Anda di halaman 1dari 36

ACTIVE CYCLE OF BREATHING TECHNIQUE DAN POSTURAL

DRAINAGE DAPAT MENINGKATKAN EKSPANSI THORAX


PADA PASIEN POST OPERASI CORONARY ARTERY BYPASS
GRAFT (CABG)

Oleh:

VIRNY DWIYA LESTARI


NIM : P 27226018335

PRODI FISIOTERAPI PROGRAM PROFESI


JURUSAN FISIOTERAPI
POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
SURAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery Disease

(CAD) merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika arteri yang mensuplai darah untuk

dinding jantung mengalami pengerasan dan penyempitan (Lyndon, 2014). Arteri yang

mensuplai miokardium mengalami gangguan, sehingga jantung tidak mampu untuk

memompa sejumlah darah secara efektif untuk memenuhi perfusi darah ke organ vital dan

jaringan perifer secara adekuat. Pada saat oksigenisasi dan perfusi mengalami gangguan,

pasien akan terancam kematian. Kedua jenis penyakit jantung koroner tersebut melibatkan

arteri yang bertugas mensuplai darah, oksigen dan nutrisi ke otot jantung. Saat aliran yang

melewati arteri koronaria tertutup sebagian atau keseluruhan oleh plak, bisa terjadi iskemia

atau infark pada otot jantung ( Ignatavicius & Workman, 2010).

Penyakit jantung koroner merupakan pembunuh nomor satu di dunia. Tahun 2010

penyakit jantung koroner mengakibatkan kematian pada pria sebanyak 13,1 %, di prediksi

tahun 2020 menjadi 14,3 % dan 14,9% pada tahun 2030. Untuk wanita kematian akibat

penyakit jantung koroner pada tahun 2010 mencapai 13,6%, dan diprediksi pada tahun

2020 mencapai jadi 13,9 % dan 14,1% pada tahun 2030 (Rilantono, 2012).

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian utama di Amerika

Serikat, Negara Eropa, Jepang dan Singapura (Rao, 2011). Di negara Amerika Serikat

diperkirakan 16.300.000 orang atau 7% dari populasi penduduk Amerika Serikat yang

berumur lebih dari 20 tahun terdiagnosa penyakit jantung koroner. Dari angka tersebut

18,3% adalah pria dan 6,1% adalah wanita. Di prediksi tahun 2030, 8 juta warga Amerika
serikat lainnya akan terdiagnosa penyakit jantung koroner yang merupakan presentasi dari

peningkatan sebesar 16,6% dari tahun 2010 dan pada tahun 2011 terdapat 785.000 kasus

baru penyakit jantung koroner, sementara 470.000 merupakan kasus serangan berulang

(Roger dkk., 2011).

Berdasarkan laporan WHO (2008) Penyakit jantung menjadi penyebab utama

kematian di negara – negara Asia pada tahun 2010. Untuk wilayah Asia Tenggara

ditemukan 3,5 juta kematian penyakit kardiovaskuler, 52% diantaranya disebabkan oleh

penyakit infark miokard (Indrawati, 2012). Di negara berkembang seperti Indonesia tingkat

kejadian terus meningkat setiap tahun. Hasil survei dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas,

2013) menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan

diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar

2.650.340 orang. Angka penyakit jantung koroner di wilayah Sumatera Barat mendekati

prevalensi Nasional, yaitu mencapai 1,2%. Diantara penyakit kardiovaskuler, penyakit

jantung koroner merupakan penyebab utama kematian, kecacatan, penderitaan dan

kerugian materi, serta menyebabkan keterbatasan fisik dan sosial yang memerlukan

penataan kehidupan pasen, komplikasi – komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit

jantung koroner tidak hanya masalah bagi pasien tapi juga pada keluarga. Jika pasien

bertahan dalam serangan pertama, masalah berikutnya kemungkinan peningkatan serangan

akan lebih besar lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi

serangan berulang dan terjadi komplikasi, proses penyembuhan bisa lebih cepat lagi dan

meningkatkan kualitas hidup, pencegahan dilakukan dalam bentuk pencegahan sekunder

(Vandanjani, 2013).
Menurut WHO (2007) upaya pencegahan sekunder PJK terdiri dari perubahan gaya

hidup dan medikamentosa. Perubahan gaya hidup meliputi penghentian merokok,

perubahan pola makan, pengontrolan berat badan, aktivitas fisik, dan kurangi konsumsi

minuman beralkohol. Tindakan medikamentosa terdiri dari pemberian obat antihipertensi,

obat menurunkan kadar kolesterol, antiplatelet / antikoagulan, beta bloker, obat

menurunkan gula darah. Untuk itu pencegahan sekunder sangat diperlukan walaupun

pasien telah mendapat penanganan medis terlebih dahulu.

Rekomendasi WHO (2007) mengenai tindakan pencegahan sekunder PJK menjadi

acuan dalam penanganan pasien PJK rawat jalan, khususnya yang melakukan kontrol

berkala. Mereka tidak saja mendapatkan terapi obat – obatan yang harus teratur mereka

konsumsi, tetapi juga dianjurkan untuk melakukan tindakan pengaturan gaya hidup secara

mandiri yang bertujuan untuk meminimalisir faktor resiko yang ada pada pasien. Pasien

yang perokok aktif disarankan untuk berhenti, pasien yang obesitas dan kelebihan berat

badan dianjurkan untuk menurunkan dan mengontrol berat badannya. Pasien juga harus

mengubah pola makan menjadi lebih sehat dengan mengkonsumsi makanan rendah lemak.

Pasien yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol disarankan untuk

menguranginya. Aktivitas fisik yang kurang juga harus ditingkatkan.

