Anda di halaman 1dari 10

PERSIAPAN PERIOPERATIF DAN MANAJEMEN NON OPERATIF

PASIEN BEDAH SARAF

Oleh:

dr. Fajar Tri Decroli

Peserta PPDS Ilmu Bedah

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2021
A. Konsep Perioperatif
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh. Operasi pada
umumnya merupakan peristiwa kompleks yang menegangkan. Perioperatif adalah suatu
istilah gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan yaitu preoperatif,
intraoperatif, dan pascaoperatif.

Penilaian prabedah, meliputi:

1. Penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk riwayat penyakit,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mendukungnya
2. Melakukan identifikasi faktor-faktor risiko anestesi, dan bila bermakna pasien harus
diberitahu
3. Mengoptimalkan kondisi kesehatan pasien sebelum tindakan anestesi dan
pemnbedahan, seperti melakukan fisioterapi dada, latihan nafas dsb.
4. Menentukan status fisis berdasarkan American Society of Anesthesiologist(ASA)
5. Merencanakan tehnik anestesi dan penatalaksanaan perioperatif seperti terapi cairan
dan transfusi darah
6. Memperkenalkan diri kepada pasien agar dapat mengurangi kecemasan dan akan
mempermudah dalam melakukan induksi anestesi
7. Memberikan instruksi yang jelas tentang obat yang harus diteruskan atau dihentikan
pada hari pembedahan
8. Mempersiapkan obat-obat premedikasi1,2

Persiapan Operasi
a. Anamnesa
b. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan fisik rutin meliputi: keadaan umum, kesadaran, anemis / tidak, BB, TB,
suhu, tekanan darah, denyut nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
- Dilakukan penilaian kondisi jalan nafas yang dapat menimbulkan kesulitan intubasi
c. Pemeriksaan Laboratorium
- Darah : Hb, Ht, hitung jenis lekosit, golongan darah, waktu pembekuan dan
perdarahan
- Urine : protein, reduksi, sedimen
- Foto thorak : terutama untuk bedah mayor
- EKG : rutin untuk umur > 40 tahun
- Elekrolit ( Natrium, Kalium, Chlorida )
- Dilakukan pemeriksaan khusus bila ada indikasi ,misal:
- EKG : pada anak dan dewasa < 40tahun dengan tanda-tanda penyakit kardiovaskuler
- Fungsi hati ( bilirubin, urobilin dsb ) bila dicurigai adanya gangguan fungsi hati
- Fungsi ginjal (ureum, kreatinin ) bila dicurigai adanya gangguan fungsi ginjal2

Persiapan di hari operasi

- Pengosongan lambung, penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena


regurgitasi / muntah. Untuk dewasa dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi , sedang
anak / bayi 4-5 jam.
- Tentang pemberian cairan infus sebagai pengganti defisit cairan selama puasa,
paling lambat 1 jam sebelum operasi (dewasa) atau 3 jam sebelum operasi , untuk
bayi / anak dengan rincian :
* 1 jam I : 50%
* 1 jam II : 25%
* 1 jam II : 25 %
- Gigi palsu / protese lain harus ditanggalkan sebab dapat menyumbat jalan nafas
dan mengganggu.
- Perhiasan dan kosmetik harus dilepas /dihapus sebab akan mengganggu
pemantauan selama operasi.
- Pasien masuk kamar bedah memakai pakaian khusus, bersih dan longgar dan
mudah dilepas
- Mintakan ijin operasi dari pasien atau keluarganya
- Setelah operasi penderita dirawat dan dilakukan pengawasan tanda vital secara
ketat di ruang pemulihan.
- Penderita dipindahkan dari ruang pemulihan ke bangsal setelah memenuhi kriteria
( Aldrete score > 8 untuk penderita dewasa atau Stewart Score > 5 untuk
penderita bayi / anak )
- Apabila post-operasi diperlukan pengawasan hemodinamik secara ketat maka
dilakukan di ruang intensif ( ICU )1,2
B. Persiapan Perioperatif Pasien Bedah Saraf
Pre Operatif

Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi bagi memilih prosedur yang tetap dan
waktu yang optimal; mendapatkan informasi untuk melaksanakan prosedur secara aman;
mendokumentasikan informasi asesmen yang digunakan untuk mengembangkan dan
mendukung tindakan invasif yang direncanakan serta mengintepretasikan temuan dalam
monitoring pasien. Prosedur pre operatif dimulai dengan dokter melakukan pengkajian medis
awal pasien yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan penunjang, diagnosis
kerja, diagnosis banding, pengobatan, dan rencana pembedahan. Setelah itu, dokter
memberikan informasi yang adekuat dalam pemberian asuhan kepada pasien atau
keluarganya untuk pengambilan keputusan oleh pasien dan keluarga. Jika pasien dan
keluarga setuju, maka pasien atau keluarga akan menandatangani formulir informed consent.
Apabila darah atau produk darah mungkin dibutuhkan, maka informasi tentang risiko dan
alternatif didiskusikan kepada pasien dan keluarga. Seterusnya, perawat melakukan
pengkajian pre operatif dan hasil pengkajian didokumentasikan di dalam rekam medis dan
lembar pengkajian pre operatif kamar bedah.1,2

Durante Operasi

- Premedikasi

Penggunaan sedatif untuk premedikasi masih kontroversi, mungkin karena penilaian


status neurologik post operatif menjadi sulit. Premedikasi juga dapat mendepresi pernafasan
sehingga menyebabkan hiperkarbia, hipertensi dan peningkatan CBF, CBV dan TIK.
Umumnya pasien ASA III – V jarang membutuhkan sedatif sebagai premedikasi, sedangkan
ASA I – II mungkin membutuhkan ansiolitik untuk menghindari gejolak hemodinamik
karena rasa cemas. Midazolam mengurangi cerebral metabolic rate of oxygen (CMRO2) dan
juga CBF dan CBV tanpa mempengaruhi secara signifikan reaktivitas CO2 cerebral atau
autoregulasi. Namun agen harus dititrasi secara perlahan agar hipotensi dapat dihindari.
Pemberian analgesia opiod seperti fentanil 25 – 100 ug atau sufentanil 5-20ug harus
terkontrol dan diobservasi oleh anestesiologis.3
Pasien tidak boleh lepas dari pengawasan. Bantuan nafas harus disiapkan bila sewaktu-
waktu diperlukan. Pasien dengan risiko aspirasi, diperlukan profilaksis untuk mencegah
aspirasi isi lambung dan memperkecil sequele. Bila pasien kooperatif boleh diberikan sodium
citrat peroral. Antasid jernih nonpartikel digunakan untuk meningkatkan pH lambung.
Larutan 0,3 mol sodium sitrat 15 – 30 ml efektif meningkatkan pH lambung dan harus
diberikan 15 – 20 menit sebelum intubasi. Antasid bekerja cepat tapi mempunyai kerugian
meningkatkan volume lambung. Kegunaan dalam gawat darurat mungkin terbatas.
Metoklopramide, suatu dopamine antagonist, dapat meningkatkan tonus sfinger esofagus
bawah, menurunkan tonus pilorik dan duodenal, menambah motilitas lambung dan usus
halus dan mempunyai efek antinausea. Dosis 10mg p.o. diberikan 30 – 120 menit sebelum
intubasi atau 10mg i.v. 15 – 30 menit sebelum intubasi untuk mengurangi volume lambung
dan meningkatkan tekanan sfinger esofagus bawah secara optimal.4

Efek obat cukup cepat bila diberikan intravena. Blocker reseptor histamin-2 (H2)
menghambat sekresi asam lambung yang dimedisiasi oleh pelepasan histamin. Blocker H2
menghentikan sekresi asam oleh sel parietal tapi tidak membuat pengosongan lambung atau
menetral asam yang 14 sudah ada. H-2 reseptor antagonist dapat diberikan sebelum induksi
dengan pengertian efeknya tidak akan bermanfaat sampai waktu intubasi. Efek peningkatan
pH terjadi setelah 1 jam pemberian parenteral dan berlangsung selama 9 jam. Pada semua
kasus dapat diberikan profilaksis dengan ranitidine 50mg 20 menit atau simetidin 300mg i.v.
untuk mengurangi kejadian aspirasi. Blocker H2 dapat mengurangi HR dan TD,
meningkatkan resistensi jalan nafas dan menyebabkan agitasi, meracau dan kejang.3,5

