Pendataan Disabilitas
Inovasi dan Praktik Baik Mitra
Program Peduli Disabilitas Fase 1
di Enam Provinsi
Inovasi Pendataan Disabilitas
Kajian dan Praktik Baik Mitra Program Peduli Disabilitas Fase 1 di Enam
Provinsi
Tim Penulis
Rohidin Sudarno
Sad Dian Utomo
Editor
Maya Rostanty
Novita Anggraeni
Kontributor
1. Bejo Untung
2. Diah Mardhotillah
3. Henny Warsilah
4. Nurjanah
5. Rohidin Sudarno
6. Sumyati
7. Wawanudin
Pengulas
1. Ade Siti Barokah
2. Rani Hapsari
Layout:
Agus Wiyono
Penerbit:
PATTIRO
Pusat Telaah dan Informasi Regional
Jl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35
Pasar Minggu Jakarta Selatan
Telp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800
Email: info@pattiro.org
Website: www.pattiro.org
ii
Kata Pengantar
ThE Asia Foundation
S
aat bertanya pada pimpinan masyarakat, tidak jarang kita dengar bahwa di
lingkungan mereka tidak ada anggota masyarakat penyandang disabilitas.
Hal itu dialami mitra The Asia Foundation beberapa tahun lalu, saat mereka
mengumpulkan data awal tentang masyarakat penyandang disabilitas. Pemimpin
masyarakat itu mungkin menyatakan yang sebenarnya – karena dia memang tak
memiliki data. Banyak penyebab mengapa data tak tersedia, namun di antara yang
paling menyedihkan adalah bahwa keluarga tidak melaporkan; mereka malu, takut
distigma dan lain sebagainya. Mereka juga kerap merasa tidak perlu melaporkan.
Lingkaran masalahpun menjadi langgeng: tanpa data, tidak ada layanan; tanpa
layanan, masyarakat tak merasa perlu melaporkan. Data dan layanan publik adalah
dua hal yang saling terkait. Maka, di sinilah langkah kita mulai. Dari pendataan.
Hingga saat ini data yang tersedia belum terintegrasi sehingga tidak mudah
bagi penyedia layanan untuk menjadikannya sebagai rujukan untuk penjangkauan
dan pelayanan. Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS, 2015) menunjukkan 8,56
persen penduduk Indonesia memiliki disabilitas; Survey Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas 2015) menyebut 12.15%, atau setara dengan 30 juta jiwa; dan World
Health Organization (WHO) menyebut 15%.
Lepas dari angka penyandang disabilitas pada umumnya adalah korban dari
miskonsepsi, stereotype, label dan prasangka yang berakibat pada diskriminasi,
eksklusi, treatment yang keliru, serta perampasan terhadap hak untuk mendapatkan
pendidikan, pekerjaan dan layanan yang setara (Azra, 2017). Stigma negatif yang
menganggap penyandang disabilitas tidak produktif juga menyebabkan hak-hak
dasarnya sebagai warga negara belum diprioritaskan pemenuhannya. Stigma lain
ditimpakan pada orang tua: anak terlahir dengan disabilitas karena kesalahan orang
tua. Lahirnya UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ternyata belum
menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pendidikan, kesehatan, informasi, prasarana yang aksesibel dan hak-hak lainnya.
Studi kolaborasi Pemerintah Australia dengan Indonesia menunjukkan bahwa
orang dengan disabilitas di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang lebih
rendah, akses kesehatan yang lebih buruk, akses permodalan/ekonomi yang
Dr Sandra Hamid
Country Representative, The Asia Foundation
iv
Kata Pengantar
Pusat REHABILITASI Yakkum
S
ejak berdiri tahun 1982, Pusat Rehabilitasi YAKKUM bermitra dengan berbagai
pihak, baik badan pemerintah maupun non pemerintah di tingkat global
sampai lokal untuk mewujudkan visi YAKKUM yaitu orang dengan disabilitas
yang mandiri terpenuhi hak dasarnya dalam masyarakat yang inklusif. Berbagai
upaya mulai rehabilitasi fisik, edukasi dan kampanye publik, penguatan organisasi
DPO sampai advokasi kebijakan publik dilakukan dengan memanfaatkan berbagai
peluang yang ada. Lebih dari 15,000 penyandang disabilitas dan keluarganya
dari berbagai wilayah di Indonesia telah difasilitasi dalam upaya mereka meraih
kemandirian dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Salah satu peluang yang sangat
bermakna bagi perjuangan pemenuhan hak disabilitas adalah dikeluarkannya
UU Disabilitas Nomor 8 Tahun 2016 yang menjadi kerangka kerja legal untuk
memastikan komitmen negara dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak dasar
disabilitas tersebut.
Tetapi legal framework saja tidak cukup, apalagi jika kita semua mengharapkan
lebih luas wilayah dan lebih banyak kelompok masyarakat yang terjangkau dan
memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak dalam wujud layanan publik yang
lebih inklusif, yang di dalamnya termaktub prinsip-prinsip peningkatan kesadaran
(awareness), aksesibilitas, yang menyeluruh, partisipasi dan pendekatan khusus
dan umum (twin track approach). Dalam Program Peduli dimana 78 organisasi
masyarakat sipil (baik yang berperan sebagai organisasi mitra payung maupun
mitra pelaksana) di 75 kota/kabupaten dalam 21 provinsi terlibat, YAKKUM
melakukan pelatihan pengarusutamaan pembangunan yang inklusif disabilitas
kepada mereka (khususnya yang tidak spesifik/secara khusus bekerja dalam
untuk isu disabilitas) agar semakin banyak pihak yang mempunyai kesadaran
terhadap isu disabilitas dan sepakat mewujudkan inklusi sosial dalam berbagai
aspek pembangunan. Selain itu dirasakan urgensi penyusunan kajian dan
pendokumentasian praktik baik dalam hal layanan disabilitas dan pendataan agar
tersedia referensi yang dapat diandalkan dan dapat menginspirasi pihak-pihak lain
dalam mengupayakan perlindungan dan pemenuhan hak dasar disabilitas dalam
bentuk layanan publik dan mereplikasikannya ke wilayah-wilayah lain.
Salam inklusi
Arshinta
Direktur Pusat Rehabilitasi YAKKUM
vi
Pengantar
PATTIRO
P
uji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga PATTIRO bisa
mempersembahkan Buku “Kajian Inovasi Pendataan Disabilitas”. Buku ini
diangkat dari praktik baik yang telah dilakukan oleh Mitra Program Peduli Fase 1
dari Pilar Disabilitas, yaitu YASMIB (Bone), SAPDA (Banjarmasin), SIGAB (Kulon Progo),
KARINAKAS (Sukoharjo), BAHTERA (Sumba Barat) dan PATTIRO (Lombok Barat).
Dalam perjalanannya, Program Peduli Pilar Disabilitas telah banyak menghasilkan
praktik baik yang tentu saja membawa perubahan dan manfaat yang besar untuk
Penyandang Disabilitas.
Pada fase 2 Program Peduli Pilar Disabilitas ini PATTIRO berkesempatan
melakukan kajian dan menyusun pembelajaran dari dokumentasi hasil serta proses
praktik baik pendataan disabilitas yang sudah dilakukan di enam wilayah tersebut.
Hasil analisis ini dituangkan ke dalam sebuah buku yang harapannya bisa menjadi
sumber rujukan atau pembelajaran terkait pendataan disabilitas bagi semua
pihak yang berkepentingan. Harapannya pengalaman dan pembelajaran ini yang
bisa direplikasi oleh Pemerintah Pusat/Daerah di tempat lain. Selain itu, buku ini
diharapkan menjadi sumbangsih PATIRO dalam upaya perbaikan kebijakan terkait
pendataan disabilitas sebagai salah satu langkah penting dalam pemenuhan hak
dasar disabilitas sesuai dengan amanat UU. Dengan demikian, pengalaman berharga
ini dapat menjadi bukti bahwa disabilitas mampu berkarya dan berpartisipasi dalam
kegiatan pemerintah dan sosial kemasyarakatan.
Kami berharap, buku ini menjadi bacaan yang menarik dan dapat dinikmati oleh
para pembaca yang budiman, dapat menginspirasi, dan memberikan manfaat. Pada
akhirnya, kebutuhan terhadap hak-hak disabilitas dapat tersosialisasi kepada seluruh
masyarakat.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan berkontribusi
terhadap penerbitan buku ini, terutama kepada tim pelaksana program di Jakarta, Tim
Peduli Fase 1 Pilar Disabilitas, dan terima kasih sebesar-besarnya kepada tim penulis.
Direktur PATTIRO
Maya Rostanty
viii
2.2.1 SAPDA: Mendorong Penguatan DPO dalam Pendataan
Disabilitas di Kota Banjarmasin.......................................................... 25
2.2.2 SIGAB: Integrasi Pendataan Disabilitas dalam Sistem
Informasi Desa di Kulon Progo........................................................... 35
2.2.3 KARINAKAS: Pendataan Kolaboratif dan Efisien di
Sukoharjo................................................................................................... 45
2.2.4 YASMIB: Peran Pemerintah Desa dalam Pendataan Disabilitas
di Bone........................................................................................................ 58
2.2.5 BAHTERA: SAID dan Partisipasi berbagai Pihak dalam
Pendataan Disabilitas di 11 Desa di Kabupaten Sumba
Barat............................................................................................................. 66
2.2.6 PATTIRO: Aksi Kolektif Pendataan Disabilitas di Kabupaten
Lombok Barat........................................................................................... 76
x
Daftar Singkatan
xii
ODKB : Orang Dengan Kecacatan Berat
ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa
P3D : Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas
PATTIRO : Pusat Telaah dan Informasi Regional
PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa
PBI : Penerima Bantuan Iuran
PD : Penyandang Disabilitas
Pemda : Pemerintah Daerah
Pemdes : Pemerintah Desa
Pemkab : Pemerintah Kabupaten
Perda : Peraturan Daerah
Permendikbud : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
PHL : Pekerja Harian Lepas
PKH : Program Keluarga Harapan
PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
PMKS : Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
PMM : Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu
PPDI : Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia
PRB : Pengurangan Risiko Bencana
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
PwD : People with Disability
RBM : Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat
RKPDes : Rencana Kerja Pemerintah Desa
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
RT : Rukun Tetangga
SAID : Sistem Administrasi dan Informasi Desa
SAIK : Sistem Administrasi dan Informasi Kelurahan
xiv
Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks
1.1.1 Pembangunan Inklusif dan Kepedulian Terhadap Disabilitas
Pembangunan di Indonesia yang selama ini bertumpu pada paradigma
pertumbuhan memang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
tetapi membawa berbagai akibat negatif, antara lain eksklusivitas, kerusakan
lingkungan, penyusutan sumber daya alam, dan kesenjangan sosial. Pembangunan
lebih banyak didedikasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, dengan
Produk Domestik Bruto (GDP) sebagai ukuran utama, sementara kesejahteraan dan
keadilan sosial belum menjadi prioritas utama. Eksklusif dalam arti pertumbuhan
ekonomi di tangan sebagian kecil pihak, yaitu pengusaha besar/konglomerat dan
birokrat. Menurut Badan Pusat Statistik (2018) tingkat ketimpangan pengeluaran
penduduk Indonesia pada September 2017 yang diukur oleh Gini Ratio adalah
sebesar 0,391. Angka ini menurun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan
Gini Ratio Maret 2017 yaitu 0,393.
Paradigma pertumbuhan juga ternyata menciptakan eksklusi sosial, relatif
sulit bagi kelompok rentan untuk terlibat di dalam proses pembangunan. Oleh
karena itu, Indonesia memerlukan perubahan paradigma dari pembangunan
yang berorientasi pada ekonomi dengan output mengejar pertumbuhan ekonomi
(pembangunan eksklusif ), kepada paradigma pembangunan inklusif yang
bertujuan untuk menyejahterakan semua lapisan masyarakat. Pembangunan
inklusif ini merupakan konsep pembangunan yang mengupayakan pemberian
hak bagi kelompok yang terpinggirkan (disabilitas, miskin, dan minoritas) di dalam
proses pembangunan.
Pembangunan inklusif sendiri dapat diartikan sebagai proses untuk memastikan
bahwa semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan bisa terlibat sepenuhnya di
dalam proses pembangunan (International Disability and Development Consortium).
Pengertian lain adalah pembangunan yang merujuk pada pertumbuhan ekonomi
yang dibarengi dengan kesempatan ekonomi yang sama bagi semua orang
(Rauniyar & Kanbur, 2009), atau pembangunan untuk semua orang, tidak peduli
latar belakang dan perbedaan-perbedaannya (Prasetyantoko dkk, 2009). Bila
2
Konsep pembangunan inklusif ini dipandang tepat bagi Indonesia karena
sejalan dengan konsep keadilan sosial yang tercakup dalam sila Kelima
Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebagai negara yang
berkeadilan sosial maka negara berkewajiban melindungi hak asasi warganya
termasuk hak penyandang disabilitas, yang dapat dikatakan sebagai “kelompok
yang tidak diuntungkan” karena keterbatasan yang dimilikinya, dan memastikan
pembangunan yang dijalankan dapat dinikmati hasilnya oleh seluruh masyarakat,
termasuk penyandang disabilitas.
