Oleh:
2021
A. Konsep Perioperatif
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh. Operasi pada
umumnya merupakan peristiwa kompleks yang menegangkan. Perioperatif adalah suatu
istilah gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan yaitu preoperatif,
intraoperatif, dan pascaoperatif.
Persiapan Operasi
a. Anamnesa
b. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan fisik rutin meliputi: keadaan umum, kesadaran, anemis / tidak, BB, TB,
suhu, tekanan darah, denyut nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
- Dilakukan penilaian kondisi jalan nafas yang dapat menimbulkan kesulitan intubasi
c. Pemeriksaan Laboratorium
- Darah : Hb, Ht, hitung jenis lekosit, golongan darah, waktu pembekuan dan
perdarahan
- Urine : protein, reduksi, sedimen
- Foto thorak : terutama untuk bedah mayor
- EKG : rutin untuk umur > 40 tahun
- Elekrolit ( Natrium, Kalium, Chlorida )
- Dilakukan pemeriksaan khusus bila ada indikasi ,misal:
- EKG : pada anak dan dewasa < 40tahun dengan tanda-tanda penyakit kardiovaskuler
- Fungsi hati ( bilirubin, urobilin dsb ) bila dicurigai adanya gangguan fungsi hati
- Fungsi ginjal (ureum, kreatinin ) bila dicurigai adanya gangguan fungsi ginjal2
Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi bagi memilih prosedur yang tetap dan
waktu yang optimal; mendapatkan informasi untuk melaksanakan prosedur secara aman;
mendokumentasikan informasi asesmen yang digunakan untuk mengembangkan dan
mendukung tindakan invasif yang direncanakan serta mengintepretasikan temuan dalam
monitoring pasien. Prosedur pre operatif dimulai dengan dokter melakukan pengkajian medis
awal pasien yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan penunjang, diagnosis
kerja, diagnosis banding, pengobatan, dan rencana pembedahan. Setelah itu, dokter
memberikan informasi yang adekuat dalam pemberian asuhan kepada pasien atau
keluarganya untuk pengambilan keputusan oleh pasien dan keluarga. Jika pasien dan
keluarga setuju, maka pasien atau keluarga akan menandatangani formulir informed consent.
Apabila darah atau produk darah mungkin dibutuhkan, maka informasi tentang risiko dan
alternatif didiskusikan kepada pasien dan keluarga. Seterusnya, perawat melakukan
pengkajian pre operatif dan hasil pengkajian didokumentasikan di dalam rekam medis dan
lembar pengkajian pre operatif kamar bedah.1,2
Durante Operasi
- Premedikasi
Efek obat cukup cepat bila diberikan intravena. Blocker reseptor histamin-2 (H2)
menghambat sekresi asam lambung yang dimedisiasi oleh pelepasan histamin. Blocker H2
menghentikan sekresi asam oleh sel parietal tapi tidak membuat pengosongan lambung atau
menetral asam yang 14 sudah ada. H-2 reseptor antagonist dapat diberikan sebelum induksi
dengan pengertian efeknya tidak akan bermanfaat sampai waktu intubasi. Efek peningkatan
pH terjadi setelah 1 jam pemberian parenteral dan berlangsung selama 9 jam. Pada semua
kasus dapat diberikan profilaksis dengan ranitidine 50mg 20 menit atau simetidin 300mg i.v.
untuk mengurangi kejadian aspirasi. Blocker H2 dapat mengurangi HR dan TD,
meningkatkan resistensi jalan nafas dan menyebabkan agitasi, meracau dan kejang.3,5
- Induksi
Induksi dapat diawali dengan thiopental atau profolol dan opiod bersamasama dengan
pemberian hiperventilasi sebelum intubasi. Penggunaan propofol perinfus membuat
penggunaan N2O lebih aman dan menekan efek cerebrostimulator yang tidak diharapkan.
Untuk induksi pada pasien dengan kondisi yang lebih lemah atau tua, etomidate (0.2 – 0.4
mg/kgBB) dapat digunakan sebagai pengganti profolol. Keputusan tentang penggunaan
muscle relaksan untuk mencapai induksi rapid sequence dalam hal ini masih kontroversi.
