Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

OLEH:

NORIS

NIM: KM. 23.10.002

MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MEGA BUANA PALOPO


I. Latar Belakang

Setiap pekerjaan memiliki potensi bahaya yang dihadapi oleh pekerja.


Pekerja berhadapan dengan risiko yang dapat timbul oleh proses kerja,
lingkungan kerja serta perilaku kesehatan pekerja. Hal ini merupakan
tantangan keselamatan dan kesehatan kerja yang dihadapi para pekerja.

Praktisi kedokteran gigi merupakan salah satu profesi yang tidak luput
dari tantangan keselamatan dan kesehatan kerja ini. Para praktisi dalam
lingkup praktik kedokteran gigi ini setiap harinya menghadapi sejumlah
tantangan keselamatan dan kesehatan kerja. Para praktisi kedokteran gigi ini
rentan mendapatkan tekanan baik tekanan fisik maupun psikologis yang
terkadang diperberat dengan lingkungan kerja yang kurang mendukung.
Bahaya tersebut antara lain gangguan muskulo-skeletal, masalah psikologis,
dermatitis, gangguan pernapasan, pajanan terhadap agen penyebab infeksi
(termasuk Human Immunodeficiency Virus dan virus Hepatitis), radiasi,
kebisingan, dan percikan alat dan bahan kedokteran gigi pada mata.

II. Deskripsi Masalah

Penelitian yang dilakukan oleh Baig tahun 2016 terhadap 130 dokter gigi
yang terlibat dalam praktik klinis menunjukkan 122 (93,8%) memiliki risiko kerja
selama praktik. Cervical back pain diamati pada 81,96% dokter gigi diikuti oleh
nyeri sendi lutut/siku 53,27%, infeksi mata 44,61%, gangguan pendengaran
40,98%, stres psikologis 41,80%, dan alergi bahan 12,29%.3 Masalah
kesehatan akibat pekerjaan juga ditemukan pada dokter gigi di Kroasia yaitu
lebih dari 78,18% dokter gigi yang disurvei mengalami nyeri punggung bagian
atas, 76,97% menderita nyeri punggung bawah, 29,29% mengalami masalah
kulit, 46,87% gangguan penglihatan, 19,03% masalah pendengaran, dan
15,76% dokter gigi mengalami gangguan neurologik. Penelitian yang dilakukan
oleh Al Rawi et al tahun 2019 juga menunjukkan 20 praktisi gigi (22,2% dari
sampel penelitian) menderita gangguan pendengaran. Pada penelitian tersebut
juga dijelaskan adanya hubungan langsung antara jam kerja per minggu dan
kapasitas pendengaran, tetapi tidak bermakna secara statistik. Kapasitas
pendengaran terendah terlihat pada laki-laki dibandingkan perempuan. Semua
data penelitian ini menunjukkan bahwa praktisi dalam bidang kedokteran gigi
selama ini telah banyak mengalami masalah keselamatan dan kesehatan kerja.

III. Penyebab Masalah

Penyakit akibat kerja dapat disebabkan oleh potensi bahaya yang


mengancam kesehatan para praktisi kedokteran gigi. Potensi bahaya tersebut
dibagi menjadi lima kategori yaitu: fisik, kimia, biologi, ergonomik, dan
psikososial. Potensi kategori fisik seperti suhu ekstrem, bising, pencahayaan,
vibrasi, radiasi ionisasi dan nonionisasi, serta tekanan udara. Kategori kimia
yaitu semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan,
kabut, partikel nano, dan lainnya. Kategori biologi yaitu bakteri, virus, jamur,
bioaerosol, dan lainnya. Kategori ergonomi contohnya posisi kerja janggal,
posisi kerja statis, gerak repetitif, penerangan, visual display terminal (VDT),
dan lainnya. Kategori psikososial seperti beban kerja kualitatif dan kuantitatif,
organisasi kerja, kerja monoton, hubungan interpersonal, kerja shift, lokasi
kerja, dan lainnya.

IV. Dampak Masalah

Munculnya penyakit akibat kerja dalam bidang kedokteran gigi tidak


hanya berpengaruh terhadap pribadi praktisi kedokteran gigi secara fisik,
namun juga berpengaruh terhadap kualitas output yang dihasilkan layanan
kesehatan yang diberikan oleh praktisi kedokteran gigi. Masalah fisik dan
ergonomi yang dapat terjadi pada praktisi kedokteran gigi yaitu gangguan
muskuloskeletal seperti low back pain, atau cervical back pain. Selain
menimbulkan rasa yang tidak nyaman dalam bekerja, produktivitas praktisi
seperti lama kerja akan terpengaruh dengan gangguan ini. Kerusakan mata
yang timbul sehingga tidak dapat membedakan chrome, value, dan hue warna
tambalan dapat menyebabkan tidak estetiknya tambalan yang dilakukan oleh
praktisi kedokteran gigi yang melakukan tindakan restorasi estetik kedokteran
gigi.

Infeksi mikroorganisme merupakan bahaya biologi yang juga tidak lepas


dari potensi bahaya yang dihadapi praktisi kedokteran gigi. Pasien yang
memiliki riwayat penyakit menular, pasien yang tidak memberikan keterangan
kesehatan dengan jujur sewaktu anamnesa, pasien yang tidak pernah
melakukan pemeriksaan kesehatan penyakit menular, pasien yang tidak mau
melakukan pemeriksaan kesehatan penyakit menular dengan berbagai alasan
merupakan celah yang dapat menyebabkan infeksi dalam praktik kedokteran
gigi. Tentunya jika praktisi kedokteran gigi terinfeksi, maka tidak hanya
merugikan praktisi karena tidak dapat memberikan pelayanan kedokteran gigi,
namun juga berpengaruh pada ketersediaan layanan kedokteran gigi, aspek
mutu layanan kesehatan, aspek keselamatan dan kesehatan tempat kerja,
aspek pengobatan terhadap penyakit yang timbul sampai aspek finansial.

