Anda di halaman 1dari 23

Clinical Science Session

Obstructive Jaundice

Oleh :

Dian Hasanah 1840312748

Rezy Pysesia Alfani 1840312716

Pembimbing :

dr.Avit Suchitra,SpB-KBD

BAGIAN ILMU BEDAH

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jaundice (icterus) berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil


akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice
adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi
ini biasanya disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya
berhubungan dengan gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah
dan pencitraan, memberikan perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding.
Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara
jaundice obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi
1
lainnya untuk pengobatan Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau
jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh
bilirubin yang meninngkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk
sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah
merah. Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Prancis “jaune” yang berarti kuning.
Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera
mata, dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL
(34 sampai 43 umol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka
bilirubin mengkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%.2

Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris,


dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering
dihadapi oleh ahli bedah. Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin
normal yang dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial.
Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan
albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit kedalam
sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl transferase mengkonjugasikan
bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat untuk membentuk
bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan bilirubin
diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan kedalam
kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi
urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini
diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam
urin.3,4

Umumnya diagnosis ikterus obstruktif secara klinik ditegakkan dengan cara


imaging. Pemeriksaan ultrasonografi mudah membedakan penyebab ikterus ekstra
hepatik atau intra hepatic dengan melihat pelebaran dari saluran empedu dengan
ketepatan 95%. Tindakan biopsi umumnya hanya dilakukan untuk evaluasi dari
ikterus intra hepatik. Pada kasus tertentu tidak selalu mudah untuk menegakkan
diagnosis ikterus obstruktif ektrahepatik atau intra hepatik. Kadang-kadang saluran
empedu tidak terlihat jelas pada pemeriksaan USG untuk menentukan letak obstruksi,
karena bagian distal saluran empedu sukar terlihat pada 30-50% kasus, sehingga
dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dengan tindakan biopsi hepar dalam
memastikan diagnosis ikterus obstruktif ekstrahepatik.8,13-16 Berikut ini
dilaporkann sebuah kasus ikterus obstruktif yang mula-mula tidak bisa ditegakkan
diagnosisnya dengan imaging, tetapi kemudian akhirnya diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan histopatologi.2

1.2 Batasan Masalah

Tulisan ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi,gejala klinis diagnosis


dan tatalaksana serta telaah kasus dari obstructive jaundice.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini terutama ditujukan kepada dokter muda yang nantinya akan
menjadi dokter umum, sebagai ujung tombak dalam mengenal dan menatalaksana
kasus invaginasi di pelayanan kesehatan primer.
1.4 Metode Penulisan

Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Jaringan permukaan yang kaya elastin
seperti sklera dan permukaan bawah lidah biasanya pertama kali menjadi kuning.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar
bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin serum
normal adalah bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9 mg/dL.4

2.2 Epidemiologi
Ikterus obstruktif dapat ditemukan pada semua kelompok umur. Insidens di
Amerika Serikat diperikirakan mencapai 5 kasus per 1000 pasien. Hatfield et al,
melaporkan bahwa kasus ikterus obstruktif terbanyak adalah 70% karena karsinoma
kaput pankreas, 8% pada batu common bile duct , dan 2% adalah karsinoma kandung
empedu. Kasus obstruksi jaundice post-hepatik terbanyak mengenai usia 50 tahun-59
tahun sekitar 29,3%. Kasus obstruksi jaundice post-hepatik dapat mengenai jenis
kelamin laki-laki dan perempuan dimana jenis kelamin laki- laki sebanyak 65,9%.
Hatfield et al melaporkan bahwa kasus obstruktif jaundice terbanyak adalah 70%
karena karsinoma caput pankreas, 8% pada batu common bile duct dan 2% karsinoma
kandung empedu.5

