KONSEP UTAMA
1. Kriteria brain death diterapkan hanya pada kejadian tanpa hipotermi,
hipotensi, kelainan metaboik atau endokrin, agen blok neuromuskular,
atau obat yang mendepresi fungsi otak.
2. Resiko Retinophaty prematur pada neonatus meningkata pada BBLR
dan komorbid kompleks(cth,sepsis). Kebalikan dengan toksisitas
pulmo, Retinophaty prematur lebih berkorelasi dengan tekanan arteri
dibandingkan dengan tekanan O2 alveous.
3. Pressure control ventilation (PCV) sama dengan bantuan tekanan
ventilasi pada tekanan puncak jalan nafas terkontrol tapi berbeda pada
mandatory rate dan waktu inspirasi yang dipilih. Sama dengan tekanan
bantuan, aliran gas berhenti ketika level tekanan berhasil dicapai;
bagaimanapun, ventilator tidak kembali ke siklus ekspirasi sampai
waktu inspirasi yang telah ditentukankan lewat.
4. Kerugian dari PCV adalah tidak menjamin volume tidal.
5. Ketika dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu
tambahan di ICU, intubasi nasal mungkin lebih nyaman bagi pasien,
lebih aman( lebih sedikit terjadi ekstubasi tanpa sengaja), dan dapat
menjadi penyebab kerusakan laryng, intubasi nasal, bagaimanapun
memiliki efek samping pada penggunaanya.
6. Ketika dipasang lebih dari tiga minggu, oral tibe dan nasal
translaryngeal tubes(TTs) dapat menjadi predisposisi terjadinya
stenosis subglotis. Jika diperlukan periode pemakaian ventilasi
mekanik yang lebih lama, tine TT harus diganti seluruhnya dengan
cuffed transpharyngeal tube.
7. efek utama dari positive end-expiratory pressure(PEEP) pada paru
adalah meningkatkan kapasitas residu fungsional.
8. Angka kejadian barotrauma pulmoner lebih tinggi ketika PEEp
berlebih atau terdapat continous positive airway pressure, terutama
pada angka lebih dari 20cmH2o.
9. Gerakan yang mendukung inflasi paru maksimum seperti pada
penggunaan spirometer pendorong, dapat menolong dalam
menginduksi batuk untuk mencegah atelektasis dan memelihara
volume normal paru.
10. Pada pasien dengan sindrom respiratory distress akut, VT > 10mL/kg
dikaitkan dengan peningkatan angka kematian.
11. Pilihan intubasi trakeal dini dianjurkan ketika terdapat tanda luka bakar
nyata pada jalan nafas.
12. Perlu diperhatikan hemodialisis intermiten yang tekait hipotensi dapat
menyebabkan trauma pada ginjal, terapi pengganti fungsi
ginjal(hemodialisis) yang terus menerus daat meningkatkan fungsi
ginjal pada pisien kritis dengan gagal ginjal akut yang tidak dapat
ditoleransi oleh efek haemodinamik dari hemodialisis intermiten.
13. Pada usia lanjut(>70 tahun), terapi kortikosteroid, kemoterapi, dan
penggunaan alat invasif yang berkepanjangan, gagal nafas, gagal
ginjal, trauma kepala, dan luka bakar menjadi suatu faktor resiko untuk
infeksi nosokomial.
14. Dilatasi vena sistemik dan transudasi cairan ke dalam jaringan
mengakibatkan hipovolemi pada pasien dengan sepsis.
15. Kebalikan dengan pasien nonstress, yang membutuhkan protein sekitar
0,5 g/kg/hari, pasien kritis umumnya 1,0-1,5 g/kg/hari.
16. Traktus gastrointestinal merupakan jalur terbaik untuk pemberian
bantuan nutrisi jika seluruhnya berfungsi dengan baik.
17. Kemunduran mendadak Total nutrisi praenteral (TPN) dapat
menimbulkan hipoglikemi karena level insulin yang beredar, tapi hal
ini ini bukanlah masalah jika pasien tidak disusui berlebih; pada kasus
ini, glukosa 10% dapat menjadi pengganti sementara untuk TPN dan
berangsur-angsur diturunkan.
Ekonomi, etika, dan persoalan legal dalam tarif dalam masa perawatan
kritis
Perawatan masa kritis sangatlah mahal. Bed Intensive care unit (ICU) hanya
merupakan 8-10% dari seluruh bed yang ada pada rumah sakit kebanyakan
tapi sudah mencakup lebih dari 20% anggaran Rumah Sakit. Satu persen dari
Gross national proodct amerika digunakan untuk menyediakan perawatan
ICU. Untuk membenarkan harga ini, Hasil nyata dalam mengurangi
morbiditas dan mortalitas harus dapat diwujudkan. Sayangnya, penelitan yang
mendukung sedikit dan sering cacat oleh penggunaan kontrol secara historis.
Derajat penyakit, kekambuhan, status kesehatan sebelumnya, dan umur adalah
faktor faktor yang mempengaruhi. Metode yang reliabel memprediksi
kelebihan-kelbihan apa yang pasien dapatkan dari perawatan ICU sangat
dibutuhkan. Beberapa sistem skoring berdasarkan derajat defek fisiologis dan
kondisi kesehatan sebelumnya telah dikemukakan seperti Acute physiolgy ang
chronic heart evaluation (APHACE) dan Therapeutic intervention scoring
system(TISS), tapi tidak satupun yang cukup memuaskan. Angka keberhasilan
hidup secara umum memiliki hubungan terbalik dengan derajat penyakit dan
jumlah sistem organ yang terganggu. The society of critical care medicine di
Inggris telah membangun proyek besar, sebuah sistem yang memungkinkan
ICU untuk membandingkan keberhasilan perawatan ICU dan perawatan yang
disediakan dengan jaringan nasional dan internasional ICU.
Penggunaan FiO2 pada orang dewasa dengan kateter nasal ditentukan oleh
aliran oksigen, volume nasofaringeal, dan inspirartory flow dari pasien(yang
tergantung dari VT dan waktu inspirasi). Oxygen dari canula dapat memenuhi
nasofaring selama ekxhalasi, lalu dengan inspirasi, oksigen dan udara yang
sudah ada terhisap masuk ke dalam trachea. Persentase oksigen yang
terinspirasi meningkat sekitar 1-2%(diatas 21%) per liter oksigen dengan
kemampuan bernafas orang dewasa. Canula dapat diagunakan untuk
menyediakan konsentrasi oksigen inspirasi hingga 30-35% dengan pernapasan
normal dan aliran oksigen 3-4L/menit. Bagaimanapun juga, level 40-50%
dapat dicapai dengan aliran oksigen lebih dari 10L/min dalam waktu yang
singkat. Biasanya pada aliran lebih dari 5L/menit tidak dapat ditolerir oleh
pasien sebab tekanan gas pada cavum nasal menyebabkan ketidaknyamanan
dan menyebabkan mukosa menjadi kering dan menimbulkan krusta.
Data dari ”normal-breathing subject” mungkin tidak akurat bila digunakan
pada pasien dengan penyakit akut tachypneic. Peningkatan VT dan waktu
inspirasi yang pendek akan mengencerkan sebagian kecil oksigen. Perbedaan
kapasitas pola napas dengan hanya menggunakan mulut dengan hanya
menggunakan hidung dan variasi aliran inspirasi dapat merubah FiO 2 hingga
40%. Dalam praktek klinik, pemberian udara harus dititrasi berdasarkan tanda
vital dan denyut nadi oksimetrik dan analisa gasn darah. Beberapa pasien
dengan COPD cenderung mengalami hipoventilasi dengan aliran udara yang
sangat rendah, yaitu hipoksemia pada udara ruangan. Perbaikan dapat terjadi
melalui pemakaian canula dengan aliran kurang dari 1-2L/menit.
Kanula untuk anak sudah tersedia, dan semakin sering digunakan. Beberapa
kanul khusus yang meringankan bayi dan perawat dan dengan tingkat trauma
yang lebih rendah dibandingkan masker oksigen. Karena sudah menjadi sifat
bahwa tingkat ventilasi pada bayi lebih rendah tiap menitnya, maka aloran
udara pada kanula juga harus disesuaikan. Intuk itu membutuhkan pressure
compensated flowmeter untuk memastikan aliran oksigen kurang dari 1-
3L/menit. Dari sampel oksigen yang didapat dari hipofaring bayi yang
bernafas dengan kanula menunjukkan rata-rata FiO2 0.35, 0.45, 0.6, dan 0.68
dengan rata-rata aliran 0.25, 0.5, 0.75 dan 1.0 L/menit.
Masker Nasal
Masker nasal adalah kombinasi dari nasal kanul dan masker wajah. Masker
nasal dapat digunakan baik dengan over-the-ear lariat atau dengan headband
strap. Bagian bawah dari masker terpasang pada bibir atas, mengelilingi
hidung. Masker nasal telah terbukti mampu menyediakan oksigen tambahan
yang setara dengan nasal kanul dengan kondisi aliran rendah untuk pasien
dewasa. Keuntungan utama dari penggunaan masker nasal adalah pasien
merasa lebih nyaman. Rasa sakit di sekitar nares eksternal dapat muncul pada
penggunaan nasal kanul jangka panjang. Oksigen tidak dihembuskan ke dalam
kavum nasal seperti pada kanula. Penggunaan masker nasal harus
dipertimbangkan jika dapat meningkatkan perbaikan dan kenyamanan pasien.
Masker oksigen tanpa reservoir
Masker yang menutupi hidung dan mulut ini tergolong ”simpel”, tanpa
reservoir, dengan okxygen-free mask yang sekali pakai, ringan dan terbuat dari
plastik. Masker terpasang dengan baik pada wajah pasien karena adanya
elastic headband; beberapa pabrik menyediakan metal lunak sebagai nose-
bridge adjustment device. Pengunci wajahnya bebas dari kebocoran; lebih jauh
lagi, pasien menerima udara campuran antara oksigen murni dan udara bebas.
Variasinya tergantung dari ukuran bocor, aliran oksigen, dan pola napas.
Beberapa merek masker simpel menghubungkan tabung dengan tapered fitting
standard; yang lain memiliki ruang udara kecil yang berhubungan dengan
lubang pada salurannya.
Bagian masker berfungsi sebagai reservoir bagi oksigen dan karbon dioksida
sisa ekspirasi. Konsentrasi oksigen minimal yang dialirkan sekitar 5L/menit,
dimaksudkan untuk menghindari rebreathing dan usaha respirasi yang
berlebihan. Penggunaan masker apapaun dalam waktu lama selalu
menimbulkan ketidaknyamanan. Menyebabkan kesulitan bicara serta
hambatan untuk makan dan minum.
Jumlah konsentrasi oksigen yang diinsipirasikan tergantung dari volume
masker, pola ventilasi, dan aliran oksigen ke masker. Sulit untuk mengetahui
dengan tepat aliran FiO2 yang diberikan. Selama respirasi normal,
diperkirakan FiO2 sebanyak 0.3-0.6 dengan aliran 5-10L/menit. Level oksigen
dapat lebih tinggi dengan VT berukuran kecil atau pernapasan yang lambat.
Dengan aliran yang lebih tinggi dan kondisi yang ideal, FiO 2 dapat mendekati
0.7 atau 0.8.
Masker tanpa reservoir cocok digunakan oleh pasien yang memputuhkan
oksigen dengan konsentrasi lebih besar dari yang disediakan kanul, dan juga
membutuhkan terapi oksigen dalam waktu yang singkat. Sebagai contoh yaitu
pada medical transport, terapi interim pada unit perawatan postanastesi atau
unit gawat darurat. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan
penyakit pernapasan berat yang mengalami hipoksemia, tachypneu, atau tidak
mampu melindungi jalan napasnya dari aspirasi.
Nebulizer Air-Entrainment
Volume yang besar, hasil yang besar, atau seluruh keuntungan dari
penggunaan nebulizer telah dipakai pada perawatan pernapasan selama
bertahun-tahun untuk menyediakan suatu terapi dengan kabut yang lembut
dengan beberapa kontrol pada FIO2. Unit-unit ini biasanya ditempatkan pada
pasien mengikuti ekstubasi untuk peralatannya yang memproduksi aerosol.