- Induksi

Induksi dapat diawali dengan thiopental atau profolol dan opiod bersamasama dengan
pemberian hiperventilasi sebelum intubasi. Penggunaan propofol perinfus membuat
penggunaan N2O lebih aman dan menekan efek cerebrostimulator yang tidak diharapkan.
Untuk induksi pada pasien dengan kondisi yang lebih lemah atau tua, etomidate (0.2 – 0.4
mg/kgBB) dapat digunakan sebagai pengganti profolol. Keputusan tentang penggunaan
muscle relaksan untuk mencapai induksi rapid sequence dalam hal ini masih kontroversi.
Pilihan muscle relaxant bisa menggunakan suksinilkolin atau bisa juga dengan muscle
relaxant non depolarisasi dosis kecil seperti vecuronium 1mg dilanjutkan dengan
suksinilkolin dosis 1,5mg/kgBB atau dosis priming muscle relaxant non depolarisasi 3 menit
kemudian diberikan muscle relaxant yang sama dengan dosis penuh (vecuronium,
mivacurium dan rocuronium).1,6

Pasca Operasi di Perawatan Intensif (ICU)

Pasien pasca bedah kraniotomi memerlukan stabilisasi dan monitor lebih lanjut, terutama
pasien dengan GCS < 8 atau hemodinamik dan respirasi tidak stabil. Manajemen ini
termasuk memantau TIK. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa outcome yang baik
berbanding terbalik dengan kenaikan TIK, yaitu tidak lebih dari 20mmHg. Pasien juga harus
dipantau agar MAP dijaga lebih dari 90mmHg dengan pemberian cairan yang cukup.
Pemenuhan cairan dapat menggunakan Ringer laktat atau saline normal, dan dipantau dengan
menggunakan tekanan vena sentral (CVP).7

Penggunaan vasopressor pada cedera kepala masih 15 kontroversial, tapi dopamin dapat
digunakan karena dapat meningkatkan CBF tanpa meningkatkan TIK. Pemenuhan oksigen
sangat diperlukan agar tidak terjadi hipoksia. PaCO2 dijaga antara 35-40 mmHg dan PO2 >
70mmHg. Meskipun diketahui bahwa oksigen dengan konsentrasi bahwa oksigen dengan
konsentrasi tinggi dapat memperbaiki oksigenasi jaringan otak, tetapi hal ini tergantung juga
pada konsentrasi Hb, pengeseran kurva disosisasi oksigen, dan saturasi oksigen. Dianjurkan
untuk menggunakan pulse oximetry untuk memantau saturasi oksigen jaringan, dan dijaga
agar saturasi > 94%.5,8

Analgesia dan sedasi pada pasien cedera kepala tetap diperlukan meskipun dalam kepala
tetap diperlukan meskipun dalam keadaan koma, karena masih merespon terhadap nyeri dan
rangsang noxious, dan hal ini dapat meningkatkan TIK dan tekanan darah. Terapi yang
utama pada nyeri ini adalah morfin atau fentanil, terutama pada pasien yang terintubasi
karena selain memiliki analgesia juga menekan reflex jalan napas. Sebagai hipnosis, dapat
digunakan profolol karena dosisnya dapat dititrasi, waktu pulih cepat, menurunkan CMR,
potensiasi penghambatan GABAergik, inihibisi reseptor metil D-aspartat glutamat dan
bersifat antioksidan dan penghambat peroksidasi lipid.8

