Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN KESELAMATAN KERJA DI RUANG

OPERASI (OK)

NAMA KELOMPOK :

1. Anisah Diya A 2720170047


2. Fani Oktaviani 2720170018
3. Fina Fiona Erlia 2720170071
4. Laras Gumilang 2720170016
5. Muhammad Ali Ridho 2720170003
6. Rizna Renwarin 2720170020
7. Indra Wahyudi

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFIIYAH


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga makalah
yang bejudul Laporan Keselamatan Kerja Diruang Operasi ini tersusun hingga selesai.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keselamatan Pasien dan K3 dalam
Keperawatan. Penyusunan makalah ini semaksimal mungkin kami upayakan, namun tidak
lepas dr semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari
segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada kami
membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran dan kritik demi
memperbaiki makalah ini. Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah
yang sangat sederhana ini dapat diambil manfaatnya.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di rumah sakit dan fasilitas medis
lainnya perlu di perhatikan. Demikian pula penanganan faktor potensi berbahaya yang
ada di rumah sakit serta metode pengembangan program keselamatan dan kesehatan
kerja disana perlu dilaksanakan, seperti misalnya perlindungan baik terhadap penyakit
infeksi maupun non-infeksi, penanganan limbah medis, penggunaan alat pelindung diri
dan lain sebagainya. Selain terhadap pekerja di fasilitas medis / klinik maupun rumah
sakit, Keselamatan dan Kesehatan Kerja di rumah sakit juga “concern” keselamatan dan
hak-hak pasien, yang masuk kedalam program patient safety.

Merujuk kepada peraturan pemerintah berkenaan dengan keselamatan dan


kesehatan kerja di tempat kerja, pedoman ini juga mengambil dari beberapa sumber
“best practices” yang berlaku secara Internasional, seperti NationalInstitute for
Occupational Safety and Health (NIOSH), the Centers for Disease Control (CDC), the
Occupational Safety and Health Administration (OSHA), the US Environmental
Protection Agency (EPA), dan lainnya. Data tahun 1988, 4% pekerja di USA adalah
petugas medis. Dari laporan yang dibuat oleh The National Safety Council (NSC), 41%
petugas medis mengalami absenteism yang diakibatkan oleh penyakit akibat kerja dan
injury, dan angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor industri lainnya.
Survei yang dilakukan terhadap 165 laboratorium klinis di Minnesota memperlihatkan
bahwa injury yang terbanyak adalah needle sticks injury (63%) diikuti oleh kejadian
lain seperti luka dan tergores (21%). Selain itu pekerja di rumah sakit sering mengalami
stres, yang merupakan faktor predisposisi untuk mendapatkan kecelakaan. Ketegangan
otot dan keseleo merupakan representasi dari low back injury yang banyak didapatkan
dikalangan petugas rumah sakit.

B. Tujuan

Tujuan Umum :
 Untuk mengetahui aspek K3 petugas instrumen di ruang operasi RS.
Tujuan Khusus :
a. Untuk mengetahui tentang faktor hazard yang dialami petugas instrumen di
ruang operasi RS.
b. Untuk mengetahui tentang alat kerja yang digunakan yang dapat mengganggu
kesehatan petugas instrumen di ruang operasi RS.
c. Untuk mengetahui tentang APD yang digunakan petugas instrumen di ruang
operasi RS.
d. Untuk mengetahui tentang ketersedian obat P3K di tempat kerja petugas
instrumen diruang operasi RS.
e. Untuk mengetahui pemeriksaan kesehatan yang pernah dilakukan sesuai
peraturan (sebelum kerja, berkala, berkala khusus)
f. Untuk mengetahui tentang peraturan pimpinan RS tentang K3 di tempat kerja.
g. Untuk mengetahui keluhan / penyakit yang dialami yang berhubungan dengan
pekerjaan pada petugas instrumen di ruang operasi RS.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi
bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat
luas. Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas
kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika
kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari
beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai
faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta
keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko
kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam
penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah
mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan
kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan
lingkungan disekitarnya.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya.
Dalam bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat
penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan
dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu
komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan
kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari
pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Kesehatan, Pasal 23
dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan
di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya
kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang.
Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit (RS)
termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat
menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang
bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah
seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS.
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-
bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan,
kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber
cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan
psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa
dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada
di lingkungan RS.

