Anda di halaman 1dari 103

CRITICAL CARE

KONSEP UTAMA
1. Kriteria brain death diterapkan hanya pada kejadian tanpa hipotermi,
hipotensi, kelainan metaboik atau endokrin, agen blok neuromuskular,
atau obat yang mendepresi fungsi otak.
2. Resiko Retinophaty prematur pada neonatus meningkata pada BBLR
dan komorbid kompleks(cth,sepsis). Kebalikan dengan toksisitas
pulmo, Retinophaty prematur lebih berkorelasi dengan tekanan arteri
dibandingkan dengan tekanan O2 alveous.
3. Pressure control ventilation (PCV) sama dengan bantuan tekanan
ventilasi pada tekanan puncak jalan nafas terkontrol tapi berbeda pada
mandatory rate dan waktu inspirasi yang dipilih. Sama dengan tekanan
bantuan, aliran gas berhenti ketika level tekanan berhasil dicapai;
bagaimanapun, ventilator tidak kembali ke siklus ekspirasi sampai
waktu inspirasi yang telah ditentukankan lewat.
4. Kerugian dari PCV adalah tidak menjamin volume tidal.
5. Ketika dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu
tambahan di ICU, intubasi nasal mungkin lebih nyaman bagi pasien,
lebih aman( lebih sedikit terjadi ekstubasi tanpa sengaja), dan dapat
menjadi penyebab kerusakan laryng, intubasi nasal, bagaimanapun
memiliki efek samping pada penggunaanya.
6. Ketika dipasang lebih dari tiga minggu, oral tibe dan nasal
translaryngeal tubes(TTs) dapat menjadi predisposisi terjadinya
stenosis subglotis. Jika diperlukan periode pemakaian ventilasi
mekanik yang lebih lama, tine TT harus diganti seluruhnya dengan
cuffed transpharyngeal tube.
7. efek utama dari positive end-expiratory pressure(PEEP) pada paru
adalah meningkatkan kapasitas residu fungsional.
8. Angka kejadian barotrauma pulmoner lebih tinggi ketika PEEp
berlebih atau terdapat continous positive airway pressure, terutama
pada angka lebih dari 20cmH2o.
9. Gerakan yang mendukung inflasi paru maksimum seperti pada
penggunaan spirometer pendorong, dapat menolong dalam
menginduksi batuk untuk mencegah atelektasis dan memelihara
volume normal paru.
10. Pada pasien dengan sindrom respiratory distress akut, VT > 10mL/kg
dikaitkan dengan peningkatan angka kematian.
11. Pilihan intubasi trakeal dini dianjurkan ketika terdapat tanda luka bakar
nyata pada jalan nafas.
12. Perlu diperhatikan hemodialisis intermiten yang tekait hipotensi dapat
menyebabkan trauma pada ginjal, terapi pengganti fungsi
ginjal(hemodialisis) yang terus menerus daat meningkatkan fungsi
ginjal pada pisien kritis dengan gagal ginjal akut yang tidak dapat
ditoleransi oleh efek haemodinamik dari hemodialisis intermiten.
13. Pada usia lanjut(>70 tahun), terapi kortikosteroid, kemoterapi, dan
penggunaan alat invasif yang berkepanjangan, gagal nafas, gagal
ginjal, trauma kepala, dan luka bakar menjadi suatu faktor resiko untuk
infeksi nosokomial.
14. Dilatasi vena sistemik dan transudasi cairan ke dalam jaringan
mengakibatkan hipovolemi pada pasien dengan sepsis.
15. Kebalikan dengan pasien nonstress, yang membutuhkan protein sekitar
0,5 g/kg/hari, pasien kritis umumnya 1,0-1,5 g/kg/hari.
16. Traktus gastrointestinal merupakan jalur terbaik untuk pemberian
bantuan nutrisi jika seluruhnya berfungsi dengan baik.
17. Kemunduran mendadak Total nutrisi praenteral (TPN) dapat
menimbulkan hipoglikemi karena level insulin yang beredar, tapi hal
ini ini bukanlah masalah jika pasien tidak disusui berlebih; pada kasus
ini, glukosa 10% dapat menjadi pengganti sementara untuk TPN dan
berangsur-angsur diturunkan.

Obat perawatan krisitis juga disebut obat perawatan intensive-


berhubungan dengan penyakit yang berpotensi mengancam jiwa.
Anestesiologi memainkan perananan penting dalam memebentuk
subspesialistik multidisipliner ini. Keahlian dalam airway manjemen, ventilasi
mekanik, menangani obat dengan potensi fast-acting, resusitasi cairan, dan
teknik monitoring memberikan seorang anestesiolog skill-skill yang
diperlukan. Terlebih lagi, penekanan dalam anestesi pada bidang fisiologi,
patofisiologi, dan farmakologi memeberikan kemampuan yang baik dalam
membuat diagnosis cepat, dan menyembuhkan kelainan fisiologi akut
menyiapkan dasar yang penting untuk evaluasi dan penanganan pasien yang
menderita penyakit kritis. Praktisi perawatan kritis (intensivist) juga
membutuhkan lingkup pengetahuan dasar yang mencakup subspesialistik
interna, bedah, anak, neuro, dan penanganan kegawatan. Tidak seperti
pelatihan sebelumnya, yang cenderung mengutamakan satu sistem organ,
pelatihan intensive care juga menyediakan pengalaman dalam [enanganan
pasien Systemic inflamatory response syndrome(SIRS) dan multiple organ
dysfunction syndrome(MODS). Badan Anestesi di Amerika, interna, anak, dan
bedah mengetahui kebutuhan akan hal ini dan sekarang membutuhkan training
spesialistik untuk sertifikasi dalam penanganan dan perawatan kritis(critical
care medicine). Klinisi yang memiliki sertifikat lebih diakui oleh perusahaan
multinasional dan organisasi untuk membuat kontribusi penting bagi pasien di
rumah sakit.
Tujuan dari bab ini hanya menyediakan survey dari pengobatan masa
kritis. Banyak bagian telah dibukakan pada bagian lainnya. Hanya topik
penting yang tidak pernah dibahas sebelumnya yang akan dibahas.

Ekonomi, etika, dan persoalan legal dalam tarif dalam masa perawatan
kritis
Perawatan masa kritis sangatlah mahal. Bed Intensive care unit (ICU) hanya
merupakan 8-10% dari seluruh bed yang ada pada rumah sakit kebanyakan
tapi sudah mencakup lebih dari 20% anggaran Rumah Sakit. Satu persen dari
Gross national proodct amerika digunakan untuk menyediakan perawatan
ICU. Untuk membenarkan harga ini, Hasil nyata dalam mengurangi
morbiditas dan mortalitas harus dapat diwujudkan. Sayangnya, penelitan yang
mendukung sedikit dan sering cacat oleh penggunaan kontrol secara historis.
Derajat penyakit, kekambuhan, status kesehatan sebelumnya, dan umur adalah
faktor faktor yang mempengaruhi. Metode yang reliabel memprediksi
kelebihan-kelbihan apa yang pasien dapatkan dari perawatan ICU sangat
dibutuhkan. Beberapa sistem skoring berdasarkan derajat defek fisiologis dan
kondisi kesehatan sebelumnya telah dikemukakan seperti Acute physiolgy ang
chronic heart evaluation (APHACE) dan Therapeutic intervention scoring
system(TISS), tapi tidak satupun yang cukup memuaskan. Angka keberhasilan
hidup secara umum memiliki hubungan terbalik dengan derajat penyakit dan
jumlah sistem organ yang terganggu. The society of critical care medicine di
Inggris telah membangun proyek besar, sebuah sistem yang memungkinkan
ICU untuk membandingkan keberhasilan perawatan ICU dan perawatan yang
disediakan dengan jaringan nasional dan internasional ICU.

Kapan cukup adalah cukup?menarik bantuan kardiopulmoner pada


pasien masa kritis di
Pengalaman saya lebih dari 30 tahun sebagai seorang ahli anestesiologi
kardiotoraks dan seorang dokter bedah kardiotoraks dan vaskuler di ICU,
membawa saya menyaksikan untuk pertama kalinya keajaiban di dalam dunia
kedokteran , tetapi hal-hal itu pulalah yang menyebabkan saya menfokuskan
perhatian pada pembatasan terhadap keajaiban yang mungkin dialami oleh
pasien yang sudah dekat dengan akhir kehidupannya, dikarenakan oleh
ganasnya penyakit yang mereka miliki dan atau penuaan dengan kehilangan
cadangan material tubuh yang progresif. Hipokrates berkata, mereka menjadi “
kewalahan oleh karena penyakit mereka”.
Di Amerika Serikat, kematian, akhir dari kehidupan yang normal, menjadi
sesuatu yang tabu, dan kebanyakan orang cenderung tidak mempersiapkan
kematiannya, sampai masa akhir kehidupannya, malahan beberapa tidak
mempersiapkan sama sekali. Banyak yang mengurus wasiat terakhir dan surat
wasiat, perencanaan kepemilikan harta selanjutnya, dan pajak kematian,
namun kurang dari 15% dari populasi produktif yang dipersiapkan untuk
mengambil keputusan mengenai pengukuran penyokong kehidupan yang
agresif. Hingga kini, survey berkelanjutan menunjukkan sebuah pilihan yang
kuat mengenai kematian yang terhormat, nyaman, dan damai di rumah mereka
sendiri serta harapan yang kuat untuk tidak mati di rumah sakit, khususnya di
ICU.
Dilema akan apa yang harus dilakukan dialami oleh para pasien bedah yang
memerlukan perbaikan dari simptom mereka, meningkatkan taraf fungsi
organ, dan kualitas hidup yang lebih baik, namun berakhir dengan hasil yang
buruk, memerlukan langkah-langkah pendukung kehidupan yang
berkelanjutan dengan sedikit prospek untuk mencapai tujuan dari operasi.
Sejumlah besar dokter tidak dipersiapkan untuk bekerja dalam situasi yang
sulit dalam cara – cara yang manusiawi, nonthreathening, dan nonadversaial
atau harus berhadapan dengan amarah, keputusasaan, dan emosi lain dari para
anggota keluarga dan kerabat pasien. Organisasi profesional, lembaga
pendidikan kedokteran, program pelatihan residen adalah langkah awal yang
menyediakan pendidikan dan pedoman dalam menghadapi tantangan tersebut.
Kemampuan komunikasi yang baik adalah dasarnya. Berkomunikasi dengan
keluarga, teman, dan para perawat harus pada waktunya, konsisten (seorang
dokter juru bicara memiliki keuntungan), tepat, jelas untuk orang awam,
menasihati tanpa menjadi diktatoris, memfokuskan diri pada semua terbaik
bagi pasie, dan selaras dengan harapan pasien. Pendekatan yang bertahap
selama beberapa hari memperbolehkan keluarga dan kerabat pasien untuk
mencerna informasi dan bersiap untuk kabar yang diluar harapan mereka,
reaksi terhadap berita buruk.
Pokok permasalahan yang akan diatasi mencakup (tetapi tidak terbatas) hal hal
sebagai berikut:
Penyajian yang akurat dari kondisi pasien dengan bahasa awam (memastikan
kembali bahwa pesan sudah dimengerti dengan baik dengan menanyakannya
kepada juru bicara keluarga pasien, mengulangnya kembali dengan bahasa
mereka sendiri)
Perkiraan terbaik dari ketahanan dan kesembuhan, kepada kualitas hidup
pasien. (kesadaran bahwa kedkteran adalah ilmu yang tidak pasti dan
mengandung berbagai kemungkinan, sehingga prediksi tidak pernah mencapai
angka 0% atau pun 100%)
Pemaparan yang realistis terhadap berbagai pilihan disertai keuntungan dan
risikonya. (Intregasi antara pengobatan utama dan paliatif harus segera
diputuskan)
Pemaparan dari keseluruhan pola (bukanlah variasi harian yang tidak menetap
kenaikan dan penurunannya) dari perjalanan pasien. Perbedaan di antara efek
intervensi terhadaap kondisi psikologi (sebagai contoh: kenaikan tekanan
darah dan curah jantung) dan efeknya pada hasil. Respon terhadap obat atau
intervensi lain yang gagal dan terbatas adalah mengindikasikan bahwa
gambaran bahwa dengan cara itu pasien tidak dapat ditangani.
Ketegasan mengenai ketersediaan paien mengenai istilah nyeri,
ketidaknyamanan, dan penderitaan jika terjadi kelemahan kondisi dan
kebutuhan akan rehabilitasi tidak dapat ditemukan.
Tanda apa yang mengindikasikan bahwa inilah waktunya untuk memindahkan
perhatian dari suport jantung paru kepada perawatan dan penarikan dari
langkah resusitasi yang berkelanjutan?
Ketika sebuah intervensi yang diperlukan ditolak oleh pasien, yang idealnya
harus ditegaskan pada preoperatif.
Ketika ditemukan penurunan fungsi organ yang multipel secara berkelanjutan,
meskipun sudah dilaksanakan langkah resusitasi. Beberapa dokter memandang
bahwa sistem orang tersebut terisolasi dan meyakini bahwa organ tersebut
dapat dipulihkan. Bagaimanapun juga, pada kegagalan stimulasi dalam 3 atau
lebih sistem organ, dapat diprediksi bahwa kematian terjadi dalam 30 hari atau
kurang.
Ketika terjadi sepsis yang serius, mengindikasikan terjadinya
kerusakan barier gastrointestinal terhadap flora bakterial.
Ketika sudah jelas bahwa dekondisi fisik yang dihasilkan dari tirah baring
yang lama dan atrofi otot berjalan progresif sampai pada suatu titik dimana
pasien sudah tidak kooperatif terhadap rehabilitasi, yang sebenarnya bertujuan
untuk memulihkan fungsi independen, dan dilepaskan dari ventilasi mekanik
serta derajat perbaikan terakhir turun di bawah level yang dapat diterima oleh
pasein preoperatif.
Cedera susuna saraf pusat yang berat (misalnya: infark kortikal bilateral dan
atau infark batang otak) menandakan 1 tahun survival rate (tanpa penyakit
lain). Dengan penyakit lain yang menyertainya, pasien akan meninggal lebih
cepat, dan harus berada dalam perawatan yang ekstra.
Bagaimana seharusnya pendekatan mengenai penghentian tindakan dalam
mempertahankan kehidupan pasien?
Saya menilai status pasien dan penampakan harian mereka bersama dengan
perwakilan dan anggota keluarga pasien, dan menyarankan untuk berpindah
dari perawatan intesif ke perawatan pemulihan.
Lalu saya mendiskusikan berbagai pilihan yang harus dipertimbangkan dan
menawarkan salah satu pilihan dari hal-hal berikut:
 Status tidak melakukan resusitasi
 Tidak ada kemajuan terapi
 Pemutusan tindakan terapi yang selektif
 Pemutusan lengkap dari tindakan terapi dari semua organ, termasuk
intubasi trakea, resusitasi cairan, dan nutrisi. (kanul intravena tetap
untuk pemberian obat sedatif dan analgesik)
Saya menjelaskan secara pasti apa yang akan dan tidak akan dilakukan pada
masing-masing pilihan. Saya mengunjungi pasien saya sesekali selama proses
pemutusan untuk menunjukan perhatian saya secara berkelanjutan, serta
meyakinkan bahwa titrasi analgesik dan hipnotik sesuai yang dibutuhkan.
Adalah penting bagi tiap orang untuk mengetahui bahwa 1) Obat-obatan
morfin dapat menyembuhkan dan mencegah dispnea 2) pasien di masa akhir
kehidupannya tidak mengalami rasa lapar atau rasa haus selama kelembapan
dari orofaringeal mereka terjaga.
Pada akhirnya, adalah penting untuk menyadari bahwa ada dua prinsip etik
yang berperan. Yang pertama ialah prinsip efek berganda. Semua terapi dan
tindakan medis mendatangkan keuntungan, namun juga kerugian dan risiko.
Jika dosis dari morfin atau obat sedatif yang digunakan untuk mengurangi
nyeri dan menyebabkan agitasi terlalu tinggi dan menhasilkan efek samping,
kita tetapi menerima, meskipun jika kematian merupakan hasilnya. Ini
bukanlah termasuk euthanasia aktif! Prinsip kedua ialah bahwa penarikan dari
terapi medis dan intervensinya tidak berbeda dari upaya menahan mereka
secara hormat kepada otonomi pasien. Terdapat berapa konsesus agama yang
pengukuran heroiknya tidak dimandatkan untuk mendukung detak jantung di
akhir kehidupan. Penarikan dari dukungan seperti itu bukanlah anasthesia
pasif! Secara artifisial, hal tersebut tidak memperpanjang kejadian kematian
yang natural.

Etika dan Persoalan Legal


Harga yang tinggi dan kondisi ekonomi yang mendesak meningkatkan peran
pemerintah dan pihak ketiga, seiring peningkatan kesadaran tentang kode etik
dan legalitas yang baik, telah mengubah penerapan pengobatan pada masa
kritis. Sampai sekarang, hampir semluruh pasien di Amerika—bahkan dengan
penyakit terminal—mendapatkan pengobatan maksimal(yang kerapkali
bertentangan dengan harapan pasien atau keluarga pasien) karena takut adanya
kemungkinan reaksi tuntutan legal karena sebuah terapi yang tidak diberikan.
Tindakan ‘heroic’ seperti RJP,ventilasi mekanik, dan pemberian inotropik serta
obat vasoaktif terus dilanjutkan sampai pasien meninggal.Memutuskan kapan
inisiasi atau terminasi pengobatan dapat menjadi sangat sulit. {ada umumnya,
pengobatan apapun yang memungkinkan dan cukup beralasan untuk diberikan
demi menekan penyakit atau memulihkan kondisi kesahatan diperbolehkan,
sebaliknya jika pengobatan yang akan diberikan tidak menekan proses
penyakit atau memulihkan kondisi kesehatan, sehingga keputusan untuk
memulai pengobatan seperti ini tidak diperbolehkan dan tidak etis. Keputusan
sulit ini harus melibatkan pasien (wali) dan keluarga serta harus konsisten
dengan peraturan rumah sakit, peraturan dan hukum.
Kebetulan, Panduan legal yang dapat digunakan oleh praktisi untuk mencapai
keputusan ini telah tersedia hampir diseluruh negeri; walaupun hukum berbeda
antar negara bagian, namun cenderung mirip. Masalah terbesar adalah
berkaitan dengan penghentian pengobatan dan tidak dilanjutkannya sistem
penyokong hidup artifisial. Pasien yang berkompetensi (dengan kata lain
seorang yang mampu mengerti dan membuat keputusan medis) memiliki hak
untuk menolak pengobatan dan berhak mendapat penyokong hidup artifisial
dan dapat melepasnya kapan diinginkan. Kebanyakan negara memperbolehkan
individu yang kompeten untuk menyiapkan intruksi khusus, biasanya antara
lain “living will”(terus hidup) atau “durabel power of attorney for health
care”(menggunakan hak penuh dalam perawatan), untuk mencegah hidup
tidak berguna yang berkepanjangan jika suatu saat individu itu menjadi tidak
kompeten (koma ireversible). Penghentian pengobatan atau tidak
dilanjukannya penyokong hidup artifisial bagi yang tidak berkompeten dan
sudah dewasa membutuhkan ijin suami/istri,wali,sanak keluarga, atau
seseorang yang kepadanya pasien memberikan kekuasaan mengenai
perawatannya. Dalam beberapa kasus, klarifikasi dari pengadilan mungkin
dibutuhkan. perintah ‘Jangan diresusitasi’ atau ‘Biarkan meninggal’ telah
dibenarkan oleh pengadilan pada kasus dimana resusitasi telah ditawarkan dan
tidak ada harapan sembuh atau menekan proses penyakit yang akan
mengakibatkan kematian.
Penyokong pernafasan dan sirkulasi artifisial menambah rumit definisi legal
dari kematian. Sampai sekarang, banyak negara hanya membutuhkan
ketetapan oleh dokter bahwa telah terjadi henti nafas dan fungsi sirkulasi yang
ireversible. Seluruh negara telah menambahkan konsep brain death pada
definisi ini. Bagaimanapun, beberapa negara mengenal pengecualian agama.
Di New Jersey, seabgai contoh, dokter tidak dapat mengatakan brain death
‘jika itu bertentangan dengan agama kepercayaan individu’. Sebagai
tambahan, walaupun brain death dapat ditegakkan pada wanita hamil,
persoalan bagaimana penyokong hidup dapat dilepas menyisakan persoalan
etika dan legalitas untuk diperdebatkan.
Brain Death
Brain dath didefinisikan sebagai berhentinya secara ireversible seluruh fungsi
otak. Fungsi medula spinalis di bawah C1 mungkin masih tampak.
Menegakkan brain death memberikan kejelasan dari harapan yang tidak pasti,
kecemasan yang berkepanjangan, dan beban finansial keluarga dan
masyarakat. Dapat juga membuat penggunaan sarana medik menjadi lebih
efisien dan memberikan potensi penyumbangan organ untuk transplantasi.
1,Kriteria brain death dapat diterapkan hanya jika tidak ditemukan hipotermi,
hipotensi, kelainan metabolik atau endokrin, obat blok neuromuskuler, atau
obat yang diketahui dapat mendepresi fungsi otak. Screening toxicology
diperlukan jika waktu yang diperlukan sejak masuk (setidaknya 3 hari) tidak
cukup untuk menyingkirkan curiga efek obat. terlebih lagi, pasien harus
diobservasi cukup jauh untuk menegakkan dengan alasan yang tepat trauma
yang mengakibatkan kerusakan ireversible. Kriteria klinis yang dapat diterima
untuk brain death antara lain:
coma
Ketiadan aktivitas motorik, termasuk posisi deserebrasi dan dekortikasi( reflek
medula spinalis dapat tampak pada beberapa pasien)
Ketiadaan reflek batang otak, termasuk reflek pupil, kornea, vestibuler, dan
reflek muntah.
Ketiadaan usaha ventilasi dengan tekanan CO2 artei 60mmHg atau 20mmHg
di atas level sebelumnya.
tes apneu harus dilakukan terakhir karena efeknya yang mengganggu tekanan
intrakranial. Tes konfirmasi yang mungkin dapat menolong tetapi tidak
diharuskan yaitu diantaranya elektroenchephalogram isoelektrik, tidak ada
bangkitan auditorik batang otak, dab tidak ada cerbral perfusi yang didapatkan
dengan angiografi, doppler transcranial, atau penelitan radioisotop.
Tabel 49-1.klasifikasi hipoksia
Hipoksia Kategori patofisiologi
contoh klinis
Hypoxic hipoksia Penurunan P atau penurunan FIO2(<21)
Peninggian, kesalahan peralatan O2
hipoventilasi alveolar Overdosis obat,
eksaserbasi COPD
defek difusi pulmo emfisema,
fibrosis pulmo
ketidak seimbangan V/Q asma, emboli
pulmo
R—L shunt
atelektasis,penyakit jantung
sianotik kongenital
Hipoksia sirkulasi cardiac output menurun CHF,infark
miokard,methemoglobinemia
Hipoksia hemic penurunan kandungan Hb anemia
penurunan fungsi Hb
karboksihaemoglobinemia,methaemoglobinemia
Hipoksia demand peningkatan konsumsi O2 demam, kejang
hipoksia histotoksik sel tidak mampu menggunakan toksisitas sianida
O2

Perawatan sistem Respirasi


perawatan respirasi(disebut juga terapi respiratory) melingkupi terapi
pulmoner dan tes diagnostik dan dan profesi kesehatan terkait yang telah
dikembangkan sejak tahun 1950 menjadi bagian dari kardiopulmoner
diagnostic dan perawatan masa kritis(critical care). Bidang Ahli terapi
pernafasan melingkupi praktek terapi medical gas, pemberian medikasi
aerosol, manajemen airway, ventilasi mekanik, terapi tekanan airway positif,
monitoring masa kritis, rehabilitasi kardiopulmoner, dan penggunaan berbagai
teknik yang termasuk kelompok terapi fisik regio dada. Terakhir temasuk
pemberian makanan lunak dan terpai aerosol, membersikan sekret pulmo,
mengembangkan paru atelektasis, dan menjaga fungsi normal paru selama
post operasi atau selama sakit. Penegakan diagnosis termasuk test fungsi paru,
analisis gas darah, test elektrokardiografi, dan evaluasi kelainan pernafasan
saat tidur. Prosedur perawatan respirasi berdasarkan panduan praktek klinik
yang disebut juga CPGs, 50 yang telah dikembangkan oleh American
association for respiratory care menggunakan kriteria pengobatan evidence
based terbaik.
Terapi Gas Medis(medical gas therapy)
Terapi gas secara medis termasuk pemberian supplement atau hiperbarik
oxygen, campuran helium-oxygen, dan nitric oxide, indikasi oksigen secara
medis adalah untuk kelainan pulmoner dan nonpulmoner. Oksigen dibuat
dapat dimasukkan dalam silinder bertekanan tinggi, dengan pipa segaris, dari
konsentrator oksigen, seperti bentuk liquid oksigen. Heliox dipakai sebagai
obat untuk meningkatkan kerja nafas(work of breathing/WOB) akibat lesi
sumbatan jalan nafas atas. Nitric oxide dimanfaatkan efek dilatasinya pada
struktur vaskuler paru.
Tujuan utama terapi oksigen adalah untuk mencegah atau mengoreksi
hipoksemi atau hipoksia jaringan, tabel 49-1 untuk menentukan kategori klasik
dari hipoksia. Oksigen terapi sendiri tidak dapat memperbaiki hipoksemi atau
hipoksi. Tekanan jalan nafas positif terus menerus(continuous positive airway
pressure/CPAP) atau tekanan positif akhir respirasi(positive end-respiratory
pressure) mungkin diperlukan untuk mendapatkan alveoli yang kolaps. Pasien
dengan hipercapnia sebelumnya, memerlukan bantuan ventilator. Konsentrasi
oksigen yang tinggi mingkin menandakan sebuah kondisi yang memerlukan
pembebasan udara yang terperangkap (seperti nitrogen) dari rangga tubuh atau
pembuluh darah. Penerapan janggka pendek dari oksigen konsentrasi tinggi
relatif bebas komplikasi.
Oksigen tambahan diindikasikan untuk dewasa, anak-anak dan bayi(>1bulan)
ketika PaO2 kurang dari 60mmHg (7.98kPa) atau SaO 2 atau SpO2 kurang dari
90% selama pernafasan istirahat. Pada neonatus pengobatan direkomendasikan
jika PaO2 kurang dari 50 mmHg(6.7 kPa) atau SaO2 kurang dari 88% (atau PO2
kapiler kurang dari 40 mmHg(5.55kPa)). Terapi yang mungkin diperlukan
untuk pasien ketika gejala suspek hipoksa berdasarkan tinjauan masalah
kardiopulmoner atau pada pemeriksaan isik. Pasien dengan infark miokard.
Pasien denganinfark miokard, edema pulmoner kardiogeik, Acute long
injury(ALI), acute respiratory distress syndrome (ARDS). Fribosis pulmoner,
keracunan sianida, atau karbon monoksida inhalasi seluruhnya membutuhkan
suplemen oksigen. Suplemen oksigen telah diberikan selama periode
perioperatif periode karena general anestesi sering menyebabkan penurunan
pada PaO2 yang efek sekundernya menambah ketidak seimbangan
ventilasi/perfusi paru dan menurunkan residual capacity(FRC). Oksigen
tambahan harus disiapkan sebelum prosedur seperti suction trakea atau
bronkoskopi, yang biasanya menyebabkan desaturasi oksigen arteri. Ada bukti
yang menyatakan oksigen tambahan efektif dalam memperpanjang harapan
hidup pasien dengan penyakit paru obsruktif kronis (COPD) dimana PaO 2
pada saat istirahat kurang dari 60 mmHg pada permukaan laut. Terapi oksigen
tambahan juga menunjukkan bahwa memeilki sedikit efek menguntungkan
pada mean pulmonary arterial pressure dan indeks subjektif pada pasien
dyspnea.

Peralatan terapi oksigen ambient


Kalisifikasi peralan terapi oksigen
Oksigen dapat diberikan sendiri atau dalam gas (dicampur udara, helium, dan
nitric oxide) dapat digunakan sebagai supplement parsial bagi volme tidal atau
volume semenit ataupun juga sebgai sumber utama volume inspirasi.
Pendekatan ini dapat menjadi dasarsebagai alat klasifikasi atau sistem yang
bergantung pada kemampuan untuk menyediakan floe level yang adekuat dan
range of fraction dari aksigen inspirasi (FIO2). pertimbangan lain dalam
memilih terapi yaitu keinginan pasien, adanya jalan nafas artificial dan
jenisnya, dan apakah perlu untuk pembasahan dan sistem pemberian aerosol.
A. Aliran Rendah atau Peralatan Variabel-Performance
Oksigen (biasanya 100%) diberikan ada aliran tetap yang hanya merupakan
bagian dari gas inspirasi. Alat seperti ini biasanya digunakan untuk pasien
dengan gambaran pernafasan stabil. Seperti pada perubahan kebutuhan
ventilasi, jumlah variabel udara ruangan akan mengencerkan aliran oksigen.
Sistem aliran rendah cukup adekuat untuk pasien dengan
 Ventilasi semenit kurang dari ~ 8-10 L/mnt
 frekuensi pernafasan kurang dari ~ 20x/mnt
 Volume tidal kurang dari ~ 0.8L
 aliran inspirasi normal ~ (10-30 L/mnt).
B. Aliran Tinggi atau Peralatan Fixed-Performance
Gas inspirasi yang ditentukan FIO2 diberikan terus menerus pada aliran tinggi
atau dengan memberikan reservoir besar gas untuk gas yang akan dicampur.
Idealnya, pemberian FIO2 tidak dipengaruhi oleh variasi dalam level ventilasi
atau gambaran pernafasan. Dispneu berat dan pasien hipoksemi memerlukan
aliran oksigen 100% yang diberikan 100L/mnt. Sistem aliran tinggi
diindikasikan untuk pasien yang memerlukan
FIO2 tetap dan/atau
Gas dengan aliran inspirasi tinggi (>40L/mnt).