Agen paralitik dapat diberikan pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik, tetapi
penggunaan yang rutin tidak dianjurkan, apalagi pasien telah stabil, sedasi cukup dan
analgesi telah tercapai. Pada pasien dengan cedera kepala, penggunaan agen paralitik
malahan dapat meningkatkan resiko kejadian pneumonia. Tindakan lain pada pasien cedera
kepala anatara lain dengan posisi head up 30, sehingga TIK tidak meningkat, tetapi CPP dan
CBF tidak turun. Pasien pasca operasi bedah saraf sangat penting diberikan antikonvulsi
untuk profilaksis kejang, karena dapat mempresipitasi komplikasi yang serius yaitu
hipertensi dengan perdarahan otak, hipoksia atau anoksia. Antikonvulsi yang sering
digunakan adalah phenytoin, benzodiazepin, barbiturat, dan lidokain. Phenytoin adalah suatu
obat anti kejang yang efektif. Antikonvulsan diberikan selama 7 hari dengan phenytoin dosis
loading 18 mg/kgBB dan dosis rumatan 5 mg/kg/hari 16 dengan kecepatan maksimal
pemberian 50 mg/menit untuk mencegah aritmia dan hipotensi sampai henti jantung. Jika
dengan perlakuan di atas, TIK tetap naik, dapat diberikan agen hiperosmotik seperti manitol
dengan dosis 0.25 samapi 0.5 g/kgBB tiap 2-6 jam untuk meningkatkan osmolaritas serum.5,8

Kebutuhan nutrisi pasien cedera kepala dapat segera dipenuhi dengan pemberian nutrisi
enteral, sehingga kebutuhan mukosa saluran cerna tetap terjaga serta meningkatkan respon
metabolik terhadap stres. Penelitian menunjukkan bahwa penundaan pemberian nutrisi
enteral akan menurunkan resiko infeksi 55%. Dianjurkan pemberian nutrisi mulai 20 ml/jam
dan ditingkatkan setiap 6 jam sampai jumlah yang diinginkan. Volume residu dapat dicek
tiap 6 jam.9

C. Manajemen Non Operatif Pasien Bedah Saraf10,11,12


1. Kesadaran
Dengan menilai GCS setiap 15 menit dalam keadaan gawat (1-2 hari)
2. Kelainan saraf
Dinilai bersama dengan sewaktu pemeriksaan GCS, dan cepat dilaporkan bila
terdapat penurunan GCS, kelainan saraf yang sebelumnya tidak ada (misalnya pupil
anisokor, hemiparese)
3. Pernafasan
a. Bersihkan jalan nafas dari lendir, muntahan, darah dan benda asing
b. Penderita tidur dengan posisi miring, beri bantal diantara kedua tangan dan kaki,
dan posisi kaki yang bagian atas dalam posisi fleksi, posisi ini diubah tiap 3 jam
c. Bila terjadi pneumonia harus :
- Diberikan antibiotika
- Berikan O2 4 liter / menit
- Fisioterapi nafas, dengan cara menepuk-nepuk dada dan punggung
- Suction aktif
- Bila perlu harus dilakukan tracheostomi
4. Sirkulasi
Tujuan menstabilkan tekanan darah agar perfusi jaringan otak tetap baik. Apabila
terdapat anemia, hipotensi / syok, maka harus dicari sebabnya. Sebagai catatan bahwa
trauma kepala tidak akan menurunkan tekanan darah dan hemoglobin.
Berikut ini cara praktis membedakan trauma kepala, syok hipovolemik, dan syok
spinal:
o Cara I : ampul Dopamin + 200 cc Ds  Berikan 12 tetes / menit
o Bila terjadi anemia berikan tranfusi PRC sampai Hb > 12 gr%, sebagai catatan
bahwa I kantor PRC akan meningkatkan Hb + 0,5 gr %.
5. Posisi
Semua penderita Bedah Saraf harus memakai bantal tipis, artinya kira-kira posisi
kepala dinaikkan + 15 – 30o
6. Infus
Macam cairan
Prinsip pemberian cairan infus pada trauma pada adalah cairan yang isotonis, contoh
cairannya adalah RL, RDs, Ds 0,225 atau Ds 0,5 Normal Saline
Kebutuhan cairan
50 cc / kg BB / hari
7. Kalori
Kebutuhan kalori adalah 50 kcal/kg BB / hari, dan kalori baru diberikan setelah hari
ke-3. Bila diberikan sebelum hari 3, akan menambah kekacauan metabolisme. Dan
bila tidak diberikan setelah hari ke 3, akan terjadi pemecahan protein dan lemak
tubuh, sehingga akan memperburuk keadaan penderita. Cara termurah dan fisiologis
adalah pemberian diet cair per sonde / NGT, dimulai dengan volume sedikit demi
sedikit, dan tiap hari dinaikkan sampai tercapai 2000 kcal. Sebelum pemberian diet
yakinkan dulu bahwa usus sudah bekerja (terdapat bising usus), dan setelah
pemberian diet periksa ada / tidak retensi.
8. Temperatur Tubuh
Kenaikan temperatur akan meningkatkan metabolisme otak, sehingga akan
memperberat edema otak.
Kenaikan temperatur ini dapat disebabkan oleh :
 Dehidrasi
 Infeksi
 Sentral
 Lain-lain :
 Tromboflebitis
 Reaksi pyrogen
 Reaksi tranfusi
 Reaksi obat-obatan

