Anda di halaman 1dari 20

Kedokteran Okupasi atau Kedokteran

Kerja
Cabang kedokteran komunitas yang memberikan perhatian khusus kepada
komunitas pekerja adalah kedokteran okupasi (occupational medicine) atau
kedokteran kerja. Kedokteran okupasi melakukan intervensi kesehatan yang
ditujukan kepada para pekerja dan lingkungan kerjanya, yang bersifat pencegahan
primer (health promotion, specific protection), sekunder (early detection and prompt
treatment), dan tersier (disability limitation, rehabilitation, prevention of premature
death). Kedokteran okupasi atau kedokteran kerja juga dikenal dengan nama
hiperkes medis.

Kedokteran okupasi melakukan penilaian tentang berbagai risiko dan bahaya


(hazard) di tempat kerja bagi kesehatan pekerja, dan menerapkan upaya
pencegahan penyakit dan cedera, serta meningkatkan kesehatan populasi pekerja.
Dokter okupasi melakukan upaya menurunkan risiko, mencegah terjadinya penyakit
dan cedera akibat kerja, dengan menerapkan ventilasi setempat, penggunaan
peralatan protektif perorangan, perubahan cara bekerja, dan vaksinasi. Dokter
okupasi melakukan surveilans kesehatan melalui skrining/ pemeriksaan kesehatan
secara berkala (Agius dan Seaton, 2005).
Dokter okupasi juga melakukan pencegahan tersier, yakni melakukan upaya
pelayanan medis perorangan pasca penyakit untuk membatasi kecacatan, disfungsi
sisa, dan kematian, melakukan rehabilitasi, dan mencegah rekurensi penyakit, untuk
memulihkan dan meningkatkan derajat kesehatan masing-masing pekerja.
Dokter okupasi juga memberikan pelayanan medis langsung kepada pekerja yang
sakit. Dokter okupasi menaksir besarnya masalah dan memberikan pelayanan
kuratif untuk mengatasi masalah penyakit yang dialami pekerja. Dokter okupasi
melakukan penatalaksanaan medis terhadap gangguan-gangguan penyakit penting
yang berhubungan dengan pekerjaan, mencakup pernapasan, kulit, luka bakar,
kontak dengan agen fisik atau kimia, keracunan, dan sebagainya. Dokter okupasi
menganalisis absensi pekerja, dan menghubungkannya dengan faktor-faktor
penyebab (Agius dan Seaton, 2005).
Semua kegiatan kedokteran okupasi tersebut ditujukan untuk melindungi,
memelihara, dan meningkatkan derajat kesehatan pekerja. Derajat kesehatan yang
optimal memberikan kontribusi bagi kinerja perusahaan, seperti produktivitas, laba

(profitability), dan kelangsungan hidup (survival) (Segal, 1999). Peningkatan derajat


kesehatan pekerja akan meningkatkan produktivitas laba, dan kelangsungan hidup
perusahaan.
Kedokteran okupasi atau kedokteran kerja biasanya bekerja menangani diagnosis
penyakit akibat kerja dan terapi penyakit akibat kerja serta cacat yang dikibatkannya.
Bidang kedokteran ini sering disebut sebagai hospital based, sebab pada umumnya
penyakit akibat kerja akan berbentuk sama dengan penyakit lainnya yang ada di
rumah sakit. Ada pula klinik (diluar perusahaan) yang mengkhususkan pada
kedokteran okupasi dan ada pula rencana mewujudkan rumah sakit khusus pekerja
di Indonesia, selengkapnya klik disini dan disini.
Untuk mengetahui gambaran perbedaan tugas dokter okupasi dengan profesional di
bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) lainnya klik disini.
Sampai saat ini saya baru pernah mendengar satu program pendidikan kedokteran
okupasi atau kedokteran kerja di Indonesia yakni di Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FKUI). Di FKUI ada dua macam pendidikan yang berhubungan dengan
kedokteran okupasi atau kedokteran kerja yakni Magister Kedokteran Kerja (S2) dan
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Kedokteran Okupasi (spesialis).
Magister Kedokteran Kerja
Program Studi Magister Kedokteran Kerja FKUI didirikan pada tahun akademis
1978/1979. Gelar lulusan Program Studi Kedokteran Kerja adalah: Magister
Kedokteran Kerja (MKK). Di luar negeri, gelarnya MKK itu ekuivalen dengan Master
of Medicine in Occupational Medicine (M.Med.(OM), dulu MSc.(OM)). Lulusan
Program Studi Magister Kedokteran Kerja dapat melanjutkan ke Program
Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi dan begitu pula sebaliknya
(semacam double degree).
Lulusan program Magister Kedokteran Kerja adalah dokter yang mampu:
1. Mengantisipasi dan mengidentifikasipotensi masalah/masalah kesehatan
kerja dan komunitas pekerja dan industri.
2. Mengembangkan dan mengimplementasikan program pencegahan untuk
masalah kesehatan maupun keselamatan ditempat kerja, baik yang langsung
diakibatkan pekerjaan, berhubungan dengan pekerjaan maupun masalah
kesehatan umum.
3. Meningkatkan tingkat kesehatan pekerja melalui program promotif.
4. Memahami cara mendiagnosis dan mengelola penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan.
5. Mengidentifikasi potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kesehatan.
6. Mengelola program kesehatan dan keselamatan kerja di institusi pemerintah,
institusi kesehatan maupun di perusahaan/tempat kerja.

