Anda di halaman 1dari 164

Pelayanan Publik

Bagi Disabilitas
Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari
Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi
pada Sektor Pelayanan Publik
Pelayanan Publik
Bagi Disabilitas
Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari
Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi
pada Sektor Pelayanan Publik
Inovasi Pelayanan Publik Bagi Disabilitas
Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi

Tim Penulis
Novita Anggraeni
Sad Dian Utomo

Editor
Maya Rostanty

Kontributor
1. Bejo Untung
2. Diah Mardhotillah
3. Henny Warsilah
4. Nurjanah
5. Rohidin Sudarno
6. Sumyati
7. Wawanudin

Pengulas
1. Ade Siti Barokah
2. Rani Hapsari

Layout:
Agus Wiyono

Penerbit:
PATTIRO
Pusat Telaah dan Informasi Regional
Jl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35
Pasar Minggu Jakarta Selatan
Telp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800
Email: info@pattiro.org
Website: www.pattiro.org

“Publikasi ini diterbitkan oleh PATTIRO melalui Program Peduli dengan dukungan
dari The Asia Foundation dan Kedutaan Besar Australia di Indonesia.”

ii
Kata Pengantar
ThE Asia Foundation

S
aat bertanya pada pimpinan masyarakat, tidak jarang kita dengar bahwa di
lingkungan mereka tidak ada anggota masyarakat penyandang disabilitas.
Hal itu dialami mitra The Asia Foundation beberapa tahun lalu, saat mereka
mengumpulkan data awal tentang masyarakat penyandang disabilitas. Pemimpin
masyarakat itu mungkin menyatakan yang sebenarnya – karena dia memang tak
memiliki data. Banyak penyebab mengapa data tak tersedia, namun di antara yang
paling menyedihkan adalah bahwa keluarga tidak melaporkan; mereka malu, takut
distigma dan lain sebagainya. Mereka juga kerap merasa tidak perlu malaporkan.
Lingkaran masalahpun menjadi langgeng: tanpa data, tidak ada layanan; tanpa
layanan, masyarakat tak merasa perlu melaporkan. Data dan layanan publik adalah
dua hal yang saling terkait. Maka, di sinilah langkah kita mulai. Dari pendataan.
Hingga saat ini data yang tersedia belum terintegrasi sehingga tidak mudah
bagi penyedia layanan untuk menjadikannya sebagai rujukan untuk penjangkauan
dan pelayanan. Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS, 2015) menunjukkan 8,56
persen penduduk Indonesia memiliki disabilitas; Survey Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas 2015) menyebut 12.15%, atau setara dengan 30 juta jiwa; dan World
Health Organization (WHO) menyebut 15%.
Lepas dari angka. penyandang disabilitas pada umumnya adalah korban dari
miskonsepsi, stereotype, label dan prasangka yang berakibat pada diskriminasi,
eksklusi, treatment yang keliru, serta perampasan terhadap hak untuk mendapatkan
pendidikan, pekerjaan dan layanan yang setara (Azra, 2017). Stigma negatif yang
menganggap penyandang disabilitas tidak produktif juga menyebabkan hak-hak
dasarnya sebagai warga negara belum diprioritaskan pemenuhannya. Stigma lain
ditimpakan pada orang tua: anak terlahir dengan disabilitas karena kesalahan orang
tua. Lahirnya UU no 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ternyata belum
menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pendidikan, kesehatan, informasi, prasarana yang aksesibel dan hak-hak lainnya.
Studi kolaborasi Pemerintah Australia dengan Indonesia menunjukkan bahwa
orang dengan disabilitas di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang lebih
rendah, akses kesehatan yang lebih buruk, akses permodalan/ekonomi yang

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas iii


sangat kurang dan keterjangkauan terhadap layanan publik yang lebih terbatas
dibandingkan dengan orang tanpa disabilitas (AIPEG, 2017).
Namun demikian, gerakan persamaan hak untuk menuntut akses yang lebih
baik, fisik maupun non fisik, untuk penyandang disabilitas mulai bermunculan.
Pattiro adalah bagian dari gerakan itu, dan The Asia Foundation bangga
mendukung kerja-kerja penting ini. The Asia Foundation juga mendukung
pemerintah mengembangkan model pembangunan inklusif mulai dari advokasi
kebijakan hingga fasilitasi layanan dasar untuk penyandang disabilitas. Program
Peduli melalui upaya kolaboratif multipihak mendorong peningkatan pelayanan
dasar, penerimaan sosial dan perbaikan kebijakan di lokasi program.
Buku “Praktek Baik Pendataan Disabilitas” dan “Praktek Baik Pelayanan Publik
bagi Disabilitas” yang diterbitkan oleh Pattiro ini adalah hasil dokumentasi berbagai
upaya perbaikan dan praktek-praktek baik yang selama beberapa tahun ini
dilakukan mellaui Program Peduli. Kami berharap dokumentasi ini dapat menjadi
inspirasi dan sumbangan berharga bagi perbaikan pendataan dan pelayanan
publik bagi disabilitas di Indonesia.

DR. Sandra Hamid


Country Representative, The Asia Foundation

iv
Kata Pengantar
Yakkum

S
ejak berdiri tahun 1982, Pusat Rehabilitasi YAKKUM bermitra dengan berbagai
pihak, baik badan pemerintah maupun non pemerintah di tingkat global
sampai lokal untuk mewujudkan visi YAKKUM yaitu orang dengan disabilitas
yang mandiri terpenuhi hak dasarnya dalam masyarakat yang inklusif. Berbagai
upaya mulai rehabilitasi fisik, edukasi dan kampanye publik, penguatan organisasi
DPO sampai advokasi kebijakan public dilakukan dengan memanfaatkan berbagai
peluang yang ada. Lebih dari 15,000 penyandang disabilitas dan keluarganya
dari berbagai wilayah di Indonesia telah difasilitasi dalam upaya mereka meraih
kemandirian dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Salah satu peluang yang sangat
bermakna bagi perjuangan pemenuhan hak disabilitas adalah dikeluarkannya
UU Disabilitas Nomor 8 tahun 2016 yang menjadi kerangka kerja legal untuk
memastikan komitmen negara dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak dasar
disabilitas tersebut.
Tetapi legal framework saja tidak cukup, apalagi jika kita semua mengharapkan
lebih luas wilayah dan lebih banyak kelompok masyarakat yang terjangkau dan
memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak dalam wujud layanan publik yang
lebih inklusif, yang di dalamnya termaktub prinsip-prinsip peningkatan kesadaran
(awareness), aksesibilitas, yang menyeluruh, partisipasi dan pendekatan khusus
dan umum (twin track approach). Dalam Program Peduli dimana 78 organisasi
masyarakat sipil (baik yang berperan sebagai organisasi mitra payung maupun
mitra pelaksana) di 75 kota/kabupaten dalam 21 provinsi, YAKKUM melakukan
pelatihan pengarusutamaan pembangunan yang inklusif disabilitas kepada mereka
(khususnya yang tidak specialized dalam isu disabilitas) agar semakin banyak pihak
yang mempunyai kesadaran terhadap isu disabilitas dan sepakat mewujudkan
inklusi sosial dalam berbagai aspek pembangunan. Selain itu dirasakan urgensi
penyusunan kajian dan pendokumentasian praktik baik dalam hal layanan
disabilitas agar tersedia referensi yang dapat diandalkan dan dapat menginspirasi
pihak-pihak lain dalam mengupayakan perlindungan dan pemenuhan hak dasar
disabilitas dalam bentuk layanan publik dan mereplikasikannya ke wilayah-wilayah
lain.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas v


Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berpengalaman dalam kajian kebijakan
dan penelitian secara luas, Pattiro dipercaya memfasilitasi urgensi kebutuhan
tersebut. Buku Pelayanan Publik Bagi Disabilitas Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari
Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi
pada Sektor Pelayanan Publik yang disusun oleh Tim Pattiro dengan konsultasi luas
dengan berbagai stakeholder termasuk organisasi penyandang disabilitas (difable
people organization) dan Pemerintah diharapkan mampu menginspirasi sekaligus
“memprovokasi” agar semakin banyak pihak-pihak terdorong mewujudkan
layanan publik yang berkualitas bagi pemenuhan dan perlindungan hak disabilitas.
YAKKUM dan kita semua percaya pelayanan publik yang berkualitas adalah salah
satu batu pijakan dalam titian jalan mewujudkan pembangunan Indonesia yang
semakin inklusif.
Terima kasih untuk kerja keras Ibu Maya Rostanty dan Ibu Novita Anggraeni
beserta seluruh tim Pattiro, hasil tidak akan mencederai proses !

Salam inklusi
Arshinta

vi
Kata Pengantar
Direktur PATTIRO

T
erpenuhinya pelayanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan
mendapat dokumen kependudukan merupakan salah satu indikator
keadilan negara terhadap warga negaranya. Hak dasar ini mestinya diterima
secara adil dan merata untuk semua golongan masyarakat dengan berbagai situasi
dan latar belakang baik ekonomi, wilayah, dan fisik maupun mental. Hal ini perlu
ditekankan mengingat berbagai kelompok rentan masih mendapat hambatan
dalam upaya mengakses pelayanan publik dasar. Salah satunya karena mekanisme
pemberian layanan belum mengakomodasi kebutuhan khusus kelompok rentan,
contohnya penyandang disabilitas.
Pelayanan publik yang adil dan non-diskriminatif ini sebenarnya sudah
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan
usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan,
jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata,
dan sektor lain yang terkait. UU Pelayanan Publik ini dapat dilihat sebagai upaya
untuk mewujudkan pelayanan yang inklusif melalui asas-asas pelayanan yang
telah ditetapkan, antara lain kesamaan hak, partisipatif, persamaan perlakuan/
tidak diskriminatif, dan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Hal
ini juga diperkuat dengan terbitnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
Namun demikian, dalam praktiknya, penyandang disabilitas masih banyak
mengalami hambatan dalam mengakses pelayanan dasar seperti kesehatan dan
pendidikan serta kependudukan. Dengan kata lain masih terjadi eksklusi dalam
pelayanan publik terhadap disabilitas. Sebagai contoh, pada pelayanan kesehatan,
disabilitas rungu dan wicara tidak bisa leluasa menyampaikan keluhannya (yang
dianggap hal-hal sensitif atau pribadi) saat memeriksakan kesehatannya, karena
tidak ada petugas yang memahami cara berkomunikasi dengan penyandang
disabilitas.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas vii


Dalam rangka memastikan kebutuhan pelayanan penyandang disabilitas
terpenuhi, pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase Pertama, Mitra Program
Peduli yang terdiri dari YASMIB, PATTIRO, BAHTERA, SAPDA, SIGAB, dan KARINAKAS
telah melakukan advokasi serta mendorong inovasi dan praktik baik terkait
pelayanan publik ramah disabilitas di beberapa daerah. Inovasi dan praktik baik
ini beragam dari sisi wilayah dan levelnya, mulai dari level desa, kecamatan, dan
kabupaten yang berada pada beberapa daerah, yaitu Sumba, Bone, Sukoharjo,
Kulon Progo, Banjarmasin, dan Lombok Barat. Oleh karena itu menjadi penting
untuk mendokumentasikan inovasi dan praktik baik yang sudah dilakukan.
PATTIRO sebagai salah satu Mitra Program Peduli telah melakukan kajian hasil-
hasil praktik baik yang sudah dilakukan dan mendokumentasikannya ke dalam
sebuah buku sehingga dapat dijadikan sebagai panduan dan pengalaman yang
bisa direplikasi oleh Pemerintah Pusat/Daerah di tempat lain dalam mewujudkan
pembangunan inklusi. Selain itu, pengalaman berharga ini dapat menjadi bingkai
berharga bahwa disabilitas mampu berkarya dan berpartisipasi dalam kegiatan
pemerintah dan sosial kemasyarakatan.
Kami berharap, buku ini menjadi bacaan yang menarik dan dapat dinikmati oleh
para pembaca yang budiman, dapat menginspirasi, dan memberikan manfaat.
Pada akhirnya, kebutuhan terhadap hak-hak disabilitas dapat tersosialisasi kepada
seluruh masyarakat.
PATTIRO mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dan berkontribusi terhadap penerbitan buku ini. Terutama kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Natalia Warat dan Ibu Ade Siti Barokah dari
The Asia Foundation. Ibu Arshinta dan Ibu Ranie Hapsari dari YAKKUM, serta mitra-
mitra Peduli Pilar Disabilitas.

Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Jakarta, April 2018

Direktur PATTIRO
Maya Rostanty

viii
Daftar Isi

Daftar Singkatan dan Istilah........................................................................................................ v


Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel................................................................................ ix

BAB I Konteks......................................................................................................................... 1
A. Eksklusi Sosial dan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas........................... 1
B. Metodologi Kajian..................................................................................................... 7
C. Kerangka Konseptual............................................................................................... 10
C.1 Inovasi................................................................................................................ 10
C.2 Pelayanan Publik / Inovasi Pelayanan Publik....................................... 11
C.3 Partisipasi Disabilitas.................................................................................... 12
D. Profil Program dan Mitra Program....................................................................... 20
D.1 Program Peduli Pilar Disabilitas................................................................ 20
D.2 Profil Lembaga Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas..................... 22
D 2.1 SAPDA di Kota Banjarmasin........................................................... 22
D.2.2 SIGAB di Kulon Progo....................................................................... 22
D.2.3 KARINAKAS di Sukoharjo................................................................ 23
D.2.4 YASMIB di Bone................................................................................... 24
D.2.5 BAHTERA di Sumba Barat................................................................ 25
D.2.6 PATTIRO................................................................................................. 26
E. Batasan Kajian............................................................................................................. 27

BAB II Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik Bagi Disabilitas............... 31


A.Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik di Sektor Kesehatan...................... 32
A.1. PATTIRO: Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD)................... 32
A.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Aktor... 32
A.1.2. Hasil dan Dampak............................................................................... 39
A.1.3. Faktor Pendukung.............................................................................. 39

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas ix


A.1.4. Tantangan.............................................................................................. 40
A.1.5. Partisipasi Disabilitas......................................................................... 40
A.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan........... 41
A.2. SIGAB : Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan Khusus dan
Kolaboratif bagi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)............... 43
A.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran
Aktor....................................................................................................... 43
A.2.2. Hasil dan Dampak............................................................................... 50
A.2.3. Faktor pendukung.............................................................................. 51
A.2.4. Tantangan.............................................................................................. 52
A.2.5. Partisipasi Disabilitas......................................................................... 52
A.2.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan........... 53
A.3. KARINAKAS : Kartu DISABILITAS dan Pelayanan Kesehatan
Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan........................................... 55
A.3.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran
Aktor....................................................................................................... 55
A.3.2. Hasil dan Dampak............................................................................... 67
A.3.3. Faktor pendukung.............................................................................. 67
A.3.4. Tantangan.............................................................................................. 68
A.3.5. Partisipasi Disabilitas......................................................................... 68
A.3.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan........... 70
B. Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik di Sektor Pendidikan................... 73
B.1. SAPDA: Sekolah Dasar Inklusi..................................................................... 73
B.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran
Aktor....................................................................................................... 73
B.1.2. Hasil dan Dampak............................................................................... 77
B.1.3. Faktor pendukung.............................................................................. 77
B.1.4. Tantangan.............................................................................................. 77
B.1.5. Partisipasi Disabilitas.......................................................................... 78
B.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan............ 79
C. Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik melalui Perencanaan dan
Penganggaran yang Responsif Disabilitas....................................................... 81

x
C.1. YASMIB : Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Responsif
Disabilitas......................................................................................................... 81
C.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran
Aktor....................................................................................................... 81
C.1.2. Hasil dan Dampak............................................................................... 85
C.1.3. Faktor Pendukung............................................................................... 88
C.1.4. Tantangan.............................................................................................. 88
C.1.5. Partisipasi Disabilitas......................................................................... 88
C.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan........... 89
C.2. BAHTERA: Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas. 90
C.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran
Aktor....................................................................................................... 90
C.2.2. Hasil dan Dampak............................................................................... 96
C.2.3. Faktor Pendukung............................................................................... 98
C.2.4. Tantangan.............................................................................................. 98
C.2.5. Partisipasi Disabilitas......................................................................... 98
C.2.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan........... 100

BAB III Analisis dan Model Inovasi................................................................................. 105


A. Analisis Proses Perubahan dan Pembagian Peran............................................... 105
B. Partisipasi Disabilitas...................................................................................................... 110
B.1 Dinamika Partisipasi......................................................................................... 110
B.2 Level Partisipasi Disabilitas............................................................................ 113
C. Strategi Penerimaan dan Pengembangan............................................................. 116
D. Tantangan........................................................................................................................... 116
E. Analisis Gender................................................................................................................. 117

BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi......................................................................... 125


A. Kesimpulan........................................................................................................................ 125
B. Rekomendasi..................................................................................................................... 125
B.1. Rekomendasi Umum...................................................................................... 126

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas xi


a. Bagi Pemerintah Pusat.............................................................................. 126
b. Pemerintah Daerah.................................................................................... 127
c. Pemerintah Desa......................................................................................... 128
B.2. Rekomendasi per Sektor............................................................................... 128
a. Pendidikan.................................................................................................... 128
b. Kesehatan...................................................................................................... 129
c. Perencanaan dan Penganggaran.......................................................... 131
B.3. Rekomendasi bagi CSO dan NGO.............................................................. 132
B.4. Rekomendasi bagi Organisasi/Kelompok Disabilitas (DPO)............. 132

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................ 134

xii
Daftar Singkatan dan Istilah

Aksesibilitas : Derajat kemudahan dicapai oleh orang, terhadap suatu


objek, pelayanan ataupun lingkungan. Kemudahan akses
tersebut diimplementasikan pada bangunan gedung,
lingkungan dan fasilitas umum lainnya.
Akuntabilitas : Pertanggungjawaban
ABK : Anak Berkebutuhan Khusus
Adminduk : Administrasi dan Kependudukan
APBDes : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
BAHTERA : Yayasan Bina Sejahtera
Bappeda : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Braille : Sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh
penyandang tuna netra
CSO : Civil Society Organization
CSR : Corporate Social Responsibility
Dinsos : Dinas Sosial
DPO : Disabled/Disability People’s Organization
Eksklusi sosial : Proses yang memperlihatkan partisipasi dan solidaritas
masyarakat menurun.
FGD : Focus Group Discussion
FKPI : Forum Komunikasi Pendidikan Inklusi
FPD : Forum Peduli Disabilitas
GERKATIN : Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia
GPK : Guru Pendamping Khusus
HAM : Hak Asasi Manusia
Handrail : Pegangan rambat untuk kursi roda

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas xiii


HWDI : Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
IDDC : International Disability and Development Consortium
ILO : International Labour Organization
Inklusi : Sebuah pendekatan untuk membangun dan
mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin
terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua
orang dengan berbagai latar belakang, karakteristik,
kemampuan, status, kondisi, etnik, dan budaya.
Inovasi : Proses kreatif penciptaan pengetahuan dalam melakukan
penemuan baru yang berbeda dan/atau modifikasi dari
yang sudah ada.
Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah
Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat
Jamkesus : Jaminan Kesehatan Khusus
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
KARINAKAS : Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang
KDD : Kelompok Disabilitas Desa
KDLB : Kelompok Disabilitas Lingsar Bergerak
Kemenko PMK : Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan
Kemensos : Kementerian Sosial
KIS : Kartu Indonesia Sehat
KK : Kartu Keluarga
KTP : Kartu Tanda Penduduk
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
LPP Bone : Lembaga Pemberdayaan Perempuan Bone
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
Mainstreaming : Pengarusutamaan
MDGs : Millenium Development Goals
Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

xiv
Musrenbangdes : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
NGO : Non Government Organization
NPC : National Paralympic Committee
NTT : Nusa Tenggara Timur
NTB : Nusa Tenggara Barat
ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa
P3D : Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas
PATTIRO : Pusat Telaah dan Informasi Regional
Pemda : Pemerintah Daerah
Pemdes : Pemerintah Desa
Penyandang Disabilitas : Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.
Perda : Peraturan Daerah
PERMEN PU : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
PKDTB : Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan
Berkelanjutan
Pertuni : Persatuan Tuna Netra Indonesia
Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu
PPDI : Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia
PRB : Pengurangan Risiko Bencana
PSLD : Pusat Studi dan Layanan Disabilitas
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
Ramp : Jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan
tertentu sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat
menggunakan tangga/penyandang disabilitas.
RBM : Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat
Renstra : Rencana Strategis

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas xv


Replikasi : Proses, cara meniru, menduplikatkan
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
RPRD : Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas
RT : Rukun Tetangga
SAPDA : Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak
Scale Up : Dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi
SDGs : Sustainable Development Goals
SDM : Sumber Daya Manusia
SHG : Self Help Group
SIGAB : Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel
SK : Surat Keputusan
SKPD/OPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah/Organisasi Perangkat
Daerah
SLB : Sekolah Luar Biasa
TAF : The Asia Foundation
UKP : Upaya Kesehatan Perseorangan
UNCRPD : United Nations Convention on the Right of Persons with
Disabilities
UU : Undang-Undang
UUD : Undang - Undang Dasar
WEF : World Economic Forum
YAKKUM Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum
YASMIB : Yayasan Swadaya Mitra Bangsa

xvi
Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel

Bagan 2.1.1 Tahapan RPRD Puskesmas Lingsar................................................................. 35


Bagan 2.2.1 Partisipasi Disabilitas dalam Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten
Lombok............................................................................................................................... 41
Bagan 2.3.1 Keterlibatan Disabilitas (KDD) dalam Proses Inovasi dan Praktik
Baik....................................................................................................................................... 53
Bagan 2.4 .1 Siklus Kesehatan bagi Disabilitas dalam Pelayanan Disabilitas
Terintegrasi dan Berkelanjutan.................................................................................. 61
Bagan 2.5.1 Partisipasi Disabilitas SHG dan RBM dalam Inovasi dan Praktik Baik. 69
Bagan 2.6.1 Tahapan Proses Inovasi dan Praktik Baik SD Inklusi................................. 75
Bagan 2.7.1 Keterlibatan Disabilitas dalam Inovasi dan Praktik Baik SD Inklusi.... 79
Bagan 2.8.1 Proses Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif
Disabilitas........................................................................................................................... 85
Bagan 2.9.1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Desa
Mallari.................................................................................................................................. 89
Bagan 2.10. 1 Tahapan Keterlibatan Disabilitas dalam Mendorong Usulan
Pembangunan.................................................................................................................. 92
Bagan 2.11. 1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di
Kabupaten Sumba.......................................................................................................... 99
Bagan 3.1. 1 Alur Perubahan dalam Inovasi dan Praktik Baik pada Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 di Lima Provinsi...................................................... 105
Bagan 3.2.1 Pembagian Peran dalam Inovasi dan Praktik Baik.................................... 107
Bagan 3.3. 1 Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan, dan Tindak Lanjut....................... 111
Bagan 3.1. 1 Prosentase Aktor Kunci Inovasi dan Praktik Baik..................................... 118
Bagan 3.5. 1 Identifikasi Aspek Penting dalam Tiga Tahapan Utama Munculnya
Sebuah Praktik Baik........................................................................................................ 120
Bagan 3.4. 1 Analisis Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik Ramah Disabilitas 122‑
Gambar 1.1.1 Model Kerangka Kerja Koalisi Advokasi pada Perubahan
Kebijakan............................................................................................................................ 8
Gambar 1.2.1 Model Komunikasi Implementasi Kebijakan di atau ke dalam
Pemerintah........................................................................................................................ 8

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas xvii


Gambar 1.3.1 Peta Cakupan Wilayah Kajian PATTIRO..................................................... 9
Gambar 1.4.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat..................................................................... 20
Gambar 2.1.1 Aksesibilitas Puskesmas Lingsar.................................................................. 38
Gambar 2.2.1 Pelatihan membuat kue bagi ODGJ yang sudah sembuh dan
keluarga.............................................................................................................................. 47
Gambar 2.3.1 Kartu Disabilitas................................................................................................ 56
Gambar 2.4.1 Sosialisasi Deteksi Dini Disabilitas.............................................................. 59
Gambar 2.5.1 Kegiatan di Sanggar Anak Bangsa, Desa Ngreco, Kecamatan Weru,
Kabupaten Sukoharjo.................................................................................................... 72
Gambar 2.6.1 Proses Belajar dan Mengajar di SD Inklusi............................................... 80
Gambar 2.7. 1 Posyandu Ramah Disabilitas Didanai APBDes Mallari........................ 82
Gambar 2.8.1 Posyandu sekaligus pusat pemeriksaan rutin disabilitas di Desa
Mallari.................................................................................................................................. 102
Gambar 2.9. 1 Kegiatan Musrenbangdes di Kabupaten Sumba Barat......................
Grafik 3.1. 1 Prosentase Aktor Kunci Inovasi dan Praktik Baik......................................
Tabel 2.1.1 Inovasi dan Praktik Baik....................................................................................... 32
Tabel 2.2.1 Aktor Peran Inovasi dan Praktik Baik RPRD Puskesmas Lingsar............ 36
Tabel 2.3.1 Peran Stakeholder dalam Penanganan ODGJ di Kabupaten Kulon
Progo................................................................................................................................... 49
Tabel 2.4.1 Peran Aktor dalam Inovasi dan Praktik Baik Kartu DISABILITAS dan
PKDTB.................................................................................................................................. 62
Tabel 2.5.1 Peran Aktor dalam Proses dan Praktik Baik SD Inklusi.............................. 75
Tabel 2.6.1 Peran Aktor dalam Inovasi dan Praktik Baik di Bone................................. 83
Tabel 2.7.1 Alokasi Anggaran yang Reponsif Disabilitas pada APBDes.................... 87
Tabel 2.8.1 Peran Aktor dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten
Sumba................................................................................................................................. 93
Tabel 2.9.1 Contoh Kegiatan yang Sudah Diakomodasi dalam Dokumen RKP
Desa Elu Loda, Kecamatan Tana Righu Kabupaten Sumba Barat tahun
2016...................................................................................................................................... 97
Tabel 2.10. 1 Forum-Forum Peduli Disabilitas di Tingkat Desa yang Berpartisipasi
dalam Inovasi dan Praktik Baik Perencanaan dan Penganggaran yang Pro
disabilitas........................................................................................................................... 100

xviii
BAB I
Konteks
BAB I
Konteks
A. Eksklusi Sosial dan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas
Konsep eksklusi sosial menonjol dalam wacana kebijakan di Perancis pada
pertengahan 1970-an. Konsep ini kemudian diadopsi oleh Uni Eropa pada
akhir 1980-an sebagai konsep kunci dalam kebijakan sosial dan dalam banyak
kasus menggantikan konsep kemiskinan. Eksklusi sosial adalah proses yang
memperlihatkan partisipasi dan solidaritas masyarakat menurun. Kondisi demikian
mencerminkan kurang memadainya kohesi sosial atau integrasi sosial. Pada
tingkat individual, mengacu pada ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan sosial dan membangun makna-hubungan sosial.1 Konsep eksklusi sosial
kemudian menyebar ke negara-negara berkembang, dengan cara melakukan
redefinisi konsep pembangunan ekonomi yang juga harus bertumpu kepada
pendekatan sosial. Konsep pembangunan sosial akan melihat banyak hal yang
harus diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan
kesehatan dan standar gizi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi
lingkungan, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual, dan
penyegaran kehidupan budaya.
Bila eksklusi sosial berarti memarjinalkan masyarakat dari suatu proses
pembangunan, atau proses peminggiran masyarakat, maka inklusi sosial
berkonotasi sebaliknya. Pengertian inklusi digunakan sebagai sebuah pendekatan
untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin
terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai
latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, dan budaya.
Terbuka dalam konsep lingkungan inklusi, berarti semua orang yang tinggal,
berada dan beraktivitas dalam lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat
merasa aman dan nyaman mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya.
Jadi, lingkungan inklusi adalah lingkungan sosial masyarakat yang terbuka, ramah,
meniadakan hambatan dan menyenangkan, karena setiap warga masyarakat tanpa
terkecuali saling menghargai dan merangkul setiap perbedaan (Lenoir, 1974).

1 Gordon D et.al (2000).Poverty and Social Exclusion in Britain. Joseph Rowntree Foundation.York.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 1


Bila dikaitkan dengan paradigma pembangunan, maka inklusi sosial ini
diwujudkan dalam bentuk paradigma pembangunan inklusif. Pembangunan
inklusif merupakan suatu pendekatan pembangunan sosial yang secara luas
menganalisa suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu
masyarakat, atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan
yang lebih baik atau lebih manusiawi dengan cara mendukung keberlanjutan
umat manusia dan ekologis. Inklusi sosial merupakan salah satu pendekatan
pembangunan manusia yang mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin
terbuka, dengan cara mengikutsertakan semua orang, tanpa melihat perbedaan
latar belakang sosial ekonomi, karakteristik, kemampuan, status, kondisi fisik,
etnik, budaya dan lingkungannya.
Penjabaran konsep pembangunan inklusif menurut International Disability
and Development Consortium (IDDC)2 adalah merupakan sebuah proses untuk
memastikan bahwa semua kelompok yang terpinggirkan bisa terlibat dalam
proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak bagi
kelompok atau kaum yang terpinggirkan di dalam proses pembangunan. Dengan
kata lain, pembangunan inklusif berusaha memberikan akses kepada kaum yang
terpinggirkan, termasuk di antaranya penyandang disabilitas, untuk terlibat
dalam proses pembangunan dan memiliki akses untuk menikmati hasil-hasil
pembangunan dimaksud.
Kemunculan paradigma pembangunan inklusif dilatarbelakangi oleh
orientasi pembangunan sejak era tahun 80-an yang terlalu bertumpu kepada
pembangunan ekonomi dengan output berupa pertumbuhan ekonomi. Model
pembangunan demikian menghasilkan suatu kondisi deprivasi sosial. Deprivasi
sosial menurut Townsed (1979) adalah suatu kondisi dimana individu, keluarga
dan kelompok dalam populasi dapat dikatakan berada dalam kemiskinan ketika
mereka kekurangan sumber daya untuk mendapatkan pangan, berpartisipasi
dalam kegiatan, dan memiliki kondisi hidup dan fasilitas kurang. Sumber daya
mereka berada di bawah yang seharusnya diterima oleh rata-rata individu atau
keluarga mereka.3
Dibanding beberapa negara tetangga, pembangunan inklusif di Indonesia
masih jauh dari kondisi ideal. Menurut World Economic Forum (WEF) dalam
Laporan Pembangunan dan Pertumbuhan Inklusif 2017 (The Inclusive Growth

2 Diunduh dari www. make-development-inclusive.org


3 Henny Warsilah, Dede Wardiat dkk, Pembangunan Inklusif Kota Solo, Jateng, Obor,
2017.

2
and Development Index 2017), Indonesia berada pada peringkat 22 dari 79 negara
berkembang. Peringkat ini berada di bawah Thailand (12), Tiongkok (15), dan
Malaysia (16). Menurut WEF, Indonesia memiliki masalah ketimpangan yang serius,
yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai indikator inklusi (inclusion) yaitu 3,57
(dari skala 1 terendah dan 7 tertinggi), meliputi ketimpangan dalam pendapatan
bersih (net income inequality), ketimpangan kemakmuran (wealth inequality) dan
tingkat kemiskinan (poverty rate).
Dengan kata lain, pembangunan di Indonesia masih jauh untuk dikatakan
sebagai pembangunan yang inklusif. Pembangunan nasional sendiri bertujuan
mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, yaitu
pertumbuhan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang, terdistribusi di berbagai wilayah, dan dapat
mengurangi ketidaksetaraan pendapatan.
Konsep pembangunan inklusif ini dipandang tepat bagi Indonesia, karena
sejalan dengan konsep keadilan sosial yang tercakup dalam Sila Kelima Pancasila
yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan alinea keempat
Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebagai negara yang berkeadilan sosial,
maka negara berkewajiban melindungi hak-hak asasi warganya termasuk hak-
hak penyandang disabilitas, yang dapat dikatakan sebagai “kelompok yang
tidak diuntungkan” karena keterbatasan yang dimilikinya, dan memastikan
pembangunan yang dijalankan dapat dinikmati hasilnya oleh seluruh masyarakat,
termasuk penyandang disabilitas.
Selain pembangunan inklusif, perhatian pada kelompok rentan, salah satunya
penyandang disabilitas, juga diperlihatkan melalui paradigma pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan ini mencakup tiga dimensi, yaitu
dimensi sosial, yang mencakup keadilan sosial, kesetaraan gender atau
pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua, termasuk di dalamnya penyandang
disabilitas; dimensi ekonomi, yang dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi
untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau ekonomi kesejahteraan; dan dimensi
lingkungan, yang mencakup keseimbangan lingkungan dan lingkungan untuk
generasi sekarang dan yang akan datang (Gondokusumo dalam Budhy, 2005).
Implementasi pembangunan berkelanjutan ini dicanangkan secara global melalui
deklarasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/
SDGs) yang akan dilaksanakan hingga tahun 2030. SDGs merupakan kelanjutan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 3


dari Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) yang
telah dilaksanakan selama 15 tahun (2000-2015).
Berbeda dengan MDGs yang tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai
penyandang disabilitas, maka SDGs justru memberi perhatian yang relatif besar
kepada penyandang disabilitas. Hal ini terlihat dari 17 tujuan (goals) dalam SDGs,
di antaranya terkait erat dengan penyandang disabilitas, yaitu: a) Goal 3 yaitu
“Menjamin Kehidupan yang Sehat dan Meningkatkan Kesejahteraan Seluruh
Penduduk Semua Usia”; b) Goal 4 yaitu “Menjamin Kualitas Pendidikan yang Inklusif
dan Merata Serta Meningkatkan Kesempatan Belajar Sepanjang Hayat Untuk
Semua”; c) Goal 5 yaitu “Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Kaum
Perempuan”; d) Goal 8 yaitu “Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif
dan Berkelanjutan, Kesempatan Kerja yang Produktif dan Menyeluruh, serta
Pekerjaan yang Layak untuk Semua”; e) Goal 9 yaitu “Membangun Infrastruktur
yang Tangguh, Meningkatkan industri Inklusif dan Berkelanjutan, serta
Mendorong Inovasi”; f ) Goal 10 yaitu “Mengurangi Kesenjangan Di dalam Negara
dan Antarnegara”; g) Goal 11 yaitu “Menjadikan Kota dan Permukiman Inklusif,
Aman, Tangguh, dan Berkelanjutan”; h) Goal 16 yaitu “Menguatkan Masyarakat
yang Inklusif dan Damai untuk Pembangunan Berkelanjutan, Menyediakan Akses
Keadilan untuk Semua, dan Membangun Kelembagaan yang Efektif, Akuntabel,
dan Inklusif di semua Tingkatan”.
Dalam rangka mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas ini, salah
satu upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah memperbaiki regulasi
melalui penerbitan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU
Penyandang Disabilitas) yang menggantikan UU No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan
penyandang disabilitas.
Meskipun undang-undang sudah diterbitkan, belum berarti penyandang
disabilitas telah terpenuhi hak-hak dasarnya, mengingat implementasi UU
Penyandang Disabilitas itu membutuhkan upaya dan dukungan dari berbagai
pihak. Terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas terutama pada pelayanan
publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan memperoleh dokumen
kependudukan merupakan salah satu indikator keadilan negara terhadap warga
negaranya. Hak dasar ini mestinya diterima secara adil dan merata untuk semua
golongan masyarakat dengan berbagai kondisi dan latar belakang baik ekonomi,
wilayah, fisik, maupun mental.
Hal ini perlu ditekankan mengingat kelompok rentan, salah satunya penyandang
disabilitas, masih mendapat hambatan dalam upaya mengakses pelayanan publik

4
dasar. Hal tersebut disebabkan oleh mekanisme pemberian layanan belum
mengakomodasi kebutuhan khusus penyandang disabilitas, padahal pelayanan
publik yang adil dan non-diskriminatif ini sebenarnya sudah dijamin dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan
Publik). Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran,
pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan
hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya
alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait. Undang-Undang Pelayanan Publik ini
dapat dilihat sebagai upaya untuk mewujudkan pelayanan yang inklusif melalui
asas-asas pelayanan yang telah ditetapkan, antara lain kesamaan hak, partisipatif,
persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, dan fasilitas serta perlakuan khusus bagi
kelompok rentan. Hal ini juga diperkuat dengan terbitnya UU nomor 8 tahun 2016
seperti Penyandang Disabilitas.
Namun, dalam praktiknya, penyandang disabilitas masih banyak mengalami
hambatan dalam mengakses pelayanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan
kependudukan. Dengan kata lain, masih terjadi eksklusi dalam pelayanan publik
terhadap disabilitas. Sebagai contoh, pada pelayanan kesehatan, penyandang
disabilitas rungu dan wicara tidak bisa leluasa menyampaikan keluhannya (terkait
hal-hal yang dianggap sensitif atau pribadi) saat memeriksakan kesehatannya,
karena tidak ada petugas yang memahami cara berkomunikasi dengan
penyandang disabilitas. Selain itu, penyandang disabilitas juga mengalami
kesulitan untuk mengakses langsung pelayanan di gedung unit pelayanan, karena
tidak ada pintu masuk atau lobi yang aksesibel bagi pengguna kursi roda. Hal ini
terjadi karena adanya prasangka (asumsi negatif ) dari pemberi pelayanan dan
pembuat kebijakan bahwa tidak perlu membuat pintu masuk atau lobi dimaksud
disebabkan jarang ada pasien penyandang disabilitas yang datang.
Dengan memperhatikan pemaparan di atas, maka pembangunan inklusif
dan berkelanjutan merupakan pendekatan yang tepat bagi Indonesia dalam
rangka memastikan proses dan hasil pembangunan dapat dirasakan oleh semua,
termasuk penyandang disabilitas, baik generasi sekarang maupun yang akan
datang. Perhatian kepada penyandang disabilitas ini menjadi sangat penting,
karena jumlahnya relatif besar dan menghadapi sejumlah tantangan.
Berikut fakta tentang penyandang disabilitas (ILO, tanpa tahun) “Secara global,
penyandang disabilitas berjumlah sekitar 15 persen dari jumlah penduduk di
dunia atau lebih dari satu miliar orang. Delapan puluh dua persen dari penyandang
disabilitas tersebut hidup di negara-negara berkembang dan berada di bawah
garis kemiskinan dan kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan,

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 5


pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak. Sementara di Indonesia
diperkirakan 10% dari jumlah penduduknya adalah penyandang disabilitas atau
lebih dari 24 juta orang. Para penyandang disabilitas ini merupakan masyarakat
yang termarjinalkan dan rentan. Penyandang disabilitas juga kerapkali terisolir
secara sosial dan menghadapi diskriminasi dalam akses atas kesehatan dan
pelayanan lainnya, pendidikan dan pekerjaan”.
Dalam konteks besar pembangunan inklusif dan berkelanjutan, terutama
dalam proses dan hasil pembangunan, khususnya bagi penyandang disabilitas,
maka buku ini berupaya memotret upaya-upaya inovasi yang telah dilakukan
untuk memastikan masalah-masalah yang dihadapi penyandang disabilitas dapat
diatasi. Upaya inovasi dan praktik baik dimaksud difokuskan pada pelayanan
publik bagi penyandang disabilitas. Mengapa inovasi dalam pelayanan publik
yang menjadi perhatian? Karena permasalahan yang dihadapi oleh penyandang
disabilitas selama ini relatif kurang mendapat perhatian yang memadai, terutama
terkait akses pelayanan. Pelayanan yang diberikan sebagian besar penyelenggara
pelayanan publik belum ramah disabilitas, dalam arti tidak memperhatikan
hambatan yang dimiliki penyandang disabilitas dalam berinteraksi dengan
penyedia pelayanan. Misalnya, tidak tersedia petugas pelayanan yang memahami
bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas rungu dan
wicara. Akibatnya, penyandang disabilitas mengalami kesulitan untuk mengakses
atau mendapatkan pelayanan publik yang ramah disabilitas.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini berusaha memotret upaya-upaya
inovasi dan praktik baik terkait pelayanan publik yang ramah disabilitas, sekaligus
menganalisis berbagai praktik baik tersebut dan kemungkinan untuk direplikasi
dan dikembangkan lebih lanjut (scale up). Berbagai inovasi dan praktik baik yang
dipaparkan di dalamnya merupakan hasil dari pelaksanaan Program Peduli Fase 1
(2015-2016).
Inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang dikupas dalam buku ini
relevan dengan pembangunan inklusif dan berkelanjutan, karena di dalamnya
memaparkan permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas; upaya-upaya
inovasi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, meliputi proses
inovasi yang melibatkan penyandang disabilitas sendiri dan para pemangku
kepentingan; hasil dari proses inovasi dimaksud, termasuk dampaknya bagi
penyandang disabilitas; serta peluang atau kemungkinan inovasi tersebut untuk
direplikasi atau ditingkatkan (scale-up) ke tingkat yang lebih luas.
Penyusunan Kajian Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik bagi Disabilitas ini
merupakan bagian dari pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang

6
diharapkan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi penyandang disabilitas
di tanah air. Hasil kajian ini diharapkan menjadi bahan advokasi di tingkat nasional
dalam upaya perbaikan kebijakan terkait pelayanan publik yang ramah disabilitas,
sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dan signifikan bagi
penyandang disabilitas di seluruh tanah air.

