Anda di halaman 1dari 31

Makalah Anestesi

Manajemen Perioperatif Anestesi Pasien Geriatri dengan


Komorbid yang akan Menjalani Pembedahan Pada Rongga
Mulut

Nama : drg. Revini Nuita


NPM : 2106766721

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

November 2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan dunia kesehatan menyebabkan peningkatan angka harapan hidup dan


penurunan angka mortalitas, terutama pada pasien dengan penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan penuaan. Pada tahun 2040, 24% dari populasi dunia terdiri atas mereka
yang berusia di atas 65 tahun. Kira-kira setengahnya akan membutuhkan operasi sebelum
mereka meninggal dan diperkirakan terdapat peningkatan risiko kematian hingga tiga kali
lipat dibanding pasien berusia muda. Di Amerika Serikat sekitar 50% dari populasi yang
berusia di atas 65 tahun membutuhkan pembedahan. Dari data USA- Bureau of the Census,
bahkan lndonesia akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar di dunia, antara tahun
1990- 2025, yaitu 414 % (Kinsella & Tauber, 1993)'
Perubahan pada berbagai sistem organ tubuh berkaitan dengan bertambahnya usia
memerlukan perbedaan perlakuan terhadap pasien geriatrik, termasuk dalam melakukan
tindakan anestesia. Morbiditas dan mortalitas perianestesia pada pasien geriatrik meningkat.
Hal ini berkaitan dengan proses penuaan yang menimbulkan perubahan sistem organ yang
mengakibatkan meningkatnya risiko anestesia. Klasifikasi ASA pun meningkat seiring
dengan meningkatkanya usia.

PERUBAHAN FISIOLOGI PADA PASIEN GERIATRI


Sistem Saraf
Dalam proses penuaan, terjadi penurunan ukuran otak. Hal ini diakibatkan kehilangan
terus menerus substansi neuron fraksi kelabu (grey matter) otak, terutama yang mensintesais
neurotransmiter. Neuron yang paling banyak berkurang adalah di korteks serebri, terutama
lobus frontal. Cerebral blood flow menurun sekitar 10 - 20% sesuai dengan berkurangnya sel
saraf. Perubahan jumlah aktivitas neurotransmiter yang terjadi mengakibatkan perubahan
sensitivitas pada obat-obat anestesia. Pasien yang sudah tua memerlukan waktu yang lebih
lama untuk pemulihan sistem saraf pusat dari efek tindakan anestesia umum, terutama pada
mereka yang mengalami kebingungan dan disorientasi pada masa praoperatif. lni merupakan
hal penting pada pasien geriatrik yang akan menjalani tindakan pembedahan rawat jalan.
Sistem Kardiovaskular
Perubahan fisiologi kardiovaskular merupakan faktor terpenting yang berpengaruh
terhadap penatalaksanaan anestesia pasien geriatri. Sangat penting untuk membedakan
perubahan fisiologi normal yang terjadi akibat proses penuaan dan patofisiologi terjadinya
penyakit yang sering terjadi pada pasien geriatrik. Sebagai contoh: aterosklerosis adalah
patologik dan tidak ditemukan pada penderita tua yang sehat. Sedangkan penurunan elastisitas
pembuluh darah (karena fibrosis pada tunika media) adalah keadaan normal akibat proses
penuaan.
Disfungsi diastolik mengakibatkan peningkatan yang relatif besar pada tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri. Dalam kondisi ini kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel
menjadi hal yang penting dibandingkan pada pasien yang masih muda. Atrium lebih mudah
membesar. pembesaran atrium merupakan predisposisi terjadinya fibrilasi atrial (AF) dan
atrial flutter. Akibatnya, pasien geriatrik meningkat risikonya untuk mengalami gagal jantung
kongestif (congestive heaft failure, CHF).
Pada pasien geriatrik curah jantung akan berkurang. Obat intravena akan terlambat
mencapai reseptor, hingga awitan obat pun terlambat. Curah jantung yang berkurang dan
masa sirkulasi memanjang justru membuat efek induksi anestetika inhalasi terjadi lebih cepat.
Jika curah jantung berkurang pengambilan obat anestetik di alveoli akan berkurang hingga
tekanan di alveoli akan cepat meningkat.

Kemajuan ilmu kedokteran gigi dan evolusi teknik anestesi umum meningkatkan
potensi pasien dengan disabilitas untuk mendapatkan perawatan kesehatan gigi yang baik.
Anestesi umum merupakan alat bantu yang berguna untuk mengontrol pasien dengan
disabilitas yang tidak dapat dirawat dengan menggunakan teknik pendekatan psikologis,
sedasi atau dengan tindakan lainnya dan juga menyediakan lingkungan yang lebih aman untuk
pasien yang tidak kooperatif.1
Banyaknya teknik manajemen tingkah laku memungkinkan dokter gigi untuk
menangani berbagai tipe tingkah laku anak, termasuk anak berkebutuhan khusus. Namun,
teknik mana yang terbaik yang dapat digunakan dapat bervariasi tergantung dari kondisi
pasien dan pengalaman operator. Teknik manajemen tingkah laku yang dipilih hendaknya
merupakan teknik yang paling efektif dan optimal, dengan mempertimbangkan manfaat dari
risiko yang mungkin ditimbulkan dari masing-masing teknik.2
Dari 50 juta pasien berkebutuhan khusus di Amerika Serikat, 10 juta pasien
memerlukan bantuan dalam aktivitas sehari-hari, sehingga fasilitas yang dibutuhkan oleh
pasien berkebutuhan khusus akan terus meningkat.3 Undang-undang di Amerika Serikat
mewajibkan setiap institusi menangani pasien berkebutuhan khusus untuk menyelenggarakan
perawatan kesehatan gigi secara reguler dan terdapat dokter gigi konsultan sebagai staf.2,3
Beberapa artikel telah diterbitkan mengenai penggunaan anestesi umum dalam ruang
praktik dokter gigi, baik itu untuk tindakan bedah maupun perawatan restorasi umum.
Beberapa dokter gigi yang terlatih dalam anestesiologi dan menggunakannya dalam tempat
praktik yang peralatannya sama dengan rumah sakit, telah terbukti bermanfaat bagi dokter
gigi dan pasien. Bagaimanapun, bagi sebagian besar dokter gigi, perawatan di rumah sakit
lebih memberikan keuntungan, khususnya terkait keamanan pasien.1,4
Pada saat proses penerimaan pasien di rumah sakit, pasien dan keluarganya
mendapatkan penjelasan yang cukup untuk membuat keputusan saat akan dilakukan anestesi.
Penjelasan mencakup tentang pelayanan yang dianjurkan, hasil pelayanan yang diharapkan dan
perkiraan biaya dari pelayanan tersebut. Penjelasan diberikan kepada pasien dan keluarganya atau
pembuat keputusan baik untuk pasien atas jaminan atau biaya pribadi. Apabila ada kendala
finansial untuk biaya pelayanan, rumah sakit mencari jalan keluar untuk mengatasinya,
penjelasan tersebut dapat dalam bentuk tertulis atau lisan dan dicatat di rekam medis pasien.4
Beberapa kerugian utama rawat inap di rumah sakit sudah di eliminasi pada rumah sakit
yang modern, seperti penempatan kamar bagi penjaga, dan persiapan psikologis pasien untuk
perawatan dalam rumah sakit yang dapat mengurangi trauma fisik. Banyak rumah sakit yang
menyediakan rawat jalan atau anestesi umum satu hari yang dapat mengurangi biaya perawatan
dan juga agar pasien tidak terpisah dari penjaganya. Oleh karena itu, tujuan dari makalah ini
adalah untuk membahas manajemen perioperatif anestesi pasien geriatrik dengan komorbid yang
menjalani pembedahan pada rongga mulut.2,4