7. Melakukan penelitian epidemiologis.


8. Berkomunikasi secara efektif dalam berkerja sama dengan pihak manajeman,
pekerja dan teman sejawat dalam berupaya untuk mengembangkan tempat
kerja yang aman dan sehat.
9. Melaksanakan semua kegiatan dengan tetap berpegang teguh pada etika
kedokteran dan etika ilmiah.
Selengkapnya mengenai Program Studi Magister Kedokteran Kerja FKUI klik disini.
Dokter Spesialis Okupasi
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Kedokteran Okupasi FKUI adalah
salah satu PPDS yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FKUI), sejak tanggal 31 Mei 2006. Gelar lulusan setelah menyelesaikan
program ini adalah Spesialis Kedokteran Okupasi (SpOk). PPDS Kedokteran
Okupasi FKUI juga menerima peserta lanjutan dari Magister Kedokteran Kerja.
Wadah yang menampung spesialis dokter okupasi di Indonesia adalah PERDOKI
(Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia), klik disini.
Lulusan PPDS Kedokteran Okupasi memiliki kemampuan untuk:
1. Mengantisipasi dan menidentifikasi potensi masalah/masalah kesehatan kerja
dikomunitas pekerja dan industri.
2. Mengembangkan dan mengimplementasikan program pencegahan untuk
masalah kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, baik yang langsung di
akibatkan pekerjaan, berhubungan dengan pekerjaan maupun masalah
kesehatan umum.
3. Meningkatkan tingkat kesehatan pekerja melalui program promotif.
4. Mengdiagnosis dan mengelola penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan.
5. Melakukan penatalaksanaan kasus-kasus kecelakaan kerja dan keracunan
bahan-bahan kimia ditempat kerja.
6. Melakukan return to work evaluation dan rehabilitasi kembali kerja.
7. Mengelola program kesehatan kerja di institusi pemerintah, institusi
kesehatan maupun di perusahaan/tempat kerja.
8. Melakukan surveilans dan penelitian epidemiologi untuk memenuhi
kebutuhan perencanaan, pengelolaan dan penentuan kebijakan
penanggulangan penyakit akibat kerja.
Selengkapnya mengenai spesialis kedokteran okupasi klik disini, sendangkan
mengenai PPDS Kedokteran Okupasi FKUI klik disini.

Kedokteran Kesehatan Kerja


Di beberapa referensi terdapat istilah selain dokter okupasi untuk dokter yang
berhubungan dengan K3 yakni dokter kesehatan kerja (kesehatan kerja). Lalu apa
bedanya dokter okupasi (kedokteran kerja) dan dokter kesehatan kerja? Secara
kasar mungkin bisa disebutkan bahwa dokter kesehatan kerja bersama profesi K3
lainnya ikut dalam fokus promotif dan protektif yang artinya aktif bekerja dengan
pekerja dan berorientasi pada risiko dan manajemen risiko. Sedangkan dokter
okupasi fokus pada terapi dan rehabilitasi, serta surveilans medis dan biasanya
dalam bentuk out-sourcing. surveilans medis juga biasa dilakukan oleh dokter
kesehatan kerja, sehingga cakupan kodokteran kesehatan kerja terlihat lebih luas
walaupun surveilans medis tetap menjadi spesialisasi dokter okupasi.

K3 : Kesehatan dan Keselamatan Kerja


A.

Pengertian K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja)


Menurut Sumakmur (1988) kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu
kesehatan/ kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan, agar pekerja/
masyarakat pekerja beserta memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif,
terhadap penyakit-penyakit/ gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktorfaktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum.
Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan
upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani
tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan
budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian
secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha
mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses
produksi baik jasa maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah Indonesia
merdeka menimbulkan konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang
mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja.
Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi
dalam mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis
kecelakaannya. Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang
dilaksanakan tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok
mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.12
tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.

Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau
buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat
dan martabat serta nilai-nilai agama. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut,
maka dikeluarkanlah peraturan perundangan-undangan di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids
Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai menghadapi
kemajuan dan perkembangan yang ada.
Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di
darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di
dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-undang tersebut juga
mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan,
pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi
yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
Keselamatan kerja sama dengan Hygiene Perusahaan. Kesehatan kerja memiliki
sifat
sebagai berikut :
a.
b.
1.
2.

B.

Sasarannya adalah manusia


Bersifat medis.Sedangkan keselamatan kerja memiliki sifat sebagai berikut :
Sasarannya adalah lingkungan kerja
Bersifat teknik.
Pengistilahan Keselamatan dan Kesehatan kerja (atau sebaliknya) bermacam
macam; ada yang menyebutnya Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja
(Hyperkes) dan ada yang hanya disingkat K3, dan dalam istilah asing dikenal
Occupational Safety and Health.
Tujuan K3
Tujuan umum dari K3 adalah menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif.
Tujuan hyperkes dapat dirinci sebagai berikut (Rachman, 1990) :

a.

