Anda di halaman 1dari 22

NASKAH AKADEMIK

MELURUSKAN PELAYANAN FISIOTERAPI


DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

DI SUSUN OLEH

IKATAN FISIOTERAPI INDONESIA

2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah hak asasi manusia sebagaimana tertuang pada diktum pertama
Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang juga menetapkan bahwa
kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Setiap individu, keluarga dan masyarakat
berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab
mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat
miskin dan tidak mampu. Akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan juga
merupakan hak yang di jamin oleh Undang-Undang.
Transisi Epidemiologi dimana penyakit tidak menular terus meningkat khususnya
pada penyakit degeneratif dan traumatik. Tahun 1990, 56% penyakit di Indonesia
didominasi oleh penyakit menular seperti ISPA, TB dan Diare sementara sejak tahun 2015,
57% penyakit di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular seperti stroke, jantung,
Diabetes, kanker dan traumatik.
Perubahan demografi penyakit di Indoneisa tersebut berdampak terhadap
perubahan kebutuhan pelayanan kesehatan termasuk meningkatnya kebutuhan masyarakat
akan pelayanan fisioterapi dimana domain pelayanan fisioterapi pada penyakit tidak
menular.

Gambar 1. Peningkatan Penyakit Tidak menular


Tingginya kebutuhan masyarakat akan pelayanan fisioterapi perlu di ikuti oleh
kebijakan-kebijakan pemerintah yang tepat untuk dapat mengatur dan mengelola
pelayanan kesehatan kepada masyarakat termasuk didalamnya pelayanan fisioterapi agar
efektif dan efisien.
Secara definisi Fisioterapi adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak
dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara
manual, peningkatan gerak, peralatan (physics, electrotherapeutic dan mekanis), pelatihan
fungsi, dan komunikasi (PMK 80 th 2013, PMK 65 th 2015).
Riwayat singkat tentang profesi Fisioterapi berikut ini sebagai deskripsi eksistensi
dan kemadirian profesi fisioterapi yang dapat berkolaborasi dengan profesi kesehatan
lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
a. Physiotherapy – physiotherapist (Inggris – common wealth), physical therapy – physical
therapist (USA), fisioterapeut – fisioterapeuten (Belanda), fisioterapi – fisioterapis
(Indonesia).
Fisioterapi sebagai pengobatan tradisional (Mesir, 2500 SM), fisioterapi pelayanan
kesehatan modern (London, 1894), fisioterapi dengan spesialisasi (USA, 1974).
b. World Confederation for Physical therapy (WCPT) di Kopenhagen tahun 1951 sebagai
wadah organisasi fisioterapi se dunia. Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) di dirikan di
Jakarta tahun 1961. Ikatan Fisioterapi Indonesia menjadi anggota WCPT pada tahun
1970.
c. World Health Organization (WHO) dan International Labour Organization (ILO) tahun
2008, menempatkan tenaga fisioterapis mandiri dalam The International Classification
of Health Worker dengan ISCO Code 2264.
d. General Agreement on Trade and Services (GATS) dari World Trade Organization (WTO),
putaran Uruguay 1986 – 1994, mencatat fisioterapi termasuk jasa profesional dalam
perdagangan bebas dunia.
e. World Confederation for Physical Therapy (WCPT) tahun 1999 menetapkan fisioterapi
sebagai pelayanan kesehatan mandiri dengan akses langsung dan rujukan, entry level
fisioterapis adalah pendidikan profesi dikembangkan spesialisasi.
f. Fisioterapi masuk Indonesia dimulai tahun 1950 yang merupakan inisiatif WHO
melayani korban revolusi fisik mempertahankan NKRI. Prof. Dr. R. Soeharso,
menyantuni para cacat korban perang. WHO membantu tenaga/ahli : Orthpaedi,
Fisioterapi dan Orthotik-Prosthetik sekaligus sebagai cikal bakal RSOP Prof. Soeharo,
Solo.
Sejarah profesi fisioterapi di dunia dan di Indonesia menjadi salah satu yang
sangat penting untuk menjelaskan kesalahan pemahaman selama ini yang menganggap
cakupan pelayanan fisioterapi hanya sebatas pelayanan rehabilitatif. Eksistensi profesi
fisioterapi telah jauh lebih dulu ada di Republik Indonesia dan telah berperan serta
memberikan pelayanan fisioterapi bagi rakyat Indonesia sebelum profesi Rehabilitasi
Medik itu sendiri di dirikan.
B. Tujuan

Naskah Akademik tentang penataan sistem pelayanan fisioterapi bagi masyarakat bertujuan
untuk :

