Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN KEJADIAN LUAR BIASA

RESUSITASI JANTUNG PARU PADA PASIEN DENGAN CHF


DI RUANG LAVENDER RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA

STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESI

PRAKTIK PROFESI NERS

Semester I

Disusun Oleh:

EVI NUR JANAH

I4B022008

KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN PROFESI NERS

PURWOKERTO

2022
A. Kejadian Luar Biasa (KLB)
Ny. S usia 84 tahun masuk ke RSUD dr. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga dengan indikasi mengalami CHF (Congestive Heart Failure). Pada 7
September 2022, kondisi Ny. K masih dalam keadaan stabil dan mampu
melakukan aktivitas di tempat tidurnya serta menunjukan respon yang baik.
Prognosis memburuk mulai pada 10 September 2022. Klien sudah terpasang nasal
kanul tetapi masih terlihat sesak napas dengan mulut terbuka lebar, tidak
membuka mata, tidak berespon terhadap rangsangan nyeri yang diberikan. Hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan bahwa terdapat penurunan fisiologis
dengan tekanan darah dan saturasi oksigen yang menurun.
Monitoring tanda-tanda vital terus dilakukan setiap 30 menit dan
didapatkan hasil bahwa klien terus mengalami penurunan fisiologis tubuh dan
akral yang semakin dingin. Klien diposisikan supine karena keadaan tubuh yang
semakin lemah. Kemudian perawat menelepon 555 untuk panggilan code blue dan
memberikan inform consent kepada keluarga untuk persetujuan dilakukan
Resusitasi Jantung Paru (RJP). Keluarga memberi ijin untuk dilakukan RJP.
Sembari menunggu code blue datang, perawat tidak langsung melakukan RJP dan
mengatakan nanti saja menunggu code blue datang. Kemudian lebih dari 10 menit
code blue baru datang dan dilakukan pemeriksaan nadi karotis dengan hasil nadi
tidak teraba sehingga langsung dilakukan pemasangan EKG dan dilanjutkan RJP.
RJP dilakukan selama 5 siklus dan diulang sampai 4 kali tetapi pasien masih tidak
menunjukan respon dengan hasil EKG menunjukan asistol dan sehingga pasien
dinyatakan meninggal dunia.
Berdasarkan uraian di atas penulis mengamati secara langsung bagaimana
penurunan kondisi pada pasien dalam status kesadaran koma sampai dengan
meninggal dunia. Pemberian Bantuan Hidup Dasar (BHD) untuk pasien dengan
henti jantung perlu diberikan dengan segera. Jika tidak dilakukan dengan segera
atau terlambat beberaa manit maka dapat mengancam nyawa bahkan bisa
meninggal dunia. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui bagaimana pemberian
Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang baik pada pasien dengan henti jantung yang
dapat menyelamatkan nyawa pasien.
B. Analisis Teori
Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) adalah
sindrom klinis yang kompleks timbul dari fungsional atau struktural gangguan
jantung yang merusak kemampuan ventrikel untuk mengisi darah atau
mengeluarkan darah. Banyak pasien yang memiliki gejala sugestif gagal jantung
(sesak napas, edema perifer, dyspnea nokturnal paroksismal) tetapi juga telah
menpertahankan dungsi ventricular kiri mungkin tidak memiliki disfungsi
diastolik. Salah satu gejala sugestif sesak nafas yang dialami seperti saat sedang
istirahat atau aktivitas yang ditandai dengan takipnea, takikardi dan ronchi paru
(Aulia et al., 2021).
Henti jantung merupakan salah satu keadaan berhentinya fungsi mekanis
jantung secara mendadak, yang dapat reversibel dengan penanganan yang sesuai
tetapi akan menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan segera. Henti
jantung sering terjadi secara tiba-tiba tanpa gejala awal. Henti jantung dipicu oleh
kerusakan listrik jantung yang menyebabkan tidak teraturnya detak jantung
(aritmia). Setelah terjadi henti jantung, seseorang akan mengalami henti napas dan
tidak terabanya denyut nadi yang menyebabkan hilangnya kesadaran. Kematian
akan terjadi dalam beberapa menit jika tidak segera ditolong (Irfani, 2019).
Henti jantung atau cardiac arrest merupakan kegawatdaruratan dari
penyakit jantung. Henti jantung merupakan keadaan dimana terjadinya
penghentian mendadak sirkulasi normal darah ditandai dengan menghilangnya
tekananan darah arteri. AHA (2015) merekomendasikan solusi atas masalah
tersebut, yaitu dengan meningkatkan peran setiap orang komunitas untuk menjadi
seorang bystander resusitasi jantung paru (RJP). Penolong tidak terlatih harus
mengenali serangan, meminta bantuan, dan memulai RJP, serta memberikan
defibrilasi (misalnya, PAD atau Public-acces defribilation) hingga tim penyedia
layanan medis darurat yang terlatih secara profesional mengambil alih tanggung
jawab kemudian memindahkan pasien ke unit gawat darurat dan/atau
laboratorium kateterisasi jantung (American Heart Associtation, 2015; Febri,
2022).
Setelah tim penyedia layanan medis darurat yang terlatih secara