Agar tenaga kerja dan setiap orang berada di tempat kerja selalu dalam keadaan
sehat dan selamat.
b. Agar sumber-sumber produksi dapat berjalan secara lancar tanpa adanya
hambatan.
C.

Ruang Lingkup K3
Ruang lingkup hyperkes dapat dijelaskan sebagai berikut (Rachman, 1990) :

a.

Kesehatan dan keselamatan kerja diterapkan di semua tempat kerja yang di


dalamnya melibatkan aspek manusia sebagai tenaga kerja, bahaya akibat kerja dan
usaha yang dikerjakan.

b.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Aspek perlindungan dalam hyperkes meliputi :


Tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian
Peralatan dan bahan yang dipergunakan
Faktor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun sosial.
Proses produksi
Karakteristik dan sifat pekerjaan
Teknologi dan metodologi kerja

c.

Penerapan Hyperkes dilaksanakan secara holistik sejak perencanaan hingga


perolehan hasil dari kegiatan industri barang maupun jasa.
d.
Semua pihak yang terlibat dalam proses industri/ perusahaan ikut bertanggung
jawab atas keberhasilan usaha hyperkes.
D.

Konsep Perawat sebagai Tenaga Kesehatan


Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketermpilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan, baik berupa pendidikan gelar-D3, S1, S2 dan S3-;
pendidikan non gelar; sampai dengan pelatihan khusus kejuruan khusus seperti Juru
Imunisasi, Malaria, dsb., dan keahlian. Hal inilah yang membedakan jenis tenaga ini
dengan tenaga lainnya. Hanya mereka yang mempunyai pendidikan atau keahlian
khusus-lah yang boleh melakukan pekerjaan tertentu yang berhubungan dengan
jiwa dan fisik manusia, serta lingkungannya.
Dalam hal ini,perawat memegang peranan yang cukup besar dalam upaya
pelaksanaan dan peningkatan K3. Sedangkan dalam pelaksanaannya, perawat tidak
dapat bekerja secara individual. Perawat perlu untuk berkolaborasi dengan pihakpihak lintas profesi maupun lintas sektor.

E.

Peran perawat dalam meningkatkan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja)


Fungsi seorang perawat hiperkes sangat tergantung kepada kebijaksanaan
perusahaan dalam hal luasnya ruang lingkup usaha kesehatan, susunan dan jumlah
tenaga kesehatan yang dipekerjakan dalam perusahaan.
Perawat merupakan satu-satunya tenaga kesehatan yang full time di perusahaan,
maka fungsinya adalah :

1.
2.
3.
4.
5.

Membantu dokter perusahaan dalam menyusun rencana kerja hiperkes di


perusahaan
Melaksanakan program kerja yang telah digariskan, termasuk administrasi
kesehatan kerja.
Memelihara dan mempertinggi mutu pelayanan perawatan dan pengobatan
Memelihara alat-alat perawatan, obat-obatan dan fasilitas kesehatan perusahaan.
Membantu dokter dalam pemeriksaan kesehatan sesuai cara-cara yang telah
disetujui.

6.

Ikut membantu menentukan kasus-kasus penderita, serta berusaha


menindaklanjuti sesuai wewenang yang diberikan kepadanya.
7.
Ikut menilai keadaan kesehatan tenaga kerja dihubungkan dengan faktor
pekerjaan dan melaporkan kepada dokter perusahaan.
8.
Membantu usaha perbaikan kesehatan lingkungan dan perusahaan sesuai
kemampuan yang ada.
9.
Ikut mengambil peranan dalam usaha-usaha kemasyarakatan : UKS.
10. Membantu, merencanakan dan atau melaksanakan sendiri kunjungan rumah
sebagai salah satu dari segi kegiatannya.
11. Menyelenggarakan pendidikan hiperkes kepada tenaga kerja yang dilayani.
12. Turut ambil bagian dalam usaha keselamatan kerja.
13. Mengumpulkan data-data dan membuat laporan untuk statistic dan evaluasi.
14. Turut membantu dalam usaha penyelidikan kesehatan tenaga kerja
15. Memelihara hubungan yang harmonis dalam perusahaan
16. Memberikan penyuluhan dalam bidang kesehatan
17. Bila lebih dari satu paramedis hiperkes dalam satu perusahaan, maka pimpinan
paramedis hiperkes harus mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan semua
usaha perawatan hiperkes.
Menurut Jane A. Le R.N dalam bukunya The New Nurse in Industry, beberapa fungsi
specific dari perawat hiperkes adalah :
1.
Persetujuan dan kerjasama dari pimpinan perusahaan/ industry dalam membuat
program dan pengolahan pelayanan hiperkes yang mana bertujuan memberikan
pemeliharaan / perawatan kesehatan yang sebaik mungkin kepada tenaga kerja
2.
Memberikan/ menyediakan primary nursing care untuk penyakit -penyakit atau
korban kecelakaan baik akibat kerja maupun yang bukan akibat kerja bedasarkan
petunjuk- petunjuk kesehatan yang ada.
3.
Mengawasi pengangkutan si sakit korban kecelakaan ke rumah sakit , klinik atau
ke kantor dokter untuk mendapatkan perawatan / pengobatan lebih lanjut
4.
Melakukan referral kesehatan dan pencanaan kelanjutan perawatan dan follow up
dengan rumah sakit atau klinik spesialis yang ada
5.
Mengembangkan dan memelihara system record dan report kesehatan dan
keselamatan yang sesuai dengan prosedur yang ada di perusahaan
6.
Mengembangkan dan memperbarui policy dan prosedur servis perawatan
7.
Membantu program physical examination (pemeriksaan fisik) dapatkan data-data
keterangan-keterangan mengenai kesehatan dan pekerjaan. Lakukan referral yang
tepat dan berikan suatu rekomendasi mengenai hasil yang positif.
8.
Memberi nasehat pada tenaga kerja yang mendapat kesukaran dan jadilaj
perantara untuk membantu menyelesaikan persoalan baik emosional maupun
personal.
9.
Mengajar karyawan praktek kesehatan keselamatan kerja yang baik,dan
memberikan motivasi untuk memperbaiki praktek-praktek kesehatan.
10. Mengenai kebutuhan kesehatan yang diperlukan karyawan dengan obyektif dan
menetapkan program Health Promotion, Maintenance and Restoration
11. Kerjasama dengan tim hiperkes atau kesehatan kerja dalam mencari jalan
bagaimana untuk peningkatan pengawasan terhadap lingkungan kerja dan