1. Mendapatkan informasi yang komprehensif, obyektif, berbasis pada nilai-nilai


akademis tentang pelayanan fisioterapi.
2. Melakukan pengkajian terhadap permasalahan pelayanan fisioterapi sehubungan
dengan program Jaminan Kesehatan Nasional serta alternatif solusi yang dapat
diberikan.
3. Menghasilkan usulan dan rekomendasi penataan sistem pelayanan fisioterapi agar
memenuhi nilai-nilai efektifitas dan efisiensi pelayanan fisioterapi bagi masyarakat
sehingga memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat, bangsa dan
negara dalam mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
BAB II
KEADAAN SAAT INI DAN PERMASALAHAN

1. Akses Masyarakat terhadap Pelayanan Fisioterapi

Terhalangnya akses masyarakat dan rujukan tenaga kesehatan untuk pelayanan


fisioterapi, oleh adanya birokrasi adminstrasi berupa keharusan melalui Dokter Spesialis
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp.KFR). Berdampak terhadap masyarakat tidak bisa
menjangkau dan/atau bertambahnya waktu dan biaya untuk pelayanan fisioterapi.
Keberadaan Sp.KFR saat ini sangat terbatas dan umumnya hanya ada di beberapa ibukota
provinsi, sehingga ada banyak pasien yang harus ke ibukota provinsi terlebih dahulu dengan
jarak dan biaya yang tidak sedikit sebelum kembali ke Rumah Sakit di daerahnya untuk
mendapatkan pelayanan Fisioterapi.

Pola Rujukan Pelayanan Fisioterapi berdasarkan Surat Edaran BPJS No 0010 tahun
2014 :

Dokter Spesialis DPJP Kasus


Dokter Spesialis KFR Fisioterapis

Pada RS yang tidak memiliki dokter SpKFR, maka :

Dokter Spesialis DPJP Kasus Dokter Spesialis KFR Fisioterapis


Di RS Lain

Pola Rujukan Pelayanan Fisioterapi berdasarkan Perdiryan BPJS No 05 tahun 2018

Dengan pembatasan
kunjungan yang
ditetapkan reguler tidak
berdasar pada patologi

Gambar 2. Alur rujukan pasien ke pelayanan Fisioterapi


Hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip pelayanan kesehatan yang efektif dan
efisien, Patient Center Care (PCC) dan patient safety. Untuk mendapatkan pelayanan
fisioterapi seorang pasien memerlukan 2 kali pelayanan dokter spesialis yang juga
memerlukan pembiayaan bagi BPJS. Selain itu, kompetensi dan pemahaman yang dimiliki
tidak sesuai dengan kompetensi Fisioterapi dan evidence based practice Physiotherapy.

Permasalahan akses masyarakat antara lain :


- Sebaran Fisioterapis di Indonesia telah mencakup sampai pada pelayanan tingkat
puskesmas. Sementara itu, keterbatasan jumlah dokter SpKFR mengakibatkan
keberadaannya yang umumnya hanya ada di ibukota provinsi mengakibatkan
setiap pasien yang memerlukan persetujuan tindakan harus ke ibukota provinsi
untuk mendapatka persetujuan. Hal inilah yang mengakibatkan pasien yang
memerlukan pelayanan Fisioterapi .

Akar Masalah

1. Kurangnya pemahaman BPJS sebagai pelaksana Jaminan Kesehatan Nasional tentang


pelayanan Fisioterapi dan Pelayanan Rehabilitasi Medik.

Kebijakan BPJS didasarkan pada Asumsi bahwa pelayanan Fisioterapi merupakan


bagian dari pelayanan Rehabilitasi Medik. Hal tersebut tidak berdasar karena tidak ada
regulasi yang menunjukkan pelayanan Fisioterapi merupakan bagian dari pelayanan
fisioterapi.

Penjelasan :
Perbedaan pelayanan Fisioterapi dengan pelayanan Rehabilitasi medik dapat di
tinjau dari berbagai aspek, namun untuk memudahkan pemahaman maka dapat
diringkas sebagai berikut:

a. Berdasarkan Regulasi

Keputusan Menteri Kesehatan No. 378/Menkes/SK/IV/2008 tentang Pedoman


Pelayanan Rehabilitasi Medik di RS; Ketetapan Diktum Ketiga :
“Pedoman digunakan sebagai acuan Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi penderita disabilitas”.
Pemahaman tersebut sejalan dengan pernyataan yang tertuang di dalam
Undang-Undang No.36 Th. 2009, tentang Kesehatan. Pasal 1, ayat 15 menyatakan
“Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya”.

Terdapat 2 kata kunci utama yaitu penderita disabilitas serta Bekas Penderita.
Hal ini menggambarkan bahwa pelayanan Rehabilitasi Medik adalah pelayanan bagi
individu dengan disabilitas atau mereka yang telah selesai fase patologisnya namun
memerlukan penanganan untuk dapat meminimalkan hambatan sosialnya
(participation restriction).

International Labour Organisation (ILO) mengluarkan ILO VR Recommendation No.


99, 1955, bahwa penderita disabilitas perlu bekerja; sebagai dasar kebutuhan
pelayanan rehabilitasi.