B. Metodologi Kajian
Kajian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Kajian ini berupaya
mengumpulkan, meneliti dan mendeskripsikan berbagai inovasi dan praktik
baik yang telah dikembangkan oleh Mitra Peduli Fase 1 yang bersinergi dengan
pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas, dan
menganalisis faktor pendukung dan penghambat dalam rangka mengembangkan
inovasi dan praktik baik pelayanan publik bagi disabilitas, serta analisis terhadap
peluang dari praktik baik dimaksud untuk dikembangkan (scale up) ke tingkat
nasional dan menjadi masukan untuk penyusunan kebijakan pelayanan publik
yang ramah disabilitas.
Secara umum, dapat dikatakan paradigma yang memayungi kajian ini adalah
post positivism. Paradigma post-positivism memiliki karakteristik utama yaitu
pencarian makna di balik data (Denzin dan Lincoln: 1994). Dalam kajian ini,
pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, mengingat
secara tradisional, paradigma post-positivism berbasis pendekatan kualitatif (Ricucci,
2010). Oleh karena itu, dalam rangka memotret tahapan, berbagai indikator dalam
proses inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang ramah disabilitas ditujukan
untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan akan dikonfirmasi langsung kepada
Mitra Peduli, penyandang disabilitas atau organisasi penyandang disabilitas. Kajian
ini ini akan menghasilkan strategi model mikro (lokal), dan model regional (antar
provinsi) yang nantinya dapat diadvokasikan pada tingkat nasional, seperti terlihat
pada gambar berikut ini.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 7


Gambar 1.1.1 Model Kerangka Kerja Koalisi Advokasi pada Perubahan
Kebijakan

Sumber : Grindle’s dalam Najam A (1995)

Gambar 1.2.1 Model Komunikasi Implementasi Kebijakan di atau ke dalam


Pemerintah

Tujuan Kebijakan

Implementasi Kebijakan yang


dipengaruhi oleh: Luaran:
Program aksi dan Proyek a. Isi Kebijakan a. Dampak pada
individu yang didesain dan 1. Kepentingan Kelompok Sasaran masyarakat, individu
didanai 2. Tipe manfaat dan kelompok.
3. Derajat perubahan yang dituju b. Perubahan dan
4. Letak pengambilan keputusan penerimaan masyarakat
Tujuan 5. Pelaksanaan program
yang 6. Sumber daya yang terlibat
dicapai? b. Konteks Implementasi
1. Kekuasaan, kepentingan, dan
strategi aktor yang terlibat
Program yang dilaksanakan
sudahkah sesuai dengan
rencana?
Mengukur Keberhasilan

Sumber : Grindle’s dalam Najam A (1995)

8
Ruang lingkup isi kajian inovasi dan praktik baik pelayanan publik ramah
disabilitas ini mencakup latar belakang inovasi yang dilakukan oleh Mitra Peduli;
proses dan pembagian peran dalam proses inovasinya; persepsi para pemangku
kepentingan (NGO pendamping, DPO, penyandang disabilitas, dan pemerintah
daerah yang didampingi); faktor pendukung dan penghambat inovasi; penerimaan
(buy-in) inovasi oleh pemerintah daerah dalam bentuk kebijakan, anggaran
dan lainnya; serta peluang inovasi atau praktik baik untuk direplikasi dan atau
dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scale up).
Kajian dilakukan di sebagian wilayah kerja Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1, yaitu di Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Bone,
Kabupaten Lombok Barat, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Sumba Barat. Kajian
dilakukan selama enam bulan, dari bulan September 2017 hingga Januari 2018.
Berikut peta cakupan wilayah kajian yang dilakukan oleh PATTIRO:

Gambar 1.3.1 Peta Cakupan Wilayah Kajian PATTIRO

Keterangan: Warna titik merah adalah peta cakupan wilayah kajian PATTIRO

Sumber: https://www.sejarah-negara.com/2015/02/peta-indonesia-terbaru-2015-peta-buta-
dan-peta-lengkap.html

Data dikumpulkan melalui data sekunder melalui studi pustaka, dan data primer
melalui wawancara mendalam dan observasi. Data sekunder dikumpulkan dari
Mitra Peduli, terutama terkait dengan laporan pelaksanaan inovasi dan dampak
inovasinya. Hasilnya dianalisis dan dituangkan dalam bentuk laporan desk study.
Hasil desk study ini didalami melalui wawancara mendalam dan observasi secara
langsung ke wilayah kerja Mitra Peduli.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 9


Untuk memastikan data dan informasi yang diperoleh akurat, dilakukan
triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau pembanding terhadap data dimaksud (Moleong, 2009). Menurut Lather
dalam Creswell (2007), triangulasi, yang merupakan salah satu jenis validasi data,
meliputi beberapa sumber data, metode dan teori. Dalam penelitian ini, triangulasi
dilakukan terhadap sumber data, yaitu kepada para pemangku kepentingan
pelayanan publik dan penyandang disabilitas, termasuk organisasi penyandang
disabilitas, untuk mengkonfirmasi kebenaran data atau informasi. Hasil wawancara
mendalam dan observasi ini dipandang penting untuk dilakukan triangulasi untuk
memastikan kecukupan dan kesahihan data yang melibatkan staf atau petugas
dari Mitra Peduli yang terlibat secara langsung dalam inovasi pelayanan publik
yang ramah disabilitas.
Hasil dari seluruh proses pengumpulan data ini kemudian dianalisis dan
dituangkan dalam buku ini.

C. Kerangka Konseptual
C.1 Inovasi
Menurut Suryani (2008:304), inovasi dapat berupa ide, cara-cara ataupun obyek
yang dipersepsikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru. Inovasi juga sering
digunakan untuk merujuk pada perubahan yang dirasakan sebagai hal yang baru
oleh masyarakat yang mengalami. Kata inovasi dapat diartikan sebagai “proses”
atau“hasil” pengembangan dan atau pemanfaatan atau mobilisasi pengetahuan,
keterampilan (termasuk keterampilan teknologi) dan pengalaman untuk
menciptakan atau memperbaiki produk, proses yang dapat memberikan nilai
yang lebih berarti. Menurut Rosenfeld dalam Sutarno (2012:132), inovasi adalah
transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa baru, atau tindakan
menggunakan sesuatu yang baru.
Rogers (1983) inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dipahami
sebagai sesuatu yang baru oleh masing-masing atau unit pengguna lainnya. Rogers
juga menyatakan bahwa inovasi mempunyai atribut tertentu, yaitu 1) Keuntungan
Relatif. Sebuah inovasi harus mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan
dengan inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam
inovasi yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain; 2) Kesesuaian.
Inovasi juga sebaiknya mempunyai sifat kompatibel atau kesesuaian dengan
inovasi yang digantinya. Hal ini dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak dibuang
begitu saja, selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, juga karena inovasi

10
yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi yang baru. Selain itu juga
dapat memudahkan proses adaptasi dan proses pembelajaran terhadap inovasi
itu secara lebih cepat; 3) Kerumitan. Dengan sifatnya yang baru, maka inovasi
mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi dibandingkan dengan
inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena sebuah inovasi menawarkan cara
yang lebih baru dan lebih baik, maka tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak
menjadi masalah penting; 4) Kemungkinan Dicoba. Inovasi hanya bisa diterima
apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai dibandingkan
dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji
publik”, dimana setiap orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk menguji
kualitas dari sebuah inovasi; dan 5) Kemudahan diamati. Sebuah inovasi harus juga
dapat diamati, dari segi bagaimana sebuah inovasi bekerja dan menghasilkan
sesuatu yang lebih baik.
Agar inovasi ini bermanfaat bagi lebih banyak orang atau pihak, maka perlu
disebarluaskan. Diharapkan melalui penyebarluasan inovasi ini, inovasi dapat
ditiru atau direplikasi pihak lain. Dalam konteks penyebarluasan ini, Rogers
(1983) mengemukakan konsep difusi inovasi. Menurutnya, difusi adalah proses
dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka
waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial. Di samping itu, difusi
juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Jadi difusi inovasi
menurut Rogers (1983) adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal
yang baru dalam upaya untuk mengubah suatu masyarakat yang terjadi secara
terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu
ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya
kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Tujuan utama dari difusi inovasi
adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan bidang
pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial
dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi sampai kepada masyarakat.

C.2 Pelayanan Publik / Inovasi Pelayanan Publik


Menurut UU Nomor 25 Tahun 2009, pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Dalam proses pelaksanaan pelayanan tersebut,
pemerintah terus mendorong adanya peningkatan kualitas layanan sesuai dengan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 11


standar dan peraturan yang telah disusun oleh pemerintah. Dengan adanya era
desentralisasi, pemberi layanan di level daerah menjadi ujung tombak dari berbagai
upaya perbaikan dan kualitas layanan yang ada, termasuk bagaimana pelayanan
yang ada bisa menjangkau semua kelompok masyarakat dari berbagai kondisi dan
di semua lokasi. Salah satu kelompok rentan yang selama ini banyak mendapat
hambatan dalam mengakses pelayanan publik adalah kelompok disabilitas.
Dalam upaya peningkatan layanan tersebut, pemerintah dalam hal ini
Kemenpan RB mendorong adanya inovasi-inovasi yang dilakukan oleh pemberi
layanan dalam pemberian layanan publik bagi masyarakat. Inovasi adalah
proses kreatif penciptaan pengetahuan dalam melakukan penemuan baru yang
berbeda dan/atau modifikasi dari yang sudah ada. Inovasi Pelayanan Publik adalah
terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/
atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, inovasi pelayanan publik
sendiri tidak mengharuskan suatu penemuan baru, tetapi dapat merupakan suatu
pendekatan baru yang bersifat kontekstual dalam arti inovasi tidak terbatas dari
tidak ada kemudian muncul gagasan dan prakti. Praktik inovasi sendiri dapat
berupa inovasi hasil dari perluasan maupun peningkatan kualitas pada inovasi yang
ada. Definisi dan pengertian mengenai inovasi dan pelayanan publik ini tercantum
dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 30 tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Publik.

C.3 Partisipasi Disabilitas


Pemahaman mengenai partisipasi dapat dilihat dari dari setidaknya dua aspek,
yaitu apa makna dari partisipasi dan siapa yang berpartisipasi. Makna partisipasi
sendiri dikemukakan oleh berbagai pakar berdasarkan sudut pandangnya
masing-masing. Paul (1987:14) menyatakan partisipasi masyarakat sebagai suatu
proses aktif, dimana masyarakat dapat mempengaruhi arah serta pelaksanaan
dari pembangunan dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraannya
dalam arti penghasilan, perkembangan pribadi, kemandirian, serta berbagai nilai
yang diyakini. Bank Dunia yang aktif memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam
pembangunan menyatakan bahwa partisipasi adalah suatu proses dimana berbagai
pelaku (stakeholders) dapat mempengaruhi serta membagi wewenang dalam
menentukan inisiatif-inisiatif pembangunan dan keputusan serta pengalokasian
berbagai sumber (Bank Dunia, 1994).
Partisipasi dalam pembangunan ini memang banyak mendapat perhatian.
Menurut Tjokrowinoto (1995: 44-45) perspektif partisipasi masyarakat telah

12
cukup lama jadi acuan pembangunan masyarakat, tetapi makna partisipasi itu
sendiri seringkali samar-samar atau kabur. Partisipasi sering dipersepsikan sebagai
bentuk mobilisasi dengan pendekatan cetak biru (blue print) atau pendekatan
yang datangnya dari atas, walaupun dalam perjalanannya terdapat beberapa
pandangan yang menganggap lebih dari sekadar pergerakan atau mobilisasi
masyarakat tetapi juga sebagai hak dari setiap warga.
Hal senada diungkap oleh Soetrisno (1995) yang menyatakan, partisipasi
sebelumnya dipahami sebagai kemauan rakyat untuk mendukung secara
mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan
tujuannya oleh pemerintah, padahal makna partisipasi adalah kerja sama antara
rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan,
dan mengembangkan hasil pembangunannya. Mikkelsen (2001:64) bahkan
mengumpulkan berbagai tafsiran mengenai partisipasi. Pertama, partisipasi
adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam
pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi adalah ”pemekaan” (membuat peka)
pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan
untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan. Ketiga, parsitipasi adalah suatu
proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang
terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasan untuk melakukan hal
itu. Keempat, partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat
dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek
agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial.
Kelima, partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan
yang ditentukannya sendiri. Keenam, partisipasi adalah keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungannya.
Berbagai pendapat mengenai pengertian partisipasi itu lebih ditujukan
pada keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya. Sementara itu, Schneider
(1995: 11) berpendapat bahwa:

“Although the need for more popular participation in the development


process generally acknowledged, the concept of participation has been given
different meanings in different situations. Increasingly, however, it is accepted
that genuine participation should embody some form of empowerment
of the population especially a participation in decision making. Genuine
participation means that people should be involved throughout project or
programme cycle, from the design stage through monitoring evaluation.”

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 13


(Walaupun kebutuhan untuk lebih memperkenalkan partisipasi
dalam proses pembangunan sudah diakui secara umum, namun konsep
partisipasi memiliki arti yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Namun
demikian, hal yang diterima sebagai partisipasi asli adalah merupakan
perwujudan dari pemberdayaan masyarakat terutama partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Partisipasi yang asli berarti bahwa semua orang
harus dilibatkan dalam proyek atau program, dari mulai perencanaan,
pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi).

Dari definisi Schneider itu dapat disimpulkan bahwa konsep partisipasi


tidak dapat diartikan secara baku. Makna partisipasi seringkali kabur. Namun,
ia mengemukakan konsep mengenai partisipasi yang genuine atau asli adalah
partisipasi yang merupakan perwujudan dari pemberdayaan masyarakat, terutama
dalam proses pengambilan keputusan. Hal itu tentu saja mengandung konotasi
politik, karena jelas partisipasi memiliki hubungan atau terkait dengan demokrasi.
Hal ini sejalan dengan pandangan Adi (2001:84):

“Partisipasi masyarakat sebagai salah satu pilar dari demokrasi dan value
based social development merupakan hal yang penting dalam diskursus
komunitas. Karena melalui partisipasi masyarakat ini diharapkan akan
tercapai pengambilan keputusan yang demokratis. Proses pengambilan
keputusan secara demokratis itu sendiri pada dasarnya dilakukan
berdasarkan sistem egaliter, dimana masing-masing pihak berusaha saling
melengkapi tanpa merasa menjadi yang super power.”

Partisipasi sebagai salah satu indikator penting dari demokrasi juga


diungkapkan oleh Ida (2002: 97) yang menyatakan dalam kajian demokrasi,
partisipasi menjadi sangat penting karena secara umum pola hubungan antara
masyarakat dan pemerintah diyakini akan terbangun dengan baik jika terjadi
secara sinergik dan dinamis. Artinya, posisi masyarakat dan pemerintah berada
pada kondisi saling berhubungan, baik dalam proses pembuatan keputusan,
pelaksanaan keputusan, maupun dalam mengawasi pelaksanaan keputusan
tersebut. Ida juga menambahkan bahwa partisipasi itu sendiri sejalan dengan ide
desentralisasi. Pada pendekatan desentralisasi peluang partisipasi dimungkinkan
dengan semakin dekatnya jarak antara masyarakat dan pemerintah, maka semakin
terbuka kesempatan untuk berpartisipasi.
Arnstein (1969: 216-224) menyatakan bahwa partisipasi berkaitan erat dengan
pembagian kekuasaan yang memungkinkan masyarakat untuk ikut serta dalam

14
proses politik dan ekonomi untuk terlibat dalam penentuan masa depan dan
konsep pemberdayaan masyarakat sebagai upaya peningkatan kemampuan
dalam pengambilan keputusan dan mengontrol masa depan masyarakat sendiri.
Sementara itu, In Young Wang (dalam Makmur, 2003: 57) menyatakan partisipasi
merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh seseorang/individu atau
kelompok orang dalam merumuskan/menyatakan kepentingan mereka dalam
memberikan/menyumbangkan tenaga dan sumberdaya lainnya kepada suatu
lembaga/institusi dan kepada sistem yang mengatur kehidupan mereka.
Dari beberapa definisi tersebut, tampak bahwa partisipasi memang merupakan
sebuah konsep yang problematis dan memiliki banyak makna dan dimensi,
tergantung situasinya, atau dari sudut mana memandangnya. Meski demikian,
partisipasi masyarakat dapat diinterpretasikan sebagai hak yang dimiliki
masyarakat untuk dapat terlibat secara demokratis dalam ikut menentukan
berbagai hal yang menyangkut kehidupannya. Ringkasnya, partisipasi dimaknai
sebagai adanya keterlibatan warga masyarakat dalam melakukan pengambilan
keputusan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah,
dalam kerangka peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraannya, termasuk
menyangkut pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Tjokroamidjojo (1995:207) mengemukakan tiga bentuk partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, yaitu partisipasi dalam perencanaan pembangunan,
partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan, dan partisipasi dalam memanfaatkan
hasil-hasil pembangunan. Keith Davis dalam Sastropoetro (1988:16) menyatakan
bentuk-bentuk partisipasi adalah:
a. Sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu
(dermawan, pihak ketiga)
b. Mendirikan proyek yang sifatnya mandiri dan dibiayai seluruhnya oleh
komunitas (biasanya diputuskan dalam rapat desa)
c. Aksi massa
d. Mengadakan pembangunan di kalangan desa sendiri
e. Membangun proyek komunitas yang bersifat otonomi
Keith juga menyatakan jenis-jenis partisipasi yaitu pikiran (psychological
participation); tenaga (physical participation); pikiran dan tenaga (psychological
and physical participation); barang (material participation); dan uang (money
participation).
Thoha sebagaimana dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002: 6) lebih melihat
partisipasi dari sifatnya. Ia membagi partisipasi dalam dua jenis, yaitu partisipasi
otonom/mandiri dan partisipasi mobilisasi. Partisipasi otonom/mandiri yaitu suatu

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 15


bentuk partisipasi yang lahir dari kesadaran masyarakat untuk mempengaruhi
kebijakan publik. Partisipasi mobilisasi, termasuk di dalamnya partisipasi seremonial
yaitu suatu bentuk partisipasi yang digerakkan oleh orang atau kelompok tertentu,
umumnya bagi negara berkembang dilakukan oleh kelompok elit tertentu,
bukannya berangkat dari kesadaran masyarakat. Partisipasi seremonial merupakan
bentuk seperti partisipasi dalam pemilu.
Sementara itu, pakar lain, seperti Okley (1991:1-10) menyatakan bahwa dalam
melaksanakan partisipasi, masyarakat dapat melakukannya melalui beberapa
bentuk, yaitu sumbangan pikiran (ide atau gagasan), sumbangan materi (dana,
barang, alat), sumbangan tenaga (bekerja atau memberi kerja), dan memanfaatkan/
melaksanakan pelayanan pembangunan.
Dari penjelasan mengenai makna dari partisipasi itu ternyata partisipasi
dalam arti luas mencakup pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan hingga
kontrol masyarakat. Partisipasi dapat terjadi dalam iklim demokrasi. Dalam
perkembangannya, ada perubahan pandangan mengenai partisipasi. Masyarakat
tidak lagi memandang partisipasi sebagai hadiah atas kebaikan hati pemerintah,
tetapi partisipasi dianggap sebagai bagian dari pelayanan dasar dan upaya untuk
mengawasi jalannya pemerintahan. Partisipasi juga berarti berbagai cara atau
bentuk yang dilakukan masyarakat untuk mempengaruhi kualitas kebijakan atau
pelayanan dari pemerintah agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan warga
masyarakat sendiri.
Pentingnya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Ramlan Surbakti yang
dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002:101) yaitu masyarakat, bukan pemerintah, yang
paling mengerti tentang apa yang terbaik buat dirinya, dan masyarakat berhak ikut
serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan mempengaruhi
kehidupan mereka.
Pada pelaksanaannya, partisipasi tidaklah sama di satu tempat dengan tempat
lainnya. Praktik partisipasi berbeda-beda satu sama lain. Pada artikel Topic Pack on
Participatory Planning-Section One (IDS, 2002:4), digambarkan bahwa partisipasi
dapat dilakukan melalui konsultasi, kehadiran dan keterwakilan masyarakat dan
pengaruh dari masyarakat. Sutrisno (2000:21) menyatakan partisipasi masyarakat
dapat dilakukan melalui andil informasi, konsultasi, pengambilan keputusan dan
inisiatif tindakan.
Sementara itu, Wilcox (dalam Dwiyanto, 2005:192) membagi partisipasi dalam
lima tingkatan, yaitu pemberian informasi; konsultasi; pembuatan keputusan
bersama; melakukan tindakan bersama; dan mendukung aktivitas yang muncul
atas swakarsa masyarakat. Menurut Wilcox, pada level mana partisipasi masyarakat

16
akan dilakukan sangat tergantung pada kepentingan apa yang hendak dicapai.
Untuk pengambilan kebijakan strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang
banyak, tentu masyarakat harus dilibatkan secara penuh. Akan tetapi, dalam
pengambilan keputusan yang lebih bersifat teknis mungkin pemberian informasi
kepada masyarakat sudah memadai.
Berbagai pendapat itu sebenarnya memperlihatkan adanya tingkatan dalam
partisipasi. Contohnya, pemberian informasi lebih rendah tingkatannya dari
pembuatan keputusan bersama. Namun, pendapat-pendapat tersebut belum
menunjukkan secara jelas tingkatan partisipasi dan bagaimana tingkatan itu
mempengaruhi pemerintah daerah atau penyelenggara pelayanan. Sherry R.
Arnstein (dalam Cahn, 1971:69-91) yang membagi secara jelas tingkatan partisipasi
masyarakat itu. Melalui teori the ladder of citizen participation, Arnstein membagi
partisipasi dalam beberapa tingkatan dengan mengumpamakan sebagai anak-
anak tangga dalam tangga partisipasi masyarakat. Berbagai anak tangga itu
bila dibandingkan satu dengan yang lainnya akan membentuk satu garis yang
terentang mulai dari non-partisipasi masyarakat hingga mencapai kontrol warga
masyarakat secara penuh. Anak tangga terendah dimulai dari partisipasi sebagai
kegiatan untuk memanipulasi sampai pada tingkat dimana masyarakat dapat
mengontrol pelaksanaan pemerintahan termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan kepada masyarakat.
1. Manipulasi (manipulation). Partisipasi dimaksudkan untuk membangun
dukungan dengan memberi kesan bahwa pengambil kebijakan sudah
partisipatif, padahal keputusan tidak diambil berdasarkan masukan dari
proses partisipasi.
2. Terapi (therapy). Partisipasi tidak ditujukan untuk membuat masyarakat
dapat terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan
publik, tetapi lebih pada keinginan pemegang kekuasaan untuk “mengajari”
atau “mengobati” warga masyarakat dalam hal partisipasi. Terapi ini
sifatnya tidak jujur dan arogan. Contoh, bila ada kesalahan dari pejabat
publik tertentu, maka warga negara yang terkena dampaknya dianjurkan
untuk menemui pihak yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan
pengaduan dan seolah-olah pengaduan tersebut ditindak lanjuti.
3. Pemberian informasi (informing). Partisipasi dimaknai sebagai
penyebarluasan informasi mengenai hak, tanggungjawab, dan pilihan
masyarakat. Namun, partisipasi dalam tingkat ini difungsikan sebagai
komunikasi satu arah dan tidak terbuka kesempatan untuk bernegosiasi
dan menyatakan pendapat. Pola ini biasanya digunakan dalam bentuk

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 17


memberikan informasi yang tidak “dalam”, seperti pengumuman,
penyebaran leaflet, dan laporan tahunan.
4. Konsultasi (consultation), yaitu partisipasi yang memungkinkan adanya
komunikasi dua arah dan berbagai pelaku dapat mengekpresikan
pendapat dan pandangannya, tetapi tidak ada jaminan bahwa masukan-
masukannya akan digunakan. Pendekatan yang sering digunakan dalam
konsultasi adalah dengan melalui pertemuan-pertemuan dimana berbagai
pelaku tidak berkontribusi dalam menyusun agenda, dengar pendapat
(public hearing), dan survey. Hal yang diperoleh masyarakat adalah “telah
berpartisipasi dalam proses partisipasi” dan yang diperoleh pengambil
kebijakan adalah “telah memenuhi kewajibannya untuk mengikutsertakan
masyarakat dalam pengambilan keputusan.”
5. Penenteraman (placation). Pada anak tangga ini, masyarakat sudah punya
pengaruh terhadap kebijakan, tetapi tingkat keberhasilannya masih
dipertanyakan. Keberhasilan partisipasi masih ditentukan oleh besar dan
solidnya kekuatan masyarakat untuk menyampaikan kepentingannya. Pada
tahap ini, warga masyarakat sudah terlibat dan menjadi bagian dari suatu
dewan atau badan publik, tetapi jumlahnya tidak signifikan sehingga bila
voting kalah dengan mudah, atau warga masyarakat hanya jadi penasehat,
sedangkan pengambilan keputusan tetap berada di pihak pemegang
kekuasaan.
6. Kemitraan (partnership). Anak tangga keenam ini memperlihatkan
terjadinya suatu hubungan sinergi antara warga masyarakat dan pembuat
kebijakan untuk mewujudkan tujuan yang disepakati bersama. Ada
kesepakatan untuk melakukan pembagian tanggung jawab serta risiko
dari konsensus yang mereka hasilkan. Kekuatan dalam tahap ini sebetulnya
sudah terbagi secara relatif seimbang antara masyarakat dan pemegang
kekuasaan dan sudah ada komitmen antara kedua belah pihak untuk
membicarakan perencanaan dan pengambilan keputusan bersama-sama.
Misalnya, melalui Komisi Perencanaan Kota. Sayangnya, inisiatif dan
komitmen baru timbul setelah adanya desakan masyarakat yang kuat untuk
menjalankan proses yang partisipatif. Pada tahap ini, yang perlu dilakukan
adalah keterwakilan dan akuntabilitas wakil dari kelompok masyarakat, dan
kemampuan masyarakat untuk membekali kelompoknya dengan keahlian
yang dibutuhkan seperti penasihat hukum, ahli perencanaan, teknolog
dan lain-lain.
7. Kekuasaan yang didelegasikan (delegated power). Dalam tahap ini,

18
masyarakat sudah memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding
penyelenggara negara. Contoh, jumlah keanggotaan masyarakat yang lebih
besar di dalam Dewan Kota atau adanya hak veto bagi masyarakat dalam
Dewan Transportasi Kota. Tantangannya adalah mewujudkan akuntabilitas
dan menyediakan sumber daya yang memadai bagi kelompok dimaksud.
Pada tingkatan ini, warga masyarakat memegang peranan kunci untuk
menjamin terjadinya akuntabilitas program-program yang dijalankan.
8. Kontrol warga (citizen control) adalah anak tangga tertinggi dari partisipasi
masyarakat. Pada anak tangga ini, warga masyarakat dapat mengendalikan
atau mengatur suatu program atau institusi dengan kendali penuh
dalam aspek kebijakan dan manajerial. Kontrol warga merupakan puncak
partisipasi, sehingga muncul kekhawatiran bahwa pada tingkat partisipasi
seperti ini akan timbul semangat separatisme, kekacauan dalam pelayanan
publik, dan kekhawatiran mengenai ketidakefisienan dan pemborosan.
Namun, sebenarnya kontrol yang dimaksud bukanlah kekuasaan tanpa
batas (absolute power).

Kemudian, Arnstein mengelompokkan anak-anak tangga ini dalam tiga tingkat


partisipasi, yaitu nonpartisipasi (non-participation) meliputi dua anak tangga
yakni manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy). Pada tingkat ini, sebenarnya
lebih tepat dikatakan sebagai distorsi partisipasi, karena tujuannya bukan untuk
mendukung rakyat berpartisipasi tetapi untuk memberi kemungkinan pemegang
kekuasaan sekadar mendidik atau menyenangkan masyarakat yang berpartisipasi.
Tingkatan kedua menunjukkan pertanda adanya partisipasi (degree of tokenism).
Pertanda adanya partisipasi ini meliputi tiga anak tangga yaitu pemberian
informasi (informing), konsultasi (consultation) dan penenteraman (placation).
Tingkatan kedua ini lebih tinggi dari yang sebelumnya, karena pada tingkat ini
telah terjadi dialog antara masyarakat dengan pemerintah yang berarti warga
memiliki hak untuk didengar pendapatnya, walaupun tidak terlibat langsung
dalam pengambilan keputusan.
Tingkat tertinggi adalah adanya kekuasaan warga masyarakat berupa
kontrol (degree of citizen power) yang meliputi tiga anak tangga yaitu, kemitraan
(partnership), kekuasaan yang didelegasikan (delegated power) dan kontrol warga
(citizen control). Pada tingkat ini warga telah mengambil bagian secara langsung
dalam pengambilan keputusan maupun pelayanan publik. Tingkat partisipasi
ini memperlihatkan adanya pelimpahan kekuasaan dari pemerintah kepada
masyarakat.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 19


Gambar 1.4.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat

Kontrol Warga
(Citizen Control)
Kekuasaan yang didelegasikan
(Delegated Power) Tingkat Kekuasaan Warga
(Degrees of citizen power)
Kemitraan
(Partnership)
Penenteraman
(Placation)
Konsultasi
(Consultation)
Pemberian Informasi Tingkat Pertanda Partisipasi
(Informing) (Degrees of tokenism)
Terapi
(Therapy)
Manipulasi Non-Partisipasi
(Manipulation) (Non-participation)

Sumber: Sherry R. Amstein, Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation dalam Cahn (1971:70)

Dalam kajian ini, partisipasi yang dilihat adalah partisipasi masyarakat,


khususnya penyandang disabilitas, dalam proses inovasi pelayanan publik.
Partisipasi penyandang disabilitas ini akan dilihat dari tingkat partisipasinya,
dengan menggunakan konsep tangga partisipasi sebagaimana dikemukakan
Arnstein di atas.

D. Profil Program dan Mitra Program


D.1 Program Peduli Pilar Disabilitas
Program Peduli Pilar Disabilitas adalah salah satu pilar dari Program Peduli.
Adapun Program Peduli adalah program prakarsa Pemerintah Indonesia yang
dirancang untuk meningkatkan inklusi sosial bagi enam kelompok yang paling
terpinggirkan di Indonesia, yang kurang mendapat layanan pemerintah dan
program perlindungan sosial. Enam kelompok sasaran Program Peduli adalah: (1)
Anak dan remaja rentan; (2) Masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung
pada sumber daya alam; (3) Korban diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan

20
berbasis agama; (4) Orang dengan disabilitas, (5) Hak Asasi Manusia dan Restorasi
Sosial, dan (6) Waria.
Pada Maret 2014, The Asia Foundation ditetapkan sebagai  managing
partner  dalam Program Peduli, dengan dana dari Pemerintah Australia melalui
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia.  
Program Peduli Pilar Disabilitas sebagai salah satu pilar Program Peduli fokus
pada upaya transformasi menuju inklusi sosial bagi disabilitas melalui pemenuhan
hak dasar. Bersama the Asia Foundation, Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum
(Yakkum) berperan sebagai Mitra Payung pada Program Peduli Fase 2, sedangkan
PATTIRO sebagai salah satu mitra pelaksana program. Program Peduli Pilar Difabel
Fase 1 dan 2 yang berada di bawah koordinasi Kemenko PMK bersama The Asia
Foundation memiliki tiga outcome yang ingin dicapai, yaitu:
1. Peningkatan akses pelayanan publik dan bantuan sosial;
2. Peningkatan penerimaan dan pemberdayaan sosial; dan
3. Perbaikan kebijakan inklusi sosial. Sasaran dari program ini adalah kelompok
disabilitas dan pemerintah.

Secara keseluruhan, Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 dilaksanakan di 11


kabupaten yang tersebar di tujuh provinsi, dan dilaksanakan oleh enam lembaga
mitra pelaksana, yaitu PATTIRO, SIGAB, KARINAKAS, BAHTERA, SAPDA dan YASMIB.
Program telah berhasil mengembangkan inovasi/praktik baik pelayanan publik
bagi disabilitas. Pelayanan publik dimaksud meliputi berbagai sektor mulai dari
kesehatan, pendidikan, serta administrasi kependudukan dan catatan sipil mulai
dari tingkat desa hingga kabupaten. Inovasi-inovasi yang dikaji dalam buku ini
dilaksanakan selama Program Peduli Pilar Disabilitas pada pertengahan 2015
hingga 2016.
Program ini kemudian dikembangkan lebih lanjut pada Fase 2 dengan YAKKUM
sebagai mitra payungnya dan bekerja sama dengan lebih banyak mitra pelaksana
yaitu PATTIRO, BAHTERA, KARINAKAS, SIGAB, SAPDA, YASMIB, PPDI Situbondo,
Sehati, dan PSLD Brawijaya. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 2 ini, PATTIRO
fokus dalam penyusunan kajian dan rekomendasi kebijakan berdasarkan capaian
dan inovasi yang lahir selama Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Penyusunan
kajian ini yang menjadi bahan utama penulisan buku yang sedang ada di
hadapan pembaca sekalian. Melalui kajian dan rekomendasi kebijakan dimaksud,
diharapkan dapat berkontribusi pada perbaikan pelayanan publik bagi disabilitas
melalui penyusunan kebijakan di tingkat nasional.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 21


D.2 Profil Lembaga Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas
D 2.1 SAPDA di Kota Banjarmasin
Lembaga Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak yang disingkat SAPDA
berdiri pada bulan Juli 2005 dan menjadi badan hukum dengan pengesahan
pada 2 Desember 2005 dengan Akta Notaris: Anhar Rusli, SH. Nomor: 51 tahun
2005. Tujuan didirikannya SAPDA adalah agar tercipta suatu inklusivitas dalam
aspek kehidupan sosial yang menjadi hak dasar perempuan, disabilitas dan anak
di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan Hak Asasi
Manusia (HAM).
SAPDA bergerak dalam advokasi kebijakan di tingkat daerah, pendampingan
dan pemberdayaan terhadap perempuan, disabilitas dan anak, khususnya di sektor
kesehatan dan pendidikan. Saat ini, SAPDA masih fokus pada beberapa aktivitas,
yaitu penguatan dan pemberdayaan perempuan disabilitas, pendampingan
disabilitas dan penguatan organisasi di tingkat lokal, kajian keilmuan dan riset,
advokasi kebijakan kesehatan disabilitas, dan pendampingan kesehatan kepada
disabilitas di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tujuan atau visi SAPDA adalah terciptanya suatu inklusivitas dalam aspek
kehidupan sosial yang menjadi hak dasar perempuan, difabel dan anak di
bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan HAM. Misi
SAPDA, di antaranya: a) Melakukan kajian keilmuan dan penelitian ilmiah; b)
Memperjuangkan terwujudnya kebijakan publik yang menjamin pemenuhan hak-
hak dasar perempuan, disabilitas dan anak di bidang pendidikan, kesehatan dan
pekerjaan; c) Melakukan pemberdayaan, pendidikan dan advokasi tentang isu-isu
perempuan, difabel dan anak di kalangan masyarakat luas; d) Menjalin kerja sama
dengan stakeholder berkaitan dengan penanganan persoalan perempuan, difabel
dan anak; e) Membangun SAPDA sebagai crisis center bagi perempuan, difabel dan
anak.
Salah satu program yang dilaksanakan SAPDA adalah Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, SAPDA memfasilitasi pengembangan
inovasi dan praktik baik Sekolah Dasar Inklusi di Kota Banjarmasin, Provinsi
Kalimantan Selatan.