2.3 Anatomi dan Fisiologi


Pengetahuan yang akurat akan anatomi hepar dan traktus biliaris, dan
hubungannya dengan pembuluh darah penting untuk kinerja pembedahan hepatobilier
karena biasanya terdapat variasi anatomi yang luas. Deskripsi anatomi klasik pada
traktus biliaris hanya muncul pada 58% populasi.6
Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari tunas ventral
(divertikulum hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal minggu keempat
kehidupan. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian sebagaimana bagian tersebut
tumbuh diantara lapisan mesenterik ventral: bagian kranial lebih besar (pars hepatika)
merupakan asal mula hepar/hepar, dan bagian kaudal yang lebih kecil (pars sistika)
meluas membentuk kandung empedu, tangkainya menjadi duktus sistikus. Hubungan
awal antara divertikulum hepatikum dan penyempitan foregut, nantinya membentuk
duktus biliaris. Sebagai akibat perubahan posisi duodenum, jalan masuk duktus
biliaris berada disekitar aspek dorsal duodenum.4,6
Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik
dan ekstra-hepatik. Unit sekresi hepar (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk
kelenjar peribilier), kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal Hearing), dan duktus
biliaris intrahepatik membentuk saluran intrahepatik dimana duktus biliaris
ekstrahepatik (kanan dan kiri), duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung
empedu, dan duktus biliaris komunis merupakan komponen ekstrahepatik
percabangan biliaris.4,6,7
Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris.
Duktus biliaris komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm.
Duktus biliaris dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomi: supraduodenal,
retroduodenal, dan intrapankreatik. Duktus biliaris komunis kemudian memasuki
dinding medial duodenum, mengalir secara tangensial melalui lapisan submukosa 1-2
cm, dan memotong papila mayor pada bagian kedua duodenum. Bagian distal duktus
dikelilingi oleh otot polos yang membentuk sfingter Oddi. Duktus biliaris komunis
dapat masuk ke duodenum secara langsung (25%) atau bergabung bersama duktus
pankreatikus (75%) untuk membentuk kanal biasa, yang disebut ampula Vater.4,8
Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus
vaskular peribilier. Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika,
dan pleksus ini mengalir kedalam sistem vena porta atau langsung kedalam sinusoid
hepatikum.Metabolisme bilirubin terjadi dalam tiga fase antara lain fase prehepatik,
intrahepatik dan posthepatik. Disfungsi pada salah satu atau lebih dari fase ini dapat
menimbulkan jaundice.6,7
Fase Prehepatik
Tubuh manusia memproduksi kurang lebih 4 mg/kg BB bilirubin perhari dari
metabolisme heme.Sekitar 80% dari heme merupakan hasil dari katabolisme eritrosit,
dengan 20% sisanya dihasilkan dari erithropoiesis yang tidak efektif serta
perombakan mioglobin otot dan sitokrom. Bilirubin yang terbentuk akan
ditransportasi dari plasma menuju hepar untuk dikonjugasikan dan diekskresi. 4,6

Fase Intahepatik
Bilirubin tak terkonjugasi bersifat larut lemak dan tidak larut air, dan karena itu dapat
dengan mudah melewati blood-brain barrier atau melewati plasenta. Di dalam
hepatosit, bilirubin tak terkonjugasi akan dikonjugasi dengan gula yang dikatalis
enzim glucoronosyl transferase dan akhirnya larut dalam cairan empedu. 4,6

Fase Pascahepatik
Setelah larut dalam empedu, bilirubin ditransportasikan melalui duktus biliaris dan
duktus cystic untuk disimpan sementara dalam kandung empedu, atau melewati
ampula Vater dan masuk keduodenum. Di dalam usus, sejumlah bilirubin akan
diekskresikan di dalam tinja, sementarasisanya dimetabolisme oleh flora normal usus
menjadi urobilinogen dan kemudian akan direabsorbsi. Sebagian besar urobilinogen
akan difiltrasi dari darah oleh ginjal dan diekskresikan di dalam urin. Sebagian kecil
urobilinogen diabsorbsi di dalam usus dan direekskresi ke dalam empedu. 4,6

2.4 Etiologi3,5

Penyebab ikterus obstruktif secara garis besar terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
ikterus obstruksi intrahepatik dan ikterus obstruktif ekstrahepatik. Ikterus obstruktif
intrahepatik pada umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran kanalikuli
bilier sedangkan ikterus obstruktif ekstrahepatik, terjadinya ikterus disebabkan oleh
karena adanya sumbatan pada saluran atau organ diluar hepar. Adapun penyakit yang
menyebabkan terjadinya ikterus obstruktif adalah sebagai berikut:

1. Ikterus obstruktif intrahepatik


Hepatitis, penyakit hepar karena alkohol, serta sirosis hepatis. Peradangan
intrahepatik mengganggu ekskresi bilirubin terkonjugasi dan menyebabkan
ikterus.

