Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ISSUE KEPERAWATAN KRITIS :DO NOT RESUCITATE (DNR)

DISUSUN OLEH :

Kelompok 2

1. Nia Ruspiana (20142019124.P)


2. Siti Zulaika(20142019109.P)
3. Asse (20142019111.P)
4. Siska Mayasari (20142019113.P)
5. Sri yani (20142019114.P)

PSIK SEMESTER 7 REG B2


DOSEN PEMBIMBING : Ns. ALI HAROKAN, S.Kep, M.Kes

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah “ISSUE
KEPERAWATAN KRITIS :DO NOT RESUCITATE (DNR) ”dengan baik dan
tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa
bantuan dari teman-teman untuk membantu menyelesaikan makalah ini.Oleh
karena itu kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
teman-temanyang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini, oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami.Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita sekalian.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan tugasnya di fasilitas pelayanan kesehatan tenaga
kesehatan berperan penting dalam membantu proses penyembuhan pasien. Ketika
pasien mengalami keadaan emergensi atau gawat darurat (henti jantung/napas)
tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) memiliki peran penting dalam
memberikan pertolongan pertama sesuai kompetensinya masing-masing.Keadaan
pasien yang mengalami henti jantung/napas dapat sesegera mungkin mendapat
tindakan resusitas jantung paru (RJP) atau Cardio Pulmonary
Resuscitation (CPR).
RJP/CPR adalah serangkaian prosedur darurat yang dilakukan pada
pasien selama mengalami henti jantung dan/atau pernapasan dengan tujuan
mengembalikan fungsi jantung dan paru-paru dengan melakukan kompresi
dada, ventilasi/napas buatan, obat-obatan dan DC Shock.
Do-Not-Resuscitate atau yang lebih dikenal dengan singkatan DNR
adalah adalah instruksi medis dimana pengambil keputusan adalah dokter
dengan mempertimbangkan penilaian tenaga kesehatan lain (perawat) bahwa
kualiatas hidup pasien sangat rendah sehingga tidak dilakukan resusitasi
(CPR/RJP) dengan persetujuan wali/keluarga pasien. DNR adalah suatu
perintah yang memberitahukan tenaga kesehatan untuk tidak melakukan
CPR, sehingga dokter, perawat, dan tenaga emergensi medis lainya tidak
akan melakuakn usaha CPR bila pasien mengalami henti jantung atau
pernapasan. DNR adalah permintaan tertulis atau lisan (sesuaikan hukum
negara) yang mana seseorang tidak ingin menerima resusitasi jantung paru
(RJP) jika jantung dan pernapasan berhenti berdetak.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Do not resuscitate
2. Bagaimana tata laksana Do not resuscitate
3. Bagaimana Pendokumentasian Do not resuscitate
4. Bagaimana Pro dan Kontra Do not resuscitate
5. Bagaimana Kajian etik Do not resuscitate