Pembangunan inklusif ini juga kerapkali dikaitkan dengan pembangunan
berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan
dalam laporan World Commission on Environment and Development (WECD) atau
dikenal dengan Laporan Komisi Brundtland yang dibentuk PBB pada tahun 1987
yang mendeskripsikan “Sustainable development is development that meets the
needs of present generations without compromising the ability of future generations
to meet their own needs“ (Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan
yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya). Dalam konsep
pembangunan berkelanjutan, menurut WECD ini, pencapaian tujuan ekonomi
harus selaras dengan tujuan sosial maupun kepentingan lingkungan. Selain
itu, kepentingan antarkelompok masyarakat dan antargenerasi juga mendapat
perhatian besar. Menurut Heal (1998), konsep keberlanjutan ini mengandung
dua dimensi, yaitu dimensi waktu karena menyangkut apa yang akan terjadi di
masa yang akan datang, dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem
sumber daya alam dan lingkungan. Definisi tentang pembangunan berkelanjutan
lainnya disampaikan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (1980) yang menyatakan bahwa untuk menjadi sebuah pembangunan
berkelanjutan, pelaksanaan pembangunan harus mempertimbangkan faktor
lingkungan, sosial maupun ekonomi yang berbasis pada sumberdaya kehidupan
dan mempertimbangkan keuntungan ataupun kerugian jangka panjang maupun
jangka pendek dari tindakan-tindakan yang dilakukan.
4
sekaligus melakukan monitoring atas pencapaian SDGs. Partisipasi akan lebih kuat
dan bermakna besar, bila Organisasi Penyandang Disabilitas dapat bekerja sama
dengan pemangku kepentingan lainnya sehingga dapat memperkuat pesan yang
disampaikan dan memperkuat dukungan bagi penyandang disabilitas.
Memperhatikan pemaparan di atas maka pembangunan inklusif dan
pembangunan berkelanjutan merupakan pendekatan pembangunan yang
tepat bagi Indonesia dalam rangka memastikan proses dan hasil pembangunan
dapat dirasakan oleh semua, termasuk penyandang disabilitas, baik di generasi
sekarang maupun yang akan datang. Perhatian kepada penyandang disabilitas ini
menjadi sangat penting karena jumlahnya relatif besar dan menghadapi sejumlah
tantangan. Secara global, penyandang disabilitas berjumlah sekitar 15% dari
jumlah penduduk di dunia atau lebih dari satu miliar jiwa. Dari jumlah penyandang
disabilitas dunia tersebut, 82% hidup di negara-negara berkembang dan berada
di bawah garis kemiskinan dan kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas
kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak. Sementara di Indonesia,
berdasarkan data dari WHO, diperkirakan 10% dari jumlah penduduk Indonesia
adalah penyandang disabilitas atau lebih dari 24 juta jiwa. Para penyandang
disabilitas ini merupakan masyarakat yang termarjinalkan dan rentan. Penyandang
disabilitas juga kerapkali terisolir secara sosial dan menghadapi diskriminasi dalam
akses atas kesehatan, pendidikan dan pekerjaan (ILO, tanpa tahun).
Masalah dan kebutuhan khusus yang dihadapi oleh penyandang disabilitas
ini memerlukan perhatian dari berbagai pihak melalui upaya-upaya inovatif
untuk mengatasinya. Mengapa diperlukan upaya inovatif? Karena permasalahan
yang dihadapi oleh penyandang disabilitas selama ini relatif kurang mendapat
perhatian yang memadai, terutama terkait akses pelayanan publik dan akses
mereka pada hasil pembangunan lain. Jumlah dan kondisi disabilitas yang belum
masuk dalam target spesifik pembangunan menyebabkan berbagai hambatan
tambahan pada aspek mendasar kehidupan mereka. Pelayanan yang diberikan
sebagian besar penyelenggara pelayanan publik belum ramah disabilitas, dalam
arti tidak memperhatikan keterbatasan yang dimiliki penyandang disabilitas
dalam berinteraksi dengan penyedia pelayanan. Misalnya, tidak tersedia petugas
pelayanan yang memahami bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan
penyandang disabilitas rungu dan wicara.
Dalam konteks besar pembangunan inklusif dan berkelanjutan, terutama dalam
proses dan hasil pembangunan, dipandang penting adanya upaya inovasi untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi penyandang disabilitas dan memastikan
penyandang disabilitas dapat terlibat secara aktif dalam proses pembangunan dan
6
mereka tidak masuk dalam rencana pembangunan, tidak memiliki KTP, tidak bisa
mengakses pelayanan dasar karena bangunan fasilitas publik seperti puskesmas
dan sekolah yang tidak bisa bisa diakses disabilitas, anak berkebutuhan khusus
kesulitan mendapat pengobatan gratis, dan sebagainya. Salah satu hal yang
menyebabkan berbagai masalah pendataan ini antara lain terkait keterlibatan
masyarakat, khususnya penyandang disabilitas dalam proses pendataan.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini berusaha memotret upaya-upaya
inovasi dan praktik baik yang telah dilakukan untuk memastikan masalah
pendataan yang dihadapi penyandang disabilitas dapat diatasi. Buku ini mengkaji
dan menganalisa berbagai praktik dan temuan terkait pendataan disabilitas di
berbagai daerah. Hal yang dikaji meliputi instrumen pendataan, pihak-pihak yang
terlibat dan sumberdaya dalam pendataan, termasuk keterlibatan masyarakat,
keluarga dan penyandang disabilitas itu sendiri, tantangan dan faktor pendukung
pendataan disabilitas, serta penerimaan pemerintah dan rencana pengembangan
atas inovasi pendataan disabilitas ini. Berbagai inovasi yang dipaparkan di
dalamnya merupakan hasil dari pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase
1 yang dilaksanakan pada tahun 2014 sampai dengan 2016 (selanjutnya disebut
Program Peduli).
Inovasi-inovasi pendataan penyandang disabilitas yang dikupas dalam buku
ini relevan dengan pembangunan inklusif dan berkelanjutan karena di dalamnya
memaparkan permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas; upaya-upaya
inovasi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, meliputi proses
inovasi yang melibatkan penyandang disabilitas sendiri dan para pemangku
kepentingan; hasil dari proses inovasi dimaksud, termasuk dampaknya bagi
penyandang disabilitas; serta peluang atau kemungkinan inovasi tersebut untuk
direplikasi atau ditingkatkan (scale-up) ke tingkat yang lebih luas.
Penyusunan Kajian Inovasi Pendataan Disabilitas ini merupakan bagian dari
pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang diharapkan memberikan
manfaat yang lebih banyak bagi penyandang disabilitas di tanah air. Hasil kajian ini
diharapkan menjadi bahan advokasi dalam upaya perbaikan kebijakan pendataan
disabilitas di tingkat nasional sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih
besar dan signifikan bagi penyandang disabilitas di seluruh tanah air.
8
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Jadi, difusi inovasi
menurut Rogers (1983) adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal
yang baru dalam upaya untuk mengubah suatu masyarakat yang terjadi secara
terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu
ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya
kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Tujuan utama dari difusi inovasi
adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang
pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial
dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi sampai kepada masyarakat.
Secara terminologi, praktik baik sendiri sebenarnya masih terkait dengan aspek
dalam definisi inovasi, yaitu adanya proses implementasi dari suatu gagasan dengan
menggunakan cara yang lebih dari biasanya. Misalnya, dilakukan dengan lebih
efektif, adanya tambahan nilai dalam praktik baik tersebut, serta berbagai aspek
yang menjadikan implementasi tersebut lebih baik dibandingkan pelaksanaan
pada umunya. Carusso (2014) menjelaskan bahwa:
“Aktualisasi praktik baik dapat mencakup elaborasi lebih lanjut tentang nilainya,
kulaitas penerapan, keefektifan, hasil, dan kemampuan pengaktual. Meskipun
penting untuk memperjelas perbedaan-perbedaan ini untuk menghindari
kebingungan dalam penyebutan, pelaksanaan, atau mengevaluasi “praktk baik”
adalah hanya beberapa orang yang akan melakukannya”.
Meskipun yang dilakukan bukan hal baru, dalam hal ini pendataan adalah
sesuatu yang dilakukan oleh berbagai pihak dan agak umum. Namun, berbagai
praktik baik pendataan yang akan dibahas dalam buku ini memiliki berbagai aspek
khusus dan nilai tambah daripada praktik pendataan yang umum dilakukan yang
mencakup pada efektifitas, peningkatan kualitas hasil, serta penambahan nilai
yaitu integrasi nilai-nilai inklusivitas dalam proses dan mekanisme pendataan.
Kajian ini akan memotret praktik baik pendataan disabilitas yang dilaksanakan
oleh mitra Program Peduli di enam lokasi studi dan menganalisis model pendataan
disabilitas ,terutama dengan mengaitkannya kepada pembangunan inklusif,
berupa model di tingkat lokal yang dapat direplikasi, dikembangkan dan nantinya
dapat diadvokasikan pada tingkat nasional. Analisis model ini akan menggunakan
kerangka pikir yang dikemukakan oleh Grindle (dalam Najam A, 1995) seperti
dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Bila dilihat dari gambar di atas, tampak bahwa ada tiga parameter yang relatif
stabil dalam model kerangka kerja Koalisi Advokasi pada Perubahan Kebijakan
yang dikemukakan Grindle, yaitu: 1) aksesibilitas sumber daya ekonomi, politik,
sosial dan alam; 2) struktur sosial inklusif dan nilai sosial budaya fundamental;
dan 3) struktur konstitusi dasar (UU, peraturan, kebijakan) inklusif. Dari ketiga
parameter yang relatif stabil tersebut, inovasi dan kajian ini lebih terfokus pada
aspek kedua yaitu struktur sosial inklusif dan nilai sosial budaya fundamental. Hal
ini terjadi karena sebagian besar intervensi dan inovasi yang dipotret dalam kajian
ini terfokus pada aspek struktur sosial yang terbentuk selama ini, yaitu stigma
disabilitas, keluarga dan masyarakat serta struktur konstitusi seperti kebijakan/
peraturan terkait hak disabilitas di level desa hingga unit layanan. Parameter
spesifik dari struktur sosial inklusif dan nilai sosial budayaa adalah pada perubahan
paradigma tentang disabilitas pada masyarakat, keluarga, dan disabilitas
sendiri. Sementara pada aspek kebijakan, upaya perubahan dilakukan dengan
mempengaruhi atau melakukan advokasi terhadap peraturan dan atau kebijakan
di tingkat kabupaten, termasuk kebijakan inklusif di tingkat desa sebagai strategi
keberlanjutan. Hasil kajian ini diharapkan mampu memberi kontribusi pada upaya
10
mendorong perubahan kebijakan di tingkat daerah (kabupaten dan provinsi)
hingga pada kebijakan di tingkat nasional.
Struktur
Proses Sosial
Budaya Masyarakat
12
Berbagai tantangan masih ada dalam berbagai bidang, seperti pendidikan,
informasi dan sistem komunikasi, lingkungan kerja, layanan kesehatan dan sosial,
transportasi, perumahan, bangunan umum, fasilitas layanan umum, dan lain-lain.
Perendahan martabat penyandang disabilitas melalui pencitraan negatif di media
– films, televisi, dan surat kabar juga merupakan tantangan.
Model sosial dalam pelayanan disabilitas ini dikembangkan dengan tujuan
menghilangkan berbagai hambatan agar para penyandang disabilitas memiliki
kesempatan yang sama seperti semua orang untuk menentukan gaya hidup atau
jati dirinya atau mengekspresikan diri melalui gaya hidupnya sendiri. Model sosial
ini mensyaratkan terjadinya perubahan-perubahan yang dapat berupa:
1. Sikap, misalnya sikap yang lebih positif terhadap karakteristik mental
atau perilaku tertentu, atau tidak meremehkan potensi kualitas hidup
seseoranga yang berpotensi menjadi disabilitas.
2. Dukungan sosial, misalnya bantuan untuk mengatasi hambatan yang
diakibatkan oleh disabilitas, penyediaan sumber-sumber yang dibutuhkan,
penyediaan alat bantu atau melakukan “diskriminasi positif” untuk
mengatasi hambatan tersebut.
3. Informasi, misalnya menggunakan format yang cocok, misalnya huruf
Braille bagi disabilitas netra atau bahasa isyarat bagi disabilitas rungu atau
bahasa yang lebih sederhana bagi disabilitas grahita.
4. Struktur fisik, misalnya bangunan dengan jalan masuk yang landai atau lift
untuk pengguna kursi roda.
14
bentuk-bentuk partisipasi adalah:
a. Sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu
(dermawan, pihak ketiga);
b. Mendirikan proyek yang sifatnya mandiri dan dibiayai seluruhnya oleh
komunitas (biasanya diputuskan dalam rapat desa);
c. Aksi massa;
d. Mengadakan pembangunan di kalangan desa sendiri; dan
e. Membangun proyek komunitas yang bersifat otonom.
Thoha sebagaimana dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002: 6) melihat partisipasi
dari sifatnya, yang dapat dibagi dua jenis, yaitu: partisipasi otonom/mandiri
yaitu suatu bentuk partisipasi yang lahir dari kesadaran masyarakat untuk
mempengaruhi kebijakan publik; dan partisipasi mobilisasi, termasuk di dalamnya
partisipasi seremonial yaitu suatu bentuk partisipasi yang digerakkan oleh orang
atau kelompok tertentu, umumnya bagi negara berkembang dilakukan oleh
kelompok elit tertentu, bukannya berangkat dari kesadaran masyarakat. Partisipasi
seremonial adalah bentuk seperti partisipasi dalam pemilu.
Dari penjelasan mengenai makna dari partisipasi itu ternyata partisipasi
dalam arti luas mencakup pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan hingga
kontrol masyarakat. Partisipasi dapat terjadi dalam iklim demokrasi. Dalam
perkembangannya, ada perubahan pandangan mengenai partisipasi. Masyarakat
tidak lagi memandang partisipasi sebagai hadiah atas kebaikan hati pemerintah,
tetapi partisipasi dianggap sebagai bagian dari pelayanan dasar dan upaya untuk
mengawasi jalannya pemerintahan. Partisipasi juga berarti berbagai cara atau
bentuk yang dilakukan masyarakat untuk mempengaruhi kualitas kebijakan atau
pelayanan dari pemerintah agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan warga
masyarakat sendiri.