D.2.2 SIGAB di Kulon Progo


Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) adalah organisasi non
pemerintah yang bersifat independen, nirlaba, dan nonpartisan. SIGAB didirikan di
Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 2003. Organisasi yang mempunyai motto “Bersama
Menuju Masyarakat Inklusi” ini mempunyai cita-cita besar untuk membela dan

22
memperjuangkan hak-hak disabilitas di seluruh Indonesia hingga terwujud
kehidupan yang setara dan inklusif.
SIGAB didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga disabilitas masih
dimarginalkan, baik secara struktural maupun kultural. Hak-hak warga disabilitas,
seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan
hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan
fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak. Dengan kata lain, telah terjadi
diskriminasi terhadap warga disabilitas.
SIGAB berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia merupakan makhluk
yang diciptakan Tuhan dengan derajat kesempurnaan tertinggi dan mempunyai
hak yang sama dalam mengembangkan potensi diri untuk mencapai kesejahteraan
hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya jika dalam kehidupan ini terdapat
sekelompok orang yang tersisihkan dari lingkungan sosialnya hanya karena
keadaan yang berbeda. Program SIGAB dengan jaringannya berusaha menciptakan
kehidupan yang menempatkan semua manusia dalam kesejajaran sehingga tidak
ada lagi yang tersisihkan.
Salah satu program yang dilaksanakan SIGAB adalah Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, SIGAB memfasilitasi pengembangan
inovasi Puskesmas yang ramah disabilitas dan pelayanan kesehatan khusus dan
kolaboratif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kabupaten Kulon Progo,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

D.2.3 KARINAKAS di Sukoharjo


Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang (KARINAKAS) berdiri pada 12 Juni
2006, dua minggu sesudah gempa 5,9 skala Richter menghantam DI Yogyakarta dan
sebagian Jawa Tengah. Pada perjalanannya, KARINAKAS melewati fase emergency,
post-emergency, dan rehabilitasi. Hingga awal 2008, aktivitas KARINAKAS masih
berada dalam lingkup proses pemulihan pasca gempa. Rekonstruksi bangunan
(rumah dan bangunan pendidikan), asistensi sosial, dan pemberdayaan kehidupan
sosial menjadi pusat perhatian.
Pada 2009, KARINAKAS beranjak dari tema gempa Yogya 2006. Secara partisipatif,
dirumuskan rencana strategis KARINAKAS 2009-2013. Program yang menjadi fokus
adalah: 1) Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM); 2) Pengurangan Risiko
Bencana (PRB); dan 3) Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PMM). KARINAKAS
merupakan anggota keluarga besar Caritas Internationalis yang berpusat di Roma.
Dalam koordinasi dengan Karina KWI, KARINAKAS bersama dengan ratusan
anggota Caritas dari berbagai negara di seluruh dunia bersama-sama mewujudkan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 23


tata dunia yang lebih adil bagi semua orang, terutama mereka yang kecil, lemah,
miskin, tersingkir, dan disabilitas. Iman Gereja pada Allah yang digali dari tradisi
dan kitab suci menjadi sumber inspirasi dan semangat dalam melaksanakan
mandat KARINAKAS.
Sejak tanggal 9 Agustus 2017, KARINAKAS telah berubah menjadi Yayasan yang
berbadan hukum dan memiliki NPWP sendiri. Akta pendirian Yayasan KARINAKAS
bernomor 28 tertanggal 9 Agustus 2017. Arah dan gerak Yayasan KARINAKAS tetap
mengacu pada arah dan gerak Keuskupan Agung Semarang, khususnya bergerak
dalam bidang sosial dan kemanusiaan.
Visi KARINAKAS adalah “Hadirnya Roh Kepedulian Demi Martabat Manusia”,
sedangkan misinya yaitu: a) Membangun gerakan dan semangat belarasa
yang mampu menegakkan keadilan, kedamaian, dan keutuhan ciptaan; b)
Mengembangkan pelayanan yang terpadu untuk menumbuhkan kemandirian
masyarakat; c) Membangun jejaring dengan karya-karya paroki, kategorial,
keuskupan dan lembaga terkait, di tingkat nasional dan internasional; d)
Menggalang sumber daya demi pelayanan kepada sesama.
Salah satu program yang dilaksanakan KARINAKAS adalah Program Peduli
Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, KARINAKAS memfasilitasi
pengembangan inovasi Kartu Disabilitas dan pelayanan kesehatan bagi disabilitas
terintegrasi dan berkelanjutan (pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus/
ABK) di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah.

D.2.4 Yayasan Swadaya Mitra Bangsa di Bone


Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB) Sulawesi didirikan sejak tahun
1999. Pendirian YASMIB ini dilatarbelakangi oleh realitas bangsa Indonesia yang
mengalami kondisi yang memprihatinkan. Berawal dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan hingga berujung pada krisis multidimensional.
Berdasarkan realitas dan fakta di atas, YASMIB Sulawesi sebagai organisasi non
pemerintahan (NGO) berupaya menggunakan hak politiknya untuk mendorong
lahirnya transformasi sosial, dan berpartisipasi aktif melahirkan solusi nyata untuk
penyelesaian persoalan masyarakat, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas.
Terwujudnya kehidupan masyarakat yang mandiri dalam berbangsa dan bernegara
berdasarkan prinsip-prinsip yang demokratis menjadi visi dari YASMIB.
Misi YASMIB di antaranya: a) Mengembangkan potensi sumber daya manusia
(SDM) secara swadaya terhadap penguatan pengembangan ekonomi, sosial budaya
dan politik yang berperspektif gender; b) Mendorong terwujudnya sistem politik,
hukum, ekonomi dan birokrasi yang bersih; c) Mendorong untuk memperkuat

24
partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan
kebijakan publik yang responsif gender dan pro-rakyat; d) Mewujudkan upaya
advokasi untuk melahirkan kebijakan yang memihak bagi kelompok perempuan,
rakyat miskin serta kelompok marjinal lainnya yang adil gender dan berkearifan
lokal.
Beberapa kegiatan dalam rangka mewujudkan visi dan misinya tersebut,
di antaranya melakukan riset, kajian, dan pengembangan sumber daya yang
berbasis potensi sumberdaya lokal, melakukan analisis dan advokasi anggaran dan
kebijakan publik, serta memfasilitasi peningkatan dan penguatan kapasitas bagi
kelompok basis.
Salah satu program yang dilaksanakan YASMIB adalah Program Peduli
Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, YASMIB dibantu oleh Lembaga
Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone, yaitu mitra YASMIB dalam melakukan
advokasi kebijakan dan anggaran di Kabupaten Bone terutama menyangkut
masalah perempuan, anak, dan kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas.
Inovasi yang difasilitasi pengembangannya oleh YASMIB adalah perencanaan
dan penganggaran desa yang responsif disabilitas di Kabupaten Bone, Provinsi
Sulawesi Selatan.

D.2.5 6 BAHTERA di Sumba Barat


Yayasan Bina Sejahtera Indonesia (BAHTERA) didirikan pada tanggal 8 April
2002 di Katiku Loku, Kecamatan Katiku Tana, Kabupaten Sumba Barat, Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Pembentukan lembaga ini dilandasi oleh kegelisahan akan
situasi kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh rakyat di daerah ini.
Keprihatinan utama berkaitan dengan belum terpenuhi kebutuhan dasar
masyarakat khususnya dalam hal pangan, pendidikan dan kesehatan. Dalam
penilaian penggagas lembaga ini, berbagai persoalan yang membelit masyarakat
Sumba disebabkan oleh lemahnya pelayanan pemerintah kepada rakyat, khususnya
dalam hal menyediakan pelayanan pendidikan yang memadai. ”Terwujudnya
Kehidupan Masyarakat Miskin Dan Perempuan Yang Sejahtera Dalam Iklim Dan
Tatanan Sosial Yang Adil, Demokratis Dan Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia ”
merupakan visi dari BAHTERA.
Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, maka BAHTERA mendorong
berlangsungnya proses peningkatan kapasitas masyarakat dan pembelajaran
berkelanjutan di luar institusi formal (sekolah), yang pada akhirnya diharapkan
menunjang daya kritis, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk mendorong
perubahan, khususnya dalam menuntut pelayanan publik yang lebih memadai dan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 25


berkualitas. Upaya mendorong kebijakan publik yang mengakomodir kepentingan
dan hak-hak dasar serta memberikan kesempatan yang adil bagi kaum miskin dan
perempuan merupakan salah satu misi BAHTERA.
Salah satu program yang dijalankan BAHTERA adalah Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, BAHTERA memfasilitasi pengembangan
inovasi perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas di Kabupaten Sumba
Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

D.2.6 PATTIRO
PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) adalah sebuah organisasi riset
dan advokasi yang resmi berdiri pada 17 April 1999 dan telah bekerja di lebih
dari 17 provinsi dan 70 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Selama ini, PATTIRO
memusatkan perhatiannya pada isu tata kelola pemerintahan daerah, terutama
isu desentralisasi. Melalui program kerjanya, PATTIRO aktif mendorong terciptanya
tata kelola pemerintah daerah yang baik, transparan, dan adil demi mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kegiatan yang dilakukan PATTIRO selain penelitian, juga pendampingan teknis
kepada pemerintah, dan membantu masyarakat dalam melakukan advokasi
dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mereformasi kebijakan,
memperbaiki pelayanan publik dan pengelolaan anggaran publik. PATTIRO
mempunyai visi “Menjadi pusat keunggulan untuk tata kelola pemerintah daerah
yang lebih baik”.
Dalam rangka mencapai visinya, PATTIRO menjalankan misi yakni: 1) Mendorong
terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat secara adil dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dan alokasi anggaran publik; 2) Memperkuat kapasitas
masyarakat, warga, dan aparatur pemerintah dalam pembuatan keputusan publik
yang partisipatif dan berkualitas; dan 3) Mengembangkan model tata pemerintahan
lokal (local governance) yang baik untuk terwujudnya keadilan sosial.
Saat ini PATTIRO bekerja dalam 3 fokus area, yaitu : 1) Akuntabilitas Pelayanan
Publik , 2) Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik, dan 3) Transparansi. Dari sekian
banyak program yang mendukung pencapaian misi, di antaranya adalah Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, PATTIRO memfasilitasi
pengembangan inovasi dan praktik baik Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas
(RPRD) di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Kabupaten
Sorong, Provinsi Papua.

26
E. Batasan Kajian
1. Batasan Lokasi. Kajian ini berlokasi di enam wilayah kerja Program Peduli
Fase 1, meski sejatinya wilayah kerja Program Peduli Fase 1 sendiri lebih dari
enam lokasi tersebut. Lokasi dan jenis inovasi yang dipilih dalam kajian ini
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu sejauh mana inovasi dan praktik
baik itu telah berjalan dan diadopsi pemerintah, kolaborasi dan partisipasi
disabilitas dalam inovasi, dan representasi jenis inovasi dan sektor layanan
publik.
2. Batasan Cakupan Analisis. Setiap inovasi dan praktik baik pelayanan publik
bagi disabilitas ini memiliki karakter yang berbeda. Namun, ada beberapa
aspek umum yang dianalisis untuk memenuhi tujuan awal kajian ini
disusun, yaitu memberi potret dan pembelajaran terkait proses dan aktor,
pembagian peran, hambatan dan faktor pendukung, partisipasi disabilitas,
dan strategi agar praktik baik ini bisa direplikasi atau dikembangkan (scale
up) pada level yang lebih tinggi.
3. Batasan Waktu. Saat kajian ini disusun, proses pengembangan dan
perbaikan inovasi di beberapa wilayah masih berlangsung. Pembahasan
dalam kajian ini dibatasi hingga berakhirnya Program Peduli Fase 1 (akhir
tahun 2016), sehingga hasil dan temuan yang dianalisis dalam kajian itu
kini bisa jadi sudah berkembang.
4. Kajian pelayanan publik ini menggunakan metode stocktaking dan
wawancara mendalam dengan waktu pengambilan data yang terbatas,
sehingga data yang dihasilkan belum tentu bisa menggambarkan
keseluruhan aspek pelayanan publik yang dilakukan oleh mitra peduli.
5. Metodologi kajian. Kajian ini mengedepankan hal-hal kebaruan yang
dilakukan oleh mitra peduli sebagai inovasi, sehingga pengertian dan
aspek-aspek inovasi yang ada, bisa dimaknai berbeda oleh para pihak.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 27


28
BAB II
Inovasi dan Praktik
Baik Pelayanan Publik
Bagi Disabilitas
Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 29
30
BAB II
Inovasi dan Praktik Baik
Pelayanan Publik Bagi Disabilitas

S
ejak awal, tujuan advokasi yang diupayakan setiap CSO yang menjadi mitra
Program Peduli Fase 1 adalah fokus pada upaya mengikis eksklusi bagi
penyandang disabilitas dalam berbagai aspek. Dalam rangka mewujudkan
tujuan ini, maka perbaikan pelayanan publik menjadi salah satu langkah awalnya.
Akses yang mudah dalam pemenuhan hak dasar akan menjadi tahapan awal
bagi disabilitas untuk memiliki akses yang layak dalam meningkatkan kualitas
hidupnya. Setiap inovasi yang dikembangkan di masing-masing wilayah memiliki
keunikan masing-masing. Hal ini berkembang sesuai dengan situasi di wilayah
masing-masing. Selain itu, pemilihan inovasi yang akan dibahas dalam kajian ini
mewakili berbagai sektor yang berbeda dengan model pendekatan yang berbeda
pula.
Wilayah dan cakupan inovasi ini dipilih dari beberapa wilayah dan capaian
Program Peduli Fase 1, mewakili berbagai wilayah di Indonesia hingga Indonesia
Timur. Meskipun beberapa mitra melaksanakan program di lebih dari satu
wilayah, tetapi hanya dipilih satu saja. Inovasi yang dipilih mewakili sektor yang
berpengaruh cukup besar pada pemenuhan hak dasar disabilitas, seperti pelayanan
kesehatan, pendidikan, dan integrasi kebutuhan disabilitas dalam perencanaan
dan penganggaran. Berikut nama inovasi dan praktik baik yang dibahas:

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 31


Tabel 2.1.1 Inovasi dan Praktik Baik

No Inovasi Wilayah/Cakupan Lembaga


A Sektor Kesehatan
1 Rintisan Puskesmas Ramah Kabupaten Lombok Barat, PATTIRO
Disabilitas (RPRD) Kecamatan Lingsar dan
Labuapi
2 Pelayanan Kesehatan Khusus dan Kabupaten Kulon Progo, SIGAB
Kolaboratif bagi Orang Dengan Kecamatan Lendah
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Puskesmas Ramah Disabilitas Kabupaten Kulon Progo
3 Kartu DISABILITAS Kabupaten Sukoharjo KARINAKAS
Pelayanan Kesehatan Disabilitas Kabupaten Sukoharjo
yang Terintegrasi dan Berkelanjutan
(Pelayanan Khusus ABK)
B Sektor Pendidikan
4 Sekolah Dasar Inklusi Kota Banjarmasin SAPDA
C Perencanaan dan Penganggaran Responsif Disabilitas
5 Perencanaan dan Penganggaran Kabupaten Sumba, tersebar BAHTERA
yang Pro Disabilitas di tingkat Desa di 11 desa.
6 Perencanaan dan Penganggaran Kabupaten Bone YASMIB
Desa yang Responsif Disabilitas

32
A. Inovasi dan Praktik Baik
Pelayanan Publik
di Sektor Kesehatan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 33


A.1. PATTIRO: Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD)
A.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Aktor

Sektor : Pelayanan di bidang kesehatan


Stakeholder Kunci : Puskesmas Lingsar dan Dinas Kesehatan
Bentuk Inovasi : Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD)
Lokasi : Kabupaten Lombok Barat

Pelayanan di sektor kesehatan menjadi salah satu capaian pada Program Peduli
Fase 1. Capaian itu berupa inovasi lahirnya Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas
(RPRD) di Puskesmas Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
Lahirnya inovasi ini diawali dengan temuan dan hasil komunikasi dengan
puskesmas Lingsar dan Labuapi tentang ketiadaan layanan khusus yang responsif
kebutuhan disabilitas. Puskemas selama ini tidak memiliki data atau informasi
yang terbaru terkait jumlah dan situasi serta jenis disabilitas yang ada di wilayah
layanannya. Selain ketiadaan data, minimnya pemahaman tentang disabilitas dan
perpektif tentang pentingnya pelayanan kesehatan dan kebutuhan spesifik bagi
disabilitas yang belum terbangun di sisi pemberi layanan juga menjadi salah satu
hal yang menjadi hal yang menjadi perhatian pada awal intervensi program.
Pemahaman dan perpektif tersebut baru terbangun secara utuh selama
proses diskusi dan dialog antara puskesmas, kelompok disabilitas dan stakeholder
lainnya. Salah satu pemahaman kongkret yang dianggap sebagai tahapan penting
munculnya komitmen untuk mewujudkan rintisan puskesmas ramah disabilitas
didapat saat dilakukan pelatihan bahasa isyarat dan simulasi pemberian layanan
bagi berbagai disabilitas. Pada sesi tersebut, petugas dan penyedia layanan
melakukan simulasi untuk memahami hambatan-hambatan yang dialami
disabilitas, misalnya disabilitas netra dan daksa dalam usahanya mengakses
layanan.
Diawali dengan tumbuhnya kesadaran tentang mendesaknya pelayanan bagi
disabilitas dan berdasarkan data yang diterima dari PATTIRO, Puskesmas Lingsar
mulai bisa melihat berbagai kondisi penyandang disabilitas, baik jumlah, jenis
kebutuhan, maupun lokasi tempat tinggalnya sebagai bekal yang cukup untuk
meningkatkan pelayanan bagi disabilitas. Kesadaran Kepala Puskesmas tersebut
kemudian berlanjut menjadi sebuah komitmen khusus untuk menjadikan
Puskesmas Lingsar sebagai puskesmas yang menyediakan pelayanan yang
mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas dengan menjadi Rintisan

34
Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD). Disebut rintisan, karena selain saat itu di
Kabupaten Lombok Barat belum ada puskesmas ramah disabilitas, harapannya apa
yang dilakukan Puskesmas Lingsar ini bisa menjadi standar pelayanan puskesmas
yang bisa direplikasi di puskesmas lain di Kabupaten Lombok Barat. Selain itu,
penggunaan kata rintisan juga karena proses penyediaan pelayanannya dilakukan
secara bertahap.
Upaya penyediaan layanan
itu di mulai dengan perbaikan
“Bagi petugas pelayanan, dampak dari
infrastruktur dan menyiapkan inovasi RPRD adalah petugas sekarang lebih
layanan yang dilakukan secara mengutamakan sikap yaitu senyum, sapa,
bertahap serta terus melibatkan salam. Senyum, sapa, dan salam menjadi
kelompok disabilitas selama sikap kita sehari-sehari sebagai petugas
prosesnya. Inovasi RPRD sendiri layanan.”
terkait erat dengan visi Puskesmas
Kepala Puskesmas Lingsar, H. Billia
Lingsar, yaitu mengoptimalkan Malkan, S.ST.
masyarakat baik disabilitas dan
nondisabilitas ataupun yang mampu
dan tidak mampu untuk hidup sehat.
Selain memberi layanan, puskesmas RPRD juga menjalankan fungsinya dalam
turut mensosialisasikan pemahaman tentang hak-hak disabilitas ke masyarakat
dan kepada semua pihak.
Puskesmas Ramah Disabilitas adalah puskesmas yang diharapkan mampu
memberikan rasa nyaman dan aman serta pelayanan yang setara bagi disabilitas.
Inovasi yang dimaksud diwujudkan dalam infrastruktur dan pelayanan di
Puskesmas Lingsar yang diterapkan sesuai dengan indikator RPRD yang telah
disepakati dalam forum dialog multi stakeholder yang terdiri perwakilan keluarga
penyandang disabilitas, kelompok disabilitas (Komunitas Lingsar Bergerak), Unit
Layanan (Puskesmas Lingsar) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait
yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat. Integrasi RPRD dalam program
Puskesmas berupa program layanan khusus, infrastruktur, petugas dan pemberian
informasi sesuai dengan indikator RPRD. Secara lebih rinci, perubahan yang
dilakukan adalah:
a. Penyediaan ramp khusus untuk kursi roda, yang sebelumnya hanya
menggunakan tangga;
b. Tulisan berjalan (running text) untuk memudahkan disabilitas rungu ketika
menunggu antrian;
c. Pegangan rambat (handrail);

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 35


d. Loket antrean yang adaptif untuk kursi roda;
e. Program jemput bola di delapan desa;
f. Petugas khusus untuk melayani penyandang disabilitas;
g. Penyediaan fasilitas kursi roda di puskesmas.

Seluruh perubahan tersebut sudah terintegrasi dan menjadi agenda Puskesmas


Lingsar yang perlahan-lahan disesuaikan dengan program RPRD. Proses perubahan
dimulai setelah RPRD diresmikan pada bulan November 2015 dan masih terus
dikembangkan sampai sekarang. Oleh karena itu, proses perubahan itu tidak
hanya untuk penyandang disabilitas, tetapi juga menyasar pasien lanjut usia.
Puskesmas Lingsar juga mengembangkan program Posyandu Terpadu, yaitu
menggabungkan pelayanan posyandu untuk remaja, lansia, dan penyandang
disabilitas. Ada petugas khusus untuk melayani penyandang disabilitas. Di setiap
desa, ditetapkan satu dusun yang menjadi percontohan Posyandu Terpadu. Hal
ini dilakukan dengan pertimbangan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang
dapat disediakan oleh puskesmas.
Posyandu Terpadu ini menerapkan metode jemput bola. Bila penyandang
disabilitas tidak mampu datang ke puskesmas, maka petugas yang akan
mengunjungi penyandang disabilitas atau melaksanakan kegiatan posyandu
di tempat yang dapat dijangkau penyandang disabilitas. Puskesmas Lingsar
mengupayakan agar Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama
seluruhnya dapat terakomodasi dengan baik dan nyaman bagi semua pihak,
terutama penyandang disabilitas. UKP tingkat pertama sendiri merupakan program
wajib puskesmas selain usaha kesehatan masyarakat tingkat pertama. Puskesmas
Lingsar sendiri mencantumkan RPRD, yang merupakan bagian dari UKP tingkat
pertama, sebagai program unggulan dalam akreditasi puskesmas.

36
Bagan 2.1. 1 Tahapan RPRD Puskesmas Lingsar

Tahapan RPRD

Koordinasi dan FGD bersama


komunikasi Puskesmas dan Uji akses “Cek
Diskusi serial
dengan SKPD (Dinas Puskesmas”
Puskesmas Kesehatan)

Membangun Pelatihan bahasa


Peluncuran isyarat dan cara
Komitmen Kesepahaman
(launching) interaksi dengan
Kepala dan kesepakatan
dan disabilitas bagi
Puskesmas dalam dialog
Pelaksanaan komunitas dan
Lingsar forum multi
RPRD pemberi layanan
stakeholder

Terlaksananya RPRD ini adalah bukti nyata keterlibatan seluruh komponen


masyarakat, Dinas Kesehatan, SKPD, Puskesmas dan kelompok disabilitas. Hal
ini juga tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan PATTIRO dalam Program Peduli.
Kelompok disabilitas (DPO) yang difasilitasi pembentukannya oleh PATTIRO yaitu
Komunitas Lingsar Bergerak sampai saat ini masih memberikan dukungan kepada
Puskesmas, terutama membantu dalam memberikan informasi kepada Puskesmas
terkait kebutuhan dan keberadaan disabilitas yang membutuhkan pelayanan
kesehatan. Salah satunya, membantu dan memfasilitasi sesama disabilitas untuk
pembuatan kartu jaminan kesehatan, dan membantu penyandang disabilitas
yang ingin berobat ke puskesmas.
Aktor dan peran yang dimainkan masing-masing pihak dalam inovasi RPRD di
Kabupaten Lombok Barat dapat dilihat pada tabel berikut.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 37


Tabel 2.2.1 Aktor Peran Inovasi dan Praktik Baik RPRD Puskesmas Lingsar

Nama Institusi/
Aktor Peran
Organisasi/Nama
Pemerintah Dinas Kesehatan Memberikan Kartu Indonesia Sehat (KIS) bagi
penyandang disabilitas
Puskesmas Labuapi Mendukung proses pembentukan puskesmas
ramah disabilitas :
• Terbuka dan bersedia menjadi puskesmas
percontohan pertama mulai saat diskusi
inisiasi sampai pengembangan dan
implementasi RPRD
• Aktif berpartisipasi dalam diskusi standar
layanan bagi disabilitas
• Mengalokasikan dana untuk RPRD
Puskesmas (Lingsar, Mendukung proses pembentukan puskesmas
Labuapi, Sigerongan, ramah disabilitas :
Parempuan) • Aktif berpartisipasi dalam diskusi standar
layanan bagi disabilitas
Dinas PU dan Menyusun perencanaan dan penganggaran
Bappeda untuk penyediaan infrastruktur yang ramah
disabilitas dalam APBD Kabupaten.
Dinas Sosial Aktif dalam forum diskusi yang difasilitasi
PATTIRO
Masyarakat Kader Posyandu • Aktif berdiskusi dalam perumusan standar
pelayanan RPRD
• Mensosialisasikan inovasi RPRD ke
masyarakat
Tokoh masyarakat, Menerima keberadaan penyandang disabilitas,
tokoh pemuda, dan dan berpartisipasi dalam kegiatan peringatan
masyarakat pada Hari Disabilitas Internasional (HDI)
umumnya
Organisasi Komunitas Lingsar Melakukan advokasi, uji akses, koordinasi
Penyandang Bergerak dengan pemerintah, dan melakukan sosialisasi
Disabilitas serta mengorganisir pelatihan cara berinteraksi
dengan penyandang disabilitas.
Pusat Melakukan advokasi, uji akses, koordinasi
Pengembangan dengan pemerintah, dan melakukan sosialisasi
Potensi Disabilitas serta mengorganisir pelatihan cara berinteraksi
(P3D) Kecamatan dengan penyandang disabilitas.
Labuapi

38
Fasilitator/ Menyelenggarakan pertemuan untuk para
Pendamping PATTIRO stakeholder, dan memfasilitasi peningkatan
kapasitas dalam rangka mendorong
terwujudnya RPRD.
Keluarga FKKADK Kabupaten Memberikan motivasi kepada penyandang
penyandang Lombok Barat disabilitas.
disabilitas

Pada saat Puskesmas Lingsar melaksanakan proses akreditasi yang ditetapkan


oleh pemerintah pusat, Puskesmas mengundang kelompok disabilitas dan
perwakilan PATTIRO serta menunjukkan jika RPRD adalah hasil kolaborasi bersama
yang difasilitasi CSO dan melibatkan peran aktif kelompok disabilitas. Hal itu
menjadi penilaian positif dan mendapat apresiasi dari pemerintah pusat yang
menyatakan bahwa inovasi tersebut sangat bagus karena melibatkan semua unsur.
Inovasi RPRD ini bermula dari upaya pendataan penyandang disabilitas yang
dilakukan PATTIRO di Kecamatan Lingsar dan Labuapi. Hasil pendataan ini kemudian
diserahkan kepada Puskesmas Lingsar, yang sebelumnya tidak memiliki data
tentang penyandang disabilitas dan kebutuhannya. Ketiadaan data disabilitas ini
mengakibatkan Puskesmas kesulitan untuk memetakan kebutuhan dan menyusun
program bagi penyandang
disabilitas. Berdasarkan data
yang diterima dari PATTIRO
“Dahulu, Puskesmas belum aksesibel terhadap
tersebut, Puskesmas Lingsar
disabilitas. Kemudian, PATTIRO melaksanakan
mulai mengetahui kondisi
uji coba aksesibilitas dan membimbing para
penyandang disabilitas, baik petugas layanan kesehatan. Akhirnya, sekarang
jenis kebutuhan maupun lokasi Puskesmas sudah nyaman dan peduli terhadap
tempat tinggalnya. Puskesmas disabilitas, bahkan sekarang sudah ada BPJS-
kemudian mulai menyediakan nya”.
infrastruktur untuk kebutuhan
Sri Sukarni, Ketua HWDI Provinsi NTB dan
penyandang disabilitas secara
Penerima Manfaat.
bertahap.
Inovasi RPRD sendiri terkait
erat dengan visi Puskesmas Lingsar
yaitu mengoptimalkan masyarakat baik disabilitas dan nondisabilitas ataupun yang
mampu dan tidak mampu untuk hidup sehat. Inovasi ini memperoleh dukungan
baik dari pihak Puskesmas sendiri berupa program, infrastruktur, petugas dan
informasi sesuai dengan indikator RPRD, maupun dari masyarakat. Pada awalnya

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 39


Gambar 2.1.1
Aksesibilitas
Puskesmas Lingsar

masyarakat bertanya tentang apa yang dimaksud disabilitas. Setelah itu, masyarakat
antusias untuk mengetahui lebih lanjut mengenai disabilitas dan terlibat dalam
kegiatan yang menyangkut penyandang disabilitas. Pihak puskesmas merespon
hal ini dengan menjadikan Puskesmas yang bukan hanya ramah disabilitas namun
juga sebagai media sosialisasi mengenai hak-hak penyandang disabilitas kepada
semua pihak termasuk masyarakat.
Implementasi RPRD sendiri dimulai sejak bulan Februari 2016 dan masih
terus dilakukan hingga kini. Mengingat RPRD ini merupakan inovasi unggulan
Puskesmas Lingsar dan digunakan sebagai tema akreditasi, maka pihak Puskesmas
Lingsar makin terpacu untuk meningkatkan semua fasilitas agar memenuhi standar
yang dapat digunakan oleh penyandang disabilitas. Selain RPRD yang merupakan
bagian dari UKP tingkat pertama, Puskesmas Lingsar juga menyelenggarakan
usaha kesehatan masyarakat tingkat pertama yang wajib dilaksanakan yang
meliputi pelayanan gizi, promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu,
anak dan keluarga berencana, serta pencegahan dan pengendalian penyakit.

A.1.2. Dampak Inovasi dan Praktik Baik


Dampak langsung dari inovasi dan praktik baik RPRD ini bagi penyandang
disabilitas adalah:
a. Pelayanan yang dapat dijangkau (aksesibel) oleh penyandang disabilitas,
termasuk kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan bagi penyandang
disabilitas yang memiliki hambatan untuk datang ke puskesmas karena
kondisi fisik dan mentalnya.
b. Pelayanan dan pemeriksaan kesehatan rutin bagi penyandang disabilitas
menjadi mudah dilakukan melalui posyandu terintegrasi di tingkat dusun
(mendekatkan layanan).

40
c. Penyandang disabilitas merasa lebih diperhatikan dan memiliki kepercayaan
diri karena berkesempatan untuk berpartisipasi dalam inovasi RPRD ini.

Dampak bagi petugas puskesmas,


petugas kesehatan, dan pembuat “Jadi sekarang ini, kalau puskesmas ada
keputusan di puskesmas, selama apa-apa yang ingin dikembangkan terkait
proses dan implementasinya RPRD atau saat akreditasi puskesmas,
disabilitas selalu dilibatkan. Diundang
adalah menambah pengetahuan,
dan diajak berdiskusi bahkan pada saat
pemahaman terkait hak dasar
persiapan akreditasi”
penyandang disabilitas, pengetahuan
khusus mengenai standar pelayanan Sri Sukarni, disabilitas daksa dan
inklusif, dan pemberian pelayanan asisten koordinator lapangan PATTIRO
yang tepat bagi kondisi disabilitas
yang berbeda-beda.

A.1.3. Faktor Pendukung


Faktor yang mendukung pencapaian inovasi dan praktik baik RPRD ini adalah
tokoh pembaharu (champion) di puskemas dan Dinas Kesehatan, yang sejak
mendapat paparan tentang hak-hak penyandang disabilitas langsung merespon
secara terbuka. Keterbukaan dan komitmen untuk memfasilitasi dan berupaya
memenuhi hak penyandang disabilitas ini ditunjukkan dengan melakukan
perubahan dan perbaikan baik dari segi infrastruktur maupun pemberian
pelayanan. Selain itu, komitmen juga diimplementasikan melalui realokasi
anggaran sebagai respon cepat dan rencana pengalokasian anggaran untuk
penyandang disabilitas di tahun berikutnya.

A.1.4. Tantangan
Tantangan yang dihadapi pada inovasi dan praktik baik RPRD ini di antaranya
adalah:
a. Belum mampu mempengaruhi Rumah Sakit yang tidak mau melayani
penyandang disabilitas yang tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan atau
jaminan kesehatan lainnya, padahal beberapa penyandang disabilitas
belum terdata di administrasi kependudukan, sehingga belum
mendapatkan hak jaminan kesehatan dari Pemerintah;
b. Belum ada kebijakan daerah terkait penyandang disabilitas, sehingga
menyulitkan SKPD terkait untuk menganggarkan kebutuhan bagi
penyandang disabilitas;

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 41


Gambar 2.1.2
Puskesmas Lingsar,
loket sudah direnovasi

c. Aktor kunci di pemerintah daerah (puskesmas dan SKPD) selalu berganti-


ganti, sehingga menghambat komunikasi yang sebelumnya sudah
terbangun;
d. Sebagian penyandang disabilitas masih mengharapkan imbalan uang dari
setiap kegiatan, sehingga tidak bersedia ikut jika tidak ada uang transport
atau imbalan sejenis lainnya.

A.1.5. Partisipasi Disabilitas


Keterlibatan disabilitas dalam inovasi RPRD ini awalnya adalah terlibat secara
individu. Kemudian, PATTIRO memfasilitasi pembentukan komunitas penyandang
disabilitas yaitu Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas (P3D) dan Kelompok
Disabilitas Lingsar Bergerak (KDLB). Melalui pembentukan komunitas ini, PATTIRO
berupaya mendorong partisipasi warga penyandang disabilitas untuk aktif
memperjuangkan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk hidup layak.
Penyandang disabilitas berpartisipasi pada hampir seluruh proses inovasi,
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tindak lanjut dan advokasi.
Termasuk di dalamnya melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial, Dinas
Kesehatan dan Puskesmas dalam rangka melaksanakan pelatihan cara komunikasi
dan berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Partisipasi disabilitas dalam
inovasi ini dapat dilihat pada bagan berikut.

42
Bagan 2.2.1 Partisipasi Disabilitas dalam Inovasi dan Praktik Baik di
Kabupaten Lombok

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Diskusi dengan tim Koordinasi


secara informal Membantu
dengan unit mengawasi
layanan pelaksanaan
Menyusun beberapa puskesmas
pertemuan dan
pelayanan
menyebar undangan dengan agenda
pertemuan. uji akses
Menyiapkan Advokasi ke
launching RPRD pemerintah
Aktif di forum daerah
diskusi
Melakukan
Berkomunikasi penelitian User
dengan jejaring Membantu based survey/
mensosialisasikan survei pengguna
Mengusulkan ke komunitas pelayanan.
program/kegiatan

Partisipasi disabilitas dalam program inovasi ini, selain atas dasar tanggung-
jawab sebagai tim program, juga atas dasar kemauan dan inisiatif penyandang
disabilitas sendiri. Oleh karena itu, relatif mudah bagi PATTIRO untuk mengajak
disabilitas berpartisipasi, karena inisiatif dan kemauan penyandang disabilitas
cukup tinggi. Sejak awal proses inisiatif dan forum diskusi, penyandang disabilitas
aktif dalam menyampaikan kebutuhan mengenai akses layanan, sehingga
penyandang disabilitas, PATTIRO, dan penyedia layanan dapat berjalan seirama
dalam melaksanakan program inovasi RPRD dimaksud.

A.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan


Inovasi ini berkaitan erat dengan visi puskesmas yaitu mengoptimalkan
masyarakat untuk hidup sehat, mengingat sehat merupakan hak semua orang,
baik yang mampu maupun tidak mampu, termasuk penyandang disabilitas dari
beragam latar belakang. Oleh karena itu, pihak Puskesmas relatif mudah menerima
gagasan RPRD.
Selain Puskesmas, Dinas Kesehatan juga telah menerima dengan baik inovasi
RPRD ini, karena dalam beberapa kali pertemuan dengan Dinas Kesehatan,

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 43


PATTIRO berusaha menyampaikan gagasan inovasi dan meyakinkan pentingnya
inovasi pelayanan kesehatan yang ramah disabilitas. Dari beberapa pertemuan
tersebut, tampak dukungan dan komitmen yang serius dari Dinas Kesehatan.
Melalui dukungan Dinas Kesehatan, dilakukan intervensi untuk merintis
puskesmas yang ramah disabilitas di dua puskesmas, yaitu Puskesmas Lingsar dan
Puskesmas Labuapi. Setelah keduanya sukses mengimplementasikan RPRD, maka
dilakukan replikasi kepada dua puskesmas lainnya, yaitu Puskesmas Sigerongan
dan Puskesmas Perampuan. Selanjutnya adalah Puskesmas Gunung Sari dan
Puskesmas Kediri. Secara bertahap, RPRD ini akan direplikasi ke seluruh puskesmas
di Kabupaten Lombok Barat. Inovasi ini juga dapat dikembangkan ke unit
pelayanan publik lainnya, seperti kantor kecamatan. Dengan mengikuti standar
yang sudah diterapkan di Puskesmas, maka kantor kecamatan menjadi mudah
diakses dan ramah disabilitas. Replikasi ini memerlukan dukungan kebijakan dari
pemerintah daerah.
Meskipun sudah diterima dengan baik dan direplikasi, tetapi inovasi RPRD
ini belum dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scale up). Hal itu
disebabkan belum adanya dukungan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah
atau peraturan bupati, sehingga belum dapat dialokasikan anggaran khusus
untuk pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Selama ini, anggaran
yang diperuntukan untuk RPRD berasal dari dana Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) yang dimiliki masing-masing puskesmas, termasuk penyediaan sarana
dan prasarana untuk RPRD yang seluruhnya disiapkan oleh puskesmas. Masing-
masing puskesmas memiliki jumlah
anggaran yang berbeda, sehingga
penyediaan fasilitas untuk masing-
“Dengan adanya inovasi RPRD, masing puskesmas juga berbeda, tak
kami mulai berbenah untuk dapat dibuat sama/seragam.
mengimplementasikan puskesmas yang
Inovasi RPRD juga telah
layanannya ramah disabilitas.”
dikembangkan melalui pelayanan
Kepala Puskesmas Lingsar, H. Billia kunjungan ke rumah bagi penyandang
Malkan, S.ST. disabilitas (home visit) dan sudah
dijalankan hingga pelayanan ke
tingkat desa. Sementara itu, peluang
untuk direplikasi ke seluruh kantor pemerintah daerah juga relatif besar dengan
mengikuti proses dan standar yang telah diterapkan pada RPRD. Pelibatan semua
unsur dan komitmen untuk implementasi pelayanan yang ramah disabilitas, saat
ini telah dan sedang dilakukan di Kabupaten Lombok Barat. Dimulai dengan

44
penyediaan infrastruktur standar yang ramah disabilitas. Sebagian besar Kantor
Pemerintah Kabupaten Lombok Barat sudah menyediakan akses bagi penyandang
disabilitas, sementara gedung puskesmas yang baru dan kantor pemerintah yang
baru ditekankan untuk mengikuti standar bangunan yang ramah disabilitas.
Dalam rangka replikasi ini, dukungan regulasi, penyediaan SDM dan komitmen
semua pihak sangat menentukan. Dialog antara pemerintah daerah dan kelompok
penyandang disabilitas juga sangat penting, agar aspirasi disabilitas dapat
tersampaikan dan pemerintah dapat mengakomodasinya. Hal lain yang diperlukan
untuk pengembangan inovasi RPRD ini adalah adanya kelompok yang dapat
memfasilitasi dan menjembatani komunikasi antara unit pelayanan publik yang
belum ramah disabilitas dengan penyandang disabilitas, sehingga diharapkan
unit pelayanan publik tersebut menjadi ramah disabilitas. Untuk dikembangkan ke
tingkat yang lebih tinggi, replikasi ini belum dapat dilakukan karena Pemerintah
Provinsi NTB belum terpapar informasi mengenai inovasi RPRD ini.