Dari deskripsi tersebut diatas menggambarkan bahwa Pelayanan Rehabilitasi


Medik adalah pelayanan bagi penderita disabilitas dan atau pelayanan bekas pasien
(setelah fase patologisnya selesai) untuk kembali ke masyarakat, maka ini dapat
dimaknai bahwa pelayanan rehabilitasi medik merupakan pelayanan jangka
panjang (Long Term Care) oleh karena itu, jika kondisi yang dimaksud sebagaimana
yang tertuang didalam Perdiryan BPJS no 05 tahun 2018 dimana Perdiryan
tersebut menetapkan frekuensi 2 kali seminggu dan waktu layanannya secara
reguler dapat ditetapkan maka hal tersebut masih memungkinkan untuk dijalankan
pada pelayanan Rehabilitasi Medik karena bersifat rehabilitatif.

Akan tetapi, konsep pelayanan tersebut sangat tidak efektif dan Tidak Efisien jika
di terapkan pada pelayanan Fisioterapi secara keseluruhan.

Pelayanan Fisioterapi dapat digambarkan sebagai berikut

A. Continuum Of Care Fisioterapi.


1. Skema ICF.
World Confederation for Physical Therapy (WCPT) tahun 2007, menetapkan skema ICF
sebagai metode asuhan berkelanjutan dan berkemitraan pelayanan fisioterapi.
WHO, tahun 2001 mengesahkan International Classification of Functioning, Disability
and Health (ICFDH) disingkat ICF, yang bertujuan menyamakan analisis kesehatan –
fungsi fisik - disabilitas dalam kemitraan antar profesi kesehatan.
Skema ICF sebagai berikut :
Skema International Classification of Functioning, Disability and Health -ICF

Health condition
(disease / disorder)
ICD-10

ICF

Body functions Activities Participations


Body structures (limitations) (restrictions)
(impairments)

External factors Personal factors


(barriers / facilitators) (barriers / facilitators)

Gambar 1 : Scope of Physiotherapy Practice dalam skema ICF.

2. Continuum Of Care dan Clinical Pathway Fisioterapi dalam Skema ICF.


Asuhan fisioterapi berkelanjutan (continuum of care) dan berkemitraan medis,
kondisi sehat-sakit (continuum of health), alur clinical pathway dengan ICD-10 dan
pelayanan fisioterapi dalam ICD-9-CM, digambarkan sebagai berikut :

Health condition
(disease / disorder)
Sakit Sehat - Produktif
ICD-10
ICF

Body structures Body functions Activities Participations


(impairments) (impairments) (limitations) (restrictions)

Life Saving, Curative, Rehabilitative/Habilitative,


Intensive Care, Moderate Care, Preventive/Promotive
DPJP Kondisi (ICD-10) Dr Sp Kondisi -DPJP (ICD- Long Term Care
Fisioterapi (ICD-9-CM) 10) Fisioterapi (ICD-9-CM) DPJP Kondisi/ Sp.RM (ICD-10)
Terapis (ICD-9-CM)

Gambar 3 : Pelayanan Fisioterapi Bermitra Profesional Kesehatan Lainnya


Skema ICF, WCPT, 2007.

Berdasarkan gambar diatas, maka cakupan pelayanan fisioterapi di gambarkan pada


area dengan garis putus-putus warna merah yaitu gangguan struktur dan gangguan
fungsi tubuh, gangguan aktivitas dan sebagian berperan gangguan partisipasi
(rehabilitatif) yang berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya.
Hal ini diperkuat oleh data yang diperoleh pengurus Pusat Ikatan Fisioterapi
Indonesia melalui pengumpulan data sampel dari beberapa RS oleh beberapa IFI
cabang setempat periode Januari-Maret 2018 (Data terlampir).

10 Besar Kasus Fisioterapi

LBP (Nyeri Pinggang)


OA Genu (Osteoarthritis Lutut)
Hemiparese (Pasca Stroke)
Frozen Shoulder (KakukBahu)
Cervical Syndrome (Nyeri Leher)
Cerebral Palsy
Post Fraktur
Carpal Tunnel Syndrome
Bell's Palsy
Trigger Fingger

Gambar 4. Data 10 besar kasus pada Pelayanan Fisioterapi


Di Rumah Sakit Periode Januari – Maret 2018

10 besar kasus yang mendapatkan pelayanan Fisioterapi di Rumah sakit sebagai


sampel periode Januari – Maret 2018 menggambarkan bahwa 80 % kasus yang
mendapatkan pelayanan belum berupakan tahapan atau tindakan rehabilitatif
sedangkan terdapat 10% kasus berpotensi untuk menjadi disabilitas/pulih dan 10 %
kasus mengarah pada disabilitas dan memerlukan pelayanan jangka panjang
(Longterm Care).