Pentingnya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Ramlan Surbakti yang
dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002:101) yaitu masyarakat, bukan pemerintah, yang
paling mengerti tentang apa yang terbaik buat dirinya, dan masyarakat berhak ikut
serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan mempengaruhi
kehidupan mereka.
Pada pelaksanaannya, partisipasi tidaklah sama di satu tempat dengan tempat
lainnya. Praktik partisipasi berbeda-beda satu sama lain. Pada artikel Topic Pack on
Participatory Planning-Section One (IDS, 2002:4) digambarkan bahwa partisipasi
dapat dilakukan melalui konsultasi, kehadiran dan keterwakilan masyarakat dan
pengaruh dari masyarakat. Sutrisno (2000:21) menyatakan partisipasi masyarakat
dapat dilakukan melalui andil informasi, konsultasi, pengambilan keputusan dan
16
yang digunakan dalam pendataan; mekanisme pendataan dan pemutakhirannya
(updating); kesesuaian (adaptable) terhadap mekanisme pendataan di tingkat
nasional; persepsi para pemangku kepentingan (NGO pendamping, DPO,
penyandang disabilitas, dan pemerintah daerah yang didampingi); faktor
pendukung dan penghambat inovasi; penerimaan (buy-in) inovasi oleh pemerintah
daerah dalam bentuk kebijakan, anggaran dan lainnya; serta peluang inovasi untuk
direplikasi dan atau ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Kajian dilakukan di wilayah kerja Mitra Peduli, yaitu di Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bone, Kabupaten Lombok Barat, Kota
Banjarmasin, dan Kabupaten Sumba Barat. Kajian dilakukan selama enam bulan,
dari bulan September 2017 hingga Januari 2018.
Data dikumpulkan melalui data sekunder melalui studi pustaka, dan data
primer melalui wawancara mendalam dan observasi. Data sekunder dikumpulkan
dari Mitra Peduli, terutama terkait dengan laporan pelaksanaan pendataan dan
hasil pendataan. Laporan pendataan dimaksud termasuk form pendataan yang
digunakan dan hasil kompilasi pendataan. Kemudian, hasilnya dianalisis dan
dituangkan dalam bentuk laporan desk study. Hasil desk study ini didalami melalui
wawancara mendalam dan observasi secara langsung ke wilayah kerja Mitra Peduli.
Untuk memastikan data dan informasi yang diperoleh akurat maka dilakukan
triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data itu (Moleong, 2009). Menurut Lather dalam Creswell
(2007), triangulasi merupakan salah satu jenis validasi, meliputi beberapa sumber
data, metode dan teori. Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan terhadap
sumber data, yaitu kepada para pemangku kepentingan isu disabilitas, untuk
mengkonfirmasi kebenaran data atau informasi. Hasil wawancara mendalam dan
observasi ini dipandang penting untuk dilakukan triangulasi untuk memastikan
kecukupan dan kesahihan data yang melibatkan staf atau petugas dari Mitra Peduli
yang terlibat secara langsung dalam inovasi pendataan penyandang disabilitas.
Hasil dari seluruh proses pengumpulan data ini kemudian dianalisis dan
dituangkan dalam buku yang sedang dibaca ini.
18
1.5 Profil Mitra dan Lokasi Pendataan
1.5.1 SAPDA di Banjarmasin
Lembaga Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak yang disingkat SAPDA
berdiri pada bulan Juli 2005 dan menjadi badan hukum dengan pengesahan pada
2 Desember 2005 dengan Akta Notaris: Anhar Rusli, SH. Nomor: 51 tahun 2005.
Tujuan didirikannya SAPDA adalah agar tercipta suatu inklusivitas dalam aspek
kehidupan sosial yang menjadi hak dasar Perempuan, Difabel dan Anak di bidang
pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan Hak Asasi Manusia
(HAM).
SAPDA bergerak dalam advokasi kebijakan di tingkat daerah, pendampingan
dan pemberdayaan terhadap perempuan, disabilitas dan anak, khususnya di sektor
kesehatan dan pendidikan. Saat ini, SAPDA masih fokus pada beberapa aktivitas,
yaitu penguatan dan pemberdayaan perempuan disabilitas, pendampingan
disabilitas dan penguatan organisasi di tingkat lokal, kajian keilmuan dan riset,
advokasi kebijakan kesehatan disabilitas, dan pendampingan kesehatan kepada
disabilitas di Propinsi DIY.
Tujuan atau visi SAPDA adalah terciptanya suatu inklusivitas dalam aspek
kehidupan sosial yang menjadi hak dasar perempuan, difabel dan anak di bidang
pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan HAM. Misinya
adalah: a) melakukan kajian keilmuan dan penelitian ilmiah; b) memperjuangkan
terwujudnya kebijakan publik yang menjamin pemenuhan hak-hak dasar
perempuan, difabel dan anak di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan; c)
melakukan pemberdayaan, pendidikan dan advokasi tentang isu-isu perempuan,
difabel dan anak di kalangan masyarakat luas; d) menjalin kerjasama dengan
stakeholder berkaitan dengan penanganan persoalan perempuan, difabel dan
anak; e) membangun SAPDA sebagai crisis center bagi perempuan, difabel dan
anak. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan, SAPDA
melakukan kegiatan pendataan penyandang disabilitas bersama mitra lokal di
Kota Banjarmasin.
20
ini digambarkan kegiatan pendataan yang dilakukan KARINAKAS di Kabupaten
Sukoharjo.
22
1.6 Keterbatasan Kajian
Kajian pendataan disabilitas ini memiliki keterbatasan penyusunan di antaranya
adalah sebagai berikut;
1. Batasan Waktu. Pembahasan dalam kajian ini dibatasi hanya hingga
berakhirnya Program Peduli Fase 1, yaitu akhir tahun 2016. Situasi yang
saat ini terjadi di lokasi inovasi bisa jadi telah mengalami perkembangan.
Saat kajian ini disusun, proses pengembangan dan pelaksanaan pendataan
disabilitas di beberapa wilayah memiliki perkembangan dan tindak lanjut
yang berbeda-beda setelah akhir periode Program Peduli Fase 1.
2. Batasan Lokasi. Kajian ini mengambil sample enam wilayah kerja Program
Peduli Fase 1 karena cakupan wilayah yang cukup banyak dengan
mempertimbangkan sumberdaya dan lainnya. Selain itu, pemilihan wilayah
lokasi yang dipilih dalam kajian ini mempertimbangkan beberapa hal lain,
yaitu representasi wilayah di Indonesia dan representasi level serta metode
pendataan yang digunakan.
3. Batasan analisis. Kajian ini tidak menganalisi secara khusus kualitas data
serta kondisi pendataan disabilitas di masing-masing daerah. Hal ini karena
data dasar disabilitas yang ada di pemerintah daerah sebagai pendukung
pendataan disabilitas belum terkoordinir antarinstansi dan dimutakhirkan
(di-update) secara teratur. Terutama data terkait ragam disabilitas. Kajian
ini lebih fokus pada metode pendataan yang dilakukan oleh masing-
masing Mitra Peduli yang dilakukan dengan pendekatan yang berbeda,
baik proses, aktor yang terlibat maupun situasi di daerah. Oleh karena itu,
hasil pendataan memiliki kekhasan tersendiri yang tidak bisa dibandingkan
antara satu dan lainnya.
4. Kajian pendataan ini menggunakan metode stocktaking, wawancara
mendalam dan analisis dokumen dengan waktu pengumpulan data yang
terbatas (sekitar 3-4 hari per lokasi) sehingga ada keterbatasan pada data
pemangku kepentingan yang bisa dijangkau serta analisis yang dihasilkan
dan belum tentu dapat menggambarkan keseluruhan aspek pendataan
yang dilakukan oleh Mitra Peduli.
5. Metodologi kajian pendataan mengedepankan hal-hal kebaruan yang
dilakukan oleh Mitra Peduli sebagai inovasi sehingga pengertian dan
aspek-aspek inovasi yang ada, dapat dimaknai berbeda oleh para pihak.
24
pengurusan yang belum ramah disabilitas dan juga keengganan keluarga untuk
mendaftarkan anggota keluarga yang disabilitas karena berbagai persepsi negatif
atau ketidaktahuan pentingnya memiliki kartu identitas kependudukan.
Beberapa isu terkait pendataan disabilitas ini antara lain mekanisme pendataan
khusus disabilitas, bentuk dokumen pendataan, instrumen pendataan, teknis
perekaman (khususnya dokumen KTP elektronik), jenis kartu identitas bagi
penyandang disabilitas dan keterlibatan masyarakat pada proses pendataan.
Selain PATTIRO, beberapa lembaga lain juga melakukan advokasi dan
mendorong inovasi terkait pendataan disabilitas di beberapa daerah kerja Program
Peduli fase 1. Inovasi yang dikembangkan juga beragam dari sisi wilayah dan
tingkatannya, mulai dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten/ kota. Daerah-
daerah itu adalah Kabupaten Sumba Barat, Bone, Sukoharjo, Kulon Progo, Lombok
Barat, dan Kota Banjarmasin.
Kajian Inovasi Pendataan Disabilitas ini akan mengkaji dan menganalisa
berbagai inovasi pendataan disabilitas di 6 kabupaten/kota tersebut. Hal yang
dikaji meliputi proses dan instrumen pendataan, pihak-pihak yang terlibat dalam
pendataan, partisipasi disabilitas, keluarga dan masyarakat, tantangan-tantangan
serta pemanfaatan data disabilitas yang dihasilkan. Harapannya, hasil kajian ini
bisa menjadi bahan yang komprehensif dalam upaya perbaikan penyusunan dan
implementasi kebijakan pendataan disabilitas di tingkat nasional serta menjadi
pembelajaran bagi pemangku kepentingan lain.
26
Bagan 2.1 Tahapan Pendataan Disabilitas yang Dilakukan SAPDA di
Banjarmasin
Tahap 2
Tahap 3
Di Banjarmasin, pendataan berlangsung sekitar tiga bulan (September-
November 2015) dan tersebar di empat kelurahan yakni Kelurahan Kelayan Barat,
Kelurahan Kelayan Selatan, Kelurahan Kuin Selatan dan Kelurahan Kuin Cerucuk.
Pendataan melibatkan fasilitator lapangan dan DPO (yaitu PPDI dan HWDI Kota
Banjarmasin) dan Tim SAPDA. Hasilnya, terdapat 368 penyandang disabilitas di
empat kelurahan tersebut. Data juga telah divalidasi lengkap dengan nama dan
alamatnya (by name by address) beserta ragam disabilitasnya. Rekap hasil pendataan
ini sudah bisa terpilah berdasarkan jenis disabilitas, kepemilikan jaminan sosial,
kepemilikan surat administrasi kependudukan, tingkat pendidikan, dan usia.
Selama proses pendataan berjalan, banyak hal positif yang terjadi di antaranya:
1) Terbukanya wawasan bagi penyandang disabilitas tentang haknya sebagai warga
negara terutama hak atas administrasi kependudukan (KTP, KK dan akta kelahiran)
dan hak warga atas pelayanan kesehatan dan pendidikan; 2) Penyandang disabilitas
mulai muncul keyakinan diri dan penerimaan atas kondisi kedisabilitasannya; 3)
Muncul kesadaran baru dalam keluarga dan lingkungan sekitar bahwa disabilitas
tidak lagi dipandang sebagai aib sehingga perlu diberikan ruang yang sama,
termasuk hak untuk memperoleh pendidikan;
2) Keluarga dan masyarakat tidak lagi menganggap bahwa disabilitas
sebagai kutukan dari Tuhan. Proses perubahan persepsi ini terjadi karena pada
saat pendataan, terjadi proses diskusi, sosialisasi dan penyampaian informasi
tentang disabilitas. Hal ini secara perlahan memunculkan kesadaran baru bahwa
penyandang disabilitas juga memiliki kelebihan. Wujud kesadaran bersama tersebut
di antaranya pelibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan kemasyarakatan.
Nama
Jumlah yang
No Aktor Institusi/ Peran
terlibat
organisasi
1 Pemerintah Dinas Sosial, Dukungan pada kegiatan yang Kepala Seksi
2 Camat dan dilaksanakan SAPDA seperti: Disabilitas dan
4 Lurah 1. Memberikan izin pada jajarannya
proses pendataan disabilitas di
wilayahnya.
2. Mengizinkan ketua RT dan
masyarakat untuk mendukung
pelaksanaan pendataan.
3. Menerima dan merespon
baik serta menindaklanjuti
hasil pendataan disabilitas.
Forum Turut mensosialisasikan
Komunikasi pendataan dan mendukung
Pendidikan tindak lanjut hasil pendataan
Inklusif (berupa program sekolah
(FKPI) inklusi).
2 Kelompok/ PPDI, HWDI Menjadi enumerator 2 orang
organisasi dan Gerkatin
disabilitas
3 Masyarakat Ketua RT 07 Menjadi informan dan -
& 08 sebagian mendampingi
pelaksanaan pendataan.
4 NGO SAPDA Memfasilitasi pelaksanaan -
pendataan.
28
5 Penyandang Nurbaiti dkk Menjadi pendukung kegiatan 3 orang
disabilitas pendataan:
1. Menjadi informan tentang
keberadaan disabilitas lain.
2. Mensosialisasikan
pendataan disabilitas pada
masing-masing komunitas
disabilitas.
3. Turut meyakinkan keluarga
dan disabilitas yang awalnya
menolak untuk didata.
6 Fasilitator/ Tim Penanggung jawab pendataan 3 orang
pendamping Pendamping di lapangan
SAPDA
7 Keluarga - Pendukung pelaksanaan -
penyandang pendataan dengan bersedia
disabilitas turut berpartisipasi serta
terbuka pada saat pendataan
anggota keluarga yang
disabilitas.