A.2. SIGAB : Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan Khusus dan


Kolaboratif bagi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)
A.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor

Sektor : Pelayanan di bidang kesehatan


Stakeholder Kunci : Puskesmas Lendah 1, Pemerintah desa, Dinas
Kesehatan Kulon Progo
Bentuk Inovasi : Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan Khusus
dan Kolaboratif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ)

Pelayanan publik inklusif yang digagas oleh SIGAB pada Program Peduli Fase 1
adalah mengembangkan pelayanan kesehatan inklusif bagi disabilitas. Di bidang
kesehatan, SIGAB mengupayakan agar disabilitas yang belum memiliki jaminan
kesehatan dapat memilikinya. Seperti Jamkesus, Jamkesda, dan KIS. Tujuannya,
agar disabilitas dapat memperoleh bantuan layanan kesehatan. Selain itu, SIGAB
juga mendorong dua inovasi dalam pelayanan publik, yaitu puskesmas yang
menyediakan akses layanan publik yang ramah disabilitas dan pelayanan khusus
dan kolaboratif bagi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 45


a. Puskesmas Ramah Disabilitas
Salah satu puskesmas yang sudah ramah penyandang disabilitas di Kabupaten
Kulon Progo adalah Puskesmas Lendah 1. Melalui penggunaan anggaran
perawatan, Kepala Puskesmas Lendah 1, Drg. R.A Hannie Permata Sari memutuskan
untuk merenovasi beberapa bagian dari bangunan puskesmas agar lebih mudah
diakses penyandang disabilitas. Contohnya, loket pendaftaran dan loket obat yang
tadinya tertutup dan relatif tinggi dibongkar dan disesuaikan, termasuk tanjakan
di pintu masuk diubah menjadi landai serta pintu-pintu yang tadinya sempit
diperlebar, sehingga mudah dimasuki oleh pemakai kursi roda. Kamar mandi juga
sudah diberi ramp, agar bisa digunakan oleh penyandang disabilitas.
Perubahan ini dimulai pada saat SIGAB menyelenggarakan pelatihan mengenai
aksesibilitas kepada para pemangku kepentingan di Desa Wahyuharjo dan Desa
Bumirejo. Salah satu materinya adalah meninjau unit pelayanan publik (puskesmas)
untuk melihat sejauh mana pelayanan publik di puskesmas dapat diakses oleh
penyandang disabilitas. Pada kunjungan tersebut, petugas dan kepala puskesmas
menerima masukan terkait kondisi dan fasilitas puskesmas yang belum ramah
disabilitas yang disampaikan langsung oleh penyandang disabilitas. Menindaklanjuti
masukan yang dimaksud, Puskesmas Lendah 1 kemudian melakukan perbaikan
untuk mewujudkan puskesmas yang mudah diakses penyandang disabilitas.
Perbaikan itu menyangkut infrastruktur gedung dan peningkatan kapasitas
bagi petugas puskesmas agar
memahami cara memberikan
“Meski belum sampai keahlian khusus untuk pelayanan khusus bagi pe-
berkomunikasi dengan disabilitas. Namun, ada nyandang disabilitas. Misalnya,
upaya dari kami yaitu memperbaiki komunikasi. mendahulukan saat ada antrian
Misalnya, dokter gigi yang biasanya memakai
atau responsif jika penyandang
masker, saat berkomunikasi dengan tuna rungu,
disabilitas membutuhkan ban-
maskernya dilepas dan memberi penjelasan
tuan khusus saat melakukan
pelan-pelan. Hal ini sudah ada SK nya, untuk
pemeriksaan.
memprioritaskan pelayanan bagi disabilitas
bersama dengan lansia dan anak-anak. Sumber dana untuk inovasi
puskesmas yang ramah disa-
Kepala Puskesmas Lendah 1,Kulon Progo
bilitas ini sepenuhnya dari
APBD. Demikian pula untuk
peningkatan kapasitas berupa
pelatihan juga dananya berasal dari APBD, tetapi SIGAB ikut berkontribusi sekitar
30% untuk transport peserta, konsumsi dan meeting kit. Sementara itu, pemerintah
desa berkontribusi dengan menyediakan tempat dan sarana pelatihan, sedangkan

46
narasumber berasal dari SKPD (Dinas). Sumber daya manusia yang menjalankan
inovasi ini berasal dari fasilitator desa, kader kesehatan, petugas puskesmas, dan
kelompok disabilitas. SIGAB berperan mengembangkan panduan yang digunakan
penyedia pelayanan seperti panduan pembangunan unit pelayanan yang mudah
diakses dan ramah disabilitas. Panduan itu dikembangkan berdasarkan Peraturan
Menteri PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas
Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Manfaat inovasi ini adalah mempermudah penyandang disabilitas dalam
mengakses layanan kesehatan di puskesmas. Bila sebelumnya penyandang
disabilitas merasa kesulitan untuk mengakses puskesmas, sehingga enggan
berobat, kini tidak ada lagi hambatan untuk berobat. Bila sebelumnya,
penyandang disabilitas harus antre cukup lama baik saat menunggu pemeriksaan
atau mengambil obat, sekarang pemeriksaan bagi penyandang disabilitas lebih
cepat dan diprioritaskan. Selain itu, ketika datang berobat ke puskesmas tidak
perlu didampingi banyak orang, karena sudah ada petugas puskesmas yang siap
membantu.
Dana renovasi fasilitas pelayanan agar mudah diakses disabilitas di puskesmas
ini menggunakan dana puskesmas, karena sejak awal pengusulan perubahan oleh
SIGAB dan kelompok disabilitas untuk perbaikan sarana yang akses Puskesmas
menggunakan alokasi anggaran sendiri. Berbeda dengan renovasi balai desa
untuk aksesibilitas penyandang disabilitas yang juga menjadi pusat dan tempat
pertemuan kelompok disabilitas desa yang merupakan bantuan dan bentuk
dukungan langsung dari SIGAB.

b. Pelayanan Khusus dan Kolaboratif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa


(ODGJ)
Kecamatan Lendah adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kulon Progo
dengan jumlah ODGJ tertinggi, khususnya di Desa Bumirejo dan Desa Ngentakrejo
(Sebagai contoh, di salah satu dusun di Desa Bumirejo jumlah ODGJ-nya mencapai
26 orang, bahkan di desa itu, terdapat keluarga yang hampir semua anggota
keluarganya mengalami ODGJ kecuali satu orang). Masalah ODGJ ini juga relatif
rumit bila tidak ditangani serius, karena dapat menyebabkan masalah lainnya.
Contohnya, kasus seorang ODGJ dewasa mengamuk dan menendang ayahnya
hingga lumpuh dan menjadi disabilitas, padahal ayahnya adalah satu-satunya
anggota keluarganya yang masih hidup. Pihak keluarga kemudian memasung
ODGJ tetapi dilarang oleh pemerintah daerah.
Pada awal pelaksanaan Program Peduli Fase 1, SIGAB melakukan penilaian

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 47


(assesment) awal untuk melihat potensi desa dalam rangka mengetahui dukungan
masyarakat terhadap program yang dijalankan. Penilaian ini dilakukan ke
beberapa stakeholder dan pelaku pembangunan di desa. Namun, penilaian awal
itu masih dilakukan secara umum yang menyangkut disabilitas, belum khusus
menyangkut disabilitas jiwa. Sebagian besar beranggapan bahwa ODGJ bukan
bagian dari disabilitas, sehingga tidak dimasukkan dalam kategori penyandang
disabilitas. Akan tetapi, dalam perkembangannya selain sebagai hasil diskusi dan
proses advokasi, Kepala Puskesmas Lendah 1 memang memandang ODGJ ini
sebagai isu penting yang harus ditangani sebab tingginya kasus ODGJ di wilayah
kerja Puskesmas Lendah 1. Selain tinggi, kasus ODGJ juga terjadi secara merata
dimana terdapat minimal 2 ODGJ di setiap dusun. Karena itulah puskesmas
berencana mengembangkan upaya-upaya inovasi terkait ODGJ sebagai prioritas.
Melalui diskusi intensif antara SIGAB, Puskesmas dan pemerintah desa, akhirnya
bersepakat untuk bekerja sama dalam menangani ODGJ.
Proses inovasi dan praktik baik pelayanan khusus dan kolaboratif bagi ODGJ
ini diawali dengan inisiatif Puskesmas untuk menangani tingginya jumlah ODGJ
di Desa Bumirejo. Akan tetapi, terbentur dengan terbatasnya anggaran yang
dialokasikan hanya untuk 20 ODGJ,
padahal Puskesmas ingin agar
seluruh ODGJ mendapatkan
“Kami, sebagai Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) telah menganggarkan alokasi dana.
manfaat dari anggaran
Untuk pemenuhan sarana dan prasarana, kami tersebut.
menggunakan dana operasional Puskesmas. Setelah mendiskusikan
Kalau untuk kunjungan ke rumah ODGJ, kami hal tersebut dengan SIGAB,
menggunakan bantuan operasional kesehatan. kemudian Puskesmas Lendah
Sedangkan untuk pertemuan-pertemuan dengan 1 bekerja sama dengan SIGAB
keluarga ODGJ dananya kontribusi dari desa. ” menyelenggarakan pelatihan
Kepala Puskesmas Lendah 1, Drg. R.A Hannie bagi Kader sehat jiwa, agar
Permata Sari penanganan ODGJ ini tidak
hanya dilakukan puskesmas,
tetapi juga melibatkan semua
stakeholder di desa yaitu pemerintah desa, warga dan tokoh masyarakat. Peserta
Pelatihan Kader Sehat Jiwa ini adalah kepala dukuh, perwakilan RT dan RW,
keluarga disabilitas, kelompok disabilitas, kader posyandu, dan tokoh masyarakat,
sedangkan narasumbernya berasal dari Rumah Sakit Jiwa Grhasia yang selama
ini menangani ODGJ. Pelatihan ini memberikan pengetahuan dan pemahaman
kepada peserta tentang cara pengobatan ODGJ, cara merespon saat ODGJ kambuh,

48
Gambar 2.2.1 Pelatihan
membuat kue bagi ODGJ
yang sudah sembuh dan
keluarga

dan menghapuskan stigma negatif yang menghambat penyembuhan ODGJ.


Pelatihan ini ditindak lanjuti dengan pembentukan Forum Penanggulangan
ODGJ tingkat desa yang melibatkan aparatur pemerintah dan masyarakat.
Kepala Desa Bumirejo, Edi Winarna menjadi penggerak utama Forum bersama
Kepala Puskesmas Lendah 1. Forum kemudian menyusun program untuk
memberikan pelayanan bagi ODGJ yang terdiri dari layanan kesehatan dan
layanan pemberdayaan dan penguatan psikis serta penguatan dukungan sistem
(keluarga) bagi kesembuhan dan menekan angka kekambuhan ODGJ. Kegiatan
yang dilakukan dalam program dimaksud adalah:
1. Pemeriksaan rutin sebagai tindakan preventif sekaligus deteksi dini
kekambuhan ODGJ;
2. Alokasi anggaran untuk rujukan;
Pelatihan bagi petugas puskesmas dalam memberikan respon cepat dan
pelayanan bagi ODGJ;
3. Forum Penanggulangan ODGJ.
Forum Penanggulangan ODGJ Tingkat Desa ini dilaksanakan di Desa
Bumirejo dan Desa Lenta, yaitu dua desa ini yang berkomitmen menjadi
desa siaga jiwa, karena jumlah ODGJ-nya yang relatif sangat tinggi.
4. Kampanye di tingkat desa yang berupa Forum multi stakeholder di tingkat
desa ini mengkampanyekan dan berupaya menghapus stigma negatif
terhadap ODGJ dan keluarga ODGJ. Kampanye ini sangat penting, karena
salah satu indikasi tingginya jumlah ODGJ yang kambuh setelah sembuh
diindikasikan karena perlakuan dan stigma negatif dari masyarakat, seperti
mengolok-olok, menjauhi dan mengucilkan ODGJ dan keluarganya.
Keluarga ODGJ sudah memikul beban berat, dalam menangani dan
menghadapi anggota keluarganya dan ODGJ, sehingga tanpa dukungan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 49


dari pemerintah dan masyarakat sekitar akan berpotensi ikut tertekan dan
mendapat beban psikologis.
5. Pelatihan kerja dan penyertaan modal kerja atau alat produksi bagi ODGJ
yang sudah sembuh dan keluarga ODGJ untuk memperkuat kondisi
ekonominya;
6. Penyediaan Jaminan Kesehatan Khusus bagi ODGJ (saat ini terintegrasi
dengan JKN);
7. Forum Support Keluarga ODGJ.

Dukungan kepada keluarga ODGJ dilakukan melalui pertemuan rutin keluarga


penyandang ODGJ yang difasilitasi oleh pemerintah desa dan puskesmas yang
berperan sebagai narasumber dan memandu diskusi. Pada pertemuan ini dilakukan
sesi sharing pengalaman yang memberikan kesempatan kepada keluarga ODGJ
agar saling menceritakan pengalaman dalam merawat ODGJ, hambatan atau
masalah yang dihadapi dan berbagi tips terkait cara perawatan ODGJ. Forum ini
juga merupakan ajang saling menguatkan serta memberi motivasi bagi keluarga
ODGJ.
Forum Penanggulangan ODGJ Tingkat Desa ini dilaksanakan di Desa Bumirejo
dan Desa Lenta, yaitu dua desa ini yang berkomitmen menjadi desa siaga jiwa,
karena jumlah ODGJ-nya yang relatif sangat tinggi.
Inovasi dan praktik baik pelayanan kesehatan ini disebut pelayanan kolaboratif
karena dalam pelaksanaannya terdapat kolaborasi dengan pembagian peran yang
cukup besar antara SIGAB, Puskesmas dan Pemerintah Desa. Inovasi ini dapat
dikatakan salah satu contoh ideal penanganan kesehatan disabilitas yang sesuai
dengan konteks dan permasalahan khusus disabilitas.
Manfaat dari inovasi ini yang telah dijalankan sejak tahun 2015 ini adalah ODGJ
memperoleh Jaminan Kesehatan Khusus (disabilitas), Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Inovasi ini juga telah mengubah
persepsi masyarakat dan keluarga ODGJ bahwa keberadaan ODGJ bukan
merupakan beban masyarakat, melainkan perlu ditangani dengan cara yang tepat.
Sejak inovasi ini dijalankan, menurut pemerintah desa, secara berangsur-angsur
jumlah ODGJ yang kambuh terus menurun.
Pembagian peran stakeholder dalam penanganan ODGJ di Kabupaten Kulon
Progo dapat dilihat pada tabel berikut.

50
Tabel 2.3.1 Peran Stakeholder dalam Penanganan ODGJ di Kabupaten Kulon
Progo

Nama
Aktor Institusi/ Peran
Organisasi
Pemerintah Pemerintah • Memfasilitasi pertemuan untuk dukungan kepada
Desa keluarga ODGJ;
• Mengalokasikan Dana Desa untuk penanganan
ODGJ (misalnya dalam program pelatihan khusus,
support group dan berbagai kegiatan yang bekerja
sama dengan puskesmas, dan anggaran untuk
penanganan darurat seperti transportasi saat ada
rujukan darurat dan sebagainya);
• Melakukan sosialisasi program penanganan ODGJ.
Puskesmas • Mengalokasikan anggaran untuk penanganan
ODGJ (dalam bentuk berbagai kegiatan baik yang
dilakukan dalam program puskesmas atau program
yang berbagi dengan desa, pembiayaan transportasi
seperti ganti bensin dan makan sukarelawan yang
mengantar pasien ODGJ saat ada kasus mendadak
yang butuh rujukan cepat, dsb);
• Melaksanakan pelatihan kader sehat jiwa;
• Bersama pemerintah desa melaksanakan forum
penanganan ODGJ yang melibatkan kepada dusun/
dukuh dan kader.
Dinas Mengalokasikan anggaran untuk penanganan ODGJ
Kesehatan (khususnya penyediaan obat).
Dinas Sosial • Melaksanakan pelatihan wirausaha bagi ODGJ yang
sudah sembuh.
• Menyediakan informasi bursa kerja bagi ODGJ yang
sudah sembuh.
Kelompok/ Kelompok Melakukan sosialisasi terkait pengobatan bagi ODGJ
organisasi Disabilitas (dilakukan oleh ODGJ yang sudah sembuh dan aktif di
disabilitas Desa (KDD) KDD, dan keluarga ODGJ)
Disabilitas mental berbeda dengan disabilitas fisik,
sehingga sebagian besar keterlibatan diwakili
keluarganya.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 51


Masyarakat Tokoh agama Memberikan dukungan dan terlibat menyosialisasikan
dan tokoh program penanggulangan ODGJ.
masyarakat
NGO/LSM YAKKUM, Menyelenggarakan program sehat jiwa di 11
SIGAB Kecamatan
Penyandang ODGJ ODGJ yang masih sering kambuh, relatif kurang terlibat
disabilitas dalam kegiatan, namun sebagian di antaranya menjadi
penerima manfaat dengan mengikuti pelatihan
keterampilan.
Keluarga Forum • Menyampaikan kebutuhan ODGJ;
Penyandang Support • Saling memberikan dukungan antar ODGJ dan
Disabilitas Keluarga keluarga ODGJ;
ODGJ • Menyosialisasikan program;
• Berpartisipasi dalam program penanggulangan
bersama pemerintah desa dan puskesmas.
Fasilitator/ Fasilitator • Mengkoordinir kader desa dalam pelaksanaan
pendamping Desa program;
• Menjadi penghubung antara puskesmas, kecamatan
dan desa, termasuk memfasilitasi forum-forum di
tingkat desa;
• Berpartisipasi dalam Forum Support Keluarga ODGJ.
Kader Desa • Memobilisasi masyarakat untuk mendukung
program;
• Menyosialisasikan program ke masyarakat melalui
forum pertemuan di tingkat dusun dan RT.

A.2.2. Dampak Inovasi dan Praktik Baik


Inovasi dan praktik baik Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan Khusus dan
Kolaboratif bagi ODGJ ini memberikan dampak positif langsung bagi penyandang
disabilitas, keluarga disabilitas, masyarakat, dan petugas puskesmas, di antaranya:
a. Mengubah perspektif masyarakat dan keluarga disabilitas bahwa
keberadaan ODGJ bukan mengganggu, melainkan perlu ditangani dengan
cara yang tepat;
b. Perubahan perilaku masyarakat dan keluarga terhadap ODGJ dianggap
berpengaruh besar pada menurunnya angka kekambuhan ODGJ sejak
program kolaboratif ini intensif berjalan. Bahkan di salah satu desa (Desa
Bumirejo), angka kekambuhan sampai 0.
c. Kelompok Disabilitas Desa (KDD) yang aktif kemudian dilibatkan dalam

52
Forum Penanggulangan ODGJ dari Desa Bumirejo;
d. ODGJ mendapat Jamkesus dan KIS;
e. Keluarga disabilitas meningkat motivasi dan pengetahuannya tentang
penanganan anggota keluarganya yang ODGJ;
f. Mempermudah disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan di
puskesmas;
g. Penyandang disabilitas, ketika berobat, tidak perlu didampingi banyak
orang, karena sudah ada petugas puskesmas yang siap membantu;
h. Petugas puskesmas menjadi lebih ramah dan lebih peka terhadap
penyandang disabilitas;
i. Penyandang disabilitas tidak perlu mengantri panjang, sehingga proses
pengobatan dan pemeriksaan kesehatan disabilitas menjadi lebih cepat.
j. Tenaga kesehatan memiliki kepekaan dan peningkatan pemahanan
tentang bagaimana memberi pelayanan bagi ragam disabilitas.

“Yang dulunya dibiarkan, sekarang kalau mau kambuh langsung dicarikan


obat. Jadi, keluarga sudah bisa mengenali gejala dan menangani kekambuhan
(ODGJ)-nya dengan benar. ODGJ juga berubah, yang biasanya tidak mau
mandi, sekarang mandi. Yang biasanya dibentak-bentak sekarang sudah tidak.
Sebagian ODGJ juga lebih terbuka dan sudah ada perubahan perilaku dalam
mengikuti pengobatannya, karena tidak lagi dikucilkan dan dipasung, jadi
mereka lebih percaya diri untuk mengobati dirinya. Disini ada sekitar 40 ODGJ “.
Edi Winarna, Kepala Desa Bumirejo. Kecamatan Lendah. Kabupaten
Kulon Progo.

A.2.3. Faktor pendukung


Kebijakan daerah terkait larangan memasung ODGJ merupakan faktor
pendukung paling kuat dalam penanganan masalah ODGJ di Kabupaten
Kulon Progo. Adanya larangan pasung tersebut perlahan-lahan mengubah
pandangan masyarakat tentang bagaimana memberikan pertolongan kepada
ODGJ. Faktor lainnya adalah adanya aktor kunci (champion) di unit layanan, yaitu
Kepala Puskesmas Lendah 1, yang dari awal sudah memberikan respon positif
terkait pemenuhan hak disabilitas, termasuk inisiatif awal tentang upaya-upaya
penanganan khusus bagi penyandang disabilitas psikososial (ODGJ).

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 53


A.2.4. Tantangan
Beberapa tantangan yang ditemui dalam inovasi dan praktik baik ini adalah:
a. Masih ada perangkat desa menganggap inovasi hanya menghambur-
hamburkan biaya, karena jumlah disabilitas relatif sangat sedikit
dibandingkan dengan jumlah warga yang tanpa hambatan;
b. Ada kepala dusun yang tidak partisipatif, yang menganggap bahwa
bantuan yang diperlukan disabilitas hanya sebatas santunan sembako;
c. Relatif sedikit peserta yang mengikuti pelatihan penerjemahan bahasa
isyarat bagi disabilitas rungu, karena jumlah disabilitas rungu sedikit,
sehingga dianggap bukan prioritas;
d. Biasanya ODGJ tidak merasa bahwa dirinya sakit, sehingga tidak bersedia
untuk diobati;
e. Obat tertentu untuk penyembuhan ODGJ dengan dosis tertentu tidak
tersedia di Puskesmas, dan hanya dapat diperoleh di Rumah Sakit Jiwa;
f. Sebagian kader kesehatan masih menganggap bahwa ODGJ bukan
termasuk disabilitas.

A.2.5. Partisipasi Disabilitas


Keterlibatan disabilitas dalam inovasi ini diwakili oleh Kelompok Disabilitas
Desa (KDD). Organisasi ini dibentuk dan diinisiasi oleh SIGAB. Dahulu, sebelum
terbentuknya KDD, disabilitas bergerak secara individu, sehingga relatif aspirasinya
kurang diperhatikan oleh penyedia layanan, karena dianggap tidak mewakili
aspirasi disabilitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, setelah KDD terbentuk dan
bekerja, KDD relatif sangat berpengaruh terhadap pembuat kebijakan. Keterlibatan
disabilitas dalam proses inovasi dapat dilihat dari bagan berikut:

54
Bagan 2.3.1 Keterlibatan Disabilitas (KDD) dalam Proses Inovasi dan Praktik
Baik

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Mengikuti
Membantu
pelatihan
mengawasi
Advokasi ke pelaksanaan
pemerintah desa perbaikan akses
Berpartisipasi
di Puskesmas dan
dalam Forum
Mengusulkan Balai Desa
Penanggulangan
perubahan akses
ODGJ
di Puskesmas dan
Balai Desa agar
ramah disabilitas Audit sosial ke Membantu
lokasi layanan pengawasan
Advokasi ke
publik penanganan
Puskesmas
ODGJ
Sosialisasi
program

Disabilitas terlibat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut,


serta monitoring dan evaluasi. Pada tahap perencanaan, dalam forum pertemuan
antar stakeholder, disabilitas mengusulkan perubahan pelayanan di Puskesmas
dan balai desa agar ramah disabilitas. Pada tahap pelaksanaan, disabilitas
mengikuti pelatihan-pelatihan, mengikuti forum penanggulangan ODGJ, ikut
serta melakukan audit sosial layanan publik, serta mensosialisasikan program.
Pada tahap tindak lanjut, disabilitas berpartisipasi langsung untuk mengadvokasi
haknya ke Puskesmas dan balai desa. Penyandang disabilitas juga secara kontinyu
melaksanakan pemantauan dan mengawasi pelaksanaan perbaikan akses layanan
publik agar ramah disabilitas di Puskesmas dan balai desa. Dalam penanganan
ODGJ, disabilitas ikut serta dalam mengawasi penanganan ODGJ, yaitu dengan
mengingatkan waktu minum obat atau mengantar ODGJ ke Rumah Sakit Jiwa
Grhasia.

A.2.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan


Secara umum, penerimaan Puskesmas terhadap inovasi dan praktik baik
Puskesmas Ramah Disabilitas sangat baik. Penerimaan Puskesmas tersebut terlihat

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 55


ketika SIGAB menyusun daftar periksa (check list) pelayanan puskesmas yang belum
ramah disabilitas, seperti akses ke toilet, pintu masuk yang relatif sempit bagi
disabilitas, belum tersedia ramp, dan loket pendaftaran serta loket pengambilan
obat yang tinggi hingga menyulitkan disabilitas. Daftar periksa ini kemudian
disampaikan pada saat pelatihan bahwa unit pelayanan kesehatan harus ramah
bagi disabilitas. Tidak lama kemudian, Puskesmas melakukan renovasi cukup
signifikan agar mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Advokasi mengenai
inovasi dan praktik baik ini memang baru dilakukan sebatas kepada Puskesmas,
sedangkan Dinas Kesehatan belum dijangkau.
SIGAB bersama kelompok disabilitas juga sudah menyampaikan ke Bupati
Kulon Progo tentang pentingnya penyediaan akses layanan bagi disabilitas.
Namun, karena belum ada panduan mengenai standar akses layanan kesehatan
yang ramah disabilitas, maka belum dapat ditindak lanjuti oleh Bupati. Bila sudah
ada panduannya, Bupati bersedia menerbitkan surat edaran ke instansi pemerintah
daerah (Organisasi Perangkat Daerah/OPD) mengenai pedoman pembangunan
sarana dan prasarana baru yang ramah disabilitas.
Sementara itu, untuk inovasi Pelayanan Khusus dan Kolaboratif bagi ODGJ,
penerimaan pemerintah
desa terhadap inovasi ini
“Yang dulunya dibiarkan, sekarang kalau mau kambuh
sangat baik. Hal ini
langsung dicarikan obat. Jadi, keluarga sudah bisa
dibuktikan dengan adanya
mengenali gejala dan menangani kekambuhan (ODGJ)-
alokasi Dana Desa untuk
nya dengan benar. ODGJ juga berubah, yang biasanya
tidak mau mandi, sekarang mandi. Yang biasanya
program khusus pember-
dibentak-bentak sekarang sudah tidak. Sebagian ODGJ dayaan ODGJ dan ke-
juga lebih terbuka dan sudah ada perubahan perilaku luarganya, memfasilitasi
dalam mengikuti pengobatannya, karena tidak lagi tempat dan sarana-
dikucilkan dan dipasung, jadi mereka lebih percaya diri prasarana untuk perte-
untuk mengobati dirinya. Disini ada sekitar 40 ODGJ “. muan Forum Keluarga
Edi Winarna, Kepala Desa Bumirejo. Kecamatan ODGJ, dan mengalokasikan
Lendah. Kabupaten Kulon Progo. anggaran untuk mengan-
tar ODGJ ke Rumah Sakit
Jiwa. Demikian pula de-
ngan Puskesmas yang telah mengalokasikan anggaran untuk pelatihan kader
sehat jiwa. Sementara itu, Dinas Kesehatan mengalokasikan anggaran untuk
penanganan ODGJ berupa subsidi obat khusus melalui puskesmas.
Inovasi untuk penanganan ODGJ direncanakan akan dikembangkan lebih lanjut
berupa deteksi dini disabilitas, kemudian pelatihan untuk petugas, serta jejaring

56
mitra penyedia layanan kesehatan untuk memudahkan rujukan pelayanan
kesehatan. Upaya yang telah dilakukan Puskesmas adalah peningkatan kapasitas
SDM agar lebih terbuka dalam menerima masukan, adanya komunikasi intensif
antara puskesmas dengan desa setempat, dan adanya perawatan di rumah (home
care) untuk penyandang disabilitas.
Inovasi penanganan ODGJ ini menarik untuk direplikasi ke seluruh Puskesmas
dan desa di Kabupaten Kulonprogro, terutama ke desa-desa yang jumlah ODGJ-nya
tinggi. Pada saat yang sama, organisasi nirlaba, YAKKUM juga sedang menjalankan
program penanganan kesehatan jiwa di 11 kecamatan di Kulon Progo, sehingga
dapat disinergikan.
Selain itu, inovasi ini juga dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi
baik ke tingkat kabupaten maupun provinsi. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja
sama seluruh stakeholder yang telah terlibat dalam program dengan Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo. Dalam rangka scaling up tersebut, perlu dilakukan
penyusunan panduan penanganan ODGJ dengan tahapan yang jelas dan rinci,
dan penyediaan data berupa angka penurunan ODGJ pasca pelaksanaan program
yang membuktikan bahwa program ini berhasil dan layak untuk direplikasi dan
dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi.

A.3. KARINAKAS : Kartu DISABILITAS dan Pelayanan Kesehatan Disabilitas


Terintegrasi dan Berkelanjutan
A.3.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor
KARINAKAS mengembangkan dua inovasi dan praktik baik pelayanan publik di
sektor kesehatan, yaitu Kartu DISABILITAS dan Pelayanan Kesehatan Terintegrasi
dan Berkelanjutan. Inovasi dan praktik baik ini dimulai dari tempat pelayanan
kesehatan yang ramah disabilitas kemudian dilanjutkan dengan upaya-upaya
untuk memastkan disabilitas sebagai kelompok rentan dapat memperoleh
mendapat pelayanan kesehatan.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 57


a. Kartu DISABILITAS

Sektor : Pelayanan di bidang kesehatan


Stakeholder Kunci : Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kabupaten
Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah
Bentuk Inovasi : Kartu DISABILITAS untuk menjamin disabilitas bisa
mengakses layanan kesehatan gratis.

KARINAKAS bekerja sama dengan stakeholder terkait khususnya Pemerintah


Daerah Sukoharjo untuk memastikan akses pelayanan kesehatan bagi semua
disabilitas tanpa terkecuali. Dinas Kesehatan mengakomodir dan memastikan
kebutuhan pelayanan kesehatan bagi semua disabilitas terpenuhi dengan
memasukkan penyandang disabilitas ke dalam data jaminan kesehatan
daerah. Untuk menjamin pelayanan kesehatan penyandang disabilitas dan
memudahkan proses aksesnya, maka Dinas Sosial menerbitkan Kartu DISABILITAS
yang ditandatangani langsung oleh Bupati. Penerbitan Kartu DISABILITAS ini
dilatarbelakangi temuan data hasil survei yang dilakukan oleh KARINAKAS yang
menunjukan banyak penyandang
disabilitas belum memperoleh
pelayanan kesehatan gratis dari
pemerintah. Mekanisme rujukan
untuk mendapat pelayanan
kesehatan gratis selama ini
menjadi salah satu hambatan.
Pada mekanisme awal, jika ada
disabilitas yang ingin mendapatkan
kartu Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) atau mendaftar untuk
memperoleh pelayanan gratis harus
mendapatkan rekomendasi dari

Gambar 2.3.1
Kartu Disabilitas

58
“Masih banyak warga disabilitas yang belum mendapatkan kartu JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional). Mereka mengalami kesulitan saat mengurusnya, karena
harus ada surat keterangan dari Dinas Sosial. Selain itu, ada juga kendala yang
dirasakan oleh warga disabilitas dan keluarganya, yaitu harus melampirkan
surat dampingan dari Dinas Sosial, karena data disabilitas belum terkelola
dengan baik. Oleh karena itu, KARINAKAS memfasilitasi, sehingga Pemerintah
Kabupaten Sukoharjo kemudian menerbitkan regulasi mengenai disabilitas
dan Kartu DISABILITAS tahun 2015. Tahun 2015 kita membuat regulasi untuk
disabilitas sampai cetak kartu. Pencetakannya melalui Dinas Sosial tapi
difasilitasi oleh KarinaKas.”
Yuni, Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo

pemerintah desa, kecamatan dan Dinas Sosial. Setelah itu, baru permohonannya
dapat diajukan ke Dinas Kesehatan.
Di Kabupaten Sukoharjo sebagaimana juga di semua daerah, tidak semua
warga miskin bisa diakomodasi sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN karena
adanya keterbatasan kuota, termasuk bagi disabilitas. Sementara itu, Pemerintah
Kabupaten Sukoharjo melalui Dinas Kesehatan memiliki program Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda), yang menjamin semua penyandang disabilitas, baik
yang kategori mampu maupun tidak mampu, menjadi penerima manfaat Jamkesda.
Namun, dalam praktiknya, tidak mudah bagi disabilitas untuk mendaftarkan diri
sebagai penerima manfaat Jamkesda, karena harus mendapatkan rekomendasi
dari pemerintah desa, kecamatan dan Dinas Sosial. Bagi penyandang disabilitas,
tantangan itu terjadi karena adanya keterbatasan gerak, tenaga dan waktu,
jarak serta serta biaya transportasi bagi keluarga pendamping disabilitas untuk
mengurus rekomendasi dan pendaftaran tersebut.
Melalui diskusi intensif antara Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan KARINAKAS,
akhirnya disepakati solusi untuk mengatasi hambatan bagi disabilitas ini melalui
penerbitan Kartu DISABILITAS, yang bertujuan untuk memudahkan penyandang
disabilitas mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa melalui proses rekomendasi
yang dianggap menyulitkan penyandang disabilitas. Pada awalnya, dinas kesehatan,
KARINAKAS dan Dinas Sosial berdiskusi solusi pemecahannya dan muncul solusi
penyerderhanaan, kemudian disepakati dengan cara membuat kartu disabilitas.
Tujuan utama awalnya untuk mempermudah rujukan dan mempermudah
disabilitas mendapat layanan kesehatan tanpa proses rekomendasi yang panjang.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 59


Data penyandang disabilitas yang digunakan oleh Dinas Kesehatan dan Dinas
Sosial untuk menerbitkan Kartu DISABILITAS adalah hasil pendataan penyandang
disabilitas yang dilakukan KARINAKAS bersama organisasi penyandang disabilitas
(DPO) dan Tim Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (Tim RBM) yang dibentuk
KARINAKAS di dua kecamatan di Kabupaten Sukoharjo pada saat pelaksanaan
Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada tahap program fase I ini, KARINAKAS
melakukan pendataan di 4 desa dampingan, yaitu Ngreco, Grogol, Krajan, dan Tegal
Sari. Data ini kemudian dikembangkan untuk seluruh kecamatan di Kabupaten
Sukoharjo.
Dalam inovasi ini, Dinas Sosial bertanggung jawab untuk menerbitkan Kartu
DISABILITAS, sementara Dinas Kesehatan bertanggung jawab menyiapkan
infrastruktur pelayanan kesehatan, termasuk memastikan unit layanan kesehatan
mengetahui mekanisme kerja Kartu DISABILITAS ini, sehingga penyandang
disabilitas tidak mengalami hambatan saat menggunakaannya.

b. Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan (PKDTB)


bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Sektor : Pelayanan di bidang kesehatan


Stakeholder Kunci : Dinas Kesehatan, Pemerintah Desa, Bidan Desa,
Kader Posyandu, dan Self Help Group (Organisasi
Penyandang Disabilitas di desa)

Inovasi Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan (PKDTB)


bagi anak berkebutuhan khusus ini adalah inovasi pelayanan kesehatan untuk
disabilitas khususnya Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam bentuk sinergi
antara bidan desa, puskesmas, kader posyandu, anggota SHG (DPO /organisasi
penyandang disabilitas di desa (yang disebut dengan Self Help Group), pemerintah
desa dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.
Inovasi dan praktik baik ini lahir setelah adanya temuan KARINAKAS pada saat
penilaian awal pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 yang menemukan
banyak anak Cerebral Palsy (CP)4. Anak-anak CP yang ditemukan Tim KARINAKAS ini

4 Cerebral Palsy CP) adalah gangguan gerakan, otot, atau postur yang disebabkan oleh cedera atau
perkembangan abnormal di otak, yang mengakibatkan gangguan gerakan yang terkait dengan refleks
berlebihan atau kekakuan, postur tubuh yang abnormal, gerakan tak terkendali, kegoyangan saat
berjalan, atau beberapa kombinasi dari gangguan tersebut.Tanda dan gejala muncul selama masa

60
Gambar 2.4.1
Sosialisasi Deteksi Dini
Disabilitas

tidak diketahui keberadaannya


dan tidak terdata dimanapun
baik di pemerintah desa
maupun puskesmas setempat,
sehingga tidak mendapatkan
penanganan yang semestinya.
Keluarga yang memiliki anak CP
juga tidak memasukkannya ke
dalam Kartu Keluarga dan tidak
berusaha mencari pertolongan
medis bagi anak-anak CP
tersebut.
Temuan ini kemudian ditindak lanjuti oleh KARINAKAS dengan melaksanakan
sosialisasi dan pelatihan kepada Tim RBM, petugas puskesmas, bidan desa, dan
kader posyandu mengenai aksesibilitas dan deteksi dini kedisabilitasan pada anak.
Deteksi sederhana ini menggunakan matriks perkembangan anak bayi hingga usia
lima tahun yang dapat digunakan oleh kader posyandu. Melalui kegiatan ini, semua
pihak diharapkan memiliki kesadaran akan kebutuhan khusus disabilitas baik
dewasa maupun anak-anak (Anak Berkebutuhan Khusus) dan bentuk dukungan
yang dibutuhkan.
Selanjutnya kader posyandu bersama bidan desa melakukan deteksi dini tumbuh
kembang dan kedisabilitasan saat melaksanakan pemeriksaan di posyandu. Bila
menemukan ada gejala atau ketidaksesuaian dengan matriks tumbuh kembang,
maka akan dirujuk ke puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pada beberapa kasus, jika kader memperoleh informasi tentang keberadaan
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang tidak diperiksakan ke puskesmas, maka

bayi atau prasekolah. Orang dengan CP sering memiliki kondisi lain yang berkaitan dengan kelainan
perkembangan otak, seperti cacat intelektual, masalah penglihatan dan pendengaran, atau kejang
(lihat www.mayoclinic.org).