B. Bahaya Yang Dihadapi Dalam Rumah Sakit Atau Instansi Kesehatan

Dalam pekerjaan sehari-hari petugas keshatan selalu dihadapkan pada bahaya-


bahaya tertentu, misalnya bahaya infeksius, reagensia yang toksik, peralatan listrik
maupun peralatan kesehatan. Secara garis besar bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit
atau instansi kesehatan dapat digolongkan dalam :
1. Bahaya kebakaran dan ledakan dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak
(obat– obatan).
2. .Bahan beracun, korosif dan kaustik .
3. Bahaya radiasi .
4. Luka bakar .
5. Syok akibat aliran listrik .
6. Luka sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam .
7. Bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit.

Pada umumnya bahaya tersebut dapat dihindari dengan usaha-usaha


pengamanan, antara lain dengan penjelasan, peraturan serta penerapan disiplin kerja.
Pada kesempatan ini akan dikemukakan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
di rumah sakit / instansi kesehatan. Hasil laporan National Safety Council (NSC)
tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari
pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit
pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah
kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja RS, yaitu sprains, strains :
52%; contussion, crushing, bruising : 11%; cuts, laceration, punctures: 10.8%;
fractures : 5.6%; multiple injuries : 2.1%; thermal burns : 2%; scratches, abrasions :
1.9%; infections: 1.3%; dermatitis: 1.2%; dan lain-lain: 12.4% (US Department of
Laboratorium, Bureau of Laboratorium Statistics, 1983). Laporan lainnya yakni di
Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi pada perawat (16.8%)
dibandingkan pekerja sektor industri lain.
Di Australia, diantara 813 perawat, 87% pernah low back pain, prevalensi 42%
dan di AS, insiden cedera musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun. Cedera
punggung menghabiskan biaya kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per
tahun. Khusus di Indonesia, data penelitian sehubungan dengan bahaya- bahaya di RS
belum tergambar dengan jelas, namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari
para petugas di RS, sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada di RS. Selain itu,
tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas RS,
yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran
kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta nyeri tulang
belakang dan pergeseran diskus intervertebrae. Ditambahkan juga bahwa terdapat
beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas RS lebih besar 1.5 kali dari
petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit, saluran pernafasan,
saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran
kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan
sistem otot dan tulang rangka. Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu
upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh
karena itu K3 RS perlu dikelola dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 RS lebih
efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik
bagi pengelola maupun karyawan RS.

C. K3 Di Ruang Bedah (Operasi)

Kamar operasi adalah suatu unit khusus di rumah sakit, tempat untuk melakukan
tindakan pembedahan, baik elektif maupun akut, yang membutuhkan keadaan suci hama
(steril).

1. Faktor hazard yang dialami petugas instrumen di ruang bedah

 Menurut hasil laporan dari


Natonal Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan bahwa terjadinya
kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja pada industri lain. Kasus yang
sering terjadi adalah tertusuk jarum, tergores/terpotong, dan penyakit infeksi
lain. Salah stu contoh kecelakaan kerja yang paling sering adalah Luka jarum
suntik yang umum terjadi di kalangan petugas di ruang bedah. Sehingga
peningkatan strategi pencegahan dan pelaporan diperlukan untuk meningkatkan
keselamatan kerja bagi petugas bedah tersebut.
2. Alat kerja yang dapat digunakan yang dapat mengganggu kesehatan petugas
instrumen di ruang bedah

Alat kesehatan yang digunakan yang dapat mengganggu kesehatan petugas


instrumen diruang bedah adalah benda-benda tajam seperti skalpel dan jarum suntik
yang dapat memberikan resiko terjadinya kecelakaan kerja.