1.Peralatan Variabel-Performance (Tabel 49-2)


Nasal Canul
Nasal canul tersedia dalam bentuk blind-ended tabung plastik lunak dengan
head-elastic diatas telinga atau dual-flow dengan tali pengatur di bawah dagu.
Perekat tersedia untuk orang dewasa, anak-anak, dan bayi. Kanul
dismbungkan dengan flowmeter dengan tabung small-bere dan mngkin
digunakan dengan gelembung pelembab (buble humidifier). Nasal kanul dapat
digunakan dengan cepat dan nyaman pada pasien. Tekanan tambahan harus
dipastikan sebelum dirasakan cukup nyaman untuk mencegah sakit akibat
tekanan di telinga, pipi dan hidung. Pasien dengan terapi oksigen yang lama
pada umumnya kebanyakan menggunakan nasal kanul. Alat-alat biasanya
ditoleransi dengan baik, masih memiliki kemampuan untuk bicara,
makan/minum, dan tidak perlu ruangan khusus(sehingga tidak penyebabkan
claustrophobi). Kanul dapat dikombinasikan dengan spectacel frames
memberi kenyamanan atau meningkatkan penerimaan pasien dengan
meningkatkan kosmetik. Kanul oxigen-conserving yang dipakai dengan inlet
reservoir membuat pasien dapat menerima terapi oksigen jangka panjang.
Srjak oksigen dialirkan terus menerus, sekitar 80% gas dibuang selama
ekspirasi. Konsep ini berdampak pada penggunaan valved reservoir divice
ntuk memudahkan penyimpanan oksigen yang masuk sampai terjadi inspirasi
tabel 49-2.Alat dan sistem pemberian oksigen
Alat/sistem flow rate oksigen FIO2 range
Nasal kanul 1 0.21-0.24
2 0.23-0.28
3 0.27-0.24
4 0.31-0.38
5-6 0.32-0.44
Sungkup sederhana 5-6 0.30-0.45
7-8 0.40-0.60
Sungkup dengan reservoir 5 0.35-0.50
Partial rebreathing mask-bag 7 0.40-1.00
15 0.65-1.00
Non rebreathing mask-bag 7-15 0.40-1.00
Venturi mask and jet nebulizer 4-6(total flow=15) 0.24
4-6(total flow=45) 0.28
8-10(total flow=45) 0.35
8-10(total flow=33) 0.40
8-12(total flow=33) 0.50

Penggunaan FiO2 pada orang dewasa dengan kateter nasal ditentukan oleh
aliran oksigen, volume nasofaringeal, dan inspirartory flow dari pasien(yang
tergantung dari VT dan waktu inspirasi). Oxygen dari canula dapat memenuhi
nasofaring selama ekxhalasi, lalu dengan inspirasi, oksigen dan udara yang
sudah ada terhisap masuk ke dalam trachea. Persentase oksigen yang
terinspirasi meningkat sekitar 1-2%(diatas 21%) per liter oksigen dengan
kemampuan bernafas orang dewasa. Canula dapat diagunakan untuk
menyediakan konsentrasi oksigen inspirasi hingga 30-35% dengan pernapasan
normal dan aliran oksigen 3-4L/menit. Bagaimanapun juga, level 40-50%
dapat dicapai dengan aliran oksigen lebih dari 10L/min dalam waktu yang
singkat. Biasanya pada aliran lebih dari 5L/menit tidak dapat ditolerir oleh
pasien sebab tekanan gas pada cavum nasal menyebabkan ketidaknyamanan
dan menyebabkan mukosa menjadi kering dan menimbulkan krusta.
Data dari ”normal-breathing subject” mungkin tidak akurat bila digunakan
pada pasien dengan penyakit akut tachypneic. Peningkatan VT dan waktu
inspirasi yang pendek akan mengencerkan sebagian kecil oksigen. Perbedaan
kapasitas pola napas dengan hanya menggunakan mulut dengan hanya
menggunakan hidung dan variasi aliran inspirasi dapat merubah FiO 2 hingga
40%. Dalam praktek klinik, pemberian udara harus dititrasi berdasarkan tanda
vital dan denyut nadi oksimetrik dan analisa gasn darah. Beberapa pasien
dengan COPD cenderung mengalami hipoventilasi dengan aliran udara yang
sangat rendah, yaitu hipoksemia pada udara ruangan. Perbaikan dapat terjadi
melalui pemakaian canula dengan aliran kurang dari 1-2L/menit.
Kanula untuk anak sudah tersedia, dan semakin sering digunakan. Beberapa
kanul khusus yang meringankan bayi dan perawat dan dengan tingkat trauma
yang lebih rendah dibandingkan masker oksigen. Karena sudah menjadi sifat
bahwa tingkat ventilasi pada bayi lebih rendah tiap menitnya, maka aloran
udara pada kanula juga harus disesuaikan. Intuk itu membutuhkan pressure
compensated flowmeter untuk memastikan aliran oksigen kurang dari 1-
3L/menit. Dari sampel oksigen yang didapat dari hipofaring bayi yang
bernafas dengan kanula menunjukkan rata-rata FiO2 0.35, 0.45, 0.6, dan 0.68
dengan rata-rata aliran 0.25, 0.5, 0.75 dan 1.0 L/menit.

Masker Nasal
Masker nasal adalah kombinasi dari nasal kanul dan masker wajah. Masker
nasal dapat digunakan baik dengan over-the-ear lariat atau dengan headband
strap. Bagian bawah dari masker terpasang pada bibir atas, mengelilingi
hidung. Masker nasal telah terbukti mampu menyediakan oksigen tambahan
yang setara dengan nasal kanul dengan kondisi aliran rendah untuk pasien
dewasa. Keuntungan utama dari penggunaan masker nasal adalah pasien
merasa lebih nyaman. Rasa sakit di sekitar nares eksternal dapat muncul pada
penggunaan nasal kanul jangka panjang. Oksigen tidak dihembuskan ke dalam
kavum nasal seperti pada kanula. Penggunaan masker nasal harus
dipertimbangkan jika dapat meningkatkan perbaikan dan kenyamanan pasien.
Masker oksigen tanpa reservoir
Masker yang menutupi hidung dan mulut ini tergolong ”simpel”, tanpa
reservoir, dengan okxygen-free mask yang sekali pakai, ringan dan terbuat dari
plastik. Masker terpasang dengan baik pada wajah pasien karena adanya
elastic headband; beberapa pabrik menyediakan metal lunak sebagai nose-
bridge adjustment device. Pengunci wajahnya bebas dari kebocoran; lebih jauh
lagi, pasien menerima udara campuran antara oksigen murni dan udara bebas.
Variasinya tergantung dari ukuran bocor, aliran oksigen, dan pola napas.
Beberapa merek masker simpel menghubungkan tabung dengan tapered fitting
standard; yang lain memiliki ruang udara kecil yang berhubungan dengan
lubang pada salurannya.
Bagian masker berfungsi sebagai reservoir bagi oksigen dan karbon dioksida
sisa ekspirasi. Konsentrasi oksigen minimal yang dialirkan sekitar 5L/menit,
dimaksudkan untuk menghindari rebreathing dan usaha respirasi yang
berlebihan. Penggunaan masker apapaun dalam waktu lama selalu
menimbulkan ketidaknyamanan. Menyebabkan kesulitan bicara serta
hambatan untuk makan dan minum.
Jumlah konsentrasi oksigen yang diinsipirasikan tergantung dari volume
masker, pola ventilasi, dan aliran oksigen ke masker. Sulit untuk mengetahui
dengan tepat aliran FiO2 yang diberikan. Selama respirasi normal,
diperkirakan FiO2 sebanyak 0.3-0.6 dengan aliran 5-10L/menit. Level oksigen
dapat lebih tinggi dengan VT berukuran kecil atau pernapasan yang lambat.
Dengan aliran yang lebih tinggi dan kondisi yang ideal, FiO 2 dapat mendekati
0.7 atau 0.8.
Masker tanpa reservoir cocok digunakan oleh pasien yang memputuhkan
oksigen dengan konsentrasi lebih besar dari yang disediakan kanul, dan juga
membutuhkan terapi oksigen dalam waktu yang singkat. Sebagai contoh yaitu
pada medical transport, terapi interim pada unit perawatan postanastesi atau
unit gawat darurat. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan
penyakit pernapasan berat yang mengalami hipoksemia, tachypneu, atau tidak
mampu melindungi jalan napasnya dari aspirasi.

Masker dengan reservoir


Penambahan semasam gas reservor adalah suatu adaptasi dari masker simpel.
Ada dua tipe reservoir yang sering digunakan, yaitu: partial rebreathing mask
dan nonrebreathing mask. Keduanya sekali pakai, ringan, dan transparan.
Reservoir ini diletakan dibawah dagu. Perbedaan diantara keduanya adalah
penggunaan katup pada masker dan diantara masker dan kantong reservoir.
Masker dengan reservoir biasanya dapat menampung oksigen kira-kira
sebanyak 600mL atau kurang. Istilah ”partial rebreather” merujuk pada
”bagian” dari VT yang diekspirasikan mengisi kantong tersebut kembali.
Biasanya gas tersebut mempunyai dead space yang besar, yang seharusnya
tidak mengakibatkan penghirupan kembali karbon dioksida yang signifikan.
Alat pencegah penghirupan kembali (nonbreather) menggunakan sistem dasar
yang sama dengan penghirup kembali sebagian (partial rebreather) tetapi
menyatu dengan katu p yang berbentuk kelopak (flap-type valves) di antara
kantong dan masker serta pada setidaknya satu dari masker ekshalasi.
Kebocoran biasa terjadi, dan udara ruangan akan masuk selama aliran inspirasi
yang cepat, bahkan ketika kantong tersebut terisi dengan gas. Kurangnya
sistem perlekatan pada muka dan reservoir yang relatif kecil, dapat
mempengaruhi konsentrasi oksigen yang dihantarkan. Faktor kunci yang
menentukan keberhasilan aplikasi masker adalah dengan menggunakan aliran
oksigen yang cukup, sehingga katong reservoar paling tidak dalam sudah
dalam keadaan penuh sebagian selama inspirasi. Aliran minimal yang khas
dari oksigen adalah 10-15 L/min. Masker rebreathing parsial yang melekat
dengan pas dan baik menyediakan FIO2 dari 0,35 sampai 0,60 dengan aliran
oksigen lebih dari 10L/menit. Dengan aliran inlet (pintu masuk) 15 L/menit
atau lebih dan kondisi pernapasan yang ideal, FIO2 dapat mencapai 1.0. Salah
satu tipe masker diindikasikan untuk pasien yang diduga hipoksemi signifikan
dengan ventilasi semenit spontan yang relatif normal. Pasien tersebut mungkin
termasuk korban trauma, infark miokard, atau paparan karbon monoksida.
Pasien dengan dispneu berat dengan napas yang terengah-engah mungkin akan
lebih cocok dengan fixed-performance, sistem aliran oksigen yang tinggi (high
flow oxygen system)

2. Peralatan Fixed Performance (aliran tinggi)


Kantong Anestesi atau sistem kantong-masker-katup
Desain dasarnya mengikuti masker rebreathing reservoir, tetapi dengan
komponen-komponen yang lebih “kapabel”. Kantong yang dapat memompa
sendiri tersebut terdiri atas kantong sebesar bola futbol, biasanya dengan
sebuah pintu masuk reservoir oksigen. Kantong-kantong anestesi adalah suatu
1,2, atau 3 liter non-self-inflating reservoir dengan sebuah pintu masuk gas
yang berekor. Masker didesain untuk menyediakan suatu perlekatan yang
bebas bocor dan nyaman untuk ventilasi manual. Sistem katup
inspirasi/ekspirasi dapat bervariasi. Aliran ke reservoir sebaiknya dijaga
supaya dalam keadaan tetap tinggi sehingga kantong tersebut tidak akan
menggembos dalam jumlah yang besar. Ketika menggunakan sebuah kantong
anestesi, operator harus sering sering menyesuaikan aliran oksigennya dan
mengurangi tekanan pada pegas katup pembuangan untuk merespons
perubahan pola atau kebutuhan pernapasan.
Sistem yang paling umum untuk sekali pakai dan permanen kantong-kantong
resusitasi self-inflating menggunakan sebuah aliran gas yang satu arah.
Walaupun perlatan ini menawarkan potensial untuk FIO2 yang konstan lebih
besar daripada 0,9, katup pintu masuk yang berekor (tailpiece inlet) tidak akan
membuka untuk pasien yang bernapas dengan spontan. Pembukaan dari katup
tersebut memerlukan tekanan negatif pada kantung yang mengempis kembali
setelah terjadinya kompresi. Apabila situasi ini tidak disadari, para klinisi
mungkin akan dapat mengalami kesalahan interpretasi dengan berpikir bahwa
pasien menerima konsentrasi oksigen yang spesifik ketika hal yang
bertentangan terjadi adalah suatu kebenaran.
Terdapat batasan pada kemampuan setiap sistem untuk mempertahankan
karakteristik performa nya yang tetap (fixed-performance). FIO2 yang
dikirimkan dapat mencapai atau sama dengan 1.0 ddengan anestesi atau
kantong self-inflating. Pasien yang dapat bernapas dengan spontan diijinkan
untuk bernapas hanya isi dari sistem tersebut jika perlekatan masker sangat
rapat dan reservoirnya dapat dipertahankan dengan adekuat. Operator harus
menyesuaikan aliran gas ke kantong untuk mengakomodasi jika ada
perubahan pada kebutuhan ventilasi; observasi pada pasien dan reservoir dapat
menyediakan informasi ini.
Hal paling penting yang harus diperhatikan oleh klinisi yang memakai sistem
mask-bag adalah aspirasi. Kegagalan untuk mempertahankan suplai oksigen
pada reservoir dan aliran pada pintu masuknya adalah hal-hal lain yang harus
diperhatikan. Katup spring-loaded pada akntong anestesi harus diatur dengan
benar untuk mencegah overdistensi dari kantong tersebut. Kantong self-
inflating (dapat membesar sendiri) tidak terlihat berbeda ketika oksigen yang
mengalir ke unit menjadi tidak adekuat dan mereka akan
memasukkan/memfasilitasi masuknya udara ruangan ke dalam kantong, hal ini
akan menurunkan pengiriman FIO2.
Masker Venturi Air-Entrainment
Pengaliran dan pencapaian gas dengan masker air-entrainment adalah sesuatu
yang berbeda dengan reservoir oksigen. Tujuannya adalah untuk menciptakan
suatu sistem terbuka dengan aliran tinggi di sekitar hidung dan mulut, dengan
FIO2 yang tetap. Masker yang digunakan dikenal dengan masker “Venturi”
atau “venti” , atau sistem aliran udara yang tinggi dengan oxygen-entrainment
(High Air Flow with Oxygen-Entrained/HAFOE). Oksigen diarahken oleh
suatu tabung yang diberi lubang kecil ke mesin jet pencampur; konsentrasi
oksigen terakhir bergantung pada perbandingan dari udara yang dialirkan
melalui tempat entrainment. Pembuat alat tersebut telah membuat baik tetap
maupun yang dapat disesuaikan dalam entrainment pada rentang FIO 2.
Sebagian besar dilengkapi dengan instruksi untuk operator guna mengatur
aliran minimum dari oksigen. Tabel 49-3 mengidentifikasi aliran total pada
aliran yang bervariasi pada pintu masuk dan FIO2.
Di samping konsep aliran yang tinggi, FIO2 dapat bervariasi sampai lebih dari
6% tiap pengaturan. Masker air-entrainment adalah piluhan yang logis untuk
pasien yang berada dalam keadaan hipoksemia tidak dapat dikontrol dengan
alat yang FIO2 nya rendah seperti kanula. Pasien dengan COPD yang
berpotensi untuk mengalami hipoventilasi dengan FIO2 moderat adalah
kandidat untuk masker venturi. Klinisi yang menyediakan oksigen terapi
dengan HAFOE sebaiknya tanggap terhadap permasalahan yang telah
disebutkan sebelumnya mengenai masker itu sendiri. FIO2 dapat meningkat
jika port dari entrainment terobstruksi oleh tangan pasien, sprei, atau air yang
terkondensasi. Klinisi seharusnya mendukung/menganjurkan pasien dan yang
melakukan perawatan pada pasien tersebut untuk menjaga masker pada muka
secara terus-menerus. Interupsi oksigen adalah suatu masalah yang sangat
serius pada pasien yang tidak stabil dengan hipoksemia dan atau hiperkarbia.
Analisis langsung pada FIO2 selama menggunakan masker air-entrainment
mungkin dilakukan namun sulit untuk tercipata suatu hasil yang akurat.
Korelasi dari gas darah dengan beberapa indeks kebutuhan pernapasan, seperti
frekuensi pernapasan, sebaiknya dapat membimbing klinisi untuk mengetahui
kapan perkiraan bahwa kebutuhan pasien tidak sesuai dengan kemampuan
aliran pada masker. Jika hal ini terjadi, aliran oksigen pada pintu masuknya
harus dinaikkan atau dilakukan pemilihan alat alternatif.

Nebulizer Air-Entrainment
Volume yang besar, hasil yang besar, atau seluruh keuntungan dari
penggunaan nebulizer telah dipakai pada perawatan pernapasan selama
bertahun-tahun untuk menyediakan suatu terapi dengan kabut yang lembut
dengan beberapa kontrol pada FIO2. Unit-unit ini biasanya ditempatkan pada
pasien mengikuti ekstubasi untuk peralatannya yang memproduksi aerosol.
Seperti masker entrainment, nebulizer menggunakan jet pneumatik dan suatu
lubang yang dapat diatur untuk pemasukkan udara yang bervariasi bagi
berbagai level FIO2 pada poin pengaturan yang tetap atau diatur secara terus
menerus dari 0,24-1,0. Banyak alat-alat komersial mempunyai lubang
pemasukan dengan diameter maksimalnya mampu melewatkan hanya
15L/menit ketika sumber tekanannya 50 psi. Hal ini berarti bahwa pada
pengaturan 100% (tidak ada air-entrainment), aliran outputnya hanya
15L/menit. Hanya pasien yang bernapas dengan kecepatan pelan dang Vt yang
kecil akan menerima 100% oksigen. Permasalahan ini telah diatasi dengan
pemberian aliran yang tinggi, nebulizer yang FIO2nya tinggi. Untuk aplikasi
yang lebih umum yang menggunakan FIO2 antara 0,3-0,5, udara ruangan
entrained, menurunkan FIO2 dan meningkatkan output aliran total menjadi 40-
50L/menit.
Pengetahuan tentang perbandingan udara/oksigen dan kecepatan aliran input
oksigen memungkinkan outflow total dapat dikalkulasi. Sistem nebulizer
dapat diaplikasikan pada pasien dengan berbagai macam alat, termasuk
aerosol, trakeostomi, dome/collar, tenda muka (face tent), dan adapter T-piece.
Alat-alat ini semua dapat dihubungkan dengan tabung dengan lubang kecil
pada nebulizer. Sistem yang terbuka ini dapat membebaskan udara inspirasi
dan ekspirasi di sekitar wajah pasien atau pada kutub distal pada adapter
Briggs. Sayangnya, katup yang terbatas memungkinkan pasien untuk entrain
udara ruangan secara sekunder. Hal yang biasa dilakukan adalah menggunakan
kantong reservoir sebelum T atau suatu tabung reservoir pada distal T untuk
menyediakan volume gas yang lebih besar daripada yang berasal dari
nebulizer. Perhatian utama pada penggunaan terapi aerosol air entrainment
dengan konsentrasi oksigen yang terkontrol adalah bahwa sistem tersebut
menyediakan aliran yang adekuat. Klinisi seharusnya mengobservasi kabut
nya untuk menentukan kecukuan aliran. Jika suatu T-piece digunakan dan jika
kabut yang dapat dilihat (keluar dari port distal) menghilang selama inspirasi,
alirannya tidak adekuat.
Hal lain yang harus diperhatikan pada praktek klinis adalah bahwa air yang
berlebihan pada tabung dapat mengumpulkan dan dapat menyumbat aliran gas
secara komplit atau dapat mengakibatkan kenaikan resistensi pada aliran.
Selanjutnya, dapat meningkatkan FIO2 di atas pengaturan yang diharapkan.
Komplikasi yang lain adalah bronkospasme pada beberapa pasien karena air
steril dapat mengiritasi. Pada beberapa kesulitan, sistem humidifikasi yang
dihangatkan (non aerosol) sebaiknya dapat menggantikan.
Sistem High-Flow-oxygen
Dual flowmeter udara-oksigen, blender udara-oksigen, dan generator Down’s
atau Caradyne Whisperflow biasanya dipakai untuk pemasukkan oksigen
seperti freestanding CPAP dan sistem ventilator “add-on”. Sistem ini kontras
dengan nebulizer air-entrainment, karena total aliran output nya tidak menurun
pada keadaan FIO2 lebih besar dari 0,4. Dengan sistem aliran yang tinggi ini,
aliran total pada pasien dapat dengan bebas diatur (versus FIO 2) sampai
bertemu atau melebihi kebutuhan pasien. Hal ini dapat dikerjakan dengan
menggunakan kantong reservoir yang besar atau aliran yang konstan dalam
rentang 50 sampai lebih dari 100L/menit. Klinisi dapat menggunakan berbagai
peralatan dengan sistem ini, termasuk masker aerosol, face tent, atau sistem
masker nonrebreathing yang sesuai dengan blender. Sistem masker yang
melekat ke muka dapat juga dikonstruksi tapi memerlukan kantong reservoir
dengan katup pengaman untuk memungkinkan bernapas jika blender gagal.
Aliran gas yang timnggi memerlukan penggunaan ventilator mekanik.
Humidifikasi menawarkan keuntungan bagi pasien dengan saluran napas yang
hiperaktif. Karena alirannya yang tinggi, beberapa sistem di atas digunakan
untuk mengaplikasikan CPAP untuk pasien yang bernapas dengan spontan.
Oksigen hoods
Walaupun banyak dari alat-alat yang telah disebutkan sebelumnya mempunyai
pilihan ukuran pediatrik, seperti kanula dan masker, banyak bayi muda dan
neonatus tidak dapat mentoleransi peralatan yang dipasang apda muka.
Oksigen hoods hanya menutupi kepala, memungkinkan akses ke bagian bawah
tubuh bayi sementara tetap diijinkan tetap menggunakan inkubator atau
pengahangat dengan radiasi. Hood ini ideal untuk terapi oksigen yang relatif
pendek untuk bayi baru lahir dan bayi indaktif. Bagaimanapun juga, untuk
bayi yang sudah mampu bergerak memerlukan terapi yang lebih panjang,
sebagai contohnya, nasal kanula, masker wajah, atau penutupan seluruh
tempat tidur sanggaup mengatasi mobilitas yang lebih besar.
Normalnya, oksigen dan udara tercampurkan melalui sebuah alat pencampur
dan melewati sebuah alat pelembab udara yang hangat dan nebulizer yang
berfungsi sebagai sumber gas harus dihindari. Kebanyakan mesin nebulizer
tipe jet pneumatic mengeluarkan bunyi bising ( > 65dB), yang dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran pada bayi baru lahir dan adanya gas
dingin yang dihasilkan dapat menginduksi terjadinya peningkatan kebutuhan
oksigen. Penutup kepala yang digunakan disesuaikan dengan bayi. Beberapa
merupakan kotak plexiglas sederhana, yang lainnya memiliki sistem
pengaman untuk melindungi leher bayi. Tidak ada tindakan untuk
menyempurnakan sistem pengaman tersebut, sebagai aliran gas yang konstan
yang diperlukan unutk menyingkirkan karbondioksida (aliran minimum > 7
L/min). Penutup kepala tersebut memiliki aliran 10-15 L/min dan rata-rata
cukup adekuat untuk kebanyakan pasien.

Terapi Oksigen- Helium


Campuran oksigen-helium (heliox) secara khusus memiliki aturan batasan
secara klinis. Di dunia luar biasanya digunakan dalam bidang industri dan
untuk penyelaman di dasar laut, dan beberapa diantaranya digunakan sebagai
tambahan dalam dunia medis. Dibeberapa alat standar , oksigen biasanya
tercampur dengan helium. Campuran terbanyak yang tersedia sekitar
80%/20% dan 70%/30% helium oksigen yang memiliki kepadatan sekitar
1.805 dan 1.586 kali lebih padat dan masing-masingnya tercampur murni
dengan oksigen. Dan masing-masingnya tersedia dengan ukuran yang besar
dalam bentuk gas silinder.
Dalam praktek anastesi, tekanan yang diperlukan unutk ventilasi pada pasien
dengan intubasi trakeal dengan diameter kecildapat dikurangi ketika
campuran 80%/20% digunakan. Pasien dengan distress akut pada saluran
nafas atas - lesi obstruktif seperti edema subglottic, korpus alienum dan tumor
trakheal dapat ditangani sampai pertolongan definitifnya dapat diberikan.
Selama ini hal ini berhasil jika digunakan dalamkasus-kasus COPD dan asma
akut. Campuran helium juga biasanya digunakan sebagai gas dalam alat
nebulizer dengan volume yang kecil sebagai bronkodilatator pada terapi asma.
Biasanya dengan aliran helium 80%/20% diperlukan peningkatan hingga 11
L/mnt dengan oksigen 6-8 L/mnt. Pasien WOB dapat dikurangi saat heliox
terlepas lewat ventilator mekanik (noninvasive atau melalui sebuah saluran
udara). Pasien yang nonintubasi pada umumnya menerima terapi heliox
melalui kantong reservoir.
Oksigen Hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik digunakan sebagai ruang bertekanan untuk
mengekspos pasien ke lingkungan yang bertegangan melebihi tekanan
barometer (biasanya >760 mmHg). Dengan ruangan hiperbarik untuk satu
orang, oksigen 100% yang biasanya digunakan pada ruang bertekanan.
Ruangan multi yang terbesar mengikuti perawatan simultan dari multi pasien
dan kehadiran dari tenaga medis yang seruangan dengan pasien. Multi ruangan
menggunkan gas bertekanan rungan dimana pasien menerima oksigen 100%
dengan sungkup, kerudung, atau TT. Pada umumnya indikasi untuk oksigen
hiperbarik termasuk penyakit dekompressi, emboli gas, gas gangrene, racun
karbon monoksida, dan pengobatan luka tertentu.
3. Resiko terapi oksigen
Tertapi oksigen dapat menghasilkan toksisitas respiratori maupun
nonrespiratori. Faktor yang penting termasuk kepekaan pasien, FiO2, dan
durasi terapi.
Hipoventilasi
Komplikasi ini terutama terlihat pada pasien dengan COPD dimana memiliki
retensi CO2. Pasien ini memiliki pengarah respirasi yang berubah sebagian
menjadi bagian dependen pada pemeliharaan hipoksemia relatif . Sebagai
alternative, mediasi oksigen dilepaskan dari vasokonstriktor dapat
menghasilkan laju aliran darah yang besar ke area dengan ventilasi atau
perfusi yang tinggi (V/Q) (lihat bab 23). Peningkatan dari arteri tekanan
oksigen ke “normal” dapat menyebabkan hipoventilasi berat pada pasien ini.
Pada kondisi yang stabil, pasien bernafas spontan dengan hiperkarbi dalam
(PaCO2 > 80 mmHg) yang di bantu dengan suplemen oksigen tidak boleh
mengalami diskontinuitas suplemen oksigen, walaupun hanya sesaat.
Penyerapan atelektasis
Oksigen dalam konsentrasi tinggi dapat disebabkan atelektasis pulmonary
pada area dengan V/Q yang rendah. Ketika oksigen dibersihkan dari paru,
tekanan gas pada kapiler darah pulmonal menghasilkan peningkatan ambilan
gas alveoli permukaan menjadi penyerapan atelektasis. Jika sisa area perfusi
tetapi nonventilasi, hasil intrapulmonal dapat menjadi peleparan progresif dari
gradient alveolar ke arterial.
Toksisitas Pulmonal
Konsentrasi oksigen yang tinggi dan diperpanjang diketahui merusak paru-
paru. Toksisitas bergantung pada tekanan parsial oksigen pada udara inspirasi
dan durasi terekspos. Tekanan oksigen arterial lebih dari alveolar adalah lebih
penting pada pengembangan toksisitas oksigen. Walaupun oksigen 100%
dinaikan 10-20h pada umumnya aman (pada permukaan air laut)., konsentrasi
yang lebih besar dari 50-60% untuk periode yang panjang dapat menyebabkan
toksisitas dan yang tidak diinginkan.
Molekul oksigen dalam keadaan yang tidak biasa pada setiap atom memiliki
electron bebas pada kulit luarnya (2P). Hal ini memberikan molekul yang
dapat menjadi property paramagnetic yang dapat mengikuti pengukuran yang
tepat dari konsentrasi oksigen. Secara khusus, penyususna kembali dari
electron ini pada interaksinya dengan atom yang kain (besi) atau molekul
(xanthine) dapa menghasilkan racun kimia yang potensial. Toksisitas oksigen
telah dipikirkan untuk menjadi generasi interselular dari metabolit oksigen
reaktif yang besar (radikal bebas) seperti superoksida, dan ion hydrogen aktif,
inti dalam oksigen, dan hidrgen peroksida. Konsentrasi oksigen yang tinggi
meningkatkan kemungkinan timbulnya jensi beracun. Metabolit ini bersifat
sitotoksik karena bereaksi dengan DNA selular, protein sulfihidril, dan lipid.
Dua enzim selular, dismutase superoksida dan katalase, membangun proteksi
dengan denag perubahan sekuen dari superoksida, pertama ke hidrogen
peroksida dan kemudian menjadi air. Proteksi tambahan dapat dibentuk dari
antioksidan dan radikal bebas hewan pemakan bangkai seperti glutation
peroksida, asam askorbat (vitamin C), α-tokoferol (vitamin E), asetilsistein,
dan mungkin manitol; walaupun, bukti klinis yang mendukung agen ini dalam
mencegah toksisitas pulmonal sangat kurang.
Jejas mediasi oksigen dar membrane kapiler alveolar menghasilkan suatu
sindrom pataologis dan klinis tidak dapat dibedakan dari ARDS.
Permeabiliitas membran kapiler meningkat dan penebalan membrane dari sel
alveolar tipe I berkurang dan sel tipe II berproliferasi. Trakeobronkitis dapat
juga timbul pada bayi baru lahir. Toksisitas pulmonal oksigen pada bayi baru
lahir bermanifestasi sebagai dysplasia bronkopulmonal.
Retinopati premature
Retinopati premature (ROP), sebelumnya dimasukkan dalam retrolental
fibroplasias, merupakan gangguan neovaskularisasi retina yang terjadi pada
84% dari bayi prematur hidup dengan umur kurang dari 28 minggu masa
kehamilan. Secara khas, (ROP) sembuh kira-kira 80% dari kasus tanpa
kehilangan fungsi penglihatan dari retina atau meninggalkan parut. ROP
mencapai epidemic pada tahun 1940-1950 dengan kadar oksigen yang tinggi
yang tidak termonitor melalui incubator. Terapi oksigen dikenal pengganggu
proliferasi vaskuler dan fibrosis sepeti detasemen retina yang menjadi
kebutaan. Resiko neonatus pada ROP meningkat dengan berat lahir yang
rendah dan kompleksitas komorbiditas (seperti sepsis). Sebaliknya pada
toksisitas pulmonal, ROP berkorelasi lebih baik dengan oksigen arterial
ketimbang tekanan oksigen alveolar. Konsentrasi oksigen yang
direkomendasikan untuk bayi premature dapat menerima adalah sekitar 50-80
mmHg (6,6-10,6 kPa). Jika kebuthan bayi baru lahir membutuhkan saturasi
oksigen sebanyak 96-99% untuk alas an kardiopulmonal, khawatir akan
bahaya ROP bukanlah alasan untuk menahan oksigen.
Toksisitas oksigen hiperbarik
Tekanan oksigen yang tinggi pada inspirasi dengan terapi hiperbarik
memercepat terjadinya toksisitas oksigen. Resiko dan derajat toksisitas
berhubungan dengan tekanan yang digunakan sebaik dari durasi terpapar.
Paparan yang lama dengan tekanan parsial oksigen pada kelebihan 0,5 nillai
mutlak atmosfer (ATA) dapat menyebabkan toksisitas pulmonal. Hal ini dapat
muncul sebagai rasa terbakar pada retrosternal, batuk, rasa tertindih pada
dadadan akan menjadi progresif ketidak mampuan paru terhadapa paparan
selanjutnya. Pasien yang terpapar dengan O2 pada 2 ATA atau yang lebih besar
lagi juga beresiko mengalami toksisitas system saraf pusat. Perubahan
perilaku, mual, vertigo, dan/atau kejang otot yang dapat atau tidak didahului
dengan gangguan hebat yang nyata.
Resiko terbakar
Oksigen adalah bahan yang sangat mudah terbakar. Oksigen berpotensi untuk
menyebabkan terjadinya kebakaran dan ledakan yang didiskusikan pada bab 2.
VENTILASI MEKANIK
Di samping intervensi awal dan perawatan agresif respiratori, pasien ICU akan
sering membutuhkan ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik menggantikan atau
menambahkan ventilasi normal pada system pernafasan. Pada banyak
kejadian, problem pertama adalah ketidakmampuan mengeliminasi CO2
(kegagalan ventilator). Di samping itu,ventilasi menkanik dapat digunakan
sebagai tambahan yang penting. (biasanya untuk terapi tekanan positif; lihat
dibawah) pada pengobatan hipoksemia (gagal paru hipoksemik). Penentu
inisisasi ventilasi mekanik adalah tanda klinis, tetapi parameter terpenting
sudah dicantumkan pada petunjuk. (table 49-4)
Tebel 49-4
Petunjuk yang disarankan untuk membutuhkan ventilasi mekanik
Tekanan gas respirasi Indikasi langsung
Tekanan oksigen arterial < 50 mmHg
pada udara ruang, atau tekanan CO2
arterial<50 mmHg tanpa alkalosis
metabolic
Indikasi tidak langsung
Rasio PaO2/FiO2 <300 mmHg
Gradien PA-aO2 >350 mmHg
VD/VT>0,6
Indikasi klinis Laju nafas >35 kali/ menit
Indikasi mekanik Volume tidal <5 mL/kg
Kapasitas vital <15 mL/kg
Kekuatan inspirasi maksimum < -25
cm H2O (dengan kata lain, -15 cm
H2O)