2. Ikterus obstruktif ekstrahepatik


 Kolelitiasis dan koledokolitiasis. Batu saluran empedu mengakibatkan retensi
pengaliran bilirubin terkonjugasi ke dalam saluran pencernaan sehingga
mengakibatkan aliran balik bilirubin ke dalam plasma menyebabkan
tingginya kadar bilirubin direk dalam plasma.
 Tumor ganas saluran empedu. Insidens tumor ganas primer saluran empedu
pada penderita dengan kolelitiasis dan tanpa kolelitiasis, pada penderita laki-
laki dan perempuan tidak berbeda. Umur kejadian rata-rata 60 tahun, tetapi
tidak jarang didapatkan pada usia muda. Jenis tumor kebanyakan
adenokarsinoma pada duktus hepatikus atau duktus koledokus.
 Atresia bilier. Terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu, sehingga terjadi peningkatan kadar
bilirubin direk. Atresia bilier merupakan penyebab kolestatis ekstrahepatik
neonatal yang terbanyak. Terdapat dua jenis atresia biliaris, yaitu
ekstrahepatik dan intrahepatik. Bentuk intrahepatik lebih jarang dibandingkan
dengan ekstrahepatik.
 Tumor kaput pankreas. Tumor eksokrin pankreas pada umumnya berasal dari
sel duktus dan sel asiner. Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis
adenokarsinoma duktus pankreas, dan sebagian besar kasus (70%) lokasi
kanker adalah pada kaput pankreas. Pada stadium lanjut, kanker kaput
pankreas sering bermetastasis ke duodenum, lambung, peritoneum, hati, dan
kandung empedu.
2.5 Patogenesis
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi / indirek.
 Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah
tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering
akibat hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang
timbul sering disebut ikterus hemolitik.4,6 Konjugasi dan transfer bilirubin
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi/indirek
melampaui kemampuan sel hepar. Akibatnya bilirubin indirek meningkat
dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak
dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi
pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan
ekskresi dalam urine (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik :
hemoglobin abnormal (anemia sel sickle), kelainan eritrosit
(sferositosis heriditer), antibodi serum (Rhesus Inkompatibilitas transfusi) dan
malaria tropika berat.4,6

Penurunan pengambilan hepatik
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari
albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan
seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini..7
 Penurunan konjugasi hepatik
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim
glukoronil transferase.7
Hiperbilirubinemia konjugasi/direk

Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi


bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi
oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan
dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ),
zat yang.meracuni hepar fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hepar multipel.
Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson
dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan
menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi
saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. 4 Obstruksi total dapat
disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik
adalah :

 Obstruksi saluran empedu didalam hepar. Contohnya pada kasus sirosis


hepatis, abses hepar, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan
sekunder.
 Obstruksi di dalam lumen saluran empedu : batu empedu, askaris.
 Kelainan di dinding saluran empedu : atresia bawaan, striktur traumatik,
tumor saluran empedu.
 Tekanan dari luar saluran empedu : tumor caput pancreas, tumor Ampula
7,9
Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di ligamentum hepatoduodenale