Pencegahan sekunder sangat penting dilakukan seseorang dengan riwayat pernah

mendapat serangan jantung. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan berulangnya

serangan. Penelitian Framingham yang dimuat dalam American Heart Association tahun

2000 memprediksi resiko kejadian serangan berulang pada pasien PJK dengan

menggunakan variabel umur, tekanan darah sistolik, kadar kolesterol, status merokok, dan

ada atau tidak adanya penyakit diabetes melitus. Senada dengan Framingham, WHO juga
telah memetakan dalam sebuah grafik yang memprediksi resiko seseorang yang terkena

PJK dalam rentang waktu 10 tahun ke depan dengan variabel umur, jenis kelamin, tekanan

darah, kadar kolesterol, status merokok dan penyakit diabetes melitus.

Upaya pencegahan sekunder meliputi berbagai aktivitas atau upaya yang dilakukan

oleh penderita guna mencegah perburukan kondisi jantungnya atau mencegah terjadinya

serangan berulang. Rehabilitasi jantung bukan hanya menjadi bagian integral dalam

menangani penderita penyakit jantung, tetapi juga merupakan aktivitas penting dalam

melaksanakan pencegahan sekunder. Secara umum konsep rehabilitasi jantung merupakan

rangkaian kegiatan yang mencakup evaluasi medik, penyusunan program latihan,

modifikasi faktor resiko, edukasi dan konseling disertai intervensi terhadap pola hidup

tidak sehat yang dijalani selama ini (Sani, 2012). Pada kenyataanya upaya pencegahan

tersebut belum berjalan secara optimal terutama pada pencegahan sekunder. Kurangnya

perilaku sehat dalam hal pencegahan sekunder faktor resiko PJK menjadi salah satu faktor

penyebab berulangnya kembali pasien terkena serangan jantung. Angka kekambuhan di

Indonesia mencapai angka 29% (Kemenkes RI, 2011).

Menurut Shahsavari (2012) dalam penelitiannya mengatakan, meskipun semua

upaya dan penatalaksanaan telah dimasukkan pada program pencegahan oleh para

profesional perawatan kesehatan, ada beberapa hambatan yang membatasi keberhasilan

program, salah satunya adalah perilaku sehat masih sangat rendah. Ada beberapa faktor

yang mempengaruhi perilaku pasien yaitu persepsi pasien tentang penyakitnya, kurangnya

motivasi internal yang dapat merubah perilaku tertentu. Faktor – faktor yang

mempengaruhi perilaku pasien adalah motivasi, pasien harus diberitahu oleh sumber yang

terkait, dan melibatkan dukungan keluarga pasien dalam melakukan program rehabilitasi,
salah satu upaya perubahan perilaku dapat dilakukan dengan motivasi lewat pendidikan

kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dirumuskan

yaitu Apakah Active Cycle Of Breathing Technique Dan Postural Drainage Dapat

Meningkatkan Ekspansi Thorax Pada Pasien Post Operasi Coronary Artery Bypass Graft

(Cabg)

1.3 Tujuan penelitian

Untuk membuktikan pengaruh Active Cycle Of Breathing Technique Dan Postural Drainage

Dapat Meningkatkan Ekspansi Thorax Pada Pasien Post Operasi Coronary Artery Bypass

Graft (Cabg).

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai referensi tambahan terkait Active Cycle Of Breathing Technique Dan

Postural Drainage Dapat Meningkatkan Ekspansi Thorax Pada Pasien Post Operasi

Coronary Artery Bypass Graft (Cabg) sehingga dapat di kembangkan dalam study ilmiah

berikutnya.

1.4.2 Bagi institusi Pelayanan

Dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan pelayanan

fisioterapi untuk meningkatkan kemampuan fungsional pasien Post Op CABG.


1.4.3 Bagi peneliti

Sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan peneliti dalam penelitian

ilmiah dan menambah wawasan mengenai peningkatan kemampuan fungsional

dan intervensi yang diberikan.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Coronary Artery Disease (CAD)

2.1.1 Definisi Coronary Artery Disease (CAD)

Penyakit arteri koroner (CAD) adalah penyempitan atau penyumbatan arteri

koroner, arteri yang menyalurkan darah ke otot jantung. Bila aliran darah melambat,

jantung tidak mendapat cukup oksigen dan zat nutrisi. Hal ini biasanya mengakibatkan

nyeri dada yang disebut angina. Bila satu atau lebih dari arteri koroner tersumbat sama

sekali, akibatnya adalah serangan jantung (kerusakan pada otot jantung).( Brunner and

Sudarth, 2001).

Coronary Artery Disease merupakan suatu manifestasi khusus dan arterosclerosis

pada arteri koroner. Plaque terbentuk pada percabangan arteri yang ke arah ateriol kiri,

arteri koronaria kanan dan agak jarang pada arteri sirkumflex. Aliran darah ke distal dapat

mengalami obstruksi secara permanen maupun sementara yang disebabkan oleh akumulasi

plaque atau penggumpalan. Sirkulasi kolateral berkembang di sekitar obstruksi

arteromasus yang menghambat pertukaran gas dan nutrisi ke miokardium. Kegagalan

sirkulasi kolateral untuk menyediakan supply oksigen yang adekuat ke sel yang berakibat

terjadinya penyakit arteri koronaria, gangguan aliran darah karena obstruksi tidak

permanen (angina pektoris dan angina preinfark) dan obstruksi permanen (miocard

infarct). Penyakit Jantung Koroner pada mulanya disebabkan oleh penumpukan lemak

pada dinding dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama

kelamaan diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jaringan ikat, perkapuran,

pembekuan darah, dan lain-lain, yang kesemuanya akan mempersempit atau menyumbat
pembuluh darah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di daerah tersebut

mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan berbagai akibat yang cukup

serius, dari angina pectoris (nyeri dada) sampai infark jantung

2.1.2 Definisi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Coronary Artery Bypass Graft merupakan salah satu penanganan intervensi dari

CAD dengan cara membuat saluran baru melewati arteri koroner yang mengalami

penyempitan atau penyumbatan (Feriyawati, 2005). Coronary Artery Bypass

Grafting adalah operasi pintas koroner yang dilakukan untuk membuat saluran baru

melewati bagian arteri koroner yang mengalami penyempitan atau penyumbatan (Medical

Surgical Nursing vol 1, 2000).

