ABSTRAK
Pendahuluan
Tinjauan sistematis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang bukti terkini
seputar etiologi dan manajemen dalam penanganan dan pencegahan sinkop dalam praktik
kedokteran gigi. Selain kejadian, kompetensi praktisi, dan hubungan antara sinkop dengan
anestesi lokal akan dibahas.
Metode
Pencarian elektronik di database EMBASE, Web of Science, PubMed, Cochrane dan
pencarian manual dilakukan oleh dua pengulas independen untuk mengidentifikasi studi hingga
bulan November 2019. Kriteria kelayakan kemudian diterapkan dan data yang relevan diambil.
Kriteria inklusi mencakup semua jenis perawatan gigi dengan anestesi lokal atau sedasi sadar
yang dilakukan oleh berbagai petugas kesehatan mulut dalam praktik mereka. Risiko bias dari
studi yang disertakan dinilai menggunakan alat metodologis yang direkomendasikan oleh Zeng
et al. Tidak ditentukan batasan untuk mengeksklusikan artikel dari analisis kualitatif berdasarkan
risiko penilaian bias.
Hasil
Pencarian menghasilkan total 18 studi untuk analisis kualitatif. Dengan pengecualian satu
studi kohort prospektif, semua artikel dianggap memiliki risiko bias yang tinggi. Meta-analisis
menunjukkan bahwa dokter gigi menemukan rata-rata 1,2 kasus sinkop per tahun. Jenis kelamin
laki-laki (RR = 2,69 [1,03, 7,02]), ketakutan dental (RR = 3,55 [2,22, 5,70]), penolakan anestesi
lokal dalam situasi non-akut (OR = 12,9) dan penggunaan premedikasi (RR = 4,70 , [1,30,
16,90]) meningkatkan risiko sinkop. Penanganan dan pencegahan tidak dilaporkan karena
keduanya hanya dibahas dalam satu penelitian. Posisi pemulihan terlentang dengan kaki
terangkat dan pemberian oksigen (15L/menit) disebutkan sebagai pengobatan yang efektif.
Sistem Medical Risk-Related History (MRRH) telah diusulkan sebagai protokol pencegahan,
namun protokol ini tidak efektif dalam mengurangi angka kejadian (p = 0,27). Mayoritas dokter
gigi (79,2%) mampu mendiagnosis sinkop, namun sebagian besar (86%) tidak memiliki
keterampilan untuk perawatan yang tepat. Hanya 57,6% praktik kedokteran gigi yang dilengkapi
dengan tabung oksigen.
Kesimpulan
Sinkop adalah keadaan darurat yang paling umum dalam praktik kedokteran gigi.
Meskipun demikian, sebagian besar dokter gigi tampaknya tidak kompeten atau tidak siap untuk
menangani keadaan darurat ini. Faktor psikogenik tampaknya memiliki peran penting dalam
memicu sinkop. Menempatkan pasien dalam posisi berbaring telentang dengan kaki terangkat
dan kombinasi dengan pemberian oksigen tampaknya efektif untuk mendapatkan kembali
kesadaran. Meskipun berguna dalam banyak aspek, namun penilaian risiko dengan anamnesis
tidak terbukti menghasilkan episode yang lebih sedikit. Kekuatan dari kesimpulan-kesimpulan
ini rendah berdasarkan pedoman GRADE.
PENDAHULUAN
Dokter gigi menghadapi berbagai keadaan darurat medis dalam praktik mereka. Sinkop
sering kali tertutupi oleh sejumlah keadaan darurat yang lebih mencancam jiwa seperti serangan
epilepsi dan serangan jantung. Meskipun demikian, di Jerman hal ini menyumbang hingga 84%
dari keadaan darurat yang dilaporkan dalam kedokteran gigi.
Sinkop adalah gejala yang ditandai dengan hilangnya kesadaran dan tonus postural yang
sementara. Sebuah episode dapat terjadi dengan cepat dan pasien pulih dengan cepat (<2 menit).