30
2.2.1.3 Faktor Pendukung
Inovasi pendataan penyandang disabilitas ini dapat terwujud karena adanya
beberapa faktor pendukung, yaitu:
a. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 9 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
b. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 17 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
c. Adanya Forum Komunikasi Pendidikan Inklusif (FKPI) tingkat kota sebagai
tindak lanjut dari komitmen Walikota dalam mengembangkan pendidikan
inklusif di Kota Banjarmasin.
d. Dukungan dari SKPD/OPD terkait pendataan terutama dari Dinas Sosial,
Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Dukungan ini diberikan mengingat
adanya kebutuhan data OPD dalam rangka mewujudkan komitmen untuk
peningkatan pemberian pelayanan khususnya bagi disabilitas.
e. Partisipasi aktif dari DPO dan penyandang disabilitas.
2.2.1.4 Tantangan
Tantangan yang muncul saat proses pendataan ini mulai dilakukan muncul
mulai dari berbagai aspek, meliputi aksesibilitas, stigma negatif serta tantang
sumberdaya. Secara spesifik, beberapa tantangan dalam inovasi pendataan
disabilitas di antaranya adalah:
a. Tantangan dari segi geografis dan sarana prasarana. Kondisi beberapa
daerah pendataan di Kota Banjarmasin terdiri dari gang-gang sempit
sehingga disabilitas yang melakukan pendataan kesulitan untuk
mengaksesnya.
b. Sarana prasarana ramah disabilitas di Kota Banjarmasin juga masih terbatas,
misalnya pada trotoar dan sedikitnya sarana prasarana umum (fasum dan
fasos) yang telah menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas seperti
ramp, pegangan rambat (handrail), akses khusus kursi roda dan sebagainya.
Hal tersebut telah membuat disabilitas yang terlibat dalam melakukan
pendataan menjadi terhambat.
c. Alamat disabilitas yang berpindah-pindah karena mereka tinggal di rumah
kontrakan yang tidak selalu menetap dalam waktu lama.
d. Penyandang disabilitas masih dianggap sebagai pihak yang akan meminta
sumbangan atau bantuan sehingga saat ada disabilitas yang berkeliling
dan ikut mendata disangka peminta sumbangan oleh masyarakat dan
keluarga.
32
anggota OPD lokal dilakukan dengan memasukkan data anggota organisasinya
dahulu. Kemudian, diperluas pada disabilitas yang belum tergabung dengan
Organisasi Disabilitas dengan berbagai rentang usia dan jenis kelamin. Setelah
proses pendataan, penyandang disabilitas masih dilibatkan dalam proses klarifikasi
hasil input data dan menjadi bagian sebagai peserta diskusi. Pada saat advokasi
kepada penyedia layanan, penyandang disabilitas juga berpartisipasi sebagai
peserta diskusi seperti saat proses Musrenbang.
Pelibatan penyandang disabilitas pada kegiatan pendataan ini adalah sebagai
personil yang membawa nama DPO (PPDI dan HWDI). Hal ini memperlihatkan,
keberadaan DPO di Kota Banjarmasin masih terbatas aktivitasnya. Partisipasi
disabilitas pada inovasi pendataan di Kota Banjarmasin dapat dilihat secara ringkas
pada gambar berikut.
Gambar 2.3.
Proses Pendataan
Anak Disabilitas
34
berikutnya (2017 dan 2018). Upaya lain adalah melakukan sosialisasi pada OPD lain
dan masyarakat tentang pentingnya pendataan disabilitas.
SAPDA dan mitranya juga terus terlibat dalam proses perencanaan
pembangunan. Harapannya agar makin banyak dukungan dari para pihak yang
peduli situasi disabilitas di Kota Banjarmasin. Hal lain yang dilakukan adalah
membangun sinergi dengan penyedia layanan yang terkait langsung dengan
tindak lanjut hasil pendataan, misalnya rumah sakit, puskesmas, dan sekolah dasar
sehingga dapat membawa manfaat langsung kepada keluarga dan penyandang
disabilitas.
Prasyarat yang dibutuhkan saat replikasi di antaranya adalah komitmen dari
kepala daerah dan kepala dinas (contoh Dinas Sosial) sebagai pelaksana. Selain
komitmen, prasyarat lain yang dibutuhkan adalah kebijakan dan anggaran. Selain
dari sisi pemerintah, penting juga keberadaan kelompok penyandang disabilitas
yang mendukung upaya pendataan. Tanpa adanya dukungan dari kelompok
penyandang disabilitas maka replikasi hanya sekedar proyek saja. Oleh karena
itu, penting mendorong partisipasi kelompok penyandang disabilitas di daerah
agar turut terlibat dalam proses pendataan. Hal ini penting dilakukan karena
proses pendataan memerlukan pendekatan dan upaya menjaga keberlanjutan
dengan para penyandang disabilitas. Persepsi dasarnya adalah para penyandang
disabilitas-lah yang paling mengetahui kebutuhan dan kepentingan atas
kedisabilitasannya. Peran pemerintah lebih kepada memfasilitasi dan memenuhi
kebutuhan penyandang disabilitas tersebut.
36
disabilitas. Sebenarnya Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Sosial,
juga sedang menginisiasi instrumen pendataan yang sama, tetapi belum dapat
dilaksanakan karena masih ada kendala anggaran dan koordinasi.
Meski menggunakan konsep dan instrumen pendataan disabilitas yang sudah
ada dan berlaku secara internasional, tetapi SIGAB melakukan penyesuaian
berdasarkan kebutuhan disabilitas di desa dan kebutuhan SIGAB sendiri. Dalam
instrumen itu, SIGAB menambahkan hambatan hukum dan hambatan politik.
Upaya penyesuaian instrumen ini, dilakukan SIGAB dengan melibatkan warga
desa, penyandang disabilitas dan tim pendata melalui diskusi penyusunan
instrumen pendataan. Tim pendata berasal dari penyandang disabilitas, kader
desa, perwakilan perangkat desa, dan pemuda Karang Taruna.
Proses pendataan yang dilakukan tidak memerlukan legitimasi dari pemerintah
daerah kabupaten ataupun provinsi karena inisiatifnya berangkat dari desa.
Namun, setelah proses pendataan dilakukan, hasil data diserahkan ke pemerintah
daerah agar dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan program
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok disabilitas. Inovasi
pendataan ini juga sudah dikomunikasikan ke pemerintah pusat, melalui diskusi
membedah instrumen pendataan bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), Kementerian Sosial, BPS, dan Kementerian Pendidikan.
Berikut adalah perbedaan pendataan yang dilakukan oleh SIGAB dan
Pemerintah Pusat.
Instrumen: Instrumen:
Berdasarkan Hambatan Sosial Berdasarkan Kecacatan Fisik
Hasil: Akurat dan Sesuai dengan Hasil: Kurang detail dalam melihat
Kebutuhan Disabilitas kekhususan Kebutuhan Disabilitas
38
Bagan 2.4 Tahapan Inovasi Pendataan oleh SIGAB di Kabupaten Kulon Progo
Advokasi ke
Input Data Update Data
Pemerintah
40
2.2.2.2 Hasil dan Dampak Pendataan
Pada awalnya, masyarakat masih merespon negatif terhadap program-program
untuk disabilitas. Sebagian warga masyarakat menganggap bahwa penyesuaian
layanan tidak perlu dilakukan bila hanya untuk menoleransi minoritas yang
mempunyai kelainan (disabilitas). Sementara itu, keluarga penyandang disabilitas
kurang merespon program-program tersebut karena menganggap bahwa itu
bukan solusi bagi disabilitas. Namun, setelah pendataan dilakukan maka ada
dampak yang positif pada perilaku disabilitas, keluarga disabilitas, dan masyarakat.
Misalnya, dahulu pernah ada kegiatan pameran lapangan kerja yang dikhususkan
untuk kelompok disabilitas (job fair). Kegiatan tersebut mendapat respon kurang
baik, banyak dari keluarga disabilitas yang tidak menanggapi dan menganggap itu
bukan solusi bagi disabilitas. Namun, saat ini sudah terlihat perubahan sikap dan
persepsi mereka yang secara perlahan mulai memperlihatkan dukungannya.
Berikut ini adalah beberapa hasil dan dampak langsung bagi disabilitas dari
inovasi pendataan disabilitas yang dilakukan di Kabupaten Kulon Progo:
1. Data 360 penyandang disabilitas yang sudah terpilah berdasarkan nama
dan alamat lengkap, usia, pendidikan terakhir, status kepemilikan identitas,
jenis disabilitas dan tingkat hambatan, serta penyebab hambatan.
2. Hasil data serta sistem pendataan inklusif yang dikembangkan yaitu Sistem
Informasi Desa (SID) diterapkan dalam program Rintisan Desa Inklusi (RINDI)
sebagai bagian dari upaya untuk membangun sistem perencanaan dan
pembangunan desa yang berperspektif inklusi dengan data dan informasi
yang akurat.
3. Data yang diperoleh menjadi rujukan data penerima Jamkesus dan
Jamkesda serta data penerimaan bantuan lainnya bagi disabilitas.
4. Pemerintah desa telah menjadikan hasil dari pendataan sebagai dasar
dalam penyusunan perencanaan program desa.
5. Dialokasikannya Dana Desa untuk disabilitas. Dana tersebut untuk
pengadaan alat bantu bagi disabilitas serta perbaikan sarana prasarana
pelayanan publik di desa (seperti kantor desa dan sebagainya) agar dapat
diakses oleh penyandang disabilitas.
6. Data digunakan untuk mendorong pemerintah desa dalam membuat
kebijakan yang lebih ramah disabilitas.
7. Pemerintah desa mengalokasikan anggaran untuk pertemuan rutin
Kelompok Disabilitas Desa sebagai dukungan untuk kelompok disabilitas
8. Salah satu Camat merespon hasil data dengan hasil data dengan
menginstruksikan puskesmas yang ada di kecamatan tersebut agar
2.2.2.4 Tantangan
Sebuah keberhasilan tidak selalu melewati jalan yang mulus, pasti tetap ada
tantangan yang muncul di tengah proses. Tantangan pertama yang dihadapi
42
pada proses pendataan ini berasal dari keluarga penyandang disabilitas. Sebagian
keluarga penyandang disabilitas tidak peduli terhadap pendataan. Sebagian lagi
tidak mau mengakui bahwa anggota keluarganya tergolong disabilitas karena
persepsi yang dianut oleh sebagian besar masyarakat disabilitas merupakan
kecacatan fisik, bukan dilihat dari aspek hambatan. Oleh karena itu, pada saat
proses pendataan butuh pendamping untuk meyakinkan dan membantu
pengisian kuesioner data yang tidak diisi dengan lengkap. Cara ini mengubah
paradigma masyarakat dalam memandang disabilitas
Tantangan kedua adalah pada saat mengintegrasikan data hasil pendataan
SIGAB ke dalam Sistem Informasi Desa (SID). Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
yang diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan
masih menyebut kata tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa dan sejenisnya
yang berdasarkan kecacatan. Hasil pendataan SIGAB berdasarkan hambatan
bukan kecacatan. Sementara itu, Sistem Informasi Desa masih berpedoman pada
UU Administrasi Kependudukan. Akibatnya, data yang ada pada Sistem Informasi
Desa belum sesuai dengan pendekatan SIGAB. Dalam hal ini, Combine (mitra
pengembang Sistem Informasi Desa) belum bersedia mengubah pendekatannya
karena yang menjadi rujukan Combine adalah regulasi yang ada, yaitu UU
Administrasi Kependudukan. Dengan kata lain, UU Administrasi Kependudukan
merupakan hambatan terbesar karena masih menggunakan pendekatan fisik
atau kecacatan. Perbedaan pendekatan ini menjadi hambatan tersendiri saat
tahap integrasi ke sistem pendataan dan informasi pemerintah serta tantangan
untuk rencana perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi. Harapannya,
Undang-Undang Kependudukan dapat mengadopsi nilai-nilai yang ada pada
CRPD dan Undang-Undang Disabilitas. Meski demikian, DPO terus berupaya
mengembangkan praktik baik pendataan disabilitas dengan terus melakukan
diskusi untuk perbaikan-perbaikan pelayanan publik bagi disabilitas.
Tantangan yang ketiga adalah rendahnya pemahaman aparatur pemerintah
terkait kedisabilitasan. Perlu diupayakan melakukan peningkatan kapasitas
serta pengkaderan SDM aparat desa terkait kedisabilitasan karena saat ini baru
orang-orang tertentu yang paham dan bisa berkontribusi langsung pada proses
pendataan, updating dan pengelolaan data disabilitas di desa.
2.2.2.5 Partisipasi
Kelompok Penyandang disabilitas terlibat mulai dari proses dan diskusi
akhir pengembangan instrumen dan pendataan sampai pada tindak lanjut
pascapendataan. Sementara pada perencanaan awalnya belum terlibat karena
Menjadi
enumerator
44
Namun, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo belum sepenuhnya menerima
inovasi, terutama instrumen pendataan yang digunakan oleh SIGAB karena
dianggap belum ada dasar hukumnya dalam bentuk peraturan perundang-
undangan. Sementara UU Administrasi Kependudukan, yang selama ini menjadi
pedoman pendataan penduduk masih menggunakan pendekatan berdasarkan
kecacatan fisik, bukan hambatan seperti yang digunakan SIGAB.
SIGAB sendiri pernah menawarkan inovasi pendataan ini untuk diadopsi oleh
Dinas Sosial Kabupaten Kulonprogro, tetapi belum diterima. Argumentasinya
karena pada tahun 2018, Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta berencana menyusun
instrumen pendataan disabilitas. Oleh karena itu, Dinas Sosial memutuskan untuk
menunggu instrumen pendataan dari Pemerintah Provinsi tersebut.
Inovasi pendataan ini sebenarnya dapat direplikasi dan dikembangkan ke
tingkat yang lebih tinggi. Untuk itu, perlu adanya upaya advokasi ke pemerintahan
yang lebih tinggi, yaitu kabupaten, provinsi, dan nasional.