pengawasan kesehatan yang terus menerus terhadap karyawan yang terpapar


dengan bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatannya.
12. Tetap waspada dan mengikuti standar-standar kesehatan dan keselamatan kerja
yang ada dalam menjalankan praktek-praktek perawatan dan pengobatan dalam
bidang hiperkes ini.
13. Secara periodic untuk meninjau kembali program-program perawatan dan aktifitas
perawatan lainnya demi untuk kelayakan dan memenuhi kebutuhan serta efisiensi.
14. Ikut serta dalam organisasi perawat (professional perawat) seperti ikatan paramedic
hiperkes, dan sebagainya.
15. Merupakan tanggung jawab pribadi yang tidak boleh dilupakan dan penting adalah
mengikuti kemajuan dan perkembangan professional (continues education)
F.

Fungsi dan Tugas Perawat dalam Usaha K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja)
Fungsi dan tugas perawat dalam usaha K3 di Industri adalah sebagai berikut
(Effendy, Nasrul, 1998) :
Fungsi

1.
2.
3.
4.
G.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1.

Mengkaji masalah kesehatan


Menyusun rencana asuhan keperawatan pekerja
Melaksanakan pelayanan kesehatan dan keperawatan terhadap pekerja
Penilaian
Tugas Pengawasan terhadap lingkungan pekerja
Memelihara fasilitas kesehatan perusahaan
Membantu dokter dalam pemeriksaan kesehatan pekerja
Membantu dalam penilaian keadaan kesehatan pekerja
Merencanakan dan melaksanakan kunjungan rumah dan perawatan di rumah
kepada pekerja dan keluarga pekerja yang mempunyai masalah
Ikut menyelenggarakan pendidikan K3 terhadap pekerja
Turut ambil bagian dalam usaha keselamatan kerja
Pendidikan kesehatan mengenai keluarga berencana terhadap pekerja dan
keluarga pekerja.
Membantu usaha penyelidikan kesehatan pekerja
Mengkordinasi dan mengawasi pelaksanaan K3
Kebijakan Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Era Global
1. Dalam bidang pengorganisasian
Di Indonesia K3 ditangani oleh 2 departemen; departemen Kesehatan dan
departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pada Depnakertrans ditangani oleh Dirjen (direktorat jendral) Pembinaan dan
Pengawasan Ketenagakerjaan, dimana ada 4 Direktur :

a.
b.
c.

Direktur Pengawasan Ketenagakerjaan


Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak
Direktur Pengawasan Keselamatan Kerja, yang terdiri dari Kasubdit:

1.
2.
3.

mekanik, pesawat uap dan bejana tekan.


Kasubdit konstruksi bangunan, instalasi listrik dan penangkal petir
Kasubdit Bina kelembagaan dan keahlian keselamatan ketenagakerjaan
d. Direktur Pengawasan Kesehatan Kerja, yang terdiri dari kasubdit:
1. Kasubdit Kesehatan tenaga kerja
2. Kasubdit Pengendalian Lingkungan Kerja
3. Kasubdit Bina kelembagaan dan keahlian kesehatan kerja.
Pada Departemen Kesehatan sendiri ditangani oleh Pusat Kesehatan Kerja Depkes.
Dalam upaya pokok Puskesmas terdapat Upaya Kesehatan Kerja (UKK) yang
kiprahnya lebih pada sasaran sektor Informal (Petani, Nelayan, Pengrajin, dll)

