Anda di halaman 1dari 200

ANALISIS PEDAGOGIS

Terhadap Kebijakan Pendidikan


Di Era 4.0

i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta
Pasal 1:

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasakan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.
Pasal 9:

2. Pencipta atau Pengarang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 8


memiliki hak ekonomi untuk melakukan a.Penerbitan Ciptaan;
b.Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c.Penerjemahan Ciptaan;
d.Pengadaptasian, pengaransemen, atau pentrasformasian Ciptaan;
e.Pendistribusian Ciptaan atau salinan; f.Pertunjukan Ciptaan;
g.Pengumuman Ciptaan; h.Komunikasi Ciptaan; dan i. Penyewaan Ciptaan.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta
rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak C ipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Meri Andaria, Mimpira Haryono, Nipriansyah, Sheren Dwi
Oktaria, Sari Gunawan, Asep Suparman, Edy Susanto, Kimli
Haroswinarti, Bogy Restu Ilahi, Fatrida Anugrah Syafri,
Purdiyanto, Samsilayurni, Raden Gamal Tamrin Kusumah,
Ahmad Walid, Eva Istapra, Tri Turnadi, Baslini, Utui Tatang
Suntani, Hasperi Susanto, Azizatul Khairi, Agung Nugroho, Joni
Helandri, Muklis Riyanto, Shella Monica, Muhammad Ridho
Nugroho, Wahidin, Desi Tri Anggereni

ANALISIS PEDAGOGIS
Terhadap Kebijakan Pendidikan
Di Era 4.0

Penerbit Lakeisha
2021
ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN
PENDIDIKAN DI ERA 4.0

Penulis:
Meri Andaria, Mimpira Haryono, Nipriansyah, Sheren Dwi
Oktaria, Sari Gunawan, Asep Suparman, Edy Susanto, Kimli
Haroswinarti, Bogy Restu Ilahi, Fatrida Anugrah Syafri,
Purdiyanto, Samsilayurni, Raden Gamal Tamrin Kusumah, Ahmad
Walid, Eva Istapra, Tri Turnadi, Baslini, Utui Tatang Suntani,
Hasperi Susanto, Azizatul Khairi, Agung Nugroho, Joni Helandri,
Muklis Riyanto, Shella Monica, Muhammad Ridho Nugroho,
Wahidin, Desi Tri Anggereni

Editor:
Prof. Dr. Johanes Sapri, M.Pd

Layout : Yusuf Deni Kristanto, S.Pd


Desain Cover : Tim Lakeisha
Cetak I Mei 2021
15,5 cm × 23 cm, 186 Halaman
ISBN: 978-623-6948-91-0

Diterbitkan oleh Penerbit Lakeisha


(Anggota IKAPI No.181/JTE/2019)

Redaksi
Jl. Jatinom Boyolali, Srikaton, Rt.003, Rw.001, Pucangmiliran, Tulung,
Klaten, Jawa Tengah
Hp. 08989880852, Email: penerbit_lakeisha@yahoo.com
Website : www.penerbitlakeisha.com

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR

P
uji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Buku yang berjudul ANALISIS
PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI
ERA 4.0.
Buku ini berisi tetang kumpulan tulisan beberapa penulis
yang merupakan mahasiswa program studi Doktor Pendidikan
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu
untuk memenuhi tugas akhir menganalisis pedagogik terhadap
kebijakan pendidikan di era 4.0 dalam mata kuliah Wawasan
Pedagogik Dan Ilmu Pendidikan. Dan kemudian disatukan atau
dimonumentalkan menjadi sebuah buku.
Penulis menyadari buku ini masih jauh dari kata sempurna
maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang
membangun demi kesempurnaaan penulisan di masa yang akan
datang.
Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua orang yang sudah membantu secara langsung
maupun tidak langsung dalam penyusunan buku ini. Penulis juga
berharap semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................v
DAFTAR ISI..................................................................................vi

BAGIAN PERTAMA :
PENGARUH TEKNOLOGI DALAM PENDIDIKAN
SEBAGAI UPAYA MENGHADAPI TANTANGAN
GLOBAL ERA 5.0
Meri Andaria, Mimpira Haryono, Nipriansyah,
Sheren Dwi Oktaria..........................................................................1

BAGIAN KEDUA :
SMART LEARNING; PEMBELAJARAN ERA DIGITAL
Sari Gunawan, Edy Susanto, Asep Suparman,
Kimli Haroswinarti.........................................................................34
BAGIAN KETIGA :
TANTANGAN PENDIDIKAN VOKASI PADA ERA
DISRUPSI 4.0
Bogy Restu Ilahi, Fatrida Anugrah Syafri,
Purdiyanto, Samsilayurni...............................................................60

BAGIAN KEEMPAT :
STRATEGI DAN CYBERGOGY PENINGKATAN MUTU
PENDIDIKAN DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Raden Gamal Tamrin Kusumah, Ahmad Walid,
Eva Istapra, Azizatul Khairi...........................................................79

BAGIAN KELIMA :
KINERJA GURU DALAM BINGKAI PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN DI ABAD 21
Tri Turnadi, Baslini, Utui Tatang Suntani,
Hasperi Susanto...........................................................................115

BAGIAN KEENAM :
PROBLEMA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAMPUS
MERDEKA PADA PERGURUAN TINGGI DI DAERAH
Muklis Riyanto, Joni Helandri,
Agung Nugroho............................................................................143
BAGIAN KETUJUH :
MEROSOTNYA HASIL PISA INDONESIA 2018 APA
DAMPAK DAN FAKTOR PENYEBABNYA?
Shela Monica, Muhammad Ridho Nugroho,
Wahidin, Desi Tri Anggereni.......................................................167
BAGIAN PERTAMA
PENGARUH TEKNOLOGI DALAM PENDIDIKAN
SEBAGAI UPAYA MENGHADAPI
TANTANGAN GLOBAL ERA 5.0

Meri Andaria, Mimpira Haryono, Nipriansyah,


Sheren Dwi Oktaria

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Revolusi Industri di Inggris mampu merubah kehidupan
masyarakat, dari manual menuju penggunaan tehnologi digital.
Tehnologi digital seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi yang sangat pesat, sehingga zaman ini menggunakan
tehnologi digital sebagai alat bantu. Karakteristik era ini, informasi
dapat diperoleh sangat cepat, secepat cahaya,dunia ini seolah-olah
menjadi sangat sempit tanpa ada batas jarak dan waktu . Sudah
tidak asing lagi perkembangan tehnologi digital, sehingga melalui
perangkat yang kita miliki, kita dapat melakukan hubungan yang
sangat cepat, mencari bahan ajar sangat mudah baik melalui
internet dan dengan menggunakan Email bisa berkirim surat
elektronik, yang bisa dilakukan bukan saja melalui warnet namun
melalui media digital handphone. Handphone (HP) tidak lagi
merupakan barang mewah, dan dimiliki orang kota, tetapi sampai

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 1


dipelosok kampungpun, pengusaha atau birokrat, boleh dikatakan
sudah menjadi kebutuhan bagi setiap orang dari orang dewasa dan
remaja yang masih menjadi peserta didik.
Belakangan ini istilah Industri 4.0 santer menghiasi media massa
maupun media sosial. Ada yang menyebut dengan era disrupsi.
Atau situasi dimana pergerakan dunia industri tidak lagi linier.
Bahkan berlangsung sangat cepat dan cenderung mengacak-acak
pola tatanan lama, dan cenderung membentuk pola tatanan baru.
Sebagai catatan, revolusi industri telah terjadi empat kali. Pertama
dengan penemuan mesin uap, kedua elektrifikasi. Ketiga
penggunaan komputer, dan keempat revolusi era digital ini.
Kondisi yang saling mendisrupsi ini bisa terjadi karena pesatnya
perkembangan teknologi digital. Seperti kecerdasan buatan
(artificial intelligent). Yang jika dipadukan dengan internet of thing
(IoT) akan mampu mengolah jutaan data (big data) menjadi suatu
keputusan atau kesimpulan. Jadi jangan heran jika salah satu media
sosial diprotes banyak pihak saat pelaksanaan pemilu di AS
beberapa waktu yang lalu. Karena disinyalir memberikan data ke
salah satu kontestan. Dan dengan teknologi digital, data tersebut
akan dianalisis dan hasilnya dipakai untuk mengatur strategi
pemenangan. Istilah Revolusi Industri 4.0 pertama kali
diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Seorang ekonom
terkenal asal Jerman yang menulis dalam bukunya: The Fourth
Industrial Revolution. Sebenarnya beberapa negara juga
mempunyai roadmap digitalisasi industri yang serupa. Seperti,
China dengan Made in China 2025, Asia dengan Smart Cities. Dan
Kementerian Perindustrian juga mengenalkan Making Indonesia
4.0, yang pada bulan April 2018 dicanangkan oleh Presiden Joko
Widodo. Sebagai masyarakat awam, efek kondisi Industri 4.0 telah
kita lihat dan rasakan. Belakangan, muncul model-model bisnis
baru dengan strategi yang lebih inovatif. Ambil contoh, GO-JEK
sebuah perusahaan yang tidak mempunyai armada, namun

2 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


mempunyai nilai valuasi 12 kali dibanding Garuda. Fenomena
serupa juga terjadi di dunia perbankan. Beberapa profesi seperti
teller bank, analis kredit, agen asuransi, kasir, resepsionis akan
hilang dan digantikan oleh ponsel pintar. Akibatnya, berimbas pula
pada tatanan sosial masyarakat terdapat beberapa kecanggihan
tehnologi digital seperti mudah bekerja, karena beroperasi secara
otomatis, cepat, berkualitas, efektif, effisien, mudah mentransfer
data dan informasi ke media elektronik lain. Dan banyak lagi
kecanggihan-kecanggihan dari tehnologi digital ini yang dapat
diambil manfaatnya untuk aktivitas manusia. Seperti Internet
misalnya, kita bisa berhubungan secara online, sehingga manusia
seolah-olah berada pada dunia yang sempit dengan jangkauan
semakin luas, karena dirasakan lebih mudah, cepat dan dinamis
menerima informasi serta berkomunikasi. Orang bisa menerima
informasi dan berkomunikasi dengan pihak lain dari belahan dunia
lain yang sangat jauh dalam hitungan detik, dengan jumlah yang
sangat banyak dan beragam. Internet dengan sistem online, secara
revoluisoner telah mengubah cara manusia berinteraksi baik secara
individu maupun secara bersama, dalam dunia ekonomi di berbagai
belahan dunia.
Tehnologi digital bukan merupakan hal yang baru dan datang
secara tiba-tiba, tetapi sudah berproses sejak puluhan tahun 80an,
sehingga sampai abad 21 sekarang ini, disebut era digital. Pada era
ini penggunaan tehnologi digital sudah menjadi kebutuhan, bukan
saja orang dewasa, tetapi juga remaja, bahkan anak dibawah umur
sudah mengenal namanya Hand phon ( HP ) android.
Menggunakan perangkat digital dengan menggunakan media
Google, Yahoo, bloog, email, kita dapat melihat jendela dunia.
Tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,
dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, dan peserta
didik, dengan sangat mudah mencari kebutuhan bahan ajar yang

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 3


mereka butuhkan.
Melalui Society 5.0, kecerdasan buatan yang memperhatikan sisi
kemanusiaan akan mentransformasi jutaan data yang dikumpulkan
melalui internet pada segala bidang kehidupan. Tentu saja
diharapkan, akan menjadi suatu kearifan baru dalam tatanan
bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri, transformasi ini akan
membantu manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih
bermakna. Dalam Society 5.0, juga ditekankan perlunya
keseimbangan pencapaian ekonomi dengan penyelesaian problem
sosial. Dalam Industri 4.0, dikenal adanya cyber–physical system
(CPS) yang merupakan integrasi antara physical system, komputasi
dan juga network/komunikasi. Dan Society 5.0 merupakan
penyempurnaan dari CPS menjadi cyber–physical–human systems.
Dimana human (manusia) tidak hanya dijadikan obyek (passive
element), tetapi berperan aktif sebagai subyek (active player) yang
bekerja bersama physical system dalam mencapai tujuan (goal).
Jadi interaksi antara mesin (physical system) dan manusia masih
tetap diperlukan. Walaupun Society 5.0 hanya untuk masyarakat
dan industri di Jepang, namun patut kita cermati. Bagaimana
Indonesia sebagai Negara berkembang memanfaatkan tehnologi
digital seperti Internet melalui warnet maupun di HP, dengan
berbagai fasilitas seperti bloog, Email dan sebagainya. Tehnologi
digital dapat mempermudah segala aktivitas hidup manusia serta
mengases berbagai informasi diberbagai aspek kehidupan manusia
termasuk aspek pendidikan.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini adalah Bagaimana Indonesia sebagai Negara
berkembang memanfaatkan tehnologi digital seperti Internet
melalui warnet maupun di HP, dengan berbagai fasilitas seperti
bloog, Email dan sebagainya di era Revolusi Industri 5.0 sekarang.

4 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dari makalah ini adalah untuk mengetahui
bagaimana manfaat teknologi digital terhadap motivasi belajar
peserta didik pada era Revolusi Industri 5.0 sekarang.

II. TINJUAN PUSTAKA


Teknologi secara harfiah berasaldari kata Perancis yaitu La
Teknique yang berarti suatu konsep yang dibuat sebagai upaya
proses pewujudan secara rasional. pemahaman rasional disini ialah
suatu proses yang dapat dilakukan secara berulang- ulang atau
berkali-kali. Teknologi merupakanmodifikasi manusia yang
dikembangkan dari teknologi yang sudah ada secara alami yang
kemudian diproses kedalam media sesuai kebutuhannya masing-
masing. Digital suatu konsep yang didasari dari 0 dan 1 yang
mendeskripsikan antara off dan on. Proses penjabaran ini didasari
menggunakan logika algoritma. Digital dapat melakukan semua
proses secara bersamaan seperti misalnya proses produksi,
distribusi dan konsumsi yang kesemuanya dapat dilakukan dalam
satu sistem. Jika dalam perspektif komunikasinya digital
merupakan komunikasi yang disaranai oleh media (bermediasi),
maka media komunikasi tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan media telekomunikasi atau internet.
Teknologi digital yaitu teknologi yang dioperasikan dengan
menggunakan sistem komputerisasi, sistem tersebut didasari dari
bentuk informasi sebagai nilai numeris 0 dan 1 yang
mengidentifikasikan tombol hidup dan mati.Teknologi digital juga
dapat dikatakan teknologi nirkabel, maksudnya adalah teknologi ini
memanfaatkan signal sebagai sarana penghubung kepada medianya
sebagai penyampai pesan. Sinyal digital mempunyai keistimewaan
tersendiri bahwa kecepatan yang di kirimkan oleh sinyal tersebut
melebihi kecepatan cahaya yang mana sistem ini tidak ditemukan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 5


dalam teknologi analog. Teknologi digital dalam perspektif
komunikasi merupakan sistem penyampaian yang efisien,
komunikasi menjadi lebih dinamis tanpa terhalang oleh ruang dan
waktu. Contoh manfaat teknologi digital dalam kehidupan
bermasyarakat dapat dilihat dari komunikasi yang dilakukan
dengan menggunakan perantara internet, ada berbagai aplikasi
internet yang menyediakan sarana video call atau chatting dalam
menciptakan terjalinnya komunikasi dua arah. Namun pada
hakikatnya komunikasi menggunakan teknologi digital bermuara
pada penyampaian atau hasil yang diterima secara analog, perlu
diketahui bahwa teknologi digital merupakan jembatan dalam
mengirimkan data baik visual atau tulisan melalui gelombang
sinyal, namun pada akhirnya hasil yang diterima oleh si penerima
adalah analog, karena hasilnya dapat kita terima oleh panca indera
kita.
Motivasi menurut Stanley Vance (1982) pada hakikatnya adalah
perasaan, atau keinginan seseorang yang berada dan bekerja pada
kondisi tertentu untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang
menguntungkan dilihat dari perspektif pribadi. Dalam hubungan
dengan itu Robert Dubin (1985), mengatakan motivasi sebagai
kekuatan kompleks yang membuat seseorang berkeinginan
memulai dan menjaga kondisi kerja dalam organisasi.
Motivasi itu merupakan proses yang membutuhkan tenaga, disiplin
waktu, ketekunan, sehingga untuk menjalankan motivasi perlu
energi. Dalam hal ini kita merujuk pendapat Neil Lebovits,
mengemukakan bahwa motivasi merupakan proses di mana
seseorang diberi energi, diarahkan, disiplin dan berkelanjutan
menuju tercapainya suatu tujuan.
a. Elemen Energi, adalah ukuran dan intentitas atau dorongan.
Seseorang yang termotivasi menunjukkan usaha dan bekerja
keras.

6 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


b. Elemen diarahkan, Usaha tingkat tinggi perlu diarahkan pada
cara yang dapat membantu organisasi mencapai tujuan.
c. Elemen ketekunan, karyawan diharapkan tetap tekun dalam
usahanya untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengertian belajar menurut Morgan,adalah setiap perubahan yang
relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil
dari latihan atau pengalaman (Wisnubrata, 1983:3). Sedangkan
menurut Moh. Surya (1981:32), belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Dari
uraian yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya, belajar adalahperubahan dari diri seseorang. Sedangkan
pengertian motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak
baik dari dalam diri maupun dari luar siswa (dengan menciptakan
serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu)
yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan
belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu
dapat tercapai.
Peserta didik merupakan bagian dalam sistem pendidikan sebagai
objek atau bahan mentah dalam proses transformasi pendidikan.
Tanpa adanya peserta didik, keberadaan sistem pendidikan tidak
akan berjalan. Karena kedua faktor antara pendidik dan peserta
didik merupakan komponen paling utama dalam suatu sistem
pendidikan.Secara bahasa peserta didik adalah orang yang sedang
berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik
maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri
dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang
pendidik. Pertumbuhan yang menyangkut fisik, perkembangan
menyangkut psikis. Abdul Mujib mengatakan berpijak pada
paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang lebih tepat
untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 7


bukan anak didik. Peserta didik mengandung pengertian individu
yang sedang menuntut ilmu baik dari tingkat Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, Sekoah Menengah Atas dan
Perguruan Tinggi, maupun yang sedang mencari ilmu pada
lembaga non formal. Menurut UU RI No 20 Tahun 2013, tentang
Sindiknas, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Revolusi Industri
Perubahan yang signifikan pada bidang perekonomian,
yang terjadi pada abad-18 dimulai pada tahun 1784, di mana
kegiatan ekonomi agraris berubah dengan cepat masuk pada
ekonomi industri yang menggunakan mesin dalam mengolah bahan
mentah menjadi bahan siap pakai. Pada masa itu telah ditemukan
mesin uap yang kemudian juga digunakan untuk proses produksi
bahan secara masal. Perubahan yang begitu cepat dari ekonomi
agraris ke ekonomi industry, sering disebut sebagai era revolusi
industry 1.0. menciptakan ban berjalan, era ini disebut sebagai era
revolusi industry 2.0. Hal ini semakin membuat percepatan
ekonomi dan juga pengurangan jumlah tenaga kerja manusia.
Revolusi indutri 3.0 atau juga disebut revolusi ketiga
dimulai sekitar tahun 1969-1970, dipicu oleh munculnya mesin
yang dapat bergerak dan berpikir secara otomatis, yaitu computer
dan robot. Selanjutnya mulai tahun 2011, perkembangan teknologi
otomatisasi dengan teknologi cyber tanpa disadari dunia sudah
masuk pada tahap revolusi industri 4.0. beberapa pendapat ahli
tentang revolusi industri 4.0, 6 mengatakan bahwa revolusi industri
4.0 adalah suatu bentuk transformasi yang komprehensif pada
aspek produksi, teknologi digital, internet dengan industri

8 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


konvensional.
Selanjutnya, keterhubungan entitas yang dapat ber-
komunikasi dengan cepat disebuah lingkungan industry. 7. 8
menyatakan sebagai bentuk integrasi dari Cyber Physical System
(CPS) yang dapat menggabungkan dunia nyata dan dunia maya,
melalui penggabungan proses fisik dan teknologi computer dan
jaringan. Revolusi 4.0 mendapatkan respon dari berbagai belahan
dunia, Para ahli di Jerman pada tahun 2011, menyatakan bahwa
dunia memasuki era inovasi baru, hingga pada tahun 2015 Jerman
membentuk tim khusus penerapan industri 4.0, hal senada juga
dijalankan oleh Amerika Serikat, dimana Mereka menggerakan
Smart Manufacturing Leadership Coalition (MLC), Sebuah
Organisasi Nirlaba yang terdiri dari produsen, pemasok,
perusahaan, teknologi, lembaga pemerintah, Universitas dan
laboratorium yang memiliki tujuan untuk memajukan cara berpikir
Revolusi Industri 4.0.
Revolusi industri digital yang baru ini menjanjikan
peningkatan fleksibilitas di bidang manufaktur, kustomisasi massal,
peningkatan kecepatan, kualitas yang lebih baik, dan peningkatan
produktivitas. Namun untuk mendapatkan manfaat ini, perusahaan
perlu berinvestasi dalam peralatan, teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) dan analisis data serta integrasi aliran data di
seluruh rantai nilai global 5. Hal yang berbeda, di rencanakan oleh
Jepang, pada tahun 2019 Jepang menggagas sebuah peradaban baru
yang disebut society 5.0. Gagasan ini muncul atas respon yang
terjadi akibat revolusi 4.0.

Perkembangan Teknologi Digital.


Selanjutnya pada tahun 1870, ilmu pengetahuan semakin
berkembang, ditandai dengan adanya penemuan tenaga listrik
sekitar abad ke-20. Hal ini memberikan perubahan pada sistem

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 9


industri yang semula hanya menggunakan mesin untuk produksi
masal, kini telah diganti dengan menggunakan tenaga listrik dan
juga mampu bertolak dari teori yang diuraikan dalam landasan teori
dapat menjadi rujukan untuk mencermati unsur-unsur dari
tehnologi digital, secara garis besarnya adalah merupakan hasil
olah kecerdasan dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia,
selanjutnya diitegrasikan dengan aktivitas manusia, dan secara
berkelanjutan akan memberikan input dalam perkembangan
tehnologi dan ilmu pengetahuan secara berkesinambungan. Hasil
olah kecerdasan mansia, merekayasa sinyal digital menghasilkan
input keistimewaan tersendiri, sehingga dengan kecepatan
tehnologi digital tersebut mengirimkan sinyal melebihi kecepatan
cahaya, yang sistem ini tidak ditemukan dalam teknologi analog.
Teknologi digital menghasilkan kecanggihan dalam perspektif
komunikasi, dimana penyampaian pesan secara efisien, lebih
dinamis tanpa terhalang oleh jarak, ruang dan waktu.
Teknologi adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat
manusia yaitu bagian dari sejarahnya meliputi keseluruhan
sejarah.Menurut kamus computer dan teknolgi informasi, definisi
teknologi adalah penerapan keilmuan yang mempelajari dan
mengembangkan kemampuan dari suatu rekayasa dengan langkah
dan teknik tertentu dalam suatu bidang. Sedangkan menurut
Djoyohadikusumo (1994, 222) berkaitan erat dengan sains
(science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain,
teknologi mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering
yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sains mengacu pada
pemahaman kita tentang dunia nyata sekitar kita, artinya mengenai
ciri-ciri dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi dalam
interaksinya satu terhadap lainnya. Teknologi adalah satu ciri yang
mendefinisikan hakikat manusia yaitu bagian dari sejarahnya
meliputi keseluruhan sejarah.
Makna Teknologi, menurut Capra (2004, 106) seperti

10 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


makna „sains‟, telah mengalami perubahan sepanjang sejarah.
Teknologi, berasal dari literatur Yunani, yaitu technologia, yang
diperoleh dari asal kata techne, bermakna wacana seni. Ketika
istilah itu pertamakali digunakan dalam bahasa Inggris di abad
ketujuh belas, maknanya adalah pembahasan sistematis atas „seni
terapan‟ atau pertukangan, dan berangsur-angsur artinya merujuk
pada pertukangan itu sendiri Pada abad ke-20, maknanya diperluas
untuk mencakup tidak hanya alat-alat dan mesin-mesin, tetapi juga
metode dan teknik non-material, yang berarti suatu aplikasi
sistematis pada teknik maupun metode. Sekarang sebagian besar
definisi teknologi, lanjut Capra (2004, 107) menekankan
hubungannya dengan sains. Ahli sosiologi Manuel Castells seperti
dikutip Capra (2004, 107) mendefinisikan teknologi sebagai
„kumpulan alat, aturan dan prosedur yang merupakan penerapan
pengetahuan ilmiah terhadap suatu pekerjaan tertentu dalam cara
yang memungkinkan pengulangan.
Teknologi informasi telah membuka mata dunia akan
sebuah dunia baru, interaksi baru, market place baru, dan sebuah
jaringan bisnis dunia yang tanpa batas. Disadari betul bahwa
perkembangan teknologi yang disebut internet, telah mengubah
pola interaksi masyarakat, yaitu; interaksi bisnis, ekonomi, sosial,
dan budaya.Internet telah memberikan kontribusi yang demikian
besar bagi masyarakat, perusahaan/industri maupun pemerintah.
Hadirnya Internet telah menunjang efektifitas dan efisiensi aktivitas
hidup manusia, terutama peranannya sebagai sarana komunikasi,
publikasi, serta sarana untuk mendapatkan berbagai informasi yang
dibutuhkan oleh sebuah badan usaha dan bentuk badan usaha atau
lembaga lainya.
Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan
untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan,
menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara
untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 11


yang relevan, akurat dan tepat waktu. Informasi tersebut digunakan
untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan
informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan.Teknologi
ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data,
sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan
komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi
telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses
secara global.Peran yang dapat diberikan oleh aplikasi teknologi
informasi ini adalah mendapatkan informasi untuk kehidupan
pribadi seperti informasi tentang kesehatan, hobi, rekreasi, dan
rohani. Kemudian untuk profesi seperti sains, teknologi,
perdagangan, berita bisnis, dan asosiasiprofesi. Sarana kerjasama
antarapribadi atau kelompok yang satu dengan pribadi atau
kelompok yang lainnya tanpa mengenal batas jarak dan waktu,
negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor lainnya yang dapat
menghambat bertukar pikiran. Pada saat ini perkembangan
teknologi informasi (internet) telah merambah berbagai bidang
dengan fasilitas elektronika-nya yaitu, e-life, e-commerce, e-
government, e-education, e-library, e-journal, e-medicine, e-
laboratory, e-biodiversity, dan masih banyak yang lainnya.
Teknologi internet semakin berkembang, semakin cepat,
tepat, akurat, kecil, murah, mudah, efektif dan efisien. Proses
berkomunikasi pun memiliki ciri dan sifat yang seperti itu,
khususnya efektif. Proses mengirimkan pesan dari Indonesia ke
Kanada tidak usah menunggu hingga berminggu-minggu berkat e-
mail. Dengan internet informasi yang diperlukan dapat diperoleh
dengan sangat cepat, begitu pula kita dapat mengirimkan berikta
dapat dilakukan dengan cepat, saat ini dikirim saat itu pula berita
diterima.Bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia bisnis,
pengiklanan produk dapat dilakukan dengan cepat dan efisien serta
dapat dilihat oleh orang sedunia.
Kecepatan dan ketepatan informasi sangat dimungkinkan

12 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


oleh pemakaian media dengan teknologi yang tepat. Hingga perlu
digarisbawahi di sini adalah berbicara komunikasi dan media maka
kita juga akan membicarakan komunikasi. Media adalah teknologi
dan teknologi adalah media. Teknologi digital dalam kehidupan
bermasyarakat sekarang ini, secara nyata dapat dilihat berkembang
dalam komunikasi sosial dengan menggunakan perantara internet,
dengan berbagai programseperti video call atau chatting, email,
beloog, facebook, twiter dan sebagainya dalam menciptkan
terjalinnya komunikasi dua arah. Namun pada hakikatnya
perkembangan komunikasi menggunakan teknologi digital, juga
berakhirnya pada terciptnya output komunikasi secara analog.
Fungsi teknologi digital menjadi jembatan dalam mengirimkan
data baik visual atau tulisan melalui gelombang sinyal, dan
menghasilkan output komunikasi analog, karena hasilnya dapat
oleh panca indera mansia.
Walaupun ada banyak manfaat situs web, juga ada banyak
masalah. Masalah yang paling besar adalah bahwa informasi yang
disebarkan di internet tidak selalu benar. Hal ini terjadi karena situs
web tidak harus memberikan informasi yang benar dan akurat, dan
tidak ada tanggung jawab atas kebenaran informasi yang
disebarluaskan. Masalah yang kedua adalah pornografi yang
merupakan dampak negatif. Namun, pornografi itu tidak harus
dicari dengan sengaja, bisa saja mendapatkan pornografi dengan
pencarian data dan file musik mp3. Dari pengamatan yang
mendalam, tiga puluh tiga persen dengan sengaja mencari
pornografi di www, dan bukan hanya laki-laki tetapi juga
perempuan.Walaupun demikian, kebanyakan adalah mahasiswa
yang dengan sengaja mencari pornografi. Sedangkan, yang tidak
dengan sengaja mendapatkan pornografi sebanyak lima puluh
sembilan persen.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
pada zaman sekarang ini, Indonesia sebagai Negara berkembang

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 13


dituntut untuk mengikuti arus globalisasi dunia. Masyarakat
Indonesia dihadapkan dengan berbagai fasilitas yang selalu
berkembang, salah satunya adalah perkembangan teknologi digital
yang semakin mudah dijumpai. Perkembangan teknologi
menghasilkan berbagai macam fasilitas, kualitas dan manfaat yang
ditawarkan oleh teknologi informasi, yang tujuannya untuk
memudahkan segala aktivitas hidup manusia dalam melakukan
pekerjaan dan mengakses berbagai informasi. Dengan adanya
kemajuan teknologi ini, akan membawa pengaruh yang cukup
besar terhadap segala aspek kehidupan, mulai dari kegiatan
perkantoran, hiburan, keagamaan dan pendidikan.
Berkaitan dengan pendapat diatas, sistem teknologi digital,
sumberdaya manusia termasuk peserta didik harus dipersiapkan
untuk menerima perkembangan tehnologi digital serta
memanfaatkannya dengan baik dan positif, sehingga investasi yang
besar untuk pengadaan sistem teknologi informasi akan diimbangi
pula dengan peningkatan kualitas pembelajaran melalui
peningkatan motivasi belajar peserta didik. Motivasi Belajar
Peserta Didik,
Motivasi diibaratkan sebagai energy yang membangkitkan
minat, kemauan seseorang mau melaksanakan sesuatu aktivitas,
baik atas kehendak dirinya atau atas kehendak orang lain, dengan
tujuan yang diinginkan. Pengertian motivasi banyak dikaitkan oleh
para ahli dengan aktivitas manusia pada organisasi kantoran atau
perusahaan dan pendidikan termasuk berhubungan motivasi belajar
dengan peserta didik.Peserta didik dimaksudkan sebagaimana
dikemukakan dalam landasan teori adalah peserta didik yang
sedang mencari ilmu pada semua jenjang dan jenis pendidikan,
baik formal maupu non formal.
Menurut Abraham Maslow seorang psikolog, menyatakan
bahwa dalam setiap orang terdapat sebuah hirarki dari lima
kebutuhan:

14 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


1. Kebutuhan fisiolgis (physiological needs), kebutuhan seseorang
akan makan, minuman, tempat berteduh, seks, dan kebutuhan
fisik lainnya.
2. Kebutuhan keamanan (safety needs). Kebutuhan seseorang
akan kemanan dan Perlindungan dari kejahatan fisik dan
emosional, serta jaminan bahwa kebutuhan fisik akan terus
terpenuhi.
3. Kebutuhan sosial (social needs). Kebutuhan seseorang akan
kasih sayang, rasamemiliki, memiliki,penerimaan dan
persahabatan.
4. Kebutuhan pengargaan (esteem needs). Kebutuhan seseorang
akanfactor-faktor Penghargaan internal, seperti harga diri,
otonomi, dan prestasi serta factor-faktor penghargaan eksternal
seperti status, pengakuan, dan perhatian.
5. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs).
Kebutuhan seseorang akan Pertumbuhan, pencapaian potensi
seseorang, dan pemenuhan diri, dorongan untuk mampu
menjadi apa yang diinginkan.
Pendapat Maslow dan Stanley Vance, Robert Dubin, Neil
Lebovits, sebagaimana juga diuraikan dalam landasan teori dapat
dijadikan rujukan untuk membahas motivasi peserta didik.
Motivasi menurut pendapat para ahli menangkut kebutuhan hidup
manusia, yang bersangkut paut dengan keinginan atau perasaan
pribadi manusia. Tentu masing-masing orang mempunyai
keinginan yang berbeda, juga merasakan bagaimana perasaan
mereka masing-masing terhadap pemenuhan hajat hidup mereka.
Tedapat seseorang yang berada pada tingkat layak hidup menurut
pendapat mereka, dan marasa cukup puas dengan keadaan dan
kondisi yang dirasakan, maka mereka memiliki motivasi tertentu
dalam hidupnya. Sebaliknya terdapat seseorang yang merasakan
keadaan yang selalu mempunyai motivasi untuk mencapai tingkat
kehidupan sampai pada tingkat aktualisasi diri, tentu mereka akan
terus termotivasi untuk mencapai tingkatan tersebut.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 15


Perasaan tersebut cocok dengan pendapat Stanley Vance,
pada hakikatnya motivasi adalah perasaan, atau keinginan
seseorang yang berada dan bekerja pada kondisi tertentu untuk
melaksanakan tindakan-tindakan yang menguntungkan dilihat dari
perspektif pribadi. Keinginan yang demikian tinggi tersebut, maka
motivasi sebagai kekuatan kompleks yang membuat seseorang
berkeinginan menjaga kondisi yang mereka inginkan. Kondisi yang
mereka inginkan tidak dengan mudah dicapai, namun
membutuhkan sebuah proses, hal ini kita bisa merujuk pendapat
Neil Lebovits, mengemukakan bahwa motivasi merupakan proses
dimana seseorang diberi energi, diarahkan, disiplin dan
berkelanjutan menuju tercapainya suatu tujuan. Energi yang
mendorong motivasi mereka untuk bekerja keras dan berusaha
secara terus menerus, tekun dan disiplin, terhadap peserta didik
bermakna belajar sepanjang masa guna mewujudkan tujuan yang
diinginkan.
Pengertian belajar dapat dirujuk pendapat Morgan, Moh
Surya, sebagaimana dikemukakan dalam landasan teori adalah
setiap perubahan tingkah laku individu hasil dari proses belajar,
baik sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dan dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Dari uraian di atas, apabila konsep
tehnologi digital dan pembelajaran digabungkan, maka akan
tercipta model pembelajaran multimedia. Model ini merupakan
gabungan gambar, audio, video dan animasi digunakan dalam
proses pembelajaran, sehingga proses pembelajaran akan
berkembang dengan baik.

Fenomena Saat ini


Saat ini, kita menghadapi revolusi industri keempat yang
dikenal dengan Revolusi Industri 4.0. Ini merupakan era inovasi
disruptif, di mana inovasi ini berkembang sangat pesat, sehingga
mampu membantu terciptanya pasar baru. Inovasi ini juga mampu

16 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada dan lebih dahsyat
lagi mampu menggantikan teknologi yang sudah ada. Indonesia
merupakan negara berkembang yang bahkan bisa dikatakan hanya
segelintir orang yang mengenal Revolusi Industri 4.0 ataupun
society 5.0. Hanya di kalangan akademis yang melek akan
kemajuan zamannya, pebisnis yang memang punya kepentingan
keberlangsungan usahanya, juga pemangku kebijakan publik yang
memperhatikan. Baru hanya segelintir orang.
Institusi pendidikan yang dikategorikan unggulan di
Indonesia pun belum menerapkan sistem industri 4.0 dan society
5.0 ini. Dari mulai sistem pendidikannya, cara berinteraksi
pendidik dan yang terdidik, serta pemupukan paradigma berpikir
modernnya. Revolusi industri 4.0 yang dinilai berpotensi dalam
mendegradasi peran manusia membuat Jepang melahirkan sebuah
konsep yaitu Society 5.0. Melalui konsep ini diharapkan membuat
kecerdasan buatan akan mentransformasi big data yang
dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan
menjadi suatu kearifan yang baru, dengan harapan untuk
meningkatkan kemampuan manusia dalam membuka peluang-
peluang bagi manusia.

Era Society 5.0


Jepang melahirkan sebuah konsep Society 5.0, yang
didefinisikan sebagai sebuah masyarakat yang berpusat pada
manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan
penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat
mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik. Cara Jepang
mendeskripsikan Society 5.0 sebagai berikut : (1) siginifikasninya
perkembangan teknologi, tetapi peran masyarakat menjadi
pertimbangan atas terjadinya revolusi industry 4.0, (2) Society 5.0
menawarkan masyarakat yang berpusat pada manusia, (3) Society
5.0 Menyeimbangkan Antara Kemajuan Ekonomi Dengan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 17


Penyelesaian Masalah Sosial Melalui Sistem yang Sangat
Menghubungkan Melalui Dunia Maya dan Dunia Nyata, (4)
Society 5.0 itu bukan lagi modal, tetapi data yang menghubungkan
dan menggerakkan segalanya, (5) membantu mengisi kesenjangan
antara yang kaya dan yang kurang beruntung, (6) Layanan
kedokteran dan pendidikan, dari tingkat dasar hingga Perguruan
Tinggi akan mencapai desa-desa kecil.
Selanjutnya perbedaan yang signifikan anatara era revolusi
industry 4.0 dengan society 5.0 sebagai berikut: revolusi industry
4.0 menuntut konektivitas di segala hal menggunaakn internet of
thing. Sedangkan konsep era society 5.0 sebagai inovasi baru dari
society 1.0 sampai society 5.0 dalam sejarah peradaban manusia.
Dimana era ini menfokuskan kepada komponen manusia, dengan
tetap menggunakan kecerdasan buatan sebagai alat/media. Internet
bukan hanya sebagai informasi melainkan untuk menjalani
kehidupan, di era society 5.0 juga disebut sebagai era dimana
semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri.
Perkembangan teknologi dapat meminimalisir adanya kesenjangan
pada manusia dan masalah ekonomi dikemudian hari, di mana era
ini menawarkan masyarakat yang berpusat pada keseimbangan.

Penerapan Society 5.0


Realisasi Society 5.0 bertujuan menciptakan masyarakat di
mana dapat menyelesaikan berbagai tantangan sosial dengan
memasukkan inovasi revolusi industri 4.0 (mis. IoT, data besar,
kecerdasan buatan (AI), robot, dan berbagi ekonomi) ke dalam
setiap industri dan kehidupan sosial.
Dengan melakukan hal itu, masyarakat masa depan akan
menjadi masyarakat di mana nilai-nilai dan layanan baru diciptakan
terus-menerus, membuat kehidupan manusia lebih selaras dan
berkelanjutan. Ini adalah Masyarakat 5.0, masyarakat yang super

18 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


cerdas. Jepang akan memimpin untuk mewujudkan ini di depan
negara-negara lain di dunia. "Masyarakat 5.0" disajikan sebagai
konsep inti di ke-5 Rencana Dasar Sains dan Teknologi. (lihat
gambar 1)

Gambar 1. "Inisiatif Jepang - Masyarakat 5.0"

Perjalan sejarah menuju society 5.0, dimulai dari society 1.0,


dimana society 1.0 didefinisikan sebagai pemburu-pengumpul,
tahap perkembangan manusia, kita sekarang telah melewati tahap
agraria dan industri, Society 2.0 dan 3.0, dan bergerak melampaui
era informasi, Society 4.0. Memasuki society 5.0 di mana Big Data
yang dikumpulkan berdasarkan internet akan dikonversi menjadi
tipe intelijen baru oleh kecerdasan buatan dan akan menjangkau
setiap sudut masyarakat. Ketika kita pindah ke Masyarakat 5.0,
kehidupan semua orang akan lebih nyaman dan berkelanjutan
karena orang hanya diberi produk dan layanan dalam jumlah dan
waktu yang dibutuhkan.
Negara Jepang memiliki keuntungan dengan menerapkan
Society 5.0. Dengan keberlimpahan data real melalui big data,
selanjutnya dipadukan dengan budidaya teknologi dari
Monozukuri, Jepang mengambil keuntungan dari faktor-faktor unik
ini, Jepang akan mengatasi tantangan sosial seperti penurunan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 19


populasi usia produktif, penuaan komunitas lokal dan masalah
energi dan lingkungan lebih terdepan dari negara lain. Jepang akan
mewujudkan masyarakat ekonomi yang dinamis dengan
meningkatkan produktivitas dan menciptakan pasar baru. Dengan
melakukan ini, Jepang akan memainkan peran kunci dalam
memperluas model Society 5.0 baru ke dunia.
Konsep society 5.0 hadir untuk dapat menyelesaikan
permasalahan masyakarat di seluruh dunia, dimana kapitalisme
ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi
belum mampu untuk menciptakan masyarakat yang dapat
bertumbuh dan berkembang dengan merdeka dan dapat menikmati
hidup sepenuhnya, oleh karena itu konsep society 5.0 merupakan
jawaban terhadap permasalahan tersebut dengan tujuan keadilan,
kemerataan, kemakmuran bersama sehingga dapat menciptakan
supersmart society:
Beberapa keuntungan dari penerapan society 5.0 sebagai
berikut :
a. Penyedia Layanan Kesehatan
Dengan menghubungkan dan berbagi data medis yang
sekarang tersebar di berbagai rumah sakit, perawatan medis
yang efektif berdasarkan data akan diberikan. Perawatan medis
jarak jauh memungkinkan orang lanjut usia tidak perlu lagi
sering mengunjungi rumah sakit. Selain itu, Anda dapat
mengukur dan mengelola data kesehatan seperti detak jantung
saat di rumah, sehingga dimungkinkan untuk memperpanjang
usia harapan hidup orang yang sehat.
b. Mobilitas
Orang-orang di daerah yang kekurangan penduduk merasa
kesulitan untuk berbelanja dan mengunjungi rumah sakit
karena kurangnya transportasi umum. Namun, kendaraan

20 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


otonom akan memungkinkan mereka untuk melakukan
perjalanan lebih mudah sementara drone pengiriman akan
memungkinkan untuk menerima apa pun yang dibutuhkan
seseorang. Kekurangan tenaga distribusi tidak akan
mengkhawatirkan.
c. Infrastruktur
Penggunaan teknologi baru termasuk Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK), robot, sensor untuk sistem inspeksi dan
pemeliharaan yang memerlukan keterampilan khusus, deteksi
tempat yang perlu diperbaiki dapat dilakukan pada tahap awal.
Dengan demikian, kecelakaan yang tidak terduga akan
diminimalkan dan waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan
konstruksi akan berkurang, sementara pada saat yang sama
keselamatan dan produktivitas akan meningkat.
d. Teknologi Keuangan
Pengiriman uang ke luar negeri memberatkan karena Anda
harus menghabiskan waktu dan membayar biaya bank.
Teknologi Blockchain akan mengurangi waktu dan biaya
sambil memastikan keamanan dalam transaksi bisnis global.