Pilihan muscle relaxant bisa menggunakan suksinilkolin atau bisa juga dengan muscle
relaxant non depolarisasi dosis kecil seperti vecuronium 1mg dilanjutkan dengan
suksinilkolin dosis 1,5mg/kgBB atau dosis priming muscle relaxant non depolarisasi 3 menit
kemudian diberikan muscle relaxant yang sama dengan dosis penuh (vecuronium,
mivacurium dan rocuronium).1,6
Pasien pasca bedah kraniotomi memerlukan stabilisasi dan monitor lebih lanjut, terutama
pasien dengan GCS < 8 atau hemodinamik dan respirasi tidak stabil. Manajemen ini
termasuk memantau TIK. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa outcome yang baik
berbanding terbalik dengan kenaikan TIK, yaitu tidak lebih dari 20mmHg. Pasien juga harus
dipantau agar MAP dijaga lebih dari 90mmHg dengan pemberian cairan yang cukup.
Pemenuhan cairan dapat menggunakan Ringer laktat atau saline normal, dan dipantau dengan
menggunakan tekanan vena sentral (CVP).7
Penggunaan vasopressor pada cedera kepala masih 15 kontroversial, tapi dopamin dapat
digunakan karena dapat meningkatkan CBF tanpa meningkatkan TIK. Pemenuhan oksigen
sangat diperlukan agar tidak terjadi hipoksia. PaCO2 dijaga antara 35-40 mmHg dan PO2 >
70mmHg. Meskipun diketahui bahwa oksigen dengan konsentrasi bahwa oksigen dengan
konsentrasi tinggi dapat memperbaiki oksigenasi jaringan otak, tetapi hal ini tergantung juga
pada konsentrasi Hb, pengeseran kurva disosisasi oksigen, dan saturasi oksigen. Dianjurkan
untuk menggunakan pulse oximetry untuk memantau saturasi oksigen jaringan, dan dijaga
agar saturasi > 94%.5,8
Analgesia dan sedasi pada pasien cedera kepala tetap diperlukan meskipun dalam kepala
tetap diperlukan meskipun dalam keadaan koma, karena masih merespon terhadap nyeri dan
rangsang noxious, dan hal ini dapat meningkatkan TIK dan tekanan darah. Terapi yang
utama pada nyeri ini adalah morfin atau fentanil, terutama pada pasien yang terintubasi
karena selain memiliki analgesia juga menekan reflex jalan napas. Sebagai hipnosis, dapat
digunakan profolol karena dosisnya dapat dititrasi, waktu pulih cepat, menurunkan CMR,
potensiasi penghambatan GABAergik, inihibisi reseptor metil D-aspartat glutamat dan
bersifat antioksidan dan penghambat peroksidasi lipid.8
Agen paralitik dapat diberikan pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik, tetapi
penggunaan yang rutin tidak dianjurkan, apalagi pasien telah stabil, sedasi cukup dan
analgesi telah tercapai. Pada pasien dengan cedera kepala, penggunaan agen paralitik
malahan dapat meningkatkan resiko kejadian pneumonia. Tindakan lain pada pasien cedera
kepala anatara lain dengan posisi head up 30, sehingga TIK tidak meningkat, tetapi CPP dan
CBF tidak turun. Pasien pasca operasi bedah saraf sangat penting diberikan antikonvulsi
untuk profilaksis kejang, karena dapat mempresipitasi komplikasi yang serius yaitu
hipertensi dengan perdarahan otak, hipoksia atau anoksia. Antikonvulsi yang sering
digunakan adalah phenytoin, benzodiazepin, barbiturat, dan lidokain. Phenytoin adalah suatu
obat anti kejang yang efektif. Antikonvulsan diberikan selama 7 hari dengan phenytoin dosis
loading 18 mg/kgBB dan dosis rumatan 5 mg/kg/hari 16 dengan kecepatan maksimal
pemberian 50 mg/menit untuk mencegah aritmia dan hipotensi sampai henti jantung. Jika
dengan perlakuan di atas, TIK tetap naik, dapat diberikan agen hiperosmotik seperti manitol
dengan dosis 0.25 samapi 0.5 g/kgBB tiap 2-6 jam untuk meningkatkan osmolaritas serum.5,8
Kebutuhan nutrisi pasien cedera kepala dapat segera dipenuhi dengan pemberian nutrisi
enteral, sehingga kebutuhan mukosa saluran cerna tetap terjaga serta meningkatkan respon
metabolik terhadap stres. Penelitian menunjukkan bahwa penundaan pemberian nutrisi
enteral akan menurunkan resiko infeksi 55%. Dianjurkan pemberian nutrisi mulai 20 ml/jam
dan ditingkatkan setiap 6 jam sampai jumlah yang diinginkan. Volume residu dapat dicek
tiap 6 jam.9
Kompres
Antibiotik
Antipiretik
Cairan