2.6 Manifestasi Klinis

Tidak jarang gejala kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik sukar untuk


dibedakan. Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus (jaundice), perubahan warna
urin menjadi lebih kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat,
tinja pucat akibat terhambatnya aliran bilirubin ke usus halus dan berbau busuk serta
mengandung banyak lemak (steatorrhea) karena aliran empedu terhambat ke usus
halus sehingga absorpsi lemak terganggu, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh
akibat retensi empedu di kulit. Kolestasis kronik dapat menimbulkan pigmentasi kulit
kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, sakit tulang karena absorpsi kalsium dan
vitamin D berkurang sehingga lama kelamaan jaringan tulang berkurang, perdarahan
intestinal karena absorpsi vitamin K terganggu dan endapan lemak kulit (xantelasma
atau xantoma). Gambaran keluhan seperti yang disebutkan tidak tergantung
penyebabnya. Selain itu dapat disertai keluhan sakit perut, dan gejala sistemik (seperti
anoreksia, muntah, demam), atau tambahan gejala lain yang tergantung pada
penyebab terjadinya obstruksi bilier.10,11

Pasien dengan obstruksi bilier karena batu empedu dapat dibagi menjadi tiga
keompok yaitu pasien dengan batu asimtomatik, simtomatik, dan dengan komplikasi
batu empedu (kolesistitis akut, kolangitis, dan pankreatitis). Sebagian besar (80%)
pasien dengan batu empedu tanpa gejala. Gejala batu empedu yang dapat dipercaya
adalah kolik bilier yaitu nyeri diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang
dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut kanan atas atau epigastrium yang dapat
menjalar ke punggung bagian kanan atau bahu kanan. Nyeri ini bersifat episodik dan
dapat dicetuskan oleh makan makanan berlemak atau dapat juga tanpa suatu pencetus
dan sering timbul malam hari. Terkadang nyeri dapat dirasakan di daerah substernal
atau prekordial atau di kuadran kiri atas abdomen. Batu kandung pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung
empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Batu saluran empedu tidak
menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik.3,12,13

Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya kandung empedu teraba


(Courvoisier sign). Jika sumbatan karena keganasan kaput pankreas sering timbul
kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-
kadang apabila kadar bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi sering warna
kuning sklera mata memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan
kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan
(yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik.10,12,14

2.7 Diagnosis

Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk
menegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap awal ketika akan
mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung
kepada apakah hiperbilirubinemia bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika
ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap harus dipikirkan kemungkinan adanya
hiperbilirubinemia indirect yang mungkin disebabkan oleh hemolisis, sindroma
Gilbert atau sindroma Crigler Najjar dan bukan karena penyakit hepatobilier.
Keadaan ikterus yang lebih berat dengan disertai warna urin yang gelap menandakan
penyakit hepar atau bilier. Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu dipikirkan
segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran
empedu atau keganasan kaput pankreas).15

Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau
kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian
kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai gajala keluhan sakit
perut (painless jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang
lebih tinggi, warna kuning pada sklera mata sering memberi kesan yang berbeda
dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada
kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis
intrahepatic.15

Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui
penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi
hepar serta beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang
disertai demam dan terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise dan nyeri
tekan hepar menandakan hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan
kemungkinan adanya suatu penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary
primer. Ikterus dan anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik. 16

Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui


anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hepar.

Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses,
rasa gatal, keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan,
adanya kontak dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-
obatan, suntikan atau tindakan pembedahan.15

Penyakit yang menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang


menyebabkan jaundice ‘medis’ seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor
atau konjugasi hepatosit, atau kegagalan ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang
menyebabkan jaundice ‘surgical’ melalui kegagalan transpor bilirubin kedalam usus.
Penyebab umum meningkatnya produksi bilirubin termasuk anemia hemolitik,
penyebab dapatan hemolisis termasuk sepsis, luka bakar, dan reaksi transfusi.
Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis dan
akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin menyebabkan kolestasis
intrahepatik dan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab umum kegagalan
ekskresi termasuk hepatitis viral atau alkoholik, sirosis, kolestasis induksi-obat.
Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat disebabkan oleh beragam gangguan termasuk
koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker periampular, kolangiokarsinoma, atau
kolangitis sklerosing primer.