3. Alat pelindung diri (APD) yang digunakan petugas instrumen diruang bedah

Selain membersihkan tangan yang harus selalu dilakukan petugas kesehatan


juga harus mengenakan alat pelindung diri sesuai dengan prosedur yang mereka
lakukan dan tingkat kontak dengan pasien yang diperlukan untuk menghindari kontak
dengan darah dan cairan tubuh. APD untuk keperluan kewaspadaan standar terdiri
atas sarung tangan, gaun pelindung, pelindung mata, dan masker bedah. Peralatan
tambahan, seperti penutup kepala untuk melindungi rambut, tidak dianggap APD,
tetapi dapat digunakan demi kenyamanan petugas kesehatan. Begitu pula, sepatu bot
juga dapat digunakan untuk keperluan praktis, misalnya bila diperlukan sepatu yang
tertutup rapat dan kuat untuk menghindari kecelakaan akibat benda tajam. Bila
digunakan dengan benar, APD akan melindungi petugas kesehatan dari pajanan
terhadap jenis penyakit menular tertentu.

4. Ketersediaan obat P3K di tempat kerja petugas

P3K merupakan pertolongan pertama yang harus segera diberikan kepada


korban yang mendapatkan kecelakaan atau penyakit mendadak dengan cepat dan tepat
sebelum korban dibawa ke tempat rujukan. P3K sendiri ditujukan untuk memberikan
perawatan darurat pada korban, sebelum pertolongan yang lebih lengkap diberikan
oleh dokter atau petugas kesehatan lainnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1969 Pasal 19: “Setiap badan, lembaga atau dinas pemberi jasa, atau bagiannya
yang tunduk kepada konvensi ini, dengan memperhatikan besarnya dan kemungkinan
bahaya harus menyediakan apotik atau pos P3K sendiri, memelihara apotik atau pos
P3K bersama-sama dengan badan, lembaga atau kantor pemberi jasa atau bagiannya
dan mempunyai satu atau lebih lemari, kotak atau perlengkapan P3K.” Rumah sakit
merupakan salah satu lembaga pemberi jasa dengan unit sterilisasi yang menjadi
bagiannya.

Dalam upaya pengawasan P3K maka perlu tersedia fasilitas dan personil P3K.
Fasilitas dapat berupa kotak P3K, isi kotak P3K, buku pedoman, ruang P3K,
perlengkapan P3K (alat perlindungan, alat darurat, alat angkut dan transportasi).
Personil terdiri dari penanggung jawab: dokter pimpinan P3K, ahli K3, petugas P3K
yang telah menerima sertifikat pelatihan P3K di tempat kerja. Rekomendasi minimum
failitas yang tersedia dalam kotak P3K tipe I yaitu kasa steril terbungkus, perban
(lebar 5 cm), perban (lebar 7,5 cm), plester (lebar 1,25 cm), plester cepat, kapas (25
gram), perban segitiga/mettela, gunting, peniti, sarung tangan sekali pakai, masker,
aquades (100 ml lar saline), povidon iodin (60 ml), alkohol 70%, buku panduan P3K
umum, buku catatan, daftar isi kotak. Sedangkan pada kotak P3K tipe II terdiri dari
kasa steril terbungkus, perban (lebar 5 cm), perban (lebar 7,5 cm), plester (lebar 1,25
cm), plester cepat, kapas (25 gram), perban segitiga/mettela, gunting, peniti, sarung
tangan sekali pakai, masker, bidai, pinset, lampu senter, sabun, kertas pembersih
(Cleaning Tissue), aquades (100 ml lar saline), povidon iodin (60 ml), alkohol 70%,
buku panduan P3K umum.