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 61


perwakilan dari Self Help Group bersama kader atau bidan desa akan melakukan
kunjungan ke rumah ABK tersebut. Selain untuk melakukan deteksi dini, kunjungan
ini juga digunakan sebagai pendekatan pada keluarga ABK agar lebih terbuka dan
mau memberikan perawatan tindak lanjut pada ABK dimaksud.
Selain itu, KARINAKAS juga mendampingi pendirian sanggar untuk ABK. Sanggar
ini menjadi tempat terapi alternatif bagi ABK dan wadah orangtua ABK untuk
memperoleh pembelajaran melakukan perawatan dan terapi di rumah. Sanggar ini
dikelola oleh organisasi penyandang disabilitas yang disebut Self Help Group (SHG)5
dari desa Ngreco yang anggotanya adalah penyandang disabilitas dan keluarga
penyandang disabilitas. Self Help Group adalah kelompok disabilitas dan keluarga
disabilitas yang awalnya lebih fokus pada kegiatan pemberdayaan ekonomi bagi
disabilitas dan keluarganya. Namun, dalam perkembangannya SHG bekerja sama
dengan bidan desa dan kader posyandu dalam melakukan upaya perbaikan
pelayanan kesehatan bagi disabilitas khususnya bagi anak berkebutuhan khusus,
serta berperan serta menjadi bagian penting dalam proses pelaksanaan Pelayanan
Kesehatan Disabilitas Berkelanjutan dan Terintegrasi (PKDBT).
Pendirian sanggar ini didukung melalui Program Peduli Pilar Disabilitas Fase
1, tempatnya difasilitasi oleh Pemerintah Desa, sedangkan terapis dan dana
operasional berasal dari iuran orang tua ABK. Saat ini, Pemerintah Kabupaten
Sukoharjo melalui Dinas Kesehatan telah memberikan dukungan berupa dua
tenaga terapis yang dibiayai dari APBD, sehingga saat ini sanggar ini memiliki 4
tenaga terapis. Berikut adalah siklus pelayanan kesehatan bagi disabilitas dalam
Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan (PKDTB).

5 Self Help Group (SHG) adalah kelompok yang beranggotakan penyandang disabilitas dan keluarganya.
Pada awalnya SHG lebih fokus pada kegiatan pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas dan
keluarga disabilitas. Namun dalam perkembangannya, SHG bekerja sama dengan bidan desa dan kader
posyandu dalam melakukan upaya perbaikan pelayanan kesehatan bagi disabilitas khususnya ABK,
serta berperan penting dalam proses pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Disabilitas Berkelanjutan dan
Terintegrasi (PKDBT).

62
Bagan 2.4 .1 Siklus Kesehatan bagi Disabilitas dalam Pelayanan Disabilitas
Terintegrasi dan Berkelanjutan

Pemeriksaan
Rujukan Pemeriksaan kesehatan ABK
Deteksi Dini Dirujuk ke
pemeriksaan kondisi anak di di Sanggar
RSUD
ke puskesmas puskesmas (1x per bulan)

Sanggar
dikelola SHG
Dilakukan oleh Difasilitasi Difasilitasi Difasilitasi oleh dan didukung
Kader dan Kader dan Kader dan puskesmas keluarga
Bidan Desa Bidan desa Bidan desa disabilitas dan
Dinas Kesehatan

Terapi sederhana
di sanggar

Beberapa kegiatan rutin dari PKDBT adalah:


1. Deteksi dini tumbuh kembang oleh kader posyandu dan bidan desa saat
melaksanakan posyandu;
2. Kunjungan ke rumah (home visit) pada penyandang disabilitas yang
dilakukan juru pemantau jentik (jumantik) bersama anggota SHG, untuk
mengidentifikasi keberadaan ABK yang tidak dibawa ke posyandu oleh
keluarganya, dan mengadvokasi keluarga ABK dan ABK sendiri agar
bersedia menerima pengobatan;
3. Terapi ABK di Sanggar oleh terapis dan kader posyandu yang terlatih (untuk
terapi rutin yang ringan sesuai arahan terapis);
4. Pemeriksaan dan penangan ABK di rumah (home care);
5. Pemeriksaan kesehatan penyandang disabilitas di Sanggar;
6. Penyediaan Puskesmas yang ramah disabilitas, dari sisi infrastruktur dan
petugas Puskesmas;
7. Mempermudah proses rujukan bagi disabilitas dengan menggunakan
Kartu DISABILITAS.

Saat ini, telah terbentuk empat sanggar di empat desa di Kabupaten Sukoharjo.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 63


Dinas Kesehatan juga telah menganggarkan pengadaan empat tenaga terapis
untuk sanggar pada tahun anggaran 2017. Tahun sebelumnya hanya 2 orang
terapis. Selain itu, Dinas Kesehatan
juga menyediakan bantuan
“Kami ingin agar penyandang disabilitas aktif, kursi roda, yang pengukuran
melakukannya sendiri dan untuk kepentingannya kursi rodanya dilakukan oleh
sendiri. Jadi, dari, oleh, dan untuk disabilitas. fisioterapis di sanggar dan
Contohnya, penyandang disabilitas yang mengantar puskesmas. Awalnya, Sanggar
rekan disabilitas untuk berobat. Disabilitas juga yang difasilitasi oleh KARINAKAS
yang melakukan sosialisasi RBM dan melakukan
ini mulai dijalankan sejak tahun
advokasi. Kita berharap mereka mandiri, lepas dari
ketergantungan, sehingga setara dengan yang lain. 2016 dengan melibatkan Dinas
Amanat di UUD 1945 juga demikian”. Kesehatan. Seiring berjalannya
waktu, perlahan difasilitasi
Yuni, Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
oleh Pemerintah Kabupaten
Sukoharjo melalui penyiapan
regulasi termasuk perencanaan
dan penganggarannya oleh Bappeda. Saat ini, Dinas Kesehatan merencanakan
dukungan konsultan psikologi dan dokter spesialis anak untuk sanggar.
Berikut adalah aktor-aktor yang terlibat dalam inovasi dan praktik baik Kartu
DISABILITAS dan PKDTB serta perannya masing-masing.

Tabel 2.4.1 Peran Aktor dalam inovasi dan praktik baik Kartu DISABILITAS
dan PKDTB

Nama
Aktor Institusi/ Peran
Organisasi
Pemerintah Dinas • Menyediakan tenaga fisioterapis di puskesmas dan
Kesehatan sanggar;
• Mengalokasikan anggaran Jaminan Kesehatan bagi
pemegang Kartu DISABILITAS, untuk mempermudah
sistem rujukan dan pelayanan kesehatan bagi
penyandang disabilitas;
• Memasukan kegiatan pengarusutamaan kebutuhan
disabilitas ke dalam program-program pelayanan
kesehatan di Dinas Kesehatan;

64
• Melakukan perencanaan dan penganggaran untuk
pelayanan di unit pelayanan kesehatan, memberikan
penanganan medis bagi disabilitas dengan kondisi
tertentu seperti katarak, melakukan inventarisasi
kursi roda dan alat bantu medis lain bagi disabilitas,
memfasilitasi home visit, penjemputan disabilitas di
rumah, pengadaan alat bantu dan jaminan kesehatan
bagi disabilitas (Bidang Pelayanan Kesehatan);
• Bidang Yankes (Pelayanan Kesehatan): Melakukan
perencanaan, perencanaan dan anggaran untuk
layanan ada di bagian Yankes. Lebih fokus ke medis,
penanganan kondisi disabilitas medis tertentu
(misalnya katarak), serta bagaimana menginventarisasi
kursi roda atau alat bantu medis lain, home visit,
penjemputan ke rumah. Alat bantu disabilitas,
penjaringan bantuan untuk gangguan pendengaran,
penglihatan, dan pelayanan alat bantu serta jaminan
kesehatan
• Pembinaan masyarakat dan posyandu, termasuk
pembinaan sanggar, pembinaan kesehatan ibu dan
anak, deteksi dini dan tumbuh kembang serta layanan
balita, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat
termasuk pemberdayaan kader dan pengelola sanggar;
• Melakukan deteksi dini balita, imunisasi dan
penanggulangan balita, termasuk anak balita
disabilitas;
• Fasilitasi perizinan dan sertifikasi kesehatan bagi usaha
yang dilakukan penyandang disabilitas;
• Menerbitkan aturan dan panduan tentang puskesmas
yang ramah disabilitas.
• Bidang Kesehatan Masyarakat membawahi program
posyandu dan pembinaan masyarakat. Sanggar
ini ada di bawah Bidang Kesehatan Masyarakat,
termasuk kesehatan ibu anak, deteksi dini dan tumbuh
kembang serta layanan balita Penyuluhan Masyarakat,
yaitu bentuknya penyuluhan dan peningkatan.
Pemberdayaan masyarakat, seperti pemberdayaan
kader termasuk terkait sanggar

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 65


• Bidang P2 / Surveilance dan imunisasi, yaitu untuk
deteksi dini dan bagi balita, dan penanggulangan.
• Bidang SDKS/ Sumber daya Kesehatan, memfasilitasi
perizinan dan sertifikasi kesehatan bagi usaha
disabilitas.
• Bagian Umum, menerbitkan aturan dan panduan
tentang puskesmas akses disabilitas (yang diadopsi dari
KARINAKAS)
RSUD • Menyediakan tenaga kesehatan klinis untuk
pemeriksaan disabilitas (dokter spesialis anak atau
psikolog anak sebagai tindak lanjut dari permintaan
Dinas Kesehatan);
• Menyediakan pelayanan yang ramah disabilitas
(memprioritaskan dan berupaya memfasilitasi
kebutuhan disabilitas di Rumah Sakit).
Dinas Sosial • Mencetak dan menerbitkan Kartu DISABILITAS;
• Melaksanakan pelatihan usaha ekonomi produktif bagi
disabilitas;
• Melaksanakan pengadaan alat bantu bagi disabilitas;
• Menyediakan jaminan kesehatan bagi disabilitas;
• Menyediakan jaminan hidup bagi disabilitas berat;
• Menyediakan akses program ke tingkat propinsi sampai
pemerintah pusat.
Pemerintah • Menyediakan lokasi/tempat bagi sanggar;
Desa • Memberi dukungan perizinan usaha dan bantuan bagi
disabilitas dan keluarga disabilitas;
• Mengkampanyekan kepada masyarakat mengenai hak-
hak dan kesamaan posisi disabilitas dengan anggota
masyarakat lainnya ;
• Menjadi pengurus dan penanggung jawab utama serta
pembina RBM tingkat Desa, dengan menjadi Ketua dan
Sekretaris RBM;
• Mengalokasikan anggaran untuk program RBM dan
bagi kelompok disabilitas;
• Menerbitkan SK pengurus RBM dan SHG;
• Memfasilitasi pengadaan infrastruktur yang ramah
disabilitas di balai desa atau bangunan lain milik desa

66
• Memfasilitasi perwakilan penyandang disabilitas dan
keluarganya untuk berpartisipasi dalam Musrenbang
Desa;
• Mengintegrasikan kebutuhan disabilitas dalam
dokumen perencanaan dan penganggaran desa.
Bidan Desa • Mengkoordinasikan kader dan SHG dalam deteksi dini
di posyandu;
• Mengintegrasikan formulir deteksi dini kedisabilitasan
dalam standar pemeriksaan tumbuh kembang anak
pada saat melaksanakan kegiatan posyandu;
• Melakukan sosialisasi tentang hak kesehatan anak
disabilitas pada keluarga dan masyarakat;
• Melakukan home care dan kunjungan pada anak
disabilitas;
• Memberi rujukan ke puskesmas jika ada temuan
terkait kondisi anak yang diindikasikan memiliki
perkembangan berbeda.
Masyarakat Masyarakat • Menjadi TKSK dan sukarelawan membantu disabilitas
dan pendataan
• Menjadi kader Posyandu;
• Memberi dorongan positif bagi keluarga penyandang
disabilitas.
NGO/LSM KARINAKAS • Memfasilitasi peningkatan kapasitas bagi SHG,
termasuk cara mengelola sanggar bagi ABK;
• Melakukan pendampingan ke Dinas Kesehatan
dan klinik tentang tata cara pemberian pelayanan
kesehatan yang inklusif;
• Menghubungkan pemberi layanan seperti puskesmas
dengan kelompok disabilitas;
• Memfasilitasi pendirian awal sanggar (melalui Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1);
• Melaksanakan sosialisasi dan pelatihan tentang
kedisabilitasan dan pelayanan terhadap disabilitas
kepada petugas puskesmas, bidan desa dan kader
posyandu, termasuk cara melakukan deteksi dini;
• Melakukan pendampingan pada kelompok disabilitas;
• Melakukan advokasi pada pemerintah desa hingga
pemerintah kabupaten.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 67


Kelompok/ Self Help • Mensosialisasikan program deteksi dini;
organisasi Group (SHG) • Mengkampanyekan kepada stakeholder mengenai hak
disabilitas anak disabilitas dan disabilitas dewasa termasuk hak
pada akses kesehatan;
• Melakukan advokasi dan pendekatan pada keluarga
penyandang disabilitas;
• Melakukan kunjungan dari rumah ke rumah (home
visit);
• Melakukan sosialisasi dan peer learning kepada sesama
disabilitas;
• Mengelola Sanggar;
• Melakukan advokasi pada pemerintah desa hingga
pemerintah kabupaten (agar tergabung dalam RBM);
• Mengantar anak ABK ke sanggar;
• Membentuk kelompok orangtua/keluarga disabilitas
untuk saling dukung (khususnya orang tua ABK);
• Menyosialisasikan adanya PKDTB kepada orang tua/
keluarga ABK;
• Mengusulkan perbaikan pelayanan atau kebutuhan
bagi disabilitas khususnya ABK, seperti program
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Sanggar
ABK, dan mengusulkan tambahan kunjungan dokter
spesialis anak pada saat pemeriksaan kesehatan rutin di
sanggar;
• Mengusulkan pemeriksaan dokter spesialis psikologi
bagi anak saat pemeriksaan kesehatan rutin di sanggar.
Swasta Sektor Memberikan dana tanggung jawab sosial (Corporate Social
swasta Responsibity) untuk mendukung kegiatan SHG.

Sumber dana untuk penerbitan Kartu DISABILITAS diperoleh dari APBD,


dicetak oleh Dinas Sosial, sedangkan anggaran untuk pelayanan kesehatannya
dialokasikan oleh Dinas Kesehatan.
Implementasi dari PKDTB adalah kolaborasi dari berbagai pemangku
kepentingan, yaitu:
1. Tempat sanggar disediakan oleh pemerintah desa;
2. Dana operasional awal merupakan bantuan KARINAKAS. Selanjutnya,
didanai dari iuran orang tua dan donatur (masyarakat);
3. Alat terapi diperoleh dari bantuan donatur dan program lain, sementara
KARINAKAS yang memfasilitasi pengajuan bantuan dimaksud;

68
4. Honor terapis, sebagian dialokasikan dari anggaran Dinas Kesehatan,
sebagian lagi dari iuran orang tua;
5. Kunjungan ke rumah (home visit) dilakukan oleh bidan desa dan kader
posyandu;
6. Biaya penjemputan pasien saat terjadi kondisi darurat, dapat diklaim ke
Dinas Kesehatan.

A.3.2. Dampak Inovasi dan Praktik Baik


Dampak dari inovasi dan praktik baik yang dirasakan oleh petugas pemberi
layanan seperti bidan desa dan Puskesmas serta Dinas Kesehatan antara lain:
a. Jangkauan pelayanan kesehatan terhadap disabilitas lebih luas. Sebelumnya
relatif terbatas, karena kurangnya data tentang disabilitas;
b. Terjalinnya kerja sama lintas bagian di Dinas Kesehatan dalam rangka
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas;
c. Deteksi dini menjadi lebih cepat, sehingga penanganan bagi ABK juga
lebih cepat;
d. Puskesmas dan Dinas Kesehatan mampu menyusun strategi tindakan
preventif yang tepat bagi penyandang disabilitas;
e. Bidan desa memiliki rujukan terkait deteksi dini tumbuh kembang
penyandang disabilitas.

Dampak yang dirasakan penyandang disabilitas antara lain:


a. Keluhan dapat segera teratasi;
b. Penyandang disabilitas tidak lagi tereksklusi, karena pendekatan yang
diterapkan adalah inklusifitas;
c. Penyandang disabilitas meningkat kepercayaan dirinya.

A.3.3. Faktor pendukung


Beberapa faktor yang mendukung terwujudnya inovasi Kartu DISABILITAS dan
PKDTB adalah:
1. Adanya kebijakan berupa Peraturan Daerah Sukoharjo Nomor 7 Tahun
2009 tentang Hak Kesehatan Bagi Disabilitas. Kebijakan ini ditindak lanjuti
dengan deklarasi Bupati mengenai gerakan menuju kabupaten inklusi. Hal
ini terjadi karena dukungan dari instansi kunci, yaitu Dinas kesehatan dan
Dinas Sosial yang merespon secara terbuka ide inovasi dan memahami
pentingnya pemenuhan hak penyandang disabilitas;
2. Petugas unit pelayanan merespon dengan baik dan bersedia bekerja sama

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 69


untuk mewujudkan pelayanan yang inklusif;
3. Relasi yang sudah terjalin baik dan cukup lama antara KARINAKAS dengan
Pemerintah Kabupaten sebelum dilaksanakannya Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1.
4. Telah terbentuk dan solidnya forum multistakeholder yaitu Tim RBM yang
terdiri dari unsur pemerintah daerah dari level desa hingga kabupaten
serta tokoh masyarakat dan kelompok disabilitas. Forum yang disebut
Forum Peduli RBM ini dipimpin oleh aparatur pemerintah kabupaten dan
berperan aktif sebagai wahana pengembangan program;
5. Sebagian orang tua penyandang disabilitas bersedia melakukan upaya-
upaya meyakinkan orang tua penyandang disabilitas yang masih tertutup
dan apatis;
6. Sebagian besar warga masyarakat memberi dukungan berupa respon
positif serta bersedia mengubah persepsi negatif terhadap penyandang
disabilitas dan keluarganya;
7. Dukungan dana tanggung jawab sosial (CSR) dari pengusaha lokal tingkat
desa untuk membiayai kegiatan sanggar.

A.3.4. Tantangan
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam inovasi dan praktik baik ini adalah:
a. Sebagian keluarga penyandang disabilitas yang ditemui cenderung
tertutup dan enggan memberikan informasi ketika diwawancarai;
b. Masih ada sebagian masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap
disabilitas;
c. Keterbatasan ekonomi penyandang disabilitas dan atau keluarganya
menjadi penghambat untuk hadir dan berpartisipasi dalam pertemuan-
pertemuan.

A.3.5. Partisipasi Disabilitas


Dalam inovasi dan praktik baik ini, penyandang disabilitas yang terlibat aktif
adalah anggota dari Self Help Group (SHG), yaitu organisasi penyandang disabilitas
(DPO) di tingkat desa yang juga merupakan Tim RBM Desa. Partisipasi disabilitas
dalam inovasi dan praktik baik ini dapat dilihat pada bagan berikut.

70
Bagan 2.5.1 Partisipasi Disabilitas SHG dan RBM dalam Inovasi dan Praktik
Baik

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Deteksi dini Advokasi ke


pemerintah
desa
Kunjungan ke
rumah (home visit)
Tidak Terlibat Tidak Terlibat
Advokasi ke
Mengelola pemerintah
sanggar kecamatan

Sosialisasi
program Advokasi ke
pemerintah
Peer learning ke kabupaten
sesama disabilitas

Pada inovasi dan praktik baik ini, SHG berpartisipasi dalam tahap pelaksanaan
dan tindak lanjut. Pada tahap pelaksanaan, ikut serta dalam deteksi dini, bahkan
ada anggota SHG yang tergabung menjadi kader posyandu, selalu ikut proses
deteksi dini dan kunjungan ke rumah disabilitas (home visit) bersama bidan
desa. Selain itu, SHG juga terlibat dalam sosialisasi program ke masyarakat, peer
learning kepada sesama disabilitas, serta aktif mengelola sanggar. Pada tahap
tindak lanjut, disabilitas terlibat dalam proses advokasi hak penyandang disabilitas
kepada pemerintah desa hingga pemerintah kabupaten. Misalnya, hadir dan
menjadi peserta aktif dalam menyampaikan usulan pada pertemuan RBM serta
musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Keterlibatan
penyandang disabilitas yang tergabung dalam SHG ini dimulai sejak memperoleh
peningkatan kapasitas dan pendampingan dari KARINAKAS selama pelaksanaan
Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Sementara itu, pada tahap perencanaan dan
tahap monitoring dan evaluasi, penyandang disabilitas belum terlibat di dalamnya.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 71


A.3.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan
Sejatinya, program-program terkait kesehatan masyarakat sebelumnya sudah
disusun dan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan, namun tidak secara rinci dan
spesifik ditujukan bagi penyandang disabilitas. Setelah Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1 dilaksanakan, penyandang disabilitas disebutkan secara spesifik
sebagai salah satu sasaran pelayanan dan program dari Dinas Kesehatan. Bahkan
Dinas Kesehatan juga sedang mengupayakan agar semua penyandang disabilitas
terakomodasi (total coverage).
Upaya pemenuhan hak kesehatan bagi penyandang disabilitas ini dilakukan
secara menyeluruh oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. Hampir
semua bagian dari Dinas Kesehatan terlibat dalam upaya pengarusutamaan
(mainstreaming) program kesehatan yang ramah disabilitas. Bidang Pelayanan
Kesehatan yang memiliki inisiatif dan mengusulkan PKDTB, tetapi rekening dan
atau programnya dititipkan di Bidang Kesehatan Ibu dan Anak, sesuai tugas
pokok dan fungsi masing-masing. Biaya untuk kunjungan dokter spesialis anak
dan psikolog kepada penyandang disabilitas, anggarannya berasal dari Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD), karena Dinas Kesehatan tidak dapat mengalokasikan
anggaran untuk penyediaan tenaga kesehatan klinis sehingga perlu bekerja sama
dengan RSUD. Bila ada kebutuhan lain dari penyandang disabilitas, aktor kunci di
Dinas Kesehatan akan mengidentifikasi dan mengusulkan ke bidang atau program
yang relevan di Dinas Kesehatan.
Sedari awal, inovasi dan praktik baik PKDTB yang dilaksanakan mulai tahun
2016, merupakan kerja sama KARINAKAS, Puskesmas dan pemerintah desa,
sehingga penerimaan pemerintah daerah relatif baik, karena menjadi bagian dari
program puskesmas. Selain Puskesmas, penerimaan dari Dinas Kesehatan juga
relatif baik, terbukti dengan dialokasikannya anggaran untuk honor terapis bagi
sanggar sebagai bagian dari program Dinas Kesehatan.
Inovasi dan praktik baik pelayanan kesehatan bagi disabilitas ini juga telah
disampaikan pada Forum Belajar Peduli di tingkat kabupaten. Forum ini terdiri dari
berbagai SKPD-SKPD di Kabupaten Sukoharjo yang bertujuan agar inovasi ini bisa
dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scale up). Sejauh ini, bentuk adopsi
inovasi dan praktik baik yang dilakukan pemerintah adalah mengarusutamakan
(mainstreaming) isu dan kebutuhan disabilitas pada program kesehatan yang ada
serta alokasi anggaran khusus untuk mendukung inovasi dalam bentuk penyediaan
tenaga kesehatan dan pemberian pelayanan kesehatan yang terjangkau dan
memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Salah satu bentuknya adalah
bantuan Dinas Kesehatan berupa alat bantu bagi sanggar dan dukungan tenaga

72
Gambar 2.4.2
Pemeriksaan disabilitas
pada saat Posyandu
setiap bulan sekali di
Desa Weru

terapis yang berstatus pegawai harian


lepas (PHL).
Upaya lain yang dilakukan untuk
mendorong penerimaan pemerintah
dan upaya replikasi adalah fasilitasi
forum SKPD (sekarang disebut
Organisasi Perangkat Daerah/OPD)
oleh KARINAKAS, sebagai bagian
dari proses perencanaan pemerintah daerah, dalam rangka mengintegrasikan
kebutuhan disabilitas pada perencanaan yang disusun oleh setiap OPD. Hal ini
kemudian ditindak lanjuti dengan seminar dan lokakarya pada masing-masing
OPD untuk menyusun perencanaan program dengan memasukkan kebutuhan
disabilitas di dalamnya.
Inovasi dan praktik baik Kartu DISABILITAS dan PKDTB ini memungkinkan untuk
diterapkan di kabupaten/kota lain di Provinsi Jawa Tengah atau dikembangkan
ke tingkat yang lebih tinggi (scale up) yaitu ke tingkat provinsi. Oleh karena itu,
diperlukan pembelajaran berjenjang (dari desa hingga kabupaten) agar inovasi
dan praktik baik tersebut dapat direplikasi secara optimal. Komitmen Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah juga sangat diperlukan, termasuk pentingnya Pemerintah
Provinsi memiliki pemahaman yang baik mengenai pemenuhan hak kesehatan
penyandang disabilitas. Bila pemahaman ini sudah dimiliki secara memadai, maka
Pemerintah Provinsi dapat menerbitkan kebijakan yang mendorong replikasi
inovasi dan praktik baik serta mekanismenya bagi kabupaten/kota lain.
KARINAKAS sendiri berusaha terus mendorong pengembangan inovasi dan
praktik baik ini dalam rangka mengarusutamakan pembangunan inklusif ke sektor
lain di luar kesehatan melalui pendampingan dalam menyusun perencanaan dan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 73


penganggaran yang inklusif kepada OPD-OPD lain, selain Dinas Kesehatan dan
Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo.
Dalam rangka mendukung pembangunan inklusif, maka dilakukan pula upaya
revisi Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 7 Tahun 2009 tentang Hak
Kesehatan Bagi Disabilitas, agar sesuai dengan kebijakan nasional terutama
dengan disahkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
dan mengakomodasi temuan dan dinamika situasi disabilitas selama pelaksanaan
Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1.
Upaya untuk mengembangkan inovasi dan praktik baik ini juga dilakukan melalui
sejumlah rencana yaitu pelibatan lebih banyak instansi pemerintah dan petugas,
seperti aparat desa, pegawai puskesmas, bidan desa dan kader untuk mendukung
keberlanjutan inovasi dan praktik baik kemudian mengintegrasikannya ke dalam
program-program pemerintah yang sudah ada. Hal lain adalah mendorong
pengarusutamaan disabilitas pada saat penyusunan Rencana Strategis (Renstra)
Puskesmas dengan mengintegrasikan kebutuhan disabilitas dalam program
puskesmas yang sudah ada atau program-program Puskesmas yang ramah
disabilitas dapat dipastikan keberlanjutannya. Berikutnya adalah mendorong
pembentukan koalisi atau forum multistakehoder yang beranggotakan pemerintah
dan masyarakat di semua tingkatan pemerintahan. KARINAKAS sendiri telah
memfasilitasi pembentukan forum multistakeholder sebagai pelaksana strategi
dalam bentuk pengurus Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM). RBM
sendiri merupakan metode pemberdayaan disabilitas berbasis Hak penyandang
disabilitas yang diturunkan dari United Nations Convention on the Right of Person
with Disabilities (UNCRPD).

Gambar 2.5.1 Kegiatan


di Sanggar Anak
Bangsa, Desa Ngreco,
Kecamatan Weru,
Kabupaten Sukoharjo.

74
Pendirian RBM dimulai dengan membentuk pengurus/Tim RBM di level desa
yang terdiri dari berbagai stakeholder di desa. Contohnya, perwakilan perangkat
desa, masyarakat, keluarga disabilitas, penyandang disabilitas, tokoh masyarakat
dan tokoh agama serta bidan desa. RBM ini merupakan strategi pemenuhan hak
disabilitas dalam berbagai aspek berbasis hak dalam upaya meningkatkan kualitas
kehidupan penyandang disabilitas atau keluarganya, aspek ekonomi, kesehatan,
dan penerimaan sosial. Di dalam RBM sendiri terdapat pokja-pokja yang fokus
pada isu masing-masing, salah satunya adalah seksi kesehatan.
Anggota dari disabilitas sendiri dan keluarganya terbentuk dalam kelompok
yang disebut Self Help Group (SHG). Selain fokus pada pemberdayaan ekonomi,
kelompok ini juga berperan penting pada pengembangan inovasi pelayanan
kesehatan bagi anak dan penyandang disabilitas.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 75


B. Inovasi dan Praktik Baik
Pelayanan Publik di Sektor
Pendidikan

76
B.1. SAPDA: Sekolah Dasar Inklusi
B.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor

Sektor : Pelayanan di bidang pendidikan


Stakeholder Kunci : Dinas Pendidikan, sekolah dan Bappeda
Bentuk Inovasi : Sekolah Dasar Inklusi
Lokasi : Banjarmasin

Selama pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, selain bidang


kesehatan, inovasi dan praktik baik lain yang dikembangkan adalah di bidang
pendidikan. Salah satunya yaitu Sekolah Dasar Inklusi. Sekolah Dasar (SD) Inklusi
adalah SD reguler (biasa) yang menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) dan
menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan
anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi pembelajaran,
tenaga pengajar dan penilaian siswanya. Pada sekolah yang telah ditetapkan
sebagai SD Inklusi, ABK mendapat pelayanan pendidikan dari guru pembimbing
khusus dan sarana prasarana sesuai dengan kebutuhan ABK. Inovasi SD Inklusi
ini belum menyasar pada penyediaan infrastruktur fisik sekolah bagi ABK, karena
memprioritaskan penerimaan ABK di SD reguler dan penyusunan sistem belajarnya
terlebih dahulu.
Inovasi SD Inklusi ini dilatari oleh banyaknya ABK yang tidak sekolah, karena
relatif jauhnya jarak Sekolah Luar Biasa (SLB), sekolah reguler (biasa) enggan
menerima ABK sebagai siswa di sekolah yang bersangkutan, dan meningkatnya
biaya sekolah ABK, karena honor Guru Pendamping Khusus (GPK) dibebankan
kepada orangtua ABK.
Masalah yang dihadapi ABK itu memicu keluarga yang memiliki ABK untuk
mencari solusi. Forum Warga adalah kegiatan yang diinisiasi oleh Program Peduli
SAPDA. Kemudian, Forum warga tersebut memunculkan Forum Keluarga yang
merupakan dampak tindak langsung dari kegiatan ini. Forum Keluarga tersebut
melibatkan Lurah, Camat, keluarga disabilitas, DPO, Dinas Kesehatan, dan Dinas
Pendidikan. Selain itu, ada pula Forum Komunikasi Pendidikan Inklusi (FKPI)
yang merupakan forum khusus di bidang pendidikan yang dibentuk Dinas
Pendidikan dan Forum Peduli Disabilitas (FPD) yang anggotanya adalah semua
OPD Kota Banjarmasin dan SAPDA. Kesemua forum itu merupakan forum belajar
untuk memahami lebih baik kondisi dan kebutuhan penyandang disabilitas dan
mendorong terwujudnya pendidikan inklusif. Hasil dari forum belajar tersebut

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 77


adalah munculnya usulan sekolah inklusi, terutama di tingkat sekolah dasar.
SAPDA kemudian memfasilitasi upaya-upaya agar SD Inklusi terealisasi lengkap
dengan GPK-nya. Pada awalnya, honor untuk GPK masih dibebankan kepada
orang tua ABK. Honor untuk GPK yang dibebankan kepada orang tua ABK tersebut
dirasakan memberatkan bagi orang tua ABK, maka SAPDA kemudian melakukan
advokasi kepada Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin agar dapat membantu
penyediaan GPK beserta alokasi anggaran untuk honor GPK dimaksud. Advokasi
ini menghasilkan dukungan anggaran dari Dinas Pendidikan untuk honor GPK
dan setelah melalui beberapa pertemuan yang difasilitasi SAPDA, terbitlah Surat
Keputusan Walikota Banjarmasin tentang Sekolah Dasar Inklusi. Berikut adalah
tahapan proses inovasi dan praktik baik SD Inklusi.

Bagan 2.6.1 Tahapan Proses Inovasi dan Praktik Baik SD Inklusi

Forum Belajar Baseline Survey Penemuan


masalah

Advokasi ke Advokasi ke Usulan sekolah


Walikota Dinas Pendidikan inklusi

Terbit SK Alokasi
tentang SD anggaran untuk
Inklusi honor GPK

Pada prosesnya, terdapat pembagian peran dan kontribusi dari berbagai


elemen yang bisa dilihat dari matriks di bawah ini:

78
Tabel 2.5.1 Peran Aktor dalam Proses dan Praktik Baik SD Inklusi

Aktor Nama Institusi/ Peran


Organisasi/Nama
Pemerintah Walikota Menerbitkan SK tentang Sekolah Dasar
Inklusi
Dinas Pendidikan Mengalokasikan anggaran untuk honor GPK

Bappeda Mengkoordinir OPD-OPD untuk menerima


usulan advokasi tentang SD Inklusi beserta
anggarannya
Dinas Sosial Mendukung penyusunan basis data
tentang disabilitas (ABK)
Kelompok/ Terlibat dalam perencanaan, proses
organisasi HWDI, PPDI implementasi dan mensosialisasikan SD
disabilitas Inklusi ke masyarakat
Masyarakat Tokoh agama dan Mendukung ide SD Inklusi dan
masyarakat mensosialisasikannya kepada warga
masyarakat
NGO/LSM SAPDA Melakukan pendataan ABK; melakukan
komunikasi dengan tokoh masyarakat,
tokoh agama, disabilitas dan keluarga
disabilitas mengenai gagasan SD Inklusi;
memfasilitasi pertemuan-pertemuan
untuk mendorong lahirnya SD Inklusi;
melakukan pendekatan kepada Pemerintah
Kota, termasuk OPD-OPD, dan pemerintah
kecamatan.
Keluarga Forum Belajar Menyampaikan kebutuhan disabilitas, dan
Penyandang mengkampanyekan pentingnya SD Inklusi
Disabilitas bagi ABK.
Perguruan Universitas Lambung Menyediakan GPK dan memberikan
tinggi Mangkurat (Program masukan mengenai pengembangan
Studi Pendidikan sekolah inklusi.
Luar Biasa, Fakultas
Keguruan dan Ilmu
Pendidikan)

Forum Pendidikan Inklusi (FPI) merupakan forum khusus di bidang pendidikan.


Keberadaan FPI sebagai sebuah forum pendidikan inklusi dikukuhkan oleh

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 79


Walikota melalui SK Walikota Banjarmasin Nomor 193 Tahun 2017 tentang Forum
Pendidikan Inklusi. Selain itu, SK Walikota Banjarmasin Nomor 195 Tahun 2017
tentang Daftar Pembimbing Khusus pada Sekolah Inklusi Kota Banjarmasin,
sebagai penerima honorarium/insentif daerah tahun anggaran 2017-2019. Selain
terdapat wadah forum di tingkat pendidikan, ada juga Forum Peduli Disabilitas
(FPD) yang anggotanya semua OPD/SKPD di Kota Banjarmasin termasuk SAPDA.
Pada inovasi dan praktik baik pelayanan publik ini belum ada tools berupa
SOP khusus dan lain-lain. Hanya ada SK Sekolah Inklusi yang telah dideklarasikan.
Dana untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh SAPDA
didapatkan melalui dukungan dari Program Peduli. Kesadaran sekolah dalam hal
ini sangat baik, untuk menjadi sekolah inklusi bukan karena ditunjuk oleh Dinas
Pendidikan, melainkan sekolah tersebut yang mengajukan diri untuk menjadi
sekolah inklusi. Kesadaran tersebut merupakan ouput dari Forum Belajar yang
pihak sekolah juga hadir di dalamnya.

B.1.2. Dampak Inovasi dan Praktik Baik


Dampak langsung yang dirasakan dari inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini
adalah 30 anak disabilitas usia Sekolah Dasar dapat menikmati pendidikan SD.
Pada awalnya hanya dua SD Inklusi, sekarang sudah ada enam SD Inklusi.
Bagi keluarga yang memiliki ABK, dampak dari inovasi dan praktik baik ini adalah
terjadinya perubahan cara berpikir (mindset) dan respon positif terkait pendidikan
bagi anaknya. Bila sebelumnya, keluarga tidak mau menyekolahkan anak ABK-nya,
kini antusias untuk menyekolahkan anaknya di SD Inklusi.