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Do not resuscitate
2. Mengetahui tata laksana Do not resuscitate
3. Mengetahui Pendokumentasian Do not resuscitate
4. Mengetahui Pro dan Kontra Do not resuscitate
5. Mengetahui Kajian etik Do not resuscitate
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Tindakan Do Not Resucitate ( DNR ) adalah suatu tindakan dimana apabila
pasien mengalami henti jantung dan atau henti napas para medis tidak akan
dipanggil dan tidak akan melakukan usaha tindakan resusitasi jantung paru
dasar maupun lanjut.
a. Jika pasien mengalami henti jantung/henti napas lakukan segera
assessment untuk mengidentifikasi penyebab,patensi jalan
napas,memeriksa kondisi pasien dan sebagainya. Tidak perlu
melakukan usaha tindakan resusitasi dasar dan lanjut.
b. DNR tidak berarti semua tata laksana / penanganan aktif pasien
diberhentikan (misalnya pemberian terapi intravena,pemberian obat
– obatan) tetap dilakukan pada pasien dengan DNR.
c. Semua perawatan mendasar tetap dilakukan tanpa kecuali.
2. Henti Jantung adalah suatu keadaan ketika jantung dengan alasan apapun tidak
memompa dengan efektif atau bahkan tidak memompa sama sekali disertai
tidak adanya denyut nadi yang teraba.
a. Hal ini dapat disebabkan karena adanya Fibrilasi ventrikel,asistol
atau pulseless electrikel activity ( PEA ).
b.Untuk memperoleh hasil RJP efektif maka resusitasi harus dilakukan
sesegera mungkin.
c. Jika pasien ditemukan tidak bernapas,tidak ada denyut jantung,pupil
midriasimaksimal hal ini bukanlah henti jantung dan tidak perlu dilakukan
resusitasi.
3. Resusitasi Jantung Paru ( RJP ) adalah salah satu rangkaian
tindakanpenyelamatan nyawa untuk meningkatkan kelangsungan hidup
pasien hentijantung mendadak.RJP dapat diberikan pada pasien yang tiba –
tiba terjatuh/tidaksadar,tidak bernapas atau bernapas tidak normal ( gasping )
serta tidak adatulisan DNR di status rekam medis.
4. Fase / penyakit terminal adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera
/penyakit yang menurut perkiraan dokter / tenaga medis lainnya
tidak dapatdisembuhkan dan bersifat ireversibel dan pada akhirnya
akan menyebabkankematian dalam rentang waktu yang singkat dan dimana
pengaplikasian terapiuntuk memperpanjang / mempertahankan hidup
hanya akan berefek dalammemperlama proses penderitaan / sekarat pasien.

B. Ruang Lingkup
Rumah sakit menghormati hak pasien dan keluarga dalam menolak tindakan
resusitasi atau pengobatan bantuan hidup dasar.Penolakan resusitasi dapat
diminta oleh pasien dewasa yang kompeten dalam mengambil keputusan.
Pasien yang tidak bisa membuat keputusan terhadap dirinya (belum cukup umur,
gangguan kesadaran mental dan fisik ) diwakilkan kepada anggota keluarga atau
wali yang ditunjuk.
GUIDELINES:
1. Menghormati keinginan pasien dan keluarganya :
a. Kecuali perintah DNR dituliskan oleh dokter untuk seorang pasien, maka
dalam kasus-kasus henti jantung dan henti napas, tenaga emergensi wajib
melakukan tindakan resusitasi
b. Ketika memutuskan untuk menuliskan perintah DNR, dokter tidak boleh
mengesampingkan keinginan pasien maupun walinya
c. Perintah DNR dapat dibatalkan (atau gelang DNR dapat dimusnahkan)
2. Kriteria DNR
a. Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten
mengambil keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau
bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil
oleh keluarga terdekat,atau wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan,
b. Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi bahan
diskusi perihal DNR dengan pasien/walinya:
1) Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah
atau CPR hanya menunda proses kematian yang alami
2) Pasien tidak sadar secara permanen
3) Pasien berada pada kondisi terminal
4) Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian
dibanding keuntungan jika resusitasi dilakukan

C. Tata Laksana
Prosedur Penolakan Resusitasi di Rumah Sakit
1. Dokter Penanggung Jawab Pasien menjelaskan tentang pentingnya resusitasi
atau pengobatan bantuan hidup dasar
2. Pasien atau keluarga / wali yang ditunjuk mengisi formulir penolakan
resusitasi.
Prosedur yang direkomendasikan:
1. Meminta informed consent dari pasien atau walinya
2. Mengisi formulir DNR. Tempatkan kopi atau salinan pada rekam medis
pasien dan serahkan juga salinan pada pasien atau keluarga dan caregiver.
3. Menginstruksikan pasien atau caregiver memasang formulir DNR ditempat-
tempat yang mudah dilihat seperti headboard, bedstand, pintu kamar atau
kulkas
4. Dapat juga meminta pasien mengenakan gelang DNR di pergelangan tangan
atau kaki (jika memungkinkan)
5. Tinjau kembali status DNR secara berkala dengan pasien atau walinya, revisi
bila ada perubahan keputusan yang terjadi dan catat dalam rekam medis.Bila
keputusan DNR dibatalkan, catat tanggal terjadinya dan gelang DNR
dimusnahkan
6. Perintah DNR harus mencakup hal-hal di bawah ini:
a. Diagnosis
b. Alasan DNR
c. Kemampuan pasien untuk membuat keputusan
d. Dokumentasi bahwa status DNR telah ditetapkan dan oleh siapa
7. Perintah DNR dapat dibatalkan dengan keputusan pasien sendiri atau dokter
yang merawat, atau oleh wali yang sah. Dalam hal ini, catatan DNR direkam
medis harus pula dibatalkan dan gelang DNR (jika ada) harus dimusnahkan
D. Dokumentasi
1. Pencatatan dan pelaporan dilakukan oleh seluruh penyelenggara RS dengan
mengunakan format yang sudah disediakan oleh Rekam Medis
2. Penolakan pemberian DNR ( Do Not Resusitate ) atau jangan lakukan
resusitasi dengan mengisi formulir keputusan DNR.
3. Seluruh tindakan yang dilakukan di catat dalam catatan keperawatan 