Ketika mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu membedakan antara


kerusakan pada ambilan bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur
secara medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik, yang biasanya ditangani oleh ahli
bedah, ahli radiologi intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus,
anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan
radiologis non-invasif membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab
jaundice lainnya. Kolelitiasis selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan
dan gangguan pencernaan. Jaundice dari batu duktus biliaris umum. Biasanya
sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan
jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga
sebuah keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah kolesistektomi, batu
kandung empedu menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan.6,15,17

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hepar, kandung empedu, limpa, mencari


tanda-tanda stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, palmar eritema bekas
garukan di kulit karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar
dapat dijumpai pada pasien dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang
membesar menunjukkan adanya sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang
lebih sering disebabkan oleh tumor. Hukum Courvoisier “Kandung empedu yang
teraba pada ikterus tidak mungkin disebabkan oleh batu kandung empedu”. Hal ini
biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor, ampula, duodenum,
CBD), striktur kronis, atau limfadenopati portal.15
Pemeriksaan Penunjang

Tes ini biasanya berisi beberapa tes yang dilakukan bersamaan pada contoh
darah yang diambil menurut Davey 2006 yaitu:

1. Alanine Aminotransferase (ALT) — suatu enzim yang utamanya


ditemukan di hepar, paling baik untuk memeriksa hepatitis. Atau disebut
sebagai SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase).
2. Alkaline Phosphatase (ALP) – suatu enzim yang terkait dengan
saluran empedu seringkali meningkat jika terjadi sumbatan.

3. Aspartate Aminotransferase (AST) – enzim ditemukan di hepar dan di


beberapa tempat lain di tubuh seperti jantung dan otot. Juga disebut sebagai
SGOT (Serum Glutamic Oxoloacetic Transaminase), dilepaskan pada
kerusakan sel-sel parenkim hepar, umumnya meningkat pada infeksi akut.
4. Bilirubin – biasanya dua tes bilirubin digunakan bersamaan (apalagi pada
jaundice): Bilirubin total mengukur semua kadar bilirubin dalam darah;
Bilirubin direk untuk mengukur bentuk yang terkonjugasi.
5. Albumin – mengukur protein yang dibuat oleh hepar dan memberitahukan
apakah hepar membuat protein ini dalam jumlah cukup atau tidak.
6. Protein total – mengukur semua protein (termasuk albumin) dalam darah,
termasuk berfungsi memerangi infeksi. 18

Tergantung pada pertimbangan dokter, beberapa tes tambahan mungkin


diperlukan untuk melengkapi seperti gamma-glutamyl transferase (GGT), lactic
acid dehydrogenase (LDH) dan prothrombine time (PT).

Ada beberapa potensi disfungsi hepar di mana tes fungsi hepar disarankan
untuk dilakukan. Beberapa di antaranya adalah orang yang memiliki riwayat
diketahui atau berpotensi terpapar virus hepatitis; mereka yang merupakan peminum
berat, individu dengan riwayat keluarga menderita penyakit hepar, mereka yang
mengonsumsi obat yang kadang dapat merusak hepar 16

Tes fungsi hepar juga disarankan pada temuan tanda dan gejala penyakit
hepar, beberapa diantaranya adalah: kelelahan, kelemahan, berkurangnya selera
makan, mual, muntah, pembengkakan atau nyeri perut, jaundice, urine gelap, tinja
berwarna terang, pruritus (gatal-gatal). Pada dasarnya tidak ada tes tunggal yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis. Terkadang beberapa kali tes berselang
diperlukan untuk menentukan jika suatu pola ada dan membantu menentukan
penyebab kerusakan hepar. Ketika penyakit hepar sudah dideteksi, tes fungsi
hepar biasanya tetap berlanjut secara berkala untuk memantau tingkat
keberhasilan terapi atau perjalanan penyakit.9

7. Darah Rutin

Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui adanya suatu anemia dan


juga keadaan infeksi.9,16

8. Pemeriksaan Urin

Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan
melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.9,16

9. Pemeriksaan Serologi Virus

IgM epatitis A adalah pemeriksaan untuk hepatitis A akut. Hepatitis


Bakut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.9,16

10. Biopsi hepar

Histologi hepar tetap merupakan pemeriksaan untuk ikterus hepatoseluler


dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis
intrahepatik akibat obat-obatan (drug induced).9,16