B.1.3. Faktor pendukung


Berfungsinya Forum Komunikasi Pendidikan Inklusi (FKPI) merupakan faktor
pendukung penting dalam mewujudkan inovasi SD Inklusi, karena melalui forum
ini gagasan dan perencanaan sekolah inklusi dibahas. Dukungan lain datang
dari Dinas Pendidikan, Bappeda dan Walikota Banjarmasin yang memberikan
respon positif dan berkomitmen untuk mewujudkan pendidikan inklusif di Kota
Banjarmasin.
Ketersediaan GPK dari Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat dan masukan-masukan
yang diberikan dalam kerangka pengembangan sekolah inklusi juga merupakan
faktor pendukung dalam mewujudkan inovasi SD Inklusi ini.
Kesadaran pengelola SD untuk menjadi SD Inklusi juga menjadi faktor pendukung
yang signifikan. Kesadaran ini merupakan hasil dari Forum Belajar yang melibatkan

80
pengelola SD di dalamnya. Sekolah yang menjadi SD Inklusi adalah inisiatif dari
sekolah itu sendiri untuk mengajukan diri, bukan ditunjuk oleh Dinas Pendidikan.
Setelah diidentifikasi kelengkapannya, kemudian ditetapkan sebagai SD Inklusi.
Dukungan dari masyarakat juga sangat penting untuk mengkampanyekan dan
ikut mendorong agar keluarga ABK menyekolahkan anaknya di SD Inklusi.

B.1.4. Tantangan
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam merealisasikan inovasi dan praktik
baik SD Inklusi ini adalah sebagai berikut:
a. Masih ada persepsi negatif (stigma) di masyarakat dan pemerintah bahwa
penyandang disabilitas adalah pihak yang akan meminta sumbangan atau
bantuan dari yang non disabilitas.
b. Sosialisasi mengenai kebijakan dan program pendidikan bagi penyandang
disabilitas masih terbatas, sehingga penyandang disabilitas di kawasan
miskin (slum area) belum mendapatkan pelayanan pendidikan yang
seharusnya diperoleh.
c. Sarana dan prasarana yang ramah disabilitas juga masih terbatas. Hal ini
terlihat dari belum tersedianya fasilitas bagi penyandang disabilitas seperti
ramp, pegangan rambat (handrail) kursi roda, dan buku berhuruf braille di
SD Inklusi dan di sarana publik seperti jalan menuju sekolah.
d. Partisipasi dari organisasi penyandang disabilitas (DPO) juga terbatas. Dari
lima DPO yang ada di Kota Banjarmasin, hanya dua yang aktif dalam upaya
mewujudkan SD Inklusi, bahkan itu hanya pada momen tertentu. Organisasi
penyandang disabilitas belum bergerak aktif di Kota Banjarmasin terutama
pada isu pendidikan. Pelayanan Publik Ramah Disabilitas ini harapannya
memberi ruang bagi penyandang disabilitas dalam mendapatkan
pendidikan dan kelak bisa mendorong meningkatnya partisipasi mereka
meskipun saat ini baru pada tahap pendidikan dasar.

B.1.5. Partisipasi Disabilitas


Aktor utama dalam inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini adalah Dinas Pendidikan
dan kepala sekolah serta guru di sekolah yang menjadi SD Inklusi, karena terlibat
aktif dalam forum belajar. Sekolah-sekolah tersebut juga mengajukan diri menjadi
SD Inklusi. Namun, keterlibatan disabilitas juga memainkan peranan penting
dalam mensukseskan terwujudnya inovasi dan praktik baik tersebut.
Keterlibatan disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini dilakukan melalui
Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO). SAPDA memfasilitasi partisipasi

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 81


disabilitas melalui pelibatan dan pemberdayaan DPO yang ada di Kota Banjarmasin,
yaitu Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Persatuan Penyandang
Disabilitas Indonesia (PPDI), Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia
(Gerkatin), National Paralimpic Committe (NPC) dan Persatuan Tuna Netra Indonesia
(Pertuni). Pelibatan dan pemberdayaan itu dilakukan SAPDA, karena DPO yang ada
relatif tidak aktif (mati suri). Melalui keterlibatan dalam kegiatan program, maka
DPO dapat berfungsi kembali. Dalam perkembangannya, hanya dua DPO yang
berpartisipasi aktif yaitu HWDI dan PPDI.
Partisipasi disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini dimulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut tetapi tidak terlibat pada proses
monitoring dan evaluasi. Pada tahap perencanaan, disabilitas terlibat aktif dalam
forum belajar yang di dalamnya ikut merumuskan rencana sekolah inklusi. Pada
tahap pelaksanaan, disabilitas berpartisipasi melalui sosialisasi dan kampanye
mengenai sekolah inklusi serta melakukan advokasi kepada orangtua penyandang
disabilitas agar menyekolahkan anaknya di SD Inklusi. Sementara pada tahap
tindak lanjut, penyandang disabilitas berpartisipasi aktif dalam proses advokasi
ke Dinas Pendidikan untuk mengalokasikan anggaran bagi SD Inklusi, terutama
honor bagi GBK. Bentuk partisipasi lain dari kelompok disabilitas adalah ikut
merumuskan perencanaan dalam Forum Belajar, mengkampanyekan di car free
day, dan mengadvokasi ke orang tua disabilitas. Berikut gambaran keterlibatan
disabilitas dalam inovasi dan praktik baik SD Inklusi.

Bagan 2.7.1 Keterlibatan Disabilitas dalam Inovasi dan Praktik Baik SD


Inklusi

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Sosialisasi dan
Kampanye
Program
Advokasi Tidak Terlibat
Forum Belajar ke Dinas
Pendidikan

Mengadvokasi
ke Orang Tua

82
B.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan
Secara umum, penerimaan sekolah atas inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini
sangat baik, karena pihak sekolah sendiri yang mengajukan diri menjadi SD Inklusi,
bukan ditunjuk oleh Dinas Pendidikan. Pihak sekolah sangat mendukung inovasi
ini meski pada awalnya belum memiliki GPK.
Penerimaan dari Dinas
Pendidikan juga relatif sangat
baik, karena SD Inklusi kemudian
“Inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini
menjadi program dari Dinas
memberi manfaat besar bagi anak-anak
Pendidikan. Kini, setelah banyak penyandang disabilitas (ABK), karena
sekolah berencana mereplikasi sebelumnya SLB relatif jarang dan jauh
dan mengajukan diri menjadi lokasinya serta mengurangi beban orangtua
sekolah inklusi, Dinas Pendidikan ABK untuk biaya sekolah anaknya”.
mulai lebih ketat dalam menyeleksi Umi, Koordinator Program SAPDA.
sekolah tersebut, terutama
dilihat dari ketersediaan GPK di
sekolah yang bersangkutan. Hal ini
menunjukkan bahwa Dinas Pendidikan peduli untuk menjaga dan meningkatkan
kualitas SD Inklusi. Sementara itu, rencana yang telah disusun untuk mereplikasi
dan mengembangkan inovasi SD Inklusi ini adalah menyelenggarakan pelatihan
bagi semua guru, bukan hanya GPK, mengenai hak dan kebutuhan disabilitas,
sehingga diharapkan para guru memahami cara menangani disabilitas. Rencana
pengembangan lainnya adalah penyediaan sarana dan prasarana pendukung
SD Inklusi, baik gedung maupun media belajar, serta sinergi dengan pihak lain
termasuk pihak swasta untuk mendukung pembiayaan SD Inklusi ini.

Gambar 2.6.1 Proses


Belajar dan Mengajar
di SD Inklusi

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 83


Sekolah Inklusif sebagai bagian dari Pelayanan Publik Ramah Disabilitas
telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah (khususnya Dinas Pendidikan) Kota
Banjarmasin, sehingga otomatis proses penerimaan murid disabilitas baru pada
tahun 2017 meningkat.
Sementara itu, pengembangan inovasi ini ke tingkat yang lebih tinggi (scale
up) mendapatkan momentumnya pada akhir tahun 2016, ketika Kepala Bappeda
Kota Banjarmasin, yang aktif mendorong sekolah inklusi, diangkat menjadi Kepala
Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan. Proses yang dilakukan dalam rangka
mengadopsi inovasi sekolah inklusi ini adalah memfasilitasi pembentukan Forum
OPD di tingkat provinsi dalam membahas kebijakan pelaksanaan dari Perda Provinsi
tentang Disabilitas berupa rancangan Peraturan Gubernur mengenai pendidikan
bagi penyandang disabilitas. Direncanakan pembiayaan inovasi pendidikan inklusi
ini akan diperoleh dari lembaga atau proyek lain, bukan SAPDA. Direncanakan
akan dibentuk Forum OPD Peduli Disabilitas, Komite Disabilitas yang terdiri dari
kalangan independen, DPO, NGO dan masyarakat, serta upaya advokasi untuk
mendorong disahkannya Peraturan Gubernur tersebut.
Rencana pengembangan inovasi sekolah inklusi yang akan dikoordinasikan oleh
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan ini bertujuan agar inovasi dan praktik baik
dimaksud dapat direplikasi di kabupaten/kota lain di Provinsi Kalimantan Selatan.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari kepala daerah untuk menerbitkan
kebijakan yang relevan, dan kesediaan Dinas Pendidikan sebagai penanggung
jawab pelaksanaan sekolah inklusi dan mengalokasikan anggaran untuk inovasi
sekolah inklusi ini. Agar inovasi ini dapat berjalan secara berkelanjutan, maka
partisipasi penyandang disabilitas juga harus ditingkatkan, termasuk mengajak
masyarakat untuk ikut mengawasai agar sekolah inklusi dapat terselenggara
secara efektif.

84
C. Inovasi dan Praktik Baik
Pelayanan Publik melalui
Perencanaan dan Penganggaran
yang Responsif Disabilitas

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 85


C.1. YASMIB : Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Responsif
Disabilitas
C.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor

Bentuk Inovasi : Perencanaan dan Penganggaran Desa yang


Responsif Disabilitas
Stakeholder Kunci : Pemerintah Desa, Bappeda
Lokasi Intervensi : Desa Mallari, Kabupaten Bone

Inovasi dan praktik baik yang difasilitasi YASMIB ini merupakan upaya
untuk mendorong perbaikan pelayanan publik yang ramah disabilitas melalui
perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas di tingkat desa. Inovasi
yang dilakukan di Desa Mallari, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan ini adalah
pengembangan dari upaya pengarusutamaan disabilitas dengan melibatkan
secara aktif penyandang disabilitas pada proses perencanaan dan penganggaran.
Inovasi dan praktik baik ini bertujuan untuk mendorong penerimaan sosial
masyarakat terhadap penyandang disabilitas di desa dan menyediakan ruang
interaksi langsung antara penyandang disabilitas dengan pemerintah, mulai dari
pemerintah desa hingga kabupaten. Proses pembentukan inovasi ini diawali
melalui interaksi yang intensif antara YASMIB, yang bekerja sama dengan mitra lokal
yakni LPP Bone, dengan pemerintah desa di lokasi Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1, yaitu Desa Mallari dan Carigading. Pembahasan inovasi dan praktik baik
ini selanjutnya akan difokuskan
pada pelaksanaan di Desa Mallari.
Inovasi dan praktik baik ini dilakukan
untuk mendorong penerimaan

Gambar 2.7. 1 Posyandu


Ramah Disabilitas Didanai
APBDes Mallari

86
sosial masyarakat terhadap penyandang disabilitas di desa, serta mendorong
penyandang disabilitas memilikiruang interaksi langsung dengan Pemerintah
Desa, Pemerintah Kabupaten, serta OPD-OPD terkait.
Melalui interaksi dan koordinasi yang intensif, YASMIB dan LPP Bone
menyampaikan gagasan untuk mengakomodasi kebutuhan penyandang
disabilitas terhadap pelayanan publik. Salah satunya melalui pelibatan disabilitas
dalam proses perencanaan dan penganggaran di desa. Gagasan ini direspon positif
oleh Pemerintah Desa. Selain koordinasi, interaksi YASMIB dengan pemerintah
desa juga digunakan untuk meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah desa
dalam proses perencanaan dan penganggaran inklusif melalui pelatihan dan
pendampingan secara intensif. Peningkatan kapasitas ini untuk memastikan
agar proses perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas dapat
diimplementasikan dengan baik oleh pemerintah desa.
Selain dengan pemerintah desa, YASMIB dan LPP Bone juga membangun
interaksi yang intensif dengan warga masyarakat desa setempat. Hal ini dilakukan
untuk membangun kesadaran warga masyarakat mengenai pentingnya partisipasi
aktif penyandang disabilitas dalam perencanaan pembangunan di desa. Upaya
ini dilakukan melalui penyelenggaraan diskusi kampung. Diskusi ini dihadiri oleh
penyandang disabilitas, keluarga disabilitas, tokoh masyarakat, Ketua RT/RW,
Kepala Dusun dan Kepala Desa dan diselenggarakan dua kali setiap bulannya. Pada
diskusi tersebut, peserta menyampaikan aspirasi dan kebutuhan bagi penyandang
disabilitas dan membahas upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan disabilitas di desa, terutama melalui program-program pembangunan
desa. Selain itu, Tim LPP Bone juga melakukan diskusi-diskusi informal dengan
penyandang disabilitas dan pemerintah desa. YASMIB juga melakukan peningkatan
kapasitas melalui pelatihan kepada fasilitator Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1,
relawan disabilitas dan CSO lokal yang bekerja di desa. Pelatihan dimaksud adalah
perencanaan dan penganggaran desa, dan pelatihan advokasi untuk menguatkan
pemahaman aparat desa tentang isu disabilitas.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 87


Tabel 2.6.1 Peran Aktor dalam Inovasi dan Praktik Baik di Bone

Aktor Nama Peran


Institusi/
Organisasi/
Nama
Pemerintah Pemerintah • Melibatkan para penyandang disabilitas dalam
Desa proses perencanaan dan penganggaran desa.
• Mengalokasikan anggaran dalam APBDes untuk
pemenuhan kebutuhan hak penyandang disabilitas
baik yang diberikan secara langsung maupun dalam
bentuk fasilitas seperti pelayanan khusus pelayanan
disabilitas.
• Menyediakan kader posyandu untuk mendampingi
petugas dari puskesmas yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas di
desa.
Masyarakat Kader Secara proaktif mendatangi para penyandang disabilitas
posyandu untuk melakukan pemeriksaan rutin di posyandu.
Organisasi PPDI Bone Menjadi pemateri terkait isu kedisabilitasan dalam
Penyandang diskusi kampung dan diskusi dengan pemerintah desa,
Disabilitas serta OPD.
Fasilitator/ LPP Bone dan • Melaksanakan diskusi kampung di tingkat dusun
Pendamping Yasmib untuk membangun kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya partisipasi aktif penyandang disabilitas.
• Melakukan advokasi dan monitoring ke pemerintah
desa untuk mendorong atau mengakomodir
kebutuhan penyandang disabilitas.
• Mengadvokasi dan monitoring pemerintah agar
melibatkan penyandang disabilitas di dalam proses
perencanaan desa.
• Menghubungkan pemerintah desa dengan
Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten untuk
mendorong agar ada alokasi dana kepada para
penyandang disabilitas yang belum dapat
diakomodir oleh desa. Misalnya, menghubungkan
dengan dinas peternakan untuk mengalokasikan
bantuan ternak bagi para penyandang disabilitas.
• Membantu mengidentifikasi kebutuhan para
penyandang disabilitas.

88
Dalam rangka memastikan disabilitas dapat berperan aktif dan memahami
dengan baik usulan-usulan yang akan disampaikan dalam musyarawarah
perencanaan pembangunan di tingkat dusun dan desa, maka sebelum mengikuti
musyawarah tersebut, YASMIB memfasilitasi kelompok disabilitas untuk melakukan
identifikasi masalah dan kebutuhan (sesuai dengan ragam disabilitasnya) yang
akan disampaikan pada musyawarah tersebut. Peningkatan kapasitas tersebut
selain mengenai isu disabilitas, juga tentang gender dan inklusi sosial. Dalam proses
peningkatan kapasitas, YASMIB menggunakan modul pelatihan perencanaan dan
penganggaran desa yang telah dikembangkan sebelumnya, sedangkan fasilitator
dan pelatih berasal dari YASMIB sendiri.
Disabilitas mulai terlibat dalam proses perencanaan di tingkat dusun berupa
Musyawarah Dusun (Musdus). Pada Musdus ini, penyandang disabilitas hadir
untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhannya. Hasil Musdus kemudian dibawa
oleh Kepala Dusun ke forum Musyawarah Desa (Musdes). Pada Musdes inilah,
ditentukan skala prioritas dari usulan dan kebutuhan penyandang disabilitas
tersebut.
Proses perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas dapat dilihat
pada bagan berikut.

Bagan 2.8.1 Proses Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif


Disabilitas

Peningkatan
Peningkatan Perencanaan
Kapasitas
Koordinasi Kapasitas dan
Pemdes dalam Diskusi
dengan Relawan, Penganggaran
Perencanaan dan Kampung
Pemdes Fasilitator Desa, Desa Responsif
Penganggaran
dan CSO lokal Disabilitas
Desa

Sementara itu, tahapan yang dilakukan dalam proses inovasi dan praktik baik
ini adalah:
1. Diskusi kampung. Melalui diskusi ini dilakukan penyadaran terhadap warga
tentang pentingnya warga terlibat dalam perencanaan dan penganggaran
di desa, termasuk warga penyandang disabilitas.
2. Peningkatan kapasitas pemerintah desa dan daerah dalam perencanaan
pembangunan, di antaranya:

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 89


a. Peningkatan kapasitas relawan, fasilitator desa dan mitra CSO yang
bergerak di desa.
b. Pelatihan mengenai advokasi kebijakan.
Hasil dari diskusi kampung, dan peningkatan kapasitas ini kemudian ditindak
lanjuti dengan proses advokasi. Hasilnya secara langsung terlihat dalam Revisi
RPJMDes yang mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas dan tersedianya
pelayanan publik yang ramah disabilitas bagi warga Desa Mallari. Revisi RPJMDes
ini kemudian menjadi dasar bagi penyusunan RKPDes dan APBDes pada tahun
tahun 2016 dan 2017.

C.1.2. Dampak Inovasi dan Praktik Baik


Dampak dari inovasi dan praktik baik perencanaan dan penganggaran yang
responsif disabilitas meliputi:
1. Meningkatnya motivasi dan rasa percaya diri penyandang disabilitas, karena
merasa diakui eksistensinya. Salah satu contohnya adalah Sumarniati,
penyandang disabilitas netra. Sebelum Pemerintah Desa Mallari terlibat
dalam proses inovasi, Sumarniati bahkan tidak berani keluar rumah,
karena tidak percaya diri. Namun, selama pelaksanaan Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1, Sumarniati diajak untuk mengikuti Diskusi Kampung.
Melalui Diskusi Kampung ini, ia percaya diri untuk menyampaikan
aspirasinya. Rasa percaya diri Sumarniati semakin meningkat setelah
berpartisipasi aktif dalam musyawarah-musyawarah perencanaan di tingkat
dusun hingga ke desa. Kepercayaan diri yang tinggi dan keaktifannya
menarik perhatian pihak Puskesmas untuk merekrut dirinya sebagai kader
kesehatan. Sebagai kader, ia selalu dilibatkan terutama dalam penyuluhan
kesehatan di desanya. Sumarniati juga kemudian ditunjuk sebagai Ketua
PPDI untuk Desa Mallari. Selain Sumarniati, penyandang disabilitas lainnya
juga sudah mulai terlibat dalam kegiatan Posyandu, terutama dalam proses
penimbangan dan pencatatan. Lain halnya dengan Diana (disabilitas Daksa),
telah menjadi narasumber pada kegiatan di kampus, yang sebelumnya
malu ketemu dengan orang lain.
2. Kelompok disabilitas yang tadinya relatif tidak ada kegiatan (vakum),
kembali aktif karena dilibatkan dalam proses inovasi di tingkat desa.
Kelompok disabilitas ini juga sangat aktif dan kritis dalam pertemuan/
kegiatan di desa, bahkan kelompok disabilitas menjadi delegasi pada
Musrenbang desa, Musrenbang Kecamatan, Forum SKPD dan Musrenbang
Kabupaten.

90
3. Bagi warga bukan penyandang disabilitas, awalnya tidak memiliki empati
pada penyandang disabilitas dan bertindak diskriminatif misalnya dengan
menyebut seorang penyandang bukan dengan namanya, tetapi berdasarkan
ragam disabilitasnya (Si Buta, Si Bisu, dan sebagainya). Setelah proses inovasi
dilaksanakan, maka warga masyarakat mulai memahami bahwa pada dasar-
nya semua warga, baik disabilitas maupun bukan penyandang disabilitas
perlu mendapatkan perhatian dalam program pembangunan di desa.
4. Desa Mallari ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bone menjadi lokasi
Penyelenggaraan Kabupaten Sehat yaitu GEMAR LIDI (Gerakan Masyarakat
Peduli Disabilitas).
5. Dampak langsung yang dirasakan penyandang disabilitas adalah
dialokasikannya anggaran bagi penyandang disabilitas dalam APBDes
berupa:
a. Alokasi anggaran untuk membiayai transportasi bagi penyandang
disabilitas ke sekolah. Dana transportasi ini dialokasikan, karena
sebagian penyandang disabilitas tidak dapat melanjutkan sekolah
disebabkan adanya kendala transportasi;
b. Bantuan ternak dan bedah rumah;
c. Pembangunan dua pos pelayanan kesehatan khusus untuk penyandang
disabilitas. Pos pelayanan kesehatan ini membuka pelayanan khusus
bagi disabilitas pada tanggal 14 setiap bulannya.

Tabel 2.7.1 Alokasi Anggaran yang Reponsif Disabilitas pada APBDes

Kegiatan Jumlah Sumber Sasaran


Anggaran Anggaran
Bantuan ternak Rp 250. 000 x 40 APBDes 40 Disabilitas
(ayam) Perubahan 2015
Bedah Rumah Rp. 10.000.000 APBDes 1 rumah disabilitas
Perubahan 2015 (disabilitas ganda: netra
dan mini)
Rp. 10.000.000 APBDes 2017 1 rumah disabilitas
(disabilitas daksa)
Biaya Transportasi Rp. 8.590.000 APBDes 2016 5 orang (SD: 2 orang
Siswa Miskin dan SMA: 3 orang)
Disabilitas
Rp. 8.590.000 APBDes 2017 5 orang (SD: 2 orang
dan SMA: 3 orang)

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 91


Posyandu PAUD Rp. 100.000.000 APBDes 2016 1 Posyandu PAUD di
yang ramah Dusun Nipa
disabilitas
Posyandu Ramah Rp. 70.000.000 APBDes 2016 Dusun Awangnipa
Disabilitas
Alat Bantu Dengar Rp. 1.500.0000 APBDes 2017 1 orang
Bantuan ternak Rp. 150.000.000 APBD Tahun 2017 Kelompok Disabilitas
sapi (Bibit sapi untuk 15 ekor Desa Mallari
betina)
Bedah Rumah - APBN 2016 6 rumah disabilitas di
melalui Dinas Desa Mallari
Tarkim
Bantuan Tongkat - APBD Kab. Bone 3 orang disabilitas di
melalui Dinas Desa Mallari
Kesehatan

C.1.3. Faktor Pendukung


Faktor pendukung penting dalam mewujudkan inovasi dan praktik baik ini
adalah:
1. Komitmen Pemerintah Desa yang kuat untuk merealisasikan perencanaan
dan penganggaran yang responsif terhadap kebutuhan penyandang
disabilitas.
2. Dukungan dan keterlibatan aktif organisasi penyandang disabilitas.
3. Warga masyarakat bukan penyandang disabilitas juga menyambut baik
upaya dan program-program khusus bagi disabilitas dan berlega hati
dengan adanya perhatian khusus dari pemerintah desa kepada penyandang
disabilitas.

C.1.4. Tantangan
Beberapa tantangan yang ditemui dalam proses inovasi dan praktik baik ini
adalah:
1. Masih ada perasaan rendah diri dari beberapa penyandang disabilitas dan
keluarganya.
2. Sebagian keluarga penyandang disabilitas masih enggan mengizinkan
disabilitas terlibat dalam kegiatan seperti hadir dalam Musdus dan Musdes.

92
C.1.5. Partisipasi Disabilitas
Partisipasi disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini relatif terbatas, yaitu
hanya pada tahap pelaksanaan berupa hadir dalam Musdes yang membahas
perencanaan dan penganggaran desa serta aktif menyampaikan aspirasi
kebutuhan disabilitas. Sementara pada tahap perencanaan, tindak lanjut serta
monitoring dan evaluasi tidak terlibat. Hal ini terjadi, karena pada awal pelaksanaan
Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 atau tahap perencanaan inovasi penyandang
disabilitas di Desa Mallari belum terorganisir dalam sebuah kelompok, sehingga
disabilitas terlibat secara individu dalam kegiatan atau pertemuan seperti Musdus
dan Musdes. Keterlibatan penyandang disabilitas itu juga berasal dari dorongan
Pemerintah Desa, YASMIB dan LPP Bone melalui diskusi-diskusi kampung.

Bagan 2.9.1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di
Desa Mallari

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Ikut serta
dalam Musdes
Perencanaan dan
Penganggaran
Desa
Tidak Terlibat Tidak Terlibat Tidak Terlibat

Menyampaikan
Aspirasi
Kebutuhan
Disabilitas

C.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan


Inovasi dan praktik baik ini baru diimplementasikan di tingkat desa oleh
Pemerintah Desa Mallari dan belum diterapkan di unit pelayanan atau OPD di
tingkat kabupaten. Namun, Bappeda Kabupaten Bone sudah menerima dan
menyambut baik inovasi perencanaan dan penganggaran desa yang inklusif ini
dan berencana untuk mendorong agar inovasi ini dapat direplikasi oleh desa-
desa di Kabupaten Bone secara massif. Bappeda bahkan mendorong pelaksanaan
Musrenbang Anak yang mengakomodasi penyandang disabilitas.
Bappeda Kabupaten Bone juga mulai menyosialisasikan desa inklusi pada

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 93


tahun 2016 dan menjadikan Mallari sebagai percontohan desa inklusi, termasuk
menyampaikan kepada pemerintah pusat mengenai keberhasilan Desa Mallari
sebagai desa yang responsif disabilitas (inklusi) serta menjadikan Desa Mallari
sebagai lokasi penilaian dalam rangka verifikasi lapangan saat Kabupaten Bone
menjadi peserta lomba penganggaran inklusif di tingkat nasional. Bappeda juga
sedang mengupayakan agar inovasi desa inklusi ini dapat diterapkan di seluruh
desa di Kabupaten Bone dan diproyeksikan untuk mendukung program menjadikan
Bone sebagai Kabupaten Inklusi. Inovasi dan praktik baik yang difasilitasi YASMIB
ini memungkinkan untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scaling
up) dengan cara mengimplementasikan Perda Disabilitas, menyusun Peraturan
Bupati sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda Disablitas, dan mengupayakan
agar inovasi perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas menjadi
arus utama dalam penyusunan program oleh OPD-OPD Kabupaten Bone
dan memastikan partisipasi aktif kelompok disabilitas. Mengarusutamakan
isu disabilitas dalam penyusunan program pada OPD-OPD ini sudah mulai
dilakukan oleh Bappeda Kabupaten Bone. Contohnya, dalam program Gerakan
Kembali Bersekolah, Bappeda mengupayakan dibukanya kesempatan bagi bagi
penyandang disabilitas yang putus sekolah. Selain itu, pada Musrenbang Anak,
Bappeda juga melibatkan anak-anak penyandang disabilitas.
Dalam kerangka pengembangan inovasi ini, Bupati Bone, yang setiap tahun
menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang prioritas penggunaaan Dana Desa, pada
SE tahun 2018 memasukkan arahan agar Pemerintah Desa melakukan proses
perencanaan dan penganggaran yang inklusif dalam menggunakan Dana Desa
tersebut. Selain itu, Bappeda juga telah merencanakan pelatihan Perencanaan dan
Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) untuk semua OPD, yang di dalamnya
dimasukkan materi tentang inklusi, terutama perencanaan dan penganggaran
yang responsif disabilitas.

94
C.2. BAHTERA: Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas
C.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor

Sektor : Perencanaan dan Penganggaran


Stakeholder Kunci : Pemerintah Desa
Bentuk Inovasi : Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas
Lokasi Inovasi : 11 desa di Kabupaten Sumba

Hampir sama dengan inovasi yang difasilitasi YASMIB, pada inovasi Perencanaan
dan Penganggaran yang Pro Disabilitas yang difasilitasi Yayasan BAHTERA ini
juga dilakukan di tingkat desa. BAHTERA melibatkan masyarakat diawali dengan
mendorong kelompok perempuan di level desa. Berikutnya adalah bagaimana
agar penyandang disabilitas dapat terlibat yang dimulai pada tahun 2015,
melalui Program Peduli dengan inovasi Perencanaan dan Penganggaran yang Pro
Disabilitas dengan cara membangun kapasitas bagi disabilitas dan mendorong
serta memfasilitasi keterlibatan mereka. Kemudian, dimulailah pendataan secara riil
untuk mengetahui jumlah disabilitas yang ada di desa tersebut. Proses pendataan
yang mengawali inovasi ini dilakukan dengan cara mendatangi setiap rumah
tangga untuk mendata jumlah anggota keluarga yang disabilitas. Kegiatan yang
dilakukan di 11 desa di Kabupaten Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur ini adalah
langkah awal untuk mengetahui
kebutuhan disabililitas dengan
berpijak pada data yang riil. “Beberapa keluarga penyandang disabilitas
Setelah diketahui jumlah mengatakan bahwa setelah adanya program
dan karakteristik disabilitas, pendampingan terjadi perubahan positif pada
tahap selanjutnya adalah mulai disabilitas. Contohnya, yang sebelumnya putus
sekolah, sekarang sudah kembali bersekolah.
membangun interaksi antara
Bahkan, ada orang tua yang terharu, karena
sesama penyandang disabilitas anaknya yang disabilitas dapat mengikuti
dan antara penyandang salah satu acara yang dilaksanakan di
disabilitas dengan warga Yogyakarta, padahal sebelumnya tidak pernah
masyarakat pada umumnya. pergi jauh”
Hal ini dilakukan dengan Naomi, Pegiat BAHTERA
cara melibatkan penyandang
disabilitas pada berbagai
kegiatan, seperti forum-forum diskusi. Forum diskusi yang antara lain membahas
perencanaan dan penganggaran, nilai partisipasi, keterbukaan, transparansi, dan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 95


pertanggungjawaban (akuntabilitas) ini dilaksanakan mulai dari tingkat desa,
kecamatan hingga kabupaten. Namun, proses pelibatan disabilitas dalam inovasi
dan praktik baik ini lebih difokuskan pada lingkup desa, yaitu perencanaan dan
penganggaran desa yang pro terhadap disabilitas.
Keterlibatan disabilitas dalam diskusi tematik sangat penting, karena menjadi
bekal untuk memahami tentang perencanaan dan penganggaran, sehingga pada
saat hadir di forum Musrenbang tidak lagi merasa kesulitan dalam menyampaikan
usulan kebutuhannya, seperti kebutuhan pelayanan di bidang pendidikan dan
kesehatan, peningkatan infrastruktur dan ekonomi. Pada forum Musrenbang ini,
penyandang disabilitas tidak sekadar hadir, tetapi juga aktif memperjuangkan agar
aspirasi dan kebutuhannya dapat diakomodir.
Kegiatan diskusi tematik, hadir dalam Musrenbang dan ditindak lanjuti
dengan proses advokasi kepada unit pelayanan atau OPD ini dilakukan untuk
menyampaikan aspirasi dan kebutuhan penyandang disabilitas itu sendiri.
Hasilnya adalah program-program pembangunan yang diusulkan diakomodasi
dalam APBDes, seperti bantuan sosial bagi disabilitas dan pengadaan rumah layak
huni bagi disabilitas.
Proses inovasi dan praktik baik dapat dilihat dari langkah mendasar untuk
mengetahui kebutuhan disabilitas yaitu berpijak pada data riil tentang jumlah dan
kebutuhan disabilitas. Setelah data, proses selanjutnya adalah mendorong patisipasi
dan pelibatan disabilitas. Pelibatan disabilitas tidak hanya di musrembang tetapi
juga pada forum-forum diskusi dengan berbagai tema tematik dan mendorong
proses-proses advokasi kepada Unit Layanan/SKPD. Kelompok disabilitas juga ikut
berpartisipasi dan dipertimbangkan usulan serta kebutuhannya dalam proses
perencanaan dan penganggaran.
Forum diskusi tersebut membicarakan tentang perencanaan dan penganggaran
pembangunan, nilai partisipasi, nilai keterbukaan, nilai transparansi, dan
pertanggungjawaban (akuntabilitas). Keterlibatan disabilitas dalam porses diskusi
tematik sangat penting, karena menjadi bekal untuk anggota disabilitas memahami
tentang perencanaan dan penganggaran, sehingga pada saat kegiatan-kegiatan
di Musrembang tidak lagi merasa kesulitan untuk melibatkan mereka baik di level
desa, kecamatan dan kabupaten.

Bagan 2.10. 1 Tahapan Keterlibatan Disabilitas dalam Mendorong Usulan


Pembangunan

96
Inovasi juga dapat dilihat pada bentuk program/ kegiatan yang diusulkan
oleh forum disabilitas di Musrenbang pada level Desa, Kecamatan dan Kabupaten

Mendata Diskusi Terlibat Advokasi Ke


(Disabilitas) Tematik Musrenbang Unit/SKPD

Sumba Barat. Pada proses Musrenbang tersebut, keberadaan disabilitas bukan


hanya hadir untuk terlibat dalam proses Musrembang tetapi juga mengusulkan
secara langsung kebutuhan mereka, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, peternakan dan pertanian, administrasi kependudukan
dan lain sebagainya. Aktor-aktor yang berperan dalam proses inovasi dan praktik
baik ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2.8.1 Peran Aktor dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten
Sumba

Aktor Nama Peran


Institusi/
Organisai
Pemerintah Bupati Sumba Mendukung inovasi dengan memproyeksikan
Barat Kabupaten Sumba menjadi kabupaten responsif
disabilitas. Hal ini disampaikan secara langsung pada
forum-forum multistakeholder bahwa responsif disabilitas
adalah bagian dari capaian pembangunan daerah.
Dinas • Melaksanakan sosialisasi tentang KTP, KK dan Akta
Kependudukan Kelahiran dengan memberikan perhatian pada
dan Catatan penyandang disabilitas yang telah mencukupi
Sipil persyaratan untuk memperoleh dokumen
kependudukan.
• Mengadopsi usulan dari desa antara lain menjadikan
penyandang disabilitas sebagai sasaran dari program
dan kegiatan Dinas.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 97


Bappeda • Mendorong penetapan regulasi yang memperkuat
implementasi pembangunan yang ramah disabilitas.
• Sedang menyusun indikator pembangunan (program
dan kegiatan) menjadi Indikator Kinerja Utama (IKU)
yang berkontribusi terhadap pencapaian keberhasilan
pembangunan yang ramah terhadap disabilitas
(RPJMD).
• Mendorong penyebarluasan keberhasilan inovasi
khususnya kepada SKPD teknis, kecamatan dan desa
lainnya.
• Mengadopsi usulan pembangunan yang ramah
disabilitas dari berbagai sektor, sesuai dengan arah
perencanaan pembangunan dengan memperhatikan
kapasitas anggaran yang tersedia.
Dinas sosial • Mengadopsi usulan kegiatan dari desa, antara lain
menjadikan penyandang disabilitas sebagai sasaran
dari program dan kegiatan Dinas.
• Melakukan promosi kepada para pihak (termasuk
swasta) untuk memberikan bantuan kepada
penyandang disabilitas baik secara individu maupun
kelompok.
• Mendorong Bupati untuk menerbitkan peraturan yang
melindungi penyandang disabilitas.
Dinas • Mengadopsi usulan kegiatan dari desa, antara lain
Kesehatan menjadikan penyandang disabilitas sebagai sasaran
dari program dan kegiatan Dinas.
• Meningkatkan pelayanan bagi disabilitas di
puskesmas.
Dinas • Mengadopsi usulan kegiatan dari desa, antara lain
Pendidikan menjadikan penyandang disabilitas sebagai sasaran
dari program dan kegiatan Dinas.
• Meningkatkan pelayanan di sekolah agar ramah
disabilitas
• Mempromosikan pentingnya kesadaran dan
pemahaman guru kepada siswa penyandang
disabilitas dengan memberikan motivasi untuk
semangat bersekolah dan berprestasi sesuai dengan
kemampuan dan bakatnya.