E. Pro Dan Kontra


1. Perdebatan mengenai aspek hukum DNR masih terus berlaku. Beberapa
negara melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan. Di Cina dan
Korea Selatan misalnya, DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan
pengobatan seperti resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada
setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama. Contoh lain, di Inggris,
mengemukakan bahwa orang yang diberikan label DNR memiliki
kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapat penatalaksanaan yang
layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada kemungkinan keinginan
euthanasia, terutama pada pasien dewasa yang kompeten namun menolak
resusitasi jantung paru secara irasional.
2. Aspek lain yang banyak digunakan untuk menolak DNR adalah aspek etis
dan agama. Kaidah etis dan terutama kaidah agama menjadi banyak dasar
pihak yang menolak dilakukan DNR. Agama tidak memberikan kuasa pada
manusia untuk dapat menentukan hidup dan mati seseorang sebagaimana
keputusan DNR dianggap dapat menentukan hidup dan mati seseorang.[4]
3. Beberapa pertimbangan yang digunakan kelompok pro terhadap DNR adalah
pertimbangan legal dan etis. Pertimbangan legal misalnya, bahwa
rekomendasi American Heart Association (AHA), sebagai salah satu panduan
yang banyak digunakan di seluruh dunia, menyatakan bahwa RJP tidak
diindikasikan pada semua pasien. Pasien dengan kondisi terminal, penyakit
yang tidak reversibel, dan penyakit dengan prognosis kematian hampir dapat
dipastikan, tidak perlu dilakukan RJP.
4. Beberapa organisasi profesi, misalnya organisasi profesi perawat dan dokter
anestesi memiliki konsensus yang mendukung hak pasien akan dirinya
sendiri. Pasien yang dinyatakan dewasa secara hukum dan kompeten berhak
menolak prosedur, termasuk yang menyelamatkan hidup mereka, setelah
mendapat informasi dan memahami betul implikasi keputusannya. Perintah
DNR dianggap sebagai dokumen medis legal yang mencerminkan keputusan
dan keinginan pasien akan menghindari upaya untuk mempertahankan
kehidupan.
5. Pandangan etis terhadap DNR juga dipakai sebagai alasan pembenaran
tindakan tersebut. Melakukan resusitasi jantung paru tidak hanya dibatasi
oleh kaidah legal dan teknis namun juga mempertimbangan 4 kaidah bioetika,
asas manfaat (beneficence), prinsip do no harm (nonmaleficence), perlakuan
yang adil (justice), dan hak otonomi pasien (autonomy). Selain itu, beberapa
pandangan agama juga membenarkan dilakukannya DNR terutama bila RJP
tidak akan memberikan hasil yang terbaik dan justru menambah beban pasien
dan keluarga.
6. Perintah DNR dapat juga merupakan bagian dari keputusan medis. Bila tim
medis percaya bahwa RJP tidak akan berhasil, maka RJP tidak perlu dimulai
karena dokter dapat menghentikan perawatan yang dianggap sia-sia (futile
care). Hal ini memerlukan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan
dokter dan tim medis lain. Keputusan DNR harus dipandang sebagai bagian
dari upaya resusitasi pasien.