Dari dua teknik yang tersedia, ventilasi tekanan positif dan ventilasi tekanan
negative, bentuk yang mempunyai aplikasi yang luas dan yang banyak
digunakan. Walaupun ventilasi tekanan negative tidak memrlukan intubasi
trakeal, itu tidak dapat menjadi substansi yang meningkatkan resistensi airway
atau menurunkan pemenuhan pulmonal, dan juga membatasi akses untuk
pasien.
Selama ventilasi tekanan positif, inflasi paru yang dicapai dengan menerapkan
ventilasi tekanan positif untuk saluran nafas bagian atas melalui masker yang
pas (non invasif ventilasi mekanik) atau melalui trakea atau tabung
trakeostomi. Peningkatan resistensi saluran nafas dan penurunan pemenuhan
pulmonal dapat dicapai dengan memanipulasi laju gas inspiratori dan tekanan.
Kerugian utama dari ventilasi tekanan positif yang digunakan ventilasi
berhubungan dengan perfusi, efek potensial yang kurang baik pada sirkulasi,
dan resiko barotrauma dan volutrauma pada pulmo. Ventilasi tekanan positif
meningkatkan fisiologi dead space karena aliran gas secara khusus
mengakibatkan lebih banyak komplikasi, area nondependent dari paru,
sedangkan laju aliran udara (dimana dipengaruhi oleh gravitasi) baik area
dependen. Reduksi cardiac output secara primer berhubungan dengan
pengurangan venous return ke jantung carena peningkatan tekanan
intratorakal. Barotrauma berhubungan erat dengan tingginya puncak tekanan
inflasu dan penyakit paru yang mendasari, sedangkan volutrauma
berhubungan dengan kolaps yang berulang dann reekspansi dari pat=ru yang
normal atau yang sakit.

Ventilasi tekanan positif


Ventilasi tekanan positif secara periodic menciptakan gradient tekanan antara
sirkuit mesin dan alveoli yang menghasilkan laju gas inspiratori. Pernafasan
menjadi pasif. Ventilator dan mekanisme kontrolnya dapat menjadi bertenaga
mesin pneumatically (oleh sumber gas bertekanan), elektrikal, atau oleh kedua
mekanisme tersebut. Laju aliran gas juga berasal langsung dari sumber
tekanan gas atau diproduksi oleh piston berputar atau linear. Aliran udara ini
kemudian masuk secara langsung kepada pasien (sistem sirkuit tunggal) atau
secara umum terjadi dengan ventilator ruang operasi, kompresi dari kantong
reservoir yang merupakan bagian dari sirkuit pasien (system sirkuit ganda)
Semua ventilator mempunyai empat fase: inspirasi, perubahan drai inspirasi ke
ekspirasi, ekspirasi, dan perubahan kespirasi ke inspirasi (lihat bab 4).
Manipulasi dari fase-fase ini menentukan VT, laju ventilator, waktu inspirasi,
laju aliran udara inspirasi, dan waktu ekspirasi.

Klasifikasi dari ventilator


Kompleksitas dari ventilator modern diklompokkan menjadi klasifikasi yang
mudah. Persatuan dari teknologi mikroprosesor kepada generasi terbaru dari
ventilator menjadi lebih komplikated. Meskipun begitu, ventilator secara
umum diklasifikasikan berdasarkan karakteristik fasi inspiratori dan metode
mereka dari perubahan inspirasi ke ekspirasi.

Karakteristik inspiratori
Banyak dari ventikator modern berlaku sperti laju generator. Laju konsatan
dari generator mengirimkan laju aliran udara inspirasi yang konstan tanpa
melihat tekanana dari sirkuit saluran nafas.
Laju konstan diproduksi oleh pengunaan dari solenoid ( on-off) katup dengan
sumber gas bertekanan tinggi (5-50 psi) atau melalui sebuah injector gas
(venture) dengan sumber bertekanan rendah. Mesin dengan sumber gas
bertekanan tinggi mengikuti laju aliran gas inspiratori untuk mengingat
keburukan konstan dari perubahan besar dari resistensi saluran udara atau
pemenuhan kebutuhan paru. Laju nonkonstan dari generator secara konsisten
bertukar laju inspiratori dengan setiap siklus inspirasi (seperti oleh piston yang
berputar); pola gelombang sinus adalah yang terumum.
Generator bertekanan konstan memelihara tekanan konstan aliran udara
konstan dalam keseluruhan inspirasi dan tanpa tegantung dengan laju aliran
gas inspiratori. Aliran gas berhenti ketika tekanan saluran udara sama dengan
tekanan inspiratori. Tekanan generator secara khas dioperasikan (hanya diatas
tekanan puncak inspirasi).

Perputaran (perubahan dari inspirasi ke ekspirasi)


Ventilator time-cycled berputar pada fase ekspirasi sekali pada interval
prederminasi yang beralau dari permulaan inspirasi. Vt adalah produk dari dari
set waktu inspiratori dan laju aliran inspiratori. Ventilator time-cycled pada
umumnya digunakan untuk neonates dan pada ruang operasi.
Ventilator volume-cycled menghentikan inspirasi ketika volume preseleksi
dikirimkan. Banyak ventilator orang dewasa merupakan volume-cycled tetapi
juga mempunyai batas tekanan inspiratori untuk menjaga dari bahaya
barotraumas. Jikan tekanan inspiratori melebihi batas tekanan, mesin berputar
ke fase ekspirasi jika volume yang dipilih tidak dapat dikirimkan. Pada
kenyataannya, kebaikan fungsi dari ventilator volume- cycled masih tidak
dapat dikirimkan volume yang di set kepada pasien. Sebuah presentasi dari
sebuah set VT selalu kehilangan perluasan dari sirkuit pernapasan selama
inspirasi. Pemenuhan su=irkuit biasnaya berkisar 3-5 mL/cm H2O; seperti ,
bila tekanan 30 cm H2O dihasilkan selama inspirasi, 90-150 mL dari VT set
hilang ke sirkuit. Kehilangan dari VT ke sirkuit pernafasan berhubungan
kebaliakn dari pemenuhan apru. Untul pengukuran yang akurat dari ekshalasi
VT, spirometer harus ditempatkan pada TT lebih dari katup ekshalasi dari
ventilator.
Ventilator pressure-cycled berputar pada fase ekspirasi ketika tekanan saluran
nafas mencapai tingkat predeterminan. VT dan waktu inspirasi bertukar-tujar,
berhubungan dengan resistensi jalan nafas dan pulmonary dan pemenuhan
sirkuit. Kebocoran yang signifikan dari sirkuit pasien dapat dicegah dengan
membangkitkan kebutuhan dari tekanan sirkuit dan mesin pemutar.
Sebaliknya, pada peningkatan akut dari resistensi saluran nafas atau
penguranagn dari pemenuhan pulmonary, atau pemenuhan sirkuit (titik temu)
memyebabkan perputaran premature dan pengurangan VT yang dikirim.
Ventilasi pressure-cylced biasanya sangat berguna hanya pada penggunaan
jangka pendek. (transport).
Ventilator flow-cycled mempunyai tekanan dan mengalirkan sensor yang
mengikuti ventilator untuk memonitor laju inspiratori pada tekanan inspiratori
preseleksi yang tetap (biasanya 25% dari awal puncak laju aliran mekanik
inspiratori), peprutaran ventilator dari inspirasi ke ekspirasi (melihat bagian
dari bantuan tekanan/ control tekanan ventilasi).

Ventilator yang dikontrol oleh mikroprosesor


Mesin serbaguna yang dapat diatur ke fungdi pada varietas apapun dari laju
inspiratori dan pola perputaran. Mikroprosesor mengikuti kendali pengulangan
semua performa karakteristik ventilator. Ventilator dengan pengendalian
mikroprosesor termasuk Puritan-Bennet 7200 dan 840, Siemen servo 300,
Respironics Espirit dan Hamilton Veolar Ventilator, dan ventilator daro
Ohmeda 7600 dan mesin anesthesia Drager 6000.

Tabel 49-5. Model Ventilatory

Model Perputaran inspirasi ke ekspirasi Perubahan inspirasi ke Mengikuti Model


ekspirasi Ventilasi weaning
spontan
Volume Waktu Tekanan Laju Waktu Tekanan
CMV + +
AC + + +
IMV + + + +
SIMV + + + + +
PSV + + +
PCV + +
MMV +
PC-IRV + +
APRV + + +
HFJV + + +

CMV, controlled mechanical ventilation (ventilasi tiruan yang dikendalikan);


AC, assist-control ventilation (pengendali pembantu ventilasi); IMV,
intermittent mandatory ventilation (ventilasi yang diperintahkan secara
intermitten) ; SIMV, synchronized intermittent mandatory
ventilation( ventilasi yang diperintahkan secara sinkron dan intermitten); PSV,
pressure support ventilation( ventilasi dengan tekanan); MMV, mandatory
minute ventilation(ventilasi yang dipoerintahkan dalam menit); IRV, inverse
I:E ventilation (ventilasi dengan kebalikan I:E); APRV, airway pressure release
ventilation (ventilasi dengan tekanan yang dilepaskan ke saluran nafas); HFJV,
high-frequency jet ventilation (ventilasi pancaran frekuensi tinggi)

Model Ventilator
Model ventilator ditentukan oleh metode yang digunakan oleh ventilator yang
berputar dari ekspirasi menuju inspirasi seperti halnya pasien dapat bernafas
spontan. (table 49-5 dan Gambar 49-1). Banyak ventilator modern lebih
mampu daripada satu model ventilator, dan beberapa (ventilator dengan
pengendalain mikroprosesor) dapat dikombinasikan secara serempak
Mesin ventilasi yang dikendalikan (CMV)
Pada model ini, perputaran ventilator dari ekspirsi ke inspirasi setekah interval
waktu yang tetap. Interval menentukan laju inspiratori. Pengaturan dari model
ini menyediakan VT yang tetap dan laju yang tetap (dan, oleh karena itu,
ventilasi menggunkana wkatu dalam menit) dengan mengabaikan usaha
pasien, karena pasien tidak dapat bernafas spontan. Pengaturan untuk batas
tekanan inspiratori member petunjuk untuk menghindari barotrauma
pulmonary. Pengendalian ventilasi baik dipersiapkan bagi pasien yang mampu
sdikit atu tidak ada usaha ventilator. Pasien yang sadar dengan usaha ventilasi
aktif membutuhkan sedasi atau pelumpuh otot.
Ventilasi pengendali pembantu
Dengan menyertakan sensor tekanan pada sirkuit pernafasan, usaha inspiratori
pasien spat digunakan untuk penanda respirasi. Kontrol sensitivitas mengikuti
sleksi dari usha nafas yang diperlukan. Ventilator dapat diatur sebagai laju
ventilator yang tetap, tapi usaha nafas yang cukup besar akan menjadi penanda
untuk mengatur VT.

Gambar 49-1. Tekanan jalan nafas bentuk gelombang dari model-model


ventilasi

Jika usaha inspirasi spontan tidak terdeteksi, fungsi mesin seperti pada bentuk
kontrol.
C. Ventilasi intermiten yang mandatoris (IMV=intermittent mandatory
ventilation)
IMV mengizinkan ventilasi spontan ketika pasien menggunakan ventilator.
Nafas mekanik yang terseleksi (dengan VT yang tetap) diberikan untuk nafas
tambahan spontan. Di tingkat mandatoris yang tinggi (10-12 nafas/menit),
IMV secara essensial menyediakan ventilasi mekanik minimal dan
mengizinkan pasien bernafas relatif independen. VT dan frekuensi nafas
spontan ditentukan oleh kekuatan otot dan gerakan ventilasi pasien. Laju IMV
dapat disesuaikan untuk menjaga ventilasi menit yang diinginkan. IMV
menemukan pemakaian terbesar sebagai teknik sapihan.
Ventilasi intermiten mandatoris yang tersinkronisasi
(SIMV=synchronized intermittent mandatory ventilation) mengatur nafas
mekanik, kapan saja mungkin, untuk menyamakan dengan awal usaha nafas
spontan. Sinkronisasi yang tepat mencegah pengadaan berlebihan nafas
mekanik ditengah-tengah nafas spontan, menghasilkan VT yang sangat besar.
Seperti CMV dan AC, mengatur batas tekanan inspirasi menjaga terjadinya
barotrauma pulmoner. Keuntungan SIMV termasuk kenyamanan pasien, dan
juka digunakan untuk sapihan, mesin nafas menyediakan cadang jika pasien
menjadi lelah. Bagaimanapun juga, jika lajunyaterlalu rendah (4 nafas/menit) ,
cadangan mungkin terlalu rendah, khususnya untuk pasien-pasien yang tidak
dapat mengatasi WOB tambahan yang masuk berlebihan dengan ventilator
selama nafas spontan.
Sirkuit IMV menyediakan suplai aliran uadara yang berkelanjutan
untuk ventilasi spontan antara nafas-nafas mekanik. Ventilator modern
memasukkan SIMV kedalam desain mereka, tetapi model-model yang lebih
lama harus dimodifikasi oleh sebuah sirkuit yang parallel, sebuah sistem aliran
yang berkelanjutan, atau sebuah permintaan untuk katup arus. Terlepas dari
sistem, fungsi yang tepat dari katup satu arah dan aliran udara yang cukup
dibutuhkan untuk mencegah peningkatan WOB pasien, khususnya ketika
PEEP juga digunakan.

D. Ventilasi menit yang mandatoris (MMV=mandatory minute ventilation)


Pasien dapat bernafas secara spontan dan juga menerima nafas mekanik ketika
mesin memonitor ventilasi menit yang dikeluarkan. Pada bentuk ini, mesin
secara terus-menerus menyesuaikan jumlah nafas mekanik sehingga total
nafas spontan ditambah nafas mekanik dikalikan oleh VT sama dengan
ventilasi menit yang diinginkan. Peran dari bentuk ini dalam penyapihan
(weaning) tetap tegas.

E. Ventilasi penyokong tekanan (PSV=pressure support ventilation)


Ventilasi penyokong tekanan didesain untuk menambah VT dari nafas spontan
pasien-pasien dan mengatasi peningkatan tahan inspirasi dari TT, sirkuit nafas
(tabung, konektor, humidifier), dan ventilator (sirkuit dan katup pneumatic).
Mesin-mesin mikroprosesor terkontrol memiliki mode ini, yang mengirim
aliran udara yang cukup di setiap usaha inpirasi untuk mejaga tekanan positif
yang ditetapkan melalui inspirasi. Ketika aliran inspirasi menurun di tingkat
yang ditentukan, Putaran aliran balik ventilator (servo) memutar mesin
menjadi fase ekspirasi, dan tekanan aliaran udara kembali ke garis batas
(baseline) (gambar 49-2). Pengaturan satu-satunya pada mode ini adalah
tekanan inspirasi. Pasien menentukan laju respirasi dan variasi VT
berdasarkan aliran udara inspirasi, mekanik paru-paru, dan usaha inspirasi
pasien sendiri.PSV dengan tingkat yang rendah ( 5-10 cm H2O) biasanya
cukup untuk mengatasi halangan yang ada yang dibentuk oleh perlengkapan
pernafasan. Tingkat yang tinggi ( 10 – 40 cm H20) dapat berfungsi sebagai
mode ventilator yang berdeiri sendiri dan makanik paru yang stabil.
Keuntungan yang prinsip dari PSV adalah kemampuannya untuk memperbesar
VT spontan, menurunkan WOB, meambah kenyamanan pasien.
Bagaimanapun juga jika pasien lelah atau mekanik paru berubah, VT mengkin
dapat tidak adekuat, dan tidak ada laju cadangan jika laju respirasi intrinsic
pasien menurun atau pasien menjadi apneu. Penyokong tekanan sering kali
digunakan sebagaipenghubung dengan IMV (gambar 49-3). Mesin nafas IMV
menyediakan cadangan, dan sebuah penyokong tekanan level rendah
digunakan untuk mengimbangi WOB berlebih dari sirkuit dan mesin nafas.

Gambar 49-2. Ventilasi penyokong tekanan. Pasien menginisiasi sebuah nafas;


mesin diarahkan untuk mengirin tekanan 15 cm H2O (diatas 5 cm H2O
tekanan udara positif yang berkelanjutan (CPAP)). Ketika aliran berhenti,
mesin berubah menjadi mode ekspirasi.

F. Ventilasi Pengontrol Tekanan ( PVC = preassure ventilation control)


Ventilasi Pengontrol Tekanan ( PVC = preassure ventilation control) sama
dengan ventilasi penyokong tekanan di dalam hal puncak tekanan aliran udara
yang terkontrol tetapi berbeda dalam hal laju mandatoris dan waktu inspirasi
yang dipilih. Seperti penyokong tekanan, aliran udara berhenti ketika level
tekanan dicapai; bagaimanapun juga, ventilator tidak berubah ke ekspirasi
sampai waktu inspirasi yang ditetapkan berlalu. PCV dapat digunakan pada
kedua mode AC dan IMV. Pada AC, semua nafas (baik diinisiasi oleh mesin
atau pasien) adalah bersikluskan waktu dan dibatasi oleh tekanan. Pada IMV
nafas yang diinisiasi mesin adalah bersikluskan waktu dan dibatasi oleh
tekanan. Pasien mungkin bernafas secara spontan anatar laju yang ditetapkan,
dan VT dari nafas spontan ditentukan oleh kekuatan otot pulmo pasien.
Keuntungan dari PCV adalah dengan membatasi tekanan inspirasi, risiko
barotrauma dan volutrauma dapat diturunkan. Juga, dengan melebarkan waktu
inspirasi, penyembuhan alveoli yang kolaps atau terbanjiri mungkin dapat
dicapai, menyediakan level PEEP yang cukup untuk digunakan. Kerugian dari
PCV adalah VT tidak dapat dijamin. Perubahan pada pemenuhan atau tahanan
dapat member efek VT yang dikirimkan. Hal ini merupakan masalah besar
pada pasien dengan ALI karena jika pemenuhan berubah tanpa peningkatan
tekanan, VT yang cukup mungkin tidak dapat didapatkan. PCV telah
digunakan pada pasien dengan ALI atau ARDS , seringkali dengan waktu
inspirasi yang memanjang atau rasio ventilasi I:E (IRV) (lihat bawah) yang
terbalik dalam usaha memperbaiki alveoli yang kolaps dan terbanjiri.
Kerugian menggunakan IRV dengan PCV adalah pasien membutuhkan sedasi
yang besar atau paralisis utnuk mentoleransi mode ventilasi ini.
Dengan PCV, tekanan dan waktu inspirasi ditunjukkan, sedangkan
aliran udara dan volume adalah vriabel dan tergantung pada kemampuan dan
tahanan pasien. Dengan ventilasi volume, disisi yang lain, waktu inspirasi
juga diatur tetapi aliran dan Vt juga diatus., dan pasa situasi ini tekanan
inspirasi dapat sangat tinggi.
G. Ventilasi Rasio I:E yang terbalik
IRV membalik rasio waktu inspirasi normal menjadi ekspirasi dari 1:3 atau
lebih besar menjadi rasio yang lebih besar dari 1:1. Hal ini dapat dicapai
denganmenambahkan jeda diakhir inspirasi, dengan menurunkan puncak
aliran inspirasi selama ventilasi siklus volume (CMV), atau dengan mengatur
waktu inspirasi sehingga inspirasi lebih panjang dari ekspirasi selama PCV
( PC-IRV). PEEP intrinsic mungkin diproduksi selama IRV dan disebabkan
oleh udara yang terjebak atau pengosongan paru yang tidak komplit sampai
batas dasar (baseline) tekanan sebelum memulai nafas berikutnya. Udara yang
terjebak ini menambah FRC sampai equilibrium yang baru dicapai. Mode ini
juga tidak mengizinkan nafas spontan dan membutuhkan sedasi berat atau
blockade neuromuskuler. IRV dengan PEEP efektif untuk meningkatkan
oksigenasi pada pasien dengan penurunan FRC. Oksigenasi secara umum
sepadan dengan rata-rata tekanan udara.

Gambar 49-3. Ventilasi mekanik intermiten dengan penyokong tekanan .


M=nafas mesin, mengatur volume tidal(VT) yang dikirim. S=nafas spontan,
15 cm dari tekanan menyokong lebih dari 5 cm dari PEEP. VT tergantung dari
usaha pasien dan mekanik paru. V, aliran; Paw, tekanan jalan nafas parsial;
PEEP, tekanan positif akhir ekspirasi.

H. Ventilasi tekanan udara yang dilepaskan (APRV = airway pressure released


ventilation)
APRV atau ventilasi bilevel yang menggunakan level PEEP yang tinggi,
selama pasien diizinkan untuk bernafas spontan. Secara intermiten, level PEEP
menurun untuk membantu memperbesar eliminasi dari CO2 (Gambar 49-4).
Waktu inspirasi dan ekspirasi, tinggi dan rendahnya level PEEP,dan aktifitas
respirasi spontan menetukan ventilasi menit. Pengaturan awal termasuk PEEP
minimal dari 10-12 cm H2O dan level yang dilepaskan dari 5-10 cm H2O.
Keuntungan APRV tampaknya adalah lebih sedikit depresi sirkulasi dan
barotraumas pulmober dan juga berkurangnya kebutuhan utnuk sedasi. Teknik
ini tampaknya alternative menarik untuk PC-IRV untuk mengatasi masalah-
masalah dengan tekanan puncak inspirasi yang tinggi pada pasien dengan
kemampuan paru yang berkurang.
I. Ventilasi dengan frekuensi tinggi (HFV = high-frequency ventilation)
Tiga bentuk HFV tersedia. Ventilasi frekuansi tinggi tekanan tinggi (HFPPV)
termasuk pengiriman VT ‘konvensional’ yang kecil pada laju 60-120
nafas/menit. Ventilasi jet frekuensi tinggi (HFJV) memanfaatkan kanula kecil
pada jalan nafas melaluinya sebuah dorongan udara bertekanan tinggi
dikirimkan pada frekuensi yang diatur 120-160 kali/menit (2-10 Hz).
Dorongan gas mungkin memasuki udara secara tiba-tiba (efek Bernoulli),
mungkin memperbesar VT. High frequency oscilation (HF) memakai sebuah
poros penggerak (biasanya sebuah piston) yang menciptakan pergerakan gas
to and fro di jalan nafas pada laju 180-3000 kali/menit (3-50 Hz).

Gambar 49-4. Ventilasi tekanan udara yang dikeluarkan


Semua ventilasi bentuk ini memproduksi VT pada atau dibawah
anatomic dead space. Mekanisme yang pasti dari pertukaran gas tidak jelas
tetapi kemungkinan merupakan sebuah kombinasindari efek-efek termasuk
ventilasi konvektif, profil-profil kecepatan yang asimetris, dispersie Taylor,
pendelluft, difusi molekuler, dan pencampuran kardiogenik. HFJV telah
menemukan kegunaan yang besar di ruang operasi. Dapat digunakan untuk
prosedul laryngeal, trakeal, dan bronchial dan dapat sangat berguna pada
pengelolaan emergensi jalan nafas ketika intubasi trakeal dan ventilasi tekanan
positif konvensional tidak berhasil (lihat bab 5). Di ICU, HFJV mungkin
berguna untuk mengatur beberapa pasien dengan fistula bronkopleura dan
fistula trakeoesofagus ketika ventilasi konvensional gagal. Kadang-kadanga,
HFJV atau HFO digunakan pada pasien dengan ARDS untuk meningkatkan
oksigenasi. Pemanasan yang tidak adekuat dan humidification dari gas
inspirasi selama HFV yang memanjang dapat menjadi sebuah masalah.
Pengaturan awal untuk HFJV di ruang operasi adalah laju 120-240
nafas/menit, waktu inspirasi 33%, dan tekanan pendorong 15-30 psi. rata-rata
tekanan jalan nafas harus diukur pada trakea paling tidak 5 cm dibawah
injector untuk menghindari kesalahan atrifisial dari gas yang masuk secara
cepat. Eliminasi karbondioksida umumnya berbanding lurus dengan tekanan
pendorong (drive pressure), sedangkan oksigenasi berbanding lurus dengan
rata-rata tekanan jalan nafas. Efek PEEP intrinsic dilihat selama HFJV pada
tekanan pendorong yang tinggi dan waktu inspirasi yang lebih besar dari 40%.

J. Ventilasi Paru Diferensial (DLV = Differential lung ventilation)


Teknik ini, juga disebut sebagai ventilasi paru independent (ILV = independent
lung ventilation), padat digunakan pada pasuen-pasien dengan penyakit paru
atau fistula bronkopleural. Penggunaan ventilasi tekanan positif konvensional
dan PEEP dengan instant dapat memperburuk ketidaksesuaian ventilasi atau
perfusi atau, pada pasien dengan fistula, menghasilkan ventilasi yang tidaka
adequate dari paru yang tidak terkena. Pasien dengan penyakit restriktif pada
salah satu paru, distensi berlebihan dari paru yang normal dapat menyebabkan
hipoksemia yang makin memburuk atau barotrauma. Setelah memisahkan
paru-paru dengan pipa bronchial dengan lumen ganda, ventilasi takanan positif
diferensial dengan dua ventilato dipasang ke setiap paru secara independen.
Ketika kedua ventilator digunakan, waktu nafas mekananik beiasanya
disinkronkan dengan satu ventilator, the ‘master’, mengatur laju untuk
ventilator ‘slave’.

