DEFINISI
Henti jantung: adalah suatu kondisi di mana terjadi kegagalan jantung secara
mendadak untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat. Hal ini dapat disebabkan oleh
fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless electrical activity (PEA). Untuk memperoleh RJP yang
efektif, resusitasi harus dimulai sesegera mungkin (< 3 menit setelah kejadian henti jantung).
Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil dilatasi
maksimal; hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidak perlu dilakukan tindakan resusitasi.
Resusitasi Jantung-Paru (RJP): didefinisikan sebagai suatu sarana dalam
memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti napas atau
henti jantung. RJP diindikasikan untuk: pasien yang tidak sadar, tidak bernapas, dan yang
tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi; dan tidak tertulis instruksi DNR di rekam
medisnya.
Tindakan Do Not Resuscitate (DNR): adalah suatu tindakan di mana jika pasien
mengalami henti jantung dan atau napas, paramedis tidak akan dipanggil dan tidak akan
dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut.
Jika pasien mengalami henti jantung dan atau napas, lakukan asesmen segera untuk
mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, patensi jalan napas, dan
sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun lanjut.
DNR tidak berartisemuatatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi pasien
diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena, pemberian
obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR.
Semua perawatan mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali.
Fase / kondisi terminal penyakit:adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera atau
penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis lainnya tidak dapat disembuhkan
dan bersifat ireversibel, dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian dalam rentang waktu
yang singkat, dan di mana pengaplikasian terapi untuk memperpanjang / mempertahankan
hidup hanya akan berefek dalam memperlama proses penderitaan/ sekarat pasien.
Pelayanan paliatif: adalah pemberian dukungan emosional dan fisik untuk
mengurangi nyeri / penderitaan pasien. Hal ini termasuk: pemberian nutrisi, hidrasi, dan
kenyamanan, kecuali terdapat instruksi spesifik untuk menunda pemberian nutrisi / hidrasi.
1
BAB II
RUANG LINGKUP
RJP merupakan suatu prosedur emergensi dan di rumah sakit biasanya telah
dibentuk tim khusus yang terlatih dan berpengalaman dalam melakukan RJP.
Menurut statistik, tindakan RJP dilakukan sebanyak 1/3 dari 2 miliar kematian pasien
yang terjadi di rumah sakit Amerika Serikat setiap tahunnya. Proporsi dari tindakan RJP ini
dianggap berhasil dalam merestorasi fungsi kardiopulmoner pasien.
Dari pasien-pasien yang dilakukan RJP, sebanyak 1/3-nya berhasil, dan 1/3 dari
pasien-pasien yang berhasil ini dapat bertahan hingga pulang dari rumah sakit.Tingkat
keberhasilan RJP bergantung pada sifat dan derajat penyakit pasien. Pada suatu studi di
Rumah Sakit Boston, pasien dengan kanker lanjut yang telah bermetastasis tidak ada yang
dapat bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit. Diantara pasien gagal ginjal, hanya 2%
yang bertahan hidup sampai pulang dari rumah sakit.
Biasanya pada pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial tetapi meninggal
sebelum pulang dari rumah sakit, hampir selalu dirawat di Ruang Rawat Intensif. Pada suatu
studi lainnya menyatakan bahwa sekitar 11% pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial akan
mengalami RJP ulang minimal 1 kali selama masa perawatan di rumah sakit.Biasanya pasien
RJP yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari rumah sakit tidak mengalami gangguan /
disfungsi yang berat.
Suatu studi menyatakan bahwa 93% dari pasien-pasien ini memiliki orientasi yang
baik saat dipulangkan dari rumah sakit. Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan RJP;
beberapa diantaranya berhasil mengalami pemulihan sempurna, beberapa pulih tetapi
memiliki masalah kesehatan dan tidak pernah kembali ke level normal sebelum terjadi henti
jantung / napas, beberapa mengalami kerusakan / cedera otak atau koma, dan beberapa
lainnya jatuh kembali ke dalam kondisi henti jantung / napas sehingga harus dilakukan RJP
ulang.
2
Penting untuk mengidentifikasi pasien di mana terjadinya henti napas dan jantung
menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan di mana usaha RJP tidak akan
membuahkan hasil (sia-sia).
Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa kebijakan ini
harus dipatuhi dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan profesional di tingkat primer, rumah
sakit, dan petugas / tim transfer intra- dan antar-rumah sakit.
Hak pasien untuk menolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin dikarenakan pasien
berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan memperpanjang kualitas
hidup yang buruk.
Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan atau
pembatalan pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotik, nutrisi parenteral, dan
sebagainya.
3
BAB III
TATA LAKSANA
TANGGUNG JAWAB
1. Direktur : bertanggungjawab untuk memastikan implementasi Kebijakan Do Not
Resuscitate (DNR). Fungsi ini didelegasikan kepada Manajer Pelayanan Medis
2. Manajer Pelayanan Medis: memastikan setiap staf / petugas mengetahui dan
mematuhi kebijakan ini, serta memastikan dilakukannya audit kebijakan DNR.
3. Staf / Petugas Rumah Sakit: semua staf yang terlibat dalam pengambilan keputusan
tindakan DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan kebijakan ini.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama proses ini berlangsung harus
dilaporkan pada berkas / formulir insidens sesuai dengan algoritma yang berlaku.
PRINSIP
Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah dibuat
keputusan secara lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi (DNR). Keputusan
tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien. Komunikasi yang baik sangatlah
penting.
Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti napas /
jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan jika hal ini terjadi. Pasien
harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan penyakit pasien,
prosedur RJP dan hasil yang mungkin terjadi.
Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan / dokter
umum yang bertanggungjawab atas pasien.1Jika terdapat keraguan dalam mengambil
keputusan, dapat meminta saran dari dokter senior.
4
mengenai pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP. Terdapat perintah
DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan alasan kuat.
Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal penyakitnya / sekarat, di mana
tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal / kodisi sekarat pasien dan tidak memberikan
keuntungan terapetik (risiko / bahayanya melebihi keuntungannya). Contoh: henti jantung /
napas yang dialami pasien merupakan kejadian alamiah akibat penyakit terminal yang diderita.
Pada kasus ini, RJP mungkin dapat mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara
sementara tetapi kondisi keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung / napas akan
terjadi kembali, yang merupakan bagian dari proses alamiah dan tidak dapat terhindarkan dari
proses sekarat /kematian pasien.
Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan / merugikan pasien dan
bertolak belakang dengan etika kedokteran. Semua pasien harus menjalani asesmen secara
personal. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien dan
harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara etika untuk
mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani perawatan paliatif (di mana usaha
RJP adalah sia-sia).
Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan tergantung
dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi dapat dilakukan oleh konsultan
rumah sakit, dokter umum, atau perawat yang bertugas. Staf harus memberitahukan hasil
diskusi mereka dengan pasien kepada dokter penanggungjawab pasien.
Jika, pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan pasien
mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien (yang kompeten secara
mental). Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam medis
pasien.
Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi DNR,
misalnya: keganasan fase terminal. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis
minoritas di mana terdapat kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah
yang kompeten.
5
DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan tatalaksana pasien
lainnya tetap dilakukan dengan optimal.
Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian / penderitaan yang
dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi keuntungan dilakukannya terapi.
2. Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk mengambil
keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
3. RJP bertentangan dengan keputusan dini /awal yang dibuat oleh pasien, yang bersifat valid
dan matang, mengenai penolakan semua tindakan untuk mempertahankan hidup pasien.
Berikut adalah beberapa kondisi di mana tidak perlu dilakukan diskusi dengan pasien:
Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya / sia-sia. Diskusi berpengaruh buruk
terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien menjadi depresi. Pasien yang kompeten secara
mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin mendiskusikan hal tersebut.
Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase sekarat / terminal
dari penyakitnya. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil
keputusan.
Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan tindakan
penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratandi bawah ini:
Usia pasien harus > 18 tahun Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik
secara mental untuk mengambil keputusan
6
Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau
keluarga / kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di rekam
medis.
Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:
penulis / pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien
sambil diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu
menandatanganinya sendiri)
1 orang lain sebagai saksi
Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat
keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain / terpisah, yang menyatakan
bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifik,
bahkan jika terdapat risiko kematian.
Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani
dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).
Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus atas izin
pasien.
Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan keluarga /
wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan pasien.Jika tidak
terdapat keluarga / wali yang sah, keputusan dapat diambil oleh dokter
penanggungjawab pasien.
Jika terdapat situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk mengambil
keputusan tetapi telah membuat ‘keputusan dini DNR’ sebelumnya yang valid,
keputusan ini haruslah tetap dihargai.
Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien, jika
terdapat hal-hal berikut ini:
Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan dini
/awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut
(misalnya, pasien pindah agama)
Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut dapat
mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini dalam
tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi tertentu
pasien).
Situasi / kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi
Terdapat perdebatan / perselisihan mengenai validitas keputusan dini / awal
dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.
7
Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan / maksudkan, paramedis
harus bertindak sesuai dengan kepentingan / hal yang terbaik untuk pasien. Dapat
meminta saran dari dokter senior juga.
Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya kerena mencari ada tidaknya
instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa instrusksi tersebut ada.
Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.
Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang nyaman dan
hangat, pengurang rasa sakit / analgesik, manajemen gejala-gejala yang memicu
stress fisik (seperti sesak napas, muntah, inkontinensia), dan manajemen higene /
kebersihan diri pasien.
Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas sebaiknya meminta
saran dari dokter senior, dan masalah ini dapat juga dibawa ke komisi etik.
Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil keputusan
DNR.
8
“Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa banyak
penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi sangat sakit.
Saya ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal ini.”
9
Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan dokter,
akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat kecemasan / stress
pasien juga.
Rekomendasi:
Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur
pembedahan harus dikonsultasikan kepada tim bedah dan anestesiologis.
Lakukan peninjauan ulang keputusan DNR oleh anestesiologis dan dokter
bedah dengan pasien, wali, keluarga, atau dokter penanggungjawab pasien
(jika diindikasikan) sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.
Tujuan peninjauan ulang ini adalah untuk memperoleh kesepakatan
mengenai penanganan apa saja yang akan boleh dilakukan selama prosedur
anestesi dan pembedahan.
Terdapat 3 pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR, yaitu:
Pilihan pertama: keputusan DNR dibatalkan selama menjalani
anestesi dan pembedahan, dan ditinjau ulang kembali saat pasien
keluar dari ruang pemulihan. Saat menjalani pembedahan dan
anestesi, lakukan RJP jika terdapat henti jantung / napas.
10
Manipulasi sementara dalam menjaga jalan napas dan
pernapasan dengan intubasi dan ventilasi, jika diperlukan;
dan dengan pemahaman bahwa pasien akan bernapas
secara spontan di akhir prosedur.
Penggunaan vasopressor atau obat anti-aritmia untuk
mengkoreksi stabilitas kardiovaskular yang berhubungan
dengan pemberian anestesi dan pembedahan.
Penggunaan kardioversi atau defibrillator untuk mengkoreksi aritmia harus
didiskusikan sebelumnya dengan pasien / wali sahnya. Lakukan juga diskusi mengenai
pemberian kompresi dada.
Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan).
Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai dengan
pemberian anestesi umum dalam pembedahan.
Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan minor
dengan tetap mempertahankan keputusan DNR-nya.
Anestesiologis harus berdiskusi dan membuat kesepakatan
dengan psien / wali sah mengenai intervensi apa saja yang
diperbolehkan, seperti: kanulasi intravena, pemberian cairan
intravena, sedasi, analgesik, monitor, obat vasopressor,
obat anti-aritmia, oksigenasi, atau intervensi lainnya.
Secara hukum, yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini adalah:
Pasien dewasa yang kompeten secara mental
Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)
Dokter penanggungjawab pasien, yang bertindak dengan
mempertimbangkan tindakan terbaik untuk pasien(jika belum ada
keputusan DNR dini / awal yang telah dibuat oleh pasien / wali
sahnya).
11
Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang
untuk membuat keputusan DNR, atau terdapat keraguan mengenai validitas
suatu keputusan DNR dini / awal, atau terdapat keraguan mengenai tindakan
apa yang terbaik untuk pasien; segeralah mencari saran kepada komisi etik
atau lembaga hukum setempat.
Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang
menurutnya terbaik untuk pasien dengan menggunakan semua informasi
yang tersedia.
Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di
kamar operasi dan ruang pemulihan.
Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang
rawat inap.
Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif pada
pasien dengan keputusan DNR adalah:
Alat bantu asupan nutrisi (misalnya: feeding tube)
Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan penyakit
kronis pasien (misalnya: apendisitis akut)
Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan edngan penyakit
kronis pasien tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses terminal
penyakitnya (misalnya: ileus obstruktif)
Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur kolum femur)
Prosedur untuk menyediakan akses vaskular.
Fase pre-operatif:
Lakukan diskusi antara pasien / wali sah, keluarga, anestesiologis, dokter
bedah, dokter penanggungjawab pasien, dan perawat.
Lakukan asesmen mengenai:
Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi
pasien
12
Intervensi pembedahan yang diperlukan
Riwayat keputusan DNR sebelumnya, termasuk:
Durasi / batas waktu berlakunya keputusan tersebut
Siapa yang bertanggungjawab menetapkan keputusan
tersebut
Alasan keputusan tersebut dibuat
Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasien ini
perlu menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangkan dari
sudut pandang pasien, keluarga, dokter bedah, dan anestesiologis).
Jika pembedahan dianggap perlu, tentukan batasan-batasan
tindakan resusitasi apa saja yang dapat dilakukan di fase peri-
operatif , lakukan komunikasi yang efektif, detail, dan terbuka
dengan pasien, keluarga, dan atau wali sah pasien.
Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di
rekam medis pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat,
dan cantumkan tanggal keputusan dibuat.
Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat
dan kondisi medis pasien memungkinkan untuk menjalani
pembedahan.
Fase intra-operatif
Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi.
Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk
menghindari terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum di-transfer
ke kamar operasi.
Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan
keputusan DNR yang diambil.
Dokter bedah dan anestesiologis yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif
harus hadir selama prosedur berlangsung.
Fase pasca-operatif
Pilihan keputusan DNR harus dikomunikasikan kepada petugas di ruang
pemulihan.
13
Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan / dipindahkan dari
ruang pemulihan.
Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih rawat
pasien dari ruang pemulihan ke perawat di ruang rawat inap.
Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang batas waktunya
hingg pasien telah ditransfer ke ruang rawat inap pasca-operasi. Misalnya:
jika penggunaan infus epidural / alat analgesik akan tetap dipakai oleh pasien
pasca-operasi.
Harus ada audit rutin mengenai manajemen pasien dengan keputusan DNR
yang dijadwalkan untuk menjalani operasi.
14
Jika second opinion ini mendukung keputusan DNR, salah seorang anggota
tim medis harus menghubungi Komisi Etik untuk menjadwalkan konsultasi
etik.
Jika hasil dari konsultasi etik mendukung keputusan DNR, tim medis harus
memberitahukan / melaporkannya kepada Kepala Pelayanan Medis dan
Lembaga Hukum.
Jika Kepala Pelayanan Medis setuju dan Lembaga Hukum menyatakan
bahwa keterlibatan secara hukum tidak diperlukan, orang tua harus
diberitahu bahwa keputusan DNR akan dituliskan di rekam medis pasien.
Jika orang tua masih tidak setuju dengan keputusan DNR ini, orang tua
sebaiknya diberikan kesempatan dan bantuan untuk mentransfer pasien ke
fasilitas lainnya yang bersedia untuk menerima pasien.
Jika tidak memungkinkan untuk mentransfer pasien, instruksi DNR akan
dituliskan di rekam medis pasien.
Re-asesmen wajib terhadap keputusan DNR sebelum menjalani prosedur anestesi
dan pembedahan
Pasien dengan instruksi DNR biasanya sering menjalani prosedur anestesi
dan pembedahan, terutama prosedur dengan tujuan memfasilitasi perawatan
atau mengurangi nyeri.
Etiologi dan kejadian henti jantung selama anestesi berbeda secara
signifikan dengan situasi di luar ruang operasi sehingga perlu dilakukan re-
evaluasi mengenai instruksi DNR.
Faktanya, angka keberhasilan resusitasi lebih tinggi di dalam kamar operasi /
selama anestesi berlangsung.
Pada beberapa kasus, pasien atau orang tua menginginkan adanya
pembatasan usaha resusitasi yang digunakan sepanjang periode peri-
operatif.
Pemberian anestesi sendiri melibatkan beberapa prosedur yang dapat
dianggap sebagai salah satu bagian dari usaha resusitasi, misalnya
pemasangan kateter intravena, pemberian cairan dan obat-obatan intravena,
dan manajemen jalan napas dan ventilasi pasien.
Anestesiologis harus berdiskusi dengan pasien dan atau orang tua, menilai
ulang status DNR sebelum dilakukan prosedur pembedahan, dan
mengkomunikasikan hasil diskusi ini kepada seluruh petugas rumah sakit
yang terlibat dengan perawatan pasien selama periode intra-operatif dan
pasca-operatif.
15
Terdapat 3 pilihan instruksi DNR sebelum prosedur anestesi / pembedahan:
Pilihan pertama: instruksi DNR dibatalkan untuk sementara (jika
terjadi henti napas / jantung, dilakukan usaha resusitasi
sepenuhnya).
Pilihan kedua: resusitasi terbatas (spesifik terhadap prosedur).
Pasien dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya kecuali prosedur
spesifik, yaitu: kompresi dada, kardioversi.
Pilihan ketiga: resusitasi terbatas (spesifik terhadap tujuan). Pasien
dilakukan usaha resusitasi hanya jika efek samping yang terjadi
dianggap bersifat sementara dan reversible, berdasarkan
pertimbangan dokter bedah dan anestesiologis.
16
BAB IV
DOKUMENTASI
Keputusan untuk tidak melakukan RJP harus dicatat di rekam medis pasien dan di
formulir Do Not Resuscitate (DNR). Formulir DNR harus diisi dengan lengkap dan
disimpan di rekam medis pasien.
Alasan diputuskannya tindakan DNR dan orang yang terlibat dalam pengambilan
keputusan harus dicatat di rekam medis pasien dan formulir DNR. Keputusan harus
dikomunikasikan kepada semua orang yang terlibat dalam aspek perawatan pasien,
termasuk dokter gigi, dan sebagainya.
Keputusan DNR harus diberitahukan saat pergantian petugas / pengoperan pasien ke
petugas / unit lainnya.
Di rekam medis, harus dicatat juga mengenai hasil diskusi dengan pasien dan
keluarga mengenai keputusan untuk tidak melakukan resusitasi.
Dokumentasi dan komunikasi yang efektif akan memastikan bahwa petugas / unit lain
mengetahui instruksi DNR ini (jika pasien ditransfer ke unit lain).
Petugas ambulans yang terlibat dalam transfer juga harus mengetahui akan instruksi
DNR ini.
17
Biasanya peninjauan ulang ini dilakukan setiap 7 hari sekali, tetapi dapat juga
dilakukan setiap hari pada kasus-kasus tertentu.
Peninjauan ulang ini dipengaruhi oleh diagnosis pasien, potensi perbaikan kondisi,
dan respons pasien terhadap terapi / pengobatan.
18
PELATIHAN
Manajer Pelayanan Medis bertanggung jawab untuk mengidentifikasi pelatihan-
pelatihan apa saja yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan ini.
Persyaratan pelatihan yang harus dimiliki oleh personel rumah sakit harus
didiskusikan sebagai bagian dari proses Peninjauan Ulang Performa Kerja Rumah
Sakit (Performance Development Review) dan keputusan mengenai pelatihan-
pelatihan yang diperlukan harus dituliskan dalam Rencana Pengembangan Performa
Kerja Rumah Personel Rumah Sakit (Personal Development Plan).
PENINJAUAN ULANG
Audit akan dilakukan setiap tahunnya untuk memastikan bahwa semua keputusan
DNR didokumentasi sepenuhnya sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
Audit mengenai semua kejadian resusitasi harus dilakukan untuk memastikan bahwa
kejadian-kejadian tersebut telah sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
Peninjauan ulang mengenai isi dari kebijakan ini akan dilakukan 2 tahun setelah
tanggal kebijakan ini disetujui.
Peninjauan ulang dini dapat dilakukan jika terjadi salah satu atau lebih dari kondisi-
kondisi berikut ini:
Adanya perubahan atau perkembangan dalam regulasi / peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Terjadinya insiden yang penting / krusial
Adanya alasan-alasan yang kuat / relevan lainnya.
1. Pasien memiliki gangguan fungsi kognitif / mental yang membuatnya tidak dapat
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
2. Pasien tidak dapat mengerti mengenai informasi yang relevan dengan pengambilan
keputusan, yang diberikan oleh dokter / petugas medis lainnya.
3. Pasien memiliki gangguan dalam hal mengingat informasi yang baru diberikan.
4. Pasien tidak dapat mengolah atau mempertimbangkan informasi tersebut sebagai
bagian dari proses pengambilan keputusan.
5. Pasien tidak dapat mengkomunikasikan keputusannya, baik dengan berbicara,
bahasa tubuh, atau cara lainnya.
19
Keputusan tindakan RJP ini adalah hal yang sensitif dan kompleks, sehingga harus dilakukan oleh personel
medis yang kompeten dan berpengalaman, dan dilakukan dokumentasi dengan jelas dan lengkap.
Keputusan harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, minimal setiap 7 hari sekali dan tiap kali terdapat
perubahan kondisi.
Jika terdapat keraguan/ ketidakpastian, mintalah saran dari dokter senior.
tidak
pasien Tidak perlu menginisiasi diskusi tentang RJP dengan pasien atau
an akan keluarganya.
henti jantung / Diskusi dilakukan jika pasien meminta / menginginkannya.
ya Jika pasien telah membuat keputusan DNR dan kriteria validitas telah
pasien telah terpenuhi, haruslah dihargai dan dipatuhi.
keputusan dini / Keputusan ini harus diberitahukan juga dengan pengacara / wali yang
enai DNR? telah ditunjuk pasien.
dilakukan kecuali
ompeten secara
nolak tindakan RJP
20
21
22