya.
Partisipasi sebagai salah satu indikator penting dari demokrasi juga diungkapkan
oleh Ida (2002: 97) yang menyatakan partisipasi menjadi sangat penting karena
secara umum pola hubungan antara masyarakat dan pemerintah diyakini akan
terbangun dengan baik jika terjadi secara sinergis dan dinamis. Artinya, posisi
masyarakat dan pemerintah berada pada kondisi saling berhubungan, baik dalam
proses pembuatan keputusan, pelaksanaan keputusan, maupun dalam mengawasi
pelaksanaan keputusan tersebut.
Arnstein (1969: 216-224) menyatakan bahwa partisipasi berkaitan erat dengan
pembagian kekuasaan yang memungkinkan masyarakat untuk ikut serta dalam
proses politik dan ekonomi untuk terlibat dalam penentuan masa depan dan
konsep pemberdayaan masyarakat sebagai upaya peningkatan kemampuan
dalam pengambilan keputusan dan mengontrol masa depan masyarakat sendiri.
Dari beberapa definisi tersebut, partisipasi dimaknai sebagai adanya keterlibatan
warga masyarakat dalam melakukan pengambilan keputusan yang terkait dengan
pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah, dalam kerangka peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraannya, termasuk menyangkut pelayanan publik
yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Tjokroamidjojo (1995:207) mengemukakan tiga bentuk partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, yaitu partisipasi dalam perencanaan pembangunan;
partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan; dan partisipasi dalam memanfaatkan
hasil-hasil pembangunan. Keith Davis dalam Sastropoetro (1988:16) menyatakan

14
bentuk-bentuk partisipasi adalah:
a. Sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu
(dermawan, pihak ketiga);
b. Mendirikan proyek yang sifatnya mandiri dan dibiayai seluruhnya oleh
komunitas (biasanya diputuskan dalam rapat desa);
c. Aksi massa;
d. Mengadakan pembangunan di kalangan desa sendiri; dan
e. Membangun proyek komunitas yang bersifat otonom.
Thoha sebagaimana dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002: 6) melihat partisipasi
dari sifatnya, yang dapat dibagi dua jenis, yaitu: partisipasi otonom/mandiri
yaitu suatu bentuk partisipasi yang lahir dari kesadaran masyarakat untuk
mempengaruhi kebijakan publik; dan partisipasi mobilisasi, termasuk di dalamnya
partisipasi seremonial yaitu suatu bentuk partisipasi yang digerakkan oleh orang
atau kelompok tertentu, umumnya bagi negara berkembang dilakukan oleh
kelompok elit tertentu, bukannya berangkat dari kesadaran masyarakat. Partisipasi
seremonial adalah bentuk seperti partisipasi dalam pemilu.
Dari penjelasan mengenai makna dari partisipasi itu ternyata partisipasi
dalam arti luas mencakup pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan hingga
kontrol masyarakat. Partisipasi dapat terjadi dalam iklim demokrasi. Dalam
perkembangannya, ada perubahan pandangan mengenai partisipasi. Masyarakat
tidak lagi memandang partisipasi sebagai hadiah atas kebaikan hati pemerintah,
tetapi partisipasi dianggap sebagai bagian dari pelayanan dasar dan upaya untuk
mengawasi jalannya pemerintahan. Partisipasi juga berarti berbagai cara atau
bentuk yang dilakukan masyarakat untuk mempengaruhi kualitas kebijakan atau
pelayanan dari pemerintah agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan warga
masyarakat sendiri.
Pentingnya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Ramlan Surbakti yang
dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002:101) yaitu masyarakat, bukan pemerintah, yang
paling mengerti tentang apa yang terbaik buat dirinya, dan masyarakat berhak ikut
serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan mempengaruhi
kehidupan mereka.
Pada pelaksanaannya, partisipasi tidaklah sama di satu tempat dengan tempat
lainnya. Praktik partisipasi berbeda-beda satu sama lain. Pada artikel Topic Pack on
Participatory Planning-Section One (IDS, 2002:4) digambarkan bahwa partisipasi
dapat dilakukan melalui konsultasi, kehadiran dan keterwakilan masyarakat dan
pengaruh dari masyarakat. Sutrisno (2000:21) menyatakan partisipasi masyarakat
dapat dilakukan melalui andil informasi, konsultasi, pengambilan keputusan dan

Inovasi Pendataan Disabilitas 15


inisiatif tindakan.
Sementara Wilcox (dalam Dwiyanto, 2005:192) membagi partisipasi dalam
lima tingkatan, yaitu pemberian informasi; konsultasi; pembuatan keputusan
bersama; melakukan tindakan bersama; dan mendukung aktivitas yang muncul
atas swakarsa masyarakat. Menurut Wilcox, pada level mana partisipasi masyarakat
akan dilakukan sangat tergantung pada kepentingan apa yang hendak dicapai.
Untuk pengambilan kebijakan strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang
banyak, tentu masyarakat harus dilibatkan secara penuh. Sementara dalam
pengambilan keputusan yang lebih bersifat teknis, mungkin pemberian informasi
kepada masyarakat sudah memadai.
Dalam kajian ini, partisipasi yang dilihat adalah partisipasi masyarakat,
khususnya penyandang disabilitas, dalam proses pendataan disabilitas. Partisipasi
penyandang disabilitas ini akan dilihat dari tingkat partisipasinya, dengan
menggunakan tingkat partisipasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Wilcox di
atas.

1.3 Metodologi Kajian


Kajian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Kajian ini berupaya
mengumpulkan, meneliti dan mendeskripsikan berbagai praktik baik dan inovasi
pendataan yang telah dikembangkan oleh Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1 (selanjutnya disebut Mitra Peduli) dan atau pemerintah daerah dalam rangka
pemenuhan hak penyandang disabilitas dan menganalisis faktor pendukung
dan penghambat dalam mengembangkan inovasi pendataan penyandang
disabilitas, serta analisis terhadap peluang dari inovasi dimaksud untuk diperluas
dan dikembangkan ke tingkat nasional dan menjadi masukan untuk penyusunan
kebijakan pelayanan publik yang ramah disabilitas.
Secara umum, dapat dikatakan paradigma yang memayungi kajian ini adalah
post positivism. Paradigma post-positivism memiliki karakteristik utama yaitu
pencarian makna di balik data (Denzin dan Lincoln: 1994). Dalam kajian inovasi
pendataan penyandang disabilitas ini, pendekatan penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif, mengingat secara tradisional, paradigma post-
positivism berbasis pendekatan kualitatif (Ricucci, 2010). Oleh karena itu, dalam
rangka memotret tahapan, berbagai indikator dalam proses pendataan ditujukan
untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan akan dikonfirmasi langsung kepada
Mitra Peduli dan atau penyandang atau organisasi penyandang disabilitas.
Ruang lingkup isi kajian inovasi pendataan penyandang disabilitas ini
mencakup latar belakang pendataan yang dilakukan oleh Mitra Peduli; instrumen

16
yang digunakan dalam pendataan; mekanisme pendataan dan pemutakhirannya
(updating); kesesuaian (adaptable) terhadap mekanisme pendataan di tingkat
nasional; persepsi para pemangku kepentingan (NGO pendamping, DPO,
penyandang disabilitas, dan pemerintah daerah yang didampingi); faktor
pendukung dan penghambat inovasi; penerimaan (buy-in) inovasi oleh pemerintah
daerah dalam bentuk kebijakan, anggaran dan lainnya; serta peluang inovasi untuk
direplikasi dan atau ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Kajian dilakukan di wilayah kerja Mitra Peduli, yaitu di Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bone, Kabupaten Lombok Barat, Kota
Banjarmasin, dan Kabupaten Sumba Barat. Kajian dilakukan selama enam bulan,
dari bulan September 2017 hingga Januari 2018.
Data dikumpulkan melalui data sekunder melalui studi pustaka, dan data
primer melalui wawancara mendalam dan observasi. Data sekunder dikumpulkan
dari Mitra Peduli, terutama terkait dengan laporan pelaksanaan pendataan dan
hasil pendataan. Laporan pendataan dimaksud termasuk form pendataan yang
digunakan dan hasil kompilasi pendataan. Kemudian, hasilnya dianalisis dan
dituangkan dalam bentuk laporan desk study. Hasil desk study ini didalami melalui
wawancara mendalam dan observasi secara langsung ke wilayah kerja Mitra Peduli.
Untuk memastikan data dan informasi yang diperoleh akurat maka dilakukan
triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data itu (Moleong, 2009). Menurut Lather dalam Creswell
(2007), triangulasi merupakan salah satu jenis validasi, meliputi beberapa sumber
data, metode dan teori. Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan terhadap
sumber data, yaitu kepada para pemangku kepentingan isu disabilitas, untuk
mengkonfirmasi kebenaran data atau informasi. Hasil wawancara mendalam dan
observasi ini dipandang penting untuk dilakukan triangulasi untuk memastikan
kecukupan dan kesahihan data yang melibatkan staf atau petugas dari Mitra Peduli
yang terlibat secara langsung dalam inovasi pendataan penyandang disabilitas.
Hasil dari seluruh proses pengumpulan data ini kemudian dianalisis dan
dituangkan dalam buku yang sedang dibaca ini.

1.4 Profil Program Peduli Pilar Disabilitas


Program Peduli adalah sebuah program prakarsa Pemerintah Indonesia yang
dirancang untuk meningkatkan inklusi sosial bagi enam kelompok yang paling
terpinggirkan di Indonesia, yang kurang mendapat layanan pemerintah dan
program perlindungan sosial. Enam kelompok sasaran itu adalah: (1) Anak dan

Inovasi Pendataan Disabilitas 17


remaja rentan; (2) Masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada
sumber daya alam; (3) Korban diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan berbasis
agama; (4) Orang dengan disabilitas, (5) Hak Asasi Manusia dan Restorasi Sosial,
dan (6) Waria.
Pada Maret 2014, The Asia Foundation ditetapkan sebagai  managing
partner  dalam Program Peduli Fase II, dengan dana dari Pemerintah Australia
melalui Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia.  
Program Peduli Pilar Disabilitas ini merupakan salah satu pilar Program Peduli
yang fokus pada upaya transformasi menuju inklusi sosial bagi disabilitas melalui
pemenuhan hak dasar. Bersama The Asia Foundation, Yakkum berperan sebagai
Mitra Payung, sedangkan PATTIRO sebagai salah satu mitra pelaksana program.
Pada implementasi Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, yang berada di bawah
koordinasi Kemenko PMK bersama The Asia Foundation, memiliki tiga outcome
yang ingin dicapai, yaitu:
1. Peningkatan akses pelayanan publik dan bantuan sosial;
2. Peningkatan penerimaan dan pemberdayaan sosial; dan
3. Perbaikan kebijakan inklusi sosial. Sasaran dari program ini adalah kelompok
disabilitas dan pemerintah.
Secara keseluruhan, Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 dilaksanakan di 11
kabupaten yang tersebar di tujuh provinsi, dan dilaksanakan oleh enam lembaga
mitra pelaksana yaitu PATTIRO, SIGAB, KARINAKAS, BAHTERA, SAPDA dan YASMIB.
Program telah berhasil mengembangkan inovasi dan praktik baik bagi disabilitas,
salah satunya adalah terkait pendataan penyandang disabilitas. Beberapa mitra
pelaksana telah mengembangkan inovasi dalam rangka pendataan penyandang
disabilitas. Inovasi-inovasi yang dikaji dalam buku ini dilaksanakan selama Program
Peduli Pilar Disabilitas pada pada pertengahan 2015 hingga 2016.
Program ini kemudian dikembangkan lebih lanjut pada Fase 2 dengan YAKKUM
sebagai mitra payung dan lebih banyak mitra pelaksana yaitu PATTIRO, BAHTERA,
KARINAKAS, SIGAB, SAPDA, YASMIB, PPDI Situbondo, Sehati, dan PSLD Brawijaya.
Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 2 ini, PATTIRO fokus pada penyusunan
kajian dan rekomendasi kebijakan berdasarkan capaian dan inovasi yang lahir
selama Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Penyusunan kajian ini yang
selanjutnya menjadi bahan utama penyusunan rekomendasi kebijakan pada isu
terkait. Melalui kajian dan rekomendasi kebijakan dimaksud, diharapkan dapat
berkontribusi pada perbaikan pendataan bagi penyandang disabilitas melalui
penyusunan kebijakan di tingkat nasional.

18
1.5 Profil Mitra dan Lokasi Pendataan
1.5.1 SAPDA di Banjarmasin
Lembaga Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak yang disingkat SAPDA
berdiri pada bulan Juli 2005 dan menjadi badan hukum dengan pengesahan pada
2 Desember 2005 dengan Akta Notaris: Anhar Rusli, SH. Nomor: 51 tahun 2005.
Tujuan didirikannya SAPDA adalah agar tercipta suatu inklusivitas dalam aspek
kehidupan sosial yang menjadi hak dasar Perempuan, Difabel dan Anak di bidang
pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan Hak Asasi Manusia
(HAM).
SAPDA bergerak dalam advokasi kebijakan di tingkat daerah, pendampingan
dan pemberdayaan terhadap perempuan, disabilitas dan anak, khususnya di sektor
kesehatan dan pendidikan. Saat ini, SAPDA masih fokus pada beberapa aktivitas,
yaitu penguatan dan pemberdayaan perempuan disabilitas, pendampingan
disabilitas dan penguatan organisasi di tingkat lokal, kajian keilmuan dan riset,
advokasi kebijakan kesehatan disabilitas, dan pendampingan kesehatan kepada
disabilitas di Propinsi DIY.
Tujuan atau visi SAPDA adalah terciptanya suatu inklusivitas dalam aspek
kehidupan sosial yang menjadi hak dasar perempuan, difabel dan anak di bidang
pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan HAM. Misinya
adalah: a) melakukan kajian keilmuan dan penelitian ilmiah; b) memperjuangkan
terwujudnya kebijakan publik yang menjamin pemenuhan hak-hak dasar
perempuan, difabel dan anak di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan; c)
melakukan pemberdayaan, pendidikan dan advokasi tentang isu-isu perempuan,
difabel dan anak di kalangan masyarakat luas; d) menjalin kerjasama dengan
stakeholder berkaitan dengan penanganan persoalan perempuan, difabel dan
anak; e) membangun SAPDA sebagai crisis center bagi perempuan, difabel dan
anak. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan, SAPDA
melakukan kegiatan pendataan penyandang disabilitas bersama mitra lokal di
Kota Banjarmasin.

1.5.2 SIGAB di Kulon Progo


Sasana Inklusi dan Advokasi Difabel (SIGAB) adalah organisasi nonpemerintah
yang bersifat independen, nirlaba, dan nonpartisan. SIGAB didirikan di Yogyakarta
pada tanggal 5 Mei 2003. Organisasi yang mempunyai motto “Bersama
Menuju Masyarakat Inklusi” ini mempunyai cita-cita besar untuk membela dan
memperjuangkan hak-hak disabilitas di seluruh Indonesia hingga terwujud
kehidupan yang setara dan inklusif.

Inovasi Pendataan Disabilitas 19


SIGAB didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga disabilitas masih
termarjinalkan, baik secara struktural maupun kultural. Hak-hak warga disabilitas
seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan
hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan
fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak. Dengan kata lain, telah terjadi
diskriminasi terhadap warga disabilitas.
SIGAB berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia merupakan
makhluk yang diciptakan Tuhan dengan derajat kesempurnaan tertinggi dan
mempunyai hak yang sama dalam mengembangkan potensi diri untuk mencapai
kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya jika dalam kehidupan
ini terdapat sekelompok orang yang tersisihkan dari lingkungan sosialnya hanya
karena keadaan yang berbeda. Program SIGAB dengan jaringannya berusaha
menciptakan kehidupan yang menempatkan semua manusia dalam kesejajaran
sehingga tidak ada lagi yang tersisihkan. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase
1 terkait pendataan, SIGAB melakukan kegiatan pendataan disabilitas bersama
mitra lokal di Kabupaten Kulon Progo.

1.5.3 KARINAKAS di Sukoharjo


Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang (KARINAKAS) berdiri pada 12
Juni 2006, dua minggu sesudah gempa 5,9 skala Richter menghantam DIY dan
sebagian Jawa Tengah. Pada perjalanannya, KARINAKAS melewati fase emergency,
post emergency, dan rehabilitasi. Awal tahun 2008, aktivitas KARINAKAS masih
berada dalam lingkup proses pemulihan pasca gempa. Rekonstruksi bangunan
(rumah dan bangunan pendidikan), asistensi sosial, dan pemberdayaan kehidupan
sosial menjadi pusat perhatian.
Pada 2009, KARINAKAS beranjak dari tema gempa Yogya 2006. Secara partisipatif
dirumuskan rencana strategis KARINAKAS 2009 – 2013. Program yang menjadi
fokus adalah: 1) Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM); 2) Pengurangan
Risiko Bencana (PRB); dan 3) Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PMM). KARINAKAS
merupakan anggota keluarga besar Caritas Internationalis yang berpusat di Roma.
Dalam koordinasi dengan Karina KWI, KARINAKAS bersama dengan ratusan
anggota Caritas dari berbagai negara seluruh dunia bersama-sama mewujudkan
tata dunia yang lebih adil bagi semua orang, terutama mereka yang kecil, lemah,
miskin, tersingkir, dan disabilitas. Iman Gereja pada Allah yang digali dari Tradisi
dan Kitab Suci menjadi sumber inspirasi dan semangat dalam melaksanakan
mandat KARINAKAS. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan,
KARINAKAS telah mengembangkan kegiatan pendataan disabilitas. Pada buku

20
ini digambarkan kegiatan pendataan yang dilakukan KARINAKAS di Kabupaten
Sukoharjo.

1.5.4 YASMIB di Bone


YASMIB (Yayasan Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi didirikan pada tahun
1999. Pendirian YASMIB ini dilatarbelakangi oleh realitas bangsa Indonesia yang
mengalami kondisi yang memprihatinkan. Berawal dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan hingga berujung pada krisis multidimensional.
Berdasarkan realitas dan fakta di atas, YASMIB Sulawesi sebagai organisasi
nonpemerintahan (NGO) berupaya menggunakan hak politiknya untuk
mendorong lahirnya transformasi sosial, dan berpartisipasi aktif melahirkan
solusi nyata untuk penyelesaian persoalan masyarakat, termasuk di dalamnya
penyandang disabilitas. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang mandiri dalam
berbangsa dan bernegara berdasarkan prinsip-prinsip yang demokratis menjadi
visi dari YASMIB.
Beberapa kegiatan dalam rangka mewujudkan visi dan misinya tersebut di
antaranya adalah melakukan riset, kajian, dan pengembangan sumber daya yang
berbasis potensi sumberdaya lokal, melakukan analisis dan advokasi anggaran dan
kebijakan publik serta memfasilitasi peningkatan dan penguatan kapasitas bagi
kelompok basis. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan,
YASMIB melaksanakan kegiatan pendataan disabilitas di Kabupaten Bone yang
dibantu oleh LPP Bone. LPP Bone sendiri adalah Mitra YASMIB dalam melakukan
advokasi kebijakan dan anggaran di Kabupaten Bone terutama menyangkut
masalah perempuan, anak dan kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas.

1.5.5 BAHTERA di Sumba Barat


Yayasan BAHTERA didirikan pada tanggal 8 April 2002 di Katiku Loku,
Kecamatan Katiku Tana, Kabupaten Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Pembentukan lembaga ini dilandasi oleh kegelisahan akan situasi kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami oleh rakyat di daerah ini.
Keprihatinan utama berkaitan dengan belum terpenuhi kebutuhan dasar
masyarakat khususnya dalam hal pangan, pendidikan dan kesehatan. Dalam
penilaian penggagas lembaga ini, berbagai persoalan yang membelit masyarakat
Sumba Barat disebabkan oleh lemahnya pelayanan pemerintah kepada rakyat,
khususnya dalam hal menyediakan pelayanan pendidikan yang memadai.
”Terwujudnya Kehidupan Masyarakat Miskin Dan Perempuan Yang Sejahtera
Dalam Iklim Dan Tatanan Sosial Yang Adil, Demokratis Dan Menjunjung Tinggi Hak

Inovasi Pendataan Disabilitas 21


Asasi Manusia ” merupakan visi dari BAHTERA.
Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat maka BAHTERA mendorong
berlangsungnya proses peningkatan kapasitas masyarakat dan pembelajaran
berkelanjutan di luar institusi formal (sekolah), yang pada akhirnya diharapkan
menunjang daya kritis, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk mendorong
perubahan, khususnya dalam terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas,
termasuk di dalamnya hak untuk didata. Upaya mendorong kebijakan publik yang
mengakomodir kepentingan dan hak-hak dasar serta memberikan kesempatan
yang adil bagi kaum miskin dan perempuan merupakan salah satu misi BAHTERA.
Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan, BAHTERA
melaksanakan kegiatan pendataan disabilitas di Kabupaten Sumba Barat yang
dibantu oleh masyarakat desa.

1.5.6 PATTIRO di Lombok Barat


PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) adalah sebuah organisasi
riset dan advokasi yang resmi berdiri pada 17 April 1999 dan telah bekerja di
lebih dari 17 provinsi dan 70 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Selama ini,
PATTIRO memusatkan perhatiannya pada isu tata kelola pemerintahan daerah.
Melalui berbagai aktivitasnya, PATTIRO berupaya mendorong terciptanya tata
kelola pemerintah daerah yang baik, transparan, dan adil demi mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kegiatan yang dilakukan PATTIRO selain penelitian, juga pendampingan teknis
kepada pemerintah, dan membantu masyarakat dalam melakukan advokasi
kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mereformasi kebijakan,
memperbaiki pelayanan publik dan pengelolaan anggaran publik. Visi PATTIRO
adalah “Menjadi pusat keunggulan untuk tata kelola pemerintah daerah yang
baik”.
Sementara itu, misi PATTIRO sendiri adalah: 1) Mendorong terpenuhinya hak-
hak dasar masyarakat secara adil dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan
alokasi anggaran publik; 2) Memperkuat kapasitas masyarakat, warga, dan aparatur
pemerintah dalam pembuatan keputusan publik yang partisipatif dan berkualitas;
dan 3) Mengembangkan model tata pemerintahan lokal (local governance)
yang baik untuk terwujudnya keadilan sosial. Dari sekian banyak program yang
mendukung pencapaian misi, di antaranya adalah Program Peduli. Pada Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, selain melakukan pendampingan PATTIRO juga
memiliki kegiatan terkait pendataan penyandang disabilitas di Kabupaten Lombok
Barat yang bermitra dengan jaringan lokal di sana.

22
1.6 Keterbatasan Kajian
Kajian pendataan disabilitas ini memiliki keterbatasan penyusunan di antaranya
adalah sebagai berikut;
1. Batasan Waktu. Pembahasan dalam kajian ini dibatasi hanya hingga
berakhirnya Program Peduli Fase 1, yaitu akhir tahun 2016. Situasi yang
saat ini terjadi di lokasi inovasi bisa jadi telah mengalami perkembangan.
Saat kajian ini disusun, proses pengembangan dan pelaksanaan pendataan
disabilitas di beberapa wilayah memiliki perkembangan dan tindak lanjut
yang berbeda-beda setelah akhir periode Program Peduli Fase 1.
2. Batasan Lokasi. Kajian ini mengambil sample enam wilayah kerja Program
Peduli Fase 1 karena cakupan wilayah yang cukup banyak dengan
mempertimbangkan sumberdaya dan lainnya. Selain itu, pemilihan wilayah
lokasi yang dipilih dalam kajian ini mempertimbangkan beberapa hal lain,
yaitu representasi wilayah di Indonesia dan representasi level serta metode
pendataan yang digunakan.
3. Batasan analisis. Kajian ini tidak menganalisi secara khusus kualitas data
serta kondisi pendataan disabilitas di masing-masing daerah. Hal ini karena
data dasar disabilitas yang ada di pemerintah daerah sebagai pendukung
pendataan disabilitas belum terkoordinir antarinstansi dan dimutakhirkan
(di-update) secara teratur. Terutama data terkait ragam disabilitas. Kajian
ini lebih fokus pada metode pendataan yang dilakukan oleh masing-
masing Mitra Peduli yang dilakukan dengan pendekatan yang berbeda,
baik proses, aktor yang terlibat maupun situasi di daerah. Oleh karena itu,
hasil pendataan memiliki kekhasan tersendiri yang tidak bisa dibandingkan
antara satu dan lainnya.
4. Kajian pendataan ini menggunakan metode stocktaking, wawancara
mendalam dan analisis dokumen dengan waktu pengumpulan data yang
terbatas (sekitar 3-4 hari per lokasi) sehingga ada keterbatasan pada data
pemangku kepentingan yang bisa dijangkau serta analisis yang dihasilkan
dan belum tentu dapat menggambarkan keseluruhan aspek pendataan
yang dilakukan oleh Mitra Peduli.
5. Metodologi kajian pendataan mengedepankan hal-hal kebaruan yang
dilakukan oleh Mitra Peduli sebagai inovasi sehingga pengertian dan
aspek-aspek inovasi yang ada, dapat dimaknai berbeda oleh para pihak.

Inovasi Pendataan Disabilitas 23


BAB II
INOVASI PENDATAAN DISABILITAS
2.1 KONTEKS INOVASI DALAM PENDATAAN
Data memiliki potensi signifikan yang mampu memberikan manfaat bagi
pemerintah dan masyarakat. Salah satunya adalah data sebagai unsur penting
dalam perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan berkeadilan
dan merata hanya akan terwujud bila data penerima manfaat pembangunan juga
tersusun dengan baik dan dimutakhirkan (updating) secara berkala. Data yang
tidak sahih dan atau data yang tidak dikelola dengan baik berpotensi merugikan
kelompok masyarakat tertentu yang seharusnya berhak menikmati proses
dan hasil pembangunan. Bagi kelompok rentan seperti masyarakat miskin dan
disabilitas, masalah pendataan dapat menambah kerentanan dan berimplikasi
cukup signifikan dalam pemenuhan hak-hak dasarnya.
Hak penyandang disabilitas untuk didata diatur dalam peraturan perundang-
undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak
pendataan (Pasal 5 ayat 1). Hak pendataan untuk penyandang disabilitas meliputi
hak: a) Didata sebagai penduduk dengan disabilitas dalam kegiatan pendaftaran
penduduk dan pencatatan sipil; b) Mendapatkan dokumen kependudukan; dan c)
Mendapatkan Kartu Penyandang Disabilitas (Pasal 22).
Penyandang disabilitas sendiri mengalami tantangan untuk memperoleh
haknya. Hal ini setidaknya terlihat pada pelaksanaan Program Peduli fase 1. Salah
satu contohnya adalah temuan PATTIRO bahwa sebagian penyandang disabilitas
di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Lombok Barat, Provinsi
Nusa Tenggara Barat tidak memiliki dokumen kependudukan seperti KTP dan
KK atau mendapat kesulitan saat berupaya mengurus dokumen kependudukan
karena sebelumnya tidak terdata. Banyaknya disabilitas yang belum terdata di
antaranya karena mekanisme pendataan yang dimiliki pemda belum sampai
melakukan penjangkauan pendataan disabilitas dari rumah ke rumah secara
menyeluruh. Dinas Sosial hanya memiliki data disabilitas berat yang masuk dalam
kategori PMKS dan penerima bantuan sosial. Selain itu, minimnya disabilitas yang
mendapat Nomor Induk Kependudukan juga disebabkan akses menuju tempat

24
pengurusan yang belum ramah disabilitas dan juga keengganan keluarga untuk
mendaftarkan anggota keluarga yang disabilitas karena berbagai persepsi negatif
atau ketidaktahuan pentingnya memiliki kartu identitas kependudukan.
Beberapa isu terkait pendataan disabilitas ini antara lain mekanisme pendataan
khusus disabilitas, bentuk dokumen pendataan, instrumen pendataan, teknis
perekaman (khususnya dokumen KTP elektronik), jenis kartu identitas bagi
penyandang disabilitas dan keterlibatan masyarakat pada proses pendataan.
Selain PATTIRO, beberapa lembaga lain juga melakukan advokasi dan
mendorong inovasi terkait pendataan disabilitas di beberapa daerah kerja Program
Peduli fase 1. Inovasi yang dikembangkan juga beragam dari sisi wilayah dan
tingkatannya, mulai dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten/ kota. Daerah-
daerah itu adalah Kabupaten Sumba Barat, Bone, Sukoharjo, Kulon Progo, Lombok
Barat, dan Kota Banjarmasin.
Kajian Inovasi Pendataan Disabilitas ini akan mengkaji dan menganalisa
berbagai inovasi pendataan disabilitas di 6 kabupaten/kota tersebut. Hal yang
dikaji meliputi proses dan instrumen pendataan, pihak-pihak yang terlibat dalam
pendataan, partisipasi disabilitas, keluarga dan masyarakat, tantangan-tantangan
serta pemanfaatan data disabilitas yang dihasilkan. Harapannya, hasil kajian ini
bisa menjadi bahan yang komprehensif dalam upaya perbaikan penyusunan dan
implementasi kebijakan pendataan disabilitas di tingkat nasional serta menjadi
pembelajaran bagi pemangku kepentingan lain.