Seperti masker entrainment, nebulizer menggunakan jet pneumatik dan suatu
lubang yang dapat diatur untuk pemasukkan udara yang bervariasi bagi
berbagai level FIO2 pada poin pengaturan yang tetap atau diatur secara terus
menerus dari 0,24-1,0. Banyak alat-alat komersial mempunyai lubang
pemasukan dengan diameter maksimalnya mampu melewatkan hanya
15L/menit ketika sumber tekanannya 50 psi. Hal ini berarti bahwa pada
pengaturan 100% (tidak ada air-entrainment), aliran outputnya hanya
15L/menit. Hanya pasien yang bernapas dengan kecepatan pelan dang Vt yang
kecil akan menerima 100% oksigen. Permasalahan ini telah diatasi dengan
pemberian aliran yang tinggi, nebulizer yang FIO2nya tinggi. Untuk aplikasi
yang lebih umum yang menggunakan FIO2 antara 0,3-0,5, udara ruangan
entrained, menurunkan FIO2 dan meningkatkan output aliran total menjadi 40-
50L/menit.
Pengetahuan tentang perbandingan udara/oksigen dan kecepatan aliran input
oksigen memungkinkan outflow total dapat dikalkulasi. Sistem nebulizer
dapat diaplikasikan pada pasien dengan berbagai macam alat, termasuk
aerosol, trakeostomi, dome/collar, tenda muka (face tent), dan adapter T-piece.
Alat-alat ini semua dapat dihubungkan dengan tabung dengan lubang kecil
pada nebulizer. Sistem yang terbuka ini dapat membebaskan udara inspirasi
dan ekspirasi di sekitar wajah pasien atau pada kutub distal pada adapter
Briggs. Sayangnya, katup yang terbatas memungkinkan pasien untuk entrain
udara ruangan secara sekunder. Hal yang biasa dilakukan adalah menggunakan
kantong reservoir sebelum T atau suatu tabung reservoir pada distal T untuk
menyediakan volume gas yang lebih besar daripada yang berasal dari
nebulizer. Perhatian utama pada penggunaan terapi aerosol air entrainment
dengan konsentrasi oksigen yang terkontrol adalah bahwa sistem tersebut
menyediakan aliran yang adekuat. Klinisi seharusnya mengobservasi kabut
nya untuk menentukan kecukuan aliran. Jika suatu T-piece digunakan dan jika
kabut yang dapat dilihat (keluar dari port distal) menghilang selama inspirasi,
alirannya tidak adekuat.
Hal lain yang harus diperhatikan pada praktek klinis adalah bahwa air yang
berlebihan pada tabung dapat mengumpulkan dan dapat menyumbat aliran gas
secara komplit atau dapat mengakibatkan kenaikan resistensi pada aliran.
Selanjutnya, dapat meningkatkan FIO2 di atas pengaturan yang diharapkan.
Komplikasi yang lain adalah bronkospasme pada beberapa pasien karena air
steril dapat mengiritasi. Pada beberapa kesulitan, sistem humidifikasi yang
dihangatkan (non aerosol) sebaiknya dapat menggantikan.
Sistem High-Flow-oxygen
Dual flowmeter udara-oksigen, blender udara-oksigen, dan generator Down’s
atau Caradyne Whisperflow biasanya dipakai untuk pemasukkan oksigen
seperti freestanding CPAP dan sistem ventilator “add-on”. Sistem ini kontras
dengan nebulizer air-entrainment, karena total aliran output nya tidak menurun
pada keadaan FIO2 lebih besar dari 0,4. Dengan sistem aliran yang tinggi ini,
aliran total pada pasien dapat dengan bebas diatur (versus FIO 2) sampai
bertemu atau melebihi kebutuhan pasien. Hal ini dapat dikerjakan dengan
menggunakan kantong reservoir yang besar atau aliran yang konstan dalam
rentang 50 sampai lebih dari 100L/menit. Klinisi dapat menggunakan berbagai
peralatan dengan sistem ini, termasuk masker aerosol, face tent, atau sistem
masker nonrebreathing yang sesuai dengan blender. Sistem masker yang
melekat ke muka dapat juga dikonstruksi tapi memerlukan kantong reservoir
dengan katup pengaman untuk memungkinkan bernapas jika blender gagal.
Aliran gas yang timnggi memerlukan penggunaan ventilator mekanik.
Humidifikasi menawarkan keuntungan bagi pasien dengan saluran napas yang
hiperaktif. Karena alirannya yang tinggi, beberapa sistem di atas digunakan
untuk mengaplikasikan CPAP untuk pasien yang bernapas dengan spontan.
Oksigen hoods
Walaupun banyak dari alat-alat yang telah disebutkan sebelumnya mempunyai
pilihan ukuran pediatrik, seperti kanula dan masker, banyak bayi muda dan
neonatus tidak dapat mentoleransi peralatan yang dipasang apda muka.
Oksigen hoods hanya menutupi kepala, memungkinkan akses ke bagian bawah
tubuh bayi sementara tetap diijinkan tetap menggunakan inkubator atau
pengahangat dengan radiasi. Hood ini ideal untuk terapi oksigen yang relatif
pendek untuk bayi baru lahir dan bayi indaktif. Bagaimanapun juga, untuk
bayi yang sudah mampu bergerak memerlukan terapi yang lebih panjang,
sebagai contohnya, nasal kanula, masker wajah, atau penutupan seluruh
tempat tidur sanggaup mengatasi mobilitas yang lebih besar.
Normalnya, oksigen dan udara tercampurkan melalui sebuah alat pencampur
dan melewati sebuah alat pelembab udara yang hangat dan nebulizer yang
berfungsi sebagai sumber gas harus dihindari. Kebanyakan mesin nebulizer
tipe jet pneumatic mengeluarkan bunyi bising ( > 65dB), yang dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran pada bayi baru lahir dan adanya gas
dingin yang dihasilkan dapat menginduksi terjadinya peningkatan kebutuhan
oksigen. Penutup kepala yang digunakan disesuaikan dengan bayi. Beberapa
merupakan kotak plexiglas sederhana, yang lainnya memiliki sistem
pengaman untuk melindungi leher bayi. Tidak ada tindakan untuk
menyempurnakan sistem pengaman tersebut, sebagai aliran gas yang konstan
yang diperlukan unutk menyingkirkan karbondioksida (aliran minimum > 7
L/min). Penutup kepala tersebut memiliki aliran 10-15 L/min dan rata-rata
cukup adekuat untuk kebanyakan pasien.
Dari dua teknik yang tersedia, ventilasi tekanan positif dan ventilasi tekanan
negative, bentuk yang mempunyai aplikasi yang luas dan yang banyak
digunakan. Walaupun ventilasi tekanan negative tidak memrlukan intubasi
trakeal, itu tidak dapat menjadi substansi yang meningkatkan resistensi airway
atau menurunkan pemenuhan pulmonal, dan juga membatasi akses untuk
pasien.
Selama ventilasi tekanan positif, inflasi paru yang dicapai dengan menerapkan
ventilasi tekanan positif untuk saluran nafas bagian atas melalui masker yang
pas (non invasif ventilasi mekanik) atau melalui trakea atau tabung
trakeostomi. Peningkatan resistensi saluran nafas dan penurunan pemenuhan
pulmonal dapat dicapai dengan memanipulasi laju gas inspiratori dan tekanan.
Kerugian utama dari ventilasi tekanan positif yang digunakan ventilasi
berhubungan dengan perfusi, efek potensial yang kurang baik pada sirkulasi,
dan resiko barotrauma dan volutrauma pada pulmo. Ventilasi tekanan positif
meningkatkan fisiologi dead space karena aliran gas secara khusus
mengakibatkan lebih banyak komplikasi, area nondependent dari paru,
sedangkan laju aliran udara (dimana dipengaruhi oleh gravitasi) baik area
dependen. Reduksi cardiac output secara primer berhubungan dengan
pengurangan venous return ke jantung carena peningkatan tekanan
intratorakal. Barotrauma berhubungan erat dengan tingginya puncak tekanan
inflasu dan penyakit paru yang mendasari, sedangkan volutrauma
berhubungan dengan kolaps yang berulang dann reekspansi dari pat=ru yang
normal atau yang sakit.
Karakteristik inspiratori
Banyak dari ventikator modern berlaku sperti laju generator. Laju konsatan
dari generator mengirimkan laju aliran udara inspirasi yang konstan tanpa
melihat tekanana dari sirkuit saluran nafas.
Laju konstan diproduksi oleh pengunaan dari solenoid ( on-off) katup dengan
sumber gas bertekanan tinggi (5-50 psi) atau melalui sebuah injector gas
(venture) dengan sumber bertekanan rendah. Mesin dengan sumber gas
bertekanan tinggi mengikuti laju aliran gas inspiratori untuk mengingat
keburukan konstan dari perubahan besar dari resistensi saluran udara atau
pemenuhan kebutuhan paru. Laju nonkonstan dari generator secara konsisten
bertukar laju inspiratori dengan setiap siklus inspirasi (seperti oleh piston yang
berputar); pola gelombang sinus adalah yang terumum.
Generator bertekanan konstan memelihara tekanan konstan aliran udara
konstan dalam keseluruhan inspirasi dan tanpa tegantung dengan laju aliran
gas inspiratori. Aliran gas berhenti ketika tekanan saluran udara sama dengan
tekanan inspiratori. Tekanan generator secara khas dioperasikan (hanya diatas
tekanan puncak inspirasi).
Model Ventilator
Model ventilator ditentukan oleh metode yang digunakan oleh ventilator yang
berputar dari ekspirasi menuju inspirasi seperti halnya pasien dapat bernafas
spontan. (table 49-5 dan Gambar 49-1). Banyak ventilator modern lebih
mampu daripada satu model ventilator, dan beberapa (ventilator dengan
pengendalain mikroprosesor) dapat dikombinasikan secara serempak
Mesin ventilasi yang dikendalikan (CMV)
Pada model ini, perputaran ventilator dari ekspirsi ke inspirasi setekah interval
waktu yang tetap. Interval menentukan laju inspiratori. Pengaturan dari model
ini menyediakan VT yang tetap dan laju yang tetap (dan, oleh karena itu,
ventilasi menggunkana wkatu dalam menit) dengan mengabaikan usaha
pasien, karena pasien tidak dapat bernafas spontan. Pengaturan untuk batas
tekanan inspiratori member petunjuk untuk menghindari barotrauma
pulmonary. Pengendalian ventilasi baik dipersiapkan bagi pasien yang mampu
sdikit atu tidak ada usaha ventilator. Pasien yang sadar dengan usaha ventilasi
aktif membutuhkan sedasi atau pelumpuh otot.
Ventilasi pengendali pembantu
Dengan menyertakan sensor tekanan pada sirkuit pernafasan, usaha inspiratori
pasien spat digunakan untuk penanda respirasi. Kontrol sensitivitas mengikuti
sleksi dari usha nafas yang diperlukan. Ventilator dapat diatur sebagai laju
ventilator yang tetap, tapi usaha nafas yang cukup besar akan menjadi penanda
untuk mengatur VT.
Jika usaha inspirasi spontan tidak terdeteksi, fungsi mesin seperti pada bentuk
kontrol.
C. Ventilasi intermiten yang mandatoris (IMV=intermittent mandatory
ventilation)
IMV mengizinkan ventilasi spontan ketika pasien menggunakan ventilator.
Nafas mekanik yang terseleksi (dengan VT yang tetap) diberikan untuk nafas
tambahan spontan. Di tingkat mandatoris yang tinggi (10-12 nafas/menit),
IMV secara essensial menyediakan ventilasi mekanik minimal dan
mengizinkan pasien bernafas relatif independen. VT dan frekuensi nafas
spontan ditentukan oleh kekuatan otot dan gerakan ventilasi pasien. Laju IMV
dapat disesuaikan untuk menjaga ventilasi menit yang diinginkan. IMV
menemukan pemakaian terbesar sebagai teknik sapihan.
Ventilasi intermiten mandatoris yang tersinkronisasi
(SIMV=synchronized intermittent mandatory ventilation) mengatur nafas
mekanik, kapan saja mungkin, untuk menyamakan dengan awal usaha nafas
spontan. Sinkronisasi yang tepat mencegah pengadaan berlebihan nafas
mekanik ditengah-tengah nafas spontan, menghasilkan VT yang sangat besar.