F. Kajian Etik Pada DNR


1. DNR dianggap sebagai bagaian dari upaya resusitasi pasien sehingga prinsip
etik yang dikaji haruslah pengkajian terhadap keseluruhan upaya RJP. Prinsip
etik yang dilakukan harus mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar.
Misalnya, orang Asia sangat menekankan pada keputusan kelompok akan
keputusan yang ingin di ambil. Berbeda dengan orang di Amerika Serikat
yang sangat menekankan pada prinsip otonomi individual.
2. Prinsip Beneficience adalah prinsip yang menjadi keuntungan upaya
pemulihan yang dilakukan pasien. Pada prinsip ini RJP dipandang sebagai
upaya pemulihan kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk
meringankan kesakitan dan penderitaan pasien.RJP berdasarkan prinsip ini
dokter harus memikirkan kebermanfaatan RJP pada pasien.RJP dianggap
sebagai upaya yang sangat efektif pada pasien dengan henti jantung yang
disebabkan oleh gangguan jantung. Jarang sekali ditemukan pasien yang
mengalami perbaikan pasca RJP bila henti jantung terjadi akibat penyebab
lain misalnya gagal ginjal, kanker, atau penyakit kronis lain. Penyebab yang
irreversibel seperti syok bekerpanjangan merupakan indikasi untuk tidak
melakukan RJP atau perintah DNR. Namun, perlu diingat bahwa penuaan
bukanlah kontraindikasi dilakukannya RJP.
3. Prinsip non maleficence (do no harm) adalah prinsip yang mencegah tindakan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan meningkatkan kesakitan pada pasien.
Pemberian RJP berkepanjangan atau RJP yang diberikan terlambat pada
dasarnya memberikan kesakitan lebih lanjut pada pasien.Pasien dapat
bertahan hidup tetapi berada dalam kondisi koma persisten atau status
vegetatif. Berdasarkan prinsip ini, RJP dikatakan tidak memberikan
kesusahan lebih lanjut bila keuntungan akibat tindakan ini dianggap lebih
besar dibanding kerugiannya.
4. Prinsip otonomi pasien harus dihormati secara etik, bahkan secara legal.
Dalam mengambil keputusan, pasien menggunakan hak otonominya, harus
dipastikan pasien secara cakap memberikan keputusan untuk menyetujui atau
menolak tindakan medis, termasuk RJP.Pasien dianggap dewasa sesuai
dengan peraturan negara yakni berusia 18 tahun.Pasien juga harus dinilai
kapasitasnya dalam mengambil keputusan.Sebelum keputusan diambil
pasien, diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien. Dokter
wajib memberikan informed consent yang mensyaratkan pasien mampu
menerima dan memahami informasi yang akan diberikan berkaitan dengan
kondisi penyakit, prognosis, tindakan medis yang diusulkan, tindakan
alternatif, risiko dan manfaat dari masing-masing pilihan. Pasien yang
kapasitasnya menurun akibat obat-obatan atau penyakit penyerta, harus
dikembalikan dulu pada kondisi semula sampai pasien mampu memberikan
keputusan medis. Bila terjadi kondisi gawat darurat sebelum pasien belum
mengambil keputusan dengan waktu yang terbatas untuk mengambil
keputusan, pilihan yang bijaksana adalah memberikan perawatan medis
sesuai standar.
5. Prinsip keadilian menjamin terpenuhinya hak-hak pasien dengan
menyeimbangkan tercapainya tujuan social. Prinsip keadilan diperlukan
untuk mengurangi ketidaksamaan perlakuan pada pasien.Namun, diperlukan
nilai moral untuk menjustifikasi perawatan medis yang diberikan pada pasien.
Prinsip keadilan menjamin semua pasien yang mengalami henti jantung harus
mendapat RJP, tetapi nilai moral akan menentukan pada pasien mana RJP
akan memberikan manfaat yang paling baik. Dalam menjamin terjadinya
keadilan, penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan apakah
sebuah tindakan medis: 1) mengobati, mencegah dan memberikan harapan
hidup yang tinggi, 2) menghasilkan lebih sedikit efek samping dan kesakitan,
3) memberikan manfaat dan 4) secara nyata memberikan dampak positif
dibanding dampak negatif.

G. Aspek Hukum Di Indonesia


Belum ada peraturan yang secara jelas mengatur bagaimana DNR
dilakukan di Indonesia. Dasar perundang-undangan yang banyak digunakan
sebagai landasan dalam mempertahkan kehidupan manusia adalah UUD
tahun 1945 pasal 28 A perubahan kedua yang menyebutkan “setiap orang
berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hal
ini diperkuat oleh Undang-undang no. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran pasal 39 yang menyatakan bahwa “praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan.”
Pelaksanaan setiap tindakan kedokteran harus didasarkan pada
persetujuan pasien setelah mendengarkan penjelasan yang cukup oleh
dokter.Hal ini tertulis pada UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
pasal 45.Dalam keadaan kegawatdaruratan seringnya persetujuan tindakan
harus dilakukan bersamaan dengan pemberian tindakan yang menyelamatkan
nyawa. Pertolongan kegawatdaruratan harus diberikan oleh dokter
berdasarkan pada Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 17 menjelaskan
bahwa “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
wujud tugas peri kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia
dan mampu memberikannya.” Pada penjelasan pasal 17 dinyatakan bahwa
kewajiban dokter untuk memberikan pertolongan gawat darurat hanya gugur
oleh beberapa hal, salah satunya adalah pada pasien yang telah mendapat
keputusan medis DNR yang diberikan pada pasien paliatif.
Saat ini belum ada kepastian hukum yang mengatur DNR. Bila
mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 37 tahun 2014 mengenai
penentuan kematian dan pemanfaatan organ dalam pasal 1 ayat (1)
menyebutkan bahwa praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada
kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam pandangan ini, DNR
dapat dianggap sebagai bagian eutanasia. Eutanasia, walaupun belum jelas
kedudukan hukumnya, dapat dikenakan KHUP pasal 344 bab XIX tentang
kejahatan terhadap nyawa.
Saat ini juga belum diatur bagaimana apabila keputusan DNR
dilakukan oleh pasien, bahkan sebelum masuk dalam perawatan. Dalam hal
ini, pasien yang pernah mengambil keputusan DNR di perawatan sebelumnya
atau fasilitas kesehatan lain tidak dapat melakukan penuntutan pada dokter
apabila atasnya dilakukan tindakan penyelamatan nyawa.
Dalam pertimbangan hukum, pengambilan keputusan DNR harus
dilakukan dengan pertimbangan yang matang.Kesepakatan mengenai kondisi
pasien dan bagaimana kualitas hidup pasien menjadi penting.
Pendokumentasian keputusan ini dalam form khusus juga penting sebagai
pembuktian bila ada permasalahan hukum di kemudian hari.

DAFTARPUSTAKA
Ake,J(2003).MalpraktekdalamKeperawatan.Jakarta:EGC

Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence.The Journal for high


acuty,progressive,andcriticalcarenursingVol.23pp:72-73

Guwandi.(2004). HukumMedik (Medical


Law).Jakarta :FakultasKedokteranUniversitasIndonesia

Hendrik.(2011).Etika&HukumKesehatan.Jakarta:EGC

Iwanowski, Piotr S. (2007). Informed Consent Procedure For Clinical Trials


inEmergency Settings : The Polish Perspective. Science English Ethics
Vol 13pp :333-336

Keputusan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan


TindakanKedokteran

Khan,M.Kaleem,Hanif,ShaukatA.
(2010).SelfAutonomyandInformedConsentInClinicalSetup.IndianJourn
alof MedicalScienceVol64No.8

Morton,Fontaine.(2009).CriticalCare Nursing:AHolisticApproach.
LippincotWilliams&Wilkins.

Potter&Perry.(2005).FundamentalKeperawatan:Konsep,proses,danpraktik

Ed.4.Jakarta :EGC

Anda mungkin juga menyukai