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perawatan Gigi Untuk Pasien


American Academy of Pediatric Dentistry mendefinisikan perawatan kesehatan
kebutuhan khusus sebagai "setiap fisik, perkembangan, mental, sensorik, perilaku, kognitif,
emosional atau gangguan atau kondisi yang terbatas dan membutuhkan manajemen medis,
intervensi perawatan kesehatan, dan/atau penggunaan jasa atau program khusus. Kondisi ini
mungkin kongenital, gangguan perkembangan, atau diperoleh dari penyakit, trauma dan
lingkungan. Penyebab mental dan memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas perawatan
diri harian atau keterbatasan substansial dalam kegiatan besar dalam hidup. Perawatan kesehatan
bagi individu dengan kebutuhan khusus memerlukan pengetahuan khusus diakuisisi oleh
pelatihan tambahan, serta peningkatan kesadaran dan perhatian, adaptasi, dan langkah-langkah
akomodatif melampaui apa yang dianggap rutin.1
AAPD juga mengatur nilai-nilai kualitas hidup setiap individu dan kebutuhan dalam
menjamin tercapainya kesehatan yang maksimal, terbebas dari cacat perkembangan atau
kebutuhan perawatan kesehatan khusus lainnya. AAPD juga mengakui bahwa menyediakan
perawatan kesehatan mulut pencegahan dan terapi primer serta perawatan yang komprehensif
untuk individu dengan Special Health Care Needs (SHCN) merupakan bagian integral dari
spesilisasi kedokteran gigi anak. Pedoman ini dimaksudkan untuk mendidik penyedia layanan
kesehatan, orang tua dan organisasi pendukung mengenai perawatan kesehatan mulut kebutuhan
khusus untuk individu dengan SHCN daripada memberikan rekomendasi pengobatan khusus
untuk kondisi oral.2
Individu dengan SHCN mungkin memiliki risiko menderita penyakit mulut sepanjang
hidup. Hal ini dapat memiliki dampak langsung dan sangat buruk pada kesehatan dan kualitas
hidup yang memiliki masalah kesehatan tertentu atau kondisi sistemik. Pasien dengan penekanan
imunitas (misalnya, leukemia atau keganasan lainnya, HIV) atau kondisi jantung yang terkait
endokarditis mungkin sangat rentan terhadap efek dari penyakit rongga mulut. Pasien dengan
cacat perkembangan, atau fisik, mental yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami,
memikul tanggung jawab untuk, atau bekerja sama dengan pencegahan kesehatan mulut yang
rentan dengan baik.2,3
4
Kesehatan mulut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan umum. SHCN
juga termasuk gangguan atau kondisi yang manfestasinya hanya di kompleks orofacial
(misalnya, amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, bibir sumbing/ langit-langit,
kanker mulut). Sementara pasien ini mungkin tidak menunjukkan keterbatasan fisik atau cara
berkomunikasi dengan pasien SHCN lain, kebutuhan yang unik, mempengaruhi kesehatan
mereka secara keseluruhan, dan memerlukan perawatan kesehatan mulut yang bersifat khusus.2
Pasien berkebutuhan khusus dibagi menjadi 2 jenis pasien :3
1) Manageable Patient (Dapat Ditangani)
Pasien berkebutuhan khusus yang tinggal di rumah dan dapat ditangani dapat mendapat
perawatan gigi di sarana perawatan gigi seperti pasien lain. Pasien bekebutuhan khusus
yang buta atau tuli ditangani seperti pasien pada umumnya, dengan pengecualian cara
berkomunikasi.4
2) Unmanageable Patient (Tidak dapat ditangani)
Pasien berkebutuhan khusus yang tinggal di rumah dapat ditangani dan mendapat
perawatan dari orang tua atau pengasuh yang telah mendapat pengetahuan tentang
tindakan preventif kesehatan gigi. Dokter gigi dapat dipanggil untuk mengobati atau
pasien dapat dibawa ke rumah sakit 1-2 kali tiap tahun untuk pemeriksaan dan perawatan
gigi.4

Berdasarkan tempat perawatan pasien berkebutuhan khusus, dibagi menjadi beberapa


jenis tempat yaitu :3
1. Unit Kecil (Rumah)
Terdiri dari keluarga yang merawat 3 - 4 anak berkebutuhan khusus di rumahnya sebagai
penghasilan tambahan. Orang tua angkat sangat memperhatikan kesehatan dental dan membawa
pasien ke klinik untuk mendapat konsultasi dan pemeriksaan gigi.4
Pada perawatan di rumah seperti ini, orang tua asuh sangat memperhatikan kesehatan gigi
dan mulut. Pada kasus anak berkebutuhan khusus orang tua asuh biasanya membawa mereka ke
dokter gigi seperti pada pasien biasa. Tujuan dari kunjungan ke klinik gigi ini adalah untuk
memonitor kebiasaan perawatan dirumah dan merupakan bentuk tanggunng jawab dari orang
yang sudah merawatnya, kunjungan ini jadi sangat berarti dan untuk kesehatan gigi dimasa yang
akan datang dapat tercapai.4
Ketika pasien dengan SHCN mencapai dewasa, kebutuhan perawatan kesehatan mulut

4
mereka dapat melampaui lingkup pelatihan pediatrik dokter gigi. Hal ini penting untuk mendidik
dan mempersiapkan pasien dan orang tua pada nilai transisi ke dokter gigi yang berpengetahuan
luas dalam kebutuhan kesehatan mulut orang dewasa. Sekaligus disepakati oleh pasien, orang
tua, dan dokter gigi anak, pasien harus dialihkan ke dokter gigi berpengetahuan dan nyaman
dengan mengelola kebutuhan perawatan kesehatan khusus pasien. Dalam kasus di mana hal ini
tidak mungkin atau diinginkan, dental home dapat tetap dengan dokter gigi anak dan sesuai
rujukan untuk perawatan gigi khusus harus direkomendasikan ketika dibutuhkan.2,4