Seperti CMV dan AC, mengatur batas tekanan inspirasi menjaga terjadinya
barotrauma pulmoner. Keuntungan SIMV termasuk kenyamanan pasien, dan
juka digunakan untuk sapihan, mesin nafas menyediakan cadang jika pasien
menjadi lelah. Bagaimanapun juga, jika lajunyaterlalu rendah (4 nafas/menit) ,
cadangan mungkin terlalu rendah, khususnya untuk pasien-pasien yang tidak
dapat mengatasi WOB tambahan yang masuk berlebihan dengan ventilator
selama nafas spontan.
Sirkuit IMV menyediakan suplai aliran uadara yang berkelanjutan
untuk ventilasi spontan antara nafas-nafas mekanik. Ventilator modern
memasukkan SIMV kedalam desain mereka, tetapi model-model yang lebih
lama harus dimodifikasi oleh sebuah sirkuit yang parallel, sebuah sistem aliran
yang berkelanjutan, atau sebuah permintaan untuk katup arus. Terlepas dari
sistem, fungsi yang tepat dari katup satu arah dan aliran udara yang cukup
dibutuhkan untuk mencegah peningkatan WOB pasien, khususnya ketika
PEEP juga digunakan.
Pengawasan
Pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan pengawasan efek samping
hemodinamik dan pulmoner terus-menerus hasil dari tekanan positif di jalan
nafas. Pengawasan lektrokardiografi, nadi, oksimetri, dan tekanan intraarteri
direct(langsung) yang terus-menerus sangatlah berguna. Yang terakhir, sering
juga memungkinkan pengambilan sampel tekanan darah arteri untuk analisis
gas darah. Pencatatan masuk dan keluarnya cairan dengan hati-hati diperlukan
untuk menilai keseimbangan cairan secara akurat. Tinggalnya kateter urine
sangatlah membantu. Pengawasan tekanan vena dan atau arteri pulmoner
sentral diindikasikan pada pasien-pasien yang secara hjemodinamik tidak
stabil dan yang dengan pengeluaran urine yang rendah. Radiografi dada harian
umumnya diperoleh untuk mengakses TT dan garis posisi sentral, mencari
bukti-bukti barotraumas pulmoner, membantu evaluasi keseimbangan cairan,
dan mengawasi progesi dari penyakit pulmoner.
Tekanan jalan nafas (baseline, puncak, dan rata-rata), Vt inhalasi dan
ekshalasi (mekanik dan spontan), dan konsentrasi oksigen fraksional
sebaiknya diawasi dengan teliti. Pengawasan parameter-parameter ini tidak
hanya mengizinkan penyesuain pengaturan ventilator tetapi juga membantu
mendeteksi masalah-masalah TT, sirkuit nafas, dan ventilator. Suctioning
(penyedotan) sekret jalan nafas yang tidak adekuat dan adanya sumbatan besar
mukous sering bermanifestasi sebagai peningkatan titik puncak inflasi tekanan
(peak inflasion pressure) dan penurunan VT ekshalasi. Terlebih lagi,
peningkatan titik puncak inflasi tekanan (peak inflasion pressure) yang
mendadak bersaman dengan hipotensi yang mendadak sangat memberi kesan
adanya pnumothorak.
CPAP VS PEEP
Perbedaan PEEP dan CPAP seringkali kabur karena pasien mungkin saja
benapas dengan kombinasi antara pernapasan mekanik dan pernapasan
spontan. Oleh karena itu, kedua istilah tersebut sering dipakai saling
menggantikan. Dalam kasus-kasus tertentu, PEEP murni adalah pern apasan
yang selurus system pernapasan yang sirkulasinya diatur oleh ventilator.
Sebaliknya, CPAP murni adalah pernapasan yang diatur/ dibantu dengan aliran
udara (60-70 L/menit) untuk mencega kolapsnya system jalan napas dibawah
tingkat ekspirasi selama napas spontan. Oleh karena itu, jika dibandingkan
dengan PEEP, CPAP memberikan suplai yang lebuh sedikit tetapi dengan
tekanan jalan napas yang lebih kecil pula. Beberapa ventilator dengan system
demand valve-based CPAP mungkin tidak cukup reszponsif dan
mengakibatkan naiknya WOB inspiratorik. Situasi ini, dapat dikoreksi dengan
penambahan PSV (inspiratorik) dengan tingkat rendah, jika dalam modus
dengan target volum, atau mengubahnya jadi modus yang bertarget tekanan.
Pada praktek klinis, dukungan ventilasi terkontrol, PSV, dan CPAP/PEEP
dapat diberikan melalui ventilator ICU yang modern. Pabrik-pabrik juga telah
mengembangkan alat spesifik untuk menyuplai bilevel inspiratory positive
airway pressure (IPAP) dengan expiratory positive airway pressure
(EPAP)dalam tipe spontan ataupun siklus waktu.
Efek pulmoner PEEP dan CPAP
Efek mayor PEEP pada paru adalah meningkatkan FRC. Pada pasien dengan
volum paru yang mengecil, baik PEEP dan CPAP meningkatkan FRC dan
ventilasi tidal diatas kapasitas (closing capacity), meningkatkan kompliansi
paru dan mengoreksi abnormalitas perfusi/ ventilasi. Penurunan ygang
dihasilkan dari intra pulmoner shunting, akan meningkatkan oksigenasi
arterial. Mekanisme prinsip dari aksi tersebut adalah stabilisasi dan ekspansi
dari sebagian alveoli yang kolaps. Reekspansi dari alveoli yang kolaps
tersebut muncul pada tingkat PEEP atau CPAP diatas titik infleksi, yang
ditetapkan sebagai kurva tingkat tekanan terhadap sebuah volume tekanan
dimana alveoli yang kolaps dibuka, dengan perubahan-perubahan kecil pada
tekanan, disitu akan terjadi perubahan volume yang besar.
Walaupun, baik kedua PEEP ataupun CPAP, tidak dapat menurunkan/
mengurangi cairan paru ekstravaskuler total, penelitian menunjukan bahwa
keduanya dapat meredistribusikan cairan ekstravaskuler paru dari ruang
interstitial, antara alveoli dan sel endotel melalui area peribronkial dan
perihilar. Kedua efek tersebut dapat berpotensi meningkatkan oksigenasi
arterial.
Tetapi, PEEP ataupun CPAP yang berlebihan, dapat menimbulkan over
distensi pada alveoli dan bronkusm meningkatkan ventilasi dead space, dan
menurunkan kompliansi paru, kedua efek dapat meningkatkan WOB secara
signifikan. Dengan menekan kapiler-kapiler alveoli, overdistensi dari alveoli
normal dapat juga meningkatkan tahanan vascular polmo dan afterload dari
bilik kanan.
Insiden yang lebih sering terjadi adalah barotraumas, dimana PEEP atau CPAP
yang berlebihan masuk, khususnya pada level yang lebih besar dari 20cmH2O.
disrupsi dari alveoli mengakibatkan udara dapat menembus secara interstisial
sepanjang bronchi sampai masuk pada mediastinum (pneumomediastinum).
Dari mediastinum, udara dapat mnimbulkan rupture kedalam cavum pleura
(pneumotorax) atau ke pericardium (pneumopericardium) atau dapat
mendiseksi sepanjang jaringan subcutan (emfisema subkutan) atau ke dalam
abdomen (pneumoperitonium atau pneumoretroperitonium). Kegagalan dari
penyegelan udara tersebut menghasilkan fistula bronkopleural. Barotraumas
lebih mungkin berhubungan erat dengan puncak lebih tinggi dari tekanan
ispiratorik yang berefek naiknya tingkat PEEP atau CPAP. Factor lain yang
mungkin meningkatkan resiko barotrauma termasuk penyakit paru yang
mendasari, tingginya kecepatan pernafasan mekanik seperti adanya stacking
of breaths, sehingga PEEP intrinsik timbul, besarnya volume tidal (> 10-
15mL/kg) dan usia muda.
GAGAL NAFAS
Gagal nafas dapat didefinisikan sebagai ketidak sesuaian pertukaran gas
normal yang cukup gawat dan membutuhkan intervensi terapeutik. Definisi
berdasarkan gas darah arteri tidak dapat diterapkan pada pasien dengan
penyakit paru kronis, dyspnea, dan asidosis respiratorik progresifsering juga
muncul pada pasien dengan retensi CO2 kronis. Gas darah arteri secara khas
mengikuti satu dari beberapa pola pada pasien dengan gagal nafas. Pada
keadaan ekstrim, kekacauan biasanya terjadi secara primer pada terganggunya
transfer oksigen dari alveoli ke darah, menimbulkan peningkatan yang menuju
hipoksemia (hypoxic respiratory failure); kecualikegawatan
ventilasi/ketidaksesuaian perfusi muncul, eliminasi CO2 dalam keadaan ini
biasanya normal atau malah meningkat. Pada keadaan ekstrim yang lain,
ketidak mampuan system pernadasan secara primer memperngaruhi eliminasi
CO2 (pure ventilator failure), yang menghasilkan/ berdampak timbulnya
hiperkapnia, ketidaksesuaian ventilasi ke perfusi jarang terjadi/ minimal
sekali. Tetapi, hipoksemia sendiri dapat muncul sebagai akibat tadanya
kegagalan ventilasi murni ketika tekanan CO2 arterial mencapai 75-80mmHg
pada pasien yang bernapas pada udara kamar. Kebanyakan pasien dengan
gagal napas menunjukan pola antara dua keadaaan ekstrim ini.
Penatalaksanaan
Tanpa memperdulikan kelainannya, penatalaksanaan dari gagal napas secara
primer adalah terapi suportif ketika komponen-komponen reversible dari
penyakit yang mendasari diatasi. Hipoksemia diatasi dengan terapi oksigen
dan tekanan positif jalan napas (jika FRC turun), sedangkan pada hiperkarbia
(gagal ventilasi) ditasi dengan ventilasi mekanik. Pengukuran umum lainnya
termasuk juga yang menggunakan bronkodilatator aerosol , antibiotic
intravena, dan diuretic untuk menurunkan overload cairan dan
mengoptimalkan fungsi kardiovaskularm dan support nutisi yang cukup.
Beberapa pasien dapat merasakan manfaat dari aminofilin infusion, yang dapat
meningkatkan fungsi diafragma.
EDEMA PULMONER.
Patofisiologi
Edema pulmoner berasal dari transudasi cairan, pertama berasal dari kapiler
pulmo ke ruang interstisial, dan kemutiad dari ruang interstisial ke alveoli.
Cairan dalam ruang interstisial dan alveoli secara kolektif akan terkumpul
sebagai cairan extravaskuler paru. Pergerakan dari cairan yang melintasi
kapiler paru mirip dengan apa yang terjadi [ada kapiler beds yang lain dan
dapat digambarkan dengan persamaan starling:
Q= K x [(Pc’ – Pi) – σ (πc’ – πi)]
Dimana Q adalah aliran bersih yang melalui kapiler; Pc’ dan Pi adalah tekanan
hidrostatik kapiler dan interstisial; πc’ dan πi adalah tekanan onkotik kapiler
dan interstisial; K adalah koefisien filtrasi yang berhubungan dengan
permukaan kapiler efektif per massa jaringan, dan σ adalah koefisien yang
menggambarkan permeabilitas dari endotel terhadap albumin. Sebuah σ
dengan nilai 1 menggambarkan bahwa endothelium sama sekali tidak
permeable (impermeable) terhadap albumin, dimana nilai 0 mengindikasikan
adanya permeabilitas penuh terhadap albumin dan partikel-partikel lain.
Endotel pulmo normalnya bersifat semi permeable terhadap albumin,
misalnya, jika konsenrasi albumin interstisial berkisar satu setengah kali
konsentrasi plasma, maka dari itu, πi harus berkisar 14mmHg (1.5x
konsentrasi plasma). Tekanan hidrostatik pulmoner sangat bergantung pada
ketinggian vertical paru (gravitasi)dan normalnya bervariasi antara 0 sampai
15 mmHg ( dengan rata-rata 7 mmHg). Karena Pi diperkirakan normal dengan
nilai -4 sampai -8 mmHg, kekuatan yang menimbulkan transudasi (Pc’,Pi, dan
πi ) biasanya hamppir seimbang dengan kekuatan yang menimbulkan
reabsorbsi (πc’). Jumlah bersih cairan yang secara normal bergeser ke luar dari
kapiler pulmo hanya sedikit (sekitar 10-20mL/jam pada dewasa) dan dengan
cepat dikeluarkan oleh system limfatik paru, yang mengembalikannya ke
sirkulasi vena.