Inovasi pendataan ini sejatinya dapat mengubah paradigma masyarakat dalam
memandang disabilitas bahwa fokus dalam melihat disabilitas bukan kecacatannya,
melainkan bagaimana cara mengatasi hambatan sosial dari disabilitas tersebut.
46
Kegiatan-kegiatan dan peran aktor pada pendataan tahap pertama ini yang
dilakukan KARINAKAS dapat dilihat pada bagan berikut:
Bagan 2.5. 1 Kegiatan Peran Aktor dalam Pendataan Tahap Pertama KARINAKAS
• Karinakas • Karinakas
• SHG • Dinas-dinas
Penyusunan Proses Tindak
Karinakas • Kader terkait
Instrumen Pendataan Lanjut
Posyandu • Dinas
• Aparat Desa Kesehatan
(RBM) • Dinas Sosial
Bila pada pendataan tahap pertama hanya melibatkan beberapa pihak saja
maka pada tahap kedua perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi, terjadi
kolaborasi yang relatif besar, baik dari pihak yang terlibat maupun pendanaannya.
Sebagian besar kegiatan pendataan dilakukan dan dibiayai oleh pemerintah
daerah, dalam hal ini Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo, dan menggunakan relawan
untuk melakukan pendataan langsung kepada
“Supaya difabel itu tidak disabilitas. KARINAKAS terlibat memfasilitasi diskusi
minder, tidak di rumah terus penyusunan instrumen pendataan serta menjadi
dan bisa berbaur dengan fasilitator dan narasumber pada saat sosialisasi
teman-temannya, sehingga kegiatan pendataan yang akan dilakukan oleh
tidak disingkirkan maka mereka Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo. Proses
didata dan diajak berkumpul, diskusi dan koordinasi perumusan instrumen
bersosialisasi”. pendataan kedua ini terjadi antara KARINAKAS,
Latmini, Sekretaris SHG/ Dinas Kesehatan (sebagai penanggung jawab
Kelompok Disabilitas penerbit Jaminan Kesehatan Difabel), dan Dinas
Sosial (yang bertanggung jawab pada pendataan
disabilitas) dan tim RBM Kabupaten.
Dari proses perluasan dan pengembangan pendataan ke yang lebih
tinggi, tampak bahwa pola kolaborasi telah berjalan dan relatif efisien dalam
pelaksanaannya. Kolaborasi yang muncul melibatkan banyak pihak melalui tim
48
RBM yang sudah menjalankan pekerjaannya dari kabupaten hingga desa. Biaya
yang dibutuhkan untuk pendataan meliputi satu kabupaten di Sukoharjo sekitar
Rp10 juta. Biaya ini terutama untuk untuk penggandaan instrumen pendataan dan
biaya transportasi enumerator/pendata.
Di lokasi dampingan KARINAKAS, pendataan dilakukan oleh kader posyandu
dan anggota SHG. Sementara di desa lain, pendataan pada perluasan dan
pengembangan ke yang lebih tinggi dilakukan oleh kader Posyandu dan
dikoordinasikan oleh TKSK di tingkat kecamatan. Dengan kata lain, seluruh proses
perluasan dan pengembangan pendataan, dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Sukoharjo, sedangkan KARINAKAS tidak lagi terlibat secara langsung. KARINAKAS
relatif hanya terlibat pada beberapa kegiatan pendukung, seperti diskusi reformulasi
instrumen, diskusi strategi serta pembagian peran dalam rencana pendataan
disabilitas yang dipimpin oleh istri Bupati Sukoharjo sebagai Ketua PKK dan Ketua
Tim RBM Kabupaten dan difasilitasi oleh KARINAKAS. Diskusi menyepakati agar
pendataan dapat dijalankan dengan biaya murah dan efektif, digunakan tenaga
yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, sebagai dua
motor utama pendataan. Tenaga yang dimaksud adalah Tenaga Kesejahteraan
Sosial Kecamatan (TKSK) yang terkoordinasi oleh Dinas Sosial dan kader Posyandu
yang berada di bawah koordinasi Dinas Kesehatan.
Proses pendataan awal ini berjalan cukup lancar karena dilakukan oleh
kader yang sudah mengenal lokasi dan warganya. Pada proses pemutakhiran,
memang ada beberapa hambatan terutama di desa-desa luar wilayah dampingan
KARINAKAS. Sebagai catatan, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo (khususnya
Bupati) sebelumnya sudah pernah mengeluarkan anggaran yang relatif besar yaitu
sekitar Rp700 juta untuk melakukan pendataan disabilitas yang dilakukan oleh
pihak ketiga. Namun, hasilnya tidak dapat digunakan.
Pengumpulan data disabilitas dilakukan melalui proses input data di tingkat
desa, semua data mentah dikumpulkan dan dikoordinir oleh Tim RBM Desa.
Hasilnya kemudian diinput di Dinas Sosial. Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo
sendiri telah mengembangkan mekanisme dan kompilasi data disabilitas yang
dikembangkan dari resource center yang diinisiasi oleh KARINAKAS pada program
sebelumnya. Saat itu juga sudah ada SDM yang dilatih dan memiliki kemampuan
mengolah data sekaligus IT yang adalah penyandang disabilitas yang sudah dilatih
dan diberdayakan dengan status sebagai PHL (Pekerja Harian Lepas) Dinas Sosial.
Saat ini hasil data disabilitas masih dikelola oleh Dinas Sosial, tetapi terbuka
untuk disampaikan kepada SKPD/OPD lain yang membutuhkan. Berikut adalah
tahapan pada perluasan dan pengembangan pendataan yang dilakukan:
Tim RBM desa/atau Input data dilakukan oleh Hasil olah data diserahkan
bidan desa atau TKSK Dinas Sosial, data dikelola ke OPD, Pemdes dalam
mengumpulkan form dan dikembangkan oleh bentuk rekap hard copy
pendataan di Dinas Sosial (di Dinas Sosial dan CD
center bases Dinas Sosial)
50
atau kematian akan otomatis termutakhirkan (updated). Berikut adalah aktor-aktor
yang berperan dalam pendataan disabilitas di Kabupaten Sukoharjo.
Nama Institusi/
No Aktor organisasi Peran
/nama orang
1 Pemerintah Dinas Sosial Melakukan perencanaan pendataan;
menjadi koordinator pelaksanaan
pendataan; mereformulasi instrumen
pendataan; mengerahkan SDM yang
berada di bawah koordinasinya, yaitu
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
(TKSK).
Dinas Kesehatan Melakukan perencanaan pendataan;
menjadi koordinator pelaksanaan
pendataan; mereformulasi instrumen
pendataan; mengerahkan SDM di
bawah koordinasinya yang ada di
desa (termasuk bidan desa, dan kader
posyandu)
Pemerintah Desa Memfasilitasi tempat dan konsumsi
koordinasi saat pendataan;
mensosialisasikan kegiatan pendataan
ke warga; dan memberi dukungan
dengan melibatkan Tim RBM Desa untuk
pendataan.
2 BAPPEDA Terlibat dalam diskusi sebagai bagian
dari Tim RBM Kabupaten
52
masyarakat saat ini menjadi lebih proaktif melapor ke TKSK atau aparat
desa jika ada perubahan kondisi atau bila ada penyandang disabilitas
yang belum terdata. Di sini terjadi perubahan mindset menjadi lebih positif
terhadap pendataan disabilitas.
5. Hasil pendataan awal (pendataan mandiri) memperkuat keinginan
pemerintah daerah untuk melakukan pendataan disabilitas secara
menyeluruh karena sudah merasakan manfaat data disabilitas yang
dihasilkan.
6. Bagi pemerintah daerah, data disabilitas yang ada memudahkan untuk
distribusi bantuan sosial (contoh PKH).
7. Penerimaan bantuan sosial lebih merata, tidak hanya penyandang
disabilitas berat tetapi juga meluas bagi masyarakat miskin dan
penyandang disabilitas lain yang sebelumnya belum masuk database dan
tidak memperoleh bantuan sosial.
8. OPD/Dinas lintas sektor memiliki data untuk menyusun anggaran
kebutuhan disabilitas dan perencanaan program dan kegiatan terkait
lainnya.
9. Penganggaran dan pemberian bantuan untuk disabilitas menjadi lebih
spesifik, khususnya bantuan alat bantu atau dukungan spesifik lainnya
sesuai dengan kedisabilitasannya. Bantuan dan penganggaran alat bantu
ini khususnya bagi Dinas Kesehatan dan Pemerintah desa.
10. Realokasi anggaran oleh beberapa SKPD, misalnya Dinas UKM dan
Perdagangan merealokasi anggaran kegiatan bimbingan teknis/
peningkatan kapasitas bagi warga menjadi program peningkatan
kapasitas/skill usaha bagi disabilitas.
11. Pendataan disabilitas memberi dampak pada perubahan pendekatan
pemenuhan hak dan pengurangan hambatan bagi kelompok disabilitas
bagi pemerintah desa hingga pemerintah kabupaten.
12. Adanya data memudahkan Dinas Sosial kabupaten untuk memilih
perwakilan atau representasi disabilitas yang akan dilatih menjadi lebih
merata saat ada tawaran program pelatihan atau program peningkatan
kapasitas lain dari Dinas Sosial provinsi.
13. Sejak ada program data disabilitas di Kabupaten Sukoharjo, banyak
kegiatan dari Dinas Sosial provinsi yang menyasar atau mengambil sasaran
disabilitas di Sukoharjo.
14. Selain digunakan oleh Dinas Sosial, data juga digunakan oleh 4 desa
dampingan KARINAKAS.
54
Gambar 2.6 Penyerahan Kartu
DISABILITAS oleh Bupati
Sukoharjo kepada Perwakilan
Disabilitas yang Sudah Didata
2.2.3.4 Tantangan
Faktor yang menjadi tantangan inovasi pendataan yang dilakukan oleh
KARINAKAS adalah tertutupnya informasi dari keluarga disabilitas sehingga
memerlukan kerja keras untuk meyakinkannya.
Dari sisi penyandang disabilitas, keterbatasan
kapasitas mengakibatkan penyandang disabilitas
belum bisa banyak berkontribusi pada proses
pendataan dan advokasi pascapendataan,
khususnya saat upaya advokasi ke aparatur
pemerintah daerah.
56
disabilitas menjadi bagian dari Tim RBM baik itu desa, kecamatan atau kabupaten
yang merupakan penggerak utama pendataan, terutama pada fase perluasan dan
pengembangan pendataan.
58
pada bagan berikut.
60
Bagan 2.9 Alur Pendataan di Mallari Setelah Melakukan Rapid Assessment
62
Gambar 2.11 Bedah Rumah
Disabilitas Netra di Desa Mallari
(Sebelum)
2.2.4.4 Tantangan
Relatif tidak ada tantangan yang signifikan sejak awal melaksanakan
pendataan, kecuali sebagian keluarga penyandang disabilitas enggan didata dan
tidak mengakui atau cenderrung menutupi bahwa memiliki anak atau anggota
keluarga yang disabilitas karena malu atau menganggap itu sebagai aib.
Akibatnya, sebagian penyandang disabilitas tidak terdata. Hambatan lain
adalah lokasi rumah penyandang disabilitas yang jauh dari jangkauan relawan
sehingga memerlukan waktu untuk melakukan pendataan.
Selain itu, tantangan lain adalah relatif lamanya proses verifikasi data lapangan.
64
Misalnya, karena kesalahan isi kuesioner dari relawan pendata sendiri, atau ada
beberapa kuesioner yang belum diisi lengkap.
66
disabilitas. Pada tahun 2015 itu juga, dikembangkan Sistem Administrasi dan
Informasi Kelurahan (SAIK) dengan dukungan Program Peduli dan Lembaga
Combine Institute sebagai pengembang (developer) aplikasi SAID & SAIK.
Pada saat penyusunan instrumen awal, pihak Pemda tidak terlibat. Namun,
setelah Tim Pendataan melakukan ekspos ke Pemda, barulah OPD memberikan
masukan terhadap instrumen yang disusun dan melakukan konfirmasi dan
klarifikasi hasil pendataan yang disampaikan oleh BAHTERA.
Setelah pendataan dilakukan, data ini kemudian diadvokasi sebagai bahan
pembuatan kebijakan. Data juga diadopsi oleh pemerintah daerah dalam bentuk
program. Selanjutnya, model pendataan dilakukan perluasan dan pengembangan
lebih lanjut.
Dalam proses pendataan disabilitas yang dilakukan oleh BAHTERA, pihak
Dinas Sosial tidak begitu mengetahui detailnya. Demikian juga halnya dengan
kelompok disabilitas karena pendataan dilakukan oleh tim desa. Perumusannya
instrument pendataan, dilakukan dengan memadukan instrumen milik BAHTERA
dan pemerintah. Instrumen pendataan yang dibuat oleh BAHTERA sudah
memperhatikan kebutuhan lokal Sumba Barat. Sudah ada 6 kecamatan di 11 Desa
kurang lebih untuk keseluruhan tahapannya membutuhkan waktu 5 bulan dari
mulai persiapan, pelatihan SID, implementasi dan launching. Gambaran alur proses
pendataan dapat dilihat pada gambar berikut.
Data dimanfaatkan
Mendesain Uji coba Instrumen
untuk kebijakan
Instrumen Pendataan Pendataan
(buy-in)
Update pendataan
Tahap II
Data diintegrasikan
ke dalam SAID
Tim pendataan memainkan peranan penting dalam inovasi pendataan ini. Tim
ini terbentuk melalui proses membangun kesepahaman bersama pada saat acara
sosialisasi tentang pendataan disabilitas. Peserta yang hadir pada acara sosialisasi
itu kemudian berkomitmen dan bergabung untuk bersama-sama melaksanakan
pendataan disabilitas dengan cara mengajukan diri untuk menjadi bagian dari
tim. Peserta yang hadir terdiri dari unsur warga termasuk penyandang disabilitas.