2. Perawatan pasien yang memerlukan ventilasi mekanik


Intubasi trakea
Intubasi trakea untuk ventilasi mekanik umum dilakukan pada pasien-pasien
ICU untuk mengelola kegagalan pulmoner. Intubasi trakea nasala dan oral
tampaknya relative aman untuk paling sedikit 2-3 minggu. Ketika
dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu yang panjang di ICU,
intubasi nasal mungkin lebih nyaman untuk pasien, lebih aman ( kecelakaan
ektubasi instan lebih sedikit), krang menyebabkan kerusakan laryngeal.
Intubasi nasal, bagaimanapun juga, memiliki efek samping yang signifikan
yang dihubungkan dengan penggunaannya, termasuk perdarahan nasal yang
signifikan, bakteremi transient, diseksi submukosa dari nasofaring atau
orofaring, dan sinusitis atau otitis media (dari obstruksi pipa auditorik).
Intubasi dapat sering dilakukan tanpa penggunaan sedasi atau pelemah
otot pada pasien-pasien agonal atau tidak sadar. Anestesi topical pada jalan
nafas atau sedasi, bagaimanapun juga, membantu pasien-pasien yang masih
memiliki reflek saluran nafas yang aktif. Pasien yang lebih bertenaga dan tidak
kooperatif membutuhkan berbagai macam derajat sedai; pemberian NMBA
sangat memfasilitasi intubasi orotrakeal. Dosis kecil dari agen-agen short-
acting digunakan secara umum; agen yang popular termasuk midazolam,
atomidate, propofol, dan methohexital. Succylcholine atau NMBA
nondepolarisasi (mivacuronium atau rocuronium) dapat digunakan untuk
paralisis setelah agen hipnotok diberikan.
Waktu intubasi trakea dan inisiasi ventilasi mekanik sering merupakan
suatu periode dari ketidakstabilan hemodinamik. Hipertensi atau hipotensi dan
bradikardi atau takhikardi mungkin ditemui. Factor yang bertanggung jawab
termasuk aktifasi reflek otonom dari stimulasi jalan nafas, depresi myiocard
dan vasodilatasi dari agen-agen hipnotik sedatif, pasien tegang, withdrawal
intens dari aktifitas simpatik, pengurangan aliran balik vena karena tekanan
positif jalan nafas. Pengawasan yang cermat diperlukan selama dan segera
setelah intubasi.
Saat digunakan lebih dari 2-3 minggu, TT translaringeal nasal dan oral,
keduanya dapat memberi kencederungan pasien untuk stenosis subglotik. Jika
ventilasi mekanik periode panjang dibutuhkan, TT seharusnya diganti dengan
pipa trakeostomi. Jika terantipasi bahwa TT akan dibutuhkan lebih dari 2-3
minggu, dan dibeberapa institusi lebih dari 1 minggu, trakeostomi dilakukan
dalam beberapa hari pertama intubasi.

Pengaturan Awal Ventilator


Tergantung dari tipe kegagalan pulmoner, ventilasi mekanik digunakan untuk
memberikan sokongan ventilasi sebagian ataupun penuh. Untuk sokongan
penuh ventilasi, CMV, Ac, atau PVC umumnya dipekerjakan dengan laju
respirasi 10-12 nafas.menit dan VT 8-10 mL/kg; VT yang lebih rendah (6-8
mL/kg) mungking diperlukan untuk menghindari tekanan puncak inflasi yang
tinggi (> 35-40 cm H2O) dan barotraumas dan volutrauma pulmoner. Tekanan
jalan nafas yang tinggi yang menyebabkan overdistensi alveoli ( tekanan
transalveoler > 35 cm H2O) dapat menyebabkan kerusakan paru dan dapat
dilihat sacara eksperimental. Demikian juga, Vt yang lebih besar dari 10mL/kg
telah dihubungkan dengan peningkatan mortalitas pasien-pasien ARDS.
Penyokong ventilasi parsial biasanya disediakan oleh SIMV ( <8 nafas/menit),
dengan atau tanpa penyokong tekanan. Rata-rata tekanan saluran nafas yang
rendah (<20-30 cm H2O) dapat membantu menjaga cardic output dan kurang
menyebabkan perubahan hubungan ventilasi/perfusi.
Pasien bernafs secara spontan pada SIMV harus mengatasi hambatan
tambahan dari TT, tuntutan katub, dan sirkuit nafas dari ventilator.
Perlawanan yang dipaskakan ini meningkatkan WOB. TTs yang kecil ( <7,0-
7,5 mm i.d.) sebaiknya dibindari sebisa mungkin. Pengguanaas penyokong
tekanan yang serentak 5-15 cm H2O selama SIMV dapat mengkompensasi
untuk hambatan TT dan sirkuit.
Penambahan PEEP 5-8 cm H2O selama ventilasi tekanan positif
mempertahankan FRC dan pertukaran gas. PEEP ‘fisiologis’ ini bertujuan
untuk mengkompensasi kehilangan jumlah yang sama PEEP intrinsic
(penurunan FRC) pada pasien-pasien setelah intubasi trakeal. Periodik VT
yang besar (desahan nafas) tidak diperlukan ketika PEEP fisiologis (kira-kira 5
cm H2O) dan VT 6-10 ml/kg digunakan.

Sedasi dan paralisis


Sedasi yang berat mungkin diperlukan untuk pasien-pasien yang gelisah dan
‘melawan’ ventilator. Batuk dan ketegangan yang berulang dapat memiliki
efek samping hemodinamik, dapat menggangu pertukaran gas, dan memiliki
kecenderungan terjadinya barotraumas pulmoner dan luka self-inflicted
(ditimbulkan dari diri sendiri). Sedasi dengan atau tanpa paralisis dapat
diperlukan ketika pasien terus mengalami takhipneu meskipun laju respirasi
mekanik yang tinggi ( >16-18 nafas/menit)
Sedasi yang umumnya digunakan termasuk opoid (morfin dan
fentanyl), benzodiazepam (diazepam, midazolam, atau lorazepam), propofol,
dan dexmedetomidine. Agen-agen ini dapat digunakan sendiri-sendiri atau
dalam kombinasi dan paling efektif dimasukkan melalui infuse. NMBAs
nondepolarisasi digunakan untuk paralisis (bersamman dengan obat sedatif
dosis adekuat) ketika semua cara lain untuk memventilasi pasien telah gagal.

Pengawasan
Pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan pengawasan efek samping
hemodinamik dan pulmoner terus-menerus hasil dari tekanan positif di jalan
nafas. Pengawasan lektrokardiografi, nadi, oksimetri, dan tekanan intraarteri
direct(langsung) yang terus-menerus sangatlah berguna. Yang terakhir, sering
juga memungkinkan pengambilan sampel tekanan darah arteri untuk analisis
gas darah. Pencatatan masuk dan keluarnya cairan dengan hati-hati diperlukan
untuk menilai keseimbangan cairan secara akurat. Tinggalnya kateter urine
sangatlah membantu. Pengawasan tekanan vena dan atau arteri pulmoner
sentral diindikasikan pada pasien-pasien yang secara hjemodinamik tidak
stabil dan yang dengan pengeluaran urine yang rendah. Radiografi dada harian
umumnya diperoleh untuk mengakses TT dan garis posisi sentral, mencari
bukti-bukti barotraumas pulmoner, membantu evaluasi keseimbangan cairan,
dan mengawasi progesi dari penyakit pulmoner.
Tekanan jalan nafas (baseline, puncak, dan rata-rata), Vt inhalasi dan
ekshalasi (mekanik dan spontan), dan konsentrasi oksigen fraksional
sebaiknya diawasi dengan teliti. Pengawasan parameter-parameter ini tidak
hanya mengizinkan penyesuain pengaturan ventilator tetapi juga membantu
mendeteksi masalah-masalah TT, sirkuit nafas, dan ventilator. Suctioning
(penyedotan) sekret jalan nafas yang tidak adekuat dan adanya sumbatan besar
mukous sering bermanifestasi sebagai peningkatan titik puncak inflasi tekanan
(peak inflasion pressure) dan penurunan VT ekshalasi. Terlebih lagi,
peningkatan titik puncak inflasi tekanan (peak inflasion pressure) yang
mendadak bersaman dengan hipotensi yang mendadak sangat memberi kesan
adanya pnumothorak.

3. Penghentikan Ventilasi Mekanik


Kemudahan menyapih (atau membebaskan) pasien dari ventilator umunya
berbanding terbalik dengan durasi dari ventilasi mekanik. proses yang
mengharuskan ventilasi mekanis harus dibalik atau di bawah kontrol sebelum
penyapihan dilakukan. Factor-faktor komplikasi juga sebaiknya diobati
dengan adekuat, termasuk bronkospasme, gagal jantung, infeksi, malnutrisi,
alkalosis dan asidosis metabolic, anemia, peningkatan produksi CO2 karena
muatan karbohidrat yang tinggi, status mental yang berubah, dan depriviasi
tidur. Penyakit paru yang mendasari dan wasting otot pulmoner dari disuse
yang panjang sering merupakan faktor mayor yang menyulitkan penyapihan.
Penyapihan dari ventilasi mekanik mungkin dipertimbangkan ketika
pasien tidak lagi memenuhi criteria umum untuk ventikasi mekanik (lihat table
49-4). Indices mekanik tambahan telah juga menyarankan (table 49-6). Tanda-
tanda klinik perbaikan sebaiknya disokong dengan penemuan laboratori dan
radiografik. Parameter penyapihan yang paling berguna adalah tegangan(tensi)
gas darah arteri, laju respirasi, dan indeks pernafasan dangkal yang cepat
(RSBI = rapid shallow breathing index). Reflek jalan nafas yang intak dan
pasien yang kooperatif juga wajib diperlukan sebelum proses penyapihan
selesai kecuali pasien memiliki ikatan dengan tabung trakeostomi. Demikian
juga, oksigenasi yang adekuat (saturasi hemoglobin arteri > 90%) di O2 40-
50% dengan PEEP kurang dari 5 cm H2O sangat penting sebelum ekstubasi.
Ketika pasien disapih dari ventilator dan ekstubasi direncanakan, RSBI sering
digunakan untuk membantu memprediksi siapa yang dapat disapih dengan
berhasil dari ventilator dan ekstubasi. Dengan pasien bernafas spontan pada T-
piece, VT dan laju respirasi diukur:
RSBI = f (nafas/menit)
VT (L)
Pasien dengan RSBI kurang dari 100 dapat diekstubasi dengan sukses. Mereka
yang denga RSBI lebih dari 120 sebaiknya tetap berada pada ventilasi
mekanik derajat tertentu. Teknik paling umum untuk menyapih pasien dari
ventilator termasuk SIMV, penyokong tekanan, atau periode-periode nafas
spontan pada T-piece atau CPAP level rendah. Ventilasi menit madatoris juga
disarankan sebagai teknik penyapihan yang ideal, tetapi pengalaman dalam hal
ini lebih terbatas.

Penyapihan dengan SIMV


Dengan SIMV jumlah nafas mekanik secara progresif menurun (1-2 nafas /
menit) selama tegangan CO2 arteri dan laju respirasi tetap dapat diterima
(umumnya <45-50 mmHg dan <30 nafas/menit). Jika penyokong tekanan
secara bersamaan digunakan, sebaiknya umumnya diturunkan samapai 5-8 cm
H2O. pada pasien-pasien dengan gangguan asam basa atau retensi CO2
kronik, pH arteri (> 7,35) lebih berguna daripada tegangan CO2. Pengukuran
gas darah dapat diperiksa setelah minimal 15-30 setelah pengaturan. Ketika
IMV 2-4 nafas tercapai, ventilasi mekanik diputus jika oksigenasi arteri dapat
diterima.
Tabel 49-6 Kriteria mekanik untuk penyapihan/ektubasi
Kriteria Ukuran
Tekanan inspiras < - 25 cm H2O
Volume tidal > 5 ml/kg
Kapasitas Vital > 10 ml/kg
Ventilasi menit < 10 ml
Indeks nafas dangkal yang cepat < 100ml

Penyapihan dengan T-piece atau CPAP


Percobaan T-piece memperbolehkan obeservasi ketika pasien bernafas spontan
tanpa nafas mekanik. T-piece melekat langsung ke TT atau tabung trakeostomi
dan memiliki pipa yang bergelombang dikedua cabang. Campuran oksgen-
udara yang humidified mengalir kedalam cabang proksimal dan keluar dari
cabang distal. Aliran gas yang cukup harus diberikan pada lengan proksimal
untuk mencegah kabut(mist) tertarik kembali di cabang distal selama inspirasi;
hal ini memasitikan bahwa pasien mendapat konsentrasi oksigen yang
diinginkan. Pasien diamati dengan teliti selama periode ini; adanya tanda-
tanda nyata kelelahan, retraksi dada, takhipnea, takhikardi, aritmia, atau
hipertensi atau hipotensi sebaiknya mengakhiri percobaan. Jika pasien
tampaknya dapat mentoleransi periode percobaan dan RSBI kurang dari 100,
ventilasi mekanik dapat diputus secara permanen. Jika pasien juga dapat
menjaga dan membebaskan jalan nafas, TT dapat dipindahkan.
Jika pasien telah diintubasi dalam waktu yang lama atau memiliki
penyakit paru berat yang mendasari, percobaan T-piece kedua mungkin
diperlukan: periode percobaan 10-30 menit diinisiasi dan ditingkatkan secara
progresif 5-10 menit atau lebih lama tiap percobaan selama pasien tampak
nyaman dan gas darah arterinya terjaga ditingkat yang dapat diterima.
Banyak pasien mengalami atelektasis yang progresif salama percobaan
T-piece yang diperpanjang. Hal ini mungkin merefleksikan ketiadaan PEEP
“fisiologis” normal ketika laring di-bypass dengan TT. Jika hal tersebut
terjadi, percobaan nafas spontan pada CPAP tingkat rendah (5 cm H2O) dapai
dicoba. CPAP membantu menjaga FRC dan mencegah atelektasis.

Terapi Tekanan Positif Jalan Nafas


Terapi Tekanan Positif Jalan Nafas dapat digunakan pada pasien-pasien yang
bernafas spontan seperti juga yang menggunakan ventilasi mekanik. Indikasi
dasar untuk Terapi Tekanan Positif Jalan Nafas adalah penurunan FRC
simptomatik, peningkatan compliance(kepenuhan) paru, ketidakcocokan
ventilasi/perfusi. Yang terakhir direfleksikan dengan penuruna
admixture(campuran) vena dan perbaikan tekanan O2 arteri.

Tekanan positif akhir ekspirasi


Aplikasi tekanan positif selama ekspirasi sebagai tambahan untuk nafas yang
dikirim secara mekanik selama ekspirasi disebut sebagai PEEP. Katup PEEP
ventilator menyediakan ambang batas tekanan yang memperbolehkan aliran
ekspirasi hanya ada ketika tekanan jalan nafas sama atau melebihi tingkat
PEEP yang ditetapkan. Ambang batas ini biasanya disediakan oleh katup
ekspirasi bertekanan atau diafragma.

Tekanan positif jalan nafas yang berkelanjutan (continue)


Aplikasi tekanan positif selama inspirasi dan ekspirasi dengan nafas spontan
mengarah pada CPAP. Tingkat yang konstan oada tekanan hanya dapat
dicapai jika sumber gas high-flow dipakaikan. Jika pasien tidak memiliki jalan
napas artificial, sungkup muka yang baik, sungkup hidung, nasal “pillows”
(sirkuit ADAM), atau nasal prongs (untuk neo natus) dapat digunakan.karena
adanya resiko untuk distensi lambung dan regurgitasi, sungkup CPAP harus
digunakan pada pasien yang perlu pengawasan dengan reflex jalan napas yang
intak dan dengan tingkat CPAP kurang dari 15 cmH2O (kurang dari tekanan
spingter esophagus distal pada orang normal). Tekanan ekspirasi di atasi 15
cm H2O membutuhkan jalan napas artificial.

CPAP VS PEEP
Perbedaan PEEP dan CPAP seringkali kabur karena pasien mungkin saja
benapas dengan kombinasi antara pernapasan mekanik dan pernapasan
spontan. Oleh karena itu, kedua istilah tersebut sering dipakai saling
menggantikan. Dalam kasus-kasus tertentu, PEEP murni adalah pern apasan
yang selurus system pernapasan yang sirkulasinya diatur oleh ventilator.
Sebaliknya, CPAP murni adalah pernapasan yang diatur/ dibantu dengan aliran
udara (60-70 L/menit) untuk mencega kolapsnya system jalan napas dibawah
tingkat ekspirasi selama napas spontan. Oleh karena itu, jika dibandingkan
dengan PEEP, CPAP memberikan suplai yang lebuh sedikit tetapi dengan
tekanan jalan napas yang lebih kecil pula. Beberapa ventilator dengan system
demand valve-based CPAP mungkin tidak cukup reszponsif dan
mengakibatkan naiknya WOB inspiratorik. Situasi ini, dapat dikoreksi dengan
penambahan PSV (inspiratorik) dengan tingkat rendah, jika dalam modus
dengan target volum, atau mengubahnya jadi modus yang bertarget tekanan.
Pada praktek klinis, dukungan ventilasi terkontrol, PSV, dan CPAP/PEEP
dapat diberikan melalui ventilator ICU yang modern. Pabrik-pabrik juga telah
mengembangkan alat spesifik untuk menyuplai bilevel inspiratory positive
airway pressure (IPAP) dengan expiratory positive airway pressure
(EPAP)dalam tipe spontan ataupun siklus waktu.
Efek pulmoner PEEP dan CPAP
Efek mayor PEEP pada paru adalah meningkatkan FRC. Pada pasien dengan
volum paru yang mengecil, baik PEEP dan CPAP meningkatkan FRC dan
ventilasi tidal diatas kapasitas (closing capacity), meningkatkan kompliansi
paru dan mengoreksi abnormalitas perfusi/ ventilasi. Penurunan ygang
dihasilkan dari intra pulmoner shunting, akan meningkatkan oksigenasi
arterial. Mekanisme prinsip dari aksi tersebut adalah stabilisasi dan ekspansi
dari sebagian alveoli yang kolaps. Reekspansi dari alveoli yang kolaps
tersebut muncul pada tingkat PEEP atau CPAP diatas titik infleksi, yang
ditetapkan sebagai kurva tingkat tekanan terhadap sebuah volume tekanan
dimana alveoli yang kolaps dibuka, dengan perubahan-perubahan kecil pada
tekanan, disitu akan terjadi perubahan volume yang besar.
Walaupun, baik kedua PEEP ataupun CPAP, tidak dapat menurunkan/
mengurangi cairan paru ekstravaskuler total, penelitian menunjukan bahwa
keduanya dapat meredistribusikan cairan ekstravaskuler paru dari ruang
interstitial, antara alveoli dan sel endotel melalui area peribronkial dan
perihilar. Kedua efek tersebut dapat berpotensi meningkatkan oksigenasi
arterial.
Tetapi, PEEP ataupun CPAP yang berlebihan, dapat menimbulkan over
distensi pada alveoli dan bronkusm meningkatkan ventilasi dead space, dan
menurunkan kompliansi paru, kedua efek dapat meningkatkan WOB secara
signifikan. Dengan menekan kapiler-kapiler alveoli, overdistensi dari alveoli
normal dapat juga meningkatkan tahanan vascular polmo dan afterload dari
bilik kanan.

Insiden yang lebih sering terjadi adalah barotraumas, dimana PEEP atau CPAP
yang berlebihan masuk, khususnya pada level yang lebih besar dari 20cmH2O.
disrupsi dari alveoli mengakibatkan udara dapat menembus secara interstisial
sepanjang bronchi sampai masuk pada mediastinum (pneumomediastinum).
Dari mediastinum, udara dapat mnimbulkan rupture kedalam cavum pleura
(pneumotorax) atau ke pericardium (pneumopericardium) atau dapat
mendiseksi sepanjang jaringan subcutan (emfisema subkutan) atau ke dalam
abdomen (pneumoperitonium atau pneumoretroperitonium). Kegagalan dari
penyegelan udara tersebut menghasilkan fistula bronkopleural. Barotraumas
lebih mungkin berhubungan erat dengan puncak lebih tinggi dari tekanan
ispiratorik yang berefek naiknya tingkat PEEP atau CPAP. Factor lain yang
mungkin meningkatkan resiko barotrauma termasuk penyakit paru yang
mendasari, tingginya kecepatan pernafasan mekanik seperti adanya stacking
of breaths, sehingga PEEP intrinsik timbul, besarnya volume tidal (> 10-
15mL/kg) dan usia muda.

ADVERSE NONPULMONARY EFFECTS of PEEP and CPAP


Efek yang kurang baik secara primer terhadap sirkulasi dan berhubungan
dengan transmisi dari tekanan jalan napas yang meningkat terhadap isi rongga
dada. Untungnya, transmisi secara langsung berhubungan dengan kompliansi
paru , yang mengakibatkan pasien dengan kompliansi paru yang menurun
(yang membutuhkan PEEP) adalah yang paling jarang terkena.
Reduksi progfresif pada curah jantung(cardiac ouput) seringkali dilihat
sebagai rata-rata dari tekanan jalan napasm dan sekundernya, rata-rata
peningkatan tekanan intra torak. Mekanisme utama adalah penurunan
progresif dari aliran balik vena ke jantung. Mekanisme lain dapat melibatkan
dislokasi ke nkiri dari septum interventrikel karena peningkatan tahanan
vaskuler paru dari overdistensi alveoli, yang mengarah pada peningkatan
volum bilik kanan. Oleh karena itu, Kompliansi bilik kiri dapat
dikurangi/diturunkan dikurangi, ketika hal ini terjadi maka, untuk
menghasilkan preload yang sama dibutuhkan filling pressure yang lebih tinggi.
Pemberian cairan intravena biasanya, setidaknya akan dapat mengurangi efek
PEEP dan CPAP pada curah jantung. Depresi sirkulasi seringkali dikaitkan
dengan end-expiratory ppressure yang lebih besar dari 15cm H2O.
Elevasi yang dipengaruhi PEEP dalam tekanan vena sentral dan reduksi curah
jantung menurunkan aliran darah ke ginjal dan hepar.tingkat sirkulasi dari
ADH (anti diuretic hormone) dan angiotensin biasanya meningkat.
Output urinarius, filtrasi glomerulus, dan klirens air bebas menurun.
Peningkatan tekanan vena sentral juga menyukarkan hipertensi intracranial.
Naiknya tekanan akhir ekspirasi (end-expiratory-pressure), karena
menyebabkan turunnya aliran balik vena, dapat juga bermanifestasi sebagai
peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang kompliansi ventrikel nya
menurun. Oleh karena itu, pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik
untuk ALI dan dengan bukti adanya kenaikan ICP(tekanan intra kranial),
tingkat PEEP harus dengan hati-hati dipilih untuk menyeimbangkan
kebutuhan oksigenasi untuk mengindari efek pada tekanan intracranial.

Penggunaan optimum PEEP dan CPAP

Tujuan dari terapi tekanan posited adalah untuk menungkatkan oksigenasi


jaringan, juga menghindari sekuaelae tinggi yang kurang baik (> 0.5) FiO2.
Yang terakhirdapat dikatakan telah secara optimal selasai adal;ah hanya jika
curah jantung yang cukup dankonsentrasi hemoglobin lebih dari 8-10g/dL
dapat dipertahankan dengan baik. Idealnya, perbedaan isi tegangan campuran
oksigen vena (mixed venous oxygen tension) atau arteriovenosus oksigen
harus diikuti. Efek kejenuhan PEEP (atau CPAP) dalam tegangan oxygen
arteri harus diseimbangkan dengan efek detrimental pada curah jantung. PEEP
atau CPAP melampaui 15cmH2O biasanya membutuhkan monitoring tekanan
arteri pulmonal untuk menatalaksana fungsi sirkulasi dan pengukuran dari
tegangan oksigen vena dan kalkulasi dari venous admixture. Infuse volume
atau support inotropik mungkin penting, dan harus dijaga dengan pengukuran
haemodinamik.
Pada optimal PEEP efek keuntungan maksimum dari PEEP tumpang tindih
dengan edek detrimental. Secara praktis, PEEP biasanya ditambahkan pada
kenaikan 3-5 cmH2O sampai titik terapeutik yang diinginkan dicapai. End-
point yang paling disarankan adalah tingkat kejenuhan oksigen arteri dari
hemoglobin yang lebih besar dari 80-90% pada kejenuhan konsentrasi
oksigen inspiratorik nontoksik (<50%). Banyak klinisi lebih suka
menurunkan konsentrasi oksigen inspirasi sampai 50% atau kurang karena
potensi efek yang kurang baik akan adanya konsentrasi oksigen yang lebih
tinggi dalam paru.
Alternative lain, PEEP mungkin dititrasi pada kejenuhan oksigen arteri dan
vena. (mixed venous artery oxygen saturation) (SvO2 > 50-60%). Disarankan
untuk mengawasi kompliansi aru dan dean space.
Teknik perawatan Pernapasan yang lain
Beberapa teknik perawatan pernapasan yang lain untuk memelihara ataupun
meningkatkan fungsi pulmo. Termasuk didalamnya mengaplikasikan aerosol
atau bronkodilatator dan membersihkan sekresi pulmonair.
Uap/ embun aerosol adalah gas atau campuran gas yang mengandung suspendi
partikel likuid. Cairan aerosol (aerosolized water) dapat digunakan untuk
mengurangi sekresi dan memfasilitasi pengeluaran sekresi dari system
trakeobronkial.
Embun aerosol juga dipakai sebagai cara pemberian bronkodilatator, agen
mukolitik, vasokonstriktor, walaupun inhalers yang terukur dosis lebih disukai
untuk sarana pemberian bronkodilatator. Batuk normal membutuhkan
kaspasitas inspirasi yang cukup, glottis yang intak, dan kekuatan otot yang
cukup (otot-otot abdomen dan diafragma). Terapi aerosol, dengan atau tanpa
bronkodilatator dapat menginduksi batuk seperti halnya menginduksi sekresi
berlebih. Pengukuran tambahan yang efektif seperti halnya pada perkusi atau
terapi vibrasi dan drainase postural dari lobus-lobus paru.
Maneuver yang menimbulkan inflasi paru seperti pemakaian insentif
spirometer dapat membantu menginduksi batuk seperti pada pencegahan
ateletaksis dan melindungi volume normal paru. Pasien harus diberitahu untuk
mengambil napas kira-kira 15-20mL/kg dan menahannya 2-3 detik sebelum
mengheas darah mbuskan napas.
Saat sekresi kental dihubungkan dengan ateletaksis dan hipoksemia,
pengukuran yang lebih lanjut dapat diindikasikan. Termasuk di dalamnya
suctioning melalui kateter nasofaring atau bronkoskop fleksibel atau melalui
TT. Ketika ateletaksis tidak dihubungkan dengan retensi sekresi, periode
pendek masker CPAP atau ventilasi bertekanan positif melalui TT biasanya
efektif.