Tantangan dunia Pendidikan Indonesia di Revolusi 4.0


Indonesia merupakan negara berkembang, dimana
penduduknya belum secara merata mengenal revolusi industri 4.0
atau society 5.0. Tetapi tanda disadari, mereka telah merasakan
dampak dari revolusi tersebut, dimana peran manusia digantikan
oleh mesin/robot/Artificial Intelligence. Menurut (12; 13; 14)
sebanyak 75-375 juta tenaga kerja global beralih profesi.
Selanjutnya (15, (Gartner, 2017)) menyatakan bahwa sebanyak 1,8
juta jumlah pekerjaan digantikan dengan Artificial Intelligence.
Teknologi akan melahirkan berbagai profesi yang saat ini

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 21


belum ada. Indonesia perlu meningkatkan kualitas keterampilan
tenaga kerja dengan teknologi digital 16; (Parray, ILO, 2017); 17.
Dibutuhkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia
dan jug ateknologi. Melalui society 5.0 di mana cyberspace
dioptimalkan melalui pemanfaatan big data dan artificial
Intelligence, manusia melakukan analisis melalui sensor info yang
memberikan high-added value information, termanfaatkan secara
luas untuk semua manusia, untuk pertumbuhan masa depan dan
tidak terjadi kesenjangan (Fukuyama).

Tantangan Pendidikan Masa Depan


Kompleksitas masalah Pendidikan di Indonesia membutuh-
kan suatu solusi yang harus di tinjau dari sudut pandang sistem.
Secara global, menurut 18, Indonesia menduduki kategori
peringkat ke-71 dari 77 negara, di tinjau dari nilai rata-rata
matematika, IPA dan membaca. Persentase tingkat Pendidikan
suatu negara yang telah menyelesaikan Pendidikan tinggi usia 25-
64 tahun, terdapat 5 negara paling berpendidikan di dunia yaitu
Kanada sebanyak 56,7 %, Jepang 51,4%, Islarel 50,9%, Korea
47,7%, dan Amerika 46,5%, dengan rata-rata nilai keseluruhan
negara OECD sebanyak 36,9%. Indonesia berada pada tingkat 11,9
%. Tingkat Pendidikan di Indonesia lebih rendah dari rata-rata
tingkat Pendidikan di negara OECD.Sejalan dengan kondisi
tersebut, di mana tuntutan global dari perspektif Pendidikan,
Indonesia masih jauh dari rata-rata. Untuk meningkatkan daya
saing global tersebut maka Indonesia perlu segera berbenah, salah
satunya dengan mengalisis metode pembelajaran dan kesiapan
Sumber Daya Manusia Indonesia dalam menghadapi era revolusi
industry 4.0 dan bersiap untuk memasuki ISociety 5.0. sebuah
tantangan yang cukup berat, tetapi tetap harus dijalankan.
Tantangan tersebut saat ini dihadapkan pada generasi milenial
Indonesia. Dimana penduduk Indonesia berusia muda pada tahun

22 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


2025 diperkirakan mencapai 75 juta, oleh karena itu perlu perhatian
khusus dari pemerintah untuk hal tersebut, dimana era revolusi
industri 4.0 akan semakin mengurangi keterlibatan operator
manusia dalam industri dan akan menghilangkan banyak lapangan
pekerjaan. Akankah Pendidikan Indonesia mampu untuk
menciptakan generasi unggul?, di mana fakta yang diketahui
bersama Institusi pendidikan yang dikategorikan unggulan di
Indonesia pun belum menerapkan sistem industri 4.0 dan
society 5.0 ini. Dari mulai sistem pendidikannya, cara berinteraksi
pendidik dan yang terdidik, serta pemupukan paradigma berpikir
modernnya.
Beberapa tantangan dunia Pendidikan Indonesia di revolusi
industri 4.0, sebagai berikut: (a) Kesiapan Pemerintah
menyongsong era Pendidikan 4.0, (b) Pendidikan dituntut untuk
berubah, (3) Era Pendidikan dipengaruhi oleh revolusi industryi4.0,
(4) Pendidikan 4.0 dikenal dengan cyber system, (5) proses
pembelajaran kontinu tanpa batas ruang dan waktu, (6) Indonesia
lambat merespon revolusi industry 4.0. Tantangan lainnya, dilihat
dari sumber daya manusia, dimana; pendidik harus meng- upgrade
kompetensi Pendidikan 4.0; Peserta didik, sebagai generasi
milenial yang tidak asing lagi dengan dunia digital harus
dimanfaatkan potensi ini melalui berbagai cara, baik metode,
media, dan proses pembelajarannya; selain itu peserta didik juga
terbiasa dengan arus informasi dan teknologi industry 4.0;
selanjutnya produk sekolah berupa lulusan harus mampu menjawab
tantangan industri 4.0.
Selanjutnya, tantangan Pendidikan di masa depan juga
sangat komplek, diantaranya ; (1) implikasi revolusi Industri 4.0 ke
5.0; (2) masalah lingkungan hidup; (3) kemajuan teknologi
informasi; (4) konvergensi ilmu dan teknologi; (5) ekonomi
berbasis pengetahuan; (6) kebangkitan industri kreatif dan budaya;
(7) pergeseran kekuatan ekonomi dunia; (8) pengaruh dan imbas

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 23


teknosains; (9) mutu, investasi dan transformasi pada sektor
pendidikan . Tantangan-tantangan yang telah dijelaskan di atas,
harus segera ditindak lanjuti, sehingga harapannya dapat
menciptakan generasi unggul sebagaimana tuntutan kompetensi
yang harus dimiliki oleh seserang di masa depan. Kompetensi-
kompetensi masa depan tersebut sebagai berikut; a) kemampuan
berkomunikasi, b) kemampuan berpikir jernih dan kritis, c)
kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permaslahan, d)
memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat dan minatnya, e)
memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungan, f) kemampuan
menjadi warganegara yang bertanggungjawab, g) memiliki
kesiapan untuk bekerja, h) kemampuan mencoba untuk mengerti
dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, i) kemampuan hidup
dalam masyarakat yang mengglobal, j) memiliki minat luas dalam
kehidupan.
Tuntutan kompetensi tersebut dipadukan dengan tantangan
yang ada, baik secara nasional maupun global, maka sudah
selayaknya jika seseorang harus mempelajari dan menguasai
literasi baru untuk menghadapi era insudtri 4.0 dan society 5.0,
literasi baru yang dimaksud sebagai berikut :
a. Literasi data; kemampuan untuk membaca, analisis dan
menggunakan informasi (big data) di dunia digital
b. Literasi teknologi; memahami cara kerja mesin, aplikasi
teknologi (coding, artificial intelligence, machine learning,
engineering principles, biotech)
c. Literasi manusia; humanities, komunikasi dan desain
d. Penggabungan beberapa literasi tersebut, maka sudah
sepatutnya manusia dituntut untuk belajar sepanjang hayat,
atau pembelajar sepanjang hayat.

24 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Perspektif Manajemen Pendidikan tehadap revolusi indutri 4.0
dan Society 5.0
Berbagai tantangan, tuntutan kompetensi yang telah
disebutkan di atas, maka semua pihak harus mempersiapkan diri
dan berbenah dalam melakukan perbaikan dan perubahan dengan
tujuan meningkatkan mutu Pendidikan, dimana pendidikan
merupakan sebuah sistem maka perubahan juga harus dimulai
secara sistemik. Indonesia perlu menyiapkan Sumber Daya
Manusia Unggul era revolusi Industri 4.0 menuju Masyarakat 5.0
melalui Intervensi Pendidikan.
Indonesia pada tahun 2025, akan menghasilkan Sumber
Daya Manusia (SDM) usia produktif yang melimpah. Meskipun
demikian tidak semua manusia usia produktif tersebut memiliki
kompeten yang baik. SDM yang memiliki kompetensi maka dapat
menjadi modal pembangunan, tetapi bagi yang tidak kompeten
akan menjadi menjadi beban pembangunan bagi Indonesia. Oleh
karena itu untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia Unggul era
revolusi Industri 4.0 menuju Masyarakat 5.0 perlu dilakukan
melalui Intervensi Pendidikan, mencakup kurikulum, Pendidik dan
tenaga Kependidikan, Sarana Prasarana, Pendanaan, dan
pengelollan Pendidikan.
Strategi pengembangan Pendidikan untuk meningkatkan
Sumber Daya Manusia era revolusi industri 4.0, untuk menjawab
tantangan dan kompetensi masa depan. Maka diperlukan
pendekatan strategis dalam setiap jalur, jenjang, dan jenis
Pendidikan, dengan tujuan untuk pengembangan SDM yang
beriman, bertaqwa, berpengetahuan, memiliki pribadi integral,
mandiri, kreatif, nasionalis.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 25


Problematika Pendidikan Nasional dalam Perspektif
Manajemen Pendidikan
Terdapat empat problematika Pendidikan nasional dalam
perspektif manajemen Pendidikan, diantaranya;
a. Pemerataan; permasalahan pemerataan Pendidikan terjadi
pada tenaga guru, kemampuan ekonomi masyarakat yang
lemah, dan sarana /prasarana kelas.
b. Relevansi; masih lemahnya Pendidikan dalam menjalin
kemitraan dengan Dunia Usaha (DU)/ Dunia Industri (DI),
Pendidikan juga belum berbasis pada masyarakat dan potensi
daerah, selanjutnya kecakapan hidup yang dihasilkan melalui
Pendidikan belum optimal sesuai fitrah dan bakat seseorang.
c. Kualitas/Mutu; dimana proses pembelajaran yang
konvensional, kinerja dan kesejahteraan guru yang belum
optimal, jumlah dan kualitas buku/media pembelajaran yang
belum optimal.
d. Efesiensi/Efektivitas; dimana penyelenggaraan otonomi
Pendidikan yang belum optimal, pengelolaan APBD dan
APBN yang belum optimal, mutu Sumber Daya Pengelola
Pendidikan yang masih rendah.
Terkait dengan hal tersebut di atas, maka reformasi
Pendidikan yang mengacu pada 8 (delapan) Standar Nasional
Pendidikan (SNP) perlu mendapat penguatan dalam implementasi-
nya. Dimana kedelapan SNP tersebut, harus menyesuaikan dengan
karakteristik pendidikan di era revolusi industry 4.0. Harapan
Pendidikan Indonesia, melalui pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM) Indonesia masa depan, di antaranya ;
a. SDM Indonesia berkarakter kuat, yang bercirikan jujut,
akhlak mulia, mandiri dan berintegritas.
b. SDM Indonesia memiliki multi kecakapan abad 21 dan

26 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


bersertifikat, dimana SDM Indonesia memiliki kompetensi
berpikir kritis dan pemecahan masalah, kecakapan
berkomunikasi, kreativitas dan inovasi, kolaborasi, kecakapan
literasi, dan mempunyai lulusan vokasi yang berkompetensi
dan bersertifikat.
c. SDM Indonesia merupakan sumber daya pembelajar yang
inovatif, mempunyai jiwa menjadi enterpreuner.
d. SDM Indonesia memiliki kompetensi Kewargaan Global,
dimana SDM berwawasan global, yang dapat bekerja dan
memiliki aktivitas hidup sebagai warga negara yang baik
dalam tatanan kehidupan dunia.
e. SDM Indonesia memiliki sikap elastis dan pembelajar
sepanjang hayat, dimana memiliki kemampuan akademik,
berpikir kritis, berorentasi pada pemecahan masalah,
berkemampuan untuk belajar meninggalkan pemikiran yang
lama dan belajar lagi untuk hal-hal baru, memiliki
keterampilan pengembangan individu dan sosial (termasuk
kepercayaan diri, motivasi, komitmen terhadap nilai-nilai
moral dan etika).
Hal tersebut dapat di capai melalui pendekatan
pembelajaran 4.0, sebagai respon tantangan dari revolusi industry
4.0. Salah satu program dan kebijakan Kemenristekdikti dalam
peningkatan kemampuan lulusan era revolusi industry 4.0,
dilakukan melalui program pengembangan IPTEK dan Inovasi,
dimana mahasiwa dan dosen harus mengikuti kompetensi inti yang
sesuai dengan kebutuhan industry 4.0. kompetensi inti yang
dimaskud diantaranya ; kemampuan kognitif (berpikir kritis,
sistemtik,lateral dan tingkat tinggi, entrepreneur); belajar sepanjang
hayat; literasi baru (literasi data, literasi teknologi, literasi
manusia); general education; kegiatan ko & Ekstrakurikuler yang
terintegrasi ke dalam kegiatan organisasi dan, atau UKM.
Jika di lihat dari perbedaan proses pembelajaran, sesuai

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 27


dengan era, dimana ;
(1) era revolusi industry 1.0 pembelajaran berpusat pada guru
(teachers centered), guru satu-satunya sumber ilmu mengajar dan
menghafal, (2) era revolusi industri 2.0 di mana learners as
receplaces of knowledge, peserta didik menanggapi pengetahuan
dan peserta didik “menolak” pengetahuan. Internet secara parsial
mulai digunakan; (3) era revolusi industri 3.0, teachers as
facilitator, di mana penerapan pembalajaran kolaboratif dan
interaktif, social networking, problem/project/inquiry based
learning digunakan, (4) era revolusi industry 4.0, di mana learners
as connectors, creators, constructivist, penggunaan web sebagai
kurikulum, siswa sebagai produser konten belajar/berbasis inovasi,
siswa sebagai connection-maker, informasi yang terbuk sangat
luas, dan guru sebagai pemandu ke sumber daya dan konten ajar.
Pembelajaran yang direncanakan, tujuan nya adalah untuk
dapat membentuk tahap berpikir menjadi leih baik/berpikir kritis.
Menurut (Lynch, 2001), tahap untuk berpikir lebih baik terdiri dari
4 (empat) tahap, sebagai berikut :
a. Tahap 1, identifikasi masalah dan informasi yang relevan
(proses kognitif dengan kompleksitas rendah);
b. Tahap 2, eksplorasi, interpretasi, dan mencari hubungan (proses
kognitif dengan kompleksitas sedang);
c. Tahap 3, menetapkan pilihan prioritas dan mengkomunikasikan
simpulan (proses kognitif dengan kompleksitas tinggi)
d. Tahap 4, integrase, monitoring dan menajamnkan strategi untuk
menyelesaikan (proses kognitif dengan kompleksitas paling
tinggi).
Berpikir kritis sangat penting untuk keberhasilan akademis
dan merujuk pada jenis keterampilan yang perlu dipelajari peserta
didik agar mereka dapat berpikir secara efektif dan rasional tentang

28 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


apa yang ingin mereka lakukan dan apa yang mereka yakini
sebagai tindakan terbaik. Ini dapat melibatkan pengidentifikasian
tautan antara gagasan, analisis sudut pandang, evaluasi argumen,
bukti pendukung, penalaran, dan menarik kesimpulan.
Taksonomi Bloom, menurut 19 ; (Puspendik, 2019), tahap
berpikir dan dimensi proses kognitif terbagi menjadi tiga; (1) lower
order thinking skill (LOTS), terdiri dari mengingat (level kognitif
1), (2) Midle order thinking skill (MOTS), terdiri dari memahami
(level kognitif 1), mengaplikasikan (level kognitif 2), (3) Higher
order thinking, terdiri dari (menganalisis, mengevaluasi, dan
mengkreasi (level kognitif 3). Pembelajaran dengan pendekatan
HOTS sudah sepatutnya di implementasikan dalam pembelajaran
Pendidikan 4.0. Impelentasi industri 4.0 sudah tentu akan
menimbulkan berbagai dampak yang tidak bisa dihindari, misalnya
saja masalah sumber daya. Penggunaan mesin produksi yang
terintegrasi dengan internet tentu memerlukan tenaga kerja ahli
terlatih yang mampu mengoperasikan mesin automasi tersebut.
Integrasi tenaga kerja ahli dan automasi mesin di era industri 4.0
seperti ini yang nantinya diharapkan dapat memangkas proses
produksi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Hal
tersebut dilakukan untuk merealisasikan masyarakat Indonesia 5.0.

IV. PENUTUP
A. Simpulan
Terdapat beberapa kecanggihan tehnologi digital seperti
mudah bekerja karena beroperas secara otomatis, cepat, berkualitas,
efektif, effisien, mudah mentransfer data dan informasi ke media
elektronik lain. Dan banyak lagi kecanggihan-kecanggihan dari
tehnologi digital ini yang dapat diambil manfaatnya untuk aktivitas
manusia. Seperti Internet misalnya, kita bisa berhubungan secara
online, sehingga manusia seolah-olah berada pada didunia yang

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 29


sempit dengan jangkauan semakin luas, karena dirasakan lebih
mudah, cepat dan dinamis menerima informasi serta
berkomunikasi. Kita harus cerdas memanfaatkan peluang kemajuan
tehnologi digital, diberbagai bidang kehidupan termasuk dalam
penyelenggaraan pendidikan. Peluang ini cukup memberikan
harapan, jika dapat dimanfaatkan secara optimal, untuk
meningkatkan motivasi belajar peserta didik dalam rangkaian
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Integrasi tehnologi
digital dengan penyelenggaraan pendidikan, sudah terakit dalam
sebuah jaringan yang cukup rapi, sekarang ini dikenal dalam dunia
pendidikan istilah E-Learning yaitu belajar melalui dunia online,
artinya peserta didik sudah dapat memanfaatkan tehnologi digital
dalam belajar. Dengan demikian dapat disimpulkan manfaat
tehnologi digital terhadap motivasi belajar peserta didik membuat
cara belajar lebih baik.

Implikasi
Pembelajaran diera revolusi industry 4.0 menuju
masyarakat 5.0 dalam perspektif manajemen Pendidikan dilakukan
dengan cara mengintegrasikan berbagai aspek yang berpengaruh
terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Saran
Selanjutnya untuk saran dibingkai melalui kebijakan
reformasi dalam delapan bidang standard nasional pendidikan,
yang memasukan muatan-muatan yang sesuai dengan karakteristik
dan kebutuhan pendidikan di era revolusi industry 4.0. Jika kondisi
ini dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan sistem pendidikan
nasional kita akan mampu menciptakan tatanan masyarakat 5.0,
yakni tatanan masyarakat berbasi teknologi informasi, yang super
cerdas, sejahtera, dan berkeadaban.

30 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


DAFTAR PUSTAKA
Davies R. Industry 4.0; Digitalisation for productivity and growth.
Eur Parliam Res Serv. 2015;( diakses 12 Desember 2020).
Direktorrat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Guru
Penggerak Indonesia Maju, wujudkan Sumber Daya Manusia
yang Unggul. https://p4tkbmti.kemdikbud.go.id.
https://p4tkbmti.kemdikbud.go.id/main/20
19/12/04/mendikbud-guru- penggerak- indonesia-maju-
wujudkan-sdm-yang- unggul/. Published 2019. Thufail FI.
Peneliti LIPI: Jepang Society 5.0 Akan Gagal Seperti Cool
Japan. Tempo.Co. https://www.aminef.or.id/peneliti-lipi-
jepang-society-5-0-akan-gagal-seperti- cool-japan/. (diakses
12 Desember 2020).
Fukuyama BM. Society 5 . 0 : Aiming for a New Human-
Centered Society. Japan Spotlight. 2018;Special
ar(August):47-50. https://www.jef.or.jp/journal/pdf/220th_Sp
ecial_Article_02.pdf.
Group.; 2013. http://ajidedim.wordpress.com ( diakses 12
Desember 2020 ) http://ajidedim.wordpress.com ( diakses 12
Desember 2020 ) http://www.goechi.com ( diakses 12
Desember 2020). http://dictum4magz.wordpress.com/(
diakses 12 Desember 2020). http://dictum4magz.
wordpress.com( diakses 12 Desember 2020 ).
http://belajarpsikologi.com/pengertian-motivasi-
belajar/http://globallavebookx.blogspot.co.id/2015/03/pengert
ian-peserta-didik-menurut-ahli.html. http://www.total.or.id
(diakses 12 Desember 2020).
https://www.mckinsey.com/~/media/mckinsey/featured
insights/future of organizations/what the future of work will

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 31


mean for jobs skills and wages/mgi jobs lost-jobs
gained_report_december 2017.ashx.
James Manyika, Susan Lund, Michael Chui, Jacques Bughin,
Jonathan Woetzel, Parul Batra, Ryan Ko and SS. Jobs lost,
jobs gained: What the future of work will mean for jobs,
skills, and wages. McKInsey Global Institute.
Kagermann, H., Lukas, W.D., & Wahlster W. Final Report:
Recommendations for Implementing the Strategic Initiative
INDUSTRIE 4.0. Industrie 4.0 Working
Kate Whiting. the challenges for the future of education at the
World Economic Forum in 2018.
Kuntari Eri Murti. 2013. Artikel Kurikulum pendidikan. Stephen P.
Robbins. 2010. Manajemen, Erlangga, Jakarta.
Lee EA. Cyber physical systems: Design challenges. In Object
Oriented Real-Time Distributed Computing (ISORC). In:
11th IEEE International Symposium,. ; 2008:363-369.
M. Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif,
Penerbit Grapindo, Jakarta.
McKinsey Global Institute. A Future That Works : Automation,
Employment, and Productivity.; 2017.
McKinsey. Otomasi Dan Masa Depan Pekerjaan Di Indonesia.;
2019.https://www.mckinsey.com/~/media/mckinsey/featuredi
nsights/asia pacific/automation and the future of work in
indonesia/automation-and-the-future- of-work-in-indonesia-
indonesian.ashx.
Merkel A. Speech by Federal Chancellor Angela Merkel to the
OECD Conference.
https://www.bundesregierung.de/Content/EN/Reden/2014/20
14-02-19-oecd- merkel-paris_en.html. Published 2014.

32 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Schlechtendahl, J., Keinert, M., Kretschmer, F., Lechler, A., &
Verl A. Making existing production systems Industry 4.0-
ready. Prod Eng. 2015;9(1):143-148.
Sekretaris Negara Republik Indonesia, UU RI No:20 Tahun 2003,
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tekno. Kompas.com
(diakse 3 Agustus 2017). http//sugikshare.blogspot.com
(diakses 12 Desember 2020) Wikipedia bahasa Indonesia (
diakses 12 Desember 2020)
Undang-Undang Nomor 20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.;
2003.
Wikipedia bahasa Indonesia ( di akses 12 Desember 2020) .
http://arifakbarmuhamad.wordpres.com (diakses 12
Desember 2020)
winstarlink.com. apakah Indonesia sudah siap dg era digital
(diakses 20 Agustus 2017.
World Economic Forum.
https://www.weforum.org/agenda/2018/09/jack-ma-wants-to-
go-back-to-teaching/. Published 2018.
Y. Harayama. Society 5.0: Aiming for a New Humancentered
Society. Hitachi Rev. 2017;66(6):556-557.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 33


BAGIAN KEDUA
SMART LEARNING ;
PEMBELAJARAN ERA DIGITAL
Sari Gunawan, Edy Susanto, Asep Suparman,
Kimli Haroswinarti

I. PENDAHULUAN
Smart Learning adalah sistem pendidikan yang
memungkinkan siswa belajar dengan menggunakan teknologi
terbaru di mana siswa dapat belajar kapan dan di mana saja melalui
teknologi yang ditawarkan di Lingkungan Belajar Cerdas mereka.
Menurut Tikhomirov, Dneprovskaya dan Yankovskaya, Pendidikan
Cerdas memiliki tiga dimensi utama: hasil pendidikan dan
pembelajaran, ICT dan teknologi cerdas.
Karakteristik pembelajaran smart learning adalah : (1)
Holistik, suatu gejala atau peristiwa yang menjadi pusat perhatian
dalam pembelajaran tematik diamati dan dikaji dari beberapa
bidang studi sekaligus, tidak dari sudut pandang yang terkotak-
kotak. (2) Bermakna, pengkajian suatu fenomena dari berbagai
macam aspek, memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antar
skemata yang dimiliki oleh siswa, yang pada gilirannya nanti, akan
memberikan dampak kebermaknaan dari materi yang dipelajari; (3)
Otentik, pembelajaran tematik memungkinkan siswa memahami

34 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


secara langsung konsep dan prinsip yang ingin dipelajari. (4) Aktif,
pembelajaran tematik dikembangkan dengan berdasar kepada
pendekatan diskoveri inkuiri di mana siswa terlibat secara aktif
dalam proses pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
hingga proses evaluasi.
Dengan tema diharapkan memberikan banyak keuntungan,
di antaranya (1) Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu
tema tertentu, (2) Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan
mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar mata pelajaran
dalam tema yang sama, (3) Pemahaman terhadap mata pelajaran
lebih mendalam dan berkesan, (4) Kompetensi dasar dapat
dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan mata pelajaran lain
dengan pengalaman pribadi siswa, (5) Siswa mampu lebih
merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan
dalam konteks tema yang jelas, (6) Siswa lebih bergairah belajar
karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk
mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran
sekaligus mempelajari mata pelajaran lain, (7) Guru dapat
menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara
tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau
tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan
remedial, pemantapan, atau pengayaan (Pusat Kurikulum, 2006: 5).
Proses pembelajaran Smart Learning Solution menekankan
pola pembelajaran yang mengarahkan anak untuk dapat berpikir
lebih yang dapat mengarahkan anak agar dapat mencerna hal-hal
yang bersifat abstrak menjadi Qristin Violinda / Indonesian Journal
of Early Childhood Education Studies 1 (1) (2012) 39 konkret
berdasarkan experience of knowledge. Selain itu pembalajaran
Smart Learning Solution dapat membangun kesadaran yang lebih
berani karena kesadaran adalah inti dari khayalan yang
dibangkitkan. Teori holistik yang baru-baru ini dikembangkan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 35


dapat membeikan suatu konseptualisasi terhadap pengetahuan dan
pembelajaran (Yang, 2003).
Teori holistik menyatakan ilmu pengatahuan sebagai
bangunan sosial dengan tiga sisi yang berbeda dan saling
berhubungan–pengetahuan eksplisit, implisit dan emansipatif. Ilmu
pengetahuan dipandang sebagai pemahaman manusia terhadap
realita melalui korespondensi mental, pengalaman personal, dan
pengaruh emosional dengan objek dan situasi di luar. Sisi eksplisit
terdiri dari komponen pengetahuan kognitif yang mere-
presentasikan pemahaman terhadap realita. Pengetahuan eksplisit
menunjukan ketakutan mental yang jelas dan khusus dan
disampaikan dalam format yang fomal dan objektif. Pengetahuan
eksplisit adalah kodifikasi dari pengetahuan yang membedakan
kebenaran dan kesalahan.
Sisi implisist merupakan komponen pengetahuan behavioral
yang menunjukan pembelajaran yang tidak dilakukan atau
disampaikan secara terbuka. Pada kebanyakan kasus, kita
mengetahui sesuatu lebih banyak dari yang kita kira (Polanyi,
1967). Pengetahuan implisit bersifat personal dan merupakan
kebiasaan yang spesifik pada konteks. Pengetahuan jenis ini juga
merupakan sesuatu yang sulit diformalisasikan dan dikomunikasi-
kan atau dengan kata lain merupakan suatu kebiasaan yang masih
harus diartikulasikan. Pengetahuan ini menunjukan sesuatu yang
bekerja dalam realita berdasarkan pada observasi langsung atau
keterlibatan.
Pengetahuan implisit biasanya datang dan eksis dalam
tindakan, aksi dan akumulasi pengalaman seseorang. Sisi
emansipatif mnerupakan komponen pengetahuan efektif dan
direfleksikan dalam reaksi afektif ke dunia luar. Pengetahuan
emansipatif merupakan pemahaman seseorang berdasarkan pada
pengaruh emosional dan kemudian dipandang sebagai sesuatu yang
bernilai. Pengetahuan ini ditunjukan melalui perasaan dan emosi

36 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


yang dialami oleh manusia melalui objek dan situasi di sekitarnya.
Pengetahuan emansipatif menentukan pandangan sesorang
terhadap apa yanbg terjadi di dunia dan meupakan produk dari
pencarian kebebasan dari pengendalian natural dan sosial.
Pengetahuan ini biasanya direfleksikan oleh ungkapan afektif dan
motivatif internal.
Sebagai upaya mewujudkan Smart Learning sebgaimna
dijelaskan di atas, maka ada tiga hal prndekatan dalam proses
belajar yang perlu kita ketahui sekaligus sebagai acuan dalam
implentasi pembelajaran Era Digital, yakni; Merdeka Belajar,
Belajar Menyenangkan [Fun Learning] serta Pembelajaran Abad
21 dan HOTS.

II. PEMBAHASAN
a. Merdeka Belajar
Merdeka belajar yang tengah booming saat ini, hakikatnya
adalah upaya untuk memahamkan pada segenap pengambil
dan pelaksana kebjakan pendidikan untuk melihat bahwa nilai
atau hasil belajar bukanlah penentu kompetensi seseorang.
Akreditasi bukan pula menjadi tolak ukur kemampuan sebuah
lembaga dalam mencetak luaran yang berkualitas. Alhasil,
perlu ada kebijakan yang tepat untuk mengukur kapabilitas
lulusan. Memang, tentu saja hal ini tidak luput dari
kekurangsetujuan sebagian masyarakat atas kebijakan ini yang
beranggapan bahwa nantinya ketika kebijakan itu berlangsung
banyak siswa yang terlalu santai dalam belajar karena tidak
lagi memikirkan Ujian Nasional (UN) yang sebetulnya itu
adalah sebagai tolak ukur kemampuan kompetensi secara
nasional yang materi soal-soalnya bersesuaian dengan
kurikulum yang berlaku pada tiap-tiap zamannya.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 37


Program ini merupakan kebijakan baru Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
(Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Esensi
kemerdekaan berpikir, menurut Nadiem, harus didahului oleh
para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi.
Nadiem menyebut, dalam kompetensi guru di level apa pun,
tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan
kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran
yang terjadi.
Pada tahun mendatang, sistem pengajaran juga akan berubah
dari yang awalnya bernuansa di dalam kelas menjadi di luar
kelas. Nuansa pembelajaran akan lebih nyaman, karena murid
dapat berdiskusi lebih dengan guru, belajar dengan outing
class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi
lebih membentuk karakter peserta didik yang berani, mandiri,
cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan
tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang menurut
beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja,
karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan
kecerdasannya dalam bidang masing-masing. Nantinya, akan
terbentuk para pelajar yang siap kerja dan kompeten, serta
berbudi luhur di lingkungan masyarakat.
Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim terdorong
karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang
bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai
tertentu.[2]
Pokok-pokok kebijakan Kemendikbud RI tertuang dalam
paparan Mendikbud RI di hadapan para kepala dinas
pendidikan provinsi, kabupaten/kota se-Indonesia, Jakarta,
pada 11 Desember 2019.

38 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Ada empat pokok kebijakan baru Kemendikbud RI, yaitu:
1. Ujian Nasional (UN) akan digantikan oleh Asesmen
Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Asesmen ini
menekankan kemampuan penalaran literasi dan numerik
yang didasarkan pada praktik terbaik tes PISA. Berbeda
dengan UN yang dilaksanakan di akhir jenjang pendidikan,
asesmen ini akan dilaksanakan di kelas 4, 8, dan 11.
Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi sekolah untuk
memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya sebelum
peserta didik menyelesaikan pendidikannya.
2. Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan
diserahkan ke sekolah. Menurut Kemendikbud, sekolah
diberikan keleluasaan dalam menentukan bentuk penilaian,
seperti portofolio, karya tulis, atau bentuk penugasan
lainnya.
3. Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Menurut Nadiem Makarim, RPP cukup dibuat satu halaman
saja. Melalui penyederhanaan administrasi, diharapkan
waktu guru dalam pembuatan administrasi dapat dialihkan
untuk kegiatan belajar dan peningkatan kompetensi.
4. Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), sistem
zonasi diperluas (tidak termasuk daerah 3T[3]). Bagi peserta
didik yang melalui jalur afirmasi dan prestasi, diberikan
kesempatan yang lebih banyak dari sistem PPDB.
Pemerintah daerah diberikan kewenangan secara teknis
untuk menentukan daerah zonasi ini.
Nadiem membuat kebijakan merdeka belajar bukan tanpa
alasan. Pasalnya, penelitian Programme for International
Student Assesment (PISA) tahun 2019 menunjukkan hasil
penilaian pada siswa Indonesia hanya menduduki posisi

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 39


keenam dari bawah; untuk bidang matematika dan literasi,
Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 Negara.
Menyikapi hal itu, Nadiem pun membuat gebrakan
penilaian dalam kemampuan minimum, meliputi literasi,
numerasi, dan survei karakter. Literasi bukan hanya
mengukur kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan
menganalisis isi bacaan beserta memahami konsep di
baliknya. Untuk kemampuan numerasi, yang dinilai bukan
pelajaran matematika, tetapi penilaian terhadap kemampuan
siswa dalam menerapkan konsep numerik dalam kehidupan
nyata. Soalnya pun tidak, tetapi membutuhkan penalaran.
Satu aspek sisanya, yakni Survei Karakter, bukanlah sebuah
tes, melainkan pencarian sejauh mana penerapan asas-asas
Pancasila oleh siswa.

b. Belajar Menyenangkan [Fun Learning]


Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang bersifat
menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak
sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan
salah satu sarana belajar, melainkan berkaitan pula dengan
interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu pengalaman. Hal
yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu
menjadi target dari belajar. Selain pengamatan umum tentang
ketidaksukaan anak terhadap kegiatan belajar ini, ada pula
dukungan survai yang dilakukan oleh Tony Buzan. Tiga puluh
tahun lamanya ia melakukan penelitian yang berkaitan dengan
asosiasi seseorang terhadap kata "belajar". Waktu ditanyakan
kepada responden kesan apa yang muncul dalam pikiran
mereka saat mendengar kata "pendidikan" atau "belajar",
jawabannya adalah "membosankan", "ujian", "pekerjaan

40 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


rumah", "buang-buang waktu", "hukuman", tidak relevan",
"tahanan", dan lain sebagainya.
Dapat disimpulkan bahwa belajar dan sekolah bukanlah hal
yang menyenangkan bagi anak-anak. Padahal saat anak-anak
belum cukup umur, mereka merengek-rengek mau ikut sekolah
bersama kakaknya. Mereka juga senang menulis dan
menggambar atau membuka-buka buku walaupun belum
mengerti isinya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak-
anak kita ini? Apakah karena belajar telah menjadi semacam
pemaksaan dan beban saat anak mulai bersekolah sehingga
keasyikan mereka menguasai keterampilan menjadi hilang?

c. Apakah Arti Belajar ?


Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang bersifat
menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak
sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan
salah satu sarana belajar, melainkan berkaitan pula dengan
interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu pengalaman. Hal
yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu
menjadi target dari belajar. Dengan belajar, seseorang yang
tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa.
Kita perlu memperluas pemahaman tentang belajar tidak hanya
pada pengetahuan yang bersifat konseptual, melainkan juga
hal-hal yang menyangkut keterampilan serta sikap pribadi
yang mempengaruhi perilaku seseorang. Ada empat area yang
disentuh berkenaan dengan belajar yaitu:
1. Citra diri dan perkembangan kepribadian
2. Latihan keterampilan hidup
3. Cara berpikir atau pola pikir

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 41


4. Kompetensi atau kemampuan yang bersifat akademik,
fisik, dan artistik.
Selain itu ada satu area lagi yang menurut penulis sangat
penting yaitu area yang bersifat rohani, yang menyangkut
pengenalan seseorang terhadap Tuhan. Tony Buzan, seorang
psikolog dari Inggris, mengatakan demikian; "Pada saat
seorang anak dilahirkan, ia sebetulnya benar-benar brilian."
Sebab itu, adalah salah jika orangtua beranggapan anaknya
bodoh. Bila ia dikatakan bodoh, maka kemungkinan ia akan
menjadi bodoh. Saran yang diberikan adalah agar anak
mendapatkan sebanyak mungkin latihan fisik yang meng-
gunakan tangan dan kaki seperti merangkak, memanjat, dan
sebagainya. Orangtua perlu memberi kesempatan pada anak-
anak untuk belajar dari kesalaha, yaitu melalui trial and error
(coba-salah). Anak-anak suka bereksperimen, mencipta, dan
mencari tahu cara bekerjanya sesuatu. Mereka juga suka pada
tantangan. Sebab itu penting bagi orangtua untuk memperluas
dunia anak mereka, tidak terbatas hanya di rumah saja.
Anak-anak juga cenderung bertanya tentang segala hal yang
tampak baru bagi mereka. Untuk itu dibutuhkan kesabaran
orangtua untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan
mereka. adalah kurang bijaksana jika orangtua menanggapi
pertanyaan anak dengan mengatakan; "Sudah, kamu anak kecil
nggak usah tanya-tanya, bawel amat, sih, "atau; "Kamu masih
kecil, nanti sudah besar juga akan tahu sendiri." Dalam hal ini
orangtua sebenarnya sedang mematikan rasa ingin tahu anak.
Padahal rasa ingin tahu ini adalah hal yang sangat penting
dalam proses belajar.
Ada orangtua yang beraksi dengan cara lain, yaitu dengan
tidak menghiraukan atau mendiamkan anak, atau hanya
menjawab seadanya agar anak segera berhenti bertanya. Pola
asuh yang demikian tentu tidak mendukung metoda CBSA

42 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


(Cara Belajar Siswa Aktif) yang berusaha diterapkan di
sekolah-sekolah sekarang ini. Sadar atau tidak, pola asuh orang
tua atau cara guru mengajar memiliki andil dalam membentuk
anak-anak kita menjadi aktif atau pasif. Bagi anak, bertanya
merupakan modal dasar mereka untuk belajar.
Selain itu, anak juga banyak belajar dengan cara meniru orang
dewasa. Mereka mencontoh orang dewasa dengan melihat dan
mengamati, atau dengan mendengar. Karena itulah, kita tidak
usah heran mendengar anak kita tiba-tiba mengucapkan kata-
kata makian atau kata kasar yang tidak pernah kita ajarkan.
Mungkin mereka mendengar makian itu dari pembantu, dari
televisi, atau dari kita sendiri. Saat anak mengucapkan kata-
kata kasar seperti itu, saat itu juga orangtua perlu memberi
penjelasan tentang arti kata-kata tersebut beserta dampaknya
dan berusaha mengoreksinya.

d. Usia Efektif Belajar


Kapan waktu yang paling tepat bagi seorang anak untuk
belajar secara optimal? Teori perkembangan kognitif Piaget
memberi penekanan pada faktor kematangan atau kesiapan
dalam belajar, artinya ada masanya bagi seorang anak untuk
belajar sesuatu. Sebab itu adalah sia-sia jika kita mengajarkan
sesuatu kepada anak sebelum waktunya. Misalnya, anak yang
belum memasuki tahap perkembangan kognitif praoperasional
(2-7 tahun) umumnya masih akan mengalami kesulitan dalam
belajar bahasa karena belum mampu menggunakan simbol-
simbol. Oleh karena itu, penganut teori Piaget berpendapat
bahwa adalah sia-sia mengajar bahasa (di luar bahasa ibu)
kepada anak usia di bawah lima tahun.
Namun belakangan ini berkembang teori belajar yang bisa kita
baca dalam buku Accelerated Learning for the 21st Century

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 43


oleh Colin Rose dan Malcolm J. Nitcholl, yang mengatakan
bahwa sejak lahir sampai dengan usia 10 tahun adalah masa-
masa yang sangat penting dan peka bagi anak untuk belajar.
Disebutkan bahwa 50% kemampuan belajar anak dikembang-
kan pada masa empat tahun pertama, 30% dikembangkan
menjelang ulang tahunnya yang ke-8, dan tahun-tahun yang
amat penting tersebut merupakan landasan atau penentu bagi
semua proses belajarnya di masa depan. Berdasarkan teori
tersebut, anak perlu diberi banyak rangsangan pada masa
empat tahun pertama agar ia belajar dan menyerap banyak hal.
Tahun-tahun pertama inilah yang justru merupakan saat tepat
dan ideal bagi anak untuk belajar lebih dari satu bahasa.
Dikatakan juga bahwa semua anak sebenarnya jenius di bidang
bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa saat terbaik untuk
mengembangkan kemampuan belajar adalah sebelum masuk
sekolah, karena sebagian besar jalur penting di otak dibentuk
pada tahun-tahun awal tersebut. Dalam hal ini, orangtua
memegang peranan sangat penting dalam meletakkan fondasi
bagi pengembangan kemampuan belajar anak.

e. Tips-tips Praktis
Berikut adalah kiat-kiat praktis agar belajar menjadi
pengalaman yang menyenangkan bagi anak.
1. Ciptakan Lingkungan Tanpa Stres (Rileks).
Seorang ibu mengeluh bahwa anaknya yang baru kelas 3
SD sudah dapat mengungkapkan bahwa dirinya stres. Jika
dipikir-pikir, anak-anak mendapatkan banyak tekanan,
baik dari guru-guru di sekolah maupun orangtua dengan
harapan-harapan yang terkadang kurang realistis demi
terpenuhinya cita-cita orangtua yang dulu tidak berhasil
dicapai.