Klasifikasi sinkop oleh European Society of Cardiology (ESC) didasarkan pada penyebab utama:
(1) sinkop refleks (misalnya vasovagal), (2) sinkop karena hipotensi ortostatik dan (3) cardiac
syncope. Walaupun penyebabnya umumnya jinak, namun jenis yang terakhir berpotensi
mengancam jiwa karena dapat menyebabkan kejadian kardiovaskular yang fatal.
Sinkop vasovagal (VVS), yang dikenal sebagai pingsan biasa, adalah sindrom yang
dimediasi saraf terkait dengan hipotensi dan bradikardia relatif karena hipoperfusi serebral
(>20%). Gejala klinis awal, yang juga disebut presinkop, meliputi wajah pucat, berkeringat, mual
dan panas. Fenomena ini biasanya terjadi ketika pasien diposisikan tegak untuk waktu yang lama
atau ketika berhadapan dengan stres emosional, rasa sakit atau lingkungan medis. Sinkop
vasovagal dapat terjadi pada setiap kelompok umur. Telah disebutkan adanya distribusi usia
bimodal dengan insiden puncak pada usia 20-29 tahun dan 70-79 tahun. Di Belgia, 34,3% dokter
gigi pernah mengalami episode vasovagal selama karir mereka.d Di sisi lain, dalam survei di
Kroasia, hingga 57,4% dokter gigi telah melaporkan komplikasi ini. Sering terjadinya kondisi ini
pada praktik kedokteran gigi sebagian dapat dijelaskan oleh faktor psikogenik, seperti ketakutan
dental, yang kemudian menginduksi stres emosional dan rasa sakit. Rasa takut terhadap dokter
gigi itu sendiri, serta lingkungan perawatan gigi mempengaruhi 10-15% dari populasi. Terutama
prosedur gigi termasuk penggunaan anestesi lokal dapat menjadi tantangan emosional dari sudut
pandang pasien.
Malamed mengusulkan intervensi dini dengan menempatkan pasien dalam posisi
terlentang dengan kaki ditinggikan 10° sambil mempertahankan jalan napas terbuka untuk
mengembalikan perfusi serebral. Di sisi lain, pedoman yang lebih baru tentang pertolongan
pertama oleh Dewan Resusitasi Eropa menyarankan menempatkan pasien dalam posisi berbaring
miring karena hal ini memfasilitasi pemeliharaan terbukanya jalan nafas dan mengurangi risiko
aspirasi. Namun, ketika korban gagal bernapas secara normal, dapat dicurigai adanya serangan
jantung dan Algoritma Basic Life Support/Automated External Defibrillator (BLS/AED) harus
dimulai. Namun demikian, pencegahan tetap penting karena beberapa pasien menderita episode
sinkop berulang. Dengan demikian, menilai risiko pasien berdasarkan riwayat medis mungkin
akan menarik.
Dokter gigi dan petugas perawatan kesehatan mulut lainnya memiliki peran penting
karena mereka bertanggung jawab untuk: (1) mencegah kejadian (kembali) terjadi, (2)
mendiagnosis dan membedakan antara insiden biasa atau parah, dan (3) bertindak dengan
adekuat untuk mendapatkan kembali kesadaran seseorang. Namun, dalam sebagian besar situasi
klinis, praktisi gigi tidak merasa percaya diri menangani keadaan darurat medis semacam itu.
Kepercayaan diri yang rendah dalam menangani keadaan darurat dikaitkan dengan pelatihan atau
pendidikan yang tidak memadai. Tidak adanya monitor tekanan darah, monitor
elektrokardiogram (EKG) atau spesialis di tempat praktik kedokteran gigi merupakan tantangan
tambahan bagi praktisi.
Hingga saat ini, literatur yang memberikan gambaran tentang topik sinkop dalam
kedokteran gigi sebagian besar adalah ulasan naratif yang diterbitkan pada tahun 1990-an atau
bahkan lebih awal. Selain itu, penanganan sinkop telah berulang kali dibahas bersama dengan
banyak keadaan darurat lainnya yang dihadapi dalam praktik kedokteran gigi. Oleh karena itu,
tinjauan ini difokuskan hanya pada sinkop sebagai keadaan darurat medis yang sering terjadi
dalam kedokteran gigi.