Dampak dari mispersepsi BPJS yang menyamakan antara pelayanan Rehabilitasi medik
dengan Pelayanan Fisioterapi adalah tidak efektif nya pelayanan Fisioterapi yang
secara langsung akan berdampak terhadap inefisiensi pembiayaan BPJS.

Pelayanan Fisioterapi memerlukan diagnosis gangguan gerak fungsi yang tepat,


perencanaan tindakan yang tepat serta pilihan, dosis intervensi Fisioterapi yang sesuai
dan evaluasi gangguan gerak dan fungsi yang terukur.
Pada kenyataannya, diagnosis yang ditegakkan oleh dokter Sp. Rehabilitasi Medik
(SpKFR) menggunakan diagnosis yang sama dengan diagnosis yang ditegakkan oleh
dokter Spesialis (DPJP) berdasarkan Kasus, sehingga tidak akan sulit dijumpai pada
catatan medis pasien instruksi tindakan dan diagnosis dari dokter SpKFR bersifat
general dan rutin sesuai dengan paradigma rehabilitatif.
Lampiran Perdiryan nomor 05 tahun 2018 yang merupakan kesepakatan bersama
antara BPJS dengan PERDOSRI (Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik
Indonesia) juga mengatur tentang beberapa hal seperti penetapan tindakan 2 kali
dalam seminggu yang di implementasikan oleh BPJS melalui sistem rujukan online
sehingga penentuan kapan pasien hendaknya kembali mendapatkan pelayanan
Fisioterapi ditentukan melalui sistem online dan bersifat reguler tidak lagi berdasarkan
tingkat patologi dan hasil penilaian derajat gangguan gerak dan fungsi pada pasien.
Hal ini mempertegas bahwa dokter Spesialis Rehabilitasi Medik (SpKFR) memiliki
paradigma Rehabilitatif yang berarti bahwa semua pasien telah melewati fase kuratif
sehingga frekuensi dapat ditentukan secara umum dan terstruktur.

Pada kenyataannya, Kondisi yang mendapatkan pelayanan Fisioterapi 80% adalah


kondisi pada fase kuratif atau Impairments (ICF Model) seperti menghilangkan nyeri,
mengurangi pembengkakan, meningkatkan lingkup sendi, meningkatkan fleksibilitas,
menurunkan thigness, menurunkan spasme, dll
Tindakan fisioterapi memerlukan sekuensis dan tahapan Biophysical change –
Physiological effect – Clinical effect melalui proses adaptasi tertentu. Sehingga
penetapan kunjungan sesuai lampiran tersebut akan mengakibatkan tidak efektifnya
tindakan Fisioterapi dan berdampak terhadap lama rawat pasien.

b. Berdasarkan Kesejarahan Profesi

A. Sejarah Fisioterapi Di Dunia

Per Henrik Ling, “Father of Swedish Gymnastics,” mendirikan Royal Central Institute of
Gymnastic (RCIG) pada tahun 1813 untuk massage, manipulasi dan exercise. Di
swedia fisioterapist disebut “sjukgymnast” = “sick-gymnast.” Yang pada tahun 1887
fisioterapist mendapatkan registrasi resmi oleh Dewan Nasional Kesehatan dan
Kesejahteraan Swedia.

Negara-negara lain segera menyusul. Pada tahun 1894 empat perawat di Britania Raya
membentuk Chartered Society of Physiotherapy diikuti oleh The School of
Physiotherapy di Universitas Otago di Selandia Baru pada tahun 1913, dan di Amerika
Serikat 'pada tahun 1914 Reed College di Portland, Oregon.

B. Sejarah Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Di Dunia

Seorang dokter bernama Frank H Krusen, MD yang mengidap tuberculosis


merawat diri sendiri dan meneliti tentang penggunaan pengobatan fisik (Physical
Medicine). Setelah memulai program physical therapy di Temple University. Dr.
Krusen pindah ke Mayo Clinic pada tahun 1936 di mana ia mengembangkan
Departemen Kedokteran Fisik. Pada tahun 1938, Dr. Krusen mengusulkan istilah
"physiatrist" untuk mengidentifikasi dokter yang mengkhususkan diri dalam
kedokteran fisik. Untuk menghindari kebingungan dengan psikiatri, ia mengusulkan
pengucapan yang berbeda, dengan penekanan pada suku kata ketiga.

Pada tanggal 27 Februari 1947, American Board of Physical Medicine didirikan.


Secara resmi diakui oleh ABM (American Board of Medicine) dan AMA. Dr. Krusen
menjadi ketua pertama.