Membrane epitel alveolar, biasanya permeable terhadap gas dan air, tapi tidak
permeable terhadap albumin (dan protein yang lain). Pergerakan bersih air
dari interstisium ke dalam alveoli muncul hanya saat normal negative Pi
menjadi positif (relative terhadap tekanan atmosfer). Untungnya, karena
keunikan ultrastruktur paru dan kemampuannya untuk meningkatkan aliran
limfe, , interstisium paru biasanya mempermudah peningkatan besar dari
transudasi kapiler sebelum Pi menjadi positif. Ketika kapasitas ini
terlampauim edema pulmo mulai timbul.
Edema pulmonal seringkali digolongkan menjadi 4 tingkat (stages):
Tingkat 1: hanya edema pulmo interstisial. Pasien seringkali menjadi takipnik
seiring menurunnya kompliansi paru. Radiografi dada juga mngungkap
adanya peningkatan marking interstisial dan cuffing peribronkial.
Tingkat 2: cairan mengisi interstisium dan mulai mengisi alveoli, mulai
memenuhi sudut antara septum adjacent (cresentic filling). Pertukaran gas
dapat tetap dihindari.
Tingkat 3: daerah alveolar yang meluap, seperti banyak alveoli yang penuh
dengan air tanpa udara lagi. Luapan terjadi paling menonjol pada deopendent
area of the longs. Aliran darah melalui kapiler dari alveli yang penuh dengan
air tersebut memberikan hasil berupa kenaikan shunting pulmonair.
Hipoksemia dan hipokapnia (akibat dispnea dan hiperventilasi) merupakan
karakteristik.
Tingkat 4: ditandai dengan luapan alveolar yang meluas sampai ke jalan
napas sebagai buih. Pertukaran gas dapat dikompromi karena kedua shunting
dan obstruksi jalan napas. Biasanya diikuti oleh hiperkapnia progresif dan
hipoksenia gawat.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari edema paru kardiogenik termasuk didalamnya
menurunkan tekanan dalam kapiler paru. Biasanya, ini termasuk pengukuran
fungsi ventrikel kiri jantung, mengoreksi hipervolemi dengan diuretik, atau
menurunkan aliran darah paru. Medikamentosa yang digunakan biasanya
adalah morfin, diuretik, vasodilatator, seperti nitrat, preload reducing agents
seperti rekombinan brain peptik natriuretik (nesiritide), atau ACE-I (walaupun
ACE-I menurunkan baik preload dan afterload jantung) dan inotropik seperti
dobutamin.
Vasodilatator, khususnya nitrat, telah terbukti efektif. Dengan menurunkan
preload, kongesti pulmo akan pulih; dengan menurunkan afterload, isi curah
jantung akan meningkat.
ACE-I diperuntukan bagi pasien dengan edema paru yang juga hipertensi.
Tekanan positif jalan napas ((positive airway pressure therapy) juga
merupakan penunjang yang berguna untuk meningkatkan oksigenasi.
Patofisiologi
ALI dan ARDS menggambarkan manifestasi paru dari SIRS. Sentral dari ALI
dan ARDS adalah perlukaan / cedera berat pada membrane kapiler-alveolar.
Tanpa membedakan tipe cideranya, respon paru akan terjadi sama dengan
reaksi peradangan seperti cideara pada umumnya. Respon radangnya termasuk
pelepasan sitokin dan mediator-mediator sekunder lain, aktivasi komplemen,
koagulasi, fibrinolisis, dan kinin-cascade. Mediator awal termasuk didalam
nya TNF (Tumour Necrozing Factor ), interleukin 1 dan 6 (IL-1 dan IL-6),
Iplatelet activating factor,,I seperti halnya prostaglandins dan leukotriens.
Aktivasi dari netrofil dan makrofag pada paru memaparkan parenkim pada
radikal dan protease yang bebas derivate oksigen. Mediator yang dilepaskan
akan meningkatkan permeabilitas kapiler paru, memacu timbulnya
vasokonstriksi paru, dan mengubah reaktivitas vaskuler seperti hal nya
vasokonstriksi paru hipoksik dihilangkan.
Kerusakan sel epitel alveolar (tipe 1 dan 2) sangat menonjol. Luapan alveolar
bersama dengan adanya penurunan jumlah produksi surfaktan, (karena
kehilangan pneumosit tipe 2), akan menimbulkan paru menjadi kolaps. Fase
eksudatif ARDS sdapat dengan cepat teratasi atau menatap untuk waktu yang
bervariasi. Seringkali diikuti denganm fase fibrotik (alveolitis fibrotic), yang
pada kasus tertentu menimbulkan scarring permanen.
Manifestasi klinik
Diagnosis ALI dan ARDS membutuhkan eksklusi dari disfungsi ventrikel kiri
yang menonjol. (PAOP < 18mm Hg) ditambah dengan rasio P:F<300 dan 200,
dan ,munculnya infiltrate difus pada radiografi thorax. Paru seringkali terkena
pada pola yang non homogenous, walaupun daerah yang menggantung akan
lebih sering terkena.
ALI dan ARDS paling sering tampak pada sepsis dan trauma. Pasien akan
menampakan manifestasi dispneu berat dan pernapasan yang harus dibantu.
Hipoksemia karena shunting intrapulmoner adalah keadaan yang sering
ditemukan. Jika ventilasi deadspace naik, tekanan CO2 arterial akan menurun
karena peningkatan tertentu dari ventilasi per menit.
Gagal ventilasi awalnya akan muncul pada kasus kasus gawat atau sering
timbul karena adanya kelelahan otot-otot pernapasan atau destruksi membrane
kapiler alveolar. Oenemuan hemodinamik yang khas adalah hipertensi
pulmonal atau filling-pressure normal.
Penatalaksanaan
Untuk meningkatkan perawatan pernapasanm, perawatan harus juga diarahkan
pada proses-proses yang reversible seperti sepsis atau hipotensi. Hipoksemia
diatasi dengan pemberian terapi oksigen. Pada kasus yang lebih ringan dapat
diterapi dengan masker CPAP, tetapi, kebanyakan pasien akan membutuhkan
intubasi dan setidaknya beberapa derajat dari support ventilasi mekanik. Tetapi
inflasi tekanan high-peak (>35cm H2O) dan tinggi nya VT(>8-10mL/kg) uga
harus dihindari, karena overdistensi alveoli (high paw tau high VT) dapat
menimbulkan cedera paru iatrogenic, juga pada tingginya FiO2 (>0,5). Yang
terakhir belum pernah dibuktikan pada manusia, tetapi pada pasien dengan
ARDS, VT >10 mL/kg berhubungan dengan naiknya mortalitas.
Jika memungkinkan, FiO2 harus ditingkatkan pada <0,5 primernya dengan
meningkatkan PEEP di atas titik infleksi. Maneuver lain untuk meningkatkan
oksigenasi termasuk di dalamnya penggunaan inhalasi N2O, prostasilin atau
prostaglandin E1 (PGE1), dan ventilasi pada posisi prone. Tiga teknik ini
dapat meningkatkan oksigenasi pada mayoritas pasien dengan ALI tetapi
bukan berarti bebas resiko dan belum dihubungkan dengan ketidakberhasilan.
Pemberian awal steroid pada ARDS dihubungkan dengan mortalitas yang
meningkat, tetapi masih sering digunakan (pada hari ke 4-10) selama fase
fiberoproliferatif ARDS.
Morbisditas dan mortalitas dari ARDS biasanya karena sebab tertentu atau
komplikasi lebih dari pada gagal pernapasan itu sendiri. Diantara banyak
komplikasi serius sepsis, gagal ginjal, perdarahan gastrointestinal. Pneumonia
nosokomial secara khas biasa muncul pada pasien dengan latihan yang
diperpanjang. Pneumonia nosokomial seringkali sulit terdiagnosa; antibiotic
diindikasikan jika ada indeks suspek kuat (demam, secret purulen, lekositosis,
perubahan pada radiologi thorax). Specimen terlindung dan sampling lavage
bronkoalveolar melalui bronkoskop yang fleksibel. Kolonisasi bakteri gram
negative, perusakan barrier mukokutan oleh kateter, malnutrisi, dan imuniti
host yang menurun, dapat menaikkan angka kejadian. Gagal ginjal biasanya
disebabkan oleh deplesi volume, sepsis, nefrotoxin, meningkatkan mortalitas
(sampai >60%). Profilaksis untuk perdarahan gastrointestinal dengan
sukralfat, antacid, H2 bloker, atau inhibitor pompa proton, di rekomendasikan.
Patofisiologi
90% pasien tenggelam yang menghirup air bersih, air kotor, air payau, dan
cairan lain. Walaupun secara umum jumlah air yang di aspirasi terhitung kecil,
kesalahan pada ventilasi/perfusi dapat terjadi karena caran dalam alveoli dan
jalan napas, reflek bronkospasme, dan kehilangan surfaktan. Aspirasi isi
lambung juga dapat menjadi komplikasi tenggelam sebelum dan setelah
kehilangan kesadaran atau saat resusitasi dilakukan.
Aspirasi cairan hipotonik (seperti aspirasi air bersih) saat tenggelam akan
diserapo dengan cepat ke salam sirkulasi pulmonal.; biasanya air tidak dapat
dengan mudah disingkirkan dari jalan napas. Jika jumlah yang di aspirasi
banyak, (>800 mL pada dewasa dengan berat 70 kg)maka dapat timbul:
hemodilusi transien, hiponatremia, bahkan hemolisis. Sebaliknya, aspirasi air
asin, yang hipertonik, menarik air dari sirkulasi pulmonal ke dalam alveoli,
dan memenuhinya. Hemokonsentrasi dan hipernatremi dapat muncul
mengikuti tenggelam pada air asin, tetapi, hal ini jarang terjadi.
Hipermagnesemia dan hiperkalsemi juga pernah dilaporkan mengikuti
tenggelam air asin.
Pasien yang tenggelam pada air dingin, akan kehilangan kesadaran saat suhu
tubuh turun mencapai 32°C. Fibrilasi ventrikel timbul pada suhu 28°-
30°C.tetapi, hipotermia nya memiliki efek protektif terhadap otak dan dapat
meningkatkan pengukuran resusitasi menjadi sukses.
manifestasi klinis
Hampir semua pasien dengan episode hampir tenggelam memiliki hipoksemia,
hiperkarbia, dan asidosis metabolik. Pasien juga dapat saja terkena cedera lain
seperti patah tulang belakang setelah kecelakaan saat menyelam. Cacat
neurologi secara umum berhubungan dengan durasi dan beratnya asfiksia.
Edema serebral akan mengkomplikasi prolonged asfiksia. ALI dan ARDS
timbul pada pasien setelah resusitasi.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal untuk near-drowning ditujukan uintuk mengembalikan
ventilasi, perfusi, oksigenasi, dan keseimbangan asam-basa secepat mungkin.
Pengukuran yang segera termasuk membersihkan dan memperbaiki jalan
napas, memberikan oksigen, dan mengadakan resusitasi jantung paru (CPR).
Stabilisasi segmen servikal penting saat mengintubasi pasien yang hamper
tenggelam (near-drowning) setelah menyelam. Walaupun air asin seringkali
dapat didrainase dari paru oleh gravitasi, tindakan ini tidak boleh ditunda
menilik intuisi resusitasi jantung paru, abdominal thrust dapat menimbulkan
aspirasi isi lambung. Usaha resusitasi selalu terus dilanjutkan sampai pasien
telah tertangani dan dirawat oleh rumah sakit, biasanya mengikuti pada
tenggelam pada air dingin. Penyembuhan sempurna mungkin terjadi segera
atau pada periode memanjang asfiksia. Managemen termasuk intubasi trakeal,
tekanan ventilasi positif dan PEEP. Bonkhospasme harus ditangani dengan
bronkodilatator, abnormalitas elektrolit harus terbenahi, ALI dan ARDS di
rawat seperti dibicarakan diatas. Jika pasien mengalami hipotermi,
penghangatan (kompres hangat) harus dilakukan selama beberapa jam.