profesional mengambil alih tanggung jawab, maka RJP tetap dilanjut dengan
frekuensi kompresi dada 100-120x/menit, dan kedalaman 5 cm, dengan waktu
jeda minimum. RJP yang dilakukan secara manual atau oleh manusia cenderung
kurang berkualitas karena faktor kelelahan. Terlebih lagi kecepatan kompresi dada
penolong di Indonesia belum terstandar. kecepatan kompresi dada dapat
mempengaruhi kedalaman kompresi dada, yang pada akhirnya dapat menurunkan
kualitas kompresi dada jika kecepatan tidak terstandar (Darmawan, Sujianto, &
Rochana, 2018; Sudiro, 2020).
Keberhasilan dari RJP dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
kemampuan dari tenaga kesehatan, respons time, kualitas RJP, ketersediaan 2
peralatan emergensi, kondisi klien, lokasi dirawat, dan kebijakan rumah sakit.
Petugas kesehatan yang telah terlatih meningkatkan hasil RJP. Kemampuan
petugas kesehatan dalam mengambil keputusan untuk melakukan RJP tidak kalah
pentingnya untuk menolong pasien agar tetap selamat. Semakin cepat seorang
pasien yang mengalami henti jantung dan diberikan bantuan hidup dasar dengan
RJP kurang dari 5 menit dari saat ia mengalami henti jantung maka kemungkinan
untuk tetap dapat bertahan hidup besar. Penelitian yang dilakukan di Punjab, India
menyatakan bahwa jumlah pasien yang paling banyak selamat dari henti jantung
adalah pasien yang mendapatkan pertolongan RJP sedini mungkin, durasi RJP
kurang dari 20 menit, usia muda, laki-laki dan adanya takiaritmiapakmednet.
Henti jantung pada pasien yang sedang dirawat di rumah sakit memilki
kemungkinan hidup sampai ia dipulang sebesar 15-20%. Tingkat keberhasilan
RJP lebih tinggi jika diberikan di ICU dan di ruang operasi dibandingkan di
bangsal (Pratondo, 2008).
Selain itu, kompetensi perawat merupakan faktor yang meningkatkan
keberhasilan RJP bagi informan yang diwawancarai. Mereka menyatakan bahwa
faktor yang meningkatkan keberhasilan RJP adalah perawat yang berpengalaman,
mendapat pelatihan, memperoleh continuous education BHD maupun ACLS,
adanya senior yunior dan dapat melakukan RJP secara benar. Kemampuan
perawat dalam mengidentifikasi dan menganalisa kondisi pasien yang mengalami
arrest menjadi faktor penting dalam keberhasilan RJP. Ketika perawat mampu
mengenali kondisi pasien sedini mungkin, maka pemberian resusitasi juga
dilakukan sesegera mungkin. Kemampuan dalam melakukan RJP tidak begitu saja
didapatkan. Untuk memiliki kompetensi melakukaan RJP yang berkualitas harus
melalui pelatihan dan update informasi terbaru berhubungan dengan RJP
(Pratondo, 2008).
Keterampilan melakukan RJP harus dimiliki setiap orang untuk
mengurangi dampak buruk atau keparahan gejala sisa pasien henti jantung. Tidak
ada persyaratan usia minimum untuk belajar RJP. Kemampuan untuk melakukan
RJP lebih didasarkan pada kekuatan tubuh daripada usia.1 Keterampilan dalam
tindakan pertolongan awal ini bertujuan untuk oksigenasi darurat
mempertahankan fungsi jantung paru melalui ventilasi dan sirkulasi buatan.
Dengan demikian, diharapkan ventilasi dan sirkulasi dapat pulih spontan sehingga
mampu melakukan oksigenasi secara mandiri. Hal ini akan memberikan prognosis
yang lebih baik, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas (Irfani, 2019).
C. Solusi dan Saran Terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB)
Pertolongan yang tepat dalam menangani kasus kegawatdaruratan dalam hal ini
yaitu cardiac arrest adalah Basic Life Support atau yang dikenal dengan Bantuan Hidup
Dasar (BHD). Cardio Pulmonary Resusitation (CPR) atau yang biasa disebut Resusitasi
Jantung Paru (RJP) adalah sekumpulan intervensi yang bertujuan untuk mengembalikan
dan mempertahankan fungsi vital organ pada korban henti jantung dan henti nafas.
Intervensi ini terdiri dari pemberian kompresi dada dan bantuan nafas. 8 Resusitasi
Jantung Paru (RJP) yang efektif adalah dengan menggunakan kompresi dan dilanjutkan
dengan ventilasi. 9 Komponen penting dalam melakukan RJP adalah kedalaman
kompresi, kecepatan kompresi, ventilasi, return of spontaneus circulation (ROSC) dan
meminimalisainterupsi.
Petugas kesehatan khususnya perawat harus memiliki kemampuan dalam
mengambil keputusan untuk melakukan RJP untuk menolong pasien agar tetap selamat.
Semakin cepat seorang pasien yang mengalami henti jantung diberikan bantuan hidup
dasar dengan RJP kurang dari 5 menit dari saat ia mengalami henti jantung maka
kemungkinan untuk tetap dapat bertahan hidup besar. Sehingga perawat seharusnya
mampu melakukan RJP sebelum code blue datang dan jangan membiarkan pasien begitu
saja dikarenakan jumlah pasien yang paling banyak selamat dari henti jantung adalah
pasien yang mendapatkan pertolongan RJP sedini mungkin, durasi RJP kurang dari 20
menit, usia muda, laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA

Aulia, E. A., Sarwono, B., & Widigdo, D. A. M. (2021). Asuhan Keperawatan


Pasien Gagal Jantung Kongestif: Studi Kasus. Jurnal Ilmiah Keperawatan
Sai Betik, 16(1), 99. https://doi.org/10.26630/jkep.v16i1.1714

Febri, T. (2022). Gambaran Pengetahuan Masyarakat Dalam Pelaksanaan


Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Henti Jantung Tahun.

Kusumawati, P. D., & Jaya, A. W. D. (2019). Efektifitas Simulasi Resusitasi


Jantung Paru Terhadap Kemampuan Penatalaksanaan Resusitasi Jantung
Paru Anggota Brimob. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan Indonesia, 9(04),
667–672. https://doi.org/10.33221/jiiki.v9i04.355

Pratondo. (2008). RJP, persepsi perawat. Yang, Persepsi Perawat Tentang Faktor-
Faktor Semarang, Mempengaruhi Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru
(Rjp) Di Upj Rsup Dr. Kariadi, 1–13.

Sudiro, S. (2020). Efek Resusitasi Jantung Paru Menggunakan Mechanical Chest


Compressions Terhadap Keselamatan Pasien Henti Jantung. Interest : Jurnal
Ilmu Kesehatan, 9(1), 50–55. https://doi.org/10.37341/interest.v9i1.191

Anda mungkin juga menyukai