MAKALAH PENYAKIT AKIBAT KERJA


(PAK)
January 31, 2013 //
0
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Setiap pekerjaan di dunia ini hampir pasti tak ada yang tak berisiko. Ibarat pepatah bermain
air basah, bermain api hangus. Kecelakaan dan sakit akibat kerja sudah menjadi risiko setiap
orang yang melakukan pekerjaan, baik itu petani, nelayan, buruh pabrik, pekerja tambang,
maupun pegawai kantoran sekalipun.
Sepanjang tahun 2009, pemerintah mencatat telah terjadi sebanyak 54.398 kasus kecelakaan
kerja di Indonesia. Meski menunjukkan tren menurun, namun angka tersebut masih tergolong
tinggi. Kecelakaan kerja di sebuah pabrik gula di Jawa Tengah menyebabkan empat
pekerjanya tewas dan di Tuban Jawa Timur seorang meninggal dan dua orang lainnya terluka
akibat tersiram serbuk panas saat bekerja di salah satu pabrik semen adalah beberapa contoh
kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan kerugian bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Kerugian akibat kecelakaan kerja tidak hanya dirasakan oleh tenaga kerja itu sendiri, namun
juga bisa berdampak pada masyarakat sekitar. Oleh karena itu perlu adanya penerapan sebuah
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan Kerja (SMK3) di tempat kerja berbasis
paradigma sehat.
Hal itu menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat jumlah tenaga kerja di Indonesia pada
tahun 2009 sebesar 104,49 juta, bekerja di sektor formal sebesar 30,51 % sedangkan 69,49 %
bekerja di sektor informal, dengan distribusi sebesar 41,18% bekerja di bidang pertanian,
industri 12,07%; perdagangan sebesar 20,90%; transportasi, pergudangan dan komunikasi

sebesar 5,69%; konstruksi sebesar 4,42%, jasa dan keuangan 14,44%; serta pertambangan,
listrik dan gas 1,3% (Berita Resmi Statistik 2009). Dari data tahun 2007 diketahui kecelakaan
kerja terbanyak terjadi pada tenaga kerja konstruksi dan industri masing-masing 31,9 % dan
31,6 %.

1.2

Rumusan Masalah

Bagaimanakah terjadinya Penyakit Akibat Kerja ?

1.3

Tujuan

1.3..1

Tujuan Umum

Untuk mengetahui terjadinya Penyakit Akibat Kerja.


1.3..2

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengertian Penyakit Akibat Kerja.


2. Untuk mengetahui klasifikasi Penyakit Akibat Kerja
3. Untuk mengetahui beberapa Penyakit Akibat Kerja.
4. Untuk mengetahui pencegahan dari Penyakit Akibat Kerja.
5. Untuk mengetahui pengobatan dan perawatan Penyakit Akibat Kerja.

1.4

Manfaat

1.4..1

Bagi mahasiswa

Agar mampu memahami tentang penyakit akibat serta perawatannya.


1.4..2

Bagi institusi

Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang penyakit akibat kerja, penyebab
penyakit akibat kerja serta pencegahannya.
1.4..3

Bagi Masyarakat

Agar lebih mengerti dan memahami tentang penyakit akibat kerja serta pencegahanya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi

Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan,
proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian Penyakit Akibat Kerja merupakan
penyakit yang artifisial atau man made disease. Dalam melakukan pekerjaan apapun,
sebenarnya kita berisiko untuk mendapatkan gangguan Kesehatan atau penyakit yang
ditimbulkan oleh penyakit tersebut.Oleh karena itu , penyakit akibat kerja adalah penyakit
yang disebabkan oleh pekerjaan,alat kerja , bahan , proses maupun lingkungan kerja
Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan pekerjaan yang
diselenggarakan oleh ILO (International Labour Organization) di Linz, Austria, dihasilkan
definisi menyangkut PAK sebagai berikut:

1. a.
Penyakit Akibat Kerja Occupational Disease adalah penyakit yang
mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang
pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui.
2. b.
Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan Work Related Disease
adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pekerjaan
memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya
penyakit yang mempunyai etiologi kompleks.
3. c.
Penyakit yang Mengenai Populasi Kerja Disease of Fecting Working
Populations adalah penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen
penyebab ditempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerjaan yang buruk
bagi kesehatan
Menurut Cherry, 1999 An occupational disease may be defined simply as one that is caused
, or made worse , by exposure at work.. Di sini menggambarkan bahwa secara sederhana
sesuatu yang disebabkan , atau diperburuk , oleh pajanan di tempat kerja . Atau , An
occupational disease is health problem caused by exposure to a workplace hazard
( Workplace Safety and Insurance Board, 2005 ), Sedangkan dari definisi kedua tersebut,
penyakit akibat kerja adalah suatu masalah Kesehatan yang disebabkan oleh pajanan
berbahaya di tempat kerja.
Dalam hal ini , pajanan berbahaya yang dimaksud oleh Work place Safety and Insurance
Board ( 2005 ) antara lain :

Debu , gas , atau asap

Suara / kebisingan ( noise )

Bahan toksik ( racun )

Getaran ( vibration )

Radiasi

Infeksi kuman atau dingin yang ekstrem

Tekanan udara tinggi atau rendah yang ekstrem

Menurut Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 tertanggal 27 Februari 1993, Penyakit
yang timbul akibat hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja (pasal 1). Keputusan Presiden tersebut melampirkan Daftar Penyakit yang
diantaranya yang berkaitan dengan pulmonologi termasuk pneumokoniosis dan
silikotuberkulosis, penyakit paru dan saluran nafas akibat debu logam keras, penyakit paru
dan saluran nafas akibat debu kapas, vals, henep dan sisal (bissinosis), asma akibat kerja, dan
alveolitis alergika.
Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut menyatakan bahwa mereka yang menderita penyakit
yang timbul karena hubungan kerja berhak memperoleh jaminan kecelakaan kerja.

