Anda di halaman 1dari 36

GAMBARAN TENTANG PELAKSANA RJP SAMPAI PADA TAHAP

ROSC PADA PASIEN DI IGD RS CHARITAS HOSPITAL PALEMBANG

Oleh :
1. Dewi Rindi Antikawati 2235007
2. Priskilla Sindi Arindita 2235005
3. Sirwi Laudya 2235011
4. Oktianto Wanrefen Tamba 2235003
5. Riski Eko Saputra 2235001
6. Eka Yuniarti 2235009
7. Intan 2235015
8. Tri Widyastuti 2235019
9. Indriyani 2235013
10. Mirza Kurniawan 2235017

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS
PALEMBANG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami hanturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

karena berkat dan rahmatnya penulis dapat mengumpulkan laporan “Evidence

Base Practice” laporan ini berisikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

proses pembelajaran selama stase keperawatan gawat darurat dan kritis profesi

ners. Laporan dibuat berdasarkan sumber yang telah didapatkan dari hasil jurnal

maupun buku. Berdasarkan hasil laporan, maka didapatkan masalah keperawatan

tentang Gambaran tentang pelaksana RJP sampai pada tahap ROSC pada pasien di

IGD CHP.

Dalam kesempatan ini kami berterima kasih kepada, Bapak/Ibu/Saudara/i:

1. Kepada pihak-pihak yang ada RS Charitas Palembang

2. Kepada kepala bagian di ruang IGD RS Charitas Palembang

3. Kepada Ns. Dheni Koerniawan, M.Kep selaku koordinator mata ajar

keperawatan PPKGK

4. Kepada Ns.Vincensius Surani, M.Kep, Ns. Aniska Indah Fari, M.Kep, dan

Ns. Veroneka Yosepfa Windahandayani, M.Kep selaku pembimbing mata

ajar keperawatan PPKGK

5. Pembimbing lapangan atau perseptor klinik di tempat yang telah

meluangkan waktunya untuk membantu dan membimbing dalam proses

dan juga banyak kurangnya dalam penyusunan.


Penulis menyadari dalam penulisan miniriset ini masih jauh dari kata

sempurna, banyak kekurangan baik dari segi materi ataupun penulisan, oleh

karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun guna diperbaiki di masa

yang akan datang dari teman-teman, ibu dan bapak dosen mata ajar keperawatan

medikal bedah sangat kami harapkan agar dapat membuat laporan ini menjadi

lebih baik

Palembang, 22 Februari 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kedaruratan henti jantung adalah hilangnya fungsi jantung secara

tiba-tiba dan sangat tiba-tiba, yang dimanifestasikan dengan timbulnya

serangan jantung dan pernapasan. Keadaan darurat dapat terjadi di mana saja

dan pada siapa saja dan merupakan keadaan darurat yang dapat mengancam

jiwa dan memerlukan penanganan segera. Henti jantung dapat sangat

mematikan, namun ketika RJP dan defibrilasi dapat diberikan secepatnya,

dalam banyak kasus jantung dapat bedenyut Kembali (Hidayati, 2018).

Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu tindakan yang

terdiri dari pemberian kompresi dada dan bantuan nafas dengan tujuan

untuk mengembalikan dan mempertahankan fungsi organ vital pada

korban henti jantung dan henti nafas. Kembali dan bertahannya fungsi organ

vital pada korban henti jantung yang diberikan tindakan RJP ditandai

dengan terjadinya Return of Spontaneus Circulation(ROSC). Dikatakan

ROSC jika terdapat bukti adanya nadi teraba selama 10 menit, terdapat tanda

sirkulasi yang bertahan atau berlanjut, nadi karotis teraba, serta tekanan darah

yang dapat terukur. Rekomendasi dari American Heart Association(AHA)

tahun 2015 “High Quality CPR”, salah satu komponennya adalah “minimize

interruption”. Rekomendasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan kompresi

dada, karena dengan interupsi yang panjang dapat menurunkan


kemungkinan terjadinya ROSC. CPR yang dilakukan dengan kualitas

rendah, terdapat interupsi, atau terlambat dilakukan dapat menimbulkan No

Flow Time (NFT). NFT adalah keadaan dimana Cardiac Output(CO) tidak

tercapai, hal ini dapat berkaitan dengan terjadinya ROSC yang kemudian akan

berkaitan dengan Coronary Perfusion Pressure(CPP). Ketika CPR yang

dilakukan kurang berkualitas atau terdapat interupsi, maka CPP hanya akan

mencapai <15 mmHg dan akan terus menurun. Keadaan tersebut akan

berdampak pada titik tercapainya ROSC dengan minimal, selain itu perfusi ke

otak juga akan menurun (Miftahul, 2020).

Cardiopulmonary resuscitation (CPR) adalah tindakan darurat untuk

mencegah kematian biologis dengan tujuan mengembalikan henti jantung dan

pernapasan (kematian klinis) ke fungsi optimal. CPR melibatkan dukungan

peredaran darah dan pernapasan, dan merupakan terapi umum yang digunakan

pada sebagian besar henti jantung atau henti napas. Kompresi dan ventilasi

adalah tindakan efektif untuk melakukan CPR. Orang normal dan orang yang

terlatih dalam industri medis juga dapat melakukan CPR (Suratinah, 2022).