Coronary Artery Bypass Grafting merupakan salah satu penanganan intervensi dari

PJK dengan cara membuat saluran baru melewati arteri koroner yang mengalami

penyempitan atau penyumbatan (Feriyawati,2005). Coronary Artery Bypass Grafting

adalah operasi pintas koroner yang dilakukan untuk membuat saluran baru melewati bagian

arteri koroner yang mengalami penyempitan atau penyumbatan (Medical Surgical Nursing

vol 1, 2000) Coronary Artery Bypass Grafting atau Operasi CABG adalah teknik yang

menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh yang lain untuk memintas (melakukan

bypass) arteri yang menghalangi pemasokan darah ke jantung. Operasi CABG sangat ideal

untuk pasien dengan penyempitan di beberapa cabang arteri koroner (Kulick & Shiel,

2007). Rekomendasi untuk melakukan CABG didasarkan atas beratnya keluhan angina

dalam aktifitas sehari-hari. Respon terhadap intervensi non bedah PCI atau stent dan obat-
obatan serta harapan hidup pasca operasi yang didasarkan atas fungsi jantung secara umum

sebelum operasi (Woods, et all. 2000).

2.1.2 Anatomi

Arteri Koroner Kiri Utama/Left Main (LM) yang lebih popular dengan

sebutan Left Main (LM), keluar dari sinus aorta kiri kemudian segera bercabang dua

menjadi arteri Left Anterior Descending (LAD) dan Left Cirumflex (LCX). Arteri LM

berjalan diantara alur keluar ventrikel kanan (right ventricle outflow tract) yang terletak di

depannya dan atrium kiri dibelakangnya, kemudian bercabang menjadi arteri LAD dan

arteri LCX.

Arteri Left Anterior Descending (LAD) berjalan di parit interventrikular depan

sampai ke apeks jantung. Arteri ini mensuplai bagian depan septum melalui cabang-cabang

septal dan bagian depan ventrikuler kiri melalui cabang-cabang diagonal, sebagian besar

ventrikel kiri dan juga berkas AntrioVentrikular. Cabang-cabang diagonal keluar dari

arteri LAD dan berjalan menyamping mensuplai dinding anterolateral ventrikel kiri,

cabang diagonal bisa lebih dari satu.

Arteri Left Circumflex (LCX) berjalan di parit atrioventrikular kiri diantara

atrium kiri dan ventrikel kiri dan mensuplai dinding samping ventrikel kiri melalui cabang-

cabang obtuse marginal yang bisa lebih dari satu (M1, M2, dan seterusnya). Pada umumnya

arteri LCX berakhir sebagai cabang obtuse marginal, namum pada 10% kasus mempunyai

sirkulasi dominan kiri maka arteri LCX juga mensuplai cabang “posterior descending

artery” (PDA).
Arteri Koroner Kanan/Right Coronary Artery (RCA) keluar dari sinus aorta

kanan dan berjalan didalam parit atrioventrikular kanan diantara atrium kanan dan ventrikel

kanan menuju ke bagian bawah dari septum. Cabang-cabang yang berjalan diagonal dan

mengarah ke depan dan mensuplai dinding depan ventrikel kanan. Selanjutnya adalah

cabang acute marginal (AM) dan berjalan di tepi ventrikel kanan diatas diafragma. RCA

berlanjut ke belakang berjalan di dalam parit atrioventrikular dan bercabang arteri AV

node.

2.2 Etiologi Coronary Artery Disease(CAD)

Coronary artery disease triple vessel disease merupakan penyumbatan pada arteri

koronaria pada ketiga cabang arteri koronaria. Faktor resiko yang sering menyebabkan

penyumbatan adalah kolesterol. Ketika kadar kolesterol tinggi terutama LDL

meningkatkan resiko serangan jantung atau menyumbat arteri. Tingginya kadar kolesterol

di dalam dinding arteri akan membuat suplai darah dan nutrisi berkurang ke jantung.

2.3 Patofisiologi Coronary Artery Disease (CAD)

Penyakit jantung koroner merupakan respons iskemik dari miokardium yang

disebabkan oleh penyempitan arteri koronaria secara permanen atau tidak permanen.

Oksigen di perlukan oleh sel-sel miokardial, untuk metabolisme aerob dimana adenosine

triphospate dibebaskan untuk energi jantung pada saat istirahat membutuhakn 70%

oksigen. Banyaknya oksigen yang di perlukan untuk kerja jantung disebut sebagai

myocardial oxygen cunsumption (MVO2), yang dinyatakan oleh percepatan jantung,

kontraksi miocardial dan tekanan pada dinding jantung.


Jantung yang normal dapat dengan mudah menyesuaikan terhadap peningkatan

tuntutan tekanan oksigen dangan menambah percepatan dan kontraksi untuk menekan

volume darah ke sekat-sekat jantung. Pada jantung yang mengalami obstruksi aliran darah

miocardial, suplay darah tidak dapat mencukupi terhadap tuntutan yang terjadi. Keadaan

adanya obstruksi letak maupun sebagian dapat menyebabkan anoksia dan suatu kondisi

menyerupai glikolisis aerobic berupaya memenuhi kebutuhan oksigen. Penimbunan asam

laktat merupakan akibat dari glikolisis aerobik yang dapat sebagai predisposisi terjadinya

disritmia dan kegagalan jantung.

Hipokromia dan asidosis laktat mengganggu fungsi ventrikel. Kekuatan kontraksi

menurun, gerakan dinding segmen iskemik menjadi hipokinetik. Kegagalan ventrikel kiri

menyebabkan penurunan stroke volume, pengurangan cardiac output, peningkatan

ventrikel kiri pada saat tekanan akhir diastole dan tekanan desakan pada arteri pulmonalis

serta tanda-tanda kegagalan jantung. Kelanjutan dan iskemia tergantung pada obstruksi

pada arteri koronaria (permanen atau sementara), lokasi serta ukurannya. Tiga menifestasi

dari iskemia miocardial adalah angina pectoris, penyempitan arteri koronarius sementara,

preinfarksi angina, dan miocardial infark atau obstruksi permanen pada arteri coronaria.