Kemudian, tahun 2016 membentuk dan berhimpun dalam forum disabilitas
tingkat desa, kader desa yang direkrut oleh pemerintah desa untuk membantu
program kerja desa, memiliki surat penugasan dari Kepala Desa, aparatur desa
serta pegiat BAHTERA. Keterlibatan unsur pemerintah desa sebagai tim pendataan
dimaksudkan agar tumbuh rasa memiliki dan perhatian dari desa terhadap proses
pendataan dan hasilnya.
Proses pendataan juga diharapkan menjadi bagian dari desa dan dapat
68
berkelanjutan. Selain itu, pemahaman tentang pentingnya pendataan disabilitas
yang dilakukan oleh warga setempat secara sungguh-sungguh akan menentukan
kualitas data yang akan dihasilkan. Jika pendataan dilakukan bukan oleh warga
setempat belum tentu dapat menggali data yang valid dan mendalam karena
tidak mengetahui situasi penyandang disabilitas yang akan didata serta belum
tentu mau mengungkap fakta kondisi sosial dan ekonomi penyandang disabilitas
setempat. Sebaliknya, jika pendataan dilakukan oleh warga setempat kualitas data
yang diperoleh lebih valid karena adanya kepercayaan (trust) kepada tim pendata
yang merupakan warga setempat.
Gambaran proses pembentukan tim pendataan di tingkat desa dapat dilihat
pada bagan berikut.
Pendataan awal dilakukan pada bulan Juni-Juli 2015 yang menyasar seluruh
rumah tangga di desa. Pendataan berikutnya yang merupakan update dilakukan
pada bulan Oktober-November 2016 dan bulan Juli-Agustus 2017 yang dilakukan
khusus pada keluarga penyandang disabilitas. Ada penambahan dan pengurangan
hasil dari update pendataan yang dilakukan. Penambahan jumlah disabilitas karena
ada anggota keluarga yang mengalami kecelakaan sehingga menjadi disabilitas,
atau karena tidak terdata pada pendataan sebelumnya. Sementara pengurangan
jumlah disabilitas karena meninggal.
Pendataan dilakukan di 11 desa dampingan yang berlokasi di enam kecamatan,
yaitu sebagai berikut.
70
dan berpusat di masing-masing desa dengan sistem SAID.
2. Dinas Kesehatan berkomitmen dalam pemberian KIS untuk disabilitas
lebih diutamakan. Data yang dihasilkan menunjukkan 355 orang sudah
mendapatkan KIS, sedangkan sejumlah 113 disabilitas masih belum
mendapatkan (tahun 2016).
3. Teridentifikasinya warga, khususnya penyandang disabilitas yang tidak
memiliki kelengkapan kartu identitas (seperti KTP, KK, dan Akta Kelahiran)
sehingga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat melakukan
intervensi untuk penyandang disabilitas agar memiliki dokumen
kependudukan.
4. Data digunakan oleh Bappeda sebagai acuan bagi SKPD dalam merumuskan
program/kegiatan, khususnya memperjelas indikator sasaran disabilitas
yang menjadi tugas pokok fungsinya.
5. Hasil pendataan digunakan oleh KPU untuk validasi data yang ada di
desa, terutama untuk menghindari pemilih ganda, dan dimanfaatkan oleh
panitia pemilihan kepala desa sebagai data pendamping dari data pemilih
yang ada.
6. Ditetapkannya Peraturan Desa tentang Disabilitas di 11 desa lokasi
pendataan dan dialokasikannya Dana Desa untuk program dan sasaran
penyandang disabilitas yang telah tervalidasi.
7. Diperolehnya data jumlah dan kondisi disabilitas di desa yang nyata dan
mutakhir.
8. Pihak desa turut serta menjadi bagian dari “Kalau ingin desa kita maju,
proses pendataan disabilitas sehingga dapat kita harus membangun dari
memastikan keberlanjutan pendataan menjadi kita sendiri, termasuk dengan
bagian dari program desa. cara menyumbangkan data”
9. Penyandang disabilitas mulai terlibat dalam
musrenbang desa dan ikut memberikan suara Daud Katago, Ketua Forum
pada pemilihan kepala daerah dan kepala desa. Ayi Ate.
10. Hasil pendataan digunakan oleh Dinas Sosial
sebagai data pendamping dari data yang
dimilikinya, khususnya untuk memastikan sasaran penerima manfaat dari
program/kegiatan yang ada di Dinas Sosial sehingga penyandang disabilitas
mendapatkan manfaat langsung berupa bantuan sosial, pendidikan,
dan pelatihan. Pelatihan yang pernah diterima oleh warga penyandang
disabilitas adalah pelatihan perbengkelan, pelatihan menenun, pelatihan
pengolahan makanan, dan lain-lain. Sementara pada kegiatan sosial, warga
72
Pihak Pendukung Bentuk Dukungan
Pemerintah • Komitmen dari Kepala Daerah untuk penyandang disabilitas.
(Kepala Daerah)
• Mendukung perlindungan bagi disabilitas dengan
Bappeda memasukkannya dalam RPJMD, yakni pembangunan
kesejahteraan sosial.
Dinas
• Menunjukkan komitmen dengan rencana menerbitkan
Kesehatan Peraturan Bupati tentang Perlindungan bagi Penyandang
Disabilitas
Dinas Sosial
• Menyusun program dan kegiatan bagi disabilitas di masing-
masing OPD dan melakukan perbaikan layanan bagi
penyandang disabilitas
NGO Bahtera Melakukan pendampingan dan pemberdayaan kepada
penyandang disabilitas melalui program yang dilaksanakan
dan pegiatnya yang bekerja secara sungguh-sungguh untuk
mendampingi penyandang disabilitas.
Keluarga Mulai terbuka dan mendukung, meski awalnya enggan terlibat.
2.2.5.4 Tantangan
Pada awalnya sempat muncul keraguan dari warga masyarakat tentang
pendataan karena adanya persepsi bahwa data-data yang dikumpulkan tentang
kondisi warga miskin dan penyandang disabilitas hanya komoditas semata.
Selain itu, selama ini pendataan dipersepsikan untuk mendapatkan bantuan
materi/karitatif dari pemerintah. Namun, setelah dijelaskan maksud dan tujuan
dilakukannya pendataan oleh BAHTERA, persepsi masyarakat mulai berubah dan
relatif terbuka terhadap tim pendataan.
Tantangan berikutnya adalah terbatasnya kapasitas, pengetahuan dan
keterampilan Tim Pendata mengenai proses pendataan dan aplikasi SAID. Tidak
semua anggota tim pendataan memiliki pemahaman dan kecakapan yang sama
dalam melaksanakan proses pendataan, tetapi di setiap desa memiliki anggota tim
yang memiliki kapasitas untuk mendata. Hal ini mengakibatkan konsolidasi data
memerlukan waktu yang lebih panjang. Transfer pengetahuan antarwarga yang
pernah dilatih juga belum merata. Terkadang BAHTERA harus mengulang hal-hal
yang pernah dilatihkan karena desa yang awalnya memiliki SDM yang mampu
mengoperasikan SAID, kemudian pindah dan belum ada personil lain yang mampu
melakukan updating data. Selain itu, sarana dan prasarana (perangkat keras dan
lunak) untuk mendukung sistem SAID ini masih terbatas, terutama ketersediaan
komputer dan supply listrik, khususnya di beberapa desa belum dialiri listrik.
74
dan Pemerintah Kabupaten menyediakan anggarannya. Sebenarnya Dinas
Sosial telah menerapkan sistem Basis Data Terpadu (BDT) yang berlaku secara
nasional. Namun, karena melihat SAID bermanfaat maka kedua sistem itu akan
diintegrasikan. Melalui integrasi ini diharapkan 63 desa akan memiliki SAID yang
terhubung langsung dengan basis data yang ada di kabupaten dan memiliki
hubungan (link) dengan OPD-OPD Kabupaten yang bermanfaat ketika OPD
hendak mengembangkan program atau kegiatan. Upaya ini juga didukung oleh
Bupati pada acara sosialisasi Program Peduli dan workshop stakeholder. Bupati
meminta secara langsung kepada pemerintah desa mengalokasikan dana desa
untuk kebutuhan penyandang disabilitas, termasuk keberlanjutan pendataan
disabilitas.
Pada 2017 juga dilaksanakan pelatihan SAID di dua kecamatan, yaitu Kecamatan
Loli dan Waikabubak yang biayanya dianggarkan melalui APBD Perubahan 2017.
Kemudian, tahun berikutnya akan diimplementasikan SAID di seluruh desa di dua
kecamatan tersebut. Sebelumnya, Kecamatan Waikabubak juga telah melakukan
pelatihan SAID bagi desa-desa di wilayahnya dengan pembiayaan dari alokasi
anggaran kecamatan.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMDES) Kabupaten pada tahun
2018 juga turut ambil bagian dengan merencanakan pelatihan bagi pendamping
desa di tingkat kecamatan agar memiliki kemampuan mengoperasikan SAID bagi
desa yang telah menerapkannya. Desa yang belum menerapkan SAID, BPMDES
menginstruksikan kepada pendamping desa untuk mendorong Pemerintah
desa setempat melakukan pendataan, dan mengimplementasikan SAID. Melalui
penggunaan SAID, diharapkan semua desa memiliki basis data dan informasi
administrasi desa yang lengkap. Pendampingan oleh pendamping desa diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan perangkat desa, yang saat ini dianggap masih
kurang mampu dalam mengoperasikan komputer. Jadi, selain membangun sistem
administrasi dan informasi, sekaligus membangun kapasitas perangkat desa dalam
menjalankan sistem tersebut.
Namun demikian, komitmen pemerintah dalam mengembangkan inovasi SAID
perlu didukung dengan regulasi yang lebih kuat. Saat ini, telah terbit Peraturan
Desa tentang penyandang disabilitas di sebelas desa yang telah menerapkan SAID,
tetapi di tingkat kabupaten belum ada regulasi yang memayunginya. Peraturan
Bupati tentang penyandang disabilitas baru akan ditetapkan pada November
2017. Regulasi ini akan semakin memperkuat komitmen tersebut, selain juga dapat
memperkuat justifikasi bagi Pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya.
Pihak desa akan terus didorong oleh forum disabilitas di tingkat desa untuk terus
76
Gambar 2.13 Kartu BPJS Untuk disabilitas yang baru terdata di Lombok Barat
instrumen/kuesioner
pendataan maka pendata/
surveyor langsung terjun
ke tiap desa sembari
menunjukkan rekomendasi
dari Dinas Sosial untuk
melakukan pendataan disabilitas. Kepala desa kemudian menunjuk kepala
dusun untuk menemani surveyor ke rumah-rumah penyandang disabilitas di
desa tersebut. Metode pendataan dengan cara langsung mendatangi rumah
para penyandang disabilitas dilakukan agar data yang diperoleh valid. Informasi
tentang keberadaan disabilitas di beberapa dusun sebagian besar diperoleh dari
informasi warga, kemudian ditelusuri dan didatangi oleh surveyor.
Hasil pendataan disabilitas ini kemudian disampaikan kepada pemerintah
kabupaten terutama OPD-OPD terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan
Dinas Pendidikan dilanjutkan dengan audiensi kepada OPD-OPD terkait. Hasil
pendataan mengidentifikasi jumlah penyandang disabilitas sebanyak 1.073 orang
yang terdiri dari 616 laki-laki dan 457 perempuan.
Proses yang dilakukan adalah modifikasi dari kuesioner pendataan Dinas Sosial
yang sudah ada, kemudian direvisi sesuai kebutuhan. Metode pendataannya
yaitu langsung mencari dari rumah ke rumah disabilitas sehingga data yang
terima cukup valid. Keterlibatan semua unsur membuat pendataan lebih mudah
dilakukan. Salah satunya adalah pemerintah desa, ketika kelompok disabilitas
mendata, pemerintah desa turut membantu menunjukkan rumah disabilitas.
Selain itu, strategi yang digunakan untuk melakukan pendataan adalah dibuat 8
titik simpul dan di masing-masing titik ada 4 desa sehingga pendataan bertambah
78
di 2 kecamatan Sigerongan dan Parampuan yang berada di luar wilayah intervensi
PATTIRO.
Data yang dihasilkan dari pendataan ini dipakai Dinas Sosial untuk menyalurkan
bantuan sosial bagi penyandang disabilitas dan masalah PMKS pada umumnya.
Hal ini dilakukan dalam rangka mengefektifkan bantuan sosial ke penyandang
disabilitas sehingga semua bantuan yang diberikan menyeluruh dan menyentuh
semua lapisan masyarakat.
Bagan 2.12 Alur Pemakaian Data oleh Dinas Sosial dalam Penyaluran Bantuan
Sosial
Inovasi ini dilakukan dalam rangka memecahkan masalah data disabilitas yang
selama tidak lengkap, jumlah mereka berapa banyak belum jelas karena statusnya
hanya angka bukan by name by adress, apa kebutuhan mereka, dan keahlian apa
yang mereka miliki untuk menunjang pekerjaannya.
Workshop surveyor,
Memberikan hasil final
Koordinasi dengan dilanjutkan dengan
data ke Dinas Sosial,
Dinas Sosial pentaan yang dilakukan
Dinkes dan Dukcapil
secara kolektif
Kerja sama para pihak dalam pendataan ini terbukti bermanfaat, seperti ketika
dilakukan pendataan, pemerintah desa turut membantu dengan menunjukkan
rumah-rumah penyandang disabilitas. Selain pemerintah desa, berikut adalah
beberapa aktor yang berperan dalam inovasi pendataan disabilitas di Kabupaten
Lombok Barat.
