Anda di halaman 1dari 33

BAB I

DEFINISI

1. Resuscitate atau Resusitasi adalah suatu keadaan yang memerlukan tindakan cepat untuk
membantu pasien karena keadaan yang mengancam jiwa diakibatkan kegagalan sirkulasi.
Pada umumnya disebut RJP (Resusitasi Jantung Paru) atau disebut juga CPR (Cardio
Pulmonary Resuscitation)
2. Do Not Resuscitate (DNR) adalah perintah untuk tidak melakukan resusitasi kepada pasien
karena permintaan pasien dan atau keluarga dalam melakukan resusitasi. Hal ini berarti
dokter, perawat dan blue team tidak melakukan RJP bila pernafasan maupun jantung pasien
berhenti.
3. Emergensi atau gawat adalah suatu keadaan mengancam jiwa atau mengancam fungsi
vital apabila tidak ditangani dengan segera
4. Triage adalah proses penilaian pasien berdasarkan tingkat kegawatan dan jenis penyakitnya
untuk ditentukan apakah pasien perlu ditangani dengan segera dan ditentukan
penanganannya.
5. Tingkat kegawatan pasien level I (kritis/ resusitasi) adalah pasien berada dalam keadaan
kritis dan mengancam nyawa atau anggota badannya menjadi cacat bila tidak segera
mendapat pertolongan atau tindakan darurat. Contoh cardiac arrest / henti jantung , syok
anafilaktif, trauma multiple yang membutuhkan resusitasi, trauma komplek yang
membutuhkan resusitasi, pasien tidak sadar (over dosis, cedera kepala, obstruksi jalan nafas
berat, cedera berat yang memerlukan resusitasi) segera
6. Tingkat kegawatan pasien level II (emergensi/ gawat darurat) adalah : pasien berada
dalam keadaan gawat , akan kritis dan mengancam nyawa bila tidak segera mendapatkan
prtolongan atau tindakan darurat ,contoh nyeri dada akut, gangguan pernafasan PO2 > 85%
, nyeri hebat, aritmia jantung hebat,perdarahan dll memerlukan waktu < 15 menit
7. Tingkat kegawatan pasien level III (urgensi/ gawat tidak darurat / cenderung tidak
stabil) adalah: pasien berada dalam keadaan tidak stabil, tetapi tidak memerlukan tindakan
darurat, tetapi tidak mengancam nyawa. Contoh nyeri abdomen sedang, fraktur tertutup,
penyakit akut , trauma nyeri sedang.dan memerlukan waktu ≤ 30 menit
8. Tingkat kegawatan pasien level IV (less-urgent/ stabil ) tidak perlu tindakan segera/
resusitasi pasien poliklinik memerlukan waktu ≤ 60 menit

1
9. Tingkat kegawatan pasien level V (non-urgent) pasien rutin control / MCU dll
memerlukan waktu ≤ 120 menit
10. Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) merupakan tindakan resusitasi dengan tujuan
untuk mengembalikan fungsi jantung (sirkulasi / ritme jantung) dan pernafasan secara
spontan
11. Henti Jantung (cardiac arrest) adalah suatu keadaan dimana sirkulasi darah berhenti
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif
12. Informed Consent adalah suatu bagian dari komunikasi, informasi dan edukasi kepada
pasien tentang tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter dengan menjelaskan segala
sebab akibat apabila tindakan akan dilakukan dan akibat tindakan tidak dilakukan.
13. Formulir Penolakan adalah suatu pernyataan tentang penolakan tindakan medis setelah
mendapat penjelasan dari dokter dengan menandatangani formulir Penolakan tindakan
medis yang akan dilakukan.

2
BAB II
RUANG LINGKUP

A. RESUSCITATE (RESUSITASI)
Resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan secara cepat dan tepat untuk
menyelamatkan jiwa seseorang yang dapat diakibatkan oleh karena kegagalan sirkulasi.
Resusitasi merupakan usaha untuk mempertahankan kehidupan pada saat penderita
mengalami keadaan mengancam jiwa, yang diberikan oleh tenaga yang kompeten.
Seluruh staf rumah sakit harus dapat melakukan resusitasi terutama bantuan hidup
dasar (BHD) sehingga memerlukan pelatihan terlebih dahulu bagi seluruh karyawan.
Untuk resusitasi/ bantuan hidup lanjut (BHL), rumah sakit telah mengadakan pelatihan
gawat darurat dengan membentuk Blue Team yang terdiri dari dokter dan perawat. Salah
satu kegiatan Blue Team ini adalah menyisir kondisi seluruh pasien rawat inap untuk
melihat apakah terjadi suatu penurunan kondisi pasien yang memerlukan penanganan
segera sehingga pasien tidak jatuh dalam kondisi lebih buruk lagi. Apabila keadaan pasien
memerlukan resusitasi di ruangan, Blue Team segera dipanggil dengan kode-kode khusus,
dan sesegera mungkin Team datang dengan perlengkapan dan obat - obatan resusitasi.
Dalam melakukan semua tindakan medis, perlu adanya informed consent, termasuk
tindakan resusitasi. Dokter dan atau perawat harus memberikan komunikasi, informasi dan
edukasi kepada keluarga pasien mengenai tindakan resusitasi yang akan dilakukan
termasuk akibat bila dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan tersebut. Keluarga pasien
harus mengisi dan menandatangani formulir informed consent tersebut. Hal ini diperlukan
untuk memastikan terjadinya komunikasi dan pencatatan yang jelas dan terstandarisasi
mengenai pengambilan keputusan

B. DO NOT RESUSCITATE (JANGAN LAKUKAN RESUSITASI)


Pada kasus-kasus yang dianggap stadium akhir dari suatu penyakit, biasanya pasien
dan keluarga sudah mengetahui bahwa sebab akibat dari suatu tindakan medis tersebut
tidak akan membuat lebih baik keadaan pasien dikemudian hari. Misal: apabila pasien
dipasang dengan alat bantu napas (ventilator), maka pasien bisa sangat tergantung dengan
alat tersebut dan apabila alat tersebut dilepas maka dapat terjadi gagal napas yang
mengakibatkan kematian. Pada pasien yang tergantung pada alat bantu napas ini biasanya

3
memerlukan waktu yang lama atau bahkan waktunya tidak dapat ditentukan dengan pasti
dan memerlukan biaya yang cukup besar. Hal inilah yang memerlukan pembicaraan
keluarga secara bijaksana dalam memutuskan perlu tidaknya dilakukan resusitasi lebih
lanjut guna mempertimbangkan biaya dan hasil yang akan dicapai.

Yang termasuk dalam kriteria Do Not Resuscitate (DNR) adalah:


1. Perintah DNR dapat diminta oleh keluarga / pasien dewasa yang kompeten mengambil
keputusan. Mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang dinyatakan tidak
kompeten, keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau ahli yang sah ditunjuk
oleh pengadilan
2. Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal dibawah ini dapat menjadi bahan diskusi perihal
DNR dengan pasien / walinya :
a. Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau CPR
hanya menunda proses kematian yang dialami.
b. Pasien tidak sadar secara permanen.
c. Pasien berada pada fase terminal / kondisi sekarat dan tidak memberikan
keuntungan terapetik.
d. Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian dibanding
keuntungan jika resusitasi dilakukan.
e. MBO (Mati Batang Otak)

Salah satu hak pasien dan keluarga adalah melakukan penolakan terhadap rencana
tindakan medis yang akan dilakukan termasuk penolakan terhadap tindakan resusitasi.
Oleh karena itu kewajiban staf medis adalah menghormati hak pasien dan keluarga
tersebut dalam menandatangani formulir penolakan tindakan resusitasi tersebut.