Tingkat serangan jantung di seluruh dunia terus meningkat. Pasien

rawat inap, terutama di ruang gawat darurat, berisiko tinggi. Di Amerika

Serikat dan Kanada, 350.000 orang mengalami henti jantung setiap tahun, dan

setengahnya meninggal setelah perawatan. Lima dari 1.000 pasien yang

dirawat di rumah sakit Australia diperkirakan mengalami serangan jantung

dan sebagian besar tidak akan bertahan untuk dipulangkan. Sekitar 81% kasus
disebabkan oleh penyakit jantung koroner dan kondisi jantung lainnya yang

juga meningkatkan risiko serangan jantung (Lubis. 2021, p. 40).

Berdasarkan data-data diatas yang menjelaskan bahwa penyebab

utama terjadinya henti jantung adalah penyakit jantung dan pembuluh

darah, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 menyebutkan

bahwa, prevalensi penyakit jantung pada semua umur di Indonesia

sebanyak 1,5 % dari 371,0 ribu jiwa, dengan prevalensi tertinggi di Provinsi

Kalimantan Utara (2,2%). Berdasarkan kelompok usia, prevalensi tertinggi

penyakit jantung yaitu pada kelompok usia diatas 75 tahun (4,7%). Prevalensi

berdasarkan jenis kelamin pada perempuan (1,6%) lebih tinggi dibandingkan

laki-laki (1,3%).Pertolongan yang tepat dalam menangani kasus kegawat

daruratan pada kejadian henti jantung adalah Basic Life Supportatau yang

dikenal dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD). (Suratinah, 2022). Penelitian

yang dilakukan Widyarani, (2021) menunjukan Posisi tengkurap saat

kompresi dada saat CPR berdampak positif pada status hemodinamik pasien

henti jantung akibat infeksi Covid-19. Didukung dengan penelitian Cristy et al

(2022) yang menunjukan keberhasilan resusitasi jantung pada pasien henti

jantung dengan hasil kelompok usia >65 tahun sekitar 30,1% menunjukkan

angka kematian yang tinggi dan usia 12–16 tahun sekitar 0,4% menunjukkan

angka kematian yang rendah. Sedangkan pada jenis kelamin, laki-laki

menunjukkan angka kematian sekitar 59,6% lebih tinggi dibandingkan

perempuan sekitar 40,4%. Pada data luaran hasil RJP, angka keberhasilan

pada kelompok usia 46–55 tahun dan >65 tahun menunjukkan persentase
tertinggi yaitu 27,8%. Laki-laki menunjukkan angka keberhasilan yang tinggi

sekitar 54,1% dibandingkan perempuan sekitar 45,9%. Dari data penelitian,

didapatkan angka keberhasilan tertinggi yaitu pada kategori diagnosis respirasi

dengan persentase (21,1%).

B. Rumusan Masalah

Dari hasil observasi di ruang IGD tentang keefektifan rjp di ruang

hanya sekedar tahu tentang RJP dan pada saat perawat melakukan tindakan

RJP Sudah sesuai SPO (Standar Prosedur Oprasional). Berdasarkan latar

belakang diatas, maka penelitian merumuskan permasalahan keefektifan rjp

dan seberapa besar persentase tingkat keberhasilan RJP.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pelaksaan RJP sampai pada tahap ROSC

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi faktor keberhasilan keberhasilan RJP

b. Mengidentifikasi faktor tidak berhasil RJP

3. Manfaat Penelitian

a. Institusi IGD Charitas Hospital Palembang

Di harapkan dapat memberikan pengetahuan tentang faktor

keberhasilan tindakan RJP di IGD

b. Bagi Institusi Pendidikan


Menambah pustaka bagi institusi gambaran RJP untuk

mahasiswa keperawatan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Henti jantung (Cardiac Arrest)

1. Definisi henti jantung

Henti jantung (cardiac arrest) adalah kondisi kegawatan yang

sangat serius dengan persentase kejadian yang cukup tinggi.

Diperkirakan ada sebanyak 7 juta kasus henti jantung yang berakhir

dengan kematian pada setiap tahunnya (Manik, Hariyanto and

Nurdiansyah, 2022).

Menurut American Heart Association dan American College of

Cardiology, henti jantung merupakan penghentian aktivitas/ fungsi

jantung secara tiba-tiba yang berakibat pasokan oksigen yang

dibutuhkan organ vital tidak tercukupi, sehingga korban menjadi tidak

responsive, tidak ada tanda-tanda pernapasan normal, serta tidak ada

tanda- tanda sirkulasi pada korban (Patel & Hipskind, 2020). Henti

jantung mendadak terjadi akibat gangguan pada listrik jantung

sehingga jantung berhenti memompa darah ke seluruh tubuh. Kondisi

ini dapat menyebabkan kerusakan otak permanen sampai kematian

sehingga penderita perlu diberikan pertolongan pertama berupa

bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru) (Firmansyah and

Nurwidiyani, 2021).