80
2 Kelompok/ Kelompok Mendata disabilitas secara langsung,
organisasi disabilitas sehingga data yang diperoleh lebih valid.
disabilitas PPDI Memfasilitasi penyandang disabilitas
untuk menyampaikan aspirasi dan
kebutuhannya.
3 Penyandang Fauzan Mendata disabilitas secara langsung
disabilitas Azis sehingga data yang diperoleh lebih valid
82
seorang disabilitas netra bernama Juhairiyah dari Kecamatan Labuapi,
sebelum didata dan diajak kelompok disabilitas untuk beraktivitas dalam
kelompok, dia hampir tidak pernah
keluar rumah dan sempat mengalami “Data disabilitas digunakan
depresi. Namun, kemudian menjadi salah sebagai dasar untuk memberikan
satu anggota yang aktif menidak lanjuti pelayanan kepada penyandang
temuan pendataan. disabilitas. Salah satunya adalah
pemberian Kartu Indonesia Sehat
2.2.6.3 Faktor Pendukung (KIS)”
Beberapa faktor pendukung terwujudnya Kholid, Ketua Pusat
inovasi pendataan disabilitas antara lain: Pengembangan Potensi
• Pendataan disabilitas ini sesuai dengan Disabilitas (P3D) Lombok Barat.
program Pemerintah Daerah, khususnya
Dinas Sosial.
• Kuatnya komitmen, motivasi dan semangat dari kelompok disabilitas di
dua kecamatan dampingan.
• Adanya aparatur yang reformis di OPD-OPD.
• Dukungan dari keluarga disabilitas yang membantu dan memfasilitasi
keluarganya yang terlibat dalam kegiatan pendataan.
2.2.6.4 Tantangan
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pendataan disabilitas ini antara lain:
a. Jumlah dan kemampuan enumerator yang terbatas, termasuk sebagian
enumerator yang belum memiliki pengalaman di lapangan sehingga
memerlukan pendampingan aktif selama melaksanakan tugas pendataan
dan mengakibatkan waktu yang lebih panjang dalam melaksanakan
pendataan.
b. Adanya prioritas yang ditetapkan dalam pelaksanaan Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1 untuk melibatkan penyandang disabilitas, terutama
disabilitas perempuan. Sementara itu, ada tantangan kondisi geografis
yang menyulitkan surveyor, terutama bagi surveyor yang merupakan
penyandang disabilitas.
c. Mutasi pejabat atau peralihan jabatan di pemerintahan daerah
mengakibatkan upaya untuk mendorong kebijakan mengenai pemenuhan
hak disabilitas terhambat.
1. Rekapitulasi data
1. Audiensi dengan 2. Input data
Dinkes 3. Menyerahkan
2. Advokasi jaminan data kepada OPD
kesehatan terkait
84
beberapa OPD sebagai acuan untuk menentukan kebijakan. Implikasinya, hak-hak
penyandang disabilitas dapat terpenuhi.
Meskipun sudah terbit UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
yang di dalamnya memuat ketentuan tentang hak pendataan bagi disabilitas
membuka peluang mekanisme pendataan disabilitas ini untuk dikembangkan
secara nasional, tetapi hingga saat ini belum ada rencana spesifik untuk perluasan
dan mengembangkan inovasi pendataan ini baik oleh pemerintah maupun
PATTIRO.
Apabila inovasi pendataan yang dilakukan ini ingin dikembangkan ke
skala nasional maka dapat dikembangkan dengan menyertakan kelompok
penyandang disabilitas. Hal itu terbukti karena kelompok penyandang disabilitas
dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan pendataan. Untuk sampai ke sana,
dibutuhkan wadah bagi para penyandang disabilitas sehingga komunikasi dengan
Pemerintah menjadi mudah.
86
Bagan 3.1 Proses, Pendekatan, dan Strategi
1. Kesehatan
Peningkatan 2. Pendidikan
Kualitas 3. Kesejahteraan
Layanan Publik Sosial
4. Adminduk
Bagaimana Data yang
Pengaruh Kredibel
Pendataan? Peningkatan Program/
Proses kegiatan yang
Perencanaan terencana dan
dan teranggarkan
Penganggaran
1. Kartu Disabilitas
Pemenuhan 2. Layanan Afirmasi
Langsung Hak Disabilitas 3. Program/Kegiatan
secara 4. Disabilitas Terlibat dlm
Langsung proses pembangunan
Inovasi
Pendataan
1. Data dimanfaatkan dan
Tidak Sinkronisasi ditindaklanjuti oleh OPD
Langsung dan Penyela- dan stakeholder lain.
rasan Data 2. Kebijakan dan anggaran
bagi disabilitas
Inovasi pendataan ini juga telah membuka mata para pemangku kepentingan
bahwa pendataan disabilitas bukan sekadar kegiatan mengumpulkan data, tetapi
lebih dari itu memperlihatkan adanya sekelompok warga (penyandang disabilitas)
yang tidak memperoleh pelayanan publik karena data yang ada selama ini tidak
memperlihatkan keberadaannya, serta menekankan pentingnya pelibatan para
pihak dan pembagian peran antar pihak tersebut dalam rangka menindaklanjuti
data yang dihasilkan untuk memastikan warga penyandang disabilitas dapat
terpenuhi hak-haknya.
Secara umum, kegiatan pendataan disabilitas yang dilakukan oleh Mitra
Peduli dapat dikatakan memberikan kontribusi terhadap pembangunan inklusif
di wilayahnya masing-masing. Hal ini setidaknya terlihat dari digunakannya data
yang dihasilkan sebagai bahan dalam penyusunan rencana program, kegiatan
dan anggaran dari pemerintah kabupaten/kota (dalam hal ini OPD terkait, seperti
Dinas Sosial) dan perencanaan dan penganggaran pemerintah desa.
Selain itu, data disabilitas juga digunakan secara langsung oleh OPD dan
unit layanan untuk memastikan pelayanan publik dapat dinikmati oleh semua
kalangan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas melalui perbaikan sarana
dan prasarana fisik, seperti handrail, ramp, dan perbaikan sikap petugas pelayanan
dalam melayani penyandang disabilitas. Secara khusus, praktik pendataan yang
dilakukan oleh Mitra Peduli memiliki mekanisme, konteks sosial, dan pemerintahan
yang relatif berbeda satu sama lain sehingga tingkat kontribusi yang diberikan
terhadap pembangunan inklusif juga beragam.
88
3.1.3 Peran Aktor dalam Kohesi Sosial
Peran aktor dalam pendataan memperlihatkan siapa melakukan apa. Peran
aktor ini menunjukkan pentingnya kepedulian dan berbagi tanggung jawab
antaraktor. Peran aktor dan besarnya peran digambarkan pada diagram berikut ini.
Pemerintah
CSO/
Pendamping
DPO/
Disabilitas Masyarakat
Peran Aktor
Pendataan
Disabilitas
Individu
Donor
Gambar peran aktor di atas memperlihatkan para aktor yang terlibat dalam
kegiatan pendataan memiliki hubungan satu sama lain. Pemerintah dan DPO pada
diagram di atas memiliki peran besar dalam proses pendataan. Aktor lain yang
memiliki peran besar adalah CSO dan pendamping. Inisiatif pendataan disabilitas
dipengaruhi oleh CSO yang memiliki kepedulian pada aspek pendataan disabilitas
maupun upaya melakukan pemenuhan hak disabilitas. Sementara peran yang
dijalankan oleh masyarakat, lembaga donor, dan individu penyandang disabilitas
menjadi pendukung penting dalam inovasi pendataan disabilitas ini.
Forum Komunikasi
Pendukung
yang Aktif
90
menjadi hambatan tersendiri untuk pelibatan disabilitas dalam proses pendataan.
Aksesibilitas saat melakukan pendataan, Apalagi hampir semua pendataan
dilakukan di wilayah pedesaan. Insfrastruktur dan aksesibilitas jalan termasuk
hambatan yang cukup berat khususnya pada wilayah yang pendataannya sudah
melibatkan disabilitas secara langsung seperti di Lombok Barat.
Stigma negatif saat penyandang disabilitas melakukan pendataan dilapangan
disangka sebagai peminta sumbangan sehingga apabila kelompok disabilitas yang
mulai aktif terlibat tidak dikuatkan akan melemahkan kepercayaan diri disabilitas
tersebut. Namun, seiring dengan perkembangan proses pendataan dan upaya
peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh CSO pendamping maka hambatan ini
mulai dapat teratasi.
Tantangan lainnya adalah terbatasnya sosialisasi atas kebijakan dan afirmasi
kebijakan bagi penyandang disabilitas sehingga sebagian besar penyandang
disabilitas di wilayah kepadatan penduduk miskin tinggi tidak memahami hak-
haknya, termasuk hak pendataan (hak ini harus dipenuhi oleh pemerintah). Berikut
adalah tantangan dalam proses pendataan disabilitas.
Akses Informasi
Tantangan
92
upaya dari struktur sosial yang inklusif dimana para aktor saling berinteraksi untuk
melakukan tindakan bersama (melakukan pendataan). Proses interaksi para aktor
itu dapat terwujud, karena adanya sejumlah faktor pendukung, meski pada sisi
lain ada pula hambatan dalam implementasinya. Tindakan bersama ini merupakan
salah satu tingkatan partisipasi yang relatif tinggi menurut Wilcox (1994). Wilcox
membagi tingkatan partisipasi dalam lima tingkat, yaitu 1) pemberian informasi;
2) konsultasi; 3) pembuatan keputusan bersama; 4) melakukan tindakan bersama;
dan 5) mendukung aktivitas yang muncul atas swakarsa masyarakat.
Berdasarkan tingkatan partisipasi tersebut, maka praktik baik pendataan
disabilitas yang dilakukan di enam lokasi dapat digambarkan sebagai berikut;
1 Pemberian Informasi √ √ √ √ √ √
2 Konsultasi √ √ √ √ √ √
3 Pembuatan Keputusan √ √ √ χ √ √
Bersama
4 Melakukan Tindakan √ √ √ √ √ √
Bersama
5 Mendukung Aktifitas χ χ √ χ Χ χ
yang Muncul/ Swakarsa
Masyarakat
Secara umum, praktik baik pendataan disabilitas di enam lokasi telah melewati
tingkat pemberian informasi dan konsultasi kepada pemerintah daerah (tingkat
pertama dan kedua), serta tingkat ketiga dan keempat yaitu partisipasi dalam
pembuatan keputusan bersama dan melakukan tindakan bersama. Khusus
untuk praktik pendataan disabilitas di Bone yang dilakukan YASMIB bersama
LPP Bone belum dapat melewati tingkatan partisipasi ketiga (pembuatan
keputusan bersama) mengingat pembuatan keputusan bersama tersebut tidak
langsung dilakukan oleh DPO/Disabilitas tetapi dilakukan oleh LPP Bone (yang
bukan merupakan DPO) dengan Pemerintah Daerah. Hasil keputusan di tingkat
kabupaten ini kemudian dilanjutkan di tingkat Pemerintah Desa, yang juga tidak
melibatkan DPO. Namun pada pelaksanaan pendataan pendataan dilakukan secara
bersama antara masyarakat, DPO dan Pemerintah Desa. Pelaksanaan pendataan ini
94
instrumen sampai melakukan pendataan bahkan melakukan kegiatan tindak
lanjut hasil pendataan (advokasi). Model 1 ini menggambarkan interaksi yang
intens antara DPO dan Pemerintah daerah dalam tahapan pendataan.
Model 1:
DPO/ Model ini menekankan
Model 1 Disabilitas interaksi intens dari
DPO kepada pemerintah
dalam membangun
komitmen pendataan. Dari
komitmen yang dibangun
Forum dilanjutkan rangkaian/
Komunikasi tahapan pendataan dari
assesment, membangun
instrumen sampai
pelaksanaan pendataan
Pemerintah dan tindaklanjut dari
Daerah pelaksanaan pendataan.
Model 1:
Model ini cenderung mudah
DPO/ diapdosi dan dikembangkan
Model 2 Disabilitas karena skala yang kecil dan
tidak memerlukan proses
yang panjang. Pemerintah
desa dengan kewenangannya
dapat melakukan pendataan
Pendamping partisipatif. Peran DPO lebih
Desa banyak pada awal inisiasi namun
setelah tahap pendataan selesai.
Pemerintah desa dapat setiap
saat melakukan update kondisi
disabilitas di desanya. Desa
Pemerintah
dampingan DPO menjadi model
Desa yang dikembangkan bersama.
96
desa. Faktor pendukung lainnya adalah adanya pendamping/fasilitator Desa.
Pendamping Desa memiliki peran penting dalam memfasilitasi berbagai dinamika
lapangan, proses pemberdayaan dan upaya mendorong pemahaman pentingnya
pendataan disabilitas dilakukan di desa. Sebagai model pembelajaran, model 2 ini
relatif mudah dilakukan dan tidak memerlukan proses yang panjang. Disamping
karena skala yang kecil, Desa juga telah memiliki kewenangan skala lokal dalam
melakukan perencanaan dan pembangunan.
Model 3:
Model ini cenderung mudah
DPO/ diadopsi dan dikembangkan
Model 3 Disabilitas karena skala yang kecil dan
tidak memerlukan proses
yang panjang. Pemerintah
desa dengan kewenangannya
dapat melakukan pendataan
Forum partisipatif. Peran DPO lebih
relawan/kader banyak pada awal inisiasi namun
setelah tahap pendataan selesai.
Pemerintah desa dapat setiap
NGO/ saat melakukan update kondisi
Kelompok disabilitas di desanya. Desa
Masyarakat dampingan DPO menjadi model
yang dikembangkan bersama.
lain
98
sarana dan prasarana yang tersedia atau dibutuhkan para penyandang disabilitas.
Selanjutnya, dilakukan analisis dan diagnosis melalui konsultasi dengan para
stakeholders melalui workshop, diskusi terfokus (FGD) dengan para informan kunci,
organisasi disabilitas, pemerintah daerah dan desa, Puskesmas, Dinas Sosial dan
Dinas Pendidikan dalam bentuk konsultasi dan menyamakan data serta informasi.