Inhalasi asap
Inhalasi asap sering kali menjadi sebab kelainan paru utama pada kebakaran.
Orang yang terkena dapat/ tidak dapat terkena kebakaran. Korban kebakaran
yang menginhalasi asap memiliki mortalitas yang jauh lebih tinggi daripada
korban kebakaran lain. Paparan apapun dengan asap pada kebakaran
membutuhkan diagnosis presumtif dari inhalasi asap sampai dibuktikan.
Diduga riwayat kehilangan kesadaran atau disorientasi, atau kebakaran yang
terjadi di ruangan tertutup.
Patofisiologi
Konsekuensi dari menghirup asap sangatlah kompleks, karena dapat
melibatkan tiga tipe cedera; cedera panas pada jalan nafas, paparan dari gas-
gas toksik, dan pembakaran kimia dengan meninggalkan sisa-sisa partikel
carbon di jalan nafas bawah. Respon system pernafasan terhadap asap sangat
kompleks dan bergantung pada lama paparan, komposisi material yang
dibakar, dan adanya penyakit-penyakit yang mendasari. Pembakaran banyak
material sintetik menghasilkan gas-gas yang sangat toksik seperti karbon
monoksida, hydrogen sianida, ammonia, klorida, benzana dan aldehid. Ketika
gas-gas ini bereaksi dengan air di jalan nafas, gas ini menghasilkan
hidroklorida asam asetat, formic dan sulfur . Karbonmonoksida dan sianida
adalah yang paling beracun.
Patofisiologi yang berkaitan dengan inhalasi asap meliputi cedera mukosa
langsung yang mengakibatkan edema, inflamasi, dan slounghing. Hilangnya
akitivitas silia mengganggu proses pembersihan mucus dan bakteri.
Manifestasi ALI dan ARDS biasanya terjadi 2-3 hari setelah cedera dan
tampaknya lebih berhubungan dengan terjadinya SIRS dibandingkan dengan
inhaslasi asap akut itu sendiri.
Manifestasi Klinis
Pasien pada awalnya hanya mengalami beberapa gejala dari inhalasi asap.
Temuan fisik yang biasa didapatkan meliputi luka bakar fasial atau intraoral,
terbakarnya rambut hidung, batuk, sputum yang kehitaman, dan wheezing.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan bronchoscope fleksible
pada jalan nafas atas dan traktus trakeobronkial. Bronchoscopi
memperlihatkan eritema, edema, ulkus mukosa, dan deposit karbon. Gas darah
arteri pada awalnya normal atau menunjukkan hanya sedikit hipoksemia dan
asidosis metabolic karena adanya karbon monoksida. Radiografi thoraks
biasanya juga tidak ditemukan adanya kelainan.
Cedera panas pada jalan nafas biasanya terbatas pada struktur supraglotis,
hanya jika paparan terjadi terus menerus. Hoarseness yang progresif dan
stridor adalah tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas, yang dapat terjadi
lebih dari 12-18 jam. Resusitasi cairan kadang-kadang meningkatkan resiko
terjadinya edema.
Keracunan karbon monoksida biasanya diartikan sebagai adanya lebih dari
15% karboksihemoglobin dalam darah. Diagnosis ini dibuat dengan
melakukan pengukuran cooxymetric pada darah. Karbon monoksida memiliki
afinitas 200-300 kali lebih kuat dibanding oksigen. Ketika sebuah molekul
karbon monoksida berikatan dengan hemoglobin untuk membentuk
karboksihemoglobin, terjadi penurunan afinitas untuk oksigen, menyebabkan
pergeseran kurva disosiasi hemoglobin ke kanan. Hasilnya adalah
pengurangan yang bermakna dari kapasitas oksigen di darah.
Lebih jauh lagi, rata-rata disosiasi untuk karbonmonoksida dari oksigen adalah
lambat dengan waktu paruh kira-kira 2 – 4 jam. Manifestasi klinis yang timbul
diakibatkan dari hipoksia jaringan karena ganggungan transport oksigen.
Level dengan lebih dari 20-40% karboksihemoglobin berkaitan erat dengan
kejadian gangguan neurologis, mual, fatique, disorientasi dan shock. Level
yang lebih rendah dapat juga menimbulkan gejala yang berat karena karbon
monoksida juga berikatan dengan sitokrom c dan mioglobin Mekanisme
kompensasi meliputi meningkatnya cardiac output dan vasodilatasi perifer.
Keracunanan sianida dapat timbul pada pasien yang terpapar gas dari hasil
bakaran material-material sintesis, khususnya yang mengandung lopturethane.
Sianida, yang dapat dihirup atau diserap melalui permukaan mukosa dan
kulit, berikatan dengan system sitokrom dari enzim dan menghambat produksi
ATP sel. Pasien dengan gangguan neurologis dan asidosis laktat; secara khas
mengalami aritmia, cardiac output yang tinggi dan vasodilatasi yang
bermakna.
Proses pembakaran kimiawi pada mukosa saluran pernafasan biasanya diikuti
dengan inhalasi material karbon dalam jumlah besar ketika dikombinasikan
dengan asap toksik. Inflamasi pada jalan nafas berakibat bronchorhea dan
wheezing. Edema bronkus dan slonghing pada mukosa menyebabkan
timbulnya obstruksi jalan nafas bawah dan atelektasis. Kegagalan ventilasi
yang berlangsung terus-menerus menyebabkan terjadinya hipoksia yang
bermakna dalam 24 – 48 jam. Perkembangan dari SIRS dapat mengarah
kepada ALI atau ARDS.
Penatalaksanaan
Broncoscopy fiber-optic biasanya mampu mengakkan diagnosis trauma
inhalasi. Broncoscopi biasanya dilengkapi dengan sebuah TT sehingga
intubasi dapat tetap dapat dilakukan jika edema mengancam patensi jalan
nafas. Intubasi elektif dini disarankan bila terdapat tanda-tanda nyata adanya
trauma panas pada jalan nafas. Pasien dengan hoarseness dan stridor
memerlukan intubasi segera; cricothyrotomi darurat atau trakeostomi bila
diperlukan jika intubasi nasal dan oral gagal dilakukan.
Bukti secara klinis adanya keracunan karbonmonoksida dan sianida, yang
dipertegas dengan koma, juga memerlukan intubasi trakeal dan bantuan
oksigen konsentrasi tinggi. Diagnosis keracunan karbonmonoksida
memerlukan pengukuran cooximetri karena pulse oksimetri tidak dapat
membedakan karboksihemoglobin dan oksihemoglobin. Waktu paruh
karboksihemoglobin berkurang sebanyak 1 jam dengan oksigen 100%;
beberapa klinisi menyarankan terapi oksigen hiperbarik bila pasien tidak
merespon terhadap oksigen 100%. Diagnosis keracunan sianida lebih sulit
ditegakkan karena pengukuran yang reliable untuk level sianida tidak tersedia
( secara normal 0.1 mg/L). Enzim rhodanase secara normal mengubah sianida
menjadi thiosianida, dimana senyawa ini dieliminasi oleh ginjal.
Penatalaksanaan untuk keracunan sianida yang berat terdiri dari pemberian
sodium nitrit 300 mg intravena dalam larutan 3% dalam 3-5 menit, diikuti
dengan sodium thiosulfat 12.5 gram intra vena dalam bentuk larutan 25%
selama 1-2 menit. Sodium nitrit mengubah hemoglobin menjadi
methemoglobin, yang memiliki afinitas lebih tinggi terhadap sianida
dibanding sitokrom oksidase; sianida dimana lebih lambat dilepaskan dari
cyanomethemoglobin diubah oleh rhodanase menjadi senyawa thiocyanate
yang kurang toksik.
Hipoksemia yang bermakna karena shunting intrapulmoner sebaiknya
dilakukan intubasi trakeal, terapi oksigen, bronkodilatator, ventilasi tekanan
positif, dan PEEP. Kortikosteroid tidak efektif dan eningkatkan kejadian
infeksi. Sebagai bentuk lain dari ALI, infeksi pneumonia nosokomial adalah
umum terjadi.
INFARK MIOKARD AKUTA
Infark miokard akut adalah komplikasi yang serius dari penyakit jantung
iskemik, dengan angka mortalitas 25%. Lebih dari separuh kasus kematian
diperkirakan terjadi dalam satu jam pertama dan biasanya karena aritmia
( fibrilasi ventrikel). Denagn adanay penemuan mutakhir dibidang kardiologi
akhir-akhir ini, angka kematian di rumah sakit berhasl diturunkan menjadi
kurang dari 10-15%. Kegagalan pompa ( ventrikel) saat ini merupakan
penyebab utama kematian pada pasien yang dirawat.
Sebagian besar infark miokard terjadi pada pasien dengan lebih dari satu arteri
koroner yang mengalami penyembpitan yang berat ( >75%). Infark trasmural
terjadi di area sebelah distal dari letak oklusi total. Oklusi biasanya karena
thrombosis pada plak ateroma yang stenosis. Emboli koroner atau spasme
berat lebih jarang menjadi penyebab. Luas dan lokasi infark bergantung pada
distribusi pembuluh darah yang mengalami obstruksi dan padakah telah
terbentuk pembuluh darah kolateral. Infak anterior, apical, dan septal pada
ventrikel kiri biasanya karena thrombosis pada arteri descending anterior kiri;
infark ventrikel lateral dan posterior kiri adalah akibat dari oklusi pada system
sirkumfleksa kiri, sedangkan infark ventrikel kanan dan ventrikel kiri bagian
postero-inferior adalah akibat dari thrombosis arteri koronaria kanan.
Sebaliknya, infark subendocardial ( nontrasmural, atau “non-Q-wave”)
biasanya terjadi pada kondisi dengan meningkatnya kebutuhan miokardial
yang berat dan telah berlangsung lama pada pasien-pasien dengan stenosis
berat tetapi dapat juga disebabkan oleh thrombosis koroner.
Episode iskemia berat, disfungsi miokard lama dengan hanya pemulihan
gungsi kointraktilitas yang lama dan bertahap dapat diobservasi. Fenomena “
stunning” ini kadang-kadang dianggap terjadi pada area sekitar infark miokard
dan dapat berperan dalam terjadinya disfungsi ventrikel yang mengikuti AMI.
Pemulihan kondisi iskemia pada area ini dapat mengembalikan fungsi
kontraktilitas. Ketika fenomena ini diamati pada kondisi iskemia kronik yang
berat, otot miokard pada area yang tidak mengalami infark tetapi kurang baik
fungsi kontraktilitasnya sering disebiut sebagai “ hibernating”. Stunning dan
hibernating biasa diamati pada kondisi iskemic cardiac arrest selama
cardiopulmonary bypass dan mengikuti revaskularisasi miokard.
Penatalaksanaan segera untuk AMI adalah pemberian oksigen ( 4-6 L/menit),
aspirin (160-325 mg), nitrogliceryn ( sublingual atau spray), morfin ( 2-4 mg
intavena tiap 5 menit) sampai nyeri mereda. Ingat akronim ini: MONA
( morfin, oksigen, nitrogliserin, dan aspirin) sesuai untuk semua pasien.
Karena prognosis AMI secara umum berbanding terbalik dengan luasnya area
yang mengalami nekrosis, tit8ik berat saat ini dalam mengelola infark miokard
adalah reperfusi. Berdasarkan sumber sumber lokal dan pemilihan waktu yang
tepat, angiografi dengan angioplasty dan atau sebuah stent denagn operasi
coronary artery bypass lebih disukai. Alternatif yang lain, alteplase atau
streptokinase dengan metode pemberian frontloaded, anistreplase (anisoylated
plasminogen streptokinase activator complex (APSAC)), reteplase, atau
tenecteplase akan meningkatkan harapan hidup. Manfaat terbesar diperoleh
jika terapi ini diberikan dalam satu jam pertama tetapi manfaat dapat dilihat
bila diberikan dalam 12 jam setelah serangan AMI.