2. Etiologi
Pada dasarnya ada dua penyebab yang dapat mengakibatkan henti

jantung yaitu riwayat penyakit jantung dan penyakit non jantung (Patel

& Hipskind, 2020). Riwayat penyakit jantung yang berpotensi menjadi

penyebab henti jantung diantaranya adalah penyakit jantung iskemik

yakni sebesar 70%. Selain itu, beberapa riwayat penyakit jantung

lainnya yang menjadi penyebab henti jantung antara lain gagal jantung

kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, kelainan arteri koroner kongenital,

displasia ventrikel kanan, kardiomiopati obstruktif hipertrofik,

tamponade jantung, infark miokard dan aritmia (Ose et al., 2021).

Sedangkan penyebab henti jantung dari faktor penyakit lain atau non

jantung diantaranya termasuk perdarahan intrakranial, emboli paru,

tension pneumotoraks, henti napas primer, keracunan (intoksikasi)

termasuk overdosis obat, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi

sistemik (sepsis), hipotermia, hipovolemia, Hipoksia, Hydrogen ion

(Asidosis), Hipo/Hiperkalemia, Hipotermia dan trauma (prabowo,

2023)

3. Patofisiologi

Henti jantung mendadak terjadi akibat gangguan kelistrikan

jantung yang menyebabkan denyut jantung tidak beraturan (aritmia)

dan selanjutnya akan menyebabkan gangguan pompa jantung,

sehingga jantung tidak dapat memompa darah ke otak, paru-paru dan

organ tubuh lainnya. Akibatnya, organ-organ tersebut akan mulai

berhenti berfungsi. Hipoksia serebral akan menyebabkan pasien


kehilangan kesadaran dan bernapas secara abnormal. Awalnya

Ventricular Tachycardia (VT) dan Ventricular Fibrillation (VF) diduga

merupakan penyebab utama dari henti jantung mendadak, namun dari

studi terkini, aktivitas listrik tanpa nadi (Pulseless Electrical

Activity/PEA) dan asistol lebih sering dijumpai sebagai penyebab

henti jantung mendadak. Diperkirakan 50% pasien awalnya

teridentifikasi sebagai asistol, sementara 23% pasien teridentifikasi

dengan PEA (Manik, Hariyanto and Nurdiansyah, 2022).

4. Manifestasi klinis

Tanda-tanda henti jantung (cardiac arrest), antara lain sebagai

berikut:

a) Gangguan kesadaran (pingsan)

b) Korban tidak bernafas

c) Denyut nadi dan suara jantung hilang

d) Reflek cahaya mata tidak ada dan pupil melebar.

e) Tampak sianosis, pucat dan akral teraba dingin

f) Pada beberapa kasus sebelum terjadinya cardiac arrest, ada

beberapa gejala yang dirasakan oleh penderitanya yakni rasa

tidak nyaman pada dada (angina), sesak napas, palpitasi

jantung (sensasi jantung berdegup kencang dan tidak teratur

(aritmia), wheezing atau sesak napas tanpa alasan yang jelas,

pingsan atau hampir pingsan, serta pusing dan tubuh lemah

(Manik, Hariyanto and Nurdiansyah, 2022)


5. Komplikasi

Komplikasi cardiac arrest umum terjadi adalah kerusakan otak dan

kematian. Adanya kerusakan otak tersebut akan mempengaruhi fungsi

otak. Kematian atau kerusakan otak permanen dapat terjadi dalam

waktu 4-6 menit (Manik, Hariyanto and Nurdiansyah, 2022).

6. Pemeriksaan diagnostik

Beberapa pemeriksaan yang mungkin akan dilakukan dalam

mendiagnosis cardiac arrest antara lain:

a) Elektrokardiogram (EKG) untuk mendeteksi dan merekam

aktivitas listrik jantung, mengetahui seberapa cepat jantung

berdetak, dan keteraturan iramanya.

b) Ekokardiogram untuk melihat ukuran, bentuk, dan seberapa baik

kinerja katup jantung pasien.

c) MRI jantung menggunakan gelombang magnet dan radio untuk

menghasilkan gambar dari jantung, serta memeriksa struktur

jantung.

d) Kateterisasi jantung (angiogram) untuk melakukan diagnosis lebih

akurat terhadap masalah-masalah jantung seseorang.

e) Tes darah (kadar kalium, magnesium, hormon) untuk mendeteksi

adanya cedera atau serangan jantung (Manik, Hariyanto and

Nurdiansyah, 2022).
7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan henti jantung yaitu dengan pemberian bantuan

hidup dasar (BHD) (Manik, Hariyanto and Nurdiansyah, 2022)).

B. Konsep Bantuan Hidup Dasar (BHD)

1. Definisi BHD

Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah bentuk penyelamatan awal

dalam kondisi yang mengancam nyawa untuk mengembalikan fungsi

pernapasan dan atau sirkulasi pada seseorang yang mengalami henti

napas dan atau henti jantung (cardiac arrest) (Nusdin, 2020).