Tiga pertanyaan klinis telah dirumuskan dengan menggunakan kerangka PICO, yaitu
sebagai berikut:
1. Apakah faktor psikogenik dibandingkan dengan faktor non psikogenik menghasilkan
risiko sinkop yang lebih tinggi selama kunjungan ke dokter gigi?
2. Pada pasien yang menderita sinkop selama kunjungan ke dokter gigi, apakah
menempatkan pasien dalam posisi berbaring miring dibandingkan dengan posisi
terlentang lebih efektif untuk memulihkan kesadaran pasien?
3. Akankah penilaian risiko berdasarkan riwayat medis menghasilkan lebih sedikit
episode sinkop selama kunjungan ke dokter gigi?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran sistematis dari bukti saat
ini (01/1990-11/2019) seputar etiologi dan manajemen sinkop dalam praktik kedokteran gigi
dengan menjawab pertanyaan penelitian terfokus yang disebutkan di atas melalui pencarian
literatur elektronik dan manual. Selain kejadian sinkop, pengetahuan/kompetensi praktisi, dan
hubungan antara sinkop dengan anestesi lokal juga dianalisis. Hasil kemudian dilaporkan
menggunakan kerangka PRISMA.
Kriteria Kelayakan
Kriteria inklusi
• Pasien yang mengunjungi praktik dokter gigi swasta atau komunitas
• Pasien yang menjalani perawatan gigi/mulut atau pembedahan dengan anestesi lokal,
sedasi inhalasi, atau sedasi oral
• Perawatan oleh dokter gigi, ahli kesehatan gigi, ahli bedah mulut atau petugas kesehatan
mulut lainnya
• Studi klinis prospektif (RCT, CCT), studi cross sectional, studi kohort prospektif dan
retrospektif dan serial kasus
• Artikel dalam bahasa Inggris
• Studi yang melaporkan sinkop atau pra-sinkop
• Studi yang melaporkan pengetahuan dokter gigi tentang penanganan dan diagnosis
sinkop
Kriteria pengecualian
• Pasien yang menjalani perawatan gigi/mulut atau pembedahan di rumah sakit umum atau
universitas
• Pasien yang datang ke unit gawat darurat
• Perawatan gigi dengan anestesi umum, sedasi tidak sadar atau sedasi intravena
• Literatur sekunder
• Surat untuk editor
• Laporan kasus
• Literatur yang diterbitkan sebelum tahun 1990
Ekstraksi Data
Salah satu peninjau (IH) mengekstrak semua data yang relevan dari artikel yang
disertakan. Peninjau kedua (LS) dikonsultasikan Ketika muncul ambiguitas. Ketidakpastian yang
tersisa diselesaikan oleh ahli eksternal (LAM). Penulis yang sesuai dihubungi untuk
mendapatkan data yang hilang atau tidak lengkap.
Analisis Statistik
Penyatuan statistik dilakukan menggunakan RevMan 5.3® (Cochrane Collaboration,
Oxford, UK). Rasio risiko keseluruhan (RR), rasio peluang (OR) dan interval kepercayaan 95%
(CI) dihitung dengan menggunakan model efek acak (estimator DerSimo nian & Laird).
Heterogenitas studi dinilai dengan uji indeks inkonsistensi (I²).30 Pedoman GRADE diterapkan
untuk menilai heterogenitas: <40% didefinisikan sebagai rendah, 30-60% sebagai sedang, 50-
90% sebagai substansial dan 75% -100% sebagai heterogenitas yang cukup besar. Keseluruhan
RR dan OR diilustrasikan dalam plot hutan. Signifikansi statistik adalah dua sisi dan ditetapkan
pada 0,05.
(n=881)
(n=95) (n=77)
Penelitian yang masuk dalam analisis
(n=18)
Hasil Utama
Kejadian
Tabel 3 menggambarkan semua hasil yang relevan mengenai terjadinya sinkop dalam
studi yang disertakan. Hampir setengah (45,3%) dari praktisi melaporkan kejadian sinkop selama
perawatan mereka. Sepertiga (32,6%) dari semua keadaan darurat yang dilaporkan mengalami
sinkop. Prevalensi sinkop dalam studi yang disertakan berkisar antara 0,1% hingga 37,5%.