C. Sejarah Fisioterapi Di Indonesia

Di Indonesia, Fisioterapi dimulai sejak tahun 1956 untuk pertama kalinya di


Rehabilitasi Centrum Prof. Dr. Suharso, Solo. Sekolah Perawat Fisioterapi yang diikuti
oleh utusan dari Rumah Sakit dan orang yang telah berpengalaman dalam bidang
keperawatan selama 2 tahun dan memiliki ijazah SMP. Kemudian, pada tahun 1957
didirikan Sekolah Assisten Fisioterapi. Perkembangan selanjutnya berdiri Akademi
Keperawatan Fisioterapi (1967 – 1970). Awal berdirinya Akademi Fisioterapi Murni
Non. Keperawatan pada Tahun 1970 di Solo-Jawa Tengah.

D. Sejarah Sp.Rm Di Indonesia

Pada tahun 1987 Program dokter spesialis rehabilitasi medik didirikan sekaligus di 3
universitas antara lain ; Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro dan Universitas
Airlangga. Melalui suatu Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 16/DIKTI/Kep/1987, yang
ditandatangani oleh Sukadji Ranuwihardjo, tertanggal 2 Mei 1987. Saat ini
penyelenggara pendidikan dokter spesialis rehabilitasi medik terdapat di beberapa
universitas, antara lain (Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas
Airlangga, dan Universitas Sam Ratulangi).

Penjelasan tersebut diatas menunjukkan keberadaan profesi fisioterapi dan dokter


spesialis rehabilitasi medik lahir pada rentang waktu yang jauh berbeda baik di dunia
maupun di Indonesia.
Maka tidak ada dasar yang kuat bahwa Pelayanan Fisioterapi adalah bagian dari
pelayanan rehabilitasi medik. Berbeda dengan dokter spesialis orthopedik yang
memiliki keterkaitan sejarah dengan fisioterapi.

Aspek legal formal, profesi fisioterapi merupakan profesi mandiri yang tercantum pada
The International Classification of Health Worker (ISCO) dengan Code 2264.

Aspek kompetensi menujukkan cakupan pelayanan fisioterapi berbeda dengan


pelayanan rehabilitasi medik. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang berlaku.
Permenkes No 80, tahun 2013 tentang Praktik Fisioterapi.
- Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu
dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak
dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan
secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis)
pelatihan fungsi, komunikasi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa cakupan pelayanan Fisioterapi mulai dari
promotif preventif-kuratif-habilitatif dan rehabilitatif.
- Dalam menjalankan praktik Fisioterapi memiliki kewenangan untuk melakukan
pelayanan Fisioterapi meliputi Asesmen Fisioterapi, menetapkan Diagnosis
Fisioterapi, Menyusun Perencanaan Intervensi , melakukan intervensi serta
mengevaluasi. (pasal 16, ayat 1)
Hal itu juga menunjukkan bahwa Fisioterapi memiliki kewenangan yang bukan
bagian dari kewenangan Dokter Rehabilitasi medik.
- Dalam melakukan pelayanan Fisioterapis dapat menerima pasien langsung atau
berdasarkan rujukan dari tenaga kesehatan lainnya ( pasal 16, ayat 2).

Hal tersebut menunjukan rujukan pelayanan Fisioterapi boleh langsung dari spesialis
lain dan tidak harus dari spesialis Rehabilitasi Medik.

Pada kenyataannya saat ini adalah pelayanan rehabilitasi medik menjangkau semua
fase patologi dari pasien dan tidak hanya pada fase rehabilitatif.

Kebijakan akses pelayanan fisioterapi yang mengharuskan melalui Dokter Spesialis


Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi tidak memiliki dasar hukum sebagai landasan untuk
membuat kebijakan tersebut yang mana pasien yang menerima pelayanan fisioterapi
terlebih dahulu telah melalui Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) sesuai kasus
atau penyakitnya.

2. Keamanan Pasien (Patient Safety)

Salah satu hal yang dapat menunjang pelayanan yang aman bagi pasien dan
fisioterapis adalah terselenggaranya pelayanan fisioterapi sesuai standar pelayanan
profesi dan standar operating procedure yang mengacu pada Pedoman Praktik Klinis
Fisioterapi.

Keamanan bagi pasien dan fisioterapis adalah prinsip kerja fisioterapis


berdasarkan kehati-hatian, evidance based practice physiotherapy dan etika profesi.
Pelayanan berkualitas diperoleh dengan direct access sehingga sasaran mutu Rumah
Sakit akan lebih mudah tercapai. Hal tersebut berkaitan dengan response time
penanganan, efektifitas dan efisiensi pelayanan terhadap pasien. Pada sebuah artikel
yang dipublikasikan oleh Health Research and Educational Trust.
Gambar 5. Evidence Based Physiotherapy

Penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa pasien rawat jalan fisioterapi tanpa
melalui rujukan berdampak lebih efisien dalam hal pembiayaan dibandingkan pasien
dengan rujukan. Sementara masa perawatan (episode pelayanan) tidak memiliki
perbedaan baik yang dengan atau tanpa rujukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pasien rawat jalan dengan rujukan tidak dapat mempersingkat masa perawatan.
Penelitian tersebut dilakukan dengan desain retrospektif dengan pengumpulan data
melalui klaim asuransi selama lima tahun (2003-2007). Beberapa penelitian lain juga
dilampirkan dalam naskah akademik ini.