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu


dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang
pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan
sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hepar, duktus yang melebar, adanya
batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada hepatobilier
untuk deteksi batu empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu
dan massa tumor tinggi sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran
empedu dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu,
sedangkan pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus
obstruktif. Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi ialah
sekaligus kita dapat menilai kelainan organ yang berdekatan dengan hepatobilier
antara lain ginjal. 19

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto polos abdomen kurang bermanfaat karena sebagian besar


batu empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus
karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hepar yang sakit.19

Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah


pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan
bantuan endoskopi melalui muara ampula Vater kontras dimasukkan kedalam saluran
empedu. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah
ada kelainan pada muara Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan.
Keterbatasan yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara vater tidak
dapat dimasuki kanul.6,19

Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran


proksimalnya dapat divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic
Cholangiography (PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras
melalui jarum yang ditusukkan ke hilus hepar dan sisi kanan pasien. Kontras
disuntikkan bila ujung jarum sudah diyakini berada di dalam saluran empedu.
Computed Tomography (CT) adalah pemeriksaan radiologi yang dapat
memperlihatkan serial irisan-irisan hepar. Adanya kelainan hepar dapat diperlihatkan
lokasinya dengan tepat.6,19

Untuk diagnosis kelainan primer dari hepar dan kepastian adanya keganasan
dilakukan biopsi jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak
dianjurkan bila ada tanda-tanda obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan
penyulit kebocoran saluran empedu.15

2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika


penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice
akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang
cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik,
pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. 16

Pada pasien dengan kolelitiasis dapat dilakukan tindakan operatif


kolesistektomi, yaitu dengan mengangkat batu dan kandung empedu.
Kolesistektomi dapat berupa kolesistektomi elektif konvensional (laparatomi) atau
dengan menggunakan laparaskopi. Indikasi kolesistektomi elektif konvensional
maupun laparaskopik adalah adalah kolelitiasis asimptomatik pada penderita
diabetes mellitus karena serangan kolesistitis akut dapat menimbulkan komplikasi
berat. Indikasi lain adalah kandung empedu yang tidak terlihat pada kolesistografi
oral, yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,
berdiameter lebih dari 2 cm karena batu yang besar lebih sering menyebabkan
kolesistitis akut dibandingkan dengan batu yang lebih kecil. Indikasi lain adalah
kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan kejadian karsinoma.
Tatalaksana tumor ganas saluran empedu adalah dengan pembedahan.
Adenokarsinoma saluran empedu yang baik untuk direseksi adalah yang terdapat
pada duktus koledokus bagian distal atau papilla Vater. Pembedahan dilakukan
dengan cara Whipple, yaitu pankreatiko-duodenektomi.20

Tatalaksana atresia bilier ekstrahepatik adalah dengan pembedahan. Atresia


bilier intrahepatik pada umumnya tidak memerlukan pembedahan karena
obstruksinya relatif bersifat ringan. Jenis pembedahan atresia bilier ekstrahepatik
adalah portoenterostomi teknik Kasai dan bedah transplantasi hepar. Bedah
dekompresi portoenterostomi membuka ligamentum hepatoduodenale untuk
mencari sisa saluran empedu ekstrahepatik yang berupa jaringan fibrotik. Jaringan
fibrotik ini diikuti terus kearah hilus hati untuk menemukan ujung saluran empedu
yang terbuka di permukaan hati. Rekonstruksi hubungan saluran empedu di dalam
hati dengan saluran cerna dilakukan dengan menjahitkan yeyunum ke permukaan
hilus hati. Apabila atresia hanya terbatas pada duktus hepatikus komunis,
sedangkan kandung empedu dan duktus sitikus serta duktus koledokus paten, maka
cukup kandung empedu saja yang disambung dengan permukaan hati di daerah
hilus. Pada bayi dengan atresia saluran empedu yang dapat dikoreksi langsung,
harus dilakukan anastomosis mukosa dengan mukosa antara sisa saluran empedu
dan duodenum atau yeyunum. Komplikasi pascabedah adalah kolangitis berulang
yang timbul pada 30-60% penderita yang dapat hidup lama. Kolangitis umumnya
mulai timbul 6-9 bulan setelah dibuat anastomosis. Pengobatan kolangitis adalah
dengan pemberian antibiotik selama dua minggu. Jika dilakukan transplantasi hati,
keberhasilan transplantasi hati setelah satu tahun berkisar antara 65-80%. Indikasi
transplantasi hati adalah atresia bilier intrahepatik yang disertai gagal hati.