Pasien dengan depresi segmen ST atau gelombang T dinamis ( non-Q wave
infarction; unstable angina)mendapat manfaat dari terapi antitrombin
( heparin) dan antiplatelet ( aspirin). Semua pasien tanpa kontraindikasi
sebaiknya menerima β-bloker. Pengobatan lainnya seperti ACE inhibitor,
calcium chanel bloker, statin dan sebagainya diindikasikan sesuai penyakit
komorbid. Pasien dengan angina berulang sebaiknya mendapat nitrat. JIka
angina tetap bertahan atau jika terdapat kontraindikasi terhadap β-bloker,
calcium chanel bloker harus diberikan.
Intraaortic ballon counterpulsation biasanya dilakukan pada pasien dengan
hemodinamik compromised dengan iskemia refrakter. Temporary pacing yang
mengikuti AMI adalah indikasi untuk Mobitz tipe II dan complete heart block,
sebuah bifascicular block yang baru, dan bradikardi dengan hipotensi. Stable
monomorphic ventricular tachycardia, jika diterapi secara medikamentosa dan
jika ejection fraction pasien normal adalah paling baik dikelola dengan
procainamide atau sotalol. JIka ejection fraction lemah, amiodarone bolus 150
mg intavena yang diberikan dalam 10 menit. Jika ventricular tachycardia
berupa polymorphic dan interval QT normal, gangguan elektrolit harus
dikoreksi, iskemia harus diatasi dan dapat diberikan β-bloker (amiodarone,
procainamide, atau sotalol). Jika interval Qt diperpanjang, selanjutnya sebagi
tambahan koreksi elektrolit, magnesium, overdrive pacing, isoproterenol,
fenitoin atau lidokain direkomendasikan. Lidokain adalah pilihan kedua untuk
indikasi ini. Pasien dengan stable narrow complex supraventricular
tachycardia sebaikknya diterapi dengan amiodarone. Pasien dengan
paroxysmal supraventricular tachycardia, dimana jection fraction
dipertahankan, sebaiknya diterapi dengan calcium chanel bloker, β-bloker,
digoksin, atau DC cardioversi. Jika ejection fraction kurang dari 40%, DC
cardioversi harus dihindari dan digantikan dengan digoksin, amiodaron, atau
diltiazem.
Pasien dengan ectopic atau multifocal atrial tachycardia sebaiknya tidak
mendapat DC cardioversi; sebagai gantinya sebaiknya diterapi dengan calcium
chanel bloker, β-bloker atau amiodaron. Jika ejection fraction kurang dari
40%, diltiazem dapat dipertimbangkan disamping pemberian amiodaron.
Tabel 49-7 Penyebab Azotemia yang revesibel
Prerenal
Penurunan tekanan perfusi ginjal
Hipovolemia
Penurunan cardiac output
Hipotensi
Peningkatan resistensi vaskuler ginjal
Neural
Hormonal
Farmakologis
Tromboemboli
Postrenal
Obstruksi uretra
Obstruksi pintu vesica urinaria
Prostat
Tumor vesica urinaria
Sistitis
Neurogenic bladder
Obstruksi ureter bilateral
Intrinsik
Calculi
Tumor
Bekuan darah
Nekrosis papilari
Ekstrinsik
Tumor abdomen atau pelvis
Fibrosis retroperitoneal
Ligasi ureter inadvertent
GAGAL GINJAL
Gagal ginjal akut adalah proses kemunduran yang cepat dari fungsi ginjal
yang tidak bersifat reversible walupun telah menghilangkan factor eksternal,
seperti tekanan darah, volume intravaskuler, cardiac output dan produksi urin.
Tanda-tanda gagal ginjal adalah azotemia dan oliguri. Meskipun demikian,
tidak semua pasien dengan azotemia akut mengalami gagal ginjal akut. Seperti
misalnya, > 500 mL urin tiap hari tidak serta-merta menunjukkan bahwa
fungsi ginjal adalah normal. Berdasarkan diagnosis gagal ginjal akut pada
level kreatinin atau meningkatknya nitrogen urea darah (BUN) masih
diperdebatkan karena kreatinin clearance tidak selalu merupakan penguruan
yang baik utuk fltrasi glomerulus.
Secara khusus, gagal ginjal akut didoagnosis dengan memonitor peningkatan
BUN dan kreatinin plasma selama 24-72 jam. Pada 50% pasien, gagal ginjal
akut adalah akibat dari iskemia; pada 35% pasien, gagal ginjal akut
disebabkan oleh nefrotoksik dan sisanya sebanyak 15% pasien mengalami
nefritis interstitial tubuler akut atau nefritis glomerular akut.
Azotemia dapat diklasifikasikan menjadi prerenal, renal dan postrenal. Lagi
pula, diagnosis gagal ginjal akut atau azotemia adalah salah satu eksklusi,
dengan demikian penyebab prerenal dan renal selalu dieksklusikan.
AZOTEMIA PRERENAL
Azotemia prerenal terjadi sebagai akibat dari hipoperfusi dari ginjal; bila tidak
diobati, berkembang menjadi gagal ginjal akut. Hipoperfusi ginjal biasanya
akibat dari penurunan tekanan perfusi arterial, peningkatan tekanan vena yang
bermakna, atau vasokonstriksi ginjal (Tabel 49-7). Penurunan tekanan perfusi
bisanya berkaitan dengan pelepasan norepinefrin, angiotensin II, arginine
vasopresin ( AVP, bias any disebut hormone diuretic) dan endothelin. Hormon
ini mengkontraksikan otot-otot kutan dan splanchinc vasculature dan
merangsang retensi garam dan air. Proses pembentukan prostaglanding yang
berefek vasodilatasi ( prostacyclin dan PGE2 ) dan nitric oxide di ginjal dan
aksi intrarenal dari angiotensin II membatu mempertahankan fltrasi
glomerulus. Penggunaan inhibitor cyclooxygenase atau angiotensin converting
enzyme inhibitor pada azotemia prerenal dapat memacu ti,bulnmya gagal
ginjal akut. Diagnosis azotemia prerenal biasanya dicurigai darai temuan klinis
dan diyakinkan dengan pemeriksaan urin (Tabel 49-8). Pengobatan untuk
azotemia prerenal diutamakan dalam mengkoreksi deficit volume
intravaskuler, meningkatkan fungsi jantung, mengembalikan tekanan darah
dan mengembalikan adanya peningkatan resistensi vaskuler. Sindrom
hepatorenal akan didiskusikan dalam bab 35.
Table 49-8 Indeks urin pada azotemia
Index Prerenal Renal Postrenal
Berat jenis >1.018 <0.012 Variabel
Osmolalitas (mmol/kg) >500 <350 Variabel
Rasio urea nitrogen >8 <3 Variabel
urin/plasma
Rasio creatinin >40 <20 Variabel
urin/plasma
Sodium dlm urin <10 >40 Variabel
(mEq/L)
Ekskresi fraksional <1 >3 Variabel
sodium
Indeks Gagal Ginjal <1 >1 Variabel
POSTRENAL AZOTEMIA
Azotemia karena obstruksi saluran kencing merupakan azotemia postrenal.
Obstruks aliran urin dari kedua ginjal adalah biasa ditemui pada azotemia dan
oluguri/anuria pada kondisi ini. Obstruksi total biasanya mengarah ke gagal
ginjal akut, sedangkan obstruksi parsial yang berkepanjangan mengarah ke
gangguan ginjal kronik. Penegakan diagnosis segera dan penanganan atas
obstruksi akut biasanya mampu mengembalikan fungsi ginjal kembali normal.
Obstruksi dapat diketahui dari pemeriksaan fisik ( distensi vesika urinaria)
atau foto polos abdomen ( adanay batu ginjal bilateral) tetapi hal ini harus
dikonfirmasi dengan adanya dilatasi di sebelah proksimal dari letak obstruksi.
Ultarsonografi ginjal atau CT scan ginjal paling sering digunakan. Obstruksi
pada outlet vesika urinaria dapat diatasi dengan kateterisasi vesika urinaria
atau sistotomi suprapubik, sedangkan obstruksi ureter memerlukan nefrostomi
atau stent ureter.
FENa+ adalah kurang dari 1% pada pasien dengan oliguria dengan azotemia
prerenal tetapi secara khusus melebihi 3 % pada pasien dengan GGA oliguri.
Nilai 1-3% dapat terjadi pada pasien dengan GGA nonoliguri. Indeks gagal
ginjal, dimana konsentrasi natrium urin dibagi dengan rasio creatinin
urin/plasma, adalah indeks yang paling sensitive untuk mendiagnosis gagal
ginjal. Pengunaan diuretika meningkatkan ekskresi natrium urin dan indeks-
indeks invalid yang berdasar konsentrasi natrium urin adalah suatu cara
pengukuran fungsi tubulus. Lebih jauh lagi, penyakit ginjal intrinsic yang pada
awalnya menyerang system vaskuler ginjal atau glomerulus mungkin tidak
mengganggu fungsi tubulus dan hal ini dikaitkan dengan indeks-indeks yang
terdapat juga pada azotemia prerenal. Pengukuran tes klirens kreatinin dalam 3
jam dapat digunakan untuk meperkirakan anghka filtrasi residu glomerulus,
tetapi beberapa faktor tetap harus dipertimbangkan. Agar terjadi korelasi yang
baik, peninglatan kreatinin serum haruslah berbentuk plateau.
ETIOLOGI GGA
Penyebab GGA dapat dilihat pada table 49-9. Hampir 50% kasus diawali dari
trauma mayor atau pembedahan; dalam hal ini iskemia dan nefroktoksin
adalah penyebabnya. GGA yeng berhubungan dengan iskemia dan nefrotoksin
secara umum mengarak ke nekrosis tubular akut. Fase selanjutnya,
bagaimanapun juga, adalah tidak akuratnkarena penyakit ginjal intrinsic
seperti glomerulonefritis dan nefritis interstitial, dapat menyebabkan gagal
ginjal tanpa nekrosis tubuler. Lebih jauh lagi, banyak pasien dengan iskemia
dan gagal ginjal nefrotoksin tidak ditemukan adanya nekrosis tubuler dari
pemeriksaan patologi. Aminoglikosida, amfoterisin B, kontras radiografi,
siklosporin dan cisplatin adalah nefrotoksin eksogen yang paling banyak.
Amfoterisin B, kontras, dan siklosporin tampaknya juga menyebabkan
vasokonstriksi ginjal secara langsung. Hemoglobin dan mioglobin adalah
nefrotoksin potensial ketika Hb dan mioglobin ini delepaskan pada proses
hemolisis intravaskuler dan rhabdomiolisis. Inhibitor cyclooxygenase, secara
khusus antiinflamasi non steroid ( NSAIDs), mungkin berperan penting pad
abeberapa pasien. Penghambatan sintesis prostaglandin oleh beberapa agen
menurunkan vasodilatasi ginjal yang diperantarai prostaglandin,
memungkinkan terjadinya vasokonstriksi ginjal. Faktor predisposisi lainnya
untuk GGA meliputi penyakit vaskuler, diabetes dan dehidrasi.
Tabel 49-9. Penyebab Gagal Ginjal Akut
Iskemia ginjal (50%)
Hipotensi
Hipovolemi
Gangguan cardiac output
Nefrotoksin (35%)
Pigmen endogen
Hemoglobulin (hemolisis)
Mioglobin (rhabdomiolisis dari crush injury dan luka bakar)
Agent kontras radiografi
Obat-obatan
Antibiotika (aminoglikosida, amfoterisis)
Obat anti infalamasi nonsteroid
Agen kemoterapi ( cisplatin, metotreksat)
Kristal tubuler
Asam urat
Oksalat
Sulfinamid
Keracunan metal berat
Bahan-bahan organic
Protein myeloma
Penyakit Ginjal Intrinsik
Penyakit Glomerulus
Nefritis Interstitial
Patogenesis GGA
Kemampuan ginjal untuk meresponi trauma dapat ditunjukkan dengan
tingginya angka metabolismenya dan kemampuan untuk mengkonsentrasikan
substansi toksik. PAtogenesi GGA sangat kompleks dan mungkin memiliki
baik dasar vaskuler maupun tubuler. Konstriksi arteriol aferen, menurunkan
prmeabilitas glomerulus, trauma sel epithelial secara langsung dan obstruksi
tubulus dari debris intraluminal atau edema dapat menurunkan filtrasi
glomerulus. Kebocoran partikel-partikel yang melalui bagian-bagian yang
rusak dari tubulus ginjal menyebabkan reabsorpsi kreatinin, urea dan buangan
nitrogen lainnya.