4
BAB III
TATA LAKSANA

A. RESUSCITATE (RESUSITASI)
1. Bantuan Hidup Dasar (BHD)
BHD merupakan tindakan pertolongan medis sederhana yang dilakukan pada penderita
yang mengalami henti jantung sebelum diberikan tindakan pertolongan medis lanjutan,
yang bertujuan untuk memberikan bantuan sirkulasi dan pernapasan yang adekuat
sampai keadaan henti jantung teratasi atau sampai penderita dinyatakan meninggal.
BHD dilakukan pada keadaan henti jantung, henti napas, atau tidak sadar.

a. Tahapan BHD pada Dewasa


1) Penilaian Respon/ Kesadaran Penderita
a) Penilaian respon dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya sudah
aman melakukan pertolongan.
b) Penilaian respon dilakukan dengan cara menepuk-nepuk/ menggoyangkan
sambil berteriak memanggil penderita.
c) Bila penderita menjawab/ bergerak, pertahankan posisi seperti pada saat
ditemukan/ posisi mantap.

Posisi mantap

d) Bila penderita tidak memberikan respon/ tidak bernapas/ napas tidak normal
(gasping), lakukan aktifasi sistem layanan gawat darurat/ panggil bantuan.
2) Lanjutkan dengan tindakan pertolongan CAB;
a) Circulation (kompresi dada)
1. Sebelum kompresi dada, periksa arteri karotis dengan memegang leher
penderita dan mencari trakea dengan 2-3 jari, selanjutnya perabaan
bergeser ke lateral sampai menemukan batas trakea dengan otot samping
leher (tempat lokasi arteri karotis berada). Tindakan ini dilakukan
maksimal 10 detik.

5
2. Pemeriksaan arteri karotis bisa tidak dilakukan pada penolong awam/ tidak
terlatih, dan bisa langsung melakukan tindakan kompresi dada sbb :
a. Penderita dibaringkan di tempat yang datar dan keras.
b. Tentukan lokasi kompresi di dada dengan cara meletakkan telapak
tangan yang telah saling berkaitan di bagian setengah bawah sternum.
c. Frekuensi minimal 100 kali per menit.
d. Kedalaman minimal 5 cm (2 inchi).
e. Penolong awam/ tidak terlatih melakukan kompresi minimal 100 kali
per menit tanpa interupsi.
f. Penolong terlatih tanpa alat bantu napas lanjutan melakukan kompresi
dan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2 (setiap 30 kompresi, berikan
2 napas bantuan).

b) Airway (buka jalan napas)


1. Head tilt chin lift maneuver (dorong kepala ke belakang sambil
mengangkat dagu). Tindakan ini aman bila penderita tidak dicurigai
mengalami trauma tulang leher.

6
2. Jaw thrust (menekan rahang bawah ke arah belakang), hal ini dilakukan
bila penderita dicurigai mengalami trauma tulang leher.

c) Breathing (ventilasi)
1. Mulut ke mulut
a. Mempertahankan posisi head tilt chin lift, yang dilanjutkan dengan
menjepit hidung menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan.
b. Buka sedikit mulut penderita, tarik napas panjang dan tempelkan rapat
bibir penolong melingkari mulut penderita, kemudian hembuskan
lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan sampai dada
terangkat.
c. Tetap pertahankan head tilt chin lift, lepaskan mulut penolong dari
mulut penderita, lihat apakah dada penderita turun waktu ekshalasi.

7
2. Mulut ke hidung
Napas bantuan ini dilakukan bila pernapasan mulut ke mulut sulit
dilakukan, misalnya karena trismus. Caranya adalah katupkan mulut
penderita disertai chin lift, kemudian hembuskan udara seperti pernapasan
mulut ke mulut. Buka mulut penderita waktu ekshalasi.

3. Mulut ke sungkup
a. Letakkan sungkup pada muka penderita dan dipegang dengan kedua
ibu jari.
b. Lakukan head tilt chin lift/ jaw thrust, tekan sungkup ke muka
penderita dengan rapat, kemudian hembuskan udara melalui lubang
sungkup sampai dada terangkat.
c. Hentikan hembusan dan amati turunnya pergerakan dinding dada.

4. Dengan kantung pernapasan


Caranya dengan menempatkan tangan untuk membuka jalan napas dan
meletakkan sungkup menutupi muka dengan teknik E-C Clamp (bila
seorang diri), yaitu jari-jari ketiga, keempat dan kelima membentuk huruf
“E” dan diletakkan dibawah rahang bawah untuk mengekstensi dagu dan
rahang bawah, ibu jari dan jari telunjuk penolong membentuk huruf “C”

8
untuk mempertahankan sungkup di muka penderita. Tindakan ini akan
mengangkat lidah dari belakang faring dan membuka jalan napas.

d) Defibrilator
Apabila rumah sakit memiliki defibrilator otomatis atau AED (automated
external defibrillators), maka petugas kesehatan maupun penolong awam
dapat dilatih untuk menggunakan AED ini sebagai bagian dari BHD

b. Algoritma BHD Dewasa

9
c. Tahapan BHD pada Bayi dan Anak
1) Bantuan Hidup Dasar pada Anak
Secara garis besar, prinsip pertolongan BHD baik dewasa atau anak harus
dikerjakan secara berurutan. Namun yang sangat perlu diperhatikan mengenai
cara pemberian BHD adalah jumlah penolong dan adanya usaha napas atau
tidak. Untuk anak usia > 8 tahun, pertolongan sama dengan dewasa.

2) Kompresi Dada Pada Anak Umur 1-8 Tahun


a) Letakkan tumit satu tangan pada setengah bawah sternum, hindarkan jari-
jari pada tulang iga anak.
b) Menekan sternum sekitar 5 cm dengan kecepatan minimal 100 kali per
menit.
c) Setelah 30 kali kompresi, buka jalan napas dan berikan 2 kali napas bantuan
sampai dada terangkat (1 penolong).
d) Kompresi dan napas bantuan dengan rasio 15:2 (2 penolong).

3) Kompresi Dada Pada Bayi


a) Letakkan 2 jari satu tangan pada setengah bawah sternum; lebar 1 jari
berada di bawah garis intermammari.
b) Menekan sternum sekitar 4 cm kemudian angkat tanpa melepas jari dari
sternum dengan kecepatan minimal 100 kali per menit.
c) Setelah 30 kali kompresi, buka jalan napas dan berikan 2 kali napas bantuan
sampai dada terangkat (1 penolong).
d) Kompresi dan napas bantuan dengan rasio 15:2 (2 penolong).