Permasalahan saat ini adalah, Fisioterapis tidak dapat menjalankan proses fisioterapi
secara penuh oleh karena prosedur yang ditetapkan oleh BPJS tidak memungkinkan
untuk menjalankan standar pelayanan fisioterapi. Hal ini akan mempengaruhi kualitas
pelayanan fisioterapi termasuk diantaranya keamanan pasien terhadap pelayanan
fisioterapi. Kompetensi pelayanan fisioterapi yang baik dengan proses fisioterapi yang
baik pula hanya dapat dilakukan oleh seorang fisioterapis. Perbedaan diagnosis,
rencana tindakan, pilihan modalitas intervensi termasuk penentuan dosis serta
evaluasi fisioterapi antara perspektif SpKFR dan perspektif fisioterapis sering dijumpai
dalam pelayanan fisioterapi.

Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 65 tahun 2015 tentang Standar Pelayanan
Fisioterapi merupakan salah satu regulasi yang mengatur agar setiap fisioterapis harus
menjalankan pelayanan fisioterapi sesuai standar yang ditentukan untuk mencapai
pelayananan fisioterapi yang aman, efektif dan efisien.
Kewajiban setiap tenaga kesehatan termasuk Fisioterapis menjalan Standar
Pelayanan Profesinya di atur dalam beberapa Undang-Undang, antara lain :

1. Undang-Undang nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, Pasal 58 ayat 1


yang menyatakan :
(1) Tenaga Kesehatan dalam Menjalankan praktik wajib :
a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.

Demikian pula pada Pasal 66, menyatakan bahwa


(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk
mematuhi Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional.
(2) Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk masing-masing jenis Tenaga Kesehatan ditetapkan oleh organisasi
profesi bidang kesehatan dan disahkan oleh Menteri.

2. Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan

Pelaksanaan standar pelayanan fisioterapi akan memberikan panduan bagi


fisioterapis dalam menjalankan pelayanan fisioterapi sesuai dengan proses
fisioterapi yang benar. Proses Fisioterapi berupa Asesmen fisioterapi yang meliputi
pemeriksaan dan evaluasi, diagnosis fisioterapi, perencanaan intervensi fisioterapi,
intervensi fisioterapi, dan evaluasi/re-evaluasi/re-asesmen/revisi memberikan
kesesuaian antara hasil pemeriksaan dengan pilihan intervensi terbaik berdasarkan
praktik fisioterapi berbasis bukti (evidance based practice physiotherapy) serta hal-
hal yang merupakan kontra indikasi intervensi fisioterapi.

Pelayanan fisioterapi saat ini tidak berjalan sesuai proses fisioterapi, standar
pelayanan fisioterapi sehingga unsur patient safety menjadi rendah. Hal tersebut
terjadi disebabkan oleh adanya ketentuan melalui Surat Edaran BPJS Nomor 0010
tahun 2014 yang mengharuskan setiap pasien harus melalui Dokter SpRM (SpKFR)
untuk mendapatkan pelayanan fisioterapi. Kebijakan tersebut semata-mata hanya
memperpanjang birokrasi dan menambah biaya yang harus dikeluarkan oleh BPJS
karena pada dasarnya kompetensi Fisioterapi hanya dimiliki oleh seorang fisioterapis
dan bukan oleh profesi lainnya.

Regulasi yang mengatur alur pasien yang membutuhkan pelayanan fisioterapi


pada prinsipnya telah diatur pada PMK No 65 tahun 2015 yang mana menjelaskan
alur pasien yang membutuhkan pelayanan fisioterapi langsung dari dokter
penanggungjawab pelayanan (DPJP) yaitu dokter spesialis berdasarkan masing-
masing kasus dan bukan dari dokter Sp.KFR. Setelah mendapatkan pelayanan
fisioterapi sesuai kebutuhan, maka pasien dapat kembali ke DPJP kasus/dokter
pengirim. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada PMK No 65 tahun 2015 butir B
tentang Alur pelayanan (halaman 12).
Ketentuan yang ada pada PMKno 65 tahun 2015 tersebut telah sesuai dengan
ketentuan dari peraturan menteri yang lainnya yang berhubungan dengan Jaminan
Kesehatan Nasional. Namun, BPJS tidak mengacu pada peraturan-peraturan tersebut,
tetapi mengacu pada rekomendasi PB PERDOSRI yang tidak dapat dijadikan landasan
hukum serta di wujudkan dengan menerbitkan Surat Edaran.