Iskemia ginjal atau hipoksia diduga memacu GGA. Ketidakseimbangan antara
produksi ATP dan kebutuhan sel epithelial menyebabkan gangguan transport
ion, pembengkakan sel, gangguan metabolisme fosfolipid, dan akumulasi
kalsium intraseluler. Trauma sel yang diperantarai radikal bebas dapat juga
terjadi selama proses reperfusi dan reoksigenasi.
GGA oliguria dan GGA nonoliguria
GGA biasa diklasifikasikan menjadi oliguri ( volume urin <400 mL/d), anuria
(volume urin <100 mL/d), atau nonoliguria ( volume urin >400 mL/d). GGA
nonoliguria ditemui pada hampir 50% kasus. Pasien dengan GGA nonoliguria
secara khas memiliki konsentrasi natrium urin lebih rendah dibanding pasien
oliguria. Lebih jauh lagi, mereka tampaknya memiliki lebih sedikit komplikasi
dan memerlukan perawatan di rumah sakit yang lebih pendek. GGA
nonoliguria menunjukkan lebig sedikit trauma ginjal berat. PAda beberapa
kondisi, ada kemungkinan untuk mengubah kondisi GGA oliguria menjadi
nonoliguria yaitu dengan memberikan manitol, furosemid atau dopamine dosis
renal ( 1-2 µg/kg/menit). Peningkatan urin output dapat diatasi dengan
mencegah obstruksi tubulus. MAnitol dapat menurunkan edema sel dan
memiliki kasi membersihkan radikal bebas. Di lain pihak, respon terahadap
terapi diuretika dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan penurunan
tingkat gangguan ginjal. Meskipun demikian, pad apenelitian terdahulu,
ditemukan adanya peningkatan kematian pasien dengan GGA yang mendapat
diuretika, pengunaan diuretika secara rutin masih diperdebatkan.
Penatalaksanaan GGA
Sekitar 15% pasien GGA berakhir di ICU. Meskipun pelayanan kesehatan
telah mengalami kemajuan dengan pesat pada beberapa tahun terakhir, angka
kematian pasien GGA masih sekitar 50%. Prinsip pengelolaan psien GGA
adalah terapi suportif. Diuretika dan manitol dapat digunakan untuk
mempertahankan urin output pada pasien nonoliguria. Studi prospektif
mengenai penggunaan diuretika masih sanagt langka. Dopamin tidak pernah
dilaporkan dapat efektif pada pengobatan pasien GGA. GGA yang disebabkan
glomerulonefritis atau vaskulitis mungkin berespon terhadap glukokortikoid.
Pengobatan standar untuk pasien oliguri dan anuria dimana urin output tidak
meningkat pasca pemberian diuretika, meliputi pembatasan cairan, natrium,
kalium, dan fosfor. Pengukuran berat badan harian membantu mengarahkan
terapi cairan. Total cairan yang masuk seharusnya setara dengan 500 mL
ditambah urin output. Intake natrium dan kalium maksimal 1 mEq/kg/d,
sedangkan intake protein kurang dari 0.7g/kg/hari dan terutama terdiri dari
protein dengan nilai biologis tinggi. Hiponatermia dapat diatasi dengan
pembatasan cairan. Hiperkalemia meungkin memerlukan pemberian resin ion-
exchange ( natrium polystyrene), glukosa dan insulin, calcium glukonas atau
natrium bikarbonat. Terapi natrium bikarbonat dapat jug adigunakan pada
kondisi asidosis metabolic ketika bikarbonat serum turun dibawah 15 mEq/L.
Hiperfosfatemia memerlukan pembatasan diet fosfat dan antasida fosfat
binding ( alumunium hydroxide). Dosi ekskresi on\bat melalui ginjal harus
disesuaikan dengan filatrasi glomerulus atau pengukuran klirens kreatinin
untuk mencegah terjadinya akumulasi.
Gambar 49-8. Hubunagn infeksi, sepsi dan SIRS. ( Dimodifikasi dari the
American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine
Consensus Conference : Definition for sepsis and organ failure and guideline
for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992;20:864)
Dialisis dapt dilakukan untuk mengatasi atau mencegah terjadinya komplikasi
uremia ( lihat table 32-4). Kateter dobel lumen yang diletakkan pada vena
jugularis interna, vena subclavia, vena femoratils biasa dikerjakan. Tingginya
angka morbiditas dan mortalitas pada kasus GGA terjadi sebelum dilakukan
dialysis, tetapi penetilitian yang dilakuakan berkata lain. Dialisis tampaknya
tidak mempercepat proses pemulihan tetapi pada kenyataannya memacu
trauma ginjal jika terjadi hiptensi atau terlalu banyak cairan yang dikeluarkan.
Karena mempertimbangkan hemodialisis intermiten berhubungan dengan
hipotensi dapat menyebabkan cidera ginjal, continuous renal replacement
therapy (CRRT) ( continuous venovenous hemofiltrasion (CVVHF) dan
continuous vemovenous hemodialysis (CVVHD), yang mengeluarkan cairan
dan larutan pada tingkat yang terkontrol dan sanagt lambat) sering digunakan
pada pasien-pasein GGA terminal yang tidak dapat mentolerir efek
hemodinamik akibat hemodialisis intermiten. Masalah utama CCRT adalah
mahalnya biaya operasional, karena membrane yang digunakan mudah untuk
membentuk bekuan dan oleh Karen aitu gharus digant secara periodic. Diluar
kekurangan ini, para ahli percaya bahwa CCRT adalah cara terbaik untuk
merawat pasien ICU dengan GGA. CCRT digunakan tidak hanya untuk GGA
(oliguria dan uremia) tetapi juga untuk mengatasi asidosis metabolic, overload
cairan, dan hiperkalemia.
Perubahan lain dalam pengelolaan pasien GGA adalah dimana protein yan
diijinkan adalah kurang dari 0.4-0.6 g/kg per hari, sebagian besar nefrologis
saat ini percaya bahwa suplementasi nutrisi tidak perlu dibatasi dan protein
sebanyak 1.0-1.5 g/kg per hari dapat diberikan, khususnya pada pasien CCRT.
PATOFISIOLOGI SIRS
Respon sistemik ringan terhadap seluruh ancaman secara normal dapat
menimbulkan efek yang positif. Meskipun demikian, respon bermakna dan
lama, seperti yang dikaitkan dengan infeksi berat, kadang berakibat pada
disfungsi organ secara luas. Meskipun organism gram negative merupakan
SIRS terkait infeksi, bayak antigen infeksius lainnya dapat memacu timbulnya
sindrom yang sama. Organisme ini memperbanyak toksin dan merangsang
pelepasan substansi yang memacu respon ini. Initiator yang banyak dikenal
adalah lipopolysacharide (LPSs) yang dilepaskanoleh bakteri gram negative.
LPS terdiri dari suatu O polysaccharide, sebuah inti, dan lipid A. O
polysaccharide mampu membedakan tipe-tipe bakteri gram negative,
sedangkan lipid A, suatu endotoksin, bertanggungjawab atas reaksi toksisitas.
Respon terhadap endotoksin melibatkan suatu interaksi kompleks antara
makrofag/monosit, netrofil, limfosit, trombosit dan sel endotel yang dapat
berefek pada setiap organ.
Mekanisme utama dalam menginisiasi SIRS tampaknya adalah sekresi
abnormal dari sitokin. Peptida dengan berat molekul rendah dan glikoprotein
berfungsi sebagai mediator interseluler dan secara normal mengatur proses
biologis, termasuk local and systemic immune renspon, inflamasi,
penyembuhan luka dan hematopoesis. Sitokine yang terutama dilepaskan
selama SIRS adalah IL-6, adrenomedulin, CD14 yang larut,sELAM-1, MIP-
1a, fosfolipase ekstraseluler A2 dan CRP. Respon peradangan juga melepaskan
phospolipid yang berpotensi membahayakan, penarikan neutrophil dan
aktivasi komplemen, kinin dan kaskade koagulasi.
SYOK SEPSIS
Manifestasi Klinis
Manifestasi syok septik tampak lebih berhubungan secara primer terhadap
respon host daripada agen infektif. Syok septik secara klasik terjadi bersama
menggigil dengan onset tiba-tiba, demam, nausea (dan seringkali muntah),
menurunnya status mental, takipnea, hipotensi, dan takikardi. Pasien dapat
terlihat kemerahan (flushing) dan merasa...
Tabel 49—12. Terapi antibiotik awal untuk sindrom penyakit infeksi yang
mengancam jiwa.1,2
Sindrom Patogen Preparat Empiris Awal
Sepsis kriptogenik tanpa
infeksi lokal
teridentifikasi
Didapat dari komunitas
Imunokompeten Staphylococcus aureus Ceftriaxone atau
Neisseria meningitidis cefotaxime (levofloxicin
Streptococcus grup A atau gatifloxicin3) plus
vancomycin (apabila
MRSA pada infeksi
yang didapat dari
komunitas atau memiliki
CVC dalam jangka
waktu lama)
Seorang anak atau Sama seperti di atas Ceftriaxone atau
dewasa tua, atau plus Streptococcus cefotaxime plus
imunokompromise pneumoniae (termasuk ampicillin (vancomycin)
PRP)
Salmonella
Listeria
Nosokomial S. aureus (termasuk Cefepime, carbapenem,
MRSA) atau penicillin
Enterococcus (VRE antipseudomonal
yang mungkin) (aztreonam3) plus
Pseudomonas ciprofloxacin atau
aeruginosa dan bakteri tobramycin plus
batang gram negatif vancomycin (apabila
resisten lain resiko MRSA/MRCNS)
plus obat untuk VRE
saja apabila diketahui
kultur positif
Demam granulositopenik Sama seperti di atas Cefepime atau
carbapenem
Tambah vancomycin
(apabila selulitis, sepsis
CVC, syok septik, atau
diketahui MRSA positif)
Ciprofloxacin plus
vancomycin3
Endokarditis bakterial
akut
Katub asli S. aureus Penicillin plus nafcillin
Streptococcus grup A (vancomycin3) plus
Bakteri batang gram gentamycin
negatif
Enterococcus
Penanganan
Syok septik adalah kegawatan medis yang memerlukan penanganan
yang agresif. Penanganan : (1) Mengendalikan dan mengeradikasi infeksi dari
kecocokan dan waktu antibioktik intravena (tabel 49-12) , pengeluaran abses,
pembersihan jaringan nekrosis, dan pengeluaran infeksi zat asing (2)
Penanganan yang cukup dari perfusi dengan cairan intravena dan inotropik
dan agen penekan pembuluh darah, (3) Penanganan suportifdari komplikasi
seperti ARDS, ARF, perdarahan GI dan DIC.
Penanganan antibiotik harus diinisiasi sebelum zat patogen
diidentifikasi, tapi setelah budaya yang cukup didapat (darah, urin, luka,
sputum). Kombinasi terapi dengan dua atau lebih antibiotik diindikasikan
secara umum sampai patogen diketahui. Beberaoa kejadian, kombinasi dari
penghambat penisilin beta laktamase atau generasi ketiga sefalosporin dengan
amiloglikosida yang cukup. Penambahan pembelajaran yang cukup
diindikasikan (contoh thoraksintesis, parasintesis, pungsi lumbal, atau CT
scan). Pembersihan dan pengeluaran dari infeksi dan abses seharusnya
ditangani dengan baik.
Terapi antibiotik empirik dalam pasien imunokompremised seharusnya
dapat didasarkan patogen yang secara umum berkaitan dengan defek imun
(tabel 49-13). Vankomisin ditambahkan jika infeksi intravaskular berdasar
kateter dicurigai. Klindamisin atau metronidasol seharusnya diberikan pada
pasien neutropeni jika curiga rektal abses. Banyak klinisi memakai amfoterisi
b, flukonasol atau terapi caspofungi untuk infeksi jamur atau jika dengan
imunokompremised untuk demam lebih dari 96 jam dari terapi antibiotik.