10
d. Algoritma BHD pada Anak dan Bayi

11
e. Ringkasan Umum Bantuan Hidup Dasar
Rekomendasi
Dewasa Anak Bayi
Tidak sadarkan diri
tidak ada napas atau
Pengenalan
bernapas tidak normal tidak bernapas atau gasping
awal
(misal gasping)
tidak teraba nadi dalam 10 detik (hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan)
Urutan
CAB CAB CAB
BHD
Frekuensi minimal 100 kali/ menit
minimal1/3 diameter minimal 1/3 diameter
Kedalaman anteroposterior anteroposterior
minimal 5 cm (2 inch)
kompresi dinding dada (sekitar dinding dada (sekitar
5 cm/ 2 inch) 4 cm/ 1,5 inch)
Recoil
recoil sempurna dinding dada setelah setiap kompresi
dinding
untuk penolong terlatih, pergantian posisi kompresor setiap 2 menit
dada
Interupsi
interupsi kompresi seminimal mungkin, tidak lebih dari 10 detik
kompresi
head tilt, chin lift
Jalan napas
jaw thrust pada kecurigaan trauma leher – hanya oleh tenaga kesehatan
30 : 2 30 : 2 (1 penolong) 30 : 2 (1 penolong)
Kompresi
(1 atau 2 penolong) 15 : 2 (2 penolong) 15 : 2 (2 penolong)
jika penolong tidak terlatih kompresi saja
pada penolong terlatih tanpa alat bantu napas lanjutan berikan 2 kali napas
Ventilasi buatan setelah 30 kompresi. Bila terpasang alat bantu napas lanjutan
berikan napas setiap 6 – 8 detik (8 – 10 kali per menit)
penderita ROSC, napas diberikan setiap 5 – 6 detik (10 – 12 kali per menit)
pasang dan tempelkan AED sesegera mungkin (bila ada)
Defibrilasi interupsi kompresi minimal, baik sebelum atau sesudah kejut listrik
lanjutkan RJP diawali dengan kompresi segera setelah kejut listrik

2. Bantuan Hidup Jantung Lanjut


Bantuan hidup jantung lanjut (BHJL) merupakan kelanjutan dari BHD dengan
menggunakan terapi listrik (defibrilasi), cairan intravena, pemberian obat – obatan
resusitasi, pemasangan alat bantu jalan napas tingkat lanjut (intubasi endotrakea/ETT,
sungkup laring/ LMA, penyedotan jalan napas atas yang tersumbat dengan suction
catether, penggunaan suplementasi oksigen untuk mempertahankan sirkulasi jantung
dan perfusi jaringan ke organ vital

12
a. Defibrilasi
Defibrilasi awal merupakan tindakan yang sangat penting dalam penanganan
pasien dengan henti jantung. Irama yang paling sering terdeteksi pada pasien henti
jantung adalah venticular fibrillation (VF) dan terapi terpenting adalah defibrilasi
elektrik. Keberhasilan defibrilasi akan semakin menurun ketika henti jantung
berjalan lama dan VF akan cenderung berubah menjadi asistol dalam beberapa
menit.
Proses defibrilasi mencakup penghantaran energi listrik melalui dinding dada
menuju ke jantung untuk mendepolarisasikan sel – sel miokard dan menghilangkan
VF. Pengaturan energi untuk defibrilator diatur untuk menyediakan energi dengan
tingkat terendah namun masih efektif dalam menghilangkan VF.
Defibrilator modern diklasifikasikan berdasarkan 2 tipe bentuk gelombang
yaitu monofasik dan bifasik. Pada dosis yang sama atau lebih rendah dari
gelombang monofasik, diketahui bahwa gelombang bifasik lebih aman dan efektif
untuk menghilangkan VF. Pada defibrilator bifasik, penggunaan energi sebesar 150
-200 J menggunakan bentuk gelombang bifasik eksponensial yang diperpendek
atau 120 J menggunakan gelombang bifasik rektilinier adalah besaran energi yang
dapat diterima untuk kejut awal. Untuk kejutan kedua dan selanjutnya, gunakan
energi yang sama atau lebih besar. Bila rumah sakit menggunakan defibrilator
manual bifasik yang tidak diketahui rentang dosis yang efektif untuk
mengatasi VF, penolong dapat menggunakan pilihan dosis 200 Joule untuk
awal dan dosis sama selanjutnya. Bila menggunakan defibrilator monofasik,
pilih dosis 360 Joule untuk semua kejutan. Sedangkan dosis defibrilasi manual
yang direkomendasikan untuk bayi dan anak adalah dosis 2 Joule/kg untuk
percobaan pertama dan 4 Joule/kg untuk percobaan selanjutnya.
Penolong harus menempatkan elektroda pada dada korban pada posisi sternal-
apikal. Lempeng dada kanan (sternal) diletakkan pada dada bagian superio-anterior
bagian kanan dan lempeng apikal (kiri) diletakkan pada dada bagian infero-lateral
kiri. Penempatan lempeng pada posisi lain yang masih dapat diterima adalah pada
dinding latera; kanan dan kiri (biaksiler) atau lempeng kiri pada posisi apikal
standar dan lempeng lainnya pada punggung kanan atau kiri.

13
Apabila rumah sakit memiliki defibrilator otomatis atau AED (automated
external defibrillators), maka petugas kesehatan maupun penolong awam dapat
dilatih untuk menggunakan AED ini sebagai bagian dari BHD.

b. Pemberian Suplementasi Oksigen


Pada kegawatan kardiopulmonal, pemberian oksigen harus dilakukan
secepatnya. Oksigen dibutuhkan dalam metabolisme aerob untuk menghasilkan
energi. Oksigen yang terdapat di udara bebas sebesar 20% saja sehingga pada
keadaan kegawatan kardiopulmonal yang mengakibatkan hipoksemia dan hipoksia
jaringan perlu diperbaiki dengan peningkatan fraksi oksigen dalam udara inspirasi
(FiO2) dan peningkatan tekanan oksigen dalam udara inspirasi (PO2)
Pemberian oksigen dapat dilakukan dengan berbagai macam alat. Keefektifan
masing – masing alat ditentukan oleh kemampuan alat untuk menghantarkan
oksigen dengan kecepatan aliran yang cukuptinggi untuk mengimbangi kecepatan
aliran inspirasi pernapasan spontan.
Alat – alat suplementasi oksigen dapat digolongkan menjadi sistem oksigen
rendah atau sistem oksigen tinggi (dapat memberikan oksigen sampai 100%) dan
sistem aliran rendah atau sistem aliran tinggi, yang artinya alat dapat mengalirkan
oksigen dengan fraksi oksigen yang diatur maksimal (100%).