GAGAL NAFAS
Gagal nafas dapat didefinisikan sebagai ketidak sesuaian pertukaran gas
normal yang cukup gawat dan membutuhkan intervensi terapeutik. Definisi
berdasarkan gas darah arteri tidak dapat diterapkan pada pasien dengan
penyakit paru kronis, dyspnea, dan asidosis respiratorik progresifsering juga
muncul pada pasien dengan retensi CO2 kronis. Gas darah arteri secara khas
mengikuti satu dari beberapa pola pada pasien dengan gagal nafas. Pada
keadaan ekstrim, kekacauan biasanya terjadi secara primer pada terganggunya
transfer oksigen dari alveoli ke darah, menimbulkan peningkatan yang menuju
hipoksemia (hypoxic respiratory failure); kecualikegawatan
ventilasi/ketidaksesuaian perfusi muncul, eliminasi CO2 dalam keadaan ini
biasanya normal atau malah meningkat. Pada keadaan ekstrim yang lain,
ketidak mampuan system pernadasan secara primer memperngaruhi eliminasi
CO2 (pure ventilator failure), yang menghasilkan/ berdampak timbulnya
hiperkapnia, ketidaksesuaian ventilasi ke perfusi jarang terjadi/ minimal
sekali. Tetapi, hipoksemia sendiri dapat muncul sebagai akibat tadanya
kegagalan ventilasi murni ketika tekanan CO2 arterial mencapai 75-80mmHg
pada pasien yang bernapas pada udara kamar. Kebanyakan pasien dengan
gagal napas menunjukan pola antara dua keadaaan ekstrim ini.
Penatalaksanaan
Tanpa memperdulikan kelainannya, penatalaksanaan dari gagal napas secara
primer adalah terapi suportif ketika komponen-komponen reversible dari
penyakit yang mendasari diatasi. Hipoksemia diatasi dengan terapi oksigen
dan tekanan positif jalan napas (jika FRC turun), sedangkan pada hiperkarbia
(gagal ventilasi) ditasi dengan ventilasi mekanik. Pengukuran umum lainnya
termasuk juga yang menggunakan bronkodilatator aerosol , antibiotic
intravena, dan diuretic untuk menurunkan overload cairan dan
mengoptimalkan fungsi kardiovaskularm dan support nutisi yang cukup.
Beberapa pasien dapat merasakan manfaat dari aminofilin infusion, yang dapat
meningkatkan fungsi diafragma.
EDEMA PULMONER.
Patofisiologi
Edema pulmoner berasal dari transudasi cairan, pertama berasal dari kapiler
pulmo ke ruang interstisial, dan kemutiad dari ruang interstisial ke alveoli.
Cairan dalam ruang interstisial dan alveoli secara kolektif akan terkumpul
sebagai cairan extravaskuler paru. Pergerakan dari cairan yang melintasi
kapiler paru mirip dengan apa yang terjadi [ada kapiler beds yang lain dan
dapat digambarkan dengan persamaan starling:
Q= K x [(Pc’ – Pi) – σ (πc’ – πi)]
Dimana Q adalah aliran bersih yang melalui kapiler; Pc’ dan Pi adalah tekanan
hidrostatik kapiler dan interstisial; πc’ dan πi adalah tekanan onkotik kapiler
dan interstisial; K adalah koefisien filtrasi yang berhubungan dengan
permukaan kapiler efektif per massa jaringan, dan σ adalah koefisien yang
menggambarkan permeabilitas dari endotel terhadap albumin. Sebuah σ
dengan nilai 1 menggambarkan bahwa endothelium sama sekali tidak
permeable (impermeable) terhadap albumin, dimana nilai 0 mengindikasikan
adanya permeabilitas penuh terhadap albumin dan partikel-partikel lain.
Endotel pulmo normalnya bersifat semi permeable terhadap albumin,
misalnya, jika konsenrasi albumin interstisial berkisar satu setengah kali
konsentrasi plasma, maka dari itu, πi harus berkisar 14mmHg (1.5x
konsentrasi plasma). Tekanan hidrostatik pulmoner sangat bergantung pada
ketinggian vertical paru (gravitasi)dan normalnya bervariasi antara 0 sampai
15 mmHg ( dengan rata-rata 7 mmHg). Karena Pi diperkirakan normal dengan
nilai -4 sampai -8 mmHg, kekuatan yang menimbulkan transudasi (Pc’,Pi, dan
πi ) biasanya hamppir seimbang dengan kekuatan yang menimbulkan
reabsorbsi (πc’). Jumlah bersih cairan yang secara normal bergeser ke luar dari
kapiler pulmo hanya sedikit (sekitar 10-20mL/jam pada dewasa) dan dengan
cepat dikeluarkan oleh system limfatik paru, yang mengembalikannya ke
sirkulasi vena.
Membrane epitel alveolar, biasanya permeable terhadap gas dan air, tapi tidak
permeable terhadap albumin (dan protein yang lain). Pergerakan bersih air
dari interstisium ke dalam alveoli muncul hanya saat normal negative Pi
menjadi positif (relative terhadap tekanan atmosfer). Untungnya, karena
keunikan ultrastruktur paru dan kemampuannya untuk meningkatkan aliran
limfe, , interstisium paru biasanya mempermudah peningkatan besar dari
transudasi kapiler sebelum Pi menjadi positif. Ketika kapasitas ini
terlampauim edema pulmo mulai timbul.
Edema pulmonal seringkali digolongkan menjadi 4 tingkat (stages):
Tingkat 1: hanya edema pulmo interstisial. Pasien seringkali menjadi takipnik
seiring menurunnya kompliansi paru. Radiografi dada juga mngungkap
adanya peningkatan marking interstisial dan cuffing peribronkial.
Tingkat 2: cairan mengisi interstisium dan mulai mengisi alveoli, mulai
memenuhi sudut antara septum adjacent (cresentic filling). Pertukaran gas
dapat tetap dihindari.
Tingkat 3: daerah alveolar yang meluap, seperti banyak alveoli yang penuh
dengan air tanpa udara lagi. Luapan terjadi paling menonjol pada deopendent
area of the longs. Aliran darah melalui kapiler dari alveli yang penuh dengan
air tersebut memberikan hasil berupa kenaikan shunting pulmonair.
Hipoksemia dan hipokapnia (akibat dispnea dan hiperventilasi) merupakan
karakteristik.
Tingkat 4: ditandai dengan luapan alveolar yang meluas sampai ke jalan
napas sebagai buih. Pertukaran gas dapat dikompromi karena kedua shunting
dan obstruksi jalan napas. Biasanya diikuti oleh hiperkapnia progresif dan
hipoksenia gawat.

Sebab-sebab edema pulmoner


Edema pulmoner biasanya disebabkan karena kenaikan tekanan hidrostatik
terhadap kapiler ( edema pulmoner dan hemodinamik) atau karena kenaikan
permeabilitas membrane (edema karena kenaikan permeabilitas atau edema
non pulmoner). Perbedaan mendasar seringkali didapatkan pada tekanan dari
oklusi arteri pulmonalis (PAOP), yang lebih besar dari 18mm Hg yang
miengindikasikan bahwa tekanan hidrostatik berperan dalam memacu
pergerakan cairan dari dalam kapiler menuju interstisial dan alveoli.
Kandungan protein dalam cairan edema dapat pula membedakan keduanya.
Cairan yang disebabkan edema hemodinamik memiliki kandungan protein
yang rendah sedangkan cairan yang disebabkan karena edema permeabilitas
memiliki kandungan protein yang tinggi.
Sebab yang lebih jarang dari edema adalah perpanjangan obstruksi jalan napas
yang berat, reekspansi mendadak dari paru yang kolaps, altitude yang tinggi,
obstruksi saluran limfe pulmonal, dan cedera kepala berat, walaupun mungkin
mekanisme yang sama juga menunjuk pada diagnosis yang sama.

Edema pulmoner karena peningkatan tekanan transmural


Elevasi signifikan dari Pc’ dapat meningkatkan cairan extravaskuler paru dan
menimbulkan edema pulmoner. Seperti tampak pada persamaan Starling,
penurunan πc’ dapat memperjelas efek dari meningkatnya Pc’. Dua
mekanisme peningkatan Pc’, disebut hipertensi pulmoner, dan meningkatnya
aliran darah paru. Apapun bentuk peningkatan tekanan vena paru di
transmisikan secara pasif dengan arah balik ke kapiler paru dan peningkatan
Pc’ sekunder. Hipertensi pembuluh darah balik paru, biasanya terjadi
karenagagal; bilik kiri, stenosis mitral, atau obstruksi atrium kiri. Peningkatan
dalam aliran darah pulmo yang melebihi kapasitas dari pembuluh darah paru
akan meningkatkan Pc’ juga. Peningkatan dalam aliran darah paru dapat
merupakan akibat dari lef-to-right jantung yang besar, shunt perifer,
hipervolemia, anemia berat, atau latihan.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari edema paru kardiogenik termasuk didalamnya
menurunkan tekanan dalam kapiler paru. Biasanya, ini termasuk pengukuran
fungsi ventrikel kiri jantung, mengoreksi hipervolemi dengan diuretik, atau
menurunkan aliran darah paru. Medikamentosa yang digunakan biasanya
adalah morfin, diuretik, vasodilatator, seperti nitrat, preload reducing agents
seperti rekombinan brain peptik natriuretik (nesiritide), atau ACE-I (walaupun
ACE-I menurunkan baik preload dan afterload jantung) dan inotropik seperti
dobutamin.
Vasodilatator, khususnya nitrat, telah terbukti efektif. Dengan menurunkan
preload, kongesti pulmo akan pulih; dengan menurunkan afterload, isi curah
jantung akan meningkat.
ACE-I diperuntukan bagi pasien dengan edema paru yang juga hipertensi.
Tekanan positif jalan napas ((positive airway pressure therapy) juga
merupakan penunjang yang berguna untuk meningkatkan oksigenasi.

Edema pulmoner karena kenaikan permeabiitas (edema pulmoner non


kardiogenikl) ALI & ARDS
Cairan paru ekstravaskuler meningkat pada peningkatan permeabilitas edema
paru karena meningkatnya permeabilitas atau disrupsi kapiler membrane
alveolar. efek protektif dari tekanan onkotik plasma hilang seiring
meningkatnya jumlah albumin yang bocor ke dalam interstisial paru, tekanan
hidrostatik kapiler normal atau bahkan rendah tidak dilawan, dan
menyebabkan transudasi cairan masuk ke paru.
Edema karena permeabilitas tampak disertai dengan ALI (rasio P:F <300 [P =
PaO2 dan F=FiO2])dan sering berhubungan dengan sepsis, trauma, dan
aspirasi paru; jika berat (rasip P:F <200) disebut ARDS.

Patofisiologi
ALI dan ARDS menggambarkan manifestasi paru dari SIRS. Sentral dari ALI
dan ARDS adalah perlukaan / cedera berat pada membrane kapiler-alveolar.
Tanpa membedakan tipe cideranya, respon paru akan terjadi sama dengan
reaksi peradangan seperti cideara pada umumnya. Respon radangnya termasuk
pelepasan sitokin dan mediator-mediator sekunder lain, aktivasi komplemen,
koagulasi, fibrinolisis, dan kinin-cascade. Mediator awal termasuk didalam
nya TNF (Tumour Necrozing Factor ), interleukin 1 dan 6 (IL-1 dan IL-6),
Iplatelet activating factor,,I seperti halnya prostaglandins dan leukotriens.
Aktivasi dari netrofil dan makrofag pada paru memaparkan parenkim pada
radikal dan protease yang bebas derivate oksigen. Mediator yang dilepaskan
akan meningkatkan permeabilitas kapiler paru, memacu timbulnya
vasokonstriksi paru, dan mengubah reaktivitas vaskuler seperti hal nya
vasokonstriksi paru hipoksik dihilangkan.
Kerusakan sel epitel alveolar (tipe 1 dan 2) sangat menonjol. Luapan alveolar
bersama dengan adanya penurunan jumlah produksi surfaktan, (karena
kehilangan pneumosit tipe 2), akan menimbulkan paru menjadi kolaps. Fase
eksudatif ARDS sdapat dengan cepat teratasi atau menatap untuk waktu yang
bervariasi. Seringkali diikuti denganm fase fibrotik (alveolitis fibrotic), yang
pada kasus tertentu menimbulkan scarring permanen.

Manifestasi klinik
Diagnosis ALI dan ARDS membutuhkan eksklusi dari disfungsi ventrikel kiri
yang menonjol. (PAOP < 18mm Hg) ditambah dengan rasio P:F<300 dan 200,
dan ,munculnya infiltrate difus pada radiografi thorax. Paru seringkali terkena
pada pola yang non homogenous, walaupun daerah yang menggantung akan
lebih sering terkena.

ALI dan ARDS paling sering tampak pada sepsis dan trauma. Pasien akan
menampakan manifestasi dispneu berat dan pernapasan yang harus dibantu.
Hipoksemia karena shunting intrapulmoner adalah keadaan yang sering
ditemukan. Jika ventilasi deadspace naik, tekanan CO2 arterial akan menurun
karena peningkatan tertentu dari ventilasi per menit.
Gagal ventilasi awalnya akan muncul pada kasus kasus gawat atau sering
timbul karena adanya kelelahan otot-otot pernapasan atau destruksi membrane
kapiler alveolar. Oenemuan hemodinamik yang khas adalah hipertensi
pulmonal atau filling-pressure normal.

Penatalaksanaan
Untuk meningkatkan perawatan pernapasanm, perawatan harus juga diarahkan
pada proses-proses yang reversible seperti sepsis atau hipotensi. Hipoksemia
diatasi dengan pemberian terapi oksigen. Pada kasus yang lebih ringan dapat
diterapi dengan masker CPAP, tetapi, kebanyakan pasien akan membutuhkan
intubasi dan setidaknya beberapa derajat dari support ventilasi mekanik. Tetapi
inflasi tekanan high-peak (>35cm H2O) dan tinggi nya VT(>8-10mL/kg) uga
harus dihindari, karena overdistensi alveoli (high paw tau high VT) dapat
menimbulkan cedera paru iatrogenic, juga pada tingginya FiO2 (>0,5). Yang
terakhir belum pernah dibuktikan pada manusia, tetapi pada pasien dengan
ARDS, VT >10 mL/kg berhubungan dengan naiknya mortalitas.
Jika memungkinkan, FiO2 harus ditingkatkan pada <0,5 primernya dengan
meningkatkan PEEP di atas titik infleksi. Maneuver lain untuk meningkatkan
oksigenasi termasuk di dalamnya penggunaan inhalasi N2O, prostasilin atau
prostaglandin E1 (PGE1), dan ventilasi pada posisi prone. Tiga teknik ini
dapat meningkatkan oksigenasi pada mayoritas pasien dengan ALI tetapi
bukan berarti bebas resiko dan belum dihubungkan dengan ketidakberhasilan.
Pemberian awal steroid pada ARDS dihubungkan dengan mortalitas yang
meningkat, tetapi masih sering digunakan (pada hari ke 4-10) selama fase
fiberoproliferatif ARDS.
Morbisditas dan mortalitas dari ARDS biasanya karena sebab tertentu atau
komplikasi lebih dari pada gagal pernapasan itu sendiri. Diantara banyak
komplikasi serius sepsis, gagal ginjal, perdarahan gastrointestinal. Pneumonia
nosokomial secara khas biasa muncul pada pasien dengan latihan yang
diperpanjang. Pneumonia nosokomial seringkali sulit terdiagnosa; antibiotic
diindikasikan jika ada indeks suspek kuat (demam, secret purulen, lekositosis,
perubahan pada radiologi thorax). Specimen terlindung dan sampling lavage
bronkoalveolar melalui bronkoskop yang fleksibel. Kolonisasi bakteri gram
negative, perusakan barrier mukokutan oleh kateter, malnutrisi, dan imuniti
host yang menurun, dapat menaikkan angka kejadian. Gagal ginjal biasanya
disebabkan oleh deplesi volume, sepsis, nefrotoxin, meningkatkan mortalitas
(sampai >60%). Profilaksis untuk perdarahan gastrointestinal dengan
sukralfat, antacid, H2 bloker, atau inhibitor pompa proton, di rekomendasikan.

DROWNING & NEAR-DROWNING (Tenggelam & Hampir tenggelam)


Drowning (tenggelam) dengan atau tanpa aspirasi air adal;ah kematian yang
terjadi di dalam air. Hamper tenggelam dengan atau tanpa aspirasi, adalah
usaha menyakiti dengan menenggelamkan dan selamat atau setidaknya
sementara tenggelam. Keduanya baik tenggelam atau hamper tenggelam dapat
terjadi inhalasi air atau tidak (aspirasi).jika air tidak memasuki jalan napas,
pasien nya mungkin akan menderita asfiksia; tetapi, jika pasien menghirup air,
maka akan terjadi shunting intrapulmoner. Keselamatan akn tergantung pada
intensitas dan durasi hipoksia serta suhu air.

Patofisiologi
90% pasien tenggelam yang menghirup air bersih, air kotor, air payau, dan
cairan lain. Walaupun secara umum jumlah air yang di aspirasi terhitung kecil,
kesalahan pada ventilasi/perfusi dapat terjadi karena caran dalam alveoli dan
jalan napas, reflek bronkospasme, dan kehilangan surfaktan. Aspirasi isi
lambung juga dapat menjadi komplikasi tenggelam sebelum dan setelah
kehilangan kesadaran atau saat resusitasi dilakukan.

Aspirasi cairan hipotonik (seperti aspirasi air bersih) saat tenggelam akan
diserapo dengan cepat ke salam sirkulasi pulmonal.; biasanya air tidak dapat
dengan mudah disingkirkan dari jalan napas. Jika jumlah yang di aspirasi
banyak, (>800 mL pada dewasa dengan berat 70 kg)maka dapat timbul:
hemodilusi transien, hiponatremia, bahkan hemolisis. Sebaliknya, aspirasi air
asin, yang hipertonik, menarik air dari sirkulasi pulmonal ke dalam alveoli,
dan memenuhinya. Hemokonsentrasi dan hipernatremi dapat muncul
mengikuti tenggelam pada air asin, tetapi, hal ini jarang terjadi.
Hipermagnesemia dan hiperkalsemi juga pernah dilaporkan mengikuti
tenggelam air asin.
Pasien yang tenggelam pada air dingin, akan kehilangan kesadaran saat suhu
tubuh turun mencapai 32°C. Fibrilasi ventrikel timbul pada suhu 28°-
30°C.tetapi, hipotermia nya memiliki efek protektif terhadap otak dan dapat
meningkatkan pengukuran resusitasi menjadi sukses.

manifestasi klinis
Hampir semua pasien dengan episode hampir tenggelam memiliki hipoksemia,
hiperkarbia, dan asidosis metabolik. Pasien juga dapat saja terkena cedera lain
seperti patah tulang belakang setelah kecelakaan saat menyelam. Cacat
neurologi secara umum berhubungan dengan durasi dan beratnya asfiksia.
Edema serebral akan mengkomplikasi prolonged asfiksia. ALI dan ARDS
timbul pada pasien setelah resusitasi.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal untuk near-drowning ditujukan uintuk mengembalikan
ventilasi, perfusi, oksigenasi, dan keseimbangan asam-basa secepat mungkin.
Pengukuran yang segera termasuk membersihkan dan memperbaiki jalan
napas, memberikan oksigen, dan mengadakan resusitasi jantung paru (CPR).
Stabilisasi segmen servikal penting saat mengintubasi pasien yang hamper
tenggelam (near-drowning) setelah menyelam. Walaupun air asin seringkali
dapat didrainase dari paru oleh gravitasi, tindakan ini tidak boleh ditunda
menilik intuisi resusitasi jantung paru, abdominal thrust dapat menimbulkan
aspirasi isi lambung. Usaha resusitasi selalu terus dilanjutkan sampai pasien
telah tertangani dan dirawat oleh rumah sakit, biasanya mengikuti pada
tenggelam pada air dingin. Penyembuhan sempurna mungkin terjadi segera
atau pada periode memanjang asfiksia. Managemen termasuk intubasi trakeal,
tekanan ventilasi positif dan PEEP. Bonkhospasme harus ditangani dengan
bronkodilatator, abnormalitas elektrolit harus terbenahi, ALI dan ARDS di
rawat seperti dibicarakan diatas. Jika pasien mengalami hipotermi,
penghangatan (kompres hangat) harus dilakukan selama beberapa jam.

Inhalasi asap
Inhalasi asap sering kali menjadi sebab kelainan paru utama pada kebakaran.
Orang yang terkena dapat/ tidak dapat terkena kebakaran. Korban kebakaran
yang menginhalasi asap memiliki mortalitas yang jauh lebih tinggi daripada
korban kebakaran lain. Paparan apapun dengan asap pada kebakaran
membutuhkan diagnosis presumtif dari inhalasi asap sampai dibuktikan.
Diduga riwayat kehilangan kesadaran atau disorientasi, atau kebakaran yang
terjadi di ruangan tertutup.

Patofisiologi
Konsekuensi dari menghirup asap sangatlah kompleks, karena dapat
melibatkan tiga tipe cedera; cedera panas pada jalan nafas, paparan dari gas-
gas toksik, dan pembakaran kimia dengan meninggalkan sisa-sisa partikel
carbon di jalan nafas bawah. Respon system pernafasan terhadap asap sangat
kompleks dan bergantung pada lama paparan, komposisi material yang
dibakar, dan adanya penyakit-penyakit yang mendasari. Pembakaran banyak
material sintetik menghasilkan gas-gas yang sangat toksik seperti karbon
monoksida, hydrogen sianida, ammonia, klorida, benzana dan aldehid. Ketika
gas-gas ini bereaksi dengan air di jalan nafas, gas ini menghasilkan
hidroklorida asam asetat, formic dan sulfur . Karbonmonoksida dan sianida
adalah yang paling beracun.
Patofisiologi yang berkaitan dengan inhalasi asap meliputi cedera mukosa
langsung yang mengakibatkan edema, inflamasi, dan slounghing. Hilangnya
akitivitas silia mengganggu proses pembersihan mucus dan bakteri.
Manifestasi ALI dan ARDS biasanya terjadi 2-3 hari setelah cedera dan
tampaknya lebih berhubungan dengan terjadinya SIRS dibandingkan dengan
inhaslasi asap akut itu sendiri.
Manifestasi Klinis
Pasien pada awalnya hanya mengalami beberapa gejala dari inhalasi asap.
Temuan fisik yang biasa didapatkan meliputi luka bakar fasial atau intraoral,
terbakarnya rambut hidung, batuk, sputum yang kehitaman, dan wheezing.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan bronchoscope fleksible
pada jalan nafas atas dan traktus trakeobronkial. Bronchoscopi
memperlihatkan eritema, edema, ulkus mukosa, dan deposit karbon. Gas darah
arteri pada awalnya normal atau menunjukkan hanya sedikit hipoksemia dan
asidosis metabolic karena adanya karbon monoksida. Radiografi thoraks
biasanya juga tidak ditemukan adanya kelainan.
Cedera panas pada jalan nafas biasanya terbatas pada struktur supraglotis,
hanya jika paparan terjadi terus menerus. Hoarseness yang progresif dan
stridor adalah tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas, yang dapat terjadi
lebih dari 12-18 jam. Resusitasi cairan kadang-kadang meningkatkan resiko
terjadinya edema.
Keracunan karbon monoksida biasanya diartikan sebagai adanya lebih dari
15% karboksihemoglobin dalam darah. Diagnosis ini dibuat dengan
melakukan pengukuran cooxymetric pada darah. Karbon monoksida memiliki
afinitas 200-300 kali lebih kuat dibanding oksigen. Ketika sebuah molekul
karbon monoksida berikatan dengan hemoglobin untuk membentuk
karboksihemoglobin, terjadi penurunan afinitas untuk oksigen, menyebabkan
pergeseran kurva disosiasi hemoglobin ke kanan. Hasilnya adalah
pengurangan yang bermakna dari kapasitas oksigen di darah.
Lebih jauh lagi, rata-rata disosiasi untuk karbonmonoksida dari oksigen adalah
lambat dengan waktu paruh kira-kira 2 – 4 jam. Manifestasi klinis yang timbul
diakibatkan dari hipoksia jaringan karena ganggungan transport oksigen.
Level dengan lebih dari 20-40% karboksihemoglobin berkaitan erat dengan
kejadian gangguan neurologis, mual, fatique, disorientasi dan shock. Level
yang lebih rendah dapat juga menimbulkan gejala yang berat karena karbon
monoksida juga berikatan dengan sitokrom c dan mioglobin Mekanisme
kompensasi meliputi meningkatnya cardiac output dan vasodilatasi perifer.
Keracunanan sianida dapat timbul pada pasien yang terpapar gas dari hasil
bakaran material-material sintesis, khususnya yang mengandung lopturethane.
Sianida, yang dapat dihirup atau diserap melalui permukaan mukosa dan
kulit, berikatan dengan system sitokrom dari enzim dan menghambat produksi
ATP sel. Pasien dengan gangguan neurologis dan asidosis laktat; secara khas
mengalami aritmia, cardiac output yang tinggi dan vasodilatasi yang
bermakna.
Proses pembakaran kimiawi pada mukosa saluran pernafasan biasanya diikuti
dengan inhalasi material karbon dalam jumlah besar ketika dikombinasikan
dengan asap toksik. Inflamasi pada jalan nafas berakibat bronchorhea dan
wheezing. Edema bronkus dan slonghing pada mukosa menyebabkan
timbulnya obstruksi jalan nafas bawah dan atelektasis. Kegagalan ventilasi
yang berlangsung terus-menerus menyebabkan terjadinya hipoksia yang
bermakna dalam 24 – 48 jam. Perkembangan dari SIRS dapat mengarah
kepada ALI atau ARDS.
Penatalaksanaan
Broncoscopy fiber-optic biasanya mampu mengakkan diagnosis trauma
inhalasi. Broncoscopi biasanya dilengkapi dengan sebuah TT sehingga
intubasi dapat tetap dapat dilakukan jika edema mengancam patensi jalan
nafas. Intubasi elektif dini disarankan bila terdapat tanda-tanda nyata adanya
trauma panas pada jalan nafas. Pasien dengan hoarseness dan stridor
memerlukan intubasi segera; cricothyrotomi darurat atau trakeostomi bila
diperlukan jika intubasi nasal dan oral gagal dilakukan.
Bukti secara klinis adanya keracunan karbonmonoksida dan sianida, yang
dipertegas dengan koma, juga memerlukan intubasi trakeal dan bantuan
oksigen konsentrasi tinggi. Diagnosis keracunan karbonmonoksida
memerlukan pengukuran cooximetri karena pulse oksimetri tidak dapat
membedakan karboksihemoglobin dan oksihemoglobin. Waktu paruh
karboksihemoglobin berkurang sebanyak 1 jam dengan oksigen 100%;
beberapa klinisi menyarankan terapi oksigen hiperbarik bila pasien tidak
merespon terhadap oksigen 100%. Diagnosis keracunan sianida lebih sulit
ditegakkan karena pengukuran yang reliable untuk level sianida tidak tersedia
( secara normal 0.1 mg/L). Enzim rhodanase secara normal mengubah sianida
menjadi thiosianida, dimana senyawa ini dieliminasi oleh ginjal.
Penatalaksanaan untuk keracunan sianida yang berat terdiri dari pemberian
sodium nitrit 300 mg intravena dalam larutan 3% dalam 3-5 menit, diikuti
dengan sodium thiosulfat 12.5 gram intra vena dalam bentuk larutan 25%
selama 1-2 menit. Sodium nitrit mengubah hemoglobin menjadi
methemoglobin, yang memiliki afinitas lebih tinggi terhadap sianida
dibanding sitokrom oksidase; sianida dimana lebih lambat dilepaskan dari
cyanomethemoglobin diubah oleh rhodanase menjadi senyawa thiocyanate
yang kurang toksik.
Hipoksemia yang bermakna karena shunting intrapulmoner sebaiknya
dilakukan intubasi trakeal, terapi oksigen, bronkodilatator, ventilasi tekanan
positif, dan PEEP. Kortikosteroid tidak efektif dan eningkatkan kejadian
infeksi. Sebagai bentuk lain dari ALI, infeksi pneumonia nosokomial adalah
umum terjadi.
INFARK MIOKARD AKUTA
Infark miokard akut adalah komplikasi yang serius dari penyakit jantung
iskemik, dengan angka mortalitas 25%. Lebih dari separuh kasus kematian
diperkirakan terjadi dalam satu jam pertama dan biasanya karena aritmia
( fibrilasi ventrikel). Denagn adanay penemuan mutakhir dibidang kardiologi
akhir-akhir ini, angka kematian di rumah sakit berhasl diturunkan menjadi
kurang dari 10-15%. Kegagalan pompa ( ventrikel) saat ini merupakan
penyebab utama kematian pada pasien yang dirawat.
Sebagian besar infark miokard terjadi pada pasien dengan lebih dari satu arteri
koroner yang mengalami penyembpitan yang berat ( >75%). Infark trasmural
terjadi di area sebelah distal dari letak oklusi total. Oklusi biasanya karena
thrombosis pada plak ateroma yang stenosis. Emboli koroner atau spasme
berat lebih jarang menjadi penyebab. Luas dan lokasi infark bergantung pada
distribusi pembuluh darah yang mengalami obstruksi dan padakah telah
terbentuk pembuluh darah kolateral. Infak anterior, apical, dan septal pada
ventrikel kiri biasanya karena thrombosis pada arteri descending anterior kiri;
infark ventrikel lateral dan posterior kiri adalah akibat dari oklusi pada system
sirkumfleksa kiri, sedangkan infark ventrikel kanan dan ventrikel kiri bagian
postero-inferior adalah akibat dari thrombosis arteri koronaria kanan.
Sebaliknya, infark subendocardial ( nontrasmural, atau “non-Q-wave”)
biasanya terjadi pada kondisi dengan meningkatnya kebutuhan miokardial
yang berat dan telah berlangsung lama pada pasien-pasien dengan stenosis
berat tetapi dapat juga disebabkan oleh thrombosis koroner.
Episode iskemia berat, disfungsi miokard lama dengan hanya pemulihan
gungsi kointraktilitas yang lama dan bertahap dapat diobservasi. Fenomena “
stunning” ini kadang-kadang dianggap terjadi pada area sekitar infark miokard
dan dapat berperan dalam terjadinya disfungsi ventrikel yang mengikuti AMI.
Pemulihan kondisi iskemia pada area ini dapat mengembalikan fungsi
kontraktilitas. Ketika fenomena ini diamati pada kondisi iskemia kronik yang
berat, otot miokard pada area yang tidak mengalami infark tetapi kurang baik
fungsi kontraktilitasnya sering disebiut sebagai “ hibernating”. Stunning dan
hibernating biasa diamati pada kondisi iskemic cardiac arrest selama
cardiopulmonary bypass dan mengikuti revaskularisasi miokard.
Penatalaksanaan segera untuk AMI adalah pemberian oksigen ( 4-6 L/menit),
aspirin (160-325 mg), nitrogliceryn ( sublingual atau spray), morfin ( 2-4 mg
intavena tiap 5 menit) sampai nyeri mereda. Ingat akronim ini: MONA
( morfin, oksigen, nitrogliserin, dan aspirin) sesuai untuk semua pasien.
Karena prognosis AMI secara umum berbanding terbalik dengan luasnya area
yang mengalami nekrosis, tit8ik berat saat ini dalam mengelola infark miokard
adalah reperfusi. Berdasarkan sumber sumber lokal dan pemilihan waktu yang
tepat, angiografi dengan angioplasty dan atau sebuah stent denagn operasi
coronary artery bypass lebih disukai. Alternatif yang lain, alteplase atau
streptokinase dengan metode pemberian frontloaded, anistreplase (anisoylated
plasminogen streptokinase activator complex (APSAC)), reteplase, atau
tenecteplase akan meningkatkan harapan hidup. Manfaat terbesar diperoleh
jika terapi ini diberikan dalam satu jam pertama tetapi manfaat dapat dilihat
bila diberikan dalam 12 jam setelah serangan AMI.
Pasien dengan depresi segmen ST atau gelombang T dinamis ( non-Q wave
infarction; unstable angina)mendapat manfaat dari terapi antitrombin
( heparin) dan antiplatelet ( aspirin). Semua pasien tanpa kontraindikasi
sebaiknya menerima β-bloker. Pengobatan lainnya seperti ACE inhibitor,
calcium chanel bloker, statin dan sebagainya diindikasikan sesuai penyakit
komorbid. Pasien dengan angina berulang sebaiknya mendapat nitrat. JIka
angina tetap bertahan atau jika terdapat kontraindikasi terhadap β-bloker,
calcium chanel bloker harus diberikan.
Intraaortic ballon counterpulsation biasanya dilakukan pada pasien dengan
hemodinamik compromised dengan iskemia refrakter. Temporary pacing yang
mengikuti AMI adalah indikasi untuk Mobitz tipe II dan complete heart block,
sebuah bifascicular block yang baru, dan bradikardi dengan hipotensi. Stable
monomorphic ventricular tachycardia, jika diterapi secara medikamentosa dan
jika ejection fraction pasien normal adalah paling baik dikelola dengan
procainamide atau sotalol. JIka ejection fraction lemah, amiodarone bolus 150
mg intavena yang diberikan dalam 10 menit. Jika ventricular tachycardia
berupa polymorphic dan interval QT normal, gangguan elektrolit harus
dikoreksi, iskemia harus diatasi dan dapat diberikan β-bloker (amiodarone,
procainamide, atau sotalol). Jika interval Qt diperpanjang, selanjutnya sebagi
tambahan koreksi elektrolit, magnesium, overdrive pacing, isoproterenol,
fenitoin atau lidokain direkomendasikan. Lidokain adalah pilihan kedua untuk
indikasi ini. Pasien dengan stable narrow complex supraventricular
tachycardia sebaikknya diterapi dengan amiodarone. Pasien dengan
paroxysmal supraventricular tachycardia, dimana jection fraction
dipertahankan, sebaiknya diterapi dengan calcium chanel bloker, β-bloker,
digoksin, atau DC cardioversi. Jika ejection fraction kurang dari 40%, DC
cardioversi harus dihindari dan digantikan dengan digoksin, amiodaron, atau
diltiazem.
Pasien dengan ectopic atau multifocal atrial tachycardia sebaiknya tidak
mendapat DC cardioversi; sebagai gantinya sebaiknya diterapi dengan calcium
chanel bloker, β-bloker atau amiodaron. Jika ejection fraction kurang dari
40%, diltiazem dapat dipertimbangkan disamping pemberian amiodaron.
Tabel 49-7 Penyebab Azotemia yang revesibel
Prerenal
Penurunan tekanan perfusi ginjal
Hipovolemia
Penurunan cardiac output
Hipotensi
Peningkatan resistensi vaskuler ginjal
Neural
Hormonal
Farmakologis
Tromboemboli
Postrenal
Obstruksi uretra
Obstruksi pintu vesica urinaria
Prostat
Tumor vesica urinaria
Sistitis
Neurogenic bladder
Obstruksi ureter bilateral
Intrinsik
Calculi
Tumor
Bekuan darah
Nekrosis papilari
Ekstrinsik
Tumor abdomen atau pelvis
Fibrosis retroperitoneal
Ligasi ureter inadvertent