2.4 Indikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Indikasi CABG menurut American Heart Association (AHA) (Ignatavisius

&Workman, 2006), yaitu:

1. Stenosis Left Mean Coronary Artery yang signifikan

2. Angina yang tidak dapat di kontrol dengan terapi medis


3. Angina yang tidak stabil

4. Iskemik yang mengancam dan tidak respon terhadap terapi non bedah yang

maksimal

5. Gagal pompa ventrikel yang progresif dengan stenosis koroner yang

mengancam daerah miokardium

6. Sumbatan yang tidak dapat ditangani dengan PTCA dan trombolitik

7. Sumbatan/stenosis LAD dan LCx pada bagian proksimal > 70 %

8. Satu atau dua vessel disease tanpa stenosis LAD proksimal yang signifikan

9. Pasien dengan komplikasi kegagalan PTCA

10. Pasien dengan sumbatan 3 pembuluh darah arteri (three vessel disease) dengan

angina stabil atau tidak stabil dan pada pasien dengan 2 sumbatan pembuluh

darah dengan angina stabil atau tidak stabil dan pada pasien dengan 2 sumbatan

pembuluh darah dengan angina stabil atau tidak stabil dan lesi proksimal LAD

yang berat

11. Pasien dengan stenosis (penyempitan lumen > 70%) pada 3 arteri yaitu arteri

koronaria komunis sinistra, bagian proksimal dari arteri desenden anterior

sinistra

2.5 Komplikasi CABG

1. Nyeri pasca operasi

Setelah dilakukan bedah jantung, pasien dapat mengalami nyeri yang

diakibatkan luka insisi dada atau kaki, selang dada atau peregangan iga selama

operasi. Ketidaknyamanan insisi kaki sering memburuk setelah pasien berjalan

khususnya bila terjadi pembengkakan kaki. Peregangan otot punggung dan leher
saat iga diregangkan dapat menyebabkan ketidaknyamanan punggung dan leher.

Nyeri dapat merangsang sistem saraf simpatis, meningkatkan frekuensi jantung dan

tekanan darah yang dapat mengganggu hemodinamik pasien. Ketidaknyamanan

dapat juga mengakibatkan penurunan ekspansi dada, peningkatan atelektasis dan

retensi sekresi. Tindakan yang harus dilakukan yaitu memberikan kenyamanan

maksimal, menghilangkan faktor-faktor peningkatan persepsi nyeri seperti

ansietas, kelelahan dengan memberikan penghilang nyeri.

2. Penurunan curah jantung

Disebabkan adanya perubahan pada frekuensi jantung, isi sekuncup atau

keduanya. Bradikardia atau takikardi pada paska operasi dapat menurunkan curah

jantung. Aritmia sering terjadi 24 jam – 36 jam paska operasi. Takikardi menjadi

berbahaya karena mempengaruhi curah jantung dengan menurunkan waktu

pengisian diastolik ventrikel, perfusi arteri koroner dan meningkatkan kebutuhan

oksigen miokard. Bila penyebab dasar dapat diidentifikasikan maka dapat

diperbaiki.

3. Perubahan cairan

Setelah operasi Coronary Bypass Grafting (CABG) volume cairan tubuh total meningkat

sebagai akibat dari hemodilusi. Peningkatan vasopressin, dan perfusi non perfusi ginjal

yang mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-aldosterone (RAA). Ketidakseimbangan

elektrolit pasca operasi paling umum adalah kadar kalsium abnormal. Hipokalemia dapat

diakibatkan oleh hemodilusi, diuretik dan efek-efek aldosteron yang menyebabkan sekresi

kalium ke dalam urine pada tubulus distal ginjal saat natrium diserap. Hiperkalemia dapat

terjadi sebagai akibat jumlah besar larutan kardioplegia atau gagal ginjal akut
4. Perubahan tekanan darah

Setelah bedah jantung ditemukan adanya hipertensi atau hipotensi.Intervensi

keperawatan diarahkan pada antisipasi perubahan dan melakukan intervensi untuk

mencegah atau untuk memperbaiki dengan segala tekanan darah pada rentang normotensi.

a. Hipotensi

Pada graft vena safena dapat kolaps jika tekanan perfusi terlalu rendah, vena tidak

memiliki dinding otot seperti yang di miliki oleh arteri, sehingga mengakibatkan

iskemia miokard. Hipotensi juga dapat disebabkan oleh penurunan volume

intravaskuler, vasodilatasi sebagai akibat penghangatan kembali, kontraktilitas

ventrikel yang buruk atau disritmia.Tindakan dengan pemberian cairan atau obat

vasopressor dapat dilakukan jika hipotensi disebabkan oleh penurunan

kontraktilitas ventrikel.

b. Hipertensi

Hipertensi setelah paska operasi jantung dapat menyebabkan rupture atau

kebocoran jalur jahitan dan meningkatkan pendarahan. Dapat juga disebabkan

karena riwayat hipertensi, peningkatan kadar katekolamin atau renin, hipotermia

atau nyeri, terkadang ditemukan tanpa penyebab yang jelas. Hipertensi dapat

disebabkan oleh narkotik analgesik atau sedatif intravena. Hipertensi ini umumnya

bersifat sementara dan dapat di turunkan dalam 24 jam. Bila tidak mungkin, anti

hipertensi oral dapat di mulai untuk memudahkan penghentian nitroprusid. Pada

klinik sering digunakan gabungan inotropik dan vasodilator seperti golongan

milirinone.