3. Efektiftas Pelayanan Fisioterapi

Efektifitas pelayanan fisioterapi sangat ditentukan oleh optimalisasi


kompetensi yang dimiliki oleh tenaga fisioterapis dalam memberikan pelayanan
fisioterapi. Optimalisasi tersebut dapat diperoleh jika setiap fisioterapis mejalankan
proses fisioterapi sesuai standar pelayanan Fisioterapi.

Data jumlah kunjungan Fisioterapi tahun 2017 dari beberapa Rumah Sakit mewakili beberapa
tipe RS (A,B dan C) sebagai sampel.

Tabel 1. Sampel Kunjungan Pasien ke Pelayanan Fisioterapi tahun 2017

No Nama RS Wilayah Kunjungan Rata2/Bulan


1 RS Media Stania Bangka Babel 5732 478
2 RSUD H Marsidi Judono Belitung Babel 5072 423
3 RSUD Sambas Kal Bar 11764 980
4 RS Adam Malik Medan Sumut 14160 1180
5 RS Baiturrahim Jambi 9372 781
6 RSUD Tangerang Tangerang 18850 1571
7 RSUD Banyumas Jateng 14686 1224
8 RSU Budi Kemuliaan Batam Batam 13848 1154
9 RSUD Muntilan Jateng 5120 427
10 RSUD Sayang Cianjur Jabar 11978 998
11 RS Hermina Sukabumi Jabar 10163 847
12 RS Syamsudin Sukabumi Jabar 14255 1188
13 RS Islam Jakarta Pondok Kopi DKI 9979 832
14 RS Urip Soemaharjo Bandar Lampung Lampung 12582 1049
15 RSU Muhammadiyah Metro Lampung 15944 1329
16 RSUD AW Sjahranie Kaltim 42468 3539
17 RS Abdul Rivai Berue Kaltim 5268 439
18 RS Wahidin Makasar 18120 1510
19 RS Pelamonia Makasar 5885 491
20 RSCT Makasar 4530 377
21 RS Stroke Centre Makasar 6040 503
22 RS Faizal Makasar 2265 189
23 RS Bhayangkara makasar 4530 378
24 RSMH Palembang Palembang 49751 4146
25 RS DKT Palembang Palembang 12821 1068
26 RSUD Prof Dr WZ Johanes Kupang NTT 9100 759
27 RSUD dr Doris Sylvanus PalangkaRaya Kalteng 7078 590
28 RSUD. Prop NTB NTB 9480 790
29 RSUP Fatmawati DKI 31663 2639
30 RS Awal Bros Makasar Sulsel 8305 692
31 RSU Lasinrang kab Pinrang Sulsel 5968 497
32 RS Negeri Ahmad Yani Metro Lampung 30831 2569

Data jumlah kunjungan pasien untuk mendapatkan pelayanan fisioterapi di 32 Rumah sakit
di Indonesia yang mewakili beberapa karakteristik antara lain Tipe Rumah sakit, jenis pelayanan
fisioterapi, kelengkapan dan jenis kasus fisioterapi menujukkan rata-rata jumlah kunjungan pasien
per bulan 1.113 kunjungan/RS.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1. Kebutuhan masyarakat sangat tinggi akan pelayanan Fisioterapi.


2. Pelayanan Fisioterapi menjadi tidak efektif dan tidak efisien oleh karena prosedur berdasarkan
Surat Edaran BPJS Nomor 0010 tahun 2014 sehingga standar pelayanan fisioterapi tidak
dapat di jalankan.
3. Jika rata-rata pembiayaan pelayanan fisioterapi Rp. 141.000, 00 x 1.113 = Rp 156.933.000 / bulan
Maka dapat dikatakan bahwa biaya pelayanan fisioterapi per tahun per RS adalah Rp.156.933.000
x 12 = Rp 1.883.196.000,-

Tabel 2. Jumlah Rumah Sakit di Indonesia


Kategori Kepemilikan RS. Umum RS. Khusus Total
RS. Publik Pemerintah 771 94 865
- Kemenkes 14 19 33
- Pemda Propinsi 52 47 99
- Pemda Kabupaten 456 7 463
- Pemda Kota 81 12 93
- Kementerian lain 5 3 8
- TNI 121 6 127
42 0 42
- POLRI
Swasta non Profit 539 200 739
RS. Privat Swasta 489 255 744
BUMN 60 7 67
Total : 1859 556 2415

Jika total Rumah Sakit 2.415 x Rp. 1.883.196.000,- maka dibutuhkan Rp. 4.547.918.340.000,- (4,6T)
untuk pelayanan fisioterapi tersebut.