Tabel 1. Alat suplementasi oksigen, kecepatan aliran, dan persentase oksigen yang
dihantarkan
Alat Kecepatan aliran % Oksigen
Kanul Nasal 1 L/menit 21 – 24 %
2 L/menit 25 – 28 %
3 L/menit 29 – 32 %
4 L/menit 33 – 36 %
5 L/menit 37 – 40 %
6 L/menit 41 – 44 %
Sungkup Muka Sederhana 6 – 10 L/menit 35 – 60 %
Sungkup Muka dengan reservoir O2 6 L/menit 60 %
7 L/menit 70 %
8 L/menit 80 %
9 L/menit 90 %
10 – 15 L/menit 95 – 100 %

14
Sungkup Muka Venturi 4 – 8 L/menit 24 – 35 %
10 – 12 L/menit 40 – 50 %

Untuk memantau keefektifan pemberian oksigen dan membantu titrasi


konsentrasi oksigen inspirasi (FiO2), dapat dengan pemeriksaan invasif yaitu
analisis gas darah (PaO2 dan SaO2) dan secara non-invasif dengan alat oksoimetri
denyut (pulse oxymetry)

Tabel 2. Pemilihan alat suplementasi oksigen berdasarkan nilai oksimetri denyut


Nilai Oksimetri Denyut Arti Klinis Pilihan Alat Suplementasi O2
95 – 100 % dalam batas normal O2 4 L/menit; kanul nasal
90 - < 95 % hipoksia ringan sampai sungkup muka sederhana
sedang
85 - < 90 % hipoksia sedang sampai - Sungkup muka dengan
berat reservoir O2
- Ventilasi dibantu
< 85 % hipoksia berat yang ventilasi dibantu
mengancam nyawa

c. Penggunaan Alat bantu Jalan Napas


Posisi jalan napas atas yang benar harus dijaga pada pasien tidak sadar yang dapat
bernapas secara spontan. Pada pasien yamg tidak sadar tanpa refleks batuk atau
muntah, dapat dipasang alat bantu napas sederhana
1) Alat bantu jalan napas sederhana
a) Alat bantu jalan napas orofarings (oropharyngeal airway/ OPA)
Alat bantu jalan napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak sadar
bila angkat kepala dagu tidak berhasil mempertahankan jalan napas atas
terbuka. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien sadar atau setengah
sadar karena dapat menyebabkan batuk, muntah dan laringospasme.
Hal – hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan OPA:
 Pilihlah ukuran OPA yang tepat yaitu dengan menempatkan OPA di
samping wajah, dengan ujung OPA pada sudut mulut dan ujung yang
lain pada sudut rahang bawah. Bila OPA diukur dan dimasukkan dengan
tepat maka OPA akan tepat sejajar dengan pangkal glotis.
 Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring

15
 Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat
menekan dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas
 Masukkan dengan hati- hati untuk menghindari terjadinya trauma
jaringan lunak pada bibir dan lidah

b) Alat bantu jalan napas nasofarings (nasopharyngeal airway/ NPA)


Alat bantu jalan napas ini masih dapat digunakan pada pasien yang sadar
atau setengah sadar, yang masih mempunyai refleks batuk dan muntah. Alat
ini berbentuk pipa dari plastik yang lembut dan tidak berbalon yang
berfungsi sebagai jalan aliran udara antara lubang hidung dan faring.
Indikasi lain penggunaan NPA adalah bila ditemui kesulitan pada
penggunaan OPA seperti trauma sekitar mulut atau trismus. Pilihlah ukuran
NPA yang tepat agar tidak menyebabkan trauma pada lubang hidung,
dengan membandingkan diameter luar NPA dengan lubang dalam hidung
atau menggunakan diameter jari kelinking pasien sebagai pedoman untuk
memilih ukuran yang tepat. Panjang NPA harus sama denan jarak antara
ujung hidung pasien dengan cuping telinga.
2) Alat bantu jalan napas tingkat lanjut
a) Intubasi Endotrakea (Endotracheal Tube/ ETT)
Hanya tenaga kesehatan berpengalaman yang boleh melakukan intubasi
endotrakeal.
1. Kegunaan Intubasi Endotrakea
 Memelihara jalan napas atas terbuka
 Membantu pemberian oksigen konsentrasi tinggi
 Memfasilitasi pemberian ventilasi dengan volume tidal yang tepat
untuk memelihara pengembangan paru yang adekuat
 Mencegah jalan napas dari aspirasi isi lambung atau benda padat
atau cairan dari mulut, kerongkongan, atau jalan napas atas
 Mempermudah penyedotan dalam trakea
 Sebagai alternatif untuk memasukkan obat (atropin, vasopresin,
epinefrin, dan lidokain) pada waktu RJP bila akses intravena atau
intraoseus belum ada
2. Indikasi Intubasi Endotrakea

16
 Henti jantung, bila ventilasi kantong napas tidak memungkinkan
atau tidak efektif
 Pasien sadar dengan gangguan pernapasan dan pemberian oksigen
yang tidak adekuat dengan alat – alat ventilasi yang tidak invasif
 Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan napas (koma)
3. Komplikasi Intubasi Endotrakea
 Trauma
- Laserasi bibir, lidah, faring, trakea
- Trauma pita suara
- Perforasi faring – esofagus
- Muntah dan aspirasi lambung ke dalam jalan napas bawah
- Meningkatnya sekresi katekolamin yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah, takikardi, atau aritmia
 Intubasi esofagus
Apabila terjadi keadaan ini, maka segera cabut ETT kemudian
berikan ventilasi dengan kantung napas sungkup muka dengan 100
% oksigen selama 20 – 30 detik kemudian lakukan intubasi ulang
 Intubasi satu bronkus
Terjadi lebih sering pada bronkus kanan dan dapat berakibat
hipoksemia karena tidak terdapat ventilasi pada salah satu paru –
paru, sehingga lakukan:
- Kempeskan balon ETT
- Tarik ETT keluar sekitar 1 – 2 cm
- Konfirmasi posisi ETT dengan pemeriksaan fisik
4. Pemberian ventilasi pada pasien dengan Intubasi Endotrakea yang
dilakukan RJP
Pada pasien dengan henti jantung atau henti napas, pemberian ventilasi
dengan memperhatikan hal – hal sebagai berikut:
a. Volume
 Besarnya volume oksigen yang diberikan dengan kantung napas
sungkup muka hanya sampai dada tampak terangkat
 Pada pasien obesitas diberikan volume yang lebih besar
 Setiap pemberian volume lamanya 1 detik

17
b. Kecepatan (dengan kantung napas sungkup muka)
 8 – 10 kali per menit (sekitar 1 ventilasi setiap 6 – 8 detik) pada
waktu RJP
 10 – 12 kali per menit (sekitar 1 ventilasi setiap 5 – 6 detik) pada
waktu henti napas tanpa disertai henti jantung
c. Siklus kompresi dada – ventilasi
Kompresi dada dengan kecepatan 100 kali per menit tanpa diselingi
pemberian ventilasi (tidak ada sinkronisasi antara kompresi dada dan
pemberian ventilasi)
5. Pemberian obat – obatan resusitasi melalui pipa endotrakeal
Pemberian obat melalui ETT hanya dilakukan bila tidak berhasil
mendapatkan akses intravena atau intraoseus. Obat – obat yang bisa
diberikan adalah Nalokson, Atropin, Vasopresin, Epinefrin, dan
Lidokain (disingkat NAVEL). Dosis obat bila diberikan melalui ETT
besarnya 2 – 2,5 kali dosis intravena dan diencerkan dalam 10 mL
NaCl 0,9% atau aquabidest. Setelah obat dimasukkan ke dalam ETT,
dilakukanventilasi 2 kali agar obat terdeposisi ke dalam jalan napas.
b) Sungkup Larings (Laryngeal Mask Airway/ LMA)
LMA merupakan pipa yang ujungnya berbentuk sungkup dengan balon
yang bisa dikembangkan. LMA dimasukkan ke laring tanpa laringoskopi
sampai terasa ada tahanan.adanya tahanan menunjukkan ujung distal pipa
sampai pada hipofaring dan balon segera dikembangkan sehingga
mendorong sungkup menutupi pembukaan trakea dan menjadikan tidak ada
kebocoran. Pemberian ventilasi terjadi lewat lubang yang ada pada bagian
tengah sungkup LMA.
c) Combitube (Pipa Esofagus – Trakea)
Combitube merupakan pipa dengan dua lumen dan dua balon. Pipa ini
dipasang tanpa perlu memvisualisasi pita suara. Bila combitube dimasukkan
ke dalam mulut dan balon faring dikembangkan, balon akan berada di
antara dasar lidah dan palatum molle sehingga combitube berada pada
posisi yang tepat dan memisahkan orofarings dari hipofarings.
Pengembangan balon esofagus akan memisahkan trakea atau esofagus.