Setelah semua informasi dan data tersedia, kemudian disusun rencana tindakan
(action plan) untuk penguatan kapasitas masyarakat dan pelaksanaan pendataan
disabilitas.
Setelah dilakukan pendataan disabilitas, para pihak dapat melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap proses penguatan masyarakat peduli penyandang disabilitas
sehingga diperoleh output berupa terdatanya penyandang disabilitas mulai
tingkat desa/kelurahan beserta ragam disabilitasnya. Data disabilitas ini kemudian
disampaikan kepada pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti/ advokasi.
Tantangan dalam mendorong keberlanjutan proses pendataan disabilitas
selain fasilitasi dan proses pendampingan adalah kelembagaan. Pembentukan
kelembagaan diharapkan mampu menguatkan peran dan fungsi para pihak
yang terkait dengan pendataan. Dukungan atas kelembagaan mengisyaratkan
juga aspek lain yakni informasi, pelayanan, mediasi dan proses pendataan sendiri.
Kelembagaan pendataan disabilitas bisa dibentuk dalam unit tersendiri atau
menambahkan tugas fungsi dari unit/kelembagaan yang sudah ada. Pendalaman
atas peran, tugas dan fungsi dari kelembagaan yang sudah ada harus diperjelas
dalam kebijakan atau standar prosedur operasi agar menjadi bahan pijakan dalam
membuat perencanaan maupun pelaksanaan pendataan disabilitas.
Dalam konteks pendataan disabilitas, penting untuk mengoptimalkan
kelembagaan yang sudah ada dari sisi pemerintah. Misalnya, di tingkat nasional
Kementerian Sosial, Bappenas dan BPS dapat melakukan sinergi perencanaan
dan pelaksanaan pendataan, sedangkan di tingkat daerah dapat dilakukan sinergi
melalui Bappeda, Dinas Sosial, BPS dan OPD sektoral yang akan menggunakan
hasil pendataan tersebut. Dari sisi masyarakat sipil seperti DPO, NGO dan kelompok
masyarakat sipil yang lain dapat menginisiasi upaya inovasi dan penguatan
partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam melakukan pendataan disabilitas di
daerahnya.
Bagian akhir dalam rangka memperkuat pemanfaatan data hasil pendataan
disabilitas adalah pembaruan data (updating). Kebaruan dalam metode dan hasil
pendataan (yang biasanya relatif berbeda dari yang dimiliki pemerintah) menjadikan
kegiatan pendataan ini sebagai inovasi yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah dan unit layanan untuk menyusun perencanaan dan penganggaran
Konsultasi Stakeholder,
Perencanaan / dan Rapid Assesment/
Workshop, FGD antara
Pengembangan Survey/ Mapping
Key Informan, DPO/LSM
Instrumen dan Identifikasi
Disabilitas, Pemda dan
Pendataan Program dan Sarana
Tahap I Penyedia Layanan
Prasarana
Action Plan
Penguatan Kapasitas Masyarakat &
Recofusing Pelayanan dan Pendataan
Tahap II Disabilitas
Konsultasi/Fasilitasi Pendampingan
& Pembentukan Kelembagaan
Output:
Terlayaninya Pasien Disabilitas
Berkurangnya Kambuhan OGJ
Teranggarkannya Perawatan Disabilitas dan
Kepemilikan Kursi Roda
Terdatanya Penyandang Disabilitas
Inovasi-inovasi (sesuaikan dengan temuan)
Outcome:
Digunakannya/Terlengkapinya data
Disabilitas
Dimanfaatkannya Inovasi-inovasi.
Teranggarkannya Kebutuhan Disabilitas
dalam Bidang kesehatan & Pendidikan
100
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 KESIMPULAN
Praktik baik dan inovasi pendataan yang telah dilakukan oleh Mitra Peduli dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Keragaman data disabilitas di setiap lokasi pendataan mengisyaratkan
pentingnya standarisasi data dan model pendataan yang sesuai dengan
kondisi daerah. Proses dan model pendataan yang lebih standar akan
mendorong partisipasi masyarakat dan pemerintah.
2. Model pendataan partisipatif akan berjalan bila dari awal perencanaan
telah melibatkan penyandang disabilitas atau organisasi disabilitas
(DPO). Pelibatan sedari awal ini akan membantu proses pendataan lebih
lanjut. Pelibatan disabilitas dapat dimulai dari perencanaan dan atau
pengembangan instrumen pendataan (kuesioner), diskusi pendahuluan
dan rapid assesment/mapping. Perencanaan dan atau pengembangan
instrumen adalah pilihan untuk mengembangkan cakupan dan
keterbatasan pendataan.
3. Proses dan aktor pendataan menunjukkan tahapan dan para pihak yang
dapat membantu agar pendataan berjalan baik. Pemerintah daerah dan
DPO dapat merencanakan terlebih dahulu tahapan yang akan dilalui dalam
proses pendataan. Ketidakjelian dalam melihat proses dan aktor pendataan
dapat menyebabkan pembengkakan biaya, proses berlarut, dan hasil
pendataan yang tidak valid.
4. Kebijakan dan anggaran menjadi faktor pendukung utama dan acuan yang
dapat memperkuat proses dan tahapan pelaksanaan pendataan. Kebijakan
dimaksud antara lain berupa peraturan daerah, peraturan bupati, dan surat
keputusan kepala OPD.
5. Hasil pendataan disabilitas membantu pemerintah daerah dalam
merencanakan kebijakan, anggaran dan pemenuhan hak penyandang
disabilitas. Hasil pendataan itu terutama menyangkut data terpilah
penyandang disabilitas, merevisi sasaran program/kegiatan sosial,
penyediaan layanan publik dan pemenuhan sarana prasana pendukung
4.2 REKOMENDASI
4.2.1 Rekomendasi Umum
1. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan OPD terkait hendaknya dapat
mengembangkan dan mereplikasi model pendataan partisipatif yang
melibatkan penyandang disabilitas/DPO dari awal perencanaan kegiatan
pendataan.
2. Penyelenggara pendataan (Pemerintah Daerah bersama DPO terutama
Dinas Sosial dan Bappeda) menyusun rencana pendataan dengan
memperhatikan proses dan aktor pendataan secara lebih komprehensif.
102
2. Mendorong Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil/Badan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu atau nama lain dari OPD yang melayani administrasi
kependudukan di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk terus menerus
melakukan upaya pendataan dan pelayanan administrasi bagi penyandang
disabilitas.
104
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Badan Pusat Statistik. 2016. Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals) di Indonesia. Kajian Indikator Lintas Sektor.
Jakarta.
International Labour Organization. Tanpa tahun. Inklusi Penyandang Disabilitas di
Indonesia. Jakarta.
Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2011. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak
Pendidikan dan Kesehatan bagi Anak-anak Penyandang Cacat (Difabel). Jakarta: PT
Gading Inti Prima.
Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2012. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak
Penyandang Disabilitas di Wilayah Bencana Alam. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Australian Goverment, The Asia Foundation. Program Peduli: Program
Snapshot April 2016.
Propiona, Jane Kartika, dkk. 2013. Implementasi HAM di Indonesia: Hak Kesehatan
dan Jaminan Sosial bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Daerah Tertinggal di
Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Propiona, Jane Kartika, dkk. 2014. Implementasi Hak Penyandang Disabilitas di
Indonesia: Analilis Pemenuhan Hak Warga Negara Penyandang Disabilitas di
Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Re ne lenar. 1974. Les Exius: Un Francais Sur Dix. Paris: Seuil Publication.
Salim, Ishak, M. Syafi’ie, dan Nunung Elkisabeth. 2015. Indonesia Dalam Desa Inklusi:
Pembelajaran dari Temu Inklusi 2014. Yogyakarta: SIGAB.
Salim, Ishak, dkk. 2015. Difabel Merebut Bilik Suara: Kontribusi Gerakan Disabilitas
Dalam Pemilu Indonesia. Yogyakarta: SIGAB.
Sawinggih, Raden, ddk. 2016. Dari Bayan Untuk Indonesia Inklusif. Nusa Tenggara
Barat: Solidaritas Masyarakat Untuk Transparansi (SOMASI).
Warsilah, Henny. 2017. Pembangunan Inklusif dan Kebijakan Sosial di Kota Solo, Jawa
Tengah. Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi
Daerah
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
106
Policy Brief:
Anggraeni, Novita dan Fajri Nursyamsi. 2016. “Policy Brief: Pemenuhan Hak atas
Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil bagi Penyandang
Disabilitas”. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan Republik Indonesia, Australian Goverment, The Asia Foundation,
dan PATTIRO.
L
L
P
P
JK
1
1
1
1
RT
1
1
1
1
RW
ALAMAT
30 th
63 30 33 69 UMUR
AKTE
KEPEMILIKAN
Ada Ada Ada KK
NIK
6371015409530001 6371012609830004 6371010102470003
6371012208080024
No. KK
TINGKAT
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
PENDIDIKAN
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada BPJS PBI
Jml Anggt a RT
Serumah
ART > 18 Th
ART 2-17 Th
ART Difabel
Nama Ibu dengan Nama Kepala Status di
No.KK
Kandung Ibu Keluarga KK
Kandung
A. MODUL PENGLIHATAN
A.6
A.1 A.2 A.3 A.4 A.5 A.7 A.8 A.9
a b C d a b c
4
4 3th
2 60th 10 1 2 1
110
Status
Ijazah Terakhir Masuk di KK Akta Kelahiran Ibu Kandung
Perkawinan
Belum Kawin SD/SDBL/M.Tsanawiyah/Paket B Ya
Kawin SD/SDBL/M.Tsanawiyah/Paket B Ya
Kawin SM/SMLB/M.Aliyah/SMK/Paket C Ya
Rata-Rata BTB
Dusun, RT/RW
Ketidakcuku-
Pendapatan/
Pengeluaran
Pendapatan
Pemenuhan
Kecamatan
Kalurahan
Biaya
Kab/Kota
Kleuarga
Bulanan
Provinsi
Desa/
pan
Tambahan
Difabilitas
B. MODUL PENDENGARAN
B.7 B.9
B.1 B.2 B.3 B.4 B.5 B.6 B.8 B.10
a b c d a b c
4
4
4
0 0 12 6 4 0 0
0 0 1 0 0 1 0
0 0 5 0 0 0 0
0 0 9 0 0 0 1
112
JUMLAH BERDASARKAN UMUR/PERSENTASE JUMLAH KK/
PERSENTASE
7-12 13 - 15 16-18 19 - 22 23 - 54 55 th ke atas
3 3 2 4 10 1 59
3 0 0 1 10 7 33
6 1 2 1 6 3 59
4 2 0 4 18 5 63
DUKUN WIRASWAS-
PENGUSAHA BURUH/KULI SUPIR TUKANG OJEK LAINNYA
BERANAK TAWAN
0 0 0 0 0 1 39
2 0 0 0 2 0 29
0 7 1 1 4 1 43
0 1 0 0 1 0 54
PENDIDIKAN TERAKHIR
NAMA PENDATA
PEKERJAAN
TELPON/HP
DESA
NAMA ALAMAT
NO
L P
1 2 3 4 5 6 7 8
4
NGEMBENG SD
1
114
KEPENDUDUKAN PROGRAM SOSIAL
STATUS DALAM KELUARGA
SETATUS PERKAWINAN
JENIS DIFABEL
Akta Nikah
Kelahiran
Akta KIS /
KTP KK KKS KIP RASKIN
BPJS
1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya
JK
Alamat
Usia
Kabupaten Desa Nama
L P
Buta Sebelah
Buta Total
Katarak
Rabun
Juling
Sandrianta B. 1 Tadeisa, 1-7- 27 Tadeisa
Sumba Barat Kodaka Tera 1990
116
Jenis Difabel
Disabili-
Disabili-
Disabilitas Rungu Wicara Disabilitas Daksa tas
tas Laras
Grahita
Gangguan Jiwa
Amputi Tangan
Lumpuh Total
Lumpuh Layu
Mati Sebelah
Polio Tangan
Amputi Kaki
Tuli Sebelah
Parphelegi
Polio Kaki
Tuli Total
Sumbing
Linglung
Bongkok
Pincang
Epilepsi
Mental
Albino
Gagap
Kerdil
Autis
Bisu
1
1
1
1 1
1
1
Jenis Disabilitas :
a. Daksa (Fisik/Tubuh) d. Rungu Wicara g. Mental/Gangguan jiwa j. Ganda
b. Intelektual/Retardasi e. Rungu h. Sensorik (Autis,dll) k. Lainnya...............
c. Eks Kronis (Kusta, dll) f. Wicara i. Netra .............................
118
Diagnosa medis yang masih membutuhkan perawatan/pengobatan : ........................................
....................................................................................................................................................
Penyakit lain yang pernah/sedang diderita : (Jantung, Kanker, Gagal ginjal, Kelainan
darah,Gangguan jiwa)* Lainnya ....................................................................................................................
7. Kondisi alat bantu : a. Baik b. Tidak bisa digunakan c. Rusak, perlu perbaikan
Penghasilan/ Hubungan
No Nama NIK L/P Tanggal lahir Pekerjaan
Bulan dengan Difabel
1
120
E. KONDISI RUMAH
4. WC : a. Ada b. Tidak
F. LINGKUNGAN SOSIAL
1. Sosialisasi ke tetangga :
a. Setiap hari b. Jika ada perlu c.Tidak pernah d. .............................
I. LAIN-LAIN
122
J. CATATAN
..........................................................................................................................................................................
..........................................................................................................................................................................
..........................................................................................................................................................................
..........................................................................................................................................................................
..........................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
*Coret yang tidak perlu
K. PHOTO
( ..............................................) ( ...............................................)