2.2 PRAKTIK INOVASI PENDATAAN


2.2.1 SAPDA: Mendorong Penguatan DPO dalam Pendataan Disabilitas di
Kota Banjarmasin
2.2.1.1 Proses dan Peran Aktor
Inovasi pendataan disabilitas di Kota
Banjarmasin merupakan salah satu inovasi “Alhamdulillah, setelah
yang dikembangkan oleh SAPDA dalam rangka dilakukan pendataan disabilitas
mendukung upaya pelayanan bagi penyandang dan beberapa kegiatan
disabilitas. Upaya ini termasuk baru di Kota yang melibatkan disabilitas,
Banjarmasin karena proses pendataan yang mereka merasa bertambah
diinisiasi oleh SAPDA ini, melibatkan kelompok pengalamannya dalam hal
disabilitas. Hal yang belum pernah dilakukan pendataan disabilitas”.
sebelumnya. Seperti diketahui, proses pendataan Juharian Syah, Dinas Sosial Kota
disabilitas yang selama ini dilakukan oleh Banjarmasin
pemerintah daerah berbeda dari aspek tahapan

Inovasi Pendataan Disabilitas 25


dan cara atau prosesnya dengan pendataan disabilitas yang dikembangkan oleh
SAPDA. Perbedaan tersebut meliputi instrumen, mekanisme, dan jangkauan
pendataan. Dari sisi instrumen, instrumen yang dikembangkan oleh SAPDA selain
mendata kondisi kedisabilitasan, juga mendata Kepemilikan Jaminan Sosial (KIS)
serta kepemilikan dokumen kependudukan seperti KK dan KTP. Selanjutnya, dari
sisi mekanisme adalah pelibatan penyandang disabilitas, baik secara organisasi
maupun individu mulai dari proses perumusan instrumen, pelaksanaan pendataan
hingga tindak lanjut dari data yang dihasilkan. Dari sisi penjangkauan, perbedaan
lainnya adalah proses pendataan dilakukan secara sistematis yang menyasar
dari kelurahan, RW dan RT menggunakan metode sensus dengan mendata dan
mendatangi sesuai lokasi dan nama. Dengan kata lain, pendataan yang dilakukan
menggunakan metode hampir sama dengan proses sensus penduduk tetapi
dilakukan secara menyeluruh kepada semua disabilitas di wilayah tersebut.
Berbeda dengan pendataan disabilitas oleh Dinas Sosial, pendataan disabilitas
menjadi salah satu bagian dari pendataan PMKS sehingga yang disasar terbatas
hanya pada disabilitas yang masuk kategori PMKS.
Proses persiapan pendataan dimulai pada Juli 2015. Proses inovasi dimulai
dari penilaian cepat (rapid assesment) atas kondisi disabilitas. Tim SAPDA dan
mitranya menggunakan tiga lokus kajian yakni inklusivitas layanan publik,
kapasitas organisasi penyandang disabilitas (Disability People Organization-DPO),
dan Orang dengan Disabilitas (People with Disability-PwD). SAPDA melihat dan
menyadari bahwa data yang selama ini ada belum menggambarkan kondisi ideal
ataupun minimal atas kondisi penyandang disabilitas yang dibutuhkan. Selain itu,
pemerintah daerah juga belum memiliki data tentang inovasi yang dikembangkan.
Setelah melihat kondisi tersebut, Tim SAPDA dan Tim Mitra melakukan diskusi
untuk mengembangkan instrumen pendataan. Diskusi dan proses meminta
masukan dilakukan baik di internal tim maupun dengan para pihak terutama
penyandang disabilitas dan pemerintah daerah.
Penyusunan instrumen pendataan diverifikasi dengan melakukan diskusi
lanjutan bersama penyandang disabilitas. Setelah dianggap final, instrumen
pendataan diuji coba dan disebar ke beberapa desa di wilayah dampingan.

26
Bagan 2.1 Tahapan Pendataan Disabilitas yang Dilakukan SAPDA di
Banjarmasin

Rapid Assessment/ Pengembangan Uji coba, Verifikasi


Observasi Instrumen dan pendataan di
lapangan atas melalui diskusi tingkat kelurahan
data internal maupun serta pengolahan
eksternal data
Tahap 1

Tahap 2

Tahap 3
Di Banjarmasin, pendataan berlangsung sekitar tiga bulan (September-
November 2015) dan tersebar di empat kelurahan yakni Kelurahan Kelayan Barat,
Kelurahan Kelayan Selatan, Kelurahan Kuin Selatan dan Kelurahan Kuin Cerucuk.
Pendataan melibatkan fasilitator lapangan dan DPO (yaitu PPDI dan HWDI Kota
Banjarmasin) dan Tim SAPDA. Hasilnya, terdapat 368 penyandang disabilitas di
empat kelurahan tersebut. Data juga telah divalidasi lengkap dengan nama dan
alamatnya (by name by address) beserta ragam disabilitasnya. Rekap hasil pendataan
ini sudah bisa terpilah berdasarkan jenis disabilitas, kepemilikan jaminan sosial,
kepemilikan surat administrasi kependudukan, tingkat pendidikan, dan usia.
Selama proses pendataan berjalan, banyak hal positif yang terjadi di antaranya:
1) Terbukanya wawasan bagi penyandang disabilitas tentang haknya sebagai warga
negara terutama hak atas administrasi kependudukan (KTP, KK dan akta kelahiran)
dan hak warga atas pelayanan kesehatan dan pendidikan; 2) Penyandang disabilitas
mulai muncul keyakinan diri dan penerimaan atas kondisi kedisabilitasannya; 3)
Muncul kesadaran baru dalam keluarga dan lingkungan sekitar bahwa disabilitas
tidak lagi dipandang sebagai aib sehingga perlu diberikan ruang yang sama,
termasuk hak untuk memperoleh pendidikan;
2) Keluarga dan masyarakat tidak lagi menganggap bahwa disabilitas
sebagai kutukan dari Tuhan. Proses perubahan persepsi ini terjadi karena pada
saat pendataan, terjadi proses diskusi, sosialisasi dan penyampaian informasi
tentang disabilitas. Hal ini secara perlahan memunculkan kesadaran baru bahwa
penyandang disabilitas juga memiliki kelebihan. Wujud kesadaran bersama tersebut
di antaranya pelibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan kemasyarakatan.

Inovasi Pendataan Disabilitas 27


Keluarga dan penyandang disabilitas juga sudah mulai terlibat dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kelurahan hingga tingkat
kota.
Berikut adalah para pihak yang terlibat dalam proses pendataan disabilitas
yang dilaksanakan oleh Tim SAPDA dan mitranya di Kota Banjarmasin.

Tabel 2.1 Peran Aktor di Banjarmasin

Nama
Jumlah yang
No Aktor Institusi/ Peran
terlibat
organisasi
1 Pemerintah Dinas Sosial, Dukungan pada kegiatan yang Kepala Seksi
2 Camat dan dilaksanakan SAPDA seperti: Disabilitas dan
4 Lurah 1. Memberikan izin pada jajarannya
proses pendataan disabilitas di
wilayahnya.
2. Mengizinkan ketua RT dan
masyarakat untuk mendukung
pelaksanaan pendataan.
3. Menerima dan merespon
baik serta menindaklanjuti
hasil pendataan disabilitas.
Forum Turut mensosialisasikan
Komunikasi pendataan dan mendukung
Pendidikan tindak lanjut hasil pendataan
Inklusif (berupa program sekolah
(FKPI) inklusi).
2 Kelompok/ PPDI, HWDI Menjadi enumerator 2 orang
organisasi dan Gerkatin
disabilitas
3 Masyarakat Ketua RT 07 Menjadi informan dan -
& 08 sebagian mendampingi
pelaksanaan pendataan.
4 NGO SAPDA Memfasilitasi pelaksanaan -
pendataan.

28
5 Penyandang Nurbaiti dkk Menjadi pendukung kegiatan 3 orang
disabilitas pendataan:
1. Menjadi informan tentang
keberadaan disabilitas lain.
2. Mensosialisasikan
pendataan disabilitas pada
masing-masing komunitas
disabilitas.
3. Turut meyakinkan keluarga
dan disabilitas yang awalnya
menolak untuk didata.
6 Fasilitator/ Tim Penanggung jawab pendataan 3 orang
pendamping Pendamping di lapangan
SAPDA
7 Keluarga - Pendukung pelaksanaan -
penyandang pendataan dengan bersedia
disabilitas turut berpartisipasi serta
terbuka pada saat pendataan
anggota keluarga yang
disabilitas.

2.2.1.2 Hasil dan Dampak Pendataan


Kegiatan pendataan yang dilakukan SAPDA dan mitranya di Kota Banjarmasin
menghasilkan beberapa hal baik itu hasil langsung berupa data atau dampak yang
dihasilkan dalam proses ataupun dari hasil pendataan. Hasil dan dampak tersebut
bisa berupa program atau peningkatan pelayanan, dan juga berupa perubahan
perilaku atau paradigma dari disabilitas sendiri ataupun pemangku kepentingan
lainnya. Berbagai hasil dan dampak tersebut antara lain:
1. Diperolehnya data terbaru sejumlah 368 penyandang disabilitas di empat
kelurahan dengan rincian nama, alamat, ragam disabilitas, kepemilikan
jaminan sosial, kepemilikan surat administrasi kependudukan, tingkat
pendidikan, dan usia. Data ini membantu pemerintah dalam memberikan
program pelayanan sosial.
2. Data disabilitas yang dihasilkan oleh SAPDA yang memperlihatkan status
kepemilikan dan keterjangkauan disabilitas terhadap berbagai program
pelayanan sosial, ditindaklanjuti pemerintah daerah dengan berbagai
program atau respon layanan khusus. Contohnya, pemberian KIS atau
Jamkesda bagi disabilitas yang belum memiliki KIS, memasukkan disabilitas

Inovasi Pendataan Disabilitas 29


sebagai target pada program pemberian modal usaha dan program
pelatihan keterampilan khusus, program kesehatan khusus berupa home
care untuk penyandang disabilitas, dan pelayanan adminduk khusus bagi
disabilitas yang belum memiliki dokumen kependudukan.
3. Data disabilitas ini menjadi salah satu dasar utama munculnya inisiasi
sekolah inklusi karena dari data tersebut didapatkan informasi angka anak
disabilitas usia sekolah yang ternyata tidak bisa mengakses pendidikan
disebabkan oleh berbagai faktor.
4. Meningkatnya rasa percaya diri dari keyakinan penyandang disabilitas
sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama dengan yang lain.
5. Meningkatnya pemahaman mengenai pentingnya kebijakan lanjutan
pasca pendataan oleh pemerintah daerah, serta upaya-upaya lanjutan
dalam mendorong kota yang ramah disabilitas.
6. Pendataan menjadi ruang bersama tempat para pihak berkomunikasi dan
berkoordinasi tentang pentingnya data dan target perbaikan data yang
terus menerus agar pemerintah lebih peduli kepada warganya.
7. Meningkatnya kepedulian bersama terutama warga kelurahan yang
tadinya menganggap bahwa penyandang disabilitas adalah aib dan
kutukan, sekarang mulai terbuka bahwa disabilitas juga memiliki hak yang
sama sebagai makhluk sosial.

Gambar 2.1 Ilustrasi Pelaksanaan Pendataan Disabilitas di Banjarmasin

30
2.2.1.3 Faktor Pendukung
Inovasi pendataan penyandang disabilitas ini dapat terwujud karena adanya
beberapa faktor pendukung, yaitu:
a. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 9 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
b. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 17 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
c. Adanya Forum Komunikasi Pendidikan Inklusif (FKPI) tingkat kota sebagai
tindak lanjut dari komitmen Walikota dalam mengembangkan pendidikan
inklusif di Kota Banjarmasin.
d. Dukungan dari SKPD/OPD terkait pendataan terutama dari Dinas Sosial,
Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Dukungan ini diberikan mengingat
adanya kebutuhan data OPD dalam rangka mewujudkan komitmen untuk
peningkatan pemberian pelayanan khususnya bagi disabilitas.
e. Partisipasi aktif dari DPO dan penyandang disabilitas.

2.2.1.4 Tantangan
Tantangan yang muncul saat proses pendataan ini mulai dilakukan muncul
mulai dari berbagai aspek, meliputi aksesibilitas, stigma negatif serta tantang
sumberdaya. Secara spesifik, beberapa tantangan dalam inovasi pendataan
disabilitas di antaranya adalah:
a. Tantangan dari segi geografis dan sarana prasarana. Kondisi beberapa
daerah pendataan di Kota Banjarmasin terdiri dari gang-gang sempit
sehingga disabilitas yang melakukan pendataan kesulitan untuk
mengaksesnya.
b. Sarana prasarana ramah disabilitas di Kota Banjarmasin juga masih terbatas,
misalnya pada trotoar dan sedikitnya sarana prasarana umum (fasum dan
fasos) yang telah menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas seperti
ramp, pegangan rambat (handrail), akses khusus kursi roda dan sebagainya.
Hal tersebut telah membuat disabilitas yang terlibat dalam melakukan
pendataan menjadi terhambat.
c. Alamat disabilitas yang berpindah-pindah karena mereka tinggal di rumah
kontrakan yang tidak selalu menetap dalam waktu lama.
d. Penyandang disabilitas masih dianggap sebagai pihak yang akan meminta
sumbangan atau bantuan sehingga saat ada disabilitas yang berkeliling
dan ikut mendata disangka peminta sumbangan oleh masyarakat dan
keluarga.

Inovasi Pendataan Disabilitas 31


e. Sebagian pihak masih berpandangan bahwa penyandang disabilitas
adalah aib dan kutukan sehingga disembunyikan keberadaanya.
f. Respon keluarga beragam, awalnya mayoritas menolak atau menutupi
meski akhirnya mau terbuka setelah pendekatan intensif yang dilakukan
bersama DPO
g. Keterbatasan waktu dan sumber daya untuk menjangkau wilayah-wilayah
padat dengan kerentanan tinggi yang berpotensi terdapat disabilitas,
misalnya wilayah pelabuhan dan daerah yang memiliki kepadatan
penduduk miskin tinggi (slum area) belum. Kepadatan penduduk miskin
tinggi (slum area) belum bisa sepenuhnya dijangkau secara menyeluruh.
h. Pada sebagian wilayah pendataan di area pelabuhan, kultur kerja
masyarakat pelabuhan yang saat siang istirahat dan tidak mau diganggu
pasca melaut sehingga waktu untuk mendata menjadi sangat terbatas.
i. Partisipasi dari Organisasi Penyandang Disabilitas pada proses pendataan di
Kota Banjarmasin masih terbatas, dari 5 Organisasi Penyandang Disabilitas,
hanya 2 sampai 3 organisasi yang masih aktif dan bisa terlibat aktif dalam
proses pendataan.

2.2.1.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas


Partisipasi penyandang disabilitas dimulai sejak perencanaan awal berupa
baseline survey yang dimulai pada bulan Agustus 2015. Penyandang disabilitas
dilibatkan sebagai mitra diskusi terkait baseline survey. Keterlibatan lainnya adalah
saat penjelasan tentang instrumen wawancara, penyandang disabilitas aktif
memberikan masukan pada proses prapendataan ini.
Pada tahap proses pendataan, penyandang disabilitas berpartisipasi melakukan
sosialisasi kepada masyarakat tentang kegiatan pendataan sekaligus menjadi
enumerator (pengumpul data) dengan cara melakukan pendataan langsung ke
lapangan, yaitu di Kelurahan Kuin Selatan. Jumlah penyandang disabilitas yang
terlibat dalam proses pendataan berjumlah 8 orang yang terdiri dari 5 orang
disabilitas, Gerkatin, PPDI Kota Banjarmasin, HWDI Kalimantan Selatan, dan 1
orang yang tidak berbasis DPO. Meskipun mengalami hambatan kondisi fisik, tak
menjadi halangan bagi penyandang disabilitas yang melakukan sosialisasi dan
menjadi enumerator. Salah satu strategi yang mereka gunakan untuk mengatasi
tantangan adalah pendataan dilakukan dua orang yang bisa saling membantu
(misalnya daksa dan netra), ditemani rekan nondisabilitas atau keluarga dan untuk
mobilitas menggunakan motor khusus penyandang disabilitas (roda tiga).
Selain mendatangi dari rumah-ke rumah, pendataan yang dilakukan oleh

32
anggota OPD lokal dilakukan dengan memasukkan data anggota organisasinya
dahulu. Kemudian, diperluas pada disabilitas yang belum tergabung dengan
Organisasi Disabilitas dengan berbagai rentang usia dan jenis kelamin. Setelah
proses pendataan, penyandang disabilitas masih dilibatkan dalam proses klarifikasi
hasil input data dan menjadi bagian sebagai peserta diskusi. Pada saat advokasi
kepada penyedia layanan, penyandang disabilitas juga berpartisipasi sebagai
peserta diskusi seperti saat proses Musrenbang.
Pelibatan penyandang disabilitas pada kegiatan pendataan ini adalah sebagai
personil yang membawa nama DPO (PPDI dan HWDI). Hal ini memperlihatkan,
keberadaan DPO di Kota Banjarmasin masih terbatas aktivitasnya. Partisipasi
disabilitas pada inovasi pendataan di Kota Banjarmasin dapat dilihat secara ringkas
pada gambar berikut.

Bagan 2.2 Inovasi Pendataan di Kota Banjarmasin

Perencanaan Proses Pendataan Tindak Lanjut

Baseline survey Sosialisasi kegiatan Klarifikasi hasil input


pendataan data

Pembahasan Menjadi Advokasi kepada


instrumen enumerator penyedia layanan

2.2.1.6 Penerimaan dan Rencana Pengembangan


Hasil pendataan disabilitas yang dilakukan tim SAPDA dan mitra di lapangan
telah diterima oleh Pemerintah Kota Banjarmasin (terutama Dinas Sosial). Hal ini
terbukti dengan digunakannya data tersebut oleh Dinas Sosial Kota Banjarmasin
untuk pembagian Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda). Hasil pendataan disabilitas juga digunakan oleh pemerintah daerah
sebagai baseline data bagi perencanaan kebijakan dan anggaran tahun berikutnya.
Pemerintah Kota Banjarmasin juga merespon positif proses dan hasil pendataan
disabilitas yang dilakukan SAPDA. Sebagai tidak lanjutnya pemda merencanakan
untuk mereplikasi inovasi pendataan ini di 52 Kelurahan se-Kota Banjarmasin, yang
akan diampu oleh Dinas Sosial Kota Banjarmasin yang dialokasikan pada APBD

Inovasi Pendataan Disabilitas 33


Gambar 2.2 Form Pendataan
yang sudah Terisi

Gambar 2.3.
Proses Pendataan
Anak Disabilitas

Tahun 2017. Saat ini, Pemda Banjarmasin


tertarik dan intensif mendiskusikan
potensi dan kemungkinan mengadopsi
pendataan disabilitas mulai dari instrumen
serta mekanisme pendataan yang lebih
partisipatif dan melibatkan kelompok
disabilitas pada berbagai tahapannya,
sebagaimana yang sudah dilakukan oleh
SAPDA bersama OPD di Banjarmasin.
Sampai pada periode penulisan buku ini, diskusi dan proses bersama Pemerintah
Kota Banjarmasin masih berjalan dan belum diputuskan bantuk replikasinya akan
bagaimana dan sejauh apa.
Sementara itu, rencana pengembangan inovasi ke tingkat yang lebih tinggi
akan dilakukan ke tingkat provinsi. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan telah
beberapa kali mendapatkan informasi mengenai pendataan disabilitas melalui
berbagai informasi yang disampaikan oleh SAPDA dan mitranya. Upaya perluasan
dan pengembangan akan dilakukan bekerja sama dengan Dinas Sosial Kota
Banjarmasin melalui audiensi kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan
dalam rangka advokasi kebijakan dan anggaran yang ramah bagi penyandang
disabilitas di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Berbagai upaya yang telah dilakukan DPO dan SKPD/OPD terkait upaya
pengembangan inovasi pendataan disabilitas di antaranya dengan terus melakukan
koordinasi, komunikasi, dan diskusi pengembangan. Upaya pengembangan
ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan kebijakan dan anggaran tahun

34
berikutnya (2017 dan 2018). Upaya lain adalah melakukan sosialisasi pada OPD lain
dan masyarakat tentang pentingnya pendataan disabilitas.
SAPDA dan mitranya juga terus terlibat dalam proses perencanaan
pembangunan. Harapannya agar makin banyak dukungan dari para pihak yang
peduli situasi disabilitas di Kota Banjarmasin. Hal lain yang dilakukan adalah
membangun sinergi dengan penyedia layanan yang terkait langsung dengan
tindak lanjut hasil pendataan, misalnya rumah sakit, puskesmas, dan sekolah dasar
sehingga dapat membawa manfaat langsung kepada keluarga dan penyandang
disabilitas.
Prasyarat yang dibutuhkan saat replikasi di antaranya adalah komitmen dari
kepala daerah dan kepala dinas (contoh Dinas Sosial) sebagai pelaksana. Selain
komitmen, prasyarat lain yang dibutuhkan adalah kebijakan dan anggaran. Selain
dari sisi pemerintah, penting juga keberadaan kelompok penyandang disabilitas
yang mendukung upaya pendataan. Tanpa adanya dukungan dari kelompok
penyandang disabilitas maka replikasi hanya sekedar proyek saja. Oleh karena
itu, penting mendorong partisipasi kelompok penyandang disabilitas di daerah
agar turut terlibat dalam proses pendataan. Hal ini penting dilakukan karena
proses pendataan memerlukan pendekatan dan upaya menjaga keberlanjutan
dengan para penyandang disabilitas. Persepsi dasarnya adalah para penyandang
disabilitas-lah yang paling mengetahui kebutuhan dan kepentingan atas
kedisabilitasannya. Peran pemerintah lebih kepada memfasilitasi dan memenuhi
kebutuhan penyandang disabilitas tersebut.

2.2.2 SIGAB: Integrasi Pendataan Disabilitas dalam Sistem Informasi Desa di


Kulon Progo
2.2.2.1 Proses dan Peran Aktor
Inovasi pendataan yang dilakukan oleh SIGAB adalah instrumen pendataan
disabilitas berdasarkan hambatan. Dimulai pada November 2015, inovasi tersebut
berawal dari kritik terkait instrumen pendataan disabilitas yang dilakukan oleh
beberapa kementerian yang berbeda-beda. Hal itu membuat bingung dan
mengakibatkan ketidakkonsistenan terhadap hasil data mengenai penyandang
disabilitas. Oleh sebab itu, SIGAB kemudian berusaha menyusun instrumen
sendiri yang sesuai dengan Konvensi Internasional tentang Hak-hak Penyandang
Disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disabilities/CRPD).
CRPD sendiri adalah konvensi tentang Hak-hak Difabel/Penyandang Disabilitas
yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD.

Inovasi Pendataan Disabilitas 35


CRPD menetapkan hak-hak penyandang secara luas yaitu setiap penyandang
disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan
perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan
atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. CRPD
juga menetapkan kewajiban umum setiap negara peserta di samping kewajiban-
kewajiban lain yang ditetapkan secara eksplisit dan rinci. Negara wajib mengadopsi
semua kebijakan legislatif dan administratif sesuai dengan konvensi ini. Artinya,
seluruh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia serta
peraturan di bawahnya haruslah disesuaikan serta disinkronikasikan sesuai dengan
konvensi ini, mulai dari substansi di dalam perundang-undangannya .
Instrumen yang telah disusun oleh beberapa negara di dunia ini selain
mengidentifikasi disabilitas dari aspek sakit atau kondisi fisik, juga dari aspek
hambatan sosial. Jadi, instrumen ini mengubah paradigma masyarakat dalam
memandang disabilitas. Bukan lagi hanya fokus melihat kondisi fisik dan mental
disabilitas, juga bagaimana cara mengatasi hambatan sosial dari disabilitas
tersebut.
Ketika dilakukan pendataan berdasarkan pendekatan hambatan, ternyata
jumlah penyandang disabilitas melonjak. Hal ini terjadi
karena pendataan ini bukan hanya melihat disabilitas
“Pendataan ternyata memberi
dari kondisi fisik yang terlihat saja, tetapi juga melihat
manfaat dalam memperbaiki
apakah orang tersebut mengalami hambatan dengan
layanan yang ramah disabilitas.
lingkungannya. Misalnya, orang yang mempunyai
Jadi memudahkan penyedia
kekurangan dalam pendengaran tidak disebut
layanan dalam pemberian
sebagai tuna rungu, tetapi hambatan rungu. Atau
fasilitas yang sesuai dengan
orang lanjut usia yang mengalami hambatan gerak
disabilitas”.
karena terkena stroke juga termasuk disabilitas. Dari
Sukahadi, Wakil Ketua KDD, pendataan berdasarkan hambatan tersebut maka
Kec Lendah Wahyuharjo. dapat diklasifikasi tingkat hambatannya apakah
ringan, sedang atau berat.
Hasil pendataan yang dilakukan oleh SIGAB memudahkan pemerintah daerah
untuk mengetahui apa yang dibutuhkan dalam penyaluran bantuan kepada
penyandang disabilitas secara lebih spesifik. Instrumen ini dapat memperlihatkan
hambatan lingkungan disabilitas yang perlu diperbaiki Pemerintah, baik dalam hal
penyaluran bantuan berupa alat-alat bantu, maupun akses terhadap pelayanan
publik bagi disabilitas. Berdasarkan penelitian, SIGAB melihat bantuan dari
Pemerintah saat ini belum tepat sasaran dalam membantu hak-hak penyandang

36
disabilitas. Sebenarnya Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Sosial,
juga sedang menginisiasi instrumen pendataan yang sama, tetapi belum dapat
dilaksanakan karena masih ada kendala anggaran dan koordinasi.
Meski menggunakan konsep dan instrumen pendataan disabilitas yang sudah
ada dan berlaku secara internasional, tetapi SIGAB melakukan penyesuaian
berdasarkan kebutuhan disabilitas di desa dan kebutuhan SIGAB sendiri. Dalam
instrumen itu, SIGAB menambahkan hambatan hukum dan hambatan politik.
Upaya penyesuaian instrumen ini, dilakukan SIGAB dengan melibatkan warga
desa, penyandang disabilitas dan tim pendata melalui diskusi penyusunan
instrumen pendataan. Tim pendata berasal dari penyandang disabilitas, kader
desa, perwakilan perangkat desa, dan pemuda Karang Taruna.
Proses pendataan yang dilakukan tidak memerlukan legitimasi dari pemerintah
daerah kabupaten ataupun provinsi karena inisiatifnya berangkat dari desa.
Namun, setelah proses pendataan dilakukan, hasil data diserahkan ke pemerintah
daerah agar dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan program
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok disabilitas. Inovasi
pendataan ini juga sudah dikomunikasikan ke pemerintah pusat, melalui diskusi
membedah instrumen pendataan bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), Kementerian Sosial, BPS, dan Kementerian Pendidikan.
Berikut adalah perbedaan pendataan yang dilakukan oleh SIGAB dan
Pemerintah Pusat.