44 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Orangtua hendaknya tidak terlalu menekankan nilai,
kelulusan, dan gelar, sebab hakekat belajar bukan terletak
pada itu semua. Saya ingat sekali pengalaman saya
sewaktu di SD. Saya sangat lemah dalam bidang
matematika. Setiap kali akan ulangan matematika,
orangtua saya membuatkan soal latihan banyak sekali
yang mencakup seluruh materi pelajaran yang telah
diajarkan. Pada hari itu saya pasti tidur sangat malam
karena orang tua terus mendesak saya menyelesaikan
semua soal yang ada sampai saya menangis-nangis
memohon agar hal ini segera diakhiri. Hingga keesokan
paginya pun, orangtua saya tetap berusaha menggunakan
menit-menit terakhir bahkan terkadang sampai di gerbang
sekolah pun saya masih dijejali rumus-rumus yang harus
dihafalkan.
Tidak dapat disangkal bahwa akhirnya kepanikan
orangtua juga menular pada diri saya sehingga betapa
keras pun usaha orangtua mengajar saya, nilai saya tetap
jelek, kadang-kadang pas-pasan. Yang jelas, sejak itu
saya jadi agak alergi dengan pelajaran matematika.
Anak tidak bisa belajar efektif dalam keadaan stres.
Syarat pembelajaran yang efektif adalah lingkungan yang
mendukung dan menyenangkan. Belajar perlu dinikmati
dan timbul dari perasaan suka serta nyaman tanpa
paksaan. Untuk menciptakan lingkungan tanpa stres bagi
anak, penting bagi orangtua agar rileks dan tidak
menetapkan target atau menuntut anak melebihi
kemampuannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan
tuntutan dari orang tua dengan budaya yang berbeda. Orang
tua dari budaya Jepang dan Cina menetapkan standar yang
lebih tinggi terhadap prestasi anak, mengevaluasi dengan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 45


ketat hasil yang diperoleh, dan mendorong anak untuk
bekerja lebih keras. Sedangkan orangtua Amerika lebih
menekankan kemampuan dasar (IQ) anak daripada kerja
keras dalam mencapai prestasi akademik. Sebenarnya perlu
bagi orang tua untuk merefleksi diri dan menjawab dengan
jujur pertanyaan; "Apakah yang saya lakukan ini adalah
untuk kepentingan anak saya atau untuk kepentingan diri
saya sendiri?"
2. Manfaat Sarana Bermain untuk Belajar.
Dunia anak adalah dunia bermain. Bermain adalah metode
belajar yang paling efektif. Anak-anak belajar dari segala
kegiatan yang mereka lakukan. Kuncinya adalah bagaimana
mengubah kegiatan bermain menjadi pengalaman belajar.
Ketika anak merasa senang dan nyaman, ia akan mampu
belajar dengan baik. Bagi anak kecil yang sedang belajar
menghafal kata-kata yang berlawanan seperti kata atas dan
bawah, sambil bermain bola kita bisa mengucapkan "jika
bola dilempar ke atas pasti akan jatuh ke bawah", belajar
kata nyala dan padam dengan memainkan lampu, belajar
kata buka dan tutup melalui pintu yang dubuka dan yang
ditutup, dan seterusnya. Bagi anak yang lebih besar, saat
ulangan pelajaran hafalan, orangtua dapat menanyakan
kembali melalui permainan tebak-tebakan dengan sistem
poin. Jumlah poin yang diperoleh dapat ditukar dengan
makanan kesukaannya. Yang ingin ditekankan di sini bukan
pada permainannya, tapi kegembiraan yang menyertai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor emosi sangat
penting dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Ketika
suatu pelajaran melibatkan emosi positif yang kuat,
umumnya pelajaran tersebut akan terekam dengan kuat pula
dalam ingatan. Untuk itu, dibutuhkan kreatifitas guru dan
orangtua untuk menciptakan permainan-permainan yang

46 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


dapat menjadi wadah dan sarana anak untuk belajar,
misalnya melalui drama, warna, humor, dan lain-lain.
3. Gunakan Kelima Indra Anak sebagai Jalur Belajar.
Bagian neokorteks dari otak kita terbagi dalam beberapa
fungsi khusus seperti fungsi berbicara, mendengar, melihat
dan meraba. Kita menyimpan memori-memori indrawati di
tempat yang berbeda. Jika ingin memiliki memori yang
kuat, kita harus menyimpan informasi dengan mengguna-
kan semua indera kita melihat, mendengar, berbicara,
menyentuh, dan membaui. Anak-anak umumnya belajar
melalui pengalaman konkret yang aktif. Untuk memahami
kondep 'bulat' yang abstrak, seorang anak perlu bersentuhan
langsung dengan benda-benda bulat, apakah itu dengan cara
melihat dan meraba benda bulat atau dengan cara
menggelindingkan bola. Menurut Vernon A. Magnesen
dalam Quantum Teaching, kita belajar 10% dari apa yang
kita baca; 20% dari apa yang kita dengar; 30% dari apa
yang kita lihat; 50% dari apa yang kita lihat dan dengar;
70% dari apa yang kita katakan; dan 90% dari apa yang kita
katakan dan lakukan.
4. Pakailah Seluruh Dunia Sebagai Ruang Kelas.
Ubahlah segala sesuatu yang ada di sekitar kita menjadi
pengalaman belajar. Marzollo dan Lloyd berkata demikian;
"Semuanya tersedia di sekitar Anda." Berikut ini adalah
beberapa ide kreatif dari buku Revolusi Cara Belajar, oleh
Gordon Dryden & Dr. Jeanette Vos: " Belajar tentang
berbagai bentuk.
Bentuk lingkaran bisa dilihat pada roda, balon, matahari,
bulan, kacamata, mangkok, piring, uang logam; sedangkan
persegi panjang bisa dilihat pada pintu, jendela, buku, kasur.
Bujursangkar bisa dilihat di layar komputer, televisi, kotak

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 47


tissu, sapu tangan, taplak meja; sedangkan segitiga bisa
dilihat pada pohon Natal, rumah, gunung, dan tenda.
"Belanja di supermarket menjadi petualangan belajar.
Sebelum belanja, minta anak-anak Anda untuk mengecek
kulkas dan seluruh isi rumah, kira-kira apa saja yang
dibutuhkan oleh mereka dan seluruh anggota keluarga. lalu
diadakan lomba waktu berada di supermarket. Siapa yang
paling cepat dan paling banyak menemukan barang-barang
yang dibutuhkan, dialah yang menang." Belajar menghitung
benda-benda nyata Minta anak untuk menghitung benda-
benda yang dapat disentuhnya, misalnya; "Kamu punya satu
hidung dan berapa mata? Berapa jarimu?" libatkan juga
anak ketika Anda menyiapkan meja untuk dua, tiga, atau
empat orang. Atau biarkan anak Anda yang menghitung
uang ketika membayar di kasir.
"Belajar mengkategorikan sesuatu. Otak menyimpan
informasi melalui asosiasi (persamaan) dan penggolongan
atau kategori dan Anda bisa menciptakan kegiatan bermain
anak sambil bekerja. Waktu Anda hendak membereskan
pakaian, anak bisa diminta untuk memilah-milah ber-
dasarkan warna pakaian, jenis pakaian, maupun pemilik.
Dengan demikian, Anda dapat tetap mengerjakan tugas
rumah tangga sambil anak juga belajar tentang sesuatu.
5. Pentingkan Dorongan Positif.
Berdasarkan penelitian, anak sejak usia dini rata-rata
menerima enam komentar negatif untuk satu dorongan
positif yang diterimanya. Saya kira, tingkat perbandingan
dorongan positif dan negatif di Indonesia akan jauh lebih
besar. Kebanyakan kita dibesarkan dalam lingkungan
dengan komentar negatif yang lebih banyak daripada yang
positif. Padahal dorongan positif memiliki kekuatan yang

48 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


sangat besar untuk membangun rasa percaya diri anak dan
memacu semangat agar anak berprestasi dengan lebih baik
lagi. Sebagai orangtua yang mungkin dibesarkan dalam
keluarga yang lebih banyak memberikan komentar negatif,
seyogyanya kita lebih berhati-hati agar kita tidak
mengulang kesalahan yang sama pada anak-anak kita.
6. Cinta adalah Resep Penting dalam Pendidikan Anak.
Prof. Diamond, seorang ahli saraf, mengingatkan bahwa
cinta merupakan resep paling penting dalam dunia
pendidikan anak. Kehangatan dan kasih sayang adalah
faktor utama dalam mendukunga perkembangan seutuhnya.
Sentuhan emosi memberikan dampak besar dalam proses
belajar anak.
Perlu diketahui bahwa kapasitas otak manusia tidak
terbatas. Seseorang bisa terus belajar sejak lahir sampai
akhir hidupnya. Menurut Antonia Lopez, "Tugas utama
orang dewasa adalah menyediakan sebanyak mungkin
kesempatan yang sesuai dengan tingkat umur dan
mengembangkannya secara bertahap." Otak pun akan
mampu bekerja secara efektif bila digunakan secara teratur.
Ada pepatah kuno berbunyi demikian; "If you don't use it,
you lose it"-Jika tidak digunakan, Anda akan kehilangan
otak Anda.

f. Pembelajaran Abad 21 dan HOTS


Perubahan abad cenderung menuju perubahan peradaban.
Charles Darwin pernah mengatakan bahwa yang bisa bertahan
bukan semata yang terkuat dan terpintar, namun yang responsif
terhadap perubahan. Kini kita hidup di alam perubahan yang
begitu cepat, diiringi dengan ketidakpastian dan kompleksitas
yang amat tinggi. Lihat saja tahun 2020, di saat kita baru mulai

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 49


menyadari arus besar Revolusi Industri 4.0, tiba-tiba pandemi
Covid-19 datang secara tak terduga. Pandemi Covid-19 telah
menjadi sumber ketidakpastian baru: kapan kerja akan kembali
normal dan kapan sekolah buka secara tatap muka
sebagaimana biasanya? Ketidakpastian ini telah berdampak
secara ekonomi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Ketidakpastian pada akhirnya telah menjadi ketidakpastian
global. Artinya, semua negara berada dalam situasi yang sama,
sehingga siapa yang paling responsif maka dialah yang akan
bertahan.
Bagaimana agar Indonesia tergolong tidak saja bertahan pada
2021, tetapi juga menjadikan 2021 sebagai momentum
kebangkitan baru? Belum lagi model evaluasi Pendidikan
mengalami pergeseran dari Ujian Nasional menjadi Asesmen
Nasional yang secara substansi berbeda orientasi yang dinilai.
Mutu satuan pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar murid
yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas
proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang
mendukung pembelajaran. Informasi-informasi tersebut diper-
oleh dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi
Minimum (AKM), Survei Karakter (SK), dan Survei
Lingkungan Belajar.
Sejak diimplementasikannya kurikulum tahun 2013 (K-13)
menuntut paedagogik guru yang harus semakin berkualitas
dalam melaksanaan kegiatan pembelajaran. Mengapa
demikian? Karena K-13 mengamanatkan penerapan
pendekatan saintifik (5M) yang meliputi mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, menalar/mengasosiasikan, dan
mengomunikasikan. Lalu optimalisasi peran guru dalam
melaksanakan pembelajaran abad 21 dan HOTS (Higher
Order Thinking Skills). Selanjutnya ada integrasi literasi dan
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dalam proses belajar

50 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


mengajar (Pembelajaran). Pembelajaran pun perlu dilaksana-
kan secara kontekstual dengan menggunakan model, strategi,
metode, dan teknik sesuai dengan karakteristik Kompetensi
Dasar (KD) agar tujuan pembelajaran tercapai. Pembelajaran
abad 21 secara sederhana diartikan sebagai pembelajaran yang
memberikan kecakapan abad 21 kepada peserta didik, yaitu 4C
yang meliputi: (1) Communication (2) Collaboration, (3)
Critical Thinking and problem solving, dan (4) Creative and
Innovative. Berdasarkan Taksonomi Bloom yang telah direvisi
oleh Krathwoll dan Anderson, kemampuan yang perlu dicapai
siswa bukan hanya LOTS (Lower Order Thinking Skills) yaitu
C1 (mengetahui) dan C-2 (memahami), MOTS (Middle Order
Thinking Skills) yaitu C3 (mengaplikasikan) dan C-4
(mengalisis), tetapi juga harus ada peningkatan sampai HOTS
(Higher Order Thinking Skills), yaitu C-5 (mengevaluasi), dan
C-6 (mengkreasi). Penerapan pendekatan saintifik, pem-
belajaran abad 21 (4C), HOTS, dan integrasi literasi dan PPK
dalam pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan mutu
pendidikan dalam rangka menjawab tantangan, baik tantangan
internal dalam rangka mencapai 8 (delapan) SNP dan
tantangan eksternal, yaitu globalisasi.
Secara teknis langkah-langkah kegiatan awal antara lain; guru
mengucap salam, guru mengajak siswa untuk berdoa,
mengecek kehadiran siswa, mengecek kesiapan belajar siswa,
menyampaikan tujuan pembelajaran, dan menyampaikan
apersepsi atau mengaitkan pembelajaran sebelumnya dengan
materi yang akan dipelajari saat itu. Langkah-langkah kegiatan
inti antara lain; guru menjelaskan materi, guru menerapkan
model, strategi, metode, dan teknik mengajar yang telah
ditetapkan dalam RPP. Kegiatan inti merupakan jantungnya
pembelajaran. Di situlah pendekatan saintifik, pembelajaran
abad 21, HOTS, integrasi literasi dan PPK diterapkan. Walau

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 51


skenarionya telah disusun dalam RPP, tetapi dalam praktiknya
dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi kelas. Oleh
karena itu, guru harus memiliki kepekaan dan cepat
mengambil keputusan untuk menentukan strategi pembelajaran
yang akan digunakan. Langkah-langkah kegiatan penutup
antara lain; guru mengajak siswa untuk menyimpulkan materi,
melakukan refleksi, dan menyusun program tindak lanjut.
Kemampuan membimbing kelompok diskusi kelompok kecil
maksudnya adalah kemampuan guru dalam menyusun
kelompok diskusi, mengatur dan mengendalikan jalannya
diskusi. Jumlah siswa dalam sebuah kelompok diskusi harus
proporsional. Jangan terlalu sedikit dan jangan terlalu banyak
(antara 3-5 orang setiap kelompok), diupayakan jangan ada
penumpukan jenis kelamin siswa atau tingkat kemampuan
siswa tertentu dalam sebuah kelompok. Bentuklah kelompok
secara variatif. Diupayakan seorang siswa jangan hanya
bergabung dengan kelompok itu-itu lagi, supaya tidak terkesan
ekslusif, melatih kemampuannya berkomunikasi dan ber-
sosialisasi dengan teman-teman yang beragam latar belakang
dan karakter.
Melalui berbagai pelatihan atau bimbingan teknis (bimtek) K-
13 yang telah dilakukan selama ini diharapkan mampu
mengubah paradigma guru, juga meningkatkan kompetensi
guru dalam pembelajaran. Pendekatan saintifik, pembelajaran
abad 21 (4C), HOTS, integrasi literasi dan PPK, dan
pembelajaran kontekstual sebenarnya bukan hal yang baru bagi
guru. Secara sadar ataupun tidak sebenarnya sudah hal tersebut
dilakukan, hanya dalam K-13 lebih ditegaskan lagi untuk
dilaksanakan pada pembelajaran, dan hasilnya dilakukan
melalui penilaian otentik yang mampu mengukur ketercapaian
kompetensi siswa. Menurut Mulyasa, (2006:70-92) ada 8
(delapan) keterampilan yang harus dimiliki oleh guru untuk

52 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan,
antara lain (1) keterampilan bertanya, (2) memberikan
penguatan, (3) mengadakan variasi, (4) menjelaskan, (5)
membuka dan menutup pelajaran, (6) membimbing diskusi
kelompok kecil, (7) mengelola kelas, dan (8) mengajar
kelompok kecil dan perorangan.
Keterampilan bertanya, antara lain keterampilan guru dalam
menyampaikan pertanyaan kepada siswa. Tujuannya untuk
melakuan menguji pengetahuan dan pemahaman terhadap
materi tertentu, melakukan pendalaman, penelusuran, meng-
klarifikasi, menguji kemampuan berpikir kritis siswa, serta
kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Pertanyaan bisa
disampaikan baik secara lisan ataupun tertulis. Acuannya dan
etikanya antara lain, pertanyaan yang disampaikan harus
singkat, padat, dan jelas, redaksinya dapat dipahami oleh
siswa, dan mampu menarik perhatian siswa. Pertanyaan harus
menyebar, semua siswa diberi hak yang sama untuk menerima
dan menjawab pertanyaan guru, jangan diberikan kepada
siswa-siswa tertentu saja.
Pertanyaan harus bersifat terbuka, jangan langsung ditujukan
kepada siswa tertentu, pastikan bahwa siswa siap men-
jawabnya, karena kalau diberikan kepada siswa yang tidak atau
belum siap, berpotensi akan mempermalukan siswa di hadapan
teman-temannya. Pertanyaan juga bukan diberikan untuk
memberikan sanksi kepada siswa yang kurang memperhatikan
materi yang disampaikan oleh guru.
Keterampilan memberikan penguatan merupakan respon guru
terhadap suatu perilaku yang dapat meningkatkan kemungkin-
an terulangnya kembali perilaku tersebut. Penguatan dapat
dilakukan secara verbal atau non verbal. Secara verbal
misalnya melalui kalimat "...oleh karena itu, bapak/ibu ingin
tegaskan kepada kalian bahwa...", "bapak/ibu akan ingin

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 53


menggarisbawahi bahwa...", "bapak/ibu ingin menekankan
bahwa...", "tepat sekali apa yang disampaikan oleh teman
kalian tadi bahwa...", dan sebagainya.
Penguatan non verbal antara lain melaui gerakan mendekati
peserta didik, acungan jempol, raut wajah yang ikut
meyakinkan penjelasan atau jawaban siswa, dan sebagainya.
Penguatan dapat dilakukan kepada individu, kelompok
tertentu, atau kepada siswa secara keseluruhan.
Keterampilan melakukan variasi bertujuan agar pembelajaran
berjalan menyenangkan dan para siswa tetap memperhatikan
penjelasan dari guru, dan agar tujuan pembelajaran.
Bentuknya, antara lain, variasi penggunaan model, srategi,
metode dan teknik mengajar, variasi alat raga/ media pem-
belajaran, variasi sumber belajar, variasi lokasi meja guru dan
siswa, variasi kelompok belajar, variasi nada suara (rendah,
sedang tinggi), gerakan tubuh, mimik wajah, tatapan mata, dan
sebagainya. Untuk mengusir kebosanan, memusatkan atau
menarik perhatian siswa, guru juga sewaktu-waktu boleh
melakuan ice breaker yang tetap memiliki pesan pendidikan.
Kemampuan menjelaskan adalah kemampuan guru dalam
mendeskripsikan secara lisan tentang sebuah benda, keadaan,
fakta, dan data sesuai dengan waktu dan hukum-hukum yang
berlaku. Kemampuan menjelaskan sangat penting bagi guru,
karena PBM biasanya didominasi oleh penjelasan, baik
menjelaskan materi pelajaran atau penjelasan instruksi kerja
yang harus dikerjaka oleh siswa. Penjelasan guru yang baik
antara lain; suaranya dapat didengar oleh siswa, nada suaranya
proporsional, tidak terlalu rendah, dan tidak terlalu tinggi,
tidak berbelit-belit, menyampaian ilustrasi dan penguatan yang
tepat dan relevan dengan materi yang disampaikan.
Menggunakan alat peraga atau media pembelajaran untuk

54 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


membantu memperjelas materi, dan penggunaan bahasa tubuh
yang tepat untuk membantu menegaskan sebuah penjelasan.
Kemampuan membuka dan menutup pembelajaran akan
terlihat mulai dari gaya dan sikap guru ketika mengajar.
Kemampuan ini akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan
pembelajaran. Kegiatan pembelajaran terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan
penutup. Porsinya biasanya 10% kegiatan awal, 80% kegiatan
inti, dan 10% kegiatan penutup. Deskripsi kegiatan
pembelajaran sebelumnya sudah disusun dalam Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan dilaksanakan pada saat
tatap muka dengan siswa di kelas.
Langkah-langkah kegiatan awal antara lain; guru mengucap
salam, guru mengajak siswa untuk berdoa, mengecek kehadir-
an siswa, mengecek kesiapan belajar siswa, menyampaikan
tujuan pembelajaran, dan menyampaikan apersepsi atau
mengaitkan pembelajaran sebelumnya dengan materi yang
akan dipelajari saat itu.
Langkah-langkah kegiatan inti antara lain; guru menjelaskan
materi, guru menerapkan model, strategi, metode, dan teknik
mengajar yang telah ditetapkan dalam RPP. Kegiatan inti
merupakan jantungnya pembelajaran. Di situlah pendekatan
saintifik, pembelajaran abad 21, HOTS, integrasi literasi dan
PPK diterapkan. Walau skenarionya telah disusun dalam RPP,
tetapi dalam praktiknya dapat disesuaikan dengan situasi dan
kondisi kelas. Oleh karena itu, guru harus memiliki kepekaan
dan cepat mengambil keputusan untuk menentukan strategi
pembelajaran yang akan digunakan.
Langkah-langkah kegiatan penutup antara lain; guru mengajak
siswa untuk menyimpulkan materi, melakukan refleksi, dan
menyusun program tindak lanjut.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 55


Kemampuan membimbing kelompok diskusi kelompok kecil
maksudnya adalah kemampuan guru dalam menyusun
kelompok diskusi, mengatur dan mengendalikan jalannya
diskusi. Jumlah siswa dalam sebuah kelompok diskusi harus
proporsional. Jangan terlalu sedikit dan jangan terlalu banyak
(antara 3-5 orang setiap kelompok), diupayakan jangan ada
penumpukan jenis kelamin siswa atau tingkat kemampuan
siswa tertentu dalam sebuah kelompok. Bentuklah kelompok
secara variatif. Dipuayakan seorang siswa jangan hanya
bergabung dengan kelompok itu-itu lagi, supaya tidak terkesan
ekslusif, melatih kemampuannya berkomunikasi dan ber-
sosialisasi dengan teman-teman yang beragam latar belakang
dan karakter.
Saat diskusi berlangsung, guru mengamati tiap kelompok,
berkeliling, mendekati, dan membimbing diskusi kelompok.
Siapa tahu ada kelompok yang memerlukan bantuan atau
penjelasan dari guru. Guru pun harus cermat dalam mengatur
waktu diskusi kelompok baik ketika menyusun kelompok,
mengerjakan tugas, dan presentasi kelompok.
Keterampilan mengelola kelas merupakan keterampilan guru
dalam menciptakan dan mengendalikan suasana pembelajaran
yang kondusif, baik pada aspek psikologis maupun pada aspek
lingkungan fisik. Pada aspek psikologis seperti mengecek
kesiapan belajar siswa, dan berkomunikasi serta berinteraksi
dengan siswa, mengendalikan emosi, dan sebagainya.
Sedangkan pada aspek lingkungan, seperti menata ruang kelas,
menata tempat duduk siswa, dan memperhatikan kebersihan
ruang kelas.
Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan
maksudnya adalah harus mampu mengajar siswa baik secara
kelompok atau pun perseorangan serta menentukan strategi
yang tepat untuk melakukannya agar tujuan pembelajaran

56 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


tercapai. Dalam hal menyampaikan materi pelajaran, guru
memperhatikan tingkat kemampuan berpikir siswa, dan
memiliki kepekaan terhadap kebutuhan dan keinginan siswa,
karena pada dasarnya guru adalah pelayanan dan fasilitator
bagi siswa untuk menguasai sejumlah kompetensi yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Melalui berbagai pelatihan atau bimbingan teknis (bimtek) K-
13 yang telah dilakukan selama ini diharapkan mampu
mengubah paradigma guru, juga meningkatkan kompetensi
guru dalam pembelajaran. Pendekatan saintifik, pembelajaran
abad 21 (4C), HOTS, integrasi literasi dan PPK, dan
pembelajaran kontekstual sebenarnya bukan hal yang baru bagi
guru. Secara sadar ataupun tidak sebenarnya sudah hal tersebut
dilakukan, hanya dalam K-13 lebih ditegaskan lagi untuk
dilaksanakan pada PBM, dan hasilnya dilakukan melalui
penilaian otentik yang mampu mengukur ketercapaian
kompetensi siswa.
Persoalannya kemudian, apakah setiap sekolah sudah dapat
menerapkan model pembelajaran abad 21 dan HOTS? Tentu
jawabannya tergantung dari kesiapan para guru dan tenaga
kependidikan yang ada di sekolah masing-masing di tengah
kompetisi di era global yang semakin sengit.

III. KESIMPULAN
Smart Learning dengan segala penjabarannya merupakan
keniscayaan dalam menjawab tantangan global era digital. Proses
belajar mengajar secara konvensional secara alami mengalami
proses disrupsi guna mengejar beragam perubahan dan dinamika
pembelajaran yang semakin pesat.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 57


Merdeka Belajar, Belajar Menyenangkan [Fun Learning]
serta Pembelajaran Abad 21 dan HOTS adalah dampak dari
tuntutan globalisasi pembelajaran agar proses belajar semakin
cedas, berkualitas dan hasil prestasi lebih holistik. Konsekwensinya
adalah dibutuhkan sarana, pembiayaan, regulasi dan kesiapan guru
yang memadai.
Hasil kegiatan proses belajar mengajar adalah integrasi dari
berbagai variabel secara holistik dengan bingkai kekuatan spiritual
sebagai kekuatan soft skill guna mengaktivasi potensi kreasi
(Merdeka Belajar), nyaman dan menikmati belajar (Belajar
menyenangkan/Fun Learning) dan berpikir masa depan/furalistik
(Abad 21 dan HOTS).

Daftar Pustaka
Balsam, Steven., Jagan Krishnan., dan Joon S. Yang., 2003,
“Auditor In dustry Specialization and Earnings Quality”,
Auditing : A Journal of Practice and Theory, Vol. 22, No. 2,
hal. 71-97
Buzan, Tony dan Susanna Abbott.2007. Buku Pintar Mind Map
untuk anak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Mulyasa. (2006). Menjadi Guru Profesional Menciptakan
Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung:
Penerbit PT Remaja Rosdakarya.
Polanyi, M. (1967). The Tacit Knowledge Dimension. London:
Routledge & Kegan Paul
Pusat Kurikulum. 2006. Pembelajaran Tematik. Jakarta :
Departemen Pendidikan Nasional
https://id.wikipedia.org/wiki/Merdeka_Belajar
http://bswgramedia.com/sekolah/Smart Learning System

58 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


https://media.neliti.com/media/publications/120607-ID-strategi-
pendidikan-karakter-di-pergurua.pdf
https://mamikos.com/info/cara-belajar-efektif-dan-menyenangkan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 59


BAGIAN KETIGA
TANTANGAN PENDIDIKAN VOKASI PADA
ERA DISRUPSI 4.0
Bogy Restu Ilahi, Fatrida Anugrah Syafri, Purdiyanto,
Samsilayurni.

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan vokasi berkembang sangat pesat, sejak tahun
2001 hingga 2010 jumlah siswa baru di bidang vokasi meningkat
sebesar 158% (ADB, 2010). Pemerintah hanya fokus meng-
embangkan bagian pendidikan ini menjadi strategi penting bagi
pertumbuhan ekonomi. Pendidikan vokasi sangat rapuh dan
statusnya diremehkan. Masyarakat masih meyakini bahwa mereka
yang pernah mengenyam pendidikan vokasi merupakan orang yang
pernah mengalami kegagalan akademik serta akhirnya memilih
pendidikan kejuruan/vokasi sebagai pilihan alternatif untuk kabur.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, persepsi ini mulai berubah
di tahun 2013, ketika 1,9 juta pendaftar memperebutkan lebih dari
1,5 juta temtat di lembaga pendidikan vokasi. Ini tidak diragukan
lagi membuktikan bahwa pendidikan vokasi semakin mendapat
perhatian publik. Mereka berharap dapat dengan mudah men-
dapatkan pekerjaan dengan menyelesaikan pendidikan vokasi

60 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


karena dianggap memiliki keahlian atau keterampilan yang diperlu-
kan di tempat bekerja. Oleh karena itu pendidikan kejuruan dapat
mengikuti perkembangan ranah usaha serta industri, karena saat ini
didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya: (1)
ilmu dan keahlian dasar dapat beradaptasi dengan kebutuhan serta
dinamika perkembangan yang sedang berjalan; (2) tingkatan
pendidikan meninggi; (3) skill dengan background sains serta
teknologi (saintek); (4) kesanggupan untuk dapat memproduksi
mulai dari kualitas ataupun harga, mampu bersaing dengan barang
lain di pasar yang lebih luas lagi.
Pada tahun 2011, 82,1 juta TKI diisi oleh pekerja tidak
terampil (pekerja tanpa keterampilan atau kemampuan di
bidangnya). Sebagian besar pekerja tidak terampil ini lulus dari
sekolah umum. Terdapat 20,4 juta pekerja terampil (pekerja dengan
keterampilan atau kemampuan di bidangnya masing-masing) pada
kelompok di atas. Jumlah tenaga ahli (expert) 4,8 juta orang.
Dalam keadaan seperti itu, pada zaman globalisasi serta kompetisi
usaha tambah mengalami kesulitan, Negara kita mengalami
kesulitan dalam berkompetisi melawan negara lain, sekarang
maupun masa akan datang.
Berdasarkan data tersebut, pelatihan lulusan yang mampu
dan terampil menjadi tanggung jawab utama dunia pendidikan,
khususnya bidang pendidikan vokasi. Oleh sebab itu kapabilitas
yang harus ditingkatkan dari pelaksanaan pembelajaran harus
berorientasi dari kapabilitas yang diinginkan oleh industri. Kursus
praktik merupakan subyek yang sangat penting dalam pendidikan
tinggi, cocok untuk pelatihan kemampuan. Oleh karena itu,
diutamakan agar selalu meningkatkan kualitas proses pembelajaran
praktikum. Berdasarkan survey yang dilakukan pada industri
manufaktur, informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa proses
pembuatan unit produk memerlukan kolaborasi (kerja sama) dari
berbagai skill (kolaborasi skill). Tiada kerja sama (kolaborasi) yang

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 61


baik, hasil yang diharapkan atau bahkan sulit untuk dicapai tidak
akan bisa tercapai. Cara mencoba menanamkan sikap dan perilaku
siswa berhubungan dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh
industri merupakan dengan mengembangkan model pembelajaran
praktis dengan metode keterampilan kolaboratif.

B. Rumusan Masalah dan tujuan


1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pertanyaan-pertanyaan tersebut,
maka artikel ini mengungkap pertanyaan-pertanyaan yang
harus dipecahkan pada kalimat pertanyaan yang harus dijawab
di akhir artikel. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah sebagai
berikut: (1) Bagaimana status pendidikan vokasi di Indonesia
saat ini? (2) bagaimana langkah yang harus diambil agar
meningkatnya kompetensi pendidikan vokasi, paling utamanya
adalah menghadapi kemajuan iptek di era disrupsi industri 4.0?
2. Tujuan dan Manfaat
Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran
tentang situasi riil mengenai situasi pendidikan vokasi di
Indonesia sekarang dan membandingkan dengan beberapa
negara lainnya. Setelah itu semoga artikel ini mampu
menyumbangkan andil untuk peningkatan kualitas pendidikan
vokasi dalam bentuk investasi nyata. Terkhusus, saat meng-
hadapi kemajuan iptek di era disrupsi industri 4.0, pendidikan
vokasi sangat perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian yang relevan sebagai pedoman langkah demi
langkah. Oleh karena itu, manfaat tulisan ini tentunya tidak
hanya untuk menambah bahan pustaka yang berkaitan dengan
pendidikan vokasi atau untuk mendukung penelitian sebelum-
nya, tetapi juga untuk diterapkan pada masyarakat.

62 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendidikan Vokasi
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi, tujuan khusus pendidikan vokasi / vokasi adalah untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia
dan kecakapan hidup mandiri, serta melanjutkan pendidikan sesuai
dengan rencana profesi. Mereka mampu bekerja secara efektif,
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan profesional, serta
menguasai bidangnya. Memiliki landasan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang profesional, memiliki etika profesi yang tinggi,
dapat berkomunikasi sesuai kebutuhan pekerjaan, dan memiliki
kemampuan mengembangkan diri. Artinya tugas pendidikan vokasi
adalah mempersiapkan diri untuk memiliki talenta yang tinggi di
bidangnya masing-masing, mampu beroperasi secara mandiri, cepat
beradaptasi dengan kebutuhan teknis serta mampu bersaing dan
bersaing dalam sumber daya manusia. Pada hakikatnya tugas
pendidikan vokasi adalah melatih peserta didik agar memiliki
pengetahuan industri dan profesional yang baik, wawasan dan
keterampilan, serta menguasai konsep industri.
Model pendidikan vokasi yang menggunakan 70% praktik
serta 30% teori untuk melakukan penelitian, diharapkan dapat
menjadi jawaban atas penerapan keterampilan dalam dunia kerja
untuk mempersiapkan lulusan perguruan tinggi. Sejak era Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, keterkaitan dan keserasian slogan ini
sudah menyebar. Dengan perkembangan pendidikan vokasi,
Wardiman Djojonegoro muncul beberapa tahun terakhir. Sejak
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat, Pemerintahan
secara aktif mempromosikan pendidikan vokasi untuk meningkat-
kan daya saing negara. Guna mendorong perkembangan pendidikan
menengah dan tinggi vokasi, berbagai upaya telah dilakukan,
seperti slogan “SMK BISA!”. Dan banyak politeknik baru telah
didirikan di seluruh negeri. Pemerintah selanjutnya terus melaku-

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 63


kan hal ini. Sejak Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan
menarik diri dan menyatu dengan lembaga Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, situasi ini menjadi semakin
nyata di pendidikan tinggi. Memperkuat pendidikan vokasi dan
menjadikannya label "dari lulusan universitas ke universitas"
niscaya akan membentuk semangat baru dalam masyarakat kita,
sehingga mengubah minat menyekolahkan anak untuk mengenyam
pendidikan vokasi daripada mengenyam pendidikan akademis.
Bahkan di fase kedua pemerintahan presiden saat ini, universitas
lokal diteliti langsung oleh Kementerian Teknologi dan Pendidikan
Tinggi. Diperkirakan pendidikan vokasi akan terus berkembang,
terutama dengan terpilihnya menteri pendidikan dan kebudayaan
saat ini yang membukakan diri terhadap kemajuan teknologi saat
ini.
Pendidikan vokasi di Indonesia memiliki 5 jenis, yaitu: (a)
SMK dan Madrasah Aliyah Vokasi, (b) Perguruan Tinggi Negeri;
(c) Institut Politeknik, (d) Universitas dan (e) Pusat Pelatihan
Kejuruan. Pendidikan vokasi ini dilaksanakan di bawah bimbingan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga
Kerja dan Imigrasi, dan sebagian di Kementerian Teknologi,
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian
Perhubungan, dan Kementerian Kesehatan. Alasan kementerian
dan panitia terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan vokasi
adalah karena pemerintah berencana mengubah angka partisipasi
siswa mencapai 60% vokasi serta 40% akademik pada tahun 2020.
Pada tahun 2012, pendidikan vokasi masih menyumbang 49% dan
sarjana mencapai 51%. Dari segi sekolah menengah, jumlah SMK
di Indonesia meningkat dari 10.256 menjadi 11.727. Cakupan
distribusi SMK di Jawa melebihi 57%, jangkauan distribusi di
Pulau Sumatera melebihi 20%, dan sisanya tersebar di wilayah lain.
Di antara angka saat ini, SMA swasta meningkat 70%, dan jumlah
siswanya juga meningkat.

64 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Saat ini, banyak jenjang pendidikan menengah dan tinggi di
Indonesia menggunakan sistem pemodelan serta mendapat
dukungan oleh industri. Model pendidikan yang mengaitkan
pendidikan dengan industri ini telah menghasilkan lulusan yang
lebih mudah diterima industri. Tetapi kenyataan di lapangan masih
ada proses pemilihan sebab jumlah yang masuk industri tidak
sebesar yang dihasilkan sektor pendidikan. Oleh sebab itu,
penyebab pengangguran adalah lulusan pendidikan vokasi.
Beberapa kelemahan yang ditemukan terkait dengan kualitas
infrastruktur, proses pembelajaran, kursus serta tenaga pengajar.
Penelitian yang dilakukan oleh Widarto et al. (2007) kemahan
utama yang di alami seperti soft skill seperti percaya diri,
kemampuan beradaptasi, keterampilan komunikasi, disiplin, etika
profesi, dan kemampuan bekerjasama hal ini menunjukkan bahwa
kelemahan utama lulusan SMK memasuki dunia kerja.
Khusus terkait pemerataan program pendidikan vokasi dan
akademik di Indonesia disebut Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI). Keputusan Presiden No. 1 tanggal 8 Agustus
2012 mengatur hal ini. Keputusan Presiden tersebut mengatur
bagaimana cara untuk mengakui orang-orang dengan kualifikasi
akademik, pendidikan vokasi, pendidikan profesional dan
pengalaman kerja. Dengan demikian nilai KKNI berkisar antara 1
sampai dengan 9. Pendidikan vokasi perlu mengenal konsep
kesetaraan, terutama dalam hal mengapresiasi keterampilan yang
dimilikinya serta dibutuhkan seseorang di dunia kerja. Selain itu,
bagi para profesional yang ingin memasuki bidang pendidikan
vokasi, penggunaan “pengetahuan awal” untuk menurunkan tingkat
rata-rata mereka menjadi 8 dapat mengatasi permintaan tenaga
pendidik yang sulit memperoleh kualifikasi akademik yang
memenuhi persyaratan hukum. Mereka yang harus mengenyam
pendidikan minimal S2.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 65


Pada 2019, pemerintah merancang rencana menggiatkan
kembali pendidikan vokasi. Hal tersebut merupakan rencana
untuk memperkuat pendidikan vokasi yang strateginya adalah
meningkatkan kualitas pendidikan dan akses pendidikan. Sesuai
dengan rencana strategis Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, upaya akan ditingkatkan, antara lain integrasi mata
kuliah SMK dengan industri dan perdagangan, program magang
dan pembangunan pengajar industri. Sangat besar harapan pada
tahun 2019 akan digunakan 500-870 sekolah di teaching factory
dan / atau technology park, serta 1.330-2.700 sekolah dan 50.000
siswa SMK yang bekerja sama dengan dunia usaha akan
tersertifikasi. Ada 3 jurusan utama yang digalakkan pemerintah
adalah, pertanian (312 sekolah), kelautan (219 sekolah) serta
pariwisata (147 sekolah). Hal ini membuktikan keseriusan
pemerintahan Indonesia ke depan pada pengembangan pendidikan
vokasi yang berdaya saing.
Berdasarkan data di atas, terlihat jelas bahwa fokus
pendidikan vokasi adalah mempersiapkan peserta didik dengan
segala keterampilan dan kehalian (kapabilitas) yang dapat
digunakan dalam bidang pekerjaan tertentu atau dikembangkan
sesuai dengan bidang profesinya sendiri. Oleh karena itu, perlu
disusun standar kompetensi berdasarkan bidang profesi tertentu
yang mencerminkan kompetensi yang diharapkan dari setiap
lulusan pendidikan vokasi. Oleh karena itu, pendidikan vokasi
kedepannya akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perkembangan segala bidang dan menempatkan sumber daya
manusia kita pada posisi jaya yang sama dengan negara lain.

B. Disrupsi Industri 4.0 dalam Pendidikan


Dalam bahasa, kehancuran berarti gangguan atau ke-
bingungan. Peristiwa interferensi, aktivitas atau proses interferensi

66 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


atau masalah (aktivitas interferensi, aktivitas atau proses inter-
ferensi atau masalah).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti interupsi
dirobek dari akarnya. Faktanya, gangguan mengacu pada per-
ubahan industri akibat digitalisasi dan "Internet of Things" (IoT)
atau "Internet untuk Semua".
Singkatnya, kehancuran adalah perubahan cara atau cara
penyelesaian masalah dalam kehidupan manusia dan menggantikan
sistem lama dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Berbicara tentang era kehancuran tidak terlepas dari Revolusi
Industri 4.0. Karena perkembangan pesat kecerdasan buatan,
robotika, realitas virtual, Internet of Things dan teknologi lainnya,
revolusi keempat adalah revolusi di bidang industri.
Istilah "subversi" dikenal secara luas beberapa dekade yang
lalu, tetapi tidak sampai profesor Harvard Business School Clayton
M. Christensen menulis sebuah buku berjudul "dilema inovator."
Buku (1997) baru saja menjadi populer. Buku ini membahas
persaingan di bidang bisnis khususnya inovasi. Christensen ingin
menjawab sebuah pertanyaan penting, mengapa perusahaan besar
bahkan pemimpin pasar (saat ini) bisa dikalahkan oleh perusahaan
kecil, padahal perusahaan kecil tersebut mengalami kerugian besar
dalam modal dan sumber daya manusia. Jawabannya terletak pada
perubahan besar yang disebut kehancuran. Kehancuran tidak hanya
perubahan, tetapi juga perubahan besar dalam urutan perubahan.
Ada dua karakteristik interupsi yang penting. Pertama, perubahan
adalah dasar dari model bisnis. Perusahaan pemimpin pasar
sebenarnya terus melakukan inovasi, tetapi tujuan inovasi adalah
untuk mempertahankan pertumbuhan dan pasar.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 67


Buku "Yuswohady" (2019) membagi disrupsi menjadi tiga
bagian:
1. Disrupsi Milenial
Dari sudut pandang siswa, disrupsi generasi milenial
(milenial baru atau Gen Z) yang sikap belajarnya tidak sama
dengan generasi sebelumnya. Perubahan sikap ini membutuhkan
perubahan mendasar pada metode pendidikan saat ini.
Generasi millennial sangat mobile, mengandalkan
aplikasi, dan selalu terhubung ("selalu terhubung"). Mereka
menerima serta berbagi informasi melalui media sosial dengan
sangat cepat. Mereka adalah pembelajar mandiri dan mereka
selalu menemukan ilmu yang mereka inginkan melalui YouTube
atau Khan Academy. Mereka tidak menerima untuk menggurui.
Mereka merupkan generasi yang sangat melek visual,
jadi mereka lebih memilih pembelajaran visual (melalui media
di YouTube, game online, dan bahkan menggunakan teknologi
augmented reality) daripada belajar lewat teks (membaca buku)
bahkan mendengarkan guru.
Mereka pun sangat melek data, jadi mereka pandai
menjelajahi Google, memproses, mengatur, dan menganalisis
informasi alih-alih secara pasif memanjakan diri di perpustaka-
an. 3M dapat melakukannya dengan sangat cepat: multimedia,
multi-platform, dan multi tasking.
Selain itu, mereka sangat bersedia untuk melakukan
pembelajaran kolaboratif melalui metode peer-to-peer dalam
proyek nyata atau lewat komunitas atau media sosial
(menggunakan platform pembelajaran sosial). Untuk mereka,
teman sebaya lebih dapat dipercaya daripada guru. Mereka lebih
menyukai permainan interaktif (gamifikasi) untuk membantu
belajar daripada mengerjakan pekerjaan rumah.

68 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


2. Disrupsi Teknologi
Iptek juga meningkat, hal ini bisa menghancurkan
sekolah tradisional. Berbagai inovasi disruptif dalam
pendidikan, seperti MOOC, Open Educational Resources
(OER), situs tutorial online (seperti Ruang Guru atau Khan
Academy), platform pembelajaran sosial, pembelajaran yang
dipersonalisasi / disesuaikan, jaringan pembelajaran profesional
(PLN) dan online Kualitas game pembelajaran multipemain
(MMO) sekarang berada pada titik kritis. Jika ini terjadi, akan
terciptanya pembelajaran baru yang lebih terbuka, kolaboratif,
personal, eksperiensial dan sosial.
Melalui ide-ide cemerlang tersebut, ruang kelas tidak
lagi dibutuhkan. Guru akan sepenuhnya mengubah peran
mereka sebagai instruktur, motivator, dan panutan. Tentunya,
akan ada terlalu banyak cara untuk belajar, dan sekolah tidak
dapat lagi memonopoli proses pembelajaran.
Sebagai alat pembelajaran, sekolah tradisional akan
bergeser dari posisi "inti" ke posisi "periferal". Proses
pembelajaran tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di
platform/ perangkat apapun kapanpun dan dimanapun. Guru
tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga dimanapun, termasuk
"guru" yang diperankan oleh AI atau AR / VR.
3. Disrupsi Kompetensi
Teknologi 4.0 menghasilkan kemampuan (skill) baru dan
menghancurkan kemampuan yang sudah tidak relevan lagi
karena telah digantikan oleh robot serta AI. Tidak cuma
pekerjaan repetitif, tetapi juga pekerjaan analitik untuk dokter,
pengacara, analis keuangan, konsultan pajak, jurnalis, akuntan,
penerjemah dan industri lainnya. Klaus Schwab (Klaus Schwab)
berkata, pendiri Forum Ekonomi Dunia dan penulis Revolusi
Industri Keempat (2016).

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 69


Dengan kemajuan teknologi pembelajaran mesin, ke-
cerdasan buatan, analisis data besar, Internet of Things, AR / VR
hingga teknologi pencetakan 3D, pekerjaan akan bergeser dari
pekerjaan manual dan rutin / berulang ke pekerjaan kognitif /
kreatif. Keberhasilan masa depan akan tergantung pada
kemampuan kolaboratif "manusia dan robot". Itu adalah
keterampilan yang sulit. Untuk soft skill, Tony Wagner (2008)
merumuskan "tujuh keterampilan bertahan hidup untuk abad
21", yaitu: kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah;
kolaborasi lintas jaringan; fleksibilitas dan kemampuan ber-
adaptasi; inisiatif dan perusahaan Semangat kekeluargaan;
mengakses dan menganalisis informasi; komunikasi efektif; rasa
ingin tahu dan imajinasi. Sayangnya, ketujuh keterampilan ini
tidak diajarkan di sekolah kita saat ini. Oleh karena itu, sekolah
kita harus mendefinisikan kembali kurikulum untuk meng-
akomodasi keterampilan baru tersebut.

III.HASIL DAN PEMBAHASAN


Guna menutupi keinginan dunia usaha dan dunia industri
akan kompetensi lulusan yang siap kerja dan tidak hanya siap
menerima pelatihan, muncul pendidikan vokasi, dan perlu adanya
penguatan keterampilan kerja yang tidak hanya memahami teori
atau sains. Ini yang menjadi masalah, karena tentunya tidak mudah
untuk mencapainya. Pertama-tama, dibandingkan dengan kelas,
siswa harus memiliki lebih banyak waktu latihan. Artinya,
pendidikan vokasi memiliki kebutuhan yang sangat tinggi terhadap
infrastruktur praktis. Bentuk sederhananya adalah formulir alat
peraga yang dapat dibawa ke dalam kelas, atau laboratorium yang
dilengkapi dengan alat uji dan bahan yang dapat digunakan atau
digunakan dalam jangka waktu tertentu, dan bentuk yang paling
kompleks adalah simulator yang dapat digunakan untuk pelatihan.
Persis seperti situasi nyata di dunia kerja nanti. Membeli semua

70 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


infrastruktur ini tentunya tidak murah. Di perguruan tinggi negeri,
meski belum bisa memenuhi 100% syarat, pemerintah tetap bisa
menyediakan fasilitas. Namun di perguruan tinggi swasta, sumber
dana semuanya berdasarkan pada upaya pengelola, secara umum
biaya pendidikan akan ditanggung oleh mahasiswa dan dalam skala
besar oleh masyarakat. Kedua, dalam pendidikan vokasi, jika
semua guru memiliki latar belakang profesi yang sesuai dengan
jurusannya, maka mereka lebih cocok. Namun, sulit menemukan
sarjana dengan latar belakang praktis, oleh sebab itu keterampilan
mereka sangat spesifik dan industri juga membutuhkannya,
sehingga harga mereka di pasar tenaga kerja pasti akan tinggi.
Misalnya, sulitnya mencari dosen berlatar belakang tenaga
transportasi niaga untuk terjun ke pendidikan vokasi transportasi.
Nahkoda dan awak kapal lebih memilih bekerja di kapal untuk
mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dari pada dosen. Oleh
sebab itu, perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
vokasi perlu mempertimbangkan kembali anggarannya, terutama
dari segi guru, agar bisa diminati oleh praktisi profesional.
Permasalahan terkait mahalnya biaya penyelenggaraan
pendidikan vokasi. Namun pada kedua contoh itu kita bisa melihat
dan menyimpulkan pendidikan vokasi bukanlah pendidikan yang
murah. Padahal, jika menengok ke belakang dalam dua tahun
terakhir, masyarakat sangat tertarik untuk melanjutkan pendidikan
dan pembelajaran vokasi. Orang memang ingin segera bisa bekerja
setelah lulus seperti slogan pendidikan vokasi, tapi bagaimana
dengan mereka yang kesulitan keuangan? Bukankah proses
pendidikan merupakan investasi yang dapat membuahkan hasil
pada waktunya? Berdasarkan pengalaman sekitar 8 tahun dalam
pengelolaan pendidikan vokasi maritim, peneliti menemukan
bahwa banyak siswa yang berasal dari latar belakang ekonomi
menengah dan sangat berharap dapat meningkatkan perekonomian
keluarga setelah lulus. Oleh karena itu, keberadaan pendidikan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 71


vokasi yang murah tidak diragukan lagi merupakan tuntutan
masyarakat. Salsabila (2018) melakukan penelitian tentang persepsi
masyarakat terhadap mutu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Ajibarang. Hasil survei menunjukkan secara rinci pandangan
masyarakat sebagai berikut: standar kemampuan lulusan 77,5%,
standar isi 88,75%, standar proses 75%, standar guru dan pendidik
93,75%, dan standar infrastruktur 83,75%. Pendidikan manajemen
85%, standar pendanaan 62,5%, standar evaluasi 82,5%. Kategori
ini sebagian besar dikatakan sangat baik, sangat baik, namun
tingkat pembiayaannya masih dalam kategori baik yaitu 18,75%.
Berbeda dengan fenomena terkait biaya pendidikan, hal ini
merupakan platform yang sangat penting bagi pemerintah dan
industri untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan vokasi
berbiaya rendah. Sinergi antara pendidikan, pemerintah, badan
usaha atau industri disebut dengan konsep “triple spiral” Dengan
penambahan komunitas dan media, konsep tersebut kini
berkembang menjadi lima spiral. Apa yang dapat dilakukan
pemerintah dan industri?
Pertama, pemerintah dan industri dapat membantu
menyediakan peralatan praktik bagi siswa. Kekuatan pemerintah
dan sumber dana pendidikan yang cukup tidak diragukan lagi dapat
mendukung hal tersebut. Selama ini, pemerintah memberikan
bantuan dalam bentuk hibah kompetitif kepada perguruan tinggi
yang dianggap layak dibantu. Kedepannya mungkin perlu didirikan
pusat pendidikan dan pelatihan yang dapat mempromosikan
pendidikan vokasi, terutama bagi perusahaan swasta yang kesulitan
membeli alat-alat praktis dengan harga tinggi. Memang di PP.
Prasarana ke-44 pada tahun 2015 menjadi salah satu standar yang
harus dipenuhi oleh penyelenggara pendidikan tinggi. Namun,
fasilitas pemerintah tetap dibutuhkan untuk mendorong
terpeliharanya standar kualitas. Dalam hal fasilitas praktis, industri
dan perdagangan sebenarnya dapat memainkan peran penting.

72 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Karena pengguna lulusan memiliki satu atau lebih kriteria yang
harus dipenuhi, salah satunya adalah kemampuan mengoperasikan
alat di lingkungan kerja. Gap yang ada saat ini adalah fasilitas
kampus magang yang berbeda dengan fasilitas yang digunakan
perusahaan. Oleh karena itu, sebaiknya industri melakukan
intervensi dengan memberikan bantuan / hibah berupa peralatan.
Selama masih memenuhi standar yang digunakan sebagai sarana
pembelajaran maka tidak perlu dimutakhirkan untuk mendukung
terwujudnya kemampuan yang dibutuhkan.
Hal kedua terkait dengan kebutuhan tenaga pendidik
dengan latar belakang profesi.Bahkan untuk penelitian,
Kementerian Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah melakukan
beberapa terobosan, di antaranya pengakuan pengalaman
profesional setara KKNI level 8 untuk mencapai tujuan tersebut.
Mengedepankan persyaratan menjadi Dosen Perguruan Tinggi dan
Kode Tanda Pengenal Dosen Khusus (NIDK) untuk memenuhi
persyaratan tersebut, serta bersedia mencadangkan minimal 4 SKS
per semester untuk tenaga profesional. Selain itu, ada rencana
reorganisasi untuk meningkatkan kapabilitas kampus lain di dalam
dan luar negeri dengan mengirimkan dosen-dosen profesional.
Rencananya tidak hanya mendirikan perguruan tinggi yang maju
dan berkembang, tetapi juga membangun jembatan dengan industri.
Industri juga harus memberikan peluang bagi pengembangan guru.
Pengembangan diri dapat berupa magang dosen atau penelitian dan
pengembangan ilmiah, dan universitas serta perusahaan dapat
mendiskusikan berbagai bentuk bersama. Oleh karena itu, kami
berharap dapat terjalin kerja sama yang saling menguntungkan
antara kedua pihak.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 73


IV. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
pada bagian terakhir, yaitu jawaban atas pertanyaan penelitian
sudah diajukan sejak awal. Mengenai permasalahan aktual status
quo pendidikan vokasi di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan vokasi kita secara umum sudah baik, namun masih
terdapat kesenjangan yang harus ditingkatkan. Di Indonesia,
lemahnya keterkaitan pendidikan vokasi meliputi: kebutuhan akan
tenaga pendidik yang berkualitas, infrastruktur lengkap yang serupa
atau sama dengan yang digunakan oleh industri, mata kuliah yang
harus beradaptasi dengan perubahan zaman, dan soft environment
yang dipersonalisasi bagi lulusan. Keterampilan yang dibutuhkan.
Menggabungkan kesimpulan pertama di atas, dan
menjawab pertanyaan kedua dari penelitian ini, yaitu bagaimana
meningkatkan kualitas pendidikan vokasi khususnya dalam
menghadapi kemajuan teknologi di era disrupsi industri 4.0, maka
peneliti mengajukan beberapa saran. Tuntutan akan guru yang
berkualitas harus dipenuhi dengan terus meningkatkan kapabilitas
guru profesional. Dengan memperkuat lima spiral kolaborasi dan
kolaborasi, serta merevitalisasi pendidikan vokasi dengan me-
nambah pabrik pengajaran, maka kebutuhan infrastruktur aktual/
nyata dapat dipenuhi.
Mengenai penyesuaian kurikulum, penelitian langsung
dapat digunakan untuk memahami permintaan industri akan
sumber daya manusia, atau penelitian komparatif oleh lembaga
pendidikan yang lebih maju di dalam dan luar negeri dapat
digunakan untuk mengubah citra. Terkait karakter atau soft skill,
pendidikan vokasi harus terus bekerja keras membentuk karakter di
kalangan peserta didik, seperti memperkenalkan pakar kepribadian
atau bekerjasama dengan industri untuk memperkenalkan personel

74 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


perusahaan terkait, sehingga dapat langsung mengkomunikasikan
kebutuhan tenaga kerja di hadapan peserta didik. Padahal, terutama
dalam hal karakter yang dibutuhkan.

B. IMPLIKASI
Sekarang perkembangan teori belajar sangat beragam, guru
dapat mendaftar sesuai dengan sekolah teori tertentu. Misalnya
teori perilaku dalam pembelajaran guru menitikberatkan pada
tujuan pembelajaran dan karakteristik siswa. Dalam teori kognitif,
pembelajaran lebih berfokus pada perolehan pengetahuan siswa,
sedangkan guru membimbing siswa untuk menguasai pengetahuan
yang mereka butuhkan. Pada saat yang sama, proses belajar
manusiawi menjadikan masyarakat berbudaya. Guru mengakui
siswa sebagai orang yang memiliki kemampuan dan harga diri.
Jenis teori pembelajaran guru dan siswa masa kini pasti sangat
menarik, dapat merangsang kemampuan berpikir siswa, dan guru
dapat menciptakan pembelajaran yang bermakna. Jika belajar
bermakna melalui pengajaran yang benar, maka pendidikan akan
mampu mencapai tujuannya. Sebaliknya, jika pembelajaran
menjadi tidak berarti melalui pengajaran yang tidak tepat, maka
pendidikan tidak akan mencapai tujuannya.

C. SARAN
Pendidikan vokasi harus terus bekerja keras membangun
kepribadian di kalangan peserta didik, seperti dengan memper-
kenalkan pakar kepribadian atau bekerjasama dengan industri
untuk memperkenalkan departemen kepegawaian perusahaan
terkait sehingga dapat segera mengkomunikasikan keadaan yang
sebenarnya. Permintaan tenaga kerja secara khusus terkait dengan
karakter yang dibutuhkan. Apalagi dengan munculnya perusakan
dunia industri, pendidikan Indonesia harus siap terutama di bidang

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 75


pendidikan vokasi. Karenanya, tidak mudah merasa lelah dengan
pola makan saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Intan. (2018). Proses Pembelajaran Digital dalam Era
Revolusi Industri 4.0. Medan : Ditjen Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kemenristekdikti.
Arif, Seema., Ilyas, Maryam., Hammed, Abdul. (2013). Student
Satisfaction with Services in Private Universities of
Pakistan: The Impact of Leadership. ResearchGate.
BrckaLorenz, Allison., Haeger, Heather., Nailos, Jennifer.,
Rabourn, Karyn. 2013. Student Perspectives on the
Importance and Use of Technology in Learning. California:
Annual Forum of the Association for Institutional Research.
Chitkushev, Lou., Vodenska, Irena., Zlateva, Tanya. (2014).
Digital Learning Impact Factors: Student Satisfaction and
Performance in Online Courses. International Journal of
Information and Education Technology, 4(4), 356-359.
Chowdhry, Sandeep., Sieler, Karolina., Alwis, Lourdes. (2014). A
Study of the Impact of Technology- Enhanced Learning on
Student Academic Performance. Journal of Perspectives in
Applied Academic Practice, 2(3), 3-15.
Gray, Julie A., DiLoreto, Melanie. (2016). The Effect of Student
Engagement, Student Satisfaction, and Perceived Learning
on Online Learning Environment. NCPEA International
Journal of Educational Leadership Preparation, 11(1).
O'Donnell, Eileen., Sharp, Mary. (2012). Students Views of E-
Learning: The Impact of Technologies on Learning in
Higher Education in Ireland. Book Chapter 10 from
Student

76 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


76 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0
Reaction to Learning with Technologies: Perceptions and
Outcomes. IGI Global. The United States of America.
OECD/ Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia:
Rising to the Challenge. OECD Publishing. Paris.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012
tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Putra, Hazmar., Rifa, Dandes., Darmayanti, Yeasy. Pengaruh
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Kualitas Pelayanan
Pegawai Administrasi terhadap Kepuasan Mahasiswa.
Universitas Bung Hatta. Padang.
Rahmawati, Diana., Nugraha, Mahendra Adhi., Setyorini, Dhyah.,
Aisyah, Mimin Nur. Pengaruh Pemanfaatan Teknologi
Informasi terhadap Kualitas Pelayanan Pegawai
Administrasi dan Pengaruh Kualitas Pelayanan Pegawai
Adminstrasi terhadap Kepuasan Mahasiswa di Lingkungan
FISE UNY. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun
2019.
Salsabila, Puja Hanum. (2018). Persepsi Masyarakat tentang Mutu
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) – Studi Kasus atas
SMK Ma'Arif NU 1 Ajibarang (Skripsi). Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan IAIN Purwokerto. Purwokerto
Sugandi, Lianna. (2014). Pengaruh Teknologi Informasi untuk
Meningkatkan Pelayanan dalam Proses Belajar Mengajar.
ComTech, 5(2), 939-953.
Suwardana, Hendra. (2017). Revolusi Industri 4.0 Berbasis
Revolusi Mental. Jati Unik, 1(2), 102-110.
Widarto, Losina Purnastuti, Sukir, Wagiran (2007). Peranan
SMK Kelompok Teknologi terhadap Pertumbuhan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 77


Manufaktur. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan. Jakarta.
Yahya, Muhammad. (2018). Era Industri 4.0: Tantangan dan
Peluang Perkembangan Pendidikan Kejuruan Indonesia.
Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Makassar.
Yuswohady (2019). Millennials KILL Everything
Zoolingen, S.J. (2004). The Role of key Qualification in Transition
from Vocational to Work.

78 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


BAGIAN KEEMPAT
STRATEGI DAN CYBERGOGY
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DALAM
REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Raden Gamal Tamrin Kusumah, Ahmad Walid,
Eva Istapra, Azizatul Khairi

I. Pendahuluan
A. Latar belakang
Di masa pandemi Covid-19 sekarang memang banyak hal
berbeda yang terjadi dalam kehidupan ini. Salah satu perubahan
tersebut terjadi di dunia pendidikan di mana kegiatan pembelajaran
harus dilakukan secara daring atau online. Indonesia sendiri yang
juga terjangkit wabah virus corona mau tak mau juga harus
menjalankan pendidikan secara daring. Sayangnya dalam pem-
belajaran secara online ini ditemui banyak kendala atau masalah.
Berikut ini merupakan beberapa kendala atau masalah yang terjadi
di Indonesia ketika mengimplementasikan pendidikan daring di
masa pandemi.
Permasalahan pendidikan pertama yang terjadi di Indonesia
selama masa pandemi adalah sarana pendidikan yang belum siap.
Mungkin anak-anak di perkotaan masih bisa menjalankan
pendidikan secara daring atau online tanpa hambatan. Tapi hal ini

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 79


tidak berlaku di daerah atau pedesaan yang memang tidak memiliki
jaringan internet sebagus di kota. Tidak hanya soal jaringan
internet, tapi untuk melakukan pembelajaran online ini juga
dibutuhkan sarana perangkat berupa laptop atau smartphone. Nah
dari sinilah muncul juga permasalahan karena tidak semua anak di
Indonesia, terutama di daerah yang memiliki perangkat ini.
Permasalahan lain yang muncul dari metode pembelajaran online
ini adalah masalah kuota. Pembelajaran daring ini memang
membutuhkan kuota yang harus dibeli dengan sejumlah rupiah.
Dari sinilah kemudian banyak orangtua dari kalangan menengah ke
bawah yang kesulitan untuk membeli kuota.
Dalam proses pembelajaran daring sendiri muncul juga
permasalahan cukup serius. Pembelajaran online yang tidak
membuat anak-anak bertemu langsung di kelas memang membuat
penjelasan guru menjadi kurang maksimal. Hasilnya tidak sedikit
siswa yang tidak bisa memahami materi yang disampaikan.
Mungkin bagi siswa yang punya guru privat bisa saja memper-
dalam materinya hingga kemudian mampu memahaminya. Tapi
kenyataannya tidak semua siswa di Indonesia memiliki guru privat.
Belum lagi bila membicarakan soal anak-anak berkebutuhan
khusus atau disabilitas, maka pembelajaran online ini akan semakin
menambah permasalahan yang ada.
Permasalahan yang bisa dijumpai pada pembelajaran online
di Indonesia selama masa pandemi yaitu mental dan keseriusan
anak dalam belajar. Dalam pembelajaran daring ini memang
banyak anak yang menyepelekan. Alih-alih serius dalam belajar,
mereka banyak yang menganggap belajar online ini sebagai
kegiatan mengisi waktu saat liburan. Ditambah lagi dengan kondisi
di mana banyak guru yang banyak memberikan tugas, menjadikan
anak semakin kurang serius dalam belajar. Mereka menganggap
bahwa belajar online ini hanya berisi kegiatan mengerjakan tugas.

80 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Gambar 1. Penetrasi Internet Pada Tahun 2018 (sumber Lory lewis)

Permasalahan-permasalahan yang telah terjadi saat ini


dikarenakan belum siapnya sarana dan prasarana di daerah yang
bisa dikategorikan masih tertinggal. Namun penetrasi siswa
maupun civitas akademika pendidikan terhadap internet sudah
sedemikian tinggi. Gambar 1 merupakan datanya.
Transformasi industri saat ini dengan pertukaran data,
cloud, sistem fisik-cyber, data besar, kecerdasan buatan (AI),
Internet of Things (IOT) dan banyak lagi. Industri dituntut untuk
beradaptasi dan gesit dalam:
 Robot perangkat lunak yang cerdas dan belajar sendiri
 Diperlukan multi-terampil, multi-disiplin dan multi-pekerjaan
 berhenti hadir dengan pekerjaan masa depan yang tidak

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 81


diketahui
Sehingga dampaknya akan terasa pada dunia pendidikan,
baik pendidikan rendah sampai dengan pendidikan tinggi. Salah
satunya yaitu bagaimana pendidik akan mengajar (metode),
bagaimana siswa akan belajar, apa yang akan dibelajarkan,
bagaiamana ruang belajar akan terlihat seperti apa, peranan
pendidik bagi peserta didik akan menjadi seperti apa, peranan siswa
di masa depan bagi masyarakat pelaku industry yang dibutuhkan
apa, dan atribut yang dibutuhkan oleh peserta didik dan pendidik
seperti apa. Atribut yang dibutuhkan dalam dunia maya maupun di
dunia nyata apakah sudah sesuai kriteria dalam civitas akademika
atau belum.

B. Rumusan masalah
Bagaimana Strategi Dan Pendekatan Pembelajaran Untuk
Peningkatan Mutu Pendidikan MIPA Dan Teknologi Dalam
Revolusi Industi 4.0 Untuk Menghasilkan Lulusan Yang
Berkualitas?

C. Tujuan dan manfaat


1. Strategi yang berfokus pada menggerakkan semua tingkat dan
unit pendidikan dengan inovasi, kreativitas, dan teknologi
digital untuk meningkatkan mutu Pendidikan MIPA dan
Pendidikan Teknologi
2. Menghasilkan lebih banyak tenaga Calon Guru MIPA dan
Pendidikan Teknologi dengan etika, moral dan pengetahuan
3. Pendekatan Pembelajaran apa yang sesuai untuk meningkatkan
mutu Pendidikan MIPA dan Pendidikan Teknologi
4. Tranformasi Pedagogy dunia nyata dalam interaksi di kelas
normal menjadi Cybergogy dengan segala komponen
penyertanya.

82 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


II. Tinjauan pustaka
A. Pengertian Cybergogy
Pada saat ini kita hidup di dunia yang berubah dengan
cepat, yang mengharuskan seseorang memiliki kemampuan untuk
beradaptasi lebih cepat daripada di masa sebelumnya. Bidang
pendidikan juga tidak kebal dari perubahan-perubahan tersebut
meskipun pendidikan merupakan bidang yang konservatif. Bidang
pendidikan mengalami perubahan pendekatan, dari pedagogi –
andragogi – heutagogi – dan cybergogy, yang mengharuskan
adanya adopsi berbagai keterampilan baru oleh pendidik dan
peserta pendidik. Perubahan pendekatan dalam bidang pendidikan
terjadi tidak secepat perubahan dalam bidang industri, sehingga
dikatakan mengalami “evolusi” sedangkan dalam bidang industri
dikatakan mengalami “revolusi”. Evolusi pendidikan tersebut telah
diberi label Pendidikan 1.0, Pendidikan 2.0, Pendidikan 3.0 dan
Pendidikan 4.0. Secara sekilas, berikut ini dijelaskan tentang
keempat pendekatan pendidikan yang dikaitkan dengan evolusi
pendidikan, yang diambil sebagian dari Zubaidah (2019a).
Isu-Isu Strategis Sains, Lingkungan, dan Inovasi
Pembelajarannya Pendekatan pedagogi adalah pendekatan yang
merupakan ciri dari Pendidikan 1.0, di mana pengetahuan
cenderung ditransfer dari pendidik ke peserta didik. Peserta didik
bersifat lebih pasif, menerima dan mencoba memahami apa yang
disampaikan oleh pendidik. Pendidik bertindak lebih aktif sehingga
pendidik cenderung berperan sebagai pentransfer pengetahuan,
akibatnya peserta didik hanya memperoleh pengetahuan sesuai
dengan transfer yang dilakukan oleh pendidik. Model instruksional
seperti ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada
pendidik (teacher centered). Pendekatan andragogi merupakan
salah satu ciri dari Pendidikan 2.0 dengan karakteristik
pembelajaran dengan orientasi yang lebih bersifat konstruktivis,
lebih berprinsip pada pembelajaran aktif, kaya akan pengalaman,
bersifat otentik, relevan, dan pembelajaran pengalaman dengan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 83


jejaring-sosial yang dibangun di dalam kelas. Peserta didik adalah
pebelajar aktif dan mendapatkan pengetahuan dengan merumuskan
dan memecahkan masalah mereka sendiri, lebih melibatkan peserta
didik untuk aktif dalam pembelajaran. Para pendidik telah merubah
perspektif mereka dan menyadari bahwa peserta didik akan belajar
paling baik ketika mereka sendiri termotivasi untuk merumuskan
dan memecahkan masalah sendiri, menstimulus keingintahuan dan
mendorong mereka untuk mencari dan mengumpulkan informasi
dari berbagai sumber. Pada masa ini pendidik lebih berperan
sebagai seorang fasilitator yang mendorong peserta didik untuk
mencari sendiri dan belajar dengan dan dari satu sama lain.
Pemanfaatan teknologi juga mulai dalam fase andragogi ini.
Heutagogi, atau dikenal dengan self-determined learning,
pembelajaran yang ditentukan sendiri, adalah pendekatan
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student-centered),
yang menekankan pengembangan otonomi, kapasitas, dan
kapabilitas. Tujuan heutagogi adalah untuk mengajarkan
pembelajaran seumur hidup dan menghasilkan pebelajar yang siap
dengan baik untuk kompleksitas tempat kerja saat ini dan kelak.
Pendekatan heutagogi adalah ciri dari Pendidikan 3.0. Munculnya
internet telah menyebabkan pergeseran besar dalam pendidikan.
Tidak seperti Pendidikan 1.0 dan 2.0, Pendidikan 3.0 menunjukkan
bahwa ada perubahan yang substansial dibandingkan dengan era
pendidikan sebelumnya. Platform teknologi dibuat dan peran
pendidik berubah menjadi fasilitator. Kehadiran platform online
menjadikan peserta didik dapat menentukan sendiri apa yang ingin
mereka pelajari dan memutuskan tujuan pembelajaran mereka
sendiri dengan bimbingan pendidik.
Cybergogy adalah merupakan strategi pendidikan yang
mendorong para pembelajar untuk terlibat dalam lingkungan
belajar dalam jaringan. Lingkungan online, serba terkoneksi, kini
telah menjadi keseharian dari kehidupan para siswa. Media
komunikasi dan interaksi, suka tidak suka kini telah beralih dari
bentuk fisik ke bentuk maya. Akan tetapi, alih-alih jadi

84 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


kekhawatiran, justru situasi ini menciptakan suatu peluang baru
dalam proses pendidikan maupun belajar mengajar. Guru dapat
menciptakan lingkungan dan iklim belajar yang lebih luas tanpa
dibatasi oleh sekat-sekat tradisional: ruang kelas, jadwal dan
kurikulum. Proses pendidikan dapat menjelajah kehidupan siswa
secara lebih luas, dan membuat iklim eksplorasi pengetahuan
menjadi menarik dan relevan dengan kondisi kekinian.
Beberapa alternatif strategi ini dapat di integrasikan dan
dikolaborasikan menjadi suatu strategi dan formulasi baru dalam
dunia pendidikan. Sehingga, sekolah semakin dekat dengan para
siswa, dan konten belajar menjadi lebih relevan bagi kehidupan
para siswa. Kita perlu menciptakan strategi-strategi baru, agar
pendidikan tetap tidak jauh dengan jaman dan tetap relevan dengan
kehidupan
Cybergogy ini merupakan strategi pendidikan yang
mendorong para pembelajar untuk terlibat dalam lingkungan
belajar dalam jaringan. Lingkungan Online, serba terkoneksi, kini
telah menjadi keseharian dari kehidupan para siswa. Media
komunikasi dan interaksi, suka tidak suka kini telah beralih dari
bentuk fisik ke bentuk maya.
Belajar mengajar di sekolah saat ini tidak lagi sebatas
pedagogy, namun juga heutagogy, peeragogy, dan cybergogy.
Mengajar tak lagi berarti „mengajari‟, akan tetapi „memfasilitasi‟
dan „menanam budi‟. Pada blog ini akan dibahas tentang
cybergogy.
Cybergogy merupakan strategi pendidikan yang men-
dorong para pembelajar untuk terlibat dalam lingkungan belajar
dalam jaringan. Lingkungan Online, serba terkoneksi, kini telah
menjadi keseharian dari kehidupan para siswa. Media komunikasi
dan interaksi, suka tidak suka kini telah beralih dari bentuk fisik ke
bentuk maya. Alternatif strategi ini dapat di integrasikan dan
dikolaborasikan menjadi suatu strategi dan formulasi baru dalam
dunia pendidikan. Sehingga, sekolah semakin dekat dengan para

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 85


peserta didik, dan konten belajar menjadi lebih relevan bagi
kehidupan para peserta didik. Sehingga, perlu untuk menciptakan
strategi-strategi baru, agar pendidikan tetap tidak jauh dengan
zaman dan tetap relevan dengan kehidupan.
Penerapan teknologi pendidikan telah menciptakan konsep
belajar mengajar baru - Cybergogy. Salah satu elemen sentral dari
cybergogy adalah maksud untuk menggabungkan dasar-dasar
pedagogi dan andragogi untuk mencapai pendekatan baru dalam
pembelajaran (Carrier & Moulds, 2003). Cybergogy berfokus pada
membantu orang dewasa dan remaja untuk belajar dengan
memfasilitasi dan secara teknologi memungkinkan pembelajaran
otonom dan kolaboratif yang berpusat pada peserta didik dalam
lingkungan virtual. Inti dari cybergogy adalah kesadaran bahwa
strategi yang digunakan untuk pembelajaran tatap muka mungkin
tidak sama dengan yang digunakan di lingkungan virtual.
Fasilitator harus memperhatikan Cybergogy. Seperti yang
diungkapkan banyak penelitian, keterlibatan aktif pelajar dalam
proses pembelajaran memengaruhi hasil belajar mereka. Dalam
lingkungan belajar apa pun, pelajar yang benar-benar terlibat
terlibat secara perilaku, intelektual, dan emosional dalam tugas-
tugas belajar mereka (Wang & Kang, 2006; Wang, 2007).
Cybergogy for Engaged Learning Model dibuat oleh Dr. Minjuan
Wang (Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri San Diego), dan
Dr. Myunghee Kang (Teknologi Pendidikan, Universitas Wanita
Ewha, Korea Selatan). Model ini merupakan sintesis pemikiran,
konsep, dan kerangka kerja teoritis saat ini tentang tingkat dan sifat
domain dalam keterlibatan online pelajar. Model Cybergogy
diterbitkan sebagai bab buku (Wang & Kang, 2006), artikel jurnal
peer-review (Wang, 2008), dan juga diakui sebagai model inovatif
untuk desain instruksional (Wang, 2008).
Model Cybergogy for Engaged Learning, seperti yang
dikemukakan Wang dan Kang (2006), memiliki tiga domain yang
tumpang tindih / berpotongan: kognitif, emotif, dan sosial (lihat
gambar). Penulis berpendapat bahwa pembelajaran yang terlibat

86 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


akan terjadi ketika faktor-faktor kritis dalam setiap domain
diperhatikan dengan baik, sehingga mendorong kehadiran kognitif,
emosi, dan sosial siswa. Model ini dibuat khusus untuk pengaturan
online yang melibatkan kegiatan pembelajaran yang lebih generatif
dan konstruktif. Agar pengalaman belajar online berhasil, siswa
harus dilengkapi dengan pengetahuan sebelumnya, termotivasi
untuk belajar, dan terlibat secara positif dalam proses pem-
belajaran. Selain itu, Wang dan Kang menyarankan, siswa juga
harus nyaman dengan lingkungan belajar dan merasakan rasa
kebersamaan dan komitmen sosial yang kuat. Model Cybergogy for
Engaged Learning dapat digunakan untuk melakukan penilaian
kebutuhan dan untuk menyusun desain kursus dan teknik fasilitasi.
Instruktur dapat menggunakan model ini untuk membuat profil
atribut kognitif, emosi dan sosial setiap siswa dan kemudian secara
efektif melibatkan peserta didik dengan menangani kebutuhan dan
atribut belajar individu (Wang & Kang, 2006). Penulis
mengidentifikasi metode yang dapat digunakan instruktur untuk
mendeteksi isyarat emosional siswa dan menumbuhkan perasaan
positif mereka; untuk meningkatkan kepercayaan diri peserta didik
dan membangkitkan keingintahuan mereka melalui desain kursus
dan fasilitasi elektronik; untuk melakukan komunikasi online dan
membangun lingkungan belajar yang mendukung. Oleh karena itu,
istilah "Cybergogy" menjadi label deskriptif untuk strategi
menciptakan pembelajaran online yang terlibat.

B. Konsep Dan Tujuan Pembelajaran Yang Berbasis Pada


Cybergogy
Teknologi sangat berperan penting bagi kehidupan manusia,
baik itu terikat dalam sebuah bidang akademisi ataupun privasi dari
setiap individu. Zaman berubah dengan menghasilkan berbagai
inovasi-inovasi yang menunjang setiap kegiatan manusia. Semua
itu memang tidak jauh dari tangan manusia yang mahir sekali
dalam menerapkan teknologi. Pada intinya inovasi berbasis

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 87


teknologi dapat menimbulkan pro dan kontra dilihat dari berbagai
sudut pandang atau kaca mata yang berbeda. Alangkah lebih baik
jika hal positifnya dapat disaring dan negatifnya dievaluasi
khususnya untuk kelangsungan hidup manusia dalam menempuh
pendidikan baik formal ataupun non formal. Pendidikan pun
ternyata sudah mengalami berbagai macam perubahan khususnya
dalam proses pembelajaran yang dianggap sudah semakin menarik
karena pemanfaatan teknologi. Singkatnya dapat ditarik dalam satu
garis lurus bahwa pembelajaran saat ini sudah masuk pada tahap
based technologi (berbasis teknologi). Pembelajaran berbasis
teknologi ini dapat diartikan dalam proses pembelajaran setiap
lembaga pendidikan dan peserta didik harus mempunyai perangkat
atau media yang mengandung unsur teknologi guna tercapainya
tujuan pembelajaran. Akan tetapi yang perlu diketahui adalah
teknologi ini belum semua dapat diterima dan diikuti oleh
masyarakat karena ada beberapa hal yang menjadikan sebuah
hambatan bagi masyarakat tertentu.
Pembelajaran berbasis teknologi dilhat dari beberapa aspek
ternyata memang menunjang bagi tercapainya tujuan pendidikan.
Dilihat dari aspek efektif dan efisiensi memang teknologi ini sudah
sesuai. Misalnya dalam pembelajaran yang monoton dengan
hadirnya teknologi maka pembelajaran akan menjadi lebih menarik
dan juga menimbulkan konsentrasi pada siswa (dengan media
proyektor, tidak hanya papan tulis). Kemudian dalam proses
pembelajarannya juga dapat memudahkan seorang guru saat
penyampaian materi dengan bantuan media proyektor dan saat ini
sudah marak berbagai macam aplikasi yang dapat membantu proses
pembelajaran.
Konsep cybergogy adalah pendekatan pembelajaran dengan
lingkungan belajar virtual untuk pengembangan pembelajaran
kognitif, emosional dan sosial peserta didik. Pembelajaran
cybergogy mendorong peserta didik untuk menggunakan komputer
dan internet dalam mendapatkan informasi, modul, laporan, dan
berbagai jenis referensi lainnya. Cybergogy menggabungkan dasar-

88 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


dasar pedagogi dan andragogi dan memberikan manfaat
pembelajaran yang diberikan oleh teknologi untuk hasil belajar
yang lebih baik. Pendekatan cybergogy saat ini telah dilakukan di
beberapa negara dan ke depan akan lebih meluas lagi.
Dilihat juga dari aspek pemberian tugas, dengan teknologi guru
dan siswa akan terbantu khususnya dalam pencarian materi dari
berbagai sumber di internet atau saat pengolahan dengan Microsoft
Office atau aplikasi lainnya yang masih relevan, dan juga saat
pengiriman yang menggunakan via e-mail. Meskipun jarak jauh
terasa namun masih ada tali yang tidak terlihat sebagai penopang
pengiriman sebuah tugas. Tidak sedikit orang-orang yang pintar
dan kreatif hasil dari pembelajaran yang berbasis teknologi, karena
hasilnya dapat membuat kita berada pada posisi sejajar atau
mengimbangi perkembangan zaman dan bersaing dengan dunia
luar.
Namun, ada sebuah jendela yang dapat kita lihat bahwa di
dalamnya masih terdapat keresahan dan kebimbangan. Seperti yang
telah dibahas di atas bahwa teknologi ini tidak semua pihak
dapat menerima ataupun mengikuti khususnya dalam proses
pembelajaran. Di daerah terpencil pemanfaatan media dalam proses
pembelajaran tanpa basis teknologi pun masih kurang, mereka
masih memanfaatkan sarana dan prasarana seadanya yang penting
pembelajaran tetap berjalan. Sebetulnya inilah yang harus dikritisi
dan diberi tindakan evakuasi, dalam arti diberikan dana bantuan
minimal berbentuk barang yang dapat menunjang proses
pembelajaran. Tidak dapat dimungkiri bahwa memang faktor
ekonomi yang menjadi hambatan mereka, namun yang patut
diacungi jempol adalah semangat guru dan siswa dalam mendidik
dan menempuh pendidikan.
Bersebrangan dengan jendela yang tadi, ternyata masih ada
jendela yang perlu sudut pandang kita sebagai seseorang yang
bergelut dalam dunia pendidikan. Ada sekolah yang sudah
menerapkan pembelajaran berbasis teknologi pada siswa SD yang
mengharuskan masing-masing peserta didik mempunyai laptop

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 89


atau note book. Sebetulnya tidak salah jika kita mencari-cari apa
keuntungannya dan apa kerugiannya. Dalam hal ini memang
pembelajaran berbasis teknologi telah diterapkan dan itu akan
menjadi keuntungan yang bagus bagi anak usia dini tersebut yang
sudah mengenal tentang teknologi dan juga pengoperasian berbagai
aplikasi. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah dari segi
usianya. Anak SD akan cenderung mengunduh dan terfokus pada
permainan dan yang ditakutkan lagi adalah mengoperasikan
berbagai aplikasi seperti FB, Twitter, dll. yang justru dikhawatirkan
akan kecanduan, sehingga fungsi pembelajaran berbasis teknologi
tersebut tidak berfungsi secara optimal. Hal inilah yang perlu
diperhatikan oleh guru dan orang tua sebagai penunjang pola pikir
dan perilaku anak (siswa).
Tujuan Pembelajaran Cybergogy adalah diharapkan memenuhi
Pendidikan 4.0, yang menciptakan lingkungan belajar virtual yang
berpusat pada peserta didik, otonom dan kolaboratif. Pendidikan
4.0 adalah fenomena yang merespon kebutuhan Revolusi Industri
4.0 di mana manusia dan mesin didampingkan untuk mencari
solusi, memecahkan masalah dan tentu saja menemukan
kemungkinan inovasi baru. Cybergogy melayani kebutuhan
masyarakat di 'era inovatif'. Manajemen pembelajaran yang
dilakukan bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk menerapkan teknologi baru yang akan membantu mereka
berkembang sesuai dengan perubahan di masyarakat. Tujuannya
untuk dapat hidup dalam masyarakat dengan kemampuan
terbaiknya.
Berdasarkan argumentasi dan sudut pandang dari jendela-
jendela yang terbuka di atas, pembelajaran berbasis teknologi
sebetulnya sangat bagus bagi perkembangan dan inovasi
pembelajaran serta tercapainya tujuan pembelajaran. Namun,
ternyata teknologi belum semua merata dapat digunakan dalam
proses pembelajaran khususnya di daerah-daerah tertentu dan
karena faktor ekonomi. Kemudian juga perlu ditanggapi mengenai
penerapan teknologi pada usia sekolah dasar yang memunculkan

90 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


banyak kekhawatiran. Inilah peran kita sebagai akademisi yang
tidak hanya mengikuti perkembangan namun juga memiliki sudut
pandang yang menghasilkan argumentasi dan kritik membangun
demi terciptanya tujuan pembelajaran dan pendidikan serta
menjadikan generasi bangsa Indonesia menjadi generasi emas,
berkarakter, dan mampu berdaya saing dengan dunia luar.
Pengguna teknologi haruslah bijak dalam pemanfaatannya karena
teknologi dapat menunjang perkembangan pendidikan di Indonesia.
Semua hal yang diciptakan tentu tidak sempurna, maka dari itu
bukan kuasa kita menghakimi mana yang baik dan mana yang
salah, namun kuasa kita untuk memberikan sudut pandang dengan
kritikan yang membangun demi tercapainya segala kebaikan dan
kebenaran.
Penerapan teknologi dalam pembelajaran tentu harus
menggunakan prinsip yang bisa memiliki fleksibilitas tinggi dalam
penerapannya. Salah satu contohnya adalah cybergogy for
engganged learning. Model Cybergogy for Engaged Learning,
seperti yang dikemukakan Wang dan Kang (2006), memiliki tiga
domain yang tumpang tindih / berpotongan: kognitif, emotif, dan
sosial (lihat gambar). Penulis berpendapat bahwa pembelajaran
yang terlibat akan terjadi ketika faktor-faktor kritis di setiap
domain diperhatikan dengan baik, sehingga mendorong kehadiran
kognitif, emosi, dan sosial peserta didik. Model ini dibuat khusus
untuk pengaturan online yang melibatkan kegiatan pembelajaran
yang lebih generatif dan konstruktif. Agar pengalaman belajar
online berhasil, siswa harus dilengkapi dengan pengetahuan
sebelumnya, termotivasi untuk belajar, dan terlibat secara positif
dalam proses pembelajaran. Selain itu, Wang dan Kang
menyarankan, siswa juga harus nyaman dengan lingkungan belajar
dan merasakan rasa kebersamaan dan komitmen sosial yang kuat.
Model Cybergogy for Engaged Learning dapat digunakan untuk
melakukan penilaian kebutuhan dan untuk menyusun desain kursus
dan teknik fasilitasi. Instruktur dapat menggunakan model ini untuk
memprofilkan atribut kognitif, emosi dan sosial setiap siswa dan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 91


kemudian secara efektif melibatkan peserta didik dengan
memenuhi kebutuhan dan atribut belajar individu (Wang & Kang,
2006). Penulis mengidentifikasi metode yang dapat digunakan
instruktur untuk mendeteksi isyarat emosional pelajar dan
menumbuhkan perasaan positif mereka; untuk meningkatkan
kepercayaan diri peserta didik dan membangkitkan rasa ingin tahu
mereka melalui desain kursus dan fasilitasi elektronik; untuk
melakukan komunikasi online dan membangun lingkungan belajar
yang mendukung. Oleh karena itu, istilah "Cybergogy" menjadi
label deskriptif untuk strategi menciptakan pembelajaran online
yang terlibat.atribut emosi dan sosial dan kemudian secara efektif
melibatkan peserta didik dengan menangani kebutuhan dan atribut
belajar individu (Wang & Kang, 2006). Penulis mengidentifikasi
metode yang dapat digunakan instruktur untuk mendeteksi isyarat
emosional peserta didik dan menumbuhkan perasaan positif
mereka; untuk meningkatkan kepercayaan diri peserta didik dan
membangkitkan keingintahuan mereka melalui desain kursus dan
fasilitasi elektronik; untuk melakukan komunikasi online dan
membangun lingkungan belajar yang mendukung. Oleh karena itu,
istilah "Cybergogy" menjadi label deskriptif untuk strategi
menciptakan pembelajaran online yang terlibat.atribut emosi dan
sosial dan kemudian secara efektif melibatkan peserta didik dengan
menangani kebutuhan dan atribut belajar individu (Wang & Kang,
2006). Penulis mengidentifikasi metode yang dapat digunakan
instruktur untuk mendeteksi isyarat emosional peserta didik dan
menumbuhkan perasaan positif mereka; untuk meningkatkan
kepercayaan diri peserta didik dan membangkitkan keingintahuan
mereka melalui desain kursus dan fasilitasi elektronik; untuk
melakukan komunikasi online dan membangun lingkungan belajar
yang mendukung.

92 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


•PriorPrior
knowledge/Experience
knowledge/Experience
Achievement
•Achievement goals
goals
Learning
•Learning activity
activity
Cognitive/learning
•Cognitive/learning style
style

Cognitive factors

Engaged Learning
•Feeling
Feeling ofofself
self Personal attributes •Personal attributes
•Feeling
Feeling ofofcommunity
community Context Social•Community
•Contextfactors •Communication
Feeling ofoflearning
•Feeling learningatmosphere •Community
Feeling of learning Emotive factors
atmosphere •Communication
process
•Feeling of learning
process

Online Learning Environment

Gambar 1.
The “MM” Model: Cybergogy for Engaged
Learning (Wang &Kang; 2006)

Model Cybergogy for Engaged Learning Wang &Kang (2006)


(lihat Gambar 1) memiliki tiga domain yang tumpang tindih /
berpotongan: kognitif, emosi, dan sosial. Model ini merupakan
sintesis pemikiran, konsep, dan kerangka kerja teoritis saat ini
tentang tingkat dan sifat dari tiga domain dalam keterlibatan pelajar
secara online. Wang &Kang (2006) berpendapat bahwa
pembelajaran yang terlibat akan terjadi ketika faktor kritis di setiap
domain diperhatikan dengan baik, sehingga mendorong kehadiran
kognitif, emosi, dan sosial siswa. Wang &Kang (2006) membuat
model ini terutama untuk pengaturan online yang melibatkan
aktivitas pembelajaran yang lebih generatif dan konstruktif.
Dengan demikian, instruktur dapat menggunakan model ini untuk

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 93


membuat profil setiap pelajar dan kemudian merancang taktik
untuk melibatkan individu yang sesuai, sebuah proses yang kami
sebut "keterlibatan yang disesuaikan." Akibatnya, peserta didik
tidak hanya memiliki kesempatan untuk mencapai tujuan
pembelajarannya, tetapi juga akan terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran.
Model Cybergogy menghargai pembelajaran afektif sama
tingginya dengan pembelajaran kognitif, dan melihat keduanya
saling terkait. Wang &Kang (2006) berpendapat bahwa sistem
pendidikan saat ini harus menghargai peserta didik daripada
kurikulum, dan harus mentolerir hasil belajar yang mungkin kurang
dapat diprediksi tetapi sangat bermanfaat.

C. Faktor Yang Mepengaruhi Pembelajaran Yang Berbasis


Pada Cybergogy
Cybergogy adalah kerangka kerja untuk menciptakan
pembelajaran online yang terlibat (Wang & Kang, 2006). Hal
tersebut merupakan framework sintesis dasar-dasar pedagogi dan
andragogi untuk menyusun pendekatan pembelajaran online
(Carrier & Moulds, 2003).
Model Cybergogy memiliki tiga domain yang tumpang tindih:
kognitif, emosi dan sosial; menilai pembelajaran afektif sama
tingginya dengan pembelajaran kognitif. Menilai pelajar atas
sumber daya yang dibutuhkan dosen dan mahasiswa untuk
bersama-sama menciptakan lingkungan yang mencakup empat
kondisi motivasi:
1. menumbuhkan kompetensi pelajar seputar pembelajaran yang
efektif dan berharga
2. membangun suasana belajar yang saling menghormati dan
terhubung

94 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


3. memfasilitasi sikap positif terhadap pengalaman belajar
melalui relevansi pribadi (Pedagogi Freirean, 1988)
4. merancang tugas belajar yang menantang dan penilaian yang
konsisten dengan tujuan pelajar dan hasil yang diinginkan
(Wang & Kang, 2006).
Pada (Gambar 1) Wang & Kang (2006) menampilkan beberapa
bentuk pembelajaran yang terlibat secara online, indikator, dan cara
untuk menilai setiap bentuk pembelajaran yang terlibat. Taksonomi
memnuhi syarat bentuk keterlibatan dan strategi penilaian.
Terdapat masing-masing dari tiga domain dan menyarankan
Cybergogy untuk melibatkan peserta didik untuk memperhatikan
faktor kogintif, emosi dan social. Misalnya mencari cara yang
dapat digunakan instruktur untuk mendeteksi isyarat emosional
peserta didik dan menumbuhkan perasaan positif mereka untuk
meingkatkan kepercayaan diri peserta didik dan membangkitkan
keingintahuan mereka melalui desin kursus dan fasilitas elektronik,
melakukan komunikasi online dan membangun lingkungan belajar
yang mendukung.
1. Faktor Kognitif
Domain kognitif menunjukkan faktor-faktor yang memulai
konstruksi pengetahuan individu. Ini menyelidiki cara seseorang
mengoptimalkan relevansi dan makna pribadi melalui proses
konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan telah diteliti di
sektor kognitif serta sektor konstruktivis. Teori pemrosesan
informasi, sebagai bagian dari psikologi kognitif, membayangkan
pikiran manusia sebagai sesuatu yang mirip dengan prosesor
komputer dan menjelaskan peristiwa psikologis dalam kaitannya
dengan masukan, proses, penyimpanan, dan keluaran informasi.
Teori belajar mandiri menjelaskan pembelajaran sebagai bentuk
keterlibatan kognitif, seperti keterlibatan intelektual peserta didik
dalam perencanaan dan pemantauan, saat melakukan tugas di kelas.
Menurut teori keterlibatan kognitif ini, konstruksi pengetahuan
memiliki tiga tahap utama: akuisisi informasi, transformasi

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 95


informasi, dan konstruksi pengetahuan. Dalam tahap perolehan
informasi, peserta didik meninjau struktur pengetahuan mereka
sendiri, yang pada gilirannya merangsang minat mereka untuk
menemukan informasi yang berguna dan dalam mengeksplorasi
serta mengubah rangsangan eksternal. Pada tahap transformasi
informasi, peserta didik memilih informasi yang sesuai, mengatur
dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang ada, dan
merencanakan kegiatan tertentu. Tujuan akhir adalah tahap
konstruksi pengetahuan, di mana produk-produk konstruksi
pengetahuan direalisasikan. Pengetahuan yang dikonstruksikan
bukanlah jenis yang merupakan hasil hafalan, melainkan jenis yang
dapat diterapkan dalam keadaan baru, digunakan untuk
memecahkan masalah, dan digunakan dalam hubungan dengan
elemen lain dalam konteks. Faktor-faktor berikut diperkirakan
mempengaruhi konstruksi pengetahuan individu selama proses:
pengetahuan / pengalaman sebelumnya, tujuan belajar, kegiatan
belajar, lokus kendali, dan gaya penilaian (Hannafin et. Al., 2003).
Namun, konstruktivis telah mendefinisikan konstruksi pengetahuan
sebagai sejauh mana peserta didik mampu membangun dan
mengkonfirmasi makna melalui wacana berkelanjutan dalam
komunitas penyelidikan kritis (Garrison et al., 2003). Dalam
pandangan mereka, konstruksi pengetahuan adalah proses
melingkar dari konsepsi, pengalaman, persepsi, dan penilaian, di
mana peran utama dimainkan oleh penyelidikan praktis dari
tahapan resolusi, peristiwa pemicu, eksplorasi, dan integrasi. Dari
perspektif ini, diasumsikan bahwa konstruksi pengetahuan dapat
sangat dibantu oleh alat untuk menilai wacana kritis dan refleksi
untuk tujuan memperoleh hasil pembelajaran yang diinginkan dan
bermanfaat. Faktor kognitif ini juga terbagi menjadi 4 bagian yaitu:
a. Pengetahuan / Pengalaman Sebelumnya
Termasuk dalam domain kognitif model, pengetahuan sebelumnya
penting saat meningkatkan pengalaman belajar. Sejumlah besar
temuan menunjukkan bahwa pembelajaran berlangsung terutama
dari pengetahuan sebelumnya, dan hanya sekunder dari materi yang

96 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


disajikan. Apalagi bila kurikulum baru dikaitkan dengan
pengetahuan dan keterampilan yang ada, peserta didik biasanya
lebih tertarik. Pembelajaran dipromosikan ketika pengetahuan yang
ada diaktifkan sebagai dasar untuk pengetahuan baru (Merrill,
2002). Pembelajaran terjadi ketika siswa memproses informasi
baru. Beberapa faktor, seperti pengetahuan sebelumnya, nilai,
harapan, dan lingkungan belajar siswa, sangat mempengaruhi
proses belajar mereka (Newmann et al. Dalam Brown, 1997).
Ironisnya, untuk secara efektif mengintegrasikan pengetahuan
sebelumnya ke dalam rencana pengajaran, seorang instruktur harus
mengatasi kekurangan dalam pengetahuan yang ada yang dapat
mengganggu pembelajaran konsep-konsep baru. Penelitian telah
menunjukkan bahwa pengetahuan awal pelajar sering kali
mengacaukan upaya terbaik pendidik untuk menyampaikan ide
secara akurat. Peserta didik akan mendistorsi materi yang disajikan
jika bertentangan dengan pengetahuan mereka sebelumnya.
Mengabaikan pengetahuan sebelumnya dapat mengakibatkan
audiens mempelajari hal-hal yang bertentangan dengan niat
pendidik, tidak peduli seberapa baik niat tersebut dieksekusi dalam
pameran, buku, atau kuliah.
b. Sasaran Pencapaian
Mengizinkan siswa untuk menetapkan tujuan pembelajaran mereka
dapat meningkatkan motivasi dan dengan demikian mendorong
keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran. Setelah harapan
dan tujuan ditetapkan dengan jelas, instruktur kemudian dapat
memilih metode penyampaian yang terbaik dan jenis penilaian
untuk mengevaluasi kinerja. Semua jenis penilaian kursus dapat
digunakan selama sesuai dan konsisten dengan metode
pembelajaran yang digunakan dan tujuan pembelajaran siswa
(SLO) untuk kursus tersebut.
Dweck dan Leggett (1988) mengidentifikasi dua jenis pencapaian
tujuan - kinerja dan pembelajaran - yang mempengaruhi kinerja
akademik siswa. Sasaran kinerja dikaitkan dengan keinginan untuk

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 97


mencapai nilai yang disukai dan persetujuan sosial. Siswa yang
berorientasi pada kinerja biasanya lebih mementingkan hasil
daripada dengan proses pembelajaran yang sebenarnya dan lebih
cenderung untuk berlangganan teori entitas kecerdasan, percaya
bahwa kecerdasan adalah atribut tetap. Siswa dengan tujuan kinerja
cenderung tampil baik pada tugas-tugas yang lebih mudah di mana
evaluasi positif dapat dicapai, tetapi mereka sering menjadi putus
asa dan mudah menyerah ketika menghadapi tugas yang sulit,
menghubungkan kegagalan mereka dengan kurangnya kemampuan.
Sebaliknya, siswa yang berorientasi pada pembelajaran tertarik
pada materi baru dan mereka cenderung menganut teori
inkremental bahwa kecerdasan dapat ditempa. Para siswa ini
menampilkan perilaku "berorientasi penguasaan", menunjukkan
lebih banyak ketekunan pada tugas-tugas yang sulit, menggunakan
strategi alternatif, dan menghubungkan kegagalan dengan
kebutuhan untuk bekerja lebih keras daripada kurangnya
kemampuan (Heyman & Dweck, 1992).
Dweck memperkenalkan gagasan tujuan pembelajaran dan kinerja
sebagai variabel unidimensi (Dweck & Leggett, 1998). Roedel dan
rekan-rekannya, (1994), bagaimanapun, menyarankan bahwa
tujuan pembelajaran dan kinerja tampaknya tidak bergantung satu
sama lain. Dengan demikian, seseorang mungkin tinggi dalam
tujuan pembelajaran dan kinerja, rendah dalam kedua tujuan, atau
tinggi dalam satu tujuan dan rendah pada tujuan lainnya. Eppler
dan Harju (1997), menggunakan skala Roedel, membagi
mahasiswa menjadi empat kategori pola tujuan: rendah pada tujuan
pembelajaran dan kinerja; tinggi pada tujuan pembelajaran dan
kinerja; tinggi pada tujuan kinerja sementara rendah dalam
pembelajaran; dan tinggi dalam tujuan pembelajaran sementara
kinerja rendah. Dalam studi mereka, siswa yang mendukung tujuan
pembelajaran saja atau yang mendukung tujuan pembelajaran dan
kinerja memiliki IPK yang jauh lebih tinggi daripada kelompok
dengan tingkat orientasi tujuan yang rendah. Oleh karena itu,

98 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


penelitian ini mendukung hipotesis Dweck tentang orientasi tujuan
yang merupakan prediksi keberhasilan akademis.
Orientasi tujuan tampaknya tidak mempengaruhi kinerja siswa
dalam kondisi stres rendah. Namun, ketika dihadapkan pada stres,
seperti gagal lulus ujian, siswa yang dominan tujuan belajarnya
dapat bertahan dan mengadopsi strategi pembelajaran yang lebih
berhasil. Sebaliknya, siswa yang dominan dengan tujuan kinerja
dapat tampil lebih buruk atau terlibat dalam perilaku irasional,
seperti menyerah tetapi tidak menjatuhkan kelas. Hoyert dan O'Dell
melaporkan bahwa hasil ini sering terjadi ketika siswa memandang
tujuan pembelajaran dan kinerja sebagai faktor kompetitif, bukan
sebagai faktor berkelanjutan atau independen.
c. Kegiatan Belajar (Tugas Dan Penilaian)
Untuk merangsang pembelajaran yang terlibat, tugas harus
menantang, otentik, dan multidisiplin. Tugas-tugas semacam itu
biasanya rumit dan melibatkan banyak waktu. Mereka otentik
karena sesuai dengan tugas di rumah dan tempat kerja saat ini dan
masa depan. Kolaborasi seputar tugas otentik sering kali terjadi
dengan teman sebaya dan mentor di sekolah serta dengan anggota
keluarga dan orang lain di dunia nyata di luar sekolah. Tugas-tugas
ini seringkali membutuhkan instruksi terintegrasi yang meng-
gabungkan pembelajaran berbasis masalah dan kurikulum dengan
proyek.
Penilaian pembelajaran yang terlibat melibatkan memberi siswa
tugas, proyek, atau penyelidikan otentik, dan kemudian mengamati,
mewawancarai, dan memeriksa presentasi dan artefak mereka
untuk menilai apa yang sebenarnya mereka ketahui dan dapat
lakukan. Penilaian ini, sering disebut penilaian berbasis kinerja,
bersifat generatif karena melibatkan siswa dalam menghasilkan
kriteria kinerja mereka sendiri dan memainkan peran kunci dalam
keseluruhan desain, evaluasi, dan pelaporan penilaian mereka.
Penilaian berbasis kinerja terbaik memiliki koneksi yang mulus ke
kurikulum dan pengajaran sehingga dapat terus berlanjut. Penilaian

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 99


harus mewakili semua aspek yang berarti dari kinerja dan harus
memiliki standar yang adil yang berlaku untuk semua siswa.
d. Gaya Kognitif Dan Belajar
Dalam tinjauan ekstensif tentang pekerjaan pada gaya belajar dan
kognitif selama 30 tahun terakhir, Riding dan Rayner (1998)
mencoba untuk mengklasifikasikan dan mengintegrasikan banyak
pekerjaan sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa banyak label
berbeda yang digunakan untuk mengkategorikan gaya kognitif dan
gaya belajar adalah "konsepsi berbeda dari dimensi yang sama".
Setelah membandingkan dan membedakan berbagai klasifikasi,
mereka mengidentifikasi dua dimensi gaya kognitif utama:
1) Verbal-Imagery
Posisi individu pada dimensi ini menentukan apakah orang tersebut
cenderung menggunakan gambar atau representasi verbal untuk
merepresentasikan informasi ketika berpikir.
2) Wholist-Analytic
Posisi individu pada dimensi ini menentukan apakah orang tersebut
memproses informasi sebagian atau secara keseluruhan (Riding &
Rayner, 1998)
Kolb (1984) mengusulkan teori pembelajaran eksperiensial yang
melibatkan empat tahap utama: pengalaman konkret (CE),
observasi reflektif (RO), konseptualisasi abstrak (AC), dan
eksperimen aktif (AE). Dimensi CE / AC dan AE / RO adalah
kebalikan dari gaya belajar, dan Kolb mendalilkan empat jenis
pelajar, tergantung pada posisi mereka pada dua dimensi ini:
Menurut Kolb (1984), empat mode belajar dasar, sesuai dengan
empat gaya belajar dasar: pragmatis, reflektor, ahli teori, dan
aktivis. Gaya belajar ini menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: (1)
Pragmatis. Gaya belajar pragmatis terutama bergantung pada
kapasitas belajar yang dominan dari eksperimen aktif dan
konseptualisasi abstrak. (2) Reflektor. Gaya ini bergantung
terutama pada pengalaman konkret dan observasi reflektif; ia

100 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


memiliki keuntungan besar dalam kemampuan imajinatif dan
kesadaran akan makna dan nilai. (3) Ahli teori. Gaya belajar ahli
teori bergantung terutama pada konseptualisasi abstrak dan
observasi reflektif. Gaya ini memiliki keuntungan besar dalam
penalaran induktif, membuat model teoritis, dan mengasimilasi
pengamatan yang berbeda menjadi entitas integratif. (4) Aktivis.
Gaya ini terutama bergantung pada eksperimen aktif dan
pengalaman konkret; itu memiliki keuntungan besar dalam
melakukan sesuatu, menerapkan rencana, dan terlibat dalam tugas
baru (Thorne, 2003)

2. Faktor Emosi
Secara umum diketahui bahwa pengajaran dan pembelajaran
bekerja paling baik dalam suasana kelas yang penuh kasih sayang
dan rasa hormat, daripada dalam suasana ketakutan dan intimidasi.
Namun, komunitas ilmiah barat cenderung dikotomi kognisi dan
emosi (McLeod, 1991). Dalam pendidikan orang dewasa, misalnya,
teori dan praktik sering kali meminggirkan emosi dan
meningkatkan rasionalitas; kemampuan untuk bernalar selalu
menggantikan emosi (Dirkx, 2001). Pengajaran dan pembelajaran
sering kali dibingkai sebagai rasional dan kognitif; emosi dianggap
sebagai penghalang untuk belajar atau hanya sebagai motivatornya
(Dirkx).
Literatur yang berkembang (misalnya, Currin, 2003; Dirkx; Hara &
Kling, 2000; O'Regan; Kort, Reilly & Picard, 2003; Weiss, 2000)
telah mulai mendukung peran sentral emosi untuk pembelajaran
apa pun. usaha keras dan hasil, terutama dalam pembelajaran
elektronik atau online. Dirkx mengemukakan kekuatan perasaan
(emosi dan imajinasi) dalam konstruksi makna orang dewasa.
Setelah dianggap sebagai "bagasi" atau "hambatan" untuk belajar,
emosi dan imajinasi sekarang dianggap sebagai bagian integral dari
proses pembelajaran orang dewasa (Dirkx, p. 67).

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 101


Eksplorasi yang terus menerus dan meningkat dari sekumpulan
parameter kompleks seputar pembelajaran online mengungkapkan
pentingnya keadaan emosional peserta didik dan terutama
hubungan antara emosi dan pembelajaran yang efektif (misalnya,
Kort, Reilly & Picard; O‟Regan). Kort dan koleganya (2001)
menemukan bahwa dalam lingkungan berbasis teknologi, peserta
didik umumnya mengalami perubahan emosional selama
perjalanan belajar mereka. Dari frustrasi hingga kegembiraan, dari
kebosanan hingga daya tarik; dimensi emosi dari pembelajaran
dapat berkontribusi pada pengalaman pendidikan yang positif atau
atribut negatif. Efisiensi dan efektivitas pemrosesan informasi
peserta didik dapat dipengaruhi oleh berbagai emosi yang muncul
dari proses pembelajaran.
Beberapa juga mencoba membuat model yang menghubungkan
emosi dengan faktor sosial atau proses kognitif. Misalnya, Martinez
merancang model orientasi belajar online, yang mengenali
pengaruh dominan emosi, niat, dan faktor sosial tentang bagaimana
individu belajar secara berbeda ”(dalam O'Regan, p. 3)
Cybergogy for Engaged learning yang ditulis oleh Wang & Kang
(2006) meiliki keunikan dalam sintesis konstruksi dari model yang
ada dan dalam menjalin faktor-faktor dalam domain afektif
(terutama emosi dan perasaan) dengan dinamika kognitif dan sosial
dari proses pembelajaran. Dengan demikian, model ini memberikan
pandangan yang lebih sistematis dan holistik tentang faktor-faktor
yang menumbuhkan pembelajaran yang terlibat.
Pemahaman emosi sangat beragam, dari Darwin hingga
representasi behavioris, dari istilah fisiologis hingga psikologis. Di
sini emosi didefinisikan dari perspektif sosial-budaya sebagai
"tindakan sosial yang melibatkan interaksi dengan diri sendiri dan
interaksi dengan orang lain" (Denzin dalam O'Regan, p. 7). Intinya,
emosi adalah "peran sosial sementara" yang ada baik dalam
konteks interpersonal dan sosial-budaya (Averill, p. 7). Untuk
mengatasi emosi secara lebih jelas dan ekspansif, Wang & Kang
(2006) mengidentifikasi empat jenis perasaan yang mungkin

102 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


mempengaruhi keterlibatan peserta didik: a) perasaan diri, b)
perasaan koneksi interpersonal / komunitas, c) perasaan suasana
belajar, dan d) perasaan yang muncul dari pembelajaran proses.
a) PERASAAN DIRI (PERCAYA DIRI, KOMPETENSI,
EFISIENSI (dengan alat komunikasi dan teknologi online)
Dirkx (2001) menyimpulkan dari data empiris bahwa "emosi dan
perasaan memainkan peran penting dalam rasa diri kita dan dalam
proses pembelajaran orang dewasa .... Emosi selalu mengacu pada
diri, memberi kita sarana untuk mengembangkan pengetahuan diri"
(hal. 64-65).
Perasaan diri mempengaruhi keterlibatan pelajar melalui motivasi.
Banyak penelitian (Bandura & Cervone, 1986; Locke, Frederick,
Lee, & Bobko, 1984; Schunk, 1990) telah mengungkapkan bahwa
self-efficacy, kepercayaan diri, dan kompetensi peserta didik
dengan tugas-tugas pembelajaran secara langsung mempengaruhi
penetapan tujuan mereka. dan dengan demikian motivasi mereka
untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Beberapa (misalnya,
Lumpe & Chambers, 2001) menemukan bahwa keyakinan efikasi
diri peserta didik dapat menjadi prediktor yang signifikan dari
kinerja tugas mereka; mereka berpendapat bahwa pelajar dapat
secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran, hanya jika pelajar
merasa bahwa tugas dapat dicapai dan dikelola.
Perasaan percaya diri dan kemanjuran dapat membantu siswa
beradaptasi dengan pembelajaran online, yang memberi mereka
lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam pembelajaran
mandiri (Katz, 2002). Hasilnya, mereka mungkin mampu
mengatasi keinginan untuk interaksi tatap muka, kebiasaan belajar
yang terbawa dari pembelajaran tradisional di kelas.
Pengaruh kepercayaan diri pada keterlibatan pelajar didukung oleh
model ARCS Keller yang dengannya dia mengidentifikasi empat
motivasi belajar utama: perhatian, relevansi, kepercayaan diri, dan
kepuasan. Di antara mereka, kepercayaan diri sangat penting
karena "orang memiliki keinginan untuk merasa kompeten dan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 103


mengendalikan aspek kunci kehidupan mereka" (Keller, n.d., hlm.
381). Persepsi kontrol menurunkan stres dan mengarah pada
perilaku yang lebih sehat dan lebih bahagia
b) PERASAAN KONEKSI INTERPERSONAL / KOMUNITAS
Selain merasa nyaman dengan dirinya sendiri, peserta didik juga
perlu merasa positif tentang dunia sosial yang lebih luas.
Keterlibatan membutuhkan rasa "menyesuaikan diri" dengan
lingkungan belajar yang lebih besar. Perasaan memiliki suatu
komunitas berkontribusi terhadap motivasi, keterlibatan, dan
kepuasan siswa dengan proses pembelajaran (Chan & Rapman,
1999; Wegerif, 1998 dalam Oren, Mioduser, dan Nachmias, 2003).
Sosialisasi, pembentukan jaringan sosial dan pembangunan
komunitas belajar, telah dianggap penting untuk pengalaman
belajar yang menyenangkan dan sukses dalam situasi pembelajaran
yang dimediasi teknologi (Rovai, 2001; Preece, 2000). Komunitas
online adalah kumpulan sosial yang muncul dari web ketika cukup
banyak orang yang melakukan diskusi publik yang panjang, dengan
perasaan manusiawi yang memadai, untuk membentuk jaring
hubungan pribadi (Rheingold, 2000). Literatur yang berkembang
tentang komunitas pembelajaran online telah menghasilkan temuan
konklusif tentang pentingnya dan dampak komunitas pada
keterlibatan, kepuasan, dan hasil pembelajaran siswa. Dalam
sebuah studi tentang dimensi sosial dari jaringan pembelajaran
asynchronous, Wegerif (2003) menyimpulkan bahwa "keberhasilan
atau kegagalan individu pada kursus tergantung pada sejauh mana
siswa mampu melewati ambang dari merasa seperti orang luar
menjadi merasa seperti orang dalam" (hal. 34). Meskipun beberapa
penelitian (misalnya, Beaudoin, 2002; Fritsch, 1997) telah
menemukan bahwa pelajar yang menyaksikan atau "pengintai"
yang menahan diri dari interaktivitas yang terlihat masih memenuhi
tujuan pembelajaran, hampir semua literatur menunjukkan bahwa
bersosialisasi sangat penting untuk pembelajaran yang
menyenangkan dan sukses. pengalaman dalam situasi pembelajaran
yang dimediasi teknologi.

104 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Model Pembelajaran Engaged kami memprediksi bahwa perasaan
komunitas atau isolasi dapat menjadi konsekuensi dari aktivitas
atau kurangnya aktivitas dalam domain sosial. Strategi untuk
membantu siswa memasuki komunitas belajar dan memper-
tahankan komunitas belajar dibahas lebih lanjut di bagian dimensi
sosial.
c) PERASAAN SUASANA BELAJAR
Keterlibatan dalam pengaturan kelas terkait erat dengan lingkungan
belajar yang lebih besar, seperti kualitas interaksi dan budaya
kampus (Bangert-Drowns & Pyke). Aspek keterlibatan ini, kami
yakin, bisa menjadi lebih penting dalam pengaturan online. "Orang
yang merasa tidak aman, tidak terhubung, dan tidak dihargai tidak
mungkin termotivasi untuk belajar" (Wlodkowski & Ginsberg,
1995, p. 2). Membangun lingkungan belajar yang mendukung,
meningkatkan kesadaran siswa akan keragaman, dan memfasilitasi
komunikasi siswa-siswa adalah strategi yang kondusif untuk sukses
(Wlodkowski & Ginsberg).
Interaksi yang berkualitas antara siswa dan instruktur sangat
kondusif untuk suasana pembelajaran yang positif, yang ditandai
dengan sosialisasi, rapport, koneksi, debat, dan negosiasi terbuka.
Penekanan untuk interaksi ini berakar pada konstruktivisme sosial
(Vygotsky, 1986), yang menyatakan bahwa pengetahuan ber-
sama berkembang melalui komunikasi dan aktivitas bersama.
Komunikasi di antara peserta online memfasilitasi pembangunan
komunitas pelajar yang berbagi pemahaman dan mengadopsi basis
pengetahuan umum (Wang, 2001).
Selain itu, seorang instruktur harus memperhatikan banyak faktor
kognitif untuk mengembangkan suasana belajar yang positif dan
mendukung. Misalnya, instruktur harus memperlakukan siswa
sebagai individu dengan memberi teladan rasa hormat pada
perbedaan individu dan dengan mempertimbangkan harapan dan
pengalaman siswa dengan kebutuhan yang berbeda (Wlodkowski
& Ginsberg, 1995). Kesempatan belajar perlu dibuat agar sesuai

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 105


dengan gaya belajar siswa yang berbeda; gaya presentasi dan
persyaratan tugas harus bervariasi untuk mengakomodasi bakat dan
gaya belajar siswa yang berbeda (Hutchines, 2003).
d) PERASAAN YANG MUNCUL DARI PEMBELAJARAN
PROSES
Siswa sering mengalami berbagai emosi saat belajar online seperti
minat / rasa ingin tahu, kebingungan / kecemasan / frustrasi, daya
tarik atau kebosanan, kebanggaan, dan kepuasan atau ketidak-
puasan. Perasaan yang paling umum - frustrasi, isolasi, kecemasan,
dan kebingungan - sering kali disebabkan oleh lingkungan online
itu sendiri, termasuk gangguan komunikasi dan kesulitan teknis
(Hara & Kling, 2000). Faktor-faktor lain dalam ranah kognitif dan
sosial, seperti masalah teknologi dan pedagogis, kelebihan
informasi, dan isolasi sosial, juga dapat menyebabkan frustrasi ini.
Oleh karena itu, fasilitasi yang efektif dalam ranah kognitif dan
sosial dapat membantu mengurangi emosi negatif dan meng-
embangkan emosi positif. Secara khusus, perasaan puas sangat
penting untuk proses belajar siswa. Dalam meta-analisis studi
mereka tentang kepuasan siswa dalam kursus online, Hill dan
rekan-rekannya (1996) menemukan bahwa siswa yang merasa
paling puas (atau memiliki tingkat "pembelajaran yang diper-
sepsikan" tertinggi) berinteraksi dengan teman sekelas online di
tingkat yang lebih dalam dan berpartisipasi lebih aktif dalam sesi
online mereka.
Kort dan rekannya menggambarkan perubahan emosional peserta
didik selama perjalanan pembelajaran terjadi di beberapa zona:
zona rasa ingin tahu, zona kecemasan, zona aliran, dan terakhir
zona menuju jalur produktif. Berdasarkan model pembelajaran
emosi mereka (lihat Gambar 2), mereka berharap untuk merancang
sistem berbasis komputer yang memiliki kecerdasan buatan dari
guru ahli yang “mahir mengenali keadaan emosional peserta didik
dan mengambil tindakan yang tepat yang secara positif
mempengaruhi pembelajaran. ”(Kort dkk. 200l, hal. 1). Namun,
sebelum sistem ini menjadi kenyataan, guru manusia perlu

106 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


mengambil tindakan untuk membuat siswa tetap terlibat. Berikut
kami membahas strategi yang dapat digunakan instruktur untuk
melibatkan siswa secara emosional dalam pembelajaran
3. Faktor Sosial
Dimensi sosial adalah tindakan sosial yang melibatkan interaksi
dengan diri sendiri dan orang lain. Karena domain sosial sangat
luas dan sangat memengaruhi pelajar, ini memegang posisi penting
dalam model Keterlibatan kami. Faktor sosial dalam Model
Keterlibatan kami termasuk dalam kategori berikut:
a) Atribut pribadi: usia dan jenis kelamin, bahasa, budaya, dan
kemampuan literasi media
Ciri-ciri pribadi dan harapan pelajar harus diperhitungkan. Empat
rangkaian nilai yang berlawanan membantu menjelaskan perbedaan
dalam ekspektasi sosial: individualisme versus kolektivisme,
orientasi pencapaian versus hubungan, struktur longgar versus
ketat, struktur egaliter versus hierarki (Weech, 20001). Instruktur
perlu mengenali perbedaan ekspektasi dan mengambil tindakan
untuk menyelaraskannya dengan materi dan aktivitas pembelajaran.
b) Konteks sosial-budaya pelajar: tujuan, motif, harapan, dan nilai
(kognitif yang tumpang tindih)
Dalam domain sosial, faktor terpenting yang berkontribusi terhadap
pembelajaran dan hasil adalah konteks sosial. Konteks sosial
pelajar memengaruhi atribut pribadinya, akses ke diskusi
kelompok, dan komunitas di mana dia terlibat. Setiap pelajar
memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda yang pasti akan
dibawa oleh pelajar ke setiap usaha pembelajaran. Untuk alasan ini,
pertimbangan konteks sosial-budaya menjadi sangat penting.
Seringkali, metode penyampaian kursus online perlu diubah agar
lebih sesuai dengan konteks sosial budaya pelajar yang terlibat.
c) Pembangunan komunitas: membangun identitas kelompok,
kepercayaan, interaksi, dan konstruksi pengetahuan bersama

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 107


Meskipun istilah "komunitas online" memiliki berbagai definisi,
semua tampaknya setuju bahwa hubungan sosial sangat penting
untuk pembelajaran online. Banyak penelitian telah menegaskan
kembali bahwa individu tertanam dalam masyarakat mereka dan
bahwa keterampilan sosial dan kognitif dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan kehadiran sosial. Oleh karena itu, rasa kebersamaan
sangat penting dalam pembelajaran online karena dua alasan: a)
bekerja sama dapat membantu siswa menjelaskan kebingungan
serupa; dan b) kelompok sosial juga dapat membantu menjaga
minat siswa dan membuat mereka tetap menghadiri kursus (Currin,
2003).
Penelitian tentang proses pembelajaran dalam kelompok tatap
muka menunjukkan bahwa perkembangan iklim sosial penting
untuk membuat siswa merasa seperti orang dalam di lingkungan
belajar, sehingga berkontribusi terhadap motivasi, keterlibatan, dan
kepuasan siswa (Chan & Rapman, 1999; Wegerif, 1998). Meskipun
studi awal yang berhubungan dengan hubungan yang dimediasi
oleh komputer mengarah pada kesimpulan bahwa jaringan tidak
berkontribusi pada penciptaan iklim sosial (Oren et al., 2002), studi
yang lebih baru menunjukkan bahwa lingkungan online yang
dirancang dan dipantau secara efektif dapat menciptakan non-
alienating. lingkungan sosial.
Internet jelas melampaui ruang dan waktu serta mendukung evolusi
kehidupan sosial yang padat dan beragam secara online (Oren et
al.). Interaksi sosial dalam kelompok belajar virtual dapat sangat
terkait dengan interaksi belajar, dan dapat berkembang untuk
menanggapi kebutuhan fungsional sebagai hasil kerja kelompok
(Oren et al.,). Beberapa faktor kontekstual, seperti desain kursus,
karakteristik media teknologi yang digunakan, dan penggunaan
moderator, dapat membantu peserta didik memasuki komunitas
belajar (Wegerif, 1998).
d) Komunikasi: ukuran grup, konten diskusi, perangkat lunak yang
diperlukan, dan moderasi grup (pembangunan tim, pemeliharaan
tim, pertunjukan tim)

108 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Beberapa faktor kontekstual lainnya termasuk alat komunikasi dan
moderasi kelompok. Penggunaan email, konferensi online,
database web, groupware, dan audio /video conferencing secara
signifikan meningkatkan jangkauan dan kemudahan interaksi di
antara semua peserta kursus, serta akses ke informasi (Kearsley &
Shneiderman, 1999).

III.Kesimpulan
Agar pengajaran menjadi efektif, faktor kognitif, emosi, dan
sosial harus bekerja sama. Agar pengalaman belajar online berhasil,
siswa harus memiliki pengetahuan sebelumnya yang memadai,
termotivasi untuk belajar, dan terlibat secara positif dalam proses
pembelajaran. Selain itu, mereka juga harus nyaman dengan
lingkungan belajar dan merasakan rasa kebersamaan dan komitmen
sosial yang kuat. Terakhir, faktor emosi sangat mempengaruhi
keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Oleh karena itu, instruktur
harus peka terhadap keadaan emosi siswa dan harus berinisiatif
untuk menyalurkan emosi siswa ke “zona” yang baik, seperti zona
keingintahuan, zona aliran, dan zona ke jalur produktif.
Model Cybergogy for Engaged Learning yang ditawarkan oleh
Wang &Kang (2006) dapat digunakan untuk melakukan penilaian
kebutuhan dan untuk mengatur desain kursus dan teknik fasilitasi.
Pendidik dapat menggunakan model ini untuk membuat profil
atribut kognitif, emosi, dan sosial setiap siswa dan kemudian secara
efektif melibatkan peserta didik dengan memenuhi kebutuhan dan
atribut belajar individu. Model ini dapat digunakan untuk
meningkatkan kehadiran kognitif, emosi dan sosial peserta didik,
Model for Engaged Learning mencerminkan pendekatan
sistemik untuk pembelajaran online. Di sini, pembelajaran online
dipandang sebagai entitas yang dirancang untuk memasukkan
masukan dari lingkungan pembelajaran, mengubah masukan
menjadi keluaran, mendistribusikan keluaran tersebut ke
lingkungan, dan membuat penyesuaian yang diperlukan untuk

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 109


perubahan kondisi lingkungan. Ciri-ciri utama dari pandangan
sistemik ini meliputi: a) menempatkan orang, elemen, dan sumber
daya yang tepat untuk berhasil; b) mengevaluasi hasil melalui hasil
belajar; dan c) memberikan umpan balik dan mengambil tindakan
untuk menjaga keselarasan dengan tujuan pendidikan dan
kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Faktor dalam ranah
kognitif, emosi, dan sosial diidentifikasi sebagai elemen penting
dalam lingkungan belajar bila digunakan sebagai masukan dalam
sistem yang dijelaskan. Elemen-elemen masukan ini bersama-sama
mengubah sistem pembelajaran menjadi kehadiran kognitif, emosi,
dan sosial, dan akhirnya menghasilkan pembelajaran yang terlibat
secara keseluruhan.
Namun, model ini masih bersifat teoritis dan oleh karena itu
perlu divalidasi melalui studi sistematis dari berbagai kelas online.
Selain itu, model ini tidak mencakup gagasan baru yang muncul
tentang "kehadiran transaksional", yang membahas persepsi siswa
online tentang kehadiran/ketersediaan psikologis dan keter-
hubungan mereka dengan guru, rekan kerja, dan institusi di
lingkungan pendidikan jarak jauh (Shih, 2003). Sebaiknya model
ini dikembangkan lebih lanjut melalui penelitian empiris dan
melalui pengintegrasian konstruksi dari teori keberadaan
transaksional ini

Daftar Pustaka
Arnone, M. P. (2003). Instructional design strategies to foster
curiosity, from http://www.ericit.org/digests/EDO-IR-2003-
01.shtml
Bandura, A., & Cervone, D. (1986). Differential engagement of
self-reactive influences in cognitive motivation.
Organizational Behavior and Human Decision Processes,
38, 92-113

110 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Brown, B. L. (1997). New learning strategies for Generation X
[Electronic version], 184, from Retrieved from Eric
Database.
Carrier, S. I., & Moulds, L. D. (2003). Pedagogy, andragogy, and
cybergogy: exploring best-practice paradigm for online
teaching and learning. Sloan-C 9th International Conference
on Asynchronous Learning Networks (ALN), Orlando,
USA
Cronin, J., McMahon, J.P. & Waldron, M. (2009). Critical survey
of information technology use in higher education --
blended classrooms. In C. R. Payne (Ed.). Information
technology and constructivism in higher education:
progressive learning frameworks, (pp.203-215). Hershey
and New York: Information Science Reference.
Dirkx, J. (Spring 2001). The power of feelings: Emotion,
imagination, and the construction of meaning in adult
learning. New Directions for Adult and Continuing
Education, 89, 63-72
Driscoll, M. P. (2002). How people learn (and what technology
might have to do with it) [Electronic version]. ERIC Digest,
1-4.
Hutchins, H. M. (Fall 2003) Instructional Immediacy and the Seven
Principles: Strategies for Facilitating Online Courses.
Retrieved March, 6, 2004 from
http://www.westga.edu/~distance/ojdla/fall63/hutchins63
.html
Kang, M., Jung, J., Park, M. S., & Park, H. J. (2009). Impact of
learning presence on learner interaction and outcome in
web-based project learning. Proceedings of the 9th
international conference on Computer supported
collaborative learning, 2, 62-64.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 111


Katz, Y. (2002). Attitudes affecting college students‟ preferences
for distance learning [Electronic version]. Journal of
Computer Assisted Learning, 18, 2-9
Keller, J. M., & Suzuki, K. (1988). Use of the ARCS motivation
model in courseware design. In D. H. Jonassen (Ed.).
Instructional designs for microcomputer courseware.
Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
Kiger, P. J. (March, 2001). At First USA bank, promotions and job
satisfaction are up. Workforce, 54-56.
Kort, B., Reilly, R., & Picard, R. (2001). External representation of
learning process and domain knowledge: Affective state as
a determinate of its structure and function, retrieved
February 14, 2004 from
http://affect.media.mit.edu/AC_research/lc/AI-ED.html
Locke, E. A., Frederick, E., Lee, C., & Bobko, P. (1984). Effects of
self-efficacy, goals and task strategies on task performance.
Journal of Applied Psychology, 69, 241-251.
Oren, A., Mioduser, D., & Nachmias, R. (April - 2002). The
Development of Social Climate in Virtual Learning
Discussion Groups, from
http://www.irrodl.org/content/v3.1/mioduser.html
Scopes, L.J.M. (2009) Learning archetypes as tools of Cybergogy
for a 3D educational landscape: a structure for eTeaching in
Second Life. University of Southampton, School of
Education, Masters Thesis, 103pp. Retrieved Nov. 30, 2009
from http://eprints.soton.ac.uk/66169/
Shen, R. M., Wang, M. J., & Pan, X.Y. (2008). Increasing
interactivity in blended classrooms through a cutting-edge
mobile learning system. British Journal of Educational
Technology, 39(6), 1073-1086.
Shen, R. M., Wang, M. J., Gao, W. P., Novak, D., & Tang, L.
(2009). Mobile Learning in a large blended computer

112 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


science classroom: System function, pedagogies, and their
impact on learning. IEEE Transactions on Education,
52(4),538-546.
Snell, J. C. (2000). Teaching generation X & Y: An essay part 2:
Teaching strategies [Electronic version]. College Student
Journal, 34(4), 482-484.
Vygotsky, L. S. (1986). Thought and language. Cambridge: MIT
Press.
Wang, M. J. & Kang, J. (2006). Cybergogy of engaged learning
through information and communication technology: A
framework for creating learner engagement. In D. Hung &
M. S. Khine (Eds.), Engaged learning with emerging
technologies (pp. 225-253). New York: Springer
Publishing.
Wang, M. J. (2007). Designing online courses that effectively
engage learners from diverse cultural backgrounds. British
Journal of Educational Technology, 38(2), 294-311.
Wang, M. J., Shen, R. M., & Novak, D. (2008). Assessing the
effectiveness of mobile learning in large hybrid/blended
learning classrooms. In J. Fong, R. Kwan, & F. L. Wang
(Eds.): Lecture Notes in Computer Science: Theoretical
Computer Science and General Issues, 5169, (pp. 304-315).
Berlin: Springer Publishing.
Wang, M., Sierra, C., Folger, T. (2010). Building a Dynamic
Online Learning Community among Adult Learners.
Educational Media International, 40(1), 49-62.
https://doi.org/10.1080/0952398032000092116
Wegerif, R. (March 1998). The Social Dimension of Asynchronous
Learning Networks. Journal of Asynchronous Learning
Networks, 2(1)

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 113


Weiss, R. P. (2000, November). Emotion and learning [Electronic
version]. Training and Development, 54, 44-48. Retrieved
February 10, 2004, from EBSCO Host research database.
White, W. & Weight, H. (2000). Online teaching guide: A
handbook of attitudes, strategies, and techniques for the
virtual classroom. Needham Heights, Massachusetts: Allyn
& Bacon
Wlodkowski, R. J., & Ginsberg, M. B. (Sep 1995). A framework
for culturally responsive teaching. Educational Leadership
Alexandria, 53(1), 17-. Retrieved from ProQuest
Zubaidah, S. (2020). Self Regulated Learning: Pembelajaran dan
Tantangan pada Era Revolusi Industri 4.0. Seminar
Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek (SNPBS) ke-V
2020. p-ISSN: 2527-533X

114 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


BAGIAN KELIMA
KINERJA GURU DALAM
BINGKAI PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
DI ABAD 21
Tri Turnadi, Baslini, Utui Tatang Suntani,
Hasperi Susanto

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan
potensi alamnya, namun potensi alam yang kaya itu tidak dapat
terkelola dengan baik hal itu disebabkan kualitas sumber daya
manusia yang masih rendah. Atau dengan kata lain keunggulan
komparatif yang dimiliki tidak diimbangi dengan keunggulan
kompetitif, maka dengan itu untuk meningkatkan kualitas
pembangunan nasional hal yang harus ditingkatkan adalah
kualitas sumber daya manusia. Untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, maka harus meningkatkan kualitas mutu
pendidikan nasional, dalam hal ini guru sebagai tumpuan kualitas
mutu pendidikan nasional yang hari terus menjadi perbincangan
tentang kinerja guru. Kinerja guru yang dapat meningkatkan mutu
pendidikan, dan dengan mutu pendidikan nasional dapat
meningkatkan kualitas mutu sumber daya manusia. Dengan
melalui kualitas mutu sumber daya manusia dapat ditingkatkan
ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 115
maka

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 115


negara indonesia memiliki kualitas daya saing di abad 21 .Guru
merupakan komponen yang sangat berpengaruh terhadap proses
maupun hasil pendidikan nasional sehingga peranan guru
sangatlah penting dalam proses pendidikan, maka guru selalu
dituntut untuk meningkatkan kemampuannya yang bermartabat
dan profesional. Oleh karena berbagai upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak akan berpengruh
secara signifikan tanpa guru yang berkualitas. Tantangan guru di
abad 21 tidaklah mudah dan melainkan makin sulit dan tugas
seorang guru tidak sederhana yang terjadi dimasa lampau,
melainkan semakin kompleks. Maka tantangan yang lebih berat
dan lebih kompleks tersebut hanya dapat di atasi dengan sebuah
kinerja, maka kinerja harus terus ditingkatkan.
Kinerja dapat terus ditingkatkan apabila kesejahteraan guru terus
dapat terus ditingkatkan, walaupun belakangan ini kesejahteraan
guru menjadi buah bibir perbincangan diberbagai kalangan,
namun tunjangan sertifikasi sudah membantu di dalam meningkat-
kan kesejahteraan walaupun proses pembayarannya sering
mengalami keterlambatan. Berdasarkan uraian tersebut di atas
penulis menganalisis bagaimana “Kinerja Guru Dalam Bingkai
Perkembangan Pendidikan di Abad 21”.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana kinerja guru dalam bingkai pendidikan dapat
meningkatkan perkembangan pendidikan di abad 21 ?
2. Apakah kinerja guru dalam bingkai pendidikan dapat
meningkatkan perkembangan pendidikan dim abad 21 ?
3. Bagaimana kinerja guru dalam bingkai pendidikan dapat
meningkatkan efektifitas perkembangan pendidikan di abad 21?

116 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Tujuan
1. Untuk mengetahui kinerja guru dalam bingkai pendidikan
dapat meningkatkan perkembangan pendidikan dim abad 21.
2. Untuk meningkatkan kinerja guru dalam bingkai pendidikan di
abad 21 ?
3. Untuk dapat mengetahui efektifitas kinerja guru dalam bingkai
pendidikan di abad 21 ?
Manfaat Penelitian.
1. Diharapkan dengan dilaksanakannya kinerja guru dalam
bingkai pendidikan dapat meningkatkan perkembangan
pendidikan di abad 21.
2. Diharapkan dengan dilaksanakananya kinerja guru dalam
bingkai pendidikan dapat mengetahui perkembangan
pendidkan di abad 21.
3. Diharapkan dengan dilaksanakannya kinerja guru dalam
bingkai pendidikan, maka kemampuan guru dan peserta didik
akan meningkat dan tentu saja akan meningkatkan mutu
pendidikan di lingkungan di abad 21.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Kinerja Guru
Kinerja guru diera perkembangan pendidikan di abad 21
tidaklah hanya sekedar memiliki kemampuan mengajar atau
berdasarkan standar yang telah ditetapkan pemerintah melalui
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen dan
Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang standar proses untuk
satuan pendidikan dasar dan menengah. Yang isinya membahas
tugas pokok seorang guru, 1) Kinerja guru berdasarkan kemampuan
didalam merancang perencanaan pembelajaran, 2) Kinerja guru

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 117


berdasarkan kemampuan didalam melaksanakan proses pem-
belajaran berdasarkan perencanaan pembelajaran yang telah dibuat
sebelumnya, 3) Kinerja guru berdasarkan kemampuan didalam
melaksanakan evaluasi proses pembelajaran, 4) Kinerja guru
berdasarkan kemampuan hubungan personal dengan peserta didik,
5) Kinerja guru berdasarkan kemampuan untuk mengembangkan
profesinya atau melaksanakan tugas tambahan. Tetapi dengan
perkembangan pendidikan di abad 21 maka kinerja guru lebih berat
lagi karena abad ini merupakan era globalisasi dimana per-
kembangan teknologi dan informasi begitu cepat, sehingga dengan
perkembangan teknologi dan informasi semua masyarakat dapat
mengetahui apa yang terjadi dibelahan dunia dengan cepat, jadi
sangatlah wajar kalau informasi yang dimiliki oleh seorang siswa
atau peserta didik lebih cepat dibandingkan dengan guru.
Terkait dengan fenomena ini maka guru hendaknya
memiliki pengetahuan terkait informasi dan teknologi yang lebih
luas maka dunia pendidikan juga harus berubah dan orientasi tidak
lagi pendidikan konsep masa lampau atau sekarang tetapi harus
berpikir kedepan dengan fokus bagaimana meletakkan kemampuan
menanggulangi secara individu yang dibarengi kecepatan secara
efisiensi didalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
secara terus menerus. Guru merupakan profesi tertua didunia
seiring dengan peradaban manusia, dengan melihat kehidupan saat
ini serba materialisti, maka profesi guru sendirinya tersingkirkan,
atas fenomena tersingkirnya frofesi guru ditengah kehidupan
masyarakat dan itu merupakan gejala global. Kondisi profesi guru
yang menurun hampir terjadi di semua negara baik di negara maju
maupun dinegara-negara miskin dan berkembang. Dan tidak dapat
dipungkiri bahwa didalam menciptakan generasi yang unggul,
kreatif dan cerdas tidak lepas dari kinerja dan kompetensi seorang
guru namun ironinya begitu besar jasa guru didalam membangun
masyarakat namun penghargaan yang diberikan sangatlah rendah.

118 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Secara konseptual guru memiliki kemampuan yang memadai
didalam melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional
namun kenyataan riil dilapangan masih memprihatinkan baik
secara kuantitas maupun secara kualitas dan ini dihadapkan lagi
berbagai tantangan guru di era globalisasi dan guru mampu
menghadapi itu dan di samping itu guru memiliki karakteristik,
kecakapan, keterampilan, dan peranan guru abad 21.
Guru di abad 21ditantangan untuk melakukan akselarasi
terhadap perkembangan informasi dan komunikasi. Pembelajaran
dikelas dan pengelolaan kelas harus disesuaikan dengan standar
kemajuan perkembangan informsi dan Teknologi. Menurut susanto
(2010), terdapat 7 tantangan guru di abad ke 21. yaitu 1) Teaching
of multicultural society, artinya guru mengajar ditengah- tengah
masyarakat yang memiliki keragaman budaya dengan kompetensi
berbagai macam bahasa. 2) Teacing for constuction of meaning,
artinya guru mengajar dengan mengkonstruk makna atau konsep. 3)
Teaching of active learning, artinya mengajar untuk pembelajaran
aktif. 4) Teaching and technologi, artinya guru mengajar dengan
berbasi teknologi. 5) Teaching with new view abaut abilities, artinya
guru mengajar dengan pandangan baru dengan kemampuan. 6)
Teaching in choice, artinya guru mengajar dan pilihan. 7) Teaching
and accounitability, artinya guru mengajar dan akuntabilitas. Lebih
lanjut yahya (2010) mengemukan tantangan yang harus dihadapi guru
di masa abad 21, yaitu 1) pendidikan yang berfokus pada character
building, 2) pendidikan yang peduli pada perubahan iklim, 3)
enterprenual minset, 4) membangun learning comunity, 5)
kekuatan bersaing bukan pada kepandaian tetapi ada pada
kreativitas dan kecerdasan bertindak. Tantangan di atas tersebut
harus disikapi dengan baik dengan kesiapan diri dengan
menggunakan metode yang tepat, dan berbeda dengan strategi atau
konsep yang pernah diterapkan sebelumnya, apabila strategi yang
terapkan keliru maka perubahan saman menjadi mala petakan untuk
generasi dimasa yang

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 119


akan datang.
Dalam menghadapi tantangan abad 21 Guru dituntut yaitu: 1)
Berpikir kritis, seorang guru harus memiliki kemampuan didalam
melakukan suatu proses secara rasional dalam membuat suatu
konsep, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi suatu
informasi dari sebuah observasi,pengalaman, sebagai dasar di
dalam melakukan tindakan. Guru abad 21 harus berpikir kritis di
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab utamanya,
sebagaimana yang terdapat didalam Permendiknas RI Nomor 41
Tahun 2007 tentangstandar proses untuk satuan pendidikan dasar
dan menengah seperti didalam membuat rancangan pelaksanaan
pembelajaran, proses pembelajaran, melaksanakan evaluasi proses
pembelajaran, penilaian pembelajaran dan melaksanakan
pengembangan profesi atau tugas tambahan; 2) Berpikir memiliki
rasa tanggung jawab sosial. seorang guru disamping bertanggung
jawab di dalam melaksanakan tugas utamanya, guru juga dapat
memberikan contoh atau keteladanan sebagai seorang pendidik
baik kepada anak didiknya disekolah maupun kepada masyarakat
umum sebagai cerminan orang yang berpendidikan; 3) Guru harus
memiliki kemampuan membangun jaringan, contoh kecil didalam
kehidupan sehari-hari setiap individu tidak mungkin hidup tanpa
bantuan orang, begitu juga didalam kehidupan seorang guru,
didalam kesuksesan kinerja seorang guru tidak lepas dari peran
orang lain, dan yang terpenting bagai guru dapat membangun
jaringan atau keterlibatan orang lain dalam suatu sistem; 4) Disiplin
waktu,seorang guru di abad 21 harus memiliki prinsip-prinsip
kedisiplinan didalam melaksanakan tugas dantanggung jawab dan
memiliki kedisiplinan didalam melaksanakan aturan-aturan baik
yang telah ditetapkan oleh profesi atau yang telah dibuat secara
bersama dalam rangkan meningkatkan kinerja.

120 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Pendidikan Abad 21
Di abad 21 ini guru dituntut memiliki karakteristis tersendiri
sebagai pembeda dari karakteristik sebelumnya.
1. life-long learner, guru harus terusup to date data–data dan
informasi terbaru tanpa rasa lelah atau putus asa, dan terus
belajar dan berdiskusi dengan para guru yang lainnya karena
bisa saja ada informasi yang terbaru yang mereka miliki atau
bertukar pikiran dengan para ahli karena sesunguhnya guru
akan mendampingi para peserta didik sesuai dengan apa yang
menjadi kebutuhan mereka. Kreatif dan inovatif, guru harus
kreatif dan inovatif karena siswa yang kreatif itu lahir dari
seorang guru yang kreatif dan inovatif sehingga guru harus
memiliki keterampilan didalam menggunakan model-model.
2. pembelajaran atau metode pembelajaran yang menyenangkan
kepada peserta didik maupun didalam menggunakan beberapa
sumber belajar atau media pembelajaran untuk menyusun
rangkaian kegiatan pembelajaran kelas maupun di luar kelas.
Mengoptimalkan teknologi, didalam abad ini guru dituntut
mengoptimalkan penggunaan teknologi didalam pembelajaran,
tatap muka tidak lagi menjadi keharus sepenuhnya didalam
proses pembelajaran,tetapi dapat dipadukan dengan metode –
metode yang berbasis teknologi seperti blende learning, dan
model initidak bisa dijadikan sesuatu yang additional tetapi
sudah menjadi keharusan bagi guru didalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya sebagai pendidik yang profesional.
3. Reflektif,
guruyangselalumengoreksimetodeataumodelpembelajaranyan
gmerekaterapkankepadapese rtadidiknya, untuk mengetahui
apakah sistem atau model yang mereka terapkan sudah sesuai
kebutuhan siswa didalam mencapai tujuan pembelajaran yang
telah dirancang sebelumnya dan dapat meningkatkan hasil

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 121


belajar siswa itu sendiri. Dan tidak lagi guru yang selalu
mempermasalahkan peserta didik ketika tujuan pembelajaran
tidak tercapai.
4. Kolaboratif. Guru selalu berkolaboratifdengansiswasehingga
tidak ada tembok pemisah atau pembatas diantara guru dengan
siswa sehingga interaksi antara guru dengan siswa dapat
terjadi dengan baik sehingga proses pembelajaran yang
diharapkan dapat tercipta, selain peserta didikguru juga dapat
berkolaboratif dengan orang tua atau wali melalui komunikasi
secara aktif sehingga para orang tua atau wali dapat
melakukan pemantauan perkembangan anak mereka
disekolah, sehingga proses perkembangan anak pada waktu
jam sekolah tidak lagi sepenuhnya diserahkan sepenuhnya
kepada guru tetapi orangtua atauwali tetap punya andil.
5. Menerapkan studen centered. Di dalam abad ini proses
pembelajaran dari sistem pengajaran ke sistem pembelajaran
adalah sesuatu yang sangat sesuai dengan metode pem-
belajaran kekinian, artinya proses pembelajaran tidak lagi
berpusat pada guru tetapi melainkan berpusat pada siswa atau
peserta didik, dan guru berfungsi sebagai fasilitator dalam
proses pembelajaran, dan model atau metode pembelajaran
yang terpusat pada guru sudah tidak lasim dan populer lagi
diterapkan saat ini karena metode tersebut hanya terjalin
komunikasi satu arah antara guru dan siswa. tetapi yang
terpenting sekarang ini adalah bagaimana sistem pembelajaran
yang diterapkan di dalam proses pembelajaran adalah
komunikasi yang lebih dari satu arah, yaitu komunikasi antara
siswa dengan siswa dan siswa dengan guru sebagai fasilitator.
6. Pendekatan Diferensiasi. Guru didalam mendesain pem-
belajaran siswa dikelas harus berdasarkankan gaya belajar
siswa, di dalam pengelompokan harus berdasarkan minat dan
kemampuannya, dalam proses penilaian guru tidak hanya

122 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


melihat satu aspek saja tetapi harus melihat secara menyeluruh
dan secara berkala dan tidak juga hanya tertulis tetapi juga
secara lisan karena kemampuan siswa atau peserta didik tidak
sama, tidak hanya itu guru dan siswa berusaha mengatur kelas
dengan lingkungan sebagai sumber belajar yang aman dan
menyenangkan.
a. Kecakapan Guru di Abad Ke 21
Berdasarkan undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang
guru dan dosen dan permendiknas no. 16 tahun 2007 tentang
standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru telah dijelaskan
beberapa kompetensi seperti kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dalam
abad sekarang ini guru harus memiliki kecakapan:
1. Kecakapan akuntabilitas, guru dapat dijadikan keteladanan
sehingga baik tingkah laku maupun ucapannya dapat dipercaya
oleh siswa maupun untuk orang lain. Guru harus memiliki
kemampuan untuk beradaptasi dan berkomunikasi dengan
orang lain, disamping guru mampu menetapkan dan mencapai
standardan tujuan yang tinggi baik untuk dirinya maupun untuk
orang lain. dan yang terpenting adalahguru harus memaklumi
segala kekurangan yang terjadi di kalangan siswa atau peserta
didik.
2. Kecakapan berkomunikasi, kemampuan guru yang terpenting
harus dimiliki adalah kemampuan berkomunikasi orang lain
dengan baik, karena tanpa kemampuan berkomunikasi,baik
memahami, mengelola maupun menciptakan komunikasi yang
efektif dengan baik maka proses mentranfer ilmu pengetahuan
kepada siswa tidak akan dapat berhasil dengan baik.
3. Kreativitas, di dalam proses pembelajaran guru tidak lagi
menyampaikan pembelajaran secara monoton dengan modal
ilmu kependidikan yang dimiliki selama ini. Tetapi kreativitas

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 123


ini mencakup bagaimana mengembangkan, melaksanakan, dan
menyampaikan konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang baru
kepada orang lain.
4. Berpikir kritis dalam sistem. Kecakapan berpikir kritis
merupakan proses berpikir dan bertindak berdasarkan fakta dan
data-data yang ter update, yang dimulai dengan menganalisis
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dari sebuah perbuatan
yang dilakukan secara rasional. dan terkoneksi dengan sistem.
5. Kecakapan terhadap informasi dan media, pengajaran yang
menarik dan menantang di era globalisasi ini, guru harus
mampu menganalisa, mengakses, mengelola, mengintegrasi,
mengevaluasi, dan menciptakan informasi dalam berbagai
bentuk dan media.
6. Kecakapan hubungan antar pribadi dan kerjasama. Sebagai-
mana kehidupan mahluk sosial pada umumnya yang mem-
butuhkan interaksi antara pribadi dan golongan atau kelompok,
begitu juga guru di abad ini harus mampun menjaga interkasi
antara pribadi atau golongan atau kelompok dan bekerja
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara
bertanggung jawab.
7. Kemampuan mengidentifikasi masalah, penyebaran dan solusi.
Sekecil apa pun masalah tersebut harus berhati-hati di dalam
menanggapinya, guru memiliki kemampuan di dalam
menyusun, mengungkap, menganalisis, dan menyelesaikan
masalah dengan baik.
8. Pengarahan personal, siswa mempunyai karakter atau tingkah
laku yang berbeda-beda, guru memiliki kemampuan di dalam
menghadapi karakter siswa tersebut dan dapat memberikan
sesuai dengan kebutuhan peserta didik dengan baik di dalam
pembelajaran dengan berbagai sumber-sumber belajar, serta
mentransfer pembelajaran dari satu bidang kebidang lainnya.

124 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


9. Tanggung jawab sosial, para orang tua di dalam menyekolah-
kan anaknya tentu mempunyai harapan yang sangat besar agar
perkembangan baik karakter maupun komptensi ke arah yang
lebih baik. Sehingga guru memiliki kemampuan secara sosial
yang mengutamakan kepentingan orang banyak dari pada
kepentingan secara pribadi di dalam tempat kerja dan hubungan
antarmasyarakat.
b. Keterampilan Guru di Abad 21
Menurut International Society for Technology in Education
karakteristik keterampilan guru abad 21 dimana era informasi
menjadi ciri utamanya, membagi keterampilan guru abad 21 ke
dalam lima kategori. Mampu memfasilitasi dan menginspirasi
belajar dan kreativitas siswa. guru memiliki kemampuan di dalam
memberikan dorongan, dukungan dan memodelkan penemuan dan
pemikiran kreatif dan inovatif. Di samping itu ;
1. guru memiliki kemampuan didalam memberikan dorongan
refleksi siswa menggunakan tool kolaboratif untuk menunjuk-
kan dan mengklarifikasi pemahaman, pemikiran, perencanaan
konseptual dan proses kreatif siswa
2. Merancang dan mengembangkan pengalaman belajar dan
assesmen era digital. Guru memiliki kemampuan didalam
merancang pengalaman belajar yang tepat yang meng-
integrasikan tools dan sumber digital untuk mendorong belajar
dan kreativitas siswa sekaligus guru mampu mengembangkan
lingkungan belajar yang kaya akan teknologi yang me-
mungkinkan semua siswa merasa ingintahu dan menjadi
partisipan aktif dalam menyusun tujuan belajarnya, mengelola
belajarnya sendiri dan mengukur perkembangan belajarnya
sendiri. Dan yang terpenting guru mampu menyediakan alat
evaluasi formatif dan sumatif yang bervaiasi sesuai dengan
standar teknologi dan konten yang dapat memberikan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 125


informasi yang berguna bagi proses belajar siswa maupun
pembelajaran secara umum.
3. Menjadi model dan cara belajar dan bekerja diera
teknologi.Guru memiliki kemampuan untuk berkolaborasi
dengan siswa, sejawat, dan komunitas menggunakan sumber-
sumber digital untuk mendorong keberhasilan dan inovasi
siswa dan juga guru mampu memberikan contoh dan
memfasilitasi penggunaan secara efektif daripada sumber-
sumber digital terkini untuk menganalisis, mengevaluasi dan
memanfaatkan sumber informasi tersebut untuk mendukung
penelitian dan belajar. Dan yang lebih terpenting adalah guru
mampu menunjukkan kemahiran dalam sistem teknologi dan
mentransfer pengetahuan ke teknologi dan situasi yang baru.
4. Mendorong dan menjadi model tanggung jawab dalam
masyarakat diera teknologi. Di dalam abad era globalisasi ini
guru memiliki kemampuan memberikan dorongan, men-
contohkan, dan mengajar secara sehat, legal dan etis dalam
menggunakan teknologi informasi digital, termasuk meng-
hargai hak cipta, hak kekayaan intelektual dan dokumentasi
sumber belajar. Dan sekaligus mampu mengembangkan dan
mencontohkan pemahaman budaya dan kesadaran global
melalui keterlibatan/partisipasi dengan kolega dan siswa dari
budaya lain menggunakan tool komunikasi dan kolaborasi
digital. Di samping itu yang terpenting adalah guru mampu
memenuhi kebutuhan pembelajar yang beragam karakter
dengan menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat
pada siswa dengan memberikan akses yang memadai terhadap
tool-tool digital dan sumber belajar digital lainnya.
5. Berpartisipasi dalam pengembangan dan kepemimpinan
profesional. Guru mampu berpartisipasi dalam komunitas
lokal dan global untuk menggali penerapan teknologi kreatif
untuk meningkatkan pembelajaran dan juga guru mampu

126 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


mengevaluasi dan merefleksikan penelitian-penelitian dan
praktik profesional terkini terkait dengan penggunaan efektif
dari pada sumber-sumber digital untuk mendorong keberhasil-
an pembelajaran.
4. Peranan Guru Di Abad 21
Pendidikan tidak akan pernah hilang selama manusia
masih ada dimuka bumi ini, manusia pada hakikatnya adalah
makhluk untuk dididik dan butuh pendidikan, pendidikan yang
berkualitas sangat dibutuhkan bangsa dan negara, pendidikan
yang berkualitas tidak lepas dari peranan guru yang memiliki
kinerja yang baik.
Berdasarkan permendiknas no.41 tahun 2007 tentang standar
proses satuan pendidikan dasar dan menengah,Guru sebagai
perencana, sebelum melaksanakan proses pembelajaran guru
membuat rancangan pelaksanaan pembelajaran sebagai
pedoman proses pembelajaran, guru sebagai pelaksana,
didalam proses pelaksanan guru mampu melaksanaakan
rancangan pelaksanaan pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas kinerja guru dalam
perkembangan pendidikan abad 21 memiliki tantangan lebih berat
dan tugas guru lebih kompleks. Adapun tantangannya meliputi (a)
teaching of multicultural society, (b) teacing for constuction of
meaning, (c) teaching of active learning,(d) teaching and
technologi, (e) teaching with new view abaut abilities, (f) teaching
in choice, (g) teaching and accounitability. Maka dalam
menghadapi tantangan tersebut guru memiliki kemampuan,
diantaranya: (a) berpikir kritis, (b) memiliki rasa tanggung jawab
sosial, (c) memiliki kemampuan membangun jaringan, (d)
menerapkan kedisiplinan waktu dan aturan. Di samping itu guru
hendaknya memiliki karakteristik, kecakapan, keterampilan dalam
rangkan melaksanakan peran dan tanggungjawabnya sebagai

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 127


guru di abad 21.

III.PEMBAHASAN
Guru saat ini menghadapi tantangan yang jauh lebih besar
dari era sebelumnya. Guru menghadapi klien yang jauh lebih
beragam, materi pelajaran yang lebih kompleks dan sulit, standard
proses pembelajaran dan juga tuntutan capaian kemampuan berfikir
siswa yang lebih tinggi (Darling, 2006). Hal ini disebabkan
transformasi besar pada aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya
(Hargreaves, 1997,2000) yang didorong oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Mengembangkan Profesionalitas Guru
Abad 21 yang pesat, perubahan demografi, globalisasi dan
lingkungan (Mulford, 2008) yang berdampak besar pada
persekolahan dan profesionalisme guru (Hargreaves, 1997, 2000;
Beare, 2001). Guru abad 21 dituntut tidak hanya mampu mengajar
dan mengelola kegiatan kelas dengan efektif, namun juga dituntut
untuk mampu membangun hubungan yang efektif dengan siswa
dan komunitas sekolah, menggunakan teknologi untuk mendukung
peningkatan mutu pengajaran, serta melakukan refleksi dan
perbaikan praktik pembelajarannya secara terus menerus (Darling,
2006).
Guru profesional abad 21 adalah guru yang terampil dalam
pengajaran, mampu membangun dan mengembangkan hubungan
antara guru dan sekolah dengan komunitas yang luas, dan seorang
pembelajar sekaligus agen perubahan di sekolah (Hargreaves,
1997, 2000). Untuk itu, guru membutuhkan kondisi pembelajaran
yang kondusif di sekolah sebagai wahana pembelajaran profesional
yang kontinyu dan berkesinambungan. Pembimbingan yaitu
hubungan yang dibangun dengan sadar dan sengaja antara
pembimbing dan individu yang dibimbing untuk menghasilkan
perubahan yang signifikan pada pengetahuan, kemampuan kerja,
dan pola pikir individu yang dibimbing (Megginson, dkk., 2006)

128 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


dinilai efektif untuk pengembangan profesionalitas guru abad 21
(Hargreaves, 1997, 2000). Pembimbingan memiliki karakteristik
yang sesuai dengan tuntutan model dan strategi pengembangan
guru yang efektif di era sekarang. Oleh karena itu, tulisan ini akan
membahas pembimbingan yang efektif dalam konteks peningkatan
profesionalitas guru abad 21, yang diawali dengan bahasan tentang
guru profesional abad 21 dan diakhiri dengan strategi
pengembangan pembimbingan menjadi program yang efektif. B.
Guru profesional abad 21 Di abad 21 telah terjadi transformasi
besar pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya (Hargreaves,
1997, 2000) yang didorong oleh empat kekuatan besar yang saling
terkait yaitu kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan demograsi,
globalisasi dan lingkungan (Mulford, 2008). Sebagai contoh,
kemajuan teknologi komunikasi dan biaya transportasi yang
semakin murah telah memicu globalisasi dan menciptakan ekonomi
global, komunitas global, dan juga budaya global. Masyarakat
industrial berubah menjadi masyarakat pengetahuan (Beare, 2001).
Perubahan lingkungan misalnya pemanasan global telah
berdampak pada kebutuhan peningkatan kesadaran dan tanggung
jawab masyarakat terhadap lingkungan. Kekuatan-kekuatan ini
juga berdampak pada dunia pendidikan khususnya persekolahan
(Mulford, 2008). Seiring perubahan demografi, siswa-siswa di
sekolah lebih beragam secara budaya, agama/ keyakinan, dan juga
bahasanya. Kemajuan teknologi informasi-internet telah me-
ningkatkan fleksibelitas dalam pemerolehan ilmu pengetahuan bagi
setiap individu baik guru ataupun siswa. Mengembangkan
Profesionalitas Guru Abad 21 Konsekwensinya, guru-guru dituntut
mampu mengembangkan pendekatan dan strategi pembelajaran
yang sesui dengan perkembangan lingkungan. Ilmu pengetahuan
tidak lagi terbatas milik para 'ahli' atau guru. Selain itu, tersedia
informasi yang melimah tentang pendidikan. Kondisi ini
meningkatkan altematif pilihan pendidikan bagi orang tua dan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 129


masyarakat dan bersamaan dengan hal ini adalah peningkatan
tuntutan mutu pendidikan oleh masyarakat. Globalisasi yang telah
membuat dunia seakan tanpa batas (a borderless world) memicu
perbandingan internasional antar sekolah, kurikulum, metode
penilaian, dan prestasi siswa. Contohnya adalah program
perbandingan internasional pada prestasi akademik siswa seperti
TIMMS: Third International Mathematic and Science Study dan
juga Program for International Student Assesment (PISA). Sekolah
didesak untuk unggul dan kompetitif (Beare, 2001) serta
dihadapkan pada isu-isu seperti identitas, perbedaan, aturan-
aturan/hukum, keadilan, modal sosial, dan kualitas hidup, dan
sebagainya. Berbagai perubahan atau krisis lingkungan yang terjadi
memunculkan kebutuhan pendidikan lingkungan di sekolah untuk
meningkatkan kepekaan, kesadaran dan tanggung jawab siswa
terhadap lingkungan (Mulford, 2008). Menyoroti pada aspek
kebijakan persekolahan, Beare (2001) mengungkapkan bahwa
sejak akhir abad 20 hampir sebagian besar sekolah di seluruh dunia
memilih pendekatan ekonomi pasar. Sekolah diperlakukan
layaknya perusahaan yang menyediakan produk (pembelajaran)
kepada konsumennya (siswa dan orang tua). Sekolah diharapkan
memberikan kontribusi pada daya kompetisi ekonomi bangsa.
Sekolah harus 'menjual diri mereka', menemukan 'tempat' di pasar
dan berkompetisi. Sekolah dituntut responsif pada komunitas lokal
mereka melalui beragam pendekatan yang memungkinkan
konsumen memilih layanan sekolah yang akan mereka beli.
Sekolah diperlakukan sebagai perusahan yang berdiri
sendiri-yang oleh Hargreaves (1997) disebut privatisasi pendidikan.
Mereka memiliki kewenangan mengelola sekolah mereka secara
mandiri (self managing) dan mempertanggungjawabkan pe-
ngelolaannya secara profesional kepada stakeholders. Sekolah
dituntut berkompetisi untuk memperoleh sumber dana terutama
dari pemerintah. Sekolah yang menyediakan 'produk' yang laku di

130 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


pasar dinilai lebih layak untuk berkembang, dan sebaliknya,
sekolah yang menyediakana 'produk' yang buruk - tidak laku- akan
ditinggalkan. Oleh karena itu, sekolah dan guru-guru dituntut selalu
memonitor kinerja sekolahnya untuk mengetahui mutu layanan
pendidikan mereka, dan menunjukkan nilai tambah yang dicapai
siswa-siswanya. Perubahan lingkungan sekolah dan juga pen-
dekatan ekonomi pasar dalam persekolahan tersebut berimplikasi
pada berkembangnya tuntutan profesionalitas guru. Guru
profesional abad 21 bukanlah guru yang sekedar mampu mengajar
dengan baik. Guru profesional abad 21 adalah guru yang mampu
menjadi pembelajar sepanjang karir untuk peningkatan keefektifan
proses pembelajaran siswa seiring dengan perkembangan
lingkungan; mampu bekerja dengan belajar.
Upaya menghadapi kompleksitas tantangan sekolah dan
pengajaran; mengajar berlandaskan standar profesional mengajar
untuk menjamin mutu pembelajaran; serta memiliki berkomunikasi
baik langsung maupun menggunakan teknologi secara efektif
dengan orang tua murid untuk mendukung pengembangan sekolah
(Hargreavas, 1997, 2000; Darling, 2006). Hal yang sama
disyaratkan kepada guru-guru di Indonesia melalui Undang
Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan
Permen Nomor 17 Tahun 2007 tentang kualifikasi dan standar
kompetensi guru. Guru profesional dituntut tidak hanya memiliki
kemampuan mengajar sebagaimana disyaratkan dalam standar
kompetensi pedagogik, namun guru juga harus mampu me-
ngembangkan profesionalitas secara terus menerus sebagaimana
tertuang dalam kompetensi profesional. Guru juga dituntut mampu
menjalin komunikasi yang efektif dengan sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua, dan masyarakat sebagaimana disyaratkan
dalam kompetensi sosial serta memiliki kepribadian yang baik
sebagaimana dideskripisikan pada kompetensi pribadi. Di samping
itu, guru juga harus memiliki kualifikasi akademik atau latar

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 131


belakang pendidikan yang memadai dan relevan dengan bidang
ajarnya.
Pengembangan guru abad 21 Menghadapi tantangan yang
jauh lebih besar dari era sebelumnya, setiap guru membutuhkan
pengembangan yang efektif. Beberapa tren pengembangan staf
abad 21 yaitu menggunakan pendekatan 'bottom up', menekankan
kolaborasi yang berorientasi pada memampukan staf mengatasi
setiap permasalahan yang dihadapi, merupakan program-program
yang interaktif dan saling terkait, yang dilaksanakan secara
kontinyu dan direncakana secara sistematik dan komprehensif
(Castetter, 1996). Menekankan pada keefektifan pembelajaran,
Engstrom & Danielson (2006) mengatakan bahwa bahwa model
pengembangan hendaknya berlandaskan pada konsep kepemimpin-
an guru dan menggunakan proses pembelajaran kooperatif yang
otentik dan melekat pada pekerjaan guru sehari-hari. Selain itu,
menurut Lieberman (1996) strategi-strategi pengembangan guru
yang menekankan pembelajaran dalam konteks sekolah bermanfaat
untuk menghilangkan perasaan terisolasi pada guru ketika ia
belajarsesuatu di luar sekolah dan berusaha membawanya ke dalam
sekolah. Strategi ini juga membantu menguatkan pembelajaran
kolektif yang sangat penting untuk menciptakan pembelajaran
profesional sebagai norma di sekolah. Lebih lanjut, hasil penelitian
menunjukkan bahwa program-program pengembangan guru
berbasis sekolah yang berbasis kasus di kelas, bersifat praktis dan
dipraktikkan di tingkat kelas maupun sekolah akan lebih bermakna
dan berguna bagi sekolah, guru, dan staf (Owen, 2003).
Program pengembangan guru perlu melibatkan guru dalam
perencanaan program pengembangan yang memperhatikan latar
belakang, tahap perkembangan, dan juga kebutuhan guru
(Castetter, 1996; Helterban, 2008); dan selalu melibatkan guru
dalam pembelajaran profesional sehari-hari di sekolah melalui
kelompok-kelompok diskusi dan kegiatan-kegiatan praktis yang

132 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


difokuskan langsung pada permasalahan ataupun upaya perbaikan
proses belajar mengajar di kelas (Beach and Reinhartz, 2000).
Terlebih, pembelajaran profesional mengajar bukan sekedar belajar
tentang proposisi atau pengetahuan berbagai pendekatan dan
strategi mengajar. Informasi tentang pendekatan mengajar yang
baru dan efektif dapat diperoleh melalui bacaan, lokakamya,
konferensi, diskusi dan sebagainya. Namun, bagaimana informasi
dapat menjadi suatu pemahaman membutuhkan konstruk dan
rekonstruk informasi dalam pikiran, mengkaitkan dan meng-
interpretasikan ide-ide baru dengan hal yang telah diketahui dimana
diskusi, dialog, argumen, dan juga debat sangat membantu proses
ini (McCan & Radford, 1993, p. 25). Karakteristik pengembangan
guru tersebut selaras dengan empat tahap perkembangan
profesionalisme guru (Hargreaves and Fullan: 1997, 2000) 1. Era
pra-profesional Di era ini, mengajar dianggap sebagai pekerjaan
yang hanya membutuhkan keterampilan teknis sederhana namun
sarat dengan tuntutan administrative.
Oleh karenanya, seseorang dapat menjadi guru hanya
melalui magang dan upaya "trial and eror" atau melalui
pengamatan pengajaran dan memasuki pendidikan guru. Guru yang
baik adalah guru yang memiliki antusiasme tinggi dan mampu
mengelola kelas dengan baik. Pembelajaran profesional guru yang
kontinyu dilakukan saat guru melaksanakan pekerjaannya yang
terbatas di dalam ruang kelas dimana guru mengajar. Guru
belajar secara mandiri memanfaatkan kemampuannya sendiri.
Pembimbingan masih sebatas pemberian semangat dan juga tip-tip
praktis manajemen. 2. Era profesional otonom. Era ini berawal
pada abad 60-an ketika profesi guru sudah lebih baik dibandingkan
dengan era pra- profesional. Guru dipandang sebagai pekerjaan
profesional dan otonom. Bahkan, di tahun 70-an dan awal 80-an,
karakteristik guru yang menonjol adalah individualism yaitu
sebagian besarguru terfokus pada kelasnya, terisolirdari koleganya.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 133


Profesional otonom meningkatkan status guru dan juga gaji guru.
Namun, karakteristik ini menghambat inovasi karena jarang sekali
terjadi berbagi pengalaman, pengetahuan dan keterampilan antar
guru. Guru menghadapi tantangan pengajaran secara individual-
tidak terkoordinir dengan upaya-upaya guru-guru yang lain dan
lebih mendasarkan pada pengetahuan dan keterampilannya sendiri.
Pembimbingan diberikan hanya kepada yang membutuhkan
bantuan, misalnya guru baru.
Era profesional kolegial Era ini mulai saat terjadi ledakan
pengetahuan di tahun 80-an, meluasnya tuntutan kurikulum,
meningkatnya jumlah siswa-siswa berkebutuhan khusus di kelas-
kelas biasa, dan perubahan-perubahan lingkungan yang cepat.
Situasi ini memunculkan desakan pengembangan budaya
kolaboratif dan memandang profesional otonom tidak mampu lagi
membantu guru menghadapi kompleksitas dan tantangan sekolah
yang meningkat. Implikasinya pada pengembangan guru yaitu
pembelajaran profesional guru merupakan proses yang kontinyu
dan berkelanjutan yang diarahkan pada isu-isu yang berkembang
dan kompleks. Pengembangan guru tidak hanya menjadi tanggung
jawab individu namun juga institusi yang mensinergikan secara
aktif dan sinergis antara model pengembangan guru berbasis
sekolah dengan berbasis kursus/pelatihan. Guru saling ajar dan
belajar dan praktik pengajaran mengacu pada standar profesional
mengajar. 4. Era profesional Era profesional dimulai pada abad 21
di saat sekolah dituntut lebih memperhatikan pasar atau konsumen
dan kompetitif. Pekerjaan guru menjadi lebih kompleks yaitu tidak
hanya berkaitan dengan pengajaran namun juga pengembang-
an hubungan dengan orang tua dan komunitas sekolah.
Profesionalisasi guru melalui standarisasi kompetensi guru semakin
menguat, disertai fleksibelitas dalam pembelajaran yang berusaha
mengkaitkan antara teori dengan praktik, universitas dengan
sekolah. Implikasinya pada pengembangan guru di antaranya:

134 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


kemampuan mengelola hubungan antara guru dengan orang tua
siswa yang efektif merupakan materi penting dalam pendidikan pra
dan dalam jabatan guru, peningkatan kemampuan belajar mengajar
tidak hanya dibutuhkan oleh guru bam namun semua guru,
pendidikan guru dan pembelajaran profesional guru yang kontinyu
dan berkelanjutan merupakan satu bagian yang terpadu
(Hargreavas, 2000). Dengan demikian, pengembangan guru abad
21 memiliki karakteristik: 1) menggunakan pendekatan "bottom
up" yaitu berbasis pada kebutuhan guru dan sekolah; 2) mendukung
pengembangan budaya kolaboratif dan penciptaan komunitas
profesional guru; 3) dilaksanakan secara kontinyu yang meng-
integrasikan dan mensinergikan semua pembelajaran profesional
yang diperoleh guru baik secara formal maupun informal, baik di
sekolah maupun di tempat-tempat pelatihan atau pendidikan guru.
Dari aspek materi, pengembangan guru tidak hanya mencakup
tentang pendekatan dan strategi belajar mengajar, namun juga
segala pegetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan guru untuk
mendukung upaya peningkatan mutu pembelajaran seperti:
penguasaan teknologi, pengelolaan emosi, dan keterampilan
berkomunikasi.
Kontrak pembimbingan hendaknya terbuka untuk direview
guna mendukung keefektifan pembimbingan yang mensyaratkan
fleksibelitas seiring pertumbuhan dan juga perkembangan
pengalaman pembimbing dan individu yang dibimbing
(Walkington, 2005). Pembahasan kontrak mencakup: kerahasiaan,
batas-batas hubungan dan konflik peran, waktu, tempat, skala
waktu, cara pelaksanaan pekerjaan, review, harapan dan
keterbatasan (Connor & Pokora, 2007) yang berfungsi memberikan
kejelasan kepada pembimbing dan individu yang dibimbing tentang
batas-batas dan penerapan prinsip-prinsip moral dalam proses
pembimbingan. Terlebih, percakapan dalam pembimbingan
kadang-kadang melibatkan emosi dan masalah-masalah pribadi.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 135