Kecenderungan perubahan pola penyakit baik di dunia maupun di Indonesia dengan


menurunnya penyakit infeksi serta penyakit menular dan meningkatnya penyakit degeneratif dan
trauma fisik, maka beban pembiayaan dimasa akan datang akan lebih besar. Untuk itu perlu
kebijakan pemerintah melakukan langkah-langkah antisipatif dengan cara implementasi standar
pelayanan fisioterapi sesua dengan PMK nomor 65 tahun 2015 tentang standar pelayanan
fisioterapi.
BAB III
USULAN PENATAAN
SISTEM PELAYANAN FISIOTERAPI

Perubahan pola penyakit di seluruh dunia termasuk di Indonesia yaitu demografi


penyakit infeksi dan penyakit menular semakin menurun, hal tersebut terjadi oleh
peningkatan upaya pencegahan dan meningkatnya fasilitas pelayana kesehatan. Namun
demikian, berdampak terhadap peningkatan usia harapan hidup yang mengakibatkan
gangguan kesehatan di masa akan datang adalah penyakit tidak menular, penyakit akibat
degeneratif dan penyakit traumatik fisik (kecelakaan).

Berdasarkan permasalahan dan referensi yang telah di jelaskan pada Bab sebelumnya, maka
Pemerintah dan pemangku kebijakan hendaknya segera mengambil langkah-langkah
penanggulangan dan langkah-langkah antisipatif yang sesuai landasan dan regulasi yang
berlaku :

1. Melakukan penyesuaian semua peraturan BPJS tentang pelayanan rehabilitasi medis


secara terpisah dengan pelayanan Fisioterapi dan membuat kebijakan baru dimana
masyarakat dapat mengakses pelayanan fisioterapi secara langsung melalui rujukan DPJP
setiap kasus.

Sehingga pola pelayanan fisioterapi sebagai berikut :

DPJP Kasus
Dr Spesialis berdasarkan Pelayanan Fisioterapi
penyakit

2. Implementasi pola pelayanan Rehabilitasi sesuai dengan definisi pelayanan rehabilitatif


pada Undang-Undang No.36 Th. 2009, tentang Kesehatan.
Pasal 1, ayat 15:
“Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya”.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 378/Menkes/SK/IV/2008 tentang Pedoman


Pelayanan Rehabilitasi Medik di RS; Ketetapan Diktum Ketiga :
“Pedoman digunakan sebagai acuan Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi penderita disabilitas”.

Kata “Bekas Penderita dan kata Disabilitas menunjukkan bahwa cakupan pelayanan
rehabilitasi medik berorientasi pada pemulihan dan bukan pada penyembuhan
patologinya.
3. Melakukan pengendalian pembiayaan INA-CBGs yang berhubungan dengan kode
tindakan (ICD-9 CM) sesuai dengan versi WHO khususnya pada Kode 93 dengan
interpretasi yang benar yaitu Physical Therapy, Respiratory Therapy, Rehabilitation, and
Related Procedures antara lain :
• 93.0 Diagnostic Physical Therapy
• 93.1 Physical Therapy Exercise
• 93.2 Other Physical Therapy musculoskeletal Manipulation
• 93.3 Other Physical therapy therapeutic procedure
• 93.4 Skeletal Traction and Other Traction
• 93.5 Other immobilization, pressure, and Attention to Wound
• 93.6 Osteopathic Manipulative Treatment
• 93.8 Other Rehabilitation Therapy
• 93.9 Respiratory Therapy

Kode 93 pada ICD 9 –CM merupakan kompetensi Fisioterapi yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang dengan profesi Fisioterapis yang diperoleh sesuai standar
profesi fisioterapi Indonesia dan merujuk pada World Confederation for Physical
Therapy (WCPT).
4. Dalam masa transisi dapat dilakukan dengan melaksanakan surat edaran plt dirjen buk
no uk.01.15/i/2857/2015 tentang pelayanan fisioterapi di fasyankes dimana telah
dilakukan pemilahan antara kondisi-kondisi pasien yang dapat langsung ke Fisioterapi
dari DPJP (Fase Kuratif) dengan kondisi-kondisi harus melalui dr. SpKFR (Fase
Rehabilitatif)
5. Melakukan revisi PMK 28 tentang Jaminan Kesehatan Nasional dengan membedakan
secara nomenklatur antara fisioterapi dan rehabilitasi medis ,dengan mengacu pada
Undang-Undang no 36 th 2009 tentang kesehatan , Undang-Undang Nomor 36 th 2014
tentang tenaga Kesehatan dan permenkes no 65 th 2015 tentang standar pelayanan
fisioterapi.
BAB IV
PENUTUP

Demikian Naskah akademik pelayanan Fisioterapi kami susun semoga dapat


memberikan gambaran yang tentang pelayanan fisioterapi yang seharusnya. Selanjutnya
semoga naskah akademik ini dapat dijadikan masukan guna perubahan peraturan tentang
pelayanan Fisioterapi dalam sistem kesehatan di Indonesia. Dengan demikian maka
pengembangan sistem pelayanan Fisioterapi dan kesehatan pada Jaminan Kesehatan
Nasional akan menjadi adil buat semuanya, adil bagi masyarakat , adil bagi tenaga
Fisioterapi dan adil bagi Bangsa dan Negara.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai