Anda di halaman 1dari 6

ESSAY

KONTRA DNR ( Do Not Rescucitation)


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Basic Life Support

Oleh :
Dwi Saputra

22020113120024

Vera Dinda W

22020113120025

Dwi Kustiyana

22020113120027

Hanna Rusiani

22020113120031

Rainy Tri K

22020113120042

Ferdyta Baskara

22020113120052

Munib Arrohmah

22020113130084

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014

DNR ( Do Not Rescucitate ) adalah suatu keputusan untuk tidak melakukan resusitasi
jantung-paru pada pasien jika pasien mengalami henti jantung (Baradero, Dayrit & Ester, 2008).
Pesan DNR harus ditulis oleh dokter yang bersangkutan pada catatan medis pasien ( Baradero,
Dayrit & Ester, 2008). Status pesan DNR harus dipertimbangkan secara teratur dan diperbarui
tiap 24 jam apabila pasien masih hidup (Baradero, Dayrit dan Ester, 2008). Perintah DNR dapat
ditempelkan pada tempat tidur pasien atau dapat pula dimasukkan dalam statusnya. DNR sama
dengan membiarkan pasien meninggal. Hal ini tentu tidak sesuai dengan tugas dan tanggung
jawab tenaga kesehatan yaitu untuk menolong pasien. Membiarkan pasien meninggal begitu saja
tanpa memberikan pertolongan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan tugas dan
tanggung jawab perawat untuk menolong pasien.
DNR (Do Not Rescucitate) berarti tidak memperbolehkan tenaga medis melakukan RJP
pada pasien. RJP bertujuan untuk mengembalikan fungsi optimal pernafasan dan sirkulasi untuk
mencegah kematian (kematian biologis) pada pasien yang mengalami henti jantung. Sementara
henti jantung merupakan penyebab kematian yang tinggi. Jika perintah DNR terus dilakukan,
maka angka kematian akibat henti jantung akan terus meningkat. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention dari 2005-2010 jumlah penderita
henti jantung (cardiac arrest) yang meninggal setelah dilakukan resusitasi sebesar 21,6 %, 26,3%
berhasil dilarikan ke rumah sakit dan 9,6% berhasil bertahan sampai keluar dari rumah sakit.
Hal ini menunjukkan bahwa RJP dapat memperpanjang kesempatan hidup pasien.
Di Amerika Serikat, tindakan RJP sangat dianjurkan dengan tetap mempertahankan
otonomi dan keselamatan pasien. Tujuan utama RJP (Resusitasi pada Jantung dan Paru-paru)
tidak hanya untuk mempertahankan hidup seseorang, namun juga advokasi pendidikan yang
lebih baik bagi perawat professional. Pengambilan keputusan DNR dilakukan dengan
mendiskusikan dengan pasien maupun keluarga pasien, dan hasilnya adalah pasien tidak di
perbolehkan melakaukan RJP. Namun dari hasil penelitian yang telah dilakukan, pasien tetap
berkeinginan untuk tetap hidup. Pasien menginginkan perawatan yang maksimal dan
menginginkan di lakukannya RJP mempertahankan hidup.
Perintah DNR adalah suatu perintah yang melarang tenaga kesehatan mengupayakan
kehidupan pasien. Padahal, perawat harus selalu mengusahakan tindakan yang dapat