5. Perdarahan pasca operasi (European Society of Cardiology, 2008)


Ada 2 jenis perdarahan, yaitu: a. Perdarahan arteri Meskipun jarang, namun

hal ini merupakan kedaruratan yang mengancam hidup yang biasanya diakibatkan

oleh ruptur atau kebocoran jalur jahitan pada satu dari 3 sisi: Anastomosis

proksimal graft vena ke aorta, anastomosis distal graft vena ke arteri koroner atau

kanulasi sisi ke aorta dimana darah yang mengandung O2 dikembalikan ke pasien

selama bypass. b. Perdarahan vena Hal ini lebih umum terjadi dan disebabkan oleh

masalah pembedahan atau koagulopati, kesalahan hemostasis dari satu atau lebih

pembuluh darah mengakibatkan pendarahan. Tindakan ditujukan pada penurunan

jumlah perdarahan dan memperbaiki penyebab dasar.

6. Infeksi luka

Infeksi luka luka pasca operasi dapat terjadi pada kaki atau insisi sternotomi

median atau pada sisi pemasangan selang dada. Perawatan untuk mencegah infeksi

yaitu dengan mempertahankan insisi bersih dan kering dan mengganti balutan

dengan teknik aseptik. Infeksi juga dapat didukung dari keadaan pasien dengan

nutrisi tidak adekuat dan immobilisasi.

7. Tamponade jantung

Awal Tamponade jantung terjadi apabila darah terakumulasi di sekitar

jantung akibat kompresi jantung kanan oleh darah atau bekuan darah dan menekan

miokard. Hal ini mengancam aliran balik vena, menurunkan curah jantung dan

tekanan darah. Tindakan meliputi pemberian cairan dan vasopressor untuk

mempertahankan curah jantung dan tekanan darah sampai dekompresi bedah

dilakukan.

8. Post perfusion syndrome


Kerusakan sementara pada neuro kognitif, namun penelitian terbaru

menunjukan bahwa penurunan kognitif tidak disebabkan oleh CABG tetapi lebih

merupakan konsekuensi dari penyakit vaskuler.

9. Disfungsi neurologi

Dapat bervariasi dalam beratnya keadaan dari kerusakan sementara

konsentrasi ringan sampai periode agitasi dan kekacauan mental dan cedera

serebrovaskuler atau koma. Perubahan perfusi serebral dan mikro embolisme lemak

atau agregasi trombosit selama bypass dan embolisasi bekuan, bahan partikular

atau udara, semua dapat menyebabkan sequel neurologis. Tindakan meliputi

mempertahankan curah jantung adekuat, tekanan darah dan AGD (Analisa Gas

Darah) menjamin perfusi serebral dan oksigenasi normal.


2.6 Algoritma ICF

Degenerativ Obesitas Over Use


Trauma
e

Osteoarthritis Genu

Muscle Capsule Pembuluh


Joint surface Saraf
Ligament Darah

Guarding Blockage
Spasme Chronic
Gangguan Inflamation
Inflamation
Inflamation Vaskularisasi
Ischemic Hiperensitivita
s Nocisensorik
Instabilit
Stretched Ischemic
Tightness
Pain
kontraktur Ambang
Muscle Rasa
Weakness Hypomobility

Muscle
Imbalance

Nyeri
Stifness
Spasme Otot
Keterbatasan
gerak
2.7 Active Cycle of Breathing Technique(ACBT)

Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) merupakan salah satu teknik chest

fisioterapi yang terdiri dari 3 subteknik yaitu Breathing Control (BC), Thoracic

Expansion Exercise (TEE) dan Forced Expiration Technique (FET) atau huffing

berfungsi untuk meningkatkan ekspansi thorax, membersihkan saluran napas akibat

akumulasi mukosa karena proses patologi sehingga saluran napas akan bersih dan

penderita dapat bernapas lebih nyaman (Lestari, 2015).

Penatalaksanaan chest fisioterapi Active Cycle of Breathing Technique (ACBT)

pada pasien post operasi CABG dengan standar penatalaksanaan sesuai dengan prosedur

yang telah ditetapkan NHS (2009), meliputi tiga subteknik.yaitu Breathing exercise akan

meningkatkan kapasitas inspirasi dan merangsang kerja otot-otot pernapasan. Latihan

huffing meningkatkan tidal volume dan membuka sistem colateral saluran napas

sehingga sputum mudah dikeluarkan. Breathing Control (BC) bertujuan mendidik

kembali pola pernapasan tenang dan ritmis sehingga penderita dapat menghemat energi

untuk bernapas serta penderita akan terbiasa melakukan pernapasan yang teratur ketika

serangan sesak napas. Sedangkan perpaduan dari kedua subteknik dapat dilakukan

bersama – sama dengan latihan mobilisasi sangkar torakal atau Thoracic Expansion

Exercise (TEE), yang bertujuan meningkatkan mobilisasi sangkar torakal dan

memperbaiki postural. Hasil dari penatalaksanaan chest fisioterapi Active Cycle of

Breathing Technique (ACBT) juga diperoleh informasi dari penderita bahwa selain lebih

mudah mengeluarkan sputum, sesak napas menurun dan mobilisasi sangkar torak lebih

baik.
1. Breathing control

Breathing control adalah suatu teknik bernafas dengan menggunakan paru sisi

bawah dan menghindari atau meminimalkan penggunaan otot-otot bantu nafas (otot

dada atas dan otot-otot bahu) sehingga diperoleh suatu kondisi yang santai (rileks).

Breathing control cocok dan banyak diberikan pada pasien asma atau PPOK yang

sedang mengalami serangan sesak nafas. Kedua kondisi tersebut seandanya malah

diberi breathing exercise justru akan menambah derjat sesak nafasnya. Hal ini

terjadi karena breathing exercise akan meningkatkan kerja otot pernafasan atas dan

membuatnya lelah.

Prosedur breathing control :

 Posisi pasien santai dan nyaman, boleh duduk, half lying atau tidur miring.

 Pasien bernafas biasa dan santai.

 Hindari member hambatan saat bernafas. Misalnya : hindari penggunaan

pursed lips breathing.

 Beri intruksi kepada pasien secar halus dan bersuara rendah.