Selain itu, pada kenyataannya terdapat isu-isu dalam praktik
pembimbingan yang perlu diperhatikan. Isu-isu tersebut antara lain:
1) pembimbingan lintas jender. Mungkinkan pembimbingan antara
kolega laki-laki dengan wanita (atau sebaliknya) terlaksana baik?
Dalam pembimbingan, pembimbing dan individu yang dibimbing
mungkin harus bekerja bersama selama berjam-jam untuk
mendiskusikan suatu masalah. Hal ini mungkin akan menimbulkan
masalah atau dipandang tidak etis. 2) Pembimbingan antar tingkat
organisasi. Misalnya, seorang kepala sekolah atau wakil kepala
sekolah bertindak sebagai pembimbinga bagi guru yang kadangkala
lebih menguasai materi dan kelas dibandingkan kepala sekolah?
Selain itu, dapatkah guru SMA menjadi pembimbing guru SMP
atau SD? 3) Perbedaan di usia. Dapatkan guru yang lebih muda
namun lebih berpengalaman bertindak sebagai pembimbing bagi
koleganya yang lebih tua namun mungkin baru mengawali karirnya
mengajar di kelas? Dapatkan orang yang datang dari luar sekolah
dan berpengalaman bertindak sebagai pembimbing bagi guru-guru
di sekolahnya yang baru? (Daresh, 2003).
Kontrak pembimbingan akan sangat membantu ketika satu
atau beberapa isu tersebut muncul. Pembimbingan berorientasi
membantu guru-guru menjadi mandiri atau percaya diri,
menjadikan mereka pembelajar dan agen perubahan di sekolah
yang mampu mengembangan proses pembelajaran berkualitas bagi
siswa-siswanya (Wang dan Paine, 2001). Sebagaimana dikemuka-
kan oleh (Walkington, 2005) bahwa esensi pembimbingan adalah
pembelajaran terus menerus dan pengembangan hubungan. Hal ini
mungkin diwujudkan melalui pembimbing yang memiliki fokus
yang jelas dan konsisten dalam membimbing serta memiliki
beragam strategi pembimbingan untuk beragam situasi yang
berkembang; mampu memberi contoh, menganalisis, and me-
refleksikan praktik kerja guru; mampu mendefinisikan dengan baik
sekaligus mengembangkan zona-zona perkembangan guru dalam

136 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


pembelajaran mengajar (Wang & Paine, 2001). Menurut Trubowitz
and Robins (2003), pembimbing perlu mendorong individu yang
dibimbing dari satu zona ke zona lainnya. Untuk itu, pembimbing
perlu memahami bahwa pembimbingan merupakan proses
memampukan orang lain (individu yang dibimbing) untuk
bertindak, mengembangkan kekuatan individu yang dibimbing
daripada sekedar menyampaikan gagasan atau informasi, mencipta-
kan atmosferyang mendukung pengambilan resiko. Pembimbing
hendaknya juga tidak hanya terfokus pada teknik-teknik pengajaran
namun juga pada pengembangan diri guru. Bantuan pengelolaan
emosi guru, misalnya stress, juga perlu diberikan karena di era 21,
sangat mungkin guru mengalami ketegangan-ketegangan emosi
disebabkan meningkatnya kompleksitas dan kesulitan pekerjaan
guru (Hargreavas & Fullan 2000). Pada saat proses pembelajaran
dalam pembimbingan, kegiatan refleksi ya\tu"the ability to examine
current or past practices, behavior or thoughts, and to make
conscious choices about our future action or when combining
hindsight, insight, and foresight, people make the most of their
reflective powers (Barnett, O' Mahonny, & Matthews, 2004)
sangatlah penting. Dalam kegiatan refleksi, terjadi saling belajar
antara individu yang dibimbing maupun yang pembimbing.
Reflection gives a way for practitioners to learn from their
own and other peoples' experiences (Barnett, O' Mahony, &
Matthews, 2004) untuk mengeksplor dan menghasilkan alternatif
solusi kreatif terbaik atas permasalahan yang dihadapi. Saat
mendekati sesi akhir pembimbingan, refleksi sangat berguna untuk
sebagai masukan apa yang hams dilakukan selanjutnya oleh
individu yang dibimbing disaat harus mulai mandiri dan maju
(Megginson, dkk., 2006). Di akhir sesi pembimbingan, hendaknya
dilakukan pemberian umpan balik, penilaian pembelajaran dan
evaluasi pembimbingan. Jika pembimbingan masih perlu
dilanjutkan, dapat dilakukan 'recontract' pembimbingan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 137


(Brockbank, A. & McGill, 1,2006) F. Pengembangan program
pembimbingan yang efektif Organisasi, dalam hal ini sekolah dan
institusi terkait, berperan penting dalam memprogramkan
pembimbingan di sekolah. Tienkien and Stonaker (2007)
mengatakan bahwa diperlukan perubahan struktur sebelum bisa
terjadi perubahan budaya. Jika para guru diharapkan berubah
menjadi pembelajar yang terus menerus dalam kegiatan kerja
mereka sehari-hari, maka dibutuhkan pemberian waktu, dukungan
administratif dan juga pendanaan dari distrik (kabupaten/propinsi-
penulis) dan juga sekolah. Misal, guru-guru diberi jam khusus pada
hari-hari sekolah untuk pengembangan profesionalitas guru disertai
semua fasilitas pembelajaran yang dibutuhkan. Contoh lain yaitu
kegiatan-kegiatan pembimbingan menjadi bagian dari progam
pengembangan sekolah dimana aktivitas-aktivitas dan juga hasil
belajar guru dalam kegiatan pembimbingan mendapatkan
pengakuan atau penghargaan yang mendukung karir dan atau
kesejahteraan guru.
Kram and Ragins (2007) menunjukkan bahwa pemberian
prioritas pada program pembimbingan, pengalokasian sumber daya
organisasi, termasuk pendanaan untuk kegiatan pembimbingan
berperan penting dalam menentukan keefektifan program.
Hargrevas dan Fullan (2001) mengemukakan tiga pendekatan
strategis pengembangan program pembimbingan di abad 21. 1.
Mengkonseptualisasikan dan mendesain pembimbingan secara
eksplisit sebagai salah satu instrumen rekulturasi sekolah. Artinya,
semua pihak yang terlibat dalam pembimbingan benar-benar
memahami makna esensial pembimbingan. Pembimbingan di-
padang sebagai jalan menyiapkan guru-guru sebagai agen
perubahan yang efektif yang berkomitmen membuat kehidupan
yang 'berbeda' pada generasi muda, dan juga terampil di dalam
pendidikan dan pengembangan hubungan baik ke siswa, kolega,
dan juga orang tua siswa. Pembimbingan di sini tidak hanya

138 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


sebagai jalan membantu guru-guru namun lebih sebagai alat untuk
membangun budaya profesional yang kuat di bidang pengajaran
untuk perbaikan pengajaran, pembelajaran, dan juga keperdulian. 2.
Pembimbingan secara eksplisit dikaitkan dengan upaya-
upaya reformasi yang mentransformasi profesi pengajaran.
Pembimbingan mencakup semua guru-guru baru di kabupaten dan
sekolah, dikaitkan dengan pendidikan dan pelatihan guru dan juga
upaya-upaya pengembangan sekolah. Pembimbingan disini tidak
hanya sebagai bagian integral dari upaya-upaya perbaikan dan
pengembangan di sekolah, namun juga bagian dari keseluruhan
system pelatihan, pengembangan, dan perbaikan guru di luar
sekolah. 3. Semua yang terlibat dalam pembimbingan baik secara
langsung maupun tidak langung memandang pembimbingan
sebagai peluang untuk "recreate" profesi pengajaran. Keberhasilan
program pembimbingan membutuhkan dukungan kepemimpinan.
Flynn and Nolan (2008) mengungkapkan bahwa tidak ada suatu
program, seberapapun suksesnya, berulang dengan sendirinya.
Dibutuhkan kepemimpinan sebagai penentu penetapan dan
kelanjutan program. Studi kasus di Mentorvile menunjukkan bahwa
seorang pemimpin baru yang tidak mendukung program
pembimbingan dengan memotong pendanaan untuk program
pementoran menyebabkan kegagalan program (Kram & Ragins,
2007). Selain itu, kepemimpinan juga dibutuhkan sebagai model
yang meneladankan, mengarahkan, dan menguatkan budaya
pembelajaran. Engstrom dan Danielson (2006) mengungkapkan
bahwa keberhasilan setiap model pengembangan staf di tempat
kerja, selalu membutuhkan penciptaan budaya pembelajaran yang
sistematik dan bahasa yang satu dalam mempelajari pengetahuan
dan keterampilan-keterampilan praktis yang baru.
Simpulan Di abad 21, pekerjaan guru merupakan pekerjaan
yang kompleks dan tidak mudah seiring dengan perubahan
besardan cepat pada lingkungan sekolah yang didorong oleh

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 139


kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan demograsi, globalisasi
dan lingkungan. Guru profesional tidak lagi sekedar guru yang
mampu mengajar dengan baik melainkan guru yang mampu
menjadi pembelajar dan agen perubahan sekolah, dan juga mampu
menjalin dan mengembangkan hubungan untuk peningkatan mutu
pembelajaran di sekolahnya. Untuk itu, guru membutuhkan
pengembangan profesional yang efektif yaitu pembimbingan.
Pembimbingan merupakan salah satu strategi efektif untuk
peningkatan profesionalitas guru abad 21. Melalui pembimbingan,
mungkin terbangun hubungan profesional dan juga komunitas
pembelajar profesional di sekolah yang efektif untuk meningkatkan
mutu pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Pelaksanaan
pembimbingan yang efektif perlu mempertimbangkan hal-hal yang
mempengaruhi mutu hubungan pembimbingan seperti: struktur
organisasi pembimbingan, kontrak kerja, mutu pembimbing,
aktivitas dalam sesi-sesi awal hingga akhir pembimbingan. Untuk
menguatkan fungsi dan manfaatnya, pembimbingan perlu
deprogramkan. Hal ini membutuhkan perubahan struktur, budaya
dan juga dukungan kepemimpinan dari sekolah dan juga insititusi
terkait.

IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian di atas kinerja guru dalam
perkembangan pendidikan abad 21 memiliki tantangan lebih berat
dan tugas guru lebih kompleks. Adapun tantangannya meliputi (a)
teaching of multicultural society, (b) teacing for constuction of
meaning, (c) teaching of active learning, (d) teaching and
technologi, (e) teaching with new view abaut abilities, (f) teaching
in choice, (g) teaching and accounitability. Maka dalam
menghadapi tantangan tersebut guru memiliki kemampuan,

140 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


diantaranya: (a) berpikir kritis, (b) memiliki rasa tanggung jawab
sosial, (c) memiliki kemampuan membangun jaringan, (d)
menerapkan kedisiplinan waktu dan aturan. Di samping itu guru
hendaknya memiliki karakteristik, kecakapan, keterampilan dalam
rangkan melaksanakan peran dan tanggungjawabnya sebagai guru
di abad 21.

DAFTAR PUSTAKA
BSNP. 2010. Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI. Jakarta:
BSNP
Barnett, B. G., O'Mahony, G. R. & Matthews, R. J. (2004).
Reflective practice: the cornerstone for school
improvement. Moorabbin, Vic: Hawker Brownlow
Education.
Bartell, Carol A. (2005). Cultivating high-quality teaching through
induction and mentoring. California: Corwin Press.
Beare, H. (2001). Creating the Future School. London.
RouutledgeFalmer.
Brockbank, A. & McGill, I. (2006). Mentoring models. In
Facilitating reflective learning through mentoring and
coaching. London: Kogan Page.
Carr, J. F., Herman, N. & Harris, D. F. (2005). Creating dynamic
schools through metoring, coaching, and collaboration.
Virginia: ASCD.
Castetter, W.B. (1996). The Personnel Function in Education
Administration Sixth Edition. New York: MacMillan
Publishing Co.
Connor, M., & Pokora, J. (2007). Coaching and mentoring at work
: developing effective practice. Maidenhead: Open

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 141


University Press. Ql v£W^ MANAJEMEN PENDIDIKAN,
No. 02/T
Higher Education Research & Development Unit, University
College, London WC1E 6BT, Ut
NETS·T. 2008. “International Society for Technology in
Education”. ISTE® is a registered trademark of the
International Society for Technology in EducatIf.
Permendiknas RI No.41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses Untuk
Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah
Sarjanaku. 2010. “Tantangan Guru Sebagai Tenaga Profesional”.
Dalam (http://www.sarjanaku.com/2010/11/tantangan-guru-
sebagai-tenaga.html)
Uda Tonic 2015. “Peningkatan Kinerja dan Profesionalisme
Tenaga Pendidik/ Guru di Kota Palangkaraya”. Vol. 3 No. 1
juni 2015-ISSN-2355-0236 (96-129)
Undang – Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentangGuru dan
Dosen
Walker, Paul & Finney, Nicholas. 1999. Skill Development and
Critical Thinking in Higher Education.

142 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


BAGIAN KEENAM
PROBLEMA IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN KAMPUS MERDEKA PADA
PERGURUAN
TINGGI DI DAERAH
Muklis Riyanto, Joni Helandri,
Agung Nugroho

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini ramai dibincangkan didunia pendidikan,
dengan dicetuskannya konsep merdeka belajar oleh menteri
pendidikan dan kebudayaan yaitu Nadiem Makarim. dalam hal
termasuklah di dalamnya tentang konsep kampus merdeka belajar.
Konsep tersebut menjadi suatu upaya dalam menghadapi
perkembangan zaman yang terus berubah. maka bagaimana konsep
kampus merdeka belajar pada Perguruan Tinggi di daerah, serta
bagaimana konsep kampus merdeka yang telah dicetuskan oleh
Mendikbud yakni bapak Nadiem Makarim serta apa yang menjadi
masalah mahasiswa saat ini sehingga mengharuskan adanya
perubahan konsep perguruan tinggi menjadi lebih baik.
Kampus merdeka menekankan pada kurikulum mahasiswa

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 143


yang mengharuskan mengambil matakuliah dengan bobot 20 SKS

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 143


di luar kampus. Adapun kebijakan 20 SKS di luar kampus bisa
berupa (1) Pertukaran Mahasiswa, (2) Mahasiswa mengajar, (3)
Membangun desa, (4) Magang/Praktik kerja, (5) Penelitian, (6)
Kegiatan wirausaha, (7) Proyek Kemanusiaan, (8) Proyek
Independen. Pilihan kampus merdeka akan diambil mahasiswa
sesuai dengan profil program studi. Mahasiswa hanya diwajibkan
memilih salah satu dari ke-8 pilihan kampus merdeka dengan bobot
20 SKS.
Kebijakan mentri Pendidikan dan Kebudayaan ini
diharapkan mampu meningkatkan SDM dari mahasiswa sehingga
siap ketika diterjunkan ke dalam masyarakat. Mahsiswa akan
memiliki keterampilan khsus sehingga akan meningkatkan
kemampuan di bidangnya, Suteja (2020) salah satu prinsip
terpenting yang dianut oleh dunia pendidikan tinggi modern saat ini
adalah kemerdekaan akademik (Acaemic freedom). Mahasiswa
dalam hal ini tetap akan dibimbing dosen pengampu dari kampus
asal, dan berkolaborasi dengan mitra kampus, guna meningatkan
kemampuan mahasiswa.
Kebijakan kampus merdeka masih banyak menimbulkan
problema dalam kebijakanya. Problema itu muncul pada perguruan
tinggi di daerah yang masih jauh dari ibu kota, provinsi maupun ibu
kota kabupaten/kota. Kebijakan yang terkesan mendadak membuat
beberapa kampus ekstra dalam membuat kurikulum, apalagi untuk
perguruan tinggi belum lama pergantian kurikulum dari KTSP
menjadi KKNI. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Siregar, dkk (2020) kampus merdeka saat ini sudah sangat baik,
dan hanya bagaimana penerapanya, walau mungkin tidak mudah
untuk diterapkan secara sempurna dalam waktu dekat, akan tetapi
hal yang terpenting dibutuhkan kerja sama antar perguruan tinggi
untuk bersama-sama kearah yang lebih baik. Selanjutnya Muslikh
(2020) kampus merdeka berlandaskan 4 aliran filsafat: (1) Aliran
Progresivisme, (2) Aliran kontruktivisme, (3) Aliran Humanisme,

144 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


dan (4) filsafat antropologis. Sedangkan Priatmoko (2020)
kebijakan kampus merdeka diharapkan mampu mengikis gap
antara dunia pendidikan (Pendidikan Tinggi) dengan realitas dunia
nyata.
Berdasarkan hasil penelitian berkaitan dengan Kampus
Merdeka masih banya menyisakan berbagai persoalan, walaupun
kebijakan ini digadang-gadang mampu meningkatkan sistem
pendidikan lebih baik karena sistem ini menuntut mahasiswa untuk
lebih aktif dengan otonomi belajar yang diberikan. Salah satu
persoalan yang mendasar adalah “Apakah perguruan tinggi yang
berada di daerah mampu mengikutinya secara cepat sesuai dengan
tuntutan dari mentri pendidikan dan kebudayaan. Dengan
kompleksnya permasalahan mahasiswa di daerah membuat
kebijakan Kampus Merdeka akan sulit diterapkan secara cepat.
Berdasarkan hasil observasi dari 3 pergurunan tinggi di
wilayah kota Lubuklinggau yang asal mahasiswa dari Musi Rawas,
Lubuklinggau, Musi Rawas Utara, Lahat dan Empat Lawang,
dikatehui jika secara finansial ekonomi mahasiswa masih sangat
rendah sehingga untuk pilihan dari Kampus Merdeka masih sulit.
Selain masalah ekonomi masalah lain adalah mitra kerja yang tidak
sesuai dengan profil dari program studi yang diambilnya, membuat
pilihan sedikit dipaksakan. Selain dari faktor mahasiswa juga
terdapat faktor dari pengajar dalam hal ini dosen, dimana sebagian
dosen yang sudah lanjut usian sukar diberikan pemahaman akan
Kampus Merdeka sehingga penyusunan kurikulum sedikit
terhambat. Dari faktor kerjasama antar Perguruan Tinggi terlihat
sulit menyamakan bobot matakuliah dan pementaan matakuliah
disemester Gazal dan Genap. Semua permasalahan ini menjadi
permasalah yang kompleks di perguruan tinggi di daerah, yang
penulis coba urai secara rinci, yang nantinya akan ditemukan titik
penyelesaianya.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 145


Berdasarkan permasalahan di atas penulis mengambil judul
makalah “Problema Implementasi Kebijakan Kampus Merdeka
pada Perguruan Tinggi di Daerah”. Diharapkan dengan penelitian
ini akan memberikan gambaran bagi pembaca mengenai kebijakan
Kampus Merdeka.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang rumusan masalah pada makalah
ini adalah “Apasaja problem implementasi kebijakan Kampus
Merdeka pada Perguruan Tinggi di Daerah?
Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah pada makalah ini adalah
mendeskripsikan problem implementasi kebijakan Kampus
Merdeka pada Perguruan Tinggi di Daerah.
Manfaat Makalah
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a. Penulis: menambah wawasan berkaitan dengan kebijakan-
kebijakan Kampus Merdeka sehingga mampu meng-
implementasikan pada Perguruan Tingginya.
b. Pembaca: memberikan gambaran mengenai Kampus Merdeka
dan semua problem-problem yang dihadapi dalam meng-
implementasikanya.
c. Lembaga Perguruan Tinggi: memberikan sumbangsih akan
kebijakan-kebijakan dari Kampus Merdeka sehingga mampu
memberikan keputusan terbaik dalam mengembangkan
kurikulumnya.

146 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


II. KAJIAN PUSTAKA
A. Kampus Merdeka
Kampus merdeka merupakan perpanjangan dari program
merdeka belajar yang masih hangat diperbincangkan dibidang
pendidikan, hanya saja kampus merdeka memberikan mahasiswa
kebebasan untuk tiga semester mencari pengalaman belajar di luar
Program Studinya. Tidak lepas dari itu statement ini merupakan
langkah terciptanya peningkatan kualitas pendidikan yang
dicetuskan oleh menteri pendidikan Nadiem Makarim. (Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2020). Pendidikan selalu mengupayakan terciptanya
peserta didik yang selalu melakukan pembaharuan demi pem-
baharuan dalam setiap waktu. Tidak hanya mampu berpendidikan
tinggi akan tetapi mampu menjadi agen perubahan dalam lingkup
kecil maupun besar. Satuan pendidikan yang paling berpengaruh
dalam perubahan adalan perguruan tinggi. Mengapa demikian?
Karena disinilah kematangan dalam menempuh pendidikan dan
diharapkan menjadi perubahan dalam berpikir dan bertindak.
Itulah sebabnya perguruan tinggi diharapkan mampu
melakukan inovasi-inovasi dalam setiap proses pembelajarannya
Yakni pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa agar
mendukung tercapainya lulusan yang berkualitas yang siap
menghadapi situasi zaman yang terus berubah. Pemerintah juga
mengambil fungsi dalam pembaharuan pendidikan, dan disinilah
pemerintah menciptakan konsep kampus merdeka belajar. Dimana
salah satu dari konsep ini adalah memberikan kebebasan selama
tiga semester untuk melakukan tindakan yang membutuhkan
pengalaman belajar maupun pengalaman sosial, dengan tidak
menyampingkan teknologi dan tiga semester ini dilakukan di luar
program studi. Hal ini dilakukan untuk dapat melahirkan lulusan
terbaik dari perguruan tinggi yang akan terjun menjadi agen
perubahan terbesar dalam kemajuan peradaban.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 147


Mahasiswa tidak hanya menjadi lulusan terbaik yang pandai
dalam berteori akan tetapi mampu merealisasikan teori. Terjun
kelapangan dengan bekal ilmu yang dalam untuk terobosan yang
relevan. Demi kemajuan pendidikan yang tidak pernah
berkesudahan. Untuk dapat terlibat dalam kebijakan ini mahasiswa
dimaksud harus berasal dari program studi yang terakreditasi, dan
aktif yang terdaftar pada LLDikti. Bentuk kegiatan umum ada
konsep kampus merdeka ialah: pertukaran pelajar, magang,
Asistensi mengajar di satuan pendidikan, penelitian, proyek
kemanusiaan, kegiatan wirausaha, proyek independen, membangun
desa/kuliah kerja nyata tematik (Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).
Adapun pokok kebijakan pemerinta terkait dengan kampus
merdeka belajar sebagai terobosan terbaru ialah:
1. Pembukaan program studi barudengan arahan kebijakan saat ini:
a. PTN dan PTS diberi otonomi untuk membuka prodi baru jika:
1. perguruan tinggi tersebut memiliki akreditasi A dan B
2. prodi dapat diajukan jika ada kerjasama dengan mitra
perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, atau
universitas Top 100 ranking QS
3. prodi baru tersebut bukan di bidang kesehatan dan
pendidikan
b. Kerja sama dengan organisasi mencakup penyusunan
kurikulum, praktik kerja, dan penempatan kerja. kementerian
akan bekerja sama dengan PT dan mitra prodi untuk
melakukan pengawasan.
c. Prodi baru tersebut otomatis akan mendapatkan akreditasi C
prodi baru yang tengah diajukan oleh PT berakreditasi A dan
B akan otomatis mendapatkan akreditasi C dan BAN- PT

148 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


d. Tracer studi wajib dilakukan setiap tahun.
2. Sistem akreditasi peguruan tinggi dengan arahan kebijakan:
a. Akreditasi yang sudah ditetapkan oleh BAN-PT tetap berlaku
5 tahun dan akan diperbaharui secara otomatis. Perguruan
tinggi yangterakreditasi B atau C dapat mengajukan
kenaikan akreditasi kapanpun secara sukarela.
b. Peninjauan kembali akreditasi akan dilakukan BAN-PT jika
ada indikasi penurunan mutu, misalnya:
1) Adanya pengaduan masyarakat (disertai dengan bukti
yang konkret).
2) Jumlah pendaftar dan lulusan dari PT/Prodi tersebut
menurun drastis lima tahun berturut-turut (ketentuan lebih
lanjut tentang penurunan kualitas akan diatur melalui
peraturan Dirjen terkait).
3) Akreditasi A akan diberikan bagi prodi yang berhasil
mendapatkan akreditasi internasional. akreditasi inter-
nasional yang diakui akan ditetapkan melalui keputusan
menteri.
4) Pengajuan re-akreditasi PT dan Prodi dibatasi paling cepat
2 tahun setelah mendapatkan akreditasi yang terakhir kali.
Tracer study wajib dilakukan setiap tahun
c. Perguruan tinggi negeri badan hukum, dengan arahan ke
depannya:
1) Persyaratan untuk menjadi BH (Badan Hukum) diper-
mudah bagi PTN BLU (Badan Layanan Umum) & Satker
(Satuan Kerja)
2) PTN BLU dan Satker dapat mengajukan perguruan
tingginya untuk menjadi badan hukum tanpa ada
akreditasi minimum

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 149


3) PTN dapat mengajukan permohonan menjadi BH
kapanpun apabila merasa sudah siap
d. Hak belajar tiga semester di luar program studi, denga arahan
kebijakan:
1) perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa
untuk secata sukarela (dapat mengabil atau tidak):
2) dapat mengambil sks di luar perguruan tinggi sebanyak 2
semester (setara dengan 40 sks)
3) ditambah lagi, dapat mengambil sks di prodi yang berbeda
di PT yang sama sebanyak 1 semester (setara dengan 20
sks)
4) dengan kata lain sks yang wajib diambil di prodi asal
adalah sebanyak 5 semester dari total semester yang harus
dijalankan (tidak berlaku untuk prodi kesehatan).
e. Terkait dengan SKS ada perubahan definisi atau paradigm,
yakni:
1) Sks merupakan jam kegiatan
2) Semua jenis kegiatan (belajar di kelas dan diluar kelas
seperti magang, pertukaran pelajar, proyek di desa dan
sebagainya) harus dipandu oleh seorang dosen yang telah
ditentukan oleh PT
3) Mahasiswa dapat mengambil daftar kegiatan selama 3
semester tersebut dengan pilihan program dari pemerintah
dan program yang disetujui Rektor. (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2020) Dikutip dari video talk
show youtube.
Kampus merdeka dapat disimpulkan dengan uraian berikut,
terkait dengan hak belajar tiga semester di luar program studi,
beliau memberikan analogi dengan mengatakan kurang lebih

150 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


“bayangkan semua mahasiswa kita suatu hari harus berenang ke
suatu pulau di laut terbuka, pada saat ini semua perenang-perenang
itu hanyadilatihsatu gayasaja, (satugayaituadalahprodinyadia). dan
juga dia hanya dilatih di kolam renang, (kolam renang itu
kampus)”. Oleh karenanya dalam hal ini, bagaimana mahasiswa
tersebut dapat berenang dengan baik atau menyesuaikan diri
berenang di laut terbuka, sedangkan laut terbuka memiliki kondisi
yang bervariatif dan mahasiswa (perenang) tersebut dilatih di
kolam renang (kampus). Oleh karenanya dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa, hendaknya mahasiswa jangan cuma dilatih di
dalam kampus, karena kondisi atau permasalahan di kehidupan
nyata akan lebih beraneka ragam. Sebagaimana yang disampaikan
Mendikbud kurang lebih bahwa hampir tidak ada profesi di dunia
nyata yang hanya menggunakan satu rumpun ilmu, semua profesi
di dunia nyata membutuhkan kombinasi dari beberapa disimplin
ilmu. (Kemendikbud RI, 2020)
Kemudian pada sebuah wawancara, ketika ditanya
kurang lebih tentang bagaimana korelasi prodidiperguruantinggi
dengan karier mahasiswa. beliau mengemukakan kurang lebih
bahwa menurut beliau, dengan perubahan sekarang yang begitu
cepat, yang terpenting dalam periode pendidikan tinggi adalah
menemukan kehausan untuk terus belajar. jatuh cinta dengan
proses pembelajaran. dan mulai meraba-raba kira-kira di area
mana kita punya passion (kegemaran).
Kemudian, ada beberapa alasan yang diungkapkan
Mendikbud terkait dengan alasan mengapa sistem pendidikan
tinggi di Indonesia yang hanya berfokus pada satu prodi tidak
baik. yang pertama, dari segi menemukan jati diri anak. masih
terdapat mahasiswa yang merasa tidak cocok dengan prodinya.
beliau mengungkapkan bahwa “kita tidak bisa menemukan titik
temu untuk hati mahasiswa untuk menemukan passionnya dia.
yang kedua, semua skill untuk profesi ujung-ujungnya harus

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 151


belajar lagi di dalam profesi itu. karena sangat berbeda kondisi
kerja dengan kondisi di dalam kampus.
Beliau mengemukakan kurang lebih, “agar anak-anak kita
pada saat keluar dari kampus tidak tenggelam di laut terbuka,
jangan dilatih hanya di kolam renang, sekali- sekali pergi ke
pantai latihan di laut”. menurut beliau inilah konsep tiga semester
kampus merdeka itu esensinya adalah degree S1 yang efektif
adalah hybrid (campuran), kombinasi dia di latih di dalam
komunitas akademis tetapi juga sekali-sekali dia dilatih di dalam
komunitas di luar kampus. Seperti mengerjakan proyek desa,
bakti sosial, enterpreneurship, magang di perusahaan. Menurut
beliau S1 tidak bisa hanya tanggung jawab universitas saja, S1
harus merupakan suatu program gotong royong civil society,
universitas, swasta, dan antar universitas, sekat-sekatnya harus di
break down. dikarenakan di dalam universitas, masih terdapat
sekat-sekat yang luar biasa, dan yang terbaik untuk mahasiswa
adalah kolaborasi antara fakultas baik di dalam universitas
maupun di luar untuk menciptakan subjek-subjek yang lintas
disiplin, dan beliau mengemukakan kurang lebih bahwa strategi-
nya adalah harus ada percampuran harus ada diversifikasi dari
pada kurikulum S1.
Kemudian dari segi penerapan dalam pembelajaran untuk
menunggu semua universitas berubah, akan kelamaan maka kurang
lebih beliau mengemukakan bahwa mereka (mahasiswa) untuk
sementara dilatih jangan hanya di kolam renang saja tetapi juga di
luar dan dapat pula dengan mensimulasikan kolam renang menjadi
seolah seperti laut, dengan mengubah desain kolam renang.
contohnya pembelajaran yang tadinya pasif merupakan cara lama.
maka di dalam classroom semakin banyak mengerjakan project
based learning maka semakin relevan ke laut terbuka. efektivitas
suatu manusia di era sekarang, bukan efektivitas dia sebagai
individu tetapi seberapa efektif dia dalam bekerja dalam tim.(CNN

152 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Indonesia, 2020)

III.METODE PENELITIAN
A. Prosedur Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah non riset, yakni penelitian studi pustaka, dengan me-
ngumpulkan informasi dari beberapa sumber yakni buku, jurnal,
internet, dan informasi berupa pendapat yang dikemukakan
menteri pendidikan melalui beberapa acara yang penulis kutip dari
Youtube. dengan tujuan untuk memperoleh informasi lebih dalam
dan memberikan analisis terkait dengan konsep kampus merdeka
(Sugiyono, 2008).
Metode studi pustaka menuntut peneliti untuk cermat
mengolah semua sumber data secara tertulis. Dalam hal ini penulis
berusaha mengolah semua data yang bersumber dari jurnal sebagai
sumber data dalam menuliskan makalah. Sumber data disesuaikan
dengan variabel judul makalah, sehingga semua yang menjadi
rumusan masalah dapat terselesaikan dengan baik.

Sumber Data
Sumber data adalah semua bahan yang diperlukan dalam
proses penelitian, dapat berupa alat, bahan, dokumen, ataupun
lainya. Dalam hal ini sumber data yang penulis gunakan adalah
sumber data dokumen dalam bentuk tertulis. Dokumen tertulis
sebagai sumber data adalah jurnal-jurnal yang berkaitan dengan
kampus merdeka, sehingga sesuai dengan permasalahan yang
penulis ajukan.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 153


Data
Data adalah semua yang diperoleh dari sumber data guna
melengkapi hasil dan pembahasan sebuah penelitian. Data dalam
penulisan makalah ini adalah kalimat, paragraf dan wacana yang
berkaitan dengan Kampus Merdeka.

IV. PEMBAHASAN
A. Kampus Merdeka
Mahasiswa sebagai generasi penerus yang berasal dari
perguruan tinggi memiliki peranan penting dalam perkembangan
sebuah negara. Melihat kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang, para mahasiswa di perguruan tinggi harus disiapkan
untuk mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dan menjadi
manusia yang bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri namun
juga orang-orang di sekitarnya. karenanya dalam hal ini jika
merujuk pada kebijakan tentang kampus merdeka yang dicetuskan
oleh menteri pendidikan yakni bapak Nadiem Makarim,
bahwa“kebijakan Kampus Merdeka ini merupakan kelanjutan dari
konsep merdeka belajar (Lubis, 2018). Pelaksanaannya paling
mungkin untuk segera dilangsungkan, hanya mengubah peraturan
menteri, tidak sampai mengubah peraturan pemerintah ataupun
undang-undang, kata Nadiem di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Jum‟at (24/1/2020)
(Makdori, 2020). Oleh karenanya dalam hal ini topik ini diangkat
dengan maksud untuk mengenal lebih dalam dan memberikan
sedikit analisis tentang bagaimana konsep kampus merdeka di
Perguruan Tinggi daerah sebagai sebuah kondisi yang akan
dihadapi oleh mahasiswa, serta alasan mengapa mahasiswa
membutuhkan sebuah konsep kampus merdeka sebagai perubahan
ke arah yang lebih baik. bagaimana rencana penerapan konsep
kampus merdeka, sebagai upaya untuk memperbaiki sistem

154 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


pendidikan tinggi yang siap menghadapi tantangan zaman.
Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka telah
mendominasi berbagai diskursus mulai dari lingkungan formal di
ruang-ruang kuliah sampai diteras-teras café, baik oleh civitas
akademika maupun masyarakat umum beragam respon baik yang
sifatnya pro maupun yang kontra.
Pendidikan Tinggi memiliki potensi dampak tercepat,
untuk perubahan sumberdayamanusia unggul, karena jangka
waktu output keluar dari Perguruan Tinggi ke dunia pekerjaan
dan best practice sangat cepat, ini adalah sebuah potensi yang
luar biasa apabila kita bisa meningkatkan kualitas Perguruan
Tinggi terutama pada jenjang atau strata S1, karena pada
kebanyakan mahasiswa ada pada strata sarjana (S1), dengan
demikian adalah cara tercepat untuk membangun sumberdaya
manusia unggul. Melalui Perguruan Tinggi berkualitas, menjadi-
kan Perguruan Tinggi (PT) merupakan ujung tombak yang
bergerak tercepat, karena PT begitu dekat dengan dunia
pekerjaan. Institusi ini sejatinya yang harus memilki gerak inovasi
tercepat dari semua unit pendidikan yang lainnya, karena itu
Perguruan Tinggi seharusnya memiliki taktik dan strategi untuk
terus berubah secara lincah dan fleksibel, namun demikian
kenyataan PT saat ini belum memiliki perhatian yang signifi-
kan dalam aspek inovasi. Inovasi dalam dunia Pendidikan
tinggi menjadi sesuatu yang amat sangat penting. Inovasi dalam
bidang pendidikan dan pengajaran, inovasi dalam riset dan inovasi
dalam bidang pengabdian pada masyrakat. Inovasi tidak bisa
dilakukan tanpa ruang bergerak, inovasi sangat berkembang
dalam ekosistem yang tidak dibatasi ini adalah spirit kampus
merdeka,

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 155


Kemerdekaan Akademik
Melalui kebijakan Kampus Merdeka, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ingin agar
universitas di Indonesia diberi ruang yang cukup memadai untuk
beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. Kebijakan Kampus
Merdeka menitikberatkan pada pelonggaran proses akreditasi,
pemberian hak pada mahasiswa untuk belajar di luar kelas,
otonomi pembukaan program studi (prodi) baru, dan kemudahan
PTN Badan Layanan Umum (BLU) serta Satuan Kerja (Satker)
untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH).
Salah satu prinsip terpenting yang dianut oleh dunia
pendidikan tinggi modern saat ini adalah kemerdekaan akademik
(academic freedom). Konsep ini pertama kali dirumuskan oleh
filsuf Jerman Wilhelm von Humboldt (1809), kemerdekaan
akademik memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk memilih
bidang studi atau prodi apapun, sementara dosen memiliki
kebebasan untuk mengajar ilmu yang sesuai dengan
kepakarannya.
Pemberian otonomi pembukaan prodi baru menuntut
universitas untuk cermat mengamati perkembangan zaman agar
mampu menawarkan bidang studi yang tidak cepat kadaluwarsa
dan mampu bertahan di masa depan, misalnya sains data,
kecerdasanbuatan, bio-ekonomi, e-commerce dan sebagainya.
Keberadaan prodi-prodi baru tersebut memberi kebebasan lebih
besar kepada mahasiswa untuk memilih bidang studi yang sesuai
dengan tren lapangan pekerjaan di masa depan. Mahasiswa
menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan kehadiran prodi-
prodi baru tersebut. Demikian pula dengan hak mahasiswa untuk
menimba ilmu di luar kelas dalam bentuk magang, pertukaran
pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, dan sejenisnya.
Dengan demikian, mahasiswa menjadi pihak yang sangat
diuntungkan dengan kebijakan ini. Melalui pengalaman belajar di

156 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


luar kelas, mahasiswa akan lebih mampu untuk menerapkan
ilmunya pada kehidupan nyata sekaligus meningkatkan daya saing
dalam mencari pekerjaan.
Seorang filsuf Jerman Johann Gottlieb Fichte (1809)
telah menekankan salah satu ciri universitas modern adalah
kemampuan lulusannya untuk menerapkan ilmu yang dipelajari-
nya di dunia nyata dan tidak hanya pandai berteori saja
(Fichte;1807). Walaupun belum diwajibkan dan hanya berbentuk
pilihan, kesempatan untuk belajar di luar kelas menunjukkan suatu
perkembangan yang sangat menggembirakan.
Apabila kita menelaah data publikasi UNESCO me-
nunjukkan sebanyak 5 juta mahasiswa di seluruh dunia mengikuti
program pertukaran pelajar (student exchange/ mobility), jumlah
tersebut naik signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya
yang hanya mencatat 4 juta mahasiswa. Demikian pula dengan
program magang yang semakin banyak dipilih oleh mahasiswa di
Indonesia. Tahun lalu Kemenristekdikti (sekarang-Kemendikbud)
memberi kemudahan dengan membuat keputusan bahwa 45 jam
kerja magang setara dengan satu satuan kredit semester (sks)
sehingga mahasiswa tidak perlu kehilangan sks selama proses
magang.
Jika mahasiswa banyak diuntungkan dengan kebijakan
Kampus Merdeka, bagaimana dengan kondisi dosen? Dosen di
Indonesia memiliki tiga tugas pokok, yaitu; (i) Pendidikan dan
Pengajaran, (ii) Penelitian, dan (iii) Pengabdian Pada Masyarakat
yang dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Walaupun secara umum kelihatan sederhana, namun dalam
praktiknya cukup berat terutama terkait pelaksanaan projek
penelitian dan publikasi hasil penelituan tersebut dalam jurnal
bereputasi sebagai bagian wajib dalam pelaporan BKD (Beban
Kerja Dosen) yaitu satuan sks yang harus dicapai oleh seorang

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 157


Dosen dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam
periode tertentu.
Penelitian Doyle dan Hind (1998) terhadap 582 dosen di
berbagai universitas di Inggris menunjukkan 77% responden pria
dan 74% responden wanita mengakui beban tugas mereka telah
meningkat selama 5 tahun terakhir, terutama tugas-tugas
administratif yang memiliki relevansi minimal dengan tugas-tugas
pokok sebagai akademisi. Selanjutnya riset yang dilakukan oleh
Dewi dkk (2019) yang mengambil sampel tenaga pengajar di
Universitas Padjajaran menunjukkan indikasi tingginya beban
kerja yang harus ditanggung oleh dosen dan berpengaruh negatif
terhadap kesehatan mental serta fisik mereka. Tingginya beban
tugas tidak hanya dialami oleh tenaga pengajar di Indonesia.
Keinginan Mendikbud untuk mendorong dunia pendidikan
di Tanah Air agar adaptif terhadap perkembangan zaman bisa
dipahami dan patut didukung secara penuh. Tetapi hal tersebut
sukar terwujud jika para dosen sebagai mesin penggerak
revitalisasi pendidikan tinggi masih dibelenggu oleh tugas-
tugas administratif yang tidak memiliki dampak langsung
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mungkin ada baiknya Mendikbud meninjau ulang beban kerja
dosen, terutama yang terkait dengan tugas-tugas administratif
agar para dosen dapat fokus ke tugas-tugas pokok mereka. Agar
cita-cita Kampus Merdeka tidak hanya dirasakan oleh
mahasiswa tapi juga para dosen. Agar Tri Dharma Perguruan
Tinggi tidak berubah menjadi Catur Dharma atau Panca Dharma
karena banyaknya tugas-tugas tambahan yang bersifat
administratif.