Bagan 2.2. 1 Perbandingan Pendataan SIGAB dan Pemerintah

Pendataan oleh SIGAB Pendataan oleh Pemerintah

Instrumen: Instrumen:
Berdasarkan Hambatan Sosial Berdasarkan Kecacatan Fisik

Proses: Melibatkan Disabilitas Proses: Instruksi yang Sentralistik

Hasil: Akurat dan Sesuai dengan Hasil: Kurang detail dalam melihat
Kebutuhan Disabilitas kekhususan Kebutuhan Disabilitas

Inovasi Pendataan Disabilitas 37


Kelebihan lain dari pendataan yang dilakukan oleh SIGAB yaitu pendataan
dilakukan langsung ke lapangan dengan metode dari rumah ke rumah (door
to door) oleh tim pendata yang dilakukan kurang lebih selama lima bulan dari
Januari hingga Mei 2016. Sebelum pendataan dilakukan, SIGAB sudah mempunyai
data awal dari komunitas disabilitas yang digunakan sebagai basis informasi
awal saat melakukan pendataan. Dari sisi kemutakhiran, data disabilitas dalam
Sistem Informasi Desa (SID) juga dapat terus diperbaharui oleh Pemerintah Desa
berdasarkan data kependudukan. Karena Pemerintah Desa terus mendapatkan
laporan terkait kelahiran dan kematian penduduknya. Sementara itu, data yang
dimiliki oleh Dinas Sosial belum lengkap dan spesifik serta belum seakurat data
yang sudah terkompilasi pada Sistem Informasi Desa dalam hal pembaharuannya.
Pendataan yang dilakukan oleh SIGAB cukup terperinci. Pendataan dilakukan di
Kecamatan Lendah yang mencakup enam desa, yaitu Desa Ngentakrejo, Gulurejo,
Sidorejo, Jatirejo, Bumirejo, Wahyuharjo. Selama ini, pendataan yang dilakukan oleh
Dinas Sosial Kabupaten Kulon Progo dan pemerintah pusat masih terbatas pada
disabilitas yang terlihat dari fisik atau biasa disebut dengan kecacatan, sedangkan
pendataan yang dilakukan oleh SIGAB lebih komprehensif sampai pada hambatan
sosial yang dialami disabilitas sehingga dapat mengidentifikasi layanan atau
bantuan yang dibutuhkan. Selain itu, pembekalan tim pendataan yang dilakukan
oleh Dinas Sosial juga masih minim ditambah dengan belum ada keterpaduan
data antara nasional dan daerah sehingga instrumennya masih berbeda-beda. Dari
cara pengumpulan datanya, pendataan yang dilakukan Dinas Sosial berdasarkan
informasi dari perangkat desa, dan belum melakukan upaya door to door seperti
yang dilakukan oleh SIGAB.
Berikut ini adalah tahapan inovasi pendataan yang dilakukan oleh SIGAB di
Kabupaten Kulon Progo.

38
Bagan 2.4 Tahapan Inovasi Pendataan oleh SIGAB di Kabupaten Kulon Progo

Penyusunan Pembahasan Uji coba


Instrumen Instrumen Instrumen

Mengumpulkan Pelatihan Tim


Pendataan
Data Awal Pendata

Advokasi ke
Input Data Update Data
Pemerintah

Tindak lanjut setelah pendataan dilakukan adalah melakukan advokasi ke


pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi). Harapannya, pendataan yang
dilakukan oleh SIGAB dapat menginspirasi kabupaten/kota lain di Provinsi DI
Yogyakarta untuk melakukan replikasi inovasi pendataan tersebut.
Dana untuk proses pendataan sepenuhnya dari SIGAB tanpa bantuan dana
dari pemerintah daerah. Walaupun demikian, pemerintah desa tetap membantu
menyediakan tempat untuk forum-forum pertemuan, ikut mengkampanyekan
program pendataan disabilitas, serta menyiapkan Sistem Informasi Desa untuk
memasukkan (input) hasil pendataan.
Dalam proses pendataan ini, Dinas Sosial tidak mengetahui secara rinci karena
tidak terlibat secara langsung. Peran Dinas Sosial lebih ke memberi perizinan dan
mengetahui proses pendataan disabilitas ini dan merespon baik inisiatif inovasi
ini karena memang pendataan disabilitas secara menyeluruh dan menggunakan
pendekatan hambatan seperti ini belum pernah di lakukan di kabupaten Kulon
Progo. Selain itu, karena pengembangan mekanisme pendataan berbasis di
tingkat desa. Jadi Dinas Sosial merasa jika dalam pelaksanaannya cukup dengan
pemerintah desa dan kecamatan. Personil untuk melakukan pendataan berasal
dari perangkat desa, pendamping desa dan DPO. Pendamping desa merupakan
perpanjangan tangan dari Dinas Sosial untuk membantu proses pendataan.
Inovasi pendataan ini terwujud berkat pembagian peran antar aktor. Berikut
adalah para aktor yang terlibat dalam pendataan dan perannya masing-masing.

Inovasi Pendataan Disabilitas 39


Tabel 2.2 Peran Aktor di Kabupaten Kulon Progo

No Aktor Nama institusi/ Peran Jumlah yang


organisasi/ orang terlibat
1 Pemerintah Kecamatan, Dinas Melakukan sosialisasi -
Sosial, Dinas tentang kegiatan
Kominfo, dan SKPD pendataan.
Provinsi
2 Pemerintah Desa Melakukan sosialisasi, -
menyediakan Sistem
Informasi Desa (SID),
menyediakan tempat
pertemuan, dan personil
untuk melakukan
pendataan
3 Kelompok/ Kelompok Melakukan sosialisasi, -
organisasi Disabilitas Desa proses pendataan door
disabilitas (KDD) to door, dan melakukan
input data ke SID
4 Masyarakat - Memberikan informasi -
mengenai lokasi rumah
disabilitas
5 NGO Combine Mengembangkan SID -

6 Penyandang Terlibat dalam proses -


disabilitas - pendataan dengan
terbuka menjadi objek
pendataan serta menjadi
informan keberadaan
penyandang disabilitas
yang lain.
7 Fasilitator/ Mengkoordinasi tim pen- -
pendamping - data, mengawal proses
pendataan dan hasil pen-
dataan agar dapat diinput
ke dalam SID
8 Keluarga Memberi informasi -
penyandang - data diri penyandang
disabilitas disabilitas

40
2.2.2.2 Hasil dan Dampak Pendataan
Pada awalnya, masyarakat masih merespon negatif terhadap program-program
untuk disabilitas. Sebagian warga masyarakat menganggap bahwa penyesuaian
layanan tidak perlu dilakukan bila hanya untuk menoleransi minoritas yang
mempunyai kelainan (disabilitas). Sementara itu, keluarga penyandang disabilitas
kurang merespon program-program tersebut karena menganggap bahwa itu
bukan solusi bagi disabilitas. Namun, setelah pendataan dilakukan maka ada
dampak yang positif pada perilaku disabilitas, keluarga disabilitas, dan masyarakat.
Misalnya, dahulu pernah ada kegiatan pameran lapangan kerja yang dikhususkan
untuk kelompok disabilitas (job fair). Kegiatan tersebut mendapat respon kurang
baik, banyak dari keluarga disabilitas yang tidak menanggapi dan menganggap itu
bukan solusi bagi disabilitas. Namun, saat ini sudah terlihat perubahan sikap dan
persepsi mereka yang secara perlahan mulai memperlihatkan dukungannya.
Berikut ini adalah beberapa hasil dan dampak langsung bagi disabilitas dari
inovasi pendataan disabilitas yang dilakukan di Kabupaten Kulon Progo:
1. Data 360 penyandang disabilitas yang sudah terpilah berdasarkan nama
dan alamat lengkap, usia, pendidikan terakhir, status kepemilikan identitas,
jenis disabilitas dan tingkat hambatan, serta penyebab hambatan.
2. Hasil data serta sistem pendataan inklusif yang dikembangkan yaitu Sistem
Informasi Desa (SID) diterapkan dalam program Rintisan Desa Inklusi (RINDI)
sebagai bagian dari upaya untuk membangun sistem perencanaan dan
pembangunan desa yang berperspektif inklusi dengan data dan informasi
yang akurat.
3. Data yang diperoleh menjadi rujukan data penerima Jamkesus dan
Jamkesda serta data penerimaan bantuan lainnya bagi disabilitas.
4. Pemerintah desa telah menjadikan hasil dari pendataan sebagai dasar
dalam penyusunan perencanaan program desa.
5. Dialokasikannya Dana Desa untuk disabilitas. Dana tersebut untuk
pengadaan alat bantu bagi disabilitas serta perbaikan sarana prasarana
pelayanan publik di desa (seperti kantor desa dan sebagainya) agar dapat
diakses oleh penyandang disabilitas.
6. Data digunakan untuk mendorong pemerintah desa dalam membuat
kebijakan yang lebih ramah disabilitas.
7. Pemerintah desa mengalokasikan anggaran untuk pertemuan rutin
Kelompok Disabilitas Desa sebagai dukungan untuk kelompok disabilitas
8. Salah satu Camat merespon hasil data dengan hasil data dengan
menginstruksikan puskesmas yang ada di kecamatan tersebut agar

Inovasi Pendataan Disabilitas 41


didesain menjadi puskesmas yang ramah disabilitas serta mendorong
pemerintah desa agar mengalokasikan anggaran untuk mendukung
kelompok disabilitas di desanya.
9. Penyandang disabilitas mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan di desa.
10. Proses pendataan yang juga menjadi sarana mensosialisasikan hak
disabilitas ke masyarakat dan keluarga disabilitas telah turut mengubah
stigma dan pemikiran negatif tentang disabilitas. Salah satu yang paling
mencolok adalah tentang bagaimana melihat disabilitas jiwa. Sebagian
besar masyarakat tidak lagi melihat disabilitas sebagai orang yang cacat
menjadi beban dan tidak bisa produktif atau hanya pencari bantuan saja.

2.2.2.3 Faktor Pendukung


Keberhasilan proses pendataan ini tidak terlepas dari dukungan tim pendata
dan para stakeholder. Beberapa faktor pendukung yang dapat diidentifikasi adalah:
1. Adanya nota kesepahaman (MoU) antara SIGAB dengan pemerintah desa,
kecamatan, dan pemerintah kabupaten.
2. Terbitnya Perda Kabupaten Kulon Progo No. 3 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Disabilitas serta Perda Provinsi DI
Yogyakarta No.4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Disabilitas.
3. Kuatnya komitmen aparatur kunci di pemerintah mulai dari tingkat dusun,
desa (Kepala Desa) dan kecamatan (Camat) serta dukungan langsung dari
Wakil Bupati Kulon Progo yang menyambut baik pendataan disabilitas
karena sesuai dengan kinerja Pemda. Dalam banyak kesempatan, bahkan
salah satu Camat menyampaikan berbagai hak disabilitas terhadap
beberapa Kepala Dinas saat pemerintah kabupaten melakukan pertemuan.
4. Dukungan yang signifikan juga datang dari keluarga disabilitas dan
masyarakat yang sangat kooperatif dalam memberikan informasi mengenai
penyandang disabilitas.
5. Keterlibatan dan komitmen yang konsisten dari kelompok masyarakat
lain seperti kader kesehatan, karang taruna, serta organisasi lain di desa.
Dukungan mereka turut memberi pengaruh pada penerimaan dan
keterbukaan masyarakat dan keluarga disabilitas yang akan didata.

2.2.2.4 Tantangan
Sebuah keberhasilan tidak selalu melewati jalan yang mulus, pasti tetap ada
tantangan yang muncul di tengah proses. Tantangan pertama yang dihadapi

42
pada proses pendataan ini berasal dari keluarga penyandang disabilitas. Sebagian
keluarga penyandang disabilitas tidak peduli terhadap pendataan. Sebagian lagi
tidak mau mengakui bahwa anggota keluarganya tergolong disabilitas karena
persepsi yang dianut oleh sebagian besar masyarakat disabilitas merupakan
kecacatan fisik, bukan dilihat dari aspek hambatan. Oleh karena itu, pada saat
proses pendataan butuh pendamping untuk meyakinkan dan membantu
pengisian kuesioner data yang tidak diisi dengan lengkap. Cara ini mengubah
paradigma masyarakat dalam memandang disabilitas
Tantangan kedua adalah pada saat mengintegrasikan data hasil pendataan
SIGAB ke dalam Sistem Informasi Desa (SID). Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
yang diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan
masih menyebut kata tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa dan sejenisnya
yang berdasarkan kecacatan. Hasil pendataan SIGAB berdasarkan hambatan
bukan kecacatan. Sementara itu, Sistem Informasi Desa masih berpedoman pada
UU Administrasi Kependudukan. Akibatnya, data yang ada pada Sistem Informasi
Desa belum sesuai dengan pendekatan SIGAB. Dalam hal ini, Combine (mitra
pengembang Sistem Informasi Desa) belum bersedia mengubah pendekatannya
karena yang menjadi rujukan Combine adalah regulasi yang ada, yaitu UU
Administrasi Kependudukan. Dengan kata lain, UU Administrasi Kependudukan
merupakan hambatan terbesar karena masih menggunakan pendekatan fisik
atau kecacatan. Perbedaan pendekatan ini menjadi hambatan tersendiri saat
tahap integrasi ke sistem pendataan dan informasi pemerintah serta tantangan
untuk rencana perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi. Harapannya,
Undang-Undang Kependudukan dapat mengadopsi nilai-nilai yang ada pada
CRPD dan Undang-Undang Disabilitas. Meski demikian, DPO terus berupaya
mengembangkan praktik baik pendataan disabilitas dengan terus melakukan
diskusi untuk perbaikan-perbaikan pelayanan publik bagi disabilitas.
Tantangan yang ketiga adalah rendahnya pemahaman aparatur pemerintah
terkait kedisabilitasan. Perlu diupayakan melakukan peningkatan kapasitas
serta pengkaderan SDM aparat desa terkait kedisabilitasan karena saat ini baru
orang-orang tertentu yang paham dan bisa berkontribusi langsung pada proses
pendataan, updating dan pengelolaan data disabilitas di desa.

2.2.2.5 Partisipasi
Kelompok Penyandang disabilitas terlibat mulai dari proses dan diskusi
akhir pengembangan instrumen dan pendataan sampai pada tindak lanjut
pascapendataan. Sementara pada perencanaan awalnya belum terlibat karena

Inovasi Pendataan Disabilitas 43


perencanaan pendataan ini dilakukan oleh tim SIGAB secara langsung. Keterlibatan
disabilitas ini diawali dari ajakan SIGAB, kemudian muncullah inisiatif untuk terlibat
dalam proses pendataan secara kelompok, yaitu melalui Kelompok Disabilitas
Desa, DPO Cahaya Mandiri.
Penyandang disabilitas berpartisipasi pada proses pendataan dengan cara
membantu mensosialisasikan kegiatan pendataan ke komunitas-komunitas yang
ada di masyarakat desa, ikut serta melakukan pendataan dan melakukan input
data hasil pendataan. Pada tahap tidak lanjut, disabilitas ikut serta dalam advokasi
ke pemerintah desa dan unit layanan (Puskesmas). Partisipasi disabilitas ini sangat
penting bagi pemerintah desa dan unit layanan agar dapat mendengar secara
langsung bantuan atau akses yang dibutuhkan oleh disabilitas. Berikut adalah
partisipasi disabilitas berdasarkan tahapan pendataan.

Bagan 2.5 Partisipasi Disabilitas dalam Tahapan Pendataan

Perencanaan Proses Pendataan Tindak Lanjut

Finalisasi Sosialisasi kegiatan Advokasi ke


Instrumen pendataan pemerintah desa
dan unit layanan

Menjadi
enumerator

2.2.2.6 Penerimaan dan Rencana Pengembangan


Hasil pendataan disabilitas yang dilakukan SIGAB telah diterima dan diakui
oleh pemerintah desa dan kecamatan. Pemerintah desa menjadikan hasil dari
pendataan itu sebagai dasar dalam penyusunan perencanaan program desa dan
telah mengalokasikan dana khusus untuk disabilitas. Dana khusus itu digunakan
untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan kelompok disabilitas, pengadaan
bantuan alat untuk disabilitas, serta perbaikan sarana prasarana pelayanan
publik agar dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Demikian pula dengan
Camat. Inovasi pendataan ini telah diterima dengan baik dan Camat mengimbau
puskesmas setempat untuk didesain menjadi puskesmas yang ramah disabilitas.
Hal ini sejalan dengan adanya desa inklusi di kecamatan tersebut.

44
Namun, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo belum sepenuhnya menerima
inovasi, terutama instrumen pendataan yang digunakan oleh SIGAB karena
dianggap belum ada dasar hukumnya dalam bentuk peraturan perundang-
undangan. Sementara UU Administrasi Kependudukan, yang selama ini menjadi
pedoman pendataan penduduk masih menggunakan pendekatan berdasarkan
kecacatan fisik, bukan hambatan seperti yang digunakan SIGAB.
SIGAB sendiri pernah menawarkan inovasi pendataan ini untuk diadopsi oleh
Dinas Sosial Kabupaten Kulonprogro, tetapi belum diterima. Argumentasinya
karena pada tahun 2018, Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta berencana menyusun
instrumen pendataan disabilitas. Oleh karena itu, Dinas Sosial memutuskan untuk
menunggu instrumen pendataan dari Pemerintah Provinsi tersebut.
Inovasi pendataan ini sebenarnya dapat direplikasi dan dikembangkan ke
tingkat yang lebih tinggi. Untuk itu, perlu adanya upaya advokasi ke pemerintahan
yang lebih tinggi, yaitu kabupaten, provinsi, dan nasional.
Inovasi pendataan ini sejatinya dapat mengubah paradigma masyarakat dalam
memandang disabilitas bahwa fokus dalam melihat disabilitas bukan kecacatannya,
melainkan bagaimana cara mengatasi hambatan sosial dari disabilitas tersebut.

2.2.3 KARINAKAS: Pendataan Kolaboratif dan Efisien di Sukoharjo


2.2.3.1 Proses dan Peran Aktor
Inovasi pendataan penyandang disabilitas di Kabupaten Sukoharjo terbagi
menjadi dua tahapan. Pertama adalah pendataan yang dilakukan oleh KARINAKAS
bersama komunitas disabilitas di wilayah dampingan KARINAKAS. Kedua adalah
pendataan disabilitas yang sudah dikembangkan lebih lanjut dan diadopsi
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo ke seluruh wilayah Kabupaten
Sukoharjo (total 165 desa) dengan pendampingan dari KARINAKAS. Dua tahapan
ini seluruhnya terjadi pada pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1.
Pendataan tahap pertama ini dilatar belakangi kebutuhan akan data dan
pemetaan jumlah serta kondisi disabilitas di wilayah intervensi KARINAKAS
di Kabupaten Sukoharjo. Data ini di perlukan sebagai langkah awal advokasi
pemenuhan hak dan peningkatan kualitas hidup kelompok disabilitas. Pada
pendataan tahap pertama ini, KARINAKAS menggunakan instrumen pendataan
dengan mengadopsi pertanyaan yang direkomendasikan oleh Washington Group
on Disabilities Statistic versi pendek. Washington Group Dissability Statistic sendiri
adalah semua instrumen yang dikembangkan oleh beberapa negara, Organisasi
Disabilitas International, dan pemangku kepentingan lain yang berkoordinasi di
bawah keanggotaan PBB yang ditujukan untuk mengukur tingkat hambatan dan

Inovasi Pendataan Disabilitas 45


kondisi kedisabilitasan di berbagai negara dari berbagai aspek. Instrumen ini juga
terus dikembangkan sejak awal inisiasi di tahun 2002 dengan beberapa versi yang
disesuaikan dengan berbagai kebutuhan pendataan disabilitas Internasional.
Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian disusun lagi dan disederhanakan sesuai
kebutuhan KARINAKAS. Misalnya, adanya tambahan informasi terkait kesehatan,
ekonomi dan lainnya sesuai dengan kebutuhan advokasi KARINAKAS. Proses
pendataan pun masih terbatas melibatkan KARINAKAS, Tim Rehabilitasi
Bersumberdaya Masyarakat (RBM) tingkat desa dan kelompok disabilitas
dampingan KARINAKAS, dengan dukungan dana dari program yang dikelola
KARINAKAS.

Gambar 2.4. Keputusan Bupati Sukoharjo tentang Penerima Kartu Disabilitas

46
Kegiatan-kegiatan dan peran aktor pada pendataan tahap pertama ini yang
dilakukan KARINAKAS dapat dilihat pada bagan berikut:

Bagan 2.5. 1 Kegiatan Peran Aktor dalam Pendataan Tahap Pertama KARINAKAS

• Karinakas • Karinakas
• SHG • Dinas-dinas
Penyusunan Proses Tindak
Karinakas • Kader terkait
Instrumen Pendataan Lanjut
Posyandu • Dinas
• Aparat Desa Kesehatan
(RBM) • Dinas Sosial

Hasil pendataan tahap pertama kemudian ditindaklanjuti dengan usulan


program kepada pemerintah daerah sesuai dengan bidangnya. Misalnya, di
bidang kesehatan diajukan ke Dinas Kesehatan yang kemudian direspon sehingga
penyandang disabilitas mendapat Jaminan Kesehatan Difabel. Selain itu, diajukan
pula ke Dinas Koperasi dan UKM, yang direspon dengan rencana pelatihan dan
bantuan modal bagi penyandang disabilitas yang memiliki ketertarikan usaha.
Meski pendataan ini ditindak lanjuti dengan diperolehnya Jaminan Kesehatan
Difabel bagi penyandang disabilitas, tetapi penerimanya masih terbatas pada
disabilitas yang menjadi dampingan KARINAKAS. Hal ini kemudian menjadi
pembahasan antara KARINAKAS dan SKPD/OPD Kabupaten Sukoharjo agar semua
penyandang disabilitas dapat memperoleh haknya, sementara kesulitannya
adalah tidak ada data yang dapat dijadikan pedoman untuk itu. Oleh karena itu,
muncul gagasan untuk mengembangkan inovasi pendataan tahap pertama ini ke
seluruh wilayah Kabupaten Sukoharjo dan melibatkan instansi Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukoharjo.
Berikut adalah kronologi perluasan dan pengembangan pendataan disabilitas
dari pendataan yang terbatas di wilayah dampingan KARINAKAS menjadi
pendataan menyeluruh di Kabupaten Sukoharjo:
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo telah menerbitkan Jaminan
Kesehatan Difabel (JKD) sebagai respon atas hasil pendataan disabilitas
yang dilakukan KARINAKAS, tetapi penerimanya masih terbatas pada
disabilitas di wilayah dampingan KARINAKAS yang sudah didata.
2. Proses penambahan pendaftaran penerimaan JKD cukup menyulitkan

Inovasi Pendataan Disabilitas 47


penyandang disabilitas lainnya, karena membutuhkan surat rekomendasi
dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, pemerintah desa dan atau kecamatan.
3. KARINAKAS mendiskusikan mekanisme pengajuan JKD yang lebih
sederhana, kemudian diusulkan agar disabilitas diberi kartu khusus untuk
mempermudah pengurusan dan akses kesehatan.
4. Pemerintah Daerah setuju membuat Kartu DISABILITAS bagi penyandang
disabilitas, tetapi karena tidak ada data lengkap tentang penyandang
disabilitas di Kabupaten Sukoharjo yang akan menerima kartu tersebut
maka disepakati perlu adanya pendataan menyeluruh bagi disabilitas di
Kabupaten Sukoharjo.
5. Proses diskusi dan koordinasi rencana kebutuhan pendataan serta
perumusan instrumen ini terjadi antara KARINAKAS, Dinas Kesehatan
(sebagai penanggung jawab JKD), dan Dinas Sosial (penanggungjawab
pendataan disabilitas) dan Tim RBM Kabupaten.
6. Sampai pada buku ini ditulis, sekitar 5.000 kartu DISABILITAS sudah
dibagikan.

Bila pada pendataan tahap pertama hanya melibatkan beberapa pihak saja
maka pada tahap kedua perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi, terjadi
kolaborasi yang relatif besar, baik dari pihak yang terlibat maupun pendanaannya.
Sebagian besar kegiatan pendataan dilakukan dan dibiayai oleh pemerintah
daerah, dalam hal ini Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo, dan menggunakan relawan
untuk melakukan pendataan langsung kepada
“Supaya difabel itu tidak disabilitas. KARINAKAS terlibat memfasilitasi diskusi
minder, tidak di rumah terus penyusunan instrumen pendataan serta menjadi
dan bisa berbaur dengan fasilitator dan narasumber pada saat sosialisasi
teman-temannya, sehingga kegiatan pendataan yang akan dilakukan oleh
tidak disingkirkan maka mereka Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo. Proses
didata dan diajak berkumpul, diskusi dan koordinasi perumusan instrumen
bersosialisasi”. pendataan kedua ini terjadi antara KARINAKAS,
Latmini, Sekretaris SHG/ Dinas Kesehatan (sebagai penanggung jawab
Kelompok Disabilitas penerbit Jaminan Kesehatan Difabel), dan Dinas
Sosial (yang bertanggung jawab pada pendataan
disabilitas) dan tim RBM Kabupaten.
Dari proses perluasan dan pengembangan pendataan ke yang lebih
tinggi, tampak bahwa pola kolaborasi telah berjalan dan relatif efisien dalam
pelaksanaannya. Kolaborasi yang muncul melibatkan banyak pihak melalui tim

48
RBM yang sudah menjalankan pekerjaannya dari kabupaten hingga desa. Biaya
yang dibutuhkan untuk pendataan meliputi satu kabupaten di Sukoharjo sekitar
Rp10 juta. Biaya ini terutama untuk untuk penggandaan instrumen pendataan dan
biaya transportasi enumerator/pendata.
Di lokasi dampingan KARINAKAS, pendataan dilakukan oleh kader posyandu
dan anggota SHG. Sementara di desa lain, pendataan pada perluasan dan
pengembangan ke yang lebih tinggi dilakukan oleh kader Posyandu dan
dikoordinasikan oleh TKSK di tingkat kecamatan. Dengan kata lain, seluruh proses
perluasan dan pengembangan pendataan, dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Sukoharjo, sedangkan KARINAKAS tidak lagi terlibat secara langsung. KARINAKAS
relatif hanya terlibat pada beberapa kegiatan pendukung, seperti diskusi reformulasi
instrumen, diskusi strategi serta pembagian peran dalam rencana pendataan
disabilitas yang dipimpin oleh istri Bupati Sukoharjo sebagai Ketua PKK dan Ketua
Tim RBM Kabupaten dan difasilitasi oleh KARINAKAS. Diskusi menyepakati agar
pendataan dapat dijalankan dengan biaya murah dan efektif, digunakan tenaga
yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, sebagai dua
motor utama pendataan. Tenaga yang dimaksud adalah Tenaga Kesejahteraan
Sosial Kecamatan (TKSK) yang terkoordinasi oleh Dinas Sosial dan kader Posyandu
yang berada di bawah koordinasi Dinas Kesehatan.
Proses pendataan awal ini berjalan cukup lancar karena dilakukan oleh
kader yang sudah mengenal lokasi dan warganya. Pada proses pemutakhiran,
memang ada beberapa hambatan terutama di desa-desa luar wilayah dampingan
KARINAKAS. Sebagai catatan, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo (khususnya
Bupati) sebelumnya sudah pernah mengeluarkan anggaran yang relatif besar yaitu
sekitar Rp700 juta untuk melakukan pendataan disabilitas yang dilakukan oleh
pihak ketiga. Namun, hasilnya tidak dapat digunakan.
Pengumpulan data disabilitas dilakukan melalui proses input data di tingkat
desa, semua data mentah dikumpulkan dan dikoordinir oleh Tim RBM Desa.
Hasilnya kemudian diinput di Dinas Sosial. Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo
sendiri telah mengembangkan mekanisme dan kompilasi data disabilitas yang
dikembangkan dari resource center yang diinisiasi oleh KARINAKAS pada program
sebelumnya. Saat itu juga sudah ada SDM yang dilatih dan memiliki kemampuan
mengolah data sekaligus IT yang adalah penyandang disabilitas yang sudah dilatih
dan diberdayakan dengan status sebagai PHL (Pekerja Harian Lepas) Dinas Sosial.
Saat ini hasil data disabilitas masih dikelola oleh Dinas Sosial, tetapi terbuka
untuk disampaikan kepada SKPD/OPD lain yang membutuhkan. Berikut adalah
tahapan pada perluasan dan pengembangan pendataan yang dilakukan:

Inovasi Pendataan Disabilitas 49


Bagan 2.7 Tahapan Perluasan dan Pengembangan Pendataan ke yang Lebih
Tinggi di Sukoharjo

Perumusan instrumen dan Sosialisasi ke seluruh Tim RBM Kecamatan


strategi pendataan dipimpin Kecamatan dan Kepala Desa diwakili TKSK dan Bidan
oleh Dinsos dan difasilitasi (tim RBM Kec dan Desa) desa menjadi koordinator
Karinakas oleh Dinas Sosial, Karinakas pendataan
sebagai narasumber

Relawan dari Kader Desa memfasilitasi Hasil pendataan relawan di


Posyandu dan SLS (Satuan koordinasi di level desa kumpulkan di bidan desa,
Lintas Sektor) di tingkat RT atau di tim RBM Desa, atau
melakukan pendataan dari ke TKSK Kecamatan
rumah ke rumah

Tim RBM desa/atau Input data dilakukan oleh Hasil olah data diserahkan
bidan desa atau TKSK Dinas Sosial, data dikelola ke OPD, Pemdes dalam
mengumpulkan form dan dikembangkan oleh bentuk rekap hard copy
pendataan di Dinas Sosial (di Dinas Sosial dan CD
center bases Dinas Sosial)

Pendataan disabilitas yang dilakukan KARINAKAS memiliki beberapa tujuan


khusus dalam rangka menjawab permasalahan penyandang disabilitas di lapangan
yakni:
1. Memudahkan atau memastikan semua penyandang disabilitas dapat
mengakses layanan kesehatan secara mudah melalui Kartu DISABILITAS.
2. Memudahkan Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo dalam memperluas
jangkauan dan pemerataan bantuan sosial.
3. Sebagai bahan dalam perencanaan dan penganggaran Dinas Sosial agar
mampu merespon dan sesuai dengan kondisi disabilitas yang sudah didata.
4. Menjadi dasar perencanaan dan penganggaran program dinas lain seperti
Dinas UKM untuk menyusun program yang berhubungan dan sesuai
dengan kondisi disabilitas.
Pada pendataan disabilitas yang diadopsi dari KARINAKAS ini selain memberi
data yang akurat, juga sudah membangun mekanisme pemutakhiran (updating).
Sejak awal, pendataan ini melibatkan kader yang ada di desa dan pendataannya
berjenjang dari desa maka ketika ada kejadian seperti temuan ada disabilitas baru

50
atau kematian akan otomatis termutakhirkan (updated). Berikut adalah aktor-aktor
yang berperan dalam pendataan disabilitas di Kabupaten Sukoharjo.

Tabel 2.3. 1 Peran Aktor di Kabupaten Sukoharjo

Nama Institusi/
No Aktor organisasi Peran
/nama orang
1 Pemerintah Dinas Sosial Melakukan perencanaan pendataan;
menjadi koordinator pelaksanaan
pendataan; mereformulasi instrumen
pendataan; mengerahkan SDM yang
berada di bawah koordinasinya, yaitu
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
(TKSK).
Dinas Kesehatan Melakukan perencanaan pendataan;
menjadi koordinator pelaksanaan
pendataan; mereformulasi instrumen
pendataan; mengerahkan SDM di
bawah koordinasinya yang ada di
desa (termasuk bidan desa, dan kader
posyandu)
Pemerintah Desa Memfasilitasi tempat dan konsumsi
koordinasi saat pendataan;
mensosialisasikan kegiatan pendataan
ke warga; dan memberi dukungan
dengan melibatkan Tim RBM Desa untuk
pendataan.
2 BAPPEDA Terlibat dalam diskusi sebagai bagian
dari Tim RBM Kabupaten

3 Kelompok/ SHG Anggota SHG yang juga menjadi


organisasi kader ikut melakukan pendataan;
disabilitas menjadi informan tentang keberadaan
penyandang disabilitas; dan menerima
laporan dari Tim RBM.
4 Masyarakat - Menjadi informan keberadaan
disabilitas.

Inovasi Pendataan Disabilitas 51


5 Penyandang Menjadi ahli IT/ pengelola data di bawah
Disabilitas (diluar - koordinasi Dinas Sosial
kelompok)
6 Fasilitator/ - Mendampingi kelompok disabilitas;
pendamping mengkoordinasi pendataan (pada
pendataan awal); dan memfasilitasi
diskusi di tingkat perencanaan (saat
perluasan dan pengembangan ke yang
lebih tinggi)
7 Keluarga Mengikut proses pendataan mewakili
penyandang - RBM; dan melakukan sosialisasi
disabilitas kepada sesama orang tua penyandang
disabilitas.
8 Kader posyandu - Ikut mendata dan mensosialisasikan
kegiatan pendataan.

2.2.3.2 Hasil dan Dampak Pendataan


Pendataan disabilitas mengawali berbagai advokasi dan upaya perbaikan
pelayanan bagi disabilitas di Kabupaten Sukoharjo menghasilkan beberapa hal
dan memberi dampak baik. Beberapa hasil dan dampak tersebut di antaranya:
1. Pada pendataan pertama (yang dilakukan murni oleh KARINAKAS) telah
terdata 394 disabilitas yang mencakup 4 desa di Kabupaten Sukoharjo.
2. Pada pendataan kedua, yang sudah diadopsi dan dilakukan oleh Dinas Sosial
dengan dukungan KARINAKAS dan RBM, cakupan pendataan diperluas
menjadi satu Kabupaten Sukoharjo telah terdata sejumlah 3.275 disabilitas
(per akhir Program Peduli Fase 1 tahun 2016, data ini terus bertambah
dengan proses pembaruan data yang terus-menerus oleh Dinas Sosial).
3. Data hasil pendataan disabilitas digunakan untuk menyusun penerima
Kartu DISABILITAS. Melalui penggunaan Kartu DISABILITAS, penyandang
disabilitas memperoleh kemudahan akses dan prioritas untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan, bahkan pada beberapa kasus mendapat prioritas
untuk layanan publik lain. Pada tahap pertama 394 Kartu DISABILITAS
dan tahap berikutnya 3.275 Kartu DISABILITAS bagi semua disabilitas
yang terdata. Pemberian Kartu DISABILITAS ini tertuang dalam SK Bupati
Sukoharjo.
4. Meningkatnya kesadaran dan pemahaman mengenai kebutuhan
pendataan pada keluarga dan disabilitas sendiri. Disabilitas, keluarga dan

52
masyarakat saat ini menjadi lebih proaktif melapor ke TKSK atau aparat
desa jika ada perubahan kondisi atau bila ada penyandang disabilitas
yang belum terdata. Di sini terjadi perubahan mindset menjadi lebih positif
terhadap pendataan disabilitas.
5. Hasil pendataan awal (pendataan mandiri) memperkuat keinginan
pemerintah daerah untuk melakukan pendataan disabilitas secara
menyeluruh karena sudah merasakan manfaat data disabilitas yang
dihasilkan.
6. Bagi pemerintah daerah, data disabilitas yang ada memudahkan untuk
distribusi bantuan sosial (contoh PKH).
7. Penerimaan bantuan sosial lebih merata, tidak hanya penyandang
disabilitas berat tetapi juga meluas bagi masyarakat miskin dan
penyandang disabilitas lain yang sebelumnya belum masuk database dan
tidak memperoleh bantuan sosial.
8. OPD/Dinas lintas sektor memiliki data untuk menyusun anggaran
kebutuhan disabilitas dan perencanaan program dan kegiatan terkait
lainnya.
9. Penganggaran dan pemberian bantuan untuk disabilitas menjadi lebih
spesifik, khususnya bantuan alat bantu atau dukungan spesifik lainnya
sesuai dengan kedisabilitasannya. Bantuan dan penganggaran alat bantu
ini khususnya bagi Dinas Kesehatan dan Pemerintah desa.
10. Realokasi anggaran oleh beberapa SKPD, misalnya Dinas UKM dan
Perdagangan merealokasi anggaran kegiatan bimbingan teknis/
peningkatan kapasitas bagi warga menjadi program peningkatan
kapasitas/skill usaha bagi disabilitas.
11. Pendataan disabilitas memberi dampak pada perubahan pendekatan
pemenuhan hak dan pengurangan hambatan bagi kelompok disabilitas
bagi pemerintah desa hingga pemerintah kabupaten.
12. Adanya data memudahkan Dinas Sosial kabupaten untuk memilih
perwakilan atau representasi disabilitas yang akan dilatih menjadi lebih
merata saat ada tawaran program pelatihan atau program peningkatan
kapasitas lain dari Dinas Sosial provinsi.
13. Sejak ada program data disabilitas di Kabupaten Sukoharjo, banyak
kegiatan dari Dinas Sosial provinsi yang menyasar atau mengambil sasaran
disabilitas di Sukoharjo.
14. Selain digunakan oleh Dinas Sosial, data juga digunakan oleh 4 desa
dampingan KARINAKAS.

Inovasi Pendataan Disabilitas 53


Gambar 2.5. Pemeriksaan Disabilitas

Selain dampak dan manfaat langsung di atas, terdapat beberapa perubahan


yang terjadi secara tidak langsung sebagai dampak dari pendataan disabilitas ini
antara lain:
1. Mekanisme dan proses pelibatan kader posyandu diimplementasikan di
desa. Disabilitas dan keluarga merasa tidak lagi terkucil karena saat proses
pendataan dan pascapendataan terjadi perubahan sikap dan perhatian
dari masyarakat sekitar dan aparat pemerintah.
2. Pelibatan dan penyadaran semua pihak tentang disabilitas. Tim RBM desa
yang terdiri lebih dari 10 orang dan berasal dari berbagai unsur masyarakat
serta berketua istri kepala desa. Tim RBM tersebut ikut serta dalam
mempercepat sosialisasi.
3. Mengubah persepsi serta pemahaman terkait disabilitas di masyarakat dan
aparat desa.
4. Dengan tersedianya data yang memadai dan perencanaan mewujudkan
dan pemenuhan hak disabilitas di desa maka dua desa yaitu desa Ngreco
dan Krajan di Kecamatan Weru mendeklarasikan sebagai desa inklusi
berbasis hak.

2.2.3.3 Faktor Pendukung


Beberapa faktor yang mendukung pelaksanaan pendataan disabilitas adalah:
a. Komitmen politik yang kuat dari pembuat kebijakan, dalam hal ini Bupati
Sukoharjo.
b. Kesesuaian pendataan disabilitas dengan program Pemerintah Kabupaten
Sukoharjo menjadi faktor pendukung yang cukup signifikan dalam
mempercepat penerimaan pemerintah daerah terhadap pendataan

54
Gambar 2.6 Penyerahan Kartu
DISABILITAS oleh Bupati
Sukoharjo kepada Perwakilan
Disabilitas yang Sudah Didata

disabilitas dan tindak lanjut dari


pendataan disabilitas tersebut.
c. Adanya Tim RBM dari mulai
kabupaten hingga desa termasuk
adanya Gerakan menuju Sukoharjo
sebagai Kabupaten Inklusi.
d. Terbitnya beberapa regulasi yang
mendukung pemenuhan hak
penyandang disabilitas, seperti
Peraturan Daerah Kabupaten
Sukoharjo No. 7 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas di Kabupaten Sukoharjo dan Peraturan Bupati tentang Jaminan
Kesehatan Difabel.

2.2.3.4 Tantangan
Faktor yang menjadi tantangan inovasi pendataan yang dilakukan oleh
KARINAKAS adalah tertutupnya informasi dari keluarga disabilitas sehingga
memerlukan kerja keras untuk meyakinkannya.
Dari sisi penyandang disabilitas, keterbatasan
kapasitas mengakibatkan penyandang disabilitas
belum bisa banyak berkontribusi pada proses
pendataan dan advokasi pascapendataan,
khususnya saat upaya advokasi ke aparatur
pemerintah daerah.

Gambar 2.7 Surat Pemberitahuan


kepada Tim RBM Kabupaten
Sukoharjo terkait Pendataan
Disabilitas

Inovasi Pendataan Disabilitas 55


Sementara itu, tantangan yang dihadapi pada pendataan yang dikembangkan
dan diperluas di antaranya adalah pemahaman pendata di lapangan yang beragam.
Hal ini terjadi karena pembekalan khusus tentang proses dan mekanisme pendataan
hanya dilakukan di tingkat koordinator sehingga banyak pendata yang belum
benar-benar memahami kedisabilitasan. Hasil pendataan yang dikembangkan dan
diperluas ini pun masih memerlukan perbaikan. Contohnya, data yang masuk tidak
seragam sehingga proses perbaikan data dan pemutakhiran masih perlu terus
dilakukan. Hal ini terutama terjadi di wilayah yang bukan dampingan KARINAKAS.

2.2.3.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas


Keterlibatan disabilitas pada pendataan berbeda antara kegiatan pendataan
yang dilakukan KARINAKAS dengan perluasan dan pengembangan pendataan ke
yang lebih tinggi dilakukan Pemda. Pada perluasan dan pengembangan pendataan
ke yang lebih tinggi, keterlibatan disabilitas tidak merata karena tidak semua desa
Tim RBM-nya aktif, dan ada pendampingan bagi disabilitas dan keluarganya.
Kelompok penyandang disabilitas berpartisipasi mulai pada tahap perencanaan,
keterlibatan ini sudah terjadi sejak pada tahap pendataan pertama hingga pada
pendataan tahap dua (kecuali pada proses perumusan instrumen). Hal ini karena
di awal program, kapasitas kelompok disabilitas baru mulai dibangun. Berbagai
bentuk partisipasi tersebut antara lain:
1. Terlibat pada proses diskusi perumusan instrumen (khusus saat perluasan
dan pengembangan pendataan)
2. Menyampaikan kebutuhan pendataan agar cakupannya diperlebar dan
menyampaikan kebutuhannya agar dapat ditindak lanjuti pascapendataan.
3. Membantu mensosialisasikan ke sesama disabilitas atau ke keluarga
disabilitas tentang pendataan dan tujuan dari pendataan, khususnya bagi
disabilitas atau keluarga disabilitas yang menolak atau kurang mau terbuka.
Pada proses pendataan, penyandang disabilitas menjadi narasumber sekaligus
informan bagi keberadaan disabilitas lainnya. Awalnya, hampir semua disabilitas
pasif dan bahkan tidak pernah terlibat dalam kegiatan di desanya. Namun, setelah
pendekatan dan peningkatan kapasitas, disabilitas mulai aktif dalam proses
pendataan ataupun perencanaan desa. Keikutsertaan disabilitas muncul setelah
mendapat pendampingan dari fasilitator desa KARINAKAS.
Pada tahap monitoring dan evaluasi, penyandang disabilitas berperan
menerima pengaduan atau laporan kemajuan, terutama pada saat pertemuan
SHG yang diselenggarakan dua minggu sekali.
Keterlibatan disabilitas dalam tahapan pendataan ini karena penyandang

56
disabilitas menjadi bagian dari Tim RBM baik itu desa, kecamatan atau kabupaten
yang merupakan penggerak utama pendataan, terutama pada fase perluasan dan
pengembangan pendataan.

Gambar 2.8 Pembekalan Pendataan Disabilitas di Kabupaten Sukoharjo

2.2.3.6 Penerimaan dan Rencana Pengembangan


Hasil Pendataan disabilitas yang dilakukan KARINAKAS sejak awal langsung
disampaikan ke OPD terkait. Penerimaan dari OPD relatif baik. Hal ini terlihat dari
hasil pendataan yang digunakan sebagai data awal atau masukan penting OPD
dalam menyusun program khususnya yang terkait disabilitas. Sebagai contoh,
Dinas UKM dan Perdagangan yang sebelumnya sudah memiliki anggaran untuk
kegiatan bimbingan teknis usaha bagi warga masyarakat, kemudian memfokuskan
kegiatannya untuk peningkatan kapasitas berupa keahlian usaha bagi penyandang
disabilitas.
Penerimaan dari OPD juga terlihat dari respon Dinas Sosial ketika mendapatkan
tawaran dari Dinas Sosial Provinsi untuk mengirim peserta pelatihan bagi disabilitas

Gambar 2.9 Salah Satu


Bantuan bagi Disabilitas
yang Berasal dari Desa
Sebagai Hasil dari
Pendataan Disabilitas di
Desa Ngreco, Sukoharjo

Inovasi Pendataan Disabilitas 57


maka Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo merujuk pada hasil pendataan yang
dilakukan KARINAKAS.
Inovasi pendataan yang telah dilakukan KARINAKAS dan Pemerintah Kabupaten
Sukoharjo melalui Tim RBM ini telah menarik perhatian Kementerian Sosial, yang
telah menghubungi KARINAKAS untuk berdiskusi, yang berencana mereplikasi
program RBM di daerah lainnya.
Replikasi pendataan ini sendiri realistis untuk dilakukan di kabupaten/kota
lain dengan syarat Tim RBM juga dibentuk sebagai ruang kolaborasi. Selain
itu, replikasi membutuhkan dukungan masyarakat dalam proses pendataan
karena masyarakatlah yang tahu kondisi wilayahnya, serta perlunya penyesuaian
instrumen pendataan dengan konteks dan kebutuhan wilayah masing-masing.
Hasil pendataan juga harus disusun dalam bentuk satu database kabupaten/kota
yang dapat diakses serta digunakan oleh semua OPD yang membutuhkan.
Salah satu gaung kesuksesan di Sukoharjo ini, Kementerian Sosial menghubungi
KARINAKAS untuk berdiskusi tentang rencana mereka ingin melaksanakan
program RBM di lokasi lain. Perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi
untuk inovasi pendataan di Sukoharjo dapat dilakukan melalui proses replikasi di
daerah lain.
Di Sukoharjo, pemerintah dapat melakukan program apa saja, termasuk
pendataan karena adanya tim forum RBM Kabupaten. Dalam hal ini, pemerintah
sebatas menjadi fasilitator dan penyedia anggaran. Jadi, jika ini akan direplikasi,
forum semacam RBM juga harus dibentuk di kabupaten lain sebagai ruang
kolaborasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pentingnya keterlibatan
masyarakat setempat dalam proses pendataan karena masyarakatlah yang tahu
kondisi wilayahnya masing-masing sehingga tidak memerlukan biaya ekstra.
Ini juga harus diterapkan jika nanti akan direplikasi. Instrumen pendataan yang
digunakan tidak boleh seragam tetapi harus disesuaikan dengan konteks dan
kebutuhan wilayah masing-masing. Hasil data dimasukkan dalam data base data
kabupaten sehingga menjadi sistem satu data dan bisa diakses serta digunakan
semua OPD yang membutuhkan.

2.2.4 YASMIB: Peran Pemerintah Desa dalam Pendataan Disabilitas di Bone


2.2.4.1 Proses dan Peran Aktor
Inovasi pendataan yang dilakukan oleh YASMIB adalah pengembangan aplikasi
database pendataan sebagai instrumen untuk merekap pendataan yang dilakukan
secara langsung dari rumah ke rumah (door to door) penyandang disabilitas.
Langkah-langkah kegiatan pendataan yang dilakukan YASMIB dapat dilihat

58
pada bagan berikut.

Bagan 2.8 Tahapan Pendataan YASMIB di Kabupaten Bone

Rapid Pengembangan Aplikasi Pendataan Input Data Publikasi


Assessment Instrumen Database Data

Langkah pertama yang dilakukan YASMIB adalah melakukan penilaian secara


cepat (rapid assessment) selama 2 bulan. Penilaian cepat ini dilakukan untuk
mengetahui kondisi data yang sudah tersedia tentang disabilitas yang dimiliki
Dinas Sosial. Proses ini juga melibatkan pihak lain, yaitu Pemerintah Desa Carigading
dan Mallari serta Bappeda untuk memastikan ketersediaan data disabilitas. Hasil
penilaian menunjukkan belum tersedianya data tentang disabilitas di kedua desa
tersebut.
Berdasarkan hasil penilaian cepat itu, kemudian YASMIB mengembangkan
formulir atau blanko pengisian data. Dalam rangka mengembangkan kuesioner
tersebut, YASMIB berupaya menjaring input dari berbagai pihak, terutama dari
instansi pemerintah yang selama ini dianggap memiliki kewenangan untuk
melakukan pendataan. Hal ini dilakukan melalui serial workshop dengan Badan
Pusat Statistik, BKKBN, Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan
dan Dinas Kesehatan. Kemudian, YASMIB memilih untuk mengadopsi instrumen
milik BKKBN dan mengembangkannya menjadi kuesioner yang selanjutnya
dipergunakan untuk melakukan pendataan.
Berdasarkan kuesioner sudah dirumuskan tersebut, YASMIB kemudian
mengembangkan aplikasi database. Melalui aplikasi itu, data yang diperoleh
selanjutnya diinput dan menghasilkan rekapitulasi data secara lengkap. Aplikasi
database ini masih bersifat offline, dan otoritas inputnya masih dipegang oleh
YASMIB. Setelah pengembangan aplikasi, langkah berikutnya adalah proses
pendataan.
Pendataan dilakukan di dua desa, yaitu Desa Carigading dan Mallari.
Dalam melakukan pendataan ini, YASMIB bekerja sama dengan LPP Bone yang
bertugas melakukan koordinasi dengan Pemerintah Desa, merekrut relawan dan
mendampingi dalam proses pendataan. Relawan pendataan masing-masing desa
terdiri dari dua orang yang dilatih oleh YASMIB dan LPP Bone, terutama untuk
mengisi formulir pendataan. Organisasi penyandang disabilitas, yaitu PPDI juga

Inovasi Pendataan Disabilitas 59


terlibat dalam pelatihan dengan memberikan materi tentang kedisabilitasan,
termasuk menjelaskan tentang ragam disabilitas dan cara melakukan pendekatan
kepada para penyandang disabilitas.
Relawan yang telah dilatih kemudian
melakukan pendataan dengan cara menyambangi
“Saya sadar setelah ada
dari rumah ke rumah (door to door), bekerjasama
pendataan bahwa warga desa
dengan perangkat desa, terutama kepala dusun
saya banyak yang disabilitas.
yang mendampingi dan mengantarkan mereka
Karena itulah, saya memikirkan
pada proses pendataan ke rumah penyandang
bagaimana agar mereka dapat
disabilitas. Pada proses pendataan ini seringkali
merasakan pembangunan yang
menghadapi kendala untuk mendata penyandang
dilakukan di desa ini”
disabilitas karena penyandang disabilitas merasa
Andi Wahyuli, S.Pd, Kepala malu atau disembunyikan oleh keluarganya
Desa Mallari. sehingga tidak bisa ditemukan oleh pendata.
Kendala lainya adalah jauhnya rumah penyandang
disabilitas, yang menyulitkan enumerator/pendata.
Setelah pendataan dilakukan, data mentah yang diperoleh kemudian
dituangkan dalam kuesioner untuk disampaikan ke YASMIB. Berdasarkan data
tersebut, kemudian YASMIB melakukan input ke aplikasi database. Sembari
melakukan input data, YASMIB juga melakukan verifikasi jika ada data yang
dianggap kurang tepat atau terdapat pertanyaan pada kuesioner yang belum diisi,
atau salah pengisian. Proses verifikasi ini dilakukan dengan cara mengkonfirmasi
pada pendata melalui telepon dengan relawan. Bila dianggap belum memadai,
YASMIB dan LPP Bone secara langsung melakukan verifikasi ke lapangan. Hasil
verifikasi ini kemudian diinput ulang ke dalam aplikasi. Setelah semua proses input
data selesai maka dilakukan finalisasi database. Data yang telah final itu kemudian
dikirim ke Pemerintah Desa Carigading dan Mallari untuk dijadikan sebagai data
desa. Alur pendataan setelah melakukan rapid assessment adalah sebagai berikut:

60
Bagan 2.9 Alur Pendataan di Mallari Setelah Melakukan Rapid Assessment

Penyusunan Pengem- Rekrutmen Pendataan Verifikasi,


Instrumen bangan dan dan Input Finalisasi,
Aplikasi Pelatihan dan Deliveri
Database Relawan Data
Adopsi dan Mengembangkan Berkoordinasi Pendataan oleh Sembari meng-
pengembangan aplikasi database. dengan Pemdes enumerator door input, data juga
dari instrumen untuk merekrut to door dengan melakukan
yang telah ada, relawan pendata menggunakan verifikasi ke
seperti dari (enumerator) form yang telah enumerator jika
BKKBN, BPS, dan yang berasal dari disusun. Hasil ada data yang
OPD lain seperti desa setempat. pendataan dikirim kurang jelas.
Dinas Sosial, Dinas Melatih ke Yasmib dan Setelah diverifkasi,
Kesehatan, Dinas enumerator diinput oleh data difinalisasi.
Pendidikan. cara mengisi Yasmib. Rekap data disam-
form/instrumen paikan ke Pemdes.
pendataan. PPDI
Kabupaten turut
melatih, terutama
memberikan
pemahaman
tentang ragam
disabilitas.

Tabel 2.4 Daftar dan Peran Stakeholder pada Inovasi Pendataan

Unsur Nama Lembaga/Organisasi/


Peran
Stakeholder Personal
Pemerintah Badan Pemberdayaan Memberikan input untuk
Masyarakat & Pemerintah Desa pengembangan instrumen/
BKKBN kuesioner pendataan dan
Dinas Catatan Sipil pengembangan aplikasi.
BPS Provinsi
Dinas Sosial
Bappeda
Pemdes/BPD Koordinasi dalam rangka
merekrut relawan dan membantu
menyampaikan informasi
pendataan ke Kadus, RW dan RT
agar dapat menyiapkan diri ketika
relawan pendataan sampai di
lokasi.

Inovasi Pendataan Disabilitas 61


Kelompok/ Persatuan Penyandang Pelatihan enumerator, memberikan
organisasi Disabilitas Indonesia (PPDI) materi tentang perspektif
disabilitas Kabupaten Bone. disabilitas.
Himpunan Wanita Disabilitas
Indonesia (HWDI) Sulawesi
Selatan
Masyarakat Gerakan Masyarakat Peduli Membantu pendata menunjukkan
Disabilitas (Gemar Lidi) lokasi atau rumah penyandang
disabilitas.

NGO LPP Bone Mitra YASMIB untuk pelaksanaan


Koalisi Perempuan Indonesia di lapangan, dan menjadi relawan
Sulsel pendataan.
FKKADK

Fasilitator/ Megawati Mendata langsung ke tiap desa


pendamping Juhuri
Martiasari
Nurhayat
Pihak lain Anwar (Programer aplikasi) Mengembangkan aplikasi database
dan melakukan pelatihan cara
input data.

2.2.4.2 Hasil dan Dampak Pendataan


Pendataan yang dilakukan oleh YASMIB ini menghasilkan data yang berbeda
dengan data yang selama ini dimiliki oleh Pemerintah. Misalnya, saat sebelum
pendataan, jumlah disabilitas di desa
Mallari hanya 14 orang. Akan tetapi,
setelah dilakukan pendataan oleh YASMIB,
jumlahnya mencapai 62 orang. Perbedaan
lainnnya adalah dalam ragam disabilitas.
Data yang ada di pemerintah hanya

Gambar 2.10 Bantuan Alat Bantu


Dengar bagi Disabilitas Rungu di
Desa Mallari

62
Gambar 2.11 Bedah Rumah
Disabilitas Netra di Desa Mallari
(Sebelum)

Gambar 2.12 Bedah Rumah


Disabilitas Netra di Desa Mallari
(Sesudah)

menyebut disabilitas tanpa menguraikan


lebih lanjut jenis disabilitasnya. Oleh
karena itu, tidak bisa jelas kebutuhan yang
harus dipenuhinya sebagai penyandang
disabilitas.
Pendataan yang dilakukan YASMIB telah menarik perhatian pemerintah, baik
pemerintah kabupaten melalui beberapa OPD-nya maupun pemerintah desa.
Bagi pemerintah desa, pendataan ini menjadi hal yang sangat penting karena
membantu dalam mengelola pembangunan di desa. Data disabilitas dari YASMIB
dijadikan sebagai rujukan dalam perencanaan dan penganggaran oleh pemerintah
desa.
Di Desa Mallari, berdasarkan penuturan Kepala Urusan Keuangan yang juga
relawan pendataan, Pemdes menjadikan data ini sebagai rujukan dalam proses
perencanaan dan penganggaran desa, dan bahan untuk melakukan revisi
RPJMDes. Revisi RPJMDes ini menjadi panduan penting dalam penyusunan RKPDes
dan APBDes (di tahun 2016 dan 2017) dalam rangka mengakomodir kebutuhan
para penyandang. Beberapa program bagi penyandang disabilitas yang sudah
dialokasikan di APBDes adalah: a) Alokasi anggaran untuk membiayai transportasi
bagi penyandang disabilitas ke sekolah. Ini dilakukan karena banyak para
penyandang yang tidak bisa meneruskan sekolah karena kendala transportasi; b)
Program bedah rumah untuk penyandang disabilitas; c) Bantuan binatang ternak
bagi disabilitas; dan d) Pembangunan dua pos pelayanan kesehatan khusus untuk

Inovasi Pendataan Disabilitas 63


penyandang disabilitas. Pos ini setiap bulannya menyelenggarakan pelayanan
khusus bagi disabilitas pada setiap tanggal 14. Setiap bulannya, sekitar 20 orang
disabilitas mengunjungi pos pelayanan kesehatan tersebut.
Data yang diperoleh kemudian disampaikan ke OPD-OPD di Kabupaten Bone.
Dampak dari penyampaian data disabilitas ini antara lain: a) Dinas Catatan Sipil,
setelah mengetahui sebagian besar penyandang disabilitas tidak memiliki identitas
kependudukan seperti KTP dan KK, kemudian berinisiatif melakukan pelayanan
pembuatan KTP dan KK dengan cara turun langsung melakukan perekaman ke
desa; b) Dinas Kesehatan menggunakan data itu untuk membantu penyandang
disabilitas memperoleh bantuan pembayaran premi gratis (PBI, penerima bantuan
iuran) Peserta BPJS Kesehatan; dan c) Dinas Peternakan memberikan bantuan
hewan ternak berupa sapi kepada beberapa penyandang disabilitas yang telah
didata.