Sebanyak 1.327 pasien mengalami sinkop dalam satu tahun, menghasilkan tingkat kejadian
sebesar 0,07%. Dokter gigi menemukan 1,2 kasus sinkop per tahun.
Etiologi
Tabel 4 merangkum semua hasil mengenai etiologi sinkop dalam studi yang disertakan.
Studi yang dilakukan oleh Vika et al. adalah satu-satunya studi yang memberikan informasi
tentang hubungan antara jenis kelamin dan (pra)sinkop. Risiko sinkop pada remaja laki-laki
setelah penyuntikan gigi ditemukan 2,69 kali lebih tinggi daripada risiko remaja perempuan.
Sebaliknya, penulis menggambarkan risiko yang lebih tinggi secara signifikan sebesar 77%
untuk prasinkop setelah pengobatan pada pasien wanita. Tak satu pun dari studi yang disertakan
melaporkan usia sebagai faktor risiko.
Tiga studi menyelidiki faktor psikogenik sebagai risiko potensial untuk sinkop.
Heterogenitas di seluruh studi adalah substansial, mengingat I² 76% (p = 0,02). Rasio risiko
keseluruhan untuk sinkop sebagai akibat dari ketakutan atau kecemasan dental di seluruh
penelitian adalah 3,55 [2.22, 5,70] dan rasio peluang keseluruhan adalah 4,01 [2,38, 6,77]
(Gambar 2). Ketakutan atau kecemasan dental yang dikombinasi dengan ketakutan akan cidera
berdarah meningkatkan risiko sinkop lima kali lipat, jika dibandingkan dengan kecemasan dental
atau ketakutan cidera berdarah saja. (RR = 4,99, [1,87, 13,30], p < 0,01) (OR = 5,58, [1,84,
16,95], p < 0,01).
Pengaruh faktor fisik seperti penyakit kardiovaskuler, alergi, penyakit metabolik dan
penyakit paru terhadap kejadian sinkop dijelaskan oleh Daubländer. Penurunan yang tidak
signifikan dalam kejadian sinkop ketika dibebani dengan penyakit dicatat. Para penulis juga
mempelajari efek dari premedication, seperti seperti NSAID, obat penenang dan antibiotik.
Mereka menyimpulkan bahwa pasien yang melakukan premedicated sendiri memiliki risiko
lebih tinggi menghadapi sinkop (RR = 4,70, [1,30, 16,90]) (OR = 4,76, [1.30, 17.48]).
Dua studi dieksplorasi jika ada hubungan Antara pasien dengan pola penghindaran
perawatan gigi dan pasien yang menderita sinkop di masa lalu. Satu studi tidak menemukan
hubungan antara kehadiran yang tidak teratur dan sinkop (ATAU = 1,0, p = 0,86). Di sisi lain,
survei lain menunjukkan hubungan yang kuat antara penolakan anestesi lokal dan latar belakang
sinkop pada pasien tanpa gejala nyeri (OR = 12,9). Ketika itu melibatkan menerima anestesi
lokal untuk masalah akut, asosiasi tion tidak signifikan secara statistik (OR = 3.2, [0.74-13.87]).
Tabel 2a 2b 2c gambar 1
Perlakuan
Dari 18 studi yang disertakan, Hardwick adalah satu-satunya untuk meninjau efek dari
protokol pengobatan ketika tering sinkop dalam praktek gigi. Pertama, diagnosis yang benar
nosis dibuat berdasarkan gejala yang diamati (pucat, dingin, lembap, tidak sadar). Setelah itu,
untuk mendapatkan kembali kesadaran, pasien diposisikan dalam posisi terlentang dengan
mengangkat kaki dan oksigen diberikan. Protokol ini memimpin untuk pemulihan lancar dari 3
dari 4 pasien. Satu pasien pingsan sekali lagi saat berbaring telentang diikuti oleh hiperventilasi.