2. Thorax Expansion Exercise (TEE)

3. Forced Expiration Technique (FET)

2.8 Postural Drainage (PD)

Postural Drainage (PD) adalah teknik pengaturan posisi tertentu untuk mengalirkan

sekresi pulmonari pada area tertentu dari lobus paru dengan pengaruh gravitasi. Pembersihan

dengan cara ini dicapai dengan melakukan salah satu atau lebih dari 10 posisi yang berbeda.
Setiap posisi mengalirkan bagian khusus dari pohon trakeabronkial – bidang paru atas,

tengah, atau bawah ke dalam trakhea. Batuk atau penghisapan kemudian mendapat

membuang sekret dari trakea.

Tujuan postural drainage (PD) yaitu untuk mempermudah pengeluaran sputum

dengan positioning sesuai dengan letak sputum, mengeluarkan secret yang terampung, dan

mencegah akumulasi secret agar tidak terjadi atelectasis. Indikasi postural drainage (PD)

yaitu kondisi pasien tirah baring lama dengan banyak sputum yang sulit dikeluarkan. Kontra

Indikasi postural drainage (PD) yaitu Tension pneumotoraks, Hemoptisis, Gangguan sistem

kardiovaskuler seperti hipotensi, infark miokard, Edema paru, Efusi pleura yang luas.

2.8.1 Posisi postural drainage

b) Bronkus apikal anterior lobus atas

Untuk mengurngi lendir dengan nyaman dikursi atau sisi tempat tidur dengan

membungkuk, lengan menggantung, menghadap bantal. Terapis menepuk dan

menggetarkan dengan kedua tangan di atas punggung diatas area otot antar tulang

selangka dan sangat bagian atas tulang belikat (daerah di arsir dari diagram) dikedua

sisi selama 3 sampai 5 menit. Dorong pasien untuk mengambill nafas dalam–dalam

dan batuk selama perkusi untuk membantuk membersikan saluran pernafasan.

c) Bronkus apikal posterior lobus kanan

Posisi pasien duduk dengan nyaman dikursi atau di sisi tempat tidur dan

membungkuk, lengan menggantung menghadap bantal. Terapis menempuk dan


menggetarkan dengan kedua tangan diatas punggung atas pada kedua sisi kanan dan

kiri.

d) Bronkus lobus atas anterior

Pasien berbaring datar di tempat tidur atau meja dengan bantal dibawah

kepala dan kakinya untuk kenyamanan. Terapis menepuk dan menggetarkan sisi

kanan dan kiri bagian depan dada, antar tulang selangka dan putting.

e) Bronkus lobus tengah kanan

Pasien berbaring miring kiri dan ditinggikan kaki tempat tidur sekitar

30cm. Tempatkan bantal dibelakang punggung pasien dan gulingkan klien

seperempat putaran bantal. Terapis menepuk dan menggetarkan daerah putting.


BAB III

STATUS KLINIS

3.1. Keterangan Umum Pasien


a) Nama : Tn. Halim
b) Umur : 60 tahun
c) Jenis Kelamin : Pria
d)
Agama : Islam
e) Pekerjaan : Wiraswasta
f) Alamat : Pulo Gebang Permai
3.2. Data Medis
a) Tanggal Pemeriksaan : 4 Maret 2019
b) Diagnosis medis : Coronary Artery Disease
c) Catatan Klinis : tidak ada
d) Medikamentosa : Amlodipine, Lipitor
e) Hasil Lab : tidak ada
f) Radiologi : Xray
3.3. Proses Fisioterapi
3.3.1 Pemeriksaan Subyektif
3.3.2 Keluhan Utama Dan Riwayat Penyakit Sekarang
a) Keluhan Utama:
Pasien sulit mengeluarkan lender di tenggorokan, tiap batuk ada sedikit nyeri post operasi
CABG.

b) Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien berada di ruang ICU RS Meilia post operasi CABG hari ke 3. Kondisi pasien
masih merasa lemas dan terdapat lendir atau sputum yg sulit keluar ketika batuk. Vital
sign kondisi baik.
c) Kondisi khusus :
Tidak ada

3.3.3. Riwayat Penyakit Dahulu dan Penyerta

a) Riwayat Penyakit Dahulu

(1) ISPA

b) Riwayat Penyakit Penyerta

(1) Hipertensi : ada


(2) Diabetes Melitus : ada
(3) Lipid profile tinggi : ada
(4) Gastritis : tidak ada
3.3.4. Pemeriksaan Obyektif
a) Pemeriksaan Tanda Vital
(Tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, temperatur, tinggi badan, berat badan)
(1) Tekanan darah :130/80 mmHg
(2) Denyut nadi : 68 kali/menit
(3) Pernafasan : 18 kali/menit
(4) Temperatur : (tidak diperiksa)
(5) Tinggi badan : 170 cm
(6) Berat badan : 65 kg
(7) IMT :
b) Inspeksi / Observasi
(1) Statis : postur cenderung round back, forward head, kifosis
(2) Dinamis : Pasien merasa lemas ketika mengangkat kedua lengan
c) Palpasi
(1) Spasme otot sternocleidomastoideus, scalenus, pectoralis
(2) Kelemahan otot abdominal
(3) Suhu lokal terpalpasi dalam batas normal
d) Auskultasi:
- suara ronchi
- terdapat sputum di lobus kanan atas
e) Fremitus : getaran lebih besar di area punggung kanan
f) Quick test dan Specific test
Gerak sendi UE dan LE aktif dalam batas normal
g) Antropometri
Pemeriksaan Ekspansi Thorax:

Normal 1 Juni 2019 20 Juni 2019

Upper 2-3 cm 1 3
(di bawah axilla)
Middle 3-5 cm 2 4
(proc. xyphoid)
Lower 5-7 cm 4 7
(level T8)
3.4. Algoritma-ICF Model