GAGAL GINJAL
Gagal ginjal akut adalah proses kemunduran yang cepat dari fungsi ginjal
yang tidak bersifat reversible walupun telah menghilangkan factor eksternal,
seperti tekanan darah, volume intravaskuler, cardiac output dan produksi urin.
Tanda-tanda gagal ginjal adalah azotemia dan oliguri. Meskipun demikian,
tidak semua pasien dengan azotemia akut mengalami gagal ginjal akut. Seperti
misalnya, > 500 mL urin tiap hari tidak serta-merta menunjukkan bahwa
fungsi ginjal adalah normal. Berdasarkan diagnosis gagal ginjal akut pada
level kreatinin atau meningkatknya nitrogen urea darah (BUN) masih
diperdebatkan karena kreatinin clearance tidak selalu merupakan penguruan
yang baik utuk fltrasi glomerulus.
Secara khusus, gagal ginjal akut didoagnosis dengan memonitor peningkatan
BUN dan kreatinin plasma selama 24-72 jam. Pada 50% pasien, gagal ginjal
akut adalah akibat dari iskemia; pada 35% pasien, gagal ginjal akut
disebabkan oleh nefrotoksik dan sisanya sebanyak 15% pasien mengalami
nefritis interstitial tubuler akut atau nefritis glomerular akut.
Azotemia dapat diklasifikasikan menjadi prerenal, renal dan postrenal. Lagi
pula, diagnosis gagal ginjal akut atau azotemia adalah salah satu eksklusi,
dengan demikian penyebab prerenal dan renal selalu dieksklusikan.
AZOTEMIA PRERENAL
Azotemia prerenal terjadi sebagai akibat dari hipoperfusi dari ginjal; bila tidak
diobati, berkembang menjadi gagal ginjal akut. Hipoperfusi ginjal biasanya
akibat dari penurunan tekanan perfusi arterial, peningkatan tekanan vena yang
bermakna, atau vasokonstriksi ginjal (Tabel 49-7). Penurunan tekanan perfusi
bisanya berkaitan dengan pelepasan norepinefrin, angiotensin II, arginine
vasopresin ( AVP, bias any disebut hormone diuretic) dan endothelin. Hormon
ini mengkontraksikan otot-otot kutan dan splanchinc vasculature dan
merangsang retensi garam dan air. Proses pembentukan prostaglanding yang
berefek vasodilatasi ( prostacyclin dan PGE2 ) dan nitric oxide di ginjal dan
aksi intrarenal dari angiotensin II membatu mempertahankan fltrasi
glomerulus. Penggunaan inhibitor cyclooxygenase atau angiotensin converting
enzyme inhibitor pada azotemia prerenal dapat memacu ti,bulnmya gagal
ginjal akut. Diagnosis azotemia prerenal biasanya dicurigai darai temuan klinis
dan diyakinkan dengan pemeriksaan urin (Tabel 49-8). Pengobatan untuk
azotemia prerenal diutamakan dalam mengkoreksi deficit volume
intravaskuler, meningkatkan fungsi jantung, mengembalikan tekanan darah
dan mengembalikan adanya peningkatan resistensi vaskuler. Sindrom
hepatorenal akan didiskusikan dalam bab 35.
Table 49-8 Indeks urin pada azotemia
Index Prerenal Renal Postrenal
Berat jenis >1.018 <0.012 Variabel
Osmolalitas (mmol/kg) >500 <350 Variabel
Rasio urea nitrogen >8 <3 Variabel
urin/plasma
Rasio creatinin >40 <20 Variabel
urin/plasma
Sodium dlm urin <10 >40 Variabel
(mEq/L)
Ekskresi fraksional <1 >3 Variabel
sodium
Indeks Gagal Ginjal <1 >1 Variabel

POSTRENAL AZOTEMIA
Azotemia karena obstruksi saluran kencing merupakan azotemia postrenal.
Obstruks aliran urin dari kedua ginjal adalah biasa ditemui pada azotemia dan
oluguri/anuria pada kondisi ini. Obstruksi total biasanya mengarah ke gagal
ginjal akut, sedangkan obstruksi parsial yang berkepanjangan mengarah ke
gangguan ginjal kronik. Penegakan diagnosis segera dan penanganan atas
obstruksi akut biasanya mampu mengembalikan fungsi ginjal kembali normal.
Obstruksi dapat diketahui dari pemeriksaan fisik ( distensi vesika urinaria)
atau foto polos abdomen ( adanay batu ginjal bilateral) tetapi hal ini harus
dikonfirmasi dengan adanya dilatasi di sebelah proksimal dari letak obstruksi.
Ultarsonografi ginjal atau CT scan ginjal paling sering digunakan. Obstruksi
pada outlet vesika urinaria dapat diatasi dengan kateterisasi vesika urinaria
atau sistotomi suprapubik, sedangkan obstruksi ureter memerlukan nefrostomi
atau stent ureter.

AZOTEMIA REVERSIBEL DAN GAGAL GINJAL AKUT


Kemampuan untuk membedakan azotemia prerenal dan azotemia postrenal
dari gagal ginjal akut ( azotemia renal) adalah penting. Untuk penyingkirkan
kemungkinan adanya azotemia postrenal memerlukan viasualisasi dari saluran
kencing, sedangkan untuk menyingkirkan kemungkinan azotemia prerenal
bergantung pada respon terhadap terapi peningkatan perfusi ginjal. Dan
selanjutnya dapat diketahui dari analisis komposisi urin ( lihat tabel 49-8);
Komposisi urin pada azotemi postrenal bervariasi dan bergantung pada lama
dan tingkat keparahan obstruksi. Pada azotemia prerenal, kemampuan
mengkonstrasikan urin oleh tubulus ginjal masih dipertahankan dan
ditunjukkan dengan rendanynya kandungan natrium urin dan tingginya rasio
cretainin serum/urin. Penghitungan Fractional excretion of filtered sodium
( FENa+) sangat berguna pada kondisi oliguria;
FENa+ =

FENa+ adalah kurang dari 1% pada pasien dengan oliguria dengan azotemia
prerenal tetapi secara khusus melebihi 3 % pada pasien dengan GGA oliguri.
Nilai 1-3% dapat terjadi pada pasien dengan GGA nonoliguri. Indeks gagal
ginjal, dimana konsentrasi natrium urin dibagi dengan rasio creatinin
urin/plasma, adalah indeks yang paling sensitive untuk mendiagnosis gagal
ginjal. Pengunaan diuretika meningkatkan ekskresi natrium urin dan indeks-
indeks invalid yang berdasar konsentrasi natrium urin adalah suatu cara
pengukuran fungsi tubulus. Lebih jauh lagi, penyakit ginjal intrinsic yang pada
awalnya menyerang system vaskuler ginjal atau glomerulus mungkin tidak
mengganggu fungsi tubulus dan hal ini dikaitkan dengan indeks-indeks yang
terdapat juga pada azotemia prerenal. Pengukuran tes klirens kreatinin dalam 3
jam dapat digunakan untuk meperkirakan anghka filtrasi residu glomerulus,
tetapi beberapa faktor tetap harus dipertimbangkan. Agar terjadi korelasi yang
baik, peninglatan kreatinin serum haruslah berbentuk plateau.

ETIOLOGI GGA
Penyebab GGA dapat dilihat pada table 49-9. Hampir 50% kasus diawali dari
trauma mayor atau pembedahan; dalam hal ini iskemia dan nefroktoksin
adalah penyebabnya. GGA yeng berhubungan dengan iskemia dan nefrotoksin
secara umum mengarak ke nekrosis tubular akut. Fase selanjutnya,
bagaimanapun juga, adalah tidak akuratnkarena penyakit ginjal intrinsic
seperti glomerulonefritis dan nefritis interstitial, dapat menyebabkan gagal
ginjal tanpa nekrosis tubuler. Lebih jauh lagi, banyak pasien dengan iskemia
dan gagal ginjal nefrotoksin tidak ditemukan adanya nekrosis tubuler dari
pemeriksaan patologi. Aminoglikosida, amfoterisin B, kontras radiografi,
siklosporin dan cisplatin adalah nefrotoksin eksogen yang paling banyak.
Amfoterisin B, kontras, dan siklosporin tampaknya juga menyebabkan
vasokonstriksi ginjal secara langsung. Hemoglobin dan mioglobin adalah
nefrotoksin potensial ketika Hb dan mioglobin ini delepaskan pada proses
hemolisis intravaskuler dan rhabdomiolisis. Inhibitor cyclooxygenase, secara
khusus antiinflamasi non steroid ( NSAIDs), mungkin berperan penting pad
abeberapa pasien. Penghambatan sintesis prostaglandin oleh beberapa agen
menurunkan vasodilatasi ginjal yang diperantarai prostaglandin,
memungkinkan terjadinya vasokonstriksi ginjal. Faktor predisposisi lainnya
untuk GGA meliputi penyakit vaskuler, diabetes dan dehidrasi.
Tabel 49-9. Penyebab Gagal Ginjal Akut
Iskemia ginjal (50%)
Hipotensi
Hipovolemi
Gangguan cardiac output
Nefrotoksin (35%)
Pigmen endogen
Hemoglobulin (hemolisis)
Mioglobin (rhabdomiolisis dari crush injury dan luka bakar)
Agent kontras radiografi
Obat-obatan
Antibiotika (aminoglikosida, amfoterisis)
Obat anti infalamasi nonsteroid
Agen kemoterapi ( cisplatin, metotreksat)
Kristal tubuler
Asam urat
Oksalat
Sulfinamid
Keracunan metal berat
Bahan-bahan organic
Protein myeloma
Penyakit Ginjal Intrinsik
Penyakit Glomerulus
Nefritis Interstitial
Patogenesis GGA
Kemampuan ginjal untuk meresponi trauma dapat ditunjukkan dengan
tingginya angka metabolismenya dan kemampuan untuk mengkonsentrasikan
substansi toksik. PAtogenesi GGA sangat kompleks dan mungkin memiliki
baik dasar vaskuler maupun tubuler. Konstriksi arteriol aferen, menurunkan
prmeabilitas glomerulus, trauma sel epithelial secara langsung dan obstruksi
tubulus dari debris intraluminal atau edema dapat menurunkan filtrasi
glomerulus. Kebocoran partikel-partikel yang melalui bagian-bagian yang
rusak dari tubulus ginjal menyebabkan reabsorpsi kreatinin, urea dan buangan
nitrogen lainnya.
Iskemia ginjal atau hipoksia diduga memacu GGA. Ketidakseimbangan antara
produksi ATP dan kebutuhan sel epithelial menyebabkan gangguan transport
ion, pembengkakan sel, gangguan metabolisme fosfolipid, dan akumulasi
kalsium intraseluler. Trauma sel yang diperantarai radikal bebas dapat juga
terjadi selama proses reperfusi dan reoksigenasi.
GGA oliguria dan GGA nonoliguria
GGA biasa diklasifikasikan menjadi oliguri ( volume urin <400 mL/d), anuria
(volume urin <100 mL/d), atau nonoliguria ( volume urin >400 mL/d). GGA
nonoliguria ditemui pada hampir 50% kasus. Pasien dengan GGA nonoliguria
secara khas memiliki konsentrasi natrium urin lebih rendah dibanding pasien
oliguria. Lebih jauh lagi, mereka tampaknya memiliki lebih sedikit komplikasi
dan memerlukan perawatan di rumah sakit yang lebih pendek. GGA
nonoliguria menunjukkan lebig sedikit trauma ginjal berat. PAda beberapa
kondisi, ada kemungkinan untuk mengubah kondisi GGA oliguria menjadi
nonoliguria yaitu dengan memberikan manitol, furosemid atau dopamine dosis
renal ( 1-2 µg/kg/menit). Peningkatan urin output dapat diatasi dengan
mencegah obstruksi tubulus. MAnitol dapat menurunkan edema sel dan
memiliki kasi membersihkan radikal bebas. Di lain pihak, respon terahadap
terapi diuretika dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan penurunan
tingkat gangguan ginjal. Meskipun demikian, pad apenelitian terdahulu,
ditemukan adanya peningkatan kematian pasien dengan GGA yang mendapat
diuretika, pengunaan diuretika secara rutin masih diperdebatkan.
Penatalaksanaan GGA
Sekitar 15% pasien GGA berakhir di ICU. Meskipun pelayanan kesehatan
telah mengalami kemajuan dengan pesat pada beberapa tahun terakhir, angka
kematian pasien GGA masih sekitar 50%. Prinsip pengelolaan psien GGA
adalah terapi suportif. Diuretika dan manitol dapat digunakan untuk
mempertahankan urin output pada pasien nonoliguria. Studi prospektif
mengenai penggunaan diuretika masih sanagt langka. Dopamin tidak pernah
dilaporkan dapat efektif pada pengobatan pasien GGA. GGA yang disebabkan
glomerulonefritis atau vaskulitis mungkin berespon terhadap glukokortikoid.
Pengobatan standar untuk pasien oliguri dan anuria dimana urin output tidak
meningkat pasca pemberian diuretika, meliputi pembatasan cairan, natrium,
kalium, dan fosfor. Pengukuran berat badan harian membantu mengarahkan
terapi cairan. Total cairan yang masuk seharusnya setara dengan 500 mL
ditambah urin output. Intake natrium dan kalium maksimal 1 mEq/kg/d,
sedangkan intake protein kurang dari 0.7g/kg/hari dan terutama terdiri dari
protein dengan nilai biologis tinggi. Hiponatermia dapat diatasi dengan
pembatasan cairan. Hiperkalemia meungkin memerlukan pemberian resin ion-
exchange ( natrium polystyrene), glukosa dan insulin, calcium glukonas atau
natrium bikarbonat. Terapi natrium bikarbonat dapat jug adigunakan pada
kondisi asidosis metabolic ketika bikarbonat serum turun dibawah 15 mEq/L.
Hiperfosfatemia memerlukan pembatasan diet fosfat dan antasida fosfat
binding ( alumunium hydroxide). Dosi ekskresi on\bat melalui ginjal harus
disesuaikan dengan filatrasi glomerulus atau pengukuran klirens kreatinin
untuk mencegah terjadinya akumulasi.
Gambar 49-8. Hubunagn infeksi, sepsi dan SIRS. ( Dimodifikasi dari the
American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine
Consensus Conference : Definition for sepsis and organ failure and guideline
for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992;20:864)
Dialisis dapt dilakukan untuk mengatasi atau mencegah terjadinya komplikasi
uremia ( lihat table 32-4). Kateter dobel lumen yang diletakkan pada vena
jugularis interna, vena subclavia, vena femoratils biasa dikerjakan. Tingginya
angka morbiditas dan mortalitas pada kasus GGA terjadi sebelum dilakukan
dialysis, tetapi penetilitian yang dilakuakan berkata lain. Dialisis tampaknya
tidak mempercepat proses pemulihan tetapi pada kenyataannya memacu
trauma ginjal jika terjadi hiptensi atau terlalu banyak cairan yang dikeluarkan.
Karena mempertimbangkan hemodialisis intermiten berhubungan dengan
hipotensi dapat menyebabkan cidera ginjal, continuous renal replacement
therapy (CRRT) ( continuous venovenous hemofiltrasion (CVVHF) dan
continuous vemovenous hemodialysis (CVVHD), yang mengeluarkan cairan
dan larutan pada tingkat yang terkontrol dan sanagt lambat) sering digunakan
pada pasien-pasein GGA terminal yang tidak dapat mentolerir efek
hemodinamik akibat hemodialisis intermiten. Masalah utama CCRT adalah
mahalnya biaya operasional, karena membrane yang digunakan mudah untuk
membentuk bekuan dan oleh Karen aitu gharus digant secara periodic. Diluar
kekurangan ini, para ahli percaya bahwa CCRT adalah cara terbaik untuk
merawat pasien ICU dengan GGA. CCRT digunakan tidak hanya untuk GGA
(oliguria dan uremia) tetapi juga untuk mengatasi asidosis metabolic, overload
cairan, dan hiperkalemia.
Perubahan lain dalam pengelolaan pasien GGA adalah dimana protein yan
diijinkan adalah kurang dari 0.4-0.6 g/kg per hari, sebagian besar nefrologis
saat ini percaya bahwa suplementasi nutrisi tidak perlu dibatasi dan protein
sebanyak 1.0-1.5 g/kg per hari dapat diberikan, khususnya pada pasien CCRT.

SEPSIS DAN SHOCK SEPTIK


Respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, disebut sepsis, hal ini tidak aneh
terjadi pada infeksi berat karena manifestasi serupa dapat terjadi pada penyakit
noninfeksi (Gambar 49-8). Lebih jauh lagi, hal ini tidak memerlukan adanya
temuan bakteri. Penggunaan istilah SIRS disarankan oleh the Society of
Critical Care Medicine (SCCM), European Society of Intensive Care Medicine
(ESICM), American Thoracic Society (ATS), dan Surgical Infection Society
(SIS) (TAbel 49-10). Konferensi SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
meperkenalkan konsep predisposisi, infeksi, respon, disfungsi organ (PIRO)
untuk mengklasifikasikan sepsis. Sepsis berat terjadi bila repon berhubungan
dengan disfungsi organ. Istilah MODS telah disarankan untuk
menggambarkan disfungsi progresifdari dua atau lebih organ yang berhungan
dengan sepsis. Shock septic adalag kegagalan sirkulasi akut --- tekanan darah
sistolik < 90 mmHg, tekanan arteri rata-rata < 60 mmHg atau penurunan
sebesar 40 mmHg tekanan darah sitolik walaupun telah dilakukan resusitasi
cairan yang cukup --- pada pasien dengan sepsis.

PATOFISIOLOGI SIRS
Respon sistemik ringan terhadap seluruh ancaman secara normal dapat
menimbulkan efek yang positif. Meskipun demikian, respon bermakna dan
lama, seperti yang dikaitkan dengan infeksi berat, kadang berakibat pada
disfungsi organ secara luas. Meskipun organism gram negative merupakan
SIRS terkait infeksi, bayak antigen infeksius lainnya dapat memacu timbulnya
sindrom yang sama. Organisme ini memperbanyak toksin dan merangsang
pelepasan substansi yang memacu respon ini. Initiator yang banyak dikenal
adalah lipopolysacharide (LPSs) yang dilepaskanoleh bakteri gram negative.
LPS terdiri dari suatu O polysaccharide, sebuah inti, dan lipid A. O
polysaccharide mampu membedakan tipe-tipe bakteri gram negative,
sedangkan lipid A, suatu endotoksin, bertanggungjawab atas reaksi toksisitas.
Respon terhadap endotoksin melibatkan suatu interaksi kompleks antara
makrofag/monosit, netrofil, limfosit, trombosit dan sel endotel yang dapat
berefek pada setiap organ.
Mekanisme utama dalam menginisiasi SIRS tampaknya adalah sekresi
abnormal dari sitokin. Peptida dengan berat molekul rendah dan glikoprotein
berfungsi sebagai mediator interseluler dan secara normal mengatur proses
biologis, termasuk local and systemic immune renspon, inflamasi,
penyembuhan luka dan hematopoesis. Sitokine yang terutama dilepaskan
selama SIRS adalah IL-6, adrenomedulin, CD14 yang larut,sELAM-1, MIP-
1a, fosfolipase ekstraseluler A2 dan CRP. Respon peradangan juga melepaskan
phospolipid yang berpotensi membahayakan, penarikan neutrophil dan
aktivasi komplemen, kinin dan kaskade koagulasi.

Peningkatan kadar phospolipase A2 melepaskan asam arakidonat dari


phospolipid membran sel. Siklooksigenase mengkonversi asam arakidonat
menjadi tromboxan dan prostaglandin, sedangkan lipooksigenase
mengkonversi asam arakidonat menjadi leukotrien ( substansi reaksi lambat
dari anaphilaksis). Peningkatan aktivitas phospolipase A2 dan asetiltransferase
menghasilkan suatu bentuk lain komposisi pro-inflamasi yaitu faktor aktivasi
platelet (PAF). Penarikan dan pengaktivasian neutrofil melepaskan berbagai
protease dan radikal bebas yang merusak endotel vaskuler. Aktivasi monosit
merangsang protease dan radikal bebas ini untuk meningkatkan jumlah faktor
jaringan, yang pada akhirnya dapat mengaktivasi jalur koagulasi intrinsic dan
ekstrinsik.

Tabel 49-10 Kriteria Diagnosa Untuk Sepsis


Infeksi, terdokumentasi atau suspek, dan lain-lain
Variabel Umum
Demam (temperatur inti >38.30C)
Hipotermia (temperatur inti <360C)
Denyut jantung > 90/menit atau >2 SD di atas nilai normal untuk usia
Takipneu
Gangguan status mental
Edema signifikan atau keseimbangan positif cairan (>20 mL/kg selama
24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma > 120mg/dL atau 7.7mmol/L tanpa
diabetes)
Variabel peradangan
Leukositosis (sel darah putih > 12 ribu/uL)
Leukopenia (sel darah putih < 4 ribu/uL)
Jumlah sel darah putih normal dengan bentuk imatur > 10%
CRP plasma > 2 SD diatas nilai normal
Procalcitonin plasma > 2 SD di atas nilai normal
Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (tekanan sistolik < 90 mmHg, MAP < 70 atau penurunan
tekanan sistolik > 40 mmHg pada dewasa atau < 2 SD di bawah nilai normal
untuk usia)
Svo2 > 70%
Indeks cardiac > 3.5L/menit per m2
Variabel disfungsi organ
Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)
Oliguria akut (output urin < 0.5 mL/kg per jam atau 45mmol/L
minimal selama 2 jam)
Peningkatan kreatinin > 0.5 mg/dL
Abnormalitas koagulasi ( INR > 1.5 atau aPTT > 60s)
Ileus ( bising usus menghilang)
Trombositopenia (trombosit < 100000/uL)
Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dL atau 70 mmol/L)
Variabel perfusi jaringan
Hiperlaktasemia (>1 mmol/L)
Pengisian kapiler menurun
.
INFEKSI DI ICU

Infeksi merupakan penyebab pertama kematian di ICU. Infeksi yang serius


bisa didapatkan di luar RS (infeksi komunitas) atau didapatkan di RS (infeksi
nosokomial). Infeksi nosokomial dideskripsikan sebagai infeksi yang
didapatkan di RS yang muncul setelah 48 jam perawatan di RS. Insidensi
nosokomial pada pasien di ICC sekitar 10%-50%. Biasanya penyebabnya
adalah bakteri komunitas yang resisten antibiotik. Imunitas host memiliki
peranan penting dalam perjalanan infeksi dan jenis bakteri yang dapat
menginfeksi. Oleh karna itu, organisme yang tidak mengakibatkan infeksi
yang serius pada pasien imunokompeten dapat menyebabkan infeksi yang
mengancam jiwa pada pasien imunocompromised (table 49-11).
Yang terpenting, daya tahan tubuh pada pasien sakit berat biasanya
abnormal, seperti tidak aktifnya mekanisme kemotaksis dan fagositosis,
gangguan rasio limfosit T-helper dan inadekuatnya imunitas humoral. Faktor
lain pada host lainnya adalah usia, terapi, intak tidaknya barier pada kulit dan
mukosa dan penyakit yang mendasari.
Karena itu, pasien dengan usia lanjut (>70 tahun), terapi
kortikosteroid, kemoterapi, penggunaan alat-alat invasif yang berkepanjangan,
gagal nafas, gagal ginjal, trauma kepala dan terbakar memiliki faktor resiko
besar untuk terkena INOS. Pasien luka bakar >40% dari luas permukaan
tubuhnya memiliki tingkat mortalitas akibat infeksi yang sangat tinggi.
Penggunaan antibiotic topical seperti sodium mefenide, silver sulfadiazine dan
nistatin hanya akan menunda terjadinya infeksi pada luka. Pembuangan
jaringan nekrotik dilanjutkan dengan cangkok kulit dan penutupan luka akan
mencegah gangguan imunologis dan mengurangi resiko infeksi.
Sebagian besar bakteri penyebab INOS merupakan flora normal
endogen. Lebih lanjut, pasien dengan sakit berat seringkali memiliki
kolonisasi bakteri yang resisten. Infeksi traktus urinarius beresiko menjadi
INOS sebesar 35%-40%. Infeksi urinaria biasanya disebabkan organisme
gram negatif dan dihubungkan dengan penggunaan kateter yang temporer atau
obstruksi traktus urinarius. Infeksi luka menjadi penyebab INOS yang kedua,
yaitu sekitar 25%-30% dan pneumonia sekitar 20%-25%. Infeksi yang
berhubungan dengan penggunaan kateter i.v bertanggungjawab sekitar 5%-
10% pada kejadian infeksi di ICU.
Pneumonia nosokomial biasanya disebabkan oleh organisme gram
negatif dan merupakan penyebab utama kematian di berbagai ICU.
Pertumbuhan berlebihan dari flora normal usus disertai translokasi ke dalam
sirkulasi portal dan kolonisasi retrograde jalan nafas bagian atas akibat aspirasi
merupakan mekanisme masuknya bakteri dari usus ke saluran pernafasan.
Sebenarnya asam lambung mencegah pertumbuhan berlebihan bakteri dan
migrasi bakteri ke orofaring. Tetapi penggunaan intubasi trakeal, TT-cuff,
nebulizer dan humidifiers dapat menjadi sumber infeksi karena pasien akan
teraspirasi cairan lambung akibat penggunaan alat-alat ini. Dekontaminasi
selektif dengan antibiotic yang tidak diserap dapat mengurangi insidensi
infeksi tetapi tidak akan mengubah hasil akhirnya.
Luka merupakan penyebab tersering dari kejadian sepsis pada pasien
trauma dan postoperasi. Pembatasan penggunaan antibiotik profilaksis mampu
menurunkan insidensi infeksi postoperasi pada beberapa grup pasien. Infeksi
intraabdominal berupa perforasi ulkus, diverticulitis, apendisitis, dan akalkuli
kolesistitis juga dapat terjadi pada pasien dengan sakit berat. Penggunaan
kateter i.v seringkali menjadi media bagi bakteri S.epidermidis,
S.aureus,Streptococci, Candida, dan bakteri batang gram negatif. Bakteri
penyebab sinusistis dapat menjadi sumber sepsis yang tidak terdeteksi pada
pasien dengan intubasi nasal.