158 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Kebijakan Kampus Merdeka
Program pertama adalah perguruan tinggi, baik itu
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Swasta (PTS) memiliki
otonomi pembukaan program studi baru. Syaratnya, PTN dan
PTS yang mau membuka program studi baru harus memiliki
akreditasi A dan B, serta telah melakukan kerja sama dengan
organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100
World Universities. Pengecualian berlaku untuk prodi kesehatan
dan pendidikan. Seluruh prodi baru akan otomatis mendapatkan
akreditasi C. Kemendikbud juga akan bekerja sama dengan
perguruan tinggi dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan
yang ketat. Kementerian juga akan mengawasi secara ketat dan
mewajibkan melakukan “Tracer study” setiap tahunnya.
1. Proses re-akreditasi dilakukan secara Otomatis dan
Sukarela
Poin selanjutnya adalah mempermudah proses
akreditasi perguruan tinggi. Saat ini proses akreditasi wajib
dilakukan tiap lima tahun sekali. Kebijakan baru ini akan
membuat proses tersebut diperbaharui secara otomatis.
Program re-akreditasi ini bersifat otomatis untuk seluruh
peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi
yang sudah siap naik peringkat. Evaluasi akreditasi akan
dilakukan oleh BAN-PT jika ditemukan penurunan kualitas
berdasarkan pengaduan masyarakat yang disertai bukti konkret,
serta penurunan tajam jumlah mahasiswa baru yang mendaftar,
dan lulus dari prodi ataupun perguruan tinggi.
2. Syarat menjadi PTN-BH dipermudah
Kebijakan Kampus Merdeka yang ketiga berkaitan
dengan kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan
Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum
(PTN BH). Kemendikbud akan mempermudah persyaratan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 159


PTN BLU dan Satker untuk menjadi PTN BH tanpa terikat
status akreditasi. Hingga saat ini, hanya perguruan tinggi
berakreditasi A yang dapat menjadi PTN BH.
3. Hak belajar Tiga Semester di Luar program Studi dan
Perubahan Definisi SKS
Mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengambil
ataupun tidak sks di luar kampusnya sebanyak 2 (dua) semester
atau setara dengan 40 sks. Ditambah, mahasiswa juga dapat
mengambil sks di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak 1
(satu) semester dari total semester yang harus ditempuh.
Kementerian menilai saat ini bobot sks untuk kegiatan
pembelajaran di luar kelas sangat kecil dan tidak mendorong
mahasiswa untuk mencari pengalaman baru. Apalagi di banyak
kampus, pertukaran pelajar atau praktik kerja justru menunda
kelulusan mahasiswa. Setiap sks diartikan sebagai „jam
kegiatan’, bukan lagi „jam belajar’. Kegiatan disini bisa berarti
belajar di kelas, magang atau praktik kerja di industri atau
organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat,
wirausaha, riset, studi independen, ataupun kegiatan mengajar
di daerah terpencil.
Sebuah analogi sederhana tentang konsep Kampus
Merdeka dan Merdeka Belajar boleh jadi menggambarkan
kondisi masa lalu dan saat ini, bayangkan suatu hari
mahasiswa S1 harus berenang ke suatu pulau di laut bebas,
pada saat ini perenang-perenang hanya dilatih satu gaya renang
saja, misalnya gaya bebas, satu gaya itu dianggap satu prodinya
dia, satu prodi seratus persen belajar di prodinya, dan dia
juga hanya dilatih di kolam renang, kolam renang itu adalah
kampus, saat ini semua mahasiswa belajar satu disiplin ilmu
saja, dan juga berlatih di kolam renang yang aman tidak ada
ombak, tidak arus tidak ada cuaca, dengan beragam alat
pengamanan yang siap tersedia, padahal dia harus berenang

160 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


menuju satu pulau di lautan bebas jadi bagaimana mungkin
mereka bisa diceburkan kelaut bebas dan dapat survive?. Jadi
Intinya mahasiswa Program S1 sebaiknya belajar berbagai
disiplin ilmu, dia belajar berenang gaya bebas, gaya punggung,
bagaimana cara mengapung dilautan dan juga tidak hanya
berlatih di kolam renang, tapi juga kenapa kita tidak sekali
kali latihan berenang di lautan bebas yang variative-inilah
sebenarnya tujuan belajar 3 (tiga) semester di luar prodi pada
program S1 agar mahasiswa kita benar benar-benar siap
diterjunkan berenang di laut yang terbuka yaitu dunia yang
nyata. (Nadiem Anwar Makarim)

Problematika Kebijakan Kampus Merdeka


Kebijakan pembukaan program studi (prodi) baru, akreditasi
perguruan tinggi dan program studi merupakan 2 visi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan yang diapresiasi oleh perguruan tinggi
di daerah. Kebijakan ini memberikan angin segar ditengah sulitnya
birokrasi dan persyaratan pengajuan prodi baru dan akreditasi.
Pada tataran praktis, salah satu persyaratan yang mewajib-
kan adanya kolaborasi antara PTS dan prodi dengan pihak luar
(perusahaan jasa, industri, masyarakat, perguruan tinggi lain, dan
instansi pemerintah maupun swasta) memunculkan kebingungan
dalam mekanismenya. Bagi PTS besar hal ini tidak menjadi
persoalan besar, akan tetapi bagi PTS kecil kewajiban ini
memunculkan persoalan tersendiri.
Muncul beberapa pertanyaan di kalangan PTS kecil atau
PTS yang masuk pada kategori tertinggal, terluar, dan terpencil, 1)
bagaimana cara PTS menjalin kerjasama dengan perusahaan jasa
dan industri besar?, 2) apakah PTS dan PTN besar mau
berkolaborasi dengan PTS kecil atau PT dengan akreditasi A

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 161


berkolaborasi dengan PT yang hanya memiliki akreditasi B bahkan
C?.
Persoalan ini hendaknya menjadi pertimbangan pemerintah
untuk dicarikan solusi dan regulasi mekanisme kolaborasi yang
dapat mempermudah PTS kecil untuk menjalin kerjasama dengan
instansi dan PT besar. PTS kecil dengan keterbatasan sumber daya
manusia, sarana prasarana, dan terutama PTS dengan letak
geografis terpencil tentu memiliki rintangan besar untuk
berkolaborasi dengan instansi besar dan PT Unggulan untuk
mewujudkan kolaborasi yang produktif dan bermakna bagi
pengembangan keilmuan dan pengalaman mahasiswa. Tanpa
adanya mekanisme yang jelas serta adanya visi bersama antara
Kemendikbud dengan Kementerian lainnya, kebijakan ini dirasa
hanya bagus secara aturan tetapi memunculkan problem pada
tataran praktisnya.
Percepatan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Go
Internasional dengan kebijakan PTN Badan Hukum (PTN-BH).
Kebijakan PTN-BH memberikan harapan besar bagi perguruan
tinggi untuk mewujudkan perguruan tinggi yang siap bersaing
secara internasional. Kebijakan PTN-BH sebelumnya dirasakan
sangat rigit dan berat, diantaranya adalah a) PTN harus mendapat
akreditasi A sebelum dapat menjadi PTN-BH, mayoritas prodi
PTN harus terakreditasi A sebelum menjadi PTN-BH, PTN Badan
Layanan Umum (PTN BLU) dan Satker kurang memiliki
fleksibilitas finansial, kurikulum dan kebijakan dibandingkan PTN-
BH. Pada kebijkan “merdeka belajar, kampus merdeka” ini,
Nadiem memangkas birokrasi dan persyaratan yang rumit, tidak
adanya Batasan minimal akreditasi, dan fleksibilitas waktu
pengajuan PTN-BH selama PTN merasa siap dan memenuhi
kualifikasi untuk alih status. Kebijakan ini diharapkan dapat
memacu PTN untuk menjadi world class university. Saat ini hanya
terdapat 8 kampus negeri yang masuk dalam 1000 kampus
internasional terbaik (8 Universitas Negeri Indonesia Yang Masuk

162 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


162 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0
Peringkat 1.000 Terbaik Dunia, n.d.). Melihat realitas ini menjadi
keharusan bagi pemerintah untuk berani mematok target tinggi
bagi PTN dengan kemudahan birokrasi dan pasokan anggaran yang
cukup untuk go international, tidak hanya mampu bersaing di
dalam negeri.
Mekanisme Magang di Luar Program Studi. Kebijakan
magang selama 3 semester di luar prodi dan PT merupakan
kebijakan visioner Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk
memberikan kebebasan bagi mahasiswa dalam usaha pengembang-
an keilmuan dan pengalaman kerja dan bersosial. Pada tataran
praktisnya muncul beberapa persoalan bagi PTS kecil atau PT
dengan letak geografis terpencil, terluar, dan tertinggal. Selain
masalah mekanisme kolaborasi antara prodi dengan PT dan prodi
besar (merujuk pada tingkatan akreditasi) serta instansi besar sesuai
pada poin 2 di atas, muncul pertanyaan di kalangan prodi
dan mahasiswa, bagaimana mekanisme pembiayaan pada kegiatan
magang tersebut. PT dan prodi dengan kategori di atas mayoritas
memiliki mahasiswa dengan tingkat ekonomi keluarga menengah
kebawah, pembiayaan magang menjadi permasalahan besar.
Kegiatan magang setidaknya membutuhkan biaya transportasi dan
biaya penunjang kegiatan lainnya.

Landasan Hukum Kampus Merdeka


Adapun lima Peraturan Mendikbud (Permendikbud) sebagai
landasan penerapan Merdeka Belajar Kampus Merdeka yaitu
Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi, Permendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang
Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi
Badan Hukum, Permendikbud No. 5 tahun 2020 tentang Akreditasi
Program Studi dan Perguruan Tinggi, Permendikbud No.6 tahun
2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 163


Perguruan Tingggi Negeri dan Permendikbud No. 7 tentang
Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri dan
Pendirian, Perubahan dan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi
Swasta (Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).

V. Penutup
A. Simpulan
Kebijakan visioner “Merdeka Belajar, Kampus Merdeka”
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meliputi 1) pembukaan
program studi baru, 2) sistem akreditasi perguruan tinggi, 3)
kebebasan menjadi PTN-BH, dan 4) hak belajar tiga semester di
luar program studi, memberikan harapan besar bagi PTS untuk
mampu mengembangkan kualitasnya secara cepat. Kebijakan yang
visioner ini layak untuk diapresiasi, terlebih dengan latar belakang
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bukan dari kalangan
dunia pendidikan mampu memberikan kebrakan kebijakan yang
dirasakan berbagai kalangan mampu membawa kemajuan
perguruan tinggi Indonesia. Diantara tantangan implementasi
kebiakan “Merdeka Beljar” adalah 1) mekanisme kolaborasi antara
PTKIS dan program studi dengan pihak luar kampus; 2) perubahan
paradigma pada PTN berbadadan hukum untuk bersaing pada skala
internasional; 3) mekanisme magang di luar program studi. Strategi
yang perlu dilakukan agar kebijakan ini efektif, produktif dan
efisien selayaknya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berkenan
mendengarkan dan mempertimbangkan saran, masukan dari
berbagai kalangan, dan engan latar belakang non pendidikan dari
Menteri perlu dilakukan kajian secara mendalam terhadap
karakteristik pendidikan di Indonesia, permasalahan pendidikan
pada era sebelumnya, dan kondisi letak geografis PT yang berbeda-
beda untuk dijadikan dasar dalam perumusan kebijakan lanjutan

164 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


yang menyempurnakan beberapa kekurangan pada 4 kebijakan
“Merdeka Belajar, Kampus Merdeka” yang sudah dirumuskan
sebelumnya.

Implikasi
Imlikasi dalam makalah kampus merdeka ini adalah bahwa
diterapakanya kampus merdeka akan mengubah sistem pendidikan
tinggi di seluruh Indonesia. Dampaknya sangat luar biasa, maka
dengan ini para memanggu kepentingan perguruan tinggi Negeri
ataupun swasta harus bekerja keras untuk menyukseskan rogra
kampus merdeka, pertukaran mahasiswa dan perubahan kurikulum
yang harus diperhatikan di perguruan tinggi masing-masing.
Sehingga perguruan tinggi akan sangat berkaitan satu sama lain.

Saran.
Berdasarkan makala yang dbahas, dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Mahasiswa diharapkan dapat mempersipakan untuk menghadapi
kampus merdea karena kuliah tidak harus dimana kampus
mendafar atapi ada sebagian matakulih di tempuh di kampus
lain.
2. Dosen diharapkan selalukreatif dalam membuat sistem pem-
belajarannya karena akan menghadapi pertukaran mahasiswa
sehingga dosen harus berinovasi.
3. Bagi pemerintak lebih tegas dalam membuat peraturan
mengenai kampus merdeka.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 165


DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 2020. Warisan
Terbesar Sebuah Perguruan Tinggi adalah dapat
Menghasilkan Lulusan sebagai Teladan di Keluarga,
Tingkat Nasional, Regional dan Global. Jakarta: Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi.
Mukhlis. 2020. Landasan Filosofis dan Analisis terhadap
Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Jurnal:
Syntax Transformation. Vol. 1, No. 3 Mei 2020 (40-46).
Priatmoko. S, Dzakiyyah. N.I. 2020. Relevansi Kampus Merdeka
terhadap Kompetensi Guru Era 4.0 dalam Perpektif
Experiential Learning Teory. Jurnal: Jurnal Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah. Vol 4 No. 1 (1-14).
Siregar. N, dkk. 2020. Konsep Kampus Merdeka Belajar di Era
Revolusi Industri 4.0. Jurnal: Fitrah (Jurnal of Islamic
Edukation) Vol: 1 No: 1 Juli 2020 (141-157).
Suteja. J. 2020. Kampus Merdeka: Merdeka Belajar. Artikel:
https://www.researchgate.net/publication/342516231

166 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


BAGIAN KETUJUH
MEROSOTNYA HASIL PISA
INDONESIA 2018 APA DAMPAK
DAN FAKTOR
PENYEBABNYA?
Shela Monica, Muhammad Ridho Nugroho,
Wahidin, Desi Tri Anggereni

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Program Penilaian Pelajar Internasional (Bahasa Inggris:
Program for International Student Assessment, disingkat PISA)
adalah penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga-tahunan,
untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia
15 tahun, dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Organisasi
untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD). Tujuan
dari studi PISA adalah untuk menguji dan membandingkan prestasi
anak-anak sekolah di seluruh dunia, dengan maksud untuk
meningkatkan metode-metode pendidikan dan hasil-hasilnya
(Pusmenjar, 2019).
Saat ini Program PISA yang dilakukan oleh OECD sudah
dilaksanakan sebanyak tujuh siklus, dengan berupaya menentukan

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 167


apa yang penting untuk diketahui dan dapat dilakukan oleh warga

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 167


negara. PISA menilai sejauh mana siswa berusia 15 tahun yang
hampir mendekati masa akhir wajib belajar mereka telah
memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang penting untuk
berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern. Penilaian tiga
tahunan berfokus pada mata pelajaran inti membaca, matematika
dan ilmu.Kemahiran siswa dalam domain inovatif juga dinilai;
pada 2018, ini domain adalah kompetensi global. Penilaian tidak
hanya memastikan apakah siswa dapat mereproduksi pengetahuan;
itu juga memeriksa seberapa baik siswa dapat mengekstrapolasi
dari apa yang mereka telah pelajari dan dapat menerapkan
pengetahuan itu dalam lingkungan, baik di dalam maupun di luar
sekolah. Pendekatan ini mencerminkan fakta bahwa ekonomi
modern menghargai individu bukan untuk apa yang mereka
ketahui, tetapi untuk apa yang dapat mereka lakukan dengan apa
yang mereka ketahui. (OECD, 2019).
PISA merupakan studi yang diselenggarakan setiap tiga
tahun sekali, yaitu pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2012 dan
seterusnya. Indonesia mulai sepenuhnya berpartisipasi sejak tahun
2001.Pada setiap siklus, terdapat 1 domain major sebagai fokus
studi.PISA tidak hanya memberikan informasi tentang benchmark
Internasional tetapi juga informasi mengenai kelemahan serta
kekuatan siswa beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
(Pusmenjar, 2019).
PISA adalah program internasional paling komprehensif
dan ketat untuk menilai kinerja siswa dan untuk mengumpulkan
data tentang siswa, keluarga dan faktor kelembagaan yang dapat
membantu menjelaskan perbedaan kinerja. Keputusan tentang
ruang lingkup dan sifat penilaian dari informasi latar belakang yang
akan dikumpulkan dibuat oleh para ahli terkemuka di negara-
negara yang ikut berpartisipasi, dan dikendalikan bersama oleh
pemerintah atas dasar bersama dengan kepentingan yang didorong
oleh kebijakan. Upaya dan sumber daya yang substansial

168 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


dikhususkan untuk mencapai budaya dan keluasan linguistik dan
keseimbangan dalam materi penilaian. Mekanisme jaminan kualitas
yang ketat diterapkan dalam penerjemahan, pengambilan sampel
dan pengumpulan data. Sebagai konsekuensi, hasil dari PISA
memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi.
Fitur unik PISA meliputi: (1) Orientasi kebijakan, yang
menghubungkan data hasil belajar siswa dengan data tentang latar
belakang dan sikap siswa terhadap pembelajaran, dan faktor-faktor
kunci yang membentuk pembelajaran mereka di dalam dan di luar
sekolah; ini memperlihatkan perbedaan dalam kinerja dan meng-
identifikasi karakteristik siswa, sekolah dan sistem pendidikan
ituberkinerja baik (2) Konsep inovatif "keaksaraan", yang mengacu
pada kapasitas siswa untuk menerapkanpengetahuan dan ke-
terampilan, dan untuk menganalisis, menalar dan berkomunikasi
secara efektif sebagaimana mereka mengidentifikasi, menafsirkan,
dan memecahkan masalah dalam berbagai situasi(3) Relevansi
dengan pembelajaran seumur hidup, karena PISA meminta siswa
untuk melaporkan motivasi mereka untuk belajar, keyakinan
mereka tentang diri mereka sendiri dan strategi belajar mereka (4)
Regular, yang memungkinkan negara untuk memantau kemajuan
mereka dalam memenuhi kunci tujuan pembelajaran (5) Cakupan
yang luas, dalam PISA 2018, mencakup seluruh 37 negara OECD
dan 42 negara mitra dan ekonomi. (Programme and Assessment,
2019).
Keterlibatan Indonesia dalam Programme for International
Student Assessment (PISA) adalah dalam upaya melihat sejauh
mana program pendidikan di negara kita berkembang dibanding
negara-negara lain di dunia. PISA merupakan suatu studi bertaraf
internasional yang diselenggarakan oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) yang mengkaji
kemampuan berpikir siswa pada rentang usia 15 tahun yang diikuti
oleh beberapa negara peserta, termasuk Indonesia. Program ini

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 169


dikembangkan untuk mengukur apakah siswa pada usia tersebut
telah menguapsai apa yang seharusnya mampu dicapai, serta untuk
mengetahui apakah siswa mampu mengaplikasikan pengetahuaan
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Soal-soal PISA bukan hanya
menuntut kemampuan dalam penerapan konsep saja, tetapi lebih
kepada bagaimana konsep itu dapat diterapkan dalam berbagai
macam situasi (Kurniati, et.al , 2009)
Wardhani (2015) mengemukakan bahwa soal PISA
menuntut kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Selanjut-
nya Setiawan (2014) mengemukakan soal PISA selain menuntut
kemampuan penalaran juga menuntut kemampuan analisis,
evaluasi, dan kreasi dalam pengerjaannya.Berdasarkan hasil survei
PISA tahun 2012 Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru yang
berada di ranking terbawah. Rata-rata skor matematika anak-anak
Indonesia 375. Indonesia hanya menduduki rangking 64 dari 65
negara dengan rata-rata skor 375, sementara rata-rata skor
internasional adalah 500 (OECD, 2019). Hal ini menunjukkan
kemampuan siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal yang
menuntut kemampuan analisis, evaluasi, kreasi, serta logika dan
penalaran sangat kurang. Pohl (Lewy, Zulkardi, & Aisyah, 2009)
menyatakan bahwa kemampuan melibatkan analisis, evaluasi, dan
kreasi dianggap sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Menurut Brookhart (2010, p. 29) kemampuan berpikir tingkat
tinggi (HOTS) meliputi kemam-puan logika dan penalaran (logic
and reasoning), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), dan
kreasi (creation), pemecahan masalah (problem solving), dan peng-
ambilan keputusan (judgement).
Hal ini menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam
menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan analisis,
evaluasi, kreasi, serta logika dan penalaran sangat kurang.
Berkaitan dengan dengan ini, penulispun tertarik untuk membuat
suatu kajian mendalam terkait hasil PISA 2018 dam akan dikupas

170 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


secara jelas, apa dampak dan faktor penyebab dari rendahnya hasil
PISA Indonesia, diharapkan makalah ini dapat membuka wawasan
pembaca tentang tantangan terbesar yang sedang dihadapi dunia
pendidikan Indonesia sekarang ini.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana hasil PISA terbaru untuk Indonesia ?
2. Bagaimana respon publik terhadap rendahnya hasil PISA
Indonesia?
3. Apa dampak dan faktor penyebab rendahnya hasil PISA
Indonesia?

Tujuan
Mengacu pada pada permasalahan diatas penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui :
1. Hasil PISA terbaru untuk Indonesia.
2. Bagaimana respon publik terhadap rendahnya hasil PISA
Indonesia.
3. Bagaimana dampak dan faktor penyebab rendahnya hasil PISA
Indonesia.

Manfaat
Dengan diterapkannnya tujuan diatas, penelitian ini
diharapkan dapat memebrikan mnfaat, baik mnafaat praktis.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Menambah wawasan serta pengetahuan penulis di bidang
PISA

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 171


b. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang PISA
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat di pergunakan sebagi bahan
reference bagi tenaga pendidik yang membutuhkan.
b. Hasil penelitian ini juga dapat dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi lembaga sekolah untuk membuat
kebijksasam yang berhubungan dengan masalah sumber
daya manusia, khususnya guru.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Hasil PISA Indonesia
Sejak tahun pertama keikutsertaannya di PISA pada tahun
2000, Indonesia selalu berada pada urutan paling bawah dalam
survei tersebut, tidak heran lagi pada tahun 2018 ini, Indonesia
bahkan tidak bisa melewati rata-rata OECD. Selain itu Tohir (2020)
mengemukakan bahwa posisi Indonesia pada PISA 2018 lebih
buruk dari sebelumnya yaitu pada tahun 2015. Rincian hasil PISA
dan posisi Indonesia pada kinerjanya di bidang membaca,
matematika dan sains disajikan pada gambar di bawah ini:

172 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Gambar 1. Hasil PISA 2018
Sumber: Database OECD PISA 2018

CATATAN:
 Lingkaran biru menunjukkan standar nilai rata-rata PISA di
seluruh negara dengan data yang valid di semua penilaian
PISA.
 Lingkaran merah menunjukkan nilai kinerja rata-rata di
Indonesia.
 Lingkaran hitam nilai rata-rata negara lain

Berdasarkan gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa


siswa di Indonesia memperoleh nilai lebih rendah dari rata-rata
OECD dalam bidang membaca, matematika dan sains. Selain itu,
dibandingkan dengan rata-rata OECD, sebagian kecil siswa di
Indonesia berprestasi pada tingkat kemahiran tertinggi (Level 5
atau 6) dalam setidaknya satu mata pelajaran; pada saat yang sama,
sebagian kecil siswa mencapai tingkat kemahiran minimum (Level

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 173


2 atau lebih tinggi) dalam setidaknya satu mata pelajaran (OECD,
2019).

Fakta-Fakta Yang Terkuak Dibalik Hasil Pisa 2018


1. Kemampuan Membaca Siswa di Indonesia
Menurut PISA 18, 30% siswa di Indonesia mencapai
setidaknya kemahiran Level 2 dalam membaca (rata-rata OECD:
77%). Dengan kata lain, siswa tersebut minimal dapat meng-
identifikasi ide pokok teks dengan panjang sedang, kemudian
mereka juga dapat menemukan informasi berdasarkan kriteria
eksplisit, meski terkadang kompleks, dan dapat merefleksikan
tujuan dan bentuk teks jika diarahkan secara eksplisit. lakukan itu.
Selain itu, tidak semua siswa kecewa, karena ada persentase siswa
di Indonesia yang juga memiliki performa terbaik dalam membaca
yang dapat diabaikan, yang menunjukkan bahwa mereka mencapai
Level 5 atau 6 dalam tes membaca PISA (rata-rata OECD: 9%).
Pada level ini, siswa dianggap dapat memahami teks panjang yang
diberikan kepada mereka berkaitan dengan konsep abstrak atau
kontra intuisi, dan juga membangun perbedaan antara fakta dan
opini. Indonesia harus puas dengan fakta bahwa dalam 20 sistem
pendidikan, termasuk yang ada di 15 negara OECD, lebih dari 10%
siswa berusia 15 tahun berprestasi tinggi.
2. Fakta Penguasaan Matematika Siswa di Indonesia
Hasil PISA sesuai OECD (2019) menunjukkan ada 28%
siswa di Indonesia mencapai Level 2 atau lebih tinggi dalam
matematika sedangkan OECD rata-rata 76%. Minimal, dapat
dikatakan bahwa siswa tersebut dapat menafsirkan dan mengenali,
tanpa instruksi langsung, bagaimana suatu situasi (sederhana) dapat
direpresentasikan secara matematis. Selanjutnya, ada sekitar 1%
siswa di Indonesia yang mendapat nilai di Level 5 atau lebih tinggi

174 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


dalam matematika sedangkan di OECD rata-rata adalah 11%.
Sementara itu, ada enam negara Asia dan ekonomi memiliki porsi
pelajar terbesar yang melakukannya, yaitu Beijing, Shanghai,
Jiangsu dan Zhejiang (China) (44%), Singapura (37%), Hong Kong
(China) (29%) , Makau (Tiongkok) (28%), Tionghoa Taipei (23%)
dan Korea (21%).
3. Kemampuan Penguasaan Sains bagi Siswa Indonesia
Berdasarkan hasil PISA 2018 (OECD, 2019), sekitar 40%
siswa di Indonesia hanya mencapai Level 2 atau lebih tinggi dalam
bidang sains atau mencapai rata-rata OECD sebesar 78%. Minimal,
siswa ini dapat mengenali penjelasan yang benar untuk fenomena
ilmiah yang sudah dikenal dan dapat menggunakan pengetahuan
tersebut untuk mengidentifikasi, dalam kasus sederhana, apakah
suatu kesimpulan valid berdasarkan data yang diberikan. Fakta lain
menunjukkan bahwa di Indonesia, persentase siswa yang berada di
peringkat teratas dalam sains dapat diabaikan, dengan kata lain
mereka mahir di Level 5 atau 6 (rata-rata OECD: 7%). Para siswa
ini dapat secara kreatif dan mandiri menerapkan pengetahuan
mereka tentang dan tentang sains ke berbagai situasi, termasuk
situasi yang tidak biasa.
Berkaca dari hasil PISA, ada beberapa peneliti di Indonesia
yang berkonsentrasi dalam mendeskripsikan fenomena ini. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Argina, et al. (2017) berjudul “Hasil
PISA Indonesia: Faktor Apa dan Apa yang Harus Diperbaiki?”
Tunjukkan bahwa setiap 3 tahun sekali Indonesia selalu men-
dapatkan fakta yang hampir sama dan berulang kali mengecewa-
kan pemerintah, guru, ilmuwan, dan seluruh masyarakat Indonesia.
Tabel tren kinerja menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
peringkat yang rendah di PISA tidak hanya pada tahun 2018 tetapi
sayangnya telah dimulai pada awal partisipasi kami sejak tahun
2000. Hal tersebut disajikan dengan jelas pada tabel di bawah ini:

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 175


Gambar 2. Tren Kemampuan Siswa Dalam Membaca,
Matematika Dan Sains
Sumber: Database OECD PISA 2018

CATATAN:
 Garis biru menunjukkan kinerja rata-rata di seluruh negara
yang bergabung di OECD dengan data yang valid di semua
penilaian PISA.
 Garis putus-putus merah menunjukkan kinerja rata-rata di
Indonesia.
 Garis hitam mewakili garis tren untuk Indonesia (garis paling
pas).

Respon Publik Dan Media Menyikapi Hasil PISA Terbaru


Hasil ini menjadikan citra Indonesia buruk di mata dunia
internasional, rendahnya nilai PISA untuk Indonesia, membuat
Indonesia dinilai belum berhasil memberikan pendidikan yang
bermutu dengan standar internasional. Seberapa buruk efeknya bisa
dilihat di koran dan bahkan dengan mudah ditemukan di internet
seperti kutipan gambar di bawah ini:

176 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Sumber: Prastiwi (2019)
Menanggapi gambar tersebut, semoga pemerintah dapat
menangani media khususnya dalam memberitakan hasil PISA,
bahasa yang digunakan dalam mendeskripsikan hasil PISA dinilai
kurang tepat. Richar Herman dari Policy Effect of PISA
mengatakan bahwa persepsi media memiliki pengaruh yang besar
ketimbang kepentingan birokrasi, lobby dalam kongres dan tekanan
internasional (dikutip dalam Pratiwi, 2019). Judul surat kabar
menekankan bahwa PISA dianggap memiliki kredibilitas yang
tinggi sehingga mungkin dapat dijadikan pedoman dalam menetap-
kan atau menyusun kebijakan pemerintah seperti modifikasi
kurikulum. Hal tersebut tentunya akan memperburuk sistem
pendidikan Indonesia dan hasil PISA tidak kunjung membaik.

III.HASIL DAN PEMBAHASAN


Menanggapi hasil PISA 2018, Harususilo (2019) menyatakna
ketidakmeratanya kualitas pendidikan di Indonesia khususnya bagi
daerah terpencil juga memberikan pengaruh terhadap nilai rata-
rata PISA Nasional, contohnya nilai siswa yang berada di Provinsi
Yogyakarta dan DKI pada dasarnya telah memiliki skor tinggi
yaitu 411 dan 410 dalam kemampuan membaca, artinya kemampu-
an membaca di daerah tersebut setara dengan kemampuan mem-

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 177


baca di Malaysia dan Brunei Darussalam. Namun sayangnya nilai
rata-rata di daerah lain cukup rendah sehingga jika di kalkulasikan
nilain rata-rata nasional menjadi 371 saja. Menyikapi hasil PISA
tersebut, peningkatan kualitas pendidikan di berbagai bidang, saat
ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah Indonesia. Ada
beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi rendahnya posisi
Indonesia dalam PISA. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi
yang mendalam dan perhatian besar terutama dari segi sistem
pendidikan, dana pendidikan, kualitas dan pemerataan guru, serta
desentralisasi pendidikan.
A. Analisis Dari Segi Sistem pendidikan
Berkaitan dengan sistem pendidikan Indonesia, Ramly
(dikutip dalam Agrina, 2017) mengusulkan beberapa isu kritis
pendidikan di Indonesia seperti ketidakmampuan sistem evaluasi,
kewenangan penyelenggaraan pendidikan untuk daerah yang
menghadapi divergensi, rendahnya kemampuan dan kompetensi
guru dalam memperoleh materi pembelajaran, degradasi orientasi
pendidikan di mana mengubah fokus hanya pada transfer
pengetahuan tanpa mempertimbangkan aspek moral dan perilaku.
Dengan demikian, secara umum dapat diklaim bahwa ada muncul-
nya masalah pendidikan seperti:
1. Evaluasi pembelajaran
Hasil evaluasi digunakan sebagai refleksi baik bagi siswa
maupun guru tentang kinerjanya. Meskipun Ujian Nasional me-
rupakan salah satu indikator keberhasilan dalam sistem pendidikan
nasional, namun keberadaannya masih kontroversial, namun hal
tersebut dianggap tidak tepat digunakan dalam menentukan
kompetensi siswa. Sebagian besar masalah yang dinyatakan dalam
ujian nasional hanya menilai pengetahuan pengakuan, di mana
hanya membutuhkan hafalan alih-alih analisis. Sebaliknya, survei
PISA dirancang untuk menyelidiki apakah siswa dapat menerapkan

178 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah dalam situasi dan
masalah kehidupan nyata. Tentu saja, ada gab atau kontra dalam
trik tes, karena kedua tes dibangun secara berbeda dalam hal
konten dan tujuan.
2. Tujuan pembelajaran
Tujuan belajar mengajar berurusan dengan hasil yang
diharapkan dimiliki oleh siswa setelah proses belajar mengajar
yang harus sejalan dengan kurikulum. Namun, fenomena backwash
yang disebabkan oleh UAN atau PISA sendiri membuat tujuan
mengajar telah dapat dipertukarkan dengan tujuan pengujian
mungkin muncul bersamaan dengan proses pembelajaran.
Pendidikan di era ini diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk
lulus tes. Buruknya, pendidikan Indonesia tidak hanya berfokus
pada mendapatkan pengetahuan melainkan menjadi alat bagi
mahasiswa untuk mengumpulkan nilai baik bagi kesuksesan
akademik mereka (Suherdi, 2012).
3. Proses pembelajaran
Proses belajar mengajar harus dirancang se-menarik dan
semotivasi mungkin sehingga siswa akan memiliki motivasi besar
untuk bersekolah dan belajar secara efektif. Oleh karena itu, kita
perlu mengubah paradigma kita bersama dari paradigma bahwa
belajar hanya tentang mendengarkan, membuat catatan dan meng-
hafal paradigma di mana pembelajaran adalah proses yang berpusat
pada siswa yang menetapkan pembelajaran yang menggembirakan.
4. Kurikulum
Kurikulum seharusnya kontekstual, dinamis dan fleksibel,
namun tidak disarankan untuk diubah. Sayangnya, itu terjadi di
Indonesia. Kurikulum berubah untuk waktu yang sangat singkat. Di
sisi lain, kita perlu waktu lama untuk mengidentifikasi, me-
ngetahui, dan mengalami perubahan, apakah itu bekerja atau tidak,

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 179


apakah itu berhasil atau tidak dan bahkan apakah itu memenuhi
kebutuhan atau tidak. Pratiwi (2019) tentang hak penelitiannya
"Efek Program PISA di kurikulum di Indonesia" atau dapat
diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "EFEK PISA pada
Kurikulum di Indonesia". Makalah ini mengungkapkan bahwa hasil
PISA berhasil mempengaruhi kurikulum Indonesia, ada begitu
banyak modifikasi atau adaptasi pada kurikulum kami sebelum dan
sesudah Indonesia berpartisipasi di PISA. Dengan kata lain,
backwash PISA membuat tujuan mengajar telah dipertukarkan
dengan tujuan pengujian (PISA). Menanggapi tantangan ini, kami
sepakat bahwa meningkatkan peringkat PISA penting untuk
menjadi prioritas tetapi yang paling penting adalah memastikan
bahwa tujuan mengajar tidak hanya mempersiapkan siswa untuk
menghadapi tempat kerja, dan kewarganegaraan, tetapi juga mem-
persiapkan pendidikan sebagai alat bagi siswa untuk mencapai
kesuksesan dalam pembelajaran, pekerjaan, dan kehidupan mereka.

Dana Pendidikan
Beban pada sektor Pendidikan masih rendah dibandingkan
dengan cakupan wilayah Indonesia. Anggaran minimum untuk
pendidikan minimal 20%, oleh karena itu, Pemerintah Indonesia
harus meningkatkan anggaran untuk sektor Pendidikan dari tahun
ke tahun untuk memenuhi kebutuhan sektor pendidikan.
Sayangnya, seperti dikutip dalam Kemenkeu (2017), anggaran
2017 tetap konstan sebesar 20% (416,1 dari 2.080,5 miliar rupiah).
Disamping itu, pengelolaan anggaran untuk masing-masing sektor
harus dijaga dengan baik. Seperti disebutkan Ashari (2014) bahwa
dana pendidikan digunakan untuk berbagai keperluan seperti
beasiswa bagi siswa di bawah hak istimewa, fasilitas pendidikan
rehabilitasi, bantuan guru, gaji guru, dana pemberkahan, fasilitas
pendidikan rehabilitasi yang telah rusak akibat bencana alam, dll.
Dengan demikian, dalam rangka menciptakan pendidikan yang

180 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


lebih baik bagi Indonesia, anggaran untuk pendidikan harus tepat
untuk menutupi seluruh kebutuhan pendidikan nasional dengan
segala konsekuensinya.

Kualitas dan Kesetaraan Guru


Pada tahun 2015 pemerintah Indonesia telah melakukan Uji
Kompetensi Guru (UKG) di mana hasilnya dirilis pada awal 2016.
Tes UKG terdiri dari 60 pertanyaan dan mencakup dua
keterampilan; profesional dan pedagogi (10 modul). Berdasarkan
hasilnya, menunjukkan bahwa sebagian besar guru masih di bawah
standar yang diperlukan, rata-rata nasional adalah 53,02, rata-rata
untuk skill profesional adalah 54,77 dan pedagogi 48,94, sedangkan
passing grade harus 55 (Kemendikbud, 2015). Faktor lainnya
adalah perbedaan infrastruktur antar provinsi di Indonesia. Karena
Indonesia adalah negara besar dengan kepulauan Seribu mulai dari,
tampaknya terlalu sulit bagi para pemangku kepentingan untuk
menyediakan infrastruktur yang baik dan fasilitas pendidikan yang
setara untuk setiap wilayah di negara ini. Jarak yang jauh ini
membawa perbedaan infrastruktur antara sekolah di perkotaan dan
daerah pedesaan atau terpencil.
Selain itu, permasalahan lain seperti kurangnya akses jalan
menuju sekolah, sistem daya yang hanya mengandalkan tata surya
dan buku pelajaran relatif terjadi di pedesaan. Kondisi ini menyeret
guru untuk menjadi lebih kreatif, inovatif, kritis dan menjadi agen
perubahan di sekolah mereka yang memimpin siswa untuk
mengembangkan pemikiran kritis siswa, memotivasi mereka,
membangun rasa ingin tahu mereka untuk menangani masalah
dalam kondisi sulit apa pun dan mendidik siswa untuk menghadapi
tantangan.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 181


Desentralisasi Pendidikan
Masalah tentang desentralisasi pendidikan berkaitan dengan
pengiriman otoritas ke setiap daerah dan setiap tingkat
implementasi pendidikan. Terkait bisnis ini, Indonesia memberikan
lini kepada seluruh daerah bahkan sekolah untuk menyelenggara-
kan implementasi dan pengembangan pendidikannya sendiri.
Penerapan desentralisasi menekankan pada distribusi kewenangan
dalam membuat kebijakan, pendidikan mengusulkan lima jenjang
hierarki: Nasional, Provinsi, dan Kabupaten, Kecamatan (kelompok
sekolah) dan Sekolah. Itu bisa terdengar karena setiap sekolah
dapat mengatur, mengatur, mengelola, dan mengontrol rencana
mereka sendiri berdasarkan kebutuhan mereka. Pasalnya, setiap
daerah atau daerah atau bahkan setiap sekolah memiliki
karakteristik tersendiri dalam hal geografi, ekonomi dan otonomi.

IV. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil PISA Indonesia kurang memuaskan karena menduduki
peringkat dibawah jauh nilai rata-rata PISA itu sendiri. Itu
berlaku keseluruh mata pelajaran yang menjadi subyek survey
PISA tersebut.
2. Bersarkan hasil analisis respon publik yang di representasikan
dengan berita-berita berkaitan dengan PISA yang di muat di
surat kabar online, terlihat jelas bahwa rendahnya nilai PISA
sangat memukul masyarakat Indonesia dan itu juga berimbas
dengan buruknya pendidikan Indonesia di kanca international.
3. Rendahnya PISA ini memunculkan spekulasi terhadap faktor
yang mempengaruhi, empat faktor utama yang mempengaruhi
stagnannya posisi Indonesia di PISA selama keikutsertaannya:
Sistem Pendidikan, Dana Pendidikan, Kualitas dan Pemerataan

182 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0


Guru dan Desentralisasi Pendidikan. Faktor-faktor ini dapat
digunakan sebagai acuan bagi seluruh praktisi pendidikan dan
pemangku kepentingan untuk mengembangkan cara alternatif
untuk mengatasi stagnasi tersebut. Pendidikan harus dilakukan
sejalan dengan karakteristik, tuntutan dan kebutuhan abad
ini.Semua elemen dan pemangku kepentingan harus berpikir
kritis kepada kalangan alternatif yang lebih luas mungkin atau
berpotensi diterapkan untuk membawa pendidikan yang lebih
baik di Indonesia.

Implikasi
Implikasi dalam makalah ini adalah dibutuhkannya
perbaikan sistem pendidikan di Indonesia dengan cara terstrukutur,
terukur dan terencana sehingga hasil PISA di Indonesia dapat
ditingkatkan di masa yang akan datang. Pemerintah melalui
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah membuat lima
strategi yang disiapkan untuk mengerek nilai PISA dan kualitas
SDM hasil pendidikan Indonesia, yaitu dengan stategi sebagai
berikut : 1). Transformasi kepemimpinan sekolah 2). Transformasi
pendidikan dan pelatihan guru 3). Penyederhanaan kurikulum 4).
Menerapkan standar penilaian global (Idhom, 2020).

Saran
Ada beberapa saran dalam makalah yang berjudul hasil
PISA 2018: dampak dan tantangan terhadap Indonesia ini adalah
sebagai berikut :
1. Hasil PISA terbaru untuk Indonesia ini agar dapat dijadikan
rujukan untuk memperbaiki hasil PISA di Indonesia di masa
yang akan datang.

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 183


2. Respon publik terhadap rendahnya hasil PISA Indonesia
menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Indonesia
khususnya dalam dunia Pendidikan bahwa pendidikan di
Indonesia harus terus berinovasi agar lebih baik lagi.
3. Dampak dan faktor penyebab rendahnya hasil PISA Indonesia
ini bisa menjadikan rujukan bagi dunia pendidikan terutama
pemerintah dalam menentukan kebijakan pendidikan agar
menjadikan hasil PISA sebagai rujukan dan landasan dalam
membuat kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA
Argina, A. W., Mitra, D., Ijabah, N., & Setiawan, R. (2017, June).
INDONESIAN PISA RESULT: WHAT FACTORS AND
WHAT SHOULD BE FIXED?.In Proceedings Education
and Language International Conference (Vol. 1, No. 1).
Ashari, H. (2014). Anggaran pendidikan 20%, apakah sudah
dialokasikan. Artikel Publikasi Anggaran dan
Perbendaharaan. (online).
Brookhart, S. M. (2010). How To Assess Higher- Order Thinking
Skills In Your Classroom. Alexandria: ASCD.
Chamisah, (2016), TIMSSand PISA-How thehelp the improvement
of education assessment in Indonesia, Retrieved from
https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/aricis/article/view/935
/0
Harususilo, Y, E. (2019). Skor PISA Melorot, Disparitas dan Mutu
Guru Penyebab Utama. Diunduh pada 2020 Desember 31.
Tersedia

di
https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/07/13524501/sko
r-pisa-melorot-disparitas-dan-mutu-guru-penyebab- utama?
page=all.\
184 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0
184 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0
Idhom, Addi, M. (2020). Nadiem Ungkap 5 Strategi Untuk
Kerek Skor PISA Indonesia. Retrieved from
https://tirto.id/nadiem-ungkap-5-strategi-untuk-
kerek-skor-pisa- indonesia-eKF7
Kemenkeu.(2017). Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun 2017.Retrieved from
http://www.kemenkeu.go.id/apbn2017.
Kurniati, D., Harimukti, R. and Jamil, N. A. (2016) „Kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa SMP di Kabupaten Jember
dalam menyelesaikan soal berstandar PISA‟, Jurnal
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 20(2), pp. 142–155.
doi: 10.21831/pep.v20i2.8058.
Lewy, Zulkardi, & Aisyah, N. (2009). Pengembangan soal untuk
mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi pokok
bahasan barisan dan deret bilangan di kelas IX akselerasi
SMP Xaverius Maria Palembang. Jurnal Pendidikan
Matematika, 3(2). Retrieved from
http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/
jpm/article/view/326/89 jpm/article/view/326/89
OECD(2019),PISA2018 Results (VolumeI): What Students Know
and Can Do, PISA,OECD Publishing, Paris, Retrieved
fromhttps://doi.org/10.1787/5f07c754-en
OECD(2019),PISA2018 Results (VolumeII):Where All Students
Can Succeed, PISA, OECD Publishing, Paris, retrieved
fromhttps://doi.org/10.1787/b5fd1b8f-en
Pratiwi, I. (2019), EfekProgramPISATerhadapKulikulum
di Indonesia.Retrievedfrom
https://www.researchgate.net/publication/334393626_EFE
K_PROGRAM_PISA_TERHA
DAP_KURIKULUM_DI_INDONESIA

ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0 185


Programme. T. O. and Assessment, I. S. (2019). „1 . What is
PISA ?’, pp. 11–20.
Pusmenjar (2009). Tentang Pisa. Retrieved from
https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/tentang-pisa/
Ramly,N.(2005).MembangunPendidikanyangMemberdayakandan
Mencerahkan.Jakarta: Grafindo.
Setiawan, H. (2014). Soal Matematika Dalam PISA Kaitannya
Dengan Literasi Matematika Dan Keterampilan Berpikir
Tingkat Tinggi.In Prosiding Seminar Nasional Matematika,
Universitas Jember.
Suherdi, D. (2012). Towardsthe 21st Century English Teacher
Education: AnIndonesian Perspective.Bandung: Celtic
Press.
Wardhani, S. (2015).Pembelajaran dan penilaian aspek pemahaman
konsep, penalaran dan komunikasi, pemecahan masalah.
Retrieved April 23, 2015, from
http://p4tkmatematika.org/file/PRODUK/PAKET
FASILITASI/SMP/Standar Penilaian Pendidikan.pdf

186 ANALISIS PEDAGOGIS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA 4.0

Anda mungkin juga menyukai