Anda di halaman 1dari 4

TOR

PELATIHAN AMED

( ADVANCE MEDICAL EMERGENCY IN DENTISTRY )

I. PENDAHULUAN / LATAR BELAKANG


Gawat darurat berasal dari bahasa Latin yaitu “Mergere” yang diartikan sebagai
mencelupkan, terjun, membanjiri, menguasai atau mengubur.1 Menurut Miles dari Medical
Council New Zealand, kegawatdaruratan medis adalah keadaan tiba-tiba yang terjadi dan
membutuhkan perawatan segera untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah kecacatan atau
rasa sakit pada pasien. Kegawatdaruratan medis merupakan keadaan yang jarang terjadi di
praktek dokter gigi, tetapi bias saja terjadi pada setiap waktu atau pada saat yang tidak
terduga. Beberapa kasus kegawatdaruratan terjadi pada pasien dewasa, namun ternyata dapat
pula terjadi pada pasien anak-anak.
2-5 Penelitian yang dilakukan di Jepang oleh Committe for the Prevention of
Systematic Complications During Dental Treatment of The Japanese Dental Society pada
tahun 2005, menunjukkan bahwa 19-44% dokter gigi mendapatkan kasus kegawatdaruratan
setiap tahun. Sekitar 90% merupakan kasus ringan yaitu sinkope dan sekitar 8% merupakan
kasus yang cukup berat yaitu syok anafilaktik atau alergi obat. Penelitian yang dilakukan di
Kanada menunjukkan bahwa sekitar 50% kasus yang sering ditemukan oleh dokter gigi
adalah pingsan atau sinkope.6 Selain pingsan, kegawatdaruratan yang juga dapat terjadi
adalah syok, fraktur dentoalveolar, cardiac arrest, asma, tertelan benda asing, angina, kejang
serta epilepsi. Tindakan perawatan gigi lain yang juga sering menimbulkan kegawatdaruratan
adalah perdarahan dan rasa sakit akibat penyuntikan dan pencabutan gigi. Prosedur perawatan
gigi sering menyebabkan pasien mengalami stress psikis terutama pada individu yang belum
pernah ke dokter gigi atau pasien yang mempunyai pengalaman tidak menyenangkan dengan
perawatan gigi sebelumnya.
Sekitar 70,2% dokter gigi di Amerika pernah menangani peristiwa kegawatdaruratan
medis. Kurangnya pengetahuan dan pelatihan seorang dokter gigi terhadap kegawatdaruratan
di praktek mereka dapat menyebabkan risiko yang berbahaya dan terkadang dapat berlanjut
kearah hukum, karena keadaan kedaruratan yang terjadi di praktek dokter gigi merupakan
tanggung jawab seorang dokter gigi, maka seorang dokter gigi perlu untuk mengetahui
pengelolaan kasus kegawatdaruratan medis dan prinsip-prinsip dasar kegawatdaruratan. 8
Melakukan basic life support (BLS) merupakan tindakan paling penting dari dokter gigi
karena dapat menentukan prognosa perawatan yang akan diberikan untuk keadaan
kedaruratan medis. Tujuan BLS adalah mencegah sirkulasi yang tidak adekuat atau masalah
pada pernafasan (airway) dan juga membantu sirkulasi dan respirasi pasien melalui CPR
(cardiopulmonary resuscitation). Pelatihan BLS sudah diajarkan di tingkat sarjana kedokteran
gigi.
Pelatihan dalam menangani kedaruratan medis dianggap sebagai bagian dasar pada
kurikulum pendidikan kedokteran gigi, dengan mengajukan CPR sebagai pelatihan
pertolongan pertama. Walaupun kegawatdaruratan medis telah diajarkan di sebagian besar
pendidikan kedokteran gigi Eropa dan Amerika, hanya sedikit yang yakin bahwa mereka
dapat menangani kedaruratan medis dengan menggunakan BLS atau CPR.8,9 Pada saat
pendidikan, hanya 30% dari dokter gigi di Inggris dapat menangani kegawatdaruratan dengan
baik. Lebih dari setengah dokter gigi di New Zealand merasa tidak puas dalam pelatihan
kedaruratan medis yang mereka terima pada saat masih pendidikan.
Sejumlah studi telah menemukan bahwa sekitar setengah dokter gigi dari seluruh
dunia tidak mampu melakukan CPR dengan benar, sehingga pengelolaan kegawatdaruratan
medis lebih ditingkatkan lagi bagi mahasiswa kedokteran gigi untuk dapat menerima
pelatihan lebih awal. Menurut hasil penelitian Nasution pada tahun 2012 sebanyak 92,8%
tingkat pengetahuan mahasiswa tentang penatalaksanaan awal kegawatdaruratan tergolong
kedalam katagori baik. Menurut Felayati pada tahun 2011 sebanyak 56,3% pengetahuan
mahasiswa tentang bantuan hidup dasar tergolong kedalam tingkat pengetahuan yang sedang.
Menurut Calvalho dkk pada tahun 2008, pengetahuan mahasiswa kedokteran gigi tentang
kegawatdaruratan masih dianggap buruk sehingga masih perlu diberikan pembelajaran
mengenai kegawatdaruratan.
Berdasarkan penelitian Jonathan dan Thomson padatahun 2001, dari 314 dokter gigi
di New Zealand yang dikirimkan angket hanya 63,4% yang menjawab pertanyaan mereka
tentang kesiapan dokter gigi dalam menangani kasus kegawatdaruratan. Lebih dari setengah
dokter gigi mengatakan tidak puas dengan pelatihan yang mereka terima pada saat
pendidikan kedokterangigi dan 14,1% merasa tidak siap menangani pasien kedaruratanmedis
di praktek mereka. Namun dari tingkat respon dokter gigi, dikatakan seluruh dokter gigi akan
memberikan obat penenang atau sedasi untuk pasien mereka. Menurut hasil penelitian
Atherton dkk pada tahun 2000 berdasarkan pengalaman staff yang bekerja di rumah sakit gigi
dan mulut, dikatakan bahwa peristiwa kegawatdaruratan medis yang paling sering terjadi
adalah pingsan atau sinkope, yang dilaporkan sebanyak 296 kasus selama 12 bulan. Selain
itu, ada 2 survei yang dilakukan di Amerika, dilaporkan 15.407 kasus pasien yang mengalami
sinkope telah dialami oleh 4.309 dokter gigi selama 10 tahun. Rata-rata hampir 0,4 % kasus
pasien sinkope yang pernah dialami per dokter gigi selama 1 tahun.

II. TUJUAN
a. Dokter gigi memiliki pengetahuan terhadap keadaan pasien kegawatdaruratan
medis di bidang kedokteran gigi
b. Dokter gigi dapat menangani pasien kegawatdaruratan medis dibidang kedokteran
gigi

III. PESERTA
Drg. Amellia Ahmeed

IV. PELAKSANAAN
1. Hari : Jum’at - Minggu
2. Tanggal : 22 - 24 November 2019
3. Tempat : Nava Hotel Tawangmangu

V. KEGIATAN
Terlampir di brosur

VI. ANGGARAN BIAYA


Rp. 5.000.000,-

VII. RENCANA TINDAK LANJUT


Pelaporannya akan dilakukan secara tertulis maksimal 2 minggu setelah kegiatan ini
selesai yang tertuang dalam bentuk Plan Of Action (POA).

Anda mungkin juga menyukai