DI SUSUN OLEH
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia sebagaimana tertuang pada diktum pertama
Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang juga menetapkan bahwa
kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Setiap individu, keluarga dan masyarakat
berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab
mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat
miskin dan tidak mampu. Akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan juga
merupakan hak yang di jamin oleh Undang-Undang.
Transisi Epidemiologi dimana penyakit tidak menular terus meningkat khususnya
pada penyakit degeneratif dan traumatik. Tahun 1990, 56% penyakit di Indonesia
didominasi oleh penyakit menular seperti ISPA, TB dan Diare sementara sejak tahun 2015,
57% penyakit di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular seperti stroke, jantung,
Diabetes, kanker dan traumatik.
Perubahan demografi penyakit di Indoneisa tersebut berdampak terhadap
perubahan kebutuhan pelayanan kesehatan termasuk meningkatnya kebutuhan masyarakat
akan pelayanan fisioterapi dimana domain pelayanan fisioterapi pada penyakit tidak
menular.
Naskah Akademik tentang penataan sistem pelayanan fisioterapi bagi masyarakat bertujuan
untuk :
Pola Rujukan Pelayanan Fisioterapi berdasarkan Surat Edaran BPJS No 0010 tahun
2014 :
Dengan pembatasan
kunjungan yang
ditetapkan reguler tidak
berdasar pada patologi
Akar Masalah
Penjelasan :
Perbedaan pelayanan Fisioterapi dengan pelayanan Rehabilitasi medik dapat di
tinjau dari berbagai aspek, namun untuk memudahkan pemahaman maka dapat
diringkas sebagai berikut:
a. Berdasarkan Regulasi
Terdapat 2 kata kunci utama yaitu penderita disabilitas serta Bekas Penderita.
Hal ini menggambarkan bahwa pelayanan Rehabilitasi Medik adalah pelayanan bagi
individu dengan disabilitas atau mereka yang telah selesai fase patologisnya namun
memerlukan penanganan untuk dapat meminimalkan hambatan sosialnya
(participation restriction).
Akan tetapi, konsep pelayanan tersebut sangat tidak efektif dan Tidak Efisien jika
di terapkan pada pelayanan Fisioterapi secara keseluruhan.
Health condition
(disease / disorder)
ICD-10
ICF
Health condition
(disease / disorder)
Sakit Sehat - Produktif
ICD-10
ICF
Dampak dari mispersepsi BPJS yang menyamakan antara pelayanan Rehabilitasi medik
dengan Pelayanan Fisioterapi adalah tidak efektif nya pelayanan Fisioterapi yang
secara langsung akan berdampak terhadap inefisiensi pembiayaan BPJS.
Per Henrik Ling, “Father of Swedish Gymnastics,” mendirikan Royal Central Institute of
Gymnastic (RCIG) pada tahun 1813 untuk massage, manipulasi dan exercise. Di
swedia fisioterapist disebut “sjukgymnast” = “sick-gymnast.” Yang pada tahun 1887
fisioterapist mendapatkan registrasi resmi oleh Dewan Nasional Kesehatan dan
Kesejahteraan Swedia.
Negara-negara lain segera menyusul. Pada tahun 1894 empat perawat di Britania Raya
membentuk Chartered Society of Physiotherapy diikuti oleh The School of
Physiotherapy di Universitas Otago di Selandia Baru pada tahun 1913, dan di Amerika
Serikat 'pada tahun 1914 Reed College di Portland, Oregon.
Pada tahun 1987 Program dokter spesialis rehabilitasi medik didirikan sekaligus di 3
universitas antara lain ; Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro dan Universitas
Airlangga. Melalui suatu Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 16/DIKTI/Kep/1987, yang
ditandatangani oleh Sukadji Ranuwihardjo, tertanggal 2 Mei 1987. Saat ini
penyelenggara pendidikan dokter spesialis rehabilitasi medik terdapat di beberapa
universitas, antara lain (Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas
Airlangga, dan Universitas Sam Ratulangi).
Aspek legal formal, profesi fisioterapi merupakan profesi mandiri yang tercantum pada
The International Classification of Health Worker (ISCO) dengan Code 2264.
Hal tersebut menunjukan rujukan pelayanan Fisioterapi boleh langsung dari spesialis
lain dan tidak harus dari spesialis Rehabilitasi Medik.
Pada kenyataannya saat ini adalah pelayanan rehabilitasi medik menjangkau semua
fase patologi dari pasien dan tidak hanya pada fase rehabilitatif.
Salah satu hal yang dapat menunjang pelayanan yang aman bagi pasien dan
fisioterapis adalah terselenggaranya pelayanan fisioterapi sesuai standar pelayanan
profesi dan standar operating procedure yang mengacu pada Pedoman Praktik Klinis
Fisioterapi.
Penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa pasien rawat jalan fisioterapi tanpa
melalui rujukan berdampak lebih efisien dalam hal pembiayaan dibandingkan pasien
dengan rujukan. Sementara masa perawatan (episode pelayanan) tidak memiliki
perbedaan baik yang dengan atau tanpa rujukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pasien rawat jalan dengan rujukan tidak dapat mempersingkat masa perawatan.
Penelitian tersebut dilakukan dengan desain retrospektif dengan pengumpulan data
melalui klaim asuransi selama lima tahun (2003-2007). Beberapa penelitian lain juga
dilampirkan dalam naskah akademik ini.