18
d. Obat – obatan yang Digunakan dalam Henti Jantung
1) Epinefrin
Dapat diberikan melalui ETT, tersedia dengan konsentrasi 1:10.000 dan
1:1000
a) Indikasi
- Henti jantung: fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel tanpa nadi, asistole,
PEA
- Bradikardi simptomatis: dapat dipertimbangkan setelah pemberian
atropin dan alternatif dopamin
- Hipotensi berat: pada hipotensi dengan bradikardi dapat digunakan
ketika gagal dengan pacing dan atropin atau pada hipotensi akibat
penggunaan phosphodiesterase enzyme inhibitor
- Anafilaksis, reaksi alergi berat dikombinasi dengan cairan, kortikosteroid
dan antihistamin
b) Perhatian
- Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung dapat meningkatkan
kebutuhan O2 miokard yang akan mengakibatkan iskemia miokard dan
angina
- Dosis tinggi tidak meningkatkan survival atau neurogical outcome dan
dapat mengakibatkan disfungsi miokardium pasca resusitasi
- Dosis tinggi dapat digunakan untuk mengobati shock akibat obat/ racun
c) Dosis
1. Henti jantung
- IV/IO : 1 mg (10 ml dari 1:10.000) diberikan tiap 3 – 5 menit selama
resusitasi, setiap pemberian diikuti dengan flush 20 mL NaCl 0,9%
dan menaikkan lengan selama 10-20 detik setelah pemberian dosis
- Dosis tinggi (0,2 mg/kg) dapat digunakan untuk indikasi spesifik
(overdosis beta blocker atau calcium channel blocker)
- Infuse kontinu: dosis inisial 0,1 – 0,5 mcg/kg/menit (untuk pasien
dengan BB 70 kg = 7-35mcg/menit)
- Rute endotrakeal: 2 – 2,5 mg diencerkan dengan 10 mL normal saline
2. Bradikardia/ hipotensi berat

19
Infus: 2 – 10 mcg/kg/menit, dititrasi sesuai respon pasien
2) Vasopresin
a) Indikasi
Obat alternatif selain epinefrin pada shock, VF refrakter, asistole, PEA
b) Perhatian
Meningkatkan tahanan perifer yang dapat menginduksi angina dan iskemia
miokardium
c) Dosis
- Henti jantung 40 IU dosis tunggal intravena
- Shock: 0,02 – 0,04 IU/menit
3) Amiodaron
a) Indikasi
Digunakan secara luas untuk fibrilasi atrium dan takiaritmia ventrikular.
Selain itu untuk mengontrol kecepatan nadi pada aritmia atrial dan pada
pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun jika pemberian digoksin
sudah tidak efektif. Pemberian direkomendasikan pada keadaan berikut:
- Pengobatan VF atau VT tanpa nadi yang refrakter
- Pengobatan VT polimorfik dan takikardi dengan QRS lebar yang tidak
jelas sumbernya (unknown origin)
- Sebagai obat pendukung pada kardioversi elektrik kasus – kasus SVT
dan VT
- Takikardi atrial multifokal dengan fungsi ventrikel kiri yang baik
- Mengkontrol kecepatan nadi pada fibrilasi atrial
b) Efek samping dan perhatian khusus
- Vasodilatasi dan hipotensi
- Memiliki efek inotropik negatif
- Memiliki efek memperpanjang interval QT
c) Dosis
- Pada henti jantung 300 mg IV cepat Idiencerkan dengan 20 – 30 mL
Dekstrose 5%). Pertimbangkan pemberian berikutnya sebanyak 150 mg
IV dengan selang waktu 3 – 5 menit
- Pada takikardia kompleks QRS lebar yang stabil, maksimum pemberian
2,2 gram IV/24 jam. 150 mg IV dalam 5 – 10 menit dapat diulang 150

20
mg IV setiap 10 menit jika diperlukan. Dilanjutkan dosis pemeliharaan
360 mg IV selama 6 jam (1 mg/menit) dilanjutkan 540 mg IV dalam 18
jam (0,5 mg/menit). Jangan diberikan secara bersamaan dengan
procainamide
4) Lidokain
a) Indikasi
Diberikan pada henti jantung dengan irama VF/VT tanpa nadi. Bisa juga
diberikan pada VT stabil, dengan kompleks QRS lebar dengan tipe yang
tidak jelas. Dapat diberikan melalui selang endotrakeal
b) Efek samping
- Jika pemberian berlebihan dapat menimbulkan tanda – tanda toksisitas
- Dosis dikurangi pada pasien dengan fungsi hati yang menurun, maupun
fungsi ventrikel kiri yang menurun
- Pemberian pencegahan pada infark miokard akut tidak dianjurkan
c) Cara pemberian
- Dosis awal 1 – 1,5 mg/kgBB IV bolus
- Untuk VF refrakter: 0,5 – 0,75 mg/kg IV diulangi 5 – 10 menit
kemudian, dengan dosis maksimum 3 mL/kgBB
- Dosis tunggal 1,5 mg/kgBBIV pada henti jantung
- Pemberian melalui trakea 2 – 4 mg/kgBB
d) Pada aritmia
- VT stabil, QRS kompleks lebar dengan tipe tidak jelas, ektopi yang
signifikan: dosisnya adalah 0,5 – 0,75 mg/kgBB IV sampai 1-1,5
mg/kgBB IV diulangi setiap 5 – 10 menit dengan total dosis 3 mg/kg
- Dosis pemeliharaan 1-4 mg/menit IV (30-50 ug/kgBB per menit)
diencerkan dalam dekstrose 5% atau normal saline

3. Tatalaksanan Henti Jantung pada BHJL


Henti jantung dapat disebabkan oleh 4 irama jantung yaitu fibrilasi ventrikel (VF),
takikardi ventrikel tanpa nadi (VT tanpa nadi), pulseless electrical activity (PEA), dan
asistol. Untuk mengatasi henti jantung diperlukan integrasi dari tindakan BHD, BHJL
serta perawatan pasca henti jantung. Dasar keberhasilan BHJL adalah RJP yang
berkualitas dan untuk kasus VF/ VT adalah defibrilasi segera. Irama jantung selama

21
resusitasi dapat berubah sehingga tatalaksana harus disesuaikan dengan irama yang ada.
Obat –obatan yang diberikan selama resusitasi harus diawasi dan dicatat. Obat – obat
yang memiliki dosis maksimal harus ditablasi untuk menghindari toksisitas.
a) Kasus VF/VT tanpa denyut nadi
1) Lakukan survei primer CAB dan lanjutkan dengan RJP sambil menunggu
defibrilator datang
2) Ketika alat monitor EKG dan defibrilator datang, segera pasang sadapan pada
pasien tanpa menghentikan RJP
3) Setelah terpasang, hentikan RJP sejenak (tidak boleh lebih dari 10 detik) dan
lihat irama jantung yang muncul di monitor
4) Bila terlihat VF/VT lakukan defibrilasi unsynchronized dengan energi 360
joule (monofasik) atau 200 Joule (bifasik) kemudian lakukan RJP selama 5
siklus (2 menit)
5) Lihat kembali monitor EKG. Bila masih terdapat VF/VT, lakukan kembali
defibrilasi 360 Joule kemudian lakukan RJP 5 siklus. Bila jalur IV sudah
terpasang, berikan epinefrin 1 mg IO/IV yang dapat diulang setiap 3 – 5 menit.
Kemudian lakukan survei sekunder dan lakukan intubasi
6) Setelah RJP 2 menit, lihat kembali monitor EKG. Bila tetap VF/VT, lakukan
kembali defibrilasi dilanjutkan kembali RJP selama 2 menit dan berikan obat
Amiodarone 300 mg IV/IO
7) Setelah RJP 2 menit, lihat kembali monitor EKG. Bila tetap VF/VT, lakukan
kembali defibrilasi dilanjutkan kembali RJP selama 2 menit dan berikan obat
epinefrin 1 mg IV/IO
8) Setelah RJP 2 menit, lihat kembali monitor EKG. Bila tetap VF/VT, lakukan
kembali defibrilasi dilanjutkan kembali RJP selama 2 menit dan berikan obat
amiodarone 150 mg IV/IO
9) Setelah RJP 2 menit, lihat kembali monitor EKG. Bila tetap VF/VT, lakukan
kembali defibrilasi dilanjutkan kembali RJP selama 2 menit dan berikan obat
epinefrin 1 mg IV/IO
10) Lakukan terus langkah - langkah seperti tercantum dalam algoritma henti
jantung
Catatan:

22
 Intubasi trakea dapat dilakukan saat pemberian epinefrin atau amiodarone yang
pertama
 Lidokain dapat digunakan bila amiodaron tidak ada. Dosis Lidokain 1 – 1,5
mg/kgBB IV/IO dosis awal dan diikuti 0,5 – 0,75 mg/kgBB sampai dosis
maksimal 3 mg/kgBB
 Ketika melihat irama di monitor, RJP dihentikan sementara paling lama 10
detik. Bila terlihat VF/VT, tetap perintahkan RJP sementara melakukan
pengisian energi 360 joule (monofasik) atau 200 joule (bifasik)
 Setelah energi penuh, lakukan defibrilasi dengan sebelumnya mengatakan
“saya bebas” (pemegang defibrlator tidak bersinggungan atau bersentuhan
dengan pasien), “kamu bebas” (semua teman penolong tidak bersentuhan
dengan penderita), “semua bebas” (semua yang ada di tempat tindakan tidak
bersentuhan dengan penderita)
b) Kasus PEA/Asistol
1) Lakukan survei primer CAB dan lanjutkan dengan RJP sambil menunggu
defibrilator datang
2) Ketika alat monitor EKG dan defibrilator datang, segera pasang sadapan pada
pasien tanpa menghentikan RJP
3) Setelah terpasang, hentikan RJP sejenak (tidak boleh lebih dari 10 detik) dan
lihat irama jantung yang muncul di monitor
4) Bila terdapat irama terorganisasi, lakukan perabaan karotis. Bila tidak terdapat
denyut karotis, maka keadaan ini disebut PEA
5) Bila terlihat gambaran garis lurus, lakukan pemeriksaan alat/ monitor dengan
cepat:
a. Apakah sadapan elektroda terpasang baik dan tidak ada yang terlepas?
b. Apakah sambungan sadapan elektroda dengan konektor defibrilator
terpasang baik?
c. Apakah batere DC terpasang?
d. Apakah kabel listrik alat DC tersambung?
e. Apakah ada aliran listrik?
f. Apakah sudah dicoba memindahkan lead I, II, dan III bergantian?
g. Apakah sudah berusaha menaikkan amplitudo pada alat DC agar gelombang
terlihat?

23
6) Saat tampak gambaran PEA atau asistol dan memastikan alat/monitor baik,
segera berikan epinefrin 1 mg IV/IO dan lanjutkan RJP 5 siklus (2 menit).
Pertimbangkan intubasi trakea segera bila diperlukan
7) Setelah RJP 2 menit, hentian RJP dan lihat monitor kembali. Bila terdapat
irama teroragnisasi, lakukan perabaan karotis. Bila tidak terdapat denyut
karotis, lakukan RJP lagi selama 2 menit
8) Setelah RJP 2 menit, hentian RJP dan lihat monitor kembali. Bila terdapat
irama terorganisasi, lakukan perabaan karotis. Bila tidak terdapat denyut
karotis, lakukan RJP lagi selama 2 menit dan berikan epinefrin 1 mg IV/IO
9) Lakukan terus langkah - langkah seperti tercantum dalam algoritma henti
jantung

24
4. Kapan RJP Dihentikan
a. Penolong sudah melakukan BHD dan BHJL secara optimal, antara lain : RJP,
defibrilasi pada penderita VF/VT tanpa nadi, pemberian vasopresin atau epinefrin
intravena, membuka jalan napas, ventilasi dan oksigenasi menggunakan bantuan
jalan napas tingkat lanjut serta sudah melakukan semua pengobatan irama sesuai
dengan pedoman yang ada.
b. Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar bahan beracun atau
mengalami overdosis obat yang akan menghambat susunan sistem saraf pusat.
c. Kejadian henti jantung tidak disaksikan oleh penolong.
d. Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10
menit atau lebih.

5. Kondisi dan keberadaan dilakukan resusitasi.


a. Resusitasi dapat dilakukan di seluruh unit rumah sakit dan dilaksanakan tanpa
memandang pasien dari segi sosial, ekonomi, budaya, dan agama
b. Apabila menemukan pasien yang tidak sadarkan diri atau mengalami henti jantung,
semua karyawan rumah sakit harus dapat melakukan resusitasi/ bantuan hidup
dasar sambil memanggil bantuan
c. Selanjutnya resusitasi/ bantuan hidup lanjut dilakukan oleh tim yang terlatih yaitu
“Blue Team” dengan membawa alat-alat dan obat resusitasi yang diperlukan
d. Pada pasien yang di rawat inap, apabila keadaan pasien memerlukan resusitasi di
ruangan perawatan, maka blue team segera dipanggil dengan blue code dan
sesegera mungkin datang dengan perlengkapan resusitasi
e. Pasien dari Instalasi Gawat Darurat dengan level triase I dan II adalah kasus –
kasus dengan kondisi yang mengancam jiwa, sehingga memerlukan tindakan
resusitasi segera.
f. Dokter harus memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai tindakan
yang akan dilakukan dengan menjelaskan untung dan rugi bila dilakukan atau tidak
dilakukan resusitasi jantung paru
a. Bila pasien dan atau keluarga setuju dan mengerti tentang penjelasan dokter, maka
pasien dan atau keluarga menandatangani formulir informed consent tindakan.

25
b. Bila pasien dan atau keluarga mengerti penjelasan dokter dan menolak tindakan
medis yang akan dilakukan, pasien dan atau keluarga juga menandatangani
formulir penolakan tindakan medis.

B. DO NOT RESUSCITATE (DNR)


1. Keputusan dini / awal ( dikenal dengan istilah surat wasiat)
a. Terdapat kebijakan dari pihak rumah sakit mengenai keputusan awal akan
penolakan tindakan penyelamatan nyawa / hidup oleh pasien
b. Dokter sebaiknya menghargai keputusan yang diambil oleh pasien
c. Pasien dengan keputusan dini tersebut tetap diberikan terapi, penanganan lainnya
seperti pemberian cairan infus, obat-obatan dan lain-lain
d. Tetapkan apakah keputusan DNR perlu didiskusikan lagi dengan pasien / keluarga
e. Beberapa kondisi yang diperlukan melakukan diskusi dengan pasien :
1) Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka ingin
mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya
2) Usaha RJP dianggap memiliki harapan untuk berhasil tetapi dapat
mengakibatkan kualitas yang buruk bagi pasien
3) Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan dalam
hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk memebuat pasien menyadari,
memahami, dan menerima kondisi penyakitnya serta menerima hasil
keputusan yang telah didiskusikan.
f. Ada beberapa kondisi yang tidak diperlukan diskusi dengan pasien ;
1) Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya / sia-sia
2) Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien,misalnya pasien menjadi
depresi
3) Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin
mendiskusikan hal tersebut
4) Pasien dinilai tidak memiliki lapasitas yang adequat untuk pengmbilan
keputusan
g. Pasien yang diperbolehkan dalam keputusan dini penolakan tindakan DNR harus
memenuhi beberapa persyaratan antara lain ;
1) Pasien harus diatas 18 tahun

26
2) Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental untuk
mengambil keputusan
3) Keputusan ini harus tertulis yang ditulis oleh pasien sendiri atau wali yang
syah
4) Harus ditandatangani oleh 2 (dua) orang yaitu pasien dan 1 (satu) orang saksi
diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifiksi
5) Harus diverifikasi,dapat dituliskan didokumen lain / terpisah yang menyatakan
bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifik,
bahkan jika terdapat resiko kematian
h. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus seijin
pasien.
i. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang diinginkan pasien, paramedis harus
bertindak sesuai dengan kepentingan/ hal yang terbaik untuk pasien.
j. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan. Perawatan
dasar ini diartikan sebagai pemberian tempat tidur yang nyaman dan aman,
mengurangi rasa sakit,serta manejemen hygiene/ kebersihan diri pasien.
k. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya karena mencari ada tidaknya
instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa instruksi itu ada.

2. Panduan dalam mendiskusikan keputusan DNR dengan pasien.


a. Pastikan tercipta suasana yang kondusif
b. Kehadiran yang lengkap dari orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien dalam
mendiskusikan hal ini
c. Komunikasi secara tatap muka sejajar dengan posisi pasien
d. Jika pasien tidak berkeberatan dapat didampingi seorang perawat
e. Pemilihan waktu untuk berdiskusi, yeng terbaik adalah saat diagnosis dan pronosis
sudah jelas dan pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.
f. Berusahalah untuk membangun pemahaman mengenai situasinya saat itu, sifat
dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi jika dilakukan, serta
harapan dan keinginan pasien.
g. Berikan informasi tentang RJP dengan menggunakan kata-kata awam yang mudah
dipahami oleh pasien dan keluarga

27
h. Informasi yang diberikan harus dinilai untuk tingkat pemahamannya disetiap
pasien
i. Kita harus mengerti tentang sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh
pasien dan ruang lingkup aplikasinya, misalnya apa saja yang dijalani pasien.
Semua ini harus dicatat dalam berkas rekam medis.
j. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam kontek positif sebagai bagian dari
keperawatan suportif. Banyak pasien merasa takut bila diabaikan / ditelantarkan
dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian.
k. Petugas harus menekankan mengenai pengobatan dan terapi mana saja yang akan
tetap diberikan, dokter tetap melakukan visite pasien secara teratur, mengurangi
rasa nyeri dan memberi kenyamanan kepada pasien
l. Harus dipisahkan / dibedakan antara keputusan DNR dengan keputusan manajemen
pasien lainnya.
m. Pasien akan merasa dihargai dan akan menurunkan rasa cemas / stress bila diberi
kesempatan untuk diajak berdiskusi.

3. Keputusan DNR pada pasien dewasa Peri-operatif


a. Perubahan kondisi pasien dikarenakan adanya perubahan fisiologis yang dapat
mengakibatkan meningkatkan risiko pasien sangat mempengaruhi untuk tindakan
pembedahan dan anestesi.
b. Tindakan anestesi sendiri baik umum maupun regional akan mengakibatkan
ketidak stabilan kardiopulmuner yang akan membutuhkan penanganan medis.
c. Oleh sebab itu perlu adanya peninjauan kembali keputusan DNR sebelum
melakukan prosedur pembedahan dan anestesi
d. Tujuan peninjauan ulang dalam keputusan DNR ini adalah untuk memperoleh
kesepakatan mengenai apa saja yang akan boleh dilakaukan selama prosedur
anestesi dan pembedahan.
e. Ada 3 (tiga) pilihan dalam peninjauan ulang dalam memutuskan DNR yaitu :
1) Pilihan pertama : keputusan DNR batal selama menjalani anestesi dan
pembedahan, saat pasien keluar dari ruang pemulihan. Saat menjalani
pembedahan dan anestesi dilakukan RJP jika terdapat henti jantung.
2) Pilihan kedua : keputusan DNR dimodifikasi, dengan mengijinkan pemberian
obat-obatan dan tehnik anestesi yang sesuai

28
3) Hal ini termasuk monitor EKG, tensi, oksigenasi dan monitor operatif lainnya.
Dapat menggunakan obat-obatan vasopresor atau obat anti-aritmia untuk
koreksi stabilitas kardiovaskuler yang berhubungan dengan obat-obat anestesi
yang diberikan.
4) Penggunaan defibriltor harus didiskusikan sebelumnya dengan pasien / wali
sahnya.
5) Pilihan ketiga : keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan)
6) Anestesiologis harus berdiskusi dan membuat kesepakatan dengan pasien /
wali sahnya mengenai intervensi apa saja yang diperbolehkan seperti
pemberian infus, sedasi, monitor, obat-obat vasopresor, obat-obat aritmia,
oksigenasi dan lain lainnya.
7) Semua keputusan pilihan pasien harus disepakati dan harus dicatat di rekam
medis.
8) Secara hukum yang berwenang untuk membuat keputusan DNR adalah :
a) Pasien dewasa yang kompeten secara mental
b) Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)
c) Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) yang bertindak dengan
mempertimbangkan tindakan terbaik untuk pasien (jika belum ada
keputusan DNR dini / awal yang telah dibuat oleh pasien / wali sahnya)
9) Jika setelah diskusi masih belum ada kata sepakat mengenai pilihan DNR,
pemegang keputusa tetap pada pasien / wali sahnya
10) Apabila terdapat keraguan mengenai keputusan DNR maupun keraguan
tindakan apa yang terbaik perlu mencari saran kepada komisi etik atau
lembaga hukum setempat
11) Dalam keadaan emergensi ( gawat darurat), dokter harus membuat keputusan
yang dianggapnya terbaik untuk pasien dengan semua informasi yang didapat.
12) Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di kamar
operasi dan ruang pemulihan.
13) Keputusan DNR harus ditinjau ulang saat pasien pindah ke ruang rawat inap.
f. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif pada
pasien dengan keputusan DNR adalah :
1) Alat bantu asupan nutrisi seperti feeding tube, NGT