98
Dinas • Mendorong implementasi inovasi dan praktik baik,
Pemberdayaan perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas
Masyarakat di 11 desa.
dan Desa • Menyiapkan Surat Edaran untuk seluruh desa di
(DPMD) Sumba Barat (63 Desa) agar menerapkan inovasi dan
praktik baik perencanaan dan penganggaran yang pro
disabilitas.
Pemerintahan • Menyelenggarakan proses musrenbang desa yang pro
Desa disabilitas
• Mendukung kerja-kerja forum warga dan kelompok
disabilitas di tingkat desa, dan menerima usulan
program serta kegiatan yang pro disabilitas
• Menyosialisasikan program kemasyarakat,
menetapkan kegiatan dan mengalokasikan anggaran
untuk penyandang disabililitas yang bersifat afirmatif
dan mainstreaming.
• Mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan disabilitas
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran desa
(RPJMDes, RKPDes, dan APBDes), serta menyiapkan
Peraturan Desa tentang Perlindungan Disabilitas.
• Mempromosikan inovasi dan praktik baik tentang
perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas
ke desa lainnya, ke pemerintah kecamatan dan
kabupaten.
Kelompok/ Forum • Menggerakkan dan memotivasi penyandang
organisasi Disabilitas di disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam proses
disabilitas tingkat Desa perencanaan dan penganggaran desa.
• Menyampaikan aspirasi dan kebutuhan warga
penyandang disabilitas kepada pemerintahan desa.
• Melaksanakan monitoring terhadap implementasi
program pembangunan yang responsif disabilitas
yang telah ditetapkan oleh pemerintah desa.
• Melakukan advokasi kepada pemerintahan desa,
kecamatan dan OPD terkait usulan perbaikan
pelayanan yang ramah disabilitas.
Masyarakat Tokoh • Mendukung inovasi dan praktik baik dengan cara
masyarakat, mempersilahkan hadir dan memberikan kesempatan
Tokoh agama, kepada disabilitas untuk menyampaikan aspirasi dan
Pemuda dll. kebutuhannya pada forum-forum diskusi.
• Menerima keberadaan disabilitas dan memahami
bahwa penyandang disabilitas juga berhak menikmati
program pembangunan baik dari desa maupun dari
kabupaten.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 99


NGO (Save the • Mendukung inovasi dan praktik baik dengan terlibat
Children) aktif pada forum-forum diskusi dan kegiatan yang
dilaksanakan oleh BAHTERA dan forum disabilitas.
Keluarga • Memberikan kesempatan dan mendukung penuh
Penyandang penyandang disabilitas untuk berpartisipasi aktif
Disabilitas dalam kegiatan diskusi, Musrenbang dan menjadi
anggota Forum Disabilitas di tingkat desa.
• Memberikan ide dan usulan kegiatan yang dibutuhkan
oleh penyandang disabilitas.

C.2.2. Dampak Inovasi dan Praktik Baik


Dampak yang langsung dirasakan penyandang disabilitas dari inovasi dan
praktik baik tentang perencanaan dan penganggaran desa yang pro disabilitas ini
adalah:
a. Tersedianya ruang interaksi dan sosialisasi untuk belajar dan meningkatkan
kapasitas penyandang disabilitas, sehingga mampu berkontribusi terhadap
pembangunan di desanya.
b. Tumbuhnya kepercayaan diri penyandang disabilitas serta meningkatnya
dukungan dan kepercayaan dari keluarga serta masyarakat. Perlahan tapi
pasti, disabilitas mampu menunjukan kemampuannya, bahkan beberapa
penyandang disabilitas sudah dipercaya menjadi pengurus RT, RW, dan
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM).
c. Disabilitas memiliki jaminan kepastian untuk berpartisipasi dalam
pembangunan desa, melalui terbitnya Peraturan Desa tentang perencanaan
dan penganggaran yang pro disabilitas.
d. Adanya program dan kegiatan yang bersifat langsung yang dapat dirasakan
oleh disabilitas, baik yang diperoleh dari pemerintah desa, kecamatan,
kabupaten, maupun sektor swasta.

100
Tabel 2.9.1 Contoh Kegiatan yang Sudah Diakomodasi dalam Dokumen RKP
Desa Elu Loda, Kecamatan Tana Righu Kabupaten Sumba Barat tahun 2016.

Nama Lokasi Sasaran Tahun Anggaran Sumber Rencana


Kegiatan (Rp) Dana Pelaksanaan

Bantuan Sosial Dusun 17 Orang 2016 40.000.000 Dana Desa Jan s/d Des
Bagi Disabilitas I,II,III,IV 2016
Pengadaan Dusun 75 Unit 2016 150.000.000 Dana Desa Jan s/d Des
Rumah Layak I,II,III,IV 2016
Huni bagi
disabilitas dan
masyarakat
miskin

Sumber: RKP Desa Elu Loda Kecamatan Tana Righu, 2016

Dampak inovasi dan praktik baik yang dirasakan oleh pemerintah desa,
kecamatan dan kabupaten adalah:
a. Meningkatnya kesadaran dan pengakuan dari aparatur pemerintah
mengenai kebutuhan dan aspirasi disabilitas. Sebelumnya, ada pandangan
skeptis mengenai apa yang dapat dikontribusikan oleh disabilitas. Namun,
setelah terlibat dalam Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, disabilitas
dapat menunjukkan kapasitasnya melalui kegiatan-kegiatan yang
dilakukan di tingkat desa hingga kabupaten, seperti menjadi peserta aktif,
narasumber, membuat testimoni mengenai apa yang sudah dan dapat
dilakukan disabilitas. Akhirnya, sedikit demi sedikit pandangan negatif itu
berubah menjadi pengakuan atas kemampuan disabilitas.
b. Pemerintahan desa dapat memastikan program dan kegiatan yang pro
disabilitas dapat berkelanjutan, karena sudah menjadi bagian dari program
pembangunan di desa.
c. Meningkatnya kualitas dan lebih partisipatifnya perencanaan dan
penganggaran, sehingga lebih jelas sasarannya, dan lebih sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, termasuk penyandang disabiltas, baik di tingkat
desa maupun di kabupaten (OPD).
d. Pemerintah Kabupaten Sumba Barat termotivasi untuk mengembangkan
lebih jauh bentuk-bentuk inisiatif berupa program, kegiatan, dan regulasi
yang mengarah kepada kabupaten inklusi.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 101


C.2.3. Faktor Pendukung
Faktor pendukung yang sangat penting adalah komitmen dari Bupati
Sumba Barat yang mampu menggerakkan OPD-OPD untuk terlibat aktif dalam
mendukung inovasi dan praktik baik tentang perencanaan dan penganggaran
yang pro disabilitas.
Faktor pendukung lainnya adalah kesediaan dan antusiasme pemerintah desa
(di 11 desa wilayah kerja Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1) untuk menerima dan
melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka perencanaan dan penganggaran
yang pro disabilitas. Fasilitator Program yang merupakan penduduk setempat juga
menjadikan upaya-upaya advokasi hak dan kebutuhan disabilitas di tingkat desa
menjadi lebih lancar.

C.2.4. Tantangan
Secara umum, tidak ada tantangan yang berarti dalam pengembangan
inovasi dan praktik baik ini, kecuali pada awal pelaksanaan Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1 para penyandang disabilitas kurang percaya diri, karena relatif
baru dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan perencanaan dan penganggaran di desa.
Namun, sekarang tantangan itu sudah teratasi.

C.2.5. Partisipasi Disabilitas


Keterlibatan disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini dilakukan melalui
forum penyandang disabilitas yang dibentuk di 11 desa, serta Forum Disabilitas
di tingkat kabupaten yang bernama “Mareda Ate” (atau hati yang lapang). Forum
ini dibentuk dari pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Penyandang
disabilitas berpartisipasi di semua tahapan inovasi mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, tindak lanjut hingga monitoring dan evaluasi.

102
Bagan 2.11. 1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di
Kabupaten Sumba

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Membentuk Terlibat aktif


forum dalam forum
pembelajaran pembelajaran
disabilitas disabilitas.
Advokasi ke Aktif mengawal
Pemerintah perkembangan
Daerah implementasi
kegiatan di desa
Terlibat
Merumuskan
aktif dalam
usulan kegiatan
Musrenbang

Keterlibatan penyandang disabilitas diawali dengan adanya pendampingan


dari Yayasan BAHTERA. Pada tahap perencanaan, melalui proses pendampingan,
disabilitas menyambut positif Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 dan berinisiatif
membentuk forum peduli disabilitas di desa sebagai media pembelajaran bersama
antarpenyandang disabilitas.
Pada tahap pelaksanaan, penyandang disabilitas terlibat aktif menghidupkan
forum pembelajaran disabilitas. Melalui forum ini, disabilitas mulai mampu
merumuskan usulan kegiatan dan melakukan pengawalan usulan pada forum-
forum Musrenbang baik di tingkat Dusun, Desa, Kecamatan hingga kabupaten.
Pada tahap tindak lanjut, disabilitas melakukan proses-proses advokasi kepada
pemerintah kabupaten mengenai aspirasi, kebutuhan dan usulan kegiatan dalam
rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas. Salah satunya mengundang Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil untuk membantu warga yang tidak memiliki
kartu identitas kependudukan.
Pada tahap monitoring dan evaluasi, usulan-usulan kegiatan yang sudah
diakomodasi di musrenbang, kemudian dikawal implementasinya di tingkat desa.
Hal ini dilakukan dengan cara menanyakan langsung perkembangan implementasi
kegiatan di desa kepada pelaksana kegiatan dan pemerintah desa.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 103


Tabel 2.10. 1 Forum-Forum Peduli Disabilitas di Tingkat Desa yang
Berpartisipasi dalam Inovasi dan Praktik Baik Perencanaan dan
Penganggaran yang Pro Disabilitas

No Nama Desa Kecamatan Nama Forum DPO


1 Desa Taramanu Wanukaka “Oha Awa” (Inilah aku, apa adanya)
2 Desa Weihura Wanukaka “Kunyuru Dewa” (Anugrah yang
diperoleh)
3 Desa Laboya Bawa Lamboya “Hilu Wolu” (Melakukan yang terbaik)
4 Desa Watukarere Lamboya “Wolo Koko” (Perhatian yang lebih bagi
difabel)
5 Desa Harona kalla Laboya Barat “Ayi Ate” (Satu kata)
6 Desa Bali Ledo Loli “Dulla Kagenga” (Dukung kami dari
belakang)
7 Desa Tanarara Loli “Arru Dewa” (Nasib yang baik)
8 Desa Tebara Kota “Maida Ole” (Mari kawan)
Waikabubak
9 Desa Kodaka Kota “Palolo Wekida” (Saling mengingatkan)
Waikabubak
10 Desa Elu loda Tanarighu “Ma Beingge Ndua” (Kami suka yang
baik)
11 Desa Kareka Nduku Tanarighu “Ole Ndengo” (Teman)
Utara
Sumber: Yayasan BAHTERA, 2017

C.2.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan


Pemerintah desa di 11 desa sangat antusias dalam menerima ide inovasi dan
praktik baik perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas. Hal ini dibuktikan
dengan keterlibatan aparatur pemerintah desa pada serangkaian diskusi dan
pertemuan serta melakukan pengawalan dalam proses pengajuan usulan kegaitan
di Forum Musrenbang Desa. Hasilnya adalah diakomodasikannya kegiatan dengan
sasaran khusus penyandang disabilitas dalam dokumen RPJMDes, RKPDes dan
APBDes, bahkan pemerintah desa berkomitmen untuk mengembangkan kegiatan-
kegiatan lainnya bagi penyandang disabilitas pada tahun berikutnya.
Pada tingkat OPD Kabupaten, usulan kegiatan dengan sasaran khusus

104
penyandang disabilitas telah diakomodasi sebagai bagian dari kegiatan OPD
seperti Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa, Dinas Pendidikan inas PEMDES, Dinas Pendidikan, dan Dinas
Pertanian. Hal ini dilakukan sebagai respon atas advokasi yang dilakukan oleh
penyandang disabilitas yang didukung oleh BAHTERA. Misalnya, saat ditemukan
adanya disabilitas yang tidak memiliki identitas kependudukan, maka Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil langsung melaksanakan perekaman KTP dengan
mendatangi penyandang disabilitas dimaksud. Namun, hal ini belum diadopsi
menjadi program khusus yang rutin dilakukan dan berkelanjutan.
Pemerintah Kabupaten, khususnya Bappeda juga telah menjadikan isu
disabilitas sebagai arus utama dalam perencanaan program pembangunan. Hal ini
ditandai dengan adanya dorongan kepada OPD-OPD lain untuk mengakomodasi
usulan kegiatan bagi penyandang disabilitas yang berasal dari desa yang menjadi
bagian dari program atau kegiatan OPD masing-masing. Setidaknya, hal ini terlihat
pada indikator sasaran program/kegiatan yang sudah mempertimbangkan
kebutuhan penyandang disabilitas. Data yang valid tentang jumlah dan kondisi
penyandang disabilitas yang sudah terintegrasi dalam Sistem Administrasi dan
Informasi Desa dan Kelurahan (SAID/SAIK) sangat menentukan bagi OPD untuk
mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan disabilitas.
Upaya replikasi inovasi dan praktik baik ini kepada desa-desa lain di Kabupaten
Sumba Barat sedang dibahas lebih lanjut oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat.
Replikasi ini diharapkan dapat didukung melalui perluasan sasaran Program Peduli
Pilar Disabilitas Fase 1 dan dukungan dari ABPD Kabupaten. Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa juga berencana untuk menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang
penyelengaraan pendataan dan proses perencanaan dan pengganggaran di desa
yang pro disabilitas.
Inovasi dan praktik baik ini realistis untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih
tinggi (scale up) melalui dukungan kebijakan dari Pemerintah Kabupaten berupa
Peraturan Bupati yang mengakomodasi proses perencanaan dan penganggaran
yang pro disabilitas, inovasi dan praktik baik ini dapat direplikasi ke desa-desa lain,
tetapi dapat diaplikasikan juga oleh kecamatan dan seluruh OPD melalui proses
perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas. Kebijakan ini sangat penting,
karena kendala bagi dinas teknis untuk merumuskan kegiatan dengan sasaran
khusus penyandang disabilitas disebabkan tidak ada acuan kebijakan khusus
mengenai hal tersebut. Kebijakan ini perlu dukungan dari DPRD dalam kerangka
perlunya alokasi anggaran khusus bagi penyandang disabilitas yang diakomodasi
dalam APBD Kabupaten. Sementara itu, pengembangan ke tingkat provinsi dan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 105


Gambar 2.9. 1 Kegiatan
Musrenbangdes di
Kabupaten Sumba Barat

nasional belum dilakukan, meskipun inovasi dan praktik baik ini mempunyai
peluang untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi. Penyusunan
rekomendasi kebijakan di tingkat nasional, penyelenggaraan forum-forum diskusi
dan seminar serta dukungan media, baik media cetak maupun media elektronik
dengan lingkup kegiatan tentang penyandang disabilitas dapat menjadi sarana
untuk mensosialisasikan perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas di
tingkat nasional.

106
BAB III
Analisis dan
Model Inovasi

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 107


108
BAB III
Analisis dan Model Inovasi
A. Analisis Proses Perubahan dan Pembagian Peran
Pada setiap inovasi dan praktik baik yang dideskripsikan di buku ini, tujuan
utama yang ingin dicapai adalah terjadinya perubahan dari kondisi sebelumnya
berupa terpenuhinya hak penyandang disabilitas dan meningkatnya kualitas
pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh penyandang disabilitas. Meskipun
dalam pelaksanaannya setiap lembaga yang memfasilitasi inovasi dan praktik baik
memiliki pendekatan dan strategi yang berbeda, tetapi dapat dilihat benang merah
yang menghubungkan inovasi dan praktik baik tersebut dan proses perubahan di
dalamnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi strategi, perkembangan dan jenis
inovasi dan praktik baik yang dikembangkan dapat dilihat pada bagan berikut.

Bagan 3.1. 1 Alur Perubahan dalam Inovasi dan Praktik Baik pada Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 di Lima Provinsi

Outcome Strategi Sektor


Program khusus
bagi disabilitas
Kesehatan

Memasukkan
Inovasi per sektor disabilitas dalam
program yang ada
Pendidikan

Memasukkan
Pelayanan publik
disabilitas sebagai
dasar bagi disabilitas
penerima manfaat
program yang ada
(existing)
Inovasi melalui Pengarusutamaan
perencanaan dan (mainstreaming) ke
Realokasi
penganggaran berbagai sektor
anggaran

Merencanakan dan
menganggarkan
program baru bagi
disabilitas

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 109


Inovasi-inovasi tersebut dilakukan di beberapa sektor dan tingkatan yang
berbeda. Berbagai inovasi dan praktik baik dilakukan melalui dua strategi. Strategi
pertama, menyasar langsung ke sektor tertentu yang merupakan pelayanan dasar
yaitu pendidikan dan kesehatan. Inovasi dan praktik baik pada sektor tertentu ini
memosisikan pemerintah daerah dan OPD atau unit pelayanan sebagai aktor kunci.
Pada sektor kesehatan, aktor kunci inovasi dan praktik baik adalah Dinas Kesehatan,
Puskesmas dan rumah sakit. Sementara di sektor pendidikan, aktor kuncinya Dinas
Pendidikan dan sekolah. Aktor-aktor kunci tersebut harus dilibatkan agar inovasi
dan praktik baik yang digagas dapat diimplementasikan, masuk ke dalam sistem
pelayanan serta berlanjut menjadi bagian dari program sektor pendidikan dan
kesehatan. Sebagai contoh, Dinas Kesehatan sudah memasukkan isu disabilitas
dalam program-program yang ada dan memberikan dukungan kepada puskesmas
untuk memberikan pelayanan khusus bagi disabilitas melalui penyediaan terapis
ABK maupun dukungan alokasi anggaran untuk penanganan disabilitas jiwa
(ODGJ).
Unit pelayanan yaitu puskesmas menyediakan pelayanan kesehatan
dengan mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan disabilitas ke dalam standar
operasional prosedur (SOP) pelayanannya, peningkatan kapasitas bagi petugas
dan memperbaiki bangunan fisik agar sesuai standar bangunan yang ramah
disabilitas. Strategi kedua adalah upaya perbaikan layanan dengan mengidentifikasi
kebutuhan disabilitas dan menyisir potensi pemenuhan kebutuhan disabilitas
dalam proses perencanaan dan penganggaran. Keterlibatan disabilitas menjadi
salah satu prasyarat untuk memastikan usulan pemenuhan hak disabilitas
diakomodasi dalam proses perencanaan dan penganggaran di tingkat desa dan
kabupaten.
Kedua strategi tersebut berhasil mewujudkan perubahan konkret dalam
pelayanan publik bagi disabilitas berupa adanya program khusus untuk
pemenuhan kebutuhan disabilitas, pengarusutamaan (mainstreaming) disabilitas
dalam program dan kegiatan yang sudah ada, pelayanan khusus bagi penyandang
disabilitas, dan memasukkan disabilitas dalam program-program afirmatif bagi
kelompok rentan lainnya.
Keberhasilan inovasi dan praktik baik serta keterlibatan para aktor dalam
berbagai inovasi ini menjadi bukti nyata terjadinya pembagian peran secara
proporsional antara pemerintah, unit layanan, penyandang disabilitas, kelompok
disabilitas (DPO) dan masyarakat secara umum, serta organisasi masyarakat sipil
(CSO) dan lembaga lainnya, termasuk donor dan perusahaan swasta.
Pembagian peran yang proporsional tersebut dapat dilihat pada diagram

110
berikut.

Bagan 3.2.1 Pembagian Peran dalam Inovasi dan Praktik Baik

• Menyusun kebijakan bagi


• Memfasilitasi koordinasi pemenuhan hak disabilitas
antar stakeholder • Mainstreaming dan
• Peningkatan kapasitas menerjemahkan kebutuhan
• Kampanye dan disabilitas ke dalam
sosialisasi 4. CSO dan program masing-masing
lembaga 1. Pemerintah sektor
lainnya

2. Unit 3. Disabiltas,
Penyedia DPO, keluarga • Menyosialisasikan hak-
• Menyediakan hak dasar disabilitas
pelayanan yang Layanan disabilitas dan
• Menyampaikan
inklusif masyarakat kebutuhan dan aspirasi
• Menyusun standar disabilitas
pelayanan bagi • Melakukan konsolidasi
disabilitas dan advokasi

Secara garis besar, pembagian peran antara pemerintah sebagai penyedia


(supply side) dan masyarakat sebagai penerima (demand side) terbagi dalam empat
kuadran, yaitu:
1. Pemerintah
Pemerintah dalam inovasi dan praktik baik ini adalah kepala daerah dan
organisasi perangkat daerah (OPD) kabupaten/kota seperti Dinas Kesehatan,
Dinas Pendidikan, Bappeda, kecamatan dan pemerintahan desa. Peran yang
dimainkan pemerintah ini antara lain :
a. Menyusun, menerbitkan dan melaksanakan kebijakan tentang pemenuhan
hak disabilitas. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo yang
menerbitkan Perda tentang disabilitas, Pemerintah Kota Banjarmasin
menerbitkan SK Walikota Banjarmasin Nomor 193 Tahun 2017 tentang
Forum Pendidikan Inklusi dan SK Walikota Banjarmasin Nomor 195 Tahun
2017 tentang Daftar Pembimbing Khusus Pada Sekolah Inklusi Kota
Banjarmasin sebagai penerima honorarium Tahun Anggaran 2017-2019.
b. Melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) dan menerjemahkan
kebutuhan disabilitas ke dalam program sektor. Contohnya, Dinas Kesehatan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 111


Kabupaten Sukoharjo melakukan pengarusutamaan (mainstreaming)
disabilitas, termasuk ABK pada semua program pelayanan kesehatan,
dan menyebutkan kelompok disabilitas secara eksplisit sebagai bagian
dari target atau penerima manfaat program pemerintah yang sudah ada
sebelumnya.

2. Penyedia layanan (unit pelayanan)


Penyedia layanan yang dimaksud adalah unit pelayanan yang berada
di bawah tanggung jawab pemerintah daerah, seperti puskesmas (RPRD di
Kabupaten Lombok Barat dan pelayanan ODGJ di Kabupaten Kulon Progo),
dan sekolah negeri (Sekolah Dasar Inklusi di Kota Banjarmasin). Tugas utama
unit penyedia layanan ini adalah:
a. Memastikan jika layanan yang diberikan ramah disabilitas dan dapat
memenuhi kebutuhan khusus disabilitas. Contohnya, pada inovasi dan
praktik baik SD Inklusi, memastikan tersedianya guru pendamping khusus
(GPK) bagi ABK, dan mengembangkan kurikulum yang sesuai kebutuhan
ABK.
b. Memberikan layanan yang inklusif, baik dari sisi bangunan fisik maupun
petugas pelayanan. Contohnya, puskesmas yang berusaha memenuhi
aspek aksesibilitas berupa ramp, kamar mandi yang dapat diakses
disabilitas, loket dan tempat pengambilan obat yang dapat dijangkau
disabilitas, tulisan berjalan (running text) dan pemanggilan antrian dengan
menggunakan pengeras suara, pelayanan khusus bagi disabilitas dengan
menyediakan petugas dan penanganan khusus bagi disabilitas jiwa (ODGJ),
atau petugas kesehatan yang memahami cara melakukan deteksi dini bagi
anak disabilitas, dan kegiatan afirmatif seperti nomor antrian yang berbeda
bagi disabilitas atau memprioritaskan disabilitas dalam pemeriksaan.
c. Mengembangkan standar pelayanan bagi disabilitas. Hal ini dilakukan
melalui peningkatan kapasitas bagi petugas front desk, petugas keamanan
dan semua staf mengenai pemahaman dasar dan keahlian dalam
memberikan pelayanan bagi disabilitas. Melakukan pengarusutamaan
(mainstreaming) disabilitas dalam pemberian pelayanan. Misalnya,
menyertakan penyandang disabilitas dalam program pelayanan yang ada,
dan memastikan kebutuhan disabilitas terakomodasi dalam kegiatan yang
dilakukan.

112
3. Disabilitas dan kelompok disabilitas (DPO), keluarga disabilitas serta
masyarakat
Aktor utama dari inovasi dan praktik baik yang dikembangkan adalah
penyandang disabilitas sendiri, baik secara individu maupun organisasi/
kelompok disabilitas (DPO). Peran disabilitas ini sangat menentukan dalam
proses inovasi dan praktik baik sebagai prasyarat penting untuk memastikan
perspektif dan kebutuhan disabilitas terakomodasi sesuai dengan kondisi
nyata disabilitas yang beragam.
Keluarga, terutama orang tua penyandang disabilitas, menjadi bagian
pendukung yang krusial dalam proses inovasi dan praktik baik, baik sebagai
pendamping disabilitas untuk disabilitas daksa atau netra, maupun mewakili
disabilitas itu sendiri, seperti disabilitas jiwa (ODGJ). Contohnya, orang tua
atau keluarga penyandang disabilitas jiwa berperan menyampaikan langsung
kebutuhan disabilitas yang tak dapat disampaikan oleh penyandang disabilitas
itu sendiri.
Respon positif dan dorongan masyarakat secara umum juga terbukti
berkontribusi besar pada pengembangan inovasi dan praktik baik tersebut.
Contohnya, pada inovasi penanganan bagi disabilitas jiwa dan ABK, perspektif
positif dari masyarakat (menggantikan stigma negatif ) ternyata turut
mendorong disabilitas untuk menghadapi tantangan atau resistensi yang ada.
Dukungan masyarakat kepada keluarga ataupun kepada disabilitas menjadi
pendorong disabilitas untuk lebih terbuka dan berupaya mencari pengobatan
pada kasus disabilitas jiwa dan ABK.
Secara garis besar, peran yang dimainkan dalam inovasi dan praktik baik
adalah:
a. Menyosialisasikan hak dasar disabilitas kepada para pemangku kepentingan
(stakeholders).
b. Menyampaikan kebutuhan disabilitas dan berbagi pengetahuan mengenai
kondisi dan penanganan disabilitas kepada pihak-pihak lain, seperti
pemerintah, penyedia layanan dan masyarakat umum.
c. Melakukan konsolidasi dalam rangka saling menguatkan disabilitas dan
keluarga disabilitas.
d. Melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan disabilitas.

4. Organisasi masyarakat sipil (CSO) dan lembaga lainnya


Sumber daya dan kapasitas yang dimiliki CSO dan lembaga lainnya,

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 113


termasuk lembaga donor dan perusahaan swasta berkontribusi penting dalam
pembentukan gagasan dan pengembangan inovasi yang ramah disabilitas.
Hal ini terjadi melalui upaya peningkatan kapasitas, dan advokasi. Secara
ringkas, peran yang dimainkan adalah:
a. Memfasilitasi dan membangun jaringan koordinasi antar stakeholder
(khususnya antara masyarakat, kelompok disabilitas, dan pemerintah);
b. Memfasilitasi pengembangan inovasi dan praktik baik melalui pelaksanaan
Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1;
c. Melakukan peningkatan kapasitas kepada disabilitas, kelompok disabilitas,
masyarakat dan pemerintah, termasuk penyedia layanan mengenai
pelayanan publik, hak dan kebutuhan disabilitas dan keahlian melakukan
komunikasi dan advokasi;
d. Melakukan sosialisasi dan kampanye kepada para pemangku kepentingan
(stakeholders).

B. Partisipasi Disabilitas
B.1 Dinamika Partisipasi
Salah satu aspek penting bagi terwujudnya inovasi dan praktik baik pelayanan
publik yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan disabilitas adalah adanya
partisipasi dari penyandang disabilitas. Bila mengacu pada proses inovasi yang
telah dikembangkan, maka partisipasi disabilitas terjadi karena adanya perubahan
persepsi dari pemerintah, penyedia layanan dan masyarakat umum mengenai
disabilitas bukan sekadar obyek tetapi juga subyek yang berperan dalam
pemenuhan hak-haknya. Partisipasi disabilitas ini dapat dilihat sebagai bagian dari
warga masyarakat yang berhak menjadi penerima manfaat pembangunan.
Sejatinya partisipasi disabilitas sudah dijamin dalam kebijakan atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
1. Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2015;
2. Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan dari UU No. 23 Tahun 2014
yaitu PP No. 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat;
3. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
4. Peraturan Menteri sebagai pelaksanaan dari UU No. 25 Tahun 2009 yaitu
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
No. 24 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan
Pengaduan Pelayanan Publik Secara Nasional;
5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,

114
yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan Musrenbang melibatkan
masyarakat;
6. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang di dalamnya
menyatakan peran atau partisipasi masyarakat;
7. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang mengamanatkan
bahwa adanya unit layanan disabilitas dan pelaksanaan pemenuhan hak
penyandang disabilitas.

Partisipasi disabilitas pada beberapa inovasi dan praktik baik yang dibahas
dalam buku ini berada pada tahapan dan kedalaman partisipasi yang berbeda.
Hal ini dapat dilihat dari empat tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan,
tindak lanjut serta monitoring dan evaluasi, sebagaimana dapat dilihat pada bagan
berikut ini.

Bagan 3.3. 1 Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan, dan Tindak Lanjut

1. Perencanaan • Membentuk forum pembelajaran disabilitas.


• Merumuskan usulan kegiatan.

• Sosialisasi dan kampanye Program Peduli.


2. Pelaksanaan • Penyadaran kepada keluarga disabilitas, terutama orang tua.
• Terlibat aktif dalam Musrenbang.
• Terlibat aktif dalam forum pembelajaran disabilitas.

• Advokasi ke pemerintah desa dan kabupaten/kota (OPD terkait).


• Menerima aduan dari sesama disabilitas yang belum menerima
3. Tindak Lanjut manfaat atau memiliki hambatan dalam mengakses pelayanan
dan menyampaikannya ke pihak yang berwenang untuk
ditindak lanjuti.

• Melihat dan mengawal implementasi usulan kegiatan yang


4. Monitoring dan diakomodasi dalam program pemerintah daerah.
• Aktif mengawal perkembangan implementasi kegiatan di
Evaluasi desa.


Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi disabilitas ini adalah:
1. Kapasitas disabilitas
Kapasitas yang dimaksud meliputi kemampuan berbicara di depan publik,
kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan haknya dan menyampaikannya

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 115


kepada pihak lain, kemampuan mengorganisir kelompoknya, serta
kemampuan melakukan advokasi kepada para pemangku kepentingan
lainnya, seperti pada keluarga disabilitas dan pemerintah.
2. Eksistensi kelompok disabilitas
Keberadaan kelompok penyandang disabilitas yang mampu bergerak
bersama memberi pengaruh signifikan pada kepercayaan diri dan daya tawar
disabilitas terhadap unit penyedia layanan dan pemerintah, terutama pada
saat menyampaikan usulan perbaikan dan inovasi yang ramah disabilitas.
Kelompok ini dapat berbentuk organisasi atau forum komunikasi. Selain
menaikkan daya tawar dalam advokasi, keberadaan kelompok disabilitas juga
menjadi sarana untuk saling berbagi dan menguatkan secara mental, serta
memastikan beberlanjutan inovasi dan praktik baik.
3. Dukungan keluarga disabilitas
Pada hampir semua tahap awal pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1, penyandang disabilitas relatif tidak pernah berinteraksi atau belum
terbiasa berinteraksi dengan pihak luar selain keluarganya sendiri. Berbagai
alasan seperti stigma negatif atau keluarga yang terlalu melindungi (over
protective) menjadi sebab minimnya partisipasi disabilitas. Karena itu, keluarga
disabilitas yang sudah memiliki kesadaran mengenai hak dan kebutuhan nyata
disabilitas menjadi faktor penting dalam mendukung keterlibatan disabilitas
pada berbagai kegiatan.
Dukungan ini mewujud dalam dua bentuk, yaitu: pertama, memberi
dukungan pada penyandang disabilitas mulai dari memberi motivasi dan
kepercayaan, serta memfasilitasi disabilitas agar dapat beraktifitas di luar
rumah, bergabung dalam organisasi/kelompok disabilitas, mengikuti kegiatan
peningkatan kapasitas atau menjalankan peran tertentu di masyarakat, seperti
pengurus RT atau kader posyandu.
Kedua, mengambil peran mewakili anak atau penyandang disabiilitas serta
bergabung dengan kelompok disabilitas yang ada dalam menyampaikan
serta melakukan advokasi kebutuhan disabilitas termasuk upaya mendorong
perwujudan pelayanan publik bagi disabilitas. Hal ini terutama dilakukan
oleh keluarga penyandang disabilitas jiwa dan ABK. Sebagai contoh, para
orang tua yang memiliki ABK, yang tergabung dalam Self Help Group (SHG)
bahu membahu dalam mendukung keberlanjutan sanggar dan bekerja sama
melakukan advokasi kepada pemerintah desa untuk memberi bantuan dan
mengalokasikan anggaran bagi operasionalisasi sanggar. Keluarga disabilitas
jiwa (ODGJ) saling menguatkan mental dan berbagi solusi dalam merawat

116
ODGJ.
4. Kesempatan yang diberikan oleh pemerintah dan penyedia Layanan
Pemerintah yang terbuka merupakan faktor kunci terwujud dan efektifnya
inovasi yang ramah disabilitas, karena pemerintah, termasuk penyedia layanan
menyediakan kesempatan bagi disabilitas untuk berpartisipasi dan terbuka
menerima gagasan dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan publik agar
dapat memenuhi kebutuhan disabilitas. Bentuk kesempatan yang diberikan
antara lain pelibatan langsung disabilitas dan penerbitan kebijakan yang
menjamin pemenuhan hak dan kebutuhan disabilitas. Seperti yang dilakukan
oleh pemerintah desa dengan mengakomodasi kelompok disabilitas sebagai
peserta pada Musrenbang Desa hingga Musrenbang Kabupaten atau yang
dilakukan oleh puskesmas dalam inovasi dan praktik baik RPRD dengan
mengajak disabilitas dalam merencanakan perbaikan bangunan fisik agar
mudah diakses oleh disabilitas.

B.2 Level Partisipasi Disabilitas


Memperhatikan keterlibatan penyandang disabilitas pada tahapan inovasi dan
praktik baik di atas, dapat dikatakan disabilitas berpartisipasi pada hampir seluruh
tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut hingga monitoring
dan evaluasi. Keterlibatan disabilitas ini sebagian karena ajakan atau dorongan
dari lembaga lain, terutama Mitra Program Peduli. Namun, sebagian lagi dapat
dikatakan lahir dari kesadaran penyandang disabilitas itu sendiri, yang diwakili oleh
organisasi atau forum penyandang disabilitas, untuk mempengaruhi kebijakan
atau sistem pelayanan. Bila mengacu pada pendapat Thoha sebagai dikutip
oleh Tim Peneliti FIKB UI (2002), maka partisipasi yang disebut terakhir ini dapat
dikategorikan sebagai partisipasi otonom atau mandiri. Sebagai contoh, orang
tua atau keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) membentuk
forum dan berupaya mempengaruhi penyedia pelayanan untuk menyediakan
Guru Pembimbing Khusus (GPK) agar anaknya dapat menikmati pendidikan yang
sesuai dengan kondisi disabilitasnya. Keluarga penyandang disabilitas lebih lanjut
berupaya agar honor GPK itu ditanggung oleh pemerintah, karena merasa berat
untuk membiayainya.
Sementara itu, dengan memperhatikan dinamika pembentukan dan
pelaksanaan inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang telah terjadi, maka
peran disabilitas yang ada di semua inovasi dan praktik baik adalah sebagai
penerima manfaat utama dan memberikan masukan mengenai kebutuhan
disabilitas untuk mendapatkan pelayanan publik yang ramah disabilitas. Disabilitas

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 117


juga sudah terlibat dalam pengusulan pelayanan yang ramah disabilitas.
Berdasarkan tangga partisipasi Arnstein (the ladder of citizen participation),
maka posisi penyandang disabilitas ini dapat ditempatkan dalam tangga
partisipasi keempat yaitu konsultasi (consultation). Penempatan pada tangga
ini karena penyandang disabilitas sudah terlibat dalam komunikasi dua arah
dengan pemerintah dan penyedia layanan untuk mengekspresikan pendapat dan
pandangannya melalui forum-forum pertemuan, dengar pendapat dan survey.
Penempatan disabilitas pada tangga partisipasi konsultasi ini terlihat dari upaya-
upaya yang sudah dilakukan antara lain berupa hadir dan memberikan usulan
pada musyawarah dusun, musyawarah desa dan musyawarah perencanaan
pembangunan di tingkat kabupaten/kota; berpartisipasi dalam forum
multistakeholder dan mengusulkan perubahan pelayanan di puskemas, sekolah
dan balai desa agar ramah disabilitas; dan melakukan survey pengguna pelayanan
(user based survey). Hasil-hasil dari proses konsultasi ini, sebagian ditindak lanjuti
oleh pemerintah dan penyedia layanan, sebagian lagi masih diproses lebih lanjut.
Namun, pada inovasi-inovasi dan praktik baik tertentu, sebagian disabilitas juga
sudah terlibat lebih jauh dengan membantu mengawasi pelaksanaan pelayanan
melalui uji akses, mengawasi pelaksanaan perbaikan pelayanan di puskesmas dan
balai desa agar ramah disabilitas, serta melakukan advokasi kebijakan dan anggaran
kepada pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten. Dengan mempertimbangkan
adanya peran seperti ini, serta dengan mendasarkan pada pendapat Arnstein,
maka partisipasi penyandang disabilitas dapat ditempatkan setingkat lebih tinggi
yaitu pada anak tangga kelima yaitu placation (penenteraman). Penempatan
pada tangga ini karena penyandang disabilitas sudah relatif memiliki pengaruh
terhadap kebijakan, tetapi tingkat keberhasilannya masih dipertanyakan. Hal ini
terlihat dari upaya advokasi yang dilakukan penyandang disabilitas, forum atau
organisasi penyandang disabilitas dan keluarga penyandang disabilitas untuk
mempengaruhi sistem pelayanan, kebijakan dan anggaran yang sudah dilakukan
dan diterima oleh pemerintah dan penyedia layanan.
Partisipasi disabilitas memang sudah sampai pada tahap penenteraman
(placation) yang merupakan anak tangga tertinggi pada kelompok tingkat
pertanda partisipasi (degrees of tokenism) yang berarti bahwa proses inovasi dan
praktik baik yang difasilitasi oleh Mitra Program Peduli sudah memberi ruang dan
memperlihatkan adanya partisipasi dari penyandang disabilitas.
Meski demikian, partisipasi penyandang disabilitas itu belum mengakibatkan
adanya kendali atau hak kepada disabilitas untuk mengambil keputusan terkait
sistem pelayanan, kebijakan dan anggaran pemerintah. Dengan kata lain,

118
penyandang disabilitas belum cukup memiliki kekuasaan dalam posisinya sebagai
warga masyarakat, yang ditunjukkan oleh anak tangga kemitraan (partnership),
karena belum ada hubungan sinergi antara penyandang disabilitas dengan
pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan untuk mewujudkan tujuan yang
disepakati bersama. Pada tahap kemitraan ini harus dicerminkan melalui kekuatan
yang sudah terbagi secara relatif seimbang antara masyarakat dan pemegang
kekuasaan serta komitmen antara kedua belah pihak untuk membicarakan
perencanaan dan pengambilan keputusan bersama-sama.
Dalam konteks masyarakat secara umum, sebetulnya tangga partnership
(kemitraan) sudah tercapai. Namun, bukan oleh penyandang disabilitas, tetapi
oleh organisasi Mitra Program Peduli, seperti yang ditunjukkan oleh PATTIRO pada
inovasi dan praktik baik Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD) di Kabupaten
Lombok Barat; SIGAB pada inovasi Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan
Khusus dan Kolaboratif bagi ODGJ di Kabupaten Kulon Progo; KARINAKAS pada
Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan (PKDTB) untuk
ABK di Kabupaten Sukoharjo; SAPDA pada inovasi Sekolah Dasar Inklusi di Kota
Banjarmasin, serta BAHTERA pada inovasi Perencanaan dan Penganggaran yang
Pro Disabilitas di Kabupaten Sumba Barat. Khusus untuk SIGAB dan SAPDA yang
merupakan organisasi penyandang disabilitas (DPO) sebenarnya dapat dikatakan
merepresentasikan penyandang disabilitas, tetapi dalam konteks Program Peduli,
keduanya bukan merupakan penerima manfaat.
Berdasarkan analisis mengenai partisipasi warga, maka menurut Arnstein,
partisipasi disabilitas berada pada tingkatan partisipasi warga (citizen participation).
Pada tingkatan partisipasi warga ini (di atas “non/tidak ada partisipasi” dan di
bawah “tingkat kekuasaan warga”) berarti penyandang disabilitas sudah dapat
mempengaruhi hasil penyelenggaraan pelayanan publik yang disediakan oleh
penyedia pelayanan, tetapi disabilitas belum dapat mempengaruhi kebijakan
pokok mengenai pelayanan publik itu agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
penyandang disabilitas. Upaya mempengaruhi kebijakan pokok termasuk ang-
garan di dalamnya lebih tampak dilakukan oleh organisasi Mitra Program Peduli.
Adanya partisipasi disabilitas, yang bahkan mencapai anak tangga tertinggi
pada kelompok tangga tingkatan pertanda adanya partisipasi, sejatinya
mencerminkan adanya perubahan paradigma mengenai disabilitas. Penyandang
disabilitas tidak lagi dipandang sebagai pihak yang pasif, menjadi beban, dan
hanya bisa menerima bantuan, tetapi sudah memperlihatkan bahwa disabilitas
mampu memperjuangkan kepentingannya sendiri dan berkontribusi dalam
rangka mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, dan nondiskriminatif.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 119


C. Strategi Penerimaan dan Pengembangan
Menyadari bahwa penyelenggaraan pelayanan publik merupakan tugas utama
pemerintah, maka organisasi masyarakat sipil yang memfasilitasi pengembangan
inovasi dan praktik baik yang ramah disabilitas ini menggunakan strategi pelibatan
secara intensif (engagement) pejabat pemerintah daerah, termasuk pengelola
unit pelayanan. Hal ini dilakukan agar pemerintah daerah dapat menerima ide
inovasi dan mengimplementasikan inovasi dan praktik baik yang dikembangkan.
Strategi itu berupa komunikasi yang intensif dengan pejabat pemerintah terkait,
seperti Dinas Kesehatan untuk inovasi RPRD dan Dinas Pendidikan untuk inovasi
SD Inklusi, memulai perubahan dengan membangun forum multistakeholder di
berbagai tingkatan mulai dari desa hingga kabupaten/kota, serta membentuk atau
memperkuat organisasi/kelompok/forum disabilitas di level desa dan kecamatan.
Agar inovasi dan praktik baik dapat dikembangkan, maka strategi advokasi
dilakukan dengan tujuan agar inovasi dapat dilakukan secara sistemik dan memiliki
dasar hukum yang memastikan keberlanjutannya. Upaya advokasi ini difokuskan
pada penerbitan kebijakan berupa peraturan daerah, peraturan bupati/walikota
dan peraturan pelaksanaan lainnya. Advokasi kebijakan ini juga dilakukan agar
inovasi yang dikembangkan mendapatkan dukungan berupa alokasi anggaran
dari pemerintah, baik pemerintah desa yang dituangkan dalam APBDes maupun
dari pemerintah kabupaten/kota dalam APBD.