2.2.4.3 Faktor Pendukung


Beberapa faktor yang mendukung terwujudnya inovasi pendataan ini adalah:
a. Adanya kesediaan dan dukungan dari berbagai instansi pemerintah
daerah seperti BPS, BKKBN, Dinas Sosial, Dinas Catatan Sipil, Dinas
Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan untuk berbagi
dan berdiskusi instrumen pendataan yang dikembangkan oleh YASMIB
melalui kegiatan serial workshop pendataan dalam rangka mengelaborasi
instrumen pendataan yang paling tepat untuk digunakan.
b. Kuatnya dukungan dari Pemerintah Desa yang menyediakan desanya
sebagai lokasi percontohan pendataan dan mengirimkan relawan untuk
menjadi enumerator/pendata.
Komitmen dan kerja keras dari mitra lokal, yaitu LPP Bone dalam melaksanakan
proses pendataan disabilitas.

2.2.4.4 Tantangan
Relatif tidak ada tantangan yang signifikan sejak awal melaksanakan
pendataan, kecuali sebagian keluarga penyandang disabilitas enggan didata dan
tidak mengakui atau cenderrung menutupi bahwa memiliki anak atau anggota
keluarga yang disabilitas karena malu atau menganggap itu sebagai aib.
Akibatnya, sebagian penyandang disabilitas tidak terdata. Hambatan lain
adalah lokasi rumah penyandang disabilitas yang jauh dari jangkauan relawan
sehingga memerlukan waktu untuk melakukan pendataan.
Selain itu, tantangan lain adalah relatif lamanya proses verifikasi data lapangan.

64
Misalnya, karena kesalahan isi kuesioner dari relawan pendata sendiri, atau ada
beberapa kuesioner yang belum diisi lengkap.

2.2.4.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas


Penyandang disabilitas relatif belum terlibat dalam semua tahapan pendataan
yang dikembangkan oleh YASMIB ini. Penyandang disabilitas secara perorangan
berperan sebagai pihak yang didata dan penerima manfaat. Sementara itu,
organisasi penyandang disabilitas dalam hal ini Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia (PPDI) Kabupaten Bone masih berperan sebagai pelatih untuk
menyampaikan perspektif dan pemahaman tentang kedisabilitasan pada pelatihan
enumerator/relawan pendataan, tetapi tidak terlibat dalam melakukan pendataan.

2.2.4.6 Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan


Respon pemerintah terhadap proses dan hasil pendataan yang dilakukan oleh
YASMIB relatif positif, terutama dari pemerintah desa. Bagi Pemerintah Desa Mallari,
pendataan disabilitas membantu untuk mengetahui jumlah pasti penyandang
disabilitas dan menjadi acuan untuk menyusun perencanaan dan penganggaran
desa berbasis data dan kebutuhan disabilitas secara lebih spesifik dan serius.
Pemerintah desa juga menganggap ini sebagai bentuk perhatian khusus dan
upaya untuk menghilangkan diskriminasi bagi disabilitas yang selama ini secara
tidak sengaja terjadi dalam proses pembangunan desa. Sesuatu yang belum
pernah dilakukan sebelumnya. Selain itu, Puskesmas juga menggunakan data
disabilitas ini untuk merencanakan perawatan ke rumah penyandang disabilitas
(home care) secara tepat sasaran.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Bone melalui Bappeda juga telah
melakukan koordinasi dengan YASMIB dalam rangka mensinergikan pendataan
disabilitas. Dalam rangka rencana perluasan dan pengembangan ke yang
lebih tinggi, mekanisme dan sistem pendataan disabilitas YASMIB ini akan
disinergikan dengan Sistem Data Desa dan Kelurahan (SDDK) yang selama ini
telah dikembangkan oleh Bappeda, dan dikelola oleh Dinas Infokom. Rencananya,
form/instrumen yang dimuat dalam SDDK akan disesuaikan dengan kuesioner
yang dikembangkan oleh YASMIB. Dengan demikian, diharapkan SDDK akan
memuat data disabilitas secara lengkap, baik dari segi ragam disabilitas maupun
kebutuhan-kebutuhannya. Melalui sinergi ini, diharapkan pendataan disabilitas
akan dilakukan di seluruh desa dan kelurahan di Kabupaten Bone.
Bila dicermati lebih lanjut, upaya pengembangan pendataan ini berpeluang
besar untuk diwujudkan karena adanya payung hukum berupa Peraturan Daerah

Inovasi Pendataan Disabilitas 65


(Perda) Kabupaten Bone No. 5 tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Hak Penyandang Disabilitas, yang menyatakan bahwa salah satu hak penyandang
disabilitas adalah hak pendataan. Dengan demikian, mengacu pada Perda ini maka
menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pendataan secara
komprehensif yang menyertakan penduduk lokal.

2.2.5 BAHTERA: SAID dan Partisipasi berbagai Pihak dalam Pendataan


Disabilitas di 11 Desa di Kabupaten Sumba Barat
2.2.5.1 Proses dan Peran Aktor
Pendataan disabilitas yang dikembangkan BAHTERA adalah bentuk
mainstreaming pendataan disabilitas terhadap mekanisme pendataan di tingkat
desa yang telah dikembangkan sebelumnya. Sebelumnya, BAHTERA telah
mengembangkan model pendataan di tingkat desa, kemudian sejak pelaksanaan
Program Peduli Fase 1 BAHTERA mengintegrasikan isu dan kebutuhan disabilitas
dalam model, instrumen serta metode pendataan yang sebelumnya telah mulai
dikembangkan di 11 desa wilayah dampingannya. Tahapan pendataan dimulai
dari proses pra pendataan, implementasi pendataan dan pasca pendataan.
Proses pra pendataan dimulai BAHTERA dengan menyusun format pendataan
yang kemudian didiskusikan di internal BAHTERA. Hasilnya adalah berupa format
pendataan yang siap digunakan. Selanjutnya, dilakukan pembekalan kepada tim
pelaksana pendataan, yang terdiri dari unsur organisasi penyandang disabilitas/
DPO dan perangkat desa, termasuk di dalamnya adalah pelatihan mengenai Sistem
Adminstrasi dan Informasi Desa (SAID).
Proses berikutnya adalah melaksanakan pendataan di 11 desa target. Sebelum
itu, dilakukan uji coba instrumen pendataan terlebih dahulu. Hasil pendataan
(Tahap I) ini kemudian ditabulasi oleh Tim Pendataan (perangkat desa, kader desa
dan penyandang disabilitas) dalam format dokumen Excel dengan didampingi
oleh BAHTERA. Hasil pendataan ini kemudian disampaikan ke Pemda untuk
memperoleh masukan baik terkait dengan instrumen maupun tindak lanjut
hasil dan temuan pendataan. Selanjutnya, dilakukan pendataan tahap II (update)
yang hasilnya kemudian ditabulasi dan diintegrasikan ke dalam aplikasi Sistem
Administrasi dan Informasi Desa (SAID).
Aplikasi SAID ini pada awalnya bernama Sistem Informasi Desa yang
dikembangkan pada tahun 2013 dengan dukungan Program Access. Pada tahun
2015, dilakukan pengembangan dengan mengintegrasikan beberapa fitur
administrasi desa sehingga namanya kemudian diubah menjadi Sistem Administrasi
dan Informasi Desa (SAID). Aplikasi SAID ini juga sudah mengintegrasikan data

66
disabilitas. Pada tahun 2015 itu juga, dikembangkan Sistem Administrasi dan
Informasi Kelurahan (SAIK) dengan dukungan Program Peduli dan Lembaga
Combine Institute sebagai pengembang (developer) aplikasi SAID & SAIK.
Pada saat penyusunan instrumen awal, pihak Pemda tidak terlibat. Namun,
setelah Tim Pendataan melakukan ekspos ke Pemda, barulah OPD memberikan
masukan terhadap instrumen yang disusun dan melakukan konfirmasi dan
klarifikasi hasil pendataan yang disampaikan oleh BAHTERA.
Setelah pendataan dilakukan, data ini kemudian diadvokasi sebagai bahan
pembuatan kebijakan. Data juga diadopsi oleh pemerintah daerah dalam bentuk
program. Selanjutnya, model pendataan dilakukan perluasan dan pengembangan
lebih lanjut.
Dalam proses pendataan disabilitas yang dilakukan oleh BAHTERA, pihak
Dinas Sosial tidak begitu mengetahui detailnya. Demikian juga halnya dengan
kelompok disabilitas karena pendataan dilakukan oleh tim desa. Perumusannya
instrument pendataan, dilakukan dengan memadukan instrumen milik BAHTERA
dan pemerintah. Instrumen pendataan yang dibuat oleh BAHTERA sudah
memperhatikan kebutuhan lokal Sumba Barat. Sudah ada 6 kecamatan di 11 Desa
kurang lebih untuk keseluruhan tahapannya membutuhkan waktu 5 bulan dari
mulai persiapan, pelatihan SID, implementasi dan launching. Gambaran alur proses
pendataan dapat dilihat pada gambar berikut.

Inovasi Pendataan Disabilitas 67


Bagan 2.10 Alur Proses Pendataan di Sumba Barat

Pra pendataan Implementasi Pasca pendataan

Data dimanfaatkan
Mendesain Uji coba Instrumen
untuk kebijakan
Instrumen Pendataan Pendataan
(buy-in)

Mendiskusikan Tabulasi data bentuk Adopsi data oleh


instrumen Pendataan file exel pemerintah daerah
di internal berupa program

Workshop Perluasan dan


Pembekalan Tim
Penyampaian Hasil Pengembangan
Pendataan
Pendataan Tahap I model Pendataan
(scaling up)
Perbaikan Instrumen
Pelatihan SAID bagi
(masukan dari
Tim Pendataan
Pemda)

Update pendataan
Tahap II

Data diintegrasikan
ke dalam SAID

Tim pendataan memainkan peranan penting dalam inovasi pendataan ini. Tim
ini terbentuk melalui proses membangun kesepahaman bersama pada saat acara
sosialisasi tentang pendataan disabilitas. Peserta yang hadir pada acara sosialisasi
itu kemudian berkomitmen dan bergabung untuk bersama-sama melaksanakan
pendataan disabilitas dengan cara mengajukan diri untuk menjadi bagian dari
tim. Peserta yang hadir terdiri dari unsur warga termasuk penyandang disabilitas.
Kemudian, tahun 2016 membentuk dan berhimpun dalam forum disabilitas
tingkat desa, kader desa yang direkrut oleh pemerintah desa untuk membantu
program kerja desa, memiliki surat penugasan dari Kepala Desa, aparatur desa
serta pegiat BAHTERA. Keterlibatan unsur pemerintah desa sebagai tim pendataan
dimaksudkan agar tumbuh rasa memiliki dan perhatian dari desa terhadap proses
pendataan dan hasilnya.
Proses pendataan juga diharapkan menjadi bagian dari desa dan dapat

68
berkelanjutan. Selain itu, pemahaman tentang pentingnya pendataan disabilitas
yang dilakukan oleh warga setempat secara sungguh-sungguh akan menentukan
kualitas data yang akan dihasilkan. Jika pendataan dilakukan bukan oleh warga
setempat belum tentu dapat menggali data yang valid dan mendalam karena
tidak mengetahui situasi penyandang disabilitas yang akan didata serta belum
tentu mau mengungkap fakta kondisi sosial dan ekonomi penyandang disabilitas
setempat. Sebaliknya, jika pendataan dilakukan oleh warga setempat kualitas data
yang diperoleh lebih valid karena adanya kepercayaan (trust) kepada tim pendata
yang merupakan warga setempat.
Gambaran proses pembentukan tim pendataan di tingkat desa dapat dilihat
pada bagan berikut.

Bagan 2.10 Proses Pembentukan Tim Pendataan di Desa

Kegiatan sosialisasi Mengundang Secara sukarela peserta


program disabilitas Peserta Sosialisasi menyampaikan
oleh Bahtera dari unsur SKPD, komitmennya untuk
desa dan Warga terlibat dalam pendataan

Input ke dalam program Implementasi Terbentuk Tim


aplikasi SAID (offline/ proses pendataan Pendataan
online) oleh Tim oleh tim pendataan Disabilitas
Pendataan di level desa

Pendataan awal dilakukan pada bulan Juni-Juli 2015 yang menyasar seluruh
rumah tangga di desa. Pendataan berikutnya yang merupakan update dilakukan
pada bulan Oktober-November 2016 dan bulan Juli-Agustus 2017 yang dilakukan
khusus pada keluarga penyandang disabilitas. Ada penambahan dan pengurangan
hasil dari update pendataan yang dilakukan. Penambahan jumlah disabilitas karena
ada anggota keluarga yang mengalami kecelakaan sehingga menjadi disabilitas,
atau karena tidak terdata pada pendataan sebelumnya. Sementara pengurangan
jumlah disabilitas karena meninggal.
Pendataan dilakukan di 11 desa dampingan yang berlokasi di enam kecamatan,
yaitu sebagai berikut.

Inovasi Pendataan Disabilitas 69


Tabel 2.5 Desa Dampingan Pendataan Disabilitas

No Nama Desa Kecamatan Kabupaten


1 Desa Taramanu Wanukaka Sumba Barat
2 Desa Weihura Wanukaka Sumba Barat
3 Desa Laboya Bawa Lamboya Sumba Barat
4 Desa Watukarere Lamboya Sumba Barat
5 Desa Harona kalla Laboya Barat Sumba Barat
6 Desa Bali Ledo Loli Sumba Barat
7 Desa Tanarara Loli Sumba Barat
8 Desa Tebara Kota Waikabubak Sumba Barat
9 Desa Kodaka Kota Waikabubaka Sumba Barat
10 Desa Elu loda Tanarighu Sumba Barat
11 Desa Kareka Nduku Utara Tanarighu Sumba Barat
Sumber: Yayasan BAHTERA NTT, 2017

Hasil pendataan memperlihatkan adanya peningkatan jumlah penyandang


disabilitas dibanding data baseline yang dimiliki Dinas Sosial. Sebagai contoh, di
Desa Haronakalla Kecamatan Lamboya, tahun 2015 jumlah disabilitas 8 orang.
Setelah dilakukan update pendataan melalui SID tahun 2017 meningkat menjadi
26 orang.
Hasil pendataan memperlihatkan jumlah penyandang disabilitas bertambah
pada tahun 2017 dibanding tahun 2016, yaitu:

Tabel 2.6 Jumlah Penyandang Disabilitas Hasil Pendataan

Tahun Jumlah Disabilitas Proporsi


2016 420 Orang laki-laki 232 dan perempuan 188
2017 498 Orang laki-laki 275 dan perempuan 223

2.2.5.2 Hasil dan Dampak Pendataan


Beberapa hasil, dampak, dan manfaat yang terjadi dari pendataan disabilitas ini
adalah sebagai berikut:
1. Terdatanya 420 disabilitas di 11 desa di Kabupaten Sumba, data dikelola

70
dan berpusat di masing-masing desa dengan sistem SAID.
2. Dinas Kesehatan berkomitmen dalam pemberian KIS untuk disabilitas
lebih diutamakan. Data yang dihasilkan menunjukkan 355 orang sudah
mendapatkan KIS, sedangkan sejumlah 113 disabilitas masih belum
mendapatkan (tahun 2016).
3. Teridentifikasinya warga, khususnya penyandang disabilitas yang tidak
memiliki kelengkapan kartu identitas (seperti KTP, KK, dan Akta Kelahiran)
sehingga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat melakukan
intervensi untuk penyandang disabilitas agar memiliki dokumen
kependudukan.
4. Data digunakan oleh Bappeda sebagai acuan bagi SKPD dalam merumuskan
program/kegiatan, khususnya memperjelas indikator sasaran disabilitas
yang menjadi tugas pokok fungsinya.
5. Hasil pendataan digunakan oleh KPU untuk validasi data yang ada di
desa, terutama untuk menghindari pemilih ganda, dan dimanfaatkan oleh
panitia pemilihan kepala desa sebagai data pendamping dari data pemilih
yang ada.
6. Ditetapkannya Peraturan Desa tentang Disabilitas di 11 desa lokasi
pendataan dan dialokasikannya Dana Desa untuk program dan sasaran
penyandang disabilitas yang telah tervalidasi.
7. Diperolehnya data jumlah dan kondisi disabilitas di desa yang nyata dan
mutakhir.
8. Pihak desa turut serta menjadi bagian dari “Kalau ingin desa kita maju,
proses pendataan disabilitas sehingga dapat kita harus membangun dari
memastikan keberlanjutan pendataan menjadi kita sendiri, termasuk dengan
bagian dari program desa. cara menyumbangkan data”
9. Penyandang disabilitas mulai terlibat dalam
musrenbang desa dan ikut memberikan suara Daud Katago, Ketua Forum
pada pemilihan kepala daerah dan kepala desa. Ayi Ate.
10. Hasil pendataan digunakan oleh Dinas Sosial
sebagai data pendamping dari data yang
dimilikinya, khususnya untuk memastikan sasaran penerima manfaat dari
program/kegiatan yang ada di Dinas Sosial sehingga penyandang disabilitas
mendapatkan manfaat langsung berupa bantuan sosial, pendidikan,
dan pelatihan. Pelatihan yang pernah diterima oleh warga penyandang
disabilitas adalah pelatihan perbengkelan, pelatihan menenun, pelatihan
pengolahan makanan, dan lain-lain. Sementara pada kegiatan sosial, warga

Inovasi Pendataan Disabilitas 71


disabilitas menerima bantuan paket sembako dari pemerintah daerah.
Selain itu, ada pemberian kusi roda bagi disabilitas, termasuk disabilitas
dampingan BAHTERA (11 desa).
11. Dinas Sosial bekerja sama dengan Dinas Kesehatan provinsi,
menyelenggarakan pelayanan kesehatan sekaligus memberikan bantuan
kursi roda bagi disabilitas (berlokasi di Kabupaten SBD, 3 desa). Kemudian,
bekerja sama dengan koperasi melalui Dinas Sosial Kabupaten Sumba
Barat karena koperasi memiliki progam CSR.
12. Dinas Sosial Kabupaten dan Provinsi menyelenggarakan pelayanan terpadu
untuk memberikan alat-alat bagi penyandang disabilitas. Kemudian, Dinas
Kesehatan Kabupaten melakukan pemeriksaan kesehatan gratis. Selain itu,
Dinas Sosial mengalokasikan anggaran bagi disabilitas untuk beternak,
pembangunan rumah dan peningkatan kapasitas disabilitas.
13. Tumbuhnya kepercayaan diri, kepedulian, dan motivasi dari penyandang
disabilitas dalam bentuk interaksi dan berpartisipasi dalam proses
pendataan serta meningkatnya dukungan dari keluarga terhadap
penyandang disabilitas untuk terlibat dalam proses pendataan.
14. Data disabilitas yang ada pada SAID dapat diintegrasikan menjadi sistem
satu data di tingkat Kabupaten Sumba Barat yang dapat diakses baik secara
offline maupun online.

2.2.5.3 Faktor Pendukung


Beberapa faktor pendukung terwujudnya inovasi pendataan ini adalah adanya
dukungan dari pemerintah daerah yaitu Bupati yang diperlihatkan pada saat
peluncuran pendataan berbasis SID. Dukungan Bupati ini diperoleh sebagai hasil
hubungan yang telah lama dijalin antara BAHTERA dengan Pemda. Dukungan juga
datang dari pemerintah desa melalui penetapan regulasi desa tentang disabilitas.
Faktor lainnya adalah kerja keras tim pendataan yang berasal dari warga
setempat dan kesediaan warga masyarakat untuk memberikan data yang
dibutuhkan. Meski awalnya enggan karena banyak pihak yang telah meminta data
kepada masyarakat tanpa menjelaskan manfaat dan tindak lanjutnya. Dukungan
dari pengembang aplikasi yaitu Combine juga menentukan kesuksesan inovasi
pendataan ini.

72
Pihak Pendukung Bentuk Dukungan
Pemerintah • Komitmen dari Kepala Daerah untuk penyandang disabilitas.
(Kepala Daerah)
• Mendukung perlindungan bagi disabilitas dengan
Bappeda memasukkannya dalam RPJMD, yakni pembangunan
kesejahteraan sosial.
Dinas
• Menunjukkan komitmen dengan rencana menerbitkan
Kesehatan Peraturan Bupati tentang Perlindungan bagi Penyandang
Disabilitas
Dinas Sosial
• Menyusun program dan kegiatan bagi disabilitas di masing-
masing OPD dan melakukan perbaikan layanan bagi
penyandang disabilitas
NGO Bahtera Melakukan pendampingan dan pemberdayaan kepada
penyandang disabilitas melalui program yang dilaksanakan
dan pegiatnya yang bekerja secara sungguh-sungguh untuk
mendampingi penyandang disabilitas.
Keluarga Mulai terbuka dan mendukung, meski awalnya enggan terlibat.

2.2.5.4 Tantangan
Pada awalnya sempat muncul keraguan dari warga masyarakat tentang
pendataan karena adanya persepsi bahwa data-data yang dikumpulkan tentang
kondisi warga miskin dan penyandang disabilitas hanya komoditas semata.
Selain itu, selama ini pendataan dipersepsikan untuk mendapatkan bantuan
materi/karitatif dari pemerintah. Namun, setelah dijelaskan maksud dan tujuan
dilakukannya pendataan oleh BAHTERA, persepsi masyarakat mulai berubah dan
relatif terbuka terhadap tim pendataan.
Tantangan berikutnya adalah terbatasnya kapasitas, pengetahuan dan
keterampilan Tim Pendata mengenai proses pendataan dan aplikasi SAID. Tidak
semua anggota tim pendataan memiliki pemahaman dan kecakapan yang sama
dalam melaksanakan proses pendataan, tetapi di setiap desa memiliki anggota tim
yang memiliki kapasitas untuk mendata. Hal ini mengakibatkan konsolidasi data
memerlukan waktu yang lebih panjang. Transfer pengetahuan antarwarga yang
pernah dilatih juga belum merata. Terkadang BAHTERA harus mengulang hal-hal
yang pernah dilatihkan karena desa yang awalnya memiliki SDM yang mampu
mengoperasikan SAID, kemudian pindah dan belum ada personil lain yang mampu
melakukan updating data. Selain itu, sarana dan prasarana (perangkat keras dan
lunak) untuk mendukung sistem SAID ini masih terbatas, terutama ketersediaan
komputer dan supply listrik, khususnya di beberapa desa belum dialiri listrik.

Inovasi Pendataan Disabilitas 73


Tantangan lainnya adalah adanya persepsi dari beberapa OPD/SKPD bahwa
data disabilitas adalah urusan Dinas Sosial semata sehingga kegiatan pendataan
disabiltas relatif kurang mendapat perhatian dari OPD lainnya.

2.2.5.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas


Secara umum, penyandang disabilitas terlibat dalam hampir semua proses
pendataan yang dilakukan BAHTERA di Kabupaten Sumba Barat. Berbagai bentuk
partisipasi disabilitas ini dimulai dari awal perencanaan pendataan yang kemudian
dilanjutkan dengan sosialisasi mengenai kegiatan pendataan disabilitas ini
kepada masyarakat. Pada sosialisasi pendataan disabilitas, di saat yang sama pula
masyarakat mendapat informasi dan pemahaman tentang ke disabilitasan.
Keterlibatan penyandang disabilitas berlanjut pada tahap pembekalan bagi
tim pendataan, pelatihan pendataan, pelaksanaan pendataan, mengusulkan dan
mengawal usulan program bagi penyandang disabilitas, dan terlibat aktif dalam
diskusi hasil pendataan dengan para pemangku kepentingan.
Hal menarik dari keterlibatan disabilitas tersebut adalah disabilitas yang tadinya
pasif sudah mau dan mampu berpartisipasi langsung pada proses pendataan,
tidak lagi malu berhimpun dengan warga masyarakat lainnya dan terlibat dalam
pengawalan usulan program kepada pemerintah.