Pencegahan
Satu studi kohort melaporkan strategi pencegahan. Dalam kelompok referensi,
menggunakan sistem MRRH, 18 kasus sinkop telah terdaftar, menghitung 40% dari jumlah total
komplikasi. Para peserta kelompok kontrol, pada Di sisi lain, ditemukan 51 kasus sinkop, yang
31% dari total jumlah keadaan darurat. Perbedaan ini, tidak signifikan secara statistik ( p = 0,27).
Hasil Sekunder
Kompetensi Praktisi
Tabel 5 menggambarkan semua hasil yang relevan dari studi yang disertakan hal-hal
yang menyangkut kompetensi praktisi. Enam belas persen dokter gigi sendiri harus kompeten
dalam mendiagnosis pingsan. Sebaliknya, saat menghadirkan kasus fiktif, 79,2% dokter gigi
mampu mendiagnosis sinkop dengan benar. Tiga dari 6 penelitian mempertanyakan dokter gigi
tentang kemampuan yang dirasakan untuk mengelola sinkop dalam praktik mereka. Sekitar,
64,5% dari dokter gigi yang diinterogasi menemukan mereka mampu mengelola atau mengobati
sinkop. Di sisi lain Di sisi lain, skor praktik yang dapat diterima dicatat hanya 14% dari dokter
gigi umum.
Analisis subkelompok menunjukkan bahwa 79,7% perawatan kesehatan mulut pekerja
menemukan diri mereka kompeten pemberian oksigen. Dengan tidak adanya pernapasan normal
dan ketidaksadaran, hanya setengah (46,2%) dari dokter gigi yang menganggap diri mereka
sendiri mampu memulai CPR atau mengikuti algoritma BLS. Mengenai peralatan darurat, tabung
oksigen adalah tersedia di 57,6% dari praktik kedokteran gigi. Hanya 3,9% dari kantor
dilengkapi dengan AED. Yang mengkhawatirkan, satu survei mencatat bahwa 5% dokter gigi
Jerman tidak memilikinya peralatan darurat untuk memberikan pertolongan pertama.
Tabel 3 dan 4
Sinkop dan anestesi lokal
Dalam tiga kasus seri sinkop dianggap sebagai efek samping yang merugikan.tindakan anestesi
lokal. Tak satu pun dari penulis dijelaskan sinkop sebagai presentasi klinis dari reaksi alergi
terhadap anestesi lokal.
DISKUSI
Tujuan dari tinjauan sistematis ini pada topik sinkop adalah untuk mengidentifikasi faktor
risiko (1), menilai efektivitas berbaring posisi pemulihan (2) dan untuk mengevaluasi penilaian
risiko (3). Tinjauan ini didasarkan pada 18 studi yang melaporkan kejadian, etiologi, pengobatan
atau pencegahan sinkop.
Tinjauan ini meratifikasi sinkop menjadi yang paling umum muncul dalam praktik gigi
karena menyumbang 32,6% dari yang dilaporkan. Dokter gigi harus waspada saat melawan
sekitar 1,2 kasus sinkop per tahun. Jumlah sebenarnya insiden per dokter gigi per tahun mungkin
menjadi lebih rendah karena Smeets et al. mencatat insiden dari sisanya. Studi kohort ini adalah
satu-satunya belajar untuk membedakan antara sinkop dan presinkop. Selain itu, penelitian ini
dinilai berkualitas baik dibandingkan dengan Hardwick dan Arsati dkk.
Pasien laki-laki ditemukan memiliki peningkatan risiko pingsan. Namun, perempuan
lebih rentan terhadap prasinkop. Studi ini berfokus pada sampel pasien berusia 18 tahun,
sehingga membuat validasi eksternal dipertanyakan. literasi di luar profesi kedokteran gigi
menunjukkan bahwa wanita lebih mungkin untuk dipengaruhi oleh sinkop dan prasinkop. Tak
satu pun dari penulis yang disertakan melaporkan puncak kejadian pada usia tertentu. Faktor
psikogenik adalah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama untuk sinkop selama perawatan gigi
perlakuan. Ketika seorang pasien menunjukkan rasa takut pada dokter gigi dan lingkungan gigi,
risiko pingsan selama perawatan meningkat secara signifikan (3,55 [2.22, 5.70]). Saat takut
darah atau cedera risiko meningkat lebih jauh. Ini sejalan dengan literatur sebelumnya yang
mengusulkan faktor psikogenik sebagai faktor risiko sinkop. Wanita lebih rentan terhadap
ketakutan ( p < 0,0001) yang dapat menjelaskan peningkatan risiko untuk prasinkop. Rasio
risiko tertinggi untuk pingsan atau pusing dicatat dalam Van Houtem et al. Khususnya lebih
banyak perempuan peserta yang terdaftar dalam penelitian ini. Meskipun menyediakan ukuran
sampel terbesar, survei ini sangat bias karena kelengkapan pendataan dan penanganan tidak
jelas. Hubungan antara penolakan anestesi lokal dan pingsan menekankan pentingnya faktor
psikogenik dalam etiologi pingsan di praktek gigi. Selanjutnya, pasien yang pramedikasi berada
pada risiko yang lebih tinggi untuk sinkop. Medikasi yang terlibat terutama terdiri NSAID (60%)
dan obat penenang (20%). Menariknya, ahli bedah mulut dan periodontis secara rutin
meresepkan jenis obat tersebut sebelum prosedur bedah.
Tabel 5
Namun, tidak ada hubungan langsung antara perawatan bedah dan insiden pingsan yang
lebih tinggi ditemukan. Penggunaan obat penenang, di sisi lain, dikaitkan dengan ketakutan gigi
yang terbukti menjadi faktor risiko sinkop.
Bukti pengobatan sinkop di praktek gigi adalah langka. Tak satu pun dari penulis
menggambarkan pemulihan samping setiap posisi untuk mendapatkan kembali kesadaran pasien.
Hardwick menganjurkan posisi pemulihan terlentang dengan mengangkat kaki dan pemberian
oksigen. Dari klinis sudut pandang, posisi terlentang lebih nyaman selama perawatan gigi
sebagai kursi gigi memudahkan pasien berbaring bersandar ke punggung. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengevaluasi efek efek pemulihan berbaring miring dalam pengaturan gigi
karena membaik patensi jalan napas dan drainase pasif cairan.
Penilaian risiko dengan cara pengambilan riwayat medis (MRRH) terbukti menjadi
protokol pencegahan yang tidak efektif dalam hal ini tinjauan. Meskipun demikian, pencatatan
riwayat medis tetap penting penting karena menunjukkan faktor risiko untuk perawatan gigi.
Merekam episode sinkop sebelumnya sama pentingnya karena penelitian menunjukkan bahwa
kemungkinan sinkop lebih besar dari lima kali lebih tinggi ketika pasien pingsan sebelumnya
tahun. Riwayat medis yang terperinci juga membantu membedakan antara kejang epilepsi dan
sinkop karena keduanya dapat menyebabkan menimbulkan sentakan mioklonik. Manuver kontra
tekanan fisik (menyilangkan kaki, pegangan tangan atau ketegangan lengan) dapat digunakan
selama ing perawatan gigi sebagai metode pencegahan pada pasien yang diketahui dipicu oleh
lingkungan gigi. Teknik-teknik ini juga terbukti efektif ketika gejala tori terjadi.
Meskipun sinkop menjadi keadaan darurat yang paling umum, hanya sedikit karena 14%
dokter gigi umum mampu mengelola dengan benar ing sinkop ketika disajikan kasus
fiktif. Dokter gigi cenderung melebih-lebihkan keterampilan mengelola mereka untuk
sinkop. Ulasan ini menunjukkan bahwa dokter gigi mungkin tidak siap untuk keadaan darurat
seperti itu. Hanya setengah dari praktik kedokteran gigi yang dilengkapi dengan tabung oksigen
dan 1/5 dokter gigi tidak menemukan diri mereka sendiri kompeten untuk memberikan
oksigen. Meskipun demikian, hasil sinkop umumnya menguntungkan, setengah dari dokter gigi
tidak menganggap diri mereka mampu melakukan melakukan CPR bila diperlukan.
Yang mengkhawatirkan, hanya sejumlah kecil (3,9%) praktik dilengkapi dengan AED. Simulasi
dapat meningkatkan kemampuan pekerja perawatan kesehatan mulut dalam mengelola sinkop
dan keadaan darurat lainnya.
Keterbatasan
Saat menafsirkan hasil tinjauan sistematis ini, batasan berikut perlu
diperhitungkan. Pertama,menurut definisi yang dirumuskan oleh ESC, sinkop adalah kehilangan
kesadaran sementara dan tonus postural. Prasinkop mendahului sinkop. Di sebagian besar studi
yang disertakan yaitu, tidak jelas apakah prasinkop itu diklasifikasikan secara salah di bawah
sinkop. Selengkapnya penelitian yang heterogen mengenai terminology yang digunakan untuk
menunjukkan presinkop (hipoksia serebral, perasaan pingsan, reaksi vasovagal) atau sinkop
(pingsan, kehilangan kesadaran). Dengan demikian, membuatnya sulit untuk menafsirkan
kejadian dan tingkat prevalensi.
Kedua, ulasan ini terdiri dari studi di mana dokter gigi mendiagnosis pasien berdasarkan
gejala klinis atau pasien melaporkan diagnosis diri mereka. Dengan pengecualian dari satu studi
kohort, diagnosis dan yang mendasarinya penyebabnya tidak diverifikasi oleh internis atau ahli
anestesi. Oleh karena itu, akurasi diagnostik dalam studi mungkin dipertanyakan. layak
pakai. Oleh karena itu kurangnya data tentang jantung dan ortostatik sinkop dalam bidang gigi.
Ketiga, batasan signifikan dari tinjauan ini adalah pengecualian studi yang dilakukan di
lingkungan rumah sakit dikarenakan sejumlah besar makalah tentang etiologi, pencegahan dan
manajemen tidak di gunakan.
Terakhir, semua cross-sectional dan seri kasus dipertimbangkan memiliki risiko bias
yang tinggi terutama karena pelaporan, analitis dan bias pengukuran. Akibatnya, kekuatan
kesimpulan yang dilaporkan rendah berdasarkan pedoman GRADE. Penelitian lebih lanjut
tentang topik sinkop, terutama pengobatan dan pencegahan, dalam praktek kedokteran gigi
sangat dibutuhkan.
Implikasi Klinis
Waspadai gejala prodromal (berkeringat, pusing, pucat) dan menyarankan
counterpressure fisik manuver seperti menyilangkan kaki dan ketegangan lengan
Saat terjadi sinkop: tempatkan pasien terlentang posisi dengan kaki terangkat (atau
berbaring miring) dan berikan oksigen (15l/menit)
Tabung oksigen dan masker atau tas Ambu harus tersedia di setiap praktik
Kursus simulasi disarankan untuk meningkatkan diagnosis dan keterampilan pengobatan
Riwayat medis dengan memperhatikan sebelumnya episode pingsan diperlukan
Jelajahi pengalaman dan ketakutan pasien di masa lalu dan berinvestasi dalam hubungan
saling percaya
KESIMPULAN
Sinkop adalah keadaan darurat yang paling umum dalam praktik kedokteran gigi dengan
1,2 kasus sinkop per dokter gigi per tahun. Namun, sebagian besar dokter gigi tampaknya tidak
cukup memahami untuk mengelola keadaan darurat ini. Mengatasi pertanyaan PICO, jawaban
berikut inilah yang ditemukan. Faktor psikogenik memainkan peran yang lebih besar dalam
munculnya sinkop daripada faktor non-psikogenik seperti demografi (usia, jenis kelamin) atau
faktor fisik (CVD, alergi). Untuk kembali mendapatkan kesadaran pasien, posisi berbaring
telentang dengan kaki terangkat dalam kombinasi dengan pemberian oksigen tampaknya
efektif. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai posisi berbaring miring dalam
pemulihan. Meskipun rekam riwayat medis tetap penting karena menunjukkan faktor risiko
untuk pengobatan dental dan memperingatkan untuk rekurensi, penilaian risiko dengan rekam
medis tidak terbukti menghasilkan lebih sedikit kejadian. Tingkat kesimpulan ini rendah
berdasarkan Pedoman GRADE karena semua studi kecuali satu sangat berat sebelah.