Keputusan Presiden tersebut merujuk kepada Undang-Undang RI No 3 tahun 1992 tentang


Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang pasal 1 nya menyatakan bahwa kecelakaan kerja adalah
kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yg timbul
karena hub kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari
rumah menuju tempat kerja, dan pulang kerumah melalui jalan yg biasa atau wajar dilalui.

2.2

Klasifikasi penyakit akibat kerja

Dalam melakukan tugasnya di perusahaan seseorang atau sekelompok pekerja berisiko


mendapatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
WHO membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja, yaitu:
1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya Pneumoconiosis.
2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya Karsinoma
Bronkhogenik.
3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di antara faktor-faktor
penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis khronis.
4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada sebelumnya,
misalnya asma.
Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki
banyak kegiatan industri dan teknologi, yaitu:
1. a.

Penyakit Silikosis

Penyakit Silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas, berupa SiO2 yang terhisap
masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat
di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi
(mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juka banyak terdapat di tempat di
tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara.
Pemakaian batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2.
Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama sama dengan
partikel lainnya, seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.
Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai
4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau gejala penyakit silicosis akan segera
tampak, apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam
jumlah banyak. Penyakit silicosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk-batuk.
Batuk ini seringkali tidak disertai dengan dahak. Pada silicosis tingkah sedang, gejala sesak
nafas yang disertai terlihat dan pada pemeriksaan fototoraks kelainan paru-parunya mudah
sekali diamati.

Bila penyakit silicosis sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan kemudian
diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja
jantung.
Tempat kerja yang potensial untuk tercemari oleh debu silika perlu mendapatkan pengawasan
keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan yang ketat sebab penyakit silicosis ini
belum ada obatnya yang tepat. Tindakan preventif lebih penting dan berarti dibandingkan
dengan tindakan pengobatannya. Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau penderita
sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, astma broonchiale dan
penyakit saluran pernapasan lainnya.
Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja akan sangat membantu
pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat kerja. Data kesehatan pekerja
sebelum masuk kerja, selama bekerja dan sesudah bekerja perlu dicatat untuk pemantulan
riwayat penyakit pekerja kalau sewaktu waktu diperlukan.
1. b.

Penyakit Asbestosis

Penyakit Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes
yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam silikat, namun yang
paling utama adalah Magnesium silikat. Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan
industri yang menggunakan asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap asbes dan
lain sebagainya.
Debu asbes yang terhirup masuk ke dalam paru-paru akan mengakibatkan gejala sesak napas
dan batuk-batuk yang disertai dengan dahak. Ujung-ujung jari penderitanya akan tampak
membesar / melebar. Apabila dilakukan pemeriksaan pada dahak maka akan tampak adanya
debu asbes dalam dahak tersebut. Pemakaian asbes untuk berbagai macam keperluan kiranya
perlu diikuti dengan kesadaran akan keselamatan dan kesehatan lingkungan agar jangan
sampai mengakibatkan asbestosis ini.
1. c.

Penyakit Bisinosis

Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran debu
napas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Debu kapas atau
serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan
pergudangan kapas serta pabrik atau bekerja lain yang menggunakan kapas atau tekstil;
seperti tempat pembuatan kasur, pembuatan jok kursi dan lain sebagainya.
Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-tanda awal
penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada dada, terutama pada hari Senin
(yaitu hari awal kerja pada setiap minggu). Secara psikis setiap hari Senin bekerja yang
menderita penyakit bisinosis merasakan beban berat pada dada serta sesak nafas. Reaksi
alergi akibat adanya kapas yang masuk ke dalam saluran pernapasan juga merupakan gejala
awal bisinosis. Pada bisinosis yang sudah lanjut atau berat, penyakit tersebut biasanya juga
diikuti dengan penyakit bronchitis kronis dan mungkin juga disertai dengan emphysema.

1. d.

Penyakit Antrakosis

Penyakit Antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu batubara.
Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerja-pekerja tambang batubara atau pada pekerjapekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara, seperti pengumpa batubara pada tanur
besi, lokomotif (stoker) dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja boiler pada
pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara.
Masa inkubasi penyakit ini antara 2 4 tahun. Seperti halnya penyakit silicosis dan juga
penyakit-penyakit pneumokonisosi lainnya, penyakit antrakosis juga ditandai dengan adanya
rasa sesak napas. Karena pada debu batubara terkadang juga terdapat debu silikat maka
penyakit antrakosis juga sering disertai dengan penyakit silicosis. Bila hal ini terjadi maka
penyakitnya disebut silikoantrakosis. Penyakit antrakosis ada tiga macam, yaitu penyakit
antrakosis murni, penyakit silikoantraksosis dan penyakit tuberkolosilikoantrakosis.
Penyakit antrakosis murni disebabkan debu batubara. Penyakit ini memerlukan waktu yang
cukup lama untuk menjadi berat, dan relatif tidak begitu berbahaya. Penyakit antrakosis
menjadi berat bila disertai dengan komplikasi atau emphysema yang memungkinkan
terjadinya kematian. Kalau terjadi emphysema maka antrakosis murni lebih berat daripada
silikoantraksosis yang relatif jarang diikuti oleh emphysema. Sebenarnya antara antrakosis
murni dan silikoantraksosi sulit dibedakan, kecuali dari sumber penyebabnya. Sedangkan
paenyakit tuberkolosilikoantrakosis lebih mudah dibedakan dengan kedua penyakit antrakosis
lainnya. Perbedaan ini mudah dilihat dari fototorak yang menunjukkan kelainan pada paruparu akibat adanya debu batubara dan debu silikat, serta juga adanya baksil tuberculosis yang
menyerang paru-paru.
1. e.