2.2.5.6 Penerimaan dan Rencana Pengembangan


Pemerintah kabupaten dan desa menyambut positif hasil pendataan disabilitas
yang dilakukan BAHTERA. Hal ini terlihat dari tindak lanjut yang dilakukan setelah
kegiatan pendataan dilakukan, yaitu Dinas Sosial Kabupaten menggunakan data
disabilitas untuk menentukan sasaran penerima manfaat dari kegiatan yang
dilaksanakan, seperti menjadi peserta pelatihan perbengkelan, menenun, dan
pengolahan makanan. Untuk penerima bantuan sosial berupa sembako dari
pemerintah daerah, dan bantuan kursi roda (bekerja sama dengan Dinas Kesehatan
Provinsi dan koperasi). Bappeda menggunakan data disabilitas sebagai panduan
perencanaan bagi desa dan Dinas Kesehatan menggunakan data tersebut untuk
bahan pemberian Kartu Indonesia Sehat (KIS). Sementara itu, pemerintah desa
mengalokasikan bantuan bagi masyarakat disabilitas melalui anggaran desanya,
terutama 11 desa dampingan program BAHTERA.
Pada pertengahan tahun 2017, penerimaan pemerintah daerah juga terlihat dari
respon Bappeda dan Dinas Sosial yang meminta BAHTERA untuk mengembangkan
SAID menjadi instrumen pendataan satu pintu di tingkat kabupaten agar diperoleh
data yang riil dan akurat. BAHTERA menyiapkan SDM untuk pengembangannya

74
dan Pemerintah Kabupaten menyediakan anggarannya. Sebenarnya Dinas
Sosial telah menerapkan sistem Basis Data Terpadu (BDT) yang berlaku secara
nasional. Namun, karena melihat SAID bermanfaat maka kedua sistem itu akan
diintegrasikan. Melalui integrasi ini diharapkan 63 desa akan memiliki SAID yang
terhubung langsung dengan basis data yang ada di kabupaten dan memiliki
hubungan (link) dengan OPD-OPD Kabupaten yang bermanfaat ketika OPD
hendak mengembangkan program atau kegiatan. Upaya ini juga didukung oleh
Bupati pada acara sosialisasi Program Peduli dan workshop stakeholder. Bupati
meminta secara langsung kepada pemerintah desa mengalokasikan dana desa
untuk kebutuhan penyandang disabilitas, termasuk keberlanjutan pendataan
disabilitas.
Pada 2017 juga dilaksanakan pelatihan SAID di dua kecamatan, yaitu Kecamatan
Loli dan Waikabubak yang biayanya dianggarkan melalui APBD Perubahan 2017.
Kemudian, tahun berikutnya akan diimplementasikan SAID di seluruh desa di dua
kecamatan tersebut. Sebelumnya, Kecamatan Waikabubak juga telah melakukan
pelatihan SAID bagi desa-desa di wilayahnya dengan pembiayaan dari alokasi
anggaran kecamatan.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMDES) Kabupaten pada tahun
2018 juga turut ambil bagian dengan merencanakan pelatihan bagi pendamping
desa di tingkat kecamatan agar memiliki kemampuan mengoperasikan SAID bagi
desa yang telah menerapkannya. Desa yang belum menerapkan SAID, BPMDES
menginstruksikan kepada pendamping desa untuk mendorong Pemerintah
desa setempat melakukan pendataan, dan mengimplementasikan SAID. Melalui
penggunaan SAID, diharapkan semua desa memiliki basis data dan informasi
administrasi desa yang lengkap. Pendampingan oleh pendamping desa diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan perangkat desa, yang saat ini dianggap masih
kurang mampu dalam mengoperasikan komputer. Jadi, selain membangun sistem
administrasi dan informasi, sekaligus membangun kapasitas perangkat desa dalam
menjalankan sistem tersebut.
Namun demikian, komitmen pemerintah dalam mengembangkan inovasi SAID
perlu didukung dengan regulasi yang lebih kuat. Saat ini, telah terbit Peraturan
Desa tentang penyandang disabilitas di sebelas desa yang telah menerapkan SAID,
tetapi di tingkat kabupaten belum ada regulasi yang memayunginya. Peraturan
Bupati tentang penyandang disabilitas baru akan ditetapkan pada November
2017. Regulasi ini akan semakin memperkuat komitmen tersebut, selain juga dapat
memperkuat justifikasi bagi Pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya.
Pihak desa akan terus didorong oleh forum disabilitas di tingkat desa untuk terus

Inovasi Pendataan Disabilitas 75


mengimplentasikan dan mengembangkan SID karena aliran listrik akan sudah
sudah merata di tahun 2018. Desa juga bisa melakukan pengadaan komputer dan
perangkat lainnya yang dibutuhkan karena saat ini SID masih berupa data mentah
dan offline.
Ide pengembangan dan penerapan pendataan ini sangat baik jika semua
desa yang ada di Sumba Barat sudah melakukan SID dengan sendirinya akan
beranjak ke kecamatan, begitu juga akan sampai ke level Kabupaten. SAID ini
sebaiknya diterapkan di semua desa, atau bisa dibuat kompetisi implementasi
SAID, sedangkan desa dengan inplementasi SAID terbaik akan dijadikan desa
percontohan dan mendapat dukungan tambahan dari pemerintah kabupaten.
Apalagi Pemerintah khususnya beberapa SKPD mendorong implementasi SAID
dilakukan juga oleh pihak kecamatan karena SKPD melihat manfaat langsung dari
program ini.

2.2.6 PATTIRO: Aksi Kolektif Pendataan Disabilitas di Kabupaten Lombok


Barat
2.2.6.1 Proses dan Peran Aktor
Pada awalnya, intervensi yang dilakukan oleh PATTIRO terfokus pada isu
pelayanan kesehatan. Namun, hasil baseline survey yang selama 3 bulan dan
ditemukan sangat banyak warga disabilitas yang tidak memiliki identitas
kependudukan. Selain itu, isu ini juga muncul dalam diskusi-diskusi rutin yang
dilakukan komunitas disabilitas bahwa warga disabilitas tidak dapat mengakses
layanan kesehatan dikarenakan tidak memiliki identitas kependudukan. Untuk
menindak lanjuti berbagai masalah tersebut diperlukan data lebih pasti tentang
jumlah dan situasi disabilitas. Di sisi lain, saat tim PATTIRO meminta data mengenai
penyandang disabilitas ke Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat, data yang
diterima tidak lengkap. Data disabilitas yang dimiliki hanya berisi data disabilitas
penerima bantuan saja, yaitu data Orang Dengan Kecacatan Berat (ODKB).
Informasi mengenai kondisi keragaman disabilitas atau jumlah atau kondisi
keseluruhan disabilitas tidak ada. Kategori yang digunakan lebih menyasar kepada
kriteria kemiskinan dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan
jumlah yang terdata sesuai dengan kuota penerima bantuan sebagai PMKS saja.
Keterbatasan sumber daya menjadi salah satu faktor tidak adanya pendataan
yang menyeluruh terhadap penyandang disabilitas. Akhirnya, muncul inisiasi Aksi
kolektif pendataan sebagai jawaban dari permasalahan tersebut. Inisiasi inilah
awal mula dilakukannya inovasi pendataan disabilitas secara menyeluruh dan
partisipasi di dua kecamatan wilayah intervensi PATTIRO di Lombok Barat.

76
Gambar 2.13 Kartu BPJS Untuk disabilitas yang baru terdata di Lombok Barat

Dalam teknis pelaksanaannya dan meningkatkan validitas data, pendataan


dilaksanakan dengan melibatkan semua unsur dari kelompok disabilitas, TKSK dan
kader. Pendataan kolektif ini dimulai dengan menggunakan data dari Dinas Sosial
tersebut sebagai data awal.
Melalui beberapa diskusi dengan penyandang disabilitas, disepakati untuk
memodifikasi kuesioner pendataan dari Dinas Sosial dalam rangka mengakomodasi
penyandang disabilitas secara menyeluruh dan tidak hanya ODKB (Orang Dengan
Disabilitas Berat) dengan nama dan alamat penyandang disabilitas (by name by
address), ragam disabilitas, hobi, olahraga yang diminati, keahlian dan keterampilan
yang dimiliki, serta kebutuhan khusus penyandang disabilitas, sesuai usulan para
peserta diskusi. Informasi ini perlu masuk ke pendataan agar ada data yang lengkap
karena hal ini diperlukan supaya disabilitas dapat diarahkan kepada pelatihan atau
pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
Pada diskusi-diskusi tersebut juga muncul lagi keluhan dan harapan tentang
sebagian penyandang disabilitas tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan
karena tidak memiliki identitas kependudukan. Pendataan ini diharapkan dapat
memberi jalan keluar dari masalah tersebut. Setelah melalui beberapa kali diskusi
dengan dua organisasi kelompok disabilitas dampingan, yaitu Kelompok Disabilitas
Lingsar Bergerak (KDLB) dan P3D (Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas),
disepakatilah alur dan siapa saja yang akan dilibatkan untuk melakukan aksi
pendataan.
Pihak yang akan terlibat langsung antara lain penyandang disabilitas sendiri,
kader posyandu dan TKSK. Setelah mendapatkan pembekalan terutama terkait

Inovasi Pendataan Disabilitas 77


Gambar 2.14 Daftar
Penerima Kartu BPJS
PBI untuk disabilitas
yang baru terdata

instrumen/kuesioner
pendataan maka pendata/
surveyor langsung terjun
ke tiap desa sembari
menunjukkan rekomendasi
dari Dinas Sosial untuk
melakukan pendataan disabilitas. Kepala desa kemudian menunjuk kepala
dusun untuk menemani surveyor ke rumah-rumah penyandang disabilitas di
desa tersebut. Metode pendataan dengan cara langsung mendatangi rumah
para penyandang disabilitas dilakukan agar data yang diperoleh valid. Informasi
tentang keberadaan disabilitas di beberapa dusun sebagian besar diperoleh dari
informasi warga, kemudian ditelusuri dan didatangi oleh surveyor.
Hasil pendataan disabilitas ini kemudian disampaikan kepada pemerintah
kabupaten terutama OPD-OPD terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan
Dinas Pendidikan dilanjutkan dengan audiensi kepada OPD-OPD terkait. Hasil
pendataan mengidentifikasi jumlah penyandang disabilitas sebanyak 1.073 orang
yang terdiri dari 616 laki-laki dan 457 perempuan.
Proses yang dilakukan adalah modifikasi dari kuesioner pendataan Dinas Sosial
yang sudah ada, kemudian direvisi sesuai kebutuhan. Metode pendataannya
yaitu langsung mencari dari rumah ke rumah disabilitas sehingga data yang
terima cukup valid. Keterlibatan semua unsur membuat pendataan lebih mudah
dilakukan. Salah satunya adalah pemerintah desa, ketika kelompok disabilitas
mendata, pemerintah desa turut membantu menunjukkan rumah disabilitas.
Selain itu, strategi yang digunakan untuk melakukan pendataan adalah dibuat 8
titik simpul dan di masing-masing titik ada 4 desa sehingga pendataan bertambah

78
di 2 kecamatan Sigerongan dan Parampuan yang berada di luar wilayah intervensi
PATTIRO.
Data yang dihasilkan dari pendataan ini dipakai Dinas Sosial untuk menyalurkan
bantuan sosial bagi penyandang disabilitas dan masalah PMKS pada umumnya.
Hal ini dilakukan dalam rangka mengefektifkan bantuan sosial ke penyandang
disabilitas sehingga semua bantuan yang diberikan menyeluruh dan menyentuh
semua lapisan masyarakat.

Bagan 2.12 Alur Pemakaian Data oleh Dinas Sosial dalam Penyaluran Bantuan
Sosial

1. Input 2. Tahapan 3. Output 4. Tindak 5. Dampak


Lanjut

Sumber dana • Pengumpulan Terkumpul Setelah adanya Dinas sudah


dari PATTIRO data awal dari data disabiltas data, Dinsos, menganggarkan
(bagian dari beberapa dengan valid Dinkes, dan untuk program
Program Peduli), sumber sebanyak 1.073 Dindik dapat Peduli
sumber daya • Verifikasi data yang terdiri dari menganggarkan Disabilitas.
manusia dari • Validasi data 616 laki-laki dan untuk bantuan Contohnya,
relawan, kader 457 perempuan. sosial, dan pelatihan
posyandu, untuk program keterampilan,
kelompok penyandang pemberian dan
disabilitas disabilitas. alokasi BPJS
bagi disabilitas
yang terdata,
Disabilitas
mendapat kartu
indentitas,
dasar untuk
pengembangan
RPRD.

Inovasi ini dilakukan dalam rangka memecahkan masalah data disabilitas yang
selama tidak lengkap, jumlah mereka berapa banyak belum jelas karena statusnya
hanya angka bukan by name by adress, apa kebutuhan mereka, dan keahlian apa
yang mereka miliki untuk menunjang pekerjaannya.

Inovasi Pendataan Disabilitas 79


Bagan 2.13 Tahapan Pendataan PATTIRO di Kabupaten Lombok Barat

PATTIRO dan kelompok Analisa data Dinas Sosial,


disabilitas melakukan rapat karena tidak lengkap. Input data
untuk menyusun strategi Dilakukan pertemuan
inovasi dengan stakeholder untuk
merumuskan instrumen

Workshop surveyor,
Memberikan hasil final
Koordinasi dengan dilanjutkan dengan
data ke Dinas Sosial,
Dinas Sosial pentaan yang dilakukan
Dinkes dan Dukcapil
secara kolektif

Meminta data dari Kompilasi data dari


Dinas Sosial masing-masing Advokasi pendataan
surveyor

Kerja sama para pihak dalam pendataan ini terbukti bermanfaat, seperti ketika
dilakukan pendataan, pemerintah desa turut membantu dengan menunjukkan
rumah-rumah penyandang disabilitas. Selain pemerintah desa, berikut adalah
beberapa aktor yang berperan dalam inovasi pendataan disabilitas di Kabupaten
Lombok Barat.

Tabel 2.7 Peran Para Aktor dalam Pendataan di Lombok Barat

No Aktor Nama Institusi/ Peran


organisasi
/nama orang
1 Pemerintah Desa Memfasilitasi mitra kerja/pendata dalam
pelaksanaan pendataan.
Puskesmas Mengolah data yang diperoleh dalam
rangka menyusun program di bidang
kesehatan bagi penyandang disabilitas.

80
2 Kelompok/ Kelompok Mendata disabilitas secara langsung,
organisasi disabilitas sehingga data yang diperoleh lebih valid.
disabilitas PPDI Memfasilitasi penyandang disabilitas
untuk menyampaikan aspirasi dan
kebutuhannya.
3 Penyandang Fauzan Mendata disabilitas secara langsung
disabilitas Azis sehingga data yang diperoleh lebih valid

4 Keluarga - Mendukung proses pendataan dengan


penyandang memberikan data yang diminta
disabilitas surveyor/pendata dan mendampingi
penyandang disabilitas yang didata.
- Mendukung dan turut memotivasi
keluarga disabilitas lain pada proses
pendataan
3 Masyarakat Mendukung proses pendataan

5 NGO PATTIRO Memfasilitasi pembentukan inovasi


pendataan dengan memodifikasi
instrumen pendataan dan pembekalan
surveyor dan analisis data.

6 Masyarakat Mendukung proses pendataan, dengan


menunjukkan rumah penyandang
disabilitas.
7 Fasilitator/ Pendamping Memberikan arahan dari mulai sistem
pendamping untuk ODKB pendataan dan kebutuhan dari
Dinkes penyandang disabilitas.

2.2.6.2 Hasil dan Dampak Pendataan


Dampak dari pendataan yang dilakukan adalah meningkatkan rasa percaya diri
penyandang disabilitas karena ternyata mampu bekerja sama dengan stakeholder
lain dalam kegiatan pendataan dan hasilnya dapat dinikmati oleh disabilitas
lainnya.
Dampak lainnya adalah masyarakat menjadi lebih memahami dan menerima
keberadaan disabilitas. Pendataan ini juga menjadi proses sosialisasi sekaligus
pembelajaran bagi kelurga disabilitas yang sebelumnya relatif sangat protektif

Inovasi Pendataan Disabilitas 81


terhadap anak atau anggota keluarganya yang disabilitas. Hasil dan dampak
pendataan di antaranya:
1. Terkumpul data disabilitas terpilah usia, jenis kelamin, kepemilikan jaminan
sosial, pendidikan, jenis kedisabilitasan, dan hobi serta keterampilan yang
dimiliki sebanyak 1.073 yang terdiri dari 616 laki-laki dan 457 perempuan
dengan ruang lingkup Kecamatan Lingsar dan Labuapi di Kabupaten
Lombok Barat.
2. Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil memfasilitasi
penerbitan kartu identitas (Kartu Keluarga atau KTP) bagi disabilitas yang
terdata tetapi belum memiliki Kartu Identitas Kependudukan.
3. Dinas Kesehatan menindaklanjuti hasil pendataan dengan menerbitkan
Kartu JKN PBI bagi 280 penyandang disabilitas.
4. Dinas Sosial menggunakan data disabilitas sebagai dasar dalam memberikan
bantuan berupa 5 kursi roda, 10 kruk, dan 10 alat bantu dengar.
5. Dinas Sosial memfasilitasi peningkatan kapasitas bagi kelompok disabilitas
dengan membiayai beberapa penyandang disabilitas yang mengikuti
pelatihan keterampilan di Kota Solo.
6. Pemerintah Kabupaten menyusun Rancangan Peraturan Bupati tentang
pendidikan dan kesehatan inklusi sebagai komitmen untuk memenuhi
hak-hak penyandang disabilitas.
7. Keluarga disabilitas yang tadinya menyembunyikan anggota keluarganya
menjadi lebih terbuka karena melihat dan merasakan langsung pendataan
disabilitas.
8. Berbagai proses dalam pendataan disabilitas memberikan pemahaman
tentang isu disabilitas kepada semua pihak yang terlibat, termasuk
disabilitas sendiri dan perwakilan tokoh masyarakat seperti kepala desa
dan aparat pemerintah lain.
9. Terjadi peningkatan kapasitas dan pemahaman terkait isu disabilitas pada
keluarga disabilitas dan disabilitas sendiri.
10. Tumbuhnya kepercayaan diri dan kesadaran untuk berorganisasi pada
disabilitas yang ikut terlibat dalam proses pendataan karena komunikasi
yang intens dengan tim dan sesama disabilitas menjadikan mereka saling
bisa memberi dukungan.
11. Proses pendataan yang dilakukan dengan pendekatan khusus turut
melahirkan beberapa champion baru dari disabilitas yang pada
kelanjutannya aktif dalam memperjuangkan hak disabilitas. Misalnya,

82
seorang disabilitas netra bernama Juhairiyah dari Kecamatan Labuapi,
sebelum didata dan diajak kelompok disabilitas untuk beraktivitas dalam
kelompok, dia hampir tidak pernah
keluar rumah dan sempat mengalami “Data disabilitas digunakan
depresi. Namun, kemudian menjadi salah sebagai dasar untuk memberikan
satu anggota yang aktif menidak lanjuti pelayanan kepada penyandang
temuan pendataan. disabilitas. Salah satunya adalah
pemberian Kartu Indonesia Sehat
2.2.6.3 Faktor Pendukung (KIS)”
Beberapa faktor pendukung terwujudnya Kholid, Ketua Pusat
inovasi pendataan disabilitas antara lain: Pengembangan Potensi
• Pendataan disabilitas ini sesuai dengan Disabilitas (P3D) Lombok Barat.
program Pemerintah Daerah, khususnya
Dinas Sosial.
• Kuatnya komitmen, motivasi dan semangat dari kelompok disabilitas di
dua kecamatan dampingan.
• Adanya aparatur yang reformis di OPD-OPD.
• Dukungan dari keluarga disabilitas yang membantu dan memfasilitasi
keluarganya yang terlibat dalam kegiatan pendataan.

2.2.6.4 Tantangan
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pendataan disabilitas ini antara lain:
a. Jumlah dan kemampuan enumerator yang terbatas, termasuk sebagian
enumerator yang belum memiliki pengalaman di lapangan sehingga
memerlukan pendampingan aktif selama melaksanakan tugas pendataan
dan mengakibatkan waktu yang lebih panjang dalam melaksanakan
pendataan.
b. Adanya prioritas yang ditetapkan dalam pelaksanaan Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1 untuk melibatkan penyandang disabilitas, terutama
disabilitas perempuan. Sementara itu, ada tantangan kondisi geografis
yang menyulitkan surveyor, terutama bagi surveyor yang merupakan
penyandang disabilitas.
c. Mutasi pejabat atau peralihan jabatan di pemerintahan daerah
mengakibatkan upaya untuk mendorong kebijakan mengenai pemenuhan
hak disabilitas terhambat.

Inovasi Pendataan Disabilitas 83


2.2.6.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas
Keterlibatan disabilitas dalam inovasi pendataan yang dilakukan PATTIRO
dimulai dari tahap perencanaan, perumusan, implementasi dan advokasi. Partisipasi
disabilitas ini banyak diwakili oleh Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas (P3D)
dan Kelompok Disabilitas Lingsar Bergerak (KDLB) yang merupakan dampingan
PATTIRO.
Pendataan dilakukan secara kolektif dan partisipatif dengan melibatkan
semua unsur, yaitu kelompok disabilitas, kader posyandu, TKSK, dan organisasi
penyandang disabilitas.
Berikut adalah gambaran partisipasi disabilitas dalam pendataan.

Bagan 2.14 Partisipasi Disabilitas dalam Pendataan PATTIRO di Lombok Barat

Perencanaan 1. Koordinasi Implementasi


dan meminta
data oleh Dinsos Melakukan
2. Mengusulkan pendataan secara
pendataan disabilitas kolektif
3. Perumusan
instrumen

1. Rekapitulasi data
1. Audiensi dengan 2. Input data
Dinkes 3. Menyerahkan
2. Advokasi jaminan data kepada OPD
kesehatan terkait

Advokasi Tindak Lanjut

2.2.6.6 Penerimaan dan Rencana Pengembangan


Penerimaan pemerintah daerah relatif positif karena dari awal inovasi ini sudah
melibatkan aparatur pemda pada hampir semua tahapan, dan saat hasil pendataan
ini sudah didapatkan bisa dengan cukup mudah diterima (buy in). Penerimaan
hasil pendataan ini terlihat dari digunakannya hasil pendataan disabilitas oleh

84
beberapa OPD sebagai acuan untuk menentukan kebijakan. Implikasinya, hak-hak
penyandang disabilitas dapat terpenuhi.
Meskipun sudah terbit UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
yang di dalamnya memuat ketentuan tentang hak pendataan bagi disabilitas
membuka peluang mekanisme pendataan disabilitas ini untuk dikembangkan
secara nasional, tetapi hingga saat ini belum ada rencana spesifik untuk perluasan
dan mengembangkan inovasi pendataan ini baik oleh pemerintah maupun
PATTIRO.
Apabila inovasi pendataan yang dilakukan ini ingin dikembangkan ke
skala nasional maka dapat dikembangkan dengan menyertakan kelompok
penyandang disabilitas. Hal itu terbukti karena kelompok penyandang disabilitas
dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan pendataan. Untuk sampai ke sana,
dibutuhkan wadah bagi para penyandang disabilitas sehingga komunikasi dengan
Pemerintah menjadi mudah.

Inovasi Pendataan Disabilitas 85


BAB III

ANALISIS DAN MODEL INOVASI


PENDATAAN DISABILITAS
3.1 Analisis Proses dan Hasil
Pendataan disabilitas yang dilakukan oleh mitra Program Peduli di enam lokasi
dapat dianalisis dari beberapa aspek, yaitu proses yang dijalani, dampak yang
terjadi, peran aktor, faktor pendukung, tantangan yang dihadapi serta perspektif
gender dalam pendataan. Berbagai aspek tersebut akan diuraikan satu persatu
berikut ini.

3.1.1 Proses Pendataan


Praktik pendataan disabilitas yang dilakukan Mitra Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1 memperlihatkan beberapa proses yang mengarah pada hal baru
atau pembaruan proses yang mengarah pada inovasi. Beberapa hal baru itu antara
lain terkait mekanisme pendataan khusus disabilitas, bentuk dokumen, instrumen
pendataan, teknis pendataan, kartu identitas bagi penyandang disabilitas dan
partisipasi masyarakat. Hal ini kemudian dikelompokkan dalam beberapa unsur
inovasi, yaitu inovasi proses dan peran aktor pendataan, dampak pendataan,
faktor pendukung dan penghambat pendataan, serta partisipasi penyandang
disabilitas. Inovasi yang dikembangkan dari setiap lembaga Mitra Peduli memiliki
kekhasan baik pendekatan dan strategi yang dikembangkan. Pendekatan dan
strategi tersebut meskipun berbeda tetapi memiliki alur dan proses yang hampir
sama. Ada benang merah yang saling berhubungan antara satu lembaga dengan
lembaga yang lain.
Praktik pendataan disabilitas yang dilakukan enam Mitra Peduli ini dikaji
dengan tujuan terjadinya perubahan dari para pihak dalam rangka pemenuhan
hak dan perbaikan layanan bagi penyandang disabilitas. Upaya pemenuhan dan
perbaikan layanan tersebut diharapkan bisa berkorelasi positif pada perbaikan
kebijakan pendataan disabilitas di tingkat nasional. Gambaran umum dari tujuan
atas pendekatan dan strategi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

86
Bagan 3.1 Proses, Pendekatan, dan Strategi

1. Kesehatan
Peningkatan 2. Pendidikan
Kualitas 3. Kesejahteraan
Layanan Publik Sosial
4. Adminduk
Bagaimana Data yang
Pengaruh Kredibel
Pendataan? Peningkatan Program/
Proses kegiatan yang
Perencanaan terencana dan
dan teranggarkan
Penganggaran

3.1.2 Dampak Pendataan di Masyarakat


Hasil pendataan dan proses yang dilakukan Mitra Peduli memberikan dampak
baik langsung maupun tidak langsung kepada pemberian pelayanan publik yang
dirasakan oleh penyandang disabilitas. Dampak ini makin terasa ketika hasil temuan
ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah baik melalui program pendataan lanjutan,
program bantuan secara langsung, program afirmasi, maupun perencanaan
program yang akan dilaksanakan pada periode berikutnya.
Dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas, pendataan disabilitas
adalah salah satu pintu masuk menyelesaikan dan menyelaraskan berbagai macam
persoalan data dan pelayanan publik yang belum tepat sasaran. Terdapat korelasi
positif antara pendataan dan pelayanan publik. Semakin baik data yang dihasilkan
dari pendataan disabilitas maka semakin baik pula perencanaan pelayanan
publik dengan sasaran penyandang disabilitas. Begitupun sebaliknya, jika data
yang dihasilkan tidak melalui pendataan yang baik maka sasaran pelayanan
publik yang direncanakan sulit untuk diwujudkan secara tepat dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Pendataan disabilitas juga membawa dampak berupa dilakukannya
pengarusutamaan (mainstreaming) pemenuhan hak disabilitas pada beberapa
program dan kegiatan pemerintah daerah dan unit pelayanan. Dampak lainnya
adalah adanya upaya pemerintah daerah untuk melakukan sinkronisasi dan
penyelarasan data yang selama ini dimilikinya.

Inovasi Pendataan Disabilitas 87


Bagan 3.2 Dampak Pendataan Disabilitas

Dampak Mainstreaming Manfaat

1. Kartu Disabilitas
Pemenuhan 2. Layanan Afirmasi
Langsung Hak Disabilitas 3. Program/Kegiatan
secara 4. Disabilitas Terlibat dlm
Langsung proses pembangunan
Inovasi
Pendataan
1. Data dimanfaatkan dan
Tidak Sinkronisasi ditindaklanjuti oleh OPD
Langsung dan Penyela- dan stakeholder lain.
rasan Data 2. Kebijakan dan anggaran
bagi disabilitas

Inovasi pendataan ini juga telah membuka mata para pemangku kepentingan
bahwa pendataan disabilitas bukan sekadar kegiatan mengumpulkan data, tetapi
lebih dari itu memperlihatkan adanya sekelompok warga (penyandang disabilitas)
yang tidak memperoleh pelayanan publik karena data yang ada selama ini tidak
memperlihatkan keberadaannya, serta menekankan pentingnya pelibatan para
pihak dan pembagian peran antar pihak tersebut dalam rangka menindaklanjuti
data yang dihasilkan untuk memastikan warga penyandang disabilitas dapat
terpenuhi hak-haknya.
Secara umum, kegiatan pendataan disabilitas yang dilakukan oleh Mitra
Peduli dapat dikatakan memberikan kontribusi terhadap pembangunan inklusif
di wilayahnya masing-masing. Hal ini setidaknya terlihat dari digunakannya data
yang dihasilkan sebagai bahan dalam penyusunan rencana program, kegiatan
dan anggaran dari pemerintah kabupaten/kota (dalam hal ini OPD terkait, seperti
Dinas Sosial) dan perencanaan dan penganggaran pemerintah desa.
Selain itu, data disabilitas juga digunakan secara langsung oleh OPD dan
unit layanan untuk memastikan pelayanan publik dapat dinikmati oleh semua
kalangan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas melalui perbaikan sarana
dan prasarana fisik, seperti handrail, ramp, dan perbaikan sikap petugas pelayanan
dalam melayani penyandang disabilitas. Secara khusus, praktik pendataan yang
dilakukan oleh Mitra Peduli memiliki mekanisme, konteks sosial, dan pemerintahan
yang relatif berbeda satu sama lain sehingga tingkat kontribusi yang diberikan
terhadap pembangunan inklusif juga beragam.

88
3.1.3 Peran Aktor dalam Kohesi Sosial
Peran aktor dalam pendataan memperlihatkan siapa melakukan apa. Peran
aktor ini menunjukkan pentingnya kepedulian dan berbagi tanggung jawab
antaraktor. Peran aktor dan besarnya peran digambarkan pada diagram berikut ini.

Bagan 3.3 Peran Aktor Pendataan Disabilitas

Pemerintah
CSO/
Pendamping
DPO/
Disabilitas Masyarakat
Peran Aktor
Pendataan
Disabilitas

Individu
Donor

Gambar peran aktor di atas memperlihatkan para aktor yang terlibat dalam
kegiatan pendataan memiliki hubungan satu sama lain. Pemerintah dan DPO pada
diagram di atas memiliki peran besar dalam proses pendataan. Aktor lain yang
memiliki peran besar adalah CSO dan pendamping. Inisiatif pendataan disabilitas
dipengaruhi oleh CSO yang memiliki kepedulian pada aspek pendataan disabilitas
maupun upaya melakukan pemenuhan hak disabilitas. Sementara peran yang
dijalankan oleh masyarakat, lembaga donor, dan individu penyandang disabilitas
menjadi pendukung penting dalam inovasi pendataan disabilitas ini.

3.1.4 Faktor Pendukung Pendataan


Secara umum, faktor pendukung keberhasilan pendataan disabilitas di berbagai
daerah kajian relatif sama, yaitu adanya dukungan dari pemerintah daerah
setempat, baik pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah desa. Meskipun
tingkat dukungan yang diberikan oleh pemerintah bervariasi, tetapi secara umum
pemerintah daerah terbuka dan merespon positif pendataan disabilitas yang
dilakukan oleh Mitra Peduli.
Faktor lainnya adalah besarnya dukungan dari masyarakat dan DPO setempat

Inovasi Pendataan Disabilitas 89


serta dukungan dari CSO dan pendamping. Proses pendataan menjadi lancar
ketika para pihak melakukan kerja nyata dalam mendukung proses pendataan.
Pada awalnya, di beberapa daerah, dukungan yang diberikan relatif kecil dan
cukup beragam. Namun, seiring perkembangan praktik pendataan yang dilakukan,
kepercayaan para pihak semakin kuat, sehingga dukungan yang diberikan juga
semakin besar. Pada tingkat desa/kelurahan, dukungan dari masyarakat berperan
penting untuk keberhasilan proses pendataan. Masyarakat cukup kooperatif dan
terbuka dalam menerima dan membantu proses pendataan.
Dukungan penting lainnya adalah adanya forum di tingkat kabupaten/kota
yang menjembatani proses komunikasi dan koordinasi dalam proses pendataan.
Berikut gambaran faktor pendukung dalam inovasi pendataan disabilitas.

Bagan 3.4 Faktor Pendukung Inovasi Pendataan Disabilitas

1. Adanya Kebijakan & Anggaran Daerah


2. Dukungan OPD/SKPD
3. Kepedulian pejabat setempat (Camat,
Kepala desa, Lurah)

Forum Komunikasi
Pendukung
yang Aktif

1. Partisipasi Aktif DPO/ Pendamping


2. Dukungan CSO/ Mitra
3. Partisipasi Penyandang Disabilitas
4. Dukungan Keluarga dan
Lingkungan (Masyarakat)

3.1.5 Tantangan Pendataan


Pada proses awal pendataan, faktor penghambat yang sering ditemui adalah
tertutupnya informasi dari keluarga disabilitas sehingga memerlukan kerja keras
untuk menemukan dan meyakinkan keluarga. Hal ini terkait dengan masih kuatnya
persepsi di masyarakat bahwa disabilitas adalah aib atau kutukan sehingga
keluarga penyandang disabilitas berusaha menutupi keberadaan penyandang
disabilitas. Hal ini hampir merata di semua wilayah.
Sementara dari sisi penyandang disabilitas sendiri, keterbatasan kapasitas

90
menjadi hambatan tersendiri untuk pelibatan disabilitas dalam proses pendataan.
Aksesibilitas saat melakukan pendataan, Apalagi hampir semua pendataan
dilakukan di wilayah pedesaan. Insfrastruktur dan aksesibilitas jalan termasuk
hambatan yang cukup berat khususnya pada wilayah yang pendataannya sudah
melibatkan disabilitas secara langsung seperti di Lombok Barat.
Stigma negatif saat penyandang disabilitas melakukan pendataan dilapangan
disangka sebagai peminta sumbangan sehingga apabila kelompok disabilitas yang
mulai aktif terlibat tidak dikuatkan akan melemahkan kepercayaan diri disabilitas
tersebut. Namun, seiring dengan perkembangan proses pendataan dan upaya
peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh CSO pendamping maka hambatan ini
mulai dapat teratasi.
Tantangan lainnya adalah terbatasnya sosialisasi atas kebijakan dan afirmasi
kebijakan bagi penyandang disabilitas sehingga sebagian besar penyandang
disabilitas di wilayah kepadatan penduduk miskin tinggi tidak memahami hak-
haknya, termasuk hak pendataan (hak ini harus dipenuhi oleh pemerintah). Berikut
adalah tantangan dalam proses pendataan disabilitas.

Bagan 3.5 Tantangan Pendataan Disabilitas

1. Paradigma bahwa disabilitas adalah


Internal aib/kutukan
2. Kapasitas disabilitas yang rendah
3. Informasi dari keluarga yang tertutup
4. DPO yg belum terlalu aktif

Akses Informasi
Tantangan

1. Kebijakan dan anggaran belum tepat


2. Sosialisasi program/kegiatan yang
sangat terbatas
Eksternal 3. Sarana dan prasarana belum
memadahi
4. Akses pelayanan publik sangat
terbatas
5. OPD tidak menindaklanjuti

Inovasi Pendataan Disabilitas 91


3.1.6 Perspektif Gender dalam Pendataan
Perspektif gender dalam pendataan bagi kalangan tertentu mungkin jarang
terdengar, tetapi bagi kalangan perencana lebih dikenal sebagai data terpilah
gender. Data terpilah hakikatnya adalah data yang dipilah menurut jenis kelamin
dan umur. Gender sendiri dimaknai sebagai konsep yang mengacu ada pembedaan
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan
dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
Bila dikaitkan dengan pendataan maka dalam perspektif gender, penyediaan
data, analisis dan pelaporan lebih banyak dibedakan menurut jenis kelamin.
Pembedaan ini ditujukan dalam rangka menghasilkan data dan informasi tentang
pengalaman khusus dalam kehidupan sebagai perempuan dan laki-laki. Hasil data
terpilah ini memberikan kontribusi pada data statistik gender yang dikelola oleh
pemerintah.
Pada kajian pendataan ini, perspektif gender telah mewarnai rangkaian
tahapan pendataan. Data yang dihasilkan bukan data agregat yang bias gender
karena mengabaikan kenyataan masyarakat yang beragam, tetapi sudah
mengakomodir ragam disabilitas. Data disabilitas juga sudah terpilah laki-laki dan
perempuan, berdasarkan umur serta tambahan variabel lain seperti pendidikan
dan layanan publik yang diterima (seperti kesehatan, pendidikan, dan adminduk).
Begitupun dari sisi informan/sampel responden, sedari awal instrumen wawancara
sudah merencanakan kebutuhan data terpilah dari jenis kelamin dan umur yang
merupakan keharusan dalam perspektif gender. Apalagi pendataan yang dilakukan
oleh Mitra Peduli dilakukan melalui metode sensus atau pencacahan. Meskipun
menggunakan sampel di beberapa desa (minimal 2 desa/kelurahan), tetapi
metode pencacahan yang dilakukan oleh Mitra Peduli dapat menggambarkan
pengintegrasian isu gender dalam perumusan tujuan dan penyusunan kuesioner.

3.2 Model Inovasi Pendataan Disabilitas


Praktik pendataan disabilitas oleh mitra Program Peduli di enam lokasi, bila
dicermati lebih dalam, memperlihatkan adanya hubungan berbagai pihak (aktor)
dalam implementasinya. Para pihak itu terutama pemerintah, masyarakat dan
DPO. Bila merujuk pada model pembangunan inklusif yang dikemukakan oleh
Wirutomo (1980), maka dari tiga variabel pembangunan inklusif yaitu struktural,
proses sosial (interaksi sosial) dan budaya, pendataan disabilitas menekankan
pada variabel proses sosial. Hal ini terlihat dari interaksi antar pihak dalam
implementasi pendataan disabilitas di enam lokasi studi. Bila dikaitkan dengan
pemikiran Grindle (dalam Najam A, 1995), pendataan disabilitas merupakan

92
upaya dari struktur sosial yang inklusif dimana para aktor saling berinteraksi untuk
melakukan tindakan bersama (melakukan pendataan). Proses interaksi para aktor
itu dapat terwujud, karena adanya sejumlah faktor pendukung, meski pada sisi
lain ada pula hambatan dalam implementasinya. Tindakan bersama ini merupakan
salah satu tingkatan partisipasi yang relatif tinggi menurut Wilcox (1994). Wilcox
membagi tingkatan partisipasi dalam lima tingkat, yaitu 1) pemberian informasi;
2) konsultasi; 3) pembuatan keputusan bersama; 4) melakukan tindakan bersama;
dan 5) mendukung aktivitas yang muncul atas swakarsa masyarakat.
Berdasarkan tingkatan partisipasi tersebut, maka praktik baik pendataan
disabilitas yang dilakukan di enam lokasi dapat digambarkan sebagai berikut;

Banjar- Kulon Sukoharjo Sumba Lombok


Tingkatan Partisipasi Bone
No masin Progo (KARINA- Barat Barat
DPO/ Disabilitas (YASMIB)
(SAPDA) (SIGAB) KAS) (BAHTERA) (PATTIRO)

1 Pemberian Informasi √ √ √ √ √ √

2 Konsultasi √ √ √ √ √ √

3 Pembuatan Keputusan √ √ √ χ √ √
Bersama

4 Melakukan Tindakan √ √ √ √ √ √
Bersama

5 Mendukung Aktifitas χ χ √ χ Χ χ
yang Muncul/ Swakarsa
Masyarakat

Sumber: diolah, 2018.

Secara umum, praktik baik pendataan disabilitas di enam lokasi telah melewati
tingkat pemberian informasi dan konsultasi kepada pemerintah daerah (tingkat
pertama dan kedua), serta tingkat ketiga dan keempat yaitu partisipasi dalam
pembuatan keputusan bersama dan melakukan tindakan bersama. Khusus
untuk praktik pendataan disabilitas di Bone yang dilakukan YASMIB bersama
LPP Bone belum dapat melewati tingkatan partisipasi ketiga (pembuatan
keputusan bersama) mengingat pembuatan keputusan bersama tersebut tidak
langsung dilakukan oleh DPO/Disabilitas tetapi dilakukan oleh LPP Bone (yang
bukan merupakan DPO) dengan Pemerintah Daerah. Hasil keputusan di tingkat
kabupaten ini kemudian dilanjutkan di tingkat Pemerintah Desa, yang juga tidak
melibatkan DPO. Namun pada pelaksanaan pendataan pendataan dilakukan secara
bersama antara masyarakat, DPO dan Pemerintah Desa. Pelaksanaan pendataan ini

Inovasi Pendataan Disabilitas 93


merupakan tingkatan partisipasi keempat (melakukan tindakan bersama).
Bila dicermati, praktik pendataan yang dilakukan mitra Program Peduli belum
mencapai tingkatan partisipasi yang tertinggi (tingkat kelima) yaitu mendukung
aktifitas yang muncul/ swakarsa masyarakat. Kecuali yang dilakukan oleh
KARINAKAS di Sukoharjo. KARINAKAS berhasil mendukung aktifitas yang muncul
secara swakarsa. Hal ini ditandai dengan sudah adanya sumberdaya, sistem dan
jaringan pendataan dari desa hingga kabupaten. Sumberdaya dan jaringan
dimaksud adalah Tim RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat) yang telah ada sejak
2009. Sistem pendataan juga dilakukan secara efektif dan efisien ditandai dengan
banyaknya partisipasi relawan KARINAKAS dengan biaya yang sangat ekonomis
(hanya sekitar Rp 10 juta) untuk melakukan pendataan di seluruh wilayah
Kabupaten Sukoharjo. Praktik baik partisipasi pendataan ini telah menjadi model
dan sudah digunakan oleh pemerintah daerah, bahkan menjadi rujukan bagi
pemerintah pusat.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa praktik
baik pendataan disabilitas telah mencapai tingkat keempat partisipasi yakni
melakukan tindakan pendataan secara bersama. Partisipasi DPO/Disabilitas turut
mewarnai keragaman pendataan disabilitas yang dilakukan secara bersama
antara pemerintah, masyarakat dan DPO/Disabilitas. Selain manfaat langsung
hasil pendataan bagi pemerintah dan masyarakat, partisipasi DPO/Disabilitas juga
terbukti meningkatkan kapasitas kelembagaan/individu serta lahirnya beberapa
upaya pemenuhan hak disabilitas lainnya di daerah.
Mengacu pada konsep Wirutomo, Grindle dan Wilcox di atas, tampak bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara pembangunan sosial dengan model
pendataan disabilitas yang telah dilakukan, terutama terkait dengan konsep
partisipasi dan interaksi. Kedua hal itu (partisipasi dan interaksi) melahirkan
proses sosial yang menciptakan perubahan berupa sikap positif, dukungan sosial,
informasi yang dihasilkan serta infrastruktur pendukung disabilitas. Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka terdapat beberapa model inovasi pendataan disabilitas
yang telah dilakukan di enam lokasi studi yang berpotensi untuk direplikasi di
tempat lain dan dikembangkan lebih lanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Berikut
adalah model-model pendataan disabilitas dimaksud.

3.2.1 Model Pendataan Antara DPO dengan Pemerintah Daerah (Model 1)


Model ini dijumpai di Banjarmasin dan Lombok Barat, dimana SAPDA dan
PATTIRO melakukan interaksi yang intensif dengan Pemerintah Daerah dalam
menginisiasi pendataan disabilitas. Dimulai dari rapid assesment, pengembangan

94
instrumen sampai melakukan pendataan bahkan melakukan kegiatan tindak
lanjut hasil pendataan (advokasi). Model 1 ini menggambarkan interaksi yang
intens antara DPO dan Pemerintah daerah dalam tahapan pendataan.

Bagan 3.6 Model 1

Model 1:
DPO/ Model ini menekankan
Model 1 Disabilitas interaksi intens dari
DPO kepada pemerintah
dalam membangun
komitmen pendataan. Dari
komitmen yang dibangun
Forum dilanjutkan rangkaian/
Komunikasi tahapan pendataan dari
assesment, membangun
instrumen sampai
pelaksanaan pendataan
Pemerintah dan tindaklanjut dari
Daerah pelaksanaan pendataan.

Model ini memerlukan kondisi pendukung yakni adanya jaminan kebijakan


berupa Peraturan Daerah (Perda) atau
Peraturan Kepala Daerah yang mengamanatkan
Model 1:
pentingnya pemenuhan hak disabilitas, dimana
didalamnya juga mengisyaratkan pentingnya Model ini menekankan interaksi
pendataan disabilitas dalam rangka mendukung intens dari DPO kepada
pemenuhan hak disabilitas. Selain peraturan pemerintah dalam membangun
yang mendukung, ada kondisi lain yang turut komitmen pendataan. Dari
memperkuat pendataan yakni adanya forum komitmen yang dibangun
komunikasi. Forum ini merupakan wadah dalam dilanjutkan rangkaian/tahapan
menjamin interaksi antara Pemerintah Daerah pendataan dari assesment,
dengan DPO dan para pihak terkait lainnya. membangun instrumen sampai
Dari forum komunikasi melahirkan komitmen pelaksanaan pendataan dan
lain dari OPD dalam memberikan dukungan tindaklanjut dari pelaksanaan
pendataan termasuk memperkuat partisipasi pendataan.
dari penyandang disabilitas lainnya.

Inovasi Pendataan Disabilitas 95


3.2.2 Model Pendataan Antara DPO dengan Pemerintah Desa (Model 2)
Model 2 ini dijumpai di Sumba Barat, Kulon Progo dan Bone. Model ini
menjadikan desa sebagai model praktik kajian pendataan yang menekankan
keterlibatan DPO dan Pemerintah Desa. Ada aspek penting dalam menerapkan
model ini yakni adanya desa dampingan yang telah menjalin kerjasama dengan
DPO pendamping. Aspek penting lain adalah bahwa pendamping lapangan/
fasilitator memiliki intensitas kegiatan berkaitan dengan desa yang bersangkutan.
Interaksi yang dibangun antara DPO/NGO pendamping dengan pemerintah desa
telah melahirkan semangat dalam memperbaiki tata kelola data, perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan di desanya. Model ini memiliki kecenderungan
replikasi yang cepat karena skala yang dikembangkan relatif kecil, terkontrol dan
tidak memerlukan proses perencanaan dan penganggaran yang panjang. Kepala
Desa dan perangkatnya menjadi penentu terselenggaranya proses pendataan yang
dikembangkan. Hubungan interaksi antara pemerintah desa dan DPO terfasilitasi
oleh isu yang sama yang dikomunikasikan intensif melalui pendamping/fasilitator
desa.

Bagan 3.7 Model 2

Model 1:
Model ini cenderung mudah
DPO/ diapdosi dan dikembangkan
Model 2 Disabilitas karena skala yang kecil dan
tidak memerlukan proses
yang panjang. Pemerintah
desa dengan kewenangannya
dapat melakukan pendataan
Pendamping partisipatif. Peran DPO lebih
Desa banyak pada awal inisiasi namun
setelah tahap pendataan selesai.
Pemerintah desa dapat setiap
saat melakukan update kondisi
disabilitas di desanya. Desa
Pemerintah
dampingan DPO menjadi model
Desa yang dikembangkan bersama.

Faktor pendukung utama model 2 ini adalah telah terbangunnya kepercayaan


bersama antara DPO dan Pemerintah Desa dalam waktu yang relatif lama.
Hubungan yang dibangun bukan hanya pada masalah pendataan saja tetapi
beberapa isu termasuk isu perencanaan, pemberdayaan dan pembangunan di

96
desa. Faktor pendukung lainnya adalah adanya pendamping/fasilitator Desa.
Pendamping Desa memiliki peran penting dalam memfasilitasi berbagai dinamika
lapangan, proses pemberdayaan dan upaya mendorong pemahaman pentingnya
pendataan disabilitas dilakukan di desa. Sebagai model pembelajaran, model 2 ini
relatif mudah dilakukan dan tidak memerlukan proses yang panjang. Disamping
karena skala yang kecil, Desa juga telah memiliki kewenangan skala lokal dalam
melakukan perencanaan dan pembangunan.

3.2.3 Model Pendataan Antara DPO dengan NGO (Model 3)


Model 2 ini dijumpai di Sukoharjo. Model ini menjadi perintis peran DPO dalam
mengembangkan jaringan pemberdayaan secara berjenjang dari kabupaten
sampai ke desa, bahkan bisa antar kabupaten
dalam proses pendampingan termasuk Model 3:
dalam pendataan. Pengembangan jaringan
Model ini cenderung mudah
pemberdayaan dilakukan melalui pemberdayaan
diadopsi dan dikembangkan
forum dan kelompok relawan. Model di
karena skala yang kecil dan
Sukoharjo menggunakan jaringan kader SHG
tidak memerlukan proses
(Self Help Group), kader Posyandu, tim RBM
yang panjang. Pemerintah
(Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat) dan
desa dengan kewenangannya
kader-kader sosial lainnya. DPO memiliki peran
dapat melakukan pendataan
signifikan dalam mengoptimalkan jaringan
partisipatif. Peran DPO lebih
relawan dan kader pemberdayaan. Optimalisasi
banyak pada awal inisiasi namun
dari pemberdayaan jaringan relawan dan kader
setelah tahap pendataan selesai.
pemberdayaan menjadikan proses pendataan
Pemerintah desa dapat setiap
dapat dilakukan dengan lebih efektif dan
saat melakukan update kondisi
efisien. Model ini dianggap memiliki banyak
disabilitas di desanya. Desa
kelebihan terutama pada aspek pembiayaan
dampingan DPO menjadi model
pendataan. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih
yang dikembangkan bersama.
murah dibandingkan dengan pendataan pada
umumnya. KARINAKAS menyampaikan hanya
sekitar Rp10.000.000 untuk melakukan pendataan disabilitas. Terkait waktu
pendataan juga relatif lebih cepat karena sistem input data telah tersedia.

Inovasi Pendataan Disabilitas 97


Bagan 3.8 Model 3

Model 3:
Model ini cenderung mudah
DPO/ diadopsi dan dikembangkan
Model 3 Disabilitas karena skala yang kecil dan
tidak memerlukan proses
yang panjang. Pemerintah
desa dengan kewenangannya
dapat melakukan pendataan
Forum partisipatif. Peran DPO lebih
relawan/kader banyak pada awal inisiasi namun
setelah tahap pendataan selesai.
Pemerintah desa dapat setiap
NGO/ saat melakukan update kondisi
Kelompok disabilitas di desanya. Desa
Masyarakat dampingan DPO menjadi model
yang dikembangkan bersama.
lain

Model 3 mengisyaratkan peran DPO yang telah memiliki banyak pengalaman


dan jaringan kader/relawan. DPO juga telah memiliki bargaining kuat dan
kepercayaan untuk menyakinkan pemerintah bahwa model pendataan disabilitas
yang diselenggarakan memiliki banyak kelebihan dan memberikan manfaat
baik kepada pemerintah maupun kepada penerima manfaat (disabilitas) secara
langsung. Kerja-kerja yang dibangun oleh DPO tidak dibangun dalam 1-2 tahun,
tetapi telah dibangun dalam jangka waktu lama sehingga pemerintah daerah
telah memiliki rekam jejak DPO yang bersangkutan. Pemerintah telah memiliki
kepercayaan besar pada DPO ini sehingga hasil pendataan disabilitas juga langsung
dapat dipergunakan atau dimanfaatkan secara langsung. Peran besar yang tidak
kalah penting adalah adanya forum relawan/ kader yang telah memiliki komitmen
tinggi dalam melakukan pemberdayaan dan pendampingan masyarakat.
Berdasarkan ketiga model hasil kajian pendataan yang tersebut di atas, maka
berikut ini adalah gambaran tentang inovasi pendataan bila dilihat dari proses
pendataan, dampaknya di masyarakat, peran aktor sebagai kohesi sosial, faktor
pendukung dan penghambat pendataan.

3.3 Strategi Penguatan Kapasitas Disabilitas


Strategi untuk meningkatkan kapasitas penyandang disabilitas pada pendataan
ini dimulai dari melakukan survey dan mapping untuk mengidentifikasi program,

98
sarana dan prasarana yang tersedia atau dibutuhkan para penyandang disabilitas.
Selanjutnya, dilakukan analisis dan diagnosis melalui konsultasi dengan para
stakeholders melalui workshop, diskusi terfokus (FGD) dengan para informan kunci,
organisasi disabilitas, pemerintah daerah dan desa, Puskesmas, Dinas Sosial dan
Dinas Pendidikan dalam bentuk konsultasi dan menyamakan data serta informasi.
Setelah semua informasi dan data tersedia, kemudian disusun rencana tindakan
(action plan) untuk penguatan kapasitas masyarakat dan pelaksanaan pendataan
disabilitas.
Setelah dilakukan pendataan disabilitas, para pihak dapat melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap proses penguatan masyarakat peduli penyandang disabilitas
sehingga diperoleh output berupa terdatanya penyandang disabilitas mulai
tingkat desa/kelurahan beserta ragam disabilitasnya. Data disabilitas ini kemudian
disampaikan kepada pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti/ advokasi.
Tantangan dalam mendorong keberlanjutan proses pendataan disabilitas
selain fasilitasi dan proses pendampingan adalah kelembagaan. Pembentukan
kelembagaan diharapkan mampu menguatkan peran dan fungsi para pihak
yang terkait dengan pendataan. Dukungan atas kelembagaan mengisyaratkan
juga aspek lain yakni informasi, pelayanan, mediasi dan proses pendataan sendiri.
Kelembagaan pendataan disabilitas bisa dibentuk dalam unit tersendiri atau
menambahkan tugas fungsi dari unit/kelembagaan yang sudah ada. Pendalaman
atas peran, tugas dan fungsi dari kelembagaan yang sudah ada harus diperjelas
dalam kebijakan atau standar prosedur operasi agar menjadi bahan pijakan dalam
membuat perencanaan maupun pelaksanaan pendataan disabilitas.
Dalam konteks pendataan disabilitas, penting untuk mengoptimalkan
kelembagaan yang sudah ada dari sisi pemerintah. Misalnya, di tingkat nasional
Kementerian Sosial, Bappenas dan BPS dapat melakukan sinergi perencanaan
dan pelaksanaan pendataan, sedangkan di tingkat daerah dapat dilakukan sinergi
melalui Bappeda, Dinas Sosial, BPS dan OPD sektoral yang akan menggunakan
hasil pendataan tersebut. Dari sisi masyarakat sipil seperti DPO, NGO dan kelompok
masyarakat sipil yang lain dapat menginisiasi upaya inovasi dan penguatan
partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam melakukan pendataan disabilitas di
daerahnya.
Bagian akhir dalam rangka memperkuat pemanfaatan data hasil pendataan
disabilitas adalah pembaruan data (updating). Kebaruan dalam metode dan hasil
pendataan (yang biasanya relatif berbeda dari yang dimiliki pemerintah) menjadikan
kegiatan pendataan ini sebagai inovasi yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah dan unit layanan untuk menyusun perencanaan dan penganggaran

Inovasi Pendataan Disabilitas 99


yang mencakup semua kalangan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas.
Secara garis besar, strategi penguatan kapasitas penyandang disabilitas dalam
pendataan dapat dilihat pada bagan berikut.

Bagan 3.9 Strategi Penguatan Kapasitas Disabilitas dalam Pendataan

Konsultasi Stakeholder,
Perencanaan / dan Rapid Assesment/
Workshop, FGD antara
Pengembangan Survey/ Mapping
Key Informan, DPO/LSM
Instrumen dan Identifikasi
Disabilitas, Pemda dan
Pendataan Program dan Sarana
Tahap I Penyedia Layanan
Prasarana

DIAGNOSIS dan ANALISIS

Action Plan
Penguatan Kapasitas Masyarakat &
Recofusing Pelayanan dan Pendataan
Tahap II Disabilitas

Konsultasi/Fasilitasi Pendampingan
& Pembentukan Kelembagaan

Tahap III Monitoring & Evaluasi


Proses Penguatan Masyarakat Peduli
Penyandang Disabilitas

Output:
Terlayaninya Pasien Disabilitas
Berkurangnya Kambuhan OGJ
Teranggarkannya Perawatan Disabilitas dan
Kepemilikan Kursi Roda
Terdatanya Penyandang Disabilitas
Inovasi-inovasi (sesuaikan dengan temuan)

Outcome:
Digunakannya/Terlengkapinya data
Disabilitas
Dimanfaatkannya Inovasi-inovasi.
Teranggarkannya Kebutuhan Disabilitas
dalam Bidang kesehatan & Pendidikan

100
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 KESIMPULAN
Praktik baik dan inovasi pendataan yang telah dilakukan oleh Mitra Peduli dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Keragaman data disabilitas di setiap lokasi pendataan mengisyaratkan
pentingnya standarisasi data dan model pendataan yang sesuai dengan
kondisi daerah. Proses dan model pendataan yang lebih standar akan
mendorong partisipasi masyarakat dan pemerintah.
2. Model pendataan partisipatif akan berjalan bila dari awal perencanaan
telah melibatkan penyandang disabilitas atau organisasi disabilitas
(DPO). Pelibatan sedari awal ini akan membantu proses pendataan lebih
lanjut. Pelibatan disabilitas dapat dimulai dari perencanaan dan atau
pengembangan instrumen pendataan (kuesioner), diskusi pendahuluan
dan rapid assesment/mapping. Perencanaan dan atau pengembangan
instrumen adalah pilihan untuk mengembangkan cakupan dan
keterbatasan pendataan.
3. Proses dan aktor pendataan menunjukkan tahapan dan para pihak yang
dapat membantu agar pendataan berjalan baik. Pemerintah daerah dan
DPO dapat merencanakan terlebih dahulu tahapan yang akan dilalui dalam
proses pendataan. Ketidakjelian dalam melihat proses dan aktor pendataan
dapat menyebabkan pembengkakan biaya, proses berlarut, dan hasil
pendataan yang tidak valid.
4. Kebijakan dan anggaran menjadi faktor pendukung utama dan acuan yang
dapat memperkuat proses dan tahapan pelaksanaan pendataan. Kebijakan
dimaksud antara lain berupa peraturan daerah, peraturan bupati, dan surat
keputusan kepala OPD.
5. Hasil pendataan disabilitas membantu pemerintah daerah dalam
merencanakan kebijakan, anggaran dan pemenuhan hak penyandang
disabilitas. Hasil pendataan itu terutama menyangkut data terpilah
penyandang disabilitas, merevisi sasaran program/kegiatan sosial,
penyediaan layanan publik dan pemenuhan sarana prasana pendukung

Inovasi Pendataan Disabilitas 101


bagi pembangunan inklusif.
6. Pendampingan dan fasilitasi adalah wujud nyata dari para pihak dalam
mewujudkan pembangunan inklusif. Pendampingan dan fasilitasi dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah, DPO dan unsur masyarakat lainnya.
Pendampingan juga dapat menjadi bagian dalam kerangka advokasi dan
mengawal kebijakan, program dan upaya nyata lain yang mendukung
penyandang disabilitas dalam berpartisipasi, mendapatkan akses dan
pemenuhan haknya dalam pelayanan publik.