Dalam jurnal berjudul Stress, Burnout and Anxiety and Depression


Among Dentists (2004) disebut bahwa profesi kedokteran gigi adalah profesi
yang memiliki tingkat stres tertinggi dibanding profesi lainnya. Sebuah studi
pada lebih dari 3500 dokter gigi mencatat 38% dokter gigi mengalami
kekhawatiran (worried) dan kegelisahan (anxiety) yang merupakan bagian
gejala stres lanjutan. Kondisi paparan stres yang cukup tinggi berdampak
signifikan pada kehidupan profesional dokter gigi. Sebanyak 34% dari
responden mengatakan kondisi ini mempengaruhi dimensi fisik dan emosional.
Sakit kepala dan punggung adalah gejala fisik yang sering dialami. Gejala ini
sering menimpa dokter gigi muda yang punya jadwal praktek padat.

Dalam dimensi mental dan emosional, stres yang tak di manajemen bisa
memunculkan kelelahan profesi (professional burnout). Secara psikologis,
kelelahan (burnout) adalah erosi bertahap pada kepribadian. Artinya,
kepribadian seseorang menjadi mudah terpecah dan kehilangan keutuhan.
Kondisi ini bisa berdampak negatif pada komunikasi baik dengan pasien
ataupun rekan kerja (professional relationship). Di bidang kedokteran
gigi, professional burnout dipicu oleh beberapa faktor. Diantaranya; beban
waktu kerja, hubungan bermasalah antara pasien-dokter dan manajemen kerja
yang tidak terkontrol. Sebuah studi menunjukkan, dokter gigi umum dan bedah
mulut memiliki professional burnout yang paling tinggi. Kemudian, diikuti bidang
ortodontik yang professional burnout-nya terendah.

V. Upaya Pengendalian

Upaya pengendalian masalah keselamatan dan kesehatan kerja dalam


praktik kedokteran gigi telah banyak dipublikasikan. Penerapan Standar
Operating Prosedur (SOP) yang baik merupakan salah satu upaya
pengendalian masalah keselamatan dan kesehatan kerja dalam bidang
kedokteran gigi. Penerapan SOP tindakan kegiatan kedokteran gigi dapat
meminimalisir potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh kategori biologi dan
kimia. Penerapan standar yang dimulai sejak saat pasien menunggu seperti
memisahkan pasien yang memiliki penyakit yang dapat menular lewat udara,
penggunaan masker, penerapan etika batuk, tersedianya sarana cuci tangan
merupakan contoh penerapan standar tempat praktik yang baik. Penyediaan
alat pelindung diri (APD) merupakan mandatori atau hal wajib yang harus
dilakukan dalam praktik kedokteran gigi. Alat pelindung diri berupa gown,
masker, sarung tangan, pelindung wajah, pelindung kepala merupakan suatu
keharusan. Adanya alat sterilisasi yang baik juga merupakan suatu hal wajib
dalam praktik kedokteran gigi.

Dalam menangani masalah gangguan fisik berupa gangguan


muskuloskeletal, perlu adanya desain ergonomik dari semua yang terkait baik
berupa ruangan, alat maupun penggunaan bahan yang digunakan oleh praktisi
kedokteran gigi. Dental unit dan kelengkapannya, alat dan bahan kedokteran
gigi yang mudah digunakan, jumlah pasien yang dikerjakan dalam satu waktu,
hingga adanya sistem four handed dentistry merupakan pilihan-pilihan dalam
mengendalikan potensi bahaya gangguan fisik. Adanya jeda waktu istirahat
ketika menangani pasien, olahraga yang cukup, manajemen waktu pasien,
hingga pemberian libur harus direncanakan dengan baik untuk mengurangi
potensi bahaya gangguan fisik.

Dalam mengendalikan gangguan psikososial baik berupa stres dan


sebagainya, seperti saran banyak peneliti, manajemen gangguan psikososial
dapat dimulai dengan mengenal sumber-sumber gangguan psikososial. Oleh
karena itu, dokter gigi mesti mempunyai pengetahuan psikologis yang
mendukung. Dalam lingkup kerja profesional manajemen psikososial dapat
dilakukan dengan:

1. Menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan manajemen yang baik.


2. Membangun kepercayaan kuat antara teman sejawat lewat komunikasi
yang terbuka, efektif dan harmonis.
3. Berkonsultasi dengan tenaga profesional lain seperti psikolog dan
psikiater.

Negara seperti Amerika dan Kanada telah memfasilitasi para dokter gigi
dengan konseling dan pelatihan psikologi manajemen stres. Hal ini mungkin
dapat dilakukan sebagai upaya pengendalian masalah psikososial sebagai
potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja pada praktisi bidang
kedokteran gigi di Indonesia.

VI. Kesimpulan

Potensi bahaya yang dihadapi praktisi dalam bidang kedokteran gigi


secara umum yaitu kategori fisik berupa gangguan muskuloskeletal, kategor
kimia berupa bahan kimia yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi,
biologi berupa infeksi bakteri, virus maupun jamur, ergonomik, dan psikososial.

Anda mungkin juga menyukai