5. Peraturan pimpinan di rumah sakit tentang K3 di tempat kerja


Upaya K3 di RS menyangkut tenaga kerja, cara/metode kerja, alat kerja, proses
kerja dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan
dan pemulihan. RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai
keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat
diukur. Perencanaan K3 di RS dapat mengacu pada standar Sistem Manajemen K3 di
RS diantaranya self assesment akreditasi K3RS dan SMK3. Perencanaan meliputi:
1 . Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko. RS
harus melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta
pengendalian faktor risiko.
a. Identifikasi sumber bahaya
Dapat dilakukan dengan mempertimbangkan :
• Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya.
• Jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat terjadi. Sumber bahaya
yang ada di RS harus diidentifikasi dan dinilai untuk menentukan tingkat
resiko yang merupakan tolak ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan
PAK.
b. Penilaian faktor risiko
Adalah proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan
melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan
dan keselamatan.
c. Pengendalian faktor risiko
Dilaksanakan melalui 4 tingkatan pengendalian risiko yakni menghilangkan
bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana / peralatan lain yang
tingkat risikonya lebih rendah / tidak ada (engineering / rekayasa),
administrasi dan alat pelindung pribadi (APP).

2. Membuat peraturan
RS harus membuat, menetapkan dan melaksanakan standar operasional prosedur
(SOP) sesuai dengan peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai K3
lainnya yang berlaku. SOP ini harus dievaluasi, diperbaharui dan harus
dikomunikasikan serta disosialisasikan pada karyawan dan pihak yang terkait.

3. Tujuan dan sasaran


RS harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan, bahaya potensial
dan risiko K3 yang bisa diukur, satuan / indikator pengukuran, sasaran
pencapaian dan jangka waktu pencapaian (SMART).

4. Indikator kinerja
Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang sekaligus
merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 RS.

5. Program K3
RS harus menetapkan dan melaksanakan program K3RS, untuk mencapai
sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan dicatat serta dilaporkan.

6. Keluhan atau penyakit yang dialami yang berhubungan dengan pekerjaan pada
petugas instrumen di ruang operasi.
Para peneliti menyatakan bahwa di dalam kamar operasi terkandung kadar eter
yang signifikan ketika “ the open drop technique” digunakan. Dan diketahui bahwa
paparan obat anastesi inhalasi seperti diethyl eter, nitrous oxide dan cloroform lebih
mengarah tentang infertilitas dan aborsi spontan, insidensi kelainan kogenital, kanker,
penyakit hematopoietik, penyakit liver, dan penyakit saraf seperti psikomotor dan
tingkah laku sebagai akibat paparan gas anastesi.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

1. Alat-alat yang digunakan di ruang operasi meliputi benda-benda tajam,


beahan kimia dan
juga alat yang berhubungan dengan listrik sehingga dibutuhkan kehati-
hatian dalam
pengoperasiannya.
2. Alat pelindung diri yang diterapkan pada petugas yang bekerja di ruang
operasi telah
memenuhi standar.
3. Ada tempat P3K di ruang operasi yang berada pada ruang penyimpanan
obat-obatan.
4. Ada peraturan dari pihak rumah sakit mengenai K3 namun petugas tidak
mengetahui
secara detail isi dari peraturan K3 tersebut.
5. Keluhan yang sering muncul pada petugas ruang operasi yaitu nyeri
punggung belakang
dan juga batuk.

SARAN
Agar tercapainya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang lebih terjamin,
maka kami
menyarankan agar usaha K3 yang dilakukan di rumah sakit khususnya di ruang
operasi agar
lebih di tingkatkan dan melengkapi peralatan ruang operasi baik alat bedah,
mesih sterilisasi
maupun tempat sampah medis dan non medis, serta memperhatikan dalam hal
perawatan
alat bedah dan penyimpanannya. Karena mengadakan sebuah fasilitas lebih
mudah
dibandingkan menjaga dan melakukan perawatan.
LAMPIRAN

Ruang Operasi RS Graha Juanda

Anda mungkin juga menyukai