menyelamatkan hidup pasien sekalipun kemungkinan berhasilnya kecil. Bantuan RJP seharusnya
diberikan kepada pasien dengan cepat saat pasien mengalami henti jantung. Semakin cepat
seorang pasien yang mengalami henti jantung diberikan bantuan hidup dengan RJP kurang dari 5
menit dari saat ia mengalami henti jantung maka kemungkinan untuk tetap dapat bertahan hidup
besar. Berdasarkan penelitian di India, jumlah pasien henti jantung yang dapat terselamatkan
sebagian besar karena mendapatkan pertolongan RJP sedini mungkin. Menurut AHA 2010
menyatakan bahwa bila pijat jantung terlambat dilakukan, angka keberhasilkan resusitasi
menjadi lebih kecil. RJP juga penting diberikan dengan cepat pada pasien dengan usia muda.
Upaya RJP pada usia muda sebaiknya dilakukan setelah henti jantung hingga 30 menit setelah
dilakukan RJP. Penelitian yang dilakukan di Punjab, India menyatakan bahwa jumlah pasien
yang paling banyak selamat dari henti jantung adalah salah satunya usia muda. RJP pada usia
muda memiliki tingkat keberhasilan tinggi karena pada usia muda masih memiliki kekuatan pada
dirinya dan bisanya dalam diri usia muda tidak meiliki suatu penyakit komplikasi
Kebanyakan orang memutuskan untuk tidak memberikan resusitasi jantung pada pasien
karena menganggap pemberian resusitasi tidak akan bisa menyelamatkan pasien. Keberhasilan
RJP dapat ditunjang dengan beberapa faktor, diantaranya yaitu ada peralatan yang lengkap (ambu
bag, selang oksigen, oksigen,

suction, selang

mandrainnya, laringoskop, senter, papan serta

suction, gudel,

endotrakeal tube

beserta

obat emergency seperti adrenalin, SA, atau

amiodaron), kompetensi tenaga kesehatan, respone time, kualitas resusitasi jantung paru,
ketersediaan peralatan emergensi, kondisi klien, lokasi dirawat, dan kebijakan rumah sakit..
Pasien yang telah berhasil diberi RJP dianjurkan untuk mendapatkan perawatan di ruang intensif
karena alat di ruang intensif lebih memadahi daripada di bangsal. Tindakan RJP yang dibertikan
harus sesuai dengan panduan yang benar, agar tidak menimbulkan kerugian yang fatal pada
pasien, untuk saat ini, panduan yang digunakan adalah dari Guidelines AHA 2005.
Ada beberapa teknik atau cara untuk menghitung irama kompresi yaitu Perhitungan
Irama rule of five dan rule of ten. Perhitungan rule of five hanya menggunakan angka yang
mempunyai 2 suku kata dan angka penghitungan yang digunakan yaitu angka 1,2,3,4,5, dan
6. Irama perhitungan rule of five menghasilkan kedalaman kompresi 4 5 cm. Keteraturan
irama kompresi menyebabkan tenaga penolong terjaga, sehingga kecepatan dan tekanan pijatan
tetap konstan. Sedangkan penghitungan irama kompresi menggunakan tehnik penghitungan

rule of ten yaitu dimana angka yang digunakan didalam kompresi yaitu 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,
20, dan 30 dapat menghemat tenaga penolong dikarenakan tidak banyak energi yang terbuang
saat menyebutkan angka. Kualitas resusitasi

jantung paru dapat di

gambarkan

dengan

efektifitas kompresi dada. Kompresi dada yang efektif maka aliran darah yang ada pada jantung
akan tetap mengalir keseluruh tubuh. kompresi dengan kecepatan 130-150 kompresi permenit
akan meningkatkan perfusi otak dan coronaria ( Diklat Ambulans Gawat Darurat,2007). Jika
resusitasi jantung paru dilakukan dengan teknik yang benar maka kemungkinan berhasil sangat
besar.
CPR merupakan harapan terakhir untuk hidup bagi pasien yang mengalami serangan
jantung dengan melakukan kompresi jantung luar dan Pemberian napas buatan dari mulut ke
mulut untuk mempertahankan sirkulasi tetap normal dan membuat pernapasan menjadi pulih
kembali. Pemberian

resusitasi jantung paru atau CPR perlu peningkatan sejalan dengan

kemajuan di era modern saat ini, yaitu dengan kolaborasi dan perkembangan alat alat modern
saat ini. Organisasi kesehatan di Eropa yaitu