Penyakit Beriliosis

Udara yang tercemar oleh debu logam berilium, baik yang berupa logam murni, oksida,
sulfat, maupun dalam bentuk halogenida, dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan
yang disebut beriliosis. Debu logam tersebut dapat menyebabkan nasoparingtis, bronchitis
dan pneumonitis yang ditandai dengan gejala sedikit demam, batuk kering dan sesak napas.
Penyakit beriliosis dapat timbul pada pekerja-pekerja industri yang menggunakan logam
campuran berilium, tembaga, pekerja pada pabrik fluoresen, pabrik pembuatan tabung radio
dan juga pada pekerja pengolahan bahan penunjang industri nuklir.
Selain dari itu, pekerja-pekerja yang banyak menggunakan seng (dalam bentuk silikat) dan
juga mangan, dapat juga menyebabkan penyakit beriliosis yang tertunda atau delayed
berryliosis yang disebut juga dengan beriliosis kronis. Efek tertunda ini bisa berselang 5
tahun setelah berhenti menghirup udara yang tercemar oleh debu logam tersebut. Jadi lima
tahun setelah pekerja tersebut tidak lagi berada di lingkungan yang mengandung debu logam
tersebut, penyakit beriliosis mungkin saja timbul. Penyakit ini ditandai dengan gejala mudah
lelah, berat badan yang menurun dan sesak napas. Oleh karena itu pemeriksaan kesehatan
secara berkala bagi pekerja-pekerja yang terlibat dengan pekerja yang menggunakan logam
tersebut perlu dilaksanakan terus menerus.

2.3

Penyakit Akibat Kerja

Adapun beberapa penyakit akibat kerja, antara lain:

1. a.

Penyakit Saluran Pernafasan

PAK pada saluran pernafasan dapat bersifat akut maupun kronis. Akut misalnya asma akibat
kerja. Sering didiagnosis sebagai tracheobronchitis akut atau karena virus. Kronis, missal:
asbestosis. Seperti gejala Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Edema paru akut.
Dapat disebabkan oleh bahan kimia seperti nitrogen oksida.
1. b.

Penyakit Kulit

Pada umumnya tidak spesifik, menyusahkan, tidak mengancam kehidupan, kadang sembuh
sendiri. Dermatitis kontak yang dilaporkan, 90% merupakan penyakit kulit yang berhubungan
dengan pekerjaan. Penting riwayat pekerjaan dalam mengidentifikasi iritan yang merupakan
penyebab, membuat peka atau karena faktor lain.
1. c.

Kerusakan Pendengaran

Banyak kasus gangguan pendengaran menunjukan akibat pajanan kebisingan yang lama, ada
beberapa kasus bukan karena pekerjaan. Riwayat pekerjaan secara detail sebaiknya
didapatkan dari setiap orang dengan gangguan pendengaran. Dibuat rekomendasi tentang
pencegahan terjadinya hilangnya pendengaran.
1. d.

Gejala pada Punggung dan Sendi

Tidak ada tes atau prosedur yang dapat membedakan penyakit pada punggung yang
berhubungan dengan pekerjaan daripada yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
Penentuan kemungkinan bergantung pada riwayat pekerjaan. Artritis dan tenosynovitis
disebabkan oleh gerakan berulang yang tidak wajar.
1. e.

Kanker

Adanya presentase yang signifikan menunjukan kasus Kanker yang disebabkan oleh pajanan
di tempat kerja. Bukti bahwa bahan di tempat kerja, karsinogen sering kali didapat dari
laporan klinis individu dari pada studi epidemiologi. Pada Kanker pajanan untuk terjadinya
karsinogen mulai > 20 tahun sebelum diagnosis.
1. f.

Coronary Artery Disease

Oleh karena stres atau Carbon Monoksida dan bahan kimia lain di tempat kerja.
1. g.

Penyakit Liver

Sering di diagnosis sebagai penyakit liver oleh karena hepatitis virus atau sirosis karena
alkohol. Penting riwayat tentang pekerjaan, serta bahan toksik yang ada.
1. h.