2. Unit dengan 15-20 pasien


Di Amerika Serikat, terdapat kewajiban setiap institusi anak berkebutuhan khusus untuk
melakukan pemeriksaan gigi setiap tahun. Dokter gigi mengunjungi institusi dan mendapatkan
informasi dari petugas kesehatan di institusi tersebut. Kunjungan dental hygienist atau dental
therapist bertujuan untuk mendidik petugas di unit tersebut tentang tindakan preventif kesehatan
gigi. Pada saat kunjungan ke klinik gigi, pasien ditangani oleh petugas klinik yang sama dengan
petugas yang mengunjungi pasien pada unit. Penyuluhan kesehatan gigi dan konsultasi
perawatan gigi diajarkan pada pendamping pasien. Program diet khusus, pemberian fluoride
diberikan pada pasien yang sulit untuk ditangani.3

3. Unit besar tanpa staf dokter gigi


Pada rumah perawatan yang tidak memiliki staf dokter gigi, kunjungan dokter gigi dapat
dijadwalkan. Perencanaan program perawatan dapat disusun oleh dokter gigi bersama dengan
dental therapist/hygienist, petugas administrasi dan perawat di unit tersebut. Pasien yang
memerlukan perawatan lebih lanjut dapat dibawa ke klinik gigi.3
Pada pasien-pasien geriatrik, masalah kesehatan gigi yang umum dijumpai antara lain
adalah berkurangnya kemampuan mereka untuk menikmati makanan yang disebabkan oleh
karies permukaan akar gigi, atrisi gigi, penyakit periodontal dan resorpsi tulang alveolar yang
menyebabkan ketidakstabilan gigi tiruan. Seiring dengan penurunan fungsi organ tubuh seperti
pendengaran dan penglihatan mereka, maka dibutuhkan teknik khusus untuk menangani pasien
geriatrik. Pada pasien pasca serangan stroke dan arthritis terkadang membutuhkan modifikasi
pada bentuk gagang sikat gigi sehingga memudahkan mereka untuk dapat membersihkan
rongga mulut.4

5
4. Pasien yang dapat dilatih (trainable) pada institusi besar tanpa staf dokter gigi
Institusi ini biasanya merupakan institusi swasta yang merawat 50 -1000 pasien. Institusi
besar ini sudah mempunyai perawat dan ahli gizi yang bekerja full time dengan waktu kerja
selama 8 jam dalam sehari. Topik konsultasi meliputi:5
1. Riwayat perawatan gigi pasien
2. Kebutuhan untuk institusi sebagaimana ditafsirkan oleh administrator dan perawat
kesehatan
3. Keperluan riwayat kesehatan dan riwayat gigi setiap pasien
4. Keperluan informasi tentang kesejahteraan, bantuan medis, atau bantuan asuransi
5. Keperluan untuk nama dan alamat orang tua atau wali dari setiap pasien
6. Peran lembaga dalam perawatan kesehatan mulut
7. Peran dokter gigi dan kliniknya dalam perawatan kesehatan mulut
8. Perlu untuk melatih staf lembaga dalam teknik kebersihan mulut
9. Peranan diet dan sarana pengobatan
10. Langkah-langkah dalam pelatihan staf
Pada saat kunjungan pertama pasien ke klinik gigi pasien biasanya diantar oleh orang
yang beranggung jawab pada perawatan giginya setiap hari disuatu lembaga, dan bukan oleh
seorang relawan ataupun supirnya. Pasien harus segera didudukan di kursi gigi secepat mungkin
sejak kedatangannya ke klinik gigi, sehingga mengurangi rasa takutnya duduk diruang tunggu
gigi. Jika semua informasi pendahuluan telah diberitahukan sebelum kunjungan perjanjian, plak
score dan staining telah dinilai oleh orang yang membawanya. Dan perawat tersebut telah
membersihkan plak yang ada. Jika pasien dan perawatnya belum mengetahui cara pembersihan
plak dan stain ini, maka perawat gigi di klinik akan memperlihatkan cara pembersihan plak dan
stain dengan benar. Pasien kemudian diperiksa oleh dokter gigi, setelah diagnosa lengkap, maka
perawatan restoratif dapat dilakukan sesuai kebutuhan pasien.6
Pemanggilan kembali pasien di suatu intitusi dapat dilakukan satu sampai dua kali
pemanggilan. Perawat gigi atau terapist gigi beserta orang yang menjaga pasien ini dapat
melakukan pemanggilan sebelumnya pada saat perawatan gigi di rumah. Pemeriksaan ini berupa,
staining, plak skor, mengulang pemakaian fluor sejak kunjungan terakhir, dan melakukan test
adminstrasi yang mungkin diperlukan. Setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan kemudian

6
pasien dibawa ke klinik gigi kemudian, gigi mereka akan dibersihkan, aplikasi topikal fluor
diberikan dan pengambilan foto radiografi jika diperlukan, sisanya akan dilakukan pemeriksaan
oleh dokter gigi. Dokter gigi akan memberikan tambahan perawatan untuk perawatan gigi jika
diperlukan.6
Pemanggilan kembali pasien sangat efektif jika pasien dibawa ke klinik gigi oleh orang
yang bertanggung jawab dengan kesehatan gigi pasien. Orang ini akan membersihkan stain dan
gigi pasien dibawah arahan terapist atau perawat gigi. Kemudian dokter gigi akan memeriksa dan
membuat rekomendasi; jadwal perjanjian perawatan gigi jika diperlukan.6

5. Institusi besar tanpa Staff dokter gigi


a. Untrainable patients
Dirawat di institusi dengan/tanpa fasilitas perawatan gigi. Perawatan gigi
dilakukan bersama dengan dental assistant/hygienist. Penting untuk melakukan perawatan
preventif. Bila diperlukan perawatan di klinik gigi, dilakukan oleh petugas yang sama yang
mengunjungi ke institusi. Ketika ada pasien yang sulit untuk datang ke klinik gigi, penolong yang
sama dengan di institusi harus dihadirkan. Jika ada indikasi perawatan yang lebih ekstensif,
maka pasien ini disarankan untuk menjalani perawatan dengan anestesi umum di rumah sakit.2
b. Bedridden cooperative patients
Merupakan perawatan preventif, biasanya menggunakan peralatan portable dental.
Transportasi dengan ambulans bila memerlukan perawatan di klinik gigi.2

7
Gambar 2.1 Peralatan Portable Dental6

c. Bedridden uncooperative patients


Pasien pada umumnya dirawat di institusi yang lebih besar dengan fasilitas
perawatan gigi. Pasien memerlukan fiksasi tangan dan kaki pada tempat tidur bila dilakukan
pemeriksaan/perawatan gigi, contohnya dengan penggunaan papose board atau vacuum
cushioned. Penting untuk mempertahankan kebersihan gigi dan mulut dengan baik, dan mungkin
diperllukan restrain setiap dilakukan tindakan pembersihan gigi dan mulutnya. Pasien ini juga
memerlukan pengaturan diet yang baik. Dokter gigi juga perlu dilibatkan dalam mengatur pola
diet dengan dokter umum dan ahli gizi.5

Gambar 2.2 Penggunaan papose board pada pasien berdasarkan berbagai kelompok usia5

8
6. Institusi besar dengan staf dokter gigi
Institusi ini biasanya memiliki banyak perawat gigi dan dokter gigi baik full time atau
part time yang dapat melayani beberapa ribu pasien. Institusi besar seperti ini memerlukan
perencanaan program preventif serta kerjasama yang baik antara dokter gigi, dokter gigi, dan
staff institusi.5

2.2 Pendekatan Farmakologis Pasien Geriatri Pada Pembedahan Rongga Mulut

2.2.1 Sedasi Ringan


Teknik ini tepat digunakan jika ahli bedah juga melakukan anestesia lokal pada pasien.
Teknik ini memberikan waktu penyembuhan paling cepat sehingga tepat digunakan pada
kondisi rawat jalan. Meskipun demikian, perhatian yang besar harus diberikan pada jenis obat
yang digunakan pada pasien geriatri.

Pengawasan yang memadai serupa dengan pengawasan yang dilakukan pada pasien
dalam anestesia umum harus dilakukan. Midazolam sulit digunakan pada pasien geriatrik
karena dapat memicu kebingungan pada pasien sehingga menimbulkan kesulitan dalam
mengontrol pasien. Obat pilihan yang saat ini digunakan adalah propofol dan paling baik
diberikan melalui target controlled infusion (TCl). Sedasi biasanya diberikan dengan target
sekitar 1-2 uglmL, kemudian dilakukan titrasi untuk menimbulkan efek.

Di negara maju perhatian yang besar saat ini tertuju pada remifentanil yang dapat
9
meringankan nyeri tanpa menimbulkan kebingungan pada pasien. Beberapa hal yang wajib
untuk diperhatikan antara lain pengawasan ketat frekuensi nafas dan saturasi O, intraoperatif,
profilaksis nausea dan muntah pascabedah dan pemberian analgetika untuk mencegah nyeri
pascabedah pada saat induksi sedasi atau bahkan sebagai premedikasi.

2.2.2 Anastesi Regional


Blok perifer merupakan pilihan yang baik pada pasien geriatrik. Teknik ini memberikan
efek analgesia pascabedah dan waktu pulih yang sangat cepat. Walaupun berbagai konsensus
membolehkan penggunaan teknik ini pada pasien yang menggunakan aspirin namun penggunaan
blok perifer harus sangat berhati-hati pada pasien yang mendapatkan terapi anti-platelet. Teknik
ini diindikasikontrakan pada pasien yang menggunakan heparin atau anti- koagulan. Penggunaan
teknik blok perifer pada ekstremitas bawah kurang tepat digunakan pada pasien rawat jalan karena
akan mengganggu mobilitas pasien setidaknya selama 24 jam. Penggunaan teknik blok sentral
khususnya anestesia spinal pada pasien geriatri masih kontroversi. Anestesia spinal tidak
memberikan efek analgesia pascabedah dan seringkali menyebabkan gangguan berkemih pada
pasien pria sehingga dapat memperpanjang waktu pulih dan bahkan menyebabkan perawatan
pasien di rumah sakit.

2.2.3 Anastesi Umum

Pada prosedur bedah yang pendek, teknik anestesi umum menggunakan obat-obatan
hipnotik dan analgesik terbaru memberikan titrabilitas intraoperatif dan waktu pulih yang cepat. Obat
pilihan yang dapat digunakan antara lain propofol, desfluran atau sevofluran, alfentanil atau
remifentanil. Penggunaan laryngeal mask (LMA) dapat digunakan untuk kontrol jalan napas. Jika
pembedahan yang dilakukan tidak membutuhkan relaksasi otot, metode yang baik untuk menilai
anestesia yang diberikan sudah adekuat atau belum adalah dengan menggunakan pressure support
untuk memastikan ventilasi yang adekuat dan pengawasan frekuensi respirasi secara bersamaan.

10
kognitif, motorik, dan sensorik pasien dapat diatasi di bawah anestesi umum/ general anesthesia
(GA). Sehingga dapat menyelesaikan diagnosis dan melakukan perawatan gigi dengan lebih
sedikit kesulitan dan kualitas yang lebih tinggi. Selain itu, bukti terbaru menunjukkan bahwa
kepuasan orang tua dengan perawatan gigi di bawah GA telah terus meningkat selama beberapa
tahun terakhir dan sekarang diterima lebih baik daripada teknik manajemen perilaku aktif atau
pasif lainnya. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar yang terkontrol disertai dengan
hilangnya refleks protektif, termasuk kemampuan untuk mempertahankan jalan napas secara
mandiri dan merespon secara sengaja terhadap rangsangan fisik atau perintah verbal.7,8

2.2.4 Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum


Meskipun GA adalah prosedur yang aman, morbiditas atau komplikasi gigi pasca operasi
telah dijelaskan, nyeri gigi dan perdarahan menjadi komplikasi yang paling umum. Selain itu,
GA adalah prosedur mahal yang dilakukan oleh ahli anestesi terlatih di fasilitas rumah sakit, dan
memerlukan intervensi pra operasi yang memakan waktu baik untuk praktisi gigi dan perawat
utama CSHCN. Selanjutnya, kelompok pasien ini mungkin juga memerlukan intervensi ulang
atau perawatan lebih lanjut di bawah GA. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, perawatan gigi
dengan anestesi umum seringkali tampaknya menjadi satu-satunya pilihan bagi pasien yang tidak
mampu mengatasi perawatan gigi rutin dengan cara lain.4,5
Perawatan gigi di bawah GA pada pasien dengan kebutuhan khusus di rumah sakit
memiliki beberapa manfaat penting yang seringkali lebih besar daripada kerugiannya (Tabel
2.2).8

Tabel 2.1 Keuntungan dan kerugian utama dari perawatan gigi yang diberikan di bawah anestesi
umum di rumah sakit4
Keuntungan GA Kerugian GA
 Kontrol jalan napas yang aman  Biaya tinggi, kira-kira sepuluh
 Pemantauan konstan, termasuk kali lebih tinggi dari anestesi
EKG lokal
 Fasilitas perawatan kritis dan  Lebih 'berbahaya' daripada
pemulihan yang sesuai pilihan lain untuk pasien
 Staf yang terlatih dengan baik dengan komorbiditas medis,
risiko komplikasi kesehatan

11
 Memfasilitasi program perawatan umum yang serius lebih tinggi
gigi yang direncanakan dalam  Fasilitas khusus dan dukungan
kondisi yang relatif terkendali klinis termasuk supervise
selama pascaoperasi
satu sesi  Pasien dewasa dapat diminta
 Sangat cocok untuk pasien yang untuk tidak bekerja selama 24
tidak kooperatif dengan jam setelah GA, anak-anak
kebutuhan khusus yang tidak boleh bersekolah sehari
membutuhkan sedasi/anestesi setelahnya.
Umum  Pengalaman ini mungkin
 Seringkali, satu-satunya pilihan berpotensi traumatis bagi
yang tersedia untuk membuat gigi pasien yang sangat muda
pasien sehat dan mencegah
komplikasi odontogenik lebih
lanjut dan
konsekuensi kesehatan

2.2.5 Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Umum


Indikasi klinis untuk perawatan gigi di bawah GA dengan dokter gigi anak pada pasien
dengan kebutuhan khusus terbatas pada kondisi tertentu dan harus dipertimbangkan sebagai
metode pilihan terakhir setelah mempertimbangkan modalitas lain yang tersedia dari manajemen
pasien gigi (Tabel 2.3). Termasuk: kurangnya kerja sama karena usia atau disabilitas, kasus gigi
dimana teknik sedasi lainnya tidak berhasil, fobia gigi parah, termasuk pasien fobia jarum yang
tidak dapat menerima perawatan gigi rutin; alergi yang dikonfirmasi (jarang) atau
hipersensitivitas terhadap bahan dalam preparat anestesi lokal dimana penggunaan anestesi lokal
dikontraindikasikan.8

12
Tabel 2.2 Indikasi dan justifikasi klinis untuk perawatan gigi dengan anestesi umum (Panduan
Royal College of Surgeons UK, dimodifikasi)8

Kondisi yang mungkin memerlukan Kondisi yang tidak selalu


untuk GA memerlukan GA
 Kegagalan untuk mencapai  Karies, gigi asimtomatik tanpa
kontrol nyeri yang memadai tanda klinis atau radiologis
dengan metode alternatif seperti adanya infeksi
anestesi lokal atau  Pencabutan ortodontik dari
sedasi gigi premolar permanen
 Perawatan gigi penting yang yang sehat pada anak yang
diperlukan untuk menjamin sehat
kesehatan mulut dan  Preferensi pasien/pengasuh,
kesejahteraan anak sebagai kecuali jika teknik lain telah
bagian dari rencana perawatan dicoba
jangka panjang  Metode alternative pengendalian
 Pencabutan gigi sulung multiple nyeri belum sepenuhnya
dimana terdapat lebih dari satu dieksplorasi dan dikecualikan
episode nyeri yang signifikan atau
infeksi/sepsis.
 Pencabutan gigi geraham
permanen pertama yang memiliki
prognosis buruk pada periode gigi
campuran

Menurut pedoman saat ini, GA hanya boleh dilakukan di lingkungan rumah sakit dan
memerlukan ahli anestesi terlatih yang didukung oleh asisten khusus. Intercollegiate Advisory
Committee for Sedation in Dentistry (IACSD, UK) mengusulkan bahwa semua anak di bawah
usia 8 tahun yang tidak dapat kooperatif sedasi inhalasi/anestesi lokal harus ditangani di rumah
sakit dengan konsultan anestesi dan tim yang dipimpin oleh dokter gigi anak.6,8

13
Tabel 2.3 Pertimbangan utama untuk untuk perawatan gigi dengan anestesi (Panduan Royal
College of Surgeons UK, dimodifikasi)8

 Kerjasama dan sikap anak


• Kecemasan yang dirasakan anak
• Kompleksitas rencana perawatan
• Status medis anak: ASA I dan II, mayoritas ASA III
• Usia, biasanya di atas 2 tahun, berat badan
melebihi 10kg
• Tambahan dan peningkatan risiko
dibandingkan dengan teknik sedasi dan
analgesia non-GA
• Perawatan di rumah sakit
• Rasa lapar, perjalanan, waktu, biaya untuk
keluarga, dan layanan
• Luas karies: gigi tidak dapat diselamatkan,
kemungkinan menyebabkan nyeri/infeksi, berpotensi
mempengaruhi gigi permanen

2.2.6 Evaluasi dan Manajemen Perioperatif


Persiapan dan Penilaian Sebelum Anestesi Umum
Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan evaluasi pre-operatif pasien
geriatrik:

1. Pasien harus selalu dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit yang berhubungan
dengan penuaan. Penyakit-penyakit biasa pada pasien dengan usia lanjut mempunyai pengaruh yang
besar terhadap penanganan anestesi dan memerlukan perawatan khusus serta diagnosis. Penyakit
kardiovaskular dan diabetes umumnya sering ditemukan pada populasi ini. Komplikasi pulmoner
mempunyai insidens sebesar 5.5% dan merupakan penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada pasien
usia lanjut yang akan menjalai pembedahan non cardiac. 4

2. Harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ yang spesifik dan pasien secara
keseluruhan sebelum pembedahan. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, riwayat, pemeriksaan
fisik, dan determinasi kapasitas fungsional harus dilakukan untuk mengevaluasi fisiologis pasien.
14
Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan prosedur
pembedahan yang akan dilakukan, dan bukan hanya berdasarkan atas usia pasien saja. 4

Pada pasien geriatrik riwayat penyakit penyerta (hipertensi, penyakit jantung iskemik,
riwayat stroke, gangguan fungsi kognitif, diabetes melitus) dan terapi jangka panjang yang
diterima merupakan hal yang penting untuk diketahui. Anamnesis dan pemeriksaan fisis akan
memberikan informasi penting mengenai kondisi pasien prabedah. Pemeriksaan laboratorium
rutin tidak memberikan kontribusi yang penting sementara pemeriksaan laboratorium yang
berorientasi pada anamnesis dan pemeriksaan fisis akan memberikan informasi penting
mengenai keadaan pasien prabedah. Walaupun demikian, pemeriksaan konsentrasi hemoglobin
dan kreatinin penting dilakukan bahkan pada pasien yang terlihat sehat mengingat tingginya
angka kejadian anemia dan gagal ginjal.

Saat ini pemeriksaan radiografi toraks masih dipertanyakan kepentingannya terutama pada
prosedur-prosedur minor, sementara pemeriksaan elektrokardiografi harus tetap dilakukan
sebagai pemeriksaan dasar mengingat tingginya angka abnormalitas EKG pada populasi.

Penilaian prabedah seyogyanya dilakukan sedini mungkin oleh seorang anestesiologis agar
seluruh persiapan dan adaptasi terapijangka panjang yang sebelumnya sudah diterima pasien
dapat dilakukan. Penilaian prabedah ini dapat menjawab berbagai pertanyaan mengenai kondisi
pasien sehingga dapat menenangkan pasien dan menurunkan kebutuhan obat-obat premedikasi.

Evaluasi Preoperatif

Penilaian pra operasi memainkan bagian penting dalam mengurangi komplikasi pasca
operasi. Pemahanan tentang status fisik pasien akan memberikan panduan terhadap penilaian
jenis penyakit komorbid dan tingkat keparahannya, jenis monitoring yang diperlukan, optimasi
pra operasi dan prediksi akan timbulkanya komplikasi pasca operasi. Pemahanan riwayat
penyakit yang mendetail, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penilaian risiko
Tindakan pembedahan harus difokuskan selama evaluasi pra operasi.

1. Informed consent

15
Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus diberitahu tentang intervensi bedah dan
kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas putusan merupakan prasyarat untuk suatu
informed consent yang sesuai dengan hukum dan moral. Pasien usia lanjut mungkin tidak
sepenuhnya memahami intervensi yang direncanakan, sehingga kerabat terdekat harus terlibat
untuk memperoleh informed consent yang terperinci. Status mental dan kognitif pasien harus
dipertimbangkan dan didokumentasikan.6

2. Riwayat Penyakit dan Status Gizi


Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya harus dicatat karena pasien usia
lanjut biasanya sedang menjalani banyak terapi obat-obatan. Defisiensi nutrisi yang sering
dialami oleh pada usia lanjut harus dinilai secara akurat. Hitung darah lengkap yang
menunjukkan anemia, kadar albumin serum yang kurang dari 3.2 g/dl dan kolesterol kurang dari
160 mg/dl telah terbukti sebagai penanda risiko outcome pasca operasi yang merugikan. Indeks
massa tubuh yang kurang dari 20 kg/m 2 pada pasien usia lanjut mungkin mengarahkan
peningkatan morbiditas karena penyembuhan luka yang tertunda, sehingga suplemen gizi pra
operatif harus dipertimbangkan

3. Pemeriksaan Fisik

Mesikpun pasien usia lanjut memiliki Riwayat medis yang panjang, mereka biasanya
tidak memberikan rincian penyakit mereka, ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat
dihindari akibat usia tua. Pemeriksaan fisik harus mencakup informasi yang mendetail tentang
status hidrasi, gizi, tekanan darah, nadi dan kondisi sitemik.5

Penilaian status mental pra operasi sangat penting karena biasanya mencerminkan status
kognitif pasca operasi. Demensia pra operasi merupakan prediktor yang penting dari outcome
bedah yang buruk.

4. Pemeriksaan Penunjang Pra Operasi

Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang akan membantu menentukan
parameter kesehatan pasien, bahkan pada mereka yang sehat dan termasuk diantaranya:

 Hitung darah lengkap: Hb, jumlah limfosit


16
 Urem, kreatinin dan elektrolit akan memberikan informasi tentang fungsi ginjal karena akan
mengalami perbuhan secara bertahap dengan pertambahan usia. Bersihan kreatinin
merupakan indeks penting

 Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya insiden diabetes mellitus dan
aterosklerorsis

 Kadar albumin dan fungsi pembekuan darah

 Pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua pasien yang berusia di atas 60 tahun, terlepas
dari ada riwayat penyakit jantung atau tidak.

 Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis

 Pemeriksaan jantung

Pemeriksaan fisik dapat mendeteksi abnormalitas yang tidak dapat ditemukan


sebelumnya dari riwayat medis, dan dengan menggunakan riwayat medis pasien juga dapat
menjadi acuan untuk evaluasi pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tanda
vital (tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan, dan suhu tubuh) dan evaluasi airway,
jantung, paru-paru, dan sistem muskulo skeletal menggunakan standar teknik inspeksi,
auskultasi,

palpasi, dan perkusi.10


Selain itu, kondisi gigi geligi pasien harus juga dievaluasi, seperti banyaknya gigi yang
hilang, gigi yang karies atau radiks, gigi tiruan, atau sejenisnya. Pemeriksaan keadaan rongga
mulut di lakukan oleh dokter gigi dengan membuat catatan odontogram dan model studi yang
nantinya akan digunakan sebagai acuan selama tindakan dalam anestesi umum.11

17
5. Puasa Sebelum Anestesi
Panduan puasa sebelum tindakan anestesi dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Puasa sebelum anestesi

Manajemen perioperative
Tidak ada istilah “terlalu tua” untuk tindakan operasi. Pada umumnya hal yang harus dipikirkan adalah bahwa
komorbiditas meningkat dengan pertambahan usia lebih penting dari usia pasien itu sendiri. Penelitian Forrest
terhadap 17.201 pasien menunjukkan bahwa, risiko outcome yang berat menurun dari 3% menjadi 2% dari
umur 20-an ke umur 40-an, namun meningkat secara linear setelahnya dari (2% pada umur 40-an sampai 6%
pada umur 80-an). 10

Penyakit yang umumnya ditemukan pada usia lanjut memiliki dampak yang signifikan terhadap Tindakan
anestesi dan memerlukan perawatan khusus, sehingga penting untuk menentukan status fisik pasien dan
memperkirakan cadangan fisiologis dalam evaluasi preanestesi. Jika kondisi dapat dioptimalkan sebelum
operasi, maka operasi dapat dilakukan tanpa penundaan. Penundaan operasi yang lama dapat meningkatkan
morbiditas. Diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang paling sering dialami oleh
pasien geriatric. Komplikasi paru setelah salah satu penyebab utama morbiditas pasca bedah pada pasien usia
lanjut. Untuk pasien ini diperlukan optimasi paru-paru. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan laboratorium dan diagnostic sangat penting. Masalah yang harus selalu dipikirkan pada pasien
geriatric adalah kemungkinan terjadinya depresi, malnutrisi, imobilitas dan dehidrasi. Sehingga penting untuk
menentukan status kognitif seorang pasien usia lanjut. Defisit kognitif berkaitan dengan outcome yang buruk
dan morbiditas perioperative yang lebih tinggi. Namun masih kontroversial apakah anestesi umum dapat
mempercepat perkembangan demensia senilis. 6,10

Walaupun masih terdapat banyak pertanyaan, bukti-bukti iyang ada menunjukkan bahwa risko kardiovaskuler
dapat dicegah dengan mencari ada tidaknya B-blockade perioperative pada pasien dengan penyakit arteri
kornoer yang diketahui, terutama bila muncul beberapa minggu terakhir sebelum operasi. Pada pasien usia
18
lanjut yang menggunakan terapi b-blocker jangka panjang, tampaknya B-blocker long-acting akan lebih efektif
dibandingkan denggan B-blocker short-acting dalam mengurangi resiko infark mikorad perioperative. Protocol
yang mnyertakan pemberian B-blokcer pada pagi hari sebelum operasi dilakukan dan diteruskan selama operasi
berhubungan denggan peningkatkan insidens stroke dan semua penyebab mortalitas.

5.2.1 Manajemen Setelah Anestesi Umum


Manajemen pasca operasi pasien termasuk penilaian berkala dan pemantauan fungsi
pernafasan, fungsi kardiovaskular, fungsi neuromuskuler, status mental, suhu tubuh, nyeri, mual
dan muntah, penilaian cairan, pengeluaran urin dan buang air kecil, dan drainase dan
perdarahan.14,15
1. Fungsi Pernapasan.
Literatur menunjukkan penilaian dan pemantauan fungsi pernapasan selama pemulihan
dikaitkan dengan deteksi dini hipoksemia. Para konsultan dan anggota ASA menyetujui
penilaian dan pemantauan secara berkala patensi jalan napas, kecepatan pernapasan, dan

19
saturasi oksigen (SpO2) harus dilakukan selama emergence dan pemulihan.14,15
2. Fungsi Kardiovaskular
Konsultan dan anggota ASA menyetujui rutinitas pemeriksaan denyut nadi, tekanan
darah, dan pemantauan elektrokardiografi mendeteksi komplikasi kardiovaskular,
mengurangi hasil yang merugikan, dan harus dilakukan selama emergence dan
pemulihan.14
3. Fungsi Neuromuskular
Penilaian fungsi neuromuskuler utamanya meliputi pemeriksaan fisik dan, kadang-
kadang, mungkin termasuk pemantauan blokade neuromuskuler. Pemantauan blokade
neuromuskuler efektif dalam mendeteksi disfungsi neuromuskuler disfungsi. Para
konsultan dan anggota ASA menyetujui penilaian itu fungsi neuromuskuler
mengidentifikasi potensi komplikasi, mengurangi hasil yang merugikan, dan harus
dilakukan selam emergence dan pemulihan.15
4. Status Mental
Mengevaluasi dampak penilaian status mental dan perilaku untuk mengurangi
komplikasi pasca operasi. Para konsultan dan anggota ASA menyetujui penilaian status
mental mendeteksi komplikasi, mengurangi hasil yang merugikan. Beberapa sistem
penilaian tersedia untuk penilaian semacam itu.14,15
5. Suhu
Para konsultan dan anggota ASA menyetujui rutinitas penilaian suhu pasien mendeteksi
komplikasi, mengurangi hasil yang merugikan.14
6. Rasa sakit
Para konsultan dan anggota ASA menyetujui rutinitas itu penilaian dan pemantauan nyeri
mendeteksi komplikasi, mengurangi hasil yang merugikan.15
7. Mual dan muntah
Para konsultan ragu-ragu, tapi anggota ASA setuju bahwa penilaian rutin dan
pemantauan mual dan muntah mendeteksi komplikasi dan mengurangi hasil yang
merugikan. Obat untuk profilaksis mual dan muntah meliputi: (1) antihistamin, (2)
antiemetik 5-HT3, (3) obat penenang / neuroleptik, (4) metoclopramide, (5) skopolamin,
dan (6) deksametason.15
8. Cairan

20
Para konsultan dan anggota ASA menyetujui rutinitas penilaian perioperatif status hidrasi
pasien dan manajemen cairan mengurangi hasil yang merugikan dan meningkatkan
kenyamanan dan kepuasan pasien.14,15
9. Output Urine dan Buang Air Kecil
Penilaian output urin efektif dalam mengidentifikasi pasien dengan retensi urin.15
10. Drainase dan Perdarahan
Penilaian drainase dan perdarahan dikaitkan dengan komplikasi pasca operasi. Para
konsultan dan anggota ASA menyetujui penilaian dan pemantauan drainase dan
perdarahan mendeteksi komplikasi, mengurangi hasil yang merugikan.15

Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut, dimana nyeri pasca operasi dapat
menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol nyeri yang kurang optimal dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada usia lanjut karena komorbiditas terkait seperti penyakit jantung iskemik, penurun cadangan
ventilasi, perubahan metabolism.

Pertimbangkan pemberian analgetic sederhana seperti paracetamol, dan NSAID dengan hati hati. Titrasi morfin
IV menggunakan protocol usia lanjut (>70 tahun) yang sama dengan pasien yang lebih muda tampaknya aman.
Dua sampai tiga milligram morfin IV setiap 15 menit untuk skor analog visual lebih dari 30 dilaporkan dapat
memberikan control nyeri yang memadai. Opioid kerja singkat seperti fentanyl atau sufentanil dan strategi
manajemen nyeri intensif dengan bolus intermiten atau patient controlled analgesia (PCA) secara parenteral
atau dengan blok neuraxial dilaporkan paling bermanfaat untuk pasien usia lanjut beresiko tinggi atau pasien
usia lanjut dengan risiko rendah yang menjalani operasi berisiko tinggi dengan mengurangi respon stress
terhadap pembedahan dan ambulasi dini. 10,12

Komplikasi pasca operasi

Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari pertama sampai beberapa minggu setelah
operasi telah dicatat dengan baik dan biasanya mencakup beberapa kognitif seperti, perhatian, memori, dan
keepatan psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah embedahan sebagian besar akan membaik dalam
waktu 3 bulan. Pembedahan jantung berhubungan dnegan 36% insidens terjadinya penurunan kognitif dalam
waktu 6 minggu setelah operasi. Insidens disfungsi kognitif setelah pembedahan non-jantung pada pasien

21
dengan usia lebih dari 65 tahun adalah 26% pada minggu pertama dan 10% pada bulan ketiga. Risiko-risiko
terjadinya penurunan kognitif postoperatif adalah usia, tingkat pendidikan yang rendah, gangguan kognitif
preoperatif, depresi, dan prosedur pembedahan. Disfungsi kognitif jangka pendek setelah pembedahan dapat
disebabkan karena berbagai etiologi, termasuk milfsemboli (terutama pada pembedahan jantung), hipoperfusi,
respons inflamasi sisterik (bypass kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor- faktor genetik (alel E4),7
Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif postoperatif jangka panjang mash kontroversi dan
memerlukan penelitian yang intensif. Pada prosedur non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh yang paling
ringan terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang, walaupun efck ini mungkin akan meningkat
sejalan dengan bertambahnya usia. Penurunan Kognitif post-operatif setelah pembedahan non-cardiac akan
kembali normal pada kebanyakan kasus, tetapi bisa juga menetap pada kurang lebih 1% pasien. 2

22
BAB III

SIMPULAN

Anestesi pada geriatri atau pasien tua berbeda dengan anestesi pada dewasa muda pada
umumnya. Penurunan faal tubuh dan perubahan degeneratif yang mempengaruhi banyak sistem
organ membuat respon pasien tua terhadap agen-agen anestesi menjadi berbeda. Perubahan
fisiologis seperti
1. Sistem kardiovaskular
o Elastisitas pembuluh darah berkurang  Compliance arteri menurun &
menyebabkan tekanan darah sistolik meningkat. Tekanan darah diastolik tidak
mengalami perubahan bahkan bisa menurun
o CO menurun
o Tonus vagal meningkat

2. Sistem respirasi
Pada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru berkurang. Kontraktilitas
dinding dada menurun, meningkatnya ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi, sehingga
mengganggu mekanisme ventilasi, dengan akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru,
meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah hipoksemia. Proteksi
jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary berkurang, refleks laring dan faring juga
menurun sehingga berisiko terjadi infeksi dan kemungkinan aspirasi isi lambung lebih besar

3. Sistem metabolik dan endokrin


o Konsumsi oksigen basal dan maksimal menurun.
o Produksi panas menurun, kehilangan panas meningkat, dan pusat pengatur
temperatur hipotalamik mungkin kembali ke tingkat yang lebih rendah.
o Peningkatan resistensi insulin menyebabkan penurunan progresif terhadap
kemampuan menangani asupan glukosa.

4. Sistem renalis
o GFR dan creatinin clerance menurun 1% mulai umur 40 th
23
o BUN meningkat 0,2 mg/ tahun
o Serum kreatinin tidak berubah karena massa otot juga ikut berkurang
o Homeostasis terhadap cairan menurun

5. Sistem hepatobilier dan gastrointestinal


Berkurangnya massa hati berhubungan dengan penurunan aliran darah hepatik,
menyebabkan fungsi hepatik juga menurun sebanding dengan penurunan massa hati.
o Biotransformasi dan produksi albumin menurun.
o Kadar kolinesterase plasma berkurang.
o Ph lambung cenderung meningkat, sementara pengosongan lambung memanjang.

6. Sistem saraf pusat


Aliran darah serebral dan massa otak menurun sebanding dengan kehilangan jaringan
saraf.
o Autoregulasi aliran darah serebral tetap terjaga.
o Degenerasi sel saraf perifer menyebabkan kecepatan konduksi memanjang dan
atrofi otot skelet.
o Penuaan dihubungkan dengan peningkatan ambang rangsang hampir semua
rangsang sensoris misalnya, raba, sensasi suhu, proprioseptif, pendengaran dan
penglihatan.
7. Sistem muskuloskeletal
o Massa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopik, neuromuskuler junction
menebal.
o Sendi yang mengalami arthritis dapat mengganggu pemberian posisi (misalnya,
litotomi) atau anestesi regional (misalnya, blok subarakhnoid).

Usia lanjut bukan merupakan kontraindikasi untuk anestesi umum maupun regional.
Pasien usia lanjut sangat rentan dan sangat sensitif terhadap stres akibat trauma, operasi,
hospitalisasi, dan anestesi dengan mekanisme yang hanya sebagian dipahami.
Penyakit yang umumnya ditemukan pada usia lanjut memiliki dampak yang signifikan
terhadap tindakan anestesi dan memerlukan perawatan khusus, sehingga penting untuk

24
menentukan status fisik pasien dan memperkirakan cadangan fisiologis dalam evaluasi
preanestesi. Oleh karena itu, meminimalkan risiko perioperatif pada pasien geriatri memerlukan
suatu penilaian preoperatif yang bijaksana terhadap fungsi organ, manajemen intraoperatif yang
teliti untuk gangguan yang menyertai, dan kontrol nyeri pasca operasi yang optimal.
Dosis kebutuhan obat-obatan anestesi lokal (minimum anesthetic concentration) dan sum
(minimum alveolar concentration) berkurang pada usia lanjut. Administrasi suatu agen anestesi
epidural pada volume tertentu cenderung menghasilkan penyebaran cephalad yang lebih luas pada
pasien usia lanjut, tetapi dengan durasi analgesia dan blok motorik yang lebih singkat.
Terdapat sejumlah pasien usia lanjut yang mengalami berbagai tingkat keadaan
konfusional akut, delirium, atau disfungsi kognitif pasca operasi.
Penuaan menghasilkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Penyakit yang
berhubungan dengan perubahan dan variasi antar individu yang luas bahkan pada populasi yang
sama menyebabkan generalisasi yang tidak konsisten. Pasien usia lanjut menunjukkan Lebutuhan
dosis yang rendah rendah untuk propofol, etomidate, barbiturat, opioid, dan benzodiazepin.
Dalam beberapa aspek, anestesi regional dapat menunjukkan manfaat yang
mengutungkan bagi pasien usia lanjut. Teknik ini kurang menyebabkan tromboemboli, gangguan
kesadaran dan pernafasan pasca-bedah. Pada pasien dengan penyakit jantung berat yang
memerlukan kontrol tekanan darah ketat, anestesi umum mungkin lebih baik. Pada tcknik anestesi
umum, sangat penting untuk titrasi dosis obat dan lebih bijaksana untuk menggunakan obat-
obatan kerja pendek.

Anestesi umum dapat menjadi pilihan manajemen perilaku secara farmakologi yang
dapat digunakan untuk anak yang tidak kooperatif dengan tujuan memberikan perawatan gigi
yang aman, efisien, dan efektif, menghilangkan kecemasan, dan meminimalkan respon terhadap
rasa nyeri sehingga kualitas hidup anak dapat meningkat.
Perawatan gigi dan mulut pada anak yang tidak kooperatif dengan orang normal pada
dasarnya sama, hanya pendekatan dan teknik yang dilakukan operator lebih lama dan tergantung
dari manifestasi atau karekteristiknya. Pendekatan untuk membentuk tingkah laku anak dapat
dilakukan secara pendekatan psikologis dan jika diperlukan maka alat bantu untuk mendukung
perawatan gigi dapat digunakan. Di samping itu perlu dipertimbangkan aspek etis terhadap anak
dalam melakukan perawatan gigi, agar tujuan perawatan yang optimal dapat diperoleh.
Kerja sama Team dalam kamar operasi terdiri dari dokter gigi, satu atau dua asisten,
25
perawat, dan anestesiologis atau ahli anestesi. Keseluruhan team yang terlibat dalam perawatan
pasien bisa terdiri dari beberapa anggota profesional dan paraprofesional. Semuanya harus
mempunyai input dan konsultasi yang tepat agar secara efektif dapat memberikan perawatan gigi
pada geriatri sehingga memberikan hasil perawatan yang baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Nowak, A.J. 1976. Dentistry for the Handicapped Patient. Michigan: Mosby.

2. American Academy of Pediatric Dentistry. Guideline on management of dental patient


with special health care needs. Reference Manual. V35 (6). 2012.

3. S Noerdin. Masalah penanganan perawatan gigi pada penderita cacat. Jurnal Kedokteran
Gigi Universitas Indonesia. 1999; 6 (1):36-41.

4. Hartini Soemartono,Sri. Penanggulangan anak takut dalam perawatan gigi. J kedokteran


gigi Universitas Indonesia. 10 (1).2003:35-40.

5. Chadwik BL, Hosey MT. Child taming: how to manage child in dental practice. London:
Quintessence publishing; 2003. p.16-20.

6. Griffen and Schneiderman. Ethical issues in managing the noncompliant child. Journal of
pediatric dentistry. Vol 14 : p 178-183. 1992.

7. Miller LJ, Anzalone ME, Lane SJ, Cermak SA, Osten ET. Concept evolution in sensory
integration: A proposed nosology for diagnosis. Am J Occup Ther 2007;61:135-40.

8. Ahn, RR, Miller LJ, Milberger S, McIntosh DN. Prevalence of parent’s perceptions of
sensory processing disorders among kindergarten children. Am J OccupTher.
2007;58:287-293.

9. Understanding sensory processing issues. Diunduh dari: http://media.wiley.com/product_


data/excerpt/6X/04703912/047039126X.pdf. Diakses tanggal 19 Oktober 2015.

10. May-Benson TA. Introduction to sensory integration. Dalam: Wagenfeld A, Kaldenberg


J, penyunting. Foundations of pediatric practice for the occupational therapy assistant.
Thorofare: Slack incorporated; 2005. h. 113-43.

11. ASA. 2014. ASA Classification. https://asahq.org/resources/clinical-information/asa-


physical-status-classification-system.

12. Primasari A, Octiara E, Yanti N. Risk factor of secretory immunoglobulin A and salivary
lysozyme level in children aged under 3 years to severe early childhood caries. IOP Conf
Ser Earth Environ Sci. 2019;305:1–6.

13. AJ Nowak. Dentistry for the handicapped patient. 1977. 1st ed

14. Ettinger, R. L. and Pinkham, J. R. (1977), Dental care for the homebound—assessment
and hygiene. Australian Dental Journal, 22: 77–82. doi:10.1111/j.1834-7819.19

15. Saklad M et al. Grading of patients for surgical procedures. Anesthesiology; 2:281-284

27
28

Anda mungkin juga menyukai