Cari penyebab panas, kemudian diterapi sesuai sebabnya :

 Kompres
 Antibiotik
 Antipiretik
 Cairan

Catatan: setiap kenaikan temperatur 1oC memerlukan tambahan cairan sebesar 10


– 15% dari kebutuhan normal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brain Trauma Foundation. Guidelinesfor the management of severe traumatic brain


injury. American Association of Neurologic Surgeons, Joint section on Dunn, PF;
Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusetts General Hospital
2. Ainsworth, C. and Geibel, J. (2015) Head Trauma: Background, Epidemiology, Etiology,
Medscape. Available at: https://emedicine.medscape.com/article/433855-overview
(Accessed: 9 May 2019)
3. Mishra, LD; Rajkumar, N; Hancock, SM; Current Controversies in Neuroanaesthesia,
Head Injury Management and Neuro Critical Care; Continuing Education in Anaesthesia,
Critical Care and Pain; Volume 6 Number 2, 2010
4. Alfatina, G. B. Trauma Kepala. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendedes Malang, 2012.
5. Ali, Bilal; Drage, Stephen; Management of Head Injuries; Anesthesia Tutorial of The
Week 46, 2007
6. Baughman, Verna; Brain Protection During Neurosurgery; Anesthesiology Clinics of
North America; 2012; 20 : 315-327
7. Fauzi AA. Penanganan Cedera Kepala di Puskesmas. Disitasi pada tanggal 4 Februari
2008 dari : http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072002/pus-1.html17k.
8. Galgano, M. et al. (2017) ‘Traumatic Brain Injury: Current Treatment Strategies and
Future Endeavors.’, Cell transplantation. SAGE Publications, 26(7), pp. 31 1118–1130.
doi: 10.1177/0963689717714102.
9. Horne, D., et al. Traumatic Brain Injury. Mayfield Clinic, Cincinnati, Ohio, 2018.
10. Kataoka, Y. et al. (2016) ‘Hybrid treatment combining emergency surgery and
intraoperative interventional radiology for severe trauma’, Injury. Elsevier Ltd, 47(1), pp.
59–63. doi: 10.1016/j.injury.2015.09.022.
11. Vella, M. A., Crandall, M. L. and Patel, M. B. (2017) ‘Acute Management of Traumatic
Brain Injury.’, The Surgical clinics of North America. NIH Public Access, 97(5), pp.
1015–1030. doi: 10.1016/j.suc.2017.06.003.
12. Wells, A. J. and Hutchinson, P. J. (2018) ‘The management of traumatic brain injury’,
Surgery (United Kingdom). Elsevier Inc, 36(11), pp. 613–620. doi:
10.1016/j.mpsur.2018.09.007.

Anda mungkin juga menyukai