Masalah Neuropsikiatrik

Masalah neuropsikiatrik yang berhubungan dengan tempat kerja sering diabaikan. Neuro pati
perifer, sering dikaitkan dengan diabet, pemakaian alkohol atau tidak diketahui penyebabnya,
depresi SSP oleh karena penyalahgunaan zat-zat atau masalah psikiatri. Kelakuan yang tidak
baik mungkin merupakan gejala awal dari stres yang berhubungan dengan pekerjaan. Lebih

dari 100 bahan kimia (a.I solven) dapat menyebabkan depresi SSP. Beberapa neurotoksin
(termasuk arsen, timah, merkuri, methyl, butyl ketone) dapat menyebabkan neuropati perifer.
Carbon disulfide dapat menyebabkan gejala seperti psikosis.
1. i.

Penyakit yang Tidak Diketahui Sebabnya

Alergi dan gangguan kecemasan mungkin berhubungan dengan bahan kimia atau lingkungan.
Sick building syndrome. Multiple Chemical Sensitivities (MCS), mis: parfum, derivate
petroleum, rokok.

2.4

Pencegahan

Pengurus perusahaan harus selalu mewaspadai adanya ancaman akibat kerja terhadap
pekerjaannya.
Kewaspadaan tersebut bisa berupa :
1. Melakukan pencegahan terhadap timbulnya penyakit
2. Melakukan deteksi dini terhadap ganguan kesehatan
3. Melindungi tenaga kerja dengan mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja
seperti yang di atur oleh UU RI No.3 Tahun 1992.

Mengetahui keadaan pekerjaan dan kondisinya dapat menjadi salah satu pencegahan terhadap
PAK. Beberapa tips dalam mencegah PAK, diantaranya:
1. Pakailah APD secara benar dan teratur
2. Kenali risiko pekerjaan dan cegah supaya tidak terjadi lebih lanjut.
3. Segera akses tempat kesehatan terdekat apabila terjadi luka yang berkelanjutan.

Selain itu terdapat juga beberapa pencegahan lain yang dapat ditempuh agar bekerja bukan
menjadi lahan untuk menuai penyakit. Hal tersebut berdasarkan Buku Pengantar Penyakit
Akibat Kerja, diantaranya:
1. 1.

Pencegahan Primer Health Promotion


1. Perilaku Kesehatan
2. Faktor bahaya di tempat kerja
3. Perilaku kerja yang baik

4. Olahraga
5. Gizi seimbang
6. 2.

Pencegahan Sekunder Specifict Protection


1. Pengendalian melalui perundang-undangan
2. Pengendalian administrative/organisasi: rotasi/pembatasan jam kerja
3. Pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, ventilasi, alat pelindung diri
(APD)
4. Pengendalian jalur kesehatan: imunisasi

7. 3.

Pencegahan Tersier

Early Diagnosis and Prompt Treatment


1. Pemeriksaan kesehatan pra-kerja
2. Pemeriksaan kesehatan berkala
3. Surveilans
4. Pemeriksaan lingkungan secara berkala
5. Pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja
6. Pengendalian segera di tempat kerja

Kondisi fisik sehat dan kuat sangat dibutuhkan dalam bekerja, namun dengan bekerja benar
teratur bukan berarti dapat mencegah kesehatan kita terganggu. Kepedulian dan kesadaran
akan jenis pekerjaan juga kondisi pekerjaan dapat menghalau sumber penyakit menyerang.
Dengan didukung perusahaan yang sadar kesehatan, maka kantor pun akan benar-benar
menjadi lahan menuai hasil bukanlah penyakit.

2.5

Perawatan dan pengobatan

Dalam melakukan penanganan terhadap penyakit akibat kerja, dapat dilakukan duamacam
terapi, yaitu:
1. Terapi medikamentosa Yaitu terapi dengan obat obatan :
1. Terhadap kausal (bila mungkin)

2. Pada umumnya penyakit kerja ini bersifat irreversibel, sehingga terapi sering
kali hanya secara simptomatis saja. Misalnya pada penyakit silikosis
(irreversibel), terapi hanya mengatasi sesak nafas, nyeri dada2.
3. Terapi okupasia
1. Pindah ke bagian yang tidak terpapar
2. Lakukan cara kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik

BAB 3
PENUTUP

3.1

Kesimpulan

Setiap pekerjaan di dunia ini hampir pasti tak ada yang tak berisiko. Ibarat pepatah bermain
air basah, bermain api hangus. Kecelakaan dan sakit akibat kerja sudah menjadi risiko setiap

orang yang melakukan pekerjaan, baik itu petani, nelayan, buruh pabrik, pekerja tambang,
maupun pegawai kantoran sekalipun.
Sepanjang tahun 2009, pemerintah mencatat telah terjadi sebanyak 54.398 kasus kecelakaan
kerja di Indonesia. Meski menunjukkan tren menurun, namun angka tersebut masih tergolong
tinggi. Kecelakaan kerja di sebuah pabrik gula di Jawa Tengah menyebabkan empat
pekerjanya tewas dan di Tuban Jawa Timur seorang meninggal dan dua orang lainnya terluka
akibat tersiram serbuk panas saat bekerja di salah satu pabrik semen adalah beberapa contoh
kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan kerugian bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Oleh karena itu perlu adanya penerapan sebuah sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan Kerja (SMK3) di tempat kerja berbasis paradigma sehat.

Anda mungkin juga menyukai