Sebelum tatalaksana tumor kaput pankreas dilakukan, keadaan umum pasien harus
diperbaiki dengan memperbaiki nutrisi, anemia, dan dehidrasi. Pada ikterus
ibstruksi total, dilakukan penyaliran empedu transhepatik sekitar 1 minggu
prabedah. Tindakan ini bermanfaat untuk memperbaiki fungsi hati. Bedah kuratif
yang mungkin berhasil adalah pankreatiko-dudenektomi (operasi Whipple). Operasi
Whipple ini dilakukan untuk tumor yang masih terlokalisasi, yaitu pada karsinoma
sekitar ampula Vateri, duodenum, dan duktus koledokus distal. Tumor dikeluarkan
secara radikal en bloc, yaitu terdiri dari kaput pankreas, korpus pancreas,
duodenum, pylorus, bagian distal lambung, bagian distal duktus koledokus yang
merupakan tempat asal tumor, dan kelenjar limfe regional.20
BAB 3
KESIMPULAN

Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris,


dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering
dihadapi oleh ahli bedah. Umumnya diagnosis ikterus obstruktif secara klinik
ditegakkan dengan cara imaging. Pemeriksaan ultrasonografi mudah membedakan
penyebab ikterus ekstra hepatik atau intra hepatic dengan melihat pelebaran dari
saluran empedu dengan ketepatan 95%.
Penatalaksanaan ikterus obstruksi ini tergantung dari penyebabnya, karena
penyebab pada pasien ini adalah adanya batu empedu, maka pasien tersebut di
konsulkan ke bagian bedah digestif untuk dilakukannya pengangkatan batu tersebut.
Sedangkan gejala penyertanya dapat diobati sesuai dengan keluhan. Apabila pasien
demam, maka dapat diberikan antipiretik, juga antibiotik apabila terdapat infeksi.
Untuk mengurangi mual dan muntah dapat diberikan antivomitus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Beckingham IJ. ABC of diseases of liver, pancreas, and biliary system:


Gallstone disease. Br Med J. 2001;322(7278):91-94.
2. Lesmana L.: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579.
4. Price, Sylvia Anderston. Patofisiologi Konsep Klinis Preose-Proses Penyakit.
Jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994. Schwartz S, Shires G,
Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
5. Aditya PM, Suryadarma IGA. Laporan kasus: sirosis hepatis. Bali: Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana; 2012.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC. 2011. Hal 641.
7. Sulaiman. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI. 2006.
8. Grace PA. At a Glance Ilmu Bedah . Jakarta: Erlangga Medical Series. 2007.
9. Silbernagl S. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Ikterus. Jakarta: EGC.
2007.h.168.
10. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK.UI; 2006. 422-5.
11. Ferri FF. Cholelithiasis. In : Ferri’s Clinical Advisor. 10 th Edition. USA :
Mosby Elsevier; 2008. e-book.
12. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK.UI; 2006. 481-2.
13. Sulaiman A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta : Jayabadi;
2007.p. 161-175.
14. Bonheu JL, Ells PF, Biliary Obstruction.2009. http://www.emedicine.com [
17 Mei 2020].
15. Swarts, M. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. 2004. Hal 238.
16. Sulaiman. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI. 2006.
17. Price JA. Patofisiologi Konsep Klinis Proses proses Penyakit. Jakarta:EGC.
2006. Hal 472.
18. Davey P. At a Glance Medicine. Ikterus.Jakarta :Erlangga Medical
Series.2006.
19. Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: FKUI. 2006. Hal 422-5.
20. Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah. 3th Ed. Jakarta: Penerbitan buku
kedokteran EGC; 2010.p254-7,663-7,672-82,717-82.

Anda mungkin juga menyukai