2. Indikasi

a) Henti Napas

Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan

aliran udara pernapasan dari pasien. Henti napas dapat terjadi pada

keadaan seperti tenggelam, obstruksi jalan napas, overdosis obat,

infark miokard, tersengat listrik, stroke, koma dan sebagainya.

b) Henti Jantung

Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi

henti sirkulasi tubuh. Henti sirkulasi ini akan cepat menyebabkan

otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang

terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.

Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis,

femoralis, radialis) disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan

berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tidak bereaksi terhadap


rangsang cahaya dan pasien tidak sadar (Sriwiyanti and Detiana,

2020).

3. Komplikasi RJP

a) Patahnya tulang iga terutama pada orang tua

b) Pneumotoraks (udara dalam rongga dada, tetapi diluar paru,

sehingga menyebabkan penguncupan paru-paru)

c) Hemotoraks (darah dalam rongga dada, namun di luar paru,

sehingga menyebabkan penguncupan paru-paru)

d) Luka dan memar pada paru-paru

e) Luka pada hati dan limpa

f) Distensi abdomen (perut kembung) akibat dari peniupan yang salah

(Sriwiyanti and Detiana, 2020).


4. Algoritme henti jantung dewasa

Berikut ini algoritma penanganan pasien yang mengalami

henti jantung menurut American Heart Assosiation (2020):

Sumber: American Heart Assosiation (2020)

5. Langkah - langkah melakukan RJP

a) Prinsip 3A (aman diri, aman pasien, aman lingkungan)

b) Cek kesadaran

Memastikan kesadaran pasien dengan cara yaitu tepuk atau

goyangkan bahu korban dengan pelan dan berteriaklah panggil

korban" Pak...Pak... atau Bu...Bu...". Jika berespon tidak perlu

melakukan resusitasi, tetapi jika tidak berespon minta bantuan


kepada orang lain. Respon awal dengan suara kemudian bila tidak

berespon dilakukan respon dengan memberikan rangsangan nyeri.

Rangsang nyeri diberikan dengan menekan sternum menggunakan

genggaman tangan penolong.

c) Panggil bantuan

Jika ada orang lain, maka minta ia untuk menghubungi rumah sakit

atau pelayanan kesehatan terdekat, segera setelah menemukan

korban tidak sadarkan diri.

d) Periksa nadi karotis (rasakan tidak lebih dari 10 detik) dan

pernafasan pasien. Jika nadi tidak teraba maka lakukan RJP. Jika

nadi karotis teraba, namun tidak terlihat pergerakan dada pasien

maka berilah satu kali bantuan nafas setiap 5 atau 6 detik, periksa

nadi karotis setiap 2 menit.

e) Memastikan ada / tidaknya sumbatan jalan napas

Melihat ada atau tidaknya sumbatan dalam mulut, bila anda

lakukan teknik Cross Finger dan Sweep Finger.

f) Membuka Jalan Napas

Sebagian besar tertutupnya jalan napas disebabkan oleh lidah jatuh.

Ketika pasien tidak sadar, resiko masalah jalan napas semakin

buruk karena ketidaksadaran menyebabkan lidah kehilangan tonus

ototnya dan otot rahang bawah (dimana lidah melekat mengalami

retaksasi sehingga lidah jatuh menutup jalan napas pasien. Dua

langkah dapat membantu membuka jalan napas, yaitu teknik head-


tilt, chin-lift dan teknik jaw-thrust apabila pasien mengalami

cedera servikal (Widiyono, 2021)

g) Kompresi

Posisikan terlentang ditempat yang keras. Penolong berada pada

bagian lateral pasien dengan posisi tangan saling berkait (parallel

overlapping), siku lurus dan bahu sejajar dengan titik kompresi

letakan tangan tepat di tengah sternum bagian bawah (setengah

bawah dari sternum), tangan dominan menopang di atas tangan

non-dominan. Kaitkan jari tangan yang diatas kesela jari tangan

yang dibawah. Luruskan kedua siku dan posisikan bahu tepat tegak

lurus di atas dada korban. Lakukan kompresi dengan kecepatan

100-120x/menit (30 kompresi dalam 18 detik), dengan kedalaman

5 s/d 6 cm (2-2,4 inch). Lakukan kompresi awal sebanyak 30x

h) Beri napas buatan (Breathing (B)

Tentukan ada/tidaknya napas dengan metode LDR (melihat-

mendengarkan-merasakan / look-listen feel). Tempatkan telinga di

samping hidung dan mulut penderita dengan wajah menghadap

dada penderita. Lihat kenaikan dan penurunan dada. Dengarkan

dan rasakan udara yang keluar dari mulut atau hidung. Lakukan

pemeriksaan ini dalam waktu 10 detik. Penderita yang bernafas

dengan baik tidak memerlukan resusitasi. Jika penderita tidak

bernafas, berikan pernafasan bantuan sebanyak 2 kali masing-

masing pemberian selama 1,5-2 detik dengan jeda untuk


pengambilan nafas. Berikan 2 nafas. dengan volume yang cukup

untuk membuat dada naik (sebanyak volume tidal 500-600 ml, 6-7

ml/kg BB), jika pernafasan pertama tidak sukses, reposisi kepala

penderita sebelum mencoba nafas kedua. Jika ventilasi kedua tidak.