CABG

Functioning, disability, and health Contextual Factors

Anatomic Impairment Internal External


factors factors

Muscle Joint Pembuluh


Capsul
Fibre Ligament Surfaces darah

Gangguan
Chronic Vaskularisasi Functional Activity Participation
inflammation
Impairment Limitation Restriction
Inflammation
Ischemic
hypertone

Blockage Sitting Work


Adhesion

Walking Sport
Tautband Hypomobility

Recreation
ADL

Nyeri
Spasme Stifness dan
tekan dan
Otot keterbatasan
nyeri
ROM
gerak

3.5. Diagnosis Fisioterapi


3.5.1. Impairment

a) Spasme otot sternocleidomastoideus, scalenus


b) Kelemahan otot abdominal
c) Retensi sputum
d) Penurunan ekspansi thorax
e) Penurunan aerobic endurance
3.5.2. Activity Limitation

a) Berjalan
b) Naik turun tangga
c) Mengendarai motor dan mobil
3.5.3. Participation Restriction

a) Bekerja di toko
b) Keterbatasan dalam kegiatan di rumah
c) Rekreasi
d) Olahraga Jogging

3.6. ICF
a) Body structure
1) Blood vessels (b415: blood vessels functions)
b) Body function
(1) Spasme otot pernafasan (7801 : sensation of muscle spasme)
(2) Kelemahan otot abdominal (b730 : muscle power function)
(3) Retensi sputum (b440: respiration functions)
(4) Penurunan ekpansi thorax
(5) Penurunan aerobic endurance (b455: exercise tolerance functions)
c) Activities limitation
(1) Berjalan (d450 walking)
(2) Naik turun tangga (d4551 climbing)
(3) Mengendarai motor dan mobil (d4751 driving motorized vehicles)
d) Participation restriction
(1) Bekerja (d8500 Self employment)
(2) Keterbatasan dalam kegiatan di rumah (d640 Doing housework)
(3) Rekreasi (d920 Recreation and leisure)
(4) Olahraga (d9201 sport)
e) Environmental Factors
(1) Ruang Perawatan RS (e5800 health services)
f) Personal factors
(!) Mudah lelah

3.7 Pemeriksaan Modified Borg Scale

SKALA INTENSITAS
0 Tidak sesak sama sekali

0,5 Sesak sangat ringan sekali


1 Sesak sangat ringan

2 Sesak ringan
3 Sesak sedang
4 Sesak kadang berat

5 Sesak berat
6
7 Sesak sangat berat
8
9
10 Sesak sangat berat sekali, hampir maksimal

3.8 Pemeriksaan 6 Minutes Walking Test


Tgl 1 Juni 2019:
VO2 max : ((0,05 x 150 m)) – (0,052 x 60 kg) + 2,9) = 7,28 liter/kg BB/menit
METs: VO2 max / 3,5 = 2,08

3.9 Rencana Pelaksanaan


3.9.1 Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan fungsional pasien nyeri osteoarthritis
genu agar bisa beraktifitas seperti biasanya
3.9.2 Prinsip terapi
a) Mengurangi impairment dan memperbaiki fungsi
b) Mencegah disabilitas dan menurunnya kesehatan yang terjadi sekunder karena inaktifitas
dengan meningkatkan level aktifitas fisik sehari-hari dan memperbaiki daya tahan fisik
3.9.3 Konseling / edukasi
(a) Melakukan home program yang diberikan secara disiplin
(b) Latihan nafas (breathing exercise) secara teratur
(c) Koreksi postur
3.10 Prognosis
(a) Quo ad vitam : baik

(b) Quo ad sanam : baik

(c) Quo ad functionam : baik

(d) Quo ad cosmeticam : baik


3.11 Sarana Dan Prasarana
a) Sarana : kursi, bed, bantal.
b) Prasarana : ruang fisioterapi

3.12 Teknologi Intervensi Fisioterapi


1. Postural Drainage
 Positioning: posisi pasien berbaring di bed. Pasien diposisikan sedikit miring ke sisi
kiri. Punggung diganjal bantal.
 Perkusi : Terapis memberikan clapping dan vibrasi di punggung atas
 Deep Breathing: terapis menginstruksikan pasien untuk menarik nafas dalam dan
hembuskan nafas panjang selama 3 kali. Dengan inspirasi dan ekspirasi 4:2.
 Latihan batuk efektif: terapis menginstruksikan pasien untuk batuk setelah nafas
dalam.
2. Active Cycle of Breathing Technique
• Breathing control :
F: 3x/hari,
I: 10x repetisi
T: 5 menit
• Thoracic Expansion Exercises (gerakan kedua lengan flexi shoulder, horizontal abduksi
shoulder, dengan inspirasi dan ekspirasi 2:4):
F: 3x/hari
I: 10x repetisi
T: 5 menit
• Forced Expiration Technique/huffing:
F: 3x/hari
I: 2x repetisi
T: 1 menit

b. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setelah selesai 6x sesi program terapi. Terapi dilakukan sebanyak 6
kali.
Tanggal 1 Juni 2019

S : Pasien sulit mengeluarkan lender di tenggorokan, tiap batuk ada sedikit nyeri post operasi
CABG.

O : Pasien merasa lemah dan agak sulit mengeluarkan lendir pasca operasi CABG.

Palpasi : spasme pada otot sternocleidomastoideus, scalenus, pectoralis

Gangguan aktivitas : berjalan lama, naik turun tangga, mengendarai motor dan mobil,
keterbatasan dalam kegiatan di rumah, rekreasi, olahraga.

A.
Impairment

a. Spasme otot sternocleidomastoideus, scalenus


b. Kelemahan otot abdominal
c. Retensi sputum
d. Penurunan ekspansi thorax
e. Penurunan aerobic endurance
Activity Limitation

a. Berjalan
b. Naik turun tangga
c. Mengendarai motor dan mobil
Participation Restriction

a. Bekerja di toko
b. Keterbatasan dalam kegiatan di rumah
c. Rekreasi
d. Olahraga Jogging

P : Active Cycle of Breathing Technique dan Thoracic Expansion Exercises


Home program/edukasi

Tanggal 17 Juni 2019


S : retensi sputum berkurang, peningkatan ekspansi thorax
O : Peningkatan ekspansi thorax, peningkatan aerobic endurance, pengurangan retensi
sputum, peningkatan VO2 Max.