Permasalahan saat ini adalah, Fisioterapis tidak dapat menjalankan proses fisioterapi
secara penuh oleh karena prosedur yang ditetapkan oleh BPJS tidak memungkinkan
untuk menjalankan standar pelayanan fisioterapi. Hal ini akan mempengaruhi kualitas
pelayanan fisioterapi termasuk diantaranya keamanan pasien terhadap pelayanan
fisioterapi. Kompetensi pelayanan fisioterapi yang baik dengan proses fisioterapi yang
baik pula hanya dapat dilakukan oleh seorang fisioterapis. Perbedaan diagnosis,
rencana tindakan, pilihan modalitas intervensi termasuk penentuan dosis serta
evaluasi fisioterapi antara perspektif SpKFR dan perspektif fisioterapis sering dijumpai
dalam pelayanan fisioterapi.
Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 65 tahun 2015 tentang Standar Pelayanan
Fisioterapi merupakan salah satu regulasi yang mengatur agar setiap fisioterapis harus
menjalankan pelayanan fisioterapi sesuai standar yang ditentukan untuk mencapai
pelayananan fisioterapi yang aman, efektif dan efisien.
Kewajiban setiap tenaga kesehatan termasuk Fisioterapis menjalan Standar
Pelayanan Profesinya di atur dalam beberapa Undang-Undang, antara lain :
Pelayanan fisioterapi saat ini tidak berjalan sesuai proses fisioterapi, standar
pelayanan fisioterapi sehingga unsur patient safety menjadi rendah. Hal tersebut
terjadi disebabkan oleh adanya ketentuan melalui Surat Edaran BPJS Nomor 0010
tahun 2014 yang mengharuskan setiap pasien harus melalui Dokter SpRM (SpKFR)
untuk mendapatkan pelayanan fisioterapi. Kebijakan tersebut semata-mata hanya
memperpanjang birokrasi dan menambah biaya yang harus dikeluarkan oleh BPJS
karena pada dasarnya kompetensi Fisioterapi hanya dimiliki oleh seorang fisioterapis
dan bukan oleh profesi lainnya.
Data jumlah kunjungan Fisioterapi tahun 2017 dari beberapa Rumah Sakit mewakili beberapa
tipe RS (A,B dan C) sebagai sampel.
Data jumlah kunjungan pasien untuk mendapatkan pelayanan fisioterapi di 32 Rumah sakit
di Indonesia yang mewakili beberapa karakteristik antara lain Tipe Rumah sakit, jenis pelayanan
fisioterapi, kelengkapan dan jenis kasus fisioterapi menujukkan rata-rata jumlah kunjungan pasien
per bulan 1.113 kunjungan/RS.
Jika total Rumah Sakit 2.415 x Rp. 1.883.196.000,- maka dibutuhkan Rp. 4.547.918.340.000,- (4,6T)
untuk pelayanan fisioterapi tersebut.
Berdasarkan permasalahan dan referensi yang telah di jelaskan pada Bab sebelumnya, maka
Pemerintah dan pemangku kebijakan hendaknya segera mengambil langkah-langkah
penanggulangan dan langkah-langkah antisipatif yang sesuai landasan dan regulasi yang
berlaku :
DPJP Kasus
Dr Spesialis berdasarkan Pelayanan Fisioterapi
penyakit
Kata “Bekas Penderita dan kata Disabilitas menunjukkan bahwa cakupan pelayanan
rehabilitasi medik berorientasi pada pemulihan dan bukan pada penyembuhan
patologinya.
3. Melakukan pengendalian pembiayaan INA-CBGs yang berhubungan dengan kode
tindakan (ICD-9 CM) sesuai dengan versi WHO khususnya pada Kode 93 dengan
interpretasi yang benar yaitu Physical Therapy, Respiratory Therapy, Rehabilitation, and
Related Procedures antara lain :
• 93.0 Diagnostic Physical Therapy
• 93.1 Physical Therapy Exercise
• 93.2 Other Physical Therapy musculoskeletal Manipulation
• 93.3 Other Physical therapy therapeutic procedure
• 93.4 Skeletal Traction and Other Traction
• 93.5 Other immobilization, pressure, and Attention to Wound
• 93.6 Osteopathic Manipulative Treatment
• 93.8 Other Rehabilitation Therapy
• 93.9 Respiratory Therapy
Kode 93 pada ICD 9 –CM merupakan kompetensi Fisioterapi yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang dengan profesi Fisioterapis yang diperoleh sesuai standar
profesi fisioterapi Indonesia dan merujuk pada World Confederation for Physical
Therapy (WCPT).
4. Dalam masa transisi dapat dilakukan dengan melaksanakan surat edaran plt dirjen buk
no uk.01.15/i/2857/2015 tentang pelayanan fisioterapi di fasyankes dimana telah
dilakukan pemilahan antara kondisi-kondisi pasien yang dapat langsung ke Fisioterapi
dari DPJP (Fase Kuratif) dengan kondisi-kondisi harus melalui dr. SpKFR (Fase
Rehabilitatif)
5. Melakukan revisi PMK 28 tentang Jaminan Kesehatan Nasional dengan membedakan
secara nomenklatur antara fisioterapi dan rehabilitasi medis ,dengan mengacu pada
Undang-Undang no 36 th 2009 tentang kesehatan , Undang-Undang Nomor 36 th 2014
tentang tenaga Kesehatan dan permenkes no 65 th 2015 tentang standar pelayanan
fisioterapi.
BAB IV
PENUTUP