sukses, pertimbangkan bahwa mungkin ada obstruksi benda asing

pada jalan nafas dan lakukan tekhnik pembersihan jalan napas.

i) Lakukan RJP hingga 5 siklus

Perbandingan kompresi dan napas 30:2 (30 kompresi dada dengan

2 tiupan nafas sama dengan disebut satu dewasa dengan satu

penolong dan RJP dewasa dengan siklus). Lakukan RJP hingga 5

siklus. Perbandingan kompresi dengan nafas pada RJP korban dua

penolong yaitu sama 30:2 (30 kompresi dada dengan 2 tiupan).

Bila RJP dilakukan oleh dua orang penolong, maka masing-masing

penolong menempati posisi pada kompresi dada dan pemberian

bantuan nafas, dan dilakukan penukaran tempat setiap selesai 5

siklus atau kira-kira setiap 2 menit.

j) Cek kembali nafas dan nadi setiap 5 siklus RJP, jika tidak ada

nafas dan nadi, lanjutkan RJP. Jika denyut nadi muncul, periksa

pernafasan korban. Jika tidak ada nafas melakukan rescue

breathing sebanyak 10x/mnt. Jika nafas dan nadi ada, berikan

recovery position sambil menunggu bantuan dari tim RS datang.

Lanjutkan pengukuran nadi dan pernafasan/menit. RJP dilakukan

masing-masing 5 siklus (satu siklus terdiri atas 30 kompresi 2


ventilasi dengan interval waktu dua menit). Evaluasi nadi karotis

dapat dilakukan setiap akhir siklus ke 5. Jika AED telah tersedia,

analisa gelombang dan pemberian SHOCK dapat dilakukan setelah

pengecekan denyut dan nadi. Waktu interupsi yang digunakan baik

untuk melakukan ventilasi, cek nadi karotis dan melakukan

prosedur defibrilasi tidak boleh lebih dari 10 detik (Maculta,

Hendy and Pujianto, 2021).

6. Faktor-Faktor Yang Meningkatkan Keberhasilan RJP

1. High Quality CPR

a. CPR dilakukan oleh anggota tim resusitasi

b. Minimalkan instrupsi saat melakukan CPR

c. Push Hard yaitu kedalaman kompresi: minimal 2 inchi

(5cm). Kedalaman harus membantu mensirkulasikan O2

yang ada dalam pembuluh darah dengan menjepeit jantung

diantara strenum dan tulang spinal agar pijitan pada

jantung dapat efektif dan membuat cardiac output optimal.

d. Complete Recoil atau pastikan ada recoil penuh dada

sebelum kompresi selanjutnya.

e. Push Fast yaitu pastikan jumlah target CPR tepat (100-

120x/mnt)

f. Hindari hiperventilasi, rotasi kompresor tiap 2 menit


g. Lepaskan tangan kompresor saat pemberian defib dan

segara bersiap untuk memberikan kompresi lagi ketika

defib selesai diberikan

h. Pemasangan intubasi atau airway definitif dengan tetap

dilakukan CPR

i. Pemasangan jalur IV atau IO dengan tetap dilakukan CPR

j. Koordinasikan, komunikasi dan kolaborasi dengan tim

2. Response time

Response time merupakan faktor yang meningkatkan

keberhasilan RJP bagi 2 informan yang diwawancarai. Kecepatan

dalam memberikan resusitasi dari saat pasien mengalami arrest

sampai pasien ditemukan menentukan keberhasilan dari usaha

resusitasi. Penelitian yang dilakukan oleh Mohsen Adib dkk

menyatakan bahwa kunci prediktor dari keberhasilan RJP yaitu

durasi RJP, waktu saat henti jantung, waktu dari saat henti jantung

sampai inisiasi RJP dan defibrilasi pada menit pertama saat henti

jantung. Otak akan mengalami kematian jika tidak mendapatkan

suplai oksigen lebih dari4 menit. Pak J Cardiol menyatakan bahwa

durasi RJP yang melebihi 20 menit sudah tidak efektif lagi untuk

dilanjutkan. Untuk pasien yang ditemukan irama VF atau VT harus

mendapatkan defibrilasi pada 2-3 menit pertama


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskripsi dengan

menggunakan metode survey. Survey ini dilakukan untuk mengetahui

faktor keberhasilan dan ketidakberhasilan implementasi resusitasi jantung

paru sampai pada pasien ROSC (return of spontaneous circulation) di IGD

RS Charitas Hospital Palembang. Jumlah sampel dalam laporan ini

sebanyak 2 pasien dengan kriteria inklusi pasien dengan henti jantung,

henti napas, keluarga menyetujui dilakukan RJP. Kriteria eksklusi pasien

teraba nadi karotis, pasien DNR (do not resuscitation). Teknik

pengumpulan data dilakukan dengan survey dan observasi langsung

implementasi resusitasi jantung paru ke pasien. Hasil penelitian dianalisis

secara deskriptif.