Stimulasi koloni granulosit atau stimulasi koloni granulosit makrofag dapat
digunakan pada periode yang singkat dari neutropenia; tranfusi granulosit
dapat digunakan belokan bakteri gram negatif. Difusi infiltrat interstisial dari
radiograf dada dapat mensugesti bakteri yang tidak biasa, parasitik, atau
patogen virus; banyak klinisi menginisiasi terapi empirik dengan trimetoprim
sulfametoksasol dan eritromisin. Infiltrasi nodular pada radiograf mensugesti
pnemonia jamur dan dapat tuntutan terapi antijamur. Terapi antiviral
seharusnya dipertimbangkan pada pasien sepsis yang lebih dari 1 bulan
sehabis sumsum tulang atau transplan organ padat.
Oksigenasi jaringan dan perfusi dijaga dengan terapi oksigen, cairan
intravena, inotrop, vasopresor dan PRC darah merah untuk menjaga hb > 8-
10g/dL. Tanda spasi ketiga mengkarakteristik syok septik. Sebuah inotrop
seharusnya digunakan jika cairan intra vena gagal pulih dengan cepat. Koloid
lebih cepat memulihkan volume intra vaskular dibandingkan dengan kristaloid
tapi tidak terbukti keuntungan tambahan. Terapi inotropik diinisiasi jika 1-3 L
cairan intravena tidak dapat memperbaiki hipotensi. Hematokrit seharusnya
dijaga diatas 24-30% untuk meningkatkan penyampaian oksigen. Kateterisasi
arteri pulmoner baik dalam penanganan fasilitas tiba-tiba karena mengikuti
pengukuran PAOP dan kardiak output. Banyak klinisi secara umum memilih
dopamin sebagai inisial inotrop; yang lain menggunakan dobutamin karena
lebih efektif meningkatkan kardiak output dan penyampaian oksigen (tabel 49-
14). Beberapa pembelajaran mensugesti angka kematian pasien dapat turun
jika penyampaian oksigen dapat ditingkatkan. Ketika dopamin dan dobutamin
efektif meningkatkan tekanan darah dan kardiak output, epinefrin (2-18
mikrog/menit) dapat menjadi pilihan. Pasien dengan hipotensi bias,
norepinefrin, vasopresin, atau keduanya diadministrasikan dengan
peningkatan yang baik dalam tekanan darah tapi tanpa kejadian yang
mengakibatkan pengeluaran. Asidosis berat dapat turun dari inotrop dan
seharusnya dapat dikoreksi (pH >7.20) dengan terpi bikarbonat pada pasien
hipotensi bias.
Tabel 49-14. Efek dari obat-obat inotropik dan vasopressor pada pasien sepsis
Pengangkutan
Obat Tekanan darah Cardiac output oksigen
Dopamine
Dobutamine 0 atau
Norepinephrine 0 0
Epinephrine
Vasopressin 0 0
Perdarahan saluran cerna akut adalah penyebab umum yang membawa dating
ke ICU. Pada usia lanjut (>60 tahun), kondisi komorbid, hipotensi, kehilangan
darah yang nyata (> 5 unit), dan perdarahan berulang (rebleeding) setelah 72
jam meningkatkan mortalitas. Manajemen dilakukan secara simultan dan
dilakukan evaluasi yang cepat dan identifikasi lokasi perdarahan dan
stabilisasi.Walaupun volume resusitasi sama, para klinisi harus mampu
membedakan antara perdarahan saluran cerna bagian atas dan bawah. Riwayat
hematemesis menunjukkan adanya perdarahan saluran cerna di proksimal
ligamentum Treitz. Melena biasanya mengindikasikan adanya perdarahan
saluran cerna di proksimal caecum. Hematochezia (darah merah terang dari
rektum) menunjukkan adanya perdarahan cepat dari saluran cerna bagian atas
atau pada umumnya perdarahan saluran cerna bagian bawah. Kondisi ini
biasanya dihubungkan dengan hipotensi. Adanya feses yang berwarna merah
gelap biasanya disebabkan perdarahan yang lokasinya pada daerah antara usus
halus distal dan kolon sebelah kanan.
Paling sedikit 2 jalur intravena dengan jarum ukuran besar (14-16) harus
dipasang dan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium (termasuk
hematokrit, hemoglobin, jumlah trombosit, prothrombin time, dan activated
partial thromboplastin time). Pasien harus diperiksa golongan darah dan
dilakukan tes silang sampai sedikitnya 4-6 unit darah. Pedoman resusitasi
cairan dibicarakan di Bab 29. Hematokrit serial berguna namun bisa tidak
akurat menggambarkan kehilangan darah yang sebenarnya. Tekanan darah
intraarterial harus diawasi. Kanulasi vena central berguna untuk akses vena
dan pengukuran tekanan. Pemasangan selang nasogastric dapat membantu
mengetahui sumber perdarahan saluran cerna atas jika saat diaspirasi nampak
darah merah yang terang atau material ”coffee ground”; tidak adanya darah
yang teraspirasi, bagaimanapun juga, tidak dapat memastikan bahwa
perdarahan saluran cerna bagian atas tidak terjadi.
TERAPI NUTRISI
Kepentingan untuk mempertahankan nutrisi adekuat pada pasien yang kritis
tidak dapat terlalu ditekan. Malnutrisi berat menyebabkan disfungsi organ
yang luas dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perioperatif.
Pemenuhan nutrisi dapat meningkatkan penyembuhan luka, mengembalikan
kemampuan imun, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien-
pasien dalam keadaan kritis.
Kelaparan
Proses fisiologis dari kondisi kelaparan adalah kandungan protein dari
jaringan tubuh yang esensial atau penting sangat sedikit. Karena kadar glukosa
darah mulai menurun pada saat puasa, sekresi insulin berkurang, sedangkan
glukagon meningkat. Glikogenolisis dan glukoneogenesis meningkat, terutama
pada hepar serta juga sebagian kecil pada ginjal. Karena persediaan glikogen
akan habis dalam waktu 24 jam, glukoneogenesis selanjutnya akan sangat
meningkat. Hepar terutama menggunakan asam amino yang terdeaminasi
(alanin dan glutamin) sebagai prekursor sdalam sintesis glukosa. Hanya
jaringan saraf, medula ginjal, dan eritrosit yang terus menggunakan glukosa
akibat efek hilangnya protein jaringan. Lipolisis pada jaringan lemak
meningkat, sehingga lemak menjadi sumber energi utama. Gliserol dari
trigliserid memasuki jalur glikolisis dan asam lemak dipecah menjadi asetil
koenzim A (CoA). Asetil-CoA yang berlebihan menghasilkan terbentuknya
badan keton (ketosis). Beberapa asam lemak dapat masuk ke jalur
glukoneogenesis. Jika kelaparan bertambah lama, otak, ginjal, dan otot juga
mulai menggunakan badan keton secara efisien.
Namun, sebagian besar ahli gizi memberikan pasien sakit kritis hanya 20-30
kkal/kg per hari karena pasien sakit kritis memiliki metabolisme seluler yang
terganggu—glukosa dan asam lemak tidak dioksidasi secara komplit. Sebagai
gantinya, senyawa antara (intermediate) metabolik diangkut dari sel kembali
ke hati dimana zat-zat tersebut didaur ulang (siklus zat), meningkatkan
kecepatan metabolisme lebih lagi.
NUTRISI ENTERAL
Saluran gastrointestinal merupakan rute pilihan untuk bantuan nutrisi saat
kesatuan fungsionalnya intak. Pemberian makan secara enteral dapat
digunakan untuk memberi nutrisi lengkap atau tambahan. Nutrisi lengkap
bersifat lebih sederhana, lebih murah, lebih tidak ribet, dan berhubungan
dengan komplikasi yang lebih sedikit daripada nutrisi parenteral. Selain itu,
nutrisi enteral tampak lebih baik dalam menjaga struktur dan fungsi GI
daripada rute parenteral; penelitian juga menyarankan bahwa nutrisi enteral
awal (1-3 hari) dapat mengurangi respon hipermetabolik sehingga
meningkatkan respon host terhadap infeksi.
Pemberian makan secara enteral kebanyakan diberikan sebagai infus kontinu
melalui nasogastric atau nasoduodenal tube berdiameter kecil, gastrostomi,
atau feeding jejunostomy tube. Terapi biasanya dimulai pada kecepatan 25
mL/hari dan ditingkatkan perlahan setelah pemberian beberapa hari sampai
sasaran kalori dan protein yang diinginkan tercapai. Kebanyakan formula
enteral mengandung campuran polimerik dari protein, lemak dan karbohidrat.
Tersedia berbagai macam preparat. Pemilihan berdasarkan pada osmolalitas
dan kandungan lemak. Beberapa formula tersusun dari formula dasar rendah
residu. Formula dasar diindikasikan pada pasien dengan sindrom usus pendek
(short bowel syndrome), fistula GI, dan inflammatory bowel disease dan
mereka yang telah NPO (nil per os) selama berminggu-minggu; formula
tersebut siap diserap dan memiliki residu rendah. Trigliserida rantai sedang
(medium-chain triglycerides/MCTs) tersusun dari 8-10 asam lemak rantai
karbon yang tidak memerlukan garam empedu atau enzim pankreas untuk
absorbsi; minyak MCT diindikasikan untuk pasien dengan insufisiensi
pankreas dan kolestasis.
Diare merupakan salah satu problem yang paling umum terjadi pada
pemberian makan secara enteral dan biasanya berhubungan, baik dengan
hiperosmolalitas larutan atau intoleransi laktosa. Distensi gaster merupakan
komplikasi lain yang meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi pulmonal;
duodenal atau jejunostomy tube seharusnya mengurangi kejadian ini. Distensi
abdomen progresif atau volume residu gaster yang besar merupakan indikasi
ileus dan secepatnya harus dilakukan penghentian pemberian makan secara
enteral.
NUTRISI PARENTERAL
Nutrisi parenteral total (total parenteral nutrition/TPN) diindikasikan apabila
saluran GI tidak dapat digunakan atau bila absorbsi tidak adekuat. Formula
TPN menggunakan larutan hiperosmolar terdiri dari asam amino, glukosa, dan
lemak yang dicampur menjadi satu. Sifat dasar hipertonik dari larutan ini
memerlukan akses vena sentral. Elektrolit, mineral, dan preparat multivitamin
ditambahkan. Larutan glukosa parenteral memberikan hanya 3,4 kkal/g
(dibandingkan dengan 4 kkal/g untuk karbohidrat kering) karena konsentrasi
glukosa larutan tersebut terdapat dalam bentuk monohidrat. Lemak diberikan
dalam bentuk emulsi lemak yang dapat di-infus secara terpisah apabila tidak
dicampur dengan larutan glukosa-asam amino. Emulsi lemak tersedia baik
dalam 10% (1,1 kkal/mL) atau 20% (2 kkal/mL). Kegagalan untuk
memberikan lemak setidaknya satu kali seminggu dapat mengakibatkan
defisiensi asam lemak essensial, yang mana bermanifestasi sebagai dermatitis,
alopecia, hepatomegali (fatty liver), dan defek imunitas. Untuk meng-infus
jumlah kalori yang adekuat pada volume yang sedikit, lemak seringkali
diberikan setiap hari.
Tabel 49—16. Komplikasi total parenteral nutrition.
Berkaitan kateter
Pneumothorax
Hemothorax
Kilothorax
Hidrothorax
Emboli udara
Tamponade jantung
Thrombosis
Vena subclavia
Vena cava
Thromboemboli pulmo
Sepsis kateter
Metabolik
Azotemia
Disfungsi hepatik
Kolestasis
Hiperglikemi
Koma hiperosmolar
Ketoasidosis diabetik
Produksi CO2 berlebih
Hipoglikemi (akibat interupsi infus)
Asidosis atau alkalosis metabolik
Hipernatremi
Hiperkalemi
Hipokalemi
Hipokalsemi
Hipofosfatemi
Hiperlipidemi
Pankreatitis
Sindrom emboli lemak
Anemia
Besi
Folat
B12
? Tembaga
Defisiensi vitamin D
Defisiensi vitamin K
Defisiensi asam lemak essensial
Hipervitaminosis A
Hipervitaminosis D