29
2) Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan penyakit
kronis seperti apendisitis akut.
3) Pembedahan segera yang berhubungan dengan penyakit kronisnya tetapi tidak
dianggap sebagai suatu proses terminal penyakitnya misalnya ileus obstruktif.
4) Manajemen nyeri dengan mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien misalnya
pada fraktur humeri.
5) Prosedur untuk penyediaan akses vaskuler seperti CVP.
g. Pada situasi emergensi :
1) Selalu tidak cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang tentang
keputusan DNR sebelum melakukan anestesi, pembedahan atau resusitasi.
2) Harus tetap dilakukan usaha untuk mengklarifikasi adanya keputusan DNR
dini / awal yang telah dibuat sebelumnya apabila memungkinkan.
h. Terdapat 3 pilihan instruksi DNR sebelum prosedur anestesi / pembedahan yaitu
1) Pilihan pertama : instruksi DNR dibatalkan untuk sementara (jika terjadi henti
napas / jantung, dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya.
2) Pilihan kedua : resusitasi terbatas. Pasien dilakukan usaha resusitasi
sepenuhnya kecuali prosedur spesifik yaitu kompresi dada, kardioversi
3) Pilihan ketiga : resusitasi / spesifik. Pasien dilakukan usaha resusitasi hanya
jika efek samping yang terjadi dianggap bersifat sementara dan reversibel
berdasarkan pertimbangan dokter bedah dan anestesi.

4. Keputusan DNR pada pasien dewasa intra-operatif


a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi
b. Jika pemberian pemedikasi harus sangat hati-hati untuk menghindari terjadinya
perubahan status fisiologis pasien sebelum ditransfer ke kamar operasi.
c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui pilihan keputusan DNR yang
diambil oleh pasien.
d. Dokter bedah dan anestesi yang terlibat dalam konsultasi pasien harus hadir selama
prosedur berlangsung

5. Keputusan DNR pada pasien dewasa pasca-operatif.


a. Pilihan keputusan DNR harus dikomunikasikan kepada petugas ruang pemulihan/
ICU

30
b. Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan / dipindahkan dari ruang
pemulihan.
c. Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih rawat pasien dari
ruang pemulihan ke rawat inap
d. Pada kasus tertentu keputusan DNR dapat diperpanjang waktunya hingga pasien
telah ditransfer ke rawat inap. Misalnya penggunaan analgesik tetap dipakai oleh
pasien post operasi

6. Instruksi DNR Pada Pasien Di Luar Rumah Sakit.


a. Pada situasi kasus emergensi di luar rumah sakit, usaha RJP memiliki keberhasilan
yang rendah terutama pada pasien usia lanjut atau pasien dengan penyakit berat /
terminal.
b. Banyak pasien-pasien dengan kondisi tersebut memilih untuk meninggal dengan
tenang tanpa menjalani tindakan agresif / invasif. Mereka memilih dirawat di
rumah sampai tutup usia.
c. Protokol pelayanan kegawat daruratan medis ditujukan kepada semua pasien yang
mengalami henti jantung / henti napas, kecuali pasien yang telah ditemukan
meninggal sebelumnya dengan tanda-tanda kematian yang jelas atau memiliki
instruksi DNR yang valid dan ditandatangani oleh dokter.
d. Bila ada instruksi DNR tetapi tidak dalam keadaan henti jantung / henti napas , tim
kegawatdaruratan medis harus melakukan asesmen pasien, menyediakan semua
tatalaksana yang sesuai, menyediakan transportasi ke rumah sakit, menghargai
serta mematuhi instrusksi DNR jika terjadi henti napas / jantung pada pasien
selama transfer, dan memberikan salinan instruksi DNR ke rumah sakit penerima
e. Bila kasus terjadi di rumah, maka perintah DNR karena penolakan resusitasi dari
keluarga dan pasien tenaga medis / petugas emergensi tidak boleh melakukan
resusitasi maupun transfer ke rumah sakit.

7. Kondisi dan keberadaan dilakukan DNR


a. Informasi tentang permintaan pasien dan atau keluarga untuk tidak dilakukan
resusitasi (DNR), bisa diperoleh saat pasien masuk ataupun saat perawatan pasien,
sangat tergantung kapan pasien atau keluarga memintanya

31
b. Untuk dapat memberikan informasi ke staf medis lainnya, petugas akan
memberikan tanda identitas dengan memakaikan gelang berwarna ungu yang
menandakan apabila terjadi sesuatu kegawatan pada pasien tersebut tidak perlu
dilakukan resusitasi.
c. Permintaan DNR dapat dibatalkan dengan keputusan pasien sendiri atau keluarga
atau wali yang sah dan gelang identitas yang berwarna ungu dapat dicabut kembali.
d. Semua penolakan tindakan medis dan pembatalan penolakan harus tercatat dalam
berkas rekam medis.
e. Direkam Medis harus tercantum :
1) Tulisan ‘Pasien ini tidak dilakukan resusitasi’.
2) Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
3) Indikasi / alasan tindakan DNR
4) Batas waktu berlakunya intruksi DNR
5) Nama dokter penamggung jawab pasien
6) Ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien (yang mengambil
keputusan)
7) Contoh :
 TANGGAL 25 April 2013
 Pukul 16.00 WIB
 Tidak dilakukan RJP
 Indikasi : syok kardiogenik
 Batas waktu : 24 jam
f. Pada beberapa kasus tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi DNR,
misalnya keganasan fase terminal
g. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penangan dan tatalaksana
lainnya untuk pasien tetap dilakukan dengan optimal
h. Penolakan pasien untuk resusitasi / Perintah DNR pasien harus menggunakan
Informed Concent dalam catatan medis pasien. Keluarga dan dokter harus
menandatangani formulir Informed Concent tersebut.

32
BAB IV
DOKUMENTASI

Dokumentasi persetujuan tindakan resusitasi menggunakan persetujuan tindakan kedokteran,


dan berada pada rekam medis pasien , catatan tindakan resusitasi didokumentasikan di rekam
medis pasien

Permintaan pasien dan atau keluarga untuk penolakan tindakan medis didokumentasikan dalam
suatu formulir penolakan tindakan medis yang berisi antara lain
1. Nama pasien/ identitas pasien
2. Nama keluarga yang meminta DNR yang ditunjuk atau yang mewakili pasien
3. Alasan dilakukannya DNR
4. Tandatangan dokter yang memberikan penjelasan
5. Tandatangan dari pasien dan atau keluarga yang sah serta saksi yang ditunjuk
6. Formulir ini masuk dalam berkas rekam medis pasien

Formulir penolakan tindakan medis harus masuk dalam catatan berkas rekam medis pasien.
Hal ini sebagai bukti apabila terjadi sesuatu kegawatan terhadap psien tetapi semua petugas
medis tidak akan melakukan tindakan resusitasi.

Keputusan untuk tidak melakukan RJP harus dicatat di rekam medis dan di formulir Do Not
Resusitate (DNR). Formulir DNR harus diisi lengkap dan disimpan dalam rekam medis pasien.
Di rekam medis harus dicatat juga mengenai hasil diskusi dengan pasien dan keluarga
mengenai keputusan untuk tidak melakukan resusitasi

33

Anda mungkin juga menyukai