No Inisial Usia Diagnosa Cardiac Waktu Jumlah Waktu Medikasi Keterangan


Pasien Arrest Mulai Siklus ROSC Selama Tambahan
Medis RJP RJP RJP
1. Ny. N 64 Cardiresp 15.55 16.00 15 siklus 16.25 7 2x defibrilasi
iratory (meningga adrenalin
arrest, l) 1
riwayat
CHP dan amiodaron
hipertensj
2. Ny. K 67 Cardiores 08.15 08.20 16 siklus 09.45 8
piratory Epineprin
failure, 2 SA
post
hipoglike
mia,
pankreati
tispost
ERCP,
post
CVD

B. Hasil Penelitian

1. Usia

Berdasarkan tabel diatas didapatkan 2 pasien dengan usia 64 tahun dan

67 tahun hal ini menunjukan bahwa kedua pasien termasuk kedalam usia lansia

(> 55 tahun).

2. Diagnosa medis
Berdasarkan tabel diatas didapatkan kondisi pasien sama-sama

mengalami henti jantung dan henti napas. Namun yang membedakan ialah

penyakit sebelum pasien mengalami henti jantung dan henti napas yaitu pasien 1

dengan keluhan batuk 4 hari tidak ada perbaikan dan mempunyai riwayat

penyakit CHF, pada saat setelah melakukan pemeriksaan rontgen tiba tiba pasien

jatuh dan mengalami penurunan kesadaran sedangkan pasien 2 pasien

sebelumnya mengalami riwayat penyakit stroke, hipoglikemia, dan post ERCP.

3. Manifestasi Klinis

a. Nani (05-september-1958)

a) S: Keluarga dan perawat ruangan mengatakan pasien ditemukan

pingsan pada saat setelah selesai melakukan pemeriksaan rotgen,

sebelumnya pasien sesak dan batuk sudah 4 hari namun tidak ada

perbaikan.

b) O: keadaan umum : sakit berat, kesadaran : coma, GCS E:1, M:1, V:1,

sign vital : TD: 54/40mmHg, Hr: 37x/mnt, Spo2:67%, RR:19Xx/mnt,

GCS: E:1, V:1, M:1. Pupil 3mm/3mm, reaction (-/-). Henti napas,

ECG: Vt

c) A : Cardio respiratory Arrest


d) P : MRS

b. Kheng lai hui (21-05-1956)

a) S : baru pulang dari siloam Jakarta dikarenakan stroke, 2 hari

pulang APS 9 februari, sebelumnya tanggal 6 februari di eka

hospital, dan menjalankan homecare sejak semalam seperti gelisah,

muntah berwarna hijau, perut kembung, di IGD pasien tidak sadar,

keluar cairan berwarna hijau dan ada ampas sedikit.

b) O : keadaan umum : sakit berat, kesadaran : coma GCS E:1, M:1,

V:1, Pasyisal exam : nadi : - ECG PEA

c) A : Caediolespiratory fallure = pos RSOC, post hipoglikemia,

pankreatitis post ERCP, post CVD. Main diagnose : R09.2

respiratory arrost, cardiorespiratory fallure

d) P : MRS
4. Tindakan resusitasi jantung paru

Berdasarkan tabel diatas didapatkan waktu cardiac arrest sampai ke

waktu tindakan resusitasi jantung paru yaitu pasien 1 dan pasien 2 sama sama

dilakukan resusitasi jantung paru setelah dinyatakan henti jantung dan henti

napas tindakan dilakukan dalam jangka waktu 5 menit saat pasien dinyatakan

henti jantung dan napas.

5. Siklus resusitasi jantung paru (RJP)

Tabel diatas menunjukkan siklus Rjp yang dilakukan pada pasien 1 ialah

15 siklus, pasien ke 2 sebanyak 16 siklus dengan dengan perbandingan kompresi

yang dilakukan pasien 1 30 kompresi: 2 ventilasi sedangkan pasien 2 pada awal

resusitasi jantung paru dilakukan 30 kompresi: 2 ventilasi dilanjutkan dengan 200

kompresi: 10 kali ventilasi karena pasien terpasang ETT. Yang membedakan

antara pasien 1 dengan pasien 2 ialah pasien 1 dilakukan defibrilasi sedangkan

pasien 2 tidak dilakukan defibrilasi.