D. Tantangan
Tantangan yang dihadapi dalam inovasi-inovasi dan praktik baik yang dibahas
pada buku ini dapat dibagi dari dua kategori, yaitu tantangan yang berasal dari
pemerintah dan penyedia layanan (supply side) serta tantangan dari masyarakat
dan disabilitas sendiri (demand side).
Tantangan yang berasal dari pemerintah daerah dan penyedia layanan adalah:
1. Adanya persepsi bahwa pembangunan yang ramah disabilitas kurang
ekonomis, karena penyandang disabilitas yang mengakses pelayanan dan
pembangunan itu jumlahnya terbatas, sedangkan untuk anggaran relatif
besar.
2. Sebagian besar disabilitas yang mengakses pelayanan publik jarang
melakukannya sendiri karena selalu ada pendamping dari keluarga
disabilitas, sehingga tidak perlu disediakan fasilitas khusus bagi disabilitas.
3. Pemahaman tentang kebutuhan disabilitas yang kurang tepat, terutama
menganggap bahwa disabilitas hanya memerlukan program bantuan

120
langsung seperti bantuan materi atau uang tunai (charity based program)
daripada program yang berupaya memfasilitasi kemandirian disabilitas.
4. Rotasi dan perubahan pejabat yang berwenang yang seringkali
mengakibatkan proses inovasi yang tengah berjalan harus terhenti atau
dimulai lagi dari awal, karena kurangnya pemahaman pejabat baru atas
inovasi dan praktik baik yang sedang dikembangkan.

Tantangan yang berasal dari disabilitas dan masyarakat adalah:


1. Persepsi masyarakat bahwa disabilitas tidak membutuhkan pelayanan
khusus, karena semua kebutuhannya telah dipenuhi keluarga disabilitas.
2. Relatif sedikitnya jumlah disabilitas dari total warga masyarakat, menjadikan
sebagian warga masyarakat beranggapan bahwa biaya yang dikeluarkan
untuk menyediakan pelayanan khusus disabilitas tidak sebanding dengan
jumlah pemakainya dan frekuensi penggunaannya.
3. Keluarga disabilitas tidak mengizinkan disabilitas keluar rumah untuk
beraktivitas, karena khawatir atau terlalu melindungi (over protective) atau
menganggap bahwa memiliki anggota keluarga disabilitas adalah aib.
4. Adanya stigma negatif tentang disabilitas, yang terkait dengan kepercayaan
sebagian warga masyarakat bahwa memiliki anggota keluarga disabilitas
itu disebabkan oleh dosa masa lalu atau kutukan.
Berbagai hambatan ini secara perlahan berhasil diatasi melalui komunikasi
intensif yang dibangun oleh para pihak. Selain itu, pada setiap forum diskusi
dan pelatihan, dilakukan transfer pengetahuan mengenai hak dan kebutuhan
nyata disabilitas serta penyadaran agar perspektif yang tepat tentang disabilitas
terbangun.

E. Analisis Gender
Secara umum, pada proses inovasi dan praktik baik yang dikembangkan,
keterlibatan laki-laki dan perempuan terlihat cukup berimbang. Hal ini terlihat
sejak proses awal inovasi dan praktik baik di 6 lokasi ini, bahkan pada inovasi dan
praktik baik terkait ABK dan ODGJ, peran perempuan, yaitu ibu dari ABK dan ODGJ
relatif dominan dalam mewakili dan menyuarakan kebutuhan serta mendorong
pemenuhan hak disabilitas. Hal ini terjadi, karena para ibu itulah yang setiap hari
merawat dan menemani penyandang disabilitas ini.
Sementara itu, keterlibatan laki-laki terlihat dari prosentase aktor kunci dalam
inovasi dan praktik baik yang seringkali berperan sebagai narasumber pada
berbagai kegiatan dalam proses inovasi.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 121


Grafik 3.1. 1 Prosentase Aktor Kunci Inovasi dan Praktik Baik

Perempuan
42%

Laki-laki
58%

Prosentase di atas dapat dimaknai bahwa sejak proses awal inovasi dan praktik
baik sudah terjadi pembagian peran yang relatif setara antara laki-laki dan
perempuan. Beberapa inovasi dan praktik baik, sedari awal telah menempatkan
perempuan sebagai aktor kunci, seperti kader posyandu, kader PKK, dan bidan
desa. Analisis keterlibatan dan penerimaan manfaat perempuan ini dapat dilihat
dari empat aspek, yaitu sebagai berikut.
1. Akses
Dimulai dengan memberikan akses informasi terkait hak disabilitas
baik perempuan, laki-laki dan anak-anak atau disabilitas lanjut usia. Akses
informasi ini ditindak lanjuti dengan pemberian akses atau kesempatan untuk
turut terlibat dan berkontribusi dalam proses inovasi, mulai dari sosialisasi,
pelaksanaan dan advokasi. Setelah itu, penyandang disabilitas perempuan
dapat memutuskan bagaimana bentuk partisipasi yang diinginkan.
Sebagian disabilitas perempuan kemudian aktif berpartisipasi dan menjadi
motor penggerak di komunitas. Hal ini terjadi melalui serangkaian kegiatan
peningkatan kapasitas, keterlibatan di forum-forum dan kerja berjejaring.
Sebagian lagi memilih sekadar cukup mengetahui dan menyampaikan
tentang hak disabilitas kepada keluarganya dan di sekitarnya.
2. Partisipasi
Partisipasi perempuan dalam proses mendorong inovasi dan praktik baik
ini relatif merata dari berbagai stakeholder, seperti dari kelompok disabilitas,
keluarga disabilitas, penyedia layanan, dan OPD Kabupaten/Kota seperti

122
Dinas Kesehatan. Sebagian disabilitas perempuan kemudian menjadi ketua
forum multistakeholder seperti Tim RBM di Kabupaten Sukoharjo, yang secara
kebetulan posisi ini melekat pada Ketua PKK.
Bentuk partisipasi perempuan juga relatif beragam, mulai dari hanya aktif
hadir di setiap pertemuan, atau sampai pada mengawasi jalannya inovasi dan
praktik baik serta bentuk inovasi itu sendiri.
Partisipasi perempuan dan laki-laki secara seimbang sudah
dipertimbangkan sedari awal oleh masing-masing organisasi mitra Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, dan diwujudkan dalam bentuk penilaian
(assesment) kebutuhan dan tim yang dilibatkan.
3. Kontrol
Disabilitas perempuan atau keluarga disabilitas perempuan dapat
menyampaikan kebutuhan sesuai dengan prioritasnya dalam inovasi serta
memiliki kontrol untuk menentukan jenis program atau kegiatan sesuai
dengan kebutuhan nyata disabilitas perempuan.
4. Manfaat
Selain berpartisipasi dalam setiap proses dan memiliki kontrol terkait inovasi
dan praktik baik yang dikembangkan, juga setiap inovasi yang dilakukan
mempertimbangkan pemerataan penerima manfaat antara perempuan,
anak-anak dan disabilitas dalam berbagai rentang usia.

F. Indikator dan Model Pelayanan Publik yang Inklusif


Tidak ada satu model khusus yang bisa mewakili penggambaran berbagai
praktik baik dan inovasi dalam buku ini, karena antara yang satu dan yang lain
memiliki berbagai alur proses dan tahapan yang sedikit berbeda-beda. Misalnya,
terdapat satu inovasi yang diinisiasi dan didorong oleh kelompok masyarakat sipil,
ada juga yang inisiasi justru datang dari kepala unit layanan. Begitupun pembagian
peran dan strateginya, beberapa praktik baik bisa berjalan karena diawali dari
kebijakan lokal. Namun, di sisi lain ada juga inovasi yang bisa berjalan dengan baik
hanya dengan komitmen kuat dari pimpinan unit layanan dan dorongan kelompok
disabilitas meskipun hingga akhir intervensi program belum ada kebijakan khusus
di daerahnya.
Namun, meski tidak ada model tunggal, teridentifikasi beberapa hal yang
menjadi unsur penting dalam setiap tahap inovasi dan pelayanan ini. Dari sekian
inovasi yang sudah berjalan ini, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk
bisa mewujudkan setiap inovasi pelayanan publik bagi disabilitas ini.
1. Komitmen pemimpin institusi penyedia layanan.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 123


2. Kelompok disabilitas yang aktif.
3. Sumber daya (manusia dan sumber daya lain).
4. Forum multi stakeholder yang aktif (Kolaborasi berbagai stakeholder,
institusi dari berbagai sektor dari pemerintah, perwakilan masyarakat dan
pemerintah desa, serta kelompok disabilitas).
5. Satu stakeholder kunci utama dari pemerintah (misalnya Dinas Kesehatan,
atau pemerintah desa, BAPPEDA, dsb) yang melaksanakan koordinasi
dalam pelaksanaan inovasi.
6. Regulasi.
Secara keseluruhan, terdapat aspek-aspek spesifik yang harus ada pada muncul
tiga tahapan besarnya, yaitu proses inisiasi, kemudian implementasi, dan yang
terakhir pada proses keberlanjutan dan replikasi. Berikut identifikasi setiap aspek
penting dalam tiga tahapan utama munculnya sebuah praktik baik:

Bagan 3.5. 1 Identifikasi Aspek Penting dalam Tiga Tahapan Utama


Munculnya Sebuah Praktik Baik

3. Keberlanjutan dan replikasi

Kebijakan
daerah
2. Implementasi

Komitmen Komitmen pemimpin


kepada dinas Institusi

Komitmen
Sumber daya (SDM 1. Inisiasi
kepala daerah
dan lainnya)

OMS dan DPO Pelaksanaan bertahap 3.Pemahaman


yang kuat 2. Usulan dan
1. Data pemimpin instansi
Dorongan dari CSO
pada isu disabilitas
Kolaborasi dengan dan DPO
Forum Multi stakeholder lain
stake holder

Inovasi yang dikembangkan ini telah melalui berbagai tahapan mulai dari
perencanaan atau inisiasi awal, pelaksanaan, tindak lanjut serta monitoring dan
evaluasi. Dari semua tahapan tersebut, terdapat beberapa aspek yang menjadi

124
perhatian dari kesukesan setiap inovasi ini.
Pertama, dari sisi proses, bila ditinjau dari sisi proses maka proses yang paling
krusial adalah pada peningkatan kapasitas dan pemberian kesempatan bagi
disabilitas untuk berperan dalam proses inovasi. Hal ini menjadi proses penting
bagi meningkatnya kepercayaan diri dan kemampuan disabilitas, sehingga mampu
memainkan peran tertentu seperti menjadi kader posyandu dan melakukan
advokasi kepada pemangku kepentingan lain serta mewakili penyandang
disabilitas lainnya dalam proses inovasi.
Kedua, Pembagian peran, dalam konteks pembagian peran, maka agar
disabilitas dapat berperan aktif, perlu adanya kesepahaman dari para pemangku
kepentingan mengenai apa yang dimaksud disabilitas, hak dan kebutuhan
disabilitas, serta peran yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan, rentang usia, dan
jenis kedisabilitasannya masing-masing. Untuk itu, perlu adanya wahana berupa
forum atau organisasi yang dapat menjadi sarana para pemangku kepentingan
dalam berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman terkait pelayanan publik
yang ramah disabilitas.
Dari proses inovasi yang dilakukan, terbukti bahwa disabilitas dapat
berpartisipasi sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan ragam disabilitasnya.
Partisipasi disabilitas memberikan kontribusi signifikan untuk memastikan bahwa
inovasi pelayanan publik yang digagas dan dikembangkan sesuai dengan aspirasi
dan kebutuhan penyandang disabilitas itu sendiri. Partisipasi disabilitas ini juga
diharapkan dapat mengubah paradigma yang selama ini terbangun, bahwa
ternyata penyandang disabilitas dapat menjadi aset dan bukan beban.
Ketiga, dari strategi penerimaan, yaitu dengan pengarusutamaan isu
disabilitas pada aspek kebijakan dan prakarsa khusus melalui program
afirmasi. Paradigma pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan harus menjadi
arus utama (mainstream) dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia,
sehingga aspirasi dan kebutuhan disabilitas dapat terpenuhi. Hal ini dapat dilakukan
melalui dua jalur, melalui kebijakan dan melalui aparatur pemerintah. Pertama
yaitu melalui kebijakan, bentuknya adalah kebijakan tentang pemenuhan hak
disabilitas hingga peraturan pelaksanaan mengenai teknis pelayanan publik yang
ramah disabilitas. Kedua, melalui aparaturnya, yaitu dengan mengarusutamakan
(mainstreaming) pemahaman tentang disabilitas kepada pembuat kebijakan, aparat
pemerintah dan penyedia pelayanan. Pemahaman itu diharapkan menjadikan
kebijakan ataupun standar pelayanan yang ramah disabilitas menjadi standar
dasar tanpa harus melalui pendekatan khusus lagi. Pengarusutamaan ini dapat
dilakukan melalui pemberian materi tentang kedisabilitasan dan pembangunan

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 125


inklusi sejak sebelum masa menjadi calon pegawai (masa pra jabatan). Keahlian
untuk melayani disabilitas dapat diberikan kepada petugas penyedia layanan
seperti petugas puskesmas, staf rumah sakit, dokter dan guru.
Bila dianalisis lebih lanjut, berbagai inovasi dan praktik baik pelayanan publik
yang ramah disabilitas tersebut sudah memenuhi empat variabel penerapan
paradigma pembangunan inklusif dan berkelanjutan berdasarkan Teori
Pembangunan Inklusif yang dikemukakan oleh Rene Lenoir (1980) yaitu:
1. Partisipasi (keterlibatan pemerintah dan masyarakat);
2. Terbukanya akses (aksesibilitas);
3. Memunculkan jati diri dan kebebasan disabilitas; dan
4. Modal sosial, kohesi sosial, kepercayaan (trust), jejaring dan kelembagaan.
Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut.

Bagan 3.4. 1 Analisis Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik Ramah
Disabilitas

Pelayanan Publik
Partisipasi Disabilitas

Kebijakan

Anggaran
Aksesibilitas

Menjadi bagian dari


kelompok
Pembangunan Inklusif dan
Berkelanjutan
Fasilitas publik

Jati diri dan


kebebasan
disabilitas Fasilitas medis

Kohesi sosial
Modal sosial,
kohesi sosial,
trust, jejaring dan
kelembagaan Jejaring

126
BAB IV
Kesimpulan dan
Rekomendasi

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 127


128
BAB IV
Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Kesimpulan
Model sosial dari inovasi dan praktik baik yang dikembangkan bertujuan
menghilangkan berbagai hambatan agar para penyandang disabilitas memiliki
kesempatan yang sama untuk menentukan gaya hidupnya sendiri (jati diri, atau
mengekspresikan diri melalui gaya hidupnya sendiri). Model sosial ini mensyaratkan
terjadinya perubahan-perubahan berupa:
1. Sikap, contohnya sikap yang lebih positif terhadap karakteristik mental atau
perilaku tertentu, atau tidak meremehkan potensi kualitas hidup mereka
yang berpotensi mengalami disabilitas.
2. Dukungan sosial, misalnya bantuan untuk mengatasi hambatan yang
muncul dari kondisi kedisabilitasan, penyediaan sumberdaya yang
dibutuhkan, penyediaan alat bantu atau melakukan “diskriminasi positif”
untuk mengatasi hambatan disabilitas tersebut.
3. Informasi, misalnya menggunakan format yang cocok (huruf braille bagi
disabilitas netra, atau bahasa isyarat bagi disabilitas rungu) atau bahasa
yang lebih sederhana bagi disabilitas jiwa.
4. Struktur fisik, misalnya bangunan dengan jalan masuk yang landai atau lift
untuk pengguna kursi roda.
Keempat syarat di atas telah dipenuhi melalui inovasi dan praktik baik pelayanan
publik yang ramah disabilitas yang dikembangkan dalam pelaksanan Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inovasi
dan praktik baik yang dikembangkan tersebut memberikan kontribusi terhadap
pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

B. Rekomendasi
Dalam rangka memastikan keberlanjutan dan pengembangan dari inovasi dan
praktik baik yang ramah disabilitas ini, beberapa rekomendasi yang perlu ditindak
lanjuti adalah sebagai berikut.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 129


B.1. Rekomendasi Umum
a. Bagi Pemerintah Pusat
1. Pemerintah (Presiden) perlu segera menuntaskan seluruh peraturan
teknis yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas berupa Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden, sebagai pedoman pelaksanaan Kementerian/Lembaga,
Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa untuk merumuskan kebijakan
inklusi di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan desa.
2. Pemerintah (Presiden) perlu segera melaksanakan pembinaan,
monitoring dan pengawasan terhadap implementasi Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Kementerian/
Lembaga dan Pemerintah Daerah.
3. Pemerintah (Presiden) perlu mensinergikan kebijakan teknis
pembangunan inklusi melalui lintas Kementerian/Lembaga khususnya
kementerian terkait pelayanan publik dasar (pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur), termasuk Bappenas dan Kementerian Keuangan sesuai
dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
4. Pemerintah perlu menjadikan inovasi dan praktik baik pelayanan publik
yang ramah disabilitas yang telah dikembangkan di beberapa daerah
sebagai bagian dari rujukan dalam penyusunan kebijakan dan strategi
implementasi praktis dalam pembangunan inklusif dan berkelanjutan bagi
pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan desa di Indonesia.
5. Pemerintah perlu memastikan pelibatan disabilitas dalam proses
penyusunan kebijakan mulai tingkat desa dalam rangka meningkatkan
kualitas kebijakan, baik itu kebijakan umum dan kebijakan teknis.
6. Pemerintah (c.q KemenPAN RB) perlu memastikan semua ASN, terutama
petugas yang bertanggung jawab dalam pelayanan publik memiliki
pemahaman yang memadai dan perspektif yang tepat tentang disabilitas.
Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan materi tentang kedisabilitasan
sebagai materi diklat atau pelatihan kompetensi ASN.
7. Pemerintah (c.q. Bappenas) perlu memfasilitasi koordinasi antar
kementerian/lembaga terkait implementasi UU Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas sesuai tugas dan fungsi masing-masing
Kementerian/Lembaga, memfasilitasi penyamaan persepsi mengenai
isu disabilitas pada lintas sektor, dan melakukan pengarusutamaan
(mainstreaming) isu disabilitas ke dalam perencanaan Kementerian/
Lembaga.

130
8. Pemerintah (c.q. Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi) perlu menetapkan pedoman mengenai
tenaga pendamping desa yang secara khusus bertugas mendampingi
peningkatan kapasitas bagi kelompok/organisasi disabilitas (DPO) di
tingkat desa dan warga desa penyandang disabilitas.

b. Pemerintah Daerah
1. Memastikan isu disabilitas menjadi isu prioritas pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
2. Menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala
Daerah tentang Penyandang Disabilitas atau Peraturan Kepala Daerah
tentang kabupaten / kota Inklusi, disertai peraturan teknis pelaksanaannya.
3. Memastikan indikator pembangunan inklusi secara jelas dapat
diterjemahkan menjadi program prioritas oleh OPD-OPD yang relevan dan
masuk dalam dokumen Renstra OPD, terutama OPD terkait pelayanan dasar
yaitu Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Dinas Pekerjaan Umum (PU).
4. Memastikan usulan program/kegiatan berbasis kinerja yang bersifat
pengarusutamaan (mainstreaming) dan afirmatif bagi penyandang
disabilitas dan responsif gender dapat diakomodasi dalam APBD dengan
alokasi anggaran yang memadai.
5. Menjalankan pembinaan, monitoring dan pengawasan terhadap
implementasi peraturan perundang-undangan dan program yang responsif
terhadap penyandang disabilitas di seluruh OPD dan Pemerintah Desa.
6. Mengimplementasikan pembangunan sarana-parasana fisik khususnya
pada gedung atau kantor pelayanan publik seperti rumah sakit, puskesmas,
dan sekolah, dengan menyediakan sarana yang memudahkan akses bagi
penyandang disabilitas.
7. Mengintegrasikan perencanaan pembangunan inklusi ke dalam sistem
informasi daerah yang dapat diakses dengan mudah oleh publik.
8. Menyediakan berbagai bentuk media edukasi bagi masyarakat yang dapat
menumbuhkan kepedulian dan pemahaman yang menyeluruh tentang
disabilitas.
9. Memfasilitasi terbentuk dan berfungsinya forum disabilitas di tingkat
daerah dan forum disabilitas di lingkup sektoral, misalnya Forum Pendidikan
Inklusi.
10. Membuka ruang dan kesempatan lebih luas bagi masyarakat dan DPO
untuk terlibat dalam proses perumusan program atau menyusun program
yang melibatkan kelompok disabilitas sebagai subyek pembangunan.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 131


c. Pemerintah Desa
1. Menyediakan fasilitas umum yang ramah disabilitas.
2. Menyebutkan secara eksplisit penyandang disabilitas sebagai penerima
manfaat program-program pemberdayaan di tingkat desa.
3. Memfasilitasi peningkatan kapasitas disabilitas.
4. Memfasilitasi forum multi stakeholder bagi keluarga atau disabilitas di
tingkat desa.
5. Mengalokasi anggaran untuk memenuhi kebutuhan penyandang
disabilitas

Unit Pelayanan Dasar di tingkat desa


1. Bekerja sama dengan DPO atau CSO dalam upaya meningkatkan
pemahaman aparat desa terkait hak dan perspektif pelayanan publik yang
ramah disabilitas.
2. Memastikan disabilitas menerima manfaat dari perencanaan pembangunan
desa, seperti mengalokasikan anggaran untuk program afirmatif khusus
ataupun mainstreaming disabilitas ke dalam program pemberdayaan
masyarakat desa.

B.2. Rekomendasi per Sektor


a. Pendidikan
1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu menyusun kurikulum
dan sistem pendidikan inklusi yang dapat diterapkan di lembaga-lembaga
pendidikan, serta menetapkan standar bangunan sekolah dengan
merujuk standar bangunan gedung sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan
Kemudahan Bangunan Gedung.
2. Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi perlu memasukkan formasi
Guru Pendamping Khusus (GPK) sebagai bagian dari ASN.
3. Pemerintah Daerah (Provinsi, dan Kabupaten/Kota) perlu melakukan:
• Alokasi anggaran bagi penyediaan sarana dan prasarana sekolah
inklusi.
• Mendukung pengadaan Guru Pendamping Khusus (GPK).
• Edukasi pada sekolah-sekolah dan tenaga pendidik tentang
kedisabilitasan.
• Mendirikan unit khusus atau menambahkan pada struktur yang
ada tugas/fungsi yang fokus pada pelayanan pendidikan bagi anak
disabilitas.

132
• Memfasilitasi pembentukan forum multistakehoder yang melibatkan
dinas terkait, keluarga/orangtua anak disabilitas dan organisasi/
kelompok disabilitas.
• Memfasilitasi pengembangan sistem pengajaran dan kurikulum kelas
khusus yang inklusif.
• Mensosialisasikan perspektif kedisabilitasan pada semua aparatur
pemda, terutama pada Dinas Pendidikan.
4. Unit Pelayanan (sekolah) perlu melakukan:
• Fasilitasi pengembangan sistem pengajaran dan kurikulum yang
inklusif.
• Edukasi kepada masyarakat dan keluarga disabilitas mengenai
pentingnya pendidikan bagi penyandang isabilitas.
• Melakukan upaya perbaikan bangunan fisik serta sarana dan prasarana
sekolah yang ramah disabilitas sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(Permen PU Nomor 14 Tahun 2017 tentang Persyaratan Kemudahan
Bangunan Gedung)

b. Kesehatan
1. Kementerian/Lembaga perlu melakukan upaya:
• Pengarusutamaan (mainstreaming) disabilitas kepada seluruh pejabat
dan aparatur Kementerian Kesehatan.
• Menjadikan aspek aksesibilitas dan pelayanan bagi disabilitas sebagai
salah satu aspek pengukuran kualitas dasar fasilitas kesehatan (standar
akreditasi).
• Memfasilitasi Pengarusutamaan (mainstreaming) dan sosialisasi
tentang isu kebutuhan disabilitas pada petugas kesehatan (dokter,
bidan, dan perawat).
2. Pemerintah Daerah (Provinsi, dan Kabupaten/Kota) perlu melakukan
upaya:
• Menyusun program kesehatan penjangkauan khusus (home care) bagi
disabilitas berat.
• Mengalokasikan anggaran bagi dukungan sarana dan prasarana ramah
disabilitas di perkantoran dan unit layanan kesehatan.
• Mendukung pengadaan tenaga fisioterapis di seluruh puskesmas di
wilayahnya.
• Melakukan edukasi pada sekolah-sekolah dan tenaga pendidik tentang
pengetahuan kedisabilitasan.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 133


• Memfasilitasi pembentukan forum multistakehoder antara dinas terkait,
keluarga/orang tua penyandang disabilitas dan organisasi/kelompok
disabilitas.
• Memfasilitasi pengembangan sistem pelayanan/standar pelayanan di
puskesmas atau rumah sakit yang ramah disabilitas.
• Menyosialisasikan perspektif kedisabilitasan pada seluruh aparatur
pemda, khususnya Dinas Kesehatan.
• Merumuskan program kesehatan berbasis komunitas khususnya untuk
komunitas disabilitas.
3. Unit Pelayanan (Puskesmas dan Rumah Sakit) perlu melakukan upaya:
• Menyediakan bangunan gedung dan sarana prasarana yang ramah
disabilitas.
Hal ini harus lebih ditekankan karena rumah sakit atau fasilitas
kesehatan lebih banyak diakses oleh masyarakat yang memiliki ham-
batan, baik itu disabilitas permanen, jangka panjang atau disabilitas
sementara karena sakit atau lainnya. Keberadaan fasilitas ramah
disabilitas perlu diupayakan, antara lain seperti pintu, ramp, dan toilet
khusus disabilitas dan akses ke toilet yang dapat dijangkau disabilitas
sesuai dengan standar bangunan gedung yang telah ditetapkan dan
prosesnya melibatkan kelompok disabilitas sebagai penerima manfaat
langsung agar fasilitas yang dibangun sesuai dan bisa digunakan
sebagaimana mestinya.
• Mainstreaming program dengan mengintegrasikan kebutuhan
disabilitas yang spesifik dan beragam ke dalam program layanan yang
sudah ada.
• Memastikan semua aparat, baik pembuat kebijakan ataupun petugas
pemberi layanan langsung seperti semua pegawai puskesmas dan
rumah sakit serta petugas kesehatan memiliki pemahaman tentang
kedisabilitasan, termasuk kebutuhan dan pelayanan khusus bagi
berbagai disabilitas yang beragam.
4. Pemerintah Desa perlu melakukan upaya:
• Memfasilitasi program atau forum bagi keluarga disabilitas, yang
berfungsi untuk peningkatan kapasitas dan sarana berbagi dan
saling menguatkan, karena keluarga adalah pendukung utama bagi
penyandang disabilitas khususnya disabilitas anak dan disabilitas jiwa.

134
• Perlu mendorong tumbuhnya motivasi dan keterlibatan penyandang
disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di
desa.

c. Perencanaan dan Penganggaran


1. Pemerintah (c.q. Kementerian Dalam Negeri) perlu menetapkan
pedoman perencanaan dan penganggaran daerah yang berbasis data,
termasuk data disabilitas, dan mendorong perencanaan dan penganggaran
yang responsif disabilitas di daerah.
2. Pemerintah (c.q. Bappenas) perlu melakukan pengarusutamaan
(mainstreaming) pembangunan inklusif dengan memfasilitasi koordinasi
antar kementerian/lembaga dalam mengimplementasikan perencanaan
program bagi pemenuhan hak disabilitas. Misalnya, antara Kementerian
Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait
pemaknaan fungsi pelayanan pendidikan bagi disabilitas.
3. Pemerintah (c.q. Bappenas dan Kementerian Keuangan) perlu
melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) penganggaran yang
responsif disabilitas pada tingkat Kementerian/Lembaga.
4. Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) perlu melakukan
upaya:
• Menjadikan isu disabilitas sebagai isu prioritas dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD).
• Menyusun Peraturan daerah mengenai Provinsi atau Kabupaten/
Kota Inklusi atau berkomitmen dalam pemenuhan hak penyandang
disabilitas.
• Mengintegrasikan program pembangunan inklusi dalam sistem
perencanaan pembangunan daerah (Musrenbangda), menyerap
aspirasi dan kebutuhan program pembangunan bagi penyandang
disabilitas, menganggarkan serta mengevaluasi hasil capaiannya,
khususnya program kegiatan yang bersifat pemenuhan hak dasar sipil
yang bersifat administratif, dan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas.
• Membangun basis data disabilitas yang valid sebagai data rujukan
untuk program bagi disabilitas pada semua sektor.
5. Pemerintah Desa perlu melakukan upaya:
• Menjadikan isu disabilitas menjadi isu prioritas dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 135


Pemerintah Desa (RKPDes) yang harus diimplementasikan secara
serius.
• Menyusun Peraturan Desa tentang Desa Inklusi atau Perlindungan Bagi
Penyandang Disabilitas.
• Mengintegrasikan program pembangunan inklusi dalam sistem
perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes), menyerap aspirasi
dan kebutuhan program pembangunan bagi penyandang disabilitas,
dan menganggarkan serta mengevaluasi hasil capaiannya.
• Memastikan pelibatan kelompok disabilitas dalam proses perencanaan
dan penganggaran di desa.
• Melakukan sinergi dan dukungan sumberdaya dan alokasi anggaran
desa terhadap program/kegiatan bagi lembaga/unit/organisasi
layanan publik di tingkat desa terutama yang memberikan pelayanan
kepada penyandang disabilitas, misalnya; Pustu, Posyandu, Puskesmas,
Sekolah, dan lembaga sosial lainnya.
• Memenuhi kebutuhan kelengkapan sarana dan prasarana fisik dan non
fisik yang menunjang pelayanan publik bagi penyandang disabilitas di
kantor desa.
• Mendorong tumbuhnya motivasi dan keterlibatan penyandang
disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di
desa.
• Mengalokasikan Dana Desa untuk program afirmatif yang menunjang
produktifitas dan menghilangkan hambatan disabilitas.

B.3. Rekomendasi bagi CSO dan NGO


1. Masyarakat sipil (CSO dan NGO) perlu memperkuat jejaring baik dalam
rangka advokasi maupun berbagi pembelajaran dan kapasitas spesifik
yang dimiliki dalam rangka mendukung pelayanan publik yang ramah
disabilitas.
2. Masyarakat sipil (CSO dan NGO) perlu terus meningkatkan upaya
peningkatan kapasitas dan advokasi dalam rangka memberdayakan dan
memandirikan disabilitas.

B.4. Rekomendasi bagi Organisasi/Kelompok Disabilitas (DPO)


1. Perlu bersinergi dengan kelompok masyarakat sipil untuk saling berbagi
pengetahuan dan memperkuat jaringan.
2. Bekerja sama untuk meningkatkan kapasitas dan melakukan pengkaderan.

136
3. Berperan aktif dalam setiap tahap pembangunan inklusif.
4. Berkolaborasi untuk meningkatkan kapasitas kelompok disabilitas
khususnya terkait hak dan mekanisme partisipasi dalam proses
pembangunan.
5. Melakukan sosialisasi untuk menghapus hambatan yang berasal dari
stigma negatif terhadap disabilitas baik itu dari sisi masyarakat, keluarga,
penyedia layanan maupun pembuat kebijakan.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 137


DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2016. Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals) di Indonesia. Kajian Indikator Lintas Sektor.
Jakarta.
Haryanto. tanpa tahun. “Analisis Pertumbuhan Inklusif”. Makalah.
International Labour Organization. Tanpa tahun. Inklusi Penyandang Disabilitas di
Indonesia. Jakarta.
Klasen, Stephen. 2010. Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple
Definitions, Open Questions, and Some Constructive Proposals. ADB Sustainable
Development Working Paper Series.
Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2011. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak
Pendidikan dan Kesehatan bagi Anak-anak Penyandang Cacat (Difabel). Jakarta:
PT Gading Inti Prima.
Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2012. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak
Penyandang Disabilitas di Wilayah Bencana Alam. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusaia dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Australian Goverment, The Asia Foundation. Program
Peduli: Program Snapshot April 2016.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi
Daerah
Klasen, Stephen. 2010. “Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple
Definitions, Open Questions, and Some Constructive Proposals”. ADB Sustainable
Development Working Paper Series.

138
Propiona, Jane Kartika, dkk. 2013. Implementasi HAM di Indonesia: Hak Kesehatan
dan Jaminan Sosial bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Daerah Tertinggal
di Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Propiona, Jane Kartika, dkk. 2014. Implementasi Hak Penyandang Disabilitas di
Indonesia: Analilis Pemenuhan Hak Warga Negara Penyandang Disabilitas di
Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Re ne lenar. 1974. Les Exius: Un Francais Sur Dix. Paris: Seuil Publication.
Salim, Ishak, M. Syafi’ie, dan Nunung Elkisabeth. 2015. Indonesia Dalam Desa Inklusi:
Pembelajaran dari Temu Inklusi 2014. Yogyakarta: SIGAB.
Salim, Ishak, dkk. 2015. Difabel Merebut Bilik Suara: Kontribusi Gerakan Disabilitas
Dalam Pemilu Indonesia. Yogyakarta: SIGAB.
Sawinggih, Raden, ddk. 2016. Dari Bayan Untuk Indonesia Inklusif. Nusa Tenggara
Barat: Solidaritas Masyarakat Untuk Transparansi (SOMASI).
Suryanarayana, M.H. 2008. “Inclusive Growth: What is so exclusive about it?”. Indira
Gandhi Institute of Development Research, Mumbai.
Syafi’ie, M, dkk. 2015. Kumpulan Jurnal Difabel Volume 2 No.2 2015. “Analekta
Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang
Difabilitas”. Yogyakarta: SIGAB.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Warsilah, Henny. 2017. Pembangunan Inklusif dan Kebijakan Sosial di Kota Solo, Jawa
Tengah. Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia.
Wirutomo, Paulus. 2013. “Mencari Makna Pembangunan Sosial: Studi Kasus Sektor
Informal di Kota Solo”. Jurnal Ssosiologi Masyarakat Vol. 18, No.1 Januari 2013.
World Economic Forum. 2017. The Inclusive Growth and Development Report 2017.

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 139


Pusat Telaah dan Informasi Regional
Centre for Regional Information and Studies

Jl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35, Pasar Minggu Jakarta Selatan
Telp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800
Email: info@pattiro.org | Website: www.pattiro.org

Anda mungkin juga menyukai