The European Resuscitation Council (ERC)

mencetuskan bahwa pelatihan BLS harus wajib di semua sekolah medis, kedokteran gigi dan
lembaga pelatihan perawat di seluruh Eropa. Selain itu, Rumah Sakit di Eropa harus
menyediakan program untuk memastikan bahwa semua staf yang terlibat dalam perawatan
pasien secara langsung, menerima pelatihan wajib dan pelatihan ulang dalam keterampilan CPR
atau RJP. Dari hasil keputusan tersebut juga menunjukan bahwa pentingnya pemberian resusitasi
jantung paru atau CPR pada semua pasien. Bukan hanya dari The European Resuscitation
Council (ERC) yang berperan dalam pentingnya pemberian Resusitasi jantung paruatauCPR, The
Ohio State University Medical Center di Amerika Serikat juga diminta oleh manajer dari
Emergency Department untuk mengembangkan tim perawat yang ada untuk mengembangkan
keterampilan BLS yaitu Resusitasi jantung paru atau CPR dalam menanggapi atau cepat tanggap
saat situasi krisis.
Perintah DNR memberikan dampak buruk bagi pasien sebelum maupun sesudah pasien
mengalami henti jantung. Ditemukan bahwa terjadi pengurangan tindakan medis yang signifikan
setelah pasien diberi perintah larangan resusitasi. Larangan tersebut mengurangi tindakantindakan yang dapat membantu pasien untuk mempertahankan kehidupannya seperti katerisasi
jantung, operasi bypass, dan transfusi darah. Hal ini tentunya dapat merugikan pasien karena
dengan pemberian larangan resusitasi bagi pasien dapat mengurangi ketahanan hidupnya. Dan

juga pemberian larangan resusitasi pada pasien post-OHCA selama 24 jam awal adalah tidak
akurat sampai paling sedikit 72 jam, bahkan pemberian larangan resusitasi merupakan perintah
yang masih prematur untuk beberapa pasien, dengan efek yang tinggi yang dapat menyebabkan
keterbatasan ketahanan hidup yang masi dini. Pemberian perintah larangan resusitasi yang terlalu
dini berhubungan dengan kurangnya aggresisive hospital care, rendahnya penggunaan prosedur
yang menguntungkan bagi pasien, dan pertahanan hidup yang salah. Pemberian perintah
larangan resusitasi adalah keputusan pribadi dan keluarga, anggota keluarga, orang terdekat
pasien dan pegawai rumah sakit. Keputusan tersebut perlu di waspadai karena pada pasien postOHCA karena masih membutuhkan perlindungan yang cukup dan perawatan post-OHCA yang
lebih. Ditambah lagi dengan pemberian perintah larangan resusitasi pada pasien bisa mengurangi
jumlah intervensi-intervensi standar dari rumah sakit untuk pasien setelah OHCA. Kefleksibilitas
keputusan pada pasien merupakan sebuah kebutuhan, memegang harapan dari pasien, keluarga,
perbedaan budaya, waktu prognosis yang cukup. Pemberian larangan resusitasi pada pasien juga
memberikan batasan untuk memperoleh data pada pasien serta bisa menimbulkan beberapa
pertanyaan yang akan muncul di penelitian masa depan. Dengan pemberian larangan resusitasi
berarti membatasi beberapa intervensi yang bisa mambantu atau menolong pasien tersebut.
Perintah DNR seharusnya tidak diberikan kepada pasien karena tenaga kesehatan
seharusnya tetap mengupayakan keselamatan semua pasien. Perintah DNR dapat meningkatkan
angka kematian pasien karena henti jantug. Selain itu, DNR juga dapat merugikan pasien
sebelum ataupun setelah pasien mengalami henti jantung, hal ini dikarenakan pengurangan
perawatan yang didapatkan oleh pasien setelah pasien mendapatkan pesan DNR (Do Not
Rescucitate).

DAFTAR PUSTAKA
Baradero M, Dayrit MW dan Ester M. 2008. Keperawatan perioperative : Prinsip dan Praktik.
Jakarta : EGC
Pratondo., dan Oktavianus. (2012). Persepsi Perawat tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di UPJ RSUP dr. Kariadi Semarang. Jurnal
KESMADASKA, 3(1), 1-13
Richardson et al. (2013). The impact of early do not resuscitate (DNR) orders on patient care and
outcomes following resuscitation from out of hospital cardiac arrest. Resuscitation. 84.
483-487

Anda mungkin juga menyukai