6. Medikasi selama Rjp

Medikasi yang digunakan selama resusitasi jantung paru antara pasien 1

dan pasien 2 berbeda yaitu pasien 1 dengan medikasi 7 kali pemberian adrenalin

dan amiodaron 1 kali. Pasien 2 pemberian 7 epineprin dan 2 SA (Atropine

Sulfate).
C. Algoritma RJP atau penanganan henti jantung pada masing-masing pasien

Pasien 1 Pasien 2

Pasien datang dari IGD tidak sadar dan


Pasien datang dengan
sedang RJP
penurunan kesadaran

Pasien dibawa keruang P2 Cek respon

Siapkan troli emergency dan Cek nadi dan pernapasan : tidak ada
pasang monitor
Pasien dibawa
Pasang OPA dan ETT keruang resusitasi

RJP terus dilakukan Siapkan troli emergency

Pemberian epineprin
Pasang alat monitor

Gelombang monitor VT
Pasang OPA dan ETT

Defibrilasi 200 joule


Gambaran monitor gelombang PEA

RJP dan epineprin


RJP

Defibrilasi 200 joule


Pemberian epineprin

RJP
RJP

Edukasi keluarga: Keluarga Nadi teraba (36), TD


meminta STOP 54/40

Meninggal Berikan SA kocor

Observasi nadi,
pernapasan dan TD
D. Pembahasan

1. Faktor keberhasilan resusitasi jantung paru

Usia kedua pasien merupakan kelompok lansia dengan usia 64 dan

67 (>55 tahun). Lansia merupakan kelompok yang rentan terhadap

penyakit cardiorespiratory failure. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Safitri, Victoria dan Nugraha (2022) menunjukkan usia rata rata

responden pada penelitiannya yang berjumlah 16 orang merupakan usia

> 60 tahun keatas. Hal ini berkaitan dengan proses penuaan yang

memiliki hubungan erat kejadian aterosklerosis atau meningkatnya

kekakuan dan ketebalan pembuluh darah. Sehingga, pembuluh darah

menjadi tidak kompeten atau gagal untuk menutup secara sempurna

akibat perubahan elastisitas pembuluh darah.

Jenis kelamin pada responden penelitian ini adalah perempuan.

Jenis kelamin diyakini dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan

resusitasi jantung paru, hal ini berkaitan dengan laki laki yang memiliki

faktor risiko seperti gaya hidup tidak sehat (kurang olahraga, kurang

istirahat, sering tidur larut malam, mengonsumsi kafein, dan merokok)


cenderung meningkatkan risiko cardiac arrest akibat terjadinya

penumpukan kolesterol dan peningkatan tekanan darah. Kelainan

struktur arteri koroner akibat aterosklerosis menyumbangkan 80%

terjadinya gangguan irama jantung yang berakhir dengan cardiac arrest.

Di sisi lain, hipertensi mengakibatkan dinding ventrikel kiri menjadi

kaku dan tebal sehingga mengubah jalur impuls listrik di jantung

(Safitri, Victor, dan Nanda 2022). Oleh sebab itu, laki-laki lebih rendah

tingkat keberhasilannya dibandingkan dengan perempuan. Namun

dalam survey ini kedua responden berjenis kelamin perempuan yang

menghasilkan 1 responden berhasil sampai pada ROSC sedangkan 1

responden tidak berhasil sampai pada ROSC.

Diagnosa medis atau kondisi klinis merupakan faktor selanjutnya

yang dapat meningkatkan keberhasilan resusitasi jantung paru. Pada

pasien yang berhasil sampai pada tingkat ROSC pasien memiliki

kondisi klinis hipoglikemia, riwayat CVD (cardiovascular disease),

sedangkan pasien yang tidak berhasil sampai ROSC memiliki riwayat

penyakit hipertensi dan CHF (Congestive heart failure) sejak 1 tahun

yang lalu. Hal ini berkaitan dengan kondisi jantung yang memiliki

masalah sulit untuk bisa diperbaiki dengan resusitasi jantung paru pada

kondisi henti jantung, sedangkan pada kondisi henti jantung yang tidak

memiliki riwayat penyakit jantung kondisi jantungnya tidak mengalami


masalah sehingga pada saat dilakukan resusitasi jantung paru akan

merecoil dengan sempurna dan memompa darah kembali. Hasil ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Moezzi, Alavi, Afshari,

dan Fatemi (2020).

Faktor keberhasilan selanjutnya ada pada kecepatan respon

resusitasi jantung paru yang dilakukan saat setelah pasien dinyatakan

henti jantung dan henti napas, kedua pasien sama sama dilakukan

resusitasi jantung 5 menit dari dinyatakan henti jantung. Hal ini

menunjukkan bahwa respon yang cepat akan memberikan pengaruh

terhadap tingkat keberhasilan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Hazra, Jindal, Sanjay M, Florence, Yuvaraj S, Abhilash

(2021) penelitiannya menunjukkan tingjat keberhasilan yang tinggi

pada kecepatan respon resusitasi jantung paru < 6 menit sedangkan

apabila sudah >15 menit akan menurunkan tingkat keberhasilan

mencapai ROSC. Ketidakmampuan untuk mencapai ROSC dengan

cepat menyebabkan CPR yang lebih lama meningkatkan kemungkinan

hipoksia jaringan dan risiko kematian. Hal ini juga sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Singh, Namrata, Grewal, Gautam, Luthra,

Tanwar, Kaur (2016). Dalam penelitiannya korelasi positif antara

waktu respons dan kemungkinan kelangsungan hidup dijelaskan dalam


melakukan analisis kelangsungan hidup yaitu semakin pendek waktu

respons semakin baik peluang untuk bertahan hidup.