SYOK SEPSIS

Konferensi Konsensus SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS mendefinisikan syok


sepsis sebagai syok yang berhubungan dengan kondisi sepsis ditandai dengan
hipotensi (sistolik < 90mmHg, MAP < 60 mmHg, penurunan tekanan darah
sistemik < 40 mmHg) yang membutuhkan resusitasi cairan adekuat.
Karakteristik syok septic yaitu perfusi jaringan inadekuat dan disfungsi seluler
menyeluruh. Yang membedakannya dengan syok lainnya ( hipovolemik,
kardiogenik, neurogenik dan anafilaksis), kerusakan seluler pada syok septic
tidak selalu berhubungan dengan kondisi hipoperfusi tapi bisa juga akibat
gangguan metabolic pada tingkat seluler yang berkontribusi pada gangguan
oksidasi seluler.
Patofisiologi
SIRS yang berat dapat berlanjut jadi syok septic. Syok septic biasanya
diakibatkan oleh infeksi gram negative yang berasal dari traktus urinarius atau
respiratorius pasien rawat inap tetapi bisa juga dari pathogen lainnya.
Bakterimia bisa ada bisa tidak. Peningkatan kadar NO mengakibatkan
vasodilatasi. Hipotensi juga diakibatkan oleh penurunan volume intravaskuler
akibat kobocoran kapiler. Beberapa pasien juga mengalami depresi miokardial.
Aktivasi platelet dan jalur koagulasi dapat mengakibatkan pembentukan
agregasi fibrin-platelet, yang selanjutnya menurunkan aliran darah.
Hipoksemia diakibatkan oleh ARDS yang menitikberatkan jaringan hypoxia.
Pelepasan zat vasoaktif, pembentukan mikrotrombi pada sirkulasi pulmonal,
atau keduanya bersama meningkatkan resistensi pembuluh darah pulnomal.

SUB BAGIAN HEMODINAMIK


Sirkulasi pada pasien dengan syok septik seringkali menunjukkan
hiperdinamik atau hipodinamik. Pada kenyataannya, keduanya mewakili
proses yang sama, tetapi tanda yang muncul bergantung pada fungsi jantung
sebelum terjadi syok dan volume intravaskular dan di mana pasien berada di
spektrum respon. Venodilatasi sistemik dan transudasi cairan ke dalam
jaringan mengakibatkan hipovolemia relatif pada pasien dengan sepsis.
Syok septik hiperdinamik dikarakterisasi dengan cardiac output yang normal
atau meningkat dan vasodilatasi hebat (resistensi pembuluh darah sistemik
rendah). Menurunnnya kontraktilitas otot jantung seringkali dapat ditunjukkan
bahkan pada pasien hiperdinamik. Saturasi oksigen vena campuran (mixed
venous oxygen saturation) secara karakteristik tinggi pada ketiadaan
hipoksemia dan cenderung menunjukkan cardiac output yang tinggi dan defek
metabolik seluler dalam penggunaan oksigen.
Syok septik hipodinamik, biasanya terlihat kemudian pada perjalanan syok,
dikarakterisasi oleh cardiac output yang menurun dengan resistensi pembuluh
darah sistemik yang rendah atau normal. Syok ini lebih cenderung terlihat
pada pasien hipovolemik berat dan pada mereka dengan penyakit jantung.
Depresi miokard merupakan ciri khas yang menonjol. Saturasi oksigen vena
campuran dapat rendah pada pasien-pasien tersebut. Hipertensi pulmonal juga
seringkali menonjol pada syok septik. Meningkatnya resistensi pembuluh
darah pulmonal memperlebar gradien tekanan normal diastolik ke diameter
lebih sempit arteri pulmonalis (normal pulmonary artery diastolic-to-wedge
pressure gradient); gradien yang tinggi telah dihubungkan dengan angka
mortalitas yang lebih tinggi. Peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal
dapat berperan pada terjadinya disfungsi ventrikel kanan.

Manifestasi Klinis
Manifestasi syok septik tampak lebih berhubungan secara primer terhadap
respon host daripada agen infektif. Syok septik secara klasik terjadi bersama
menggigil dengan onset tiba-tiba, demam, nausea (dan seringkali muntah),
menurunnya status mental, takipnea, hipotensi, dan takikardi. Pasien dapat
terlihat kemerahan (flushing) dan merasa...

Tabel 49—12. Terapi antibiotik awal untuk sindrom penyakit infeksi yang
mengancam jiwa.1,2
Sindrom Patogen Preparat Empiris Awal
Sepsis kriptogenik tanpa
infeksi lokal
teridentifikasi
Didapat dari komunitas
Imunokompeten Staphylococcus aureus Ceftriaxone atau
Neisseria meningitidis cefotaxime (levofloxicin
Streptococcus grup A atau gatifloxicin3) plus
vancomycin (apabila
MRSA pada infeksi
yang didapat dari
komunitas atau memiliki
CVC dalam jangka
waktu lama)
Seorang anak atau Sama seperti di atas Ceftriaxone atau
dewasa tua, atau plus Streptococcus cefotaxime plus
imunokompromise pneumoniae (termasuk ampicillin (vancomycin)
PRP)
Salmonella
Listeria
Nosokomial S. aureus (termasuk Cefepime, carbapenem,
MRSA) atau penicillin
Enterococcus (VRE antipseudomonal
yang mungkin) (aztreonam3) plus
Pseudomonas ciprofloxacin atau
aeruginosa dan bakteri tobramycin plus
batang gram negatif vancomycin (apabila
resisten lain resiko MRSA/MRCNS)
plus obat untuk VRE
saja apabila diketahui
kultur positif
Demam granulositopenik Sama seperti di atas Cefepime atau
carbapenem
Tambah vancomycin
(apabila selulitis, sepsis
CVC, syok septik, atau
diketahui MRSA positif)
Ciprofloxacin plus
vancomycin3
Endokarditis bakterial
akut
Katub asli S. aureus Penicillin plus nafcillin
Streptococcus grup A (vancomycin3) plus
Bakteri batang gram gentamycin
negatif
Enterococcus

Katub prostetik Sama seperti di atas Vancomycin plus


plus Staphylococcus gentamycin
koagulase negatif
MRSA
Bakteri batang gram
negatif nosokomial
Candida
Sepsis curiga saluran IV Sama seperti di atas Vancomycin plus
ciprofloxacin atau
gentamycin
Diduga pneumonia
bakterial
Didapat dari komunitas S. pneumonia Ceftriaxone atau
S. aureus cefotaxime plus
Bakteri anaerob oral azithromycin
Bakteri batang gram Levofloxicin atau
negatif enterik gatifloxicin3
Legionella
Chlamydia pneumoniae
Nosokomial atau derajat Sama seperti di atas Cefepime atau
berat didapat dari plus P. aeruginosa piperacillin-tazobactam
komunitas yang MRSA atau carbapenem
memerlukan perawatan (aztreonam3) plus
ICU ciprofloxacin, plus
vancomycin (apabila
resiko MRSA)
Sinusitis
Didapat dari komunitas S. pneumoniae Cefotaxime atau
Haemophilus influenza ceftriaxone
S. aureus Levofloxicin atau
gatilofloxicin3
Tambah vancomycin
(apabila resiko MRSA)
Nosokomial S. aureus (termasuk Sama seperti pneumonia
MRSA) nosokomial
Bakteri batang gram
negatif
Fungi
Diduga meningitis
bakterial
Didapat dari komunitas S. pneumoniae Ceftriaxone, cefotaxime
H. influenzae tipe B atau cefepime dan
Neisseria meningitidis vancomycin, tambah
Listeria monocytogenes rifampin (apabila juga
memberi kortikosteroid)
Nosokomial Bakteri batang gram Cefepime atau
negatif enterik piperacillin-tazobactam
P. aeruginosa plus ciprofloxacin plus
S. aureus (termasuk vancomycin
MRSA)
Staphylococcus
koagulase negatif
Infeksi intraabdominal
Kolangitis Bakteri batang gram Ciprofloxacin atau
negatif gentamycin plus
Enterococcus ampicillin
Clostridium (vancomycin3)
Cephalosporin generasi
ketiga plus ampicillin
(vancomycin)
Carbapenem
Peritonitis sekunder atau Sama seperti di atas Metronidazole atau
abses intraabdominal, plus Bacteroides clindamycin, plus
typhlitis fragilis gentamicin atau
granulositopenik Bakteri anaerob lain ciprofloxacin plus
ampicillin (vancomycin)
Ampicillin-sulbactam
dan gentamicin
Piperacillin-tazobactam
dan gentamicin
Carbapenem
Peritonitis bakterial Bakteri gram negatif Ceftriaxone atau
spontan S. pneumoniae cefotaxime
Ciprofloxacin dan
vancomycin3
Levofloxacin atau
gatifloxicin3
Urosepsis4
Didapat dari komunitas Bakteri batang gram Ciprofloxacin dan
negatif enterik ampicillin
Enterococcus (vancomycin3)
Gentamicin
(tobramycin) dan
ampicillin
(vancomycin3)
Nosokomial Sama seperti di atas Sama
plus Carbapenem
P. aeruginosa Beri quinupristin atau
VRE linezolid saja untuk
VRE terdokumentasi

Tabel 49-12 Terapi antibiotik untuk sindrom penyakit infeksi (lanjutan)


Sindrom Patogen Resimen inisial empirik
Kulit dan jaringan
Tidak lengkap, S.aureus Nafsilin dengan atau tanpa
tanpa penisilin(vankomisin)
granulositopeni Streptokokus Vankomisin, ceftriakson atau
beta hemolitikus cefotaksim (anak)
granulositopeni S.aureus, bakteri Cefepim atau tikarsilin clavikulat
gram negatif atau piperasilin tazobaktam dan
termasuk P siprofloksasin atau tobramisin
aeruginosa ditambah vankomisin
Fasilitis nekrosis Bakteri gram Sama dengan peritonitis sekunder
negatif,
klostridia dan B
fragilis, S.aureus
streptokokus
grup a,
vibrio vulnivisan Doksisiklin, seftriakson atau
sefotaksim
Sindrom Syok Toksigen, Penisilin (vankomisin) tambah
streptokokus streptokokus klindamisin
dengan selulitis grup a
nekrosis
Infeksi enterik
Bakteri patogen Salmonela, Ciprofloksasin oral
shigela, Seftriakson atau sefotaksim 4
kampilobakter,
enteropatogen e
coli, vibrio
Antibiotik asosiasi C difisil Metronidasol (derajat sedang atau
kolitis berat), vankomisin (berat) juga
diberikan metronidasol 4 (ileus)
Sindrom syok S aureus Nafsilin dan klindamisin
toksik streptokokus Penisilin g dan klindamisin
grup a
Malaria
Spesies bukan P vivax, p Klorokuin
falsiparum malaria, p ovale Diikuti primakuin
falsiparum P falsiparum Kina oral (4) tambah doksisiklin atau
klindamisin, atrovakuon, proguanil,
meflokuin, artesunat tambah
meflokuin
Infeksi riketsia R riketsii Doksisiklin
R thypi Kloramfenikol
r prowazeki, r
akari, coksiela
burneti, ehlichia
chaafensis,
ehrlichia
fagositofilia
Atau pucat dengan sianosis ekstremitas (hipodinamik); dalam kasus akhir,
indeks yang tinggi dari tersangka diperlukan. Dahulu, melemahkan tenaga
pasien dan bayi, diagnosis sering kurang nyata dan hipotermia dapat terlihat.
Leukositosis dengan pirau kiri ke bentuk sel prematur adalah biasa,
tapi leukopenia dapat terlihat dengan sepsis dan tanda tak menyenangkan.
Metabolik asidosis yang lanjut (asidosis laktat) tipikali dikompensasi terpisah
oleh respiratori alkalosis. Peningkatan level laktat merefleksikan keduanya
baik produksi dari jaringan perfusi yang kurang dan penurunan masukan dari
hati dan ginjal. Hipoksemi dapat menyuarakan dari kejadian ARDS. Oliguria
sering terjadi karena kombinasi hipovlumia, hipotensi dan radang sistemik dan
sering ARF yang berlanjut. Peningkatan serum aminotransferase dan bilirubin
karena disfungsi dari hepar. Insulin yang resistan saat ini dibentuk dan
memproduksi hiperglikemia. Trombositopeni sering dan biasa menjadi tanda
sepsis. Kejadian laborat dari DIC sering terjadi namun jarang berkaitan
dengan pendarahan diathesis. Hanya respon akhir untuk mengendalikan sepsis.
Ulkus mukosa gaster biasa. Pernafasan dan gagal ginjal sebagai prioritas
kematian.
Pasien neutropeni (hitungan netrofil absolut 500/mikroL)dapat
mengembangkan makular atau papular lesi yang dapat mengiritasi dan
menjadi gangren (ektima gangren). Lesi ini biasa dikaitkan dengan
Pseudomonas septikemia tapi dapat disebabkan oleh organisme lain. Abses di
sekitar rektum dapat berkembang cepat pada pasien neutropeni dengan sedikit
tanda luar; pasien dapat mengeluh nyeri sekitar rektum.

Penanganan
Syok septik adalah kegawatan medis yang memerlukan penanganan
yang agresif. Penanganan : (1) Mengendalikan dan mengeradikasi infeksi dari
kecocokan dan waktu antibioktik intravena (tabel 49-12) , pengeluaran abses,
pembersihan jaringan nekrosis, dan pengeluaran infeksi zat asing (2)
Penanganan yang cukup dari perfusi dengan cairan intravena dan inotropik
dan agen penekan pembuluh darah, (3) Penanganan suportifdari komplikasi
seperti ARDS, ARF, perdarahan GI dan DIC.
Penanganan antibiotik harus diinisiasi sebelum zat patogen
diidentifikasi, tapi setelah budaya yang cukup didapat (darah, urin, luka,
sputum). Kombinasi terapi dengan dua atau lebih antibiotik diindikasikan
secara umum sampai patogen diketahui. Beberaoa kejadian, kombinasi dari
penghambat penisilin beta laktamase atau generasi ketiga sefalosporin dengan
amiloglikosida yang cukup. Penambahan pembelajaran yang cukup
diindikasikan (contoh thoraksintesis, parasintesis, pungsi lumbal, atau CT
scan). Pembersihan dan pengeluaran dari infeksi dan abses seharusnya
ditangani dengan baik.
Terapi antibiotik empirik dalam pasien imunokompremised seharusnya
dapat didasarkan patogen yang secara umum berkaitan dengan defek imun
(tabel 49-13). Vankomisin ditambahkan jika infeksi intravaskular berdasar
kateter dicurigai. Klindamisin atau metronidasol seharusnya diberikan pada
pasien neutropeni jika curiga rektal abses. Banyak klinisi memakai amfoterisi
b, flukonasol atau terapi caspofungi untuk infeksi jamur atau jika dengan
imunokompremised untuk demam lebih dari 96 jam dari terapi antibiotik.
Stimulasi koloni granulosit atau stimulasi koloni granulosit makrofag dapat
digunakan pada periode yang singkat dari neutropenia; tranfusi granulosit
dapat digunakan belokan bakteri gram negatif. Difusi infiltrat interstisial dari
radiograf dada dapat mensugesti bakteri yang tidak biasa, parasitik, atau
patogen virus; banyak klinisi menginisiasi terapi empirik dengan trimetoprim
sulfametoksasol dan eritromisin. Infiltrasi nodular pada radiograf mensugesti
pnemonia jamur dan dapat tuntutan terapi antijamur. Terapi antiviral
seharusnya dipertimbangkan pada pasien sepsis yang lebih dari 1 bulan
sehabis sumsum tulang atau transplan organ padat.
Oksigenasi jaringan dan perfusi dijaga dengan terapi oksigen, cairan
intravena, inotrop, vasopresor dan PRC darah merah untuk menjaga hb > 8-
10g/dL. Tanda spasi ketiga mengkarakteristik syok septik. Sebuah inotrop
seharusnya digunakan jika cairan intra vena gagal pulih dengan cepat. Koloid
lebih cepat memulihkan volume intra vaskular dibandingkan dengan kristaloid
tapi tidak terbukti keuntungan tambahan. Terapi inotropik diinisiasi jika 1-3 L
cairan intravena tidak dapat memperbaiki hipotensi. Hematokrit seharusnya
dijaga diatas 24-30% untuk meningkatkan penyampaian oksigen. Kateterisasi
arteri pulmoner baik dalam penanganan fasilitas tiba-tiba karena mengikuti
pengukuran PAOP dan kardiak output. Banyak klinisi secara umum memilih
dopamin sebagai inisial inotrop; yang lain menggunakan dobutamin karena
lebih efektif meningkatkan kardiak output dan penyampaian oksigen (tabel 49-
14). Beberapa pembelajaran mensugesti angka kematian pasien dapat turun
jika penyampaian oksigen dapat ditingkatkan. Ketika dopamin dan dobutamin
efektif meningkatkan tekanan darah dan kardiak output, epinefrin (2-18
mikrog/menit) dapat menjadi pilihan. Pasien dengan hipotensi bias,
norepinefrin, vasopresin, atau keduanya diadministrasikan dengan
peningkatan yang baik dalam tekanan darah tapi tanpa kejadian yang
mengakibatkan pengeluaran. Asidosis berat dapat turun dari inotrop dan
seharusnya dapat dikoreksi (pH >7.20) dengan terpi bikarbonat pada pasien
hipotensi bias.

Tabel 49-13. Infeksi yang nerhubungan dengan gangguan imunitas dari


penjamu

Kuman patogen pada tempat terjadinya infeksi


Kelainan yang ada Peredaran darah atau Sistim saraf
diseminata pusat
Paru Saluran cerna
Hypogammaglobulinemia Streptococcus S. pneumonia S. pneumonia Giardia lamblia
pneumonia H. influenzae H. influenzae
Haemophilus Branhamella
influenzae catarrhalis
Neisseria meningitidis

Splennektomi Sama seperti di atas Sama seperti di Sama seperti di


ditambah Bartonella, atas atas
Plasmodium, Babesia
Imunitas yang Listeria Legionella Listeria Salmonella
diperantarai monocytogenes Nocardia M. tuberculosis Campylobacter
sel Salmonella Mycobacteria C. neoformans Candida
( cell-mediated Mycobacterium C. immitis Toxoplasma Cryptosporidiu
immunity) tuberculosis H. capsulatum gondii m
Coccidioides immitis Pneumocytis Herpes simplex
Histoplasma carinii virus Entamoeba
capsulatum Cytomegalovirus Cytomegalovirus histolytica
Strongyloides
Cryptococcus stercoralis
neoformans Cytomegaloviru
s
Cytomegalovirus Herpes simplex
Varicella zoster virus virus

Obstruksi tumor Cholangitis S. pneumonia Basil gram


Basil gram negatif S. aureus negatif
Enterococcus Kuman anaerob Enterococcus
Clostridium dari mulut Clostridium
Urosepsis Bacterioides
Basil gram negatif fragilis
Enterococcus
Candida
Pneumonia
Staphylococcus
S. aureus
Kuman anaerob dari
mulut
Granulositopenia Basil gram negatif Basil gram Aspergillus Candida
Pseudomonas negatif Candida Clostridium
aeruginosa Staphylococci difficile
Staphylococci Aspergillus Clostridia lain
Fusarium spp. Herpes simplex
Candida spp. virus

Reaktivasi dari infeksi H. capsulatum M. tuberculosis M. tuberculosis Strongyloides


laten Coccidioides immitis H. capsulatum stercoralis
Plasmodium C. immitis
Toxoplasma
gondii
Kateterisasi vena sentral Staphylococcus
epidermidis
S. aureus
Corynebacterium,
group JK
Mycobacterium
Bacillus
Candida
Fusarium
Trichosporon

Tabel 49-14. Efek dari obat-obat inotropik dan vasopressor pada pasien sepsis

Pengangkutan
Obat Tekanan darah Cardiac output oksigen
Dopamine
Dobutamine 0 atau
Norepinephrine 0 0
Epinephrine
Vasopressin 0 0

Bahkan, walaupun tidak ditemukan keadaan hipotensi arterial, dosis “renal”


dari dopamin dapat membantu mempertahankan produksi urin namun tidak
menunjukkan adanya hasil yang lebih baik. Penggunaan kortikosteroid,
naloxone, opsonins (fibronectin), dan antibodi monoklonal yang secara
langsung dapat melawan lipopolisakarida pada syok septik ternyata
mengecewakan, namun hambatan terhadap kaskade koagulasi yang ada justru
menjanjikan. Salah satu obat, seperti protein C aktif, drotrecogin alfa, telah
diterima FDA Amerika Serikat untuk penggunaan selama sepsis. Karena harga
obat-obatan ini mahal dan banyak pertanyaan mengenai outcome jangka
panjangnya, banyak ICU memiliki kriteria kapan obat-obatan ini dapat
diberikan pada pasien sesuai hasil penelitian yang sebenarnya. (Tabel 49-15)

PERDARAHAN SALURAN CERNA

Perdarahan saluran cerna akut adalah penyebab umum yang membawa dating
ke ICU. Pada usia lanjut (>60 tahun), kondisi komorbid, hipotensi, kehilangan
darah yang nyata (> 5 unit), dan perdarahan berulang (rebleeding) setelah 72
jam meningkatkan mortalitas. Manajemen dilakukan secara simultan dan
dilakukan evaluasi yang cepat dan identifikasi lokasi perdarahan dan
stabilisasi.Walaupun volume resusitasi sama, para klinisi harus mampu
membedakan antara perdarahan saluran cerna bagian atas dan bawah. Riwayat
hematemesis menunjukkan adanya perdarahan saluran cerna di proksimal
ligamentum Treitz. Melena biasanya mengindikasikan adanya perdarahan
saluran cerna di proksimal caecum. Hematochezia (darah merah terang dari
rektum) menunjukkan adanya perdarahan cepat dari saluran cerna bagian atas
atau pada umumnya perdarahan saluran cerna bagian bawah. Kondisi ini
biasanya dihubungkan dengan hipotensi. Adanya feses yang berwarna merah
gelap biasanya disebabkan perdarahan yang lokasinya pada daerah antara usus
halus distal dan kolon sebelah kanan.
Paling sedikit 2 jalur intravena dengan jarum ukuran besar (14-16) harus
dipasang dan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium (termasuk
hematokrit, hemoglobin, jumlah trombosit, prothrombin time, dan activated
partial thromboplastin time). Pasien harus diperiksa golongan darah dan
dilakukan tes silang sampai sedikitnya 4-6 unit darah. Pedoman resusitasi
cairan dibicarakan di Bab 29. Hematokrit serial berguna namun bisa tidak
akurat menggambarkan kehilangan darah yang sebenarnya. Tekanan darah
intraarterial harus diawasi. Kanulasi vena central berguna untuk akses vena
dan pengukuran tekanan. Pemasangan selang nasogastric dapat membantu
mengetahui sumber perdarahan saluran cerna atas jika saat diaspirasi nampak
darah merah yang terang atau material ”coffee ground”; tidak adanya darah
yang teraspirasi, bagaimanapun juga, tidak dapat memastikan bahwa
perdarahan saluran cerna bagian atas tidak terjadi.

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


Lavage atau irigasi melalui selang nasogastric dapat membantu menilai
kecepatan perdarahan dan memfasilitasi esofagogastroduidenoskopi (EGD).
EGD sebaiknya dilakukan kapan saja untuk mendiagnosiss penyebab
perdarahan. Kegagalan dalam memvisualisasi penyebab perdarahan
menggunakan endoskopi karena perdarahan yang cepat memerlukan
arteriografi. EGD dan arteriografi dapat juga digunakan untuk terapi yaitu
untuk menghentikan perdarahan. Peyebab lazim dari perdarahan saluran cerna
bagian atas, yang mengalami penurunan frekuensi, adalah ulcus doedenum,
ulcus gaster, gastritis erosiva, dan varises esofagus. Gastritis erosiva dapat
disebabkan oleh stress, konsumsi alkohol, aspirin, NSAID dan kemungkinan
juga kortikosteroid. Penyebab yang jarang antara lain angiodisplasia,
esofagitis erosiva, sindroma Mallory-Weiss, tumor gaster, dan fistula
aortoenteric.
Perdarahan dari ulcus pepticum (gaster atau duodenal) dapat dikoagulasi
melalui EGD. Tindakan bedah biasanya diindikasikan untuk perdarahan yang
berat (>5 U) dan perdarahan berulang. Penyekat reseptor H2 tidak efektif
untuk menghentikan perdarahan, namun dapat mengurangi kecenderungan
terjadinya perdarahan berulang. Pada arteriografi selektif terhadap pembuluh
darah yang mengalami perdarahan dapat dilakukan infus vasopressin (0,15-
0,20 U/menit) atau embolisasi arteri.
Terapi yang paling efektif untuk gastritis erosiva adalah pencegahan.
Penghambat pompa proton, penyekat reseptor H 2, antasid, sukralfat, semuanya
efektif untuk pencegahan. Banyak ahli gastroenterologi memilih pemberian
rutin penghambat pompa proton. Jika perdarahan sudah terjadi, tidak ada
terapi yang spesifik.
Terapi endoskopi, baik dengan elektrokoagulasi maupun probe pemanas,
adalah terapi non-bedah yang dapat menurunkan kebutuhan tranfusi darah,
perdarahan berulang, lama perawatan di rumah sakit, dan kebutuhan tindakan
bedah cito. Infus vasopresin intravena (0,3-0,8 U/menit) biasanya tidak efektif;
infus vasopresin bersama nitogliserin dapat membantu menurunkan tekanan
portal dan insidensi komplikasi terhadap jantung. Propanolol intravena juga
dapat menurunkan tekanan vena porta dan menurunkan perdarahan variseal.
Tamponade dengan metode balloning (Sengstaken-Blakemore, Minnesota, or
Linton tubes) dapat digunakan sebagai terapi adjuvan namun biasanya
membutuhkan intubasi trakeal elektif untuk melindungi saluran napas dari
aspirasi.

Tabel 49-15. Pedoman pemberian drotrecogin alfa pada orang dewasa


Catatan: Jangan meresepkan jika sudah lebih dari 48 jam sejak pasien masuk
kriteria sesuai di bawah ini
Kultur kuman positif atau suspek terinfeksi yang sudah diobati
Paling sedikit tiga dari empat kriteria systemis inflammatory respons
syndrome di bawah ini:
Temperatur dalam (core) >380C atau < 360C
Frekuensi jantung >80 kali /menit
Frekuensi napas >20 kali / menit atau PaCO2 <32mmHg
Jumlah leukosit > 12.000/mm3 atau <4000 mm3
Paling sedikit terdapat disfungsi satu organ atau sistim yang diakibatkan sepsis
Tidak ada kontraindikasi seperti di bawah ini:
Efek samping telah timbul sebelumnya atau hipersensitivitas
Terdapat perdarahan aktif yang diketahui yang dapat berasal dari mana
saja
Baru saja dioperasi (dalam 12 jam)
Cedera kepala, tindakan bedah intrakranial atau spinal, atau stroke
dalam 3 bulan terakhir
Terdapat lesi intrakranial berupa massa, herniasi cerebral, atau
neoplasma intrakranial
Baru saja atau dijadwalkan menjalani kateter epidural (dalam 24 jam)
Skor APACHE II kurang dari 25
Kondisi di bawah ini dapat meningkatkan risiko dari drotrecogin namun
penilaian dengan memperhitungkan risiko dan keuntungan dapat diterima:
Baru saja mengalami perdarahan saluran cerna (dalam 6 minggu)
Trombositopenia (<30 x 109/L) atau international normalized ratio< 3

Baru saja menggunakan inhibitor glikoprotein IIb/IIIa atau trombolitik atau


antikoagulasi penuh heparin tipe apapun atau warfarin
Penyakit hepar kronik yang berat
Gangguan perdarahan yang diketahui
Kehamilan
Malformasi arteriovena intrakranial atau aneurisma
Kegagalan organ tunggal
Pembedahan dalam 30 hari
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
Penyebab umum dari perdarahan saluran cerna bagian bawah termasuk
diverticulitis, angiodisplasia, neoplasma, inflammatory bowel disease, colitis
iskemik, colitis infeksiosa, dan penyakit anorektal (hemorrhoid, fissura, atau
fistula). Pemeriksaan rektum (rectal toucher), anoskopi, dan sigmoidoskopi
biasanya dapat mendiagnosis lesi bagian paling distal. Sama seperti EGD,
pada colonoskopi biasanya dapat dilakukan diagnosis definitif dan sering
berguna untuk terapi. Scanning terhadap sel darah merah yang telah diberi
label Technetium-99 dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan jika colonoskopi tidak dapat menemukan sumber perdarahannya
akibat persiapan yang kurang.
Kauterisasi sumber perdarahan seringkali bisa dilakukan melalui colonoskopi.
Jika colonoskopi tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan karena
perdarahannya cepat, arteriografi selektif dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan, serta secara bersamaan dapat dilakukan
embolisasi atau infus vasopressin. Tindakan bedah dilakukan pada perdarahan
yang berat atau perdarahan berulang.

TERAPI NUTRISI
Kepentingan untuk mempertahankan nutrisi adekuat pada pasien yang kritis
tidak dapat terlalu ditekan. Malnutrisi berat menyebabkan disfungsi organ
yang luas dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perioperatif.
Pemenuhan nutrisi dapat meningkatkan penyembuhan luka, mengembalikan
kemampuan imun, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien-
pasien dalam keadaan kritis.

Gambaran Umum Mengenai Nutrisi


Mempertahankan massa tubuh yang normal, komposisi, struktur, dan fungsi
membutuhkan asupan air, sumber energi, dan nutrien spesifik secara periodik.
Nutrien yang tak dapat disintesis dari nutrien lain disebut ”esensial”.
Sebenarnya, relatif sedikit nutrien esensial yang dibutuhkan untuk membentuk
ribuan senyawa yang menysusn tubuh. Nutrien esensial yang diketahui
termasuk di antaranya 8-10 asam amino, 2 asam lmak, 13 vitamin, dan sekitar
16 mineral.
Energi, normalnya dihasilkan dari karbohidrat, lemak, dan protein endogen
atau dari diet. Pemecahan tiga substrat ini menghasilkan ATP yang diperlukan
untuk menjalankan fungsi seluler yang normal. Lemak dan karbohidrat yang
berasal dari diet secara normal menyediakan sebagian besar kebutuhan energi
tubuh. Protein yang berasal dari diet menyediakan asam amino untuk sintesis
protein; bagaimanapun juga, jika persediaannya melebihi kebutuhan akan
asam amino esensial dan non-esensial, protein juga berfungsi sebagai sumber
energi. Jalur metabolik dari karbohidrat, lemak, dan protein sebagai substrat
saling tumpang tindih sehingga beberapa jalur dapat saling berhubungan
melalui senyawa intermediat (lihat gambar 34-30. Kelebihan asam amino
dapat diubah menjadi karbohidrat atau prekursor asam lemak. Kelebihan
karbohidrat disimpan sebagai glikogen di dalam hati dan otot. Saat simpanan
glikogen tersaturasi (200-400 g pada orang dewasa), kelebihan karbohidrat
diubah menjadi asam lemak yang disimpan sebagai trigliserid terutama pada
sel-sel lemak.

Kebutuhan Energi Normal


Kebutuhan energi total sangat bervariasi dan tergantung oleh laju metabolisme
basal (Basal Metabolic Rate=BMR), aksi dinamis spesifik (energi yang
dibutuhkan untuk mencerna makanan), dan tingkat aktivitas orang tersebut.
BMR adalah pemakaian energi yang diukur pada pagi hari segera setelah
bangun tidur, 12 jam setelah makan terakhir, dan pada kondisi suhu yang
netral. Secara klinis, pemakaian energi basal (Basal energy expenditure=BEE)
dalam kilokalori dapat dihitung menggunakan persamaan Harris-Benedict,
menggunakan berat dalam kilogram, tinggi dalam sentimeter, dan usia dalam
tahun:
BEE pria = 66 + (13,7 x berat[kg]) + (5 x tinggi[cm]) – (6,8 x usia)
BEE wanita = 655 + (9,6 x berat[kg]) + (1,8 x tinggi[cm]) – (4,7 x usia)
BEE meningkat akibat temperatur (13% tiap 0C) dan tingkatan beban yang
harus ditanggung. (lihat selanjutnya)

Penggunaan Substrat yang Spesifik Sesuai Organ


Kemampuan untuk menyimpan glikogen dan trigliserida, jalur enzimatik, dan
mekanisme transpor yang bervariasi membuat penggunaan substrat berbeda
tiap organ. Neuron, sel darah merah, dan sel-sel pada medula ginjal normalnya
hanya menggunakan glukosa. Hati, jantung, otot skeletal, dan korteks ginjal
biasanya menggunakan metabolisme asam lemak untuk menghasilkan energi.

Kelaparan
Proses fisiologis dari kondisi kelaparan adalah kandungan protein dari
jaringan tubuh yang esensial atau penting sangat sedikit. Karena kadar glukosa
darah mulai menurun pada saat puasa, sekresi insulin berkurang, sedangkan
glukagon meningkat. Glikogenolisis dan glukoneogenesis meningkat, terutama
pada hepar serta juga sebagian kecil pada ginjal. Karena persediaan glikogen
akan habis dalam waktu 24 jam, glukoneogenesis selanjutnya akan sangat
meningkat. Hepar terutama menggunakan asam amino yang terdeaminasi
(alanin dan glutamin) sebagai prekursor sdalam sintesis glukosa. Hanya
jaringan saraf, medula ginjal, dan eritrosit yang terus menggunakan glukosa
akibat efek hilangnya protein jaringan. Lipolisis pada jaringan lemak
meningkat, sehingga lemak menjadi sumber energi utama. Gliserol dari
trigliserid memasuki jalur glikolisis dan asam lemak dipecah menjadi asetil
koenzim A (CoA). Asetil-CoA yang berlebihan menghasilkan terbentuknya
badan keton (ketosis). Beberapa asam lemak dapat masuk ke jalur
glukoneogenesis. Jika kelaparan bertambah lama, otak, ginjal, dan otot juga
mulai menggunakan badan keton secara efisien.

Nutrisi pada Kondisi Kritis


Kondisi kritis perioperatif biasanya ditandai dengan kerusakan jaringan,
respon stress neuroendokrin, dan cachexia. Respon terhadap kerusakan
jaringan antara lain peningkatan sekresi katekolamin, kortisol, glukagon,
tiroksin, angiotensin, aldosteron, hormon pertumbuhan, ACTH, hormon
antidiuretik, dan thyroid stimulating hormone. Sekresi insulin pada saat-saat
paling awal akan menurun namun kemudian meningkat perlahan akibat
peningkatan hormon pertumbuhan.
Katekolamin, glukagon, dan mungkin hormon pertumbuhan memacu
glikogenolisis, sedangkan glukagon dan mugkin juga kortisol menginduksi
glukoneogenesis. Hiperglikemia adalah suatu karakteristik dan
menggambarkan peningkatan produksi glukosa dari hepar yang sebanding
dengan penurunan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer. Selain itu,
penurunan toleransi terhadap beban glukosa terjadi, kemungkinan akibat
penurunan sekresi insulin dan resistensi perifer terhadap kerja insulin. Kedua
efek ini kemungkinan terjadi akibat peningkatan sekresi katekolamin, yang
juga mamacu lipolisis. Baik sintesis protein maupun pemecahannya akan
meningkat, namun pemecahannya lebih besar dari pembentukannya, sehingga
protein jaringan akan berkurang. Salama sepsis, penggunaan karbohidrat dan
lemak oleh otot terganggu, menghasilkan peningkatan pemecahan protein.
Lebih jauh lagi, sel nampaknya akan lebih bergantung pada asam amino
bercabang. Kadar glutamin dalam sirkulasi menurun. Glutamin adalah asam
amino bebas di dalam tubuh yang paling banyak. Glutamin adalah senyawa
intermediat yang penting pada banyak jalur metabolisme. Selain itu, sel-sel
yang berproliferasi secara cepat, seperti pada sistem imun dan saluran cerna,
menggunakan asam amino sebagai sumber energi.
Pemberian glukosa selama penyakit yang akut gagal menekan pemecahan
protein. Pemberian kalori dan protein yang adekuat dapat menurunkan namun
tidak mencegah katabolisme protein pada pasien dengan faktor stress seperti
ini.

Penilaian Nutrisi Pasien


Evaluasi status nutrisional adalah sentral dari terapi nutrisi pada pasien dengan
kondisi kritis. Dengan penilaian subyektif secara global, klinisi memeriksa
riwayat untuk mendeteksi penurunan berat badan, kebiasaan makan, dan
gejala hipoproeinemia (edema) dan memeriksa pasien untuk menemukan
hilangnya massa otot skeletal atau simpanan lemak, edema, atau ikterus.
Pasien kemudian dilasifikasikan menjadi pasien dengan kondisi nutrisi yang
normal, malnutrisi ringan atau berat. Cara lain, yaitu pengukuran
antropometri, tes hipersensitivitas kulit, dan pemeriksaan laboratorium dapat
digunakan untuk menentukan derajat malnutrisi dari pasien. Pasien
membutuhkan penilaian yang tepat termasuk pasien dengan berat badan
kurang dari 80% berat badan ideal atau berat badah berkurang lebih dari 10%
dalam 6 bulan terakhir, pasien dengan kadar albumin serum <3 g/dL atau
transferin serum <150 mg/dL, pasien dengan keadaan anergi pada kulit, dan
pasien dengan jumlah limfosit total yang rendah (1200 sel/µL).
Perbandingan antara berat badan dengan kriteria berat badan ideal dan
pengukuran lipatan kulit biasanya dilakukan untuk mengetaui simpanan lemak
tubuh. Pengukuran lingkar lengan atas dan ekskresi kreatinin dalam urin
terhadap indeks tinggi badan menggambarkan massa protein otot skeletal.
Pengukuran kadar albumin dan serum biasanya menggambarkan kemampuan
dalam mensintesis protein, walaupun albumin serum adalah penanda yang
lebih baik untuk menetahui derajat keparahan penyakit. Prealbumin, karena
waktu paruhnya yang lebih pendek, maka dimonitor untuk mencoba
membantu penilaian kecukupan anabolisme.

Menghitung Kebutuhan Energi


Kebutuhan kalori biasanya didapat dari rata-rata perhitungan persamaan
Harris-Benedict (lihat atas). Beberapa klinisi mengalikan BMR dengan faktor
stres menurut derajat kerusakan jaringan dan keparahan sakit:

Faktor stres = 1-1,25 untuk kelaparan ringan


= 1,25-1,5 untuk sakit sedang sampai berat
= 1,5-1,75 untuk sakit berat

Namun, sebagian besar ahli gizi memberikan pasien sakit kritis hanya 20-30
kkal/kg per hari karena pasien sakit kritis memiliki metabolisme seluler yang
terganggu—glukosa dan asam lemak tidak dioksidasi secara komplit. Sebagai
gantinya, senyawa antara (intermediate) metabolik diangkut dari sel kembali
ke hati dimana zat-zat tersebut didaur ulang (siklus zat), meningkatkan
kecepatan metabolisme lebih lagi.

Menghitung Pengeluaran Energi


Pengeluaran energi istirahat (resting energy expenditure/REE) [tidak
sesungguhnya basal karena pasien dalam keadaan ’stres’] dapat dihitung
menggunakan kalorimetri tidak langsung. Teknik ini bergantung pada
pengukuran konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida, menurut rumus
berikut ini:

REE = (3,94 x VO2) + (1,11 x VCO2)


Perhitungan ini tidak akurat selama glukoneogenesis dan lipogenesis.
Respiratory quotient (RQ), VO2/VCO2 , dapat mengindikasikan bahan bakar
primer yang digunakan: RQ sebesar 1 menunjukkan penggunaan glukosa;
hasil bagi (quotient) sebesar 0,7 menunjukkan oksidasi lemak. Nilai lebih dari
1 menunjukkan lipogenesis.

Menghitung Kebutuhan Protein


Kontras dengan pasien tanpa faktor stres, yang mana membutuhkan sekitar 0,5
g/kg/hari protein, pasien sakit kritis umumnya memerlukan 1,0-1,5 g/kg/hari.
Meningkatnya asupan protein hingga > 1,5 g/kg/hari meningkatkan
anabolisme dan katabolisme seperti yang disebut sebelumnya tidak ada
peningkatan pada balans protein netto.

NUTRISI ENTERAL
Saluran gastrointestinal merupakan rute pilihan untuk bantuan nutrisi saat
kesatuan fungsionalnya intak. Pemberian makan secara enteral dapat
digunakan untuk memberi nutrisi lengkap atau tambahan. Nutrisi lengkap
bersifat lebih sederhana, lebih murah, lebih tidak ribet, dan berhubungan
dengan komplikasi yang lebih sedikit daripada nutrisi parenteral. Selain itu,
nutrisi enteral tampak lebih baik dalam menjaga struktur dan fungsi GI
daripada rute parenteral; penelitian juga menyarankan bahwa nutrisi enteral
awal (1-3 hari) dapat mengurangi respon hipermetabolik sehingga
meningkatkan respon host terhadap infeksi.
Pemberian makan secara enteral kebanyakan diberikan sebagai infus kontinu
melalui nasogastric atau nasoduodenal tube berdiameter kecil, gastrostomi,
atau feeding jejunostomy tube. Terapi biasanya dimulai pada kecepatan 25
mL/hari dan ditingkatkan perlahan setelah pemberian beberapa hari sampai
sasaran kalori dan protein yang diinginkan tercapai. Kebanyakan formula
enteral mengandung campuran polimerik dari protein, lemak dan karbohidrat.
Tersedia berbagai macam preparat. Pemilihan berdasarkan pada osmolalitas
dan kandungan lemak. Beberapa formula tersusun dari formula dasar rendah
residu. Formula dasar diindikasikan pada pasien dengan sindrom usus pendek
(short bowel syndrome), fistula GI, dan inflammatory bowel disease dan
mereka yang telah NPO (nil per os) selama berminggu-minggu; formula
tersebut siap diserap dan memiliki residu rendah. Trigliserida rantai sedang
(medium-chain triglycerides/MCTs) tersusun dari 8-10 asam lemak rantai
karbon yang tidak memerlukan garam empedu atau enzim pankreas untuk
absorbsi; minyak MCT diindikasikan untuk pasien dengan insufisiensi
pankreas dan kolestasis.
Diare merupakan salah satu problem yang paling umum terjadi pada
pemberian makan secara enteral dan biasanya berhubungan, baik dengan
hiperosmolalitas larutan atau intoleransi laktosa. Distensi gaster merupakan
komplikasi lain yang meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi pulmonal;
duodenal atau jejunostomy tube seharusnya mengurangi kejadian ini. Distensi
abdomen progresif atau volume residu gaster yang besar merupakan indikasi
ileus dan secepatnya harus dilakukan penghentian pemberian makan secara
enteral.

NUTRISI PARENTERAL
Nutrisi parenteral total (total parenteral nutrition/TPN) diindikasikan apabila
saluran GI tidak dapat digunakan atau bila absorbsi tidak adekuat. Formula
TPN menggunakan larutan hiperosmolar terdiri dari asam amino, glukosa, dan
lemak yang dicampur menjadi satu. Sifat dasar hipertonik dari larutan ini
memerlukan akses vena sentral. Elektrolit, mineral, dan preparat multivitamin
ditambahkan. Larutan glukosa parenteral memberikan hanya 3,4 kkal/g
(dibandingkan dengan 4 kkal/g untuk karbohidrat kering) karena konsentrasi
glukosa larutan tersebut terdapat dalam bentuk monohidrat. Lemak diberikan
dalam bentuk emulsi lemak yang dapat di-infus secara terpisah apabila tidak
dicampur dengan larutan glukosa-asam amino. Emulsi lemak tersedia baik
dalam 10% (1,1 kkal/mL) atau 20% (2 kkal/mL). Kegagalan untuk
memberikan lemak setidaknya satu kali seminggu dapat mengakibatkan
defisiensi asam lemak essensial, yang mana bermanifestasi sebagai dermatitis,
alopecia, hepatomegali (fatty liver), dan defek imunitas. Untuk meng-infus
jumlah kalori yang adekuat pada volume yang sedikit, lemak seringkali
diberikan setiap hari.
Tabel 49—16. Komplikasi total parenteral nutrition.

Berkaitan kateter
Pneumothorax
Hemothorax
Kilothorax
Hidrothorax
Emboli udara
Tamponade jantung
Thrombosis
Vena subclavia
Vena cava
Thromboemboli pulmo
Sepsis kateter
Metabolik
Azotemia
Disfungsi hepatik
Kolestasis
Hiperglikemi
Koma hiperosmolar
Ketoasidosis diabetik
Produksi CO2 berlebih
Hipoglikemi (akibat interupsi infus)
Asidosis atau alkalosis metabolik
Hipernatremi
Hiperkalemi
Hipokalemi
Hipokalsemi
Hipofosfatemi
Hiperlipidemi
Pankreatitis
Sindrom emboli lemak
Anemia
Besi
Folat
B12
? Tembaga
Defisiensi vitamin D
Defisiensi vitamin K
Defisiensi asam lemak essensial
Hipervitaminosis A
Hipervitaminosis D

Jumlah asam amino yang diberikan ditentukan oleh perkiraan kebutuhan


protein (lihat atas). Kalori lemak umumnya harus dihitung sebesar 30-40%
dari kebutuhan kalori yang diinginkan. Mengandalkan glukosa secara
berlebihan mengeksaserbasi masalah-masalah dengan hiperglikemi dan
meningkatkan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 dapat menjadi suatu
masalah dalam menghentikan pemakaian ventilator mekanik pada pasien
dengan cadangan udara pulmonal yang menurun. Komplikasi TPN adalah
berhubungan dengan metabolik atau akses vena sentral (Tabel 49—16).
Pemberian makan berlebihan (overfeeding) dengan jumlah glukosa berlebih
dapat meningkatkan kebutuhan energi dan produksi karbon dioksida;
respiratory quotient dapat melebihi 1 karena lipogenesis. Memberi makan
berlebihan dapat membawa kepada jaundice kolestatik reversibel. Peningkatan
ringan transaminase dan alkali fosfatase serum dapat menunjukkan infiltrasi
lemak di hepar yang diakibatkan oleh pemberian makan berlebihan.
TPN dapat dimodifikasi untuk pasien dengan gangguan hepatik atau renal
yang signifikan. Mengubah beban asam amino dapat menguntungkan pada
pasien dengan encephalopati hepatik. Konsentrasi asam amino plasma
cenderung untuk berubah pada pasien ini: fenilalanin dan methionin biasanya
meningkat, sebaliknya asam amino rantai bercabang (leusin, isoleusin, dan
valin) berkurang. Formulasi asam amino untuk pasien dengan penyakit hati
(HepatAmine) oleh karena itu kaya akan asam amino rantai bercabang tetapi
rendah akan asam amino aromatik. Pasien dengan encephalopati hepatik dapat
dicobakan HepatAmine, yang mana dilanjutkan bila terdapat peningkatan
status mental.
Kandungan protein tidak lagi dikurangi pada pasien dengan ARF. Dengan
ketersediaan CRRT, lebih baik untuk memberi makan pasien ini protein
dengan jumlah adekuat (1,0-1,5 g protein/kg/hari). Total volume TPN, balans
asam-basa, dan kandungan potasium harus diubah berdasarkan penilaian
pasien.

Pengawasan Pasien pada TPN


Inisiasi TPN memerlukan pengawasan metabolik ketat. Masalah paling sering
adalah hiperglikemi. Peningkatan bertahap kecepatan infus menurunkan
derajat hiperglikemi dan memberikan waktu yang cukup untuk peningkatan
sekresi insulin endogen. Pasien dengan faktor stres seringkali memerlukan
tambahan insulin terhadap larutan TPN. Penghentian TPN tiba-tiba dapat
menyebabkan hipoglikemi akibat kadar insulin yang bersirkulasi tinggi, tetapi
ini bukan masalah yang sering terjadi apabila pasien tidak diberi makan
berlebihan; pada kasus ini, 10% glukosa dapat digantikan sementara dengan
TPN dan secara bertahap dikurangi. Pengukuran glukosa serum umumnya
diukur setiap 4 jam sampai kadarnya stabil. Pengukuran lain (elektrolit, BUN,
kreatinin serum) dilakukan setiap hari. Konsentrasi kalsium, fosfat, dan
magnesium dan tes hati (termasuk prealbumin) dapat dicek tiap minggu.
Hitung sel darah lengkap (termasuk hitung jenis) sebaiknya juga diawasi.
Klirens lemak dapat dicek dengan mengukur kadar trigliserida serum apabila
tidak ada kejadian lipemia atau khawatir dengan pankreatitis atau bila pasien
memiliki riwayat memiliki konsentrasi lipoprotein abnormal. Studi balans
nitrogen 24 jam kadang digunakan pada pengecekan keberhasilan bantuan
nutrisi:

Balans nitrogen = input – output


Nitrogen output = (UNN x 1,2 x volume urine) + 2 g
Dimana UUN = urinary urea nitrogen concentration/konsentrasi nitrogen urea
urine (g/L). Dua gram pada rumus di atas mewakili kehilangan nitrogen fekal
dan integumen. UUN dikalikan dengan 1,2, sebab nitrogen urea hanya
mewakili 80% kehilangan nitrogen. Idealnya, TPN harus menghasilkan balans
nitrogen positif, tetapi hal ini jarang, apabila pernah, didapatkan pada pasien
yang sakit kritis.
Manajemen Anestesi pada Pasien yang Mendapat TPN
Pasien yang mendapat TPN seringkali memerlukan prosedur bedah. Mereka
memerlukan evaluasi preoperatif yang teliti karena banyaknya komplikasi
potensial yang dapat dihubungkan dengan TPN (Tabel 49—6). Abnormalitas
metabolik relatif umum terjadi dan umumnya harus dikoreksi preoperatif.
Hipofosfatemi merupakan komplikasi serius dan seringkali tidak diketahui
yang dapat berperan terhadap terjadinya kelemahan otot dan gagal napas.
Saat infus TPN secara tiba-tiba dihentikan atau dikurangi saat perioperatif,
hipoglikemi dapat terjadi. Pengukuran konsentrasi glukosa darah secara
berkala oleh karena itu diperlukan pada kejadian seperti ini selama anestesi
umum. Di lain pihak, apabila larutan TPN dilanjutkan tidak diubah,
hiperglikemi berlebih yang menyebabkan koma nonketotik hiperosmolar atau
ketoasidosis (pada pasien diabetes) dapat terjadi. Respon stres neuroendokrin
terhadap bedah kadangkala memperburuk intoleransi glukosa. Beberapa klinisi
secara rutin mengurangi kecepatan infus TPN, sebaliknya yang lain
menggantinya dengan 10% larutan glukosa; namun, dengan praktek sekarang
yang tidak memberi makan berlebih pasien, seringkali aman untuk
menghentikan TPN sama sekali. Tanpa melihat apakah infus TPN dilanjutkan,
dikurangi, digantikan dengan 10% dextrose, atau dihentikan, terapi
selanjutnya sebaiknya berdasarkan pengukuran glukosa darah. Konsentrasi
glukosa darah sebaiknya dijaga antara 100 sampai 150 mg/dL. Yang terakhir,
untuk mengurangi kemungkinan sepsis kateter, keutuhan sistem kateter infus
TPN umumnya tidak boleh dirusak oleh injeksi obat. Infus terpisah sebaiknya
digunakan untuk injeksi preparat anestesi dan pemberian cairan dan darah
perioperatif lain.

NUTRISI PARENTERAL PERIFER


Saat larutan asam amino 3-4% ditambahkan ke larutan dextrosa 5-10%,
larutan hasilnya masih hipertonik tapi umumnya dapat diinfuskan melalui
vena perifer tanpa iritasi. Infus simultan emulsi lemak 1% melalui kateter
intravena yang sama mengurangi konsentrasi dan memberikan kalori
tambahan. Pembatasan volume membatasi intake kalori pada nutrisi parenteral
perifer hingga maksimal 800-1200 kkal/hari, yang mana hasilnya memuaskan
bagi mayoritas pasien.

DISKUSI KASUS: WANITA MUDA DENGAN KESADARAN KABUR


Seorang wanita 23 tahun dibawa ke rumah sakit dengan kesadaran kabur dan
irasi lambat (7 kali napas/menit). tekanan darah 90/60 mmhg dan nadi 90
kali/menit. Ia ditemukan di rumah di atas tempat tidur dengan botol-botol
kosong diazepam, acetaminophen dengan kodein, dan fluoxetin berada di
sampingnya.

Bagaimana diagnosis overdosis obat ditegakkan?


Diagnosis sangkaan overdosis obat biasanya harus ditegakkan dari riwayat,
keadaan saat kejadian, dan setiap saksi. Tanda dan gejala dapat tidak
membantu. Konfirmasi suspek overdosis obat atau minum racun biasanya
memerlukan tes laboratorium untuk zat yang dicurigai terdapat di cairan
tubuh. Overdosis yang disengaja (meracuni diri sendiri) merupakan
mekanisme yang paling sering terjadi dan tipikal terjadi pada dewasa muda
yang depresi. Menelan berbagai macam obat merupakan hal yang umum.
Benzodiazepin, anti-depresan, aspirin, acetaminophen, dan alkohol merupakan
obat yang paling umum diminum.
Overdosis tidak sengaja kadangkala terjadi pada penyalah guna obat intravena.
Umumnya bahan yang disalahgunakan meliputi opioid, stimulan (kokain dan
amphetamine), dan halusinogen (phencylcidine [PCP]). Anak yang lebih muda
kadangkala secara tidak sengaja menelan bahan pembersih rumah tangga yang
bersifat alkali (contohnya pembersih saluran), asam, dan hidrokarbon
(contohnya produk petroleum). Keracunan organofosfat (parathion dan
malathion) biasanya terjadi pada orang dewasa setelah pemaparan agrikultural.
Overdosis dan keracunan lebih jarang terjadi sebagai percobaan pembunuhan.

Langkah-langkah apa yang tepat dalam menangani pasien ini?


Tanpa melihat tipe obat atau racun yang diminum, prinsip perawatan suportif
awal adalah sama. Jalan napas bebas dan ventilasi adekuat dan oksigenasi
harus dicapai. Kecuali diindikasikan lain, terapi oksigen (100%) mungkin
sebaiknya dilakukan. Hipoventilasi dan refleks jalan napas menurun
memerlukan intubasi trakea dan ventilasi mekanik. Banyak klinisi secara rutin
memberikan nalokson (hingga 2 mg), dextrose 5% (50 mL), dan thiamin (100
mg) secara intravena kepada semua pasien dengan kesadaran kabur/menurun
atau koma hingga diagnosis ditegakkan; hal ini mungkin membantu
mengeksklusi atau menangani overdosis opioid, hipoglikemi, dan sindrom
Wernicke-Korsakoff. Pemberian dextrose dapat dihilangkan apabila glukosa
darah dapat diketahui kadarnya dengan fingerstick. Pada kasus ini, intubasi
harus dilakukan sebelum nalokson karena depresi respirasi sepertinya
disebabkan karena kodein dan diazepam.
Spesimen darah, urin, dan cairan gaster sebaiknya diambil dan dikirim untuk
skrining obat. Darah juga dikirim untuk pemeriksaan hematologi rutin dan
biokimia (termasuk fungsi hati). Urine biasanya diambil dari kateterisasi
kandung kemih, dan cairan lambung dapat diaspirasi dari nasogastric tube dan
harus dilakukan setelah intubasi untuk menghindari aspirasi pulmonal.
Sebagai alternatif, materi muntah dapat diperiksa untuk kandungan obat pada
pasien yang sadar.
Hipotensi umumnya harus ditangani dengan cairan intravena kecuali pasien
tampak mengalami oedem pulmo; inotrop mungkin diperlukan pada beberapa
kejadian. Aktivitas kejang dapat terjadi akibat hipoksia atau aksi farmakologis
suatu obat (antidepresan trisiklik) atau racun. Aktivitas kejang tampaknya
tidak terjadi pada pasien ini karena ia meminum diazepam, antikonvulsan
yang umum digunakan.

Perlukah flumazenil diberikan?


Flumazenil umumnya tidak diberikan pada pasien yang overdosis
benzodiazepin maupun antidepresan dan mereka yang memiliki riwayat
kejang. Kebalikan aksi antikonvulsan benzodiazepin dapat menimbulkan
aktivitas kejang pada beberapa kejadian. Selain itu, karena merupakan kasus
dengan nalokson dan opioid, waktu paruh flumazenil lebih rendah
dibandingkan benzodiazepin. Walaupun begitu, lebih sering dipilih untuk
melakukan ventilasi pasien hingga efek benzodiazepin menghilang, pasien
mendapatkan kesadarannya kembali, dan depresi pernapasan telah
tertanggulangi.
Perlukah antidot lain diberikan?
Karena pasien juga meminum acetaminophen yang tidak diketahui
kuantitasnya (paracetamol), pemberian N-asetilcystein (NAC; Mucomyst)
perlu dipertimbangkan. Toksisitas acetaminophen adalah karena deplesi
glutathion hepatik, mengakibatkan akumulasi zat antara (intermediate)
metabolik toksik. Toksisitas hepatik biasanya dihubungkan dengan ingesti
lebih dari 140 mg/kg acetaminophen. NAC mencegah kerusakan hepatik
dengan beraksi sebagai donor sulfihidril dan mengembalikan kadar glutathion
hepatik. Apabila pasien dicurigai menelan asetominophen sejumlah dosis
toksik, NAC dosis awal (140 mg/kg secara oral atau nasogastric tube) perlu
diberikan bahkan sebelum kadar plasma acetaminophen tercapai; dosis
tambahan diberikan sesuai kadar plasma yang diukur. Apabila pasien tidak
bisa menoleransi pemberian NAC secara oral atau gastrik, apabila pasien
sedang hamil, atau apabila resiko hepatotoksisitas tinggi, NAC harus diberikan
secara intravena.
Tindakan apa yang dapat membatasi toksisitas obat?
Toksisitas dapat dikurangi dengan menurunkan absorbsi atau meningkatkan
eliminasi obat. Absorbsi GI terhadap bahan yang diingesti dapat dikurangi
dengan mengosongkan isi lambung dan memberikan karbon aktif. Kedua
metode tersebut efektif sampai 12 jam setelah ingesti. Apabila pasien
diintubasi, lambung diirigasi dengan hati-hati untuk menghindari aspirasi
pulmonal. Muntah dapat dirangsang pada pasien sadar dengan sirup ipecac 30
mL (15 mL pada anak-anak). Irigasi lambung dan merangsang muntah
umumnya dikontraindikasikan untuk pasien yang menelan bahan-bahan
berbahaya atau hidrokarbon karena resiko tinggi aspirasi dan memperburuk
luka di mukosa.
Karbon aktif 1-2 g/kg diberikan secara oral atau dengan nasogastric tube
dengan diluent. Karbon secara ireversibel mengikat hampir semua obat dan
racun di usus, membuat obat dan racun tersebut dapat tereliminasi di feses.
Faktanya, karbon dapat menyebabkan gradien difusi negatif antara usus dan
sirkulasi, membuat obat atau racun secara efektif tersingkir dari tubuh.
Alkalinisasi serum dengan bikarbonat sodium untuk overdosis antidepresan
trisiklik menguntungkan karena, dengan meningkatkan pH, pengikatan protein
ditingkatkan; sodium menurunkan inhibisi saluran sodium, dan apabila kejang
terjadi alkalinisasi mencegah kardiotoksisitas diinduksi asidosis.

Metode lain apa yang dapat meningkatkan eliminasi obat?


Metode termudah untuk meningkatkan eliminasi obat adalah diuresis yang
dibuat. Sayangnya, metode ini terbatas penggunaannya untuk obat yang ikatan
proteinnya tinggi atau memiliki volume distribusi besar. Mannitol atau
furosemide dengan saline dapat digunakan. Pemberian bersama alkali (sodium
bikarbonat) meningkatkan secara lemah eliminasi obat bersifat asam seperti
salisilat dan barbiturat; alkalisasi urine membuat bentuk terionisasi obat
tersebut terperangkap di tubulus renal dan meningkatkan eliminasi lewat urine.
Hemodialisis umumnya memiliki peran terbatas pada tipe ini;

Anda mungkin juga menyukai