4.2 REKOMENDASI
4.2.1 Rekomendasi Umum
1. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan OPD terkait hendaknya dapat
mengembangkan dan mereplikasi model pendataan partisipatif yang
melibatkan penyandang disabilitas/DPO dari awal perencanaan kegiatan
pendataan.
2. Penyelenggara pendataan (Pemerintah Daerah bersama DPO terutama
Dinas Sosial dan Bappeda) menyusun rencana pendataan dengan
memperhatikan proses dan aktor pendataan secara lebih komprehensif.

4.2.2 Rekomendasi Khusus


4.2.2.1 Rekomendasi Untuk Kemensos
1. Melakukan koordinasi dan sosialisasi pendataan partisipatif yang melibatkan
penyandang disabilitas sampai ke daerah, termasuk mengembangkan
model pendataan partisipatif seperti di Kabupaten Sukoharjo.
2. Membangun dan mengembangkan sistem pendataan yang terpadu
berbasis NIK.
3. Melakukan sosialisasi atas manfaat kartu penyandang disabilitas.

4.2.2.2 Rekomendasi Untuk Bappenas


1. Menguatkan koordinasi perencanaan dan pembangunan pada isu
pembangunan inklusif bagi penyandang disabilitas.
2. Mengembangkan dan memanfaatkan data terpadu penyandang disabilitas
dalam proses perencanaan dan penganggaran.

4.2.2.3 Rekomendasi Untuk Kemendagri


1. Melakukan pembinaan, koordinasi dan pengembangan sistem pendataan
berbasis NIK, termasuk memasukkan kondisi dan ragam disabilitas.

102
2. Mendorong Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil/Badan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu atau nama lain dari OPD yang melayani administrasi
kependudukan di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk terus menerus
melakukan upaya pendataan dan pelayanan administrasi bagi penyandang
disabilitas.

4.2.2.4 Rekomendasi Untuk Kementerian Desa dan PDTT


1. Meningkatkan kapasitas kader dan masyarakat desa untuk terlibat dalam
proses pendataan partisipatif dan pemanfaatan data disabilitas.
2. Mendorong Dana Desa dapat dipergunakan dalam pembangunan dan
pemberdayaan penyandang disabilitas di desa.

4.2.2.5 Rekomendasi Untuk BPS


1. Mengembangkan Survey Khusus Disabilitas dengan tidak
menggabungkannya dengan survei lain (Sensus Penduduk, Supas dan
Susenas). Salah satu pilihannya adalah melalui survei sosial ekonomi daerah
atau SUSEDA. Suseda ini dapat dilakukan melalui jaringan BPS, dimana BPS
dapat mendorong pengembangan Susenas yang dikembangkan sesuai
kondisi daerah.
2. Menguatkan petugas pendataan (PPLS)/pencacah pada isu-isu disabilitas.

4.2.2.6 Rekomendasi Untuk Kominfo


1. Melakukan sosialisasi pentingnya data, informasi dan keterlibatan
penyandang disabilitas.
2. Menguatkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dalam
mendukung informasi dan pendataan terkait disabilitas di Desa.

4.2.2.7 Rekomendasi Untuk Pemda


1. Kebijakan dan anggaran (pemerintah daerah) hendaknya disusun
berdasarkan kondisi nyata yang mengakomodir proses dan tahapan
pelaksanaan pendataan. Bagi daerah baru, adanya kebijakan dimaksud
dapat berupa peraturan daerah, peraturan bupati, atau surat keputusan
dapat membantu proses pendataan berjalan baik.
2. Pemerintah daerah (dalam hal ini OPD-OPD) hendaknya dapat melakukan
koordinasi dan menjadikan hasil pendataan disabilitas sebagai basis data
dalam pembuatan kebijakan, program dan kegiatan secara terencana dan
berkelanjutan dalam mendukung pembangunan inklusif.

Inovasi Pendataan Disabilitas 103


3. Hendaknya pendampingan dan fasilitasi pasca pendataan tidak berhenti
setelah hasil pendataan disabilitas keluar, tetapi dapat dikembangkan
dalam wujud lain berupa tindak lanjut pendataan sampai penyandang
disabilitas mandiri dan tetap membuka akses sebesar-besarnya bagi
penyandang disabilitas.

4.2.2.8 Rekomendasi Untuk Pemerintah Desa


1. Responsif pada data disabilitas di wilayahnya.
2. Mendorong penguatan dan tidak melakukan pembiaran pada warga
penyandang disabilitas di desanya.

4.2.2.9 Rekomendasi Untuk CSO dan DPO


1. Mengembangkan dan memperkuat jaringan CSO peduli disabilitas di
daerah.
2. Advokasi proses pendataan dan mendorong pemanfaatan data disabilitas
bagi pemenuhan hak disabilitas.
3. Menguatkan DPO pada proses pendataan dan advokasi kebijakan/
anggaran di daerah.

104
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Badan Pusat Statistik. 2016. Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals) di Indonesia. Kajian Indikator Lintas Sektor.
Jakarta.
International Labour Organization. Tanpa tahun. Inklusi Penyandang Disabilitas di
Indonesia. Jakarta.
Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2011. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak
Pendidikan dan Kesehatan bagi Anak-anak Penyandang Cacat (Difabel). Jakarta: PT
Gading Inti Prima.
Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2012. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak
Penyandang Disabilitas di Wilayah Bencana Alam. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Australian Goverment, The Asia Foundation. Program Peduli: Program
Snapshot April 2016.
Propiona, Jane Kartika, dkk. 2013. Implementasi HAM di Indonesia: Hak Kesehatan
dan Jaminan Sosial bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Daerah Tertinggal di
Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Propiona, Jane Kartika, dkk. 2014. Implementasi Hak Penyandang Disabilitas di
Indonesia: Analilis Pemenuhan Hak Warga Negara Penyandang Disabilitas di
Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Re ne lenar. 1974. Les Exius: Un Francais Sur Dix. Paris: Seuil Publication.
Salim, Ishak, M. Syafi’ie, dan Nunung Elkisabeth. 2015. Indonesia Dalam Desa Inklusi:
Pembelajaran dari Temu Inklusi 2014. Yogyakarta: SIGAB.
Salim, Ishak, dkk. 2015. Difabel Merebut Bilik Suara: Kontribusi Gerakan Disabilitas
Dalam Pemilu Indonesia. Yogyakarta: SIGAB.
Sawinggih, Raden, ddk. 2016. Dari Bayan Untuk Indonesia Inklusif. Nusa Tenggara
Barat: Solidaritas Masyarakat Untuk Transparansi (SOMASI).
Warsilah, Henny. 2017. Pembangunan Inklusif dan Kebijakan Sosial di Kota Solo, Jawa
Tengah. Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia.

Inovasi Pendataan Disabilitas 105


Artikel, Jurnal, Laporan, dan Makalah
Badan Pusat Statistik. 2018. Berita Resmi Statistik “Tingkat Ketimpangan Pengeluaran
Penduduk Indonesia September 2017”. No. 06/01/Th. XXI.
Haryanto. Tanpa tahun. “Analisis Pertumbuhan Inklusif”. Makalah.
Klasen, Stephen. 2010. “Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple
Definitions, Open Questions, and Some Constructive Proposals”. ADB Sustainable
Development Working Paper Series.
Rosalina, Ega dan Nurjanah. 2016. “Cerita dari Lapangan: Kesuksesan Aktivis Difabel
Tingkatkan Akses Difabel dan Masyarakat Miskin di Lombok Barat Terhadap
Kepesertaan BPJS Kesehatan”. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan Manusaia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Australian
Goverment, The Asia Foundation, dan PATTIRO.
Syafi’ie, M, dkk. 2015. Kumpulan Jurnal Difabel Volume 2 No.2 2015. “Analekta
Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang Difabilitas”.
Yogyakarta: SIGAB.
Suryanarayana, M.H. 2008. “Inclusive Growth: What is so exclusive about it?”. Indira
Gandhi Institute of Development Research, Mumbai.
Tanpa Penulis. September 2011. “Article in International Journal of Disability
Development and Education”.
Tanpa Penulis. Tanpa Tahun. The Concept of “Best Practice”: A Brief Overview of its
Meaning, Scope, Uses, and Shortcomings. Artikel.
Wirutomo, Paulus. 2013. “Mencari Makna Pembangunan Sosial: Studi Kasus Sektor
Informal di Kota Solo”. Jurnal Sosiologi Masyarakat Vol. 18, No.1 Januari 2013.
World Economic Forum. 2017. “The Inclusive Growth and Development Report 2017”.

Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi
Daerah
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

106
Policy Brief:
Anggraeni, Novita dan Fajri Nursyamsi. 2016. “Policy Brief: Pemenuhan Hak atas
Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil bagi Penyandang
Disabilitas”. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan Republik Indonesia, Australian Goverment, The Asia Foundation,
dan PATTIRO.

Inovasi Pendataan Disabilitas 107


108
4
3
2
1
NO

Rajenah Rabiatul Adawiyah M. Nasrudin Adha. SH M. Ruslan Imuk. H NAMA

L
L

P
P
JK

1
1
1
1
RT

1
1
1
1
RW
ALAMAT

Kel.Selatan Kel.Selatan Kel.Selatan Kel.Selatan KELURHAN


LAMPIRAN

BanSel BanSel BanSel BanSel KECMATAN


1. Form Pendataan SAPDA-Kota Banjarmasin

Blitar Banjarmasin Banjarmasin Banjarmasin TEMPAT LAHIR

14/09/1953 26/09/1983 02/01/1947 TANGGAL LAHIR

30 th
63 30 33 69 UMUR

Grahita Ruwi Daksa JENIS DISABILITAS


Cacat Mental kurang Ibu Rumah Tangga Tangan Kanan
Stroke Keterangan
waras (Bisu & Tuli) Buntung

 
 
 
  AKTE

Ada   Ada Ada KTP

KEPEMILIKAN
Ada   Ada Ada KK

 
NIK
6371015409530001 6371012609830004 6371010102470003

 
 
 
6371012208080024
No. KK

TINGKAT
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
PENDIDIKAN

Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada BPJS PBI

Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada KIS

Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada KPS


JAMINAN SOSIAL

Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada PKH

Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada RASKIN

Inovasi Pendataan Disabilitas


109
2. Form Pendataan SIGAB – Kulon Progo

No Nama NIK L/P Tgl Lahir Usia

1 Hasanudin 340106.XXXXXX.XXXX L 27/5/1988 28


2 R Susanto/R Cokrowiharjo 340105.XXXXXX.XXXX L 31/12/1945 71
3 Muhammad 340105.XXXXXX.XXXX L 04/09/1954 62

Jml Anggt a RT
Serumah

ART > 18 Th
ART 2-17 Th

ART Difabel
Nama Ibu dengan Nama Kepala Status di
No.KK
Kandung Ibu Keluarga KK
Kandung

340105.XXXXXX.XXXX Muhammad Anak 3 3 2

340105.XXXXXX.XXXX R Susanto/R Kepala 4 4 1


Cokrowiharjo Rumah
tangga
340105.XXXXXX.XXXX Muhammad Kepala 3 3 2
Rumah
tangga

A. MODUL PENGLIHATAN

A.6
A.1 A.2 A.3 A.4 A.5 A.7 A.8 A.9
a b C d a b c
4
4 3th
2 60th 10 1 2 1

110
Status
Ijazah Terakhir Masuk di KK Akta Kelahiran Ibu Kandung
Perkawinan
Belum Kawin SD/SDBL/M.Tsanawiyah/Paket B Ya
Kawin SD/SDBL/M.Tsanawiyah/Paket B Ya
Kawin SM/SMLB/M.Aliyah/SMK/Paket C Ya
Rata-Rata BTB

Dusun, RT/RW
Ketidakcuku-
Pendapatan/
Pengeluaran
Pendapatan

Pemenuhan

Kecamatan

Kalurahan
Biaya

Kab/Kota
Kleuarga
Bulanan

Provinsi

Desa/
pan

Tambahan
Difabilitas

Ya <500rb <500rb cukup DIY Kulon Lendah Wahyuharjo Maesan 2


Progo
Ya <500rb 500rb-1jt cukup DIY Kulon Lendah Wahyuharjo Maesan 2
Progo

Ya <500rb <500rb cukup DIY Kulon Lendah Wahyuharjo Maesan 2


Progo

B. MODUL PENDENGARAN

B.7 B.9
B.1 B.2 B.3 B.4 B.5 B.6 B.8 B.10
a b c d a b c
4
4
4

Inovasi Pendataan Disabilitas 111


3. Form Pendataan YASMIB - BONE

NO LOKASI/PERSENTASE JUMLAH DISABILITAS/PERSENTASE

  KABUPATEN DESA LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL 0-< 7


  BONE MALLARI 35/56% 27/44% 62/100% 39
    CARIGADING 16 19 35 14
  GOWA PAKKATTO 35 27 62 43
    BAREMBENG 33 33 66 33

JUMLAH BERDASARKAN PEKERJAAN

PNS WIRASWASTA PETANI NELAYAN PENGANYAM KARYAWAN SATPAN

0 0 12 6 4 0 0
0 0 1 0 0 1 0
0 0 5 0 0 0 0
0 0 9 0 0 0 1

JUMLAH BERDASARKAN RAGAM/JENIS DISABILITAS/PERSENTASE JUMLAH BERDASARKAN TINGKAT

RUNGU LARAS Rp. 500 Rp.1 jt-


NETRA DAKSA GRAHITA GANDA < Rp 500.000
WICARA MENTAL rb-1 jt 1,5 jt
21 8 22 6 4 1 23 3 1
8 7 14 5 1 0 4 1 0
25 3 20 6 2 6 7 1 7
19 12 31 3 0 1 8 8 1

112
JUMLAH BERDASARKAN UMUR/PERSENTASE JUMLAH KK/
PERSENTASE
7-12 13 - 15 16-18 19 - 22 23 - 54 55 th ke atas
3 3 2 4 10 1 59
3 0 0 1 10 7 33
6 1 2 1 6 3 59
4 2 0 4 18 5 63

(KELOMPOKKAN BERDASARKAN DATA)

DUKUN WIRASWAS-
PENGUSAHA BURUH/KULI SUPIR TUKANG OJEK LAINNYA
BERANAK TAWAN
0 0 0 0 0 1 39
2 0 0 0 2 0 29
0 7 1 1 4 1 43
0 1 0 0 1 0 54

JUMLAH YANG SUDAH


PENDAPATAN/PERSENTASE MEMILIKI IDENTITAS JUMLAH BERDASARKAN JAMINAN SOSIAL/PERSENTASE–≠≠
HUKUM/PERSENTASE
Rp. 1,5- AKTE AKTE KESEHA- PENDI-
Rp. > 3 jt RASKIN BLT ACD
jt-3 jt NIKAH LAHIR TAN DIKAN
0 0 19 19 19 19 19 19 19
1 0 4 4 4 4 4 4 4
4 1 30 30 30 30 30 30 30
2 0 21 21 21 21 21 21 21

Inovasi Pendataan Disabilitas 113


4. Form Pendataan PATTIRO – LOMBOK BARAT

KABUPATEN LOMBOK BARAT


 
KECAMATAN NARMADA
 

TANGGAL, BULAN DAN TAHUN LAHIR


JENIS
KELAMIN

PENDIDIKAN TERAKHIR
NAMA PENDATA

PEKERJAAN
TELPON/HP
DESA

  NAMA ALAMAT
NO

L P

  1 2 3 4 5 6 7 8
 

A MARNIAH TATAR   L   31/12/1956 Tidak Tamat -


1
SD
SANI TATAR     P 01/07/1980 Tidak Tamat -
2
SD
AJIS TATAR   L   31/12/1989 Tamat SD -
3
JUNAIDI EDY SANTIKA

ZAFIRA SWARA PUTRI TELAGE     P 19/10/2012 Tidak Tamat -


NYURLEMBANG

4
NGEMBENG SD
1

DIAN INDAH LESTARI TELAGE     P 31/01/2000 Tamat SD -


5
NGEMBENG
INKA YASYA SUYANA TELAGE     P 23/07/2012 Tidak Tamat -
6
NGEMBENG SD
MUHAMAD MAYRANDA TELAGE   L   02/05/2010 Tidak Tamat -
7
LIKA NGEMBENG SD
YUNITA ADELIA NYURLEMBANG     P 19/06/2007 Tidak Tamat -
8
BARAT SD

114
KEPENDUDUKAN PROGRAM SOSIAL
STATUS DALAM KELUARGA
SETATUS PERKAWINAN
JENIS DIFABEL

Akta Nikah
Kelahiran
Akta KIS /
KTP KK KKS KIP RASKIN
BPJS

1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya

2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak


9 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tuna Daksa Kawin kk
2 1 2 2 2 1 2 1
Tuna Daksa Cerai Mati kk
1 2 2 2 1 1 2 1
Tuna Netra Belum Anak
Kawin 1 1 2 2 2 1 2 1
Down Belum Anak
Syndrom Kawin 2 2 2 2 2 2 2 1
Down Belum Anak
Syndrom Kawin 2 1 1 2 1 1 2 1
Tuna Daksa Belum kk
Kawin 2 1 1 2 2 2 2 1
Down Belum Anak
Syndrom Kawin 2 1 1 2 1 1 2 1
Tuna Netra Belum Anak
Kawin 2 1 1 2 1 1 1 1

Inovasi Pendataan Disabilitas 115


5. Form Pendataan BAHTERA – SUMBA BARAT

JK

Tempat Tangal Lahir


Disabilitas Netra

Alamat
Usia
Kabupaten Desa Nama
L P

Buta Sebelah
Buta Total

Katarak
Rabun

Juling
Sandrianta B. 1   Tadeisa, 1-7- 27 Tadeisa          
Sumba Barat Kodaka Tera 1990

Marabi Jala 1   Tawasang, 68 Tawajang 1        


31-12-1949
   

Maraden L.Ora 1   Waikabubak 21 Ubu soga          


18-4-1996
   

Yohanis Lado 1   Bodowitu, 22 Bodu Witu          


   
Bani 9-7-1995
Soli Ledi   1 Togoletena, 53 Togoletena          
10-7-1964
   

Bela Dama   1 Bodowitu, 40 Kadogana          


1-7-1977
   

116
Jenis Difabel

Disabili-
Disabili-
Disabilitas Rungu Wicara Disabilitas Daksa tas
tas Laras
Grahita

Gangguan Jiwa
Amputi Tangan
Lumpuh Total
Lumpuh Layu

Mati Sebelah
Polio Tangan
Amputi Kaki
Tuli Sebelah

Parphelegi
Polio Kaki
Tuli Total
Sumbing

Linglung
Bongkok
Pincang

Epilepsi

Mental
Albino
Gagap

Kerdil

Autis
Bisu

                                        1  

          1                                

1                                          

1     1                                    

                1                          

                1                          

Inovasi Pendataan Disabilitas 117


FORMULIR PENDATAAN DIFABEL
KABUPATEN SUKOHARJO
TAHUN 2016

Nomor Formulir : ......................................... PetugasPendata : .........................................


Kecamatan : ......................................... Instansi/Lembaga : .........................................
TanggalPendataan : ......................................... Nomor HP/Telp : .........................................

A. DATA PERSONAL DIFABEL

Nama lengkap : .................................................................................... (L/P )*


Tempat/Tanggal Lahir : ............................., ............................/ Umur : ..........................
Status : a. Menikah b. Tidak menikah c. Janda / Duda *
Dokumen : a. KTP (Ada/Tidak) c. SIM (Ada/Tidak)
Kewarganegaraan b. KK (Ada/Tidak) d. Akta Kelahiran (Ada/Tidak)
Nomor KK : ..................................................................................................................
N I K : ..................................................................................................................
Alamat Lengkap :...........................................................................RT ........../RW ..............
Desa/Kelurahan............................ Kecamatan ...............................
Nomor HP / Telp. : ..................................................................................................................
Pendidikan Terakhir : Tidak sekolah / PAUD / TK/ SD / SMP /SMU(SMK)/ PT*
Nama Sekolah / PT : .....................................................( Lulus / Tidak lulus )*

B. JENIS DISABILITAS DAN KESEHATAN

Jenis Disabilitas :
a. Daksa (Fisik/Tubuh) d. Rungu Wicara g. Mental/Gangguan jiwa j. Ganda
b. Intelektual/Retardasi e. Rungu h. Sensorik (Autis,dll) k. Lainnya...............
c. Eks Kronis (Kusta, dll) f. Wicara i. Netra .............................

Keterangan disabilitas : ( Berat / Ringan )*


....................................................................................................................................................

Penyebab Kedisabilitasan : ( Sejak lahir / Sakit / Kecelakaan )*


Lainnya, sebutkan ........................................................................................................................

118
Diagnosa medis yang masih membutuhkan perawatan/pengobatan : ........................................
....................................................................................................................................................
Penyakit lain yang pernah/sedang diderita : (Jantung, Kanker, Gagal ginjal, Kelainan
darah,Gangguan jiwa)* Lainnya ....................................................................................................................

Tempat melakukan pengobatan atau perawatan:


a. Rumah c. Rumah Sakit e. Alternatif

b. Puskesmas d. Dokter Praktik f. Lainnya, ...................................................

1. Bila di rumah, siapa yang melakukan pengobatan atau perawatan:


a. Sendiri b. Keluarga c. Petugas Kesehatan d. Lainnya………….

2. Kemampuan difabel melakukan aktivitas sehari-hari : ( Berdiri / Berjalan / Mandi / BAB/


BAK Berpakaian /Makan / Berpindah tempat / Pengendalian diri ) *
a. Mandiri b. Dibantu

3. Jika (no. 7) masih dibantu dalam hal apa .............................................................................................


........................................ dan siapa yang membantu .............................................

4. Membutuhkan alat bantu : a. Ya b. Tidak

5. Alat bantu yang dibutuhkan :


a. Kursi roda c. Kruk e. Canadian/Kencreng g. Tongkat putih
b. Walker d. Kaki Palsu f. Alat bantu dengar h. Lainnya.........................

6. Alat bantu yang dimiliki : .........................................................................................................

7. Kondisi alat bantu : a. Baik b. Tidak bisa digunakan c. Rusak, perlu perbaikan

8. Jaminan kesehatan : (Punya / Tidak punya ) *


a. PBI b. Non PBI c. Mandiri d. Jamkesda

9. Cara menggunakan Jaminan kesehatan :


a. Tahu b. Tidak tahu

10. Jaminan Sosial : ( Punya / Tidak Punya )*


a. Kartu Perlindungan Sosial c. Kartu Keluarga Sejahtera
b. Kartu Indonesia Pintar d. Lainya (asuransi dll)............................................

Inovasi Pendataan Disabilitas 119


C. DATA ANGGOTA KELUARGA

Penghasilan/ Hubungan
No Nama NIK L/P Tanggal lahir Pekerjaan
Bulan dengan Difabel
1

( Harap dilampiri Foto Copy KK )


Jumlah Anggota keluarga yang disabilitas berapa: .........................................................................................
Keterangan (orangtua/kakak/adik/lainnya): ...................................................................................................

D. EKONOMI DAN KETRAMPILAN

1. Pekerjaan : ( Bekerja/ Tidak)*


Jika bekerja : Wiraswasta/PNS/Karyawan * jika Karyawan dimana ..........................................
..............
Jika tidak kenapa......................................................................................................................................

2. Pendapatan /bln Rp........................................... Pengeluaran/bln. Rp .................................................

3. Sumber pendapatan lainnya: ........................................Jumlah / bln. Rp .......................................


.......

4. Jumlah pengeluaran perbulan: Rp .......................................................................................................

5. Minat kerja difabel : ................................................................................................................................

6. Ketrampilan yang dimiliki: ......................................................................................................................

7. Pelatihan yang pernah diikuti: ...............................................................................................................


Dimana ....................................................... Lama pelatihan .............................. (hari/bulan/tahun).

8. Pelatihan yang diminati ...........................................................................................................................

120
E. KONDISI RUMAH

1. Status rumah : a. Sendiri b.Orang tua c. Kontrak/Kost d. .............................

2. Lantai : a. Tanah b.Semen c. Keramik d. .............................

3. Kamar Mandi : a. Ada b. Tidak

4. WC : a. Ada b. Tidak

5. Aksesibiltas di rumah dan lingkungan sekitarnya : ( Akses / Tidak Akses )*


Jelaskan ……………………………………………………………………………………

6. Dinding rumah : a. Tembok b. Gedhek c. Lainnya ....................................................

7. Sarana air bersih : a. Sumur b. PDAM c. Lainnya ....................................................

8. Penerangan : a. Listrik b. Lampu minyak c. Lainnya ....................................................

F. LINGKUNGAN SOSIAL

1. PAUD di Desa : ( Ada / Tidak ada ) * Sebutkan ....................................................................................


PAUD memiliki murid difabel : a. Ada, ................ anak b. Tidak ada

2. TK di Desa/Kelurahan : ( Ada / Tidak ada ) * Sebutkan .....................................................................


TK memiliki murid difabel : a. Ada, ................ anak b. Tidak ada

3. SLB di wilayah kecamatan: ( Ada / Tidak ada ) *


Sebutkan .................................................................................................................................................

4. SD (Sekolah Dasar) di Desa/Kelurahan yang menerima ABK :


a. Ada, Sebutkan ........................................................................ b. Tidak ada

5. SMP di wilayah Kecamatan yang menerima ABK :


a. Ada, Sebutkan ........................................................................ b. Tidak ada

6. SMA/SMK di wilayah Kecamatan yang menerima ABK :


a. Ada, Sebutkan ....................................................................... b. Tidak ada

7. Jumlah Posyandu di Desa/Kelurahan: ......................... buah

8. Kader Posyandu bertemu secara rutin :


a. Ya b. Tidak

9. Layanan kesehatan di desa:


a. Ada, Sebutkan ...................................................................... b. Tidak ada

Inovasi Pendataan Disabilitas 121


G. PARTISIPASI SOSIAL

1. Sosialisasi ke tetangga :
a. Setiap hari b. Jika ada perlu c.Tidak pernah d. .............................

2. Keterlibatan dalam organisasi masyarakat: .........................................................................................

3. Kegiatan di masyarakat yang paling sering diikuti: ..........................................................................

4. Keterlibatan dalam Musrenbang : a.Pernah, kapan ................................. b. Tidak pernah

H. BANTUAN SOSIAL YANG PERNAH DITERIMA

1. Alat bantu berupa ......................................................Dari ..............................................Tahun .............

2. Bantuan UEP ( Usaha Ekonomi Produktif ) :


a. Modal Usaha, nominal Rp .....................................Dari ..........................................Tahun .............
b. Peralatan UEP, berupa ..........................................Dari ..............................................Tahun .............

3. Lainnya, Sebutkan ...................................................................................................................................

I. LAIN-LAIN

1. Rehabilitasi : ( Pernah / Belum ) *


a. Pernah, dimana..............................................................Tahun/berapa lama................................
b. Belum, alasan ..........................................................................................................................................

2. Keahlian khusus yang dimiliki :


a. Bidang Olahraga : ..................................................................................................................
b. Bidang Seni : ..................................................................................................................
c. Bidang teknik : .......................... .......................................................................................
d. Lainnya : ..................................................................................................................

3. Prestasi yang pernah diraih :


a. Bidang Pendidikan : ..................................................................................................................
b. Bidang Kesenian : ..................................................................................................................
c. Bidang Olahraga : ..................................................................................................................
d. Lainnya : ..................................................................................................................

4. Kontak yang bisa dihubungi :


a. Nama : ..............................................................................................................
b. Hubungan dengan Difabel : ..............................................................................................................
c. Nomor HP/Telp. : ..............................................................................................................

122
J. CATATAN

..........................................................................................................................................................................
..........................................................................................................................................................................
..........................................................................................................................................................................
..........................................................................................................................................................................
..........................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
*Coret yang tidak perlu

K. PHOTO

Petugas Verifikasi Sukoharjo, ....................................... 2016


Dinas Sosial Kab. Sukoharjo Petugas Pendata

( ..............................................) ( ...............................................)

Anda mungkin juga menyukai