Siklus RJP pada survey ini tidak tampak memiliki peran dalam

meningkatkan keberhasilan resusitasi jantung paru karena kedua pasien

memiliki siklus rjp yang kurang lebih sama yaitu 16 siklus dan 15

siklus. Namun hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan tingkat

keberhasilan pada siklus rjp ialah Hight Quality CPR dimana ketepatan

harus sesuai panduan AHA (American Health Asociation) yaitu

kecepatan 100-120 x/menit, kedalaman 5-6 cm, hindari interupsi,

hindari hiperventilasi. Hal yang sama juga dijelaskan pada penelitian

yang dilakukan oleh Idris dkk (2012), penelitiannya menunjukkan

bahwa kecepatan kompresi dada 75-100 kali/menit meningkatkan

keberhasilan ROSC dengan catatan tidak boleh ada interupsi dan

dilakukan dengan kedalaman 5-6 cm.

Pemberian medikasi selama resusitasi jantung paru juga menjadi

salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan pasien

mengalami ROSC saat dilakukan resusitasi jantung paru. Adapun

pemberian medikasi pada saat resusitasi jantung paru ialah epinefrin

setiap 3-5 menit dimulai pada siklus pertama dilakukan resusitasi

jantung paru (RJP) kemudian pada saat nadi karotis telah teraba maka

medikasi selanjutnya yang diberikan ialah atropine sulfat (SA) dengan


pemberian 2 kali, namun apabila pasien mengalami ritme VT/VF maka

yang diberikan ialah amiodaron untuk dapat mengatasi ritme jantung

yang tidak beraturan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh safitri, Victoria dan Nugroho (2022) penelitiannya menunjukkan

bahwa manajemen obat-obatan sangat diperlukan untuk

keberlangsungan 32etabolism tubuh dalam mempertahankan status

hemodinamik dan curah jantung yang cukup, Hasil penelitian diperoleh

bahwa epinefrin diberikan kepada seluruh responden. Epinefrin

merupakan obat golongan katekolamin yang bekerja pada reseptor alfa

dan beta untuk meningkatkan aliran darah ke koroner dan otak. Dosis

yang diberikan pada pasien dewasa sebanyak 1,0 mg dan diulang setiap

3-5 menit melalui akses intravena (IV) atau intraosseous (IO). Epinefrin

pada kasus asistol atau PEA diberikan sejak siklus pertama dan diulang

setiap dua siklus berakhir. Sedangkan pada kasus VF atau VT tanpa

nadi, epinefrin diberikan setelah defibrilasi pertama gagal dan diulang

kembali setiap dua siklus berakhir dengan tambahan pemberian

amiodaron sebagai penanganan aritmia.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulan bahwa Resusitasi


jantung paru merupakan tindakan penanganan pasien henti jantung.
Resusitasi jantung paru yang tepat dan cepat dapat memberkan manfaat
pasien pada tahap ROSC (Return Of Spontaneus Circulation). Selain itu
tahap ROSC dapat tercapai dengan beberapa faktor yaitu usia pasien, jenis
kelamin, respon kecepatan RJP, kondisi klinis pasien, medikasi selama
RJP.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayati nurul afif, akbar aldika ilham muhammad, & rosyid nur alfian. (2018).
Gawat darurat medis dan bedah. erlangga unniversity press.

Lubis, B., Amelia, P., Nafiah Nasution, A., Silvanni Nasution, M., & Nasution, S.
(2021). Promotive and preventive programs about basic life support in
Medan Barat district. ABDIMAS TALENTA: Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, 6(1), 40–45. https://doi.org/10.32734/abdimastalenta.v6i1.5104
Miftahul Reski Putra Nasjum. (2020). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
keberhasilan bantuan hidup dasar resusitasi jantung paru di unit gawat
darurat rsd dr. Drajat prawiranegara kabupaten serang. Kaos gl dergisi,
8(75), 147–154.

Suratinah, S. (2022). Efektivitas RJP Mekanik dengan Manual terhadap Kejadian


Return Of Spontaneous Circulation (ROSC) pada Pasien Henti Jantung di
IGD RSUD Pasar Minggu. Open Access Jakarta Journal of Health Sciences,
1(10), 327–333. https://doi.org/10.53801/oajjhs.v1i10.68

Cristy, N. A., Ryalino, C., Suranadi, I. W., & Hartawan, I. G. A. G. U. (2022).


Angka keberhasilan resusitasi jantung paru pada pasien yang mengalami
henti jantung di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Jurnal Medika Udayana,
11(4), 50–54.

Nurkhalis, & Adista, R. J. (2020). Manifestasi Klinis dan Tatalaksana Gagal


Jantung. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 3(3), 36–46.

Widyarani, L. (2021). Jurnal Keperawatan Malang Volume 6 , No . 2 , Desember


2021 Available Online at https://jurnal.stikespantiwaluya.ac.id/ literature
review : pengaruh prone position selama resusitasi jantung paru ( rjp )
terhadap status hemodinamik pasien dengan henti jant. 6(2), 85–94.

Anda mungkin juga menyukai