A:

Impairment

a. Spasme otot sternocleidomastoideus, scalenus


b. Kelemahan otot abdominal
c. Retensi sputum
d. Penurunan ekspansi thorax
e. Penurunan aerobic endurance
Activity Limitation

a. Berjalan
b. Naik turun tangga
c. Mengendarai motor dan mobil
Participation Restriction

a. Bekerja di toko
b. Keterbatasan dalam kegiatan di rumah
c. Rekreasi
d. Olahraga Jogging

P : Active Cycle of Breathing Technique dan Thoracic Expansion Exercises


Home program/edukasi
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Menurut Mattias (2014), pengetahuan tentang penyakit jantung koroner merupakan

faktor yang sangat penting dimiliki oleh pasien penyakit jantung koroner dalam

melaksanakan tindakan pencegahan sekunder. Sangat penting bagi pasien PJK untuk

memiliki pengetahuan, sikap yang positif mengenai penyakit jantung koroner dan

bagaimana upaya pencegahannya (Dalusung,2010). Persepsi seseorang terhadap suatu

penyakit dapat memprediksi sejumlah perilaku sehat pada pasien dengan penyakit kronik

seperti PJK. Untuk pasien PJK, persepsi terhadap sakitnya menunjukkan adanya hubungan

dengan jumlah perilaku mencari solusi penyembuhan. Pada pasien infark miokard dengan

sejumlah gejala yang khas akan berusaha mencari pertolongan untuk mengatasi gejalanya.

Setelah menyadari bahwa penyakitnya merupakan suatu hal yang serius, pasien akan

melakukan perubahan gaya hidup dan mengikuti program rehabilitasi jantung (Byrne &

Murphy, 2005).

Faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap tindakan pencegahan sekunder

penyakit jantung koroner adalah dukungan keluarga, Menurut Tziallas (2010), seseorang

yang mengalami infark miokard yang dikategorikan sebagai penyakit yang berat, dapat

mempengaruhi sistem keluarga secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh peran keluarga

yang berubah karena ada anggota keluarga yang sakit. Pada saat pasien PJK harus

menjalani program rehabilitasi jantung, keluarga memainkan peran yang dominan.


Menurut Indrawati (2012) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pengetahuan, sikap,

persepsi diri, motivasi, dan dukungan keluarga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi

terlaksananya perilaku sehat salah satunya tindakan pencegahan sekunder penyakit jantung

koroner.. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Adnan WD Payakumbuh. merupakan RS rujukan

tipe C yang setiap tahunnya terus mengalami perkembangan dan perubahan pelayanan ke arah

yang lebih baik. Berdasarkan data rekam medik RSUD Dr Adanand WD Payakumbuh

diperoleh angka kunjungan pasien PJK dari tahun ke tahun. Angka kunjungan pasien jantung

koroner tahun 2014 sebanyak 988, tahun 2015 mengalami peningkatan menjadi 1.100 dan data

terakhir yang didapat bulan januari sampai Agustus 2016 adalah sebanyak 860 kunjungan

pasien.

B. Saran

Dari kesimpulan yang telah dikemukakan maka saran yang dapat diberikan adalah

sebagai berikut :

1. Fisioterapis memberikan home program berupa latihan pernafasan (Breathing Exercise)

dan stretching dengan dosis minimal 2 kali sehari dengan 10 kali pengulangan pada 1 kali

latihan. Pasien diberikan edukasi mengenai intervensi yang akan diberikan agar menjadi

mudah dan sesuai dengan tujuannya.

2. Pasien dianjurkan melakukan kompres hangat pada bagian leher selama 15 menit

3. Pasien diberitahukan saat mengajar menghindari posisi statis duduk yang terlalu lama 20

menit serta melakukan stretching disela-sela kegiatan mengajar, bisa dilakukan saat

istirahat.
DAFTAR PUSTAKA

De Wolf and Mens, J.M.A, 1994; Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh; Cetakan Kedua, Bohn

Stafleu Van Loghum, Houten, hal 102-104.

Heri Priatna, 1985; Exercise Theraphy; Akademi Fisioterapi Surakarta.

Hudaya, Prasetya, 2002; Dokumentasi Persiapan Praktek Profesional Fisioterapi; Jurusan

Fisioterapi Politeknik Kesehatan Surakarta.

Hudaya, Prasetya, 2002; Rematologi; Jurusan Fisioterapi Politeknik Kesehatan Surakarta.

Kisner, C and Colby, L. A, 1996; Therapeutik Exercise Foundation and Thecniques; Third Edition,

F. A. Davis Company, Philadelphia, hal 163.

Parjoto, Slamet, 2002; Assesment Fisioterapi pada Osteoarthritis Sendi Lutut; TITAFI XV,

Semarang.

Putz, R and Pabts, R, 2000; Sobota Atlas Anatomi Manusia; Jilid2, Edisi 21, ECG, Jakarta.

Sujatno dkk, 2002; Sumber Fisis; Jurusan Fisioterapi Politeknik Kesehatan, Surakarta.

Ig Sujatno, dkk, 2002. Sumber Fisis. Akademi Fisioterapi Surakarta, Surakarta

Sriwidayat Ismiyati dan Soeparman, 2000; Pengaruh Traksi Elektris OA Lutut; TITAFI XV,

Semarang

Yudhi Suyono, 2000; Terapi Latihan pada OA Sendi Lutut, TITAFI Brandt,

Kenneth, 2000; Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4 in Osteoarthritis; Penerbit Buku

Kedokteran Indonesia, Jakarta


Heru P Kuntono, 2005; Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi Osteo Arthritis; Temu Ilmiah

IFI, Kediri.

Anda mungkin juga menyukai